Anda di halaman 1dari 3

Kesenian dan Adat

Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan
budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal
dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi
yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan
masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.

a. Adat Minangkabau
1. Sirih dan pinang

Sirih dan pinang adalah lambang formalitas dalam interaski masyarakat Minangkabau. Setiap
acara penting dimulai dengan menghadirkan sirih dan kelengkapannya seperti buah pinang, gambir,
kapur dari kulit kerang. Biasanya ditaruh diatas carano yang diedarkan kepada hadirin. Siriah dan
pinang dalam situasi tertentu diganti dengan menawarkan rokok.

Makna sirih adalah secara simbolik, sebagai pemberian kecil antara pihak-pihak yang akan
mengadakan suatu pembicaran. Suatu pemberian dapat juga berupa barang berharga, meskipun
nilai simbolik suatu pemberian tetap lebih utama daripada nilai intrinsiknya. Dalam pepatah adat
disebutkan, siriah nan diateh, ameh nan dibawah. Dengan sirih suatu acara sudah menjadi acara
adat meskipun tidak atau belum disertai dengan pasambahankato. Sirih dan pinang juga mempunyai
makna pemberitahuan, adat yang lahiriah, baik pemberitahuan yang ditujukan pada orang tertentu
atau pada khalayak ramai.

2. Baso-basi

Satu lagi unsur adat Minang yang penting dan paling meluas penerapannya adalah baso-
basi: bahkan anak-anak harus menjaga baso-basi. Tuntuan menjaga baso-basi mengharuskan setiap
invidu agar berhubungan dengan orang lain, harus selalu menjaga dan memelihara kontak dengan
orang disekitarnya secara terus-menerus. Seseorang orang Minang tidak boleh menyendiri.

Baso-basi diimplementasikan dengan cara yang baku. Walaupun tidak dapat dikatakan formal,
baso-basi berfungsi menjaga forms, yaitu hubungan yang selain harmonis juga formal antara setiap
anggota masyarakat nagari, dan menjamin bahwa setiap orang diterima dalam masyarakat itu, dan
akan memenuhi tuntutan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat yang berlaku di nagari itu.
b. Kesenian Minangkabau
Suku Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang
biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan.

·         Tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang
ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya

·          Tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang
piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh
talempong dan saluang.

·         Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah
berkembang sejak lama.

·         Tari Payung merupakan tari tradisi Minangkabau yang saat ini telah banyak perubahan dan
dikembangkan oleh senian-seniman tari terutama di Sumatra Barat. Awalnya tari ini memiliki makna
tentang kegembiraan muda mudi (penciptaan) yang memperlihatkan bagaimana perhatian seorang
laki-laki terhadap kekasihnya. Payung menjadi icon bahwa keduanya menuju satu tujuan yaitu
membina rumah tangga yang baik. Keberagaman Tari Payung tidak membunuh tari payung yang ada
sebagai alat ungkap budaya Minangkabau.

·         Randai, tarian yang bercampur dengan silek. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga
dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.

Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Ada tiga genre seni
berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau
bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme,
contohnya Dima tumbuah, sinan disiang – Cara memecahkan suatu masalah dengan langsung ke
akar atau penyebab masalah itu sendiri. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk
mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.

c.      Rumah Adat Minangkabau


Rumah adat suku Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di
atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang
ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang.
Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang
khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan
ijuk sebelum berganti dengan atap seng.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah
gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-
laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari
komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai
tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.

d.       Adat Perkawinan Minangkabau


Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting
dalam siklus kehidupan. Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek,
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang),
manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan).
Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka
kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum
kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan
penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama
kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar
panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai.
Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.

Kato, Tsuyoshi (2005). Adat Minangkabau dan merantau dalam perspektif sejarah. PT Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai