Anda di halaman 1dari 104

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/327110775

Pengantar ilmu hukum

Book · August 2017

CITATIONS READS

0 106,703

1 author:

Angger Saloko
Universitas Islam Nusantara
10 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Project Citizen Research View project

Project Based Learning Research View project

All content following this page was uploaded by Angger Saloko on 20 August 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Bagian 1

Definisi dan Pemahaman

Pengertian atau konsep sebenarnya merupakan abstraksi dan apa


yang konkrit, individual dan dikenal dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan dirumuskan atau dijadikan pengertian atau konsep hukum,
maka perumusan dan ruang lingkupnya menjadi jelas dan tegas.
Pengertian hukum sebenamya merupakan pengertian ilmiah dan
mempunyai batas yang tegas, sehingga berbeda dengan pengertian
keseharihan. Apabila pengertian hukum tersebut berasal dan
pengertian sehari-hari, misalnya yang digunakan dalam undang-
undang atau dalam putusan hakim, maka pengertian tersebut akan
memperoleh batasan yang tegas.
Olehkarenanya pada awal Bagian 1 Buku Ajar ini, capaian mata
kuliah yang hendak dicapai adalah perihal Tujuan Kurikuler Mata
Kuliah Ilmu Hukum dan Ilmu Hukum sebagai Ilmu Tentang
Kenyataan.

Manusia sebagai makhluk yang dikaruniai akal pikiran oleh Tuhan


Yang Maha Esa menjadikannya sebagai pembeda. Ketika manusia
memikirkan hal yang sama dengan lainnya, tentu akan terdapat berbagai
persepsi masing-masing sesuai sudut pandang pemikirannya. Jika kita
membahas suatu definisi ilmu hukum, dapat dianalogikan saat kita
bertanya bahwa apakah ilmu hukum?. Jawaban dari pertanyaan tersebut
akan didapat seberapa banyak manusia yang ditanyakan dari pertanyaan
tersebut, ini sejalan dengan kata bijak asing yaitu quot homines, tot
sententiae berarti sebanyak-banyaknya jumlah manusia maka sebanyak itu
pula definisinya. Berdasar dari realita begitu banyaknya orang dalam
mendefinisikan ilmu hukum, beberapa ilmuan yang mempelajari ilmu
hukum justru merasa tidak mampu untuk mendefinisikan ilmu hukum
berdasarkan persepsi dirinya. Van Apeldoorn adalah salah satu

1
diantaranya yang tidak memuat pendefinisian ilmu hukum dalam karya-
karyanya. (Rasjidi, 1988).

Belum adanya kesepakatan para ilmuwan hukum dalam


mendefinisikan ilmu hukum, disebabkan oleh dua faktor pertama adalah
faktor internal karena adanya hal-hal/kondisi-kondisi yang terdapat dalam
diri/lingkup hukum dimana hukum itu bersifat abstrak. Artinya, hukum
memiliki sifat yang abstrak, walaupun dalam aplikasinya konkret, seperti
dalam mekanisme peradilan dan pelaksanaan putusan hakim. Namun,
perwujudan hukum di pengadilan itu merupakan salah satu bentuk
pelaksanaan hukum, apabila terjadi perkara pidana/perdata atau terjadi
konflik dalam masyarakat. Hukum jauh lebih luas dan sifatnya abstrak jika
dibandingkan dengan proses peradilan. Sebagai ilustrasi, meja (benda
konkret). Misalnya, Si Dadap mungkin akan mengatakan bahwa meja itu
berkaki empat dan digunakan untuk menyimpan buku. Si Waru
menyebutnya tempat untuk makan, sedangkan Si Li Chin mengatakan,
meja itu digunakan untuk belajar.

Ketiga sudut pandang yang berbeda pada meja, menunjukkan


bahwa benda yang konkret saja begitu sulit menyatukan persepsinya,
apalagi hukum yang sifatnya abstrak. Sehingga pantas apabila para
ilmuwan hukum mempunyai pandangan yang berbeda dalam merumuskan
definisi hukum. Hal ini menunjukkan, bahwa perbedaan sudut pandang
terhadap hukum yang bersifat abstrak, menjadi salah satu penyebab
hukum sulit didefinisikan.

2
Gambar 1.1.
Perbedaan sudut pandang akan berbeda pula suatu penyimpulannya

(sumber:http://www.dennysiregar.com)

Kemudian hukum mengatur hampir sebagian besar kehidupan


manusia, baik ketika masih dalam kandungan, sedang hidup, maupun
setelah meninggal dunia. Misalnya, ketika manusia masih dalam
kandungan ibunya, ia sudah diberi hak oleh hukum untuk memperoleh
warisan. Sedang hidupnya, manusia diberi hak oleh hukum dan orang lain
diberi kewajiban untuk menghormati haknya, dan setelah meninggal dunia
pun, manusia masih dipersoalkan oleh hukum mengenai masalah warisan
yang ditinggalkannya serta utang-piutangnya saat masih hidup.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa kesulitan dalam


mendefinisikan hukum, karena suatu definisi harus singkat, jelas, tegas,
dan sistematis serta merangkum seluruh substansi hukum. Kesulitan ini
disebabkan oleh cakupan hukum yang begitu luas dan komprehensif di
dalam kehidupan sosial manusia, sehingga perlu mengetahui, memahami
serta mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut.

3
Kemudian faktor eksternal yaitu adanya hal-hal/kondisi yang
mempengaruhi kesulitan mendefinisikan hukum yang ada di luar hukum,
karena pertama faktor bahasa, yakni adanya kesulitan membahasakan
simbol atau lambang-lambang hukum yang disebabkan beragamnya
bahasa-bahasa di dunia. Artinya, keaneka-ragaman bahasa di dunia
menyebabkan kesulitan untuk melambangkan simbol-simbol hukum
dalam bahasa yang dapat dimengerti dan dipahami oleh manusia secara
universal. Hal tersebut menunjukkan, bahwa faktor bahasa menjadi salah
satu penyebab hukum didefinisikan yang dapat dimengerti oleh semua
bangsa di dunia. Penyimbolan hukum dalam satu kata oleh satu bahasa,
kemungkinan akan lain maknanya jika diartikan ke dalam bahasa lain,
begitu pula sebaliknya.

Kesulitan-kesulitan dalam mendefinisikan hukum dari faktor bahasa


menurut Curzon (1979) memiliki sifat khas sebagai berikut: (1)
penggunaan kata-kata yang sangat dibatasi, (2) Penggunaan kata-kata
dalam konteks yang sangat spesifik, (3) Kecenderungan setiap orang untuk
memberi arti yang berbeda terhadap suatu hal. Adanya perbedaan istilah
yang digunakan dalam ilmu hukum dengan arti kata istilah itu sendiri,
termasuk perbedaan penggunaannya dalam pergaulan manusia sehari-hari,
(4) Sejarah perubahan dalam konteks hukum itu sendiri.

Karena suatu definisi harus jelas dan tegas serta bermanfaat bagi
tujuan yang hendak dicapai sehingga bahasa hukum dalam definisi tidak
berarti ganda. Misalnya, kata “hewan” menurut bahasa sehari-hari adalah
semua jenis binatang, baik binatang ternak maupun unggas, dsb.
Sedangkan, pengertian “hewan” menurut hukum (KUHPidana) hanyalah
binatang ternak seperti: sapi, kerbau, domba, kambing, dsb. Kemudian
Belum adanya kesepakatan para ilmuwan hukum dalam menetapkan

4
rumusan definisi hukum, karena dipengaruhi oleh sudut pandang masing-
masing. Sarjana hukum yang melihat hukum dari aspek pidana misalnya,
akan berbeda rumusannya dengan ahli hukum yang melihat hukum dari
aspek perdata, dan ahli hukum yang berkecimpung di dunia peradilan
(hakim), umumnya memandang hukum pada proses/apa yang dilahirkan
oleh pengadilan sebagai salah satu penyebab hukum begitu sulit
didefinisikan. Kesulitan-kesulitan tersebut, jauh sebelumnya telah
diprediksi oleh Emmanuel Kant bahwa “noch suchen die juristen eine
definition zu ihrem begriffe von recht”, artinya “tidak ada seorang juris
pun yang dapat memberi definisi hukum yang paling tepat”, dan sampai
saat ini masih tetap berlaku.

Gambar 1.2.
L.J. van Apeldoorn salah satu ahli hukum yang merasa sulit mendefinisikan ilmu
hukum itu sendiri

(sumber:http://www.biografischpotaal.nl)

Secara bahasa istilah ilmu hukum dalam bahasa Inggris dikenal


dengan istilah jurisprudence. Kata tersebut juga mirip yang ditemui dalam
bahasa Perancis dan dalam bahasa Belanda jurisprudentie, namun

5
penggunaan kata tersebut dalam bahasa Perancis dan bahasa Belanda
adalah bukan suatu Ilmu Hukum melainkan suatu putusan hakim yang
telah memiliki kekuatan hukum mengikat. (Marzuki, 2008). Definisi
lainnya bahwa Ilmu Hukum merupakah salah satu dari sembilan
pengertian hukum menurut Purbacara dan Soekanto (1979:12) yaitu:

Persepsi hukum dalam arti ilmu pengetahuan, secara garis besar


mengkaji tentang kaidah-kaidah suatu bidang keilmuan. Tentunya suatu
ilmu adalah merupakan salah satu intuisi pencari kebenaran yang mengacu
pada metode ilmia secara rasional, sistematis, empiris. Rasional berarti
cakupannya sesuatu hal yang masuk akal dan dapat dijangkau daya talar
manusia umumnya. Sistematis berarti pada prosesnya melalui berbagai
tahapan-tahapan terkonsep dan terarah. Kemudian empris berarti
prosesnya dapat diamati dan dimaknai menggunakan panca indera.
Dengan demikian hukum dapat dinyatakan sebagai suatu bidang keilmuan
khusus karena telah memenuhi kaidah-kaidah keilmuan.

Persepsi hukum dalam arti disiplin, adalah setiap pengkajian


berbagai fenomena hukum, tidak terlepas kaitannya dengan disiplin ilmua
lainnya. Artinya ilmu hukum dapat menjadi suatu bagian dari berbagai
kajian keilmuan lainnya.

Persepsi hukum dalam arti kaidah, merupakan suatu ketentuan yang


menjadi konsensus peraturan hidup dimana manusia itu ada dan saling
berinteraksi. Kaidahpun dapat diartikan sebagai norma yang berlaku dan
harus ditaati bersama agar terciptanya suatu tatanan masyarakat yang
ideal. Tidak heran jika nantinya menimbulkan suatu berbagai
permasalahan baru karena semakin berkembangnya pola hidup manusia,
kesesuaian antara norma dengan realita yang nyata harus diidentifikasi
bersama agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan sesuai kaidah.

6
Persepsi hukum sebagai tata hukum, berarti adanya proses
pembentukan dan pemberlakuan hukum dalam ruang lingkup tertentu.
Olehukumarenanya dikenal pula istilah hukum positif, sehingga setalah
adanya proses pemahaman dan penguasaan hukum sebagai tata hukum ini
dapat menentukan suatu keputusan sesuai dengan tatanan mekanisme yang
telah dibentuk.

Persepsi hukum berwujud petugas hukum, sebagai pelaksana dan


penjamin keberlangsungan hukum yang berlaku di masyarakat. Ketika
antar manusia membentuk kelompok-kelompok maka disana terjadilah
suatu interaksi. Agar kelompok-kelompok tersebut dapat bertahan dan
saling memberikan manfaat maka timbul suatu kesepakatan bersama yang
menjadi acuan dalam keberlangsungan hidupnya. Seperti ungkapan Cicero
(106-43 SM) Ubi societas ibi ius, bahwa dimana ada masyarakat disitulah
hukum ada. Manusia dalam kelompok-kelompok tersebut akan
mendistribusikan peranan tertentu agar hukum itu berlaku.

Persepsi hukum sebagai keputusan penguasa, masih erat berkaitan


dengan konsep Cicero diatas karena dalam kelompok-kelompok manusia
terdapat sosok yang menjadi panutan dan dipercaya dapat mengurusi
berbagai kepentingan kelompoknya. Pendistribusian peranan yang telah
dilakukan, akan menghadapi berbagai permasalahan dan diharuskan
mampu menyelesaikannya dengan mengambil suatu keputusan dan
tindakan.

Persepsi hukum dalam suatu rangkaian proses pemerintahan,


menjamin kesesuaian mekanisme yang telah dibentuk oleh tatanan suatu
masyarakat. Penekanan terhadap bukti hukum sebagai acuan dalam
pengambilan suatu keputusan dan tindakan, diharapkan ketertiban akan

7
selalu terwujud karena proses rangkaiannya telah terbukti berjalan sesuai
konsep.

Persepsi hukum adalah perilaku yang teratur atau konsisten,


berkaitan pula dengan apa yang dijelaskan pada definisi hukum
sebelumnya bahwa suatu proses hukum dialami tidak hanya sekali,
berbagai permasalahan akan datang silih berganti dengan kesamaan
maupun perbedaan. Respon yang dilakukan terhadap masalah tersebut
merupakan perilaku untuk menghadapi dan menyelesaikan permasalahan
tersebut. Konsistensi perilaku adalah sebagai upaya keputusan yang
diambil dengan harapan keberhasilan yang telah dicapai sebelumnya dapat
terwujud kembali.

Persepsi hukum sebagai jalinan nilai-nilai, terwujudnya tatanan


hukum yang secara obyektif berlaku dan diterima oleh masyarakat perlu
diseimbangkan melalui sudut pandang hukum dari subyektifitas dimana
setiap individu-individu merasakannya. Nilai-nilai tersebut akan muncul
berupa suatu kepentingan pribadi dan kepentingan bersama (umum) dan
kemudian terjadi persinggungan keduanya. Hal yang akan terjadi bisa
berbagai kemungkinan, tergantung kepentingan manakah yang lebih
dominan atau pada saat keduanya seimbang dan searah tujuannya.

Pemberian istilah Pengantar Ilmu Hukum (PIH) pada hakikatnya


mengandung pemahaman dan makna (Sanusi, 1977:3), sebagai suatu
matakuliah dasar, suatu basis-leervak. Matakuliah PIH adalah
pengetahuan ringkas dan sistematis tentang ilmu hukum secara
keseluruhan untuk mengantar menuju pemehaman cabang-cabang hukum
lainnya, seperti ilmu hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara,
hukum internasional, dan sebagainya.

8
Obyek PIH: Hukum dalam fenomena kehidupan manusia baik
secara universal, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Di
negara yang menganut sistem hukum Anglo Sakson, ilmu hukum dikenal
dengan istilah:

1. jurisprudence yang berarti ilmu hukum, dan

2. legal theory yang di Indonesia diistilahkan dengan teori hukum.

Hukum sebagai ilmu (ilmu hukum), secara umum terfokus pada tiga
bidang atau obyek kajian, yaitu:

1. Ilmu tentang kaidah hukum (normwissenschaft) atau ilmu hukum


normatif, mempelajari dan menganalisis peraturan hukum (UU)
secara ”das sollen” atau apa yang seharusnya dilakukan dan
seharusnya tidak boleh dilakukan. Misalnya, ilmu hukum pidana,
ilmu hukum perdata, ilmu hukum tata negara, dan sebagainya.

2. Ilmu tentang sosiologi hukum atau kenyataan hukum


(tatsachenwissenschaft), mempelajari dan menganalisis hukum
dalam kenyataan (law of fact) atau ”sein”, dan apakan hukum
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, demikian pula
sebaliknya. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian tentang
benar salahnya suatu peristiwa atu gejala hukum yang terjadi, dan
hanya menggambarkannya sebagaimana kenyataannya.

3. Ilmu tentang pengertian pokok hukum (begriffenwissenschaft)


mempelajari dan menganalisis pengertian-pengertian dasar hukum,
asas hukum, sistem hukum, dan sebagainya.

Kemudian dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal beberapa metode


pendekatan yang dapat dipergunakan dlam mempelajhari hukum sebagai
ilmu, yaitu:

9
1. Metode idealis, yaitu metode yang berpangkal dari suatu
pandangan bahwa hukum itu merupakan perwujudan dari nilai-
nilai tertentu. Metode ini senantiasa mempertanyakan dan menguji
keberadaan hukum dalam mewujudkan nilai-nilai dasar dari tujuan
hukum.

2. metode normatif-analisis, yaitu metode yang memandang hukum


sebagai sistem aturan yang abstrak. Hukum silihat sebagai institusi
yang benar-benar otonom, dibicarakan sebagai subyek tersendiri,
dan terlepas dari pengaruh lain.

3. metode sosiologis, yaitu metode yang berasumsi dari pandangan


bahwa humum merupakan instrumen untuk mengatur kehidupan
sosial masyarakat. Hukum dipandang sebagai fenomena sosial,
sedangkan faktor kemasyarakatan mempengaruhi pembentukan,
perkembangan, realita, serta efektifitas hukum dalam gerak
kehidupan masyarakat.

4. metode historis, yaitu metode yang mempelajari hukum


berdasarkan sejarah hukum itu sendiri. Hukum dianalisis dari
kajian bagaimana perkembangan hukum dan pranatanya yang
pernah berlaku pada masa lampau, serta bagaimana perbedaannya
dengan hukum pada masa kini.

5. metode sistematis, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan


memandangnya sebagai suatu sistem yang membawahi sub-sub
sistem, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum acara, hukum
tata negara, dan sebagainya, sebagai suatu sistem yang saling
terkait.

10
6. metode komparatif, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan
membandingkan antara tata hukum yang berlaku di suatu negara
tertentu dengan tata hukum yang berlaku di negara lain, baik
hukum pada masa lalu maupun hukum yang berlaku pada masa
kini. Berdasarkan pendekatan metode komparatif atau
perbandingan, diketahui perbedaan dan persamaan hukum yang
berlaku pada negara-negara yang dikaji.

Masa kehidupan manusia di dunia ini, tidak dapat dipisahkan dari


persinggungan antarindividu. Setiap individu tidak dapat hidup sendiri-
sendiri, tanpa berhubungan dengan individu lainnya dalam kehidupan
sosialnya. Hubungan antar sesama manusia ini sudah tercipta semenjak
dilahirkan, walaupun masih terbatas dalam lingkungan keluarga. Dalam
kehidupan berkelompok/bermasyarakat inilah, setiap individu mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri yang kadang bertentangan dengan kepentingan
individu lainnya. Untuk menjaga kepentingan tersebut, agar tidak terjadi
benturan yang dapat menimbulkan pertentangan, manusia menyepakati
suatu Tatanan Hidup bermasyarakat yang disebut Hukum atau Tata Tertib,
untuk mengatur keutuhan dan kelangsungan hidup umat manusia.

Hukum atau Tata Tertib itu dapat berwujud kumpulan kaidah-


kaiadah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian,
dapat dikatakan, hukum itu lahir, tumbuh, dan berkembang di dalam
masyarakat yang pada umumnya mengatur bagaimana manusia
berhubunganungan satu dengan yang lainnya, apa yang boleh dilakukan
dan apa yang tidak boleh dilakukan, sehingga hukum dilihat sebagai salah
satu institusi sosial dalam masyarakat. Selain itu, keberadaan hukum juga
memiliki kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas, terutama dalam

11
mengkaji pertukaran dinamika kehidupan masyarakat dengan hukum itu
sendiri.

Supaya lebih paham, apa hukum itu? tentunya perlu mengetahui


pengertian/definisi hukum itu sendiri. Untuk mengetahui batasan/definisi
hukum, merupakan pencerminan dari keingintahuan manusia untuk
mempelajari, mengetahui, dan memahami hukum dalam mengarungi
cakrawala hukum yang begitu sangat luas cakupannya, termasuk segala
aspek yang melingkupinya. Pandangan dan penilaian tahap hukum dalam
masyarakat selama ini cukup banyak seperti terlihat dengan beragamnya
definisi hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum.

Pandangan dan penafsiran yang dilakukan, baik oleh para ahli


hukum maupun oleh warga masyarakat terhadap hukum, merupakan salah
satu penyebab kesulitan membuat suatu definisi hukum yang lengkap,
singkat, dan sistematis yang mampu menggambarkan substansi nilai-nilai
dari hukum secara menyeluruh. Sampai hari ini belum ada suatu
rumusan/definisi hukum yang disepakati oleh para ilmuwan hukum. Hal
tersebut perlu dipahami, mengingat adanya kesulitan mendefinisikan
hukum, baik oleh kondisi yang ada di dalam hukum maupun yang ada di
luar hukum itu sendiri.

Definisi hukum memegang peranan penting dalam mempelajari


hukum lebih mendalam. Walaupun selama ini belum ada suatu definisi
hukum yang lengkap dan tuntas yang dapat diterima oleh semua kalangan,
bukan berarti tidak ada definisi hukum. Begitu banyak definisi hukum
dikemukakan oleh ilmuwan hukum yang tentu saja sangat berguna dalam
hal:

1. Berguna sebagai pegangan awal bagi orang yang ingin


mempelajari hukum, khususnya bagi kalangan pemula;

12
2. Berguna bagi kalangan yang ingin lebih jauh memperdalam teori
hukum, ilmu hukum, fuilsafat hukum, dan sebagainya.

Arnold salah seorang sosiolog, mengemukakan, dalam kenyataannya


hukum memang tidak akan pernah dapat didefinisikan secara lengkap,
jelas, dan tegas. Namun, Arnold juga menyadari bahwa bagaimana pun
para juris tetap terus berjuang mencari bagaimana hukum didefinisikan,
sebab definisi hukum merupakanakan bagian yang substansial dalam
memberi arti keberadaan hukum sebagai ilmu. Hukum merupakan sesuatu
yang rasional dan dimungkinkan untuk dibuatkan definisi sebagai
penghormatan para juris terhadap eksistensi hukum.

