Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

TOKOH NASIONAL DAN INTERNASIONAL DARI MINANGKABAU

DISUSUN OLEH
1. Muhammad Rafif Dwikhan
2. Naaifa Rasi Mutliq
3. Nabila Noveliza
4. Nabila Putri Wirva
5. Puja Febiola Manrisa
6. Raissa Salma Nabila
7. Rihhadatul Zahrina

SMA NEGERI 7 PADANG


2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang sudah melimpahkan rahmat, taufik, dan
hidayah- Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Bahasa Indonesia ini dengan baik serta tepat
waktu. Seperti yang sudah kita tahu “Tokoh nasional dan internasional Minangkabau” itu sangat
penting. Semuanya perlu dibahas pada makalah ini tentang tokoh tokoh yang ada di Minangkabau

Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang biografi tokoh tokoh tersebut. Mudah-
mudahan makalah yang kami buat ini bisa menolong menaikkan pengetahuan kita jadi lebih luas lagi.
Kami menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.

Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan guna
kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Guru mata pelajaran
Budaya Alam Minangkabau. Kepada pihak yang sudah menolong turut dan dalam penyelesaian
makalah ini. Atas perhatian serta waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada Warga Negara Indonesia atau seseorang yang
berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau yang semasa
hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa
bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2009.

Gelar tersebut juga diberikan kepada tokoh yang semasa hidupnya melakukan tindakan
kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan
kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia .

1.2 Rumusan Masalah

Penulis sudah menyusun sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam makalah ini. Ada pula
sebagian permasalahan yang hendak dibahas dalam karya tulis ini antara lain:

 Bagaimana biografi tokoh tersebut?


 Apa nilai nilai yang dapat diambil?

1.3 Tujuan Masalah

Bersumber pada rumusan permasalahan yang disusun oleh penulis di atas, hingga tujuan dalam
penyusunan makalah ini merupakan bagaikan berikut:

 Untuk mengenali tokoh tokoh dari Sumatera Barat


BAB II

PEMBAHASASAN

2.1 Biografi Tokoh

1.Syaikh Ahmad Khathib Al-Minangkabawi Rahimahullah

Indonesia[1](1860 - 1916) adalah seorang ulama Indonesia asal Minangkabau. Ia lahir di Nagari Koto
Tuo, Kecamatan IV Koto, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada tanggal 6 Zulhijah 1276 H (1860
M) dan meninggal di Mekkah pada tanggal 8 Jumadilawal 1334 H (1916 M).[2] Dia menjabat sebagai
imam mazhab Syafii di Masjidil Haram. Banyak pemimpin reformis Islam Indonesia belajar darinya,
termasuk Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul
Ulama dan Sulaiman Ar-Rasuli, pendiri PERTI. [3]

Putra tertuanya, Abdul Karim, memiliki sebuah toko buku di Mekkah. Putranya Abdul Malik al-
Khathib adalah seorang duta besar Asyraf ke Mesir. Putranya, Syaikh Abdul Hamid al-Khathib,
adalah duta besar Arab Saudi pertama untuk Republik Islam Pakistan. Cucu anak laki-lakinya, Fuad
Abdul Hamid al-Khathib, adalah seorang duta besar Arab Saudi, humanitarian, penulis, dan
pengusaha. Dalam kapasitasnya sebagai diplomat, dia mewakili tanah airnya
di Pakistan, Irak, Amerika Serikat, Republik Federal Nigeria, Republik Turki, Republik Rakyat
Bangladesh, Nepal, dan akhirnya sebagai duta besar Saudi untuk Malaysia.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Tuo
- Balai Gurah, IV Angkek, Agam, Sumatra Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860
Masehi) dan wafat di Mekkah hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M).[2][4]
Awal berada di Mekkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri
Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Usai melaksanakan haji, ia menimba ilmu di maktab milik Syekh Abdul Hadi, seorang syekh asal
Inggris.[5]
Banyak sekali murid Syaikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi'i. Kelak di kemudian hari mereka
menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayah dari Buya
Hamka; Syaikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung,
Bukittinggi, Syaikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syaikh Abbas Qadhi Ladang Lawas
Bukittinggi, Syaikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki, Syaikh Khatib Ali Padang, Syaikh
Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan Syaikh Hasan
Maksum, Medan. Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama
yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU)
dan Muhammadiyah, merupakan murid dari Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah. [3]
Syaikhul Ahmad Khatib Rahimahullah adalah tiang tengah dari mazhab Syafi'i dalam dunia Islam
pada permulaan abad ke XX. Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan
umat. Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuwan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu
falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).

2. Mohammad Natsir 

Mohammad Natsir (17 Juli 1908 – 6 Februari 1993) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang
kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan
tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri
Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim
Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi.
Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi
Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima.
Mohammad Natsir dilahirkan di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra
Barat pada 17 Juli 1908 dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Pada masa
kecilnya, Natsir sekeluarga hidup di rumah Sutan Rajo Ameh, seorang saudagar kopi yang terkenal
di sana. Oleh pemiliknya, rumah itu dibelah menjadi kedua bagian: pemilik rumah beserta keluarga
tinggal di bagian kiri dan Mohammad Idris Sutan Saripado tinggal di sebelah kanannya. Ia memiliki
3 orang saudara kandung, masing-masing bernama Yukinan, Rubiah, dan Yohanusun. Jabatan
terakhir ayahnya adalah sebagai pegawai pemerintahan di Alahan Panjang, sedangkan kakeknya
merupakan seorang ulama. Ia kelak menjadi pemangku adat untuk kaumnya yang berasal
dari Maninjau, Tanjung Raya, Agam dengan gelar Datuk Sinaro nan Panjang.
Natsir mulai mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun hingga kelas
dua, kemudian pindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Setelah
beberapa bulan, ia pindah lagi ke Solok dan dititipkan di rumah saudagar yang bernama Haji Musa.
[9] Selain belajar di HIS di Solok pada siang hari, ia juga belajar ilmu agama Islam di Madrasah
Diniyah pada malam hari. Tiga tahun kemudian, ia kembali pindah ke HIS di Padang bersama
kakaknya. Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO) lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu
Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond. Setelah lulus dari MULO, ia pindah
ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada tahun
1930. Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga
menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang
telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatra Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu
agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam,
dan dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi
tokoh organisasi Persatuan Islam.
3. Hamka

Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer dengan nama


penanya Hamka (17 Februari 1908 – 24 Juli 1981) adalah seorang ulama, filsuf, dan sastrawan
Indonesia. Ia berkarier sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Ia sempat berkecimpung di politik
melalui Masyumi sampai partai tersebut dibubarkan, menjabat Ketua Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pertama, dan aktif dalam Muhammadiyah hingga akhir hayatnya. Universitas al-
Azhar dan Universitas Nasional Malaysia menganugerahkannya gelar doktor kehormatan,
sementara Universitas Moestopo mengukuhkan Hamka sebagai guru besar. Namanya disematkan
untuk Universitas Hamka milik Muhammadiyah dan masuk dalam daftar Pahlawan Nasional
Indonesia. Abdul Malik, nama kecil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 [Kalender Hijriyah: 14
Muharram 1326] di Tanah Sirah, kini masuk wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten
Agam, Sumatra Barat. Ia adalah anak pertama dari empat bersaudara pasangan Abdul Karim
Amrullah "Haji Rasul" dan Safiyah. Adik-adik Hamka bernama: Abdul Kuddus, Asma, dan Abdul
Mu'thi. Haji Rasul menikahi Safiyah setelah istri pertamanya, Raihana yang merupakan kakak
Safiyah meninggal di Mekkah. Raihana memberi Malik seorang kakak tiri, Fatimah yang kelak
menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur. Kelak, Haji Rasul bercerai dengan Safiyah,
menikah dengan Rafi'ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama Abdul Bari. Kembali ke
Minangkabau setelah belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Haji Rasul memimpin
gelombang pembaruan Islam, menentang tradisi adat dan amalan tarekat, walaupun ayahnya
sendiri, Muhammad Amrullah adalah seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah,
anduang bagi Malik, bernama Sitti Tarsawa adalah seorang yang mengajarkan tari, nyanyian, dan
pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama anduangnya, mendengarkan pantun-pantun yang
merekam keindahan alam Minangkabau. Ayahnya sering bepergian untuk berdakwah. Saat berusia
empat tahun, Malik mengikuti kepindahan orangtuanya ke Padang Panjang, belajar membaca al-
Quran dan bacaan shalat di bawah bimbingan Fatimah, kakak tirinya. Memasuki umur tujuh tahun,
Malik masuk ke Sekolah Desa. [a] Pada 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membuka sekolah
agama Diniyah School, menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sambil
mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Malik mengambil kelas sore di Diniyah School.
Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya cepat sekali menguasai bahasa Arab.

4. Chatib Sulaiman

Chatib Sulaiman (lahir di Sumpur, Tanah Datar, Sumatra Barat, 1906 atau 1907 — meninggal


di Situjuah Limo Nagari, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat, 15 Januari 1949 pada umur 42 atau 43
tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dari Sumatra Barat. Ia terlibat dalam
perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang berlangsung dari tgl 22
Desember 1948 - 13 Juli 1949 di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara. Chatib Sulaiman lahir
tahun 1906 atau 1907[1] di Sumpur, sebuah nagari yang terletak di Afdeling (wilayah administratif
setingkat kabupaten pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda) Tanah Datar, Sumatra Barat.
Nagari ini terletak di tepi Danau Singkarak.[1] Leon Salim (1987) dalam manuskripnya
berjudul Khatib Sulaiman, menyebut Chatib terlahir dari keluarga mapan. Sedari kecil, putra Haji
Sulaiman dan Siti Rahma itu dididik dalam pola budaya Minangkabau.[2]
Pagi hari ia berangkat ke Hollandsch Indlandsche School (HIS) Adabiah, sore belajar mengaji
dan silat, kemudian malam harinya menginap di surau yang terletak di Pasar Mudik, Padang.[2]
Menurut pemerhati sejarah lokal Sumatra Barat Fikrul Hanif Sufyan, di tengah kemapanan hidup,
usaha dagang ayah Khatib di Pasar Gadang jatuh bangkrut. Di tengah situasi sulit itu, sekolahnya
di MULO tetap lanjut atas bantuan saudagar kaya Abdullah Basa Bandaro, seorang tokoh yang
terkenal di kalangan kaum nasionalis, islamis, dan komunis pada awal pergerakan kebangsaan di
Sumatra Barat.[2]
Di bawah asuhan Basa Bandaro, pola pemikiran Khatib di dunia pergerakan dan pada masa revolusi
kemerdekaan telah terbentuk. Pengalaman hidup Khatib selama 23 di Pasar Gadang dalam
menikmati masa pendidikan, violist, maupun mengisi suara untuk film bisu di sebuah bioskop di
Padang, turut memberi pengaruh terhadap watak dan kepribadiannya.

5. Raja Bagindo Ali

Raja Bagindo Ali (ejaan Filipina: Rajah Baguinda Ali) adalah seorang ulama Minangkabau yang


menyebarkan agama islam hingga ke Kesultanan Sulu di Filipina selatan pada akhir abad ke-14.
Raja Bagindo datang ke Sulu pada tahun 1390. Kedatangannya melanjutkan dakwah Islam yang telah
dirintis oleh seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makhdum.[2] Selain ke Sulu, Raja Bagindo
juga mengembara ke Brunei, Serawak,dan Sabah. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah
mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.
Sekitar tahun 1450, seorang Arab dari Johor yaitu Sharif ul-Hashim Syed Abu Bakr tiba di Sulu. Ia
kemudian menikah dengan Paramisuli, putri Raja Bagindo. Setelah kematian Raja Bagindo, Abu
Bakr melanjutkan pengislaman di wilayah ini. Pada tahun 1457, menantunya itu memproklamirkan
berdirinya Kesultanan Sulu dan memakai gelar "Paduka Maulana Mahasari Sharif Sultan Hashem
Abu Bakr". Gelar "Paduka" adalah gelar setempat yang berarti tuan sedangkan "Mahasari"
bermaksud Yang Dipertuan.

2.2 Nilai Tokoh Tokoh


1. Menerapkan nilai sosial di masyarakat
2. Mwnghargai hak asasi manusia
3. Cinta tanah air
4. Persatuan dalam demokrasi
5. Membela tanah air dengan segenap jiwa dan raga.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari ulasan di atas penulis bisa merumuskan sebagai berikut:


Tokoh adalah orang yang berperan penting dalam kehidupan atau yang bisa disebut
menghasilkan karya. Tokoh selalu diingat dengan jasa jasanya dan prestasi yang
dimilikinya hingga diabadikan untuk suatu hal. Tidak hanya berasal dari luar daerah
namun dalam daerah kita sendiri menghasilkan orang orang yang berprestasi dan
mengharumkan nama bangsa karna prestasinya yang dimilikinya. Dan patut kita sebagai
masyarakat minang bangga dengan pencapaian tersebut.

3.2 Saran

Pembuatan isi makalah biografi tokoh tokoh dari minangkabau ini masih jauh dari kata
sempurna. Penyusun berharap adanya kritik dan saran dari para pembaca.

Anda mungkin juga menyukai