Anda di halaman 1dari 9

ILMU AL-JARH WA AL-TA`DIL

H. Sukardi, M.Ag

A. Pengertian

Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan
darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan keadilan seseorang dari kata Jaraha. Sedangkan
dalam istilah ahli hadis diartikan terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan
keadilannya, dan merusak hafalan serta ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya,
atau melemahkannya hingga kemudian ditolak. Dengan demikian, al-Tajrih dimaknai
pemberian sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan riwayatnya menjadi
lemah (dha`if), atau tidak riwayatnya diterima.

Al-‘Adlu secara bahasa adalah lurusnya jiwa merupakan lawan dari kata durhaka.
Seseorang yang adil kesaksiannya diterima. Al-Ta`dil artinya mensucikannya dan
membersihkannya. Sementara menurut istilah, al-‘Adlu didefinisikan orang yang tidak nampak
padanya apa yang merusak agamanya dan aklaknya, dan oleh karenanya diterima berita serta
kesaksiannya - tentu apabila memenuhi syarat-syarat penyampaian hadis lainnya. Dengan
demikian, al-Ta`dil adalah penandaan terhadap perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya,
sehingga mengemuka keadilannya dan diterima beritanya.

Ilmu Al-Jarh wa al-Ta`dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat dan bersihnya
seorang penutur hadis dengan menggunakan kata-kata yang khusus, sekaligus menilai apakah
riwayatnya diterima atau (Ushulul-Hadits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wa al-
Ta`dil 3/1)

B. Kegunaan Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil

Kegunaan ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil adalah untuk menetapkan apakah periwayatan


seseorang dapat diterima atau ditolak sama. Apabila seorang periwayat dinilai buruk oleh para
ahli, maka riwayatnya harus ditolak, dan apabila seorang periwayat dipuji sebagai orang yang
adil, maka riwayatnya diterima, sejauh syarat-syarat yang lainnya terpenuhi.

C. Rupa dan Jenis Perikeadaan Buruk Periwayat

Sifat, sikap dan perbuatan seorang periwayat hadis yang dipandang buruk oleh para
ahli hadis diikhtisarkan menjadi lima saja, yaitu:
1. bid’ah (melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syari’at)
2. mukhalafah (riwayatnya menyelisihi riwayat lain yang memiliki maksud dan konteks
sama dari penutur hadis lainnya yang berkualifikasi lebih tinggi)
3. ghalath (banyak keliru dan kacau dalam periwayatan)
4. majhul al-hal (tidak dikenal identitasnya)
5. da`wa bi al-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung).

D. Syarat Melakukan Penilaian

Para ahli hadis menetapkan syarat yang harus dipenuhi oleh para penilai perawi, di
antaranya:
1. Berlaku amanah dan adil dalam menilai. Penilaian yang dilakukannya kepada siapa pun
dilakukan apa adanya.
2. Eksploratif ketika membedah keadaan seorang rawi. Misalnya dengan menjelaskan
sebab-sebab menurunnya daya ingat atau daya hafal seseorang. Selain itu,
berkemampuan pula untuk membedakan sebab kelemahan seseorang, apakah karena
faktor ke-`adalah-annya atau karena faktor ke-dhabith-annya .
3. Berpijak kuat pada etika cara penilaian, terlebih ketika memberikan penilaian negatif
(tajrih) kepada seseorang. Misalnya, dengan mengungkapkan satu jenis kelemahan
(aib) saja, apabila ternyata kelemahan itu dipandang cukup menginformasikan berbagai
kelemahan lainyang terdapat pada diri orang tersebut.

4. Memberikan penilaian baik (ta`dil) secara global, sedangkan penilaian buruk (tajrih)-
nya dilakukan secara terperinci. Tujuannya untuk memberikan informasi tentang sebab
tertolaknya seorang perawi hadis, sehingga tidak merupakan upaya pembunuhan
karakter terhadap seseorang.

