Balanced Scorcard Dalam Pendidikan
Balanced Scorcard Dalam Pendidikan
Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah
melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam lembaga
pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga pendidikan untuk
mengubah dan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk itu sangat besar dan penting.
Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk itu. Meskipun sekarang ini sering
dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk memajukan dan meningkatkan mutu lembaga
pendidikan, sumber enerji yang terpenting adalah sumberdaya manusia yang ada didalamnya.
Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi orang-orang yang bekerja itu yang akan
menentukan sampai seberapa jauh lembaga pendidikan akan mampu meningkatkan mutu
kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif
untuk meningkatkan mutu.
Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun dedikasi dan komitmen
yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya
dengan mutu yang tinggi. Dalam organisasi yang telah diberdayakan akan tercipta hubungan di
antara orang-orangnya yang saling berbagi kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi, harapan-
harapan, dan pengakuan serta penghargaan. Hubungan kerja semacam itu sangat berbeda dengan
hubungan kerja yang secara tradisional didasari oleh hubungan hirarkhi dalam organisasi. Aset
yang paling berharga dari suatu lembaga pendidikan adalah orang-orang yang bekerja di
dalamnya yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, kreatifitas, motivasi
dan kemam-puan bekerjasama yang mereka miliki.
Bagi para pelaksana di lembaga pendidikan – dosen, teknisi, pegawai administrasi, dan
sebagainya, pemberdayaan merupakan kebutuhan yang harus mereka peroleh. Sebaliknya bagi
para pimpinan – mulai dari yang tertinggi sampai ke yang terrendah – pemberdayaan adalah
suatu fungsi yang harus mereka lakukan atau berikan kepada para pelaksana. Bagi suatu
organisasi yang mendam-bakan kualitas kinerja yang terus meningkat pemberdayaan adalah
suatu proses yang harus terjadi. Tanpa proses pemberdayaan suatu lembaga pendidikan akan
sulit untuk bisa memenangkan persaingan yang semakin keras secara nasional ataupun secara
internasional. Tanpa pemberda-yaan suatu lembaga pendidikan juga akan sulit untuk memenuhi
tuntutan masyarakat akan adanya pendidikan yang semakin tinggi standar mutunya. Keterbatasan
berbagai sumberdaya juga meng-haruskan setiap lembaga pendidikan melaksanakan
pemberdayaan organisasinya.
Di lain fihak para pelaksana di lembaga pendidikan kecewa dan merasa kurang enak
karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu kinerja yang lebih
tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada saat yang sama mereka menuntut
adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang lebih besar. Dalam kondisi yang ada mereka
tidak pernah bisa merasa pasti tentang komitmen dan tanggung-jawabnya.
Dalam situasi semacam itu lembaga pendidikan harus melakukan penyesuaian, mengem-
bangkan dan belajar cara-cara baru agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan mutu yang
lebih baik. Para pimpinan lembaga pendidikan harus terus berusaha agar organisasinya dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan mutu dari luar maupun dari dalam.
Pada dasarnya pemberdayaan adalah cara untuk melaksanakan kerjasama dalam
organisasi sehingga semua orang berpartisipasi penuh.. Dalam organisasi yang sudah diberdaya-
kan para pelaksana (dosen, teknisi, pegawai administrasi, pustakawan, laboran, dsb) merasa
bertanggung-jawab tidak hanya tentang pekerjaan yang dikerjakannya, tetapi juga tentang
keseluruhan lembaga pendidikannya agar dapat berfungsi secara lebih baik. Tim-tim yang telah
diberdayakan akan bekerjasama memperbaiki kinerja mereka secara berkelanjutan, mencapai
tingkat produktivitas dan mutu yang tinggi. Setelah pemberdayaan lembaga pendidikan akan
terstruktur sedemikian rupa hingga orang-orang merasa bahwa mereka dapat mencapai hasil-
hasil sebagaimana mereka harapkan, mereka dapat melakukan apa yang perlu mereka lakukan,
dan tidak sekedar dapat melakukan apa yang mereka diperintah untuk melakukannya, dan
mereka menerima penghargaan atas apa yang mereka lakukan itu.
Dinamika suatu organisasi – lembaga pendidikan – terletak pada kreativitas dan inisiatif
orang-orang yang ada di dalamnya. Bila lembaga pendidikan itu dan orang-orang yang ada
meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan adalah mencari
bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif yang ada pada orang-
orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya adalah dengan meningkatkan
kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampian kerjanya, memberi
kewenangan atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan memberi motivasi agar
mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa untuk memanfaatkan potensi
orang-orang itu dengan jalan mendo-rongnya untuk berpartisipasi meraih kinerja lembaga
pendidikan yang lebih bermutu. Agar mereka berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya,
dikembangkan kemauannya, dan diberi kesem-patan untuk berpartisipasi.
Lembaga pendidikan perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-orang
yang bekerja di dalamnya apakah mereka dosen atau pegawai non-edukatif seperti teknisi,
laboran, pustakawan, pegawai administrasi, resepsionis, operator telepon, pengantar surat,
petugas kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan kemampuan adalah
tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui program-program
pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan – direncanakan dan dilaksanakan secara teratur dan
profesional – bagi semua jenis dan tingkatan pekerja lembaga pendidikan. Tujuan utama dari
pendidikan dan pelatihan itu adalah memberi wawasan yang lebih luas dan dalam tentang
hakekat tugas yang diembannya, meningkatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar
yang relevan dengan jenis tugasnya, memperluas dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan
yang berkaitan dengan tugasnya, serta menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal
yang dipelajarinya. Dengan wawasan, keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah itu
diharapkan orang-orang itu akan berkembang kreativitasnya dan berani berinisiatif untuk
mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru itulah yang bisa diharapkan dapat
membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya pendidikan dan pelatihan tambahan sulit
diharapkan berkembangnya kreativitas dan inisiatif untuk melahirkan dan mencoba cara-cara
baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan adanya mutu kinerja yang lebih baik. Dalam
menerapkan MMT, pelembagaan program-program pendidikan dan pelatihan itu merupakan
kebijakan yang mutlak.
Menguasai kemampuan yang berupa pengetahuan dan keterampilan saja tidaklah cukup.
Orang perlu memiliki kemauan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya agar dapat
menghasilkan kinerja yang lebih bermutu. Kemauan itu ibarat motor penggerak yang
mendorong dirinya sendiri untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Kemauan ini sama atau
berkaitan erat dengan motivasi. Untuk menghasilkan mutu kinerja yang lebih baik diperlukan
motivasi. Sumber motivasi seseorang adalah kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh orang itu.
Jelas sekali bahwa setiap individu pada suatu saat memiliki kebutuhan yang ingin terpenuhi.
Untuk meme-nuhi kebutuhannya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu asalkan
perbuatannya itu mengarah pada pemuasan kebutuhannya tadi. Sekarang bagaimana
mengkaitkan perbuatan mem-perbaiki mutu lembaga pendidikan itu dengan pemuasan salah satu
atau beberapa kebutuhan orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan. Menurut Abraham
Maslow kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi lima kategori yang tersusun secara
hirarkhi, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga
diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk pegawai-pegawai golongan bawah mungkin
kebutuhan-kebutuhan yang dirasa mendesak masih berkisar pada kebutuhan fisiologis (pangan,
sandang, papan, dll) dan keamanan (tabungan,dll) yang dalam kehidupan modern bisa dibeli
dengan uang. Oleh karena itu untuk mereka tugas-tugas yang bisa memperoleh imbalan uang
akan dikerjakan dengan lebih baik, ter-masuk tugas-tugas meningkatkan mutu kinerja. Bagi para
pegawai golongan menengah ke atas biasanya kebutuhan yang dirasa mendesak bukan lagi
kebutuhan fisiologis dan keamanan, tetapi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri.