Memahami pandangan Arnold dan Immanuel Kant, bukan berarti


berhentinya ilmuwan hukum mencari dan menemukan rumusan yang
kemungkinan dapat merangkum seluruh aspek yang melingkupi hukum,
walaupun sejumlah definisi hukum yang dikemukan oleh para pakar
hukum tersebut belum disepakati bersama. Oleh karena itu, perlu ada
definisi hukum sebagai pegangan untuk mengetahui dan memahami
hukum baik secara praktis maupun secara formal.

Beberapa pemahaman hukum berdasarkan bagian-bagian tertentu


diantaranya :

Paham Hukum Alam

1. Aristoteles, hukum adalah sesuatu yang berbeda daripada sekedar


mengatur dan mengekspresikan bentuk dari konstitusi dan hukum
berfungsi untuk mengatur tingkah laku para hakim dan putusannya
di pengadilan untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar.

2. Grotius, hukum adalah peraturan tentang tindakan moral yang


menjamin keadilan pada peraturan hukum tentang kemerdekaan.

13
Paham Antropologis

1. Schapera, hukum adalah setiap aturan tingkah laku yang mungkin


diselenggarakan oleh pengadilan.

2. Paul Bohannan, hukum adalah merupakan himpunan kewajiban


yang telah dilembagakan kembali dalam pranata hukum.

3. Pospisil, hukum adalah aturan-aturan tingkah laku yang dibuat


menjadi kewajiban melalui sanksi-sanksi yang dijatuhkan terhadap
setiap pelanggaran dan kejahatan melalui suatu otoritas
pengendalian.

Paham Historis

1. Karl von Savigny, hukum adalah aturan yang terbentuk melalui


kebiasaan dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian
kekuasaan secara diam-diam. Hukum berakar pada sejarah
manusia, dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan,
dan kebiasaan warga masyarakat.

2. Marxist, hukum adalah suatu pencerminan dari hubungan umum


ekonomis dalam masyarakat pada suatu tahap perkembangan
tertentu.

Paham Positivis dan Dogmatis

1. John Austin, melihat hukum sebagai seperangkat perintah, baik


langsung maupun tidak langsung dari pihak yang berkuasa kepada
warga rakyatnya yang merupakanakan masyarakat politik yang
independen, dimana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan
otoritas tertinggi. Kelemahan pandangan John Austin adalah
sebagai berikut.

14
a. Hukum dilihat semata-mata sebagai kaidah bersanksi yang
dibuat dan diberlakukan oleh negara, padahal di dalam
kenyataannya kaidah tersebut belum tentu berlaku.

b. Undang-undang yang dibuat oleh negara, hanya salah satu


sumber-sumber hukum.

c. Hanya warga masyarakat yang dilihat sebagai subyek hukum,


padahal dalam kenyataannya dikenal pula adanya hukum tata
negara, hukum administrasi negara dan sebagainya.

2. Hans Kelsen, hukum adalah suatu perintah terhadap tingkah laku


manusia. Hukum adalah kaidah primer yang menetapkan sanksi-
sanksi.

3. Paul Scholten, hukum adalah suatu petunjuk tentang apa yang


layak dilakukan dan apa yang tidak layak untuk dilakukan yang
bersifat perintah.

4. Van Kan, hukum adalah keseluruhan aturan hidup yang bersifat


memaksa untuk melindungi kepentingan manusia di dalam
masyarakat.

Paham Sosiologis

1. Roscoe Pound, bahwa hukum itu dibedakan dalam dua arti:

a. Hukum dalam arti sebagai tata hukum, mempunyai pokok


bahasan,

(1) Hubungan antara manusia dengan individu lainnya;

(2) Tingkah laku para individu yang mempengaruhi individu


lainnya.

15
b. Hukum dalam arti kumpulan dasar-dasar kewenangan dari
putusan-putusan pengadilan dan tindakan administratif.
Pandangan Roscoe Pound tergolong dalam aliran Sosiologis
dan Realis.

2. Eugen Ehrlich, seorang pakar hukum Jerman, mengatakan hukum


adalah sesuatu yang berkaitan dengan fungsi kemasyarakatan dan
memandang sumber hukum hanya dari legal history and
jurisparaudence dan living law (hukum yang hidup dalam
masyarakat).

3. Bellefroid, mengatakan bahwa hukum adalah kaidah hukum yang


berlaku disuatu masyarakat yang mengatur tata tertib masyarakat
dan disadarkan atas kekuasaan yang ada di dalam masyarakat itu.

Paham Realis

1. Holmes, seorang hakim di Amerika Serikat, hukum adalah apa


yang dikerjakan dan diputuskan oleh pengadilan.

2. Llewellyn, mengatakan bahwa hukum adalah apa yang diputuskan


oleh seorang hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu
sendiri.

3. Salmond, hukum adalah kumpulan asas-asas yang diakui dan


ditetapkan oleh negara di dalam pengadilan.

Berbagai persepsi hukum masih banyak lagi tentunya dari setiap


manusia, sehingga dapat disimpulkan bahwa pijakan awal dalam mengkaji
definisi ilmu hukum adalah terlebih dahulu memahami situasi dan kondisi
keberadaan hukum itu sendiri.

16
Bagian 2

Kemunculan Hukum Sebagai Bidang Ilmu

Hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan-kepentingan


manusia dalam hidup bermasyarakat, dengan tujuan mencipta-kan
kehidupan masyarakat yang damai dan sejahtera. Sebagai alat
perlengkapan manusia dalam hidup bermasyarakat, hukum berasal
dan berakar dan masyarakat itu sendiri. Bahan atau materi hukum
berasal atau ada dalam kehidupan masyarakat. Hukum timbul
melalui proses sosial atau tercipta karena memang sengaja dibentuk
oleh pihak yang mempunyai kewenangan atau mendapatkan
pembenaran dan masyarakat yang bersangkutan.
Untuk mendapatkan bahan dalam pembentukan peraturan
perundangundangan atau untuk mengetahui dan menemukan hukum,
serta selanjutnya dapat menerapkannya dalam kasus konkrit, kita
harus menemukan sumber hukum. Di samping sumber hukum
sebagai tempat untuk menemukan atau menggali hukum, juga
sebagai dasar untuk mengikatnya hukum.
Dalam usaha mengetahui, memahami dan menghayati sumber
hukum, perlu dipelajari tentang: Sejarah Singkat, Sumber Penemuan
dan Berbagai Aliran Penemuan Hukum. Pada Bagian 2 Buku Ajar
ini akan membahas berkenaan dengan capaian mata kuliah tentang
Sejarah Perkembangan Hukum dan Mazhab-mazhab dalam Hukum.

A. Sejarah Singkat

Kemunculan hukum sebagai suatu bidang keilmuan sangat identik


dengan perkembangan masyarakat Eropa. Meskipun di belahan dunia lain
ditemukan pula berbagai peradaban yang lebih dahulu ada namun tidak
menjadikan asal mula hukum sebagai suatu ilmu itu lahir. Tepatnya di
wilayah Yunani, sejak masa peradaban kuno di sana sudah tersusun suatu
sistem pemerintahan yang sangat baik dan dikenal masa emasnya suatu

17
peradaban. Negara kota begitu dikenalnya atau secara bahasa Yunani
disebut polis.

Polis-polis tersebut tidaklah sebesar Negara Indonesia atau Negara


pada umumnya, luasnya sama seperti kota pada umumnya dengan
penduduk yang tidak terlalu banyak. Sehingga para warganya dapat
berpartisipasi secara langsung terhadap berbagai progam-program
pemerintahannya. Tidak heran apabila sejak dahulu orang Yunani dikenal
mampu mengatasi berbagai persoalan masyarakat yang hadir di setiap
kurun waktu.

Seorang ahli, Surya Prakash Sinha dalam Marzuki(2008)


mengungkapkan bahwa terdapat empat tahap perkembangan pemikiran
masyarakat Polis. Pertama adalah pemikiran herois yang mendasarkan
pemikirannya pada pengalaman yang konkret kemudian padankan dengan
pemikiran imajinatif terhadap suatu mitos. Kedua adalah pemikiran
visioner yang muncul saat proses pembentukan polis dengan harapan
terciptanya kondisi yang ideal serta sesuai konsensus bersama, dengan
memanfaatkan panca indra sebagai fitrah manusia. Ketiga adalah
pemikiran teoretis yang menggunakan metode analitis dalam memandang
suatu hal tidak hanya sebatas yang nampak, namun lebih mengakar pada
yang tidak nampak. Dan terakhir adalah pemikiran rasional yakni
mengkonsepkan suatu logos melalui proses pencarian kebenaran melalui
cara pemikiran dan interaksi antar pikiran melalui diskusi terhadap isu
yang ada.

18
Gambar 2.1.
Ilustrasi tatanan kehidupan masyarakat Negara Kota (Polis)

(sumber:http://www.slideshare.net/bbednars)

Dengan adanya tahapan perkembangan pemikiran masyarakat


Negara kota tersebut menjadikan kondisi peradaban yang semakin maju.
Kehidupan sosial seperti musyawarah, pengambilan keputusan,
kemampuan menentukan pilihan, telah terwujud pada masanya. Namun
dengan adanya kemampuan individu yang matang justru menjadikan
munculnya sifat individualisme sebagai konsekuensi perkembangan
peradaban tersebut. Konsekuensi lainnya yang didapat adalah perlu
dibentuknya rule of law agar sifat individualisme tersebut dapat terkontrol.

Peradaban lain di Eropa selain polisnya Yunani, terdapat peradaban


Sparta, Makedonia, dan yang besar adalah peradaban Romawi. Invansi ke
berbagai wilayah menjadikan Romawi bertemu masyarakat polis dengan
sistem tatanan pemerintahan yang ideal. Maka tak heran berbagai ahli
filsuf Eropa berkiblat ke Yunani. Hukum Romawi yang terkenal
merupakan perwujudan dari prinsip pemerintahan Negara kota. Prinsip
perjanjian masyarakat yang dengan sukarela adalah komponen wajib
dalam suatu pemerintah yang legal.

19
Gambar 2.2.
Kekuatan pasukan Romawi yang menginvasi keberbagai tempat

(sumber http://www.wordpress.com)

Pada masa kaisar Iustianius hukum romawi di kodifikasi bersumber


pada Corpus Iuris Civilis, ini yang kemudian menjadi acuan hukum Eropa
secara keseluruhan, mengingat jika terus mempertahankan hukum lokal
tidak akan menjadi satu kesatuan bangsa. Kemudian langkah selanjutnya
pada tahun 1087 di Bologna-Italia, mulailah hukum berkembang menjadi
suatu pengetahuan yang dipelajari secara sistematis. Pertama kalina kajian
hukum dijauhkan dari campuran kajian politik maupun religi. Berbagai
aturan-aturan, putusan-putusan, serta berbagai perselisihan yang timbul di
masyarakat diplejari para ahli maupun masyarakat umum. Sehingga
terwujudnya proses pendistribusian peranan dalam menjamin
keberlangsungan hukum di masyarakat. Berbagai peran baru yang muncul
diantaranya konsultan sebagai penasehat keilmuan, hakim sebagai
pemegang suatu putusan, advokat sebagai pejuang dan pembela
masyarakat, perancang undang-undang untuk memastikan norma dan
acuan yang berlaku sudah sesuai.

20
Ketika suatu hukum dipelajari oleh masyarakat menjadi sebuah
keilmuan, dan disebutkan pula bahwa pengkajiannya terpisah dari politik
maupun religi yang merupakan bagian penting di masyarakat pula.
Tentunya perlu kehatia-hatian dalam menentukan batasan-batasan dari
ketiga hal tersebut, hukum-politik-religi sehingga menjadi identitas suatu
bidang ilmu.

Pengkajian awal mulanya hukum sebagai bidang ilmu di sekolah-


sekolah Eropa ternyata bukan tentang hukum yang sedang berlaku saat itu.
Namun masyarakat eropa mempelajari hukum dari berbagai naskah-
naskah peninggalan peradaban Romawi. Berbagai hal peristiwa dan
kejadian masyarakat seperti aturan-aturan dalam berinteraksi, berbagai
putusan-putusan yang diambil dalam menyelesaikan permasalahan, hingga
tentang struktur tatanan masyarakat yang pernah ada.

Gambar 2.3.
Potret Kaisar Iustinianus di Basilika San Vitale, Ravenna

(Sumber: http://www.wikidepa.org/wikid/Yustinianius_I)

Kebesaran Romawi adalah menjadi sebab acuan mempelajari hukum


sebagai suatu ilmu, hampir seluruh Eropa dikuasai para Kaisar dengan
melakukan invasi ke berbagai suku bangsa Eropa. Sebut saja suku Franka,
suku Vandal, suku Saksa, suku Goth, hingga ke Eropa Timur dan dikenal

21
suatu peradaban Byzantium. Untuk dapat mengontrol daerah kekuasaan
Romawi yang begitu luasnya, maka di wilayah Eropa Timur pun
ditetapkan daerah ibukota baru dinamakan Konstatinopel sesuai dengan
nama Kaisar Konstantin sebagai penguasa. Pergantian kaisar silih
berganti, beranjak ke Kaisar Theodosius, hingga dinasti Carolingus,
kesemuanya memakai sistem hukum peninggalan Iustinianus. Sehingga
para ahli pembelajar di universitas-universitas Eropa meyakini bahwa
peninggalan sistem hukum tersebut tidak saja berlaku pada masanya,
melainkan dapat diadopsikan pada waktu dan tempat mana pun.

Adalah fakultas Hukum di Universitas Bologna awal mula hukum


Romawi dipelajari melalui teks-teks kuno peninggalan Kaisar Iustinianus.
Teks tersebut memuat 4 hal pokok yang menjadi ruh dari pelaksana sistem
hukum di Romawi. Pertama adalah bagian Caudex dimana berisi berbagai
aturan-aturan serta putusan-putusan yang diambil oleh pemimpin
sebelumnya. Kedua adalah Novellae yang merupakan aturan-aturan
hukum yang dikodifikasi oleh Kaisar Iustinianus. Ketiga adalah Instituti
berbentuk suatu buku pedoman bagi masyarakat dalam melaksanakan
sistem hukum pada masanya. Terakhir adalah bagian Digesta berisi
tentang himpunan berbagai pendapat ahli hukum Romawi perihal aturan-
aturan bagi individu dan masyarakat. Bagian ini menjadi yang sangat
berarti karena memuat konsep hak dan kewajiban suatu warga masyarakat
Romawi. Ke empat bagian tersebut hingga kini dikenal dengan sebutan
Corpus Iuris Civilis.

Proses mempelajari dan memaknai Corpus Iuris Civilis di Fakultas


Hukum Universitas Bologna diperankan oleh para dosen dengan sebutan
Glossator. Kata dan bahasa yang termuat pada naskah tersebut meskipun
berasan dari leluhur bangsa Italia ternyata sangat berbeda dengan bahasa

22
yang saat itu ada. Para mahasiswa sedikit demi sedikit menyalin ulang
kata dan bahasa pada Digesta, sedangkan Dosen membacakan dan
mengoreksi ejaan bahasa Romawi kuno tersebut. Sedemikian berari bagi
para pembelajar hukum saat itu, hingga anggapan mereka terhadap Corpus
Iuris Civilis sama agungnya dengan Alkitab dalam agama mereka.

Seiring berkembangnya zaman, pembelajaran Hukum di Universitas


Bologna pun terjadi perubahan. Dosen sebagai Glossator kemudian
berubah menjadi sebagai Commentator. Kemampuan analisis yang
semakin meningkat didukung dengan perkembangan ilmu yang maju
maka kegiatan mengomentari secara sistematis terhadap berbagai
permasalahan-permasalahan hukum. Namun demikian mereka tetap
berpegang pada hukum yang berlaku, tidak merasa hukum yang ada sudah
bukan zamannya lagi. Sehingga para pembelajar memperluas wawasan
terhadap kondisi yang telah berlalu, sedang berlangsung dan yang akan
terjadi di masa depan.

Selain kegiatan pembelajaran hukum melalui pembacaan naskah,


kemudian mengomentasi isi yang terkandung setiap kata dan paragrafnya,
dilakukan pula apa yang dinamakan Disputatio yakni sebuah kegiatan
diskusi perihal berbagai isu hukum seperti layaknya debat terdapat kubu
pro dan kontra. Hingga kemudian pembeajaran di Fakultas Hukum
Universitas Bologna mempelajari juga suatu hukum Kanonik yang berasal
dari Gereja.

23
Gambar 2.4.
Ilustrasi para ahli hukum Universitas Bologna mengkaji naskah kuno
peninggalan Peradaban Romawi

(sumber: htttp://en.wikipedia.org/wiki/University_of_Bologna

B. Sumber Penemuan

Melalui proses peradilan, hakim adalah sebagai penentu terakhir dan


proses penegakan hukum melalul pengadilan, sehingga muncul anggapan
bahwa pengadilan merupakan terminal terakhir dan suatu proses
penegakan hukum. Lembaga pengadilan melalui para hakimnya adalah
rnerupakan harapan terakhir bagi para pencari keadilan. Tugas dan
tanggung jawab hakim adalah tidak ringan, hakim tidak hanya dituntut
dapat memutus perkara, tetapi dituntut dapat menyelesaikan perkara
sehingga dengan putusannya tersebut dapat menciptakan kedamaian dalam
masyarakat. Sebagai penegak hukum dan keadilan hakim harus mampu
memperhatikan dar mempertimbangkan ketiga unsur penegakan hukum
secara proporsional seimbang. Atas putusan yang dijatuhkan hakim
bertanggung jawab tidak hanya kepada para pihak, tetapi juga kepada

24
masyarakat, lembaga pengadilan yang lebih tinggi, ilmu pengetahuan
hukum, bahkanjuga kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Implementasi
pertanggungjawaban hakim sampai di han akherat tersebut disakralkan
bahwa setiap putusan hakim harus bertitel DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA (Pasal 4 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 2004).

Hakim tidak hanya diposisikan sebagai penegak hukum, tetapi juga


penegak keadilan yang benar. Dalam memutus perkara tidak cukup hanya
mendasarkan pada bunyi suatu undang-undang, tetapi juga harus
mempertimbangkan jiwa dan ratio legis yang mendasari undang-undang
atau pasal-pasal tertentu yang akan dijadikan dasar untuk menjatuhkan
putusan. Bahkan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman mewajibkan lebih dan itu, bahwa dalam memutus perkara
hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-niiai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; dan dalam perkara pidana
untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim juga harus
mempenhatikan pula sifat yang baik dan jahat dan terdakwa (Pasal 28 UU
No. 4 Tahun 2004).

Perintah Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 adalah mempunyal maksud


agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan nasa keadilan masyarakat,
sehingga dapat menjadi instrumen sosial yang mampu metnulihkan
kembali keseimbangan dalam masyarakat. Memang kita akui bahwa
hakim dalam memutus perkara itu mempunyai kebebasan, sampai-sampai
kalau ada orang yang dengan sengaja (kecuali dibolehkan oleh UUD
1945) campur tangan dalam urusan peradilan dapat dipidana (Pasal 4 ayat
(4) UU No. 4 Tahun 2004).

25
Kebebasan hakim dalam memutus perkara dimaksudkan agar
putusan yang dijatuhkan mencerminkan hukum yang hidup dan rasa
keadilan masyarakat. Kebebasan hakim dalam memutus tidak mutlak atau
tanpa batas, kebebasan tersebut dibatasi oleh Pancasila, undang-undang,
kepentingan para pihak dan ketertiban umum. Patokan pertama yang harus
dipegang hakim adalah undang-undang, kalau undang-undang ternyata
tepat, artinya jelas, rind, mempunyal potensi melindungi kepentingan
umum atau tidak menimbulkan perkosaan dan ketidakpatutan, serta sesuai
dengan peradaban dan kemanusiaan, maka undang-undang haruslah
diterapkan. Sebaliknya kalau undang-undang isinya bertentangan dengan
kepentingan umum, kepatutan, peradaban, dan kemanusiaan, maka hakim
dibenarkan memutus bertentangan atau berbeda dengan ketentuan undang-
undang, atau hakim dibenarkan melakukan tindakan cotra legem
(Harahap, 2005 : 860).

Dalam memutus perkara hakim mendasarkan pada ketentuan


undangundang. Sering terjadi undang-undang tidak jelas, tidak lengkap,
bahkan dapat terjadi isi undang-undang yang berkaitan dengan kasus yang
dihadapi saling bertentangan. Dalam memutus perkara hakim terpaksa
hanis melakukan penemuan hukum. Undang-undang atau secara lebih luas
peraturan perundang-undangan mengikat setiap orang, oleh karena itu
bersifat umum dan abstrak, sebagai das Sollen tidak mungkin dapat
diterapkan secara langsung terhadap peristiwa konkrit. Dalam
undangundang dicari kaidah hukumnya selanjutnya disesuaikan dengan
peristiwa konkrit, sebaliknya peristiwa konkrit diarahkan kepada kaidah
hukum, sehingga menjadi peristiwa hukum, setelah itu barulah undang-
undang dapat diterapkan. Seperti yang telab diuraikan sebelumnya sering
terjadi undangundang tidak jelas atau tidak Iengkap, sehingga yang
dilakukan tidak hanya sekedar menerapkan, tetapi hakim terpaksa

26
melakukan penemuan hukum bahkan mungkin sampai pada pembentukan
hukum.

