Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
NIM : 07010221006
KELAS : B1
UAS ANTROPOLOGI AGAMA
1. Antropologi sebagai pendekatan kajian keagamaan harus melibatkan 6 dimensi
yaitu:
a. Ritual (perform certain activities) : Salah satu upaya dalam memahami agama ialah
dengan cara melihat wujud praktik dan sistem keagamaan yang tumbuh dan
berkembang dalam suatu masyarakat sebagai suatu sistem ide, wujud ataupun nilai dan
norma yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang mengikat seluruh anggota
masyarakat.1 Memang agama selalu melakukan ataupun menjalankan beberapa ritual
atau upacara sebagai praktek peribadatan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Kepercayaan, dogma (believe certain things) : Tahap awal dalam agama ialah
kepercayaan animisme yakni kepercayaan bahwa alam semesta ini mempunyai jiwa.
Bentuk sekecil apapun itu dari benda bagian alam semesta mempunyai roh yang
menggerakkan dan yang membuat ia hidup. Kepercayaan ini fundamental dan universal
yang artinya, bisa berada di semua bangsa dan masyarakat serta bisa menerangkan
pemujaan terhadap orang mati, pemujaan terhadap leluhur ata nenek moyang, juga
menjelaskan asal mula para dewa. Dalam tahap berikutnya adalah animisme yang
berkembang menjadi pemujaan terhadap dewa dan dalam perkerkembangan
selanjutnya, kemudian berkembang lagi menjadi pemujaan terhadap Tuhan Yang Esa
(monoteisme).2
c. Leadership; kepemimpinan (invest authority in certain personalities) : Suatu
agama membutuhkan para penganut atau pemimpin atau pemuka suatu agama. Selain
itu juga memerlukan sikap, perilaku dan penghayatan para penganutnya untuk
membuat suatu agama tersebut menjadi hidup.
d. Kitab suci- teks tual (hallow certain text) : Adanya kitab suci dalam suatu agama
dapat menjadi kajian atau galian dari antropologi agama untuk dibahas dan dikaji lebih
mendalam, karena dengan melakukan kajian tersebut tentang suatu agama, maka harus
ada kitab suci sebagai unsur sebuah agama tersebut yang ingin di kaji. Objek penelitian
agama yang bersifat empiris seperti teks kitab suci, teks pemikiran para ulama,
fenomena keberagamaan, struktur dan dinamika masyarakat beragama, dapat dikaji
dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial lain seperti sejarah, antropologi, sosiologi,
psikologi dan hermeneutika.3
e. Sejarah dan institusi (telling various stories) : Sistem budaya agama itu memberikan
pola kepada seluruh tingkah laku anggota masyarakat, dan melahirkan hasil karya-
karya keagamaan yang berupa karya fisik, dari bangunan tempat ibadah sampai upacara
yang sederhana. Dengan mengetahui sejarah atau cerita singkat dari suatu agama, kita
akan faham bagaimana asal usul suatu keagaman tersebut muncul maupun bermula dan
beberapa kejadian kebenaran yang terjadi.
f. Moralitas (legitimate morality) : Agama ternyata dapat berkorelasi dengan etos kerja
dan perkembangan ekonomi dalam suatu masyarakat. Dalam hubungan ini, jika ingin
1
Abuddin Nata, “Metodologi Studi Islam”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), 28.
2
Dadang Kahmad, “Sosiologi Agama”, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000), 91.
3
Imam Suprayogo dan Tobroni, “Metodologi Penelitian Sosial-Agama”, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 21.
