Anda di halaman 1dari 9

INTERFERENSI FONOLOGI BAHASA BANJAR TERHADAP BAHASA

INDONESIA
AYU RISKY
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada

Abstract
This study aims to show the interference in Indonesian that takes place when a native
Banjarese speaker converses in Indonesian. Phonological interference can take many
different forms. This study also explains how the interference's rules are created, allowing the
general public to recognize language interference as a common occurrence and stop feeling
alienated by it. This study will explore the types of phonological interference that speakers of
the Banjarese language cause to occur to Indonesian in the form of a descriptive qualitative
study. It was found that there was a phonological process. The change of the first vowel
sound [e] into a vowel sound [a] occurs in almost all words that have the first vowel sound [e]
after the first consonant whose position is at the beginning of a word. There is a sound change
from /u/ which was previously the word /kamu/ BI to /ɪ/ in the word /ɪkam/ the vowel sound
has shifted from the beginning at the end of the consonant to the beginning of the word. Next,
the reduction in phonemic sounds as a result of efforts to save or save costs pronunciation
commonly called the zeroization process.
Pendahuluan
Bahasa Indonesia merupakan bahasa dengan sejarah yang sangat panjang yang
sekaligus menyandang status sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa negara.
Prasasti atau inkripsi yang tersebar luas di seluruh pulau Sumatera, Jawa, Bangka, dan
Semenanjung Malaya menjadi bukti awal keberadaan bahasa Indonesia yang dikenal sebagai
bahasa Melayu sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. (yang sekarang menjadi bagian
dari Negara Bagian Malaysia).
Meskipun terdapat banyak persamaan atau persamaan dalam bahasa tersebut, bahasa
daerah di Indonesia memiliki berbagai perbedaan dalam cara pengucapan kata-kata tertentu.
Dengan membandingkan kedua bahasa daerah tersebut dilihat dari persamaan atau kemiripan
bunyi bahasanya, tentu hal ini menjadi bahan yang menarik untuk dikaji dan diteliti.
Mayoritas orang Indonesia adalah multibahasa secara alamiah. Di Indonesia, hampir
semua suku bangsa memiliki bahasa ibu atau bahasa pertama yaitu bahasa daerah (B1).
Selain itu, mereka mahir berbahasa Indonesia, bahasa kedua (B2). Bahasa daerah suku
bangsa lain menggantikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua penduduk setempat di
beberapa daerah. Sebagai bahasa ketiga, bahasa Indonesia. Bahkan masyarakat Indonesia
yang berpendidikan mampu berbicara dan memahami lebih dari dua atau tiga bahasa,
termasuk bahasa Indonesia, bahasa daerah yang digunakan oleh suku tetangga, dan bahasa
lainnya. Akibatnya, orang Indonesia dapat digolongkan sebagai anggota komunitas
dwibahasa atau bahkan multibahasa. Hal ini juga terjadi pada Masyarakat Banjar di
Kalimantan.
Namun, Fenomena interferensi secara langsung mempengaruhi penggunaan bahasa
Indonesia terutama pada saat berpindah ke lingkungan yang baru. Mereka secara tidak sadar
menggunakan bahasa daerah dalam bahasa Indonesia ketika berbicara dengan penutur Bahasa
Indonesia lainnya.
Peristiwa interferensi atau peristiwa digunakannya unsur-unsur bahasa lain dalam
menggunakan suatu bahasa dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari
kaidah atau aturan bahasa yang digunakan dikarenakan tidak ada padanannya dalam bahasa
pertama, sehingga menimbulkan gangguan.
Gangguan ini tidak hanya dialami oleh orang dewasa, tetapi juga remaja dan balita.
Anak-anak adalah kelompok yang paling jelas mengalami gangguan karena, selain dari
bahasa ibu mereka, unsur-unsur linguistik lingkungan memiliki dampak yang signifikan pada
pengembangan kemampuan linguistik seseorang selama perkembangan, sehingga tidak
terhindarkan bagi anak-anak kecil untuk menghadapinya..
Kajian ini didasarkan pada anggapan sementara bahwa Interferensi bahasa, dalam hal
ini Bahasa Indonesia dan bahasa Banjar, bisa terjadi ketika orang itu sedang menyesuaikan
diri di lingkungan yang baru. Kajian ini akan berfokus pada Interferensi Fonologi yang mana
mengkaji tentang kesalahan bunyi oleh penutur asli Bahasa Banjar ketika berkomunikasi
dalam Bahasa Indonesia.
