Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 190201002
MATA KULIAH : OIKUMENIKA
Buku ini membahas banyak hal tentang oikumene. Dimulai dengan pendahuluan yang
membahas pengertian oikumenika. Oikumenika adalah ilmu yang menyangkut oikumene.
Oikumenika membahas usaha-usaha orang Kristen dan gereja-gereja yang berbeda-beda untuk
menjadi satu atau esa. Jadi, dengan kata lain oikumene bertolak dari perbedaan-perbedaan
paham teologis yang hendak diatasi. Soal perbedaan ini dapat didekati dari beberapa segi. Yang
pertama adalah dari segi historis, yakni melihat bagaimana usaha-usaha mewujudkan keesaan ini
dalam sejarah gereja. Selain dari segi historis, juga ada segi praktis. Dalam sejarah gerakan
oikumenis seringkali kerinduan untuk menjadi esa lahir dari kerjasama yang telah ada,
umpamanya dibidang pekabaran Injil. Karena ada tugas yang dihadapi bersama, maka orang-
orang Kristen dan gereja-gereja mencoba memperdalam kerjasama yang ada dan mencari dasar
teologis bersama untuk kerjasama mereka.
Oikuimene adalah bahasa Yunani yang berasal dari kata oikeo yang berarti tinggal,
berdiam, atau juga mendiami. Oleh sebab itu arti harafiah oikumene adalah “yang didiami”.
Tetapi participium ini telah beroleh arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama adalah
geografis: dunia yang didiami (Luk 4:5; Rm 10:18; Ibr 1:6). Dapat juga berarti: umat manusia
(Kis 17:31; 19:27; Why 12:9). Dapat juga mendapat arti politik: kekaisaran Romawi (Kis 24:5)
dan semua penduduknya (Kis 17:6).
Akibat Edinburg (III): Gerakan Life And Work 1919-1937; World Alliance 1914-
1948
Prasejarah Life and Work terdapat dalam aksi Kristen di bidang sosial pada abad ke-19.
Banyak organisasi Kristen melibatkan diri dalam aksi sosial. Maka timbulah kesadaran bahwa
dalam menghadapi hal-hal sosial orang-orang Kristen harus bekerjasama. Kerjasama ini di
bidang sosial-ekonomi dan bidang perdamaian internasional. Salah seorang pelopor gerakan ini
adalah J.H. Wichern (1808-1881). World Aliance adalah salah satu organisasi di bidang ini.
Sesudah Perang Dunia Pertama, World Alliance membicarakan pada konperensi-konperensi
soal-soal International seperti Liga Bangsa-bangsa, pelucutan senjata, nasionalisme, dan
internasionalisme. Usaha-usaha lain yang mereka lakukan adalah: 1) memperjuangkan
kebebasan beragama; 2) melawan halangan-halangan untuk gereja-gereja, sekolah-sekolah dan
institut-institut Kristen; 3) mencari penyelesaian konflik-konflik gerejani dan politik yang
memecahkan gereja; 4) memajukan hubungan-hubungan persahabatan internasional antara
gereja-gereja dan jemaat-jemaat; 6) mencari perdamaian; 6) mendukung usaha-usaha yang
memajukan keadilan dalam hubungan antar bangsa.
Oikumene Denominasional
Sejak 1867 Gereja Anglikan mengadakan konperensi di London, dan pada tahun 1888
diputuskan untuk meneliti hubungan-hubungan dengan gereja-gerja lain, sehingga sehingga
semangat oikumenis masuk ke dalam konperensi-konperensi. Reformed and Presbyterian
Alliance, sejak bergabung dengan ICC (1970) bernama World Alliance of Reformed Church.
WARC dapat dilihat sebagai wadah oikumenis sebab semangat oikumenis sudah ada sejak
permulaan. WARC sangat mendukung DGD. Pada tahun 1876 gereja Methodis mengadakan
konperensi untuk mewujudkan kerjasama antara gereja-gereja Methodis di Amerika. Pertemuan
gereja-gereja Baptis pada tahun 1905 dibentuk Baptis World Alliance. Walaupun BWA
menyetujui gerakan oikumenis dan menganjurkan anggota-anggotanya untuk terlibat di
dalamnya, soal baptisan menjadi persoalan besar, sebab baptisan orang percaya (dewasa) sebagai
satu-satunya baptisan yang sah.
Gereja Lutheran pada abd ke-19 telah mengadakan konperensi bersama, baru pada tahun
1947 nama Lutheran World Convention dirubah menjadi Lutheran World Federationn (LWF).
Anggota-anggotanya tetap gereja-gereja Lutheran, tetapi tujuan ikut serta dalam gerakan
oikumenis, lebih khusus menghadirkan unsure konfesional dalam DGD. Berbeda dengan DGD,
oikumene konfesional dianggap lebih utama dari oikumene geografis, sesuatu yang kadang-
kadang menimbulkan ketegangan.
Oikumene di Asia
Pilon menyebut empat hal hal yang menentukan perlembangan oikumene di Asia: 1)
Nasionalisme di Asia sesudah Jepang mengalahkan Rusia pada tahun 1905. Timbul perasaan
bahwa orang Asia tidak perlu diatur oleh orang-orang Barat, sebab mereka dapat mengurus
perkara-perkara mereka sendiri. 2) Pengaruh pekabaran Injil. 3) Pengaruh agama-agama lain.
Gereja-gereja Asia harus menghadapi orang-orang yang bukan Kristen. 4) Pengaruh Alkitab
(Yoh 17:21).
Setelah John Mott mengunjungi Asia, didirikanlah dewan-dewan pekabaran Injil nasional
di India, Tiongkok dan Jepang. Di India dibentuk Church South of India (1947). Konperensi
kedua IMC diadakan di Prapat, pada Maret 1957. Di sana diputuskan untuk membentuk suatu
dewan, East Asia Christian Conference (EACC). Pada tahun 1973 nama EACC dirubah menjadi
Christian Conference of Asia (CCA) dan pada tahun berikutnya dibuka kantor CCA di
Singapura. Ada panitia untuk Inter Church Aid (Perkara-perkara International untuk region Asia,
gereja dan masyarakat), Urban and Rural Mission (Kerjasama dan pertukaran tenaga di bidang
pekabaran Injil, kaum awam, literature dan komunikasi masa).
Oikumene di Indonesia
T. B. Simatupang mengatakan ada lima jenis pengaruh yang nyata dalam sejarah
pembentukan DGI, yaitu: 1) Alkitab (Yoh 17:21) dan pengakuan iman; 2) nasionalisme di
Indonesia menjelang dan sesudah Perang Dunia kedua; 3) pengalaman pemuda Kristen dalam
Perhimpunan Mahasiswa-mahasiswa Kristen dan pada Sekolah Tehologia Tinggi; 4) pengalaman
pada masa Jepang; 5) pengaruh gerakan oikumenis dari luar (IMC, WSCF, DGD) dan pengaruh
tokoh-tokoh di kalangan pekabaran Injil.
Usaha kerjasama di kalangan pekabaran Injil mulai di Indonesia dengan pembentukan
Zendingconsulaat (Perwakilan Pekabaran Injil) pada tahun 1906. Doronganyang lebih langsung
untuk gerakan oikumenis di Indonesia yang bermuara pada pembentukan DGI pada tahun 1950.
Tujuan DGI adalah pembentukan gereja Kristen yang esa di Indonesia, termasuk bentuknya.
Namun, jalan menuju keesaan itu sulit. Berbagai faktor non-teologis begitu berpengaruh
sehingga persoalan keesaan gereja perlu ditunda. Pada tahun 1976 ditulis suatu konsep
oikumenis bahwa keesaan seharusnya keesaan dalam kepelbagaian, secara konkrit federasi. Pada
Sidang Raya X di Ambon akhirnya ditetapkan Piagam Saling Mengakui dan Menerima dan
Pemahaman Bersama Iman Kristen, akan tetapi gereja yang esa belum terwujud.
Teologi Asia
Teologi Asia sama sperti teologi Afrika Latin, yang merupakan teologi yang oikumenis.
“Teologi oikumenis” yang dimaksudkan di sini adalah teologi yang lahir dari pertemuan
oikumenis antara orang-orang Kristen dari gereja-gereja dan latar belakang yang berbeda. Ini
merupakan usaha untuk meniadakan corak Barat yang berabad-abad lamanya melekat pada
teologi Kristen, dengan mencoba merumuskan suatu pemahaman yang relevan untuk konteks
kebudayaan yang berbeda dari kebudayaan Eropa Barat dan Amerika Utara.
Di India diusahakan untuk mengembangkan teologi sendiri. Diupayakan untuk
menjelaskan iman Kristen kepada orang-orang yang berlatarbelakang Hindu dalam istilah-istilah
yang tidak asing untuk mereka. Di Korea teologi Minjung, merupakan upaya untuk merumuskan
suatu teologi yang memperhatikan pergumulan rakyat jelata yang sudah lama tertindas dan
sekarang hidup dalam masyarakat yang mengalami pengaruh Barat melalui perang dan
industrialisasi. Di Jepang Kanzo Uchimura mencari bentuk kekkristenan yang bebas dari
pegaruh Barat dengan mendirikan Non-Chruch Movement, suatu gerakan orang-orang Kristen
yang tiidak mau menjadi anggota salah satu gereja yang dibawa dari Barat. Dalam iman, mereka
mencari hubungan antara iman Kristen dan nilai-nilai kebudayaan Jepang. Di Indonesia pokok-
pokok yang mengundang refleksi teologis adalah peranan gereja dalam pembangunan nasional,
hubungan iman Kristen dengan Pancasila sebagai ideologi negara, dan hubungan gereja dengan
kebudayaan.
Dalam karangan “The Critical Asian Principle”, yang dimuat oleh D.J. Elwood,
menunjuk tujuh hal yang menentukan konteks teologi Asia, yaitu: 1) keanekaragaman ras,
bangsa, kebudayaan, dan agama; 2) penjajahan oleh bangsa-bangsa Barat pada masa lampau; 3)
pembangunan nasional serta modernisasi yang diusahakan pada masa sekarng; 4) kebutuhan
untuk mencari identitas diri yang baru pada zaman modern; 5) kehadiran agama-agama besar
(Hindu, Budha, Islam); 6) pencarian tatanan sosial yang baru; 7) kenyataan bahwa pada
umumnya umat Kristen adalah kaum minoritas. Ketujuh hal ini harus diperhatikan dalam
perumusan teologi Asia.