Pemenuhan atau pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini biasanya tidak semata-mata dengan
menggunakan uang, tetapi dengan menggunakan kemam-puan atau prestasi diri. Oleh karena itu
hal-hal yang bisa memotivasi orang-orang golongan ini adalah yang bisa langsung atau tak
langsung meningkatkan harga dirinya. Diskusi ini mengarah pada perlunya memberi
pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang agar mau melaku-kan usaha-usaha
peningkatan mutu kinerjanya. Dengan diakui dan dihargainya kontribusi orang-orang tersebut
dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan di mana mereka bekerja, mereka merasa harga
dirinya naik, dan dengan harga diri yang naik itu mereka merasa upayanya untuk memenuhi
kebutuhan sosialnya akan menjadi mudah. Jadi untuk menumbuhkan kemauan orang untuk
meningkatkan mutu kinerjanya bisa dengan menerapkan sistem penghargaan yang bentuknya
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok orang. Perlu sekali lagi ditekankan di
sini bahwa penghargaan tidak selalu harus dalam bentuk uang atau materi. Pengakuan dan pujian
di hadapan umum bisa memotivasi orang untuk berbuat baik lebih lanjut.
Agar orang mau berpartisipasi meningkatkan mutu (atas kemauan sendiri) orang itu perlu
mendapatkan kesempatan untuk berbuat demikian. Kesempatan ini bisa berupa ajakan dari
pimpinan dan atau orang-orang lain di sekitarnya, atau kebebasan untuk berpartisipasi, tersedia-
nya fasilitas untuk meningkatkan mutu, atau dalam bentuk kewenangan untuk berpartisipasi.
Memberi kewenangan kepada semua orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya masing-masing
adalah penting untuk munculnya partisipasi dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
Pemberdayaan lembaga pendidikan berawal dari adanya sifat hubungan baru di antara
orang-orang yang bekerja, dan antara orang-orang itu dengan pimpinan lembaga pendidikannya.
Mereka semua adalah mitra kerja. Setiap orang diajak untuk tidak hanya merasa bertanggung-
jawab tentang pekerjaannya sendiri, tetapi mereka juga merasa ikut memiliki organisasi secara
keseluruhan. Para pekerja itu perlu dibuat merasa sebagai pengambil keputusan, tidak sekedar
sebagai pengikut, pelaksana, penerima perintah atau bawahan. Selain itu mereka juga merasa
bangga atau kecewa terhadap keberhasilan lembaga pendidikannya secara keseluruhan, dan
bukan hanya merasa bangga atau kecewa terhadap hasil kerja dirinya sendiri saja.
Partisipasi
PEMBERDAYAAN
Kemampuan
Kesempatan
O
O
Kemauan
O
Diagram di atas memperjelas bagaimana partisipasi bisa muncul dalam organisasi, yaitu
bila ditopang oleh adanya faktor-faktor kemampuan, kemauan, dan kesempatan. Dalam
berupaya memberdayakan lembaga pendidikan perlu selalu diupayakan bagaimana
menumbuhkan ketiga faktor itu pada setiap orang yang bekerja di lembaga pendidikan yang
bersangkutan. Usaha pemberdayaan yang berhasil akan mengubah suasana kerja, semangat kerja,
dan semangat kerjasama, dan akhirnya akan menghasilkan kinerja yang lebih bermutu.
Sejak kelahirannya sampai sekarang lembaga pendidikan di Indonesia cenderung
menerapkan organisasi yang berbentuk tradisional, yang terkendali secara ketat dari atas dan
jarang melibatkan pemikiran dari bawah. Organisasi tradisional itu biasanya berbentuk piramida
dengan pimpinan tertingginya berada di puncak. Organisasi semacam ini ditandai dengan adanya
pembagian fungsi yang sangat tajam dengan batas-batas yang jelas, uraian tugas yang terbatas
dan pengendalian ketat oleh atasan. Dalam organisasi ini orang-orang yang berada di puncak
berfikir dan merencanakan, sedangkan orang-orang yang berada di bawah melaksanakannya.
Ciri-ciri organisasi piramidal :
1) Keputusan diambil oleh pimpinan puncak.
2) Setiap orang hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
3) Perubahan terjadi secara lambat dan jarang, dan hanya datang dari puncak.
4) Umpan balik dan komunikasi dari atas ke bawah.
5) Interaksi dan komunikasi antar bagian sangat minimal.
6) Fokus perhatian orang pada atasan yang bertanggung jawab atas pekerjaan bawahannya.
7) Pimpinanlah yang mengatakan bagaimana sesuatu harus dikerjakan dan apa yang harus
dihasilkan.
8) Bawahan tidak diharapkan bermotivasi tinggi, karena itu perlu diawasi dan dikendalikan secara
ketat.
Sampai sekarang sebagian besar lembaga pendidikan masih beroperasi kurang lebih
semacam itu. Bentuk baru organisasi disebut sirkel atau jaringan, karena beroperasinya
merupakan serangkai-an kelompok atau tim yang saling berkoordinasi, yang dihubungkan dari
tengah bukan dari atas.
Piramida (Hirarkhis) Sirkel ( Jaringan)
Bentuk Transisional).
Kebanyakan organisasi berada dalam bentuk antara piramida dan sirkel. Jadi bentuk
organisasi akan berubah secara bertahap. Dengan memikirkan dan membayangkan dimana
organisasi lembaga pendidikan kita berada pada saat ini, dan pada posisi mana kita harapkan
setelah be-berapa tahun yang akan datang, kita akan dapat menggerakan perubahan dalam
organisasi seperti yang kita harapkan, yaitu agar organisasi lembaga pendidikan menjadi lebih
berdaya.
Untuk bergeser dari piramida ke sirkel memang bukan proses pengembangan yang
mudah. Kenyataannya berada dalam organisasi yang sedang bergerak dari satu bentuk ke bentuk
yang lain terasa sangat tidak tenang, penuh dengan perasaan ketidak pastian. Perubahan terjadi
dimana-mana dan kadang-kadang sukar mengerti alasan mengapa hal itu harus terjadi. Tetapi
perlu diingat bahwa setiap pembaruan selalu memerlukan perubahan, dan perubahan selalu
menimbulkan goncangan, besar ataupun kecil. Tidak perlu khawatir akan adanya guncangan-
guncangan itu, asal kita selalu sadar kemana organisasi itu bergerak.
Berikut ini empat macam goncangan yang mungkin akan menghadang di tengah upaya
pemberdayaan lembaga pendidikan.
1) Inertia = kelembaman : kesulitan dalam memutuskan untuk memulai melakukan perubahan.
Sering terasa lebih mudah tetap pada posisi semula.
2) Self-doubt = ragu-ragu sendiri : tidak yakin akan benar-benar bisa menciptakan tempat kerja
yang lebih berdaya.
3) Anger = marah : menyalahkan fihak lain karena menganjurkan semua ini.
4) Chaos = kacau-balau : Terlihat begitu banyak jalan di depan sehingga merasa kehilangan arah.
Kalau mengalami salah satu atau beberapa goncangan semacam itu jangan cemas.
Tetaplah pada arah yang dituju, yaitu memberdayakan organisasi lembaga pendidikan.
BAB II
PEMBERDAYAAN ORGANISASI
BERDASARKAN PENDEKATAN BALANCED SCORCARD
Kaplan dan Norton (1992) menjelaskan bahwa The balanced scorecard puts strategy –
not control – at the center. Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC bukanlah adanya
pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi sedemikian rupa akan
berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya dengan visi, misi dan strategi
korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah teridentifikasinya struktur ataupun kerangka
yang ada di korporasi guna mencapai – merealisasikan visi dan misi korporasi. Penjelasan
demikian menegaskan bahwa sebelum BSC dikenalkan telah banyak dikenal berbagai program
pengukuran yang mengarah kepada perbaikan: integrasi antar fungsi, skala global, perbaikan
terus-menerus, tanggung jawab team yang menggantikan peran individu. Kaplan sendiri
menuliskan bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu. Akan tetapi yang
membedakan BSC dengan berbagai konsep tersebut adalah bahwa pada BSC manajer
memahami, setidaknya secara implisit kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga
mengarahkan manajer ke depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami karena
empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan
pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu dengan
lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan “cause and effect relationship”. Dimana
bahwa scorecard (papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi kunci yang
secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan oleh visi dan misi.
Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi “mesin” penggerak
semua kegiatan.
Terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah diuji dengan masing-
masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat perspektif ini
mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4 perspektif di atas
menunjukkan adanya satu siklus: keuntungan perusahaan hanya dapat tumbuh bilamana
perusahaan mempunyai posisi di benak pelanggan (share value), sementara posisi di benak
pelanggan hanya mungkin bila perusahaan mempunyai proses belajar. Satu hal yang sangat nyata
dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa satu dengan lainnya saling
berhubungan. Dalam bukunya yang terakhir (Strategy Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara
empiris. Selanjutnya Kaplan menjelaskan bagaimana pentingnya intangible asset sebagai
rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke empat perspektif sebagaimana dikemukakan di atas,
Kaplan (1992) juga menjelaskan bahwa posisi persfektif seperti diatas berorientasi ke depan,
bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam penentuan sasaran yang diimplementasikan melalui
perumusan inisiasi yang akan digunakan.
Dari hasil pengalaman korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC banyak
memberikan manfaat dibanding dengan pengukuran kinerja yang lain. Frigo (2002) melaporkan
korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB Sitzerland, AT&T Canada, Chemical Bank,
Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells Fargo Online Fiancial Service, dan Wendy’s International
menunjukkan keunggulan BSC dengan satu hirarkis maupun kerangka yang dapat dijadikan
pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi. Selanjutnya dari hasil survey IMA yang
dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1)
pengguna BSC dapat mendukung strategi korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam
pengukuran kinerja, 3) penggunaan alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat antara indikator kinerja
dengan kinerja perusahaan karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan.
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC yaitu: 1)
Pemahaman manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan tindakan dan strategi
yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan; 3) Rekayasa mendasar dari
proses bisnis; dan 4) Munculnya kultur korperasi yang menekankan kepada upaya tim diantara
fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan
Perbedaan fundamental antara pendekatan tradisional dan Balanced scorecard terlihat
antara lain pada pendekatan tradisional bertujuan untuk memantau dan meningkatkan proses
bisnis yang telah ada. Sementara pendekatan Balanced scorecard akan selalu mengindentifikasi
keseluruhan proses yang baru, dimana perusahaan harus memenuhi tujuan keuangan dan
pelanggannya. Sasaran strategic dari perspektif proses bisnis ini adalah organizational capital
seperti meningkatnya kualitas proses layanan kepada customer, komputerisasi proses layanan
kepada customer, dan penerapan insfrastruktur teknologi yang memudahkan pelayanan kepada
customer. Keempat, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ( learning and Growth
perspective). Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini mengindentifikasi infrastruktur yang
harus dibangun perusahaan untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan
jangka panjang. Sasaran strategic dari perspektif ini adalah human capital. Sebagai contoh
peningkatan kompetensi dan komitmen dari staff perusahaan.
Gambaran mengenai empat perspektif dalam Balance scorecard terlihat dalam diagram
yang dinamakan cause and effect diagram atau diagram hubungan sebab akibat. Dalam diagram
tersebut tergambar antara hubungan sasaran strategic dengan dalam perspektif yang berbeda.
Balanced scorecard mengidentifikasi dan membuat secara eksplisit hipotesis tentang hubungan
sebab akibat antara pengukuran outcome dan pemicu kinerja dari outcome tersebut.
Proses pembuatan Balance scorecard secara manual memang diakui memerlukan energi
yang besar dan diperlukan ketekunan yang tinggi, dimulai pada saat pendefinisian visi dan misi
perusahaan, sasaran strategic perusahaan, pengukuran hasil (outcome measure) dan pemicu
kinerja berdasarkan perspektif Balance scorecard yang disesuaikan dengan setiap unit bisnis
dalam perusahaan. Dapat dipastikan bahwa penerapan Balance scorecard secara manual
mempunyai tingkat kegagalan yang besar terutama dalam konsistensi dan komunikasi antara top,
middle, lower management.
Ditinjau dari sistem manajemen strategik (Strategik management sistem) ada dua tahapan
penting yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced scorecard awalnya berada
pada tahap implementasi saja yaitu sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif bagi para
eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen. Dampak dari keberhasilan
penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk menggunakan balanced scorecard
pada tahapan yang lebih tinggi yaitu perencanaan strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard
tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur kinerja namun berkembang menjadi strategik
management sistem. Dalam kajian manajemen strategik, pengukuran hasil (performace)
memegang peran sangat penting, karena ini tidak saja berkaitan dengan penentuan keberhasilan
akan tetapi menjadi ukuran apakah strategi berhasil atau tidak. Artinya hasil akan dijadikan
ukuran apakah strategi berjalan baik atau tidak; bila organisasi tidak dapat mencapai hasil maka
diagnosa pertama menunjukkan bahwa strategi tidak berjalan. Dalam ukuran yang dinilai
tradisionil, Whelen (2006) menunjukkan bahwa ROI (Return Investment) mengandung berbagai
kelemahan.
Kelemahan ini memaksa praktisi memikirkan ukuran yang lebih komprehensif yang dapat
digunakan. Di Amerika, misalnya, dikenal Malcolm Baldrige National Quality yang setiap
tahunnya memberikan penghargaan melalui acara yang sangat bergengsi. Bagaimanapun
program seperti di atas berpengaruh terhadap kinerja bisnis. Selama ini program tersebut
diyakini telah meningkatkan daya saing bisnis Amerika di pasar global, karena programnya
telah meningkatkan kualitas bisnis. Adapun perspektif bisnis yang dikembangkan dalam program
ini adalah fokus kepada hasil pelanggan, hasil barang dan jasa, hasil keuangan dan pasar, hasil
sumberdaya manusia, ketertarikan hasil organisasi, termasuk pengukuran kinerja perusahaan dan
tatakelola serta tanggungjawab sosial. Dari keenam fokus yang ada di atas, selanjutnya Program
ini mendeskripsikan sebelas komponen yang harus ditunjukkan agar perusahaan dapat
memberikan nilai.
Ketika Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan, kedua penulis ini tidak
henti-hentinya memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang pencapaian
tujuan. Oleh karena itu perspektif yang disampaikan adalah menjadi bagian dari strategi. Patut
dicatat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson dalam Hendricks yang
menjelaskan bahwa:
Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan strategi. Karena itu
disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan penegasan strategi sejak dari
awal. Keterlibatan manajemen senior sangat kritis, karena dukungan internal sangat dibutuhkan
guna menentukan keberhasilan organisasi menerapkan BSC.
Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi bahwa masing-masing
perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya merupakan satu
rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu peta strategi yang secara
jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang
operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun
maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa BSC melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi
menjadi bagian dari strategi karena memberikan umpan balik dan koreksi atas hasil yang
diperoleh.
Tidak mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu
perusahaan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun empat perspektif
yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman mendalam saat
perencanaan strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi yang sesuai
sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan serta ukuran yang akan
diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja menjadi bermanfaat, karena
penyusun strategi akan dapat menentukan.
Hendrick (2004) menunjukkan kendala penerapan BSC (1) sedikit pemeriksaan tentang
faktor yang berkaitan dengan pengadopsian BSC, dan (2) masih dibutuhkan keyakinan bahwa
dengan pengadopsian BSC akan berdampak kepada kinerja keuangan. Selanjutnya ia
melaporkan bahwa kunci dari penerapan BSC adalah keterlibatan kepemimpinan senior;
mengartikulasi visi dan strategi perusahaan; mengidentifikasi kategori kinerja yang
menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil; terjemahkan papan nilai kepada tim, devisi, dan
tingkatan fungsi; kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang berarti (jangka pendek
dan panjang, memimpin, dan tertinggal); kenakan penganggaran yang tepat, Teknologi
Informasi, Komunikasi , dan sistem imbal jasa. Melihat BSC sebagai proses kontinius,
membutuhkan perbaikan, penilaian ulang, dan pemutakhiran dan percaya bahwa BSC sebagai
fasilitator perubahan kultur dan organisasi.
Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya dengan adanya
komitmen itulah organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen
adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun satu
perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi industri ataupun
perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan ini harap diingat akan 4 perspektif yang
dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian tidak serta merta memposisikan perusahaan
dapat mengadopsinya. Penentuan sasaran dan target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal
ini harus termuat dalam satu perencanaan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya
penetapan demikian haruslah disertai oleh Alligment. Alligment adalah adanya pengalokasikan
sumberdaya yang jelas terhadap upaya pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian
sumberdaya maka tidak akan ada jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC
yang telah disusun. Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi, karena
satu perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur.
Financia
l
Customer
Internal Bussiness
Learning & Growth
ROCE
Customer Loyalty
On Time Delivery
Process Quality
Process Cycle Time
Employee Skills
Gambar 1
Hubungan antara empat Perspektif dalam Balanced Scorecard
Perspektif Pelanggan dapat diukur dengan lima aspek utama (Kaplan, 1996) Pengukuran
Pangsa Pasar; Pengukuran Customer Retention; Pengukuran Customer Acquisition; Pengukuran
Customer Satisfaction; Pengukuran Customer Profitability.
Perspektif Bisnis Internal dapat diukur dengan tiga aspek utama yaitu : Proses Inovasi
(penelitian dasar dan trepan juga penelitian pengembangan produk); Proses Operasi
(menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari barang/jasa yang
diberikan kepada konsumen; Pengukuran terhadap efisiensi waktu yang dibutuhkan (time
measurements)
Processing Time
Manufacturing Cycle Efectiveness = ----------------------
Throughput Time
Pengukuran terhadap kualitas proses produksi (quality process measurements).
Menditeksi adanya tingkat kerusakan produk dari proses produksi, perbandingan produk bagus
yang dihasilkan dengan produk bagus yang masuk dalam proses, bahan buangan (waste), bahan
sisa (scrap), besarnya angka pengerjaan kembali (rework), besarnya angka pengembalian dari
konsumen dan lain-lain. Pengukuran terhadap efisiensi biaya proses produksi (process cost
measurements). Dalam manufaktur maju, pengukuran atas biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan produk digunakan ABC system.
Ketiga poin di atas secara bersama-sama (simultan) akan menghasilkan tiga parameter
yang penting untuk mengkarakteristikkan pengukuran proses bisnis internal (perhitungan biaya
yang tepat dimana tidak ada pemborosan biaya dari aktivitas yang tidak bernilai tambah dan
kualitas produk yang dihasilkan baik akan menghasilkan proses bisnis internal yang baik).
Pelayanan Purna Jual (akan mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen). Aktivitas-aktivitas
diantaranya : garansi, reparasi, perlakuan terhadap produk cacat atau rusak, pelayanan dalam
komplain dan lain-lain.
Betapa pentingnya untuk terus memperhatikan karyawan, memantau kesejahteraannya,
meningkatkan pengetahuan karyawan yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan
untuk mencapai hasil ketiga perspektif diatasnya. Pengukur Kemampuan Karyawan dengan 3
aspek Pengukuran kepuasan karyawan; Tingkat keterlibatan karyawan dalam proses
pengambilan keputusan; Pengakuan terhadap hasil kerja karyawan; Kemudahan dalam
mendapatkan informasi sehingga dapat bekerja sebaik mungkin; Keaktifan dan kreativitas dalam
melakukan pekerjaan; Tingkat dukungan yang diberikan kepada karyawan; Pengukuran
perputaran karyawan dalam perusahaan; Pengukuran produktivitas karyawan; Gaji yang
diperoleh dan Rasio perbandingan antara konpensasi yang diperoleh karyawan dengan jumlah
karyawan yang ada di perusahaan.
Kualitas dan produktifitas karyawan dipengaruhi oleh akses terhadap system informasi
yang dimiliki perusahaan (persentase ketersediaan informasi). Semakin mudah informasi
diperoleh maka karyawan akan memiliki kenerja yang semakin baik. Informasi yang dibutuhkan
karyawan seperti informasi pelanggannya, biaya produksi dan lain-lain.
Selain kemudahan akses informasi yang bergitu bagus tetapi juga harus diikuti dengan
adanya motivasi karyawan untuk mau meningkatkan kinerjanya. Pengukuran motivasi karyawan
dapat dinilai melalui dimensi; pengukuran terhadap sarana yang diberikan kepada perusahaan
dan diimplementasikan; pengukuran atas perbaikan dan peningkatan kinerja karyawan;
pengukuran terhadap keterbatasan individu dalam organisasi.
Perspektif
Tujuan strategic Spesifik
Faktor Keberhasilan Kritikal
Ukuran srategi yang mencerminkan strategi perusahaan
Kaplan menyarankan untuk menggunakan proses yang telah ditempuh oleh Mobil
NAM&R dalam membangun scorecard-nya sehingga menjadi organisasi yang fokus terhadap
strategi dan leading dalam industrinya. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
a. Assess the competitive environment.
b. Learn about customer preferences and segments.
c. Develop a strategy to generate breakthrough financial performance.
d. Articulate the balance between growth and productivity.
e. Select the targeted customer segments.
f. Determine the value preposition for the targeted customers.
g. Identify the critical internal business processes to deliver the value proposition. to customers
and for financial cost and productivity objectives.
h. Develop the skills, competencies, motivation, databases, and technology required to excel at
internal processes and customer value delivery.
Selain pola distribusi ukuran seperti yang disampaikan di atas, Kaplan dan Norton juga
menyampaikan bahwa dari total ukuran di dalam scorecard, 80 % dari total jumlah tersebut
merupakan ukuran yang bersifat non finansial.
Dalam penelitian Nomura Research Institute (NRI) Papers No. 45, 1 April 2002
dikemukakan bahwa Jepang sudah beberapa tahun lalu mengintroduksikan pola kerja balance
scorecard (BSC) terhadap lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari hasil penelitiannya,
NRI dapat memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman perusahaan yang
menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced scorecard tersebut merasakan bahwa balanced
scorecard memang memiliki keunggulan yang dirangkum menjadi lima point sebagai berikut:
1. Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2. Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3. Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4. Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis
verifikasi.
5. Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan
keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
NRI mengemukakan salah satu contoh kasus yang spektakuler tentang keberhasilan
penerapan Balanced scorecard yang berimplikasi pada perbaikan kinerja perusahaan seperti
yang dialami oleh perusahaan Kansai Electric Power CO. LTD, perusahaan terbesar kedua di
Jepang yang memproduksi dan mensuplai kebutuhan listrik di Jepang. Perusahaan ini
memperkenalkan cara kerja baru yang disebut "Linked Contract" yang kinerjanya diukur dengan
Balanced Scorecard.
Murphy and Russel (2002:2) menemukan bahwa penggunaan Balanced Scorecard dapat
menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategi, yakni suatu strategi dimana
perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan para pelanggan untuk menciptakan
nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk perusahaan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan bahwa
lebih dari setengah proyek-proyek CRM tidak menghasilkan nilai tambah apapun bagi
perusahaan, dan 50% dari CRM Strategy tetap saja mengalami kegagalan dalam penerapannya di
dunia bisnis, namun Balanced Scorecard dapat menggantikannya.
R. Abdul Haris dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur menemukan
bahwa kinerja BUMD tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang seluruh indikatornya
(pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan pemanfaatan aktiva/ strategi
investasi). Namun ditemukan pula adanya beberapa perspektif yang perlu dibenahi yaitu:
perspektif pelanggan yakni pencapaian kuantitas produksi serta pangsa pasar yang dimiliki,
perspektif proses bisnis internal yakni jaringan hubungan dengan pemasok dan pengendalian
kualitas, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan
pemenuhan kebutuhan karyawan.
Konsep balanced scorecard kini telah menjelma menjadi model penilaian manajemen
yang diyakini bisa mendongkrak kinerja menjadi lebih baik. Di zaman globalisasi yang kian
liberal seperti sekarang, sulit dibantah, tuntutan pasar yang semakin tinggi menjadi hal yang
sangat penting untuk diantisipasi. Jika tidak, niscaya eksistensi akan tergilas oleh keperkasaan
pihak kompetitor.
Aplikasi Balance Scorecard dimulai dari akarnya yaitu pembelajaran dan pertumbuhan,
yang memberikan kontribusi pada proses internal bisnis, sehingga pelanggan menjadi puas dan
pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang tercermin dalam performasi
keuangan. Akhirnya, kemampuan memenuhi target untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses
bisnis intern tergantung kepada kemampuan organisasi untuk belajar dan tumbuh. Mereka yang
memungkinkan belajar dan tumbuh khususnya berasal dari tiga sumber, yaitu pegawai, sistem
dan penyetaraan organisasi.
Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan pada
orang, sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya, tujuan dan
ukuran untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian hari harus
merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi.
Suatu kelompok inti dari tiga ukuran yang terdiri dari kepuasan pegawai, kesetiaan
pegawai dan produktifitas pegawai memberikan ukuran hasil kedalam pegawai, sistem dan
penyetaraan/keselarasan organisasi. Para pendorong hasil ini sekarang agak generik dan kurang
berkembang daripada ketiga perspektif Balance Scorecard lainnya. Balanced scoredcard telah
mengalami tiga generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif,
generasi kedua BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga
intangible asset readiness.
1. Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2. Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3. Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4. Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis
verifikasi.
5. Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan
keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
6. Di antara pengadopsian Scorecard organisasi harus membuat suatu kepurtusan yang mana
perspektif Balanced Scorecard yang akan digunakan. Kaplan dan Norton telah mendesain
Scorecard tersebut dengan perusahaaan yang berorientasi profit dengan mengembangkan empat
perspektif yang luas yaitu: perspektif keuangan, pelanggan, internal proses, dan pembelajaran
dan Pertumbuhan karyawan.
7. Banyak organisasi non profit dan sektor publik akan memilih sebuah misi overarching pada
tingkat yang paling atas, kemudian konsumen pada tingkat kedua.
8. Sebelum mengembangkan strategik map dari tujuan kinerja, maka team Balanced Scorecard
seharusnya berusaha untuk mengumpulkan dan menreview sebanyak-banyaknya latar belakang
organisasi, seperti; misi, nilai, visi, rencana strategik, legal, pelimpahan wewenang, dan
sebagainya.
9. Strategik map merupakan selembar dokumen yang menjelaskan secara tepat dari artikulasinya
dan secara grafik.
10. Analisis dengan Balance Scorecard SWAT merupakan suatu cara yang cukup baik untuk
membentuk strategik map.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No 145,
September, Halaman 36-40.
Hansen dan Mowen, 2000, Management Accounting, International Thompson Publishing, Ohio.
Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap Kinerja
BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca
Sarjana Merdeka Malang.
http://puslit.perta.ac.id/journals/acounting
Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari, Halaman
34-35.
Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action,
Boston: Havard Business School Press.
Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard
Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.
Mulyadi (1999), Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen : Sistem Pelipatganda
Kinerja Perusahaan, Edisi satu, Yogyakarta : Adiya Media
Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999, Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen,
Yogyakarta: Aditya Media.
Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian
Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.
Vincent Gaspersz; 2002. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six
Sigma, Jakarta: Gramedia.
www.BSCol.com dan www.charmeck.org
Add a comment
Classic
Flipcard
Magazine
Mosaic
Sidebar
Snapshot
Timeslide
1.
Nov
EVALUASI DIRI
SEKOLAH/MADRASAH
Mengingat SPM pendidikan dasar ini harus sudah dituntaskan sebelum akhir
tahun 2013, setiap satuan pendidikan harus memprioritaskan penggunaan seluruh sumber
daya yang dimiliki untuk pemenuhan SPM. Satuan pendidikan harus segera mengetahui
posisinya dalam kaitan dengan SNP (terutama SPM), dan menentukan kesenjangan yang
masih
Add a comment
2.
Apr
30
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah
melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam
lembaga pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga
pendidikan untuk mengubah dan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk itu
sangat besar dan penting. Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk
itu. Meskipun sekarang ini sering dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk
memajukan dan meningkatkan mutu lembaga pendidikan, sumber enerji yang terpenting
adalah sumberdaya manusia yang ada didalamnya.
Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi orang-orang yang bekerja itu yang
akan menentukan sampai seberapa jauh lembaga pendidikan akan mampu meningkatkan
mutu kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja
yang kondusif untuk meningkatkan mutu.
Di lain fihak para pelaksana di lembaga pendidikan kecewa dan merasa kurang
enak karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu
kinerja yang lebih tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada saat yang
sama mereka menuntut adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang lebih besar.
Dalam kondisi yang ada mereka tidak pernah bisa merasa pasti tentang komitmen dan
tanggung-jawabnya.
Agar orang mau berpartisipasi meningkatkan mutu (atas kemauan sendiri) orang
itu perlu mendapatkan kesempatan untuk berbuat demikian. Kesempatan ini bisa berupa
ajakan dari pimpinan dan atau orang-orang lain di sekitarnya, atau kebebasan untuk
berpartisipasi, tersedia-nya fasilitas untuk meningkatkan mutu, atau dalam bentuk
kewenangan untuk berpartisipasi. Memberi kewenangan kepada semua orang untuk
meningkatkan mutu kinerjanya masing-masing adalah penting untuk munculnya
partisipasi dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
Partisipasi
PEMBERDAYAAN
Kemampuan
Kesempatan
O
Kemauan
3) Perubahan terjadi secara lambat dan jarang, dan hanya datang dari puncak.
6) Fokus perhatian orang pada atasan yang bertanggung jawab atas pekerjaan
bawahannya.
7) Pimpinanlah yang mengatakan bagaimana sesuatu harus dikerjakan dan apa
yang harus dihasilkan.
8) Bawahan tidak diharapkan bermotivasi tinggi, karena itu perlu diawasi dan
dikendalikan secara ketat.
Pengawasan dan koordinasi dilakukan melalui komunikasi yang dilakukan secara
terus-menerus dan melalui banyak keputusan.
Kunci keberhasilan bagi semua karyawan dan pimpinan adalah kemampuan
bekerjasama dengan orang-orang lain.
Dalam organisasi ini terdapat relatif hanya sedikit tingkatan (eselon).
Para pimpinan adalah sumber enerji, penghubung dan pemberdaya bagi orang-orang
yang ada dalam berbagai tim yang ada dalam organisasi.
Bentuk Tradisional
Piramidal
Bentuk Transisional
Bentuk Sirkel
Proses Peribahan dari Bentuk Piramidal ke Bentuk Sirkel (Jaringan melalui
Bentuk Transisional).
Kebanyakan organisasi berada dalam bentuk antara piramida dan sirkel. Jadi
bentuk organisasi akan berubah secara bertahap. Dengan memikirkan dan
membayangkan dimana organisasi lembaga pendidikan kita berada pada saat ini, dan
pada posisi mana kita harapkan setelah be-berapa tahun yang akan datang, kita akan
dapat menggerakan perubahan dalam organisasi seperti yang kita harapkan, yaitu agar
organisasi lembaga pendidikan menjadi lebih berdaya.
Berikut ini empat macam goncangan yang mungkin akan menghadang di tengah
upaya pemberdayaan lembaga pendidikan.
3) Anger = marah : menyalahkan fihak lain karena menganjurkan semua ini.
Kalau mengalami salah satu atau beberapa goncangan semacam itu jangan cemas.
Tetaplah pada arah yang dituju, yaitu memberdayakan organisasi lembaga pendidikan.
BAB II
PEMBERDAYAAN ORGANISASI
Istilah balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced (berimbang) dan
scorecard (kartu skor). Kata berimbang (balanced) dapat diartikan dengan kinerja yang
diukur secara berimbang dari dua sisi yaitu sisi keuangan dan non keuangan, mencakup
jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan bagian internal dan eksternal,
sedangkan pengertian kartu skor (scorecard) adalah suatu kartu yang digunakan untuk
mencatat skor hasil kinerja baik untuk kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di
masa yang akan datang. Dengan demikian, pengertian sederhana dari balanced scorecard
adalah kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan
keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan jangka
panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal.
Sejarah Balanced scorecard dimulai dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 di
USA oleh David P Norton dan Robert Kaplan melalui suatu riset tentang “pengukuran
kinerja dalam organisasi masa depan”. Balanced scoredcard telah mengalami tiga
generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua
BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga
intangible asset readiness. BSC generasi pertama mendefinisikan empat persepktif dalam
perusahaan yang harus diukur kinerjanya. Pertama, perspektif keuangan ( Financial
Perspective). Balanced scorecard memakai perspektif keuangan sebagai perspektif yang
terjadi akibat dari perspektif yang lain (customer, proses bisnis internal dan pembelajaran
& pertumbuhan), perspektif ini secara otomatis akan terwujud dari baik buruknya kinerja
tiga perspektif dibawahnya. Pengukuran kinerja keuangan mengindikasikan apakah
strategi perusahaan, penerapannya, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi pada
peningkatan yang mendasar atau tidak. Oleh karena itu persepektif keuangan tidak
memiliki initiative stratetegik untuk mencapai sasaran strategic. Sasaran strategic dari
perspektif keuangan adalah shareholder value seperti meningkatnya ROI (Return on
Investment), pertumbuhan pendapatan perusahaan, dan berkuranganya biaya produksi.
Kedua, perspektif kustomer (Costumer Perspective). Pada perspektif ini, perusahaan
mengidentifikasikan dan mendefinisikan pelanggan dan segmen pasarnya. Perspektif ini
memiliki beberapa pengukuran utama dari outcome yang sukses dengan formulasi dan
penerapan strategi yang baik. Sasaran strategic dari perspektif customer ini adalah Firm
equity diantaranya adalah meningkatnya kepercayaan customer atas produk dan jasa yang
ditawarkan perusahaan, kecepatan layanan yang diberikan dan kualitas hubungan
perusahaan dengan kustomernya. Ketiga, perspektif proses bisnis /internal ( Internal
Process Perspective). Fokus dalam perspektif ini adalah proses internal dari manajemen
perusahaan yang harus dilakukan, yaitu proses yang berhubungan dengan penciptaan
barang dan jasa sehingga dapat menarik dan mempertahankan pelanggan di pasar, yang
akhirnya dapat memuaskan ekspektasi pemegang saham.
Sejak 1992, konsep ini terus dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton
bahkan oleh penulis lain. Demikian juga dengan bidang yang mengadopsi BSC, semakin
lama semakin banyak. Karathonous, D., and P. Karathonous (2005), meggunakan BSC
untuk pendidikan; Kocakulah, M.C dan Austill, A.D. (2007) di bidang Kesehatan.
Pada awal tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mempublikasikan
tulisan mereka yang berjudul “The Balanced Scorecard : Measures that Drive
Performance” pada majalah Harvard Business Review edisi awal tahun tersebut. Bisa
dikatakan, inilah pemunculan metode balanced scorecard yang pertama untuk konsumsi
publik. Ide apa yang diusung oleh kedua penulis ? Ada dua ide utama, yaitu pengukuran
indikator kinerja bisnis serta empat perspektif untuk melakukan pengukuran tersebut.
Banyak pengamat memberi label “balanced scorecard generasi pertama” untuk tulisan
ini.
Metode balanced scorecard versi lengkap pertama kali muncul dalam bentuk
buku pada tahun 1996, berjudul “The Balanced Scorecard : Translating Strategy into
Action” ditulis oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton. Pada buku ini sudah diulas
secara lengkap hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships), penyusunan insiatif
stratejik (strategic initiatives), customer value proposition, serta konsep lead dan lag.
Lagi, banyak pengamat memberi label “balanced scorecard generasi kedua” untuk buku
ini.
1) BSC adalah alat komprehensif untuk memahami pelanggan dan kebutuhannya,
dan kesenjangan kinerja.
2) BSC menyiapkan logika untuk menciptakan modal intangible dan inlektual
dimana dengan pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.
3) BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan menjadi keandalan bisnis yang
fokus kepada upaya-upaya non finansial.
4) BSC memampukan karyawan memahami strategi dan kaitan sasaran ke dalam
operasi perusahaan hari ke hari.
5) BSC memafsilitasi umpan balik riviu kinerja dari waktu ke waktu.
Kontribusi lain adalah dari sisi metode penyusunan balanced scorecard. Banyak
pihak yang berkontribusi mengenai hal ini, antara lain Paul Niven, Nills-Goran Olve,
Mark Graham Brown, dan sebagainya. Kembangan lain dari balanced scorecard juga
muncul untuk bidang internal audit (Mark L. Fringo, 2002), manajemen proyek (Jack
Phillips), institusi pemerintahan dan LSM (Paul Niven, 2003), jasa konsultansi (Jack
Phillips, 1999), kepemimpinan (Jack Phillips), dan sebagainya. Begitu juga dengan upaya
untuk menggabungkan dengan alat manajemen yang lain seperti six sigma (Praveen
Gupta, 2003).
Sekarang, pada usia yang ke-14, sudah sampai di mana perkembangan balanced
scorecard ? Pada buku terbarunya Robert S. Kaplan dan David P. Norton mengupas hal-
hal baru berkaitan dengan balanced scorecard. Pertama, berkaitan dengan penyelasaran
strategi tingkat korporat, business unit, dan strategi fungsional di dalam organisasi,
dengan menggunakan balanced scorecard. Kedua, mereka memperkenalkan enterprise
value proposition, versi lebih lengkap dari customer value proposition yang telah ada saat
ini. Ketiga, penggunaan balanced scorecard untuk menyelaraskan hubungan berupa
peran dan fungsi dengan pihak eksternal organisasi. Keempat, mereka membungkus
ketiga hal sebelumnya dengan kerangka total strategic alignment model.
Akankah hal ini akan diberi label “balanced scorecard generasi keempat” oleh
para pengamat ? Mungkin saja, Sah-sah saja kan ? Jangan-jangan Kaplan dan Norton pun
tidak peduli dengan label itu.
Strategi korporasi diturunkan dari Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi,
sehingga kalau tujuan korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen
(2006) menjelaskan berbagai hal penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu: 1)
komunikasi yang sulit antar staf, 2) komitemen manajemen operasional lemah, 3) gagal
menerima umpan balik dan mekanismenya, 4) basis perencanaan tidak valid, formulasi
strategi tidak valid, 5) perencanaan fungsional tidak konsisten, dan 6) penilaian
sumberdaya tidak konsisten.
Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa BSC
adalah strategi. Memperhatikan BSC sebagai pengukuran kinerja mungkin itu adalah hal
yang paling mudah diketahui, karena masing-masing perspektif yang kemudian
diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan tetapi, bila
diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan strategi sebagai awal daripada
penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan masing-masing perspektif dengan
strategi sangat kuat. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1. berikut.
Kaplan dan Norton (1992) menjelaskan bahwa The balanced scorecard puts
strategy – not control – at the center. Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC
bukanlah adanya pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi
sedemikian rupa akan berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya
dengan visi, misi dan strategi korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah
teridentifikasinya struktur ataupun kerangka yang ada di korporasi guna mencapai –
merealisasikan visi dan misi korporasi. Penjelasan demikian menegaskan bahwa sebelum
BSC dikenalkan telah banyak dikenal berbagai program pengukuran yang mengarah
kepada perbaikan: integrasi antar fungsi, skala global, perbaikan terus-menerus,
tanggung jawab team yang menggantikan peran individu. Kaplan sendiri menuliskan
bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu. Akan tetapi yang membedakan
BSC dengan berbagai konsep tersebut adalah bahwa pada BSC manajer memahami,
setidaknya secara implisit kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga
mengarahkan manajer ke depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami
karena empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran
dan pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu
dengan lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan “cause and effect relationship”.
Dimana bahwa scorecard (papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi
kunci yang secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan
oleh visi dan misi. Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi
“mesin” penggerak semua kegiatan.
Dari hasil pengalaman korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC
banyak memberikan manfaat dibanding dengan pengukuran kinerja yang lain. Frigo
(2002) melaporkan korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB Sitzerland, AT&T
Canada, Chemical Bank, Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells Fargo Online Fiancial
Service, dan Wendy’s International menunjukkan keunggulan BSC dengan satu hirarkis
maupun kerangka yang dapat dijadikan pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi.
Selanjutnya dari hasil survey IMA yang dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat
penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1) pengguna BSC dapat mendukung strategi
korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam pengukuran kinerja, 3) penggunaan
alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat antara indikator kinerja dengan kinerja perusahaan
karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan.
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC
yaitu: 1) Pemahaman manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan
tindakan dan strategi yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan; 3)
Rekayasa mendasar dari proses bisnis; dan 4) Munculnya kultur korperasi yang
menekankan kepada upaya tim diantara fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan
Proses pembuatan Balance scorecard secara manual memang diakui memerlukan
energi yang besar dan diperlukan ketekunan yang tinggi, dimulai pada saat pendefinisian
visi dan misi perusahaan, sasaran strategic perusahaan, pengukuran hasil (outcome
measure) dan pemicu kinerja berdasarkan perspektif Balance scorecard yang disesuaikan
dengan setiap unit bisnis dalam perusahaan. Dapat dipastikan bahwa penerapan Balance
scorecard secara manual mempunyai tingkat kegagalan yang besar terutama dalam
konsistensi dan komunikasi antara top, middle, lower management.
Ditinjau dari sistem manajemen strategik (Strategik management sistem) ada dua
tahapan penting yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced scorecard
awalnya berada pada tahap implementasi saja yaitu sebagai alat ukur kinerja secara
komprehensif bagi para eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen.
Dampak dari keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk
menggunakan balanced scorecard pada tahapan yang lebih tinggi yaitu perencanaan
strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur
kinerja namun berkembang menjadi strategik management sistem. Dalam kajian
manajemen strategik, pengukuran hasil (performace) memegang peran sangat penting,
karena ini tidak saja berkaitan dengan penentuan keberhasilan akan tetapi menjadi ukuran
apakah strategi berhasil atau tidak. Artinya hasil akan dijadikan ukuran apakah strategi
berjalan baik atau tidak; bila organisasi tidak dapat mencapai hasil maka diagnosa
pertama menunjukkan bahwa strategi tidak berjalan. Dalam ukuran yang dinilai
tradisionil, Whelen (2006) menunjukkan bahwa ROI (Return Investment) mengandung
berbagai kelemahan.
Ketika Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan, kedua penulis ini
tidak henti-hentinya memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang
pencapaian tujuan. Oleh karena itu perspektif yang disampaikan adalah menjadi bagian
dari strategi. Patut dicatat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson
dalam Hendricks yang menjelaskan bahwa:
Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan strategi.
Karena itu disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan
penegasan strategi sejak dari awal. Keterlibatan manajemen senior sangat kritis,
karena dukungan internal sangat dibutuhkan guna menentukan keberhasilan
organisasi menerapkan BSC.
Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi bahwa masing-
masing perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya
merupakan satu rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu
peta strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan
menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapai
sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa BSC
melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi menjadi bagian dari strategi karena
memberikan umpan balik dan koreksi atas hasil yang diperoleh.
Tidak mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu
perusahaan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun empat
perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman
mendalam saat perencanaan strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari
identifikasi yang sesuai sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan
serta ukuran yang akan diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja
menjadi bermanfaat, karena penyusun strategi akan dapat menentukan.
Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya dengan
adanya komitmen itulah organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat dilakukan oleh
pihak manajemen adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan
tetapi bagaimanapun satu perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut
mereka spesifik bagi industri ataupun perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan
ini harap diingat akan 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian
tidak serta merta memposisikan perusahaan dapat mengadopsinya. Penentuan sasaran dan
target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini harus termuat dalam satu
perencanaan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya penetapan demikian
haruslah disertai oleh Alligment. Alligment adalah adanya pengalokasikan sumberdaya
yang jelas terhadap upaya pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian sumberdaya
maka tidak akan ada jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC yang
telah disusun. Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi,
karena satu perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur.
Financia
l
Customer
Internal Bussiness
Learning & Growth
ROCE
Customer Loyalty
On Time Delivery
Process Quality
Process Cycle Time
Employee Skills
Gambar 1
Hubungan antara empat Perspektif dalam Balanced Scorecard
Perspektif Pelanggan dapat diukur dengan lima aspek utama (Kaplan, 1996)
Pengukuran Pangsa Pasar; Pengukuran Customer Retention; Pengukuran Customer
Acquisition; Pengukuran Customer Satisfaction; Pengukuran Customer Profitability.
Perspektif Bisnis Internal dapat diukur dengan tiga aspek utama yaitu : Proses
Inovasi (penelitian dasar dan trepan juga penelitian pengembangan produk); Proses
Operasi (menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari
barang/jasa yang diberikan kepada konsumen; Pengukuran terhadap efisiensi waktu yang
dibutuhkan (time measurements)
Processing Time
Throughput Time
Selain kemudahan akses informasi yang bergitu bagus tetapi juga harus diikuti
dengan adanya motivasi karyawan untuk mau meningkatkan kinerjanya. Pengukuran
motivasi karyawan dapat dinilai melalui dimensi; pengukuran terhadap sarana yang
diberikan kepada perusahaan dan diimplementasikan; pengukuran atas perbaikan dan
peningkatan kinerja karyawan; pengukuran terhadap keterbatasan individu dalam
organisasi.
Implementasi BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang
antar berbagai perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi ataupun
perusahaan. Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut banyak
hal, akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa capaian
dan kinerja satu organisasi dapat berkelanjutan (sustainable). Apa yang harus dicatat dari
berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk mengimplementasikan BSC
sekalipun dibutuhkan strategi. Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC sangat
dinyatakan bahwa rancangan strategi implementasi mutlak dilaksanakan. Hal ini
merupakan koreksi terhadap kelemahan strategi pada umumnya.