Kajian Teori
KBBI mendefinisikan analisis sebagai penyelidikan terhadap suatu peristiwa (tulisan,
perbuatan, dll) untuk memastikan keadaan yang sebenarnya (sebab, situasi, dll); pembagian
subjek menjadi bagian-bagian komponennya dan studi tentang bagian-bagian itu sendiri dan
hubungan antara bagian-bagian penyusunnya untuk memastikan pemahaman dan pemahaman
yang tepat tentang makna keseluruhan.
Analisis pada hakikatnya adalah proses mengklasifikasi, mengkarakterisasi,
membedakan, dan menyusun informasi menurut standar tertentu sebelum menentukan
signifikansi dan hubungannya. Sedangkan dalam linguistik, analisis mengacu pada studi
bahasa untuk menggali lebih dalam tentang apa dan bagaimana struktur bahasa itu.
Kemudian, studi bahasa berkembang menjadi linguistik menjadi bidang akademis
yang berbeda. Suatu disiplin ilmu yang mempelajari bahasa secara luas dan umum inilah
yang dinamakan linguistik. Linguistik mempelajari tentang semua aspek dan elemen yang
membentuk bahasa. Bahasa selain bahasa Inggris, bahasa Indonesia, atau bahasa Jawa
termasuk dalam kajian linguistik, yang mencakup semua bahasa yang digunakan di seluruh
dunia.
Sebagai sebuah kajian nuansa bahasa, linguistik—atau apa pun yang terkait dengan
linguistik—pasti akan menghadirkan tantangan saat dipelajari. Kita dapat berjuang untuk
menyelesaikan penelitian kita jika kita tidak memiliki pemahaman linguistik yang cukup.
Untuk mempermudah pelaksanaan studi, diperlukan pemahaman yang memadai tentang
linguistik. Karena bahasa adalah alat komunikasi terbaik yang dimiliki manusia dibandingkan
dengan organisme lain, linguistik akan membantu kita lebih memahami semua aspek alam
dan fungsi bahasa dalam kehidupan sosial.
Lima bidang penelitian yang membentuk linguistik adalah fonologi, morfologi,
sintaksis, pragmatik, dan linguistik teoretis. Fonologi berkaitan dengan urutan bunyi,
morfologi dengan detail kata, dan pragmatik dengan detail kalimat. 4. Makna kalimat
tercakup dalam semantik. Selain itu, analisis pragmatik melihat komponen bahasa yang
digunakan baik dalam sinyal maupun sebagai bentuk komunikasi antara penutur selama
semua tindak tutur. Lima contoh yang diberikan di atas semuanya terkait erat.
Dalam perkembangan bahasa yang dipelajari dan diteliti secara khusus, kajian bahasa
dilakukan baik secara internal maupun internal, hanya mengkaji struktur internal bahasa,
dalam hal ini struktur fonologis, morfologis, dan sintaksis yang akan memberikan penjelasan
tentang bahasa tersebut. bahasa tanpa variabel lain. Karena bahasa adalah suatu sistem
dengan struktur mengenai bunyi dan memiliki urutan bunyi yang digunakan untuk
berkomunikasi antara individu dan kelompok manusia dan melabeli objek, peristiwa, dan
semua proses, studi eksternal mengkaji bagaimana bahasa digunakan oleh penggunanya
dalam masyarakat. kelompok dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain di luar bahasa untuk
menghasilkan metode yang berkaitan dengan kegunaan penggunaan bahasa dalam aktivitas
manusia di lingkungannya dengan pendekatan studi fonologi.
Fonologi adalah cabang tata bahasa yang mengkaji bunyi bahasa secara umum dan
termasuk cabang linguistik. Komponen terkecil dari segmentasi atau pemutusan suatu ujaran
adalah bunyi ujaran. Tujuan bunyi ujaran adalah untuk membedakan antara makna yang
berbeda (Sumaryanto, 2010). Suara membentuk bahasa ucapan. Bukan sembarang suara,
tetapi suara tertentu yang sedikit berbeda tergantung pada bahasanya. Fonem adalah bunyi
yang diteliti untuk menentukan maknanya. Satuan bunyi terkecil yang diciptakan oleh fonetik
dan fonologi disebut fonem. Dalam fonetik, bunyi bahasa diperiksa dalam kaitannya dengan
cara pengucapannya dan karakteristik akustiknya. Berbeda dengan fonetik, ilmu fonologi
menganalisis bunyi suatu bahasa berdasarkan tujuannya (Verhaar, 2010).
