Abstrak
A. Latar Belakang
1
dan tersusun dalam kesatuan bahkan Al-Quran terkandung ilmu pengetahuan yang
sangat luas. Salah satu persoalannya yakni tentang praktik Ibadah.
Ada hal yang tak dapat kita pungkiri, yakni tentang perbedaan. Hal yang
berbeda dalam hidup ini sangatlah beraneka ragam. Bahkan sikap masyarakat
dalam menghadapinya pun berbeda-beda. Lazimnya sebuah perbedaan bukanlah
tolak ukur dalam bersikap, namun penting kiranya untuk mengetahui perbedaan
pelik dalam sebuah problema kehidupan. Salah satu yang menarik perhatian adalah,
perbedaan praktik dalam beribadah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor-faktor terjadinya konlfik di Thailand Selatan?
2. Bagaimana perjalanan sejarah masuknya Islam di Thailan Selatan?
3. Bagaimana corak kehidupan masyarakat muslim di Thailand Selatan?
2
C. Metode Penelitian
D. Pembahasan
1. Thailand Selatan
1
Abdurrahmat Fathoni, Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2006), hlm. 95
3
yang diantaranya adalah Wilayah Narathiwat, Wilayah Pattani, Wilayah
Yala, Wilayah Songkhla dan Wilayah Satun. Mayoritas penduduknya adalah
orang Melayu dan beragama Islam meskipun Thailand diperintah oleh
kerajaan Buddha.2
Muslim Thailand juga sama seperti di Sri Lanka dan Burma, merupakan
tiga contoh negara di dunia di mana komunitas minoritas Muslim yang tinggal
di negara yang mayoritas Buddha.3
2
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Thailand_Selatan diakses pada tanggal 20 Oktober
2019.
3
Imtiyaz Yusuf, “Religious Diversity in a Buddhist Majority Country”, dalam International
Journal of Buddhist Thought & Culture, Vol. 3, September 2003, hal. 2.
4
Ahmad Suhaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai: Peran Civil Society
Muslim di Thailand Selatam & Filipina Selatan, (Jakarta: Puslitbang Lektur dam Khazanah Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2012), hal. 42.
4
Pada masa paling awal datangnya Islam ke wilayah Thailand Selatan
atau Patani atau Asia Tenggara pada umumnya sekitar abad ke-14 sampai abad
ke-17, hampir tidak ada konflik antara Muslim di Kesultanan Patani dan umat
Buddha disekitarnya. Kalau pun ada konflik dan perang pada saat itu adalah
untuk saling menaklukkan dan menguasai tetapi masing-masing pihak memiliki
kedaulatannya sendiri.
Konflik baru terjadi secara sistematis ketika masa raja Kerajaan Siam,
Chulalongkern (1868-1910). Hal ini terjadi karena ia terpengaruh oleh
nasionalisme Barat, memperkenalkan model negara-bangsa dengan
menerapkan batas wilayah kerajaan secara ketat dimana kawasan Semenanjug
Malaya (Malay Peninsula) atau Patani Raya (Greater Patani) yang semula
dikuasai oleh Kesultanan Patani Islam, dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan
Siam.5
5
Ahmad Suhaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, hal. 55.
5
kepemimpinan kultural atau informal, karena kurangnya kepemimpinan dari
keraton maka mereka pun harus tampil.
Dedi Supriyadi dalam bukunya, Asep Ahmad Hidayat yang dikutip Jaih
Mubarok menjelaskan bahwa sebelum tahun 1801 wilayah Thailand merupakan
wilayah Kesultanan Patani Darussalam (Patani Raya) yang meliputi Pattani
(Thailand Selatan) Trengganu dan Kelantan (Malaysia). Pada tahun 1901
wilayah tersebut dikuasai oleh kerajaan Thailand berdasarkan perjanjian 1902
wilayah Kesultanan patani Darussalam dipecah menjadi dua yaitu Patani
dimasukkan ke dalam wilayah Thailand sedangkan Terengganu dan Kelantan
dimasukkan ke dalam wilayah koloni Inggris. Sekarang Terengganu dan
Kelantan merupakan negara bagian dari Malaysia.
