Anda di halaman 1dari 6

Etiologi

Beberapa faktor risiko pada pasien terkait dengan perkembangan liver injury atau
hepatitis akibat pengobatan, meliputi jenis kelamin perempuan, usia lebi tua, serta
peningkatan indeks masa tubuh (BMI). Lebih dari 1000 obat dan senyawa herbal diketahui
dapat menyebabkan hepatotoksisitas. Mekanisme intrinsik biasanya paling sering disebabkan
oleh asetaminofen (parasetamol), namun tidak terbatas dapat juga terjadi namun jarang pada
pengobatan aspirin, tetrasiklin dan vitamin A (beta karoten). (Katarey & Verma, 2016)
Menurut Real et al. (2019) mekanisme idiosinkratik pada liver injury atau hepatitis akibat
pengobatan biasanya disebabkan oleh :
1. Antibiotik (45.4%) seperti amoksisilin-klavulanat (paling tersering), siprofloksasin,
isoniazid (INH) pada pengobatan TB paru.
2. Obat anti inflamasi (NSAIDs)
3. Suplemen herbal (16.1%) seperti ekstrak the hijau, steroid anabolik, suplemen nutrisi
multi komposisi.
4. Obat penyakit kardiovaskular (10%) seperti golongan statin dan amiodarone.
5. Obat penyakit saraf sentral (CNS) seperti asam valproate dan phenytoin.
6. Obat antikanker seperti penghambat tirosin kinase, penghambat tumor necrosis factor,
penghambat alpha dan metotreksat.

Patofisiologi

Patofisiologi dari Hepatotoksik diinduksi oleh obat dibagi menjadi 2 mekanisme yaitu
mekanisme intrinsik dan idiosinkratik.
Mekanisme intrinsik dapat diprediksi dari obat yang diketahui menyebabkan liver
injury bergantung dengan dosis dan periode laten yang singkat. Contohnya pada obat
asetaminofen (parasetamol) metabolisme obat mengarah pada produksi metabolit reaktif yang
terakumulasi secara berlebihan pada hepar yang dapat menyebabkan apoptosis dan nekrosis
dari hepatosit yang dapat menimbulkan kerusakan. (Tujios et al., 2019)
Mekanisme idiosinkratik lebih tidak terprediksi. Hal ini terjadi pada pasien yang
rentan, biasanya tidak bergantung pada dosis obat dengan periode laten yang bervariasi
umumnya dimulai 7 hingga 14 hari setelah konsumsi obat. Contohnya pada pasien yang
menderita Tuberculosis Paru dan sedang menerima regimen pengobatan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). (Teschke, 2019)
D

Gambar x.x. Patofisiologi Hepatotoksik yang diinduksi oleh obat.

Walaupun mekanisme pastinya belum diketahui, namun beberapa hal kombinasi dari
faktor pasien, obat yang diberikan pengobatan, usia, jenis kelamin, polimorfisme genetik,
daya tahan tubuh dan metabolisme dari pasien perlu dikonsiderasikan. Faktor obat seperti
dosis pemberian, durasi pemberian, berat dan derajat dari lipofilik obat juga mungkin
berpengaruh. Faktor lingkungan seperti penggunaan alkohol. Mekanisme idiosinkratik dapat
dibagi menjadi 2 yaitu liver injury yang dimediasi oleh sistem imun (alergi) dari
hipersensitivitas atau mekanisme metabolik (non-alergi) yang dimediasi non-imun dari
mitochondrial injury. (Tujios et al., 2019)

Epidemiologi
Insidensi epidemiologi dari liver injury atau hepatitis yang disebabkan oleh obat
masih sulit untuk ditentukan, karena sering hal tersebut tidak dilaporkan, serta ada beberapa
kriteria diagnostik yang tidak terstandarisasi yang digunakan. (Katarey & Verma, 2016). Di
Amerika Serikat sendiri serta secara global, kejadian dari livery injury atau hepatitis yang
disebabkan oleh obat pada populasi umum adalah di bawah 15-20 per 100.000 populasi per
tahunnya. Namun perlu dicatat bahwa insidensi idiosinkratik livery injury lebih tinggi pada
wanita sekitar 59% dibandingkan dengan pria, hal ini mungkin disebabkan oleh interaksi
hormonal dengan obat imunomodulasi. (Fisher et al., 2015) Pasien berusia lebih dari 50 tahun
memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita liver injury, hal ini mungkin terjadi karena
peningkatan penggunaan obat resep. (Katarey & Verma, 2016)