mengubah pandangan dan sikap etos kerja seseorang maka dapat dilakukan dengan cara
mengubah pandangan keagamannya.4
2. Ketika kita bicara antropologi agama tidak bisa melepaskan nama-nama atau
tokoh-tokoh antropologi saat mengadakan penelitian tentang Islam Jawa. Ada
empat tokoh besar yang kita kenal adalah:
a. Cliford Geertz
b. Andrew Beaty
c. Mark R Woodward
d. Andrew Moller
a) Bagaimana hasil penelitian tentang Islam Jawa menurut ke empat tokoh
tersebut? Jelaskan
- Cliford Geertz
Penelitian Clifford Geertz ini dilakukan pada sekitar tahun 1950-an. Setelah melakukan
penelitian serius di daerah Mojokuto, Pare yang wilayah ini masuk dalam Kabupaten Kediri,
di Jawa Timur. Clifford Geertz membuat tiga kategori aliran dalam masyarakat Jawa, yaitu
abangan, santri, dan priyayi. Dalam melihat agama orang Jawa yang menghasilkan tiga
kategori itu, banyak sekali menimbulkan kontroversi. Clifford Geertz menggunakan
pendekatan agama sebagai suatu sistem kebudayaan.5 Lebih dari itu, kebudayaan yang dilihat
oleh Clifford Geertz sebagai pengorganisasian dari pengertian-pengertian yang tersimpul
dalam simbol-simbol yang berkaitan dengan eksistensi manusia.6 Yang pertama ialah kategori
abangan oleh Clifford Geertz dilihat lebih menekankan pentingnya animistik, kedua ialah santri
dilihat lebih menekankan pada aspek-aspek Islam, dan terakhir priyayi dilihat lebih
menekankan aspek agama Hindu. Perwujudan citra masing- masing struktur sosial di tiga
kategori itupun berbeda yaitu ritual yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk menghalau
makhluk halus jahat yang dianggap sebagai penyebab dari ketidakteraturan dan kesengsaraan
dalam masyarakat, agar ekuilibrium dalam masyarakat dapat dicapai kembali termasuk dalam
abangan. Lalu penekanan pada tindakan-tindakan keagamaan sebagaimana digariskan dalam
Islam termasuk dalam santri, dan suatu kompleks keagamaan yang menekankan pada
pentingnya hakekat alus yang perwujudannya tampak dalam berbagai sistem sosial yang
berkaitan dengan etika, tari-tarian, berbagai bentuk kesenian, bahasa dan pakaian termasuk
dalam priyayi.7
- Andrew Beatty
Andrew Beatty ini mendeskripsikan bagimana sesungguhnya agama islam di Jawa
secara keseluruhan. Andrew beatty memberikan contoh, yaitu slametan di Banyuwangi, karena
Beatty melakukan penelitiannya di daerah Banyuwangi, Jawa Timur. Slametan di banyuwangi
ini, menggambarkan ciri-ciri yang mirip dengan daerah lain di Jawa. Dalam buku Andrew
Beatty yang berjudul “Variasi Agama Di Jawa”, Slametan adalah suatu upacara yang terdiri
atas sesajian, makanan simbolik, sambutan resmi, dan do’a. Slametan juga memancarkan
beberapa aspek dari agama di Jawa yang tanpa itu niscaya tetap gelap dan kontradiktif: hakikat
sinkretisme sebagai proses sosial, hubungan antara islam dan Budaya lokal, dan yang lebih
abstrak lagi, multivokalitas simbol-simbol ritual.8
4
Abuddin Nata, “Metodologi Studi Islam”, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), 35-36.
5
Parsudi Suparlan, “Kata Pengantar”, dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, x.
6
Ibid, x.
7
Ibid, vii-viii.
8
Andrew Beatty, “Variasi Agama Di Jawa: Suatu Pendekatan antropologi”, Terj. Achmad Fedyani Saefuddin
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 35-36.
- Mark R Woodward
Penelitian etnografis Mark R Woodward memilih daerah Yogyakarta sebagai ladang
ilmiahnya dikarenakan Yogyakarta dianggapnya sebagai pusat kebudayaan dalam masyarakat
Jawa. Daerah Yogyakarta juga dianggap mampu mengkolaborasikan antara budaya lokal dan
budaya yang bersifat Islam. Fenomena seperti ini mampu membawa masyarakat Jawa pada
tingkat kebudayaan yang berbeda dari kebanyakan masyarakat Jawa lainnya.