6
Ahmad Suhaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, hal. 119-121.
6
berdaulat dan merdeka. Dalam arti mempunyai struktur politik, sosial, budaya
dan ekonomi tersendiri. Proses islamisasi mulai masuk ke Patani pasa abad ke-
12 M, dan mulai diresmikan menjadi sebuah negara beragama islam pada abad
ke-15 M. Kerajaan Melayu Patani telah mencapai puncak keagungannya pada
zaman pemerintahan raja-raja perempuan (1584-1624) dan berakhir pada zaman
pemerintahan raja Kuning (1635-1688), Patani mulai merosot. Patani dalam
masa yang sedang menghadapi kekacauan politik, siam sedang berperang
dengan burma.
Pada tahun 1900, setelah dua tahun Raja Abdul Kadir menjabat sebagai
raja Patani. Ia mempunyai hak dan kuasa penuh atas Patani, tapi pada kenyataan
nya Raja Abdul Kadir tidak mempunyai kekuasaan sepenuhnya.
7
Rosana Jehma, dkk, “The Nationalism Movement of Islam for Independence of Pattani
Southern Thailand (1902-1945)” dalam Jurnal Historica Vol. 1 2017, hal. 69.
7
Pada masa pemerintahan Pibul Songkram (1938-1948), muncul tuntutan
otonomi bangsa Melayu Patani yang dipimpin oleh Haji Sulong, seorang ulama
kharismatik yang pernah bermukim di Mekkah. Haji Sulong menuntut tujuh
persoalan yang harus dipenuhi oleh pemerintah yaitu :
8
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008) hal. 212-215.
8
Surin Pitsuwan membagi masyarakat Melayu Patani ke dalam dua
kategori yakni abangan dan santri. Golongan abangan, yaitu golongan muslim
marginal yang mengutamakan ritual-ritual dan praktek animisme, adapun
golongan santri yaitu golongan muslim yang lebih berpengetahuan dan menaruh
perhatian terhadap kemurnian ajaran agama, tetapi dalam konteks masyarakat
Melayu Patani hal tersebut dinyatakan dengan istilah orang 'alim dan orang
'awam.
Kebudayaan Melayu Patani didasarkan oleh nilai-nilai Islam yang
menjadi pondasi bagi mereka. Sehingga memberikan pengaruh bagi jalannya
perkembangan pemikiran. Melayu Patani yang didasari oleh nilai-nilai Islam
telah menciptakan suatu kesadaran baru mengenai identitas etnis yang
membedakan orang Melayu Patani dari orang Siam atau Thai-Budha.
Nilai Islam merupakan unsur penting bagi identitas kebudayaan Melayu
Patani, dan menganggap aturan hukum Islam sebagai aturan yang mengikat
secara moral. Seperti yang diajarkan dalam agama Islam, hidup berkeluarga dan
berkerabat, saling tolong menolong. Dengan demikian melahirkan kehidupan
masyarakat Melayu Patani yang memiliki kesadaran keagamaan dan
kebudayaan.
Di sisi lain, kebudayaan asing dengan pengaruh era globalisasi
(kebudayaan Barat) tersebar dan semakin memperoleh tempat di kalangan
masyarakat Melayu Patani di Thailand Selatan, terutama di kalangan generasi
mudanya. Dampak gaya hidup modern, penggunaan bahasa dalam komunikasi
dengan bahasa Thai, berpakaian ala Barat yang sama sekali tidak
menggambarkan ciri-ciri kebudayaan Islam Melayu.
