Anda di halaman 1dari 83

Balanced scorcard dalam pendidikan

By. Rusman Faoz


BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah
melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam lembaga
pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga pendidikan untuk
mengubah dan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk itu sangat besar dan penting.
Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk itu. Meskipun sekarang ini sering
dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk memajukan dan meningkatkan mutu lembaga
pendidikan, sumber enerji yang terpenting adalah sumberdaya manusia yang ada didalamnya.
Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi orang-orang yang bekerja itu yang akan
menentukan sampai seberapa jauh lembaga pendidikan akan mampu meningkatkan mutu
kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja yang kondusif
untuk meningkatkan mutu.
Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun dedikasi dan komitmen
yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya
dengan mutu yang tinggi. Dalam organisasi yang telah diberdayakan akan tercipta hubungan di
antara orang-orangnya yang saling berbagi kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi, harapan-
harapan, dan pengakuan serta penghargaan. Hubungan kerja semacam itu sangat berbeda dengan
hubungan kerja yang secara tradisional didasari oleh hubungan hirarkhi dalam organisasi. Aset
yang paling berharga dari suatu lembaga pendidikan adalah orang-orang yang bekerja di
dalamnya yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, kreatifitas, motivasi
dan kemam-puan bekerjasama yang mereka miliki.
Bagi para pelaksana di lembaga pendidikan – dosen, teknisi, pegawai administrasi, dan
sebagainya, pemberdayaan merupakan kebutuhan yang harus mereka peroleh. Sebaliknya bagi
para pimpinan – mulai dari yang tertinggi sampai ke yang terrendah – pemberdayaan adalah
suatu fungsi yang harus mereka lakukan atau berikan kepada para pelaksana. Bagi suatu
organisasi yang mendam-bakan kualitas kinerja yang terus meningkat pemberdayaan adalah
suatu proses yang harus terjadi. Tanpa proses pemberdayaan suatu lembaga pendidikan akan
sulit untuk bisa memenangkan persaingan yang semakin keras secara nasional ataupun secara
internasional. Tanpa pemberda-yaan suatu lembaga pendidikan juga akan sulit untuk memenuhi
tuntutan masyarakat akan adanya pendidikan yang semakin tinggi standar mutunya. Keterbatasan
berbagai sumberdaya juga meng-haruskan setiap lembaga pendidikan melaksanakan
pemberdayaan organisasinya.
Di lain fihak para pelaksana di lembaga pendidikan kecewa dan merasa kurang enak
karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu kinerja yang lebih
tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada saat yang sama mereka menuntut
adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang lebih besar. Dalam kondisi yang ada mereka
tidak pernah bisa merasa pasti tentang komitmen dan tanggung-jawabnya.
Dalam situasi semacam itu lembaga pendidikan harus melakukan penyesuaian, mengem-
bangkan dan belajar cara-cara baru agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan mutu yang
lebih baik. Para pimpinan lembaga pendidikan harus terus berusaha agar organisasinya dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan mutu dari luar maupun dari dalam.
Pada dasarnya pemberdayaan adalah cara untuk melaksanakan kerjasama dalam
organisasi sehingga semua orang berpartisipasi penuh.. Dalam organisasi yang sudah diberdaya-
kan para pelaksana (dosen, teknisi, pegawai administrasi, pustakawan, laboran, dsb) merasa
bertanggung-jawab tidak hanya tentang pekerjaan yang dikerjakannya, tetapi juga tentang
keseluruhan lembaga pendidikannya agar dapat berfungsi secara lebih baik. Tim-tim yang telah
diberdayakan akan bekerjasama memperbaiki kinerja mereka secara berkelanjutan, mencapai
tingkat produktivitas dan mutu yang tinggi. Setelah pemberdayaan lembaga pendidikan akan
terstruktur sedemikian rupa hingga orang-orang merasa bahwa mereka dapat mencapai hasil-
hasil sebagaimana mereka harapkan, mereka dapat melakukan apa yang perlu mereka lakukan,
dan tidak sekedar dapat melakukan apa yang mereka diperintah untuk melakukannya, dan
mereka menerima penghargaan atas apa yang mereka lakukan itu.
Dinamika suatu organisasi – lembaga pendidikan – terletak pada kreativitas dan inisiatif
orang-orang yang ada di dalamnya. Bila lembaga pendidikan itu dan orang-orang yang ada
meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan adalah mencari
bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif yang ada pada orang-
orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya adalah dengan meningkatkan
kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampian kerjanya, memberi
kewenangan atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan memberi motivasi agar
mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa untuk memanfaatkan potensi
orang-orang itu dengan jalan mendo-rongnya untuk berpartisipasi meraih kinerja lembaga
pendidikan yang lebih bermutu. Agar mereka berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya,
dikembangkan kemauannya, dan diberi kesem-patan untuk berpartisipasi.
Lembaga pendidikan perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-orang
yang bekerja di dalamnya apakah mereka dosen atau pegawai non-edukatif seperti teknisi,
laboran, pustakawan, pegawai administrasi, resepsionis, operator telepon, pengantar surat,
petugas kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan kemampuan adalah
tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui program-program
pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan – direncanakan dan dilaksanakan secara teratur dan
profesional – bagi semua jenis dan tingkatan pekerja lembaga pendidikan. Tujuan utama dari
pendidikan dan pelatihan itu adalah memberi wawasan yang lebih luas dan dalam tentang
hakekat tugas yang diembannya, meningkatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar
yang relevan dengan jenis tugasnya, memperluas dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan
yang berkaitan dengan tugasnya, serta menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal
yang dipelajarinya. Dengan wawasan, keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah itu
diharapkan orang-orang itu akan berkembang kreativitasnya dan berani berinisiatif untuk
mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru itulah yang bisa diharapkan dapat
membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya pendidikan dan pelatihan tambahan sulit
diharapkan berkembangnya kreativitas dan inisiatif untuk melahirkan dan mencoba cara-cara
baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan adanya mutu kinerja yang lebih baik. Dalam
menerapkan MMT, pelembagaan program-program pendidikan dan pelatihan itu merupakan
kebijakan yang mutlak.
Menguasai kemampuan yang berupa pengetahuan dan keterampilan saja tidaklah cukup.
Orang perlu memiliki kemauan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya agar dapat
menghasilkan kinerja yang lebih bermutu. Kemauan itu ibarat motor penggerak yang
mendorong dirinya sendiri untuk mencapai prestasi yang lebih baik. Kemauan ini sama atau
berkaitan erat dengan motivasi. Untuk menghasilkan mutu kinerja yang lebih baik diperlukan
motivasi. Sumber motivasi seseorang adalah kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh orang itu.
Jelas sekali bahwa setiap individu pada suatu saat memiliki kebutuhan yang ingin terpenuhi.
Untuk meme-nuhi kebutuhannya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu asalkan
perbuatannya itu mengarah pada pemuasan kebutuhannya tadi. Sekarang bagaimana
mengkaitkan perbuatan mem-perbaiki mutu lembaga pendidikan itu dengan pemuasan salah satu
atau beberapa kebutuhan orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan. Menurut Abraham
Maslow kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi lima kategori yang tersusun secara
hirarkhi, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan harga
diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk pegawai-pegawai golongan bawah mungkin
kebutuhan-kebutuhan yang dirasa mendesak masih berkisar pada kebutuhan fisiologis (pangan,
sandang, papan, dll) dan keamanan (tabungan,dll) yang dalam kehidupan modern bisa dibeli
dengan uang. Oleh karena itu untuk mereka tugas-tugas yang bisa memperoleh imbalan uang
akan dikerjakan dengan lebih baik, ter-masuk tugas-tugas meningkatkan mutu kinerja. Bagi para
pegawai golongan menengah ke atas biasanya kebutuhan yang dirasa mendesak bukan lagi
kebutuhan fisiologis dan keamanan, tetapi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri.
Pemenuhan atau pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini biasanya tidak semata-mata dengan
menggunakan uang, tetapi dengan menggunakan kemam-puan atau prestasi diri. Oleh karena itu
hal-hal yang bisa memotivasi orang-orang golongan ini adalah yang bisa langsung atau tak
langsung meningkatkan harga dirinya. Diskusi ini mengarah pada perlunya memberi
pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang agar mau melaku-kan usaha-usaha
peningkatan mutu kinerjanya. Dengan diakui dan dihargainya kontribusi orang-orang tersebut
dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan di mana mereka bekerja, mereka merasa harga
dirinya naik, dan dengan harga diri yang naik itu mereka merasa upayanya untuk memenuhi
kebutuhan sosialnya akan menjadi mudah. Jadi untuk menumbuhkan kemauan orang untuk
meningkatkan mutu kinerjanya bisa dengan menerapkan sistem penghargaan yang bentuknya
disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok orang. Perlu sekali lagi ditekankan di
sini bahwa penghargaan tidak selalu harus dalam bentuk uang atau materi. Pengakuan dan pujian
di hadapan umum bisa memotivasi orang untuk berbuat baik lebih lanjut.
Agar orang mau berpartisipasi meningkatkan mutu (atas kemauan sendiri) orang itu perlu
mendapatkan kesempatan untuk berbuat demikian. Kesempatan ini bisa berupa ajakan dari
pimpinan dan atau orang-orang lain di sekitarnya, atau kebebasan untuk berpartisipasi, tersedia-
nya fasilitas untuk meningkatkan mutu, atau dalam bentuk kewenangan untuk berpartisipasi.
Memberi kewenangan kepada semua orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya masing-masing
adalah penting untuk munculnya partisipasi dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan.
Pemberdayaan lembaga pendidikan berawal dari adanya sifat hubungan baru di antara
orang-orang yang bekerja, dan antara orang-orang itu dengan pimpinan lembaga pendidikannya.
Mereka semua adalah mitra kerja. Setiap orang diajak untuk tidak hanya merasa bertanggung-
jawab tentang pekerjaannya sendiri, tetapi mereka juga merasa ikut memiliki organisasi secara
keseluruhan. Para pekerja itu perlu dibuat merasa sebagai pengambil keputusan, tidak sekedar
sebagai pengikut, pelaksana, penerima perintah atau bawahan. Selain itu mereka juga merasa
bangga atau kecewa terhadap keberhasilan lembaga pendidikannya secara keseluruhan, dan
bukan hanya merasa bangga atau kecewa terhadap hasil kerja dirinya sendiri saja.

Partisipasi

PEMBERDAYAAN
 
Kemampuan
Kesempatan
O
O

Kemauan
O

Diagram di atas memperjelas bagaimana partisipasi bisa muncul dalam organisasi, yaitu
bila ditopang oleh adanya faktor-faktor kemampuan, kemauan, dan kesempatan. Dalam
berupaya memberdayakan lembaga pendidikan perlu selalu diupayakan bagaimana
menumbuhkan ketiga faktor itu pada setiap orang yang bekerja di lembaga pendidikan yang
bersangkutan. Usaha pemberdayaan yang berhasil akan mengubah suasana kerja, semangat kerja,
dan semangat kerjasama, dan akhirnya akan menghasilkan kinerja yang lebih bermutu.
Sejak kelahirannya sampai sekarang lembaga pendidikan di Indonesia cenderung
menerapkan organisasi yang berbentuk tradisional, yang terkendali secara ketat dari atas dan
jarang melibatkan pemikiran dari bawah. Organisasi tradisional itu biasanya berbentuk piramida
dengan pimpinan tertingginya berada di puncak. Organisasi semacam ini ditandai dengan adanya
pembagian fungsi yang sangat tajam dengan batas-batas yang jelas, uraian tugas yang terbatas
dan pengendalian ketat oleh atasan. Dalam organisasi ini orang-orang yang berada di puncak
berfikir dan merencanakan, sedangkan orang-orang yang berada di bawah melaksanakannya.
Ciri-ciri organisasi piramidal :
1)      Keputusan diambil oleh pimpinan puncak.
2)      Setiap orang hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.
3)      Perubahan terjadi secara lambat dan jarang, dan hanya datang dari puncak.
4)      Umpan balik dan komunikasi dari atas ke bawah.
5)      Interaksi dan komunikasi antar bagian sangat minimal.
6)      Fokus perhatian orang pada atasan yang bertanggung jawab atas pekerjaan bawahannya.
7)      Pimpinanlah yang mengatakan bagaimana sesuatu harus dikerjakan dan apa yang harus
dihasilkan.
8)      Bawahan tidak diharapkan bermotivasi tinggi, karena itu perlu diawasi dan dikendalikan secara
ketat.
Sampai sekarang sebagian besar lembaga pendidikan masih beroperasi kurang lebih
semacam itu. Bentuk baru organisasi disebut sirkel atau jaringan, karena beroperasinya
merupakan serangkai-an kelompok atau tim yang saling berkoordinasi, yang dihubungkan dari
tengah bukan dari atas.
Piramida (Hirarkhis) Sirkel ( Jaringan)
 

Ciri-ciri Organisasi Sirkel :

      Berfokus pada pelanggan.


      Orang bekerjasama satu dengan lainnya mengerjakan segala apa yang diperlukan.
      Orang-orang berbagi tanggung-jawab, keterampilan, wewenang dan pengawasan.
      Pengawasan dan koordinasi dilakukan melalui komunikasi yang dilakukan secara terus-menerus
dan melalui banyak keputusan.
      Perubahan kadang-kadang terjadi secara cepat, karena tantangan-tantangan baru muncul.
      Kunci keberhasilan bagi semua karyawan dan pimpinan adalah kemampuan bekerjasama dengan
orang-orang lain.
      Dalam organisasi ini terdapat relatif hanya sedikit tingkatan (eselon).
      Kekuatan (kekuasaan) seseorang bersumber dari kemampuannya mempengaruhi dan mem-beri
inspirasi kepada yang lain, dan bukan dari jabatannya.
      Individu-individu diharapkan mengendalikan dirinya sendiri dan bertanggung-jawab kepada
semuanya; perhatian lebih ditujukan kepada para pelanggan.
      Para pimpinan adalah sumber enerji, penghubung dan pemberdaya bagi orang-orang yang ada
dalam berbagai tim yang ada dalam organisasi.
Bentuk Tradisional
Piramidal
Bentuk Transisional
Bentuk Sirkel
 

Proses Peribahan dari Bentuk Piramidal ke Bentuk Sirkel (Jaringan melalui

Bentuk Transisional).

Kebanyakan organisasi berada dalam bentuk antara piramida dan sirkel. Jadi bentuk
organisasi akan berubah secara bertahap. Dengan memikirkan dan membayangkan dimana
organisasi lembaga pendidikan kita berada pada saat ini, dan pada posisi mana kita harapkan
setelah be-berapa tahun yang akan datang, kita akan dapat menggerakan perubahan dalam
organisasi seperti yang kita harapkan, yaitu agar organisasi lembaga pendidikan menjadi lebih
berdaya.
Untuk bergeser dari piramida ke sirkel memang bukan proses pengembangan yang
mudah. Kenyataannya berada dalam organisasi yang sedang bergerak dari satu bentuk ke bentuk
yang lain terasa sangat tidak tenang, penuh dengan perasaan ketidak pastian. Perubahan terjadi
dimana-mana dan kadang-kadang sukar mengerti alasan mengapa hal itu harus terjadi. Tetapi
perlu diingat bahwa setiap pembaruan selalu memerlukan perubahan, dan perubahan selalu
menimbulkan goncangan, besar ataupun kecil. Tidak perlu khawatir akan adanya guncangan-
guncangan itu, asal kita selalu sadar kemana organisasi itu bergerak.
Berikut ini empat macam goncangan yang mungkin akan menghadang di tengah upaya
pemberdayaan lembaga pendidikan.
1)      Inertia = kelembaman : kesulitan dalam memutuskan untuk memulai melakukan perubahan.
Sering terasa lebih mudah tetap pada posisi semula.
2)      Self-doubt = ragu-ragu sendiri : tidak yakin akan benar-benar bisa menciptakan tempat kerja
yang lebih berdaya.
3)      Anger = marah : menyalahkan fihak lain karena menganjurkan semua ini.
4)      Chaos = kacau-balau : Terlihat begitu banyak jalan di depan sehingga merasa kehilangan arah.
Kalau mengalami salah satu atau beberapa goncangan semacam itu jangan cemas.
Tetaplah pada arah yang dituju, yaitu memberdayakan organisasi lembaga pendidikan.
BAB II
PEMBERDAYAAN ORGANISASI
BERDASARKAN PENDEKATAN BALANCED SCORCARD