Diagnosis
Gambaran klinis dari hepatotoksisitas yang diinduksi obat bervariasi dan seringkali
tanpa gejala. Liver injury yang disebabkan obat bermanifestasi paling sering sebagai penyakit
kuning, kemudian kelemahan, nyeri perut, tinja atau urin yang berwarna gelap, mual, gata-
gatal (biasanya terlihat pada liver injury cholestatic). Liver injury akibat obat dapat muncul
sebagai gagal hati akut atau kronis, yang membuat kondisi ini sangat sulit dibedakan dari
kondisi penyakit hati lainnya. Pada hepatotoksisitas yang dimediasi sistem imun, pasien
mungkin mengalami demam, ruam, eosinofilia dan bahkan sindrom Steven Johnson.
Diagnosis dimulai dengan anamnesis yang dilanjutkan dengan riwayat pengobatan yang
pernah diambil. Anamnesis pasien akan mengungkapkan tanda atau gejala yang berkembang
dalam 3 sampai 6 bulan setelah pengobatan, dengan demikian riwayat pengobatan
menyeluruh sangat penting. Pada pemeriksaan fisik, mungkin ada penyakit kuning, adanya
nyeri pada kuadaran kanan atas dan terkadang hepatomegali saat cedera hati menyebabkan
penyakit hati kronis. (Shehu et al., 2017)
Pemeriksaan penunjang harus mencakup serum Alanine aminotransaminase (ALT),
Aspartate transferase (AST), Alkaline phosphatase (ALP), Gamma-glutamyl transpeptidase
(GGT), bilirubin total, albumin, Prothombin time (PT), dan rasio normalisasi internasional
(INR). Pemeriksaan penunjang lain yang dapat membantu diagnosis adalah hitung darah
lengkap (CBC), serum elektrolit, serologis virus dan autoantibodi. (Ahmad et al., 2019)
Pola kelainan pada tes liver dapat membedakan antara jenis dari liver injury yang
terjadi. Pada liver injury, terdapat peningkatan transaminase yang mencolok (biasanya 3 kali
lipat diatas ambang batas) dibandingkan dengan level ALP. Pada cholestatic injury, ALP
biasanya 3 kali lipat diatas ambang batas. Biopsi hati tidak diperlukan untuk diagnosis namun
dapat berguna dalam eksklusi, terutama bila terdapat kecurigaan terhadap keganasan liver.
(Katarey & Verma, 2016).

Differential Diagnosis
Menurut Robles-Díaz et al. (2016) Liver injury secara klinis masih susah dibedakan untuk
didiagnosis karena dapat memiliki kesamaan dengan kondisi hepatobilier akut atau kronis
diantaranya :
1. Penyakit liver/hati seperti Hepatitis yang disebabkan oleh virus (A,B,C,E),
cytomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr, hepatitis iskemik, hepatitis autoimun,
hematokromatosis, penyakit Wilson, fatty liver non-alkohol (NAFLD), hepatitis
akibat alkohol dan sindroma Gilbert.
2. Penyakit bilier seperti cholangitis, choledocholithiasis, sirosis bilier primer dan
cholangitis sclerosing primer.
3. Keganasan pada liver/hati seperti kanker hepatocellular, limfoma dan keganasan pada
pankreas.

Prognosis dan Komplikasi


Umumnya, pasien memiliki memiliki prognosis yang baik setelah penghentian pengobatan.
Risiko kematian dapat diprediksi menggunakan “Hukum Hy” yang mencakup kriteria berikut
yang berhubungan dengan prognosis buruk diantaranya tingkat ALT/AST lebih tinggi 3 kali
lipat dari nilai ambang batas atas dan total bilirubin hingga 2 kali lipa dari nilai ambang batas
atas tanpa adanya obstruksi. Individu yang berusia lebih dari 65 tahun memiliki insiden
“Hukum Hy” lebih tinggi. Liver injury lebih mungkin terjadi dibandingkan cholestatic injury.
Secara umum sekitar 10% dari pasien membutuhkan transplantasi hati. Setelah transplantasi
hati, kelangsungan hidup adalah 66% (Kuna et al., 2018). Menurut Katarey & Verma (2016)
terdapat 17% risiko progresif menjadi penyakit liver kronis.

Liver Injury disebabkan oleh Pengobatan TB paru (Ini Kek Pembahasan?)


Tuberkulosis (TB) paru masih menjadi permasalahan kesehatan utama dunia dengan
angka insidensi 9,4 juta kasus dan 1,7 juta mortalitas secara global di tahun 2009. 5 negara
endemik TB adalah India, China, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Pengendalian TB
dilakukan dengan strategi Direct Observed Treatments, Short-couser (DOTS). Komponen
utama strategi DOTS adalah regimen kemoterapi anti-TB atau obat anti TB (OAT) standar
jangka pendek yang mengharuskan secara kontinu untuk mengkonsumsi obat kombinasi
seperti Isoniazid (H), Rifampicin (R), Pirasinamid (Z), Ethambutol (E) dan Sterptomisin (S)
setiap hari selama 6-9 bulan.
Meskipun obat anti TB (OAT) memiliki kemampuan bakteriostatik terhadap
Mycobacterium tuberkulosis, namun OAT juga menginduksi berbagai efek samping,
termasuk hepatotoksisitas, reaksi kulit, gangguan gastrointestinal dan gangguan neurologis.
Anti-tuberculosis drug induced liver injury atau livery injury akibat pengobatan tuberkulosis
merupakan efek samping utama yang penting dan serius. Liver injury akibat pengobatan
tuberkulosis dapat menurunkan efektivitas terapi OAT, menyebabkan penurunan kepauthan
minum obat dan akan mengarah pada kegagalan terapi, timbulnya kekambuhan dan
timbulnya resistensi obat. Keseluruhan dampak negatif tersebut secara signifikan akan
menganggu pengendalian epidemi kasus TB di Indonesia.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Rifa et al. (2015) di Rumah Sakit dr. Saiful
Anwar (RSSA) Malang dengan kondisi liver injury akibat pengobatan TB yang cukup parah,
pengobatan OAT harus dihentikan sampai kondisi liver injury membaik. Akibat dair
penghentian OAT terhadap pasien memungkinkan pasien berisiko mengalami perburukan
penyakit TB. Penelitian membuktikan bahwa Risiko terjadinya liver injury akibat pengobatan
TB sering terjadi pada tahap awal terapi (2 bulan pertama) sehingga monitoring efek samping
obat anti TB harus lebih intensif pada awal terapi. Diagnosis liver injury akibat pengobatan
TB harus didsarkan pada temuan klinis dan temuan laboratoris yang menunjukkan adanya
gangguan fungsi liver. Pada akhirnya liver injury akibat pengobatan TB hanya akan
mengakibatkan perpanjangan fase pengobatan serta kemungkinan penurunan kepatuhan
pasien dalam terapi.
Daftar Pustaka

Ahmad, J., Reddy, K. R., Tillmann, H. L., Hayashi, P. H., Chalasani, N., Fontana, R. J.,
Navarro, V. J., Stolz, A., Barnhart, H., Cloherty, G. A., & Hoofnagle, J. H. (2019).
Importance of Hepatitis C Virus RNA Testing in Patients with Suspected Drug-Induced
Liver Injury. Digestive Diseases and Sciences, 64(9), 2645–2652.
https://doi.org/10.1007/s10620-019-05591-w
Fisher, K., Vuppalanchi, R., & Saxena, R. (2015). Drug-induced liver injury. Archives of
Pathology and Laboratory Medicine, 139(7), 876–887.
https://doi.org/10.5858/arpa.2014-0214-RA
Katarey, D., & Verma, S. (2016). Drug-induced liver injury. Clinical Medicine (London,
England), 16(Suppl 6), s104–s109. https://doi.org/10.7861/clinmedicine.16-6-s104
Kuna, L., Bozic, I., Kizivat, T., Bojanic, K., Mrso, M., Kralj, E., Smolic, R., Wu, G. Y., &
Smolic, M. (2018). Models of Drug Induced Liver Injury (DILI) - Current Issues and
Future Perspectives. Current Drug Metabolism, 19(10), 830–838.
https://doi.org/10.2174/1389200219666180523095355
Real, M., Barnhill, M. S., Higley, C., Rosenberg, J., & Lewis, J. H. (2019). Drug-Induced
Liver Injury: Highlights of the Recent Literature. Drug Safety, 42(3), 365–387.
https://doi.org/10.1007/s40264-018-0743-2
Rifa, A., Herlianto, B., Mustika, S., & Pratomo, B. (2015). Insiden dan Gambaran Klinis
Hepatitis Akibat Obat Anti Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr . Saiful
Anwar Malang Anwar Hospital Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(3), 238–241.
Robles-Díaz, M., Medina-Caliz, I., Stephens, C., Andrade, R. J., & Lucena, M. I. (2016).
Biomarkers in DILI: One More Step Forward. Frontiers in Pharmacology, 7, 267.
https://doi.org/10.3389/fphar.2016.00267
Shehu, A. I., Ma, X., & Venkataramanan, R. (2017). Mechanisms of Drug-Induced
Hepatotoxicity. Clinics in Liver Disease, 21(1), 35–54.
https://doi.org/10.1016/j.cld.2016.08.002
Teschke, R. (2019). Idiosyncratic DILI: Analysis of 46,266 Cases Assessed for Causality by
RUCAM and Published From 2014 to Early 2019. Frontiers in Pharmacology, 10(July),
1–24. https://doi.org/10.3389/fphar.2019.00730
Tujios, S. R., Lee, W. M., & Lee, W. M. (2019). Challenges in Diagnosis and Therapy.
38(1), 0–2. https://doi.org/10.1111/liv.13535.Acute

Anda mungkin juga menyukai