PERIODE PERTENGAHAN
Nama : Nur’Aini
Nim : 227050002
A. Pendahuluan
Secara bahasa, kata “historiografi” bermaka penulisan sejarah, tulisan sejarah, atau literatur
yang berkaitan dengan ilmu sejarah.1 Dalam pengertian yang lebih populer atau tinjauan
kekinian, para ahli sejarah mengenalkan pengertian historiografi lebih cenderung untuk
mengarah pada dimensi keilmuan yang memberikan gambaran tentang berbagai model karya
sejarah. Nisar Ahmed Faruqi mendefinisikan secara khusus, “historiography is the science of
committing anecdotes and their causes to writing with reference to the time of their
occurance.”2
Menurut Franz Rosenthal (1968), historiografi Islam merupakan sebuah karya sejarah yang
ditulis oleh para sejarawan Islam dari berbagai ragam keilmuannya. Sementara HAR. Gibb
(1968) menyamakan pengertian historiografi Islam dengan ilmu al-tarîkh, yang dalam literatur
Arab mencakup bentuk analytic (kronologis) maupun biografis. Historiografi Islam adalah studi
yang menyangkut dengan berbagai ilmu sejarah dan karya sejarah dalam kaitannya dengan hal-
hal yang menyangkut berbagai hasil tulisan yang diciptakan oleh kaum muslim dalam
menggambarkan aktivitas manusia dalam setiap ruang dan waktunya.
Periode Islam abad pertengahan dimulai pasca hancurya Baghdad oleh serangan bangsa
Mongol pada tahun 1258 M. Periode ini juga dibagi atas dua fase, yaitu: kemunduran I tahun
1258-1500 M, dan fase tiga kerajaan besar tahun 1500-1800 M.4 Pada fase kemunduran I,
desentralisasi dan disintegrasi bertambah meningkat. Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah
termasuk antara Arab dan Persia semakin tampak. Dunia Islam pada masa itu terbagi dua.
1
James Murray, The Oxford English Dictionary (Oxford: The Clarendon Press, 1978), p. 365.
2
Ajid Thohir, ‘HISTORIOGRAFI ISLAM: Bio-Biografi Dan Perkembangan Mazhab Fikih Dan Tasawuf’,
MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 36.2 (2012), p. 429<https://doi.org/10.30821/miqot.v36i2.126>.
3
Franz Rosenthal, A History of Muslim Historiography (Leiden: E.J. Brill, 1968), p. 3.
4
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Cetakan I (Jakarta: UI Press, 2002), p. 37.
3
Pertama, bagian Arab yang terdiri dari Arabia, Irak, Suria, Palestina, Mesir, dan Afrika Utara
dengan Mesir sebagai pusatnya. Kedua, bagian Persia yang terdiri dari Balkan, Asia Kecil,
Persia, dan Asia Tengah dengan Iran sebagai pusatnya. Pendapat bahwa pintu ijtihad telah
tertutup semakin meluas di kalangan umat Islam. Perhatian pada ilmu pengetahuan kurang
sekali. Puncaknya umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu. Hal
tersebut bisa saja terjadi akibat meluasnya kekuasaan Islam dibarengi dengan adanya perebutan
kekuasaan dan pengaruh di antara dinasti-dinasti Islam yang ada.5
Fase tiga kerajaan besar terbagi atas dua fase, yaitu fase kemajuan pada tahun 1500-1700 M
dan fase kemunduran pada tahun 1700-1800 M. Disebut dengan fase kemajuan karena muncul
tiga kerajaan besar Islam. Kerajaan Usmani di Turki yang kekuasaannya mencakup Asia Kecil,
Armenia, Irak, Suria, Hijaz, dan Yaman di Asia; Mesir, Libia, Tunis dan Aljazair di Afrika; serta
Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Kerajaan Safawi di
Persia menguasai seluruh daerah Persia. Kerajaan Mughal di India yang menguasai wilayah-
wilayah terkenal di India, seperti Lahore, Malwa, Gujarat, dan Bengal.6
Memasuki tahun 1700 M, kejayaan tiga kerajaan besar Islam tersebut mulai pudar. Kerajaan
Usmani, sepeninggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni, tidak lagi memiliki sultan-sultan kenamaan
dan mempunyai pengaruh. Akibatnya timbullah pemberontakan-pemberontakan di dalam negeri,
terjadi peperangan dengan negara-negara tetangga, dan tentara Usmani (Jenissary) mengadakan
pemberontakan. Bersamaan dengan itu di Eropa, timbul negara-negara kuat dan maju yang
mengakibatkan Kerajaan Utsmani yang tadinya luas hanya mencakup Asia Kecil dan sebagian
kecil daratan Eropa Timur. Kerajaan Usmani lenyap dan diganti dengan Republik Turki pada
tahun 1924 M. Kerajaan Syafawi di Persia mendapat serangan dari suku bangsa Afghan yang
menganut paham Sunni yang mengakibatkan Kerajaan Syafawi hancur. Kekuasaan Kerajaan
Mughal di India diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja India.
