Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KONSEP AKAL DAN WAHYU

USHUL DAN FURU’ DALAM HUKUM ISLAM

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Fiqih

Dosen Pengampu: H. Mohammad Zubaidi Sujiman, LC. M. AG.

Disusun oleh:

1. NajmaFalihah Robi‟ah (2110610028)


2. Rizka Kamalia Agustin (2110610029)
Kelas B2TMR

IAIN KUDUS

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA

TAHUN 2021

Alamat Kampus Jl. Conge Ngembalrejo Bae Kudus Jawa Tengah PO BOX 51.

Phone: 0291-438818. Fax: 0291-441613. Email: infoiain@iainkudus.ac.id

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat rahmat dan hidayah –
Nya kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Metodologi Studi Fiqih
dengan judul “Konsep Akal dan Wahyu Ushul dan Furu‟ Dalam Hukum Islam”
tepat pada waktunya. Makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas
kelompok dan memberikan informasi lebih lanjut tentang “Konsep Akal dan
Wahyu Ushul dan Furu‟ Dalam Hukum Islam”.

Shalawat serta salam kita panjatkan kepada junjungan kita Nabi


Muhammad SAW, semoga kita termasuk orang yang kelak menerima syafaatnya
dan termasuk orang yang masuk surga bersamanya. . Aamiin.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak H. Mohammad Zubaidi


Sujiman, LC. M. AG. selaku dosen mata kuliah Metodologi Studi Fiqih yang
telah memberikan tugas sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan
sesuai dengan mata kuliah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membagi semua pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari jika makalah yang kami tulis ini
masih jauh dari kata sempurna maka dari itu kritik dan saran yang membangun
akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.

Kudus, 12 Maret 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................................................i


DAFTAR ISI................................................................................................................................. ii
BAB I ..........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN .........................................................................................................................1
A. Latar Belakang ..................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................................1
C. TUJUAN .............................................................................................................................2
BAB II .........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN ...........................................................................................................................3
A. PENGERTIAN AKAL DAN WAHYU .......................................................................................3
B. Akal dan Wahyu menurut Filosof ......................................................................................5
C. Hubungan Akal dan Wahyu ..............................................................................................6
BAB III ..................................................................................................................................... 14
PENTUP .................................................................................................................................. 14
A. KESIMPULAN .................................................................................................................. 14
B. SARAN ............................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu makhluk Allah SWT. yang mendapatkan pemuliaan agung dari
Pencipta – Nya adalah manusia. Dapat dikatakan bahwa keagungan pemuliaan
Allah SWT. terhadap manusia tidak diberikan hanya sekali atau dua kali saja.
Tetapi itu diberikan berkali – kali di berbagai kesempatan dan momen yang
bervariasi.

Di antara bentuk pemuliaan agung Allah SWT. terhadap manusia yang


diabadikan dalam al - Qur‟an adalah ketika Allah SWT. memerintahkan semua
yang hadir di majlis – Nya saat itu untuk sujud kepada Nabi Adam SWT.
mengabarkan bahwa semua yang hadir saat itu sujud kepada Nabi Adam, kecuali
satu makhluk yaitu iblis yang enggan sujud kepada Nabi Adam dikarenakan
kedengkian dan kesombongannya.

Sisi pemuliaannya adalah terletak pada perintah Allah S.W.T itu ditujukan
kepada makhluk – makhluk sebelum Adam, yaitu para malaikat dan iblis yang
notabene sudah menghabiskan waktu yang lama dalam beribadah kepada Allah
SWT. Sedangkan Nabi Adam adalah makhluk yang baru diciptakan oleh Allah
SWT. Di samping itu, bentuk pemuliaan agung yang lainnya adalah anugrah akal
yang Allah SWT berikan kepada manusia. Ini merupakan anugerah yang
berpotensi dapat meninggikan derajat manusia di atas makhluk – makhluk Allah
SWT. yang lainnya. Baik itu yang ada di langit maupun yang ada di bumi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Akal dan Wahyu?
2. Bagaimana Akal dan Wahyu Menurut Filosof?
3. Bagaimana Hubungan Akal dan Wahyu?
4. Bagaimana Pengertian Ushul dan Furu‟?

