Anda di halaman 1dari 24

Nama : Iftitah Maghfirah Haeruddin

Nim : B012221039

Teori dan Filsafat Hukum C

Soal!

1. Kaitan 3 Aliran Hukum dengan Persoalan Hukum Tertentu!

Jawab :

A. Korupsi Menurut Pandangan Aliran Hukum Positif

Kejahatan korupsi di Indonesia digolongkan sebagai kejahatan luar


biasa (extra ordinary crime) karena dampaknya yang luar biasa merusak
bagi tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Triliunan uang negara
hilang oleh para koruptor bahkan parahnya yang melakukan adaah para
pejabat negara. Sedemikian dahsyatnya efek yang ditimbulkan, maka pasca
reformasi didirikan lembaga Adhoc Komisi Pemberantasan Korupsi yang
memiliki kewenangan sangat besar dalam penegakan hukum sebagai bentuk
ketidakmampuan Kepolisian dan Kejaksaan dalam menegakan hukum
khususya korupsi.

Realitas ini membuat penanganan korupsi di Indonesia menjadi begitu


extraordinary. Tidak hanya dari sisi produk hukumnya, tetapi juga dari
penegak hukumnya. Bahkan presiden secara resmi mencanangkan dan
masuk dalam agenda kerjanya untuk memberantas korupsi. Namun, upaya
pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia seolah-olah tidak
berarti. Produk hukum yang ada, komisi yang dibentuk, kesadaran
masyarakat akan bahaya korupsi, tetap saja tidak merubah keadaan, korupsi
tetap menjadi common enemy (musuh bersama) bagi masyarakat Indonesia.
Hal itu terjadi, karena perilaku korupsi juga telah melanda para penegak
hukum bahkan menembus ranah peradilan. Istilah mafia peradilan
digelontorkan untuk menyebut para penegak hukum yang “berdagang
hukum”. Penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam
menghadapi korupsi justru gagal dalam membawa nilai keadilan dan
kemanfaatan bagi masyarakat. Peradilan yang seharusnya menjerakan para
koruptor, justru malah memberi kelegaan.

Pemahaman hukum di Indonesia masih didominasi cara berpikir


positivistik. Hukum lebih dipahami dalam tataran formil, akan disebut
hukum apabila telah dituangkan dalam perundangundangan yang merupakan
hasil bentukan dari penguasa. Akibatnya, hukum cenderung diartikan
sebatas teks dalam dokumen resmi negara yang disebut perundang-
undangan. Hukum dalam teks akan diterapkan dalam peristiwa konkrit oleh
para penegak hukum.

Pandangan positivis memandang hukum sebagai peraturan


perundang - undangan yang telah berlaku secara sah dan mengikat
semua warga negara kepada aturan tersebut tanpa kecuali, di luar itu
maka bukan hukum. Hukum pidana memberikan batasan yang konkret
dan sangat kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan
melawan hukum, karena terikat oleh asas “nullum delictum nuela puena
sine pravia legi punalli”, aitu suatu perbuatan tidak dapat dihukum
kecuali telah diatur dalam hukum positif.
Keberadaan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh pemikiran filosofis
hukum yang digunakan. Mayoritas penerapan hukuman di Indonesia
memiliki paradigma bahwa hukuman disebut hanyalah undang-undang
(legisme) karena asal peraturan yang membuatnya adalah negara (aliran
positivisme). Dalam kaitan dengan hal ini, Prof Satjipto Raharjo
berpendapat bahwa aliran positivis mengkonotasikan bahwa hukum adalah
perintah (command) untuk menciptakan peraturan (order), hukum berfungsi
untuk memaksa seseorang untuk berperilaku tertentu. Berlaku mengikat
bahwa hukuman identik dengan apa yang ditetapkan oleh penguasa sebagai
hukum, keadilan dan kebenaran atau dalam pengertian lain bahwa hukum
adalah apa yang ada dan tertulis. Aliran positivisme ditunjuk sebagai sumber
utama yang menyebabkan hukum diperlakukan secara otonom dan terpisah,
karena lahirnya positivisme muncul dan lahir sebagai reaksi terhadap aliran
hukum alam atau naturalism.1

Akan tetapi, pemberlakuan hukuman yang dilandasi pemikiran aliran


positifis mendapatkan kritikan karena kekakuan yang dimiliki. Sebagaimana
Stone berpendapat bahwa keberadaan hukum modern hanya kan bisa
mempertahankan isinnya secara vital, dalam operasinya yang efektif akan
meminjamkan kebenaran dari ilmu politik, sosial, ekonomi dan juga filsafat.
Hal tersebut menjadi pembenaran jika keberadaan hukum secara legal
formal tak akan mampu menjawab tantangan untuk menjadi solusi dalam
penegakan hukum di Indonesia, karena secara sejarah bahwa hukum yang
ada notabene berasal dari produk hukum Belanda yang secara mutlak
digunakan di daerah yang memiliki nilai-nilai bangsa asli yang berbeda.