Walaupun generasi-generasi baru sudah banyak terpengaruh dengan
kebudayaan Thailand, terutama dalam mengguna bahasa Thai, tetapi dapat
menunjukkan bahwa bahasa Melayu tetap terjaga dalam masyarakat. Dalam
mewariskan bahasa Melayu yang menjadi peninggalan bernilai bagi masyarakat
Melayu Patani, para pemimpin agama dan pemimpin masyarakat telah memberi
kesadaran bagi masyarakat untuk menjaga kebudayaan Melayu, sehingga
terdapat pepatah Melayu "basa nayu adalah jiwa bagi bangsa nayu" (Bahasa
Melayu adalah Jiwa Bagi Bangsa Melayu).
Bahasa Melayu merupakan simbol nasionalisme terpenting, sehingga
nasionalisme Melayu tidak bisa digambarkan tanpa bahasa Melayu. Dengan
9
kehilangan bahasa, maka jati diri bangsa itu juga akan hilang pula, seperti dalam
pepatah di kalangan masyarakat Melayu Patani yang mengatakan "hilangnya
bahasa lenyaplah bangsa, musnah agama".
Dalam struktur kepemimpinan dalam masyarakat Melayu Patani,
kepemimpinan terdiri dari kalangan para ulama. Mereka berperan dalam hal
keagamaan dan diberikan kepercayaan oleh masyarakat, serta berperan penting
dalam melaksanakan berbagai tugas dan aktivitas bersama.9
b. Sosial Politik
9
Mr. Ilham Nuereng, “Dinamika Bernegara Masyarakat Muslim Thailand Selatan dalam
Perspektif Sosiologi Politik Islam” dalam Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol. 5, No. 2, Mei
2016, hal. 16-19.
10
memperingatkan pemerintah apabila pemerintah tidak menjalankan urusan
negara atas nama kebaikan rakyat.
10
Mr. Ilham Nuereng, “Dinamika Bernegara Masyarakat Muslim Thailand Selatan dalam
Perspektif Sosiologi Politik Islam”, hal. 7.
11
Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa pemerintah pusat Thailand,
setelah tahun 2004 yang merupakan tahun puncak kekerasan di Patani, telah
terjadi pergeseran yang cukup signifikan. Misalnya, alokasi dana yang cukup
besar untuk pendidikan dan pembangunan infrastruktur, pemilihan kepala
daerah secara langsung di tingkat dua (distrik), serta adanya jabatan Chief
Executive of the Provincial Administration Organisation. Jabatan itu ialah
sebuah jabatan di bawah gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat dan
bertanggung jawab terhadap anggaran dan program-program pemerintah
provinsi. Sedangkan masalah politik dan keamanan masih di bawah tanggung
jawab gubernur yang ditunjuk langsung oleh menteri.
Politik integrasi yang diikuti oleh politik asimilasi ini telah direspon
negatif oleh orang-orang Islam Melayu. Meskipun demikian, Pemerintah tidak
menghiraukan reaksi ini. Ia bahkan telah memperkenalkan pengajaran bahasa
Thai, sejarah dan lagu nasional kepada mereka (Forbes, 1980: 22) sebagai
bagian dari langkah-langkah yang diambil untuk menerapkan politik integrasi,
terutama setelah tahun 1932. Akan tetapi politik tersebut dianggap tidak
berhasil. Karenanya, Phibul Songkram yang memerintah pada 1938 berusaha
untuk menekankan pelaksanaan politik ini secara lebih tegas lagi. Langkah-
langkah integrasi dan asimilasi yang dia ambil telah menyentuh cakupan yang
lebih luas dari kehidupan orang-orang Melayu, sehingga perasaan terancam
telah berkembang dan meluas dalam diri mereka. Bagi orang-orang Islam
11
Ahmad Suhaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, hal. 65-69
12
Melayu, integrasi dan asimilasi merupakan politik intervensi yang
membahayakan mereka, karena hal itu akan menggoyang identitas kultural
mereka. Itulah sebabnya, makin efektif politik ini diterapkan makin besar pula
perasaan terancam tumbuh di kalangan orang-orang Islam Melayu.12
12
Endang Turmudzi, “Akar Konflik Etnik dan Agama di Thailand Selatan”, dalam Jurnal
Harmoni, Volume IX No. 34, April-Juni 2010, hal. 34.
13
Mr. Ilham Nuereng, “Dinamika Bernegara Masyarakat Muslim Thailand Selatan dalam
Perspektif Sosiologi Politik Islam” hal. 19-22.
13
menerima program pemerintah dan karena itu lebih maju sedangkan yang
tradisional cenderung menolak program pemerintah sehingga relatif lebih
tertinggal, baik dari segi kurikulum pendidikan maupun pembangunan dan
kesejahteraan. Temuan Ahmad Suhaedy dalam penelitian ini berbeda dengan
MC Cargo dalam kategorisasi ini. Kelompok yang disebut tradisional
dikatakannya adalah mereka yang masih memelihara tradisi dalam Islam
domestik dan kearifan lokal maka mereka memang terbagi dua yaitu mereka
yang menerima program pemerintah dan mereka yang selektif atau bahkan
menolak sama sekali program pemerintah. Karena itu yang disebut terakhir itu
memang benar cenderung tertinggal dari segi pembangunan dan
pengembangan. Mayoritas sangat besar masyarakat Melayu Muslim di Selatan
adalah mereka yang oleh MC Cargo disebut tradisional tersebut. Jadi mereka
yang disebut tradisional memang terbagi dua yaitu mereka yang bersedia
menerima program pemerintah dengan kurikulum umum (akademik) untuk
sekolah dengan menerapkan kurikulum ganda yaitu agama dan umum.
Sedangkan sebagian yang lain mereka bersikap selektif atau menolak sama
sekali. Bagi mereka yang menerima seluruh kurikulum dari pemerintah
semuanya dalam bahasa Thai termasuk mata pelajaran agama, dan mata
pelajaran agama hanya dua jam seminggu. Namun biasanya mereka menambah
sendiri kurikulum agama dengan bahasa Melayu dan tulisan Jawi di siang hari.
Model Pesantren semacam ini masuk dari jam 08.00 pagi sampai jam
15.30 sore. Sementara pagi hari dipakai untuk pelajaran umum, maka siang
harinya untuk pelajaran agama. Menurut perkiraan sejumlah informan dari
kalangan pesantren sendiri, pesantren yang masih bertahan dalam sistem lama
hanya mengajarkan agama pelajaran agama 70% dan umum 30%. Di luar jenis
pesantren ini adalah pesantren yang memiliki pemahaman agama tradisional
tetapi memiliki sistem modern dengan kurikulum ganda. Tercatat dalam
penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Suhaedy, pesantren tradisional cukup
besar yaitu Darus Sat di Distrik Saeburi, Provinsi Pattani dengan murid sekitar
4500 orang putra dan putri, Sekolah Sasnupatam atau Ma'had at Tarbiyah
dengan murid sekitar 2500 orang putra putri di Distrik Muang, Kota Pattani dan
Darussalam School dengan santri sekitar 5500 orang putra-putri di Kota
Narathiwat sepenuhnya mengikuti kurikulum pemerintah dalam pendidikan
14
umum di pagi atau sore hari. Sementara itu, di pagi atau sore lainnya diberi
pendidikan khusus agama atau kajian Alquran dan kitab agama atau Jawi (istilah
untuk Kitab Kuning) dengan bahasa Melayu dengan tulisan Roma dan Jawi.
Semua subsidi dari pemerintah itu memang untuk semua mata pelajaran
termasuk agama islam tetapi dalam bahasa Thai, sedangkan untuk bahasa Arab
dan Melayu dengan tulisan Roma maupun Jawi disisihkan sejumlah dana dari
subsidi ini untuk menyewa sejumlah guru. Meskipun kini ada kelonggaran
dalam pengajaran bahasa Melayu dan tulisan Jawi dari pemerintah pusat tetapi
hingga kini belum ada budget khusus dan belum terbentuk kurikulum sehingga
pesantren-pesantren tersebut harus menyusun kurikulum sendiri. Menurut guru
bahasa Melayu Dar Sat yang juga dosen bahasa Melayu Prince of Songkhla
University Pattani Campus, Djusmalinar, tidak mudah mengajarkan bahasa
Melayu kepada mereka karena bahasa itu masih digunakan dengan bahasa
keseharian dan belum ada standar baku sehingga harus mencari-cari standar
baku terlebih dahulu.14
14
Ahmad Suhaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, hal. 136-138.
15
Konflik baru terjadi secara sistematis ketika masa raja Kerajaan Siam,
Chulalongkern (1868-1910). Hal ini terjadi karena ia terpengaruh oleh
nasionalisme Barat, memperkenalkan model negara-bangsa dengan
menerapkan batas wilayah kerajaan secara ketat dimana kawasan Semenanjug
Malaya (Malay Peninsula) atau Patani Raya (Greater Patani) yang semula
dikuasai oleh Kesultanan Patani Islam, dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan
Siam. 55
16
namun memiliki penguasaan agama yang kuat, sehingga pengaruhnya meluas
di masyarakat.15
Semua orang muslim Thai di provinsi-provinsi tengah dan utara ini telah
mengalami proses sosialisasi yang seragam melalui pendidikan, media, dan
institusi-institusi Thai lain. Secara umum, di samping keyakinan dan praktik
kegamaan mereka, muslim ini telah banyak menerapkan banyak norma dan
kebiasaan budaya Thai, menikah dengan penduduk Thai, yang beragama
Budha, dan tidak dianggap berhubungan dengan aktivitas separatis atau
iredentis dari kalangan muslim Melayu di daerah selatan. Bagi muslim Melayu
di daerah selatan yang disebutkan ini, kini menyebut wilayah mereka, sebagai
Patani Darussalam atau Patani Raya. Berdasarkan sensus kependudukan di
Thailand untuk tahun 2002, menunjukkan bahwa jumlah penduduk negara ini
adalah 62.354.402 jiwa. Dari populasi ini, John Esposito menyatakan bahwa
kira-kira 54 juta di antaranya adalah muslim, dan memiliki 2.300 masjid. Ini,
berarti bahwa jumlah muslim Thailand berdasarkan sensus terakhir adalah 4%
dari jumlah populasi penduduk. Perlu ditegaskan bahwa bahwa eksistensi
muslim di Thailand masih merupakan kelompok minoritas dalam kerajaan,
meskipun jumlah muslim yang besar terkonsentrasi provinsi-provinsi bagian
selatan. Jumlah muslim selebihnya, tersebar di seluruh kerajaan di wilayah-
wilayah Thailand tengah dan Thailand utara.16
a. Bidang Politik
Monarki konstitusional merupakan gambaran sistem politik Thailand
secara historis. Pemerintahan Buddha sekuler di adopsi dalam membentuk
Negara ini dengan sistem semi-demokrasi. Thailand mengikuti model
demokrasi komunitarian, yang ditandai dengan stabilitas, perdamaian dan
ketertiban, penegakan nilai-nilai moral dan budaya dan prioritas kepentingan
15
Ahmad Suhaedy, Dinamika Minoritas Muslim Mencari Jalan Damai, hal. 119-121.