Setelah Baghdad dilululantahkan oleh pasukan Mongol, Kairo muncul menjadi salah satu
kota yang paling mahsyur di kala itu. Sebagaimana diketahui, Kairo atau Mesir pada umumya,
adalah world great, pusat intelektual dan budaya, baik dalam masa sebelumnya atau masa
kekuaasaan Islam. Yang menjadi sorotan lebih adalah, peran Mesir sebagai oase peradaban
5
Mujahidin Mujahidin, ‘Hubungan Sosial Budaya Islam Dan Kristen (Periode Pertengahan Dan Modern)’,
AL MA’ARIEF: Jurnal Pendidikan Sosial Dan Budaya, 1.1 (2019), 1–14 (p. 1)
<https://doi.org/10.35905/almaarief.v1i1.779>.
6
Mujahidin, pp. 3–4.
4
manusia kuno yang masih dijaga oleh umat Islam. Di masa kekuasaan Dinasti Fathimiyah
dibangun sebuah universitas yang hingga kini masih berdiri tegak yang bernama al-Azhar. Setali
tiga uang dengan pembangunan gedung pendidikan itu, Kairo terangkat pula ke panggung dunia
sebagai menara keilmuan yang berkilau di utara Afrika menyemburat ke seluruh dunia. Fusthath
dan Iskandariyah, sebagai tempat bersemayamnya pelbagai keilmuan juga menyokong
keanggunan perbendaharaan pengetahuan Kairo, khususnya setelah runtuhnya Baghdad.7
B. Metode
Dalam penulisan makalah ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Metode ini
digunakan untuk mendeskripsikan peristiwa atau kejadian pada masa lampau. Sementara
menurut Kuntowijoyo (1995) terdapat lima tahapan dalam penelitian sejarah, yaitu: pemilihan
topik, pengumpulan sumber, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. 8 Sementara teknik
pengumpulan data penulis lakukan lewat studi kepustakaan (library research) dengan mencari
berbagai sumber yang terkait dengan sejarah, historiografi, karya, tokoh, dan hal-hal besar
lainnya pada periode Islam pertengahan. Namun dalam makalah ini penulis akan fokus kepada
satu tokoh saja yaitu Ibnu Khaldun, agar penulisan dan pembahasan dalam makalah ini fokus.
C. Pembahasan
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman ibn Muhammad ibn Muhammad ibn
Muhammad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abdurrahman ibn Khalid ibn
Usman ibn Hani ibn al-Khattab ibn Kuraib ibn Ma’dikarib ibn Harish ibn Al-Wail ibn Hujr. 9 Dia
7
Johan Wahyudi, ‘Membincang Historiografi Islam Abad Pertengahan’, Buletin Al-Turas, 19.1 (2018), 39–
48 (p. 42) <https://doi.org/10.15408/bat.v19i1.3697>.
8
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1995), p. 16.
9
Mukti Ali, Ibnu Chaldun Dan Asal Usul Sosiologi (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1997), p. 13.
5
lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332 M dan wafat pada 25 Ramadhan 808 H/ 19 Maret 1406 M.
Semasa kecilnya ia biasa dipanggil dengan Abdurrahman. Gelar yang di sandangnya ialah
Waliudin dan nama populernya adalah Ibnu Khaldun yang besar dengan nama Bani Khaldun.