A.    Pengertian dan Sejarah Balanced Scorcard


Istilah balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced (berimbang) dan
scorecard (kartu skor). Kata berimbang (balanced) dapat diartikan dengan kinerja yang diukur
secara berimbang dari dua sisi yaitu sisi keuangan dan non keuangan, mencakup jangka pendek
dan jangka panjang serta melibatkan bagian internal dan eksternal, sedangkan pengertian kartu
skor (scorecard) adalah suatu kartu yang digunakan untuk mencatat skor hasil kinerja baik untuk
kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di masa yang akan datang. Dengan demikian,
pengertian sederhana dari balanced scorecard adalah kartu skor yang digunakan untuk
mengukur kinerja dengan memperhatikan keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan,
antara jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal.
Sejarah Balanced scorecard dimulai dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 di USA
oleh David P Norton dan Robert Kaplan melalui suatu riset tentang “pengukuran kinerja dalam
organisasi masa depan”. Balanced scoredcard telah mengalami tiga generasi yaitu: Generasi
pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua BSC dengan strategy maps dan
linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga intangible asset readiness. BSC generasi
pertama mendefinisikan empat persepktif dalam perusahaan yang harus diukur kinerjanya.
Pertama, perspektif keuangan ( Financial Perspective). Balanced scorecard memakai perspektif
keuangan sebagai perspektif yang terjadi akibat dari perspektif yang lain (customer, proses bisnis
internal dan pembelajaran & pertumbuhan), perspektif ini secara otomatis akan terwujud dari
baik buruknya kinerja tiga perspektif dibawahnya. Pengukuran kinerja keuangan
mengindikasikan apakah strategi perusahaan, penerapannya, dan pelaksanaannya memberikan
kontribusi pada peningkatan yang mendasar atau tidak. Oleh karena itu persepektif keuangan
tidak memiliki initiative stratetegik untuk mencapai sasaran strategic. Sasaran strategic dari
perspektif keuangan adalah shareholder value seperti meningkatnya ROI (Return on Investment),
pertumbuhan pendapatan perusahaan, dan berkuranganya biaya produksi. Kedua, perspektif
kustomer (Costumer Perspective). Pada perspektif ini, perusahaan mengidentifikasikan dan
mendefinisikan pelanggan dan segmen pasarnya. Perspektif ini memiliki beberapa pengukuran
utama dari outcome yang sukses dengan formulasi dan penerapan strategi yang baik. Sasaran
strategic dari perspektif customer ini adalah Firm equity diantaranya adalah meningkatnya
kepercayaan customer atas produk dan jasa yang ditawarkan perusahaan, kecepatan layanan yang
diberikan dan kualitas hubungan perusahaan dengan kustomernya. Ketiga, perspektif proses
bisnis /internal ( Internal Process Perspective). Fokus dalam perspektif ini adalah proses internal
dari manajemen perusahaan yang harus dilakukan, yaitu proses yang berhubungan dengan
penciptaan barang dan jasa sehingga dapat  menarik dan mempertahankan pelanggan di pasar,
yang akhirnya dapat memuaskan ekspektasi pemegang saham.
Adalah Kaplan dan Norton dalam makalahnya yang menggagas pentingnya konsep BSC
sebagai sistem manajemen strategi dan pengukuran yang menghubungakan sasaran strategis
kepada indikator yang komprehensif. Untuk itu diperjelas juga bahwa indikator yang digunakan
harus merupakan kegiatan dan proses kegiatan inti lingkungan organisasi beroperasi. Ucapannya
yang mengatakan “What you measure is what you get” menjadi premis dalam penyusunan
ukuran hasil yang diharapkan. Kaplan dan Norton melihat ada kelemahan kepada pengukuran
kinerja yang dapat menonjolkan pencapaian tujuan secara terpisah, bahkan cenderung kompetitif
yang pada akhirnya mengakibatkan konflik korporasi. Oleh karena itu dibutuhkan alasan untuk
menggunakan konsep scorecard karena: 1) scorecard menyatukan alat dalam laporan manajemen
yang utuh, kelemahan pandangan terhadap berbagai bidang yang dinilai bersaing: menjadi
perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan, memperpendek waktu menanggapi,
memperbaiki kualitas terhadap team, mengurangi waktu meluncurkan produk, dan mengelola
untuk jangka waktu panjang; 2) scorecard menjadi pedoman untuk mengoptimalkan pencapaian
tujuan.
Sejak 1992, konsep ini terus dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton bahkan
oleh penulis lain. Demikian juga dengan bidang yang mengadopsi BSC, semakin lama semakin
banyak. Karathonous, D., and P. Karathonous (2005), meggunakan BSC untuk pendidikan;
Kocakulah, M.C dan Austill, A.D. (2007) di bidang Kesehatan.
Pada awal tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mempublikasikan tulisan
mereka yang berjudul “The Balanced Scorecard : Measures that Drive Performance” pada
majalah Harvard Business Review edisi awal tahun tersebut. Bisa dikatakan, inilah pemunculan
metode balanced scorecard yang pertama untuk konsumsi publik. Ide apa yang diusung oleh
kedua penulis ? Ada dua ide utama, yaitu pengukuran indikator kinerja bisnis serta empat
perspektif untuk melakukan pengukuran tersebut. Banyak pengamat memberi label “balanced
scorecard generasi pertama” untuk tulisan ini.
Metode balanced scorecard versi lengkap pertama kali muncul dalam bentuk buku pada
tahun 1996, berjudul “The Balanced Scorecard : Translating Strategy into Action” ditulis oleh
Robert S. Kaplan dan David P. Norton. Pada buku ini sudah diulas secara lengkap hubungan
sebab-akibat (cause-effect relationships), penyusunan insiatif stratejik (strategic initiatives),
customer value proposition, serta konsep lead dan lag. Lagi, banyak pengamat memberi label
“balanced scorecard generasi kedua” untuk buku ini.
Sekarang, setelah 14 tahun sejak pemunculannya yang pertama, bagaimana
perkembangan metode balanced scorecard ? Ulang tahun ke-14 ini ditandai dengan pemunculan
buku Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang terbaru, yang berjudul “Alignment : Using the
Balanced Scorecard to Create the Corporate Synergies”. Ini adalah buku mereka yang keempat.
Buku kedua dan ketiga masing-masing adalah “Strategy-Focused Organization” (2001),
serta “Strategy Maps”, (2004). Setiap buku tersebut selalu mengulas perkembangan terbaru
tentang metode balanced scorecard. Khusus untuk buku ketiga yaitu “Strategy Maps”, banyak
pengamat memberikan label “balanced scorecard generasi ketiga”, dengan memberikan
penekanan kepada evaluasi kesiapan (readiness assessment) serta membangun keselarasan
(alignment) antara strategi dengan aset tak berwujud (intangible assets), yaitu human capital,
information capital, serta organization capital.
Ternyata, metode balanced scorecard ini mendapatkan banyak sambutan, baik di
kalangan praktisi, maupun akademisi bisnis dan manajemen. Pada perjalanannya, berbagai
akademisi dan praktisi mengembangkan balanced scorecard sehingga menjadi lebih kaya. Bisa
dikatakan, balanced scorecard mengalami perkembangan pesat, baik secara vertikal maupun
horizontal.
Secara vertikal, balanced scorecard berkembang mulai dari tingkat korporat, sampai
dengan tingkat individu (personal scorecard). Salah satu tokoh yang giat mengembangkan hal
ini adalah Hubert K. Rampersad yang mengusung konsep total performance scorecard, yaitu
merupakan perpaduan yang cantik antara balanced scorecard tingkat korporat dan organisasi,
balanced scorecard tingkat individu, manajemen berbasis kompetensi, serta total quality
management.
Sedangkan secara horizontal, balanced scorecard berkembang ke berbagai bidang
fungsional manajemen, bahkan sangat spesifik. Perkembangan yang pesat ditunjukkan oleh
bidang fungsional manajemen SDM, mulai sejak tahun 2001. Saat itu diterbitkan buku “The
human Rresources Scorecard : Linking People, Strategy, and Performance”, yang ditulis oleh
Brian E. Becker, Mark. A. Huselid, serta Dave Ulrich. Belakangan mereka membedakan antara
balanced scorecard untuk sumber daya manusia organisasi (workforce scorecard) dengan
balanced scorecard untuk departemen SDM (HR scorecard). Ini diulas secara mendalam dalam
buku mereka “The Workforce Scorecard : Managing Human Capital to Execute Strategy”,
(2005).
Bidang fungsional lain yang juga mengadopsi balanced scorecard adalah teknologi
informasi. Kerja ini dimulai oleh Ronald Saull yang mempublikasikan artikel “The IT Balanced
Scorecard” pada Information Systems Control Journal, tahun 2000. Setahun kemudian, bersama
Win Van Grembergen, Ronald Saull memperkenalkan istilah penyelarasan (alignment) antara
strategi organisasi dengan teknologi informasi dengan menggunakan balanced scorecard. Buku
yang mengulas hal ini secara lengkap ditulis oleh Jessica Keyes yang berjudul “Implementing IT
Balanced Scorecard” (2005).
Dalam bidang pendidikan, studi oleh Beard (2009) yang mengidentifikasi penerapan BSC
kepada dua sekolah yang menerima penghargaan dari Malcolm Baldrige National Quality
Award Program menyimpulkan bahwa perusahaan penerima penghargaan lebih memperoleh
alasan yang sesuai dengan visi dan misi organisasi setelah menerapkan BSC. Penghargaan
Malcolm lebih fokus kepada keberhasilan mencapai sebalas sasaran, akan tetapi penerapan BSC
memberikan posisi yang lebih jelas bagi perusahaan. Karena penerapan BSC dapat menjelaskan
konsistensi capaian dengan visi-misi organisasi dan nilai inti serta perbaikan yang dilaksanakan
oleh organisasi. Sifat BSC kemudian yang menekankan kepada sistem manajemen tidak hanya
memampukan organisasi tapi juga membantu perusahaan mengklarifikasi visi dan
menterjemahkannya kepada sasaran yang operasional, ukuran dan tindakan yang jelas dan
sesuai dengan misi dan nilai inti organisasi.
Kaplan dan Norton bersama dengan sejumlah perusahaan melakukan eksperimen. Dari
awal tahun ditetapkan pengamatan terhadap keberhasilan ataupun kinerja perusahaan, sampai
diputuskan bahwa empat perspektif itu memang dapat dijadikan ukuran keberhasilan perusahaan.
Sampai sekarang, Kaplan dan Norton memiliki proyek bersama dengan sejumlah perusahaan
untuk menentukan cara bagaimana perusahaan agar berhasil. Berdasarkan konsep balanced
scorecard ini kinerja keuangan sebenarnya merupakan akibat atau hasil dari kinerja non
keuangan (customer, proses bisnis, dan pembelajaran). Pekerjaan penulis ini tidak saja dalam
rumusan seperti itu, akan tetapi sampai kepada upaya memasukkan sekumpulan perusahaan.
Sampai sekarang pekerjaan ini masih berjalan, sehingga muncul perusahaan ataupun konsultan
yang membuat program kepada sekumpulan perusahaan untuk mengikuti programnya. Dari hasil
pengamatan diakui bahwa perusahaan–perusahaan yang berada di dalamnya mengalami
kemajuan karena setiap pengmbilan kebijakan tetap mempertimbangkan perspektif tersebut.
Perkembangan implementasi BSC semakin lama semakin marak, karena kemudian
dilanjuti dengan bagaimana kemajuan misalnya seperti penentuan pengupahan dengan sistem
BSC. Bahkan para pengguna BSC menyiapkan perangkat lunak (Software) untuk menentukan
bagaimana satu bisnis dapat berhasil. Dari perkembangan awal dapat digarisbawahi bahwa peran
BSC adalah sebagai alat ukur hasil, dimaksudkan untuk evaluasi, jauh dari posisi strategis. Akan
tetapi dari seri buku-buku dan riset yang ditawarkan oleh Kaplan dan Norton akhirnya diakui
bahwa permasalahan BSC bukan pada level evaluasi semata, akan tetapi harus dimulai dari
penyusunan strategi. Karena dalam series buku dan eksperimen yang dikeluarkan oleh Kaplan
dan Norton, permasalahan BSC harus menjadi kesepakatan (komitmen) manajemen puncak sejak
dari awal.
BSC menjadi populer di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pengukuran hasil dan
penuntasan masalah strategi. Pandey (2005) menjelaskan berbagai alasan mengapa BSC
digunakan dalam organisasi.
1)     BSC adalah alat komprehensif untuk memahami pelanggan dan kebutuhannya, dan kesenjangan
kinerja.
2)     BSC menyiapkan logika untuk menciptakan modal intangible dan inlektual dimana dengan
pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.
3)     BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan menjadi keandalan bisnis yang fokus kepada
upaya-upaya non finansial.
4)     BSC memampukan karyawan memahami strategi dan kaitan sasaran ke dalam operasi
perusahaan hari ke hari.
5)     BSC memafsilitasi umpan balik riviu kinerja dari waktu ke waktu.
Kontribusi lain adalah dari sisi metode penyusunan balanced scorecard. Banyak pihak
yang berkontribusi mengenai hal ini, antara lain Paul Niven, Nills-Goran Olve, Mark Graham
Brown, dan sebagainya. Kembangan lain dari balanced scorecard juga muncul untuk bidang
internal audit (Mark L. Fringo, 2002), manajemen proyek (Jack Phillips), institusi pemerintahan
dan LSM (Paul Niven, 2003), jasa konsultansi (Jack Phillips, 1999), kepemimpinan (Jack
Phillips), dan sebagainya. Begitu juga dengan upaya untuk menggabungkan dengan alat
manajemen yang lain seperti six sigma (Praveen Gupta, 2003).
Kemudian juga bermunculan perangkat lunak komputer (software) untuk balanced
scorecard, mulai dari yang murah meriah seperti Strategy Dialog buatan India, sampai dengan
yang mahal seperti QPR buatan Finlandia. Kabar terakhir mengatakan bahwa dua pemain
aplikasi ERP terbesar yaitu SAP dan Oracle juga sedang mengembangkan modul khusus
balanced scorecard untuk melengkapi modul aplikasi ERP mereka saat ini.
Ringkas cerita, balanced scorecard adalah sebuah metode manajemen yang fenomenal.
Mengapa balanced scorecard menjadi begitu fenomenal ? Ada beberapa alasan. Pertama, secara
eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara kuantitatif, karena ada indikator
kinerja (key performance indicator atau KPI) yang harus didefinisikan secara kuantitatif. Ini
mengubah pola pikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir secara umum dan
tidak operasional, atau sangat filosofis menjadi kuantitatif dan operasional.
Kedua, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara sistematik,
karena ada hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships) yang harus dibangun untuk setiap
strategi dan program kerja organisasi. Hal ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi
yang terbiasa dengan pola pikir yang tidak berkait, tidak bisa melihat dampak dari sebuah
tindakan terhadap unit lain, menjadi lebih sistemik dan integratif.
Ketiga, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara komprehensif,
karena harus melihat kinerja organisasi dari berbagai perspektif sudut pandang, tidak hanya satu
sudut pandang. Ini mengubah pola berpikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola
pikir yang parsial, hanya satu atau dua perspektif, menjadi lebih komprehensif atau mampu
melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang utuh.
Keempat, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal sangat
simpel dan mudah untuk dipahami. Metode ini tidak rumit dan membutuhkan suatu keahlian
khusus yang spesifik. Umumnya orang membutuhkan waktu yang tidak lama untuk memahami
metode ini, bahkan menjadi pengguna metode ini. Karena simpel, maka metode ini bisa
dipahami oleh berbagai lapisan di dalam organisasi, dengan demikian manajemen strategi
organisasi menjadi sangat baik, karena strategi dipahami oleh semua lapisan.
Kelima, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal sangat
fleksibel, bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, untuk organisasi
bisnis komersial maka tentu perspektif finansial menjadi sasaran akhir organisasi, tetapi untuk
organisasi pemerintahan yang sifatnya melayani masyarakat, hal ini tentu tidak tepat. Maka, kita
dapat dengan mudah memodifikasi balanced scorecard untuk disesuaikan dengan kebutuhan
organisasi.
Keenam, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dapat
diintegrasikan atau digabungkan dengan berbagai metode manajemen lainnya, seperti SWOT, six
sigma, manajemen risiko, dan sebagainya. Menurut penciptanya, metode balanced scorecard
dikembangkan tidak dimaksudkan untuk menggantikan metode manajemen yang sudah ada,
melainkan melengkapinya, dan bahkan juga dimaksudkan untuk perangkai (integrator) dari
metode-metode manajemen yang sudah ada saat ini.
Sekarang, pada usia yang ke-14, sudah sampai di mana perkembangan balanced
scorecard ? Pada buku terbarunya Robert S. Kaplan dan David P. Norton mengupas hal-hal baru
berkaitan dengan balanced scorecard. Pertama, berkaitan dengan penyelasaran strategi tingkat
korporat, business unit, dan strategi fungsional di dalam organisasi, dengan menggunakan
balanced scorecard. Kedua, mereka memperkenalkan enterprise value proposition, versi lebih
lengkap dari customer value proposition yang telah ada saat ini. Ketiga, penggunaan balanced
scorecard untuk menyelaraskan hubungan berupa peran dan fungsi dengan pihak eksternal
organisasi. Keempat, mereka membungkus ketiga hal sebelumnya dengan kerangka total
strategic alignment model.
Akankah hal ini akan diberi label “balanced scorecard generasi keempat” oleh para
pengamat ? Mungkin saja, Sah-sah saja kan ? Jangan-jangan Kaplan dan Norton pun tidak peduli
dengan label itu.

B.     Balanced Scorecard sebagai Strategi


Strategi korporasi diturunkan dari Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi,
sehingga kalau tujuan korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen (2006)
menjelaskan berbagai hal penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu: 1) komunikasi yang
sulit antar staf, 2) komitemen manajemen operasional lemah, 3) gagal menerima umpan balik
dan mekanismenya, 4) basis perencanaan tidak valid, formulasi strategi tidak valid, 5)
perencanaan fungsional tidak konsisten, dan 6) penilaian sumberdaya tidak konsisten.
Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa BSC adalah
strategi. Memperhatikan BSC sebagai pengukuran kinerja mungkin itu adalah hal yang paling
mudah diketahui, karena masing-masing perspektif yang kemudian diturunkan mnejadi sasaran
fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan tetapi, bila diperhatikan bagaimana hubungan antara
visi, misi dan strategi sebagai awal daripada penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan
masing-masing perspektif dengan strategi sangat kuat. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1.
berikut.
 

Kaplan dan Norton (1992) menjelaskan bahwa The balanced scorecard puts strategy –
not control – at the center. Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC bukanlah adanya
pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi sedemikian rupa akan
berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya dengan visi, misi dan strategi
korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah teridentifikasinya struktur ataupun kerangka
yang ada di korporasi guna mencapai – merealisasikan visi dan misi korporasi. Penjelasan
demikian menegaskan bahwa sebelum BSC dikenalkan telah banyak dikenal berbagai program
pengukuran yang mengarah kepada perbaikan: integrasi antar fungsi, skala global, perbaikan
terus-menerus, tanggung jawab team yang menggantikan peran individu. Kaplan sendiri
menuliskan bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu. Akan tetapi yang
membedakan BSC dengan berbagai konsep tersebut adalah bahwa pada BSC manajer
memahami, setidaknya secara implisit kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga
mengarahkan manajer ke depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami karena
empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran dan
pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu dengan
lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan “cause and effect relationship”. Dimana
bahwa scorecard (papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi kunci yang
secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan oleh visi dan misi.
Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi “mesin” penggerak
semua kegiatan.
Terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah diuji dengan masing-
masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat perspektif ini
mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4 perspektif di atas
menunjukkan adanya satu siklus: keuntungan perusahaan hanya dapat tumbuh bilamana
perusahaan mempunyai posisi di benak pelanggan (share value), sementara posisi di benak
pelanggan hanya mungkin bila perusahaan mempunyai proses belajar. Satu hal yang sangat nyata
dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah bahwa satu dengan lainnya saling
berhubungan. Dalam bukunya yang terakhir (Strategy Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara
empiris. Selanjutnya Kaplan menjelaskan bagaimana pentingnya intangible asset sebagai
rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke empat perspektif sebagaimana dikemukakan di atas,
Kaplan (1992) juga menjelaskan bahwa posisi persfektif seperti diatas berorientasi ke depan,
bukan ke belakang. Hal ini terlihat dalam penentuan sasaran yang diimplementasikan melalui
perumusan inisiasi yang akan digunakan.
Dari hasil pengalaman korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC banyak
memberikan manfaat dibanding dengan pengukuran kinerja yang lain. Frigo (2002) melaporkan
korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB Sitzerland, AT&T Canada, Chemical Bank,
Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells Fargo Online Fiancial Service, dan Wendy’s International
menunjukkan keunggulan BSC dengan satu hirarkis maupun kerangka yang dapat dijadikan
pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi. Selanjutnya dari hasil survey IMA yang
dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1)
pengguna BSC dapat mendukung strategi korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam
pengukuran kinerja, 3) penggunaan alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat antara indikator kinerja
dengan kinerja perusahaan karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan.
Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC yaitu: 1)
Pemahaman manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan tindakan dan strategi
yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan; 3) Rekayasa mendasar dari
proses bisnis; dan 4) Munculnya kultur korperasi yang menekankan kepada upaya tim diantara
fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan
Perbedaan fundamental antara pendekatan tradisional dan Balanced scorecard terlihat
antara lain pada pendekatan tradisional bertujuan untuk memantau dan meningkatkan proses
bisnis yang telah ada. Sementara pendekatan Balanced scorecard akan selalu mengindentifikasi
keseluruhan proses yang baru, dimana perusahaan harus memenuhi tujuan keuangan dan
pelanggannya. Sasaran strategic dari perspektif proses bisnis ini adalah organizational capital
seperti meningkatnya kualitas proses layanan kepada customer, komputerisasi proses layanan
kepada customer, dan penerapan insfrastruktur teknologi yang memudahkan pelayanan kepada
customer. Keempat, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ( learning and Growth
perspective). Perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ini mengindentifikasi infrastruktur yang
harus dibangun perusahaan untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan
jangka panjang. Sasaran strategic dari perspektif ini adalah human capital. Sebagai contoh 
peningkatan kompetensi dan komitmen dari staff perusahaan.
Gambaran mengenai empat perspektif dalam Balance scorecard terlihat dalam diagram
yang dinamakan cause and effect diagram atau diagram hubungan sebab akibat. Dalam diagram
tersebut tergambar antara hubungan sasaran strategic dengan dalam perspektif yang berbeda.
Balanced scorecard mengidentifikasi dan membuat secara eksplisit hipotesis tentang hubungan
sebab akibat antara pengukuran outcome dan pemicu kinerja dari outcome tersebut.
 