1
Satjipto Raharjo, 2009, Membangun dan Merombak Sistem Hukum Indonesia, Genta Publishing., Yogyakarta,
hlm.237.
Dalam hal ini Satjipto mengatakan bahwa teori yang dibangun dengan
basis situasi hukum di Micronesia (Indonesia di dalamnya) menerima
hukum yang ditransplantasikan dari Amerika Serikat sebagai sesuatu yang
asing, bersebrangan dengan kebiasaan dan nilai-nilai masyarakat
Micronesia, yang akibatnya rakyat Micronesia terasing (ignorant) dari
hukum tersebut dan menjadi takut serta menghindarinya.2 Perlu kiranya ada
solusi untuk jalan tengahnya, di mana hukum Indonesia haruslah sesuai
dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Sebagaimana Jepang, yang secara bijak
mengharmoniskan hukum modern dengan nilai budaya jepang yang dikenal
dengan “the Japanese twist”. Jepang mampu mengembangkan cara-cara
penggunaan hukum modern dengan menekan risiko timbul kerusakan
masayarakatnya. Hampir sama di Korea yang melakukan hal serupa, yakni
menyempurnakan “rule of law” menjadi “the rule of just law” agar menjadi
lebih cocok dengan masyarakat Korea.3

Melihat apa yang dilakukan Jepang dengan “Japanese Twist”


merupakan sebuah terobosan yang positif dalam membangun sistem hukum
di Negaranya. Hal tersebut bisa menjadi inspirasi untuk dilakukan di negara
Indonesia untuk membangun sebuah sistem hukum yang melibatkan unsur-
unsur nilai asli keIndonesiaan. Negara Indonesia yang mayoritas beragama
islam di dalamnya hidup nilai-nilai islam karena memang islam dijadikan
sebagai sumber nilai. Termasuk dalam hal ini mengenai ajaran islam seperti
yang telah disinggung di atas mengenai pandangannya hukuman terhadap
koruptor. Pemberlakuan hukuman mati berlandaskan pandangan islam
bukanlah sebuah hal yang tabu untuk juga digunakan dalam sistem hukum

2
Satjipto Rahardjo, 2009, Pendidikan Hukum Sebagai Pendidikan Manusia, Genta Publishing., Yogyakarta, hlm.86.
3
Ibid, hlm.85.
positif Indonesia terlebih sudah diatur dalam UU No 13 Tahun 1999 jo UU
No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun memang faktor penegak hukum untuk memberlakukan


hukuman itu yang sampai saat ini seolah sulit untuk dilakukan. Pandangan
pemberlakuan hukuman mati untuk pelaku koruptor merupakan sebuah
bentuk hukuman yang diupayakan akan membuat efek jera bagi pelakunya
di mana hukuman di Indonesia saat ini untuk koruptor sangatlah tidak
membuat efek jera karena sifat hukumannya yang ringan. Hal tersebut ironi
dengan efek kerusakan yang luar biasa akibat tindakan korupsi itu sendiri.
Perlu kiranya ada keberanian bagi para penegak hukum untuk
memberlakukan hukuman mati.

Selama ini hakim dalam menangani kasus korupsi, cenderung hanya


memenuhi keadilan prosedural. Bahkan, banyak tindak pidana korupsi yang
diputus bebas oleh hakim. Tindak pidana korupsi tidak dapat dibiarkan,
karena akan menghambat pembangunan bangsa, sehingga korupsi
memerlukan penanganan yang luar biasa oleh semua aparat penegak hukum,
tidak hanya hakim tetapi juga jaksa, advokat dan polisi. Penanganan luar
biasa terhadap korupsi diperlukan karena korupsi merupakan tindak pidana
fenomenal yang dampaknya tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, yang mengancam cita bangsa
untuk mensejahterakan masyarakatnya. Itulah sebabnya, di berbagai belahan
dunia, korupsi selalu mendapat perhatian yang lebih dibandingkan dengan
tindak pidana lainnya.4

Mengingat ungkapan Lord Acton bahwa kekuasaan cederung korup


dan kekuasaan mutlak menyebabkan korup secara absolut. Ungkapan ini
4
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia., Jakarta, hlm.1.
menggambarkan bahwa korupsi umumnya dilakukan oleh orang yang
memiliki kekuasaan dalam suatu jabatan, sehingga sebenarnya korupsi
selalu berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan. Andi Hamzah
menyatakan bahwa terdapat beberapa sebab terjadinya tindak pidana korupsi
yaitu kurangnya gaji, latar belakang kebudayaan Indonesia, dan manajemen
yang kurang baik atau kontrol yang kurang efektif. Sedangkan Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa sebab utama korupsi ialah nafsu untuk hidup mewah
dalam kelompok yang memerintah secara umum, modus operandi dari
tindak pidana korupsi ialah pemberian suap, pemalsuan, pemerasan,
penyalahgunaan wewenang atau jabatan dan nepotisme.

Modus operandi berikutnya ialah pemalsuan. Pemalsuan merupakan


suatu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang-orang dari
dalam dan atau luar organisasi, dengan maksud untuk mendapatkan
keuntungan pribadi dan atau kelompoknya yang secara langsung merugikan
negara. Kegiatan yang teridentifikasi sering menjadi lahan pemalsuan ialah
perizinan, pengadaan barang dan jasa, pemilihan kepala daerah,
kepegawaian, pemeliharaan fasilitas umum, penerimaan pendapatan daerah,
pengawasan dan pertanggungjawaban kepala daerah.

Korupsi dalam apapun bentuk modus operandinya, tentu sangat


merugikan keuangan negara, bahkan hak-hak masyarakat secara sosial dan
ekonomi. Herannya dalam beberapa kasus korupsi, para pelaku justru
terlepas dari jeratan hukum, padahal korupsi yang dilakukan begitu masif.
Dengan keadaan ini, seolah-olah hukum tidak mampu lagi menjamah
kejahatan yang dibungkus dengan hukum atau dilekatkan sebagai bagian
dari hukum seperti dalam judicial crime yang tersembunyi dalam putusan
hakim.
Lembaga peradilan melalui aparatnya yaitu hakim harus lepas dari
intervensi pihak manapun, karena jelas dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
hukum dan keadilan. Di Indonesia, melalui sistem warisan Belanda, putusan
mengenai suatu perkara atau tindak pidana berada di tangan hakim, dengan
didukung oleh sekurang-kurangnya dua alat bukti dan keyakinan hakim. Hal
ini berbeda dengan sistem jury, yang hanya memindaklanjuti hukum dari
putusan dewan juri.

Namun, hakim dalam sistem apapun, sebagai aparat penegak hukum,


pemegang kekuasaan kehakiman harus melakukan penegakan hukum secara
jujur dan adil melalui putusan-putusannya. Peran ini tidak dapat dipungkiri
karena tugas pokok hakim dalam mengadili perkara mengandung dua
pengertian yaitu menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. namun,
pada kenyataannya, hakim di Indonesia cenderung hanya mengakomodasi
nilai keadilan prosedural, hal ini dikarenakan hakim di Indonesia masih
mengusung pola pikir positivisme hukum.

Pola pikir ini hanya mengedepankan keadilan prosedural, namun


belum tentu untuk keadilan substansial. Dalam pandangan dasar mahzab
positivisme hukum tata hukum suatu negara berlaku bukan karena
mempunyai dasar dalam kehidupan sosial melainkan karena mendapat
bentuk positifnya dari suatu institusi yang berwenang, dan hukum hanya
dikenal sebagai hukum formal, sehingga hukum dalam pola pikir
positivisme hukum ialah undang-undang yang telah dibentuk melalui
prosedur teknis. Dengan penerapan undang-undang, hakim dianggap telah
memenuhi keadilan prosedural. Pola pikir semacam ini sangat
mengutamakan nilai kepastian hukum dibandingkan nilai keadilan dan
kemanfaatan. Padahal, nilai terpenting dari hukum adalah nilai keadilan.

Melalui pola pikir positivisme hukum, hakim cenderung puas dengan


hal-hal yang berbau prosedural, tanpa bermaksud lebih jauh mendekati
horison keadilan. Terlebih lagi, bagi hakim yang memiliki integritas rendah,
tidak jujur serta tidak profesional, hukum akan lebih mudah dimanfaatkan
untuk memenangkan kasus yang sedang ditanganinya karena telah
berkolaborasi dengan pihak yang melakukan kejahatan.

Padahal dalam Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia


Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim, hakim
itu harus berperilaku adil, berperilaku jujur dengan tidak mencerminkan
keberpihakan, berintegritas tinggi sehingga mampu menolak berbagai
godaan dan segala bentuk intervensi, serta berpegang teguh pada nilai-nilai
Pancasila, sehingga putusan yang dihasilkannya pun bernilai Pancasila.
Hakim dalam mengambil putusan pun harus bersikap profesional, yang
artinya mengedepankan keahlian, pengetahuan, keterampilan dengan
didukung oleh wawasan yang luas.

Pola pikir positivisme hukum yang menjadikan undang-undang


sebagai satu-satunya acuan juga membatasi penanganan tindak pidana
korupsi hanya dengan cara-cara yang konvensional. Kegagalan dalam
penanganan tindak pidana korupsi, salah satunya disebabkan oleh peran
lembaga peradilan melalui hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap para
terpidana korupsi. Penjatuhan pidana terhadap para koruptor cenderung
ringan bahkan membebaskan.
B. Korupsi Menurut Aliran Hukum Sosiologis

Menurut aliran hukum sosiologis Aliran ini berpendapat bahwa


kecendrungan orang berbuat jahat karena faktor sosial. Ahli sosiologi
Prancis Emile Durkheim, menekankan pada “normlessness, lessens social
control” yang berarti mengendornya pengawasan dan pengendalian sosial
yang berpengaruh terhadap terjadinya kemerosotan moral, yang
menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma,
bahkan kerapkali terjadi konflik norma dalam pergaulan.5

Menurut Durkheim, penjelasan tentang perbuatan manusia tidak


terletak pada diri si individu, tetapi kelompok dan organisasi sosial. Dalam
konteks inilah durkheim memperkenalkan istilah anomie sebagai hancurnya
keteraturan sosial sebagai akibat hilangnya patokan-patokan dan nilai-nilai.
Berdasarkan aliran ini faktor sosial merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya korupsi yang merupakan akibat dari kurangnya pengendalian
sosial. Dan juga hilangnya nilai – nilai dan patokan – patokan dalam
kehidupan sosial akibat hancurnya keteraturan sosial.

Istilah Anomi dalam teori Durkheim juga dipandang sebagai kondisi


yang mendorong sifat individualistis (memenangkan diri sendiri/egois) yang
cenderung melepaskan pengendalian sosial. Keadaan ini akan diikuti dengan
perilaku menyimpang dalam pergaulan masyarakat. Durkheim sebagai salah
seorang penganut teori anomi mengatakan bahwa salah satu faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya penyimpangan tingkah laku (kejahatan)
adalah karena faktor atau kondisi ekonomi di dalam masyarakat.6

5
A.S Alam, 2010, Pengantar Kriminologi, Pustaka Refleksi., Makassar, hlm.47.
6
Ibid, hlm.48.
Berkaitan dengan hal ini, maka salah satu faktor penyebab seseorang
melakukan korupsi adalah faktor ekonomi sebagaimana yang dikemukakan
oleh Durkheim. Kejahatan korupsi adalah kejahatan yang disebabkan oleh
faktor ekonomi yang mana dalam diri manusia ada rasa ketidak puasan
terhadap apa yang yang sudah ada ia miliki, sehingga menimbulkan
kecendrungan untuk melakukan suatu kejahatan korupsi.

Korupsi bisa juga disebut sebagai tindakan menyimpang, berdasarkan


teori ini perilaku menyimpang dilihat sebagai ketidakmampuan seseorang
individu untuk bertindak sesuai dengan norma, tujuan dan cara – cara yang
diperbolehkan oleh masyarakat. dengan demikian, integrasi yang dilakukan
oleh individu tersebut tidak bersifat menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak
berarti bahwa setiap orang dapat berintegrasi sepenuhnya. Dapat dikatakan
bahwa tidak ada masyarakat yang terintegrasi secara penuh, merton melihat
bahwa integrasi yang terjadi dimasyarakat tidak sama, baik secara kualitas
maupun kuantitas.7

Teori sosiologi korupsi yang dapat menjadi pisau analisis tindak


pidana korupsi di Indonesia, adalah teori strukrural fungsional. Teori
structural fungsional memandang jika masyarakat terdiri dari berbagai
bagian, serta memiliki fungsi masing-masing untuk mencapai
keseimbangan. Perspektif struktural fungsional memandang bahwa
menjamurnya praktek korupsi di Indonesia merupakan tanda disfungsinya
hukum dalam menciptakan tujuanya, yakni mewujudkan kepatuhan hukum
dan keteraturan di masyarakat .

7
Ahmad Jainuri, Zainuddin Maliki, Syamsul Arifin, 2003, Terorisme dan Fundamentalisme Agama Sebuah Tafsir
Sosial, Bayumedia Publishing., Malang, hlm.177.
Dalam teori ini, kelanggengan korupsi juga disebabkan oleh adanya
disfungsi dalam birokrasi pemerintahan serta lembaga-lembaga yang
berwenang  dalam kasus korupsi. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman merupakan bagian birokrasi yang
berwenang dalam tindak pidana korupsi. Lemahnya pengawasan dalam
tindak pidana korupsi oleh lembaga berwenang, menjadi peluang tersendiri
bagi para pelaku untuk tetap melangsungkan korupsi.