Pendidikan awal diperoleh Ibnu Khaldun dari ayahnya sendiri yang merupakan seorang
tokoh yang konsen dalam bidang pendidikan. Pada masa ini ia belajar membaca dan menghafal
Alquran dan fasih dalam qira’at sab’ah (tujuh langggam membaca Alqur’an). Ia juga
memperlihatkan perhatian yang seimbang antara mata pelajaran tafsir, hadis, fiqh, dan gramatika
bahasa Arab dari sejumlah guru yang terkenal di Tunisia.10
Setelah beranjak remaja, terjadi dua peristiwa besar dalam perjalanan studi Ibnu Khaldun.
Pertama, pada masa tersebut sedang berkecamuk wabah kolera (pes) di bagian timur dan barat
yang berada di wilayah Samarkand hingga Maghribi. Wabah ini kemudian merenggut banyak
korban jiwa, di antaranya ayah, ibu, dan beberapa orang guru yang pernah mengajarnya. Kedua,
pasca kejadian wabah tersebut, banyak para cendekiawan yang berbondong-bondong untuk
meninggalkan Tunisia yang berpindah ke Afrika Utara.
Dengan terjadinya dua peristiwa ini jalan pemikiran Ibnu Khaldun berubah. Dia terpaksa
berhenti belajar dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam
pemerintahan dan peran dalam percaturan politik di wilayah itu. Keterlibatannya dalam politik
praktis menyebabkannya mendekam dalam penjara selama kira-kira dua tahun. Petualangan Ibnu
Khaldun di bidang politik ini tidak memberikannya ketenangan dan ketentraman sehinga dia
melarikan diri ke Andalusia dan berbakti kepada raja Muhammad yang sedang berkuasa di
Andalusia saat itu. Di Andalusia Ibnu Khaldun bertemu Ibnu al Khatib seorang pemikir dan
budayawan yang juga menjadi perdana menteri.
Ketika berada di Andalusia inilah Ibnu Khaldun mendapatkan tugas untuk mengadakan
perundingan dengan Pedro yang kejam, penguasa kristiani yang telah menjadikan Sevilla sebagai
ibu kotanya. Keberhasilan Ibnu Khaldun dalam perundingan ini menyebabkan raja semakin
percaya dan memberinya kedudukan penting. Keberhasilan yang diraih oleh Ibnu Khaldun ini
menimbulkan rasa isi pada sahabatnya Ibnu al Khatib, menyadari gelagat ini Ibnu Khaldun
memutuskan kembali ke Afrika Utara.
10
Sjadzali Munawir, Islam Dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1995), p.
90.
6
Namun kembali lagi ketika dia berada di Afrika utara ia terlibat kembali dalam politik
praktis yang ditandai dengan pertempuran dan persaingan yang tidak habis-habisnya antara
berbagai dinasti kecil yang ada. Hal ini membuktikan bahwa Ibnu Khaldun sangat terkenal dan
harapkan oleh setiap penguasa untuk senantiasa berada dibarisannya, karena perananya yang
demikian besar dalam setiap pertepuran. Menyadari demikian berbahanya politik praktis maka
Ibnu Khaldun memutuskan untuk bergerak dibidang ilmu pengetahuan. Karenanya Ibnu Khaldun
mengasingkan diri di tengah gurun pasir di Qol’at Bani Salamah di daerah Aljazair. Di sanalah
lahirnya Muqaddimah yang membuat namanya terkenal. Setalah empat tahun terpencil di Qol’at
Bani Salamah dia kembali ke Tunis untuk menyempurnakan tulisannya dengan menggunakan
fasilitas perpustakaan yang terdapat di Tunis. Namun karena adanya dua hal yaitu: (1) penguasa
di Tunis ingin melibatkannya dalam politik praktis, (2) para ahli ilmu pengetahuan tidak
menerimanya dengan baik bahkan menjadikannya sebagai saingan. Maka Ibnu Khaldun
meninggalkan Afrika Utara dan pergi ke Timur dengan alasan menunaikan ibadah haji.11