Proses pembuatan Balance scorecard secara manual memang diakui memerlukan energi
yang besar dan diperlukan ketekunan yang tinggi, dimulai pada saat pendefinisian visi dan misi
perusahaan, sasaran strategic perusahaan, pengukuran hasil (outcome measure) dan pemicu
kinerja berdasarkan perspektif Balance scorecard yang disesuaikan dengan setiap unit bisnis
dalam perusahaan. Dapat dipastikan bahwa penerapan Balance scorecard secara manual
mempunyai tingkat kegagalan yang besar terutama dalam konsistensi dan komunikasi antara top,
middle, lower management.
Ditinjau dari sistem manajemen strategik (Strategik management sistem) ada dua tahapan
penting yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced scorecard awalnya berada
pada tahap implementasi saja yaitu sebagai alat ukur kinerja secara komprehensif bagi para
eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen. Dampak dari keberhasilan
penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk menggunakan balanced scorecard
pada tahapan yang lebih tinggi yaitu perencanaan strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard
tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur kinerja namun berkembang menjadi strategik
management sistem. Dalam kajian manajemen strategik, pengukuran hasil (performace)
memegang peran sangat penting, karena ini tidak saja berkaitan dengan penentuan keberhasilan
akan tetapi menjadi ukuran apakah strategi berhasil atau tidak. Artinya hasil akan dijadikan
ukuran apakah strategi berjalan baik atau tidak; bila organisasi tidak dapat mencapai hasil maka
diagnosa pertama menunjukkan bahwa strategi tidak berjalan. Dalam ukuran yang dinilai
tradisionil, Whelen (2006) menunjukkan bahwa ROI (Return Investment) mengandung berbagai
kelemahan.
Kelemahan ini memaksa praktisi memikirkan ukuran yang lebih komprehensif yang dapat
digunakan. Di Amerika, misalnya, dikenal Malcolm Baldrige National Quality yang setiap
tahunnya memberikan penghargaan melalui acara yang sangat bergengsi. Bagaimanapun
program seperti di atas berpengaruh terhadap kinerja bisnis. Selama ini program tersebut
diyakini telah meningkatkan daya saing bisnis Amerika di pasar global, karena programnya
telah meningkatkan kualitas bisnis. Adapun perspektif bisnis yang dikembangkan dalam program
ini adalah fokus kepada hasil pelanggan, hasil barang dan jasa, hasil keuangan dan pasar, hasil
sumberdaya manusia, ketertarikan hasil organisasi, termasuk pengukuran kinerja perusahaan dan
tatakelola serta tanggungjawab sosial. Dari keenam fokus yang ada di atas, selanjutnya Program
ini mendeskripsikan sebelas komponen yang harus ditunjukkan agar perusahaan dapat
memberikan nilai.
Ketika Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan, kedua penulis ini tidak
henti-hentinya memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang pencapaian
tujuan. Oleh karena itu perspektif yang disampaikan adalah menjadi bagian dari strategi. Patut
dicatat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson dalam Hendricks yang
menjelaskan bahwa:
Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan strategi. Karena itu
disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan penegasan strategi sejak dari
awal. Keterlibatan manajemen senior sangat kritis, karena dukungan internal sangat dibutuhkan
guna menentukan keberhasilan organisasi menerapkan BSC.

Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi bahwa masing-masing
perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya merupakan satu
rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu peta strategi yang secara
jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan menjadi bagian-bagian yang
operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun
maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa BSC melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi
menjadi bagian dari strategi karena memberikan umpan balik dan koreksi atas hasil yang
diperoleh.
Tidak mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu
perusahaan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun empat perspektif
yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman mendalam saat
perencanaan strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari identifikasi yang sesuai
sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan serta ukuran yang akan
diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja menjadi bermanfaat, karena
penyusun strategi akan dapat menentukan.
Hendrick (2004) menunjukkan kendala penerapan BSC (1) sedikit pemeriksaan tentang
faktor yang berkaitan dengan pengadopsian BSC, dan (2) masih dibutuhkan keyakinan bahwa
dengan pengadopsian BSC akan berdampak kepada kinerja keuangan. Selanjutnya ia
melaporkan bahwa kunci dari penerapan BSC adalah keterlibatan kepemimpinan senior;
mengartikulasi visi dan strategi perusahaan; mengidentifikasi kategori kinerja yang
menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil; terjemahkan papan nilai kepada tim, devisi, dan
tingkatan fungsi; kembangkan pengukuran yang efektif dan standar yang berarti (jangka pendek
dan panjang, memimpin, dan tertinggal); kenakan penganggaran yang tepat, Teknologi
Informasi, Komunikasi , dan sistem imbal jasa. Melihat BSC sebagai proses kontinius,
membutuhkan perbaikan, penilaian ulang, dan pemutakhiran dan percaya bahwa BSC sebagai
fasilitator perubahan kultur dan organisasi.
Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya dengan adanya
komitmen itulah organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen
adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan tetapi bagaimanapun satu
perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut mereka spesifik bagi industri ataupun
perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan ini harap diingat akan 4 perspektif yang
dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian tidak serta merta memposisikan perusahaan
dapat mengadopsinya. Penentuan sasaran dan target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal
ini harus termuat dalam satu perencanaan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya
penetapan demikian haruslah disertai oleh Alligment. Alligment adalah adanya pengalokasikan
sumberdaya yang jelas terhadap upaya pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian
sumberdaya maka tidak akan ada jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC
yang telah disusun. Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi, karena
satu perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur.

C.    Balanced Scorecard sebagai Pengukuran Kinerja


Pengukuran kinerja perusahaan yang modern dengan mempertimbangan empat perspektif
(yang saling berhubungan) yang merupakan penerjemahan strategi dan tujuan yang diingin
dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang kemudian diukur dan dimonitor
secara berkelanjutan
Adanya pergeseran tingkat persaingan bisnis dari industrial competition ke information
competition, sehingga mengubah alat ukur atau acuan yang dipakai oleh perusahaan untuk
mengukur kinerjanya. Perubahan Teknologi à Persaingan ketat di dunia bisnis à Mendorong
kebutuhan akan Informasi à Mengakibatkan persaingan Informasi à Untuk membantu ambil
keputusan.

Financia
l
Customer
Internal Bussiness
Learning & Growth
ROCE
Customer Loyalty
On Time Delivery
Process Quality
Process Cycle Time
Employee Skills
Gambar 1
Hubungan antara empat Perspektif dalam Balanced Scorecard
 

Perspektif Pelanggan dapat diukur dengan lima aspek utama (Kaplan, 1996) Pengukuran
Pangsa Pasar; Pengukuran Customer Retention; Pengukuran Customer Acquisition; Pengukuran
Customer Satisfaction; Pengukuran Customer Profitability.
Perspektif Bisnis Internal dapat diukur dengan tiga aspek utama yaitu : Proses Inovasi
(penelitian dasar dan trepan juga penelitian pengembangan produk); Proses Operasi
(menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari barang/jasa yang
diberikan kepada konsumen; Pengukuran terhadap efisiensi waktu yang dibutuhkan (time
measurements)
Processing Time
Manufacturing Cycle Efectiveness = ----------------------
Throughput Time
Pengukuran terhadap kualitas proses produksi (quality process measurements).
Menditeksi adanya tingkat kerusakan produk dari proses produksi, perbandingan produk bagus
yang dihasilkan dengan produk bagus yang masuk dalam proses, bahan buangan (waste), bahan
sisa (scrap), besarnya angka pengerjaan kembali (rework), besarnya angka pengembalian dari
konsumen dan lain-lain. Pengukuran terhadap efisiensi biaya proses produksi (process cost
measurements). Dalam manufaktur maju, pengukuran atas biaya yang dikeluarkan untuk
menghasilkan produk digunakan ABC system.
Ketiga poin di atas secara bersama-sama (simultan) akan menghasilkan tiga parameter
yang penting untuk mengkarakteristikkan pengukuran proses bisnis internal (perhitungan biaya
yang tepat dimana tidak ada pemborosan biaya dari aktivitas yang tidak bernilai tambah dan
kualitas produk yang dihasilkan baik akan menghasilkan proses bisnis internal yang baik).
Pelayanan Purna Jual (akan mempengaruhi tingkat kepuasan konsumen). Aktivitas-aktivitas
diantaranya : garansi, reparasi, perlakuan terhadap produk cacat atau rusak, pelayanan dalam
komplain dan lain-lain.
Betapa pentingnya untuk terus memperhatikan karyawan, memantau kesejahteraannya,
meningkatkan pengetahuan karyawan yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan
untuk mencapai hasil ketiga perspektif diatasnya. Pengukur Kemampuan Karyawan dengan 3
aspek Pengukuran kepuasan karyawan; Tingkat keterlibatan karyawan dalam proses
pengambilan keputusan; Pengakuan terhadap hasil kerja karyawan; Kemudahan dalam
mendapatkan informasi sehingga dapat bekerja sebaik mungkin; Keaktifan dan kreativitas dalam
melakukan pekerjaan; Tingkat dukungan yang diberikan kepada karyawan; Pengukuran
perputaran karyawan dalam perusahaan; Pengukuran produktivitas karyawan; Gaji yang
diperoleh dan Rasio perbandingan antara konpensasi yang diperoleh karyawan dengan jumlah
karyawan yang ada di perusahaan.
Kualitas dan produktifitas karyawan dipengaruhi oleh akses terhadap system informasi
yang dimiliki perusahaan (persentase ketersediaan informasi). Semakin mudah informasi
diperoleh maka karyawan akan memiliki kenerja yang semakin baik. Informasi yang dibutuhkan
karyawan seperti informasi pelanggannya, biaya produksi dan lain-lain.
Selain kemudahan akses informasi yang bergitu bagus tetapi juga harus diikuti dengan
adanya motivasi karyawan untuk mau meningkatkan kinerjanya. Pengukuran motivasi karyawan
dapat dinilai melalui dimensi; pengukuran terhadap sarana yang diberikan kepada perusahaan
dan diimplementasikan; pengukuran atas perbaikan dan peningkatan kinerja karyawan;
pengukuran terhadap keterbatasan individu dalam organisasi.

D.    Implementasi Scorecard


Implementasi BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang antar
berbagai perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi ataupun perusahaan.
Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut banyak hal, akan tetapi
karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa capaian dan kinerja satu
organisasi dapat berkelanjutan (sustainable). Apa yang harus dicatat dari berbagai publikasi
Kaplan dan Norton bahwa untuk mengimplementasikan BSC sekalipun dibutuhkan strategi.
Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC sangat dinyatakan bahwa rancangan strategi
implementasi mutlak dilaksanakan. Hal ini merupakan koreksi terhadap kelemahan strategi pada
umumnya.

1.      Proses Penyusunan Balanced Scorecard


Bangunan Balanced Scorecard dimulai dari visi perusahaan. Visi di sini adalah situasi
masa depan perusahaan yang diinginkan. Kemudian visi ini diuraikan dalam perspektif-
perspektif pengukuran. Pada masing-masing perspektif tersebut ditetapkan tujuan-tujuan
strategis yang lebih spesifik yang merupakan penjabaran dari visi perusahaan. Atas dasar tujuan
strategis ini, perusahaan kemudian menetapkan faktor-faktor keberhasilan kritikal agar visi
perusahaan bisa diwujudkan. Setelah penetapan factor-faktor keberhasilan kritikal ini, kemudian
ditentukan ukuran-ukuran strategis yang mencerminkan strategi perusahaan. Terakhir,
perusahaan menyiapkan langkah-langkah spesifik yang akan dilakukan pada masa mendatang
agar tercapai tujuan-tujuan strategis yang merupakan syarat bagi pencapaian misi perusahaan.
Gambar 2.1 berikut memberikan gambaran ringkas bagaimana sebuah Balanced Scorecard
Financial
Costumers
Internal business
Learning & Growth
Langkah-langkah spesifik untuk mencapai tujuan
Visi Atau situasi masa depan perusahaan yang diinginkan.

Perspektif
Tujuan strategic Spesifik
Faktor Keberhasilan Kritikal
Ukuran srategi yang mencerminkan strategi perusahaan

Kaplan menyarankan untuk menggunakan proses yang telah ditempuh oleh Mobil
NAM&R dalam membangun scorecard-nya sehingga menjadi organisasi yang fokus terhadap
strategi dan leading dalam industrinya. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:
a.    Assess the competitive environment.
b.    Learn about customer preferences and segments.
c.    Develop a strategy to generate breakthrough financial performance.
d.    Articulate the balance between growth and productivity.
e.    Select the targeted customer segments.
f.      Determine the value preposition for the targeted customers.
g.    Identify the critical internal business processes to deliver the value proposition. to customers
and for financial cost and productivity objectives.
h.    Develop the skills, competencies, motivation, databases, and technology required to excel at
internal processes and customer value delivery.

2.      Proses Penerapan Balanced Scorecard


Tahap ini membutuhkan pengembangan sistem dan IT (Information Technology) untuk
mengimbangi perubahan lingkungan bisnis yang terus terjadi. Pengendalian strategis
mengantarkan organisasi untuk terus belajar menyempurnakan ukuran-ukuran agar selalu
merefleksikan strategi perusahaan. Proses penerapan ini dapat dilihat secara ringkas pada
Gambar 2.2 berikut.
Pengembangan Strategi
Manajemen Control System
Pengembangan system dan IT
Pembelajaran organisasi
BSC
 

Model Balanced Scorecard hanya memberikan perusahaan sebuah struktur yang


menyatakan visi dan strategi perusahaan ke dalam sasaran dan ukuran yang nyata. Perusahaan
masih menghadapi tantangan untuk membangun sebuah sistem serta prosedur yang mampu
mengumpulkan informasi sekaligus mengkomunikasikannya kepada karyawan dan pihak-pihak
yang memerlukan. Untuk menciptakan perubahan yang diinginkan dari sistem pengukuran
kinerja ini, informasi harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.       Presented in a communicative manner – in numbers, figures, diagrams, or multimedia, which
facilitate an overview.
b.      Presented in a user-friendly environment – simple, familiar interface.
c.       Easy to access – the person who needs the information must be able to obtain it wherever he or
she is.
d.      Collected and measured in a cost-effective manner – measures of “soft” data often require new
instruments of measurement. The cost of measurement must not exceed the utility of the
measures.
3.      Karakteristik Ukuran untuk Balanced Scorecard
Banyak perusahaan yang telah mengklaim bahwa mereka telah menerapkan Balanced
Scorecard karena telah menggunakan campuran ukuran keuangan dan nonkeuangan. Padahal
pada kenyataannya mereka baru menggunakan ukuran yang lebih seimbang dibandingkan
dengan perusahaan yang hanya menggunakan ukuran finansial semata-mata dalam mengukur
kinerjanya. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan ukuran yang sifatnya tidak mendukung
strategi perusahaan.
Balanced Scorecard yang baik mampu merefleksikan strategi perusahaan. Cara yang
paling tepat untuk untuk mengujinya adalah apakah kita bisa memahami strategi perusahaan
dengan hanya melihat scorecard tersebut. Strategy scorecard menyediakan cara yang logis serta
komprehensif untuk menjelaskan strategi perusahaan. Scorecard ini dengan jelas
mengkomunikasikan keluaran yang diinginkan perusahaan sekaligus hipotesis mengenai
bagaimana keluaran tersebut dapat dicapai.

4.      Penerapan Balanced Scorecard yang Berhasil


Walaupun tidak ada standar yang seragam untuk mengevaluasi penyusunan atau
penerapan suatu Balanced Scorecard, Olve et al. telah mengidentifikasi keadaan yang
menunjukkan penerapan Balanced Scorecard yang berhasil sebagai berikut:
a.       Support and Participation
b.      Priority
c.       Composition of the Project Group
d.      Coverage of the Project
e.       Basing the Scorecard on the Company’s Strategy
f.        Clearly and Consistently Defined Measures
g.      Balance and Cause-and-Effect Relationship between Measures
h.      Setting Goals
i.        Relationship to Existing Control Systems
j.        Ensuring the Feasibility of Measures and Measurements
k.       IT-based Presentation and Support Systems
l.        Training and Information
m.    Development of Learning Organization
n.      Following up the Concept

Hubungan antara tujuan strategis perusahaan dengan ukuran di dalam scorecard-nya


merupakan suatu hipotesis hubungan sebab-akibat, yang karenanya manakala tidak lagi terdapat
korelasi antara ukuran dan tujuan strategis, maka strategi perusahaan harus kembali ditinjau
sesuai kebutuhan, seperti yang disimpulkan oleh Olve et. al.: “…. A balanced scorecard should
not be regarded as static product but as a living model of a company.”