Pada dasarnya, bunyi dan kombinasi bunyi adalah dasar dari semua bahasa. Bunyi
suatu bahasa tersusun atas sistem bunyi bahasa yang terkandung dalam kata-kata, berbeda
dengan bunyi bahasa pada umumnya, yaitu bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat bicara
manusia yang menggunakan bahasa tersebut. Fonetik dan fonemik adalah dua komponen
fonologi.
Sub-bidang linguistik yang disebut fonetik mempelajari dasar-dasar "fisik" bunyi
bahasa. Ada dua komponen "fisik" yang mendasar: penggunaan alat bicara untuk
menciptakan bunyi bahasa dan karakteristik akustik dari bunyi yang dihasilkan. Dasar
pertama mengklaim bahwa fonetik juga dikenal sebagai "fonetik artikulatoris" atau "fonetik
organik" karena menggunakan keterampilan berbicara (karena melibatkan artikulasi bunyi
bahasa). Alasan kedua mengklaim bahwa fonetik dikenal sebagai "fonetik akustik" karena
mengkaji bagaimana bahasa terdengar dari perspektif getaran udara. Mayoritas fonetik
akustik didasarkan pada fisika suara dan diterapkan pada suara linguistik (Verhaar, 2010).
Tanpa mempertimbangkan bunyi sebagai cara untuk membedakan makna kata-kata, fonetik
adalah ilmu yang secara teratur menyelidiki dan berupaya menetapkan gagasan tentang
bagaimana bunyi dihasilkan, ditransmisikan, dan diterima. Misalnya, suara [n] adalah suara
alveolar nasal, sedangkan suara [b] adalah suara bilabial yang dihambat. Sabtu dieja [b],
tetapi diucapkan [p], yang membedakannya dari ejaan Banjar. /t/ dan /p/ pada kata-kata tadi
dan padi tidak sama atau berbeda secara fonemik. Selanjutnya, fonemik adalah ilmu yang
mengkaji dan meneliti tata bunyi bahasa yang berfungsi untuk memisahkan makna.
Setiap bahasa memiliki hukum khusus yang mengatur prinsip-prinsip linguistiknya,
terutama yang mengatur urutan fonem. Phonotactics adalah aturan yang menentukan fonem
mana yang termasuk dalam suatu bahasa dan mana yang dikecualikan. Pola fonotaktik adalah
aturan yang mengatur bagaimana bunyi dalam kata-kata—dasar atau turunan—pergeseran
pengucapan sebagai akibat dari bunyi lingkungan (baik sebelum dan sesudah). Bunyi fonem
yang sama berubah sebagai akibat dari pergeseran ini. Prinsip-prinsip yang memandu
penyelarasan fonem-fonem dalam kata-kata bahasa Banjar, yang dikenal sebagai fonotaktik
bahasa Banjar, menunjukkan baik sistem yang mungkin terjadi dalam penyelarasan fonem-
fonem ini maupun urutan potensialnya. Distribusi fonem bahasa Banjar adalah nama lain dari
keselarasan fonem ini.
Sebagai salah satu bahasa yang paling banyak digunakan di Indonesia, banjar telah
ada selama ratusan atau mungkin ribuan tahun. Masyarakat Banjar telah bertahan dan
terlembagakan sebagai kelompok sosial budaya yang berbeda dengan masyarakat sosial
budaya lainnya di nusantara, menurut Djantera Kawi (2002). Orang Banjar berbicara bahasa
Banjar sebagai bahasa ibu dan bentuk komunikasi utama mereka. Suku Banjar awalnya hidup
di seluruh provinsi Kalimantan Selatan, dan setelah sekian lama melakukan migrasi atau
percampuran penduduk, suku Banjar berkembang dan menyebar ke seluruh Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Timur. Suku Banjar juga tersebar di luar pulau Kalimantan, dimana
di beberapa lokasi di pulau Sumatera telah lama menjadi pemukiman pendatang dari Banjar,
seperti di Tungkal, Sapat, dan Tambila. (Abdul Djebar Hapip, 2008).
Masyarakat Banjar sering berinteraksi dengan suku Dayak, Jawa, dan Madura dalam
kehidupan sehari-hari. Karena kedekatan suku Banjar dengan suku lain, bahasa-bahasa di
sekitarnya berdampak pada bahasa Banjar (Hestiyana, et al., 2010).