Di antara karya monumental Ibnu Khaldun adalah Muqaddimah yang merupakan sebuah
pendahuluan dengan konsentrasi manusia dalam kehidupan bermasyarakat serta aspek-aspek
yang akan ditimbulkan sebagai akibat dari kehidupan bermasyarakat baik dari bidang budaya,
sejarah negara, pembangunan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kandungan
yang sangat bervariasi maka buku ini bisa dikategorikan sebagai buku ensiklopedi. Luasnya
bidang keilmuan yang dijelajahi Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat tentang kategori buku tersebut pada saat ini. Akan tetapi setelah menelaah
secara keseluruhan maka orang akan merasa pasti bahwa buku ini adalah sebuah buku tentang
ilmu-ilmu sosial dan merupakan sumbangan yang sangat besar terhadap khazanah ilmu
pengetahuan manusia. Muqaddimah adalah sebuah buku yang berdiri sendiri, meskipun pada
mulanya merupakan bagian dari sebuah karya yang lebih besar yaitu buku ’Ibar (suri tauladan)
yang terdiri dari tiga jilid. Pendahuluan dan jilid pertama dari buku ’Ibar inilah yang kemudian
menjadi buku ”Muqaddimah”. Sedang jilid kedua khusus tentang sejarah bangsa Arab serta
bangsa-bangsa lain yang semasa dengannya, sedang jilid ketiga khusus membahas tentang bagsa
Berber yang berada di Afrika Utara.12
11
Maryam, ‘Kontribusi Ibnu Khaldun Dalam Historiografi Islam’, THAQAFIYYAT: Jurnal Bahasa,
Peradaban Dan Informasi Islam, 13.1 (2012), p. 211
<http://ejournal.uin-suka.ac.id/adab/thaqafiyyat/article/view/53> [accessed 5 November 2021].
12
Maryam, p. 213.
7
Faktor yang mendorong Ibnu Khaldun untuk menulis kitab al ’Ibar karena persepsinya
bahwa sejarah adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang sangat mulia. Ibnu Khaldn
menjadikan kebenaran sebagai tujuan akhir yang ingin dicapainya. Bagi Ibnu Khaldun sejarah
dibagi menjadi dua, yaitu: pertama bersifat lahir, sejarah yang dipandang luarnya yang tidak
lebih dari kisah masa-masa dan bangsa-bangsa lalu yang selalu diagung-agungkan atau
diidamkan. Kedua bersifat batin, yaitu aspek dalam dan makna dari sebuah sejarah yang menjadi
suatu renungan dan penelitian. Memunculkan teori sebab akibat dan latar belakang dari
perkembangan yang terjadi.
Pengaruh Ibnu khaldun tidak hanya dalam bidang ilmu sosial tapi juga merambah bidang-
bidang lain. Misalnya bahasa, secara ilmiah ungkapan-ungkapan bahasa yang digunakannya
belum lumrah bagi masanya. Keistimewaan Ibnu Khaldun dalam mengungkapkan bahasa ini
menyebabkan para pakar menyebutnya sebagai pakar perintis di bidang bahasa Arab. Hanya saja
karena dimasanya belum dikenal foot note maka terkesan terjadi beberapa pengulangan dalam
menyajikan gagasan, seandainya pengulangan tersebut bisa dihindari niscaya buku Muqaddimah
tidak setebal saat ini. Walaupun demikian pengulangan yang dikemukakannya tidaklah ”kering”
karena pengulangan tersebut selalu dihubungkan dengan hal yang baru dan mengemukakan segi
baru yang tidak dikemukakan pada kesempatan sebelumnya. Jika kita telaah muqaddimah, maka
bahasa yang digunakan Ibnu Khaldun adalah bahasa komunikasi dalam perkuliahan dan bukan
bahasa kitab sehingga sangat mudah untuk dicerna.
Ibnu Khaldun dianggap sebagai salah satu pencetus sejarah kritis dalam historiografi Islam.