5.      Menggunakan Balanced Scorecard untuk Mengukur Kinerja


Setelah membangun model scorecard-nya, kemudian menyiapkan program aplikasi untuk
operasionalisasi ukuran-ukuran yang ada pada scorecard-nya. Program yang digunakan adalah
program Oracle yang didisain secara khusus untuk penerapan Balanced Scorecard. Program
aplikasi ini memiliki dua fungsi, yaitu fungsi pengelolaan data; keluaran yang dihasilkan dari
fungsi ini adalah bentuk-bentuk laporan baik berupa tabel, grafik, maupun diagram. Dan fungsi
pemantauan. Keluaran yang dihasilkan adalah laporan perkembangan kinerja perusahaan pada
periode tertentu. Manajemen dapat mengetahui sampai tingkat mana pencapaian kinerja
perusahaan untuk periode yang diinginkan setiap saat. Umpan balik dari fungsi ini adalah
timbulnya perhatian manajemen untuk peningkatan kinerja secara berkesinambungan.
Pengelolaan data Balanced Scorecard dilakukan oleh bagian QAD dengan rincian
pekerjaan sebagai berikut 1) Melakukan pengumpulan data Balanced Scorecard, 2) Pembuatan
laporan Balanced Scorecard, 3) Mengirimkan laporan Balanced Scorecard ke PT Y (holding
company); 4) Menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal Computer)
manajemen dalam bentuk database; 5) Mengarsipkan laporan Balanced Scorecard.
Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan data Balanced Scorecard telah dibuat dokumen
SOP (Standard Operating Procedures) yang terdiri dari 11 dokumen SOP. SOP-SOP yang
disusun merupakan serangkaian prosedur yang harus dijalani untuk menjamin validitas data yang
akan menjadi masukan bagi pengukuran serta laporan kinerja. Atas dasar SOP-SOP yang ada,
dapat dilihat bahwa implementasi Balanced Scorecard terdiri dari 3 (tiga) tahapan utama; (1)
tahap pengumpulan data Balanced Scorecard, (2) tahap pelaporan, dan (3) tahap monitoring.
Pada tahap pengumpulan data, masing-masing supervisor menyiapkan data-data yang
diperlukan oleh kunci pengukuran (KPI) bagiannya. Setelah data-data tersebut disiapkan, para
supervisor tersebut kemudian mengoreksi untuk kemudian menyerahkan yang telah ditentukan
beserta data-data pendukungnya kepada manajer yang menjadi atasan langsungnya. Laporan
pengumpulan data ini harus sudah diserahkan oleh para supervisor kepada manajer-manajer
masing-masing paling lambat tanggal 1 (satu) setiap bulannya.
Setelah menerima dan memeriksa data dari para supervisor yang menjadi tanggung
jawabnya, manajer terkait kemudian menyampaikan data tersebut beserta dokumen
pendukungnya kepada bagian QAD untuk diolah ke dalam format Balanced Scorecard. Oleh
bagian QAD data-data tersebut kembali diperiksa untuk mendapatkan jaminan atas validitas dan
kewajarannya. Setelah proses ini data tersebut di-input ke loader Balanced Scorecard dan ke
dalam form laporan Balanced Scorecard yang telah distandarkan. Setelah mengoreksi hasil input
baik pada loader Balanced Scorecard maupun form laporan Balanced Scorecard, bagian QAD
mengirimkan laporan Balanced Scorecard kepada Direktur Utama.
Bagian QAD juga menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal
Computer) manajemen dalam bentuk database untuk mendapatkan tindak lanjut dari apa-apa
yang telah dicapai perusahaan selama periode yang bersangkutan. Setelah data masukan ini
diproses, aplikasi Balanced Scorecard perusahaan akan menyajikan pencapaian kinerja
perusahaan dibandingkan dengan target atau anggaran pada periode atau waktu yang terkait.
Ada beberapa prosedur tanggapan yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam
menindaklanjuti laporan kinerja yang ditampilkan ini, yaitu: 1) Melakukan koreksi dengan cara
membuat catatan berdasarkan grafik dan diagram yang ditampilkan pada masing-masing KPI
Balanced Scorecard untuk melihat perkembangan terhadap pelaksanaan kerja dari masing-
masing bagiannya apakah pelaksanaan kerja tersebut dapat mencapai rencana kerja yang telah
ditentukan atau tidak; 2) Mencari penyebab sehingga pelaksanaan kerja yang dilakukan
tidak dapat mencapai rencana kerja yang telah ditentukan sebagai upaya untuk meningkatkan
pelaksanaan kerja periode yang akan datang; 3) Mencari cara agar pelaksanaan kerja yang
dilakukan pada periode yang akan datang dapat mencapai rencana kerja yang ditentukan
Melakukan koordinasi dengan masing-masing bagian di bawahnya terhadap pelaksanaan kerja
periode yang akan datang untuk disesuaikan dengan rencana kerja yang telah ditentukan.
Program pengembangan Balanced Scorecard terus dilakukan secara bertahap dan
berkesinambungan dengan memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:
1) Tujuan jangka pendek.
Direncanakan sebelum tahun 2013 (pertengahan 2013), implementasi Balanced Scorecard
dapat sampai pada level supervisor, sehingga struktur scorecard yang ada sekarang akan
diperluas untuk masing-masing supervisor.
2) Tujuan jangka panjang.
Setelah tujuan pada angka 1 (satu) di atas, implementasi Balanced Scorecard akan
diarahkan pada masing-masing karyawan. Setiap karyawan akan dinilai kinerjanya dengan
menggunakan sistem penilaian berbasis Balanced Scorecard. Nantinya diharapkan seluruh
bagian dalam perusahaan akan dinilai kinerjanya dengan menggunakan kerangka Balanced
Scorecard perusahaan.
Pengalaman Kaplan dan Norton selama bertahun-tahun bekerja dengan Balanced
Scorecard menunjukkan bahwa kebanyakan perusahaan membutuhkan 20-25 ukuran dalam
scorecard-nya dengan sebaran pada masing-masing perspektif sebagai berikut:

Perspektif Jumlah Ukuran

Keuangan 5 Ukuran Strategi (22 %)


Pelanggan 5 Ukuran Strategi (22%)
Bisnis Internal 10 Ukuran Strategi (34%)
Pembelajaran dan Pengembangan 5 Ukuran Strategi (22%)

Selain pola distribusi ukuran seperti yang disampaikan di atas, Kaplan dan Norton juga
menyampaikan bahwa dari total ukuran di dalam scorecard, 80 % dari total jumlah tersebut
merupakan ukuran yang bersifat non finansial.
Dalam penelitian Nomura Research Institute (NRI) Papers No. 45, 1 April 2002
dikemukakan bahwa Jepang sudah beberapa tahun lalu mengintroduksikan pola kerja balance
scorecard (BSC) terhadap lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari hasil penelitiannya,
NRI dapat memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-pengalaman perusahaan yang
menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced scorecard tersebut merasakan bahwa balanced
scorecard memang memiliki keunggulan yang dirangkum menjadi lima point sebagai berikut:
1.      Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.      Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3.      Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4.      Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis
verifikasi.
5.      Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan
keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
NRI mengemukakan salah satu contoh kasus yang spektakuler tentang keberhasilan
penerapan Balanced scorecard yang berimplikasi pada perbaikan kinerja perusahaan seperti
yang dialami oleh perusahaan Kansai Electric Power CO. LTD, perusahaan terbesar kedua di
Jepang yang memproduksi dan mensuplai kebutuhan listrik di Jepang. Perusahaan ini
memperkenalkan cara kerja baru yang disebut "Linked Contract" yang kinerjanya diukur dengan
Balanced Scorecard.
Murphy and Russel (2002:2) menemukan bahwa penggunaan Balanced Scorecard dapat
menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategi, yakni suatu strategi dimana
perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan para pelanggan untuk menciptakan
nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk perusahaan itu sendiri. Hal ini ditunjukkan bahwa
lebih dari setengah proyek-proyek CRM tidak menghasilkan nilai tambah apapun bagi
perusahaan, dan 50% dari CRM Strategy tetap saja mengalami kegagalan dalam penerapannya di
dunia bisnis, namun Balanced Scorecard dapat menggantikannya.
R. Abdul Haris dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur menemukan
bahwa kinerja BUMD tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang seluruh indikatornya
(pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan pemanfaatan aktiva/ strategi
investasi). Namun ditemukan pula adanya beberapa perspektif yang perlu dibenahi yaitu:
perspektif pelanggan yakni pencapaian kuantitas produksi serta pangsa pasar yang dimiliki,
perspektif proses bisnis internal yakni jaringan hubungan dengan pemasok dan pengendalian
kualitas, serta perspektif pembelajaran dan pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan
pemenuhan kebutuhan karyawan.

E.     Keunggulan Balanced Scorecard


Dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional, maka balanced scorecard memiliki
beberapa keunggulan (Barbara Gunawan, 2000):
1.      Komprehensif.
Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja tidak hanya aspek kuantitatif saja,
tetapi juga aspek kualitatif. Aspek finansial dilengkapi dengan aspek customer, inovasi dan
market development merupakan fokus pengukuran integral. Keempat perspektif menyediakan
keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba pada ukuran internal seperti
pengembangan kurikulum baru. Keseimbangan ini menunjukkan trade off yang dilakukan oleh
manajer terhadap ukuran-ukuran tersebut untuk mendorong manajer untuk mencapai tujuan
tanpa membuat trade off di antara kunci-kunci sukses tersebut melalui empat perspektif.
Balanced scorecard mampu memandang berbagai faktor lingkungan secara menyeluruh.

2.      Adaptif dan Responsif terhadap Perubahan Lingkungan.


Pengukuran evaluasi tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa menunjukkan cara
meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi dan pengembangan, learning
memberikan pedoman terhadap customer yang selalu berubah preferensinya.
3.      Fokus terhadap tujuan.
Adapun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada setiap perspektif adalah (Barbara
Gunawan, 2000):Perspektif Keuangan ; Perspektif Customer. Terwujudnya tanggung jawab
sosial sehingga pemerintah dan institusi pendidikan dikenal secara luas akrab dengan lingkungan
;Perspektif Proses Internal. Terwujudnya pelipatgandaan kinerja seluruh personil sekolah. ;
Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Terwujudnya keunggulan jangka penjang dunia
pendidikan melalui pengembangan dan pemfokusan potensi sumber daya manusia.
BAB III
PENUTUP

Konsep balanced scorecard kini telah menjelma menjadi model penilaian manajemen
yang diyakini bisa mendongkrak kinerja menjadi lebih baik. Di zaman globalisasi yang kian
liberal seperti sekarang, sulit dibantah, tuntutan pasar yang semakin tinggi menjadi hal yang
sangat penting untuk diantisipasi. Jika tidak, niscaya eksistensi akan tergilas oleh keperkasaan
pihak kompetitor.
Aplikasi Balance Scorecard dimulai dari akarnya yaitu pembelajaran dan pertumbuhan,
yang memberikan kontribusi pada proses internal bisnis, sehingga pelanggan menjadi puas dan
pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan keuntungan yang tercermin dalam performasi
keuangan. Akhirnya, kemampuan memenuhi target untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses
bisnis intern tergantung kepada kemampuan organisasi untuk belajar dan tumbuh. Mereka yang
memungkinkan belajar dan tumbuh khususnya berasal dari tiga sumber, yaitu pegawai, sistem
dan penyetaraan organisasi.
Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan pada
orang, sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya, tujuan dan
ukuran untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian hari harus
merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi.
Suatu kelompok inti dari tiga ukuran yang terdiri dari kepuasan pegawai, kesetiaan
pegawai dan produktifitas pegawai memberikan ukuran hasil kedalam pegawai, sistem dan
penyetaraan/keselarasan organisasi. Para pendorong hasil ini sekarang agak generik dan kurang
berkembang daripada ketiga perspektif Balance Scorecard lainnya. Balanced scoredcard telah
mengalami tiga generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif,
generasi kedua BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga
intangible asset readiness.
1.      Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.      Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3.      Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4.      Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus hipotesis
verifikasi.
5.      Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang mencerminkan
keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.
6.      Di antara pengadopsian Scorecard organisasi harus membuat suatu kepurtusan yang mana
perspektif Balanced Scorecard yang akan digunakan. Kaplan dan Norton telah mendesain
Scorecard tersebut dengan perusahaaan yang berorientasi profit dengan mengembangkan empat
perspektif yang luas yaitu: perspektif keuangan, pelanggan, internal proses, dan pembelajaran
dan Pertumbuhan karyawan.
7.      Banyak organisasi non profit dan sektor publik akan memilih sebuah misi overarching pada
tingkat yang paling atas, kemudian konsumen pada tingkat kedua.
8.      Sebelum mengembangkan strategik map dari tujuan kinerja, maka team Balanced Scorecard
seharusnya berusaha untuk mengumpulkan dan menreview sebanyak-banyaknya latar belakang
organisasi, seperti; misi, nilai, visi, rencana strategik, legal, pelimpahan wewenang, dan
sebagainya.
9.      Strategik map merupakan selembar dokumen yang menjelaskan secara tepat dari artikulasinya
dan secara grafik.
10.  Analisis dengan Balance Scorecard SWAT merupakan suatu cara yang cukup baik untuk
membentuk strategik map.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No 145,
September, Halaman 36-40.
Hansen dan Mowen, 2000, Management Accounting, International Thompson Publishing, Ohio.
Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap Kinerja
BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur, Disertasi Program Pasca
Sarjana Merdeka Malang.
http://puslit.perta.ac.id/journals/acounting
Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari, Halaman
34-35.
Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action,
Boston: Havard Business School Press.
Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced Scorecard
Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.
Mulyadi (1999), Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen : Sistem Pelipatganda
Kinerja Perusahaan, Edisi satu, Yogyakarta : Adiya Media
Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999, Sistem Perencanaan Dan Pengendalian Manajemen,
Yogyakarta: Aditya Media.
Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard (Bagian
Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari, Halaman 39-46.
Vincent Gaspersz; 2002. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard dengan Six
Sigma, Jakarta: Gramedia.
www.BSCol.com dan www.charmeck.org

Diposkan 30th April 2012 oleh Rusman Faoz


0

Add a comment

manajemen pendidikan islami

 Classic
 Flipcard
 Magazine
 Mosaic
 Sidebar
 Snapshot
 Timeslide

1.
Nov

EVALUASI DIRI
SEKOLAH/MADRASAH

EVALUASI DIRI SEKOLAH/MADRASAH

EDS/M merupakan suatu proses penilaian terhadap kinerja satuan pendidikan


dalam pencapaian standar, baik SPM maupun SNP. Berangkat dari kepercayaan terhadap
sekolah/madrasah, EDS/M dilakukan oleh tim pengembang yang terdiri dari kepala
sekolah/madrasah, guru, komite sekolah/madrasah, orang tua peserta didik, dan pengawas
sebagai pembimbing sekolah/madrasah. Di dalam pelaksanaannya, proses EDS/M ini
juga dapat melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat.

Mengingat SPM pendidikan dasar ini harus sudah dituntaskan sebelum akhir
tahun 2013, setiap satuan pendidikan harus memprioritaskan penggunaan seluruh sumber
daya yang dimiliki untuk pemenuhan SPM. Satuan pendidikan harus segera mengetahui
posisinya dalam kaitan dengan SNP (terutama SPM), dan menentukan kesenjangan yang
masih

dimiliki. Berdasarkan informasi kesenjangan tersebut, setiap satuan pendidikan


perlu menyusun program prioritas penuntasan SPM dan program-program lain untuk
pemenuhan SNP.

Melalui EDS/M, satuan pendidikan bisa menyusun anggaran yang diperlukan


untuk penuntasan SPM dan pemenuhan SNP, serta Mengembangkan laporan
pertanggungjawaban kepada seluruh pemangku kepentingan secara transparan dan
akuntabel.Pada sesi ini, peserta akan diajak untuk memahami konsep EDS/M, instrumen
yang digunakan dalam EDS/M, dan mekanisme pelaksanaan EDS/M.
EDS dipandang sebagai dasar bagi penyusunan rencana pengembangan sekolah
untuk peningkatan mutu dan sebagai penyedia informasi penting dalam sistem
manajemen data. EDS adalah suatu proses yang memberikan tanggung jawab kepada
para pemangku kepentingan untuk mengevaluasi kemajuan sekolah mereka sendiri dan
mendorong sekolah untuk menetapkan prioritas kebutuhan perbaikan. Walaupun ini
merupakan pendekatam berbasis sekolah, tetapi proses ini juga mengisyaratkan adanya
keterlibatan dan dukungan dari orang-orang yang bekerja dalam berbagai tingkatan, dan
hal ini tentu saja membantu terjaminnya transparansi dan validasi proses.

Tujuan utama Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M) adalah:


Sekolah/madrasah menilai kinerjanya berdasarkan SPM dan SNP. Sekolah/madrasah
mengetahui tahapan pengembangan dalam pencapaian SPM dan SNP sebagai dasar
peningkatan mutu pendidikan yang bermuara pada peningkatan mutu peserta didik.
Sekolah/madrasah dapat menyusun Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah (RPS/M)
atau Rencana Kegiatan Sekolah/Madrasah (RKS/M) sesuai kebutuhan nyata menuju
ketercapaian implementasi SPM dan SNP.

EDS/M diharapkan dapat memberikan sumbangan penting bagi sekolah/madrasah


sendiri dan bagi pemerintahan Kabupaten/Kota yang memiliki kewenangan mengelola
pendidikan. Berikut adalah manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan EDS/M.

Bagi sekolah/madrasah: Sekolah/madrasah dapat mengidentifikasikan kelebihan


serta kekurangannya sendiri dan merencanakan pengembangan ke depan;
Sekolah/madrasah dapat memiliki data dasar yang akurat sebagai dasar untuk
pengembangan dan peningkatan di masa mendatang; Sekolah/madrasah dapat
mengidentifikasikan peluang untuk meningkatkan mutu pendidikan yang disediakan,
mengkaji apakah inisiatif peningkatan tersebut berjalan dengan baik dan menyesuaikan
program sesuai dengan hasilnya. Sekolah/madrasah dapat memberikan laporan formal
kepada pemangku kepentingan demi meningkatkan akuntabilitas sekolah/madrasah.

Bagi tingkatan lain dalam sistem (Pemerintah, pemerintahan kabupaten/kota dan


provinsi); Menyediakan data dan informasi yang penting untuk perencanaan, pembuatan
keputusan, dan perencanaan anggaran pendidikan pada tingkat kabupaten/kota, provinsi,
dan nasional.

Mengidentifikasikan bidang prioritas untuk memenuhi kebutuhan sarana dan


prasarana pendidikan; Mengidentifikasikan jenis dukungan yang dibutuhkan oleh
sekolah/madrasah; Mengidentifikasikan pelatihan serta kebutuhan program
pengembangan lainnya; Mengidentifikasikan keberhasilan sekolah/madrasah berdasarkan
berbagai indikator pencapaian sesuai dengan SPM dan SNP.
Diposkan 4th November oleh Rusman Faoz

Add a comment

2.

Apr

30

Balanced scorcard dalam pendidikan

By. Rusman Faoz

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu kunci untuk meningkatkan mutu kinerja lembaga pendidikan adalah
melibatkan lebih banyak dan lebih dalam lagi ke dalam pekerjaan-pekerjaan dalam
lembaga pendidikan itu. Untuk kepentingan ini peranan para pimpinan lembaga
pendidikan untuk mengubah dan menciptakan suasana kerja yang kondusif untuk itu
sangat besar dan penting. Kadang-kadang pimpinan itu harus mengambil inisiatif untuk
itu. Meskipun sekarang ini sering dikatakan sebagai era teknologi, namun untuk
memajukan dan meningkatkan mutu lembaga pendidikan, sumber enerji yang terpenting
adalah sumberdaya manusia yang ada didalamnya.

Tingkat dedikasi, komitmen dan kompetensi orang-orang yang bekerja itu yang
akan menentukan sampai seberapa jauh lembaga pendidikan akan mampu meningkatkan
mutu kinerjanya. Pemberdayaan adalah bahan bakar untuk menciptakan suasana kerja
yang kondusif untuk meningkatkan mutu.

Pemberdayaan atau empowerment adalah proses membangun dedikasi dan


komitmen yang tinggi sehingga organisasi itu bisa menjadi sangat efektif dalam
mencapai tujuan-tujuannya dengan mutu yang tinggi. Dalam organisasi yang telah
diberdayakan akan tercipta hubungan di antara orang-orangnya yang saling berbagi
kewenangan, tanggung-jawab, komunikasi, harapan-harapan, dan pengakuan serta
penghargaan. Hubungan kerja semacam itu sangat berbeda dengan hubungan kerja yang
secara tradisional didasari oleh hubungan hirarkhi dalam organisasi. Aset yang paling
berharga dari suatu lembaga pendidikan adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya
yang ditunjukkan oleh pengetahuan, ketrampilan, sikap mental, kreatifitas, motivasi dan
kemam-puan bekerjasama yang mereka miliki.

Bagi para pelaksana di lembaga pendidikan – dosen, teknisi, pegawai


administrasi, dan sebagainya, pemberdayaan merupakan kebutuhan yang harus mereka
peroleh. Sebaliknya bagi para pimpinan – mulai dari yang tertinggi sampai ke yang
terrendah – pemberdayaan adalah suatu fungsi yang harus mereka lakukan atau berikan
kepada para pelaksana. Bagi suatu organisasi yang mendam-bakan kualitas kinerja yang
terus meningkat pemberdayaan adalah suatu proses yang harus terjadi. Tanpa proses
pemberdayaan suatu lembaga pendidikan akan sulit untuk bisa memenangkan persaingan
yang semakin keras secara nasional ataupun secara internasional. Tanpa pemberda-yaan
suatu lembaga pendidikan juga akan sulit untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan
adanya pendidikan yang semakin tinggi standar mutunya. Keterbatasan berbagai
sumberdaya juga meng-haruskan setiap lembaga pendidikan melaksanakan
pemberdayaan organisasinya.