Bangunan Balanced Scorecard dimulai dari visi perusahaan. Visi di sini adalah
situasi masa depan perusahaan yang diinginkan. Kemudian visi ini diuraikan dalam
perspektif-perspektif pengukuran. Pada masing-masing perspektif tersebut ditetapkan
tujuan-tujuan strategis yang lebih spesifik yang merupakan penjabaran dari visi
perusahaan. Atas dasar tujuan strategis ini, perusahaan kemudian menetapkan faktor-
faktor keberhasilan kritikal agar visi perusahaan bisa diwujudkan. Setelah penetapan
factor-faktor keberhasilan kritikal ini, kemudian ditentukan ukuran-ukuran strategis yang
mencerminkan strategi perusahaan. Terakhir, perusahaan menyiapkan langkah-langkah
spesifik yang akan dilakukan pada masa mendatang agar tercapai tujuan-tujuan strategis
yang merupakan syarat bagi pencapaian misi perusahaan. Gambar 2.1 berikut
memberikan gambaran ringkas bagaimana sebuah Balanced Scorecard
Financial
Costumers
Internal business
Learning & Growth
Langkah-langkah spesifik untuk mencapai tujuan
Visi Atau situasi masa depan perusahaan yang diinginkan.
Perspektif
Tujuan strategic Spesifik
Faktor Keberhasilan Kritikal
Ukuran srategi yang mencerminkan strategi perusahaan
Kaplan menyarankan untuk menggunakan proses yang telah ditempuh oleh Mobil
NAM&R dalam membangun scorecard-nya sehingga menjadi organisasi yang fokus
terhadap strategi dan leading dalam industrinya. Langkah-langkah tersebut sebagai
berikut:
g. Identify the critical internal business processes to deliver the value
proposition. to customers and for financial cost and productivity objectives.
Pengembangan Strategi
Manajemen Control System
Pengembangan system dan IT
Pembelajaran organisasi
BSC
Model Balanced Scorecard hanya memberikan perusahaan sebuah struktur yang
menyatakan visi dan strategi perusahaan ke dalam sasaran dan ukuran yang nyata.
Perusahaan masih menghadapi tantangan untuk membangun sebuah sistem serta prosedur
yang mampu mengumpulkan informasi sekaligus mengkomunikasikannya kepada
karyawan dan pihak-pihak yang memerlukan. Untuk menciptakan perubahan yang
diinginkan dari sistem pengukuran kinerja ini, informasi harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
c. Easy to access – the person who needs the information must be able to obtain it
wherever he or she is.
Walaupun tidak ada standar yang seragam untuk mengevaluasi penyusunan atau
penerapan suatu Balanced Scorecard, Olve et al. telah mengidentifikasi keadaan yang
menunjukkan penerapan Balanced Scorecard yang berhasil sebagai berikut:
b. Priority
Setelah menerima dan memeriksa data dari para supervisor yang menjadi tanggung
jawabnya, manajer terkait kemudian menyampaikan data tersebut beserta dokumen
pendukungnya kepada bagian QAD untuk diolah ke dalam format Balanced Scorecard.
Oleh bagian QAD data-data tersebut kembali diperiksa untuk mendapatkan jaminan atas
validitas dan kewajarannya. Setelah proses ini data tersebut di-input ke loader Balanced
Scorecard dan ke dalam form laporan Balanced Scorecard yang telah distandarkan.
Setelah mengoreksi hasil input baik pada loader Balanced Scorecard maupun form
laporan Balanced Scorecard, bagian QAD mengirimkan laporan Balanced Scorecard
kepada Direktur Utama.
Bagian QAD juga menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal
Computer) manajemen dalam bentuk database untuk mendapatkan tindak lanjut dari apa-
apa yang telah dicapai perusahaan selama periode yang bersangkutan. Setelah data
masukan ini diproses, aplikasi Balanced Scorecard perusahaan akan menyajikan
pencapaian kinerja perusahaan dibandingkan dengan target atau anggaran pada periode
atau waktu yang terkait.
Ada beberapa prosedur tanggapan yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam
menindaklanjuti laporan kinerja yang ditampilkan ini, yaitu: 1) Melakukan koreksi
dengan cara membuat catatan berdasarkan grafik dan diagram yang ditampilkan pada
masing-masing KPI Balanced Scorecard untuk melihat perkembangan terhadap
pelaksanaan kerja dari masing-masing bagiannya apakah pelaksanaan kerja tersebut dapat
mencapai rencana kerja yang telah ditentukan atau tidak; 2) Mencari penyebab
sehingga pelaksanaan kerja yang dilakukan tidak dapat mencapai rencana kerja yang
telah ditentukan sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan kerja periode yang akan
datang; 3) Mencari cara agar pelaksanaan kerja yang dilakukan pada periode yang akan
datang dapat mencapai rencana kerja yang ditentukan Melakukan koordinasi dengan
masing-masing bagian di bawahnya terhadap pelaksanaan kerja periode yang akan datang
untuk disesuaikan dengan rencana kerja yang telah ditentukan.
Setelah tujuan pada angka 1 (satu) di atas, implementasi Balanced Scorecard akan
diarahkan pada masing-masing karyawan. Setiap karyawan akan dinilai kinerjanya
dengan menggunakan sistem penilaian berbasis Balanced Scorecard. Nantinya
diharapkan seluruh bagian dalam perusahaan akan dinilai kinerjanya dengan
menggunakan kerangka Balanced Scorecard perusahaan.
Selain pola distribusi ukuran seperti yang disampaikan di atas, Kaplan dan Norton
juga menyampaikan bahwa dari total ukuran di dalam scorecard, 80 % dari total jumlah
tersebut merupakan ukuran yang bersifat non finansial.
Dalam penelitian Nomura Research Institute (NRI) Papers No. 45, 1 April 2002
dikemukakan bahwa Jepang sudah beberapa tahun lalu mengintroduksikan pola kerja
balance scorecard (BSC) terhadap lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari
hasil penelitiannya, NRI dapat memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-
pengalaman perusahaan yang menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced
scorecard tersebut merasakan bahwa balanced scorecard memang memiliki keunggulan
yang dirangkum menjadi lima point sebagai berikut:
1. Komprehensif.
PENUTUP
Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan
pada orang, sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya,
tujuan dan ukuran untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian
hari harus merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi.
Suatu kelompok inti dari tiga ukuran yang terdiri dari kepuasan pegawai,
kesetiaan pegawai dan produktifitas pegawai memberikan ukuran hasil kedalam
pegawai, sistem dan penyetaraan/keselarasan organisasi. Para pendorong hasil ini
sekarang agak generik dan kurang berkembang daripada ketiga perspektif Balance
Scorecard lainnya. Balanced scoredcard telah mengalami tiga generasi yaitu: Generasi
pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua BSC dengan strategy
maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga intangible asset readiness.
1. Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2. Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3. Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4. Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus
hipotesis verifikasi.
5. Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang
mencerminkan keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
7. Banyak organisasi non profit dan sektor publik akan memilih sebuah misi
overarching pada tingkat yang paling atas, kemudian konsumen pada tingkat
kedua.
8. Sebelum mengembangkan strategik map dari tujuan kinerja, maka team Balanced
Scorecard seharusnya berusaha untuk mengumpulkan dan menreview sebanyak-
banyaknya latar belakang organisasi, seperti; misi, nilai, visi, rencana strategik,
legal, pelimpahan wewenang, dan sebagainya.
9. Strategik map merupakan selembar dokumen yang menjelaskan secara tepat dari
artikulasinya dan secara grafik.
10. Analisis dengan Balance Scorecard SWAT merupakan suatu cara yang cukup
baik untuk membentuk strategik map.
DAFTAR PUSTAKA
Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap
Kinerja BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur,
Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.
http://puslit.perta.ac.id/journals/acounting
Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy
Into Action, Boston: Havard Business School Press.
Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced
Scorecard Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.