Sebenarnya yang melakukan kegiatan penemuan hukum bukan


hanya hakim, tetapi juga para penegak hukum yang lain dan pembentuk
peraturan perundang-undangan, serta dosen atau para peneliti hukum,
bahkan warga masyarakat yang sedang menghadapi kasus biasanya juga
berusaha mencari apa hukumnya dalam kasus yang dihadapinya tersebut.
Kalau diperbandingkan antara hakim, pembentuk peraturan perundang-
undangan dan dosen atau para peneliti hukum yang melakukan penemuan
hukum, hasilnya dapat dibedakan, yaitu: Hakim — penemuan hukumnya
bersifat konfliktif, sebab berkaitan dengan peristiwa konkrit atau konflik
yang harus diselesaikan. Hasil penemuan hukumnya berupa hukum in
concreto dan dapat menjadi sumber hukum; Pembentuk peraturan
perundang-undangan-penemuan hukumnya bersifat preskriptif, sebab yang
dihadapi peristiwa abstrak yang masih akan terjadi. Hash penemuan
hukum adalah hukum in abstracto dan merupakan sumber hukum; Dosen
atau peneliti hukum-penemuan hukumnya bersifat teoritis. Hasil
penemuan hukumnya bukan hukum, namun sebagai doktrin dapat menjadi
sumber hukum.

Van Eikema Hommes antara lain mengatakan bahwa Penemuan


hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim
atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan
hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. ini merupakan
proses konkritisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat
umum dengan mengingat peristiwa konkrit (Mertokusumo, 1985 : 132 -
133).

27
Ada beberapa pasal dalam UU No. 4 Tahun 2004 yang dapat
dijadikan dasar hukum dilakukan penemuan hukum oleh hakim, yaitu:

Pasal 5 ayat (1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak


membedakan orang.

Pasal 16 ayat (1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,


mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memerikya dan
mengadilinya.

Pasal 28 ayat (1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami


nilamilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dari uraian tersebut di atas sebenamya sudah nampak


ketentuanketentuan hukum apa saja yang dapat digunakan oleh hakim
sebagai sumber melakukan penemuan hukum. Di samping peraturan
perundang-undangan danlatau hukum kebiasaan atau hukum adat,
sebenarnya masih ada sumber lain untuk melakukan penemuan hukum,
yaitu: putusan desa misalnya dalam penyelesaian perkara perdata yang
berobyek tanah terutama di daerah

pedesaan, putusan desa pegang peranan yang penting; yurisprudensi,


dalam memutus perkara hakim juga sering mencari dukungan pada
yurisprudensi terutama yang telah diterima sebagai yurisprudensi tetap;
dan tidak kalah pentingnya adalah doki’rin atau ajaran-ajaran hukum
sering juga digunakan, terutama sekali dalam kasus-kasus yang tidak
diatur oleh peraturan perundang-undangan, atau diatur tetapi pengaturan
tidak jelas atau isinya saling bertentangan, sehingga hakim terpaksa
mencari dukungan dan doktnin (Mertokusumo, 1993 : 168). Bahkan dalam
kasus-kasus tertentu misalnya yang menyangkut sengketa yang timbul

28
karena penjanjian internasional, maka perjanjian intemasional juga
termasuk sumber penemuan hukum. Untuk perjanjian internasional yang
bersifat umum, setelah ada peraturan pelaksanaannya hakim dapat
menerapkannya, kecuali konvensi atau perjanjian internasional (traktat)
yang bersifat self executing, artinya dinyatakan langsung berlaku tanpa
memerlukan peraturan pelaksanaan (Harahap, 2005 : 850).

Dalam memeriksa suatu perkara, ada tiga tahap kegiatan hakim,


yaltu mengkonstatir peristiwanya, mengkualifisir peristiwa yang terbukti
sebagai hubungan hukum apa atau sebagai perbuatan hukum yang mana,
dan yang terakbir mengkonstituir atau memberikan hukumnya atau
keadilannya. Setelah proses pembuktian dan hakim telab mengkonstatir
peristiwanya, hakim wajib melakukan penemuan hukum. Dalam hal ini
ada beberapa metode penemuan hukum yang dapat digunakan oleh hakim,
yaitu: (I) metode penafsiran atnu interpretasi yang dikenal ada beberapa
metode interpretasi; (2) metode argumentasi; dan (3) kalau dengan kedua
metode penemuan hukum tersebut tidak berhasil, hakim barulah
menciptakan sendiri hukumnya berdasarkan fakta positif yang telah
terbukti.

C. Berbagai Aliran Penemuan Hukum

Timbulnya aliran dalam penemuan hukum sebenarnya sebagai


akibat akan kodifikasi pada abad 19. Sebelumnya sumber hukum yang
pokok adalah hukum kebiasaan, tetapi berdasarkan fakta bahwa hukum
kebiasaan hukum tidak tertulis sering beraneka ragam, sehingga dianggap
kurang menjamin kepastian hukum, maka ada usaha untuk
menyeragamkan digan cara membuat hukum dalam susunan kodifikasi.
Persoalan selanjutnya yang muncul adalah yang mana yang merupakan
sumber hukum itu, apakah undang-undang atau hukum kebiasaan,

29
akibatnya lahirlah aliran-aliran dalam penemuan hukum. Adanya aliran-
aliran tersebut adalah berkaitan dengan hukum yang mana yang diterima
sebagai sumber hukum, yaitu: legisme, begriffsjurisprudenz,
interessenjurisprudenz atau freirechtsschule, soziologische rechtsshule
dan penemuan hukum bebas.

Legisme

Inti dan ajaran legis mengatakan bahwa satu-satunya sumber hukum


adalah undang-undang; dan di luar undang-undang, tidak ada hukum.
Hukum kebiasaan hanya ada apabila diperbolehkan oleh hukum undang-
undang. Ajaran legis sebenarnya mulai dipropagandakan oleh mereka
yang inempelajari hukum Romawi dan Kanonik, kira-kira mulai abad
pertengahan. Ajaran legis sebenarnya cocok dengan ajaran hukum kodrat
yang juga kurang menyetujui hukum kebiasaan. Dapat disebut sebagai
pendukung ajaran hukum kodrat adalah Montesquieu, yang antara lain
mengatakan bahwa tugas pembentukan hukum adalah semata-mata hak
luar biasa dan pembentuk undang-undang. Tokoh lain adalah Rousseau
sebagai tokoh teori kedaulatan at yang antara lain mengatakan bahwa
kehendak bersama dan rakyat adalah kekuasaan tertinggi, undang-undang
adalah pernyataan kehendak tersebut, maka tidak ada sumber lain, selain
undang-undang. Senada dengan ajaran Montesquieu dan Rousseau, aliran
legis berpendapat, bahwa kedudukan hakim adalah pasif, hakim hanya
terompet undang-undang, hakim hanya bertugas memasukkan sesuatu hat
yang konkrit dalam peraturan perundang-undangan dengan jalan silogisme
hukum, secara deduksi logis (Sanusi, 1977 :51).

Kebaikan atau segi positif dan ajaran legis adalah lebih banyak
menjamin tercapainya kepastian hukum dan memberi jamman yang
maksimal terhadap hak-hak perseorangan dan dapat menghindarkan

30
terjadinya tindakan yang sewenang-wenang dan penguasa. Sedangkan
kelemahan atau segi negatifnya, bahwa ajaran legis bersifat berat sebelah
dan hanya cocok untuk hukum yang berbentuk undang-undang. Adalah
tidak benar, kalau tugas hakim hanya mempelajari, menganalisis dan
dengan menggunakan silogisme, yaitu deduksi yang logis dapat
menyelesaikan peristiwa-peristiwa konkrit yang diajukan kepadanya. Hal
tersebut disebabkan bahwa undang-undang secara relatif adalah terbatas,
dan seringkali tidak jelas, sehingga hakim perlu menafsirkannya.

Begriffsjurisprudenz

Ajaran ini masih mendasarkan pada ajaran legis, namun berusaha


memperbaiki kelemahan yang ada, yaitu dengan mengajarkan bahwa
undangundang memang tidak Iengkap, tetapi tetap dapat memenuhi
kekurangannya itu sendiri, sebab undang-undang mempunyai daya
meluas. Sebagai sumber hukum adalah undang-undang dan hukum
kebiasaan. Cara memperluas hukum hendaknya normiogist dan dipandang
dan segi dogmatik, dengan alasan bahwa hukum adalah merupakan satu
kesatuan yang tertutup yang menguasai semua tingkah laku sosial.
Begriffsjurisprudenz berpendap bahwa hakim bebas dan ikatan-ikatan
undang-undang, namun demikia. hakim tetap harus bekerja dalam sistem
hukum yang tertutup. Sebenarny hakim tidak membentuk hukum, yang
dikerjakan hakim hanyalab membuka tabir pikiran-pikiran yang ada dalam
undang-undang.

Apa yang diajarkan oleh Begrtffsfurisprudenz bahwa kekurangan-.


kekurangan dalam undang-undang dapat diatasi dengan memperhia.
ketentuannya dengan mengganakan logika secara rasional, memang dap
diterima, tetapi sebenarnya itu belum cukup. Kelemahan Begriffsfurisprud
bahwa ajaran ini memandang undang-undang sebagai tujuan, seharusnya

31
undang-undang itu hanya sebagai alat, sehingga ajaran ini dapat dikatakan
sebagai ajaran tentang pengertian, sebagai suatu permainan pengertian.
Begriffsjurisprudenz sangat menonjolkan, bahkan dapat dikatakan
mendewa-dewakan ratio dan logika, dan merasa puas dengan terjaminnya
kepastian hukum. Padahal pekerjaan hakim tidak semata-mata logis
ilmiah, namun diperlukan juga pertimbangan-pertimbangan budi yang
sifatnya irasional seperti kebenaran, perasaan keadilan dan kemanfaatan
bagi masyarakat.

Interessenjurisprudenz atau Freirechtsschule

Sebagai ajaran yang tidak menerima dasar-dasar pikiran Legisme


dan Begriffsjurisprudenz, Jnteressenjurisprudenz atau dapat disebut
sebagal ajaran kebebasan hakim mengatakan bahwa undang-undang tidak
lengkap dan bukan merupakan satu-satu sember hukum, masih ada sumber
hukum lam tempat hakim menemukan hukumnya. Undang-undang,
kebiasaan dan sebagainya hanyalah sarana bagi hakim dalam menemukan
hukumnya. Yang dipentingkan di sini bukan kepastian hukum, melainkan
kemanfaatan bagi masyarakat. Hakim dan para pejabat lain mempunyai
kebebasan yang seluasluasnya dalam menemukan hukum.

Bahkan dalam usaha mewujudkan hukum seadil-adilnya hakim


diperbolehkan menyimpang dan ketentuan undang-undang. Menurut
Interessenjurisprudenz hukum lahir karena peradilan.

Interessenjurisprudenz memberikan kebebasan yang sangat luas


kepada hakim, sehingga hakim dapat mengesampingkan undang-undang,
hakim dapat menciptakan sendiri hukumnya, yang mungkin menyimpang
dan ketentuan undang-undang dengan alasan kepentingan dan kesadaran
hukum masyarakat atau mungkin ada alasan subyektif lainnya. Hal
tersebut dapat melahirkan putusan yang sewenang-wenang.

32
Soziologische rechtsshule

Ajaran ini tidak setuju dengan apa yang diajarkan oleh


Interessenjurisprudenz. Undang-undang harus lab dihormati, hakim
memang mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum, tetapi
kebebasan tersebut masih dalam kerangka undang-undang. Dalam
memutus perkara, hakim mendasarkan pada undang-undang dan juga
harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap asas-asas keadilan,
kesadaran dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Dengan
perkataan lain untuk menemukan hukumnya, hakim harus mencarinya
dalam kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat.

Soziologisehe rechtsshule mengajarkan bahwa pada akhirnya yang


primer bagi hukum adalah penyesuaiannya dengan kesadaran hukum
masyarakat. Hal tersebut menggambarkan adanya pendemokrasian atau
penyosialisasian dan hukum.

Aliran Sistem Hukum Terbuka

Aliran sistem hukum terbuka dianggap sebagai aliran yang berlaku


sekarang. Undang-undang merupakan peraturan hukum yang bersifat
umum yang diciptakan oleh pembentuk undang-undang, dan tidak
mungkm mampu mencakup semua kegiatan dalam kehidupan manusia.
Banyak hal yang belum diatur oleh undang-undang. Dalam hal undang-
undang tidak mengatir atau ada kekosongan hukum dalam undang-
undang, maka kekosongan itu akan diisi oleh peradilan dengan membuat
penafsiran terhadap undang-undang atau konstruksi-konstruksi hukum. Di
samping ada hukum dalam undang-undang dan peradilan, juga ada hukum
kebiasaan.

33
Aliran sistem hukum terbuka mengatakan bahwa tugas hakim
menciptakan hukum. Undang-undang bukan merupakan peranan utama,
tetapi merupakan alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang menunit
hukum tepat dan tidak perlu harus sama dengan penyelesaian yang sesuai
undang-undang. Hakim bukan hanya menerapkan undang-undang, tetapi
menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkrit, sehingga
peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian dapat diselesaikan dengan
kaidab hukum yang telah diciptakan oleh hakim.

Aliran-aliran tersebut di atas berusaha menjawab apakah yang


merupakan sumber hukum. Dalam garis besarnya, kalau dihubungkan
dengan tugas hakim, dapat dikelompokkan dalam ada 3 (tiga) aliran, yaitu:

1. Legisme, sebagai aliran yang menganggap bahwa undang-undang


merupakan satu-satunya sumber hukum, yurisprudensi tidak
penting Dalam mempelajari hukum, undang-undang adalah
primer, sedangkan yurisprudensi adalah sekunder. Hakim
tugasnya hanya menerapkan undang-undang (Wetstoepassing)
dengan jalan juridisch syllogisme, yang sifatnya ligische deductie
dan preposisi mayor kepada preposisi minor sehingga sampai
pada conclusio.

2. Freirechtsbewegung atau aliran kebebasan hukum, yang intinya


bahwa dalam melaksanakan tugasnya hakim bebas, apakah akan
mengikuti undang-undang atau tidak. Tugas hakiin adalah
menciptakan hukum (Rechtschepping). Dalam mempelajari
hukum, yurisprudensi adalah primer, sedangkan undang-undang
adalah sekunder.

3. Aliran rechtsvinding, sebagai aliran yang mengambil jalan tengah


diantara legisme dan freirehtbewegung. Hakim memang terikat

34
pada undang-undang, tetapi hakim juga mempunyai kebebasan.
Dalam melaksanakan tugasnya hakim mempunyai keterikatan
dalam kebebasan (Gebonden-Vrijheid, sebab hakim harus
berusaha menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman,
oleh sebab itu hakim mempunyai wewenang untuk menafsirkan
undang-undang dan dibenarkan melakukan argumentasi atau
komposisi dengan analogi, cara berfikir a contrario dan
penghalusan hukum.

35
Bagian 3

Ruang Lingkup dan Tujuan

Hukum mempunyai fungsi khusus untuk melindungi kepentingan-


kepentingan manusia dalam hidup bermasyarakat. Hukum juga
mengatur hubungan antara manusia yang sama dengan manusia
yang lain dalam hidup bermasyarakat agar tercipta kedamaian hidup
bersama. Kedamaian bersama tersebut tentunya juga diharapkan
dapat menciptakan kesejahteraan hidup pribadi dan antar pribadi.
Mengingat dalam hidup bermasyarakat tidak selamanya berjalan
lancar, bahkan sering terjadi pelanggaran hukum, maka harus juga
dipelajari kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
hukum.
Untuk mengetahui, memahami dan dapat menghayati hukum, kita
harus mengetahui ruang lingkup dan tujuan suatu kaidah hukum.
Setelah mempelajari Bagian 4 Buku Ajar ini, setidaknya telah
mempunyai dasar untuk mempelajari hukum ke tahapan
selanjutnya.

A. Sistem Hukum

Sistem hukum adalah satu kesatuan komponen-komponen


pemebentuk tatanan hukum, dimana kesemuanya saling terkoneksi dan
memiliki peranan yang saling mendukung. Hal tersebut merupakan
identitas khusus suatu tatanan sistem, adanya hubungan fungsional demi
mencapai tujuan yang sama dan berjalan mengikuti mekanisme.
Olehkarenanya penting dilakukan penyusunan suatu struktur dan
pendistribusian peranan.

Sebagai satu kesatuan yang terdapat berbagai komponen


penyusunnya, suatu sistem diharapkan selalu berjalan selaras dan
mempunyai visi yang sama. Namun tidak menutup kemungkinan kadang

36
kala terjadi suatu friksi antar komponen tersebut. Timbulnya konflik dari
suatu friksi tersebut adalah puncaknya, perlu dilakukan suatu perlakuan
agar meminimalisir kejadian tersebut diantaranya:

1. Apabila terjadi konflik di antara peraturan perundang-undangan


maka haruslah diselesaikan oleh asas-asas peraturan perundang-
undangan juga;
2. Apabila terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan
dengan norma adat masyarakat maka harus diselesaikan dengan
berlandaskan pada sifat kaidah hukum peraturan perundang-
undangan. Sehingga kemungkinan keduanya kalah dan menang
adalah sama;
3. Apabila terjadi konflik antara peraturan perundang-undangan
dengan suatu putusan pengadilan, maka putusan hakim tentunya
yang akan memenangkan. Alasannya berdasar pada asas res
judicata pro veritae habitur yakni suatu putusan hakim hanya bisa
dikalahkan oleh putusan hakim diatasnya.

Konflik dalam suatu sistem hukum adalah hal yang bisa ditemui
kapanpun, selama perkembangan sistem hukum terus berlanjut.
Pemecahan masalah terhadap konflik tersebut haruslah berasal dari dalam
sistem hukum itu sendiri. Hingga dirasakan tidak terdapat suatu
pemecahan masalah dari dalam, maka wajib mencari temua di luar sistem
itu sendiri atau akan merusak dan mengacaukan sistem yang telah ada.
Prosesnya pencarian jalan keluar tersebut menggunakan proses
interpretasi, argumentasi hingga mengkontruksi hukum.

Sistem hukum yang terdiri dari berbagai komponen penyusunnya


berkembang dan hilang sebagai satu kesatuan, sesuai dengan kondisi
masyarakat. Mertokusumo (1990) mengungkapkan bahwa sistem hukum

37
mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya, sistem hukum
merupakan kesatuan unsur-unsur (yang berupa peraturan dan penetapan)
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, sosial, ekonomi, sejarah,
dan sebagainya. Peraturan hukum itu terbuka untuk penafsiran yang
berbeda, oleh karenanya akan terjadi perkembangan.

Sistem hukum meliputi keseluruhan hukum yang ada dan berlaku,


secara tersurat ataupun tersirat di berbagai elemen masyarakat sehingga
terdapatlah berbagai unsur pembentuknya, yaitu:

1. Undang-undang, mencakup aturan yang disusun oleh


pemimpin/penguasa berkompeten di bidangnya, dan dikodifikasi
berupa tulisan pada perundang-undangan;
2. Adat/kebiasaan, merupakan pola perilaku masyarakat secara
teratur dalam kurun waktu yang lama dan menciptakan tatanan
kehidupan ideal;
3. Yurisprudensi, merupakan proses penciptaan aturan-aturan hukum
oleh hakim guna menghadapi berbagai persoalan di masyarakat;
4. Traktat, ruang lingkupnya sangat terbatas hanya sebatas perjanjian-
perjanjian pihak tertentu dan tidak selalu mengikat untuk umum;
5. Ilmiah, seperti halnya traktat hanya mencakup proses pencarian
kebenaran para ahli hukum.

B. Asas Hukum

Sistem hukum dilengkapi dengan asas-asas hukum, dengan


demikian akan membuat sistem hukum ini menjadi hidup karena asas-asas
hukum mmengandung tuntutan etis. Asas hukum merupakan penghubung
antara peraturan hukum dan hukum yang berlaku terhadap harapan, tujuan
serta pandangan masyarakat.

38
Asas hukum merupakan alasan umum yang menjadi dasar kelahiran
suatu peraturan hukum. dengan demikian peraturan-peraturan hukum yang
ada, pada akhirnya kembali pada asas-asasnya. Dalam pembentukan
perundang-undangan terdapat beberapa asas yang harus menjadi acuan.
Pertama adalah asas hukum umum, sebagai asas asas kesusilaan yang
tidak terikat tempat dan waktu. Kedua adalah asas hukum sebagai jiwa
kebangsaan, untuk mencapai cita-cita luhur bangsa harus selaras dengan
apa yang menjadi pandangan hidup dasar negara. Ketiga adalah asas
hukum pembentukan perundang-undangan, sebagai pondasi awal
pembentukan maka kesatuan tekad dan kebersamaan yang kuat akan
menjadikan struktur perundang-undangan kokoh dalam menghadapi
berbagai realitas hukum di masyarakat.

Meskipun atura-aturan hukum telah hadir, asas-asas hukum tidak


akan terlupakan. Asas-asas hukum merupakan salah satu nilai yang hidup,
tumbuh, dan berkembang seiring berkembangnya masyarakat. Dengan
demikian asas hukum mempunyai suatu peranan yang penting dalam
pembentukan hukum, karena asas hukum yang mengarahkan pada
pembentuk perundang-undangan sehingga ditetapkan. Setelah memahami
asas hukum tersebut, dapat difahami tujuan yang dikehendaki, dan asas
hukum akan sangat dibutuhkan bagi:

1. Pembentuk perundang-undangan, karena asas hukum memberikan


dasar dan alasan dalam proses pembentukan hukum;
2. Hakim, karena asas hukum memberi bahan dalam menafsirkan
undang-undang dan juga dalam melaksanakan undang-undang
sesuai dengan cita-cita dan pandangan hidup masyarakat;
3. Ilmu pengetahuan, karena asas hukum adalah modifikasi
peraturan-peraturan hukum yang di atasnya.

