Anda di halaman 1dari 46

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK

MAKALAH

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


KEPERAWATAN DEWASA CARDIOVASKULER, RESPIRASI,
HEMATOLOGI
Yang dibina oleh Ns. Ginanjar Sasmito Adi Sp. Kep. M.B

Oleh :
Ananda Riskiyatul Maulidiyah (2111011094)
Merritania Nurittama (2111011099)
Gian Winata Pradana Putra (2111011112)
Putri Wulandari (2111011118)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
Oktober, 2022
KATA PENGANTAR

Ucapan puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat,hidayah ,dan


inayah nya,sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya,tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada bapak Ns
Ginanjar Sasmito Adi, Sp.Kep.M.B selaku dosen mata kuliah Keperawatan
Dewasa Sistem Kardiovaskuler, Respiratori dan Hamatologi ,yang telah
memberikan kesempatan kepada kelompok kami untuk Menyusun makalah ini.
Dan juga kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman khususnya
kelompok yang telah membantu memberikan materi dan masukannya sehingga
terselesainya makalah ini.
Dengan keseriusan dan ketekunan dalam pembuatan makalah
ini,harapan kami dapat memberikan manfaat bagi teman-teman dan para
pembaca,serta dapat menjadi pembelajaran bagi kelompok kami dalam
pembuatan sebuah makalah.
Terlepas dari semua itu,kami menyadari masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penyusunan makalah ini,baik dari segi materi maupun tata
Bahasa.Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima kritik dan saran
dari teman-teman,demi perbaikan makalah ini.Akhir kata semoga makalah
ini,dapat menjadi inspirasi bagi teman-teman dan pembaca.

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Konsep dasar medis


A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel
atau reversibel parsial. Berbagai faktor resiko berkaitan erat
dengan PPOK seperti polusi udara, merokok, usia, nutrisi.
Menurut WHO lebih 64 juta orang mengalami PPOK dan lebih 3
juta meninggal karena PPOK Hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS 2013) PPOK lebih banyak diderita oleh laki-laki
dibandingkan wanita dengan prevalensi Indonesia 3.7%.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit tidak
menular dan menjadi masalah kesehatan dunia.
Definisi PPOK adalah penyakit yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara bersifat progresif berhubungan dengan
inflamasi kronik saluran napas dan parenkim parua kibat
pajanan gas atau partikel berbahaya. Hambatanaliran udara
pada PPOK terjadi karena perubahan struktur saluran napas
yang disebabkan destruksi parenkim dan fibrosis paru.
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan penyebab kematian
nomor empat di dunia dan diperkirakan akan menjadi
penyebab insidens kesakitan dan penyebab kematian nomor tiga
pada tahun 2030 (Astriani et al., 2020).

B. Etiologi
Etiologi penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
atauchronic obstructive pulmonary disease (COPD) adalah
kerusakan jalan nafas atau kerusakan parenkim paru.
Kerusakan ini dapat disebabkan oleh 2 faktor :
1. Merokok
Asap rokok mempunyai prevalensi yang cukup
tinggi sebagai penyebab gejala pada sistem respirasi.
Perokok adalah seseorang yang dalam hidupnya pernah
menghisap rokok sebanyak 100 batang atau lebih dan
saat ini masih merokok, sedangkan bekas perokok
adalah seseorang yang telah meninggalkan kebiasaan
merokok selama 1 tahun. Perokok yang menggunakan
pipa atau cerutu mempunyai morbiditas dan mortalitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok,
namun masihlebih tinggi jika dibandingkan dengan perokok
sigaret.
2. Faktor lingkungan
PPOK dapat muncul pada pasien yang tidak
pernah merokok. Faktor lingkungan dicurigai dapat
menjadi penyebabnya namun mekanisme belum
diketahui pasti. Pada negara dengan penghasilan
sedang hingga tinggi, merokok merupakan penyebab
utama PPOK, namun pada negara dengan penghasilan
rendah paparan terhadap polusi udara merupakan
penyebabnya. Faktor risiko yang berasal dari
lingkungan antara lain adalah polusi dalam ruangan,
polusi luar ruangan, zat kimia dan debu pada
lingkungan kerja, serta infeksi saluran nafas bagian
bawah yang berulang pada usia anak.
3. Defesiensi Enzim Alpha1-antirypsin (AAT)
AAT merupakan enzim yang berfungsi untuk
menetralisir efek elastase neutrophil dan melindungi
parenkim paru dari efek elastase. Defisiensi AAT
merupakan faktor predisposisi pada Emfisema tipe
panasinar. Desiensi AAT yang berat akan menyebabkan
emfisema prematur pada usia rata-rata 53 tahun untuk
pasien bukan perokok dan 40 tahun pada pasien perokok.
(Astriani et al., 2020)
C. Patofisiologi Dan Pohon Masalah ( Pathways )
Obtruksi jalan napas menyebabkan reduksi aliran udara yang
beragam bergantung pada penyakit pada bronkhitis kronis dan
bronkhiolitis, terjadi penumpukan lendir dan sekresi yang sangat banyak
sehingga menyumbat jalan napas. Pada emfisema, Obtruksi pada
pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan dinding
alveoli yang di sebabkan oleh overekstensi ruang udara dalam paru. Pada
asma, jalan napas bronkhial menyempit dan membatasi jumlah udara yang
mengalir kedalam paru. Protokol pengobatan tertentu digunakan dalam
semua kelainan ini, meski patofisiologi dari masing masing kelainan ini
membutuhkan pendekatan spesifik.
Penyakit paru obtruksi kronis di anggap sebagai penyakit yang
berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Merokok,
polusi udara, dan paparan ditempat kerja ( terhadap batubara, kapas, dan
padi padian) merupakan faktor risiko penting yang menunjang terjadinya
penyakit ini, prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20-30 tahun.
PPOK juga ditemukan terjadi pada individu yang tidak mempunyai enzim
yang normal untuk mencegah penghancuran jaringan paru oleh enzim
tertentu PPOK merupakan kelainan dengan kemajuan lambat yang
membutuhkan waktu bertahun- tahun untuk menunjukan awitan (onset)
gejala klinisnya seperti kerusakan fungsi paru, sering menjadi simptomatik
selama tahun – tahun usia baya, tetapi insidenya meningkat sejalan dengan
peningkatan usia. Meskipun aspek aspek fungsi paru seperti kapasitas vital
(VC) dan Volume ekspirasi paksa ( FEV) menurun sejalan dengan
peningkatan usia, Penyakit paru obtruksi kronis dapat memburuk
perubahan fisiologis yang berkaitan dengan penuaan dan mengakibatkan
obtruksi jalan napas serta kehilangan daya pengembangan paru paru
misalnya pada emfisema, oleh karena itu terjadi perubahan tambahan
dalam rasio ventilasi-perfusi pada klien lansia dengan PPOK (Alihar,
2018).
Phatway

Pencetus Rokok dan polusi


(asma, bronchitis
kronnis, emfisema) Inflamasi

PPOK
Sputum meningkat

Perubahan anatomi
Batuk
parenkim paru

Hipertropi kelenjar MK : Bersihan Jalan


mukosa Nafas Tidak Efektif

Penyempitan saluran
napas secara periodik Infeksi

Leukosit meningkat
Ekspansi Disfungsional proses
paru difusi dan profesi
menurun dalam tubuh Menghasilkan hasil akhir
di sel yang memakan
proses fogositosis kuman
MK : Gangguan yang tidak baik
Pertukaran Gas

Suplai O2 Anoreksia
tidak Menghasilkan hasil akhir
adekuat di sel yang memakan
proses fogositosis kuman MK : Definisit
yang tidak baik Nutrisi
Hipoksia

Kontraksi otot pernafasan


Sesak
meningkat

MK : Pola
Nafas Tidak MK :
Efektif Intoleransi
Aktivitas
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis PPOK adalah yaitu :
1. Batuk terus menerus
2. Sesak napas (dispnea),
3. Produksi sputum berlebihan (pada jenis bronkitis kronis),
4. Obstruksi saluran nafas yang progresif,
5. Mengi dan perasaan tidak mampu menarik nafas dalam,
6. Radang mukosa saluran pernafasan,
7. Edema
8. Bronkokontriksi
9. Hilangnya elastisitas recoil (Djojodibroto, 2017; Jackson, 2011).
Pasien mengalami banyak gejala namun gejala yang paling
sering adalah batuk, sesak napas, dada terasa sesak, mengi,
produksi sputum. Gejala ini pada awalnya tersembunyi, progresif
lambat, namun kondisi tidak akan pernah kembali ke normal serta
memburuk saat aktifitas .
Sesak napas merupakan salah satu gejala PPOK yang bersifat
progresif sepanjang waktu, terjadi setiap hari, sebagai penyebab
ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas (Yulis &
Wahyuni, 2019)

E. Pemeriksaan penunjang (tambahkan peran perawat dalam


pemeriksaan penunjang yang dilakukan)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah uji
jalan 6 menit yang dimodifikasi. Untuk di Puskesmas dengan
sarana terbatas, evaluasi yang dapat digunakan adalah keluhan
lelah yang timbul atau bertambah sesak. Pemeriksaan-pemeriksaan
yang dapat dilakukan bila fasilitas tersedia :
a. Spirometri (FEV1, FEV1 prediksi, FVC, FEV1/FVC) - Obstruksi
: nilai FEV1 (%) dan atau FEV1/FVC (%). Kriteria obstruksi
pada spirometri : FEV1(FEV1/FEV1 pred) <80% atau
FEV1/FVC <70% FEV1 merupakan parameter yang paling
umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit.
b. Uji Bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Penggunaan
bronkodilator : dosis 400 mcgbeta agonis short acting, 160
mcg anti kolinergik short acting, atau 2 kombinasi. FEV
diukur 10-15 menit setelah beta agonis short acting, atau 30-
45 menit setelah anti kolinergik short acting atau bila
kombinasi keduanya. Bila setelah bronkodilator FEV1/FVC
tetap <70% maka terkonfirmasi adanya limitasi airflow
(obstruksi).
c. Foto Thorax Foto thorax PA dan lateral berguna untuk
menyingkirkan penyakit paru lain. CT scan juga dapat
dilakukan bila ada kecurigaan tumor paru.
d. Analisis Gas Darah : dilakukan apabila saturasi oksigen
arteroperifer <92%. Uji latihan kardiopulmoner : sepeda statis
(ergocycle), treadmill, jalan 6 menit. Skrining alpha-1 anti
trypsin deficiency (PDPI, 2003)(Sari, 2021).

F. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala dan risiko
eksaserbasi akut. Indikator penurunan gejala adalah gejala
membaik, memperbaiki toleransi terhadap aktivitas, dan
memperbaiki status kesehatan. Sedangkan indikator penurunan
risiko adalah mencegah perburukan penyakit, mencegah dan
mengobati eksaserbasi, menurunkan mortalitas. Secara umum,
pengobatan PPOK menggunakan beberapa golongan obat, seperti:
1. Bronkodilator
Bronkodilator merupakan pengobatan yang dapat
meningkatkan FEV1 dan atau mengubah variabel spirometri.
Obat ini bekerja dengan mengubah tonus otot polos pada
saluran pernafasan dan meningkatkan refleks bronkodilatasi
pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan mengubah
elastisitas paru. Bronkodilator bekerja dengan menurunkan
hiperventilasi dinamis saat istirahat dan beraktivitas, serta
memperbaiki toleransi terhadap akivitas. Pada kasus PPOK
ketegori berat atau sangat sangat berat sulit untuk
memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.
Bronchodilator dose-respone (perubahan FEV1) kurang
memberikan respon relatif pada setiap kelas bronkodilator.
Peningkatan dosis beta2-agonist atau antikolinergik,
khususnya yang diberikan dengan nebulizer, menunjukkan
efek positif pada episode akut, namun tidak terlalu
membantu pada kondisi stabil. Bronkodilator pada PPOK
diberikan sebagai dasar untuk mencegah atau menurunkan
gejala. Tidak direkomendasikan penggunaan bronkodilator
dengan kerja pendek.
2. Beta2-agonist
Prinsip kerja obat ini adalah relaksasi otot polos pada
saluran pernafasan dengan menstimulasi reseptor beta2-
adrenergik, dimana akan meningkatkan siklus AMP dan
memproduksi efek fungsional yang berlawanan dengan
bronkokonstriksi. Terdapat beta2-agonist dengan kerja
pendek (SABA/short acting beta agonist) dan kerja panjang
(LABA/long acting beta agonist), dimana efek SABA
biasanya muncul dalam 4-6 jam. Penggunaan SABA secara
regular dapat meningkatkan FEV1 dan memperbaiki gejala.
Untuk dosis tunggal, khususnya pada kasus PPOK, tidak
terdapat keuntungan apabila digunakan secara rutin,
contohnya levalbuterol dibandingkan konvensional
bronkodilator. LABA menunjukkan durasi kerja 12 jam atau
lebih dan tidak dimasukkan sebagai efek tambahan pada
terapi SABA. Folmetrol dan salmeterol merupakan LABA
yang diberikan 2 kali dalam sehari, dimana secara signifikan
memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak, laju eksaserbasi
serta jumlah kejadian masuk rumah sakit, namun tidak
terdapat efek pada perbaikan mortalitas atau fungsi paru.
Indacaterol atau LABA yang dikonsumsi 1 kali sehari dapat
memperbaiki sesak, status kesehatan, dan laju eksaserbasi.
Beberapa pasien dengan riwayat batuk akan diikuti dengan
pemberian indacaterol inhalasi. Oladaterol dan vilanterol
merupakan tambahan LABA yang dapat dikonsumsi 1 kali
sehari dan dapat memperbaiki gejala dan fungsi paru.
Stimulasi reseptor beta2-adrenergik dapat memproduksi
sinus takikardia dan memiliki potensi untuk menjadi
gangguan ritme jantung. Tremor dapat dirasakan pada
pasien tua dengan dosis tinggi. Apabila terapi dikombinasi
dengan diuretik thiazide, dapat menimbulkan hipokalemia
dan peningkatan konsumsi oksigen pada pasien gagal ginjal
kronis, dimana terjadi efek penurunan metabolik.
3. Antimuskarinik
Prinsip kerjanya dengan mem-blok efek bronkokonstriksi
asetikolin pada reseptor muskarinik M3 pada otot polos
saluran pernafasan. Short-acting antimuscarinic (SAMAS)
seperti ipratropium dan oxitroprium juga mem-blok reseptor
neuronal M2, yang secara potensial dapat memicu
bronkokonstriksi. Long acting muscarinic antagonist
(LAMAS) seperti tiotropium, aclidinium, glycopyrronium
bromide dan umeclidinium, mempunyai ikatan dengan
reseptor muskarinik M3 dengan disosiasi yang lebih cepat
dibandingkan reseptor muskarinik M2 yang memperpanjang
durasi efek bronkodilator. Ipratropiun sebagai muskarinik
antagonis kerja pendek memiliki efek yang kecil
dibandingkan beta2-agonist kerja pendek dalam hal
perbaikan fungsi paru, status kesehatan dan kebutuhan
terhadap oral steroid. Beberapa jenis LAMAs seperti
titropiun dan umeclidinium dikonsumsi 1 kali sehari,
aclidinium untuk 2 kali sehari, dan glycopyrronium, dimana
beberapa negara memberikan 1 kali sehari dan negara lain
memberikan 2 kali sehari. Pengobatan dengan tiotripium
dapat memperbaiki gejala dan status kesehatan,
memperbaiki efektivitas rehabilitasi paru dan mengurangi
eksaserbasi terkait hospitalisasi. Beberapa penelitian
menunjukkan efek eksaserbasi yang lebih besar pada
golongan obat LAMAs (tiotropium) dibandingkan LABA.
Efek samping yang dapat muncul berupa mulut kering,
gangguan buang air kecil, dan pada penggunaan ipratropium
menunjukkan gejala mulut terasa pahit dan gangguan
pengecapan serta sebagian kecil peningkatan kejadian
kardiovaskuler.
4. Methylxanthines Theophylline
merupakan jenis methylxantine yang paling sering
digunakan, dimana dimetabolisme oleh cytochrome P450
dengan fungsi oksidase. Efek yang ditimbulkan berupa
peningkatan fungsi otot skeletal respirasi. Penambahan
theophylline dengan salmeterol memberikan efek perbaikan
pada FEV1 dan gejala sesak dibandingan hanya pemberian
salmeterol saja. Toksisitas methylxanthine tergantung pada
dosis yang diberikan, dimana efek yang ditimbulkan berupa
palpitasi akibat atrium dan ventrikel aritmia. Efek lain
termasuk sakit kepala, insomnia, mual, terasa panas di dada.
Pengobatan ini juga memiliki interaksi yang signifikan
dengan beberapa obat seperti digitalis dan coumadin.
5. Kombinasi terapi bronkodilator
Kombinasi bronkodilator SABAs dan SAMAs memberikan
efek perbaikan FEV1 dan gejala dibandingkan diberikan
secara tunggal. Pengobatan dengan formoterol dan
tiotropium inhaler memberikan efek yang lebih besar
terhadap FEV1, memperbaiki fungsi paru dan status
kesehatan pada pasien PPOK. Beberapa penelitian
menunjukkan pemberian kombinasi LABA/LAMA,
memeberikan efek terhadap laju eksaserbasi. Kombinasi ini
juga dikatakan lebih baik dibandingkan kombinasi antara
LABA dan ICS (inhaled corticosteroid).
6. Anti-inflamasi
a. Inhaled corticosteroid (ICS) Pada pasien PPOK,
pengobatan dengan ICS menunjukkan respon yang
terbatas. Beberapa obat termasuk beta2-agonist,
theophylline atau macrolide dapat mempengaruhi
sensitivitas kortikosteroid pada PPOK. Pengobatan
dengan ICS saja, tidak dapat memodifikasi penurunan
FEV1. Pada pasien dengan PPOK kategori sedang-berat,
kombinasi ICS dengan LABA lebih efektif dalam
memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan
menurunkan eksaserbasi. Selain itu, pengobatan
dengan LABA/ICS fixed dose combination (FDC)
memberikan efek yang signifikan dibandingkan dengan
LABA saja, pada pasien dengan eksaserbasi maksimal 1
kali dalam setahun. Efek samping yang ditimbulkan
yaitu, candidiasis mulut, suara parau, kulit memar, dan
pneumonia. Peningkatan risiko tersebut telah
dikonfirmasi pada ICS dengan menggunakan
fluticasone furoate, walaupun pada dosis rendah.
Pasien yang memiliki risiko tinggi pneumonia apabila
memeiliki riwayat merokok, umur ≥ 55 tahun, memiliki
riwayat eksaserbasi pneumonia, BMI < 25 kg/m2 , dan
sesak berat. Pada penggunaan ICS independent,
peningkatan <2% cosinofil darah, dapat meningkatkan
risiko pneumonia. Pasien dengan PPOK sedang. terapi
ICS tunggal ataupun kombinasi dengan LABA, tidak
meningkatkan risiko pneumonia. Beberapa penelitian
menunjukkan peningkatan risiko fraktur dan
penurunan densitas tulang pada terapi ICS. Selain itu,
terapi ICS dapat berhubungan dengan peningkatan
risiko diabetes, katarak, dan infeksi mikobakteri
termasuk TB. Efek withdrawl ICS, tergantung pada
fungsi paru, gejala dan eksaserbasi. Peningkatan
eksaserbasi dan/atau gejala diikuti dengan efek
withdrawal ICS. Penurunan FEVI (40 ml) dengan efek
withdrawal ICS berhubungan dengan peningkatan
batas eosinophil.
b. Terapi inhaler triple
Terapi inhaler triple berupa penambahan LABA, LAMA,
dan ICS, dimana efek yang diberikan berupa perbaikan
fungsi paru, pada risiko eksaserbasi.
c. Oral glukokortikoid
Efek yang diberikan berupa steroid miopati yang
berhubungan dengan kelemahan otot, penurunan
fungsional, dan kegagalan pernapasan pada pasien
dengan PPOK berat. Sistemik glukokortikoid pada akut
eksaserbasi menunjukkan laju kegagalan terapi, laju
kekambuhan, serta memperbaiki fungsi paru dan sesak.
Oral glukokortikoid memberikan efek terapi pada akut
eksaserbasi, namun tidak berperan pada kondisi kronis
karena memiliki komplikasi sistemik yang tinggi.
d. Phosphodiesterase-4 (PDE-4) inhibitors
Prinsip kerjanya adalah dengan menurunkan inflamasi
dengan menghambat pemecahan siklus intraseluler
AMP. Roflumilast merupakan obat oral yang
dikonsumsi 1 kali sehari tanpa aktivitas bronkodilator.
Efeknya adalah menurunkan eksaserbasi sedang dan
berat yang telah diobati dengan kortikosteroid sistemik
pada pasien bronchitis kronis, PPOK berat sampai
sangat berat, dan riwayat eksaserbasi. Efek pada fungsi
paru dapat juga dilihat ketika roflumilast ditambahkan
pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang
tidak terkontrol pada kombinasi fixed-dose LABA/ICS.
Efek samping yang dapat ditimbulkan lebih banyak jika
dibandingkan dengan pengobatan inhaler untuk PPOK.
Efek tersering yaitu diare, mual, penurunan nafsu
makan, penurunan berat badan (2 kg), nyeri perut,
gangguan tidur, dan sakit kepala. Pemberian
roflumilast perlu diperhatikan khususnya pada pasien
underweight dan depresi
7. Antibiotik
Beberapa penelitian menunjukkan penggunaan antibiotik
secara regular dapat menurunkan laju eksaserbasi.
Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali per minggu)
atau eritromycin (500 mg 2 kali per hari) dalam satu tahun
dapat menurunkan risiko eksaserbasi. Azithromycin
berhubungan dengan peningkatan insiden resistensi bakteri
dan gangguan pendengaran.
8. Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan agen
antioksidan Pada pasien PPOK yang tidak mendapatkan
kortikosteroid inhaler, terapi regular dengan mukolitik
seperti carbocystein dan N-acetylcystein dapat menurunkan
eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan.

1.2. Konsep Dasar Keperawatan


A. Pengkajian (Terdiri dari Pengkajian Fokus baik anamnesis dan
pemeriksaan fisik)
1. Pengkajian
a. Biodata
Penyakit PPOK (Asma bronkial) terjadi dapat menyerang seagala
usia tetapi lebih sering di jumpai pada usia dini. Separuh kasus
timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi
sebelum usia 40 tahun. Predisposisi laki-laki dan perempuan di usia
dini sebesar 2:1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial
adalah dispnea (bias sampai berhari-hari atau berbulan-
bulan),batuk,dan mengi (pada beberapa kasus lebih banyak
paroksismal).
2) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi
timbulnya penyakit ini, di antaranya adalah riwyat alergi dan
riwayat penyakit saluran napas bagian bawah ( rhinitis,
urtikaria, dan eksim).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya
riwayat penyaakit keturunan, tetapi pada beberapa klien
lainnya tidak di temukan adanya penyakit yang sama pada
anggota keluarganya.
c. Pengkajian diagnostic COPD
1) Chest X- Ray :dapat menunjukkan hyperinflation paru,
flattened diafragma, peningkatan ruangan udara retrosternal,
penurunan tanda vascular / bullae ( emfisema ), peningkatan
suara bronkovaskular ( bronchitis ), normal ditemukan saat
periode remisi ( asma ).
2) Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan
penyebab dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut
apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat
disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya
bronkodilator.
3) Total lung capacity (TLC ) : meningkat pada bronkitis berat
dan biasanya pada asma, namun menurun pada emfisema.
4) Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema.
5) FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi ( FEV ) terhadap
tekanan kapasitas vital ( FVC ) menurun pada bronkitis dan
asma.
6) Arterial blood gasses (ABGs) : menunjukan prose penyakit
kronis, sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
meningkatkan ( bronkitis kronis dan emfisema ), terapi sering
kali menurun pada asma, Ph normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi ( emfisema
sedang atau asma).
7) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat
inspirasi, kolabs bronkial pada tekanan ekspirasi( emfisema ),
pembesaran kelenjar mucus( brokitis).
8) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin ( emfisema
berat) dan eosinophil (asma).
9) Kimia darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada
emfisema perimer.
10) Skutum kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan
mengidentifikasi pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi
digunakan untuk menentukan penyakit keganasan/ elergi.
11) Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan,
glombang P tinggi ( asma berat), atrial disritmia ( bronkitis),
gelombang P pada leadsII, III, dan AVF panjang, tinggi( pada
bronkitis dan efisema) , dan aksis QRS vertical (emfisema).
12) Exercise ECG , stress test :membantu dalam mengkaji
tingkat disfungsi pernafasan, mengevaluasi keektifan obat
bronkodilator, dan merencanakan/ evaluasi program.
d. Pemeriksaan fisik
1) Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing)
pada kedua fase respirasi semakin menonjol.
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di
keluarka.
d) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas
tambahan.
e) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f) Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks
dan hilus )
g) Penurunan berat badan secara bermakna.

2) Subjektif
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
3) Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi
penyakitnnya
c) Data tambahan (medical terapi)
4) Bronkodilator
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara
inhalasi atau parenteral. Jika sebelumnya telah
digunakan obat golongan simpatomimetik, maka
sebaiknya diberikan Aminophilin seacara parenteral,
sebab mekanisme yang berlainan, demikian pula
sebaliknya, bila sebelmnya telah digunakan obat
golongan Teofilin oral, maka sebaiknya diberikan obat
golongan simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
Obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik
bentuk selektif terhadap adrenoreseptor ( orsiprendlin,
salbutamol, terbutalin, ispenturin, fenoterol) mempunyai
sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek
samping kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif
(adrenalin, Efedrin, Isoprendlin)
a. Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat
dan efek samping sistemiknya lebih kecil. Baik
digunakan untuk sesak napas berat pada anak-anak dan
dewasa. Mula-mula deberikan dua sedotan dari Metered
Aerosol Defire (AfulpenMetered Aerosol). Jika
menunjukkan perbaikan dapat diulang setiap empat jam,
jika tidak ada perbaikan dalam 10-15 menit setelah
pengobatan, maka berikan Aminophilin intravena
b. Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek
samping takikardi, penggunaan parenteral pada orang tua
harus hati-hati, berbahaya pada penyakit hipertensi,
kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba
dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan.
Pada anak-anak 0,01 mg /KgBB subkutan (1 mg per mil)
dapat diulang setiap 30 menit untuk 2-3 kali sesuai
kebutuhan .
c. Pemberian Aminophilin secara intravena denagn dosis
awal 5-6 mg/KgBB dewasa/ anak-anak, disuntikkan
perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis penunjang dapat
diberikan sebanyak 0-9 mg/kgBB/jam secara intravena.
Efek sampingnya tekanan darah menurun bila tidak
dilakukan secara perlahan.

5) Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak
menunjukkan perbaikan, maka bisa dilanjutkan deagan
pengobatan kortikosteroid, 200 mg hidrokortison secara
oral atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai
dosis permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara
parental sampai serangan akut terkontrol,dengan diikuti
pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-2
mg/KgBB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian
dosis dikurangi secara bertahap
6) Pemberian oksigen
Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan
kecepatan 2-4 liter/menit , menggunakan air (humidifier)
untuk memberiakan pelembapan. Obat eksfektoran
seperti gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk
memperbaiki dehidrasi, oleh karena itu intake cairan per
oral infus harus cukup sesuai dengan prinsip.
7) Beta Agonis
Beta agonis ( β–adrenergic agents) merupakan
pengobatan awal yang digunakan dalam
penatalaksanaan penyakit asma, dikarenakan obat
ini berekrja dengan cara mendilatsikan otot polos
( vasedilator). Andrenerigic agent juga
meningkatkan pergerakan siliari , menurunkan
mediator kimia anafilaksis, dan dapat meningkatan
efek bronkodilatasi dari kortikosteroid. Andrenergic
yang sering digunakan antara lain epinefrin,
albuterol, metaproterenol, isoproterenol, isoetarin,
dan terbutalin. Biasanya diberikan secara parenteral
atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu
pilihan dikarenakan dapat mempengaruhi secara
langsung dan mempunyai efek samping yang lebih
kecil.(Anggraeni, 2019).

B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan suatu tahapan dalam proses
keperawatan yang menggambarkan status kesehatan secara aktual, yang
didalamnya tercakup penilaian klinis terhadap pengalaman/respon
individu, keluarga, atau komunitas pada masalah kesehatan/risiko masalah
kesehatan atau pada proses kehidupan. Diagnosis keperawatan menjadi
hasil akhir dari pengkajian yang dirumuskan atas dasar interpretasi atau
data dari hasil pengkajian yang telah dilakukan sebelumnya. Diagnosa
keperawatan menjadi keputusan yang sudah ditetapkan, dirumuskan secara
matang mengenai masalah yang dihadapi oleh pasien selama dilakukan
perawatan dirumah sakit. Data pasien yang sudah didapatkan melalui
tahapan pengkajian menjadi bahan dan dasar perawat dalam menentukan
apa masalah keperawatan/diganosa keperawatan dan masalah
kolaboratif/diagnosis potensial komplikasi yang dialami oleh pasien dan
perawat selanjutnya membuat perencanaan dalam merawat pasien.(Sinaga,
2020)
C. Rencana asuhan keperawatan
Perencanaan adalah penyususnan rencana tindakan keperawatan
yang akan dilaksanakan untuk mengulangi masalah sesuai dengan
diagnosis keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan terpenuhnya
kebutuhan klien yang dimana tujuannya yaitu untuk mengantisipasi
kemungkinan munculnya kembali masalah dengan menganalisis kondisi
lingkungan internal maupun eksternal yang mengacu pada upaya
pencapaian tujuan.
Perencanaan Keperawatan adalah sebuah proses penyusunan
berbagai intervensi keperawatan yang dibutuhkan untuk mencegah,
menurunkan, serta mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini
adalah langkah ketiga dalam membuat suatu proses keperawatan.
Perencanaan asuhan keperawatan merupakan kunci dari perawatan yang
diberi. Suatu perencanaan yang tertulis dengan baik akan memberi
petunjuk dan arti pada asuhan keperawatan karena perencanaan adalah
sumber informasi bagi semua yang terlibat dalam asuhan keperawatan
klien. Perencanaan merupakan suatu petunjuk tertulis yang
menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan
diagnosis keperawatan. (Handiyani, 2017)
BAB II
TINJAUAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

1. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. PENGUMPULAN DATA
a. Identifikasi Pasien :
1. Nama : Tn. A
2. Tempat/ Tanggal Lahir : Pariaman, 08 Juli 1933
3. Umur : 89 tahun
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Status Kawin : Kawin
6. Agama : Islam
7. Pendidikan : SMA
8. Pekerjaan : Pensiunan
9. Alamat : Jalan Sungai Siri
Pilubang Pariaman
10.Diagnosa Medis : PPOK eksaserbasi akut tipe
I + orchitis aTB
11.No. MR : 978487

b. Identifikasi Penanggung Jawab


1. Nama : Tn. N
2. Pekerjaan : Wiraswasta
3. Alamat : Jalan Sungai Sirih, Pilubang Pariaman
4. Hubungan : Anak Kandung

c. Riwayat Kesehatan
1) Riwayat Kesehatan Sekarang
a) Keluhan Utama :
Tn.A dirawat di ruangan rawat inap paru masuk melalui IGD RSUP Dr. M.
Djamil Padang tanggal 13 Mei 2017 pukul 03.11WIB rujukan dari RSUD
Pariaman dengan alasan masuk sesak nafas dan batuk berdahak yang meningkat
sejak 10 hari sebelum masuk RSUP Dr. M. Djamil. Pasien mengatakan sesak
bertambah seiring dengan adanya aktifitas ringan.
b) Keluhan Saat Dikaji (PQRST) :
Pada saat dilakukan pengkajian tanggal 19 Mei 2017 pukul 11.00 WIB dengan
hari rawatan ke-6 kondisi pasien tampak Lemah dengan keluhan sesak nafas,
batuk yang disertai dahak yang sulit untuk di keluarkan berwarna kekuningan. Tn
A tampak menggunakan otot bantu pernafasan dan sesak bertambah dengan
adanya aktifitas ringan. Pasien menggunakan masker non rebreathing 10 L/i.
Pasien terpasang kateter urin, terpasang infus dengan cairan NaCl 0,9 % 20
tetes/menit dan terpasang syrimp pump dengan cairan Norepinephrine 4cc + 46 cc
NaCl 0,9 %. TTV pasien yaitu TD : 120/80 mmHg, nadi 102x/i, suhu 36,7 C dan
pernafasan 26x/i. pasien mengatakan lebih nyaman dengan posisi semi fowler.

a. Riwayat Kesehatan Dahulu :


Pasien mengatakan pernah dirawat di RSUD Pariaman kurang lebih 1 bulan.
Pasien merupakan seorang perokok berat selama kurang lebih 67 tahun. Biasanya
pasien menghabiskan sebanyak 1-2bungkus rokok perhari. Pasien mengatakan
sudah berhenti merokok sejak 2 bulan yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat
pengobatan sebelumnya dan tidak ada riwayat alergi makanan atau obat.

b. Kesehatan Keluarga :
Pasien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang pernah menderita
penyakit seperti yang dialaminya sekarang. Pasien juga mengatakan tidak ada
anggota keluarganya yang menderita penyakit keturunan seperti diabetes mellitus,
jantung, asma, hipertensi.

d. Pola Aktivitas sehari-hari (ADL)


5) Pola Nutrisi
Makan
- Sehat : pasien mengatakan biasanya makan 3x sehari dengan lauk dan
sayuran, pasien tidak memiliki alergi makanan.
- Sakit : pasien terpasang NGT mendapat diit MC sebanyak 3 x dalam sehari
sebanyak 300 CC.
- Sehat : pasien mengatakan minum 5-6 gelas dalam sehari sekitar 1500 cc.
- Sakit : pasien terpasang NGT minumnya 1 gelas dalam sehari sekitar
200cc.
6) Pola Eliminasi
BAB
- Sehat : pasien mengatakan biasanya BAB 1x sehari dengan konsistensi
lunak dan bewarna kuning kecoklatan
- Sakit : pasien mengatakan BAB 1x dengan konsistensi lunak dan
bewarna kuning kecoklatan BAK
- Sehat : pasien mengatakan BAK sebanyak 5-6 kali dalam sehari berwarna
kuning tidak pekat sekitar 1500 cc dalam sehari.
- Sakit : pasien BAK melalui kateter berwarna kuning dengan volume sekitar
1500 cc dalam sehari.
7) Pola Tidur dan Istirahat
- Sehat : pasien mengatakan biasanya tidur kurang lebih 7 jam dalam sehari
dan jarang tidur pada siang hari.
- Sakit : pasien mengatakan selama sakit merasa sulit tidur akibat nafas
terasa sesak
8) Pola Aktivitas dan Latihan
- Sehat : pasien mengatakan biasanya dapat melakukan aktivitas sehari
harinya tanpa dibantu.
Sakit : pasien mengatakan sulit untuk beraktifitas dan hanya berada di atas
tempat tidur, aktivitas sehari-harinya dibantu oleh perawat dan keluarga
yang mendampingi.

e. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan kepala
I: pada kepala tidak ada lesi dan rambut tidak mudah patah
P: tidak teraba udem
2) Pemeriksaan wajah
I: wajah simetris kiri dan kanan, tampak pucat, dan tidak ada lesi
P: tidak ada udem
3) Pemeriksaan mata
I: konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokor diameter
2mm/2mm
P: tidak teraba udem palpebra
4) Pemeriksaan telinga
I: simetris kiri dan kanan, tidak ada lesi, tidak ada cairan atau darah yang
keluar dari lubang telinga
5) Pemeriksaan hidung
I: hidung simetris, tidak ada sianosis, tidak ada pernafasan cuping hidung,
terpasang NGT
P: tidak ada nyeri tekan sinus
6) Pemeriksaan mulut dan faring
I: bibir simetris, mukosa bibir kering
7) Pemeriksaan leher
I: tidak ada pembesaran vena jugularis
P: tidak ada pembesaran kelenjar getah bening dan kelenjar tiroid
8) Pemeriksaan thorak
I: simetris kiri dan kanan, penggunaan otot bantu pernafasan
P: premitus dada kanan sama dengan dada kiri melemah
P: sonor
A: bronkial, ronchi +/+, wheezing -/-
Pemeriksaan sistem kardiovaskuler
I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis teraba
P: pekak di batas-batas jantung
A: irama jantung reguler
10) Pemeriksaan abdomen
I: perut simetris
P: hepar tidak teraba
P: timpani
A: bising usus normal
11) Pemeriksaan genetalia
I: genitalia bersih, dan terpasang kateter
12) Pemeriksaan integument
I: turgor kulit kurang baik, warna kulit pucat
13) Pemeriksaan anggota gerak/ ekstremitas
I: terpasang IVFD NaCl 0,9 % di tangan kiri dan syrimp pump , CRT
>2 detik, akral teraba dingin
P: teraba udem pada ekstremitas atas dan bawah

f. Data Psikologis
1) Status Emosional
Pasien mampu untuk mengontrol emosinya
2) Kecemasan
Pasien terlihat agak cemas namun masih dalam batas wajar
3) Pola Koping
Koping pasien baik dan optimis penyakitnya dapat disembuhkan
4) Gaya Komunikasi
Pasien dapat mengungkapkan perasaannya dan keluhannya dengan
baik
5) Konsep diri (gambaran diri, harga diri, peran, identitas, ideal diri)
Pasien merupakan seorang suami dan ayah yang dikenal baik dan
bertanggung jawab dalam keluarganya. Namun pasien agak merasa
kasihan kepada keluarganya karena harus merawatnya.

g. Data Sosial

Pasien merupakan seseorang yang senang bersosialisasi dengan orang lain.


Keluarga pasien mengatakan pasien memiliki hubungan yang baik dengan pasien
dan tenaga kesehatan yang ada seperti dokter dan perawat.

h. Data Spiritual
Pasien merupakan seorang muslim dan berkeyakinan bahwa Allah akan
memberikan kesembuhan kepadanya.

i. Data Penunjang
Hasil pemeriksaan hematologi tanggal 13 mei 2017
Gula darah sewaktu : 112 mg/dl (<200mg/dl)
Hemoglobin : 9,5 g/dl (14-18 g/dl)
Hematokrit : 29 % (40-48 %)
Trombosit : 403.000/mm3 (150.000-400.000/mm3)
Leukosit : 6.600/mm3 (5.000-10.000/mm3)
Kalsium : 8,4 mg/dl (8,1-10,4 mg/dl)
Natrium : 121 Mmol/L (136-145 Mmol/L)
Kalium : 4,1 Mmol/L (3,5-5,1Mmol/L)
Ureum darah : 22 mg/dl (10,0-50,0 mg/dl)
Kreatinin darah : 0,5 mg/dl (0,6-1,1 mg/dl)
Total Protein : 5,5 g/dl (6,6-8,7 g/dl)
Albumin : 2,7 g/dl (3,8-5,0 g/dl)
Globulin : 2,8 g/dl (1,3-2,7 /dl)
Bilirubin total : 0,5 mg/dl (0,3-1 mg/dl)
SGOT : 51 u/l (<38 u/l)
SGPT : 29 u/l (<41 u/l)

Hasil pemeriksaan analisa gas darah pada tanggal 13 Mei 2017


pH : 7,47 (7,35-7,45)
PCO2 : 25 mmHg (35-45 mmHg)
PO2 : 117 mmHg ( 75-100 mmHg)
HCO3- : 18,2 mmol/L (22-26 mmol/L)

Hasil pemeriksaan analisa gas darah pada tanggal 14 Mei 2017


Ph : 7,40 (7,35-7,45)
PCO2 : 30 mmHg (35-45 mmHg)
PO2 : 61 mmHg ( 75-100 mmHg)
HCO3- : 18,6 mmol/L (22-26 mmol/L)

Hasil pemeriksaan kimia klinik tanggal 15 mei 2017


Hemoglobin : 8,9 g/dl (14-18 g/dl)
Hematokrit : 28 % (40-48 %)
Trombosit : 350.000/mm3 (150.000-400.000/mm3)
Leukosit : 6.290/mm3 (5.000-10.000/mm3)
Natrium : 137 Mmol/L (136-145 Mmol/L)
Kalium : 4,1 Mmol/L (3,5-5,1Mmol/L)
Total Protein : 5,4 g/dl (6,6-8,7 g/dl)
Albumin : 2,2 g/dl (3,8-5,0 g/dl)
Globulin : 3,2 g/dl (1,3-2,7 /dl)
Ureum darah : 30 mg/dl (10,0-50,0 mg/dl)
Kreatinin darah : 0,7 mg/dl (0,6-1,1 mg/dl)

Hasil pemeriksaan analisa gas darah pada tanggal 15 Mei 2017


pH : 7,36 (7,35-7,45)
PCO2 : 45 mmHg (35-45 mmHg)
PO2 : 48 mmHg ( 75-100 mmHg)
HCO3- : 25,4 mmol/L (22-26 mmol/L)

Hasil pemeriksaan kimia klinik tanggal 17 mei 2017


Total Protein : 5,4 g/dl (6,6-8,7 g/dl)
Albumin : 2,9 g/dl (3,8-5,0 g/dl)
Globulin : 2,5 g/dl (1,3-2,7 /dl)

Hasil pemeriksaan kimia klinik tanggal 19 mei 2017


Hemoglobin : 9.6 g/dl (14-18 g/dl)
Hematokrit : 30 % (40-48 %)
Trombosit : 326.000/mm3 (150.000-400.000/mm3)
Leukosit : 5.420/mm3 (5.000-10.000/mm3)

Hasil pemeriksaan mikrobiologi swab tenggorokan tanggal 15 Mei 2017


Hasil : Flora normal
Kesan :tidak ditemukan pertumbuhan kuman patogen

j. Program dan Rencana Pengobatan


IUFD NaCl 0,9 % 12 jam /kolf
Metilprednisolon 2x125 mg
Ceftriaxone injeksi 1x 2 gr
Levofloxacin 1x 750 gr
Cefixime 2x200 mg
Ranitidin 2x1 ampul
Combivent 3x1
Nairet 3x 0,3 cc
Lasix 3mg/jam
Candesartan 1x4 mg
OAT FDC Kat I Fase Intensif

2. ANALISIS DATA
No Data Etiologi Masalah
.
1. DS: Ketidakefektifan Mukus berlebih
Pasien mengatakan batuk yang bersihan jalan nafas
disertai sekret yang sulit
dikeluarkan, dahak berwarna
Kekuningan, mengatakan
sesak nafas dan pasien
merasa sesak meningkat ketika
beraktifitas ringan.

DO :
 Pernafasan
pasien 26 x/i
 Pasien tampak
sesak
 Pasien
menggunakan
otot bantu pernafasan
 Pasien tampak
berusaha mengeluarkan
dahak
 Auskultasi
terdengar
ronkhi
2. DS : Ketidakefektifan Penggunaan otot
Pasien mengatakan sesak pola nafas bantu
nafas pasien mengatakan nafas pernafasan
bertambah sesak seiring
dengan adanya aktifitas
ringan.

DO :
 Pernafasan pasien 26 x/i
 Pasien tampak sesak
 Pasien tampak
menggunakan otot
 Bantu pernafasan
3. DS : Ketidakefektifan Kurangnya suplai
Pasien mengatakan tubuh perfusi jaringan O2
terasa lemah, mengatakan perifer ke sel dan jaringan
kadang terasa pusing.

DO :
 teraba dingin
4. DS : Ketidakseimbangan Kurang asupan
Pasien mengatakan badan nutrisi kurang dari makanan
terasa lemah pasien kebutuhan tubuh
mengatakan BB
terasa turun.
DO :
 Pasien terlihat lemah
 Penurunan BB
kurang lebih 3 kg
 Albumin 2,9 g/dl
 Total protein 5,4
gr/dl
5. DS : Intoleransi aktivitas Ketidakseimbangan
Pasien mengatakan nafas antara suplai dan
terasa sesak, mengatakan kebutuhan oksigen
sesak bertambah dengan
adanya aktifitas ringan, tubuh
terasa lemah, aktifitas di bantu
oleh keluarga dan perawat.

DO :
 Pasien tampak sesak
ketika merubah posisi
 Aktifitas pasien tampak
di bantu oleh keluarga
dan perawat
 Pasien tampak lemah
 Pasien terpasang infus
 Pasien terpasang
kateter
 Pasien terpasang NGT
 Pasien terpasang
oksigen.

6. DS : pasien mengatakan nafas Gangguan Ventilasi-perfusi


terasa sesak pertukaran gas
DO :
 pasien tampak sesak
 RR : 26x/i
 pH : 7,47
 PCO2 : 25 mmHg
 PO2 : 117 mmHg
 HCO3- : 18,2 mmol/L
 Pasien terpasang NRM
 10L/i
3. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
No. Diagnosis Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d Sekresi yang tertahan (D.0001)
2. Pola nafas tidak efektif b.d Penggunaan otot bantu pernafasan (D.0005)
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d Kurang asupan
makanan ( D.0019)
4. Intoleransi aktivitas b.d Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen
(D.0056)
5. Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi-perfusi (D. 0003)

4. INTERVENSI
NO DIAGNOSIS TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
KEPERAWATAN HASIL
1 Bersihan jalan nafas tidak Bersihan jalan nafas pasien Observasi:
efektif b.d Sekresi yang setelah dilakukan tindakan 1. Monitor pola nafas
(frekuensi, kedalaman, usaha
tertahan d.d Sputum keperawatan dalam 3x24 jam
nafas)
berlebihan meningkat 2. Monitor bunyi napas
tambahan
3. Monitor sputum
Kriteria hasil: Terapeutik
a. Produksi sputum 4. Pertahankan kepatenan jalan
menurun
b. Frekuensi nafas napas dengan head-tilt dan chin-
membaik lift
c. Pola nafas membaik 5. Posisikan semi-fowler atau
fowler
6. Berikan minum hangat
7. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
8. Berikan oksigenasi jika perlu
Edukasi:
9. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi:
10. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektor
an, mukolitik, jika perlu
2 Defisit nutrisi b.d Kurang Defisit nutrisi pasien Observasi
asupan makanan d.d setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi status nutrisi
2. Monitor asupan makanan
Penurunan BB kurang keperawatan dalam 3x24
3. Monitor berat badan
lebih 3 kg jam membaik Terapeutik
4. Berikan makanan tinggi
Kriteria Hasil: kalori dan tinggi protein
5. Sajikan makanan secara
a. Porsi makan dihabiskan menarik dan suhu yang
b. BB meningkat sesuai
c. Frejuensi makan Edukasi
meningkat
6. Anjurkan posisi duduk,
jika mampu
Kolaborasi
7. .
3 Intoleransi aktivitas b.d Intoleransi aktivitas pasien Observasi
Ketidakseimbangan antara setelah dilakukan tindakan
1. Monitar kelemahan
fisik dan emosional
suplai dan kebutuhan keperawatan dalam 3x24 jam
2. Identifikasi gangguan
oksigen d.d (D.0056) membaik fungsi tubuh yang
Kriteria hasil : Terapeutik

a. Frekuensi nafas 3. Lakukan latihan


membaik tentang gerak pasif dan aktif
b. Kelulahan lelah 4. Sediakan lingkungan
menurun yang nyaman dan rendah
c. Kemudahan stimulus
dalam melakukan Edukasi
aktivitas sehari-hari 5. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
6. Anjarkan strategi
untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi
7. Kolaborasi dengan
ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan.

4 Gangguan pertukaran gas Gangguan pertukaran gas Observasi


b.d ventilasi-perfusi d.d pasien setelah dilakukan 1. Monitor frekuensi,
kedalaman, dan upaya napas.
(D. 0003) tindakan keperawatan dalam 2. Monitor pola napas
3. Monitor kemampuan
3x24 jam membaik
batuk efektif
Kriteria hasil : 4. Monitor adanya
produksi sputum
5. Auskultasi bunyi
napas.
Terapeutik
6. Atur interval
pemantauan respirasi sesuai
kondisi pasien
Edukasi
7. Jelaskan tujuan dan
prosedure pemantauan
5 Gangguan pertukaran gas
b.d ventilasi-perfusi d.d
5. IMPLENTASI
TANGGAL/HARI NO. TINDAKAN KEPERAWATAN PARAF
DIAGNOS
A
19-05-2017 1,2,3,4,5 OBSERVASI
Lakukan terapi Polanafas, bunyi nafas tambahan, sputum.
Memberikan Status nutrisi
Memenuhi kecukupan Asupan Makanan
TERAPIUTIK
Memberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein

EDUKASI
KOLABORASI

1. EVALUASI
BAB III
TELAAH JURNAL I

Judul : Characterisation of patients with chronic obstructive


pulmonary disease initiating single-device inhaled
corticosteroids/long-acting β2-agonist dual therapy in a
primary care setting in England

Abstrak :

Introduction Treatment pathways of patients with chronic obstructive


pulmonary disease (COPD) receiving single-device dual therapies in
England remain unclear. This study describes the characteristics of
patients with COPD before initiating treatment with a single-device
inhaled corticosteroid/long-acting β2-agonist (ICS/LABA) in primary care
in England.

Methods This is a retrospective, descriptive study of linked primary and


secondary healthcare data (Clinical Practice Research Datalink Aurum,
Hospital Episode Statistics). Patients with COPD were indexed on first
prescription of fixed-dose, single-device ICS/LABA (June 2015–
December 2018). Demographics, clinical characteristics, prescribed
treatments, healthcare resource use (HCRU) and direct healthcare costs
were assessed over 12 months pre-index. Incident users (indexed on first
ever prescription) could be non-triple users (no concomitant long-acting
muscarinic antagonist at index); a subset were initial maintenance therapy
(IMT) users (no history of pre-index maintenance therapy).

Results Overall, 13 451 incident users (non-triple users: 7448, 55.4%;


IMT users: 5162, 38.4%) were indexed on beclomethasone
dipropionate/formoterol (6122, 45.5%), budesonide/formoterol (2703,
20.1%) or Other ICS/LABA combinations (4626, 34.4%). Overall, 20.8%
of incident users had comorbid asthma and 42.6% had ≥1 moderate-to-
severe acute exacerbation of COPD pre-index. Baseline characteristics
were similar across indexed therapies. At 3 months pre-index, 45.3% and
35.4% of non-triple and IMT users were receiving maintenance treatment.
HCRU and direct healthcare costs were similar across indexed treatments.
Prescribing patterns varied regionally.

Conclusion Patient characteristics, prior treatments, prior COPD-related


HCRU and direct healthcare costs were similar across single-device
ICS/LABAs in primary care in England. A high proportion of patients
were not receiving any respiratory medication pre-index, indicating that
prescribing in primary care in England is more closely aligned with
national guidelines than global treatment strategies. Comorbid asthma may
have influenced prescribing decisions. Less than half of users had preindex
exacerbations, suggesting that ICS/LABA is not being prescribed
principally based on exacerbation history.

a. Ringkasan Jurnal
1. Susunan pertanyaan klinis

P : Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD)

I : Incident users non-triple, IMT users: were indexed on beclomethasone


dipropionate/formoterol,  budesonide/formoterol, or Other ICS/LABA
combinations, or Other ICS/LABA combinations.
C : In total, 78 245 patients were prescribed single-device
ICS/LABA during indexing and met the eligibility criteria. Of these,
64 794 (82.8%) were prevalent users and 13 451 (17.2%) were
incident users. Among incident users, 7448 (55.4%) were non-triple
users (BDP/FOR : n=3601; BUD/FOR :n=1432;Other
ICS/LABAcombinations: n=2415) and 5162 (38.4%) patients were
IMT users (BDP/FOR: n=2427; BUD/FOR: n=1056; Other
ICS/LABA combinations: n=1679) (table1andonline supplemental
figure S1).
O : Overall, 13 451 incident users (non-triple users: 7448, 55.4%;
IMT users: 5162, 38.4%) were indexed on beclomethasone
dipropionate/formoterol (6122, 45.5%), budesonide/formoterol
(2703,20.1%) or Other ICS/LABA combinations (4626, 34.4%).
Overall, 20.8% of incident users had comorbid asthma and 42.6% had
≥1 moderate-to- severe acute exacerbation of COPD pre-index.

2. Bukti terkini
3. Telaah kritis
V : This is a retrospective, descriptive study of linked primary and
secondary healthcare data (Clinical Practice Research Datalink
Aurum, Hospital Episode Statistics). Patients with COPD were
indexed on first prescription of fixed-dose, single-device ICS/LABA
(June 2015– December 2018). Demographics, clinical characteristics,
prescribed treatments, healthcare resource use (HCRU) and direct
healthcare costs were assessed over 12 months pre-index. Incident
users (indexed on first ever prescription) could be non-triple users
(no concomitant long-acting muscarinic antagonist at index); a subset
were initial maintenance therapy (IMT) users (no history of pre-index
maintenance therapy).

I : Overall, 13 451 incident users (non-triple users: 7448, 55.4%;


IMT users: 5162, 38.4%) were indexed on beclomethasone
dipropionate/formoterol (6122, 45.5%), budesonide/formoterol
(2703, 20.1%) or Other ICS/LABA combinations (4626, 34.4%).
Overall, 20.8% of incident users had comorbid asthma and 42.6%
had ≥1 moderate-to-severe acute exacerbation of COPD pre-index.
Baseline characteristics were similar across indexed therapies. At 3
months pre-index, 45.3% and 35.4% of non-triple and IMT users were
receiving maintenance treatment. HCRU and direct healthcare costs
were similar across indexed treatments. Prescribing patterns varied
regionally.

A : This study retrospectively assessed the characteristics of patients


with COPD receiving ICS/LABA therapy in a primary care setting in
England. Overall, in the 12 months prior to index, demographics and
clinicalcharacteristics in this patient population were generally similar
across indexed therapies. Compared with those receiving BDP/FOR or
BUD/FOR, incident users indexed on Other ICS/LABA combinations
appeared to have more severe disease based on their history of
moderate/severe AECOPD and GOLD 2019 categorisation.
Patients who had received ICS/LABA therapy prior to index (prevalent
users) also showed evidence of more severe disease and had a higher
prevalence of comorbidities (including asthma) than those who had not
received ICS/LABA therapy prior to index (incident users).

4. Terapkan pada pasien


Overall, 55.5% of incident patients were not receiving an inhaled
COPD therapy at 12 months prior to index, decreasing to 43.1% at 3
months. Short-acting bronchodilators and ICS monotherapy were the
most frequently prescribed treatments among patients receiving
inhaled therapy (figure 2A,B). Treatment pathways were similar across
indexed therapies, with patients indexed on BDP/FOR comprising the
greatest proportion of those prescribed ICS monotherapy at 3 months
pre-index. Treatment patterns were generally similar at all other time
points between non-triple and IMT users and across indexed therapies
(online supplemental figure S3).

5. Evaluasi kinerja
This real-world study showed that patients with COPD initiating
single-device ICS/LABA therapy in England had similar clinical
characteristics, HCRU and direct healthcare costs across indexed
therapies. Real-world prescribing in England appears to be more
closely aligned with national guidelines than GOLD treatment
strategy, although asthma may have influenced prescribingdecisions.
Less than half of incident users had anexacerbation during the baseline
period, suggesting thatICS/LABA is not being prescribed principally
based onexacerbation history, even though the primary role of ICS
treatment in patients with COPD is to reduce the risk of exacerbations.
These findings can help inform the design of future studies comparing
the effectiveness of different single-device dual-inhaler therapies.
BAB III
TELAAH JURNAL
BAB IV
PEMBAHASAAN
1
2
3
4
Daftar Pustaka
Alihar, F. (2018). No Title39–37 ,66 ,‫ עלון הנוטע‬.‫ תמונת מצב‬:‫ענף הקיווי‬.
https://www.fairportlibrary.org/images/files/RenovationProject/C
oncept_cost_estimate_accepted_031914.pdf
Andika, M., Sastra, L., Amelia, W., Alisa, F., Despitasari, L., Desnita,
R., Sapardi, V. S., Yazia, V., & Awaliyah, P. (2021). Penyuluhan
Acbt (Active Cycle of Breathing Technique) Dapat Mengurangi
Sesak Napas Pada Pasien Ppok Di Poli Klinik Paru Rsud
Sijunjung. Jurnal Abdimas Saintika, 3(1), 23.
https://doi.org/10.30633/jas.v3i1.1075
Anggraeni, D. (2019). MAKALAH Askep PPOK. In Kelompok 3.
https://www.academia.edu/40625041/MAKALAH_Askep_PPOK
Astriani, N. M. D. Y., Dewi, P. I. S., & Yanti, K. H. (2020). Relaksasi
Pernafasan dengan Teknik Ballon Blowing terhadap Peningkatan
Saturasi Oksigen pada Pasien PPOK. Jurnal Keperawatan
Silampari, 3(2), 426–435. https://doi.org/10.31539/jks.v3i2.1049
Handiyani, H. (2017). Keselamatan dalam Asuhan Keperawatan.
Sari, et. a. (2021). Penyakit Paru Obstruktif Kronis: Laporan Kasus.
448–461.
Sinaga, W. S. (2020). Pentingnya Ketepatan Diagnosa Keperawatan
Dalam Keberhasilan Asuhan Keperawatan. Osf, 1–11.
Yulis, & Wahyuni. (2019). Hubungan Derajat Sesak.
Lampiran (jurnal asli dan ppt)

Anda mungkin juga menyukai