Woodward menyusun empat ciri pokok paham Jawa yang selaras dengan paham Islam,
yaitu (1) konsep tentang keesaan Tuhan; (2) konsep mengenai makna lahir dan makna batin;
(3) konsep hubungan antara hamba dengan Tuhan; dan (4) konsep tentang makrokosmos dan
mikrokosmos.9 Woodward memiliki kesimpulan bahwa semua kepercayaan di Jawa
berpangkal pada keempat pokok masalah ini, khususnya hampir semua kepercayaan di Jawa
berujung pada konsep adanya Dzat Yang Maha Tinggi, tidak lain Tuhan Yang Esa. Karena
inilah, Woodward berkesimpulan bahwa berbagai kepercayaan di Jawa pada dasarnya adalah
telaah Islam. Semula Woodward mengaku telah mengikuti teori Parsudi Suparlan yang
menyatakan bahwa orang- orang Muslim Jawa yang menekuni mistik (tradisi dari priyayi dan
abangan) disebut Islam Jawa, sedangkan orang-orang kebatinan disebut Kejawen.10 Woodward
meringkas ketiga bagian itu ke dalam dua pembagian, yaitu “Islam Mistis” yang dianut oleh
priyayi dan abangan serta “Islam Normatif” yang diikuti oleh santri. Diambil kesimpulan,
dalam penjelasan Woodward, Islam Jawa itu adalah “Islam Mistis” dan bersebelahan dengan
“Islam Normatif”. Islam Normatif” adalah Islam yang memegang syariah, meski dalam
konteks tertentu juga meyakini adanya sufisme yang tetap dibarengi dengan syari’ah secara
formal. Berbeda dengan kalangan “Islam Mistis” yang kemudian disebut Islam Jawa, maka
“Islam Mistis” melakukan tafsir sendiri atas ajaran Islam.11
- Andrew Moller
Andrew Moller menggunakan istilah Islam normatif (normative Islam) untuk Islam
resmi (Islam official) dan Islam nyata (lived Islam) untuk Islam popular (popular Islam).12
Islam resmi atau islam official adalah praktik keagamaan dengan dasar normatif, yang secara
khusus disebutkan di dalam Al-Qur'an dan Hadits. Selain itu islam normatif juga berpegang
teguh dengan norma. Kata “official” disini memiliki arti law full ataupun hak penuh secara
yuridis yang berarti terdapat landasan normatif dan dapat diperhitungkan. Sedangkan Islam
populer adalah praktik keagamaan yang diyakini tetapi tidak memiliki dasar normatif secara
langsung dari Al-Qur’an atau Hadits. Dalam islam popular sendiri, menyatakan bahwa islam
mulai bertransformasi dan menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai demokrasi dan budaya
populer.
b) Dimana letak persamaan dan perbedaan dari hasil penelitian tentang Islam di
Jawa dari ke-empat tokoh tersebut? Jelaskan
Perbedaannya terletak pada wilayah penelitian tersebut, yang dimana Andrew Beatty
melakukan penelitian tersebut di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, Clifford Geertz berada di
daerah Pare Jawa Timur, sedangkan Mark Woodward berada di daerah Yogyakarta, dan
Andrew Moller yang berada di daerah Blora, Jawa Tengah. Mereka juga sama meneliti
9
Shoni Rahmatullah Amrozi, “Keberagaman Orang Jawa Dalam Pandangan Clifford Geertz Dan Mark R.
Woodward”, vol. 20, 54.
10
Mark R Woodward, “Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan”, Terj. Hairus Salim HS,
(Yogyakarta: LkiS, 1999), 2.
11
Ibid, 166.
12
Basyir K., “Islam Nusantara: Studi Tentang Akulturasi Agama dan Budaya Lokal di Indonesia”, (2018), 6.
bagaimana suatu budaya dan agama bisa berakulturasi. Mereka memunculkan beberapa
pemikiran dan istilah yang berbeda-beda dari hasil penelitiannya.
Yang pertama menurut Andrew Moller yang memunculkan istilah islam normatif untuk
islam yang resmi berlandas Al-Qur’an dan Hadist, selain itu istilah islam nyata untuk islam
popular yang tidak memiliki dasar normatif. Lalu ada Clifford Geertz, yang melihat bahwa
agama lebih sebagai nilai-nilai budaya dimana ia melihat nilai tersebut ada dalam suatu
kumpulan makna. Selanjutnya ialah Mark Woodward yang meringkas ketiga bagian (abangan,
santri, dan priyayi) menjadi dua bagian, yaitu islam mistis yang dianut priayi dan abangan, dan
islam normatif yang dianut oleh santri. Persamaan hasil penelitian antara Geertz, Woodward
dan Beatty ialah mereka sama-sama meneliti tentang tipologi keislaman yang membagi 3
kelompok yaitu abangan, santri, dan priyayi. Meskipun sebenarnya pandangan antara
Woodward dengan Cliffort itu hampir sama mengenai abangan, priyayi, dan santri. Woodward
mengkategorikan kalangan priyai dan abangan sebagai islam kejawen atau kebatinan.
Kemudian kalangan santri sebagai islam normatif.