Sebagai kejahatan luar biasa, langkah kebijakan penanggulangan


tindak pidana korupsi, terdapat beberapa poin penting yang diformulasikan
oleh pembentuk undang-undang yang dapat digunakan sebagai alat jerat agar
menimbulkan rasa jera bagi para pelaku korupsi yaitu dengan adanya sanksi
berat dan asas pembuktian terbalik dimana salah satunya adalah pidana mati.
Keinginan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi telah melatar
belakangi pemikiran dari adanya kebijakan formulasi terkait pidana mati
tersebut.

Dasar pemidanaan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang


Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana (untuk selanjutnya disingkat UUTPK) Pasal 2
ayat (2) UUTPK mengatur mengenai ancaman pidana mati bagi pelaku
korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

Keadaan tertentu merupakan pemberatan bagi pelaku tindak pidana


korupsi. Kriteria untuk pemberatan yaitu apabila tindak pidana korupsi
dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-
undang yang berlaku; pada waktu terjadi bencana alam nasional; sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi; atau pada waktu negara dalam keadaan
krisis ekonomi dan moneter.

Moeljatno mengatakan bahwa “perbuatan pidana adalah suatu


perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum, dimana larangan tersebut
disertai dengan sanksi atau ancaman yang berupa pidana tertentu terhadap
siapa saja yang melanggar larangan tersebut.16tidak terdapatnya hukuman
mati dalam vonis hakim meskipun perbuatan para koruptor telah terdapat
kesalahan yang mesti harus dipertanggungjawabkan, telah menjadikan
Indonesia sebagai tempat paling indah bagi para koruptor untuk melakukan
kejahatan mengambil uang rakyat secara tidak sah, dalam banyak putusan
pengadilan, hakim hanya menjatuhkan terdakwa kasus korupsi dengan
pidana rendah.

Sampai saat ini belum pernah para koruptor yang didakwa dengan
ancaman pidana mati yang kemudian menjadi pijakan bagi hakim untuk
menjatuhkan vonis mati.apabila dikaji dengan perspektif sosiologi hukum
pidana mati memberikan beberapa alasan, yaitu:

 Menjatuhkan hukuman mati dapat menimbulkan ketidakadilan,


karena kejahatan bukanlah hanya persoalan hukum pidana,
namun bersifat sosiologis yang berkaitan dengan ekonomi,
politik dan psikologis
 Hukuman mati bertentangan dengan hak untuk hidup
 Sistem peradilan pidana bukanlah sistem yang sempurna
 Hukuman mati tidak dapat menghentikan kejahatan dan tidak
menimbulkan efek jera
 Adanya alternative pemidanaan yang tidak mencabut nyawa
terpidana dan bersifat berat, yang harus disosialisasikan
 Hukuman mati tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang
berupa pemasyarakatan (pendidikan dan resosialisasi
narapidana)

Dalam tujuan pemidanaan terdapat konsep pencegahan (deterrence) yang


dilakukan melalui pencegahan umum (algemen preventie theorien) dan
pencegahan khusus (bijzondere preventive theorien). Pencegahan umum bertujuan
untuk memberikan penjeraan kepada orang lain di luar pelaku agar tidak
melakukan kejahatan. Sedangkan pencegahan khusus dimaksudkan agar pelaku
menjadi jera untuk tidak mengulangi tindak pidana lagi.

Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana pada hakikatnya


hanya pencegahan bersifat umum. Pencegahan khusus tidak akan tercapai karena
pelaku dipidana mati. Penjatuhan pidana mati bersinggungan dengan hak hidup
yang merupakan Hak Asasi Manusia.Indonesia adalah salah satu negara yang
menjunjung tinggi hak untuk hidup, yang ditempatkan pada hak yang bersifat non
derogable right. Namun kepada pelaku kejahatan masih diterapkan pidana
pencabutan hak hidup.