Di lain fihak para pelaksana di lembaga pendidikan kecewa dan merasa kurang
enak karena mereka merasa tidak berdaya memenuhi tuntutan organisasi akan mutu
kinerja yang lebih tinggi dan adanya aturan-aturan kerja yang berubah. Pada saat yang
sama mereka menuntut adanya keterbukaan manajemen dan imbalan yang lebih besar.
Dalam kondisi yang ada mereka tidak pernah bisa merasa pasti tentang komitmen dan
tanggung-jawabnya.

Dalam situasi semacam itu lembaga pendidikan harus melakukan penyesuaian,


mengem-bangkan dan belajar cara-cara baru agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya
dengan mutu yang lebih baik. Para pimpinan lembaga pendidikan harus terus berusaha
agar organisasinya dapat memenuhi tuntutan-tuntutan mutu dari luar maupun dari dalam.

Pada dasarnya pemberdayaan adalah cara untuk melaksanakan kerjasama dalam


organisasi sehingga semua orang berpartisipasi penuh.. Dalam organisasi yang sudah
diberdaya-kan para pelaksana (dosen, teknisi, pegawai administrasi, pustakawan, laboran,
dsb) merasa bertanggung-jawab tidak hanya tentang pekerjaan yang dikerjakannya, tetapi
juga tentang keseluruhan lembaga pendidikannya agar dapat berfungsi secara lebih baik.
Tim-tim yang telah diberdayakan akan bekerjasama memperbaiki kinerja mereka secara
berkelanjutan, mencapai tingkat produktivitas dan mutu yang tinggi. Setelah
pemberdayaan lembaga pendidikan akan terstruktur sedemikian rupa hingga orang-orang
merasa bahwa mereka dapat mencapai hasil-hasil sebagaimana mereka harapkan, mereka
dapat melakukan apa yang perlu mereka lakukan, dan tidak sekedar dapat melakukan apa
yang mereka diperintah untuk melakukannya, dan mereka menerima penghargaan atas
apa yang mereka lakukan itu.

Dinamika suatu organisasi – lembaga pendidikan – terletak pada kreativitas dan


inisiatif orang-orang yang ada di dalamnya. Bila lembaga pendidikan itu dan orang-orang
yang ada meng-inginkan mutu kinerja yang lebih baik, maka yang harus dilakukan adalah
mencari bagaimana caranya memanfaatkan potensi kreativitas dan inisiatif yang ada pada
orang-orangnya. Cara memanfaatkan potensi itu pada dasarnya adalah dengan
meningkatkan kemampuannya melalui peningkatan pengetahuan dan keterampian
kerjanya, memberi kewenangan atau kesempatan untuk berinisiatif dan berkreasi, dan
memberi motivasi agar mereka mau berbuat. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa
untuk memanfaatkan potensi orang-orang itu dengan jalan mendo-rongnya untuk
berpartisipasi meraih kinerja lembaga pendidikan yang lebih bermutu. Agar mereka
berpartisipasi perlu ditingkatkan kemampuannya, dikembangkan kemauannya, dan diberi
kesem-patan untuk berpartisipasi.

Lembaga pendidikan perlu selalu berupaya meningkatkan kemampuan orang-


orang yang bekerja di dalamnya apakah mereka dosen atau pegawai non-edukatif seperti
teknisi, laboran, pustakawan, pegawai administrasi, resepsionis, operator telepon,
pengantar surat, petugas kebersihan dan keamanan, dan lain sebagainya. Meningkatkan
kemampuan adalah tindakan pemberdayaan yang utama. Hal itu bisa dilakukan melalui
program-program pendidikan dan pelatihan yang dilembagakan – direncanakan dan
dilaksanakan secara teratur dan profesional – bagi semua jenis dan tingkatan pekerja
lembaga pendidikan. Tujuan utama dari pendidikan dan pelatihan itu adalah memberi
wawasan yang lebih luas dan dalam tentang hakekat tugas yang diembannya,
meningkatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar yang relevan dengan jenis
tugasnya, memperluas dan memperdalam pengetahuan-pengetahuan yang berkaitan
dengan tugasnya, serta menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap hal yang
dipelajarinya. Dengan wawasan, keterampilan, dan pengetahuan yang selalu bertambah
itu diharapkan orang-orang itu akan berkembang kreativitasnya dan berani berinisiatif
untuk mencoba cara-cara baru dalam kerjanya. Cara-cara baru itulah yang bisa
diharapkan dapat membawa perbaikan dan kemajuan. Tanpa adanya pendidikan dan
pelatihan tambahan sulit diharapkan berkembangnya kreativitas dan inisiatif untuk
melahirkan dan mencoba cara-cara baru, dan tanpa cara-cara baru sulit diharapkan
adanya mutu kinerja yang lebih baik. Dalam menerapkan MMT, pelembagaan program-
program pendidikan dan pelatihan itu merupakan kebijakan yang mutlak.

Menguasai kemampuan yang berupa pengetahuan dan keterampilan saja tidaklah


cukup. Orang perlu memiliki kemauan untuk menerapkan pengetahuan dan
keterampilannya agar dapat menghasilkan kinerja yang lebih bermutu. Kemauan itu
ibarat motor penggerak yang mendorong dirinya sendiri untuk mencapai prestasi yang
lebih baik. Kemauan ini sama atau berkaitan erat dengan motivasi. Untuk menghasilkan
mutu kinerja yang lebih baik diperlukan motivasi. Sumber motivasi seseorang adalah
kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh orang itu. Jelas sekali bahwa setiap individu
pada suatu saat memiliki kebutuhan yang ingin terpenuhi. Untuk meme-nuhi
kebutuhannya seseorang terdorong untuk berbuat sesuatu asalkan perbuatannya itu
mengarah pada pemuasan kebutuhannya tadi. Sekarang bagaimana mengkaitkan
perbuatan mem-perbaiki mutu lembaga pendidikan itu dengan pemuasan salah satu atau
beberapa kebutuhan orang-orang yang bekerja di lembaga pendidikan. Menurut Abraham
Maslow kebutuhan manusia bisa dikelompokkan menjadi lima kategori yang tersusun
secara hirarkhi, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial,
kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk pegawai-pegawai golongan
bawah mungkin kebutuhan-kebutuhan yang dirasa mendesak masih berkisar pada
kebutuhan fisiologis (pangan, sandang, papan, dll) dan keamanan (tabungan,dll) yang
dalam kehidupan modern bisa dibeli dengan uang. Oleh karena itu untuk mereka tugas-
tugas yang bisa memperoleh imbalan uang akan dikerjakan dengan lebih baik, ter-masuk
tugas-tugas meningkatkan mutu kinerja. Bagi para pegawai golongan menengah ke atas
biasanya kebutuhan yang dirasa mendesak bukan lagi kebutuhan fisiologis dan
keamanan, tetapi kebutuhan sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Pemenuhan atau
pemuasan kebutuhan-kebutuhan ini biasanya tidak semata-mata dengan menggunakan
uang, tetapi dengan menggunakan kemam-puan atau prestasi diri. Oleh karena itu hal-hal
yang bisa memotivasi orang-orang golongan ini adalah yang bisa langsung atau tak
langsung meningkatkan harga dirinya. Diskusi ini mengarah pada perlunya memberi
pengakuan dan penghargaan kepada orang-orang agar mau melaku-kan usaha-usaha
peningkatan mutu kinerjanya. Dengan diakui dan dihargainya kontribusi orang-orang
tersebut dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan di mana mereka bekerja, mereka
merasa harga dirinya naik, dan dengan harga diri yang naik itu mereka merasa upayanya
untuk memenuhi kebutuhan sosialnya akan menjadi mudah. Jadi untuk menumbuhkan
kemauan orang untuk meningkatkan mutu kinerjanya bisa dengan menerapkan sistem
penghargaan yang bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok
orang. Perlu sekali lagi ditekankan di sini bahwa penghargaan tidak selalu harus dalam
bentuk uang atau materi. Pengakuan dan pujian di hadapan umum bisa memotivasi orang
untuk berbuat baik lebih lanjut.

Agar orang mau berpartisipasi meningkatkan mutu (atas kemauan sendiri) orang
itu perlu mendapatkan kesempatan untuk berbuat demikian. Kesempatan ini bisa berupa
ajakan dari pimpinan dan atau orang-orang lain di sekitarnya, atau kebebasan untuk
berpartisipasi, tersedia-nya fasilitas untuk meningkatkan mutu, atau dalam bentuk
kewenangan untuk berpartisipasi. Memberi kewenangan kepada semua orang untuk
meningkatkan mutu kinerjanya masing-masing adalah penting untuk munculnya
partisipasi dalam meningkatkan mutu lembaga pendidikan.

Pemberdayaan lembaga pendidikan berawal dari adanya sifat hubungan baru di


antara orang-orang yang bekerja, dan antara orang-orang itu dengan pimpinan lembaga
pendidikannya. Mereka semua adalah mitra kerja. Setiap orang diajak untuk tidak hanya
merasa bertanggung-jawab tentang pekerjaannya sendiri, tetapi mereka juga merasa ikut
memiliki organisasi secara keseluruhan. Para pekerja itu perlu dibuat merasa sebagai
pengambil keputusan, tidak sekedar sebagai pengikut, pelaksana, penerima perintah atau
bawahan. Selain itu mereka juga merasa bangga atau kecewa terhadap keberhasilan
lembaga pendidikannya secara keseluruhan, dan bukan hanya merasa bangga atau
kecewa terhadap hasil kerja dirinya sendiri saja.

Partisipasi

PEMBERDAYAAN

Kemampuan
Kesempatan

O
Kemauan

Diagram di atas memperjelas bagaimana partisipasi bisa muncul dalam organisasi,


yaitu bila ditopang oleh adanya faktor-faktor kemampuan, kemauan, dan kesempatan.
Dalam berupaya memberdayakan lembaga pendidikan perlu selalu diupayakan
bagaimana menumbuhkan ketiga faktor itu pada setiap orang yang bekerja di lembaga
pendidikan yang bersangkutan. Usaha pemberdayaan yang berhasil akan mengubah
suasana kerja, semangat kerja, dan semangat kerjasama, dan akhirnya akan menghasilkan
kinerja yang lebih bermutu.

Sejak kelahirannya sampai sekarang lembaga pendidikan di Indonesia cenderung


menerapkan organisasi yang berbentuk tradisional, yang terkendali secara ketat dari atas
dan jarang melibatkan pemikiran dari bawah. Organisasi tradisional itu biasanya
berbentuk piramida dengan pimpinan tertingginya berada di puncak. Organisasi semacam
ini ditandai dengan adanya pembagian fungsi yang sangat tajam dengan batas-batas yang
jelas, uraian tugas yang terbatas dan pengendalian ketat oleh atasan. Dalam organisasi ini
orang-orang yang berada di puncak berfikir dan merencanakan, sedangkan orang-orang
yang berada di bawah melaksanakannya.

Ciri-ciri organisasi piramidal :

1)      Keputusan diambil oleh pimpinan puncak.

2)      Setiap orang hanya bertanggung jawab terhadap pekerjaannya.

3)      Perubahan terjadi secara lambat dan jarang, dan hanya datang dari puncak.

4)      Umpan balik dan komunikasi dari atas ke bawah.


5)      Interaksi dan komunikasi antar bagian sangat minimal.

6)      Fokus perhatian orang pada atasan yang bertanggung jawab atas pekerjaan
bawahannya.

7)      Pimpinanlah yang mengatakan bagaimana sesuatu harus dikerjakan dan apa
yang harus dihasilkan.

8)      Bawahan tidak diharapkan bermotivasi tinggi, karena itu perlu diawasi dan
dikendalikan secara ketat.

Sampai sekarang sebagian besar lembaga pendidikan masih beroperasi kurang


lebih semacam itu. Bentuk baru organisasi disebut sirkel atau jaringan, karena
beroperasinya merupakan serangkai-an kelompok atau tim yang saling berkoordinasi,
yang dihubungkan dari tengah bukan dari atas.

Piramida (Hirarkhis) Sirkel ( Jaringan)

Ciri-ciri Organisasi Sirkel :

      Berfokus pada pelanggan.


      Orang bekerjasama satu dengan lainnya mengerjakan segala apa yang diperlukan.

      Orang-orang berbagi tanggung-jawab, keterampilan, wewenang dan pengawasan.

      Pengawasan dan koordinasi dilakukan melalui komunikasi yang dilakukan secara
terus-menerus dan melalui banyak keputusan.

      Perubahan kadang-kadang terjadi secara cepat, karena tantangan-tantangan baru


muncul.

      Kunci keberhasilan bagi semua karyawan dan pimpinan adalah kemampuan
bekerjasama dengan orang-orang lain.

      Dalam organisasi ini terdapat relatif hanya sedikit tingkatan (eselon).

      Kekuatan (kekuasaan) seseorang bersumber dari kemampuannya mempengaruhi dan


mem-beri inspirasi kepada yang lain, dan bukan dari jabatannya.

      Individu-individu diharapkan mengendalikan dirinya sendiri dan bertanggung-jawab


kepada semuanya; perhatian lebih ditujukan kepada para pelanggan.

      Para pimpinan adalah sumber enerji, penghubung dan pemberdaya bagi orang-orang
yang ada dalam berbagai tim yang ada dalam organisasi.

Bentuk Tradisional
Piramidal
Bentuk Transisional
Bentuk Sirkel

 
Proses Peribahan dari Bentuk Piramidal ke Bentuk Sirkel (Jaringan melalui

Bentuk Transisional).

Kebanyakan organisasi berada dalam bentuk antara piramida dan sirkel. Jadi
bentuk organisasi akan berubah secara bertahap. Dengan memikirkan dan
membayangkan dimana organisasi lembaga pendidikan kita berada pada saat ini, dan
pada posisi mana kita harapkan setelah be-berapa tahun yang akan datang, kita akan
dapat menggerakan perubahan dalam organisasi seperti yang kita harapkan, yaitu agar
organisasi lembaga pendidikan menjadi lebih berdaya.

Untuk bergeser dari piramida ke sirkel memang bukan proses pengembangan


yang mudah. Kenyataannya berada dalam organisasi yang sedang bergerak dari satu
bentuk ke bentuk yang lain terasa sangat tidak tenang, penuh dengan perasaan ketidak
pastian. Perubahan terjadi dimana-mana dan kadang-kadang sukar mengerti alasan
mengapa hal itu harus terjadi. Tetapi perlu diingat bahwa setiap pembaruan selalu
memerlukan perubahan, dan perubahan selalu menimbulkan goncangan, besar ataupun
kecil. Tidak perlu khawatir akan adanya guncangan-guncangan itu, asal kita selalu sadar
kemana organisasi itu bergerak.

Berikut ini empat macam goncangan yang mungkin akan menghadang di tengah
upaya pemberdayaan lembaga pendidikan.

1)      Inertia = kelembaman : kesulitan dalam memutuskan untuk memulai


melakukan perubahan. Sering terasa lebih mudah tetap pada posisi semula.
2)      Self-doubt = ragu-ragu sendiri : tidak yakin akan benar-benar bisa
menciptakan tempat kerja yang lebih berdaya.

3)      Anger = marah : menyalahkan fihak lain karena menganjurkan semua ini.

4)      Chaos = kacau-balau : Terlihat begitu banyak jalan di depan sehingga


merasa kehilangan arah.

Kalau mengalami salah satu atau beberapa goncangan semacam itu jangan cemas.
Tetaplah pada arah yang dituju, yaitu memberdayakan organisasi lembaga pendidikan.
BAB II

PEMBERDAYAAN ORGANISASI

BERDASARKAN PENDEKATAN BALANCED SCORCARD

A.    Pengertian dan Sejarah Balanced Scorcard

Istilah balanced scorecard terdiri dari dua kata, yaitu balanced (berimbang) dan
scorecard (kartu skor). Kata berimbang (balanced) dapat diartikan dengan kinerja yang
diukur secara berimbang dari dua sisi yaitu sisi keuangan dan non keuangan, mencakup
jangka pendek dan jangka panjang serta melibatkan bagian internal dan eksternal,
sedangkan pengertian kartu skor (scorecard) adalah suatu kartu yang digunakan untuk
mencatat skor hasil kinerja baik untuk kondisi sekarang ataupun untuk perencanaan di
masa yang akan datang. Dengan demikian, pengertian sederhana dari balanced scorecard
adalah kartu skor yang digunakan untuk mengukur kinerja dengan memperhatikan
keseimbangan antara sisi keuangan dan non keuangan, antara jangka pendek dan jangka
panjang serta melibatkan faktor internal dan eksternal.

Sejarah Balanced scorecard dimulai dan diperkenalkan pada awal tahun 1990 di
USA oleh David P Norton dan Robert Kaplan melalui suatu riset tentang “pengukuran
kinerja dalam organisasi masa depan”. Balanced scoredcard telah mengalami tiga
generasi yaitu: Generasi pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua
BSC dengan strategy maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga
intangible asset readiness. BSC generasi pertama mendefinisikan empat persepktif dalam
perusahaan yang harus diukur kinerjanya. Pertama, perspektif keuangan ( Financial
Perspective). Balanced scorecard memakai perspektif keuangan sebagai perspektif yang
terjadi akibat dari perspektif yang lain (customer, proses bisnis internal dan pembelajaran
& pertumbuhan), perspektif ini secara otomatis akan terwujud dari baik buruknya kinerja
tiga perspektif dibawahnya. Pengukuran kinerja keuangan mengindikasikan apakah
strategi perusahaan, penerapannya, dan pelaksanaannya memberikan kontribusi pada
peningkatan yang mendasar atau tidak. Oleh karena itu persepektif keuangan tidak
memiliki initiative stratetegik untuk mencapai sasaran strategic. Sasaran strategic dari
perspektif keuangan adalah shareholder value seperti meningkatnya ROI (Return on
Investment), pertumbuhan pendapatan perusahaan, dan berkuranganya biaya produksi.
Kedua, perspektif kustomer (Costumer Perspective). Pada perspektif ini, perusahaan
mengidentifikasikan dan mendefinisikan pelanggan dan segmen pasarnya. Perspektif ini
memiliki beberapa pengukuran utama dari outcome yang sukses dengan formulasi dan
penerapan strategi yang baik. Sasaran strategic dari perspektif customer ini adalah Firm
equity diantaranya adalah meningkatnya kepercayaan customer atas produk dan jasa yang
ditawarkan perusahaan, kecepatan layanan yang diberikan dan kualitas hubungan
perusahaan dengan kustomernya. Ketiga, perspektif proses bisnis /internal ( Internal
Process Perspective). Fokus dalam perspektif ini adalah proses internal dari manajemen
perusahaan yang harus dilakukan, yaitu proses yang berhubungan dengan penciptaan
barang dan jasa sehingga dapat  menarik dan mempertahankan pelanggan di pasar, yang
akhirnya dapat memuaskan ekspektasi pemegang saham.