Bagi Ibnu Khaldun, sejarah tidak hanya berisi tentang tarikh dan cerita masa lalu yang baik-baik,
apalagi cerita yang banyak bercampur dengan mitologi. Sejarah bagi Ibnu Khaldun adalah hasil
upaya dalam penemuan kebenaran, eksplanasi kritis tentang sebab dan genesis kebenaran sesuatu
serta kedalaman pengetahuan tentang bagaimana dan mengapa sebuah peristiwa itu terjadi.13
Ibnu Khaldun mendapat julukan sebagai “Bapak Filsafat Sejarah”, lewat karyanya
Muqaddimah dia menyarankan agar para pembelajar sejarah dengan sikap kritis. Hal ini lantaran
pada masanya dia banyak menyaksikan karya-karya sejarah para penulis periode klasik yang
dipenuhi cerita buatan atau menghilangkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dan sengaja
13
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah Islam (Yogyakarta: Ombak, 2019), p. 82.
8
dihilangkan dengan tujuan tertentu.14 Karyanya kitab al-‘Ibar ini berbeda dengan karya sejarah
umumnya pada masa itu. Pembahasan dalam karya ini objektif sehingga tulisan sejarahnya
terhindar dari berita-berita yang mengandung mitologi dan khayal serta didukung oleh observasi
langsung terhadap suatu peristiwa sejarah.15
Sebagai seorang sejarawan abad pertengahan, Ibnu Khadun telah membaca karya-karya
sejarawan sebelumnya yang selalu dipenuhi berita-berita yang tidak objektif. Oleh karena itu, ia
kemudian mengkritik penulisan sejarah mereka, misalnya berita tentang: keadaan Harun al-
Rasyid yang dikatakan suka minum khamr dan sering bermabuk-mabukan dalam pesta dengan
pembesar-pembesar istana.16 Menurut Ibnu Khaldun, berita-berita ini tidak benar karena Harun
al-Rasyid adalah seorang khalifah yang tekun dalam menjalankan kewajiban-kewajiban agama
dan adil dalam menjalankan tugasnya. Sebagai seorang yang taat dalam menjalankan perintah
agama, Harun al-Rasyid mustahil melakukan perbuatan yang dilarang oleh agamanya.
Pemberitaan seperti di atas pada umumnya terdapat pada karya-karya sebelum Ibnu
Khaldun (historiografi Islam klasik). Hal ini terjadi karena mereka hanya menerima berita tanpa
melakukan penyelidikan secara kritis sehingga berita tersebut secara pelan-pelan masuk ke
tulisan sejarah mereka. Akibatnya, historiografi menjadi tidak berarti dan orang-orang yang
mempelajarinya menjadi bingung.
14
Abdurrahman, p. 83.
15
Maryam, p. 214.
16
Maryam, p. 216.
17
Abdurrahman, p. 92.
9
Ibnu Khaldun kemudian berupaya untuk menghindari kesalahan dalam penulisan sejarah
sehingga dia menyatakan bahwa ada beberapa syarat agar tulisan seorang sejarawan itu diterima
oleh pembaca, yaitu antara lain sebagai berikut. Pertama, sejarawan hendaknya mengetahui
prinsip-prinsip politik, perbedaan bangsa, tempat dan periode dalam hubungannya dengan sistem
kehidupan, nilai-nilai akhlak, kebiasaan, sekte, mazhab, dan segala ihwal lainnya. Kedua,
sejarawan harus mengetahui kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan masa lalu dan masa
kini dan harus mengetahui sebab timbulnya kesamaan dalam beberapa situasi serta sebab
timbulnya perbedaan dalam situasi lainnya. Ketiga, sejarawan harus mengetahui keadaan dan
sejarah orang-orang yang mendukung suatu peristiwa. Sasarannya ialah untuk melengkapi
tentang sebab terjadinya setiap peristiwa dan mengenal asal usul suatu peristiwa. Selanjutnya, dia
harus meneliti sebuah berita yang dinukilnya dalam prinsip-prinsip dasar yang telah ia ketahui.
Apabila memenuhi syarat, maka berita itu benar; dan apabila tidak, maka berita itu harus
ditolak.18
Kajian sejarah yang ditulis oleh Ibnu Khaldun mendekati penulisan sejarah yang bermutu.