Masalah pidana mati, telah menjadi perhatian para ahli hukum pidana,
krimonologi, dan victimologi, terutama berhubungan dengan falsafah pemidanaan,
bahwa pemidanaan bukan hanya bertujuan agar terpidana menjadi jera, tetapi juga
harus memperhatikan korban, sehingga berkembanglah pendekatan teori
restrtoaktif justice. Arief Bernard Sidharta, mengemukakan pandangannya
tentang pidana mati yaitu:
 Pandangan hidup Pancasila berpangkal pada kenyataan bahwa alam
semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya yang merupakan
suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Tidak suatu pun yang ada di dalam alam
semesta yang berdiri sendiri terlepas dari perakitannya dengan isi
alam semesta yang lainnya.
 Juga manusia diciptakan oleh Tuhan dan tujuan akhir kehidupannya
adalah untuk kembali kepada sumber asalnya, yakni Tuhan. Tiap
manusia individual dilengkapi dengan akal budi dan nurani yang
memungkinkan manusia membedakan yang baik dari yang buruk,
yang adil dari yang tidak adil, yang manusiawi dari yang tidak
manusiawi, yang perlu dari yang tidak perlu, yang harus dan yang
tidak harus dilakukan, yang boleh dan yang dilarang, dan dengan itu
manusia individual memiliki kebebasan dan kemampuan untuk
menentukan sendiri pilihan tindakan yang (akan) dilakukannya serta
kehidupan yang ingin dijalaninnya. Karena itu, tiap manusia
individual bertanggung jawab untuk perbuatan yang telah atau akan
dilakukannya. Adanya akal budi dan nurani itu menjadi landasan dari
bermartabatan manusia.
 Telah dikemukakan bahwa eksistensi manusia dikodratkan dalam
kebersamaan dengan sesamanya. Dengan demikian penyelenggaraan
kehidupan manusia atau proses Inerealisasikan diri dari setiap
manusia berlangsung di dalam kebersamaannya itu, yakni di dalam
masyarakat. Untuk dapat Inerealisasikan dirinya secara wajar,
manusia memerlukan adanya ketertiban dan keteraturan
(berehenbaarheid, prediktabilitas, hal yang dapat diperhitungkan
terlebih dahulu) di dalam kebersamaannya itu.
 Terbawa oleh kodrat kebersamaan dengan sesamanya itu maka hukum
harus bersifat kekeluargaan.
 Penyelenggaraan ketertiban itu adalah penghormatan atas martabat
manusia, maka rujuan hukum berdasarkan Pancasila adalah
pengayoman terhadap manusia dalam arti pasif maupun aktif. Dalam
arti pasif meliputi upaya mencegah tindakan sewenang-wenang dan
pelanggaran hak. Dalam arti aktif meliputi upaya menumbuhkan
kondisi sosial yang manusiawi dan mendorong manusia
merealisasikan diri sepenuh mungkin. Tujuan hukum itu meliputi juga
pemeliharaan dan pengembangan budi pekerti kemanusiaan dan cita-
cita moral yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Sanksi Pidana adalah salah satu bentuk dari sanksi hukum, yakni
akibat tertentu yang dapat (seharusnya) dikenakan kepada seseorang
karena perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
dalam kaidah Hukum Pidana. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu itu pada dasarnya adalah perbuatan yang langsung menindas
martabat manusia dan atau membahayakan eksistensi masarakat
manusia. Karena itu, sanksi pidana (biasa disebut hukuman) adalah
merupakan pengenaan penderitaan atau hal yang dirasakan sebaga hal
yang tidak enak (merugikan) bagi yang dikenai. Pengenaan
penderitaan kepada seseorang oleh negara menuntut
pertanggungjawaban.
 Agar dapat dipertanggungjawabkan, maka pertama-tama sanksi
pidana itu harus merupakan pernyataan secara konkrit tentang
penilaian masyarakat terhadap perbuatannya yang dilakukan oleh
terpidana: bahwa perbuatan itu buruk, menindas martabat sesamanya
dan membahayakan eksistensi masyarakat manusia yang sehat.
Kedua, sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang
menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana
itu (perbuatan yang dinilai burukjdst). Ketiga, pengenaan pidana itu
harus diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan
nilai-nilai kemanusiaannya sehingga akan mampu mengendalikan diri
sepenuh mungkin. Tujuan hukum itu meliputi juga pemeliharaan dan
pengembangan budi pekerti kemanusiaan dan cita-cita moral yang
luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
 Sanksi Pidana adalah salah satu bentuk dari sanksi hukum, yakni
akibat tertentu yang dapat (seharusnya) dikenakan kepada seseorang
karena perbuatannya yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan
dalam kaidah Hukum Pidana. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu itu pada dasarnya adalah perbuatan yang langsung menindas
martabat manusia dan atau membahayakan eksistensi masarakat
manusia. Karena itu, sanksi pidana (biasa disebut hukuman) adalah
merupakan pengenaan penderitaan atau hal yang dirasakan sebaga hal
yang tidak enak (merugikan) bagi yang dikenai. Pengenaan
penderitaan kepada seseorang oleh negara menuntut
pertanggungjawaban.
 Agar dapat dipertanggungjawabkan, maka pertama-tama sanksi
pidana itu harus merupakan pernyataan secara konkrit tentang
penilaian masyarakat terhadap perbuatannya yang dilakukan oleh
terpidana: bahwa perbuatan itu buruk, menindas martabat sesamanya
dan membahayakan eksistensi masyarakat manusia yang sehat.
Kedua, sanksi pidana harus merupakan peringatan agar orang
menjauhi perbuatan yang dapat membawa akibat pengenaan pidana
itu (perbuatan yang dinilai buruk). Ketiga, pengenaan pidana itu harus
diarahkan untuk mendorong terpidana agar mengaktualisasikan nilai-
nilai kemanusiaannya sehingga akan mampu mengendalikan.8