Adalah Kaplan dan Norton dalam makalahnya yang menggagas pentingnya


konsep BSC sebagai sistem manajemen strategi dan pengukuran yang menghubungakan
sasaran strategis kepada indikator yang komprehensif. Untuk itu diperjelas juga bahwa
indikator yang digunakan harus merupakan kegiatan dan proses kegiatan inti lingkungan
organisasi beroperasi. Ucapannya yang mengatakan “What you measure is what you get”
menjadi premis dalam penyusunan ukuran hasil yang diharapkan. Kaplan dan Norton
melihat ada kelemahan kepada pengukuran kinerja yang dapat menonjolkan pencapaian
tujuan secara terpisah, bahkan cenderung kompetitif yang pada akhirnya mengakibatkan
konflik korporasi. Oleh karena itu dibutuhkan alasan untuk menggunakan konsep
scorecard karena: 1) scorecard menyatukan alat dalam laporan manajemen yang utuh,
kelemahan pandangan terhadap berbagai bidang yang dinilai bersaing: menjadi
perusahaan yang berorientasi kepada pelanggan, memperpendek waktu menanggapi,
memperbaiki kualitas terhadap team, mengurangi waktu meluncurkan produk, dan
mengelola untuk jangka waktu panjang; 2) scorecard menjadi pedoman untuk
mengoptimalkan pencapaian tujuan.

Sejak 1992, konsep ini terus dikembangkan tidak saja oleh Kaplan dan Norton
bahkan oleh penulis lain. Demikian juga dengan bidang yang mengadopsi BSC, semakin
lama semakin banyak. Karathonous, D., and P. Karathonous (2005), meggunakan BSC
untuk pendidikan; Kocakulah, M.C dan Austill, A.D. (2007) di bidang Kesehatan.

Pada awal tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mempublikasikan
tulisan mereka yang berjudul “The Balanced Scorecard : Measures that Drive
Performance” pada majalah Harvard Business Review edisi awal tahun tersebut. Bisa
dikatakan, inilah pemunculan metode balanced scorecard yang pertama untuk konsumsi
publik. Ide apa yang diusung oleh kedua penulis ? Ada dua ide utama, yaitu pengukuran
indikator kinerja bisnis serta empat perspektif untuk melakukan pengukuran tersebut.
Banyak pengamat memberi label “balanced scorecard generasi pertama” untuk tulisan
ini.

Metode balanced scorecard versi lengkap pertama kali muncul dalam bentuk
buku pada tahun 1996, berjudul “The Balanced Scorecard : Translating Strategy into
Action” ditulis oleh Robert S. Kaplan dan David P. Norton. Pada buku ini sudah diulas
secara lengkap hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships), penyusunan insiatif
stratejik (strategic initiatives), customer value proposition, serta konsep lead dan lag.
Lagi, banyak pengamat memberi label “balanced scorecard generasi kedua” untuk buku
ini.

Sekarang, setelah 14 tahun sejak pemunculannya yang pertama, bagaimana


perkembangan metode balanced scorecard ? Ulang tahun ke-14 ini ditandai dengan
pemunculan buku Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang terbaru, yang berjudul
“Alignment : Using the Balanced Scorecard to Create the Corporate Synergies”. Ini
adalah buku mereka yang keempat.

Buku kedua dan ketiga masing-masing adalah “Strategy-Focused Organization”


(2001), serta “Strategy Maps”, (2004). Setiap buku tersebut selalu mengulas
perkembangan terbaru tentang metode balanced scorecard. Khusus untuk buku ketiga
yaitu “Strategy Maps”, banyak pengamat memberikan label “balanced scorecard
generasi ketiga”, dengan memberikan penekanan kepada evaluasi kesiapan (readiness
assessment) serta membangun keselarasan (alignment) antara strategi dengan aset tak
berwujud (intangible assets), yaitu human capital, information capital, serta organization
capital.

Ternyata, metode balanced scorecard ini mendapatkan banyak sambutan, baik di


kalangan praktisi, maupun akademisi bisnis dan manajemen. Pada perjalanannya,
berbagai akademisi dan praktisi mengembangkan balanced scorecard sehingga menjadi
lebih kaya. Bisa dikatakan, balanced scorecard mengalami perkembangan pesat, baik
secara vertikal maupun horizontal.

Secara vertikal, balanced scorecard berkembang mulai dari tingkat korporat,


sampai dengan tingkat individu (personal scorecard). Salah satu tokoh yang giat
mengembangkan hal ini adalah Hubert K. Rampersad yang mengusung konsep total
performance scorecard, yaitu merupakan perpaduan yang cantik antara balanced
scorecard tingkat korporat dan organisasi, balanced scorecard tingkat individu,
manajemen berbasis kompetensi, serta total quality management.

Sedangkan secara horizontal, balanced scorecard berkembang ke berbagai bidang


fungsional manajemen, bahkan sangat spesifik. Perkembangan yang pesat ditunjukkan
oleh bidang fungsional manajemen SDM, mulai sejak tahun 2001. Saat itu diterbitkan
buku “The human Rresources Scorecard : Linking People, Strategy, and Performance”,
yang ditulis oleh Brian E. Becker, Mark. A. Huselid, serta Dave Ulrich. Belakangan
mereka membedakan antara balanced scorecard untuk sumber daya manusia organisasi
(workforce scorecard) dengan balanced scorecard untuk departemen SDM (HR
scorecard). Ini diulas secara mendalam dalam buku mereka “The Workforce Scorecard :
Managing Human Capital to Execute Strategy”, (2005).

Bidang fungsional lain yang juga mengadopsi balanced scorecard adalah


teknologi informasi. Kerja ini dimulai oleh Ronald Saull yang mempublikasikan artikel
“The IT Balanced Scorecard” pada Information Systems Control Journal, tahun 2000.
Setahun kemudian, bersama Win Van Grembergen, Ronald Saull memperkenalkan istilah
penyelarasan (alignment) antara strategi organisasi dengan teknologi informasi dengan
menggunakan balanced scorecard. Buku yang mengulas hal ini secara lengkap ditulis
oleh Jessica Keyes yang berjudul “Implementing IT Balanced Scorecard” (2005).

Dalam bidang pendidikan, studi oleh Beard (2009) yang mengidentifikasi


penerapan BSC kepada dua sekolah yang menerima penghargaan dari Malcolm Baldrige
National Quality Award Program menyimpulkan bahwa perusahaan penerima
penghargaan lebih memperoleh alasan yang sesuai dengan visi dan misi organisasi
setelah menerapkan BSC. Penghargaan Malcolm lebih fokus kepada keberhasilan
mencapai sebalas sasaran, akan tetapi penerapan BSC memberikan posisi yang lebih jelas
bagi perusahaan. Karena penerapan BSC dapat menjelaskan konsistensi capaian dengan
visi-misi organisasi dan nilai inti serta perbaikan yang dilaksanakan oleh organisasi. Sifat
BSC kemudian yang menekankan kepada sistem manajemen tidak hanya memampukan
organisasi tapi juga membantu perusahaan mengklarifikasi visi dan menterjemahkannya
kepada sasaran yang operasional, ukuran dan tindakan yang jelas dan sesuai dengan misi
dan nilai inti organisasi.

Kaplan dan Norton bersama dengan sejumlah perusahaan melakukan eksperimen.


Dari awal tahun ditetapkan pengamatan terhadap keberhasilan ataupun kinerja
perusahaan, sampai diputuskan bahwa empat perspektif itu memang dapat dijadikan
ukuran keberhasilan perusahaan. Sampai sekarang, Kaplan dan Norton memiliki proyek
bersama dengan sejumlah perusahaan untuk menentukan cara bagaimana perusahaan agar
berhasil. Berdasarkan konsep balanced scorecard ini kinerja keuangan sebenarnya
merupakan akibat atau hasil dari kinerja non keuangan (customer, proses bisnis, dan
pembelajaran). Pekerjaan penulis ini tidak saja dalam rumusan seperti itu, akan tetapi
sampai kepada upaya memasukkan sekumpulan perusahaan. Sampai sekarang pekerjaan
ini masih berjalan, sehingga muncul perusahaan ataupun konsultan yang membuat
program kepada sekumpulan perusahaan untuk mengikuti programnya. Dari hasil
pengamatan diakui bahwa perusahaan–perusahaan yang berada di dalamnya mengalami
kemajuan karena setiap pengmbilan kebijakan tetap mempertimbangkan perspektif
tersebut.

Perkembangan implementasi BSC semakin lama semakin marak, karena


kemudian dilanjuti dengan bagaimana kemajuan misalnya seperti penentuan pengupahan
dengan sistem BSC. Bahkan para pengguna BSC menyiapkan perangkat lunak (Software)
untuk menentukan bagaimana satu bisnis dapat berhasil. Dari perkembangan awal dapat
digarisbawahi bahwa peran BSC adalah sebagai alat ukur hasil, dimaksudkan untuk
evaluasi, jauh dari posisi strategis. Akan tetapi dari seri buku-buku dan riset yang
ditawarkan oleh Kaplan dan Norton akhirnya diakui bahwa permasalahan BSC bukan
pada level evaluasi semata, akan tetapi harus dimulai dari penyusunan strategi. Karena
dalam series buku dan eksperimen yang dikeluarkan oleh Kaplan dan Norton,
permasalahan BSC harus menjadi kesepakatan (komitmen) manajemen puncak sejak dari
awal.

BSC menjadi populer di kalangan praktisi dan akademisi di bidang pengukuran


hasil dan penuntasan masalah strategi. Pandey (2005) menjelaskan berbagai alasan
mengapa BSC digunakan dalam organisasi.

1)     BSC adalah alat komprehensif untuk memahami pelanggan dan kebutuhannya,
dan kesenjangan kinerja.

2)     BSC menyiapkan logika untuk menciptakan modal intangible dan inlektual
dimana dengan pengukuran tradisional dalam sistem kinerja sulit dilakukan.

3)     BSC mampu mengartikulasi strategi pertumbuhan menjadi keandalan bisnis yang
fokus kepada upaya-upaya non finansial.

4)     BSC memampukan karyawan memahami strategi dan kaitan sasaran ke dalam
operasi perusahaan hari ke hari.

5)     BSC memafsilitasi umpan balik riviu kinerja dari waktu ke waktu.
Kontribusi lain adalah dari sisi metode penyusunan balanced scorecard. Banyak
pihak yang berkontribusi mengenai hal ini, antara lain Paul Niven, Nills-Goran Olve,
Mark Graham Brown, dan sebagainya. Kembangan lain dari balanced scorecard juga
muncul untuk bidang internal audit (Mark L. Fringo, 2002), manajemen proyek (Jack
Phillips), institusi pemerintahan dan LSM (Paul Niven, 2003), jasa konsultansi (Jack
Phillips, 1999), kepemimpinan (Jack Phillips), dan sebagainya. Begitu juga dengan upaya
untuk menggabungkan dengan alat manajemen yang lain seperti six sigma (Praveen
Gupta, 2003).

Kemudian juga bermunculan perangkat lunak komputer (software) untuk


balanced scorecard, mulai dari yang murah meriah seperti Strategy Dialog buatan India,
sampai dengan yang mahal seperti QPR buatan Finlandia. Kabar terakhir mengatakan
bahwa dua pemain aplikasi ERP terbesar yaitu SAP dan Oracle juga sedang
mengembangkan modul khusus balanced scorecard untuk melengkapi modul aplikasi
ERP mereka saat ini.

Ringkas cerita, balanced scorecard adalah sebuah metode manajemen yang


fenomenal. Mengapa balanced scorecard menjadi begitu fenomenal ? Ada beberapa
alasan. Pertama, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara
kuantitatif, karena ada indikator kinerja (key performance indicator atau KPI) yang harus
didefinisikan secara kuantitatif. Ini mengubah pola pikir para pimpinan organisasi yang
terbiasa dengan pola pikir secara umum dan tidak operasional, atau sangat filosofis
menjadi kuantitatif dan operasional.

Kedua, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara


sistematik, karena ada hubungan sebab-akibat (cause-effect relationships) yang harus
dibangun untuk setiap strategi dan program kerja organisasi. Hal ini mengubah pola
berpikir para pimpinan organisasi yang terbiasa dengan pola pikir yang tidak berkait,
tidak bisa melihat dampak dari sebuah tindakan terhadap unit lain, menjadi lebih sistemik
dan integratif.
Ketiga, secara eksplisit memaksa para pimpinan organisasi berpikir secara
komprehensif, karena harus melihat kinerja organisasi dari berbagai perspektif sudut
pandang, tidak hanya satu sudut pandang. Ini mengubah pola berpikir para pimpinan
organisasi yang terbiasa dengan pola pikir yang parsial, hanya satu atau dua perspektif,
menjadi lebih komprehensif atau mampu melihat organisasi sebagai satu kesatuan yang
utuh.

Keempat, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal


sangat simpel dan mudah untuk dipahami. Metode ini tidak rumit dan membutuhkan
suatu keahlian khusus yang spesifik. Umumnya orang membutuhkan waktu yang tidak
lama untuk memahami metode ini, bahkan menjadi pengguna metode ini. Karena simpel,
maka metode ini bisa dipahami oleh berbagai lapisan di dalam organisasi, dengan
demikian manajemen strategi organisasi menjadi sangat baik, karena strategi dipahami
oleh semua lapisan.

Kelima, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dikenal


sangat fleksibel, bisa dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan organisasi. Misalnya, untuk
organisasi bisnis komersial maka tentu perspektif finansial menjadi sasaran akhir
organisasi, tetapi untuk organisasi pemerintahan yang sifatnya melayani masyarakat, hal
ini tentu tidak tepat. Maka, kita dapat dengan mudah memodifikasi balanced scorecard
untuk disesuaikan dengan kebutuhan organisasi.

Keenam, sebagai sebuah metode manajemen strategi, balanced scorecard dapat


diintegrasikan atau digabungkan dengan berbagai metode manajemen lainnya, seperti
SWOT, six sigma, manajemen risiko, dan sebagainya. Menurut penciptanya, metode
balanced scorecard dikembangkan tidak dimaksudkan untuk menggantikan metode
manajemen yang sudah ada, melainkan melengkapinya, dan bahkan juga dimaksudkan
untuk perangkai (integrator) dari metode-metode manajemen yang sudah ada saat ini.

Sekarang, pada usia yang ke-14, sudah sampai di mana perkembangan balanced
scorecard ? Pada buku terbarunya Robert S. Kaplan dan David P. Norton mengupas hal-
hal baru berkaitan dengan balanced scorecard. Pertama, berkaitan dengan penyelasaran
strategi tingkat korporat, business unit, dan strategi fungsional di dalam organisasi,
dengan menggunakan balanced scorecard. Kedua, mereka memperkenalkan enterprise
value proposition, versi lebih lengkap dari customer value proposition yang telah ada saat
ini. Ketiga, penggunaan balanced scorecard untuk menyelaraskan hubungan berupa
peran dan fungsi dengan pihak eksternal organisasi. Keempat, mereka membungkus
ketiga hal sebelumnya dengan kerangka total strategic alignment model.

Akankah hal ini akan diberi label “balanced scorecard generasi keempat” oleh
para pengamat ? Mungkin saja, Sah-sah saja kan ? Jangan-jangan Kaplan dan Norton pun
tidak peduli dengan label itu.

B.     Balanced Scorecard sebagai Strategi

Strategi korporasi diturunkan dari Visi dan Misi. Demikian penting peran strategi,
sehingga kalau tujuan korporasi tidak tercapai, maka yang salah adalah strategi. Whelen
(2006) menjelaskan berbagai hal penyebab kegagalan penerapan strategi yaitu: 1)
komunikasi yang sulit antar staf, 2) komitemen manajemen operasional lemah, 3) gagal
menerima umpan balik dan mekanismenya, 4) basis perencanaan tidak valid, formulasi
strategi tidak valid, 5) perencanaan fungsional tidak konsisten, dan 6) penilaian
sumberdaya tidak konsisten.

Dalam penerapan BSC, ada premis yang secara implisit didapat yaitu bahwa BSC
adalah strategi. Memperhatikan BSC sebagai pengukuran kinerja mungkin itu adalah hal
yang paling mudah diketahui, karena masing-masing perspektif yang kemudian
diturunkan mnejadi sasaran fungsinya adalah pengukuran kinerja. Akan tetapi, bila
diperhatikan bagaimana hubungan antara visi, misi dan strategi sebagai awal daripada
penetapan perspektif, dapat terlihat bahwa kaitan masing-masing perspektif dengan
strategi sangat kuat. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1. berikut.

 
Kaplan dan Norton (1992) menjelaskan bahwa The balanced scorecard puts
strategy – not control – at the center. Maknanya adalah bahwa esensi penerapan BSC
bukanlah adanya pengendalian terhadap devisi, akan tetapi setiap devisi satu korporasi
sedemikian rupa akan berinisiasi, menentukan ukuran kinerja dan mengkaitkannya
dengan visi, misi dan strategi korporasi. Dalam hal ini keunggulan BSC adalah
teridentifikasinya struktur ataupun kerangka yang ada di korporasi guna mencapai –
merealisasikan visi dan misi korporasi. Penjelasan demikian menegaskan bahwa sebelum
BSC dikenalkan telah banyak dikenal berbagai program pengukuran yang mengarah
kepada perbaikan: integrasi antar fungsi, skala global, perbaikan terus-menerus,
tanggung jawab team yang menggantikan peran individu. Kaplan sendiri menuliskan
bahwa penerapan BSC sejalan dengan prinsip semua itu. Akan tetapi yang membedakan
BSC dengan berbagai konsep tersebut adalah bahwa pada BSC manajer memahami,
setidaknya secara implisit kaitan antar fungsi. Lebih dari penjelasan itu, BSC juga
mengarahkan manajer ke depan daripada melihat ke belakang. Hal ini mudah dipahami
karena empat perspektif: keuangan, pelanggan, proses bisnis internal serta pembelajaran
dan pertumbuhan yang oleh Kaplan digambarkan sebagai perspektif yang berkaitan satu
dengan lainnya. Bahkan dirangkum dalam satu hubungan “cause and effect relationship”.
Dimana bahwa scorecard (papan nilai) diturunkan dari visi dan strategi. Hal ini menjadi
kunci yang secara implisit mengingatkan bahwa perusahaan sesungguhnya digerakkan
oleh visi dan misi. Bilamana visi dan misi dinyatakan dengan baik maka ini akan menjadi
“mesin” penggerak semua kegiatan.

Terjemahan visi untuk masing-masing perspektif di atas haruslah diuji dengan


masing-masing kriteria yaitu: 1) sasaran, 2) ukuran, 3) sasaran, dan 4) inisiatif. Keempat
perspektif ini mempunyai ciri sebagai berikut. Penterjemahan visi dan misi ke dalam 4
perspektif di atas menunjukkan adanya satu siklus: keuntungan perusahaan hanya dapat
tumbuh bilamana perusahaan mempunyai posisi di benak pelanggan (share value),
sementara posisi di benak pelanggan hanya mungkin bila perusahaan mempunyai proses
belajar. Satu hal yang sangat nyata dari hubungan yang ditunjukkan oleh Kaplan adalah
bahwa satu dengan lainnya saling berhubungan. Dalam bukunya yang terakhir (Strategy
Map) Kaplan menunjukkan berbagai cara empiris. Selanjutnya Kaplan menjelaskan
bagaimana pentingnya intangible asset sebagai rangkaian pencapaian tujuan. Dari ke
empat perspektif sebagaimana dikemukakan di atas, Kaplan (1992) juga menjelaskan
bahwa posisi persfektif seperti diatas berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Hal ini
terlihat dalam penentuan sasaran yang diimplementasikan melalui perumusan inisiasi
yang akan digunakan.

Dari hasil pengalaman korporasi yang menggunakan BSC diketahui bahwa BSC
banyak memberikan manfaat dibanding dengan pengukuran kinerja yang lain. Frigo
(2002) melaporkan korporasi yang menggunakan BSC seperti ABB Sitzerland, AT&T
Canada, Chemical Bank, Hilton Hotels, Sears, UPD, Wells Fargo Online Fiancial
Service, dan Wendy’s International menunjukkan keunggulan BSC dengan satu hirarkis
maupun kerangka yang dapat dijadikan pedoman yang dapat diterima oleh semua devisi.
Selanjutnya dari hasil survey IMA yang dilaporkan oleh Frigo (2002) bahwa manfaat
penerapan BSC dapat diterima dalam hal: 1) pengguna BSC dapat mendukung strategi
korporasi lebih baik, 2) hubungan yang kuat dalam pengukuran kinerja, 3) penggunaan
alat ukur baru, 4) kaitan yang kuat antara indikator kinerja dengan kinerja perusahaan
karena adanya komunikasi strategi kepada staf dan karyawan.

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hendrik (2004) dalam pemanfaatan BSC
yaitu: 1) Pemahaman manajemen yang baik dari hubungan keputusan strategik dan
tindakan dan strategi yang dipilih; 2) Pendefinisian ulang hubungan dengan pelanggan; 3)
Rekayasa mendasar dari proses bisnis; dan 4) Munculnya kultur korperasi yang
menekankan kepada upaya tim diantara fungsi organisasi menerapkan strategi perusahaan

Perbedaan fundamental antara pendekatan tradisional dan Balanced scorecard


terlihat antara lain pada pendekatan tradisional bertujuan untuk memantau dan
meningkatkan proses bisnis yang telah ada. Sementara pendekatan Balanced scorecard
akan selalu mengindentifikasi keseluruhan proses yang baru, dimana perusahaan harus
memenuhi tujuan keuangan dan pelanggannya. Sasaran strategic dari perspektif proses
bisnis ini adalah organizational capital seperti meningkatnya kualitas proses layanan
kepada customer, komputerisasi proses layanan kepada customer, dan penerapan
insfrastruktur teknologi yang memudahkan pelayanan kepada customer. Keempat,
perspektif pembelajaran dan pertumbuhan ( learning and Growth perspective). Perspektif
pembelajaran dan pertumbuhan ini mengindentifikasi infrastruktur yang harus dibangun
perusahaan untuk membentuk pertumbuhan dan perkembangan perusahaan jangka
panjang. Sasaran strategic dari perspektif ini adalah human capital. Sebagai contoh 
peningkatan kompetensi dan komitmen dari staff perusahaan.

Gambaran mengenai empat perspektif dalam Balance scorecard terlihat dalam


diagram yang dinamakan cause and effect diagram atau diagram hubungan sebab akibat.
Dalam diagram tersebut tergambar antara hubungan sasaran strategic dengan dalam
perspektif yang berbeda. Balanced scorecard mengidentifikasi dan membuat secara
eksplisit hipotesis tentang hubungan sebab akibat antara pengukuran outcome dan pemicu
kinerja dari outcome tersebut.

 
Proses pembuatan Balance scorecard secara manual memang diakui memerlukan
energi yang besar dan diperlukan ketekunan yang tinggi, dimulai pada saat pendefinisian
visi dan misi perusahaan, sasaran strategic perusahaan, pengukuran hasil (outcome
measure) dan pemicu kinerja berdasarkan perspektif Balance scorecard yang disesuaikan
dengan setiap unit bisnis dalam perusahaan. Dapat dipastikan bahwa penerapan Balance
scorecard secara manual mempunyai tingkat kegagalan yang besar terutama dalam
konsistensi dan komunikasi antara top, middle, lower management.

Ditinjau dari sistem manajemen strategik (Strategik management sistem) ada dua
tahapan penting yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced scorecard
awalnya berada pada tahap implementasi saja yaitu sebagai alat ukur kinerja secara
komprehensif bagi para eksekutif dan memberikan feedback tentang kinerja manajemen.
Dampak dari keberhasilan penerapan balanced scorecard memicu para eksekutif untuk
menggunakan balanced scorecard pada tahapan yang lebih tinggi yaitu perencanaan
strategik. Mulai saat itu, balanced scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat pengukur
kinerja namun berkembang menjadi strategik management sistem. Dalam kajian
manajemen strategik, pengukuran hasil (performace) memegang peran sangat penting,
karena ini tidak saja berkaitan dengan penentuan keberhasilan akan tetapi menjadi ukuran
apakah strategi berhasil atau tidak. Artinya hasil akan dijadikan ukuran apakah strategi
berjalan baik atau tidak; bila organisasi tidak dapat mencapai hasil maka diagnosa
pertama menunjukkan bahwa strategi tidak berjalan. Dalam ukuran yang dinilai
tradisionil, Whelen (2006) menunjukkan bahwa ROI (Return Investment) mengandung
berbagai kelemahan.

Kelemahan ini memaksa praktisi memikirkan ukuran yang lebih komprehensif


yang dapat digunakan. Di Amerika, misalnya, dikenal Malcolm Baldrige National
Quality yang setiap tahunnya memberikan penghargaan melalui acara yang sangat
bergengsi. Bagaimanapun program seperti di atas berpengaruh terhadap kinerja bisnis.
Selama ini program tersebut diyakini telah meningkatkan daya saing bisnis Amerika di
pasar global, karena programnya telah meningkatkan kualitas bisnis. Adapun perspektif
bisnis yang dikembangkan dalam program ini adalah fokus kepada hasil pelanggan, hasil
barang dan jasa, hasil keuangan dan pasar, hasil sumberdaya manusia, ketertarikan hasil
organisasi, termasuk pengukuran kinerja perusahaan dan tatakelola serta tanggungjawab
sosial. Dari keenam fokus yang ada di atas, selanjutnya Program ini mendeskripsikan
sebelas komponen yang harus ditunjukkan agar perusahaan dapat memberikan nilai.

Ketika Kaplan dan Norton menggagas konsep yang diajukan, kedua penulis ini
tidak henti-hentinya memperjelas kaitan dari masing-masing perspektif dalam menopang
pencapaian tujuan. Oleh karena itu perspektif yang disampaikan adalah menjadi bagian
dari strategi. Patut dicatat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Sandy Richardson
dalam Hendricks yang menjelaskan bahwa:

Memahami bahwa BSC adalah bagian dari proses yang dimulai dengan strategi.
Karena itu disarankan untuk menyertakan BSC sejak strategi dimulai, dengan
penegasan strategi sejak dari awal. Keterlibatan manajemen senior sangat kritis,
karena dukungan internal sangat dibutuhkan guna menentukan keberhasilan
organisasi menerapkan BSC.

Dalam bukunya, Kaplan dan Norton (2005) memperjelas lagi bahwa masing-
masing perspektif haruslah sedemikian rupa terkait satu sama lain sehingga realisasinya
merupakan satu rangkaian. Bila rangkaian ini dapat dijelaskan maka akan diperoleh satu
peta strategi yang secara jelas menunjukkan bagaimana visi dan misi diterjemahkan
menjadi bagian-bagian yang operasional yaitu sasaran dan strategi untuk mencapai
sasaran tersebut. Bila hal ini tersusun maka apa yang disampaikan Kaplan bahwa BSC
melulu bukanlah alat ukur kinerja akan tetapi menjadi bagian dari strategi karena
memberikan umpan balik dan koreksi atas hasil yang diperoleh.

Tidak mudah untuk menyepakati ukuran apa yang dijadikan keberhasilan satu
perusahaan, karena didalamnya selalu ada unsur konflik antar bagian. Adapun empat
perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan sesungguhnya haruslah diikuti pemahaman
mendalam saat perencanaan strategis dimulai. Pemahaman ini harus dimulai dari
identifikasi yang sesuai sehingga dapat ditentukan apa yang menjadi tujuan dan kegiatan
serta ukuran yang akan diterapkan. Dalam hal ini adapun konsep pengukuran kinerja
menjadi bermanfaat, karena penyusun strategi akan dapat menentukan.

Hendrick (2004) menunjukkan kendala penerapan BSC (1) sedikit pemeriksaan


tentang faktor yang berkaitan dengan pengadopsian BSC, dan (2) masih dibutuhkan
keyakinan bahwa dengan pengadopsian BSC akan berdampak kepada kinerja keuangan.
Selanjutnya ia melaporkan bahwa kunci dari penerapan BSC adalah keterlibatan
kepemimpinan senior; mengartikulasi visi dan strategi perusahaan; mengidentifikasi
kategori kinerja yang menghubungkan visi dan strategi terhadap hasil; terjemahkan papan
nilai kepada tim, devisi, dan tingkatan fungsi; kembangkan pengukuran yang efektif dan
standar yang berarti (jangka pendek dan panjang, memimpin, dan tertinggal); kenakan
penganggaran yang tepat, Teknologi Informasi, Komunikasi , dan sistem imbal jasa.
Melihat BSC sebagai proses kontinius, membutuhkan perbaikan, penilaian ulang, dan
pemutakhiran dan percaya bahwa BSC sebagai fasilitator perubahan kultur dan
organisasi.

Komitmen pimpinan puncak tetap saja menjadi kata kunci, karena hanya dengan
adanya komitmen itulah organisasi dapat bergerak. Satu hal yang dapat dilakukan oleh
pihak manajemen adalah mengakomodasi hal-hal yang umum dalam satu industri, akan
tetapi bagaimanapun satu perusahaan harus dapat mengakomodasi hal yang menurut
mereka spesifik bagi industri ataupun perusahaan dimana mereka berada. Dalam kaitan
ini harap diingat akan 4 perspektif yang dikemukakan oleh Kaplan, perspektif demikian
tidak serta merta memposisikan perusahaan dapat mengadopsinya. Penentuan sasaran dan
target bukanlah pekerjaan yang mudah karena hal ini harus termuat dalam satu
perencanaan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Artinya penetapan demikian
haruslah disertai oleh Alligment. Alligment adalah adanya pengalokasikan sumberdaya
yang jelas terhadap upaya pencapaian tujuan. Tanpa adanya pengalokasian sumberdaya
maka tidak akan ada jaminan bahwa organisasi akan mencapai manfaat dari BSC yang
telah disusun. Measured (ukuran) menjadi sangat penting dalam penerapan strategi,
karena satu perusahaan tidak akan dapat mengelola yang dapat diukur.

C.    Balanced Scorecard sebagai Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja perusahaan yang modern dengan mempertimbangan empat


perspektif (yang saling berhubungan) yang merupakan penerjemahan strategi dan tujuan
yang diingin dicapai oleh suatu perusahaan dalam jangka panjang, yang kemudian diukur
dan dimonitor secara berkelanjutan

Adanya pergeseran tingkat persaingan bisnis dari industrial competition ke


information competition, sehingga mengubah alat ukur atau acuan yang dipakai oleh
perusahaan untuk mengukur kinerjanya. Perubahan Teknologi à Persaingan ketat di
dunia bisnis à Mendorong kebutuhan akan Informasi à Mengakibatkan persaingan
Informasi à Untuk membantu ambil keputusan.

Financia
l
Customer
Internal Bussiness
Learning & Growth
ROCE
Customer Loyalty
On Time Delivery
Process Quality
Process Cycle Time
Employee Skills
Gambar 1
Hubungan antara empat Perspektif dalam Balanced Scorecard

 
Perspektif Pelanggan dapat diukur dengan lima aspek utama (Kaplan, 1996)
Pengukuran Pangsa Pasar; Pengukuran Customer Retention; Pengukuran Customer
Acquisition; Pengukuran Customer Satisfaction; Pengukuran Customer Profitability.

Perspektif Bisnis Internal dapat diukur dengan tiga aspek utama yaitu : Proses
Inovasi (penelitian dasar dan trepan juga penelitian pengembangan produk); Proses
Operasi (menitikberatkan pada efisiensi proses, konsistensi dan ketepatan waktu dari
barang/jasa yang diberikan kepada konsumen; Pengukuran terhadap efisiensi waktu yang
dibutuhkan (time measurements)

Processing Time

Manufacturing Cycle Efectiveness = ----------------------

Throughput Time

Pengukuran terhadap kualitas proses produksi (quality process measurements).


Menditeksi adanya tingkat kerusakan produk dari proses produksi, perbandingan produk
bagus yang dihasilkan dengan produk bagus yang masuk dalam proses, bahan buangan
(waste), bahan sisa (scrap), besarnya angka pengerjaan kembali (rework), besarnya angka
pengembalian dari konsumen dan lain-lain. Pengukuran terhadap efisiensi biaya proses
produksi (process cost measurements). Dalam manufaktur maju, pengukuran atas biaya
yang dikeluarkan untuk menghasilkan produk digunakan ABC system.

Ketiga poin di atas secara bersama-sama (simultan) akan menghasilkan tiga


parameter yang penting untuk mengkarakteristikkan pengukuran proses bisnis internal
(perhitungan biaya yang tepat dimana tidak ada pemborosan biaya dari aktivitas yang
tidak bernilai tambah dan kualitas produk yang dihasilkan baik akan menghasilkan
proses bisnis internal yang baik). Pelayanan Purna Jual (akan mempengaruhi tingkat
kepuasan konsumen). Aktivitas-aktivitas diantaranya : garansi, reparasi, perlakuan
terhadap produk cacat atau rusak, pelayanan dalam komplain dan lain-lain.

Betapa pentingnya untuk terus memperhatikan karyawan, memantau


kesejahteraannya, meningkatkan pengetahuan karyawan yang pada gilirannya akan
meningkatkan kemampuan untuk mencapai hasil ketiga perspektif diatasnya. Pengukur
Kemampuan Karyawan dengan 3 aspek Pengukuran kepuasan karyawan; Tingkat
keterlibatan karyawan dalam proses pengambilan keputusan; Pengakuan terhadap hasil
kerja karyawan; Kemudahan dalam mendapatkan informasi sehingga dapat bekerja
sebaik mungkin; Keaktifan dan kreativitas dalam melakukan pekerjaan; Tingkat
dukungan yang diberikan kepada karyawan; Pengukuran perputaran karyawan dalam
perusahaan; Pengukuran produktivitas karyawan; Gaji yang diperoleh dan Rasio
perbandingan antara konpensasi yang diperoleh karyawan dengan jumlah karyawan yang
ada di perusahaan.

Kualitas dan produktifitas karyawan dipengaruhi oleh akses terhadap system


informasi yang dimiliki perusahaan (persentase ketersediaan informasi). Semakin mudah
informasi diperoleh maka karyawan akan memiliki kenerja yang semakin baik. Informasi
yang dibutuhkan karyawan seperti informasi pelanggannya, biaya produksi dan lain-lain.

Selain kemudahan akses informasi yang bergitu bagus tetapi juga harus diikuti
dengan adanya motivasi karyawan untuk mau meningkatkan kinerjanya. Pengukuran
motivasi karyawan dapat dinilai melalui dimensi; pengukuran terhadap sarana yang
diberikan kepada perusahaan dan diimplementasikan; pengukuran atas perbaikan dan
peningkatan kinerja karyawan; pengukuran terhadap keterbatasan individu dalam
organisasi.

D.    Implementasi Scorecard

Implementasi BSC pada awalnya merupakan papan nilai yang dinilai seimbang
antar berbagai perspektif untuk menentukan keberhasilan satu organisasi ataupun
perusahaan. Permasalahan ini menjadi krusial bukan saja karena ini menyangkut banyak
hal, akan tetapi karena dengan adanya ukuran yang seimbang diharapkan bahwa capaian
dan kinerja satu organisasi dapat berkelanjutan (sustainable). Apa yang harus dicatat dari
berbagai publikasi Kaplan dan Norton bahwa untuk mengimplementasikan BSC
sekalipun dibutuhkan strategi. Sehingga, dapat diketahui bahwa dalam BSC sangat
dinyatakan bahwa rancangan strategi implementasi mutlak dilaksanakan. Hal ini
merupakan koreksi terhadap kelemahan strategi pada umumnya.

1.      Proses Penyusunan Balanced Scorecard

Bangunan Balanced Scorecard dimulai dari visi perusahaan. Visi di sini adalah
situasi masa depan perusahaan yang diinginkan. Kemudian visi ini diuraikan dalam
perspektif-perspektif pengukuran. Pada masing-masing perspektif tersebut ditetapkan
tujuan-tujuan strategis yang lebih spesifik yang merupakan penjabaran dari visi
perusahaan. Atas dasar tujuan strategis ini, perusahaan kemudian menetapkan faktor-
faktor keberhasilan kritikal agar visi perusahaan bisa diwujudkan. Setelah penetapan
factor-faktor keberhasilan kritikal ini, kemudian ditentukan ukuran-ukuran strategis yang
mencerminkan strategi perusahaan. Terakhir, perusahaan menyiapkan langkah-langkah
spesifik yang akan dilakukan pada masa mendatang agar tercapai tujuan-tujuan strategis
yang merupakan syarat bagi pencapaian misi perusahaan. Gambar 2.1 berikut
memberikan gambaran ringkas bagaimana sebuah Balanced Scorecard
Financial
Costumers
Internal business
Learning & Growth
Langkah-langkah spesifik untuk mencapai tujuan
Visi Atau situasi masa depan perusahaan yang diinginkan.

Perspektif
Tujuan strategic Spesifik
Faktor Keberhasilan Kritikal
Ukuran srategi yang mencerminkan strategi perusahaan
Kaplan menyarankan untuk menggunakan proses yang telah ditempuh oleh Mobil
NAM&R dalam membangun scorecard-nya sehingga menjadi organisasi yang fokus
terhadap strategi dan leading dalam industrinya. Langkah-langkah tersebut sebagai
berikut:

a.    Assess the competitive environment.

b.    Learn about customer preferences and segments.

c.    Develop a strategy to generate breakthrough financial performance.

d.    Articulate the balance between growth and productivity.

e.    Select the targeted customer segments.

f.      Determine the value preposition for the targeted customers.

g.    Identify the critical internal business processes to deliver the value
proposition. to customers and for financial cost and productivity objectives.

h.    Develop the skills, competencies, motivation, databases, and technology


required to excel at internal processes and customer value delivery.

2.      Proses Penerapan Balanced Scorecard

Tahap ini membutuhkan pengembangan sistem dan IT (Information Technology)


untuk mengimbangi perubahan lingkungan bisnis yang terus terjadi. Pengendalian
strategis mengantarkan organisasi untuk terus belajar menyempurnakan ukuran-ukuran
agar selalu merefleksikan strategi perusahaan. Proses penerapan ini dapat dilihat secara
ringkas pada Gambar 2.2 berikut.

Pengembangan Strategi
Manajemen Control System
Pengembangan system dan IT
Pembelajaran organisasi
BSC

 
Model Balanced Scorecard hanya memberikan perusahaan sebuah struktur yang
menyatakan visi dan strategi perusahaan ke dalam sasaran dan ukuran yang nyata.
Perusahaan masih menghadapi tantangan untuk membangun sebuah sistem serta prosedur
yang mampu mengumpulkan informasi sekaligus mengkomunikasikannya kepada
karyawan dan pihak-pihak yang memerlukan. Untuk menciptakan perubahan yang
diinginkan dari sistem pengukuran kinerja ini, informasi harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:

a.       Presented in a communicative manner – in numbers, figures, diagrams, or


multimedia, which facilitate an overview.

b.      Presented in a user-friendly environment – simple, familiar interface.

c.       Easy to access – the person who needs the information must be able to obtain it
wherever he or she is.

d.      Collected and measured in a cost-effective manner – measures of “soft” data


often require new instruments of measurement. The cost of measurement must
not exceed the utility of the measures.

3.      Karakteristik Ukuran untuk Balanced Scorecard


Banyak perusahaan yang telah mengklaim bahwa mereka telah menerapkan
Balanced Scorecard karena telah menggunakan campuran ukuran keuangan dan
nonkeuangan. Padahal pada kenyataannya mereka baru menggunakan ukuran yang lebih
seimbang dibandingkan dengan perusahaan yang hanya menggunakan ukuran finansial
semata-mata dalam mengukur kinerjanya. Hal ini dikarenakan mereka menggunakan
ukuran yang sifatnya tidak mendukung strategi perusahaan.

Balanced Scorecard yang baik mampu merefleksikan strategi perusahaan. Cara


yang paling tepat untuk untuk mengujinya adalah apakah kita bisa memahami strategi
perusahaan dengan hanya melihat scorecard tersebut. Strategy scorecard menyediakan
cara yang logis serta komprehensif untuk menjelaskan strategi perusahaan. Scorecard ini
dengan jelas mengkomunikasikan keluaran yang diinginkan perusahaan sekaligus
hipotesis mengenai bagaimana keluaran tersebut dapat dicapai.

4.      Penerapan Balanced Scorecard yang Berhasil

Walaupun tidak ada standar yang seragam untuk mengevaluasi penyusunan atau
penerapan suatu Balanced Scorecard, Olve et al. telah mengidentifikasi keadaan yang
menunjukkan penerapan Balanced Scorecard yang berhasil sebagai berikut:

a.       Support and Participation

b.      Priority

c.       Composition of the Project Group

d.      Coverage of the Project

e.       Basing the Scorecard on the Company’s Strategy

f.        Clearly and Consistently Defined Measures

g.      Balance and Cause-and-Effect Relationship between Measures

h.      Setting Goals


i.        Relationship to Existing Control Systems

j.        Ensuring the Feasibility of Measures and Measurements

k.       IT-based Presentation and Support Systems

l.        Training and Information

m.    Development of Learning Organization

n.      Following up the Concept

Hubungan antara tujuan strategis perusahaan dengan ukuran di dalam scorecard-


nya merupakan suatu hipotesis hubungan sebab-akibat, yang karenanya manakala tidak
lagi terdapat korelasi antara ukuran dan tujuan strategis, maka strategi perusahaan harus
kembali ditinjau sesuai kebutuhan, seperti yang disimpulkan oleh Olve et. al.: “…. A
balanced scorecard should not be regarded as static product but as a living model of a
company.”

5.      Menggunakan Balanced Scorecard untuk Mengukur Kinerja

Setelah membangun model scorecard-nya, kemudian menyiapkan program aplikasi


untuk operasionalisasi ukuran-ukuran yang ada pada scorecard-nya. Program yang
digunakan adalah program Oracle yang didisain secara khusus untuk penerapan Balanced
Scorecard. Program aplikasi ini memiliki dua fungsi, yaitu fungsi pengelolaan data;
keluaran yang dihasilkan dari fungsi ini adalah bentuk-bentuk laporan baik berupa tabel,
grafik, maupun diagram. Dan fungsi pemantauan. Keluaran yang dihasilkan adalah
laporan perkembangan kinerja perusahaan pada periode tertentu. Manajemen dapat
mengetahui sampai tingkat mana pencapaian kinerja perusahaan untuk periode yang
diinginkan setiap saat. Umpan balik dari fungsi ini adalah timbulnya perhatian
manajemen untuk peningkatan kinerja secara berkesinambungan.
Pengelolaan data Balanced Scorecard dilakukan oleh bagian QAD dengan rincian
pekerjaan sebagai berikut 1) Melakukan pengumpulan data Balanced Scorecard, 2)
Pembuatan laporan Balanced Scorecard, 3) Mengirimkan laporan Balanced Scorecard ke
PT Y (holding company); 4) Menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC
(Personal Computer) manajemen dalam bentuk database; 5) Mengarsipkan laporan
Balanced Scorecard.

Untuk lebih mengoptimalkan pengelolaan data Balanced Scorecard telah dibuat


dokumen SOP (Standard Operating Procedures) yang terdiri dari 11 dokumen SOP.
SOP-SOP yang disusun merupakan serangkaian prosedur yang harus dijalani untuk
menjamin validitas data yang akan menjadi masukan bagi pengukuran serta laporan
kinerja. Atas dasar SOP-SOP yang ada, dapat dilihat bahwa implementasi Balanced
Scorecard terdiri dari 3 (tiga) tahapan utama; (1) tahap pengumpulan data Balanced
Scorecard, (2) tahap pelaporan, dan (3) tahap monitoring.

Pada tahap pengumpulan data, masing-masing supervisor menyiapkan data-data


yang diperlukan oleh kunci pengukuran (KPI) bagiannya. Setelah data-data tersebut
disiapkan, para supervisor tersebut kemudian mengoreksi untuk kemudian menyerahkan
yang telah ditentukan beserta data-data pendukungnya kepada manajer yang menjadi
atasan langsungnya. Laporan pengumpulan data ini harus sudah diserahkan oleh para
supervisor kepada manajer-manajer masing-masing paling lambat tanggal 1 (satu) setiap
bulannya.

Setelah menerima dan memeriksa data dari para supervisor yang menjadi tanggung
jawabnya, manajer terkait kemudian menyampaikan data tersebut beserta dokumen
pendukungnya kepada bagian QAD untuk diolah ke dalam format Balanced Scorecard.
Oleh bagian QAD data-data tersebut kembali diperiksa untuk mendapatkan jaminan atas
validitas dan kewajarannya. Setelah proses ini data tersebut di-input ke loader Balanced
Scorecard dan ke dalam form laporan Balanced Scorecard yang telah distandarkan.
Setelah mengoreksi hasil input baik pada loader Balanced Scorecard maupun form
laporan Balanced Scorecard, bagian QAD mengirimkan laporan Balanced Scorecard
kepada Direktur Utama.
Bagian QAD juga menampilkan laporan Balanced Scorecard pada PC (Personal
Computer) manajemen dalam bentuk database untuk mendapatkan tindak lanjut dari apa-
apa yang telah dicapai perusahaan selama periode yang bersangkutan. Setelah data
masukan ini diproses, aplikasi Balanced Scorecard perusahaan akan menyajikan
pencapaian kinerja perusahaan dibandingkan dengan target atau anggaran pada periode
atau waktu yang terkait.

Ada beberapa prosedur tanggapan yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam
menindaklanjuti laporan kinerja yang ditampilkan ini, yaitu: 1) Melakukan koreksi
dengan cara membuat catatan berdasarkan grafik dan diagram yang ditampilkan pada
masing-masing KPI Balanced Scorecard untuk melihat perkembangan terhadap
pelaksanaan kerja dari masing-masing bagiannya apakah pelaksanaan kerja tersebut dapat
mencapai rencana kerja yang telah ditentukan atau tidak; 2) Mencari penyebab
sehingga pelaksanaan kerja yang dilakukan tidak dapat mencapai rencana kerja yang
telah ditentukan sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan kerja periode yang akan
datang; 3) Mencari cara agar pelaksanaan kerja yang dilakukan pada periode yang akan
datang dapat mencapai rencana kerja yang ditentukan Melakukan koordinasi dengan
masing-masing bagian di bawahnya terhadap pelaksanaan kerja periode yang akan datang
untuk disesuaikan dengan rencana kerja yang telah ditentukan.

Program pengembangan Balanced Scorecard terus dilakukan secara bertahap dan


berkesinambungan dengan memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

1) Tujuan jangka pendek.

Direncanakan sebelum tahun 2013 (pertengahan 2013), implementasi Balanced


Scorecard dapat sampai pada level supervisor, sehingga struktur scorecard yang ada
sekarang akan diperluas untuk masing-masing supervisor.

2) Tujuan jangka panjang.

Setelah tujuan pada angka 1 (satu) di atas, implementasi Balanced Scorecard akan
diarahkan pada masing-masing karyawan. Setiap karyawan akan dinilai kinerjanya
dengan menggunakan sistem penilaian berbasis Balanced Scorecard. Nantinya
diharapkan seluruh bagian dalam perusahaan akan dinilai kinerjanya dengan
menggunakan kerangka Balanced Scorecard perusahaan.

Pengalaman Kaplan dan Norton selama bertahun-tahun bekerja dengan Balanced


Scorecard menunjukkan bahwa kebanyakan perusahaan membutuhkan 20-25 ukuran
dalam scorecard-nya dengan sebaran pada masing-masing perspektif sebagai berikut:

Perspektif Jumlah Ukuran

Keuangan 5 Ukuran Strategi (22 %)


Pelanggan 5 Ukuran Strategi (22%)
Bisnis Internal 10 Ukuran Strategi (34%)
Pembelajaran dan Pengembangan 5 Ukuran Strategi (22%)

Selain pola distribusi ukuran seperti yang disampaikan di atas, Kaplan dan Norton
juga menyampaikan bahwa dari total ukuran di dalam scorecard, 80 % dari total jumlah
tersebut merupakan ukuran yang bersifat non finansial.

Dalam penelitian Nomura Research Institute (NRI) Papers No. 45, 1 April 2002
dikemukakan bahwa Jepang sudah beberapa tahun lalu mengintroduksikan pola kerja
balance scorecard (BSC) terhadap lebih dari 20 perusahaan (Morisawa, 2002:3). Dari
hasil penelitiannya, NRI dapat memberi kesimpulan bahwa berdasarkan pengalaman-
pengalaman perusahaan yang menerapkan pengukuran kinerja dengan balanced
scorecard tersebut merasakan bahwa balanced scorecard memang memiliki keunggulan
yang dirangkum menjadi lima point sebagai berikut:

1.      Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan


keseimbangan di antara sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan
jangka panjang.
2.      Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau
menetapkan indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-
indikator finansial.

3.      Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-


indikator non finansial kuantitatif.

4.      Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan


siklus hipotesis verifikasi.

5.      Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi


yang mencerminkan keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.

NRI mengemukakan salah satu contoh kasus yang spektakuler tentang


keberhasilan penerapan Balanced scorecard yang berimplikasi pada perbaikan kinerja
perusahaan seperti yang dialami oleh perusahaan Kansai Electric Power CO. LTD,
perusahaan terbesar kedua di Jepang yang memproduksi dan mensuplai kebutuhan listrik
di Jepang. Perusahaan ini memperkenalkan cara kerja baru yang disebut "Linked
Contract" yang kinerjanya diukur dengan Balanced Scorecard.

Murphy and Russel (2002:2) menemukan bahwa penggunaan Balanced Scorecard


dapat menggantikan Costumer Relationship Management (CRM) Strategi, yakni suatu
strategi dimana perusahaan mencoba mengelola hubungan yang baik dengan para
pelanggan untuk menciptakan nilai tambah untuk para pelanggan dan untuk perusahaan
itu sendiri. Hal ini ditunjukkan bahwa lebih dari setengah proyek-proyek CRM tidak
menghasilkan nilai tambah apapun bagi perusahaan, dan 50% dari CRM Strategy tetap
saja mengalami kegagalan dalam penerapannya di dunia bisnis, namun Balanced
Scorecard dapat menggantikannya.

R. Abdul Haris dalam penelitiannya terhadap 64 BUMD di Jawa Timur


menemukan bahwa kinerja BUMD tergolong baik, terutama perspektif keuangan yang
seluruh indikatornya (pertumbuhan pendapatan, efisiensi biaya, peningkatan laba dan
pemanfaatan aktiva/ strategi investasi). Namun ditemukan pula adanya beberapa
perspektif yang perlu dibenahi yaitu: perspektif pelanggan yakni pencapaian kuantitas
produksi serta pangsa pasar yang dimiliki, perspektif proses bisnis internal yakni jaringan
hubungan dengan pemasok dan pengendalian kualitas, serta perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan yakni peningkatan kinerja dan pemenuhan kebutuhan karyawan.

E.     Keunggulan Balanced Scorecard

Dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional, maka balanced scorecard


memiliki beberapa keunggulan (Barbara Gunawan, 2000):

1.      Komprehensif.

Balanced scorecard menekankan pengukuran kinerja tidak hanya aspek kuantitatif


saja, tetapi juga aspek kualitatif. Aspek finansial dilengkapi dengan aspek customer,
inovasi dan market development merupakan fokus pengukuran integral. Keempat
perspektif menyediakan keseimbangan antara pengukuran eksternal seperti laba pada
ukuran internal seperti pengembangan kurikulum baru. Keseimbangan ini menunjukkan
trade off yang dilakukan oleh manajer terhadap ukuran-ukuran tersebut untuk mendorong
manajer untuk mencapai tujuan tanpa membuat trade off di antara kunci-kunci sukses
tersebut melalui empat perspektif. Balanced scorecard mampu memandang berbagai
faktor lingkungan secara menyeluruh.

2.      Adaptif dan Responsif terhadap Perubahan Lingkungan.

Pengukuran evaluasi tradisional melaporkan kejadian masa lalu tanpa


menunjukkan cara meningkatkan kinerja di masa depan. Aspek customer, inovasi dan
pengembangan, learning memberikan pedoman terhadap customer yang selalu berubah
preferensinya.

3.      Fokus terhadap tujuan.


Adapun tujuan dan sasaran yang ingin dicapai pada setiap perspektif adalah
(Barbara Gunawan, 2000):Perspektif Keuangan ; Perspektif Customer. Terwujudnya
tanggung jawab sosial sehingga pemerintah dan institusi pendidikan dikenal secara luas
akrab dengan lingkungan ;Perspektif Proses Internal. Terwujudnya pelipatgandaan
kinerja seluruh personil sekolah. ; Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan.
Terwujudnya keunggulan jangka penjang dunia pendidikan melalui pengembangan dan
pemfokusan potensi sumber daya manusia.
BAB III

PENUTUP

Konsep balanced scorecard kini telah menjelma menjadi model penilaian


manajemen yang diyakini bisa mendongkrak kinerja menjadi lebih baik. Di zaman
globalisasi yang kian liberal seperti sekarang, sulit dibantah, tuntutan pasar yang semakin
tinggi menjadi hal yang sangat penting untuk diantisipasi. Jika tidak, niscaya eksistensi
akan tergilas oleh keperkasaan pihak kompetitor.

Aplikasi Balance Scorecard dimulai dari akarnya yaitu pembelajaran dan


pertumbuhan, yang memberikan kontribusi pada proses internal bisnis, sehingga
pelanggan menjadi puas dan pada akhirnya perusahaan akan mendapatkan keuntungan
yang tercermin dalam performasi keuangan. Akhirnya, kemampuan memenuhi target
untuk tujuan keuangan, pelanggan dan proses bisnis intern tergantung kepada
kemampuan organisasi untuk belajar dan tumbuh. Mereka yang memungkinkan belajar
dan tumbuh khususnya berasal dari tiga sumber, yaitu pegawai, sistem dan penyetaraan
organisasi.

Strategi untuk kinerja yang unggul umumnya menuntut investasi yang signifikan
pada orang, sistem dan proses yang membangun kemampuan organisasi. Akibatnya,
tujuan dan ukuran untuk fihak yang memungkinkan kinerja yang handal ini dikemudian
hari harus merupakan bagian yang integral dari suatu Balance Scorecard organisasi.

Suatu kelompok inti dari tiga ukuran yang terdiri dari kepuasan pegawai,
kesetiaan pegawai dan produktifitas pegawai memberikan ukuran hasil kedalam
pegawai, sistem dan penyetaraan/keselarasan organisasi. Para pendorong hasil ini
sekarang agak generik dan kurang berkembang daripada ketiga perspektif Balance
Scorecard lainnya. Balanced scoredcard telah mengalami tiga generasi yaitu: Generasi
pertama yang memperkenalkan empat pespektif, generasi kedua BSC dengan strategy
maps dan linkage diagram dan yang terakhir generasi ketiga intangible asset readiness.

1.      Balanced scorecard dapat digunakan untuk melakukan perbaikan keseimbangan di antara
sasaran-sasaran jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.      Dapat menciptakan pemahaman strategi perubahan dengan menyusun atau menetapkan
indikator-indikator non-finansial kuantitatif disamping indikator-indikator finansial.
3.      Mengurangi keragu-raguan atau kekaburan dengan tetap menjaga indikator-indikator non
finansial kuantitatif.
4.      Mempromosikan proses pembelajaran organisasi melalui suatu pengulangan siklus
hipotesis verifikasi.
5.      Memperbaiki platform strategi komunikasi secara umum dalam organisasi yang
mencerminkan keterkaitan antara pimpinan dan bawahan.

6.      Di antara pengadopsian Scorecard organisasi harus membuat suatu kepurtusan


yang mana perspektif Balanced Scorecard yang akan digunakan. Kaplan dan
Norton telah mendesain Scorecard tersebut dengan perusahaaan yang berorientasi
profit dengan mengembangkan empat perspektif yang luas yaitu: perspektif
keuangan, pelanggan, internal proses, dan pembelajaran dan Pertumbuhan
karyawan.

7.      Banyak organisasi non profit dan sektor publik akan memilih sebuah misi
overarching pada tingkat yang paling atas, kemudian konsumen pada tingkat
kedua.

8.      Sebelum mengembangkan strategik map dari tujuan kinerja, maka team Balanced
Scorecard seharusnya berusaha untuk mengumpulkan dan menreview sebanyak-
banyaknya latar belakang organisasi, seperti; misi, nilai, visi, rencana strategik,
legal, pelimpahan wewenang, dan sebagainya.

9.      Strategik map merupakan selembar dokumen yang menjelaskan secara tepat dari
artikulasinya dan secara grafik.
10.  Analisis dengan Balance Scorecard SWAT merupakan suatu cara yang cukup
baik untuk membentuk strategik map.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, Barbara, 2000, Menilai Kinerja dengan Balanced Scorecard, Manajemen, No


145, September, Halaman 36-40.

Hansen dan Mowen, 2000, Management Accounting, International Thompson Publishing,


Ohio.

Haris, R. Abdul, 2004, Pengaruh Manajemen Sumber Daya Manusia Strategik Terhadap
Kinerja BUMD Serta Implikasinya dalam PAD Kota/Kabupaten di Jawa Timur,
Disertasi Program Pasca Sarjana Merdeka Malang.

http://puslit.perta.ac.id/journals/acounting

Julianto, Heppy, 2000, Mengukur Kepuasan Pelanggan, Manajemen, No 138, Februari,


Halaman 34-35.

Kaplan, Robert S dan David P. Norton, 1996, Balanced Scorecard: Translating Strategy
Into Action, Boston: Havard Business School Press.

Morisawa, Toru, 2002, Building Performance Measurement System with the Balanced
Scorecard Approach, NRI Papers. No. 45, 1 April 2002.

Mulyadi (1999), Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen : Sistem


Pelipatganda Kinerja Perusahaan, Edisi satu, Yogyakarta : Adiya Media

Mulyadi dan Johny Setyawan, 1999, Sistem Perencanaan Dan Pengendalian


Manajemen, Yogyakarta: Aditya Media.

Mulyadi, 1999, Strategic Management System Dengan Pendekatan Balanced Scorecard


(Bagian Pertama Dari Dua Tulisan), Usahawan, No 02, Tahun XXVIII, Februari,
Halaman 39-46.
Vincent Gaspersz; 2002. Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Scorecard
dengan Six Sigma, Jakarta: Gramedia.

www.BSCol.com dan www.charmeck.org

Anda mungkin juga menyukai