Anda di halaman 1dari 13

SUNNAH SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : 1. Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A.
2. Khairul Ihsan, M.SI.

Di Susun Oleh :
1. Suci Rahmawati (11190360000025)
2. Nur Kehafiidh Dea (11190360000040)
3. Sri Hartati (11190360000054)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU HADIS
2021
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya karena kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Adapun dalam penulisan makalah ini, materi yang
akan dibahas adalah “ Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam ”. Makalah ini diajukan guna
memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh.
Dalam kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Prof. Dr. H. Said
Agil Husin Al Munawar, M.A. Dan Khairul Ihsan, M.SI. Selaku dosen mata kuliah Ushul Fiqh
yang telah membantu mengarahkan dan memberi batasan penyusunan materi makalah, serta
terima kasih pula kepada seluruh pihak baik yang secara langsung ataupun yang tidak langsung
telah memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penulisan makalah ini banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun
demi kesempurnaan penulisan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambah
Informasi bagi masyarakat dan bermanfaat bagi penyusun pada khususya juga bermanfaat bagi
yang membacanya. Terima Kasih.

Jakarta, 26 Maret 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
BAB II (PEMBAHASAN)
A. Pengetian Sunah
B. Macam-macam Sunah
C. Fungsi Sunah
D. Kedudukan Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam
BAB III (PENUTUP)
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I (PENDAHULUAN)

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan dan hukum
yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap aturan dan hukum
memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam pelaksanaannya.
Sumber hukum yang datang dari Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui
Rasul-Nya Nabi Muhammad SAW, yakni Al Qur’an Al Kariim. Kemudian sumber
hukum agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits. Al
Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi umat Islam
dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Sunnah atau hadis menempati posisi penting dalam Islam yakni sebagai sumber hukum
kedua setelah al-Qur'an. Tidak semua persoalan keagamaan ditemukan jawabannya di
dalam al-Qur'an. Oleh karena itu, para ulama merujuk kepada sunnah atau hadis sebagai
otoritas hukum kedua setelah al-Qur'an. Sunah berfungsi sebagai penjelas terhadap
hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Dalam kedudukannya sebagai penjelas, sunah kadang-kadang memperluas hukum dalam
Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al -
Qur’an.

kedudukan sunah sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-
Qur’an, menjadi bahan perbincangan di kalangan ulama. Perbincangan ini muncul
disebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an atau ajaran
Islam itu telah sempurna.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian dan Macam-macam Sunah ?


2. Bagaimana Fungsi Sunah ?
3. Bagaimana Kedudukan Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam?

BAB II
(PEMBAHASAN)
A. Pengertian Sunah

Kata “sunah” (‫ )سنة‬berasal dari kata ‫ سن‬. Secara etimologis berarti cara yang biasa dilakukan,
apakah cara itu sesuatu yang baik, atau buruk. Dalam Al-Qur’an terdapat kata “sunah” dalam 16

4
tempat yang tersebar dalam beberapa surat dengan arti “kebiasaan yang berlaku” dan “jalan yang
diikuti”. Umpamanya dalam Firman Allah:
َ‫ َك ْيفَ َكانَ عَاقِبَةُ ْال ُم َك ِّذبِ ْين‬X‫ض فَا ْنظُرُوْ ا‬ ۙ
ِ ْ‫ت ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم ُسن ٌَن فَ ِس ْيرُوْ ا فِى ااْل َر‬
ْ َ‫قَ ْد َخل‬
"Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke
(segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagai-mana kesudahan orang yang mendustakan
(rasul-rasul)." (Surat Ali 'Imran: 137)

Sunah dalam istilah Ulama ushul adalah: “apa-apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad
SAW., baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun penga kuan dan sifat Nabi”. Sedangkan
sunah dalam istilah Ulama fiqh adalah: “sifat hukum bagi suatu perbuatan yang dituntut
melakukannya dalam bentuk tun tutan yang tidak pasti” dengan pengertian diberi pahala orang
yang melakukannya dan tidak berdosa orang yang tidak melakukannya. Perbedaan ahli ushul
dengan ahli fiqh dalam memberikan arti pada sunah sebagaimana disebutkan di atas adalah
karena mereka berbeda dalam segi peninjauannya.