Dikaji dalam perspektif sosiologi hukum, hukuman mati bagi terpidana


kasus korupsi sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Indonesia.
Tindak pidana khusus lainnya seperti Narkotika dan Terorisme sudah
menerapkan hukuman mati sebagai hukuman yang dapat memberikan efek
menakutkan buat para calon calon pelaku tindak pidana tersebut. Masyarakat
Indonesia sudah jelas menyatakan sikap bahwa tidak ada toleransi bagi
pejabat negara yang merugikan keuangan negara dengan jumlah yang tidak
sedikit. Hukuman terberat layak meraka dapatkan agar negara tidak lagi
terus merugi karena oknum yang menyeleweng dengan dasar kepentingan
pribadi.

Semula banyak pihak menduga bahwa hukuman mati hanya sekedar


gertakan demi menimbulkan efek jera, dan tidak pernah benar-benar
dilaksanakan.Pada kenyataannya banyak terpidana mati di Indonesia yang
tidak semua benarbenar di eksekusi. Ada yang dirubah hukumannya menjadi
seumur hidup, ada yang mendapat grasi dari Presiden, ada pula yang
kemudian bebas setelah menjalani hukuman penjara puluhan tahun.
Sebaliknya ada yang layak dijatuhi hukuman mati, semisal para koruptor
kelas berat, namun masih saja bebas berkeliaran bahkan menghilang tidak
tentu rimbanya.

Dalam kasus korupsi, para pelaku dapat dijatuhi hukuman seberat-


beratnya karena pelaku harus dapat mempertanggungjawabkan

8
Rifai Ahmad, 2011, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika., Jakarta,
hlm.41.
perbuatannya. Dalam setiap perbuatan yang terkandung unsur kesalahan atau
tindak pidana, maka tindak pidana atau kesalahan itulah yang menyebabkan
seseorang itu dihukum. Dalam hal ini dikenal asas tiada pidana tanpa
kesalahan (Geen straf zonder schuld atau no punishment without guilt) yang
merupakan asas pokok dalam pertanggungjawaban pembuat terhadap tindak
pidana yang dilakukan.

Asas tiada pidana tanpa kesalahan ini disimpangi oleh Strict Liability dan
Vicarious liability. Sehingga efektivitas hukuman mati bagi pelaku tindak
pidana korupsi saat ini masih belum berjalan efektif. Pidana mati terhadap
pelaku korupsi diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUTPK, yang menyatakan:
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana ayat (1) dilakukan dalam
keadaaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”.

Dengan demikian secara normatif telah ada pengaturan yang dapat


dijadikan dasar oleh hakim untuk menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana korupsi. Artinya dalam perspektif legalitas tidak ada keraguan
lagi untuk mempersoalkan legalisasi penerapan pidana mati bagi pelaku
tindak pidana korupsi.UU tindak Pidana Korupsi oleh karena itu hal tersebut
menjadi tugas utama para penegak hukum khususnya didalam penegakan
hukum tindak pidana korupsi.jika dikaji dengan perspektif sosiologi hukum
tentu efektivitas pidana mati terhadap pelaku korupsi tentu akan
bertentangan dengan nilai nilai hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup.

C. Korupsi Dalam Perspektif Antropologi Hukum


Korupsi secara harfiah adalah mengambil secara tidak wajar dan tidak
legal nilai materi untuk memperkaya mereka dengan menyalahgunakan
kekuasaan. Persepsi tentang korupsi tergantung dari iklim atau wilayah
hukumnya, karena pada dasarnya ada perbedaan antara yang dianggap korupsi
atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik yang legal di suatu tempat,
namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Yang jelas bahwa korupsi
merupakan sebuah kegiatan kriminal yang senantiasa mencari peluang atas
kelemahan sistem hukum yang terbangun dalam pranata sosial, termasuk sistem
kebudayaan.

Jika menakar prilaku korup dalam konteks kebudayaan, maka sangat


jelas bahwa kegiatan korup tersebut nyaris menjadi kesepakatan tidak tertulis
yang kemudian diikuti oleh prilaku masyarakat luas. Hal ini berdasarkan dari
kebiasaan maupun orientasi gaya hidup masyarakat yang telah terbentuk sejak
dini. Pertumbuhan gaya pemikiran manusia senantiasa di pengaruhi oleh
konsepsi interaksi yang berkembang, baik secara fungsional maupun secara
struktural. Perkembangan interaksi tersebut melebur menjadi kebiasaan gaya
hidup. Kebiasaan menampilkan kemilau materi adalah salah satu stimulus
seseorang untuk memperoleh pencitraan diri, walau dalam batas
kemampuannya sekalipun. Sepertinya hasrat itu terbangun berdasarkan fantasi
ilusif masyarakat yang telah terlanjur dibentuk oleh narasi industri.