1
5. Bagaimana cara menentukan Ushul dan Furu‟?
6. Jelaskan contoh Ushul dan Furu‟!

C. TUJUAN
1. Mengetahui Pengertian Akal dan Wahyu.
2. Mengetahui Bagaimana Akal dan Wahyu Menurut Filosof.
3. Mengetahui Bagaimana Hubungan Akal dan Wahyu.
4. Mengetahui Pengertian Ushul dan Furu‟.
5. Mengetahui cara menentukan Ushul dan furu‟.
6. Mengetahui contoh Ushul dan Furu‟.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AKAL DAN WAHYU


1. Akal

Kata akal berasal dari bahasa Arab ‫ العقل‬Al – „aql atau ‫ ‘عقل‬aqala. Secara
harfiah, akal berarti al – imsak (menahan), al – ribath (ikatan), al – hijr
(menahan), al – nahy (melarang dan al – man‟u (mencegah). Secara istilah,
akal adalah suatu naluri yang dianugrahkan Allah SWT kepada makhluk – Nya
yang tidak bisa mereka ketahui dengan sendirinya, baik dengan cara melihat
maupun merasakan.

ْۢ ۤ ِۤ
‫ض ِم ْن بَ ْع ِد َم ْوِِتَا لَيَ ُق ْولُ َّن ا هّّللُ ۙقُ ِل‬ ِ َّ ‫َولَ ِٕى ْن َساَلْتَ ُه ْم َّم ْن ن ََّّزَل ِم َن‬
َ ‫الس َماء َماءً فَاَ ْحيَا بِه ْاْلَْر‬
‫اْلَ ْم ُد ِهّّللِ ۗبَ ْل اَ ْكثَ ُرُه ْم َْل يَ ْع ِقلُ ْو َن‬
ْ

Artinya:

Dan jika kamu bertanya kepada mereka, ”Siapakah yang menurunkan air
dari langit lalu dengan (air) itu dihidupkannya bumi yang sudah mati?” Pasti
mereka akan menjawab, ”Allah.” Katakanlah, ”Segala puji bagi Allah,” tetapi
kebanyakan mereka tidak mengerti. (QS. Al – Ankabut [29]:63).

Lafal (‫ (يَعقلون‬ya’qiluna terambil dari kata (‫ )عقل‬yang pada mulanya


berarti menjelas. Kata (‫ )عقال‬aqal berarti tali yaitu sesuatu yang digunakan
untuk mengikat. Dari sini potensi manusia yang menjadikannya dapat
memahami sekaligus membedakan antara yang baik dan yang buruk, serta

3
“mengikat” dan menghalanginya terjerumus dalam kesesatan dan keburukan
dinamai “akal”. Karena itu akal dalam pengertian Al - Qur'an tidak terbatas
pada daya pikir semata – mata, tetapi juga daya kalbu.1

2. Wahyu

Menurut bahasa, wahyu berarti pemberian isyarat, pembicaraan rahasia,


dan mengerakan hati. Sedangkan menurut istilah, wahyu adalah pemberitahuan
yang datangnya dari Allah kepada para nabi – Nya yang di dalamnya terdapat
penjelasan – penjelasan dan petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar.

Wahyu yang digambarkan dalam al - Qur‟an surat al – Maidah ayat 16


yaitu:

‫ّلس هلَ ِم َوُْخْ ِر ُه ُهم ِّم َن ّلُُللُ هَم ِ لِ َ ى ّلُُلوِر ِإِِ ْننِِهو َويَ ْه ِدي ِه ْم‬ َّ ‫يَ ْه ِدى بِِه‬
ْ ‫ّّللُ َم ِن ََّّعَ َ ِر‬
َّ ‫و هَونَهُس ُسعُ َل‬

‫لِ َ ه ى ِص هَر ٍط ُلم ْستَ ِقي ٍم‬

Artinya:

“Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang – orang yang mengikuti


keridhaan – Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang – orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin – Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”.
(Al – Maidah: 16)2

Wahyu turun untuk memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan


balasan yang akan diterima manusia di akhirat kelak. Al – Qodi „Abd Al –

1
Asep Awaludin, Kedudukan Akal dalam Al – Qur’an dan Implementasinya dalam Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (UIN Walisongo, 2009).
2
Arhan Hikmawan, Akal dan Wahyu menurut Harun Nasution dan M. Quraish Shihab (Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2009).