E. Syarat-syarat Penilai (Mu`addil dan Mujarrih)

Seorang penilai disyaratkan merupakan:


1. Orang yang memiliki kapasitas ilmu dibidang al-Jarh wa al-Ta`dil.
2. Orang yang bertakwa kepada Allah.
3. Orang yang wara` (berhati-hati dalam bersikap dan bertindak).
4. Orang yang jujur.
5. Orang yang mampu melepaskan sikap fanatik dari dirinya terhadap madzhab atau
ulama tertentu yang berakibat tidak obyektif dalam melakukan penilaian.
6. Orang yang mengetahui sebab-sebab kelemahan dan keunggulan seseorang.1
7. Orang yang tidak dicela oleh orang lain yang terpercaya (tsiqah) – tidak majruh.

F. Cara Mengetahui Jarh dan Ta`dil

1. Penetapan Kelemahan Rawi Hadis


Penetapan cacatnya seorang rawi hadis dapat ditempuh dengan dua jalan, yakni:
a. Melalui informasi yang bersifat merata terkait kelemahan yang ada pada diri
seorang rawi. Misalnya, seorang rawi yang sudah dikenal luas di masyarakat
sebagai orang fasiq atau pendusta, maka menjadi tidak perlu lagi dipersoalkan.
Cukuplah informasi tersebut sebagai jalan untuk menetapkan kelemahannya atau
cacatnya.

b. Melalui informasi dari seseorang yang terpercaya (`adil) dan mengetahui sebab-
sebab kelemahannya. Pendapat ini dipegangi oleh para ahli hadis, sementara itu
menurut para ahli hukum Islam (fuqaha) sekurang-kurangnya berita tentang
cacatnya seorang penutur hadis itu harus berasal dari dua orang laki-laki yang adil.

2. Penetapan Keunggulan Rawi Hadis


Sebagaimana penetapan terhadap kelemahan seorang rawi hadis, maka penetapan
keunggulannya pun dapat diketahui melalui:

a. Popularitasnya (bi al-syuhrah) di kalangan ahli hadis sebagai orang yang adil atau
unggul. Seperti keterkenalan Malik Ibn Anas, Sufyan al-Tsawry, Syu’bah Ibn Al-
Hajjaj, Muhammad Ibn Idris al-Syafi`iy, Ahmad Ibn Hanbal, dan yang lainnya.

b. Pujian dari seorang yang adil (bi al-tazkiyah), yakni penilainnya kepada seseorang
yang dipandangnya sebagai rawi yang adil dan unggul, padahal bisa jadi pada
awalnya rawi tersebut belum terkenal sebagai rawi yang adil dan unggul.

Terkait dengan penetapan keunggulan seorang rawi melalui tazkiyah ini dapat
dilakukan oleh :

1
Al-Imam Muhammad Abd al-Hayy al-Kanawiy al-Hindiy, al-Raf`u wa al-Takmil fi al-Jarh wa al-
Ta`dil, diteliti dan diberi catatan oleh Abd al-Fattah Abu Ghudah, hal.67, Dar al-Aqsha, 1987.
i. Seorang rawi yang adil saja, demikian pendapat umumnya para muhadditsun.
Artinya, tidak memerlukan penilaian dari banyak orang. Dalam pandangan
mereka faktor jumlah tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat. Pendapat
ini berbeda dengan pendapat para fuqaha yang mensyaratkan sekurang-
kurangnya dua orang dalam pen-tazkiyah-an seorang rawi hadis.
ii. Setiap orang yang dapat diterima periwayatannya, dengan mengabaikan aspek
jender dan status sosialnya, selama orang tersebut mengetahui sebab-sebab yang
dapat adilnya seorang rawi hadis.

G. Kontradiksi antara Jarh dan Ta`dil

Penilaian terhadap seorang penutur hadis tidak selamanya satu. Seringkali ditemui
adanya kontradiksi dalam penilaian. Seorang penutur hadis selain mendapatkan Ta`dil
(penandaan baik) dari para ulama semasanya, ia juga mendapatkan tajrih (penandaan buruk)
yang dapat mengurangi kredibilitasnya sebagai seorang penutur hadis.
Untuk mengatasi kontradiksi sebagaimana dimaksud, para ulama hadis membuat
kaidah-kaidah sebagai berikut:
1. Mempertegas atau memperkuat (ta’kid) kembali, mengenai pertentangan tersebut,
apakah memang benar-benar ada atau tidak.
2. Mencari penyebab pertentangan tersebut, karena bisa jadi seorang perawi di awal
mendapatkan tajrih, lalu bertaubat dan mendapatkan Ta`dil dari yang lainnya
setelah melakukan pertaubatan. Mungkin juga si rawi hadis di usia mudanya
memiliki akurasi intelejensia yang tinggi berupa hapalan yang sangat kuat, namun
setelah berusia lanjut hapalannya agak berkurang, serta hal-hal lainnya yang
memungkinkan dilakukannya kompromi.
3. Apabila jalan kompromi tidak dapat dilakukan, maka mayoritas ulama hadis
berpendapat bahwa tajrih didahulukan daripada Ta`dil, dengan syarat tajrih-nya
bersifat mufassar (dijelaskan). Kondisi ini tetap diberlakukan meskipun yang
menilai baik jumlahnya lebih banyak dari yang menilai buruk. Hal ini berdasar
dugaan kuat bahwa yang melakukan penilaian buruk mengetahui hal-hal yang
bersifat batini (tersembunyi) yang tidak diketahui oleh orang yang memberi nilai
baik.

Terkait dengan poin 3 di atas, ulama hadis menetapkan syarat berikut:


a. Tajrih yang disampaikan harus disertai penjelasan dari mujarrih. Artinya, bila
tajrih itu tidak disertai penjelasan, maka Ta`dil-lah yang mesti didahulukan.
b. Ta`dil yang bertentangan dengan tajrih harus bersifat global dan mutlak.
Apabila mu`addil mampu memberikan penjelasan tentang tajrih yang
ditimpakan kepada seorang rawi, sementara rawi dimaksud telah bertaubat,
maka tajrih-nya dinyatakan batal oleh ta`dil tersebut.

H. Perbedaan Tingkat Para Perawi

Dalam melakukan pemeringkatan perawi hadis, muhadditsun menggunakan ragam


atribut sesuai dengan yang diperlukan. Sebagaimana terbaca dalam berbagai kitab rijal hadis,
atribut atau sebutan yang dilekatkan kepada diri perawi bermacam jenis. Sebagai misal:

Di antara mereka ada yang digelari al-tsabt (yang teguh), al-hafizh (penghafal kuat),
al-wari` (bersikap hati-hati), al-mutqin (yang teliti), al-naqid (yang kritis dalam menganalisis
hadis). Orang-orang yang mendapatkan predikat seperti ini tidak diperselisihkan lagi
kredibilitasnya, bahkan penilaian mereka terhadap perawi lain dapat dijadikan pegangan dan
hujjah (kekuatan bukti).

Di luar mereka ada pula orang yang dinilai memiliki sifat al-`adl pada diri (dengan
pengertiannya yang khas sebagaimana dipahami oleh para pembelajar hadis), teguh dalam
periwayatan, jujur dan benar dalam penyampaian hadis-hadis, wara’ dalam beragama, hafal
dan teliti dalam hadis-hadisnya. Penutur seperti ini adalah penutur yang ‘adil – selain
pribadinya dapat dipercaya – hadisnya pun bisa dijadikan hujjah.

Selain itu ada pula rawai yang shaduq, wara’, shalih, ber-taqwa, dan tsabt, hanya saja
terkadang salah atau keliru dalam periwayatan. Untuk orang dengan predikat ini para ulama
kritik hadis masih dapat menerimanya dan hadis yang diriwayatkannya pun masih dapat
dijadikan hujjah.

Sedangkan mereka yang shaduq, wara’, ber-taqwa, namun seringkali lalai, ragu, salah,
keliru, dan lupa, maka hadisnya boleh ditulis untuk kepentingan-kepentingan targhib
(memotivasi), tarhib (mengancama), kezuhudan, dan adab. Adapun terkait dengan masalah
halal dan haram, hadis mereka dinyatakan tertolak dan tidak dapat digunakan.

Selanjutnya, orang yang tampak darinya kebohongan, maka hadisnya ditinggalkan dan
riwayatnya dibuang2 (turika haditsuh wa thurihahu/matruk al-hadits wa al-mathruh).

I. Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh wa al-Ta`dil

Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, para penutur hadis tidak dalam satu derajat
yang sama, baik dari segi ke-adil-an maupun ke-dhabith-an serta hapalannya. Pada aspek
hapalan: ada yang sempurna, ada yang kurang baik dalam hapalan maupun ketepatan, dan ada
pula yang sering lupa dan salah padahal mereka masuk kategori orang yang adil dan amanah,
di samping ada juga yang dimasukkan ke dalam kelompok pendusta. Kondisi para penutur hadis
yang berbeda dan bertingkat ini kemudia – tentu dengan seijin Allah – terungkap melalui kerja
segenap jawarih para ulama hadis yang tanpa lelah bekerja melakukan otentifikasi hadis.
Setelah itu mereka juga menetapkan pemeringkatan jarh dan ta`dil disertai penentuan lafal-
lafal yang menunjukkan perbedaan tingkat para penutur hadis.

Tingkatan pada ta`dil dikelompokkan menjadi enam, begitu pun pada jarh.

1. Tingkat-tingkat pada Ta`dil


a. Tingkat pertama, ta`dil yang menggunakan bentuk superlatif dalam pen-
Ta`dil-an, atau dengan menggunakan kata yang ber-wazan (timbangan dalam
pecahan kalimat) af’ala. Misalnya: “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan
dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan
ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”.
b. Tingkat Kedua, dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-an dan
ketepatan periwayatannya, baik dengan lafal maupun dengan makna, seperti :
tsiqah-tsiqah, tsiqah-tsabt, tsiqah-ma’mun, tsiqah-mutqin, atau tsiqah-hafizh.
c. Tingkat Ketiga, menggunakan lafal-lafal yang menunjukkan adanya penilaian
baik (tsiqah) tanpa disertai penguatan atas hal itu, seperti: kata tsiqah saja, tsabt
saja, atau hafizh saja.
d. Tingkat Keempat, menggunakan kata-kata yang menyebutkan adanya sifat-
sifat adil dan terpercaya, namun tidak disertai isyarat atas kekuatan hapalan
dan ketelitian dalam periwayatan. Kata-kata yang biasa digunakan untuk
kategori ini adalah: shaduq, ma’mun, mahalluhu al-shidq (ia tempatnya
kejujuran), atau lâ ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Hanya saja dalam
pendapat Ibn Ma’in kata lâ ba’sa bihi adalah tsiqah.3

2
Muqaddimah Al-Jarh wa al-Ta`dil 1/10.
3
Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadis yang mutasyaddid (ketat dalam menetapkan syarat/kriteria bagi
perawi hadis), sehingga lafal yang biasa saja yang disampaikannya sudah cukup untuk menunjukkan
terpercaya (tsiqah)-nya seorang perawi.
e. Tingkat Kelima, lafal yang tidak menunjukkan adanya ta`dil ataupun jarh,
seperti : fulan syaikh (fulan seorang guru hadis), ruwiya ‘anhul-hadits (hadis
diriwayatkan darinya), atau hasanul-hadits (hadisnya baik).
f. Tingkat Keenam, adanya isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : shalih
al-hadits (haditsnya lumayan), atau yuktab haditsuh (dicatat hadisnya).

2. Efektifitas Hukum Masing-Masing Tingkat


a. Tiga tingkatan pertama dapat dijadikan hujjah, meskipun sudah barang tentu
sesuai dengan kualifikasi mereka masing-masing.
b. Sementara tingkat yang keempat dan kelima tidak dapat dijadikan hujjah,
tetapi hadisnya boleh ditulis. Akurasi periwayatan mereka diuji dengan
mengkomparasi hadis-hadisnya dengan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
perawi yang berada pada peringkat pertama sampai ketiga. Jika penuturannya
sesuai dengan hadis mereka, hadisnya dapat dijadikan hujjah, namun jika tidak
bersesuaian, maka hadisnya tertolak.
c. Sedangkan untuk tingkat keenam, tidak dapat dijadikan hujjah, hanya saja
hadis-hadis mereka boleh ditulis untuk dijadikan bahan pertimbangan, tidak
untuk pengujian, karena ketidak-dhabith-an mereka.

J. Kitab-Kitab Al-Jarh wa al-Ta`dil

Karya dalam al-Jarh wa al-Ta`dil telah berkembang pesat pada sekitar abad ke-3
sampai ke-4 hijrah. Mereka yang kerap disebut sebagai pionir dalam kerja tashnif pengetahuan
ini adalah Yahya Ibn Ma’in, Ali Ibn al-Madini, dan Ahmad Ibn Hanbal. Setelah itu secara
meluas penulisan dilakukan oleh generasi sesudahnya dengan memuat seluruh komentar dan
pendapat penulis pada generasi sebelumnya.

Para penyusun menerapkan metode yang berlainan, sebagian dari mereka ada yang
menulis nama-nama perawi yang berkategori dha`if saja, sementara yang lainnya hanya
menyebutkan orang-orang yang tsiqat, dan ada juga yang menggabungkan keduanya.

Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama
para perawi sesuai dengan huruf abjad (mu’jam).

Berikut adalah karya-karya dalam studi al-jarh wa al-ta`dil:

1. Kitab Ma’rifah al-Rijal, karya Yahya Ibn Ma’in (w. tahun 233 H), sebagiannya
berbentuk manuskrip.
2. Kitab al-Dhu`afa al-Kabir dan al-Dhu`afa al-Shaghir, buah tangan Imam Muhammad
Ibn Ismail al-Bukhari (w. tahun 256 H), dicetak di India . Karya beliau yang lainnya:
al-Tarikh al-Kabir, al-Tarikh al-Awsath, dan al-Tarikh al-Shaghir.
3. Kitab al-Tsiqat, karya Abu al-Hasan Ahmad Ibn Abdillah Ibn Shalih al-‘Ijliy (w. tahun
261 H), dalam bentuk manuskrip.
4. Kitab al-Dhu`fa wa al-Matrukin, karya Abu Zur’ah Ubaydillah Ibn abd al-Karim al-
Razi (w. tahun 264 H), manuskrip.
5. Kitab al-Dhu’afa wa al-Kadzdzabun wa al-Matrukun min Ashhab al-Hadits, karya Abu
Utsman Said Ibn Amr Al-Bardza’i (w. tahun 292 H).
6. Kitab al-Dhu’afa’ wa al-Matrukin, karya Imam Shamad Ibn Ali al-Nasa’iy (w. tahun
303 H), dicetak di India bersama kitab al-Dhu’afa karya Imam al-Bukhari.
7. Kitab al-Dhu`afa, karya Abu Ja’far Muhammad Ibn Amr Ibn Musa Ibn Hammad al-
Uqayliy (w. 322 H), dalam rupa manuskrip.
8. Kitab Ma’rifah al-Majruhin min al-Muhadditsin, karya Muhammad Ibn Ahmad Ibn
Hibban Al-Bustiy (w. tahun 354 H), manuskrip. Karya manuskrip lainnya adalah al-
Tsiqat.
Selain itu ada juga karya yang menulis secara umum para perawi hadis, di
antaranya adalah:

9. Kitab al-Tarikh al-Kabir, karya Imam Bukhari (w. tahun 256 H) mencakup atas 12315
biografi sebagaimana dalam naskah yang dicetak dengan nomor.
10. Kitab al-Jarh wa al-Ta`dil, karya Abdurrahman Ibn Abi Hatim al-Razi (w. tahun 327
H), merupakan salah satu kitab al-Jarh wa al-Ta`dil terbesar yang kini ada, dan
memberi banyak faidah. Kitab ini memuat banyak penilaian para imam al-Jarh wa al-
Ta`dil terhadap para perawi hadis. Ia merupakan resume besar dari upaya para
pendahulu ilmu ini.

Selanjutnya ada pula karya dalam studi ini yang khusus membicarakan rijal al-
hadits yang terdapat dalam kitab-kitab hadis karya para imam hadis, baik rijal al-hadis
dalam kitab hadis tertentu, maupun rijal al-hadis dalam berbagai karya kitab hadis. Berikut
ini adalah di antaranya:

11. Kitab Asamiy Man Rawa ‘anhum al-Bukhari dalam manuskrip karya Ibn Qaththan
Abdullah bin ‘Ady Al-Jurjani (w. tahun 360 H).
12. Kitab Dzikr Asma’ al-Tabi`in wa Man ba’dahum Min Man Shahhat Riwayatuhu min
al-Tsiqat ‘inda al-Bukhari berbentuk manuskrip, karya Abu al-Hasan Ali Ibn Umar al-
Daraquthniy (w. tahun 385 H).
13. Kitab al-Hidayah wa al-Irsyaad fi Ma’rifah Ahl al-Tsiqah wa al-Sadad, karya Abu
Nashr Ahmad Ibn Muhammad al-Kalabadziy (w. tahun 398 H), khusus memuat
transmiter Imam Bukhari dalam bentuk manuskrip.
14. Kitab al-Ta`dil wa al-Tarjih li Man Rawa ‘anhu al-Bukhari fi al-Shahih, karya Abu al-
Walid Sulayman Ibn Khalaf al-Baji al-Andalusiy (w. tahun 474 H), manuskrip.
15. Kitab al-Ta`rif bi Rijal al-Muwaththa’, manuskrip karya Muhammad Ibn Yahya Ibn
al-Hidza al-Tamimiy (w. tahun 416 H).
16. Kitab Rijal Shahih Muslim, karya manuskrip Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Manjawaih
Al-Ashfahani (w. tahun 247 H).
17. Kitab Rijal al-Bukhari wa Muslim, manuskrip karya Abu al-Hasan Ali Ibn Umar al-
Daraquthniy (w. tahun 385 H).
18. Kitab Rijal al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah al-Hakim al-Naisaburiy (w.
tahun 404 H), telah dicetak.
19. Kitab al-Jam’i Bayna Rijal al--Shahihayn, karya Abu al-Fadhl Muhammad Ibn Thahir
al-Maqdisy (w. tahun 507 H), tercetak.
20. Kitab al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, karya al-Hafizh Abd al-Ghaniy Ibn Abd al-Wahid
al-Maqdisy Al-Jumma’iliy (w. tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada
kita yang secara khusus membahas perawi Kutub al-Sittah. Kitab ini dipandang sebagai
referensi pokok bagi para penulis setelahnya dalam bab ini. Sejumlah ulama telah
melakukan koreksi dan peringkasan terhadapnya.
21. Kitab Tahdzib al-Kamal, karya al-Hafizh al-Hajjaj Yusuf Ibn az-Zakiy Al-Mizziy (w.
tahun 742 H).
22. Kitab Tadzkirah al-Huffazh, karya Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad Ibn Utsman
al-Dzahabiy (w. tahun 748 H).
23. Kitab Tahdzib al-Tahdzib, karya al-Dzahabiy.
24. Kitab Al-Kasyif fi Ma’rifah man Lahu Riwayat fi al-Kutub al-Sittah, karya Adz-
Dzahabiy.
25. Kitab Tahdzib al-Tahdzib, karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Atsqalaniy (w. tahun 852 H),
merupakan ringkasan dan koreksi atas Tahdzib al-Kamal-nya al-Mizziy. Kitab ini
adalah kitab yang paling dikenal dan dicetak secara terus-menerus. Di dalamnya Ibn
Hajar melakukan peringkasan atas komentar al-Mizziy yang menurutnya perlu
diringkas, dan menambah hal-hal yang pada penglihatannya terlewatkan dari
pengamatan al-Mizziy di dalam kitabnya. Kitab Tahdzib al-Tahdzib adalah kitab paling
baik dan paling detil.
26. Kitab Taqrib al-Tahdzib, karya Ibnu Hajar.
27. Kitab Khulashah Tahdzib al-Kamal, karya Shafiyyuddin Ahmad Ibn Abdillah al-
Khazrajiy (w. tahun 934 H).
28. Kitab Ta’jil al-Manfa’ah bi Zawaid al-Kutub al-Arba’ah, karya Al-Hafizh Ibn Hajar
Al-Atsqalaniy.
29. Kitab Mizan al-I`tidal fi Naqd al-Rijal, karya Al-Hafizh al-Dzahabiy (w. tahun 748 H),
termasuk kitab yang paling lengkap tentang biografi orang-orang yang dinilai buruk
(majruh).
30. Kitab Lisan al-Mizan, karya al-Hafizh Ibn Hajar al-Atsqalaniy.
31. Kitab al-Tadzkirah bi al-Rijal al-‘Asyarah, karya Abu Abdillah Muhammad Ibn Ali al-
Husayniy al-Dimasyqiy (w. tahun 765 H). Kitab ini mencakup atas biografi seluruh
penutur hadis dari sepuluh kitab hadis utama, yaitu : rawi-rawi yang terdapat dalam al-
Kutubus-Sittah, yang menjadi objek pembahasan pada kitab Tahdzibul-Kamal-nya Al-
Mizzi, ditambah rawi-rawi yang ada dalam empat kitab lainnya karya imam empat
madzhab : al-Muwaththa’, Musnad al-Syafi`i, Musnad Ahmad Ibn Hanbal, dan
Musnad Abu Hanifah yang diriwayatkan oleh al-Husain Ibn Muhammad Ibn Khasru
yang memuat hadis-hadis yang ditransmisikan oleh Imam Abu Hanifah.

K. Hukum Melakukan Jarh dan Ta`dil

Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan Ta`dil, dan tidak menganggap hal
itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang. Pandangan mereka atas dasar dalil-dalil berikut:
1. Sabda Rasulullah saw kepada seseorang:
”(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah saw kepada Fathimah binti Qays yang menanyakan tentang
Mu’awiyyah Ibn Abi Sufyan dan Abu Jahm yang bermaksud melamarnya :
”Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka
memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR.
Muslim).
Dua hadis di atas merupakan dalil al-Jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan.
Adapun at-Ta`dil, di antaranya berdasarkan hadis :
3. Rasulullah saw bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid Ibn Walid, salah
satu pedang di antara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan al-Jarh wa al-Ta`dil untuk menjaga
syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Apabila Jarh dalam persaksian saja
dibolehkan, terlebih pada perawi hadis, bahkan memperkokoh dan mencari kebenaran dalam
masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Al-Jarh dan al-Ta`dil dalam ilmu hadis mendapat perhatian demikian besar dari
kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut atas
Rasulullah saw:

‫آَب ُؤُك ْم فَإي ََّّي ُك ْم َوإي ََّّي ُه ْم‬ ‫ي‬ ‫ي‬


ٌ ‫َسيَ ُكو ُن يِف آخ ير أ َُّم يِت أََُن‬
َ ‫س ُُيَدثُونَ ُك ْم َما ََلْ تَ ْس َمعُوا أَنْتُ ْم َوََل‬
Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadis
kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar
sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka.

Amr Ibn Ali Abu Hafsh mendengar Yahya Ibn Sa’id al-Qaththan berkata:
‫الرج يل ََل ي ُكو ُن ثَب تًا يِف ا ْْل يد ي‬
َّ ‫يث فَ يَأْتي ييِن‬
‫الر ُجلُ فَيَ ْسأَلُيِن َعنْهُ قَالُوا‬ ‫ي‬ َّ ‫ْت ُس ْفيَا َن الث َّْوير‬
َ ْ َ ُ َّ ‫ي َو ُش ْعبَ َة َوَمال ًكا َوابْ َن عُيَ ْي نَ َة َع ْن‬ ُ ‫َسأَل‬
‫س بيثَ ْبت‬ ‫أ ْي‬
َ ‫َخ ِْب عَنْهُ أَنَّهُ لَْي‬
Aku bertanya kepada Sufyan al-Tsawry, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin Uyaynah
tentang seseorang yang tidak kuat dalam hadis. Lalu seseorang datang kepadaku dan
bertanya tentang dia, mereka berkata: “Kabarkanlah tentang dirinya bahwa dia tidak
kuat (dalam periwayatan hadis)!”.

Abu Ishaq al-Fazariy berkata: “Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan
dari orang-orang yang dikenal, dan kau tulis darinya apa pun yang diriwayatkannya dari orang-
orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin Ayyasy apa yang telah
ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka”.

K. Al-Jarh wa al-Ta`dil Pada Masa Sekarang


Menurut Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad ketika ditanya tentang Al-Jarh wa al-Ta`dil,
beliau berpendapat, “Al-Jarh wa al-Ta`dil harus ditegakkan melalui pengadilan, karena saksi
dan penuduh memiliki orang yang akan membenarkan tuduhan sedangkan yang dituduh
mengkritiknya dan mengatakan, ‘aku tidak menerima kesaksian saksi itu karena ia kadza wa
kadza.’ Al-Jarh wa al-Ta`dil (seharusnya) dilakukan di pengadilan (lembaga formal seperti
Lajnah Daimah, pent.).
Adapun bersenang-senang dengan Al-Jarh wa al-Ta`dil pada zaman ini dengan
menyibukkan diri dalam menghajar orang dan membicarakan orang, maka hal ini kembali
kepada orang yang memulainya dengan kerusakan. Seseorang yang dibutuhkan darinya adalah
‘amal sholihnya dan ‘amal sholihnya bukanlah beban yang harus disebarkan kepada manusia,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “tahukah kamu siapakah orang yang merugi
itu (muflish)? Seorang muflish adalah orang yang datang pada hari pembalasan dengan sholat,
zakat, puasa dan haji sedangkan dia gegabah menghujat orang lain, menfitnah orang lain,
menggunakan harta orang lain tanpa hak dan mencucurkan darah kaum muslimin serta
memukulnya, maka kebajikannya akan terhitung sebagai ganjaran (orang yang didhaliminya),
dan dosa-dosanya akan ditanggungnya dan dia akan dilempar ke dalam api neraka.” (Shahih
Muslim (6251)
Saat ini, terdapat orang-orang yang Allah menjadikannya bermanfaat (bagi manusia),
mereka menyibukkan diri mereka dengan Da’wah kepada Allah siang dan malam, namun
kendati demikian, masih ada aja orang-orang yang berbicara (keburukan) tentang mereka dan
mengkritik mereka dengan berdalih Al-Jarh wa al-Ta`dil dan beralasan berbicara mengenai al-
Jarh wa al-Ta`dil.
Jika melihat kutipan di atas, penulis berpendapat bahwa ucapan syaikh Abdul Muhsin
al-Abbad tersebut mengisyaratkan bahwa pada masa sekarang ini al-Jarh wa al-Ta`dil telah
diselewengkan dengan hanya menghujat dan menjelekan orang lain. Namun menurut penulis
al-Jarh wa al-Ta`dil yang dilakukan para ustadz pada masa sekarang bisa dikatakan sebagai
menceritakan kecacatan dan keadilan para rawy sebagai penjelas kepada masyarakat muslim,
bukan untuk menghina para rawy yang lemah dan memuji dengan berlebihan orang-orang yang
‘adil, melainkan demi kejelasan hadis dan supaya kita bisa memilahhadis mana saja yang boleh
diamalkan, serta meninggalkanhadis yang tergolong munkar. Hal itu dilakukan agar ajaran
Islam benar-benar terjaga dari kerusakan, oleh karena itu penulis sependapat dengan apa yang
dikatakan oleh imam Ahmad bin Hanbal, seperti yang telah diceritakan oleh Abdullah bin
Ahmad berikut :
Telah berkata Abdullah bin Ahmad bin Hanbal : Abu Turab An-Nakhsyabiy datang
kepada ayahku, maka ayahku berkata : si fulan dlaif, si fulan tsiqah, Abu Turab pun berkata :
wahai Syaikh janganlah engkau berbuat ghibah (menjelek-jelekan) terhadap ulama, beliau lalu
berpaling kepadanya dan berkata : celakalah engkau…ini adalah nasihat bukan ghibah (Ushul
al-Hadits : 264)
Apalagi jika melihat pada apa yang telah diperingatkan oleh Rasulullah saw:
”Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadis
kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar
sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah
Shahih Muslim).
Untuk itu al-Jarh wa al-Ta`dil pada zaman ini pun masih perlu dilakukan, dengan cara
mentakhrijhadis terlebih dahulu, kemudian meneliti setiap perawi dan menjelaskan para rawi
sesuai dengan yang telah diberitakan oleh para ahli al-Jarh wa al-Ta`dil dalam kitab-kitabnya.

L. Dampak al-Jarh wa al-Ta`dil terhadap Realibilitas hadis

Diyakini bahwa apa yang telah dilakukan ulama ahli hadis dalam metode men-tajrih
dan men-ta`dil perawi adalah untuk keaslian hadis itu sendiri, sehingga ajaran Islam pun tetap
murni seperti apa yang telah Rasululllah saw laksanakan dan ajarkan kepada para sahabatnya.
Hal ini pula yang akan menyebabkan terpisahnya antarahadis yang shahih darihadis yang dlaif,
bahkanhadis maudlu pun akan terlihat jelas.
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,”Apakah kamu tidak takut terhadap orang-
orang yang kamu tinggalkanhadisnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia
berkata,”Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah saw yang
menjadi musuhku. Beliau akan berkata: mengapa kamu mengambilhadis atas namaku padahal
kamu tahu itu adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).

Anda mungkin juga menyukai