Hal ini karena dia menyandarkan pembahasan pada pengamatannya atas gejala-gejala sosial yang
terdapat pada bangsa-bangsa yang diketahuinya, hidup di tengah-tengah mereka, dan tanpa
melupakan sejarah masa lalu bangsa tersebut. Dalam pembahasan terhadap gejala-gejala sosial
ini, Ibnu Khaldun menempuhnya melalui dua tahap. Pada tahap pertama, ia melakukan
pengujian, observasi historis, pengamatan indra dan sejarah terhadap gejala-gejala sosial. Oleh
karena itu, sebagian materi sejarahnya diambil dari hasil pengamatan. Pada tahap kedua, dia
memusatkan pemikirannya atas meteri-meteri utama itu kemudian memaparkannya dalam bahasa
tulisan sehingga tercapailah tujuan yang ia maksud, yaitu menemukan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metode Ibnu Khaldun dalam menulis sejarah
adalah metode historiografi dirāyah. Metode historiografi dirāyah adalah metode penulisan yang
mementingkan kebenaran suatu sejarah sehingga sejarah yang ditulis terebut harus melalui kritik
intelektual dan rasional serta didukung oleh observasi langsung terhadap peristiwa yang
diteliti.56 Dengan metode ini Ibnu Khaldun kemudian menulis sejarah secara sistematis. Dia
menulis sejarah setiap negara dan dinasti secara teliti sejak permulaan hingga akhir sehingga
peristiwanya lebih mudah dipahami. Dia mengurutkan objek pembahasannya, mencari kaitan
18
Maryam, p. 218.
10
antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain, mengatur dalam bab-bab, memberi judul,
dan menyusun daftar isi.
D. Kesimpulan
Historiografi Islam periode pertengahan mengalami perubahan yang cukup signifikan dari
pada sebelumnya. Pada masa ini penulisan sejarah tidak lagi terpaku pada ranah politik dan
ideologis semata, namun juga melingkupi aspek yang lebih luas. Selain itu pada masa ini umat
Islam semakin beragam dengan berbagai perspektif yang melingkupinya. Pada masa ini
setidaknya terdapat tiga poros utama historiografi Islam, yaitu: Baghdad, Andalusia, dan Kairo.
Pada masa ini para sejarawan Islam berhasil menghasilkan karya luar biasa yang kelak akan
berdampak bagi kemajuan Eropa. Ibnu Khaldun menjadi tokoh paling sentral sebagai sejarawan
Islam pada periode pertengahan ini dan menghasilkan jenis penulisan sejarah kritis yang baru.
E. Referensi
a. Adab Al-Manaasik
b. Tarikh Al-Umam Al-Muluk
c. Tarikh Ar-Rusul wa Al-Muluk
d. Tarikh At-Tabari24
4. Snouk Hurgronje
Prof. Dr. Snouck Hurgronje merupakan orientalis Belanda. Snouck lahir di Tholen,
Oosterhout pada tanggal 08 Februari 1857 dan wafat di Leiden pada tanggal 26 Juni 1936.
Setelah Snouck masuk Islam, maka Namanya berubah menjadi Abdul Ghaffar. Metode yang
digunakan dalam menulis karyanya ialah metode pendekatan fenomenologi. Karya Snouck yang
paling terkenal ialah;
a. De Atjehers
b. Kejahatan Aceh
c. Perkembangan Politik Islam
d. Islam dan Pemikiran Modern25
5. Philip K. Hitti
Philip merupakan orientalis dan Islamolog ternama, yang memperkenalkan sejarah
kebudayaan Arab ke Amerika. Philip merupakan penulis sejumlah buku dan spesialis sejarah
negara-negara Arab dan peradaban lainnya. Tulisan dan hipotesisnya memperbanyak khazanah
sejarah. Karyanya yang terkenala ialah The History of Arabs dan Islam and the west: An
Historycal, cultural survey.
6. Azyumardi Azra
Prof. Dr. Azyumardia Azra merupakan akademisi dan cendekiawan Muslim asal
Indonesia. Azra lahir di Lubuh Alung, Padang Pariaman, Sumatera Barat tanggal 04 Maret 1955.
Prof Azra dikenal sebagai Profesor yang ahli sejarah, social, dan intelektual Islam. Karyanya
yang paling terkenal adalah:
a. Jaringan Ulama
b. Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah
c. Isla Nusantara: Jaringan Global dan local.
24
Gumilar,Historiografi Islam, p.174
25
Fajriudin, Historiografi Islam, p. 114