39
Selain itu, asas hukum ternyata dapat kita jumpai di berbagai
peraturan hukum konkrit, kemudian secara rinci dijabarkan kedalam pasal-
pasal maupun bagian penjelas umum suatu perundang-undangan. Tetapi
tidak menutup kemungkinan asas hukum juga tidak dimuat secara nyata
dalam perundang-undangan.

C. Tujuan

Tujuan hukum mengarah kepada sesuatu yang hendak dicapai. Oleh


karena itulah, tidak dapat disangkal kalau tujuan hukum merujuk kepada
sesuatu yang ideal sehingga dirasakan abstraknya. Pemikir Yunani
beberapa diantaranya yang memikirkan tentang tujuan hukum adalah
Aristoteles. Filsuf ini melihat realita bahwa secara alamiah manusia adalah
binatang politik (zoon politicon) atau diperhalus dengan istilah makhluk
bermasyarakat. Ia mengemukakan bahwa suatu negara didasarkan atas
hukum sebagai satu-satunya sarana yang tepat dan dapat digunakan untuk
mencapai kehidupan yang lebih baik yang merupakan tujuan suatu
organisasi.

Gambar 3.1.
Patung Aristoteles sebagai salah seorang filsuf terkenal

40
(sumber: http://www,wikipedia.org)

Akan tetapi Aristoteles menyadari bahwa pelaksanaan hukum bukan


tidak mungkin untuk kasus-kasus konkret akan terjadi kesulitan akibat
penerapan hukumyang kaku.untuk mengatasi masalah tersebut Aristoteles
mengusulkan adanya equity. Ia mendefinisikan equity sebagai “koreksi
tehadap hukum apabila hukum itu kurang tepat karena bersifat umum”.
Biasanya hukum mempertimbangkan sebagian besar peristiwa yang situasi
dan tipenya bersifat biasa, yakni bukan peristiwa yang aneh.

Dari apa yang disimpulkan tersebut, apa yang menjadi pemikiran


Aristoteles bahwa untuk mencapai kehidupan yang baik adalah melalui
tujuan hukum. dalam bentuk kehidupan apapun yang menjadi
permasalahan bukan hanya suatu tata tertib, melainkan keadilan dan
kepentingan dalam hidup bermasyarakat. Pandangan tersebut kemudian
diadopsi oleh Thomas Aquinas dan dikembangkan kembali pada abad
pertengahan. Sebagaimana Aristoteles menyatakan bahwa tujuan hukum
adalah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, Aquinas menyatakan

41
bahwa secara ideal hukum terpancar dari kekuasaan untuk memerintah
guna kebaikan bersama. Hukum adalah sesuatu yang hidup secara batiniah
di masyarakat. Tugas hukum yang memadai, tertulis dalam hati dan
kehendak rakyat karena manusia merupakan makhluk rasional.

Manusia adalah bagian tatanan masyarakat, sehingga hukum harus


ditujukan untuk kesemua komponen masyarakat tersebut. Manusia
memiliki suatu nalar yang digunakan sebagai kekuatan untuk
menggerakkan suatu kehendak. Argumen lain Aquinas adalah bahwa
hukum tidak lain daripada pengaturan secara rasional untuk kesejahteraan
dan sentosa masyarakat secara keseluruhan tidak peduli siapa yang
membuatnya, baik penguasa ataupun rakyat. Sehingga kesimpulan akhir
yang diujarkan adalah akibat yang diharapkan dari hukum adalah
membimbing orang-orang yang diaturnya ke arah kebajikan. Dengan
demikian, dasar yang benar satu-satunya bagi pembentuk undang-undang
adalah niatnya untuk menjamin kebaikan umum sesuai dengan keadilan.

Gambar 3.2.
Thomas Hobbes sebagai Tokoh Pemikir Hukum Periode Pertama

42
(Sumber: http://www.d.umn.edu)

Tujuan ilmu hukum tidak terlepas dari periode awal mula abad
modern yang didominasi oleh bentuk baru pandangan hukum alam yang
biasanya disebut sebagai aliran hukum alam klasik. Terdapat tiga periode
yang menjadi rumusan awal tujuan ilmu hukum di masa
perkembangannya. Periode pertama adalah pada sesaat setelah.
Renaissance dan Reformasi merupakan proses emansipasi terhadap
teologi dan feodalis di abad pertengahan. Bangkitnya kepercayaan
masyarakat di bidang religius, munculnya kerajaan-kerajaan yang absolut,
dan ekonomi yang meningkat. Berbagai ahli terlahir dari periode ini
diantaranya Thomas Hobbes, Samuel Pufendorf, dll.

Periode kedua mengganti bersamaan dengan tercetusnya revolusi


puritan Inggris ditandai dengan arah kebijakan menuju kapitalis di bidang
politik dan ekonomi. Para pemikir seperti Montesquieu dan John Locke
hadir untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut. Dan periode ketiga
muncul saat masyarakat mulai meyakini konsep demokrasi. Tujuan ilmu
hukum dalam konsep masyarakat demokrasi, terkenal tokoh Jean-Jecques
Rousseau yang menampik hukum alam tidak hanya General Will
melainkan lebih sesuai Volonte General dan keputusan mayoritas rakyat.

Kaitannya perkembangan periodesasi tersebut dengan tujuan ilmu


hukum, diantanya pertama adalah periode masanya Hobbes.
Pandangannya sering disalahtafsirkan sebagai suatu pandangan yang
eakan-akan sudah diterima sebagai pandangan yang berlaku umum.
Menurut pandangan Hobbes, tujuan hukum adalah untuk ketertiban sosial.
Hal tersebut karena Hobbes lahir dari kondisi dan lingkungan yang kelam.
Hobbes menyaksikan bagaimana peristiwa perang saudara di Inggris.
Sehingga ia berspekulasi bahwa pada situasi naturalis, manusia bersifat

43
egois, suka menyakiti sesamanya, kasar, dan ingin selalu dipenuhi
keinginannya. Hobbes menganggap saat situasi perang semua orang harus
mempunyai kekuatan yang seimbang. Semua orang mempunyai hak yang
sama atas semua benda dan kenikmatan untuk hidup.

Berbeda hal sebelumnya, pada periode kedua yang ditandai dengan


usaha membangun perlindungan yan efektif terhadap pelanggaranhak-hak
oleh penguasa. Hukum di periode ini dipandang terutama sebagai sarana
untuk melindungi pribadi-pribadi dari kekuasaan yang bersifat otokratis
dan sewenang-wenang. Kemunculan berbagai penguasa yang absolut di
berbagai daerah di Eropa pada masanya, membuktikan bahwa
perlindungan terhadap kebebasan pribadi dari kedzaliman penguasa sangat
diharapkan masyarakat.

Gambar 3.3. Perang Saudara di Inggis sebagai masa yang kelam

(sumber: http://www,kompasiana.com)

D. Klasifikasi Hukum

44
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih konkrit perihal hukum,
maka terhadap hukum yang banyak segi dan demikian luas dilakukan
pengklasifikasian berdasarkan kriteia tertentu. Adanya suatu klasifikasi
hukum akan sangat membantu dan mempermudah dalam mempelajari
hukum. Setidaknya para pembelajar hukum dapat mempeoleh suatu
pengertian yang lebih baik dan mudah dalam menerapkan hukum pada
masyarakat.

Klasifikasi hukum dipengaruhi oelh unsur-unsur historis dan


sosiologis, oleh karenanya faktor tempat dan waktu ikut
mempengaruhinya. Hal ini berakibat, untuk adanya prinsip klasifikasi
hukum yang sama diantara negara satu dengan negara lainnya adalah
sangat sulit terjadi. Untuk mengklasifikasikan hukum perlu ditetapkan
dahulu kriteria yang akan digunakan. Kemudian setelah kriteria tersebut
ditetapkan barulah hukum diklasifikasikan. Adanya klasifikasi hukum itu
tidak berarti antara klasifikasi yang satu menjadi terpisah dengan
klasifikasi lainnya.

Hal tersebut berarti untuk suatu bidang hukum tertentu dan


menggunakan kriteria-kriteria tertentu dapat dimasukkan dalam beberapa
klasifikasi hukum. adapun kriteria yang digunakan dalam mengklasifikasi
hukum diantaranya adalah:

Berdasar Sumber Berlakunya

1. Hukum undang-undang, yaitu hukum yang tercantum dalam


peraturan perundang-undanan;
2. Hukum Kebiasaan/Adat, yaitu hukum yang secara tersirat
berlaku di masyarakat dapat dirasakan kehadirannya dalam
kehidupan sehari-hari;

45
3. Hukum traktat, yaitu hukum yang dilegalkan oleh pemerintah
berdasarkan suatu perjanjian;
4. Hukum yurisprudensi, hukum yang tercipta dari putusan hakim;
5. Hukum perjanjian, hukum yang berlaku pada pihak yang
melakukan perjanjian;
6. Hukum doktrin, hukum yang terdapat pada pemberian konsep
berfikir masyarakat.

Berdasar Bentuknya

1. Hukum tertulis, yaitu hukum dimuat ke dalam peraturan


perundang-undangan dan dapat dicermati secara visual;
2. Hukum tidak tertulis, yaitu berupa kebiasaan dan perilaku sehari-
hari masyarakat sehingga menjadi suatu acuan dalam
memutuskan suatu keputusan.

Berdasar Sifatnya

Dalam klasifikasi hukum berdasarkan sifat, atau penggunaanya


terbagi kedalam:

Hukum yang bersifat mengatur, adalah hukum yang dalam keadaan


tertentu dapat dikesampingkan oleh pihak tertentu. Hukum ini awalnya
sebagai pengisi kekosongan hukum, sehingga nantinya hanya sebatas
pelengkap dari hukum yang sudah ada. Ketentuan hukum ini berlaku saat
dalam ketentuan hukum yang ada tidak mengatur sesuatu hal.

Hukum yang bersifat memaksa, adalah hukum yang dalam keadaan


tertentu tidak dapat dikesampingkan oleh hal apapun. Kaidah dalam
hukum tersebut bersifat mengikat terhadap segala sesuatu unsur yang ada
didalamnya. Biasanya untuk kepentingan umum berlaku hukum yang
bersifat memaksa. Karena suatu kondisi yang ideal sesuai kesepakatan

46
bersama, hukum harus diwujudkan dengan usaha yang memaksa. Bebeda
jka berkenaan dengan kepentingan individu atau privat yang biasanya
hanya bersifat mengatur.

Suatu ketentuan hukum yang sifatnya mengatur kadang dapat


berubah sifatnya jadi memaksa. Keadaan yang menjadikan hal tersebut
karena para pihak yang melakukan perjanjian secara tegas patuh terhadap
aturan yang ada. Tetapi meskipun para pihak tersebut menyatakan untuk
tidak patuh terhadap hukum yang bersifat mengatur, melainkan membuat
suatu aturan sendiri dan terjadi suatu kekosongan hukum maka sifat
hukum yang memaksa tidak bisa mereka hindari.

Berdasar Luas Berlakunya

Pembagian dalam hal ini dibedakan menjadi hukum umum dan


hukum khusus. Hukum umum adalah peraturan hukum yang berlaku bagi
setiap orang. Sedangkan hukum khusus dibagi ke dalam beberapa bagian
berikut:

1. Khusus untuk tempat tertentu, merupakan kekhususannya


berdasarkan suatu tempat dengan adanya suatu batasan;
2. Khusus untuk hal-hal tertentu, hanya terhadap suatu peristiwa
atau kejadian tertentu saja hukum itu berlaku.

Terdapat suatu hubungan antara hukum umum dengan hukum


khusus, yaitu dikenal dengan istilah lex spesialis derogat legi generale
dalam bahasa Indonesia berarti hukum khusus mengesampingkan
berlakunya hukum umum, dengan syarat apabila keduanya mengatur
materi yang sama tapi ternyata isinya saling bertentangan.

Berdasar Fungsinya

47
Bagaimana cara penggunaan suatu hukum, maupun dipandang dari
dari posisinya dibedakan menjadi:

Hukum materiil, adalah aturan yang mengatur berbagai kepentingan


serta hubungan-hubungan hukum. Adanya suatu keterkaitan dan tidak
dapat dipisahkan, secara lebih jelas dikatakan penentu antara hak dan
kewajiban, intinya dapat dirasakan keberadaannya oleh panca indera.

Hukum formil, adalah aturan hukum dalam mengatur bagaimana


menjamin ditaatinya suatu hukum materiil. Hukum formil dikenal sebagai
hukum acara sehingga baru dipakai pada saat telah terjadi suatu
pelanggaran hukum materiil.

Umumnya masyarakat hanya mengetahui bahwa hukum materiil


hanya terjadi saat beracara di pengadilan, tidak banyak diketahui hal
lainnya yaitu dalam penyelesaian arbitrase, meminta bantuan terhadap
akta notaris, dll. Jika hukum perdata materiil dilanggar, maka
penyelesaiannya ditentukan hanya oleh para pihak yang bersangkutan.
Tentunya harus secara fair dan tidak ada yang dirugikan, tidak main hakim
sendiri. Namun ketika tidak terselesaikannya hukum tersebut, maka
hukum acara memfasilitasi untuk diselesaikannya masalah tersebut yang
putusannya mengikat keduanya.

Berdasar Isinya

Hukum publik, berarti peraturan dengan suatu obyeknya adalah


kepentingan umum. Pengertian lebih sempit membatasi hanya aturan
hukum dalam mengatur hubungan negara dengan warganya, ataupun
hubungan negara dengan alat kelengkapannya. Karena hukum publik
dilaksanakan demi kepentingan orang banyak, maka subyek hukumnya
adalah penguasa/pemerintah.

48
Hukum privat, adalah aturan hukum dengan obyeknya suatu
kepentingan perseorangan atau individu saja tidak termasuk kepentingan
lainnya. Dapat juga diartikan sebagai peraturan yang mengatur hubungan
antar individu, ruang lingkupnya tidak terbatas selama hanya berhubungan
sesama individu. Hukum privat sepenuhnya diatur oleh para pihak
individu yang berkepentingan.

49
Bagian 4

Konsep Dasar Ilmu Hukum

Manusia sebagai makhluk biologis, eksistensinya dalam masyarakat


dilihat baik dalam kapasitasnya sebagai pribadi atau orang
perorangan maupun sebagai bagian atau anggota dan kelompok.
Orang adalah konstruksi hukum, jadi kalau bermaksud
meningkatkan harkat dan martabat manusia, itu sama maksudnya
dengan mengorangkan manusia. Di Indonesia setiap manusia
dianggap sebagai orang, artinya setiap manusia diakui harkat dan
martabatnya sebagai orang, atau secara yuridis diakui sebagai
subyek hukum.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat di antara orang yang satu
dengan yang lain, saling mengadakan hubungan. Hubungan yang
berdasarkan hukum disebut hubungan hukum, yang mempunyai
akibat hukum. Dalam hubungan hukum sering terjadi dengan
perantaraan benda atau hak. Segala sesuatu yang berguna bagi
subyek hukum dan dapat menjadi sasaran dan suatu hubungan
hukum disebut obyek hukum. Obyek hukum dapat dikuasai oleh
subyek hukum. Sebagai obyek dan suatu hubungan hukum tentunya
obyek hukum itu mempunyai nilai dan harga, sehingga perlu ada
penentuan siapakah yang berhak atasnya.
Pada Bagian 4 ini capaian mata kuliah yang hendak dicapai adalah
perihal Interpretasi Hukum sebagai Cara Memahami Norma Hukum
dan Keterkaitan antara Hukum dan Hak.

A. Subyek Hukum

Hukum sejatinya dipelajari dari berbagai berbagai sudut, sehingga


terjadilah berbagai ilmu pengetahuan tentang hukum. Kemudian
Kusumadi dalam Kansil (2008) menyebutkan bahwa yang disebut dengan
ilmu pengetahuan hukum sebenarnya terdiri atas berbagai ilmu
pengetahuan hukum yaitu ilmu pengetahuan hukum positif, ilmu
pengetahuan sosiologi huum, ilmu pengetahuan sejarah hukum, ilmu

50
pengetahuan perbandingan hukum, ilmu pengetahuan filsafat hukum, ilmu
pengetahuan politik hukum dan masih banyak lagi.

Subyek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat


menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. Subyek hukum
ini, dalam kamus Ilmu Hukum disebut juga “orang” atau “pendukung hak
dan kewajiban”. Subyek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak
menurut tata cara yang ditentukan atau dibenarkan hukum. Sementara,
terdapat beberapa pengertian mengenai subyek hukum berdasarkan
persepsi para ahli: (Natadimaja, 2009:7)

1. Subekti mengartikan bahwa subyek hukum adalah pembawa


hak ayau subyek di dalam hukum yaitu orang.
2. Mertokusumo mengartikan bahwa subyek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.
Hanya manusia yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari
hukum.
3. Syahran mengartikan bahwa subyek hukum adalah pendukung
dak dan kewajiban.
4. Chaidir Ali mengartikan bahwa subyek hukum adalah manusia
yang berkepribadian hukum, dan segala sesuatu yang
berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu dan
oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.

Dengan demikian dapat disimpulkan dari apa yang diartikan oleh


para ahli tersebut bahwa subyek hukum adalah suatu hal yang mempunyai
hak dan kewajiban dari hukum. Lebih spesifik subyek hukum adalah
manusia yang memiliki hak dan kewajiban sepertia apa yang dikemukakan
Rachmadi (2006:72). Adapun subyek hukum (orang) yang dikenal dalam
ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum.

51
1. Manusia (natuurlijk persoon) menurut hukum, adalah setiap
orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku
pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya, orang sebagai
subyek hukum dimulai sejak ia lahir dan berakhir setelah
meninggal dunia. Namun, ada pengecualian menurut Pasal 2
KUHPerdata, bahwa bayi yang masih dalam kandungan ibunya
dianggap telah lahir dan menjadi subyek hukum, apabila
kepentingannya menghendaki (dalam hal menerima pembagian
warisan). Apabila bayi tersebut lahir dalam keadaan meninggal
dunia, menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia
bukan subyek hukum (tidak menerima pembagian warisan).

Akan tetapi, ada golongan manusia yang dianggap tidak cakap


bertindak atau melakukan perbuatan hukum, disebut personae
miserabile yang mengakibatkan mereka tidak dapat
melaksanakan sendiri hak-hak dan kewajibannya. Jadi, untuk
menjalankan hak-hak dan kewajibannya, harus diwakili oleh
orang tertentu yang ditunjuk, yaitu oleh walinya atau
pengampunya (kuratornya). Golongan manusia tersebut adalah
sebagai berikut:

a. Anak yang masih di bawah umur atau belum dewasa


(belum berusia 21 tahun), dan belum kawin/nikah.

b. Orang dewasa yang berada dibawah pengampuan


(curatele), disebabkan oleh sebagai berikut:

(1) Sakit ingatan: gila, orang dungu, penyakit suka mencuri


(kleptomania).

52
(2) Pemabuk dan pemboros (ketidakcakapannya khusus
dalam peralihan hak dibidang harta kekayaan).

(3) Isteri yang tunduk pada Pasal 110 BW/KUH-Perdata.


Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 3 Tahun 1963, setiap isteri sudah
dianggap cakap melakukan perbuatan hukum. Isteri yang
ditempatkan di bawah pengampuan berdasarkan
penetapana hakim yang disebut “kurandus”.

2. Badan hukum (rechts person), suatu perkumpulan atau lembaga


yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu. Badan
hukum terbagi atas dua macam, yaitu sebgai berikut:

a. Badan hukum privat, seperti perseroan terbatas (PT), firma,


CV, badan koperasi, yayasan, dan sebagainya.

b. Badan hukum publik, seperti negara (mulai dari


pemerintahan pusat sampai pemerintahan desa), dan
instansi pemerintah.

Keberadaan suatu hukum, menurut teori ilmu hukum ditentukan


oleh empat teori yang menjadi syarat suatu badan hukum agar
tergolong sebagai subyek hukum, yaitu sebagi berikut:

a. Teori fictie, yaitu badan hukum dianggap sama dengan


manusia (orang) sebagai subyek hukum, dan hukum juga
memberi hak dan kewajiban.

b. Teori kekayaan bertujuan, yaitu harta kekayaan dari suatu


badan hukum mempunyai tujuan tertentu, dan harus
terpisah dari harta kekayaan para pengurusnya atau
angotanya.

53
c. Teori pemilikan bersama, yaitu semua harta kekayaan
badan hukum menjadi milik bersama para pengurusnya atau
anggotanya.

d. Teori organ, yaitu badan hukum yang harus mempunyai


organisasi atau alat untuk mengelola dan melaksanakan
kegiatan untuk mencapai tujuan, yaitu para pengurus dan
asset (modal) yang dimiliki.

Konsekuensi pemisahan antara harta kekayaan badan hukum


dengan harta pribadi para pengurus atau anggotanya, adlah
sebagai berikut:

a. Penagih pribadi terhadap anggota badan hukum, tidak


berhak menuntut harta badan hukum.

b. Para pengurus/anggota tidak boleh secara pribadi menagih


piutang badan hukum terhadap pihak ketiga.

c. Tidak dibenarkan kompensasi (ganti kerugian) utang


pribadi dari pengurus atau anggota dengan utang badan
hukum.

d. Hubungan hukum berupa perjanjian antara


pengurus/anggota dengan badan hukum, disamakan
hubungan hukum dengan pihak ketiga.

e. Jika badan hukum pailit, hanya para kreditur saja yang


dapat menuntut harta kekayaan badan hukum.