4
Jabbar menegaskan bahwa akal tidak dapat mengetahui besar kecilnya pahala
di surga dan hukuman di neraka nanti. Menurut Al – Jubba‟I wahyulah yang
menjelaskan semua itu. Wahyu akan datang untuk memperkuat apa yang telah
diketahui akal. Rasul – rasul datang untuk memperkuat apa yang telah
ditempatkan Tuhan dalam akal manusia dan untuk menerangkan perincian apa
yang telah diketahui akal. Jadi, wahyu yang memberi daya yang kuat kepada
akal, tidak membelakangkan wahyu, tetapi tetap berpegang dan berhajat pada
wahyu yang disampaikan oleh Allah Swt. Wahyu adalah suatu kebenaran yang
datang dari Allah kepada manusia tertentu.3

B. Akal dan Wahyu menurut Filosof


1. Al – Farabi

Akal fisik atau akal potensial adalah jiwa atau unsur yang mempunyai
kekuatan mengabstraksi dan menyerap suatu keadaan. Akal dalam bentuk aksi
atau kadang disebut terbiasa, adalah salah satu tingkat dari pikiran dalam upaya
memperoleh sejumlah pemahaman. Karena pikiran tak mampu menangkap
semua pengertian, maka akal dalam bentuk aksilah yang membuat ia
menyerap.

2. Ibnu Khaldun

Menurut Ibn Khaldun, pertemuan antara akal dan wahyu membawa banyak
disiplin – disiplin ilmu agama, diantaranya Ilmu Qira‟at, tafsir, ilmu hadist,
ilmu fiqh, ilmu faraid, ilmu khilafiyyah, ushul fiqh dan lain sebagainya.
Pertemuan yang membangkitkan pemikiran Islam dan menjadikan akal Islam
(Al – „aql al – Islami) hidup di dalam ayoman al - Qur‟an sampai sekarang,
serta memberikan pengaruh besar terhadap kebangkitan peradaban modern.
Perpaduan antara akal dan wahyu menjadikan pemikiran Islam unik karena
mengikat dunia dengan akhirat, bumi dengan langit, seperti ikatan tubuh dan
jiwa, atau seperti keterpaduan nilai – nilai yang membangkitkan manusia

3
Efrianto Hutasuhut, “Akal dan Wahyu dalam Islam ( Perbandingan Pemikiran Harun Nasution dan
Muhammad Abduh)” Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017: 176-205.

5
menuju kesempurnaan. Ketika pemikiran Islam dihidupi oleh wahyu, akan
muncul darinya nilai-nilai kebaikan, moral keadilan dan cinta. Ketika dihidupi
oleh akal, muncul darinya peradaban Islam yang agung itu yang memberikan
pengaruh besar terhadap peradaban dunia.

C. Hubungan Akal dan Wahyu


Akal yang berfungsi untuk menganalisis dan berfikir telah menjadi
bagian penting dalam syariat Islam. Jika ditelusuri lebih jauh tentang hukum
– hukum yang ada dalam Islam, maka ada satu syarat yang selalu melekat
dalam hukum-hukum tersebut sebelum hukum – hukum tersebut dikerjakan.
Jika tidak, maka perbuatan atau ibadahnya tidak sah dan tidak berguna.
Syarat itu adalah akal, artinya hendaknya orang yang akan melaksanakan
ibadah tersebut adalah orang yang berakal. Seperti dalam ibadah shalat, haji,
umrah, dan lain sebagainya. Ini semua menunjukkan urgensi akal dalam
agama Islam.
Al-Ghazali menyebutkan tentang betapa akal memiliki kedudukan yang
tinggi dalam agama Islam. Ia mendeskripsikannya dengan katakata:
“Ketahuilah, bahwa ini (masalah kemuliaan akal) termasuk perkara yang
tidak perlu dijelaskan secara berlebihan. Karena kemuliaan ilmu yang sudah
terlihat begitu jelasnya pada dasarnya datang dari akal. Dan akal adalah
sumber, awalan, dan podasinya ilmu. Dan ilmu itu lahir dari akal
sebagaimana buah itu lahir dari pohon, dan cahaya dari matahari, serta
penglihatan dari mata. Maka, bagaimana akal itu tidak dianggap mulia yang
telah menjadi sarana kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Atau
bagaimana hal ini diragukan, padahal binatang yang tidak mampu
membedakan itu malu (menghindari) dari akal. Bahkan binatang yang paling
besar badannya, paling berbahaya, dan paling kuat tenaganya sekalipun, jika
ia melihat sosok manusia maka ia menghindari atau malu kepadanya.
Dikarenakan ia merasa dikuasai olehnya yang telah dianugerahi sarana (akal)
untuk mengetahui tipu muslihatnya.

6
Walaupun demikian, akal memiliki keterbatasan. Kemampuannya
dalam memahami sesuatu tentu sudah tidak diragukan lagi. Tetapi situasi ini,
tidak lantas membuat akal mampu mengetahui segala sesuatu. Dan inilah
semua kondisi makhluk Allah, baik di langit maupun di bumi. Sehebat
apapun makhluk tersebut tetap memiliki keterbatasan.
Ada banyak contoh yang menjelaskan keterbatasan kemampuan yang
dimiliki makhluk Allah S.W.T. Tangan manusia misalnya, sekuat apapun
tenaga yang dimiliki oleh tangannya. Sekali-kali tangan tersebut tidak akan
mampu mengangkat gunung. Contoh lainnya mata, sehebat dan secerah
apapun kemampuan memandangnya, sekali-kali mata tersebut tidak akan
mampu melihat sesuatu yang jaraknya ribuan kilo.
Begitu juga dengan akal, sehebat dan seencer apapun akal seseorang
pasti memiliki keterbatasan. Mengenai hal, ini ada ungkapan yang menarik
yang pernah disampaikan oleh salah seorang ulama abad pertengahan, yaitu
Imam Syatibi, ia mengatakan: Sesungguhnya Allah S.W.T telah menjadikan
kemampuan akal dalam memahami (sesuatu) ujung batasan yang tidak dapat
dilewati. Dan tidak memberikan kepadanya jalan untuk mengetahui segala
yang diinginkannya. Andaikan akal seperti itu (mampu mengetahui segala
sesuatu) niscaya ia akan sama dengan Allah S.W.T yang mengetahui semua
yang telah terjadi, apa yang akan terjadi dan apa yang tidak terjadi, sert
bagaimana jika itu (sesuatu yang tidak terjadi) terjadi?. Maka, pengetahuan
Allah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan hamba – Nya terbatas. Sehingga
tidaklah sama antara yang terbatas dengan yang tidak terbatas. Dan
pengetahuan ini mencakup segala sesuatu atau benda baik secara global
maupun terperinci. Mengenai sifatnya, situasinya, perbuatannya dan
hukumnya baik secara global maupun terperinci. Maka satu di antara sesuatu
tersebut diketahui oleh Allah secara paripurna dan komprehensif. Dimana
tidak ada yang luput sedikitpun dari pengetahuan – Nya, baik itu zat benda
tersebut, sifatnya, situasinya, dan hukumnya.
Hal ini, berbeda dengan hamba – Nya yang pengetahuannya terbatas
dan kurang. Ia akan terbatas dalam memahami benda tersebut baik itu

7
sifatnya, situasinya, maupun hukumnya. Dan keterbatasan itu pada dasarnya
adalah perkara yang dapat disaksikan dan dirasakan sendiri oleh manusia
yang tidak diragukan lagi kebenarannya oleh siapapun yang berakal. Jadi,
benarlah bahwa akal memiliki keterbatasan dalam memahami dan
menganalisa suatu masalah. Terlebih masalah – masalah gaib yang tidak bisa
dicerna oleh akal. Karena sebagai ciptaan Allah, ia memiliki karakteristik
yang sama dengan makhluk – makhluk Allah yang lainnya dari sisi
keterbatasannya.4

D. PENGERTIAN USHUL DAN FURU’


1. Ushul

Kata ushul (‫أص ْول‬


ُ ) berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk jamak dari kata
‫َصل‬
ْ‫أ‬ yang berarti sesuatu yang dijadikan sandaran oleh sesuatu. Secara bahasa

ushul berarti dasar.

‫َّجَرِة‬
َ ‫َص ُل الش‬
ْ ‫ أ‬: Sandaran pohon, kata ashal berarti akar.

ِ ‫ أَصل الْع ي‬: Sandaran rumah, kata ashal


َْ ُ ْ berarti pondasi.

Secara terminologi, kata ushul mempunyai lima pengertian:

a. Ashal berarti kaidah yang bersifat menyeluruh.

Misalnya, kebolehan memaakan bangkai bagi orang yang dalam keadaan


terpaksa (darurat) tidaklah menyalahi hukum ashal yang kaidah kulliyah,

yang berbunyi: ‫ ُك ُلل َمْي تَ ٍة َحَرام‬artinya “semua bangkai itu hukumnya haram”

b. Ashal berarti yang lebih kuat (rajih).

4
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam: Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa
Perbandingan.

8
Misalnya ungkapan: ُ‫اْلَِقْي َقة‬
ْ ‫َص ُل ِِف الْ َكالَ ِم‬
ْ ‫اْْل‬ artinya “ashal yang lebih kuat

dari suatu ungkapan adalah makna sebenarnya (hakiki)” bukan makna

simbolik. Contohnya kata ‫ َو ْهه‬. ‫ يَد‬artinya: wajah dan tangan.

c. Ashal berarti hukum ashal (istishab).

Misalnya ada kaidah yang berkaitan dengan istishab ‫َص ُل بَ َقاءُ َما َكا َن ءَ َ ى‬
ْ ‫اْل‬
‫ َما َكا َن‬artinya “hukum ashal istishab adalah tetapnya apa yang telah ada atas
sesuatu yang telah ada”. Misalnya, ada orang yang sudah berwudhu,
kemudian ia ragu apakah ia sudah batal atau belum,maka kejadian seperti ini
kembalikanlah kepada hukum ashal, yaitu dihukumi masih sah (belum
batal) wudhunya.

d. Ashal berarti maqis alaihi (yang dijadikan ukuran) dalam bab qiyas.

Contoh berlakunya hukum riba bagi beras dan gandum. Dalam hal ini beras
disebut maqis (yang diserupakan) atau yang disebut dalam qiyas sebagai
furu’, sedangkan kata gandum merupakan maqis alaihi (yang diserupai)
yang disebut juga ashal.

e. Ashal berarti dalil.

Misalnya ungkapan “ashal masalah ini adalah al – Qur‟an dan sunah”, yang
dimaksud adalah dalilnya.5

2. Furu’

Kata Furu’ merupakan bentuk jamak dari far‟un yang berasal dari kata
fara‟a, farra‟a dan tafarra‟a yang berarti cabang atau bercabang. Far‟u atau furu‟
menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. Furu’
selalu dipakai untuk menggambarkan permasalahan sosial yang senantiasa

5
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh: Pengertian Ushul Fiqh (Jakarta, 2011), 3-5.

9
berkembang sehingga tidak lagi terjangkau oleh nash, dan untuk
6
mendapatkanhukumnya mesti melalui proses qiyas.

Furu’ adalah hasil penafsiran dari ajaran dasar di antara para mutakalimin
yang diperselisihkan pemahamannya (masalah – masalah yang ada di seputar
akidah Islam yang bukan ajaran dasar). Ajaran yang bukan dasar itu antara lain:
Allah mempunyai sifat di luar dzat atau tidak, diutusnya Rasul wajib atau bukan,
Al - Qur'an bersifat qadim atau baru. Surga dan Neraka itu bersifat jasmani atau
rohani, dan melihat Allah di akhirat apakah dengan penglihatan jasmani atau
rohani.7

E. MENENTUKAN USHUL DAN FURU’

Cara menentukan suatu masalah masuk dalam Ushul dan Furu adalah
dengan melihat kekuatan dalil dari segi Wurud (sanad penyampaian) dan Dilalah
(fokus penafsiran).

Wurud terbagi dua, yaitu :

1. Qoth‟i : yakni Dalil yang sanad penyampaiannya Mutawatir.


2. Zhonni : yakni Dalil yang sanad penyampaiannya Tidak Mutawatir.

Mutawatir ialah sanad penyampaian yang perawinya berjumlah banyak di


tiap tingkatan, sehingga mustahil mereka berdusta.

Dilalah juga terbagi dua, yaitu :

1. Qoth‟i : yakni Dalil yang hanya mengandung Satu Penafsiran.


2. Zhonni : yakni Dalil yang mengandung Multi Tafsir.

Karenanya, Al - Qur‟an dari segi Wurud semua ayatnya Qoth‟i dan sampai
kepada kita dengan jalan muatwatir. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat

6
Herni Ambarwati dan M. Fathurrohman Thariqah Takhrij Al-Furu’ Ala Al-Ushul (Semarang)
7
Siti Rahma dan Asep Abdul Muhyi, Analisis Perdebatan Seputar Pluralisme Agama Di Indonesia
(Bandung, 2021), 258-259.

10
yang Qoth‟i karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena
multi penafsiran.

Sementara As – Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya


Qoth‟i, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi
Dilalah, maka ada yang Qoth‟i karena satu pemahaman dan ada pula yang
Zhonni karena multi pemahaman. Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi
suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furu‟, maka ketentuannya adalah :

1. Suatu masalah jika dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qoth‟i,
maka ia pasti masalah Ushul.
2. Suatu masalah jika dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni,
maka ia pasti masalah Furu.
3. Suatu masalah jika dalilnya dari segi Wurud Qoth‟i tapi Dilalahnya Zhonni,
maka ia pasti masalah Furu.
4. Suatu Masalah jika dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qoth‟i,
maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai ushul dan
sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai Furu.

Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh


berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan
pendapat tidak dapat terhindarkan.8

F. Contoh Ushul dan Furu


1. Dalam Aqidah

Kebenaran peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW adalah masalah


Ushul, karena dalilnya Qothi, baik dari segi Wurud maupun Dilalah. Namun
masalah apakah Nabi Muhammad SAW mengalami Isra‟ Mi‟raj dengan Ruh dan
Jasad atau dengan Ruh saja, maka ini masuk masalah Furu‟. Karena dalilnya
Zhonni, baik dari segi Wurud maupun Dialalah.

8
Arif Rahman Hakim, Ushul dan Furu’. 2020.

11
Itu sebabnya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Isra‟ Mi‟raj
Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari Ushul Aqidah.

Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Isra‟


Mi‟raj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syar‟i
ia tidak sesat, karena masalah Furu Aqidah.

2. Dalam Syariat

Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah Ushul, karena Dalilnya Qothi,


baik dari segi Wurud maupun Dilalah. Namun masalah apakah boleh dijama‟
tanpa udzur, maka masuk masalah Furu‟, karena dalilnya Zhoni, baik dari segi
Wurud mau pun Dialalah.

Jadi jelas, barangsiapa menolak kewajiban shalat lima waktu maka ia telah
sesat karena menyimpang dari Ushul Syariat. Namun barangsiapa yang
berpendapat bahwa boleh menjama‟ shalat tanpa ‟udzur atau sebaliknya, maka
selama memiliki dalil Syar‟i ia tidak sesat, karena masalah Furu Syariat.

3. Dalam Akhlaq

Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah Ushul,
karena salilnya Qothi, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah. Namun masalah
bolehkah jabat tangan setelah shalat berjama‟ah, maka masuk masalah Furu‟,
karena dalilnya Zhonni, baik dari segi Wurud maupun Dilalah.

Itu sebabnya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama


muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari Ushul Akhlak. Namun
perkara keboleha berjabat tangan setelah shalat berjama‟ah itu masalah Furu
Akhlak.