Dalam meneliti tata bunyi atau fonologi bahasa Banjar perlu diketahui dan dipahami
bahwa bahasa Banjar dipakai oleh sebagian besar masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan
maupun Kalimantan Tengah. Kenyataan ini menyebabkan bahasa Banjar mengenal dua
sistem atau lebih di dalam tata bunyinya yang dikenal dengan istilah diasistem. Gejala
diasistem ini terjadi karena pengaruh fonem bahasa daerah dan fonem bahasa lain terhadap
fonem bahasa Banjar. Dalam batas-batas tertentu menurut gejala diasistem ini dapat diterima
oleh masyarakat.
Karena tidak mengetahui masalah tersebut, masyarakat Banjar kurang memperhatikan
bahasa bunyi dan tata bahasa bunyi bahasa banjar. Sekalipun bunyi bahasa merupakan sarana
komunikasi bagi penutur untuk berkomunikasi secara efektif, mereka menganggap bunyi
bahasa dan bunyi bahasa Banjar tidak penting.
Bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan alat bicara manusia akan bergabung dan
membentuk kata atau kalimat. Kata atau kalimat yang dibentuk dari bunyi bahasa akan
diucapkan bersama-sama. Bunyi-bunyi yang diucapkan bersama-sama saling mempengaruhi
satu dengan yang lain. Adanya pengaruh bunyi bahasa satu terhadap bunyi bahasa yang lain
menimbulkan beberapa peristiwa bahasa (Dewi, 2009). Peristiwa ini salah satunya adalah
Interferensi.
Interferensi adalah fenomena linguistik yang terjadi ketika seseorang mempelajari
bahasa kedua atau bahasa Asing. Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich
(1968) untuk menunjukkan adanya sistem linguistik tertentu yang dihubungkan dengan
persuasi linguistik lain yang dilakukan oleh guru bilingual. Bahasa memiliki sistem.
Perubahan sistem bahasa dianggap sebagai pelanggaran norma gramatikal bahasa itu sendiri.
Gangguan linguistik terjadi ketika bagian yang terisolasi dari satu bahasa muncul dalam
bahasa lain. Ketika orang bilingual dan multilingual menggunakan dua bahasa secara
bersamaan dalam suatu ujaran, interferensi dapat terjadi. Hal ini dapat terjadi pada fonem,
morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Pada tingkat fonologis, morfologis, sintaksis,
leksikal, dan semantik, interferensi dapat diamati.
Menurut Weinrich (1968), faktor-faktor berikut berkontribusi terhadap interferensi:
(1) kedwibahasaan peserta tutur; (2) memudarnya loyalitas pengguna terhadap bahasa
penerima; (3) kurangnya kosakata dalam bahasa penerima dalam menghadapi kemajuan dan
pembaruan; (4) hilangnya kata-kata yang jarang digunakan; dan (5) kebutuhan akan sinonim.
Hartman dan Bangau menambahkan satu elemen lagi, khususnya bahwa kebiasaan B1 sudah
tidak terkendali.
Interferensi bahasa sangat dipengaruhi oleh karakteristik bahasa yang memadai. Ada
masa ketika orang yang terbiasa berbicara dalam bahasa daerah dalam percakapan sehari-hari
akan melakukannya. Selama dia bilingual, mungkin ada gangguan karena retensi pola bicara
asli atau penggabungan dialek bahasa ibu ke dalam bahasa kedua. Usia adalah masalah lain
yang mengganggu karena diakui bahwa variasi usia dapat mempengaruhi seberapa baik
seseorang berbicara. Karena penuaan juga berdampak pada memori, orang tua lebih banyak
mengalami gangguan berdasarkan variabel kebiasaan. Sulit untuk mencegah peristiwa
interferensi ini dalam pemerolehan bahasa, terutama pada orang lanjut usia. Unsur
pendidikan merupakan aspek lain yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya gangguan.
Semakin baik keterampilan dan kesadaran linguistik seseorang, semakin terdidik mereka.
Setidaknya mereka mampu berkomunikasi secara etis. Kecakapan intelektual membantu
dalam penguasaan.
Unsur pendidikan merupakan aspek lain yang mempengaruhi kemungkinan terjadinya
gangguan. Semakin baik keterampilan dan kesadaran linguistik seseorang, semakin terdidik
mereka. Setidaknya mereka mampu berkomunikasi secara etis. Kecakapan intelektual
membantu dalam penguasaan. Prinsip-prinsip linguistik adalah bagian dari ilmu pengetahuan.
Menyampaikan cita-cita, pengalaman, dan keterampilan—kognitif, praktis, dan psikomotorik
—adalah proses pendidikan. Bahasa memainkan peran penting dalam proses pendidikan
bahasa karena digunakan untuk menyampaikan pengalaman, nilai, dan kemampuan ini.
Perpindahan penduduk berdampak pada frekuensi gangguan selain faktor usia, pendidikan,
dan gaya hidup. Salah satu variabel multibahasa adalah mobilitas penduduk. orang-orang
yang bergerak di dalam atau di luar hambatan bahasa, ras, dan nasional. Perubahan populasi
mempengaruhi sistem sosial dan sistem budaya, menjadikannya masalah sosiologis juga.
Tujuan mobilitas ini merupakan salah satu ciri perpindahan penduduk yang memperhatikan
kontak linguistik.
Perpindahan penduduk juga berdampak pada Interferensi bahasa selain faktor usia,
pendidikan, dan gaya hidup. Salah satu variabel multibahasa adalah mobilitas penduduk.
orang-orang yang bergerak di dalam atau di luar hambatan bahasa, ras, dan nasional.
Perubahan populasi mempengaruhi sistem sosial dan sistem budaya, menjadikannya masalah
sosiologis juga. Tujuan mobilitas ini merupakan salah satu ciri perpindahan penduduk yang
memperhatikan kontak linguistik.
Kajian Pustaka
Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang dirasa mampu menunjang
penelitian ini baik dari segi teori maupun analisis:
Penelitian pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Sudarmo dengan judul
Fonotaktik Bahasa Banjar yang dipublikasikan pada tahun 2016 dalam jurnal JBSP.
Penelitian tersebut berkaitan dengan distribusi fonem dan aturan fonemis bahasa Banjar
dengan menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk menentukan distribusi fonem
dan aturan fonemis perubahan juga menggambarkan atau menjelaskan peristiwa atau kejadian
secara objektif. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian Sudarmo tersebut terletak
pada objek kajian serta subjek kajian. Subjek kajian penelitian tersebut tidak disebutkan
secara jelas merujuk kepada bahasa Banjar Kuala atau bahasa Banjar Hulu, dan objek kajian
dari penelitian tersebut adalah fonotaktik dengan analisis struktur silabik. Sedangkan
penelitian ini lebih merujuk kepada bahasa Banjar yang digunakan oleh Penutur Banjar Kota
yang sudah tercampur dengan Bahasa Indonesia. Beberapa fonem yang ada dalam bahasa
Banjar terpapar jelas dalam penelitian tersebut sehingga memudahkan penulis untuk
membuat daftar fonem apa saja yang ada dalam bahasa Banjar lalu membuat kaidah
perubahan bunyi yang terjadi.
Penelitian kedua adalah Interferensi Fonologis Penutur Bahasa Melayu Kupang ke
Dalam Bahasa Indonesia di Kota Kupang yang ditulis oleh Agnes Maria Diana Rafael pada
tahun 2019 dalam jurnal HUMANIORA. Penelitian tersebut mendeskripsikan bentuk
fonologis dari interferensi Bahasa Melayu Kupang (BMK) ke dalam Bahasa Indonesia
beserta dengan 137 faktor yang menyebabkan terjadinya interferensi tersebut. Penelitian
tersebut memiliki perbedaan objek kajian dengan penelitian ini. Penelitian Rafael tersebut
memberikan sumbangsih pengetahuan kepada peneliti tentang bagaimana membentuk sebuah
penelitian tentang interferensi yang dilihat dari sudut pandang fonologi, serta bagaimana
mendeskripsikan interferensi kebahasaan tersebut berdasarkan aspek fonologis yang ada.
Penelitian ketiga adalah interferensi bahasa daerah terhadap bahasa indonesia lisan
masyarakat kabupaten serang provinsi Banten oleh Asep Muhyidin pada tahun 2016 dalam
jurnal Membaca. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses interferensi bahasa ibu
pada penggunaan bahasa Indonesia secara lisan pada masyarakat Serang Provinsi Banten.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan secara sistematis proses interferensi di
Kabupaten Serang terhadap bahasa Indonesia yang digunakan oleh masyarakat di Kabupaten
Serang sebagai penutur dwibahasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa interferensi terdapat
pada fitur leksikal, morfologi dan sintaksis.
Penelitian keempat adalah interferensi fonologis bahasa banjar hulu pada masyarakat
banjar dalam berbahasa Indonesia pleh Ahmad Imam Muttaqin dalam Jurnal Dialektika pada
tahun 2021. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap interferensi yang terjadi pada Bahasa
Indonesia saat seorang penutur asli Bahasa Banjar Hulu bertutur dengan Bahasa Indonesia.
Terdapat beberapa bentuk interferensi fonologis yang terjadi. Penelitian ini juga mengungkap
bagaimana kaidah dari interferensi tersebut sehingga masyarakat luas tidak akan merasa asing
lagi akan interferensi yang terjadi ini dan dapat memaklumi fenomena interferensi
kebahasaan itu sendiri sebagai suatu fenomena normal.
Penelitian kelima adalah interferensi fonologis bahasa melayu kedalam bahasa
Indonesia oleh Muhammad Syachrun Sjam dan Muhammad Hasyim pada tahun 2022. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui wujud interferensi fonologi bahasa Melayu ke dalam
bahasa indonesia. Jenis penelitian ini merupakan deskriptif kualitatif sesuai dengan fokus
penelitian makalah ini, data yang dianalisis berasal dari korpus yang berkaitan dengan
interferensi fonologis. Di bawah ini dipaparkan pembatasan definisi interferensi fonologis
yang diteliti. Data diperoleh melalui teknik simak libat cakap serta wawancara. Selama
observasi dan wawancara, peneliti menyimak dan membuat catatan yang memuat tentang
kata dan kalimat yang memiliki potensi interferensi, dengan menggunakan kajian
sosiolinguistik dan fonologi.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif.
Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis objek yang tidak bisa diukur
menggunakan angka atau data statistik. Sumber data dalam penelitian ini adalah bersumber
dari percakapan seorang mahasiswi dari Fakultas Ilmu social dan Ilmu Politik dengan peneliti
sendiri. Disamping itu sumber data penelitian tentang interferensi Bahasa Banjar berasal dari
buku dan karya ilmiah. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan (observasi), dan
catatan lapangan. Data dianalisis dengan menggunakan metode informal. Penyajian informal
yaitu berupa rumusan dengan menggunakan kata-kata biasa.
Hasil dan Pembahasan
Wujud interferensi Bahasa Banjar dalam berbahasa Indonesia mahasiswi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yaitu interferensi fonologis. Interferensi fonologis adalah suatu
proses yang berusaha menerangkan perubahan-perubahan morfem atau kata berdasarkan ciri-
ciri pembeda secara fonetis. Perubahan biasanya terjadi seperti penghilangan fonem pada
awal, tengah, dan akhir atau melalui proses penggantian fonem, pelesapan fonem,
penggantian suku kata, dan pelesapan suku kata. Berikut adalah wujud interferensi fonologis
dalam berbahasa Indonesia mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada.
Proses pergantian fonem yang seartikulasi, fonem yang sama dijadikan tidak sama.
Perubahan biasanya terjadi pada fonem awal, tengah, dan akhir. Fonem dalam Bahasa
Indonesia yang diganti dengan fonem Bahasa Banjar dinyatakan pada tabel berikut.
Tabel 1
No Bahasa Indonesia yang mengalami Bahassa Indonesia Baku
interferensi dari Bahasa Banjar
1 Aku balum makan Aku belum makan.
2 Pusing kapalaku habis mengerjakan Pusing kepalaku sehabis mengerjakan
tugas tugas
3 Ikam sudah beli buku? Kamu sudah beli buku?
4 Meminjam sapida ada dimana ya? Meminjam sepeda ada dimana ya?
5 aku tatawa mendengarnya Aku tertawa mendengarnya
6 Barapa harganya? Berapa harganya?
7 Iya jua sih Iya juga sih
8 Sudah balajar fonologi? Sudah belajar fonologi?
9 Aku handak pergi ke kampus Aku hendak pergi ke kampus
10 Kita beli ja Kita beli saja

Berdasarkan data di atas, penanggalan sekaligus penggantian fonem ditengah kata


paling banyak terjadi di fonem vokal pertama dalam kata-kata BI. Misalnya saja perubahan
bunyi dalam BI dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau
berbeda yaitu dari /e/ menjadi /a/ pada kata /belum/ dalam BI menjadi /balum/ BB pada data
1. Terjadi perubahan bunyi dari /u/ yang sebelumnya kata /kamu/ BI menjadi /ɪ/ pada kata
/ɪkam/ bunyi vocal mengalami pergeseran dari yang awalnya di akhir konsonan menjadi di
awal kata. Berdasarkan kata /tertawa/ BI dilafalkan menjadi /tatawa/ BB. Vokal depan /e/
mengalami perubahan menjadi vokal /a/, selain itu terjadi pelesapan bunyi konsonan getar
alveolar /r/ setelah vokal /a/ pada data 5. Perubahan bunyi vokal pertama [e] menjadi bunyi
vokal [a] terjadi hampir pada seluruh kata yang memiliki bunyi vokal pertama [e] setelah
konsonan pertama yang posisinya diawal sebuah kata misalnya saja pada data 2, 5, 6, 8 dan 9.
Dari data di atas juga muncul penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat dari upaya
penghematan atau ekonomisasi pengucapan yang biasa disebut proses zeroisasi pada data 7
/jua/ dan data 10 /ja/.
Analisis pengaruh bahasa daerah terhadap penggunaan bahasa Indonesia berdasarkan
hasil penelitian perkembangan bahasa Indonesia pada Mahasiswi ini sangat dipengaruhi oleh
bahasa daerah ketika mahasiswi mengenal lingkungan dan teman-teman. Nampak pada
bahasa yang digunakan Mahasiswi yang diobservasi oleh peneliti, karena di sekolah mereka
menggunakan bahasa Indonesia dan Bahasa Banjar sehingga ketika mereka mulai
berkomunikasi dengan teman-teman yang menggunakan Bahasa banjar sebelumnya, maka
bahasa yang didengar dari luar maupun lingkungan itu sendiri akan ikut masuk dalam bahasa
yang mereka gunakan. Namun ketika siswa tersebut sudah mulai banyak bergaul dengan
lingkungan baru, bahasa mereka mengalami pergeseran aliran bahasa pada siswa saling
mempengaruhi. Interferensi Bahasa yang cukup signifikan terjadi ketika Mahasiswi tersebut
secara tidak sadar berusaha untuk berbicara dengan Bahasa Indonesia.
Faktor-faktor penyebab terjadinya interferensi Bahasa Banjar ke dalam Bahasa
Indonesia meliputi: (1) Faktor kedwibahasaan bahasa penutur. Penutur Bahasa Banjar
sebelumnya sangat kental akan budaya daerahnya yang mayoritas berbahasa daerah yang
dicampur dengan Bahasa Indonesia bahkan saat pembelajaran di sekolah sebelumnya
berlangsung. Bahasa Banjar telah dijadikan sebagai lingua franca untuk menjembatani
perbedaan bahasa yang beraneke ragam dalam satu peristiwa tutur di tempat tinggal penutur.
Tingginya intensitas penggunaan Bahasa Banjar menyebabkan para penutur Bahasa Banjar
terbiasa berbicara dengan penutur lainya menggunakan Bahasa Banjar baik di dunia
Pendidikan dalam kondisi formal maupun informal. Akibatnya interferensi fonologis Bahassa
Banjar ke dalam Bahasa Indonesia tidak dapat dihindari. Pengamatan peneliti sepanjang
penelitian menunjukan bahwa sangat sedikit interaksi antara orang-orang yang
berkomunikasi sehari-hari menggunakan BI sebelumnya. Mereka cenderung memilih
berkomunikasi sehari-hari menggunakan Bahasa Banjar dari pada menggunakan Bahasa
Indonesia. Bahasa Banjar telah menjadi bahasa pemersatu antara warga masyarakat di Kota
Palangka Raya.
Kelebihan penelitian ini yaitu terdapat kata Bahasa banjar dalam kalimat berbahasa
Indonesia. Penelitian ini banyak memberi manfaat terhadap pemakai bahasa bilingual,
terutama bagi penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia dapat mempelajari dan kenal tentang
Bahasa Banjar. Sebelumnya, mereka hanya mengenal bahasa Indonesia, tetapi sekarang
mereka mengenal dan mempelajari Bahasa Banjar. Mereka dapat menguasai beberapa kosa
kata Bahassa Banjar dan dapat berbicara dengan menggunakan Bahasa Banjar. Hal ini
menunjukan bahwa mereka dapat menggunakan lebih dari satu bahasa secara bergantian.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil di atas maka dapat disimpulkan bahwa Wujud interferensi BM
dalam berbahasa Indonesia mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin dalam
bentuk interferensi fonologi adalah sebagai berikut.
Penanggalan sekaligus penggantian fonem ditengah kata paling banyak terjadi di
fonem vokal pertama dalam kata-kata BI. Misalnya saja perubahan bunyi dalam BI dari dua
bunyi yang sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda yaitu dari /e/
menjadi /a/ pada kata /belum/ dalam BI menjadi /balum/ BB pada data 1.
Perubahan bunyi vokal pertama [e] menjadi bunyi vokal [a] terjadi hampir pada
seluruh kata yang memiliki bunyi vokal pertama [e] setelah konsonan pertama yang posisinya
diawal sebuah kata misalnya saja pada data 2, 5, 6, 8 dan 9. Selanjutnya, penghilangan bunyi
fonemis sebagai akibat dari upaya penghematan atau ekonomisasi pengucapan yang biasa
disebut proses zeroisasi pada data 7 /jua/ dan data 10 /ja/.
Terjadi perubahan bunyi dari /u/ yang sebelumnya kata /kamu/ BI menjadi /ɪ/ pada
kata /ɪkam/ bunyi vocal mengalami pergeseran dari yang awalnya di akhir konsonan menjadi
di awal kata. Berdasarkan kata /tertawa/ BI dilafalkan menjadi /tatawa/ BB. Vokal depan /e/
mengalami perubahan menjadi vokal /a/, selain itu terjadi pelesapan bunyi konsonan getar
alveolar /r/ setelah vokal /a/ pada data 5.
Saran
Penelitian ini bukanlah penelitian tuntas, masih perlu adanya tindak lanjut, yaitu
meneliti keberadaan fonem pada penggabungan dua buah morfem yang berbeda. Morfem-
morfem itu bila dipertemukan akan menggubah struktur fonem yang diikutinya. Begitu juga
pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa asing terhadap keberadaan fonem bahasa Banjar. Hal
ini perlu diteliti secara khusus, yaitu tentang pengaruh bahasa Indonesia dan bahasa asing
terhadap bahasa Banjar dalam kajian linguistic lainnya.

Referensi
Arikunto, Suharsimi. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta
Dewi, Wendi Widya Ratna. 2009. Fonologi Bahasa Indonesia. Klaten: Intan Pariwara.
Hapip, et.al. 1981. Struktur Bahasa Banjar Kuala. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Hapip, Abdul Djebar. 2008. Kamus Banjar Indonesia. Banjarmasin: PT Grafika Wangi
Kalimantan
Hestiyana, dkk. 2010. Tata Bahasa Praktis Untuk Pengajaran Bahasa Banjar. Banjarbaru:
Balai Bahasa
Kawi, Djantera. 2002. Bahasa Banjar Dialek dan Subdialeknya. Banjarmasin: Grafika Wangi
Kalimantan.
KamusBesar Bahasa Indonesia
https://kbbi.web.id/analisis (07 Oktober 2022)
Muhyidin, A. (N.D.). INTERFERENSI BAHASA DAERAH TERHADAP BAHASA
INDONESIA LISAN MASYARAKAT KABUPATEN SERANG PROVINSI BANTEN.
13.
Muttaqin, A. I. (N.D.). INTERFERENSI FONOLOGIS BAHASA BANJAR HULU PADA
MASYARAKAT BANJAR DALAM BERBAHASA INDONESIA. 19.
Rafael, A. M. (2019 ). Interferensi Fonologis Penutur Bahasa Melayu Kupang ke Dalam
Bahasa Indonesia di Kota Kupang yang. HUMANIORA, 47-58
Sjam, Muhammad Syachrun et. Al. 2022. INTERFERENSI FONOLOGIS BAHASA
MELAYU KEDALAM BAHASA INDONESIA. Journal of Innovation Research and
Knowledge
Suandi, Nengah. (2014). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudarmo. 2017. Fonotaktik Bahasa Banjar (Banjarese Phonotactic). Universitas Lambung
Mangkurat
Sumaryanto. 2010. Ensiklopedia Bahasa Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu.
Weinreich, U. 1968. Language in Contact. London: Mouton & C
Verhaar, JWM. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Anda mungkin juga menyukai