B. Obyek Hukum

54
Sudarsono (2004: 285) menyebutkan bahwa obyek hukum
merupakan segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau
badan hukum) yang dapat menjadi pokok suatu perhuungan hukum,
karena sesuatu itu dapat dikuasai oleh subyek hukum.

Obyek hukum adalah “segala sesuatu yang bermanfaat bagi subyek


hukum dan dapat menjadi obyek dalam suatu hubungan hukum”. Menurut
terminologi (istilah) ilmu hukum, obyek hukum disebut pula “benda atau
barang”, sedangkan “benda atau barang” menurut hukum adalah “segala
barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis”, dan
dibedakan atas sebagi berikut (Subekti: 1996):

1. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (Pasal 503 KUH-


Perdata).

a. Benda yang berwujud, yaitu segala sesuatu yang dapat


dicapai atau dilihat dan diraba oleh panca indera.
Contohnya rumah, meja, kuda, pohon kelapa, dsb;

b. Benda tidak berwuju, yaitu segala macam benda yang tidak


berwujud, berupa segala macam hak yang melekat pada
suatu benda. Contoh, hak cipta, hak atas merek, hak atas
tanah, hak atas rumah, dsb.

2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (Pasal 504 KUH-


Perdata).

a. Benda bergerak, yaitu setiap benda yang bergerak, karena:

(1) Sifatnya dapat bergerak sendiri, seperti hewan (ayam,


kerbau, kuda, dsb);

(2) Dapat dipindahkan, seperti kursi, meja, sepatu, dsb;

55
(3) Benda bergerak karena penetapan atau ketentuan UU,
yaitu hak pakai atas tanah dan rumah, hak sero, hak
bunga yang dijanjikan, dsb.

b. Benda tidak bergerak, yaitu setiap benda yang tidak dapat


bergerak sendiri atau tidak dapat dipindahkan, karena:

(1) Sifatnya yang tidak bergerak, seperti gunung, kebun, dan


apa yang didirikan di atas tanah, termasuk apa yang
terkandung didalamnya;

(2) Menurut tujuannya, setiap benda yang dihubungkan


dengan benda yang karena sifatnya tidak bergerak,
seperti wastafel dikamar mandi, tegel (ubin), alat
percetakan yang ditempatkan digudang, dsb;

(3) Penetapan UU, yaitu hak atas benda tidak bergerak dan
kapal yang tonasenya/beratnya 20 M3.

C. Hak dan Kewajiban

Dalam kepustakaan ilmu hukum, dikenal dua teori atau ajaran untuk
menjelaskan keberadaan hak, yaitu sebagai berikut:

1. Belangen Theorie (teori kepentingan) menyatakan bahwa hak


adalah kepentingan yang terlindungi. Salah seorang
pemganutnya adalah Rudolf von Jhering, yang berpendapat
bahwa “hak itu sesuatu yang penting bagi seseorang yang
dilindungi oleh hukum, atau suatu kepentingan yang
terlindungi”.

Teori diatas dibantah oleh Utrecht (van Apeldoorn, 1985:221)


dengan alasan bahwa “hukum itu memang mempunyai tugas
melindungi kepentingan dari yang berhak, tetapi orang tidak

56
boleh mengacaukan antara hak dan kepentingan. Karena
hukum sering melindungi kepentingan dengan tidak memberi
hak kepada yang bersangkutan”.

2. Wilsmacht Theorie (teori kehendak), yaitu hak adalah


kehendak yang diperlengkapi dengan kekuatan.Bernhard
Winscheid merupakan salah satu penganutnya yang
menyatakan bahwa “hak itu suatu kehendak yang
diperlengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib
hukum kepada seseorang. Berdasarkan kehendak, seseorang
dapat mempunyai rumah, mobil, tanah, dsb”.

Teori ini dibantah lagi oleh Utrecht (van Apeldoorn, 1985:221)


dengan alasan sebagai berikut:

a. Meskipun mereka dibawah kuratele (pengampuan),


mereka tetap masih dapat memiliki rumah, mobil, dsb,
dan yang menjalankan haknya adalah wali/pengampunya
atau kuratornya.

b. Menurut Pasal 13 KUH-Perdata, bahwa tidak ada manusia


yang tidak mempunyai hak.

Selain kedua teori diatas, dikenal pula “teori fungsi sosial” yang
dikemukakan oleh Leon du Guit (van Apeldoorn, 1985:221) yang
mengatakan sebagai berikut:

“Tidak ada seorang manusia pun yang mempunyai hak.


Sebaliknya, didalam masyarakat, bagi manusia hanya ada suatu
tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas hak
kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan
oleh anggota masyarakat”.

57
Hak dapat timbul pada seseorang (subyek hukum) disebabkan oleh
beberapa hal berikut:

1. Adanya subyek hukum baru, baik orang maupun badan


hukum.

2. Terjadi perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang


melakukan perjanjian.

3. Terjadi kerugian yang diderita oleh seseorang akibat kesalahan


atau kelalaian orang lain.

4. Terjadi daluarsa (verjaring), biasanya karena acquisitief


verjaring yang dapat melahirkan hak bagi seseorang.
Sebaliknya, jika terjadi extinctief verjaring, justru
menghapuskan hak atau kewajiban seseorang (orang lain).

Lenyapnya atau hapusnya suatu hak menurut hukum dapat


disebabkan oleh empat hal berikut:

1. Apabila pemegang hak meninggal dunia dan tidak ada


pengganti atau ahli waris yang ditunjuk, baik oleh pemegang
hak maupun ditunjuk oleh hukum.

2. Masa berlakunya hak telah habis dan tidak dapat diperpanjang


lagi. Misalnya, kontrak rumah yang telah habis waktu
kontraknya.

3. Telah diterimanya suatu benda yang menjadi obyek hak.


Misalnya, seseorang yang telah mempunyai hak waris atau hak
menagih hutang, tetapi warisan atau piutang itu sendiri telah
dierima atau dilunasi, maka hak waris dan hak menagih hutang
itu hapus dengan sendirinya.

58
4. Karena daluarsa (verjaring), misalnya seseorang yang
memiliki sebidang tanah yang tidak pernah diurus, dan tanah
itu ternyata telah dikuasai oleh orang lain selama lebih 30
tahun, maka hak atas tanah itu menjadi hak orang yang telah
mengurus menguasainya selama lebih 30 tahun.

Beberapa pengertian hak yang dikemukakan oleh sejumlah pakar


hukum, yaitu:

1. van Apeldoorn (1985:221) menyatakan hak adalah kekuasaan


(wewenang) yang oleh hukum diberikan kepada seseorang
(atau suatu badan hukum), dan yang menjadi tantangannya
adalah kewajiban orang lain (badan hukum lain) untuk
mengakui kekuasaan itu.

2. Satjipto Rahardjo (1982:94) menyatakan hak adalah kekuasaan


yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dengan maksud
untuk melindungi kepantingan seseorang tersebut.

3. Fitzgeraid (Rahardjo, 1985:95) mengemukakan bahwa suatu


hak mempunyai lima ciri, yaitu sebagai berikut:

a. Diletakkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik


atau subyek dari hak tersebut. Ia juga disebut sebagai orang
yang memiliki titel atas barang yang menjadi sasaran dari
hak.

b. Tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang


kewajiban. Jadi antara hak dan kewajiban terdapat
hubungan korelatif.

c. hak yang ada pada seseorang, mewajibkan pihak lain untuk


melakukan (commision) disebut isi hak.

59
d. Commision atau Ommision menyangkut sesuatu yang
disebut obyek hak.

e. Setiap hak menurut hukum mempunyai titel, yaitu suatu


peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu
pada pemiliknya.

Hak mengandung tiga unsur yang substansial, yaitu sebagai berikut:

1. Unsur perlindungan, misalnya seseorang tidak boleh dianiaya,


artinya setiap orang mempunyai hak untuk dilindungi oleh
hukum dari penganiayaan.

2. Unsur pengakuan, misalnya ada kewajiban untuk melindungi


A dari penganiayaan, berarti mengakui hak si A untuk tidak
dianiaya.

3. Unsur kehendak, misalnya A memiliki sebuah rumah, maka


hukum memberinya hak atas rumah tersebut untuk bebas
menggunakan kehendaknya atau memakainya dan orang lain
wajib menghormatinya dan tidak mengganggu hak si A.

Selain pengertian-pengertian diatas, dalam ilmu hukum dikenal juga


istilah misbruik van recht yaitu penyalahgunaan hak yang dianggap terjadi
apabila seseorang menggunakan haknya bertentangan dengan tujuan
diberikannya hak itu, atau bertentangan dengan tujuan kemasyarakatan.

Kewajiban

Kewajiban sesungguhnya merupakan beban yang diberikan oleh


hukum kepada orang atau badan hukum (subyek hukum). Kewajiban
dalam teori ilmu hukum menurut Curson (Rahardjo, 1982:100-101) secara
umum dibedakan atas lima golongan, sebagai berikut:

60
1. Kewajiban Mutlak dan Kewajiban Nisbi

a. Kewajiban mutlak, adalah kewajiban yang tidak


mempunyai pasangan hak. Misalnya, kewajiban yang
tertuju kepada diri sendiri yang umumnya berasal dari
kekuasaan.

b. Kewajiban nisbi, adalah kewajiban yang disertai dengan


adanya hak. Misalnya, kewajiban pemilik kendaraan
membayar pajak, sehingga berhak menggunakan fasilitas
jalan raya yang dibuat oleh pemerintah.

2. Kewajiban Publik dan Kewajiban Perdata

a. Kewajiban publik, yaitu kewajiban yang berkorelasi dengan


hak-hak publik. Misalnya, kewajiban untuk mematuhi
peraturan atau hukum pidana.

b. Kewajiban Perdata, yaitu kewajiban yang berkorelasi


dengan hak-hak perdata. Misalnya, kewajiban yang timbul
akibat dari suatu perjanjian.

3. Kewajiban Positif dan Kewajiban Negatif

a. Kewajiban positif, yaitu kewajiban yang menghendaki


suatu perbuatan positif. Misalnya, kewajiban penjual untuk
menyerahkan barang kepada pembeli.

b. Kewajiban negatif, yaitu kewajiban yang menghendaki


untuk tidak melakukan sesuatu. Misalnya, kewajiban
seseorang untuk tidak mengambil atau mengganggu hak
milik orang lain.

61
Lahir atau timbulnya suatu kewajiban, juga disebabkan oleh
beberapa hal sebagai berikut:

1. Karena diperoleh suatu hak yang membebani syarat untuk


memenuhi suatu kewajiban. Misalnya, seorang pembeli yang
berkewajiban membayar harga barang, juga berhak menerima
barang yang telah dilunasi.

2. Berdasarkan suatu perjanjian yang telah disepakati.

3. Adanya kesalahan atau kelalaian seseorang yang menimbulkan


kerugian bagi orang lain, sehingga ia wajib membayar ganti
rugi.

4. Karena telah menikmati hak tertentu yang harus diimbangi


dengan kewajiban tertentu pula.

5. Karena daluarsa tertentu yang telah ditentukan oleh hukum


atau karena perjanjian tertentu, bahwa daluarsa dapat
menimbulkan kewajiban baru. Misalnya, kewajiban membayar
denda atas pajak kendaraan bermotor yang lewat waktu atau
daluarsa (ditentukan dalam undang-undang).

Hapusnya atau berakhirnya suatu kewajiaban , disebabkan olh hal-


hal berikut:

1. Karena meninggalnya orang yang yang mempunyai


kewajiban, tanpa ada penggantinya, baik ahli waris maupun
orang lain atau badan hukum yang ditunjuk oleh hukum.

2. Masa berlakunya telah habis dan tidak diperpanjang.

3. Kewajiban telah dipenuhi oleh yang bersangkutan.

4. Hak yang telah melahirkan kewajiban telah dihapus.

62
5. Daluarsa (verjaring) extinctief.

6. Ketentuan undang-undang.

7. Kewajiban telah beralih atau dialihkan kepada orang lain.

8. Terjadi suatu sebab diluar kemampuan manusia, sehingga ia


tidak dapat memenuhi kewajiban itu.

D. Peristiwa Hukum

Peristiwa hukum adalah “semua kejadian atau fakta yang terjadi


dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum”. Misalnya,
perisiwa jual-beli suatu barang, dimana peristiwa itu menimbulkan akibat
hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban kedua belah pihak (penjual
dan pembeli). Satjipto Rahardjo (1986:74) mengartikan peristiwa hukum
adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakan suatu
peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum
didalamnya lalu diwujudkan.

Peristiwa hukum dibedakan atas dua jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Peristiwa hukum karena perbuatan subyek hukum, yaitu suatu


peristiwa hukum yang terjadi karena akibat perbuatan hukum.
Misalnya, peristiwa pembuatan surat wasiat, atau peristiwa
menghibahkan barang.

2. Peristiwa hukum yang bukan perbuatan subyek hukum atau


peristiwa hukum lainnya, yaitu peristiwa hukum yang terjadi
dalam masyarakat yang bukan merupakan akibat dari
perbuatan subyek hukum. Misalnya, kelahiran seorang bayi,
kematian seseorang, dan daluarsa yang terdiri atas dua jenis,
yaitu:

63
a. Daluarsa acquisitief, yaitu daluarsa atau lewat waktu yang
menimbulkan hak. Misalnya, sewa-menyewa rumah yang
telah selesai masanya maka si pemberi sewa “berhak”
untuk menguasai kembali obyek yang disewakan.

b. Daluarsa extinctief, yaitu daluarsa atau lewat waktu yang


melenyapkan kewajiban. Misalnya, A seorang satuan
pengamanan (satpam) yang menjaga gudang, tetapi
tugasnya selama jangka waktu tertentu telah digantikan
oleh B anggota satpam lainnya, maka “selesailah
kewajiban” A menjaga keamanan gudang.

Keterkaitan antara Peristiwa Hukum, Subyek dan Fakta Hukum, dan


Perbuatan Melawan Hukum

PERISTIWA HUKUM

PERBUATAN SUBYEK HUKUM FAKTA HUKUM

Perbuatan hukum Tindakan Keadaan, Peristiwa


mis: Perjanjian materil mis: kebakaran

Melawan hukum = Berkaitan Tidak berkaitan


Menurut hukum =
Perbuatan subyek dengan dengan
Melaksanakan
hukum tindakan tindakan
tugas
yang mempunyai akibat manusia, manusia,
yang diberikan
hukum yang tidak mis: lahirnya mis: orang yang
atau dibebankan
dikehendaki bayi gila

64
E. Perbuatan Melawan Hukum (Onrechmatigedaad)

Rumusan pengertian dan pelaksanaan “Perbuatan melawan hukum”


sebelum tahun 1919 dan sesudah tahun 1919 (Arrest Hoge Raad, Belanda)
tanggal 19 Desember 1919, adalah sebagai berikut:

1. Sebelum tahun 1919, perbuatan melawan hukum itu terjadi,


apabila perbuatan itu bertentangan dengan hukum tertulis
(UU) hanya dlam hal:

a. Melanggar hak orang lain yang diakui UU, atau melanggar


ketentuan hukum tertulis saja, misalnya, mengambil barang
(hak) orang lain tanpa seizin yang berhak (pemilik),
merusak barang milik orang lain, dsb.

b. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, misalnya,


tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan
sebagai kewajiban, atau tidak memberi hak mendahului
bagi orang lain di persimpangan jalan, dsb.

2. Sesudah tahun 1919, yaitu setelah keluarnya Arrest (putusan)


Hoge Raad (Mahkamah Agung) Belanda pada tanggal 31
Desember 1919 memutuskan bahwa suatu perbuatan
digolongkan melawan hukum, apabila:

a. Setiap perbuatan atau kealpaan yang menimbulkan


pelanggaran terhadap hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku.

b. melanggar baik terhadap kesusilaan maupun terhadap


kesaksamaan yang layak dalam pergaulan masyarakat
terhadap orang lain atau benda orang lain.

65
Pengertian dalam dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu
kejadian, sehingga menurut bahasa peristiwa hukum adalam suatu
kejadian yang menimbulkan suatu danya hukum dapat berlaku atau
kejadian yang berhubungan dengan hukum. aturan hukum terdiri dari
peristiwa dan akibat yang oleh aturan hukum tersebut dihubungkan.
Peristiwa demikian disebut sebagai peristiwa hukum dan akibat yang
ditimbulkan dari peristiwa tersebut sebagai akibat hukum. (Syarifin,
1998:72).

Peristiwa hukum merupakan kejadian dalam kehidupan masyarakat


yang menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu sehingga ketentuan-
ketentuan yang termuat dapat terwujud dan terlaksana. Lebih jelas
Rahardjo (2012: 35) mengatakan apabila dalam masyarakat timbul suatu
peristiwa, sedang peristiwa itu sesuai dengan yang dilukiskan dalam
peraturan hukum, maka peraturan itu pun lalu dikenakan kepada peristiwa
tersebut.

Kejadian di masyarakat yang bisa dikategorikan kedalam peristiwa


hukum misalnya ketika seorang pria dan wanita secara resmi
melangsungkan pernikahan akan menimbulkan akibat yang diatur oleh
hukum, yaitu hukum perkawinan. Akan timbul suatu hak dan kewajiban
bagi suami istri yang diatur pada pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi “Masing-masing pihak
berhak untuk melakukan perbuatan hukum.” sedangkan pada pasal 34 ayat
(2) mengatakan “Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya”.
(Machmudin, 2003).

F. Perbuatan dan Akibat Hukum

Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subyek


hukum yang mempunyai akibat hukum, dan akibat hukum itu memang

66
dikehendaki oleh subyek hukum. Misalnya, jual-beli, sewa-menyewa,
nikah, dsb.

Perbuatan hukum terdiri atas dua jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Perbuatan hukum bersegi satu, perbuatan hukum yang


dilakukan oleh satu pihak saja, misalnya pemberian izin
kawin, pemberian wasiat, pengakuan anak luar kawin, dsb.

2. Perbuatan hukum bersegi dua, perbuatan hukum yang


dilakukan oleh dua pihak atau lebih, misalnya perjanjian (jual-
beli, sewa-menyewa), dsb.

Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu
peristiwa hukum atau perbuatan dari subyek hukum. Dalam kepustakaan
ilmu hukum dikenal tiga jenis akibat hukum, yaitu sebagai berikut:

1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya


“suatu keadaan hukum tertentu”. Misalnya: sejak usia 21
tahun, “melahirkan suatu keadaan hukum baru” yaitu dari
tidak cakap bertindak dalam hukum menjadi cakap bertindak.

2. Akibat hukum berupa “lahirnya, berubahnya atau lenyapnya


suatu hubungan hukum tertentu”. Misalnya: sejak pembeli
melunasi/membayar harga barang dan penjual menyerahkan
barang yang dijualnya, maka “berubah atau lenyaplah
hubungan hukum” jual-beli diantara mereka.

3. Akibat hukum berupa sanksi, yang tidak dikehendaki oleh


subyek hukum (perbuatan melawan hukum). Sanksi dari suatu
akibat hukum berdasrkan pada lapangan hukum dibedakan
pula atas sebagai berikut:

67
a. Sanksi hukum dibidang hukum publik pidana (publik)
yang diatur didalam Pasal 10 KUH-Pidana.

(1) Hukuman pokok berupa hukuman mati, hukuman


penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda;

(2) Hukuman tambahan, berupa pencabutan hak-hak


tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan
pengumuman keputusan hakim.

b. Sanksi hukum dibidang hukum privat (perdata) terdiri


atas dua jenis:

(1) Melakukan perbuatan melawan hukum


(Onrechmatigedaad), diatur dalam Pasal KUH-
Perdata adalah suatu perbuatan seseorang yang
mengakibatkan kerugian terhadap seseorang yang
sebelumnya tidak diperjanjikan, sehingga ia
diwajibkan mengganti kerugian.

(2) Melakukan wanprestasi (diatur dalam Pasal 1366


KUH-Perdata), yaitu akibat kelalaian seseorang tidak
melaksanakan kewajibannya tepat pada waktunya,
atau tidak dilakukan secara layak sesuai perjanjian,
sehingga ia dapat dituntut memenuhi kewajibannya
bersama keuntungan yang dapat diperoleh lewatnya
batas waktu tersebut.

Dalam kepustakaan ilmu hukum, sanksi negative dalam arti luas


terdiri atas tiga jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Pemulihan keadaan, misalnya A meminjam uang pada B, akan


tetapi A tidak mau mengembalikan setelah ditagih pada

68
waktunya sesuai perjanjian. Melalui hakim, maka A dipaksa
untuk mengembalikan uang yang dipinjam kepada B, sehingga
harta milik B menjadi pulih kembali.

2. Pemenuhan keadaan, misalnya A telah membayar sejumlah


uang untuk membeli rumah B. ternyata B tidak menyerahkan
rumah tersebut, maka hakim atas gugatan A memaksa B untuk
menyerahkan rumah yang dibeli tadi atau mengembalikan
uang A, sehingga terpenuhi maksud A membeli rumah.

3. Penjatuhan hukuman, misalnya A dengan sengaja dan


melawan hukum membunuh B, maka hakim menjatuhkan
hukuman atau pidana (mati, penjara atau kurungan) kepada A
sesuai ketentuan UU yang berlaku.

Hukuman dalam arti luas (Soerjono Soekanto, 1989) dibedakan atas


tiga jenis, yaitu sebagai berikut:

1. Hukuman perdata, misalnya ganti kerugian.

2. Hukuman administratif, misalnya pencabutan izin usaha.

3. Hukuman pidana, yang terdiri atas:

a. Siksaan materil atau siksaan riil, misalnya hukuman mati,


hukuman penjara, dan hukuman kurungan;

b. Siksaan moral atau siksaan ideal, misalnya pengumuman


putusan hakim dan pencabutan hak-hak tertentu.

69
Bagian 5

Keadilan dan Kekuasaan dalam Ilmu Hukum

Keadilan dan kekuasaan adalah dua unsur penegakan hukum yang


digunakan sebagai dasar pertimbangan oleh hakim, maka harus
ditambah unsur kemanfaatan, yang selanjutnya diterapkan secara
proporsional seimbang. Mengingat ketiga unsur tersebut sangat
penting dalam penyelesaian kasus, maka dalam pembuatan undang-
undang harus dirumuskan sedemikian rupa, sehingga masih memberi
kesempatan hakim untuk menyelesaikan perkara dengan
memperhatikan keadilan. Hukum tidak sama dengan kekuasaan, tetapi
hukum dapat merupakan kekusaan. Kekuasan dapat bersumber pada
wewenang formal atau dapat juga bersumber pada kekuatan. Dalam
penegakan hukum diperlukan sanksi. Dalam kenyataannya tidak
setiap orang yang melanggar hukum harus dihukum.
Capaian Mata Kuliah yang hendak dicapai dalan Bagian 5 Buku Ajar
ini adalah mengenai Konsep Hukum dan Masyarakat yang mana
sebagai tempat tumbuhnya keadilan dan kekuasaan.

A. Konsep Keadilan

Konsep keadilan dan hukum dapat kita kaji lebih dalam agar
menjadi pembeda dari keduanya. Hukum merupakan suatu kaidah yang
berlaku pada kehidupan masyarakat terlepas dari nilai baik atau buruknya
kesepakatan bersama. Sedangkan keadilan suatu terwujudnya harapan
yang dilandasi nilai dan moral manusia umumnya. Meskipun dari persepsi
antara keadilan dan hukum berbeda, namun keduanya terdapat suatu
hubungan yang berperan besar pembentuk konsep keilmuan.

Nilai keadilan tumbuh dalam konsep ilmu hukum, karena keadilan


memiliki suatu takaran persepsi dari setiap individu di masyarakat.
Misalnya mayoritas orang ingin adanya kejujuran, maka suatu konsensus

70
untuk mewujudkan keadilan dalam tatanan masyarakat hukum akan
diperjuangkan bersama. Menurut Paton (1953:69) hukum itu bukanlah
keadilan, namun hukum itu sebuah alat guna terwujudnya suatu nilai
keadilan dalam masyarakat.

Apa yang telah disampaikan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa


pembentuk aturan perundang-undangan harus sejalan dengan upaya
mewujudkan nilai keadilan menggunakan sebuah alat yang dinamakan
hukum. Pendistribusian peranan dalam membangun suatu bangunan
hukum di masyarakat, salah satu upayanya adalah melalui peranan
pengambil keputusan dalam persidangan atau hakim. Komitmen seorang
hakim menjadi secercah harapan masyarakat dalam penerapannya
menghadapi suatu permasalahan nyata, sedemikian rupa netralitas dan
usaha mempertimbangkan keadilan dari berbagai sudut pandang.

Terdapat persinggungan antara konsep keadilan dengan kepastian


hukum. Karena keduanya mempunyai konsep tersendiri, terkadang dapat
berjalan searah namun berseberangan pun tak terelakkan. Terkadang jika
terlalu ambisius mengejar kepastian hukum, maka konsep keadilan
ditinggalkan. Dan jika terlalu mengejar konsep keadilan maka kepastian
hukum yang menjadi korban. Maka dari itu muatan dalam hukum haruslah
bersifat umum dan tidak menguntungkan hanya salah satu pihak atau
kelompok. Hukum dibangun demi keuntungan seluruh komponen
masyarakat. Begitupun konsep keadilan menginginkan dalam berbagai
putusan setiap permasalahan-permasalahan hukum dihasilkan berdasar
obyektivitas nilai dan norma masyarakat. Seorang pembuat keputusan/
hakim tidak jarang mengesampingkan suatu kepastian hukum, konsep
keadilan dan kemanfaatan. Karena kondisi tertentu, seorang penegak
hukum diperbolehkan melanggar aturan hukum. Misalnya seorang polisi

71
yang mengejar perampok menggunakan sepeda motor menerobos lampu
merah yang sedang menyala, secara hukum polisi melanggar peraturan
lalu lintas. Namun demi menegakkan hukum, aturan hukum tersebut
sementara dapat menjadi kekhususan untuk dilanggar.

Hukum dan keadilan keduanya sama-sama mengisi dan menunjang


keberlangsungannya. Pertama adalah Summum ius summa iniuria,
maksudnya keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang tertinggi,
jadi semakin banyak keadilan itu dituntut maka akan besar kemungkinan
justru ketidakadilan yang terwujud. Kedua Lex dura sed tamen scripta,
mempunyai arti bahwa undang-undang adalah hanyalah sebuah kertas,
namun apa yang tertulis padanya akan memiliki kekuatan. Apabila kita
membaca dan memaknai suatu pasal dalam perundang-undangan, kita
dapat menilai bahwa undang-undang tersebut memiliki suatu kesungguhan
konsep ideal, tegas, memihak kepada seluruh pihak, dan berlaku kepada
siapapun, namun ternyata realitanya adalah terwujud suatu ketidakadilan.
Sehingga realita tersebut sejalan dengan teori diatas, semakin tajam dan
tepatnya aturan hukum, maka akan semakin tersudutkan konsep keadilan
tersebut. Oleh karenanya undang-undang perlu memberikan kewenangan
pada hakim untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan sedemikian
rupa sehingga konsep keadilan dan azas kebermanfaatan dapat
dipertimbangkan.

Misalkan dalam pasal 338 KUHP menyebutkan “Barangsiapa


dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain diancam karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. Pada
pasal tersebut dirumuskan ancaman paling tinggi atau paling lama, berarti
secara tidak langsung memberika kewenangan kepada pembuat

72
keputusan/hakim untuk memberikan hukuman lebih rendah atas dasar
pertimbangan keadilan dan kemanfaatan.

Dalam dunia peradilan kita kenal adanya tokoh Dewi Keadilan, rupa
sesosok wanita yang kedua tangannya memegang pedang dan timbangan,
dengan mata ditutup sehelai kain mencerminkan jaminan pertimbangan
yang tidak memihak dan tidak memandang siapapun yang diadilinya.
Konsep keadilan yang diharapkan terwujud pada dunia peradilan adalah
sikap yang netral, karena semua orang di mata hukum adalah sama dalam
perlakuannya (equality of treatment). Berarti konsep keadilanpun harus
sikap yang tidak memihak dan persamaan dalam perlakuan. Konsep
bahwa hukum menuju suatu keadilan, setidaknya dapat dinilai karena hal
berikut:

1. Undangundang selalu memberikan ketentuan yang bersifat umum,


artinya semua orang sejajar dan sama di mata hukum (equality
before the law);

2. Pada proses peradilan barlaku suatu asas bahwa semua pihak


didengar dan mendapat perlakuan sama di depan hakim (audi et
alteram partem).

B. Konsep Kekuasaan

Hukum mempunyai suatu kaidah-kaidah yang berupa suatu akibat


hukum, secara langsung ataupun tidak langsung mejadikan keadaan baru
yang bersifat memaksa, mau tidak mau harus menerima konsekuensi.
Dalam mewujudkannya tentu dibuthukan suatu kekuatan, dalam hal ini
adalah kewenangan sebagai perwujudan kekuasaan. Namun kekuasaan
bukan merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan suatu kepastian
hukum, terkadang hukum dapat terwujud tanda adanya kekuasaan.

73
Kekuasaan hanyalah salah satu unsur pendukung apabila terjadi suatu
kondisi dimana suatu akibat hukum tidak berjalan dengan baik, banyak
pertentangan, sehingga perlu adanya kekuatan untuk memastikan
kesesuaian suatu putusan yang bersifat memaksa.

Konsep kekuasaan sebetulnya merupakan bagian dari ilmu politik,


sama-sama bentuk usaha melalui kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain agar dapat menurut apa yang dikehendaknya. Sehingga apa yang
menjadi sikap ataupun pandangannya sesuai dengan instruksi. Lebih jelas
konsep kekuasaan terbagi atas, pertama berupa yang terlihat dan terasa
secara fisik, dan yang kedua adalah yang tidak terlihat secara fisik namun
dapat terasa kekuasaan tersebut karena adanya legalitas dari konsensus
masyarakat, pejabat/ atasan, yang telah diberikan suatu kewenangan
tertentu (authority).

Kadang di masyarakat terdapat orang yang punya kekuatan fisik


sehingga mempunyai suatu kekuasaan. Namun tidak selalu kekuasaan itu
muncul dari kekuasaan fisik, namun beberapa orangpun mempunyai
kekuasaan atas pemberian suatu kewenangan yang menjadi tugas dan
tanggungjawabnya, atau disebut wewenang formal. Setiap apa yang
dilakukan berdasarkan kekuasaan formal tersebut adalah bersumber pada
hukum. Kekuasaan yang muncul dari kekuatan biasanya berbentuk
revolusi, ini merupakan akibat hukum karena anggapan ketidaksesuaian
realita dengan konsep ideal yang seharusnya. Secara aturan revolusi
adalah menyalahi karena keinginan untuk membentuk sistem hukum baru
yang dirasa lebih ideal.

Revolusi yang terjadi pada kehidupan masyarakat akan menjadikan


suatu kondisi baru dengan kemungkinan opsinya adalah, pertama jika
revolusi sukses terlaksana berarti sistem hukum yang sebelumnya dirasa

74
sudah tidak ideal dan harus dibentukan sistem hukum baru berdasarkan
konsensus ataupun mayoritas. Masyarakat yang sadar dan tanpa tekanan
merumuskan bersama untuk melakukan suatu revolusi, sehingga revolusi
tersebut akan bersifat legal dan menjadikannya sebagai sumber hukum dan
kemudian dibentuklah peraturan-peraturan hukum baru.

Opsi kedua adalah revolusi tidak terlaksana alias gagal, keadaan


tersebut dikarenakan tidak mendapat dukungan mayoritas ataupun
konsensus masyarakat. Masyarakat menganggap hal tersebut dilaksanakan
tidak berdasarkan kesadaran hukum masyarakat , sehingga revolusi tidak
terjadi dan bukan mejadi sebuah sumber hukum untuk membentuk
peraturan-peraturan hukum baru yang dirasa lebih ideal.

Kemudian untuk memahami kekuasaan berdasarkan kewenangan,


contohnya adalah memiliki suatu barang dengan cara yang legal. Orang
tersebut mempunyai kekuasaan penuh terhadap barang tersebut karena
cara yang dilakukan untuk memperolehnya adalah sah dan tentunya
dilindungi oleh hukum. Berbeda cerita jika orang yang memperoleh
barang tersebut dengan cara mencuri, meskipun memilik kuasa penuh atas
barang tersebut tapi cara yang dilakukannya tidak legal sehingga tidak
mendapat perlindungan hukum dan tidak berhak atas penguasaan barang
tersebut.

75
Bagian 6

Kedudukan Ilmu Hukum di Masyarakat

Masyarakat adalah kelompok manusia terorganisasi, yang


mempersatukan manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya baik selaku makhluk pribadi maupun makhluk
sosial. Terbentuknya masyarakat ada yang secara alam, tetapi ada
juga yang terbentuknya karena disengaja oleh pihak eksternal atau
oleh pihak internal sendiri, namun yang mempersatukan diantara
anggota masyarakat adalah sama, yaitu adanya kebersamaan tujuan.
Dalam hidup bermasyarakat, diantara manusia yang satu dengan
yang lain saling mengadakan kontak untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Kepentingan manusia dalam masyarakat tidak
selamanya bersesuaian, ada juga yang bertabrakan atau saling
bertentangan, sehingga dapat menimbulkan konflik. Konflik yang
terjadi tidak boleh dibiarkan, tetapi haruslah diselesaikan, untuk itu
diperlukan kaidah untuk mengatur dan dapat menyeimbangkan
kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan tersebut.
Pada Bagian 6 Buku Ajar, materi yang dibahas berkaitan dengan
capaian mata kuliah diantaranya: Norma Hukum dalam Masyarakat,
Sumber Hukum dalam Masyarakat dan Fungsi Peranan Hukum
dalam Masyarakat.

A. Manusia dan Masyarakat

Pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial, artinya manusia


sebagai makhluk individu sekaligus sebagai makhluk sosial. Dalam
kedudukannya selaku individu, manusia tidak mungkin dapat memenuhi
segala kebutuhan hidupnya secara penuh, oleh sebab itu manusia terpaksa
harus hidup bermasyarakat atau terpaksa harus hidup bersama-sama
dengan manusia yang lain dalam masyarakat. Dilihat dari sejarah
perkembangan manusia, ternyata manusia selalu hidup bersama, selalu
hidup berkelompok dalam masyarakat.

76
Masyarakat terbentuk, apabila sedikitnya ada dua orang atau lebih
yang hidup bersama, mereka saling berhubungan, saling pengaruh-
mempengaruhi, saling tergantung dan saling terikat satu sama lain.
Misalnya, dua orang yang hidup bersama selaku suami istri, seorang ibu
dengan anaknya. Keluarga adalah merupakan suatu bentuk masyarakat
yang paling kecil jumlah anggotanya.

Masyarakat bukan hanya merupakan penjumlahan atau kumpulan


dari beberapa orang yang kebetulan berada di suatu tempat, misalnya: di
dekat perempatan jalan terjadi kecelakaan sepeda motor menabrak seorang
pengemis yang sedang meminta-minta dengan cara duduk di pinggir jalan.
Akibat dari peristiwa tersebut lalu lintas jalan macet dan banyak orang
yang datang untuk menyaksikannya. Kepentingan orang yang satu dengan
yang lain, mungkin tidak sama, artinya ada yang sekedar ingin melihat,
ada yang terpaksa melihat karena mobilnya tidak dapat lewat, ada yang
datang dengan maksud mencari berita, bahkan mungkin ada orang yang
datang dengan maksud jahat dan lain sebagainya. Kerumunan orang
tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai masyarakat, sebab tidak ada
kebersamaan kepentingan, tidak ada keterikatan antara yang satu dengan
yang lain, dan tujuan diantara orang-orang yang menyaksikan atau
berkerumun di perempatan jalan tersebut juga berbeda-beda.

Tentang berapa banyak jumlah manusia agar kelompok itu dapat


disebut masyarakat itu tidak ada ketentuannya, yang ada ketentuan jumlah
minimalnya seperti telah diuraian sebelumnya yaitu sedikitnya ada 2 (dua)
orang yang hidup bersama-sama, saling tergantung, saling terikat, saling
pengaruh mempengaruhi sam sama lain untuk mencapai tujuan bersama.
Masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama yang terorganisasi untuk
mencapai dan mewujudkan tujuan bersama. Hal tersebut seperti yang

77
dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo bahwa apa yang
mempertemukan manusia antara yang sam dengan yang lain adalah
pemenuhan kebutuhan atau kepentingan mereka. Kehidupan bersama
dalam masyarakat tidaklah didasarkan pada adanya beberapa manusia
yang secara kebetulan bersama, tetapi didasarkan pada adanya
kebersamaan tujuan (Mertokusumo, 1986:2). Dalam hidup bermasyarakat
diantara para manusia sebagai warga masyarakat mengadakan kerjasama
untuk dapat memenuhi kebutuhannya demi kehidupan yang layak sebagai
manusia. Kerja sama yang menguntungkan semua pihak dapat disebut
sebagai kerjasama yang positif.

Dalam hidup bermasyarakat antara manusia yang satu dengan yang


lain selalu berhubungan atau antara ego (manusia yang beraksi) selalu
berinteraksi dengan alter (manusia yang bereaksi). Hubungan tersebut
disebut interaksi sosial, yaitu adanya hubungan yang bertimbal balik yang
saling pengaruh-mempengaruhi antara manusia yang satu dengan yang
lain, antara manusia selaku individu dengan kolompok, antara kelompak
yang sam dengan kelompok yang lain. Dengan demikian dapatlah ditarik
simpulan adanya ciri-ciri interaksi sosial, yaitu:

1. minimal ada dua orang yang mengadakan interaksi;

2. dalam mengadakan interaksi menggunakan bahasa yang saling


dimengerti diantara ego dan alter;

3. dalam kurun waktu yang cukup lama, artinya tidak hanya sesaat;

4. adanya tujuan-tujuan tertentu yang mempersatukan.

Dikatakan mempersatukan berdasarkan tujuan, karena masyarakat


pada hakekatnya adalah suatu organisasi. Manusia bermasyarakat berarti
mänusia berorganisasi. Sebagai suatu bentuk organisasi, maka ada

78
manajemen yang berlaku, ada yang memimpin dan ada yang dipimpin, ada
perbedaan atau pembagian tugas. Sebagai contoh organisasi terkecil atau
masyarakat terkecil adalah suami dan istri yang terikat dalam perkawinan
yang sah, suami ditetapkan sebagai kepala keluarga dan istri sebagai ibu
rumah tangga. Ada tugas pokok dalam berorganisasi (keluarga), yaitu
sebagai kepala keluarga suami wajib mencari nafkah dan istri sebagai ibu
rumah tangga wajib mengurus rumah. Dikatakan tugas pokok maksudnya
agar tidak disalahartikan, sebab dalam kenyataannya suami bekerja dan
istri juga bekerja, suami mencari nafkah dan istri juga mencari nafkah.
Kalau ada suami tidak bekerja dan hanya tinggal di rumah, sedangkan istri
membanting tulang mencari nafkah, maka dapat dikatakan bahwa itu tidak
sesuai dengan tugas pokoknya, bahkan mungkin ada yang sampai
mengatakan itu tidak sesuai dengan kodratnya. Adanya pembagian tugas
dan luas ruang lingkup dari tugas dan kewenangannya adalah tergantung
bentuk masyarakatnya.

Seorang filosof Yunani yang bernama Aristoteles (384-322 SM)


mengatakan bahwa manusia pada hakekatnya adalah zoon politicon,
artinya manusia adalah makhluk sosial, sebagai makhluk sosial tidak
mungkin dapat hidup tanpa bermasyarakat. Manusia selalu hidup di
tengah-tengah dan dalam pergaulan dengan sesama manusia (man is a
social being) adalah merupakan pembawaan manusia, bahkan dapat
dianggap sebagai insting yang terjadi dengan sendirinya secara turun
temurun yang dibawa sejak lahir. Sebagai akibat keberadaan manusia yang
sejak lahir sudah berada di tengah-tengah manusia yang lain, minimal ia
ada dan berada di dekat ibu yang melahirkannya. Kalau ada manusia yang
hidup terpisah dengan manusia lain, misalnya sedang bertapa dan hidup
menyendiri di gua, di tepi laut atau di tengah hutan belantara, atau seperti
kasus Robinson Crusoe yang terdampar di pulau kosong, atau Tarsan yang

79
hidup di tengah hutan bersama binatang, itu semua adalah merupakan
kekecualian (Kartohadiprodjo, 1977 : 24).

Setiap manusia mempunyai kepentingan. Kepentingan adalah tuntutan


perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Setiap
manusia adalah pendukung atau peyandang kepentingan (Mertokusumo,
1986: 1).

Manusia hidup bermasyarakat karena terdorong agar kepentingan-


kepentingannya atau tuntutan-tuntutannya, baik sebagai makhluk individu
maupun sebagai makhluk sosial, terpenuhi dan terlindungi. Manusia hidup
bermasyarakat, bukan semata-mata agar kepentingan-kepentingannya
terpenuhi, tetapi juga agar kepentingan-kepentingan yang telah terpenuhi
itu juga dapat terlindungi. Memang kepentingan-kepentingan manusia
yang tidak sedikit itu belum tentu dapat terpenuhi semua, atau dapat
terpenuhi namun tidak sepenuhnya. Hal tersebut di samping tiap-tiap
manusia mempunyal kepentmgan yang banyak, alat pemuas atau
pemenuhan kepentingan jumlah terbatas, sehingga diantara yang satu
dengan yang lain dapat saling bertabrakan.

Manusia hidup bermasyarakat, kemungkinan disebabkan: merasa


tertarik satu sama lain; merasa memerlukan bantuan atau perlindungan
dari orang lain; merasa mempunyal kesenangan yang sama; merasa
mempunyai hubungan kerja dengan orang lain dan lain sebagainya. Di
samping itu, sebenamya ada tuntutan kesatuan biologis yang terdapat pada
naluri manusia, yang mendorong manusia hidup bermasyarakat, yaitu
antara lain: hasrat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum, hasrat
untuk mengembangkan keturunan; hasrat untuk membela din.

Adanya beberapa dorongan tersebut karena terbawa oleh keadaan


manusia itu sendiri, yaitu sebagai makhluk individu yang dilahirkan

80
lemah, namun manusia dibekali kemampuan dan kepandaian untuk
berbicara. Segala kemampuan dan kepandaiannya itu hanya akan
mempunyai arti, apabila manusia tersebut hidup bermasyarakat. Hal ini
berarti bagaimana pun pandainya seorang manusia, ia mutlak tetap
membutuhkan pertolongan dan bantuan dari manusia yang lain. Adapun
caranya adalah dengan hidup bermasyarakat.

Terbentuknya masyarakat, ada yang terjadi dengan sendirinya,


misalnya secara kebetulan ada beberapa orang berada di suatu tempat yang
sama dalam kurun waktu yang lama, mereka saling mengenal, saling
berhubungan, dan akhirnya saling pengaruh mempengaruhi, saling
tergantung, serta saling terikat sath dengan yang lain. Mereka bekerjasama
sebab saling membutuhkan agar kepentingan-kepentingannya terpenuhi
dan terlindungi. Kerjasama yang dilakukan karena mereka menghendaki
ketenteraman tiap-tiap individu dan terciptanya ketertiban dalam
pergaulan hidup bersama, dan akhirnya terciptalah kedamaian dalam
hidup bermasyarakat. Semula mungkin terjadinya masyarakat secara
kebetulan, tetapi setelah saling mengenal dan saling membutuhkan
mungkin diantara mereka ada yang secara sengaja dan dengan
direncanakan menikah. Dengan menikah berarti mereka membentuk
keluarga. Hubungan suami dan istri adalah sebagai hubungan hukum yang
memenuhi kriteria suatu hubungan kemasyarakatan. Oleh karena itu,
keluarga dianggap sebagai bentuk masyarakat yang terkecil yang terjadi
dengan disengaja dan direncanakan. Dalam perkembangan selanjutnya,
keluarga yang tadinya hanya dua orang bertambah dengan anak-anak
mereka, dan berkembang terus, sehingga ada saudara kandung, saudara
sepupu, paman, bibi dan saudara-saudara lain yang sedarah. Keluarga
yang tadinya kecil, menjadi suku, dan akhirnya menjadi bangsa tersebut

81
terjadi karena alam. Masyarakat, seperti telah diuraikan tersebut, dapat
disebut sebagai bentuk masyarakat merdeka.

Ada bentuk masyarakat merdeka yang lain, sebab terjadinya memang


disengaja berdasarkan kehendak bebas dari para anggotanya, tetapi
kebersamaan tujuannya didasarkan pada kepentingan-kepentingan
tertentu, misalnya kepentingan keduniawian atau kepentingan keagamaan.
Bentuk masyarakat yang sengaja dibentuk dengan sengaja oleh para
anggotanya atas dasar kepentingan tertentu tersebut disebut sebagai
masyarakat budidaya.

Di samping ada masyarakat merdeka, yang meliputi masyarakat alam


dan masyarakat budidaya, ada lagi masyarakat paksaan, yang terjadi
karena ada pihak-pihak tertentu atau pihak ekstemal yang sengaja
membentuknya, ada yang tidak dikehendaki secara sadar oleh para
anggotanya seperti masyarakat tawanan yang ditempatkan di suatu tempat
terisolasi, dan ada lagi bahwa paksaan tersebut temyata akhirnya memang
dikehendaki oleh para anggotanya, misalnya negara.

Tentang pembedaan bentuk-bentuk masyarakat, sebenamya ada


beberapa kriteria yang menjadi dasar pembedaannya, yaitu: pertama
dilihat dari besar-kecilnya dan dasar hubungan kekeluargaannya,
masyarakat dibedakan menjadi: keluarga inti (nuclear family) terdiri dari
ayah, ibu dan anak-anaknya, keluarga luas (extended family) terdiri dari
orang tua, saudara kandung, saudara sepupu, paman, bibi dan sanak
saudara sedarah yang lain; suku dan bangsa; kedua dilihat dari dasar sifat
hubungannya erat atau tidak, masyarakat dibedakan menjadi: masyarakat
paguyuban (Gemeinschaft) yaitu yang hubungan diantara para anggotanya
didasarkan pada rasa guyub sehingga menimbulkan ikatan batin tanpa
memperhitungkan untung dan rugi, seperti keluarga; masyarakat

82
patembayan (Gesselschaft) yaltu yang hubungan diantara para anggotanya
sudah memperhitungkan untung dan rugi, atau mereka disatukan karena
mempunyai tujuan untuk mencari keuntungan material, seperti Perseroan
Terbatas, Firma, ketiga dilihat dari dasar perikehidupannya atau
kebudayaannya, masyarakat dibedakan menjadi: masyarakat primitif
dibedakan dengan masyarakat modem, masyarakat desa dibedakan dengan
masyarakat kota, masyarakat teritorial yang terbentuk karena mempunyai
tempat tinggal yang sama, masyarakat genealogis disatukan karena
mempunyai pertalian darah, masyarakat teritorial genealogis yang
terbentuk karena diantara para anggotanya mempunyai pertalian darah dan
secara kebetulan juga bertempat tinggal dalam satu daerah.

B. Kaidah Sosial dalam Pandangan Hukum

Manusia yang hidup bermasyarakat, pada dasarnya mempunyai


pandangan-pandangan tertentu, tentang apa yang baik dan apa yang buruk.
Pandangan-pandangan tersebut biasanya saling berpasangan satu sama
lain, misalnya : nilai kepentingan pribadi dengan nilai kepentingan
masyarakat; nilai kelestarian dengan nilai pembaharuan dan seterusnya.
Sejajar dengan nilai kepentingan pribadi dan nilai kepentingan masyarakat
adalah nilai ketenteraman dan nilai ketertiban. Dengan demikian, sesuai
dengan hakekat manusia sebagai individu dan sekaligus juga sebagai
makhluk sosial, mutlak diperlukan adanya keseimbangan atau keserasian
antara ketenteraman dan ketertiban dalam hidup bermasyarakat.

Manusia tidak akan merasa tenteram, kalau kepentingan pribadinya


tidak terpenuhi. Pemenuhan terhadap kepentingan pribadi tidak boleh
terlalu bebas atau tanpa batas, tetapi juga harus mengindahkan
kepentingan orang lain yang berarti harus dibatasi, sehingga terciptalah
ketertiban masyarakat. Sebaliknya dengan alasan demi pemenuhan

83
kepentingan masyarakat, hendaknya kepentingan pribadi sedikit banyak
juga harus diperhatikan atau harus ikut dipertimbangkan, artinyajangan
terlalu dikorbankan.

Dari sejarah perkembangan kehidupan manusia, kita dapat


mengetahui bahwa dalam usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhannya,
manusia memperoleh pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman
ini menciptakan nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut ada yang positif dan ada
pula yang negatif. Selanjutnya nilai-nilai tersebut menjadi pedoman atau
patokan bagi manusia tentang apa yang baik yang harus dilakukan, dan
apa yang dianggap buruk yang harus dihindari. Pola-pola berpikir manusia
mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan
untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap manusia yang lain,
benda, atau keadaan-keadaan.

Sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah, karena


manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas. Kehidupan yang
teratur dan sepantasnya menurut manusia yang satu dengan yang lain
belum tentu sama, oleh karena itu diperlukan patokan-patokan yang
berupa kaidah (Rasjidi, 1988 35). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kaidah atau norma sebenarnya merupakan bentuk penjabaran
secara konkrit dari pasangan nilai-nilai yang bersifat abstrak yang telah
diserasikan. Adapun fungsi kaidah adalah untuk melindungi kepentingan
manusia, baik terhadap ancaman yang datang dari luar maupun yang
datang dari dalam (manusia sendiri).

Apakah kaidah sosial itu?

Kaidah sosial atau norma sosial adalah peraturan hidup yang


menetapkan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam hidup
bermasyarakat. Atau dapat juga dikatakan kaidah sosial adalah pedoman

84
tingkah laku manusia dalam hidup bermasyarakat, yang fungsinya
melindungi kepentingan manusia baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial dengan jalan mentertibkan.

Di muka telah diuraikan, bahwa kaidah sosial merupakan bentuk


penjabaran secara konkrit dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal
itu berarti, kaidah sosial pada hakekatnya merupakan perumusan
pandangan mengenai penilaku yang seharusnya dilakukan, yang
seharusnya tidak dilakukan, yang dilarang dilakukan atau yang dianjurkan
untuk dilakukan. Kaidah sosial sifatnya tidak hanya menggambarkan
(deskriptif) dan menganjurkan (preskriptif), tetapi sifatnya mengharuskan
(normatif). Kaidah sosial merupakan pemyataan atau kebenaran yang
fundamental untuk digunakan sebagai pedoman berfikir atau melakukan
kegiatan dengan menjelaskan dua atau lebih kejadian (variabel), misalnya:
siapa yang tidak sholat, akan masuk neraka; siapa tidak bicara jujur, akan
menyesal; siapa tidak sopan dan tidak menghormati orang tua, akan
dicemoohkan masyarakat; siapa masuk rumah orang lain harus minta ijin
terlebih dahulu; siapa mengendarai mobil lewat jalan tol harus membayar
retribusi. Contoh-contoh tersebut merupakan suatu keharusan untuk
dilaksanakan atau untuk tidak dilaksanakan, artinya kalau terjadi vaniabel
yang satu, maka harus ada kejadian atau variabel yang lainnya. Vaniabel-
vaniabel tersebut dapat bertambah, misalnya: siapa yang mencuri akan
dihukum, variabe!nya dapat bertambah: cara mencuninya, niatnya untuk
apa, harus melalui proses pengadilan, harus ada bukti dan adanya sanksi.

Dengan kaidah sosial hendak dicegah gangguan-gangguan terhadap


kepentingan manusia, di samping itu juga hendak dicegah terjadinya
bentrokan-bentrokan kepentingan manusia, sehingga terciptalah tata

85
kehidupan masyarakat yang damai atau tata kehidupan masyarakat yang
tertib dan tenteram.

Jenis-jenis Kaidah Sosial

Kaidah sosial tumbuh sejak manusia mengenal hidup bermasyarakat.


Pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang merupakan mata rantai
dari pertumbuhan dan perkembangan kepentingan manusia melahirkan
beberapa macam kaidah atau norma. Mochtar Kusumaatmadja (1980)
menyebutkan tiga macam, yaitu: kaidah kesusilaan, kesopanan, dan
hukum. Satjipto Rahardjo (1982 : 15) menyebutkan tiga macam juga,
tetapi dengan perumusan yang berbeda, yaitu. : kaidah kesusilaan,
kebiasaan, dan hukum. Soerjono Soekanto (1980 : 67-68) menyebutkan
empat kaidah, yaitu: kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan, dan
hukum.

Berkaitan penyebutan macam kaidah sosial, Rahardjo hanya


menyebutkan tiga macam kaidah dengan memberikan alasan berdasarkan
segi tegangan antara ideal dan kenyataan. Dalam uraiannya Rahardjo
menyebut bentuk peraturannya dengan istilah tatanan. Tatanan kebiasaan
sebagai tananan yang dekat sekali dengan kenyataan, artinya apa yang
biasa dilakukan orang-orang setelah melalui pengujian keteraturan dan
keajegan akhimya dengan kesadaran masyarakat menerimanya sebagai
kaidah kebiasaan. Tatanan hukum juga berpegang pada kenyataan sehari-
hari, tetapi sudah mulai menjauh, namun proses penjauhannya belum
berjalan secara saksama. Tatanan hukum yang untuk sebagian masih
memperlihatkan ciri-ciri dari tatanan kebiasaan dengan norma-normanya
adalah hukum kebiasaan. Adapun ciri-ciri yang menonjol dari hukum
mulai nampak pada hukum yang sengaja dibuat. Tatanan kesusilaan
adalah sama mutlaknya dengan tatanan kebiasaan, dengan kedudukan

86
yang terbalik. Kalau tatanan kebiasaan mutlak berpegang pada kenyataan
tingkah laku orang-orang, maka kesusilaan berpegang pada ideal yang
harus diwujudkan dalam masyarakat (Rahardjo, 2001).

Dalam uraian selanjutnya penulis mendasarkan kepada 4 macam


kaidah sosial, yaitu: kaidah agama atau keagamaan, kaidah kesusilaan,
kaidah kesopanan atau sopan santun atau adat, dan kaidah hukum, karena
keempatnya tersebut memang mengatur tentang manusia. Memang kita
mengakui dan mempercayai bahwa kaidah agama yang menentukan isinya
bukan manusia, tetapi bersumber pada wahyu dan Tuhan. Adapun yang
mempengaruhi perbedaan dan kaidah kesusilaan, kesopanan dan hukum
adalah karena adanya norma-norma yang tidak sama yang mendukung
masing-masing kaidah.

Kaidah agama atau kaidah keagamaan

Kaidah agama adalah sebagai peratiran hidup yang oleh para


pemeluknya dianggap sebagai perintah dan Tuhan, atau dapat dikatakan
bahwa kaidah agama berpangkal pada kepercayaan kepada Tuhan. Kaidab
agama berisi perintah-perintah, larangan-larangan dan anjuran-anjuran,
yang memberi tuntutan hidup kepada manusia agar mendapatkan
kedamaian hidup di dunia dan di akhirat. Kaidah agama membebani
manusia dengan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan, kepada sesama
manusia dan kepada din sendiri. Bagi siapa yang melanggar kaidah agama
akan mendapatkan hukuman dan Tuhan nanti di akhirat.

Kaidah kesusilaan

Kaidah kesusilaan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber


pada rasa kesusilaan dalam masyarakat dan sebagai pendukungnya adalah
hati nurani manusia itu sendiri. Rasa ini didorong untuk melindungi

87
kepentingan din sendiri atau orang lain. Hati nurani manusia sendiri yang
membisikkan untuk berbuat balk atau buruk. Kaidah kesusilaan
mendorong manusia untuk kebaikan akhlak pribadinya guna
penyempumaan manusia. Bagi siapa yang melanggar kaidah kesusilaan
akan mendapatkan hukuman bukan datang dan luar dirinya, melainkan dan
batinnya sendiri yang menghukum yaitu berupa penyesalan. Kaidah
kesusilaan dianggap sebagai kaidah yang paling tua dan paling ash dan
terdapat dalam din sanubari manusia itu sendmi sebagai makhluk
bermoral, dan terdapat pada setiap manusia di manapun ia berada.

Kaidah kesopanan atau kaidah sopan santun

Kaidah kesopanan adalah sebagai peraturan hidup yang bersumber


pada kepatutan, kebiasaan atau kesopanan dalam masyarakat. Kaidah
kesopanan timbul atau diadakan oleh masyarakat dan dimaksudkan untuk
mengatur pergaulan hidup, sehingga tiap-tiap warga masyarakat saling
hormatmenghormati. Kaidah kesopanan berlaku dalam suatu masyarakat
tertentu atau lingkungan kecil atau kelompok kecil dan manusia. Kaidah
kesopanan dapat menjadi kebiasaan, dengan demikian kalau secara terus-
menerus dilakukan dan diyaklni sebagai suatu kewajiban yang harus
dipatuhi dan dilaksanakan, maka akan menjadi hukum kebiasaan. Kaidah
kesopanan dinamakan pula kaidah sopan santun, tata krama atau adat.
Bagi siapa yang melanggar kaidah kesopanan akan mendapat umpatan
atau cemoohan atau akan dikucilkan oleh masyarakat. Sanksi dan
masyarakat yang berupa dikucilkan, dipandang rendah atau dibenci oleh
orang-orang disekitamya, dapat melahirkan rasa malu, rasa terhina, rasa
kehilangan, dimana semuanya itu dapat menimbulkan penderitaan bagi
jiwa orang tersebut.

Kaidah hukum

88
Kaidah hukum adalah sebagai peraturan hidup yang sengaja dibuat
atau yang tumbuh dan pergaulan hidup dan selanjutnya dipositifkan secara
resmi oleh penguasa masyarakat atau penguasa negara. Kaidah hukum
diharapkan dapat melindungi dan memenuhi segala kepentingan hidup
manusia dalam hidup bermasyarakat. Kaidah hukum ini pada hakekatnya
untuk memperkokoh dan juga untuk melengkapi pemberian penlindungan
terhadap kepentingan manusia yang telah dilakukan oleh ketiga kaidah
sosial yang lain. Bagi siapa yang melanggar kaidah hukum akan mendapat
sanksi yang tegas dan dapat dipaksakan oleh suatu instansi resmi.

Perlindungan terhadap kepentingan manusia dalam hidup


bermasyarakat yang diberikan oleh kaidah agama, kaidah kesusilaan dan
kaidah kesopanan, ternyata belum cukup atau dirasakan masih kurang
memuaskan, sebab:

1. Jika terjadi pelanggaran terhadap kaidah agama, kesusilaan dan


kesopanan, sanksinya dianggap masih kurang tegas atau kurang
dirasakan. Contoh: Ketiga kaidah tersebut mewajibkan atau
memuat larangan agar orang jangan membunuh, jangan mencuri,
jangan berzinah. Namun sanksinya kurang tegas dan kurang
dirasakan secara Iangsung. Kalau itu berkaitan dengan kaidah
agama, sanksinya nanti di akhirat, padahal sanksi akhirat sangat
tergantung pada kadar keimanan seseorang. Kalau itu berkaitan
dengan kaidah kesusilaan, sanksinya datang dan dirinya sendiri,
yang tentunya tergantung pada hati nurani atau berbudi luhur
tidaknya seseorang. Sedangkan kalau berkaitan dengan kaidah
kesopanan, memang sudah ada sanksi dan masyarakat, namun
hanya berupa cemoohan, gunjingan atau si pelanggar tersebut
dikucilkan.

89
2. Temyata masih banyak kepentingan-kepentingan manusia yang
belum dilindungi oleh kaidah agama, kesusilaan dan
kesopanan.Contoh: Ketiga kaidah sosial tersebut tidak mengatur,
bagaimana cara masuk di perguruan tinggi, bagaimana cara
melangsungkan perkawinan yang menjamm kepastian hukum,
bagaimana cara mengendarai kendaraan bermotor di jalan umum,
dan lain sebagainya.

Dapat dianggap kedua hal tersebut di atas sebagai kelemahan, dan


sekaligus juga sebagai bukti bahwa ketiga kaidah sosial yang
bersangkutan dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan
manusia dalam hidup bermasyarakat masih kurang memuaskan. Oleh
sebab itu diperlukan kaidah hukum. Fungsi khusus kaidah hukum dalam
hubungannya dengan ketiga kaidab sosial yang lain ada dua, yaitu:
pertama untuk memberikan perlindungan secara lebih tegas terhadap
kepentingan-kepentingan manusia yang telah dilindungi oleh ketiga
kaidah sosial yang lain; kedua untuk memberikan perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingan manusia yang belum dilindungi oleh ketiga
kaidah sosial yang lain.

Kaidah hukum memberikan perlindungan secara lebih tegas


terhadap kepentingan-kepentingan manusia yang telah dilindungi oleh
ketiga kaidah sosial yang lain. Adapun caranya dengan memberi
perumusan yang jelas, disertai dengan sanksi yang tegas dan dapat
dipaksakan oleh instansi yang berwenang. Dengan demikian seseorang
yang melanggar larangan-larangan tersebut di atas dapat dikenakan dua
macam sanksi. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Antara kaidah hukum dan kaidah agama. Sanksi sesuai dengan


kaidah hukum, yaitu si pelanggar akan dijatuhi pidana penjara dan

90
atau denda akibat telah melakukan perbuatan pidana. Sanksi sesuai
dengan kaidah agama, yaitu bahwa si pelanggar adalah berdosa
dan nantinya akan mendapatkan hukuman dan Tuhan di akhirat,
disamping itu juga dapat terjadi akibat pelanggaran tersebut yang
bersangkutan mendapatkan penderitaan batin sewaktu hidup di
dunia.

2. Antara kaidah hukum dan kaidah kesusilaan. Dalam hal ini di


samping dapat dikenai sanksi karena pelanggaran kaidah hukum, si
pelanggar dapat juga akan mendapatkan sanksi dan dirinya sendiri,
yaitu berupa tekanan batin. Bahkan dapat terjadi, sebagai akibat
tekanan batin yang terlalu berat seseorang terpaksa mengambil
jalan pintas untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

3. Antara kaidah hukum dan kaidah kesopanan. Hubungan antara


kaidah hukum dengan kaidah kesopanan itu saling kait mengkait,
bahkan sering terjadi geser-menggeser. Sebagai contoh, soal
pertunangan yang disertai pemberian hadiah pertunangan dahulu
adalah merupakan suatu lembaga hukum, tetapi sekarang hanyalah
sebagai lembaga kesopanan atau tatacara adat. Sebaliknya banyak
yang dahulu sebagai kesopanan atau soan santun berlalu lintas,
sekarang banyak diantaranya yang sudah dijadikan ketentuan
hukum lalu lintas jalan. Menghina agama atau pemeluk agama lain
yang sedang beribadat, dahulu hanya dilarang oleh adat tetapi
sekarang masuk kedalam lapangan hukum.

Orang yang melanggar hukum (contoh membunuh, mencuri, atau


berzia) dapat terjadi si pelanggar yang telah dijatuhi pidana penjara,
namun setelab ia bebas masyarakat masth menghukumnya. Hukuman dan

91
masyarakat yang tidak resmi ini, dapat berupa cemoohan atau yang
bersangkutan dikucilkan.

Kaidah hukum memberikan perlindungan terhadap


kepentingankepentingan manusia yang belum dilindungi oleh ketiga
kaidah sosial yang lain. Contoh: Kaidah hukum mengatur bahwa masuk di
Perguruan Tinggi Negeri harus melalui seleksi (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Barn (SPMB), Ujian Masuk (UM)); kaidah hukum mengatur
agar perkawinan sah, disamping sah menurut peraturan masing-masing
agamanya juga harus dicatat menurut peraturan perundangan yang
berlaku; kaidah hukum mengatur bahwa setiap orang yang mengendarai
kendaraan bermotor harus membawa STNK dan SIM, dan lain
sebagainya.

C. Kaidah Hukum dalam Kepentingan Manusia

Kehidupan bermasyarakat dan dalam usaha memenuhi kepentingan-


kepentingannya, manusia mengadakan kontak. Yang dimaksud dengan
kontak adaiah bertemunya kepentingan antara manusia yang satu dengan
manusia yang lain, atau antara manusia dengan kelompoknya, atau antara
kelompok yang sam dengan kelompok yang lain. Kontak yang terjadi
tidak selamanya berjalan dengan baik atau menguntungkan kedua belah
pihak, tidak jarang yang terjadi adalah kontak tidak menyenangkan dan
menimbulkan pergeseran kepentingan atau bahkan sampai menimbulkan
pertentangan kepentingan (conflict of interest). Masyarakat terdiri dan
beribu-ribu orang, yang masing-masing mempunyai kepentingan, dan
diantara kepentingan-kepentmgan tersebut ada kemungkinan saling
berhubungan, atau sebaliknya saling bertentangan satu sama lain, atau
mungkin kepentingannya sama, tetapi tidak mungkin terpenuhi semua
secara bersama-sama, sebab alat pemuasnya yang terbatas.

92
Contoh: kepentingan sama, tetapi alat pemuasnya terbatas, misalnya
berkaitan dengan kebutuhan air di suatu daerah yang tandus dan kering,
lebih-Iebih di musim kemarau panjang, sumber air banyak yang kering,
yang tinggal hanya sam telaga kecil. Semua warga di desa tersebut
menggantungkan pemenuhan kebutuhan air dan telaga tersebut. Semua
warga desa yang datang ke telaga ternyata kepentingan bermacam-macam,
misalnya: ada yang akan mengambil air untuk masak; ada yang untuk
mandi; ada yang untuk mencuci; ada yang untuk menyiram tanaman;
bahkan ada yang datang untuk memandikan sapinya. Kalau semua
kepentingan tersebut dipenuhi dalam waktu yang bersamaan,
kemungkinan yang terjadi: mereka saling berebut untuk mendapatkan
lebih dahulu, persediaan air tidak mencukupi atau kemungkinan
mencukupi tetapi kualitas airnya kurang baik untuk dikonsumsi.

Dalam pemenuhan kebutuhannya, manusia harus selalu berusaha


agar ketertiban masyarakat tetap terpelihara. Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa memasukkan kebutuhan manusia untuk melakukan
hubungan-hubungan sosial merupakan kategori tersendiri, di samping
kebutuhan-kebutuhan lain yang kurang fundamental. Dimensi ini adalah
dimensi sosial dalam kehidupan manusia yang memiliki unsur-unsur :
ketertiban, sistem sosial, lembaga-lembaga sosial dan pengendalian sosial
(Rahardjo, 1982 : 26-27).

Ketertiban atau lengkapnya ketertiban dan keteraturan adalah


merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Timbulnya ketertiban dalam masyarakat, karena para anggota masyarakat
mengetahui bahwa Ia tidak hidup sendiri, tetapi Ia hidup bersama-sama
dengan orang lain, di samping itu, ia juga mengetahui apa yang
seharusnya ia lakukan dan apa yang seharusnya Ia tinggalkan.

93
Pengetahuan tersebut terjadi karena anggota masyarakat telah
mendapatkan informasi dan sistem petunjuk yang disebut kaidah sosial.
Cara mengorganisasi suatu kehidupan bersama seperti itu disebut sistem
sosial.

Agar dalam hubungan sosial atau hubungan kemasyarakatan


berjalan secara tertib dan teratur diperlukan adanya wadah. Dalam hal ml
masyarakat menyediakan wadah, dengan menetapkan aturan-aturan untuk
mempertahankan dan mengembangkan nilai-nilai yang berkaitan dengan
bentuk kegiatan yang bersangkutan. Wadah tersebut biasa disebut lembaga
sosial. Fungsi dan lembaga sosial adalah untuk menyelenggarakan
berbagal kepentingan manusia secara tertib dan teratur. Mengingat ruang
lingkup aspek kehidupan manusia itu sangat luas, maka melahirkan
banyak sekali lembaga-lembaga sosial sesuai dengan bidang kegiatan
hubungan sosial, misalnya dalam bidang pemerintahan, lalu-lintas,
perdagangan, perjanjian, hubungan kekeluargaan, dan lain sebagainya.

Tiap-tiap bentuk lembaga sosial harus diberi perumusan yang jelas


dan tegas, maksudnya diantara lembaga sosial yang satu dengan lembaga
sosial yang lain harus jelas pembedaannya, unsur-unsur kelembagaannya
berbeda, tidak tumpang tindih. Apabila perumusannya tidak tegas dan
tidak jelas, maka dapat menjadi faktor penyebab timbulnya konflik,
contoh lembaga hukum perdata, misalnya kasus peralihan penguasaan
tanah, pemilik tanah yang butuh uang mengatakan bahwa tanahnya
disewakan, tetapi pihak lain yang menguasal tanah mengatakan itu adalah
jual bell, karena masing-masing berpandangan menurut persepsinya
masing-masing, sehingga akhimya menjadi sengketa di pengadilan. Usaha
dan cara untuk mempertahankan sistem sosial biasa disebut pengendalian
sosial.

94
Suatu pengendalian sosial yang baik dan berdaya guna serta mampu
menjamin pelaksanaan lembaga-lembaga sosial yang ada dalam sistem
sosial, ukuran memerlukan adanya sanksi. Dalam hubungan sosial, sanksi
merupakan mekanisme pengendalian sosial, yang pada hakekatnya
mempunyai fungsi untuk memulihkan kembali keseimbangan tatanan
masyarakat yang terganggu dalam keadaan semula (rest it utio in
integrum). Terganggunya tatanan masyarakat bukan hanya disebabkan
terjadinya pelanggaran hukum, namun juga dapat sebagai akibat adanya
orang yang sangat berjasa, tetapi sama sekali tidak dihargai. Sesuai dengan
fungsinya tersebut, sanksi dapat dibedakan menjadi: sanksi positif sebagai
reaksi terhadap perbuatan-perbuatan yang baik dan diwujudkan dalam
bentuk pemberian hadiah, pemberian piagam atau tanda penghargaan yang
lain; sanksi negatif sebagai reaksi terhadap perbuatan yang negatif atau
suatu bentuk pelanggaran hukum dan diujudkan dalam bentuk hukuman
atau pidana; sanksi responsif yang merupakan reaksi secara spontan dan
keduabelah pihak untuk sesegera mungkin memulihkan ketidak
seimbangan yang terjadi. Bentuk implementasi dan sanksi responsif,
misalnya ada dua orang mengendarai sepeda motor di jalan kampung yang
sempit, mereka bertabrakan tetapi tidak diketahui polisi dan mereka
memang tidak menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak yang berwajib,
mereka saat itu juga saling bersepakat untuk menyelesaikan secara
kekeluargaan, biaya perbaikan sepeda motor yang rusak ditanggung
bersama, atau dengan perhitungan tertentu.

D. Relevansi Kaidah Hukum dengan Kaidah Lainnya

Seperti telah diuraikan pada materi sebelumnya, bahwa kaidah


hukum mempunyai fungsi dalam hubungannya dengan ketiga kaidah
sosial yang lain. Berkaitan dengan fungsi khusus kaidah hukum yang

95
pertama, diperoleh gambaran adanya hubungan fungsional antara kaidah
hukum dengan ketiga kaidah sosial yang lain. Hal ini berarti juga,
walaupun keempat kaidah sosial itu dapat dibedakan, namun tidak mudah
untuk dipisahkan.

Kaidah agama dan kaidah kesusilaan yang tujuannya adalah untuk


penyempurnaan manusia agar mempunyai sikap batin yang baik, sebagai
insan yang beriman dan mempunyai budi pekerti yang luhur, akan
mendorong manusia untuk selalu berbuat baik, selalu menghargai dan
menghormati sesamanya. Hal itu, secara tidak langsung akan
meningkatkan ketaatan manusia sebagai anggota mayarakat kepada
hukum, dan pada akhirnya akan menciptakan kedamaian hidup bersama
atau suatu masyarakat yang tertib dan tenteram. Kaidah kesusilaan yang
bersumber pada hati nurani, kalau dihubungkan dengan suatu perbuatan
adalah perbuatan yang dilakukan dengan kesadaran. Pelaksanaan hukum
yang paling baik adalah yang didukung oleh alasan kesusilaan atau
kesadaran hukum warga masyarakat.

Manusia yang beriman dan berbudi pekerti luhur, selalu menyadari


bahwa, kalau ada orang yang melakukan suatu tindak kejahatan dan yang
bersangkutan telah dijatuhi pidana, tidak dengan sendirinya sanksi atas
pelanggaran terhadap kaidah-kaidah sosial yang lain hilang. Hal itu
berarti, sanksi karena dosa, penyesalan, atau mungkin cemoohan dan
masyarakat masih terasa.

Kaidah hukum yang mempunyai fungsi khusus melindungi lebih


lanjut atas kepentingan-kepentingan manusia yang telah diliiidungi oleh
ketiga kaidah sosial yang lain, di samping dengan perumusan yang jelas,
tegas dan disertai dengan sanksi yang pelaksanaannya dapat dipaksakan

96
oleh instansi resmi, dalam perumusan kaidah hukum juga memperhatikan
apa yang dikehendaki oleh kaidah yang lain.

Kaidah hukum dan kaidah agama

Kaidah hukum memperhatikan kaidah agama, contoh: Pasal 29 ayat


(1) UUD 1945 bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaan itu; Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu; Pasal 4 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004 bahwa Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHA NAN YANG MAHA ESA.

Tidak selamanya kaidah hukum memperhatikan kaidah agama,


artinya ada kaidah agama yang pengaturan berbeda dengan kaidah hukum,
contoh kaidah hukum membolehkan adopsi, tetapi kaidah agama tidak
membolehkan, misalnya agama islam melarang adanya adopsi (‘tabanni’),
lebih-Iebih kalau sampai memberikan status sama dengan anak kandung,
dalam Al Quran surah Al Ahzab ayat 4 dan 5 antara lain Allah bersabda
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama
bapakbapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu
tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka) sebagai
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa
atasmu terhadap apa yang kamu khilafpadanya. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kaidah hukum dan kaidah kesusilaan

97
Kaidah hukum memperhatikan apa yang dikehendaki oleh kaidah
kesusilaan, contoh: dalam perjanjian kausa yang halal adalah tidak
dilarang undang-undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau
ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata); perjanjian-perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata);
kewajiban penyewa untuk memakai barang yang disewa sebagai seorang
bapak rumah tangga yang baik (Pasal 1360 KUH Perdata). Dalam hal lain,
kaidah kesusilaan melarang orang bicara bohong, tetapi kaidah hukum
tidak melarangnya. Orang berangan-angan melanggar hukum tidak boleh
menurut kaidah kesusilaan, tetapi kaidah hukum tidak mengindahkan
selama hal tersebut tidak dilakukan. Bahkan dalam hal-hal tertentu, ada
perbuatan yang dilarang oleh kaidah kesusilaan, tetapi kaidah hukum
justru membolehkan, contoh: orang mempunyai hutang, tetapi dalam
persidangan pengadilan tidak terbukti, sehingga orang tersebut tidak wajib
membayar hutangnya, padahal menurut kaidah kesusilaan hutang haruslah
dibayar; kaidah hukum membenarkan pmjam uang dengan bunga yang
tinggi asal bukan untuk mata pencaharian, tetapi kaidah kesusilaan bunga
yang tinggi itu tidak boleh.

Haruslah kita akui bahwa perbuatan pidana sebagaimana diatur


dalam KUHP hampir seluruhnya merupakan perbuatan-perbuatan yang
berasal kaidah kesusilaan dan juga berasal dan kaidah agama. Hukum
menuntut legalitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah pelaksanaan
atau pentaatan kaidah semata-mata, sedangkan kesusilaan menuntut
moralitas, yang berarti bahwa yang dituntut adalah perbuatan yang
didorong oleh rasa wajib (Mertokusumo, 1986: 13).

Kaidah hukum dan kaidah kesopanan

98
Kaidah kesopanan adalah kaidah yang sangat dekat dengan realita
yang ada dalam masyarakat, sedangkan kaidah hukum sudah mulai
mengambil jarak dengan memperhatikan juga apa yang ideal, sehingga
dalam perkembangan diantara kedua kaidah tersebut sering ada tank
menarik. Dapat terjadi bahwa dahulu sesuatu itu merupakan kaidah
hukum, namun sekarang sesuatu tersebut hanya dianggap sebagai kaidah
kesopanan, contoh lembaga pertonangan yang dahulu sebagai lembaga
hukum, tetapi sekarang hanyalah dianggap sebagai kesopanan atau
kebiasaan atau lebih terkenal dengan sebutan tata cara adat kebiasaan.
Sebaliknya ada yang semula merupakan kesopanan atau kebiasaan, tetapi
dalam perkembangannya oleh masyarakat diyakini dan diterima sebagai
suatu kewajiban yang harus ditaati atau harus dilaksanakan apabila tidak
ada sanksinya, contoh sopan santun berlalu lintas sekarang ada yang sudah
menjadi kaidah hukum.

Persamaan dan Perbedaan diantara Kaidah Sosial

Pumadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa


ada dua aspek hidup manusia, yaitu hidup pribadi dan hidup antar pribadi.
Setiap aspek hidup tersebut mempunyai kaidah-kaidahnya, dan dalam
masingmasing golongan dapat diadakan pembedaan antara dua macam
tata kaidah, yaitu (Purbacaraka, 1979: 15-35).

1. Tata kaidah dengan aspek hidup pribadi, yang tujuannya adalah


untuk kesayogyaan orang seorang (din pribadi), yang mencakup:
kaidah agama untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau
kehidupan beriman; dan kaidah kesusilaan yang tertuju pada
kebaikan hidup pribadi atau kebersihan hati nurani dan akhlak.

2. Tata kaidah dengan aspek hidup antar-pribadi, yang tujuannya


untuk kesayogyaan hidup din pribadi bersama-sama pribadi

99
Iaiimya, jadi untuk kepentingan din sendiri dan kepentingan
bersama yang mencakup: kaidah kesopanan yang dimaksudkan
untuk kesedapan hidup bersama; dan kaidah hukum yang tertliju
kepada kedamaian hidup bersama.

Untuk mendapatkan gambaran yang Iebih lengkap tentang


persamaan dan perbedaannya diantara keempat kaidah sosial, dapat diikuti
uraian benikut ini. Dalam garis besarnya persamaannya adalah terletak
pada fungsinya, yaitu sebagai perlindungan terhadap kepentingan manusia
baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Adapun
perbedaannya dapat dilihat dan segi Iujuannya, isinya, asal-usulnya,
sanksinya, dan daya kerjanya.

Dilihat dari segi tujuannya, kaidah agama dan kaidah kesusilaan


adalah untuk penyempurnaan manusia: kaidah agama untuk mencapai
kehidupan beniman, yaitu dengan mematuhi segala perintah-perintah dan
meninggalkan segala larangan-larangan Tuhan; Sedangkan kaidah
kesusilaan untuk perbaikan hidup manusia itu sendiri agar mempunyai hati
nurani yang baik dan agar manusia tidak berbuat jahat. Tujuan kaidah
kesopanan dan kaidah hukum adalah untuk ketertiban masyarakat, bukan
ditujukan kepada pembuatnya, tetapi ditujukan kepada kepentingan
manusia Iainnya, agar manusia lainnya tidak menjadi korban.

Dilihat dan segi isinya, tata kaidah sosial dapat dikelompokkan


menjadi
dua:

Pertama kelompok kaidah dengan aspek hidup pribadi, yaitu kaidah


agama dan kaidah kesusilaan. Isinya ditujukan kepada sikap
batin manusia, dengan melarang melakukan kejahatan.

100
Kedua kelompok kaidah dengan aspek hidup antar-pribadi, yaitu
kaidah kesopanan dan kaidah hukum. Isinya ditujukan
kepada sikap lahir manusia atau perbuatan konkrit.

Dilihat dan segi asal-usulnya, kaidah agama bersumber pada ajaran


agama dan merupakan perintah dan Tuhan, karena asalnya dan luar din
manusia, maka sering dikatakan bersifat heteronom. Kaidah kesusilaan
asalnya dan din sendiri atau dan hati nurani manusia itu sendiri, maka
dikatakan bersifat otonom. Sedangkan kaidah kesopanan dan kaidah
hukum asalnya dan luar din manusia itu sendiri, atau kekuasaan luar yang
memaksakan kepada kita, maka sifatnya heteronom.

Dilihat dan segi sanksinya, pelanggaran terhadap kaidah agama,


sanksinya baru akan dirasakan di kemudian han (di akhirat). Dalam hal ini
Tuhanlah yang akan menghukum. Pelanggaran terhadap kaidah
kesusilaan, sanksinya datang dan hati nurani kita sendiri, yang berupa
tekanan batin atau penyesalan. Walaupun demikian sering terjadi
penyesalan dirasakan lebth berat dibandingkan dengan sanksi sebagai
akibat pelanggaran terhadap kaidah yang lain. Pelanggaran terhadap
kaidah kesopanan, sanksinya ditetapkan oleh masyarakat secara tidak
resmi, artinya tidak ada suatu instansi resmi yang dapat memaksakan
penerapan sanksi. Sedangkan pelanggaran terhadap kaidah hukum,
sanksinya datang dan masyarakat secara resmi, artinya ada suatu instansi
resmi yang diberi wewenang untuk menegakkan hukum dan untuk
memaksakan pelaksanaan sanksi hukum. Seperti telah diuraikan di muka,
bahwa keistimewaan kaidah hukum dibandingkan dengan ketiga kaidah
sosial yang lain, itu terletak pada sanksinya yang tegas dan dapat
dipaksakan oleh instansi resmi.

101
Dilihat dan segi daya kerjanya, kaidah agama, kesusilaan dan
kesopanan Iebih cenderung hanya membebani manusia dengan kewajiban-
kewajiban saja, tanpa membeni hak khususnya bagi orang lain yang
merasa dirugikan untuk menuntut haknya ke pengadilan, sehingga sanksi
yang nyata dan tegas tidak dapat dipaksakan penerapannya. Oleh sebab itu
dapat dikatakan bersifat normatif. Berbeda halnya dengan kaidah hukum,
disamping membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban, juga
memberikan hak untuk menuntutnya atau untuk ditegakkannya peraturan
yang ada. Oleh sebab itu kaidah hukum sering dikatakan bersifat normatif
dan atributif.

Perbedaan di antara kaidah-kaidah sosial, seperti yang telah


diuraikan tersebut di atas dapat digambarkan dalam bagan berikut:

Kaidah
Agama Kesusilaan Kesopanan Hukum
Segi
Fungsi Sebagai perlindungan kepentingan manusia
Umat manusia; untuk Pembuatnya yang konkret;
penyempurnaan manusia;
Tujuan untuk ketertiban masyarakat;
jangan sampai manusia
jahat jangan sampai ada korban

Isi Ditujukan pada sikap batin Ditujukan pada sikap lahir


Asal Usul Tuhan Diri sendiri Kekuasaan luar yang memaksa
Masyarakat Masyanakat secara
Sanksi Tuhan Diri sendiri
tidak resmi resmi
Membebani
Daya Kerja Hanya membebani kewajiban saja kewajiban dan
membeni hak
Kepada siapa
kaidah tersebut Umat manusia Pelakunya yang konkret
dialamatkan
Sempit
Berlakunya Luas tidak dibatasi (jadi Dibatasi nasional
kelompok-
(daerah melampaui batas wilayah atau luas
kelompok
berlakunya) negara) intennasional
tertentu

102
DAFTAR PUSTAKA

Apeldoom, van. 1971. Pengantar Ilmu Hukum. Pradnya Paramita: Jakarta.


Curzon, L.B. 1979. Jurisprudence. Mc.Donal & Evans
Harahap, M. Yahya. 2005. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Sinar
Grafika: Jakarta.
Kansil. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Balai Pustaka: Jakarta.
Kartohadiprodjo, Kardiman. 1977. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. PT
Pembangunan: Bandung.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1980. Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan.
Binacipta: Bandung.
Machmudin, Dudu Duswara. 2003. Pengantar Ilmu Hukum. Refika Aditama:
Bandung.
Marzuki, Peter Mahmud. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Kencana: Jakarta
Mertokusumo, Sutikno. 1990. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty:
Yogyakarta.
Paton, G.W. 1951. A Text Book of Jurisprudence. Clerendon Press: Oxford.
Natadimaja, Harumiati. 2009. Hukum Perdata Mengenai Hukum Orang dan
Hukum Benda. Graha Ilmu: Yogyakarta.
Purbacaraka, Purnadi & Soerjono Soekanto. 1979. Perihal Kaedah Hukum.
Alumni: Bandung.
Rachmadi, Usman. 2006. Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan
di Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta.
Rahardjo, Satjipto. 1982. Ilmu Hukum. Alumni: Bandung.
_______________. 2012. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Rasjidi, Lili. 1988. Filsafat Hukum. Remadja Karya CV: Bandung
Sanusi, Achmad. 1977. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
Tarsito: Bandung.
Sudarsono. 2004. Pengantar Ilmu Hukum. Rineka Cipta: Jakarta.
Subekti, Ramlan & R. Tjirtosudibio. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pradnya Paramita: Jakarta.
Syarifin, Pipin & Zarkasy Chumaidy. 1998. Pengantar Ilmu Hukum. Pustaka
Setia: Bandung.

103

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai