Anda di halaman 1dari 10

RESUMAN

Dosen Pengampu :
Dr. Rini Puspitasari,M.A

Disusun Oleh :
Shinta Agustina (21511019)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
TAHUN AJARAN 20022/2023
A. PENGERTIAN PERKEMBANGAN MORAL
Perkembangan moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang
standar mengenai benar dan salah. Perkembangan moral memiliki dimensi intrapersonal,
yang mengatur aktivitas seseorang ketika dia tidak terlibat dalam interaksi sosial dan
dimensi interpersonal yang mengatur interaksi sosial dan penyelesaian konflik .Dengan
kata lain, penalaran moral digunakan sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan
penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan.
Teori Kohlberg ini merupakan dasar dari perilaku etis, memiliki enam tahapan
perkembangan yang dapat teridentifikasi. Keenam tahapan perkembangan moral dari
Kolhlberg dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu pra-konvensional,
konvensional, dan pasca-konvensional . Teori ini diperkuat dengan pendapat bahwa teori
Kohlberg mengikuti perkembangan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti
Piaget yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahap-tahap
konstruktif. Tahapan-tahapan itu adalah Pra-Konvensional, Konvensional, dan Pasca-
Konvensional. Pra-Konvensional mempunyai cakupan usia antara 4—10 tahun,
Konvensional mempunyai batasan usia 10—13 tahun atau lebih, sedangkan tahap Pasca-
Konvensional biasanya muncul pada usia remaja awal atau usia dewasa awal atau malah
tidak sama sekali.1
B. TAHAP PERKEMBANGAN MORAL MENURUT KOHLBERG
Dalam penelitiannya Lawrence Kohlberg berhasil memperlihatkan 6 tahap dalam
seluruh proses berkembangnya pertimbangan moral anak dan orang muda. Keenam tipe
ideal itu diperoleh dengan mengubah tiga tahap Piaget/Dewey dan menjadikannya tiga
“tingkat” yang masing-masing dibagi lagi atas dua “tahap”. Ketiga “tingkat” itu adalah
tingkat prakonvensional, konvensional dan pasca- konvensional.
Dalam kategori perkembangan moral, kohlberg (gunarsa, 1985) mengemukakan tiga
tingkat dengan enam tahap perkembangan moral:
1. Tingkat 1: Prakonvensional
Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak
tidak melanggar aturan moral karena takut ancaman atau hukuman dari otoritas.
Tingkat ini dibagi menjadi dua tahap:
(1) Tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman pada tahap ini anak hanya
mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak

1
Wahyuningsih, R., Hanurawan, F., & Ramli, R. (2020). Peran Keluarga Pada Perkembangan Moral Siswa SD Di
Lingkungan Eks Lokalisasi. Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, Dan Pengembangan, 5(5), 587-593
bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat
hukuman,
(2) Tahap relativistik hedonosme pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak
tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain
yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai
beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan
seseorang (hedonisme).
2. Tingkat 2: Konvensional
Pada tingkatan ini anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam
kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap:
(1) Tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai
memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh
orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan
perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat.
(2) Tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak
menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh
lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan
tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.
3. Tingkat 3: Pasca Konvensional
Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya.
Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap:
(1) Tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada
tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan
masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab
dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat;
(2) Tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif
ada juga norma etik (baik/ buruk, benar/ salah) yang bersifat universal sebagai
sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.
Teori perkembangan moral yang dikemukakan Kohlberg seperti halnya Piaget
menunjukkan bahwa sikap dan perilaku moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran
yang diperoleh dari kebiasaan yang berhubungan dengan nilai kebudayaan semata-
mata. Tetapi juga terjadi sebagai akibat dari aktivitas spontan yang dipelajari dan
berkembang melalui interaksi sosial anak dengan lingkungannya.2

C. PERAN PENTAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL KOHLBERG DALAM


PENDIDIKAN KARAKTER
Rosulullah sebagai pembawa misi pendidikan karakter bagi seluruh umat
mengatakan bahwa pendidikan karakter hendaknya dilakukan sedini mungkin. Indikator
utama perintah ini adalah terdapat dalam perintah beliau untuk menanamkan nilai tauhid
sejak dini sebagaimana dalam haditsnya “Jadikanlah kalimat pertama yang diucapkan
oleh anak adalah kalimat Laa ilaaha illallaah dan bacakan kepadanya menjelang maut
Laa ilaaha illallaah” (H.R Ibnu Abbas).
Anas r.a pernah mengatakan bahwa Rosul pernah bersabda: Anak itu pada hari ke
tujuh kelahirannya disembelihkan akikahnya, serta diberikan nama dan disingkirkan dari
segala kotoran-kotoran. Jika ia telah berumur 6 tahun, maka didiklah ia beradab susila,
jika ia telah berumur 9 tahun, pisahkanlah tempat tidurnya, jika ia telah berumur 13
tahun dipukul agar mau shalat, Jika ia telah berumur 16 tahun boleh dikawinkan setelah
itu ayah berjabat tangan dengannya dan mengatakan: saya telah mendidik, mengajar dan
mengawinkan kamu, saya mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah-fitnah di dunia
dan siksaan di akhirat (H.R. Ibnu Hibban).
Dari kedua hadits diatas terdapat upaya Rosul untuk mengajarkan anak tentang
akhlaq secara bertahap, dimana dimulai diawal kehidupan mereka (usia 0 tahun) untuk
menanamkan nilainilai tauhid, dan saat ia telah berusia 6 tahun hendaknya diajarkan
tentang moral sopan santun, adab, etika), saat ia telah berusia 7 tahun hendaknya
diajarkan tentang tanggung jawab diri, saat ia telah berusia 9 tahun hendaknya diajarkan
tentang kemandirian, dan saat usianya 13 tahun hendaknya diajarkan tentang
bermasyarakat. Maka memberikan pendidikan karakter hendaknya sifatnya bertahap
sesuai dengan fase perkembangan anak.
Mendidik karakter, menurut Lickona , adalah mendidik tiga aspek kepribadian
manusia yaitu moral knowing, moral feeling or attitudes, and moral behavior. Karakter
yang baik terdiri atas mengetahui yang ma’ruf, meniatkan untuk berbuat yang ma’ruf,
dan melakukan kebiasaan berpikir, berhati dan bertindak yang ma’ruf. Ketiganya
diperlukan menuju pada kehidupan bermoral dan memperbaiki kedewasaan moral.

2
Maharani, L. (2004). Perkembangan moral pada anak. KONSELI: Jurnal Bimbingan Dan Konseling (E-Journal), 1
(2), 93-98
Pendidikan karakter yang baik menurut Lickona , harus melibatkan bukan saja aspek
‘knowing the good’ (moral knowing), tetapi juga ‘desiring the good’ atau ‘loving the
good’ (moral feeling) dan ‘acting the good’ (moral action). Penekanan aspek-aspek
tersebut diperlukan agar peserta didik mampu memahami, merasakan, dan mengerjakan
sekaligus nilai-nilai kebajikan, tanpa harus didoktrin apalagi diperintah secara paksa.
Dalam moral knowing, terdapat enam hal yang menjadi tujuan dari diajarkannya
yakni:
1) moral awareness,
2) knowing moral values,
3) perspective taking,
4) moral reasoning,
5) decision making, dan
6) self knowlwdge.
Dalam moral feeling, terdapat enam hal yang merupakan aspek dari emosi yang
harus dapat dirasakan oleh seseorang untuk menjadi manusia berkarakter yaitu:
1) conscience,
2) self-esteem,
3) empathy,
4) loving the good,
5) self control,
6) humanity.
Sedangkan dalam moral action, yang merupakan hasil dari dua komponen karakter
lainnya, diperlukan tiga aspek dari karakter yaitu:
1) kompetensi (competence),
2) keinginan (will),
3) kebiasaan (habit).
Menanamkan subtansi karakter dengan pijakan moral tersebut tidak akan bisa
dilakukan secara efektif jika pendidik tidak memahami anak pada usia berapa dan
bagaimana karakter dari perkembangan moral di usia tersebut. Peran pendidik dalam
mengupayakan pendidikan karakter dapat di dasarkan pada pemahaman secara
menyeluruh kondisi peserta didik mengenai tugas-tugas perkembangan yang telah di
capai peserta didik khususnya dalam aspek perkembangan moral. Pendidik mestinya
memahami apa yang telah di capai serta apa yang mesti di capai dalam tugas
pekembangan moral peserta didik. Maka melalui pemahaman pendidik terhadap konsep
perkembangan moral menurut Kohlberg diatas, dapat menjadi acuan pendidik dalam
mengimplemenytasikan pendidikan karakter secara proporsional sesuai kondisi peserta
didik.
Pernyataan di atas dalam implementasinya dapat di gambarkan sebagai berikut;
Misalnya, ketika seorang pendidik harus mendampingi murid yang berada pada usia 4
hingga 10 tahun, maka pendidik harus memahami bahwa murid sedang berada dalam
tahap perkembangan moral prakonvensional. Dalam tahap ini murid seringkali
berperilaku “baik” dan tanggap terhadap label-label budaya mengenai baik dan buruk,
namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya (hukuman, ganjaran kebaikan).
Pendidik juga harus memahami eksistensi moral mereka dalam usia tersebut lebih
berorientasi hukuman dan kepatuhan yang diikuti oleh orientasi relativis-intrumental di
mana perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuaskan
kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang kebutuhan orang lain yang bersifat fisis
pragmatis dimana akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya,
menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan ini. Maka penekanan yang bisa
diberikan pendidik dalam ketiga aspek yang terdapat dalam pendidikan karakter adalah
lebih menyesuaikan terhadap kedua orientasi kepatuhan tersebut. Membangun moral
knowing, moral feeling/attitudes, dan moral behaviour pada usia tersebut akan lebih
mudah jika dengan mengupayakan pemahaman murid tentang suatu hubungan sebab
akibat ataupun hubungan yang bersifat timbal balik dalam suatu perilaku, misalnya,
murid lebih mudah patuh ketika harus diperintahkan untuk tenang di dalam kelas dengan
konsekwensi bila mereka gaduh maka akan tidak di perbolehkan pulang. Namun ketika
guru melarang murid gaduh dengan alasan akan mengganggu konsentrasi temannya,
tentu hal ini akan lebih sulit untuk mereka patuhi karena kurang memberi dampak
langsung pada mereka.
Perlakuan di atas tentu tidak cocok ketika pendidik di hadapkan pada kelompok
anak usia diatas 13 tahun, yang menurut Kohlberg ada pada tingkat pasca-konvensional.
Anak pada usia ini lebih berorientasi kontrak sosial legalistis sehingga perbuatan yang
benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah
diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat. Maka dalam menekankan
setiap aturan pada kelompok usia ini hendaknya melalui penanaman kesadaran dari
mereka tentang nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi tentang suatu perilaku.
Misalnya, mengapa mereka dilarang gaduh di kelas, guru tidak lagi memberi ancaman
punishment berupa larangan pulang bagi yang gaduh, seperti pada contoh di atas yang
terjadi pada anak dalam tingkat pra-konvensional, namun guru lebih membangun
pemahaman pada mereka bahwa pentingnya menciptakan suasana tenang di kelas dalam
rangka membangun situasi dan kondisi yang mendukung konsentrasi mereka dalam
proses belajar di kelas Maka upaya guru adalah membangun kesadaran bersama tentang
tanggung jawab menciptakan suasana yang kondusif di kelas lebih efektif dari pada
memahamkan melalui punishment. Contoh tersebut memberi gambaran bahwa dengan
memahami tahapan perkembangan moral akan sangat membantu .

D. PENGERTIAN PERKEMBANGAN MENURUT FREUD


Pemahanan Freud tentang kepribadian manusia didasarkan pada pengalaman-
pengalaman dengan pasiennya, analisis tentang mimpinya, dan bacaannya yang luas
tentang beragam literatur ilmu pengetahuan dankemanusiaan. Pengalaman-pengalaman
ini menyediakan data yang mendasar bagevolusi teorinya. Baginya, teori mengikuti
mengikuti observasi dan konsepnyatentang kepribadian terus mengalami revisi selama
50 tahun terakhir hidupnyaMeskipun teorinya berevolusi, Freud menegaskan bahwa
psikoanalisis tidak boleh jatuh ke dalam elektisisme, dan murid-muridnya yang
menyimpang dari ide-ide dasar ini segera akan dikucilkan secara pribadi dan profesional
oleh Freud.
Freud menganggap dirinya sebagai ilmuan. Namun, definisinya tentang ilmu agak
berbeda dari yang dianut kebanyakan psikolog saat ini. Freud lebih mengandalkan
penalaran deduktif ketimbang metode riset yang ketat, dan ia melakukan observasi secara
subjektif dengan jumlah sampel yang relatif kecil. Dia menggunakan pendekatan studi-
studi kasus hampir secara secara ekslusif, merumuskan secara khas hipotesis-hipotesis
terhadap fakta-fakta kasus yang diketahuinya.Di tengah-tengah psikologi yang
memprioritaskan penelitian atas kesadaran dan memandang kesadaran sebagai aspek
utama dari kehidupan mental. Sigmund Freud, yang mengemukakan gagasan bahwa
kesadaran itu hanyalah bagian kecil saja dari kehidupan mental, sedangkan bagian yang
terbesarnya adalah justru ketaksadaran atau alam tak sadar. Freud mengibaratkan alam
sadar dan tak sadar itu dengan sebuah gunung es yang terapung di mana bagian yang
muncul kepermukaan air (alam sadar) jauh lebih kecil daripada bagian yang
tenggelam(alam tak sadar). Lebih lanjut, Freud memandang manusia sebagai makhluk
yang deterministik, yaitu sebuah gagasan yang menyebut bahwa kegiatan manusia pada
dasarnya ditentukan kekuatan irasional, kekuatan alam bawah sadar, dorongan biologis,
dan insting pada saat berusia enam tahun
E. PSIKOANALISI SIGMUND FREUD
Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud dan
para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Pada mulanya
istilah psikoanalisis hanya dipergunakan dalam hubungan dengan Freud saja, sehingga
“psikoanalisis” dan “psikoanalisis Freud” sama artinya. Bila beberapa pengikut Freud
dikemudian hari menyimpang dari ajarannya dan menempuh jalan sendiri-sendiri,
mereka juga meninggalkan istilah psikoanalisis dan memilih suatu nama baru untuk
menunjukan ajaran mereka. Contoh yang terkenal adalah Carl Gustav Jung dan Alfred
Adler, yang menciptakan nama“psikologi analitis” (bahasa Inggris: analitycal
psychology) dan “psikologi individual” (bahasa Inggris: individual psychology) bagi
ajaran masing-masing.
Psikoanalisis memiliki tiga penerapan:
1. Suatu metode penelitian dari pikiran.
2. Suatu ilmu pengetahuan sistematis mengenai perilaku manusia.
3. Suatu metode perlakuan terhadap penyakit psikologis atau emosional.
Teori Psikoanalisis dikembangkan oleh Sigmund Freud. Psikoanalisis dapat
dipandang sebagai teknik terapi dan sebagai aliran psikologi. Sebagai aliran psikologi,
psikoanalisis banyak berbicara mengenai kepribadian, khususnya dari segi struktur,
dinamika, dan perkembangannya.hun pertama kehidupannya.

F. TAHAP-TAHAP PERKEMBANGAN MENURUT FREUD


1. Tahap Oral (Oris = Mulut)
Fase oral adalah fase perkembangan yang terjadi pada tahun pertama dari
kehidupan individu. Pada fase ini daerah erogen yang paling peka adalah mulut,
yang berkaitan dengan pemuasan kebutuhan pokok seperti makanan dan air.. Fase
oral berakhir saat bayi tidak lagi memperoleh asupan gizi secara langsug dari
ibunya.
Pada masa ini libido didistribusikan ke daerah oral sehingga perbuatan
menghisap dan menelan menjadi metode utama untuk mereduksi ketegangan dan
mencapai kepuasan (kenikmatan). Karena mulut menjadi sumber kenikmatan erotis,
maka anak akan menikmati peristiwa menetek pada ibunya dan juga memasukan
segala jenis benda ke dalam mulutnya, termasuk jempolnya sendiri.
2. Tahap Anal (Anus = Dubur)
Tahap ini berada pada usia kira-kira 2 sampai 3 tahun. Pada tahap ini libido
terdistribusikan ke daerah anus. Anak akan mengalami ketegangan, ketika duburnya
penuh dengan ampas makanan dan peristiwa buang air besar yang dialami oleh anak
merupakan proses pelepasan ketegangan dan pencapaian kepuasan, rasa senang atau
rasa nikmat. Peristiwa ini disebut erotic anal.
Setelah melewati masa penyapihan, anak pada tahap ini dituntut untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan orang tua (lingkungan), seperti hidup bersih,
tidak mengompol, tidak buang air (kecil atau besar) sembarangan. Orang tua
mengenalkan tuntutan tersebut melalui latihan kebersihan (toilet training).
3. Tahap Phallik (Phallus = Dzakar)
Tahap ini berlangsung kira-kira usia ini anak mulai memperhatikan atau
senang memainkan alat kelaminnya sendiri. Dengan kata lain, anak sudah mulai
bermansturbasi, mengusap-usap atau memijit-mijit organ seksualnya sendiri yang
menghasilkan kepuasan atau rasa senang.
Pada masa ini terjadi perkembangan berbagai aspek psikologis, terutama
yang terkait dengan iklim kehidupan sosiopsikologis keluarga atau perlakuan orang
tua kepada anak. Pada tahap ini, anak masih bersikap “selfish” sikap
memementingkan diri sendiri, belum berorientasi keluar, atau memperhatikan orang
lain
Agar perkembangan anak pada tahap ini dapat berjalan dengan baik, tidak
mengalami hambatan, maka seyogianya orang tua memperhatikan hal-hal berikut:
a. Orang tua memelihara keharmonisan keluarga.
b. Ibu memerankan dirinya sebagai seorang feminim, bersikap ramah, gembira dan
memberikan kasih sayang.
c. Ayah mampu memerankan dirinya sebagai figure yang menerapkan prinsip
realitas dalam menghadapi segala masalah hidup, tanpa melarikan diri dari
masalah atau bertindak berlebih-lebihan.
d. Ayah dan ibu memiliki komitmen yang tinggi dalam mengamalkan nilai-nilai
agama yang dianutnya.
e. Ayah bersikap demokratis, penuh perhatian, akrab dengan anak dan tidak
munafik.
Untuk menjelaskan ketiga tahapan di atas Freud menggunakan istilah
erogenous zones artinya daerah kenikmatan seksual, untuk menunjukkan tiga bagian
tubuh yaitu mulut, dubur dan alat kelamin, sebagai daerah yang mengalami
kenikmatan khusus yang sangat kuat dan memberikan kualitas pada setiap tahap
perkembangan. Pada setiap tahap perkembangan, anak merasakan kenikmatan
tertentu pada daerah tersebut dan selalu berusaha mencari objek ataupun melakukan
kegiatan yang dapat memuaskan. Tetapi pada saat yang sama muncul konflik dengan
tuntutan-tuntutan realitas yang harus diatasi.
4. Tahap Latensi
Tahap latensi berkisar antara usia 6 sampai 12 tahun (masa sekolah dasar).
Tahap ini merupakan masa tenang seksual, karena segala sesuatu yang terkait
dengan seks dihambat atau didepres (ditekan). Dengan kata lain masa ini adalah
periode tertahannya dorongan-dorongan seks dan agresif. Selama masa ini, anak
mengembangkan kemampuannya bersublimasi (seperti mengerjakan tugas-tugas
sekolah, bermain olah raga dan kegiatan-kegiatan lainnya) dan mulai menaruh
perhatian untuk berteman (bergaul dengan orang lain).
Mereka belum mempunyai perhatian khusus kepada lawan jenis (bersikap
netral) sehingga dalam bermainpun anak laki-laki akan berkelompok dengan anak
laki-laki lagi, begitupun anak wanita. Bahkan anak merasa malu apabila anak
disuruh duduk sebangku dengan teman lawan jenisnya (seperti anak laki-laki
sebangku dengan wanita dan sebaliknya).
Tahap ini dipandang sebagai masa perluasan kontak sosial dengan orang-orang
di luar keluarganya. Oleh karena itu proses identifikasi pun mengalami perluasan
atau pengalihan objek. Yang semula objek identifikasi anak adalah orang tua,
sekarang meluas kepada guru, tokoh-tokoh sejarah atau para bintang (seperti film,
musik dan olah raga).
5. Tahap Genital
Tahap ini dimulai sekitar usia 12 atau 13 tahun. Pada masa ini anak sudah
masuk usia remaja. Masa ini ditandai dengan matangnya organ reproduksi anak.
Pada periode ini, instink seksual dan agresif menjadi. Anak mulai mengembangkan
motif untuk mencintai orang lain atau mulai berkembangnya motif altruis (keinginan
untuk memperhatikan kepentingan orang lain).
Motif-motif ini mendorong anak (remaja) untuk berpartisipasi aktif dalam
berbagai kegiatan dan persiapan untuk memasuki dunia kerja, pernikahan dan
berkeluarga. Masa ini ditandai dengan proses pengalihan perhatian, dari mencari
kepuasan atau kenikmatan sendiri (yang bersifat kekanak-kanakan atau selfish)
kepada kehidupan sosial orang dewasa dan berorientasi kepada kenyataan (prinsip
realitas) atau sikap altruis.

Anda mungkin juga menyukai