16
Mr. Ilham Nuereng, “Dinamika Bernegara Masyarakat Muslim Thailand Selatan dalam
Perspektif Sosiologi Politik Islam”, hal. 16-19
17
komunitarian. Melalui model ini memungkinkan kaum Muslim Thailand untuk
menentukan pengembangan relasi mereka sendiri. Hubungan dengan umat
Buddha merupakan upaya dalam menjaga eksistansi umat beragama.17
Pemerintah Thailand melakukan kebijakan politik secara tidak merata,
tindakan ini mereka lakukan dengan dua tahap, yaitu: Pertama, menaklukan
Patani kemudian menggabungkan kerajaan Patani sebagai suatu wilayah berada
di bawah perlindungan kerajaan Siam Thai, dan kerajaan Patani harus
mengantar bunga emas, dan diberi status sebagai negara yang otonomi di bawah
naungan kerajaan Siam Thai (1902-1938). Kedua, melaksanakan politik yaitu,
dalam system pemerintahan Negara Thailand patani dijadikan suatu wilayah
dibawah konstitusi kerajaan, dan tidak dapat dipisahkan lagi di bawah dasar
kesatuan Negara thailand.
Kebijakan politik dalam menggabungkan Thailand terjadi dengan tidak
melibatkan pihak Patani. Setelah sejak awal dianeksasi, kemudian wilayah
intern Patani dirombak berdasarkan kebijakan reformasi administratitif yang
dimulai tahun1902. Maka untuk mematahkan kembali kekuatan Melayu Patani,
wilayah patani yang telah di bagi menjadi tujuh provinsi kemudian menjadi
empat provinsi yang lebih besar, yakni Patani, Bangnara, Saiburi dan Yala.
Setelah negeri Patani besar jatuh dan ditaklukan oleh kerajaan Thailand, dan
merubahkan sistem negeri yang berkerajaan menjadikan provinsi dari Siam
Thailand Dalam ranah politik dan pemerintahan, pemerintah Thailand
mengubah wilayah patani menjadi sebuah provinsi, sekaligus mengubah
struktur pemerintahan Patani yang awalnya berbentuk kesultanan atau raja-raja,
menjadi dibawah pengawasan gubenur yang di tunjuk oleh pemerintahan pusat
Thailand di Bangkok.18
Dari sudut politik, Thailand selatan sudah lama mengalami konflik yang
mengakibatkan hadirnya pemberontak dikalangan melayu dengan tujuan untuk
merebut kembali kemerdekaan patani. Pada awalnya pemberontakan di kepalai
oleh kelompok dari istana yang berjuang untuk mengembalikan semua tahta
kesultanan yang dikuasai oleh kerajaan siam. Namun hal tersebut tidak berhasil
17
Abdul Matin Bin Salman, Pemikiran Dan Model Gerakan Islam Minoritas Thailand,”
Laporan Penelitian (IAIN Surakarta, 2015), hal. 30.
18
Naslan Wadeng, “Konflik Sosial Pada Masyarakat Melayu Patani Di Thailand Selatan,”
Skripsi (Lampung: Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Raden Intan, 2018), 80-82
18
karena kerajaan Thailand menetapkan “jabatan sultan Melayu. Patani tidak lagi
memiliki sultan namun telah diganti dengan jabatan Gubernur. Walaupun hal
tersebut sudah ditetapkan, pemberontakan masih saja berlangsung. Kali ini,
mayoritas pemberontak dipimpin oleh golongan Agama. Hal ini dikarenakan
kerjaan Thailand ingin menghapuskan hukum syariat Agama dan diganti
dengan hukum aturan sipil. Mereka menganggap kesucian ajara Islam yang
mereka amalkan telah di cabuli. Golongan ini masih teguh hingga hari ini
bahkan di sambung dari generasi ke generasi.19
Sejarah politik masyarakat Melayu Patani secara definitif dimasukkan
di bawah kekuasaan kerajaan Thailand. Kedudukan masyarakat Melayu Patani
merupakan suatu golongan minoritas yang terjebak di tengah pergerakan dan
kebangkitan ideologi aksi politik yang dihadapkan pada dua dilema. Bagi
masyarakat Melayu Patani hanya ada dua pilihan yaitu pertama menyesuaikan
diri secara pasif, suatu hal yang sangat tidak menyenangkan, mengingat
karekteristik keagamaan dan kebudayaan mereka, dan kedua; menentang
dengan berbagai aksi protes dan perlawanan. Agama dan budaya merupakan
suatu simbol yang terpenting dalam memberi aspirasi dan berfungsi sebagai
suatu bangsa yang dikuasai oleh bangsa lain, yang di dalam masyarakat Melayu
Patani tetap muncul dalam kesadaran sikap perlawanan.20
Masyarakat muslim melayu mengadakan perlawanan terhadap
pemerintah yang melahirkan sejumlah organisasi seperti Pattani United
Liberation Organization (PULO) dan Barisan Nasional Pembebasan Pattani
(BNPP).19 Organisasi ini, berusaha keras memperjuangkan wilayah Thailand
selatan untuk mendapat otonomi. Strategi pemerintah dalam mengantisipasinya
adalah dengan memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan
ajaran agama serta mengajak masyarakat muslim melayu untuk berperan dalam
membangun Negara Thailand.21
b. Bidang Ekonomi
19
“Che Mohd Aziz Bin Yaacob, “Konflik Pemisah Di Selatan Thailand:Isu, Aktor Dan
Penyelesaian” Tesis (Malaysia: Universiti Sains Malaysia, 2009), hal. 4-6.
20
Mr. Ilham Nuereng, “Dinamika Bernegara Masyarakat Muslim Thailand Selatan dalam
Perspektif Sosiologi Politik Islam”, hal. 319-320.
21
“Sanurdi, Islam di Thailand”, Jurnal Studi Islam, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018)
hal. 385-386.
19
Kebijakan dalam membaurkan Patani ke dalam wilayah Thailand juga
melalui pendekatan pada kebutuhan ekonomi. Hal ini dilakukan, agar Negara
memiliki pendapatan yang cukup dan memiliki sunber tenaga untuk medukung
pertahan Negara. Berdasarkan tujuan inilah dapat diketahui, jika tahapan
adaptasi yang dilakukan Siam adalah untuk penguatan dan pengembangan
ekonomi.
Pemerintahan Thailand menggunakan politik Eksploitasi dibidang
ekomoni, melakukan penindasan ekomoni terhadap bangsa atau masyarakat
Melayu Patani, yaitu mengeksploitasi semua sumbar daya alam di patani,
penindasan ini dilakuakn dengan politik monopolistik demi kepentingan
golongan mereka dan untuk pembangunan kerajaan Siam Thai di Bangkok.
Ekonomi dan kemiskinan di anggap sebagai salah satu Faktor terjadinya konflik
antara Masyarakat dan pemerintahan Thailand. Meskipun Wilayah Thailand
Selatan merupakan tempat yang kaya akan senbur alamnya, tapi masih banyak
masyarakat Melayu Patani dibawah garis-garis kemiskinan. Pemerintah
Thailand melakukan diskriminasi keatas bangsa melayu Patani dan memhisap
kekayaan alam di Patani dengan cara pelahan dan tidak di sadari oleh bangsa
melayu Patani dengan merampas kekayaan bumi, kekayaan laut, emas dan lain
sebagainya. Pemasaran hasil bumi tidak dilakukan secara merata sehingga
menyebabkan terjadinya kemiskinan.22
c. Bidang kebudayaan
Ketika wilayah Patani dikuasai oleh penguasa Thailand dan pelaksanaan
program-programnya, yang bermaksud mengubah simbol-simbol unik, yaitu
agama Islam, budaya dan pendidikan Melayu Patani, yang membedakannya
dengan seluruh etnis penduduk di negara Thai-budha. Berulang-kali terjadi
protes dan perlawanan bersenjata, melawan penguasa Thailand, yang mencoba
menghilangkan atau menggeser simbol-simbol tersebut.23
Perdana menteri ke 3 Pemerintah Thailand menggunakan kebijakan
asimilasi merupakan salah satu cara penghancur dan mempersiapkan
kebangsaan Melayu, keturunan, sosial dan kultural. Politik ini dengan
22
“Naslan Wadeng, Konflik Sosial Pada Masyarakat Melayu Patani Di Thailand Selatan,”
Skripsi (Lampung: Fakultas Ushuluddin dan Studi Agana UIN Raden Intan, 2018), 84-87
23
Mr. Ilham Nuereng, “Dinamika Bernegara Masyarakat Muslim Thailand Selatan dalam
Perspektif “, hal. 301
20
membawa penekanan ke atas Rakyat Melayu patani supaya mengakui atas tiga
konsep berikut, kebangsaan Siam, kewarga negaraan Siam, dan keturunan Thai.
Masyarakat pada saat itu memberikan respon penolakan terhadap 3 wacana
tersebut. Namun pemerintah justru memberi ancaman dan menganggap
penolakan tersebut sebagai perlawanan terhadap kerajaan dan berhak untuk di
cabut kewarganegaraannya.24 Masyarakat melayu menerima budaya dan agama
yang berbeda-beda, hal ini berdasarkan kedatangan dari hindu, majapahit, siam,
dan kolonial belanda. Pedagang muslim yang berdatangan di wilayah Pattani
juga sekaligus mengantarkan dakwah sehingga mereka mengikuti syariat
Islam25
Thailand dengan melalui revolusi kebudayaan, ini menjadi poin pertama
dalam konflik sosial antara masyarakat Melayu Patani dengan pemerintahan
Thailand selepas dari pada Melayu Patani jatuh dari pada jajahan Thailand.
Yaitu salah satu Kebijakan pemerintah yang nasionalis (polisi ratanium) 1938
yang menjadi latar belakang konflik, karena kebijakan tersebut bertujua untuk
mengasimilasi dan juga intergrasi orang Melayu Patani supaya menjadi Thai
yang berlandas Siam tulen dan fasih.
Dapat dipahami bahwa kebijakan Asimilasi itu menjadikan masyarakat
minoritas (masyarakat Melayu Patani) merasa tidak adil dan juga tertindas
dalam kebijakan tersebut karena salah satu masyarakat minoritas harus
dikerbankan atau dihilangkan.ini adalah satu-satunya langkah kerajaan pada
ketika itu yang menyakitkan hati orang-orang Melayu. Orang-orang Melayu
Selatan tidak dibenarkan menggunakan nama Melayu, berpakaian Melayu,
berbicara dan menulis dalam bahasa Melayu serta mempelajari agama Islam.
Dengan hal tersebut memicu kemarahan orang Melayu terhadap pemerintahan
tersebut.kebijakan tersebut memicu faktor lain, seperti faktor bahasa dan agama
yaitu bahasa salah satu media dalam komunikasi sehari hari untuk masyarakat
Malayu Patani dan bahasa akan melahirkan konflik sebab pemerintah Thailand
menetapkan dan menerapkan bahasa Thai pada masayarakat Patani. Mereka
dilarang menggunakan bahasa Melayu, menggunakan pakaian Melayu, menulis
24
Naslan Wadeng, Konflik Sosial Pada Masyarakat Melayu Patani Di Thailand Selatan,” hal.
87-88.
25
Che Mohd Aziz Bin Yaacob, “Konflik Pemisah Di Selatan Thailand:Isu, Aktor Dan
Penyelesaian” Tesis (Malaysia: Universiti Sains Malaysia, 2009), hal. 8-9
21
melayu dan mempelajari Islam. Kebijakan-kebijakan ini yang memicu konflik
yang telah terjadi.26
E. Kesimpulan
26
Naslan Wadeng, Konflik Sosial Pada Masyarakat Melayu Patani Di Thailand Selatan,” hal.
87-89.
22
DAFTAR PUSTAKA
23