Nah dari sini sebetulnya bisa kita ketahui pentingnya ilmu yang memadai, jiwa
yang tegas dan hati yang bersih dalam memahami suatu masalah. Sehingga
furu‟iyah atau perbedaan pendapat dikalangan kaum Muslimin bisa lebih teratasi

12
dengan sikap saling menghormati. Bukan malah membid‟ahkan dan
9
mengkafirkan antar sesama.

9
Mujtahid, Mufti dan Hakim. Ilmu fiqh: Jalan Ulama, 2011.

13
BAB III

PENTUP
A. KESIMPULAN
Masalah ushul yaitu akidah ibarat akar yang merupakan dasar bagi Salah
satu objek kajian yang tidak luput dari ajaran Islam adalah masalah wahyu dan
akal. Baik wahyu maupun akal, keduanya memiliki signifikansi peran dalam
kehidupan manusia. Dan di antara perkara yang melebihkan manusia dari
makhluknya yang lain adalah akal. Akan tetapi, bukan berarti dengan berbekal
akal semata manusia mampu menjadi makhluk yang mulia sebagaimana
bentuknya. Karena bisa jadi walaupun ia berakal tetapi ketika tidak difungsikan
secara baik dan benar maka derajat tinggi yang diidamkan tidak dapat dicapai.
Bahkan justru sebaliknya, situasi di atas akan mengantarkannya kepada perilaku
yang amoral dan dekadentif. Atau akan melahirkan pemikir – pemikir yang
memiliki pandanganpandangan yang secara sadar ataupun tidak, dapat
memberikan dampak negatif terhadap peradaban manusia.
sebuah pohon, I‟tikad-tauhid merupakan satu batang lurus yang tidak
bercabang – cabang yang merupakan penopang. Jadi tidak boleh ada variasi,
perbedaan pendapat dan ijtihad dalam masalah ushul ini. Masalah Furu‟
(cabang) adalah semua hal diluar masalah ushul, seperti rincian praktek tata cara
ibadah, muamalah, urusan duniawi, dsb. Begitu luasnya cakupan masalah furu‟
ini yang berhubungan dan menyentuh hampir seluruh aktivitas kehidupan
seorang muslim. Maka dalam masalah furu‟iyah ini sering terjadi ijtihad dalam
meng istinabtkan hukumnya. Dari sinilah sering terjadi perbedaan pendapat
diantara para ulama dan muijtahid. Jadi dalam masalah furu‟ yang ijtihadi ini
hendaknya setiap muslim bersifat saling bertoleransi.

B. SARAN
Kami sebagai penulis menyadari jika makalah ini memiliki banyak sekali
kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus

14
memperbaiki makalah dengan mengacu kepada sumber yang bisa
dipertanggungjawabkan. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan adanya
kritik dan saran yang membangun mengenai pembahasan di atas.

15
DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati, Herni dan Fathurrohman, M. Thariqah Takhrij Al-Furu’ Ala Al-


Ushul. Semarang.

Awaludin, Asep. Kedudukan Akal dalam Al – Qur’an dan Implementasinya


dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Semarang:
UIN Walisongo, 2009.

Hakim, Arif Rahman. Ushul dan Furu’. 2020.

Hakim, Mufti dan Mujtahiid. Ilmu fiqh: Jalan Ulama, 2011.

Hikmawan, Arhan. Akal dan Wahyu menurut Harun Nasution dan M. Quraish
Shihab. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

Hutasuhut, Efrianto. Akal dan Wahyu dalam Islam: Perbandingan Pemikiran


Harun Nasution dan Muhammad Abduh Al-Lubb, Vol. 2, No. 1, 2017.

Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam: Teologi Islam, Aliran-aliran
Sejarah Analisa Perbandingan.

Rahma, Siti dan Muhyi, Asep Abdul. Analisis Perdebatan Seputar Pluralisme
Agama Di Indonesia. Bandung, 2021.

Shidiq, Sapiudin. Ushul Fiqh: Pengertian Ushul Fiqh. Jakarta, 2011.

16

Anda mungkin juga menyukai