Ulama ushul menempatkan sunah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum fiqh. Untuk
maksud itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan sunah”. Sedangkan ulama fiqh
menempatkan sunah itu sebagai salah satu dari hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku
terhadap satu perbuatan. Untuk maksud itu ia berkata, “Perbuatan ini hukumnya adalah sunah”.
Dalam pengertian ini sunah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”. Kata “sunah” sering
diidentikkan dengan kata “hadis”. Kata “hadis” ini sering digunakan oleh ahli hadis dengan
maksud yang sama dengan kata “sunah” menurut pengertian yang digunakan kalangan ulama
ushul. Di kalangan ulama ada yang membedakan sunah dari hadis, terutama karena dari segi
etimologi kedua kata itu memang berbeda. Kata hadis lebih banyak mengarah kepada ucapan-
ucapan Nabi; sedangkan sunah lebih banyak mengarah kepada perbuatan dan tindakan Nabi yang
sudah menjadi tradisi yang hidup dalam pengamalan agama.

Semua ulama Ahl al-sunah baik dalam kelompok ahli fiqh, Ulama ushul fiqh maupun Ulama
hadis sepakat mengatakan bahwa kata sunah atau hadis itu hanya merujuk kepada dan berlaku
untuk Nabi dan tidak digunakan untuk selain dari Nabi. Alasannya adalah karena beliau
sendirilah yang dinyatakan sebagai manusia yang ma’shum (terpelihara dari kesalahan), dan
karenanya beliau sendirilah yang merupakan sumber teladan, sehingga apa yang disunah kannya
mengikat seluruh umat Islam.
Kelompok Muslim Syi‘ah mempunyai pandangan berbeda tentang sunah. Mereka menganggap
yang ma’shûm itu bukan hanya Nabi Muhammad saja, tetapi juga keturunannya melalui putrinya
Fatimah dari Ali Ibn Abi Thalib atau yang dikenal dengan sebutan “Ahl al-Bait”. Sifat ma’shum
Ahl al-Bait itu meliputi ucapan, perbuatan, dan takrir mereka yang sama halnya seperti ucapan,
perbuatan, dan takrir Rasulullah. Karena itu ucapan dan perbuatan serta takrir Ahl al-Bait
mempunyai kedudukan seperti halnya hadis Nabi sebagai hujah di kala Nabi sudah tiada. Dengan
demikian sunah di kalangan ulama Syi‘ah adalah, Ucapan, perbuatan, dan takrir orang-orang
yang ma’shûm.

5
Kekuatan kedudukan Ahl al-Bait dalam hal ini bukan disebabkan oleh kekuatan dan
tepercayanya mereka dari segi periwayatan, tetapi menurut ula ma Syi‘ah adalah karena mereka
telah mendapat tugas tersendiri dari Allah SWT., melalui lisan Nabi untuk menyampaikan
hukum yang berlaku. Mereka menetapkan hukum berdasarkan apa yang mereka terima dari
Allah melalui ilhâm sebagaimana Nabi menerima pesan Allah melalui wahyu; atau melalui apa
yang mereka terima dari imam yang mak’shum sebelumnya. Bila Ahl al-Bait menyatakan suatu
hukum bukan hanya karena mereka meriwayatkan sunah dari Nabi, dan bukan pula karena
mereka berijtihad serta beristinbath dari sumber-sumber hukum, tetapi dalam pendapat ulama
Syi‘ah, Ahl al-Bait itu sendiri adalah sumber hukum.

B. Macam-macam Sunah

Sunah menurut pengertian ahli ushul sebagaimana disebutkan di atas terbagi kepada tiga macam.
1. Sunnah Qauliyah, yaitu Hadits-Hadits yang diucapkan langsung oleh Nabi saw dalam
berbagai kesempatan terhadap berbagai masalah yang kemudian dinukil oleh para sahabat
dalam bentuknya yang utuh sebagaimana diucapkan oleh Nabi saw. Diantara contohnya yaitu
Hadits dari Anas bin Malik bahwa rasulullah saw bersabda:

)‫ فإن تسوية الصف من تمام الصالة (رواه مسلم‬X‫سووا صفوفكم‬


“Hendaklah kamu meluruskan shaf (barisan) mu, karena sesungguhnya shaf yang lurus itu
termasuk dari kesempurnaan shalat” (H. R. Muslim).
2. Sunnah Fi’liyah, yaitu Hadits-Hadits yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan oleh
Nabi saw yang dilihat atau diketahui para sahabat, kemudian disampaikan kepada orang lain.
Dalam masalah ini, para ulama ushul fiqh membahas secara mendalam tentang kedudukan 
Sunnah fi’liyah. Masalah yang dikemukakan adalah: Apakah seluruh perbuatan Rasulullah SAW
wajib diikuti umatnya atau tidak. Ulama ushul fiqh membaginya kepada:
a. Perbuatan yang dilakukan Nabi SAW sebagai manusia biasa, seperti makan, minum,
duduk, berpakaian, memelihara jenggot dan sebagainya. Perbuatan seperti ini tidak
termasuk sunnah yang wajib diikuti oleh umatnya. Hal ini dikarenakan perbuatan Nabi
sebagai manusia biasa.
b. Perbuatan yang dikerjakan Rasul saw yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut
khusus untuk dirinya, seperti melakukan shalat tahajjud setiap malam, menikahi
perempuan lebih dari empat atau menerima sedekah dari orang lain. Perbuatan seperti ini
adalah khusus untuk diri Rasul dan tidak wajib diikuti.
c. Perbuatan yang berkenaan dengan hukum dan ada alasannya, yaitu, sunnat, haram,
makruh dan mubah. Perbuatan seperti ini menjadi syari’at bagi umat Islam.
3. Sunnah Taqririyah, yaitu Hadits yang berupa ketetapan Nabi saw terhadap apa yang datang
atau yang dilakukan sahabatnya. Nabi saw membiarkan atau mendiamkan suatu perbuatan
yang dilakukan oleh para sahabatnya tanpa memberikan penegasan apakah beliau bersikap
membenarkan atau mempermasalahkannya

6
Ketiga macam sunah tersebut (qauliyah, fi’liyah, dan taqrîriyah) disampai kan dan
disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima, dan mengalaminya dari Nabi secara
beranting melalui pemberitaan atau kabar, hingga sampai kepada orang yang mengumpulkan,
menuliskan, dan membukukannya sekitar abad ketiga hijriah. Mengenai apakah memang Nabi
Muhammad SAW. Pernah berkata, berbuat dan memberikan pengakuan, lebih banyak tergantung
kepada kebenaran pemberitaan tentang adanya sunah itu. Selanjutnya para ulama
mengklasifikasikan sunah itu berdasarkan kekuatan kabar terse but. Kekuatan suatu kabar
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: berkesinam bungannya kabar itu dari yang menerimanya
dari Nabi sampai kepada orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas orang yang
membawa kabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa kabar dari segi kuat
dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.

C. Fungsi Sunah
Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat -ayat hukum dalam
Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliah belum dapat dilaksanakan tanpa
penjelasan dari sunah. Dengan demikian, Fungsi sunah yang utama adalah untuk menjelaskan
Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat an-Nahl (16): 64:

َ ‫َو َمٓا اَ ْن َز ْلنَا َعلَ ْيكَ ْال ِك ٰت‬


ْ ‫ب اِاَّل لِتُبَيِّنَ لَهُ ُم الَّ ِذى‬
َ‫اختَلَفُوْ ا فِ ْي ۙ ِه َوهُدًى َّو َرحْ َمةً لِّقَوْ ٍم يُّْؤ ِمنُوْ ن‬
"Dan Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur'an) ini kepadamu (Muhammad), melainkan agar
engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan, serta menjadi petunjuk
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman."

Dengan demikian, bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka sunah
disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani yaitu;
1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut
fungsi ta’kîd dan taqrîr. Dalam bentuk ini sunah hanya seperti mengulangi apa-apa yang
tersebut dalam Al-Qur’an.Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-
Qur’an dalam hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an,
b. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar,
c. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum.
2. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an. Contoh menjelaskan arti
kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata “shalat” yang masih samar atau ijmâl, artinya, karena
dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu.
Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan perbuatan
secara jelas yang dimulai dari takbîratul ihrâm dan berakhir dengan salâm. Sesudah itu Nabi
bersabda: “Inilah shalat itu, kerj akanlah shalat sebagaimana kamu melihat saya mengerjakan
shalat.”
3. Menetapkan suatu hukum dalam sunah yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian kelihatan bahwa sunah menetapkan sendiri hukum yang tidak ditetapkan
dalam Al-Qur’an. Fungsi sunah dalam bentuk ini disebut “itsbât” atau “insyâ’”. Sebenarnya
bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetap kan sunah itu pada

7
hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa
yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT. mengharamkan
memakan bangkai, darah dan daging babi dalam surat al-Maidah (5): 3:

D. Kedudukan Sunah Sebagai Sumber Hukum Islam


Dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi
Muhammad SAW. Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada
”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila
mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka
namai dengan ”Sunnah”. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum
yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum ke
Rasulannya.
Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber utama dalam Islam. Akan tetapi
dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali al-qur’an membicarakannya,
dan membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali. Disinilah peran
dan kedudukan hadits sebagai tabyin atau penjelas dari al-qur’an atau bahkan menjadi sumber
hukum kedua setelah Al-qur’an.

1. Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum Sunnah adalah sumber hukum Islam
(pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah
beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus
percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan
antara lain sebagai berikut:
a) Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20,
Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah:
92).
b) Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5,
An-Nisa: 115).
c) Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan
oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang
tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai
sumber hukum utama.
2. Hubungan Al-hadits/As-sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, dan
penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
a) Bayan Tafsir: yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak.
Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum,
yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat).

8
b) Bayan Taudhih: yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti
pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-
hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an
dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang
menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka
gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”.

3. Dapatkah As-sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum


Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang
tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah
berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya
pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang
syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi
saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya
Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam
hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran
didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah
ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan,
kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai
dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan
seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu
tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:

َ ‫ ِإلَ ْي‬X‫الزب ُِر ۗ َوَأن َز ْلنَا‬


ِ َّ‫ك ال ِّذ ْك َر لِتُبَيِّنَ لِلن‬
‫اس َما نُ ِّز َل ِإلَ ْي ِه ْم‬ ِ ‫بِ ْالبَيِّنَا‬
ُّ ‫ت َو‬

“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,


agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
(An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski
secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan “Tiadalah Kami alpakan
sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38). Sebenarnya kedua pendapat itu tidak
mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi
kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang
berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak
membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena
ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir
daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-
sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang

9
apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh
Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang
membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk
berpendapat sama dengan pihak yang pertama
4. Perbuatan Nabi Muhammad SAW Berfungsi Sebagai Sumber Hukum
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya
wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga
diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti.
Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan
panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap
ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan
oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi
umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru
boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:

 Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya. Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan
oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya
justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:
a. Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu
bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan
hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
b. Boleh beristri lebih dari empat wanita. Contoh lainnya adalah masalah kebolehan
poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya
berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila
melakukannya.

 Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya. Sedangkan dari sisi kewajiban, ada
beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun
hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
a. Shalat Dhuha’: Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi
hukumnya wajib.
b. Qiyamullail: Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar.
Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW
c. Bersiwak: Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi
umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.
d. Bermusyawarah: Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
e. Menyembelih kurban (udhhiyah): Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah
bagi umatnya.

 Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya

10
a. Menerima harta zakat, Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan
menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau
(ahlul bait).
b. Makan makanan yang berbau: Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang
hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena
menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka
jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan
oleh umat Muhammad SAW.
c. Haram menikahi wanita ahlul kitab: Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda
orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana
mungkin bisa terjadi. Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab,
sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah
ayat 3.

Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum


kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh
sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga
beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan
sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana
bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari
orang luar Islam sekalipun.

Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara
memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam
Sunnah Nabi SAW. Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum
yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum
kerasulannya.

11
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dalam memahami Hadis dan kedudukannya sebagai sumber hukum islam, Hadis merupakan
sebuah sejarah yang berupa berita atau perbuatan yang dilakukan oleh rasulullah SAW, yang
kemudian dipraktekkan oleh para pengikutnya. Dalam penggunaan hadis sebagai sumber hukum
islam harus dikaji ulang sebelum dijadikan sebuah hukum. Karena, hadis tidak bisa langsung
dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang kemudia dipergunakan langsung sebagai hukum.
Akan tetapi, terlebih dahulu harus dilakukan kajian latar belakang historitas hadis tersebut, yang
mana pada kajian tersebut hadis-hadis dicairkan kedalam bentuk sunah yang hidup (living
sunah), yang ini akan mengarahkan kepada kesimpulan yang terdapat pada peraturan-peraturan
yang terkandung dalam hais tersebut.
Akan tetapi, dalam menentukan suatu hukum bahwa hadis tidak bisa di jadikan landasan atau
pacuan untuk menentukan serta membuat suatu hukum atau mmecahkan suatu masalah yang
terdapat dalam sebuah hukum tersebut. Karena hadis merupakan perbuatan atau perkataan dari
seseorang yang itu tidak bisa dijadikan sumber dalam menentukan suatu hukum.
Hadis merupakan ajaran yang tidak diajarkan oleh nabi,tetapi dengan trampilnya hadis tersebut
disandarkan dan di katakan bahwa hadis itu bersumber dari nabi. Oleh sebab itu hadis tidaj bisa
dijadkan sebagai rujukan dalam menentukan suatu hukum dalam islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

4. Kitab Ushul Fiqh jilid 1 Karya Prof.Dr.H. Amir Syarifuddin Edisi Pertama Cetakan Ke 5
5. https://andimardian.wordpress.com/2011/03/14/al-sunnah-sebagai-sumber-hukum-islam/
6. http://digilib.uin-suka.ac.id/21976/2/12531165_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-
PUSTAKA.pdf

13

Anda mungkin juga menyukai