Bayangkan, jika kekuatan dan perkembangan simbol-simbol industri


melaju cepat melebihi keinginan masyarakat untuk memperoleh status kelas-
kelas sosial tertentu. Disisi lain pendapatan seperti pegawai, gaji sebulan hanya
cukup bertahan selama dua minggu. Hal demikian dapat dipahami bahwa dalam
situasi demikian memaksa para pegawai mencari tambahan, selanjutnya tidak
sedikit diantara mereka meminta uang ekstra dalam melakukan pelayan
masyarakat. Kasuistik seperti ini tentunya juga berimplikasi dari hilangnya
keseimbangan dan keadilan sosial.

Namun demikian kurangnya gaji bukanlah faktor yang paling


menentukan, karena diantara para koruptor di Negeri ini banyak pula
diperankan oleh orang-orang yang berkecukupan. Intinya bahwa dorongan
seseorang melakukan prilaku korup tidak hanya karena sekedar miskin
moralitas semata. Apalagi dikaitkan dengan alasan sistem hukum kita yang
lemah. Tapi terlepas dari itu, peran narasi kebudayaan modernity justru
membentuk paradigma baru masyarakat yang biasa disebut dengan gaya
pemikiran ontoligis yang kemudian berkembang menjadi fanatisme sekuler.

Dalam kajian antropologi sifat korupsi sudah membentuk gen tersendiri


yang berkaitan langsung dengan biologi molekuler yang kemudian mengeras
menjadi sifat bawaan. Bahkan dalam Islampun ditegaskan bahwa makanan
haram, baik zat dan maupun dengan cara memperolehnya senantiasa
berimplikasi pada karakteristik keturunan manusia. Jika seseorang memiliki
sifat korup maka akan diturunkan pada generasi berikutnya yang berisi kode-
kode genetik sifat korup.

Apakah mungkin ada diantara nenek moyang kita yang terlibat menjadi
seorang koruptor juga. Pertanyaan ini tentu tidak terlepas dari jaringan
penyebaran korupsi yang berawal dari lingkup kecil, perorangan sampai
melibatkan banyak orang yang telah di bentuk berdasarkan sistem nilai dalam
sebuah kebudayaan, dan inilah yang biasa dikenal dengan teori fungsional-
struktural oleh R. Brown.

Dari simplikasi di atas, maka untuk menghilangkan budaya korupsi


membutuhkan kemampuan dalam menerima resiko. Walau dengan cara cut
generation yang pernah dipopulerkan oleh Samuel Hantintong. Pemenggalan
satu atau dua generasi untuk memperoleh generasi yang murni dan tidak
terkontaminasi oleh sistem kebudayaan korup. Metode ini mungkin dianggap
berlebihan, Apalagi tidak menjamin melahirkan generasi yang bersih. Bahkan
berpotensi melahirkan pertanyaan dalam aspek etis dan prakstis. Yaitu siapa
yang berhak melakukan pemenggalan dan siapa yang berhak melakukan
tindakan eksekutor.

Olehnya, dari sini peranan antropologi sebagai disiplin ilmu tentang


manusia dan masyarakat dapat di mulai secara gradual dan terpadu berdasarkan
hierarki perkembangan budaya, yaitu dimulai dari pelaku sebagai sumber
prilaku, selanjutnya terbentuk menjadi kesadaran fungsional yang berujung
pada keseimbangan struktural. Sistematika pembentukan budaya tersebut jelas
akan menghantarkan generasi kita pada kemurnian perubahan yang dicita-
citakan selama ini. Dari sinilah kualitas sektorial dibutuhkan sebagai perangkat
pembentukan manusia dan kebudayaan.

Seperti mewujudkan re-orientasi pendidikan sebagai lahan keilmuan


dalam mewujudkan sensifitas kesadaran sosial- budaya, orientasi politik sebagai
representasi masyarakat madani, hukum sebagai instumen keadilan dalam
menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, dan sains sebagai identitas
kewibawaan Bangsa yang bermartabat. Sekali lagi bahwa perubahan
kebudayaan tentunya membutuhkan kesadaran kolektivitas yang berdiaspora
dalam setiap sektorial Bangsa ini. Membentuk generasi baru yang bersih dalam
rangka pemberantasan korupsi sekaligus pelaku masa depan Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai