DISUSUN OLEH
1. Muhammad Rafif Dwikhan
2. Naaifa Rasi Mutliq
3. Nabila Noveliza
4. Nabila Putri Wirva
5. Puja Febiola Manrisa
6. Raissa Salma Nabila
7. Rihhadatul Zahrina
Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang biografi tokoh tokoh tersebut. Mudah-
mudahan makalah yang kami buat ini bisa menolong menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi.
Kami menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Guru mata pelajaran
Budaya Alam Minangkabau. Kepada pihak yang sudah menolong turut dan dalam penyelesaian
makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih
BAB I
PENDAHULUAN
Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia atau seseorang yang
berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa
hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa
bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2009.
Gelar tersebut juga diberikan kepada tokoh yang semasa hidupnya melakukan tindakan
kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan
kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia .
Penulis sudah menyusun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini. Ada pula
sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam karya tulis ini antara lain:
Bersumber pada rumusan permasalahan yang disusun oleh penulis di atas, hingga tujuan dalam
penyusunan makalah ini merupakan bagaikan berikut:
PEMBAHASASAN
Indonesia[1](1860 - 1916) adalah seorang ulama Indonesia asal Minangkabau. Ia lahir di Nagari Koto
Tuo, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada tanggal 6 Zulhijah 1276 H (1860
M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).[2] Dia menjabat sebagai
imam mazhab Syafii di Masjidil Haram. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya,
termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul
Ulama dan Sulaiman Ar-Rasuli, pendiri PERTI. [3]
Putra tertuanya, Abdul Karim, memiliki sebuah toko buku di Mekkah. Putranya Abdul Malik al-
Khathib adalah seorang duta besar Asyraf ke Mesir. Putranya, Syaikh Abdul Hamid al-Khathib,
adalah duta besar Arab Saudi pertama untuk Republik Islam Pakistan. Cucu anak laki-lakinya, Fuad
Abdul Hamid al-Khathib, adalah seorang duta besar Arab Saudi, humanitarian, penulis, dan
pengusaha. Dalam kapasitasnya sebagai diplomat, dia mewakili tanah airnya
di Pakistan, Irak, Amerika Serikat, Republik Federal Nigeria, Republik Turki, Republik Rakyat
Bangladesh, Nepal, dan akhirnya sebagai duta besar Saudi untuk Malaysia.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo
- Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatra Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860
Masehi) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).[2][4]
Awal berada di Mekkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri
Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Usai melaksanakan haji, ia menimba ilmu di maktab milik Syekh Abdul Hadi, seorang syekh asal
Inggris.[5]
Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka
menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya
Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung,
Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas
Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh
Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan
Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama
yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. [3]
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam
pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan
umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuwan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu
falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
2. Mohammad Natsir
Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang
kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan
tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri
Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim
Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi.
Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi
Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima.
Mohammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra
Barat pada 17 Juli 1908 dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Pada masa
kecilnya, Natsir sekeluarga hidup di rumah Sutan Rajo Ameh, seorang saudagar kopi yang terkenal
di sana. Oleh pemiliknya, rumah itu dibelah menjadi kedua bagian: pemilik rumah beserta keluarga
tinggal di bagian kiri dan Mohammad Idris Sutan Saripado tinggal di sebelah kanannya. Ia memiliki
3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Jabatan
terakhir ayahnya adalah sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya
merupakan seorang ulama. Ia kelak menjadi pemangku adat untuk kaumnya yang berasal
dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan Panjang.
Natsir mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun hingga kelas
dua, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Setelah
beberapa bulan, ia pindah lagi ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa.
[9] Selain belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di Madrasah
Diniyah pada malam hari. Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah ke HIS di Padang bersama
kakaknya. Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO) lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu
Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond. Setelah lulus dari MULO, ia pindah
ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada tahun
1930. Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga
menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang
telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatra Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu
agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam,
dan dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi
tokoh organisasi Persatuan Islam.
3. Hamka
4. Chatib Sulaiman
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Pembuatan isi makalah biografi tokoh tokoh dari minangkabau ini masih jauh dari kata
sempurna. Penyusun berharap adanya kritik dan saran dari para pembaca.