Anda di halaman 1dari 19

©2022 Indonesian Journal of International Relations

Vol. 6. No. 2, pp. 114-132.


DOI: 10.32787/ijir.v6i1.335

TATA KELOLA KOLABORATIF (COLLABORATIVE


GOVERNANCE) PEMBANGUNAN PARIWISATA
BAJO MOLA WAKATOBI
Faturachman Alputra Sudirman Irma Tri Annisya Tombora
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Halu Oleo, Indonesia Universitas Halu Oleo, Indonesia
fatur@uho.ac.id irmatriannisyatombora@gmail.com
La Tarifu
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Halu Oleo, Indonesia
latarifu.fisip.uho@gmail.com

INFO ARTIKEL Abstract


Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan proses tata kelola
Article History
kolaboratif pengembangan pariwisata Bajo Mola Wakatobi yang
melibatkan aktor negara dan non negara. Dengan menggunakan metode
Received
14 February 2022 penelitian kualitatif dan wawancara mendalam, observasi, dan
Revised dokumentasi serta analisis data menggunakan konsep tata kelola
16 February 2022 kolaboratif oleh Ansell dan Gash (2008) dengan menekankan pada aspek
Accepted proses dalam tata kelola kolaboratif. Hasil penelitian menemukan bahwa
17 February 2022 proses tata kelola kolaboratif pengembangan pariwisata di Bajo Mola
______________ sudah berjalan dengan baik yang telah melibatkan berbagai aktor negara
dan non negara seperti British Council, Bank Mandiri, Dinas Pariwisata
Keywords:
dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi, serta masyarakat dan Lembaga
Tata kelola Pengelola Wisata Bajo Mola. Diawali dengan dialog tatap muka,
kolaboratif; membangun kepercayaan dari seluruh aktor yang terlibat hingga
pengembangan memperoleh hasil sementara yaitu meningkatnya kapasitas masyarakat
pariwisata; dalam mengelola usaha wisata, pengelolaan sampah, serta peningkatan
Wakatobi pendapatan masyarakat Desa Bajo Mola Wakatobi.
______________ ____________________________________________________________
Kata Kunci: Abstrak
collaborative This study aims to describe the collaborative governance process of Bajo
Mola Wakatobi tourism development involving state and non-state actors.
governance;
By using qualitative research methods and in-depth interviews, observation,
tourism
and documentation, as well as data analysis using the concept of
development; collaborative governance by Ansell and Gash (2008) by emphasizing the
Wakatobi process aspects of collaborative governance. The results of the study found
______________ that the collaborative governance process for tourism development in Bajo
Mola has been running well which has involved various state and non-state
actors such as the British Council, Bank Mandiri, the Tourism and Creative
Economy Office of Wakatobi Regency, as well as the community and the
Bajo Mola Tourism Management Agency. Beginning with a face-to-face
dialogue, building trust from all actors involved to obtain temporary results,
namely increasing community capacity in managing tourism businesses,
managing waste, and increasing the income of the people of Bajo Mola
Wakatobi Village.

ISSN: 2548-4109 electronic


ISSN: 2657-165X printed
Indonesian Journal of International Relations
115

PENDAHULUAN Wakatobi sebagai salah satu


destinasi wisata prioritas memberikan
Pariwisata telah menciptakan
kontribusi besar dari sektor pariwisata,
dampak yang signifikan terhadap
Dari data Dinas Pariwisata dan
ekonomi, pembangunan pedesaan dan
Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi
perkotaan, lapangan kerja, lingkungan,
2019 bahwa disetiap tahun ribuan
dan keberlanjutan. Pariwisata diakui
wisatawan dari manca negara yang
sebagai mekanisme pengembangan
datang berkunjung pada tahun 2018
masyarakat yang potensial melalui
sebanyak 25.473 meningkat sebanyak
dukungannya terhadap pendapatan
tiga ribu wisatawan sejak tahun 2016
lokal dan penciptaan lapangan kerja,
yang berjumlah 22.380 wisatawan
fasilitas lokal dan pemeliharaan
mancanegara.
layanan, dan konservasi sumber daya
Pemerintah daerah Wakatobi
budaya lokal (Fredricsson & Smas,
berkolaborasi dengan Bank Mandiri
2013). Karakteristik mencolok dari
dan British Council sejak 2013 telah
pariwisata kontemporer adalah inisiatif
berproses dalam melaksanakan
kolaboratif antara otoritas lokal,
program Mandiri Bersama Mandiri
lembaga pemerintah, bisnis, dan
(MBM) untuk bersama-sama
masyarakat tuan rumah (Charlton &
mengembangkan sektor pariwisata
Essex, 1996; Vernon et al, 2005)
Wakatobi khususnya pada Wisata Bajo
Perkembangan menandai
Mola. Program ini merupakan program
pergeseran dari pemerintah, yang
pariwisata berkelanjutan yang
memberlakukan kebijakan pada
bertujuan untuk merangsang ekonomi
masyarakat secara ''top-down'', ke
desa dengan meningkatkan kapasitas
bentuk pemerintahan yang lebih
masyarakat dalam mengelola usaha
inklusif ''bottom-up'' dengan berbagai
pariwisata dan meningkatkan
pemangku kepentingan. Dalam
pendapatan dari kegiatan kreatif dan
pariwisata, kolaborasi muncul dari
produktif dari sektor pariwisata.
kebutuhan untuk mencapai dukungan
Program pembinaan yang dilakukan
yang lebih luas untuk kebijakan dalam
berupa pendampingan serta
industri yang beragam dan
pembangunan infrastruktur untuk
terfragmentasi.
mendukung pengembangan potensi
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

116

wisata serta pengelolaan destinasi KERANGKA ANALISIS


wisata
Keberhasilan pembangunan
Berbagai studi yang telah
pariwisata memerlukan perencanaan
dilakukan mengenai tata kelola
yang baik dan harus dikelola secara
kolaboratif (collaborative governance)
bertanggung jawab. Maka agar
dalam pengembangan pariwisata
pengelolaan pariwisata berlangsung
seperti tata kelola pariwisata pesisir
dengan baik, diperlukan keterlibatan
(Larsen et al, 2011; Wesley & Pforr,
pemangku kepentingan dalam suatu
2010) tata kelola destinasi wisata
kolaborasi seperti pemerintah, swasta,
(Buteau‐Duitschaever et al, 2010;
lembaga internasional dan masyarakat
Viken, 2011), dan tata kelola ekowisata
lokal. Kolaborasi antar pemangku
(Palmer & Chuamuangphan, 2018;
kepentingan sangat diharapkan untuk
Wesley & Pforr, 2010). Namun masih
menemukan solusi atas masalah
sedikit ditemukan studi yang
kompleks pembangunan pariwisata
memfokuskan pada proses dalam tata
yang tidak dapat diselesaikan secara
kelola kolaboratif pengembangan
individu atau sebagian secara
pariwisata. Penelitian ini bertujuan
kelembagaan di negara mana pun.
untuk menggambarkan proses tata
Konsep tata kelola kolaboratif
kelola kolaboratif pengembangan
merupakan salah satu konsep yang
pariwisata Bajo Mola Wakatobi yang
dapat digunakan dalam mendukung
melibatkan British Council sebagai
pengembangan sektor pariwisata yang
aktor internasional non negara (non-
berkelanjutan.
state actor), Bank Mandiri, Pemerintah
Daerah Wakatobi, dan Masyarakat Tata Kelola Kolaboratif
Bajo Mola. Studi ini memberikan (Collaborative Governance)
kontribusi penting bagi literatur Tata kelola (Governance) telah
pengembangan pariwisata dengan menjadi konsep utama pada berbagai
menyoroti pentingnya keterlibatan kajian seperti manajemen publik, dan
berbagai pemangku kepentingan dalam koordinasi sektor ekonomi, asosiasi
pengembangan pariwisata, yang publik-privat, tata kelola perusahaan,
melibatkan aktor negara dan non dan good governance (Pierre & Peters,
negara terutama masyarakat lokal. 2000). Dalam konteks pariwisata,
Indonesian Journal of International Relations
117

governance termasuk karakter dan Jenkins (2007) menekankan kerjasama,


pengaturan dari serangkaian proses, dukungan dan bantuan timbal balik
aturan, dan institusi dalam membuat antara aktor dan lembaga dalam
kebijakan hingga pada mengejar kepentingan bersama.
implementasinya untuk mencapai Adapun pada penelitian ini, tata kelola
tujuan serta menyelesaikan masalah kolaboratif mengacu pada kerja sama
bersama (Bevir, 2008). Di antara antara aktor negara dan non-negara
beragam perspektif konseptual yang untuk mengatur masyarakat secara
dicakup oleh studi tentang tata kelola efisien dan adil (Keyim, 2016).
(governance), tata kelola kolaboratif Dalam proses tata kelola
(collaborative governance) muncul kolaboratif terbagi menjadi beberapa
sebagai pendekatan mengelola bagian (Ansell & Gash, 2007;
kebijakan atau program publik. Sudirman et al, 2020). Bagian-bagian
Pendekatan ini menghubungkan tersebut, adalah sebagai berikut:
banyak pemangku kepentingan dengan
badan publik melalui ruang bersama 1. Dialog tatap muka (Face to face
yang mendorong partisipasi dan dialogue)
konsensus dalam pengambilan Dalam tata kelola kolaboratif
keputusan (Ansell & Gash, 2007). terbangunnya hubungan melalui dialog
Tata kelola didefinisikan sebagai tatap muka antar aktor. Dialog secara
struktur pengambilan keputusan dan langsung ini dibutuhkan untuk
manajemen kebijakan publik yang mengidentifikasi peluang keuntungan
melibatkan orang secara konstruktif bersama. Hal ini juga merupakan upaya
melintasi batas-batas lembaga publik, untuk membangun suatu kepercayaan
tingkat pemerintahan, dan/atau ruang dalam menyatukan program yang
publik, swasta, dan sipil untuk ditetapkan secara bersama.
melaksanakan tujuan publik yang
sebaliknya tidak dapat dicapai 2. Membangun kepercayaan (Trust
(Emerson et al., 2012). Pengertian ini building)
meliputi kemitraan antar negara, Membangun kepercayaan
swasta, masyarakat sipil, dan merupakan tahap yang berbeda dari
masyarakat. sedangkan Dredge & dialog dan negosiasi mengenai hal
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

118

yang substansial. Dalam hal tata kelola Pemahaman bersama ini dapat
kolaboratif tidak hanya bergelut pada berarti kesepakatan dalam
dialog tatap muka tetapi juga mendefinisikan sebuah masalah agar
membangun kepercayaan antar aktor. dapat diatasi. Dalam kata lain
Membangun kepercayaan merupakan pemahaman bersama ini sebagai misi
bentuk dari proses saling memahami bersama, kesamaan niat, tujuan yang
antar pihak yang memiliki kepentingan sama, visi bersama, ideologi bersama,
agar terbentuk komitmen untuk tujuan yang jelas atau keselarasan inti.
menjalankan kolaborasi.
5. Hasil sementara (Intermediate
3. Proses mencapai komitmen outcome)
(Comitment to process) Bagian dari proses kolaborasi
Proses mencapai komitmen dalam tahap hasil sementara
mempunyai arti memberi kepercayaan merupakan apa yang didapatkan
bahwa proses dengan niat yang baik menurut aktivitas kolaborasi dalam
untuk keuntungan bersama adalah cara tahap awal wajib memperlihatkan
yang terbaik untuk menghasilkan output atau hasil yang bisa
kebijakan yang diinginkan. Komitmen dikembalikan atau digunakan menjadi
pada proses yang terjalin menjelaskan modal dalam aktivitas kolaborasi pada
seberapa jelas, adil dan transparan fase selanjutnya, supaya kegiatan
suatu prosedur. Komitmen yang baik kolaborasi bisa berjalan secara
terjalin antar aktor kepentingan berkelanjutan dan tidak terhenti dalam
bergantung pada kepercayaan akan tahap awal.
aktor lain untuk menghormati sudut
pandang dan kepentingan dari aktor METODE
lain yang memunculkan rasa saling Penelitian ini menggunakan
tanggung jawab pada proses yang pendekatan deskriptif kualitatif yang
terjalin. bertujuan untuk menggambarkan
proses tata kelola kolaboratif
4. Pemahaman bersama (Share pengembangan wisata Bajo Mola
understanding) Wakatobi oleh interaksi berbagai aktor.
Adapun teknik pengumpulan data
Indonesian Journal of International Relations
119

berbasis wawancara, observasi dan Wakatobi, British Council, Bank


dokumentasi sehingga informan yang Mandiri dan Masyarakat Desa Mola.
ditentukan secara purposive dalam Berdasarkan keterangan dari
penelitian ini terdiri dari Dinas British Council bahwa British Council
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memulai proses pengembangan desa
kabupaten Wakatobi, Lembaga wisata dengan bertemu Kementerian
Pariwisata (Lepa) Bajo Mola, British Pariwisata untuk melihat daftar desa
Council Indonesia, dan masyarakat yang masuk ke dalam program PNPM
desa Bajo Mola. Metode pengolahan mandiri wisata di Kementerian
dan analisis data mengikuti model Pariwisata, selanjutnya berkoordinasi
analisis interaktif Miles, Huberman, & dengan Pemerintah Daerah Wakatobi
Saldana (2014) yang mencakup proses untuk melakukan survey dan
pengumpulan data, penyajian data, dan assessment pada beberapa desa di
pengembangan pemahaman terhadap Wakatobi. Dan pada tahun 2014
data hingga penarikan dan verifikasi dilakukan survey kembali di Mola
kesimpulan bersama dengan pihak Bank Mandiri
berdasarkan hasil nilai assessment
HASIL DAN PEMBAHASAN
yang tinggi diputuskanlah untuk
Tata Kelola Kolaboratif
melanjutkan pengembangan potensi
(Collaborative Governance)
Pengembangan pada Wisata Bajo wisata mulai dari sosialisasi,
Mola Wakatobi pembentukan tim, sharing comite,
untuk melakukan pendampingan
Dialog Tata Muka sehingga teridentifikasi potensi wisata
Proses bertatap muka di sini yang dapat dikembangkan di Mola
merupakan kegiatan bertemunya aktor- Wakatobi.
aktor yang terlibat yang dilakukan Sebagaimana yang diungkapkan
untuk mengeksplorasi keuntungan Kepala Bidang Pengembangan
bersama yang tidak hanya terhenti pada Pemasaran Pariwisata, Dinas
awal pertemuan. Tatap muka dalam Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
kolaborasi pengembangan Wisata Bajo Kabupaten Wakatobi:
Mola dilakukan oleh berbagai “Pada awalnya British council
stakeholders seperti Dinas Pariwisata melakukan survey di Liya Togo,
kemudian karena beberapa hal
dan Ekonomi Kreatif Kabupaten
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

120

yang tidak memenuhi syarat yang dapat di kembangkan pada Wisata


maka dilakukan survey ulang
Bajo Mola ini. Dalam pertemuan di
kemudian pada tahun 2014
dilakukan di Mola bersama bentuk government group dan working
dengan pihak Bank Mandiri.
group dari masyarakat yang ada yang
Pada tahun 2014 ini setelah
dilakukan survey maka bertujuan untuk mencari tahu keunikan
dilakukan juga sosialisasi,
wisata apa saja yang ada di Mola.
pembentukan tim, sharing
comite, untuk melakukan Pelibatan berbagai aktor dengan
pendampingan sehingga
kapasitas dan keahlian masing-masing
teridentifikasi potensi yang ada
di Mola dapat dikembangkan dalam dialog tatap muka ini seperti
melalui 5 desa yang ada
studi yang dilakukan Keyim (2018) dan
disana.” (Wawancara, 21 Juni
2021) Vernon.,et al (2005) bahwa kolaborasi

Berdasarkan hal tersebut proses yang luas dan adil di antara berbagai

tatap muka dilakukan oleh berbagai aktor negara dan non-negara

aktor yang terlibat dalam sebuah diperlukan untuk menggabungkan dan

pertemuan dan juga kegiatan dimulai memanfaatkan sumber daya masing-

dari tingkat pusat, kabupaten, dan juga masing aktor (misalnya, pengetahuan,

ditingkat desa. Kemudian kegiatan keahlian, dan modal) untuk tujuan

bertatap muka juga dilakukan pada saat memaksimalkan kontribusi sosial

penyusunan proposal untuk kemudian ekonomi pariwisata kepada masyarakat

diajukan kepada Bank Mandiri agar pedesaan setempat.

mendapatkan bantuan operasional yang


dibutuhkan, tahap perencanaan ini Gambar1. Alur pembentukan
dilakukan oleh British council, Organisasi Lembaga Pariwisata
Bajo Mola
pemerintah Wakatobi dan Masyarakat
Mola bersama-sama membuat rencana
pengembangan wisata Bajo Mola.
Pada saat mengumpulkan beberapa
perwakilan dalam masyarakat untuk
ikut turut serta sebagai perwakilan
untuk bersama-sama berdiskusi
Sumber: Dokumen Perencanaan Lepa Mola
mengkaji lebih lanjut tentang potensi Wakatobi 2021
Indonesian Journal of International Relations
121

Permasalahan yang dihadapi keterampilan, pengetahuan, dan


yaitu ketika proses pengembangan sumber daya.
berjalan, terdapat beberapa orang dari
masyarakat yang mundur dari kegiatan Membangun Kepercayaan
yang berlangsung karena memandang Tata kelola kolaboratif dalam
bahwa kegiatan tersebut tidak pengembangan pariwisata
memberikan upah karena bantuan yang menyaratkan kepercayaan antar aktor
diberikan oleh donor merupakan dalam masing-masing (Agranoff, 2006;
bentuk barang sesuai dengan Kismartini & Pujiyono, 2020). Pada
kebutuhan yang diperlukan. Hal aspek membangun kepercayaan
tersebut sangat disayangkan karena pengembangan wisata Bajo Mola
berkurangnya jumlah masyarakat yang dibangun dengan baik dengan
menjadi tenaga pengelola Lembaga pembuatan dan perencanaan wisata
Pariwisata Bajo Mola. Di sini terlihat dilakukan bersama-sama dengan
bahwa masih rendahnya pengetahuan masyarakat secara inklusi yang
masyarakat tentang dampak jangka menjunjung transparansi, keadilan dan
panjang dari potensi pengembangan kejelasan berdasarkan kebutuhan dan
wisata, yaitu penghasilan tambahan keadaan yang nyata demi membangun
yang akan mereka dapatkan dari rasa saling percaya. Partisipasi
pelatihan dan bimbingan untuk masyarakat lokal dalam perencanaan
memanfaatkan dan menjual potensi pariwisata proses adalah salah satu cara
wisata yang mereka punya. Hal ini agar dapat terlibat dalam
kemudian seperti pandangan pengembangan pariwisata dan
Scheyvens (1999) bahwa otoritas meningkatkan bagian mereka dari
pemerintah lokal memiliki sumber manfaat pariwisata (Bello, Lovelock,
daya yang relatif baik untuk & Carr, 2018; Shani & Pizam, 2012).
mendukung kolaborasi, namun Berdasarkan hasil wawancara dengan
komunitas lokal mungkin terhambat salah satu pengelola Pariwisata Mola
untuk berpartisipasi penuh dalam bahwa dengan adanya British Council
pengembangan pariwisata karena membuka perspektif mereka bahwa
kurangnya kepemilikan, modal, terdapat sesuatu hal yang dapat di
kembangkan di komunitas Bajo Mola.
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

122

pengembangan potensi ini terkendala terlibat juga mendapatkan tantangan


oleh biaya, maka pihak British Council dengan adanya satu kelompok
mendorong serta memfasilitasi agar masyarakat di luar desa Mola yang
mengajak pihak Bank Mandiri untuk menamakan diri “pondok revolusi”
berkolaborasi dengan bersama - sama untuk mengucilkan rencana
berdiskusi mengenai apa saja yang pengembangan pariwisata ini. Setelah
akan dikembangkan lembaga wisata Bajo Mola terbentuk
Membangun kepercayaan juga (Lepa Mola) kemudian mendapatkan
dilakukan dengan membangun dukungan dari pemerintah, Bank
hubungan serta berkomunikasi dengan Mandiri dan British Council. Lepa
lembaga lain yang sudah lebih dahulu Mola disangka menggunakan uang
menjalankan program di Desa Mola negara yang bahkan melahirkan aksi
untuk menghindari kemungkinan demonstrasi, padahal dana dan bantuan
permasalahan pada saat proses operasional sebenarnya ditangani
pengembangan pariwisata di Bajo langsung oleh pihak British Council
Mola berjalan. Lembaga itu adalah dan Bank Mandiri.
World Wide Fund for Nature (WWF) Lahirnya resistensi kelompok
yang telah lebih dahulu memilki tersebut menandakan bahwa legitimasi
program Pengelolaan Sampah di Mola. otoritas lokal dalam mengatur tidak
Sehingga diharapkan tidak terjadi terselenggara dengan baik. Resistensi
tumpang tindih dengan program masyarakat terhadap kebijakan
pengembang wisata yang pengembangan pariwisata merupakan
direncanakan. Hal ini kemudian seperti refleksi dari lemahnya kekuasaan
pandangan Bichler & Lösch (2019) masyarakat lokal dalam proses
bahwa membangun hubungan dan perumusan kebijakan (Winengan,
komunikasi yang baik menjadi salah 2019). Kolaborasi dan kemitraan
satu pendorong dalam proses tata pariwisata lebih berhasil ketika seorang
kelola kolaboratif. penyelenggara yang dianggap memiliki
Tetapi di awal proses legitimasi memimpin mereka (Parker,
pengembangan Wisata Bajo Mola pada 1999). Penyelenggara dalam hal ini
upaya membangun kepercayaan yang adalah pemerintah lokal ataupun
dilakukan oleh aktor-aktor yang pengelola wisata. Hal ini menjadi
Indonesian Journal of International Relations
123

penting kemudian bahwa pemerintah ikut serta dalam segala proses


daerah yang memiliki sumber daya pengembangan secara berkelanjutan.
politik dan wewenang perlu mengatur Penandatangan MoU antara
dan menjamin proses kolaborasi British Council, Bank Mandiri dan
berjalan dengan baik. Namun hal Masyarakat Desa Bajo Mola tertanggal
tersebut tidak menjadi hambatan bagi 2 Juni 2014 dan diperbaharui pada 1
Lembaga Pengelola Wisata Bajo Mola April 2015 berisi tentang kesepakatan
untuk tetap menjalankan program yang berjalan selama pengembangan
pengembangan wisata yang telah pariwisata yang berlangsung selama
disusun sejak awal, karena masyarakat satu tahun di Desa Bajo Mola
di kawasan wisata secara langsung merupakan dasar untuk melaksanakan
merasakan dampak positif dari komitmen yang telah disepakati.
pengembangan wisata Bajo Mola Berdasarkan hasil wawancara dengan
Wakatobi. Hal ini seperti pandangan stakeholder terkait proses mencapai
Hanafiah, Jamaluddin, & Zulkifly komitmen bahwa British Council dan
(2013) bahwa masyarakat lokal Bank Mandiri memberikan pelatihan
mendukung pengembangan pariwisata dan bimbingan pada masyarakat Bajo
di masa depan berdasarkan keuntungan Mola sebagai bentuk komitmen dalam
pribadi yang mereka terima. proses pengembangan pariwisata di
Bajo Mola. Selain itu bentuk komitmen
Proses Mencapai Komitmen dari Dinas Pariwisata dan Ekonomi
Tahapan proses mencapai Kreatif Kabupaten Wakatobi juga
komitmen merupakan tercapainya kata diperlihatkan dengan memberi
sepakat untuk melaksanakan proses dukungan berupa pembangunan
bersama untuk mencapai tujuan yang infrastruktur seperti membuat jalan-
diinginkan, komitmen yang sama disini jalan utama yang dapat diakses dengan
merupakan keadaan setiap aktor yang mobil, membangun gapura masuk
terlibat setuju dalam melaksanakan kawasan juga membantu menjaga
kolaborasi, setiap aktor menyadari kebersihan melalui penataan sumber
tugas masing-masing yang menjadi daya kebersihan di kawasan Wisata
tanggung jawabnya. Setiap aktor yang Bajo ini.
berkolaborasi diharuskan untuk aktif
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

124

Bentuk komitmen juga dilakukan di Lembaga Pariwisata Bajo Mola,


oleh Bank Mandiri dan British Council bantuan-bantuan fasilitas dan sarana
dengan memberikan bantuan sarana dan prasarana yang diberikan telah
dan prasarana pada lembaga pariwisata banyak mengalami kerusakan.
Bajo Mola berupa pembangunan Pusat Museum Budaya Bajo Mola yang
Informasi Pariwisata, Pembangunan sudah rusak dan tidak terawat, juga
dermaga wisata dan storytelling, tiga jalan masyarakat yang berlubang dan
buah sampan, perahu body, dan rusak dimana-mana. Permasalahan
berbagai kelengkapan. Hal ini juga ditemukan setelah diserahkannya
berdasarkan penuturan dari Lemba pengelolaan pariwisata secara mandiri
Pengelola Mola: pada Lembaga Pariwisata Bajo Mola
“Setelah berkolaborasi bersama menjadikan pengelolaan pariwisata
pihak mandiri kami mendapat
kurang terorganisir dengan baik. Hal
bantuan berupa pembangunan
ITC , 3 buah sampan , ini dapat dilihat dari kurang terawatnya
pembangunan dermaga , dan
pengarsipan data dan berkas yang ada
beberapa alat yang dapat kami
pakai.” (Wawancara, 20 Juni pada Lembaga Pariwisata Bajo Mola,
2021)
juga ditandai dengan beberapa fasilitas
Bentuk komitmen lainnya dari seperti laptop dan beberapa barang
Lembaga Pariwisata Mola yaitu lainnya yang sudah rusak.
dengan melakukan kerja bakti Oleh karena itu, diperlukan
pembersihan di lima desa yang ada di komitmen masyarakat untuk menjaga
Bajo Mola. Sesuai dengan salah satu fasilitas dan bantuan yang telah
tujuan awal pembentukan pariwisata diberikan. Partisipasi lokal dan
Mola, yaitu untuk membantu komitmen masyarakat sangat
mengatasi masalah kebersihan meningkatkan keberhasilan industri
lingkungan di Bajo Mola yang pariwisata (Moghavvemi et al, 2017).
merupakan salah satu permasalahan Ketika penduduk lokal memiliki sikap
yang ada disana dan diputuskan bahwa positif terhadap pariwisata secara
65% penghasilan dari Lepa Mola untuk keseluruhan, mereka lebih cenderung
pengelolaan sampah. memandang wisatawan dengan baik
Namun berdasarkan hasil serta mendukung pengembangan
observasi yang dilakukan oleh peneliti pariwisata (Siu, Lee, & Leung, 2013).
Indonesian Journal of International Relations
125

Dengan menjaga fasilitas yang ada dan berdasarkan kebiasaan masyarakat


merawatnya masyarakat turut menjaga setempat. Hal tersebut merupakan
dan bisa meningkatkan potensi-potensi suatu tantangan bagi British Council
yang mereka punya dan menarik minat untuk memberi pengalaman kepada
wisatawan. Mengingat bahwa otoritas masyarakat Bajo mola untuk menggali
pemerintah bergantung pada penduduk apa potensi pariwisata yang dimiliki
lokal untuk berkomitmen terhadap Mola dan dapat dikembangkan
komunitas mereka untuk mencapai sehingga memberi manfaat dan nilai
pengembangan pariwisata tambah. Bank Mandiri sebagai donor
berkelanjutan dan menuai manfaat dari juga menyediakan fasilitas atau sarana
industri (Liu, Tzeng, & Lee, 2012). prasarana wisata. Akhirnya, dibuatlah
paket pariwisata salah satunya
Pemahaman Bersama membaca bintang yang mejadi paket
Pemahaman bersama ini wisata pertama yang ada di Indonesia,
menekankan pada pemahaman akan yang hal tersebut merupakan dari
peran dan tanggung jawab dari masing- kebudayaan masyarakat Bajo.
masing stakeholders. Byrd (2007)
Pemahaman bersama menjadi
berpendapat bahwa pemangku
landasan pada setiap kegiatan
kepentingan harus terlibat dalam
pengembangan pariwisata di Bajo
proses kolaborasi. Masalah dalam
Mola. Permasalahan-permasalahan
pengembangan wisata Bajo Mola
yang ada disepakati para aktor yang
terdiri dari mengenai persoalan sampah
terlibat untuk dicari solusinya bersama-
di lingkungan Bajo Mola serta
sama. Masing-masing pihak sepakat
kurangnya pengetahuan dan
untuk membuat Memorandum of
keterampilan masyarakat dalam
Understanding (MoU) antara British
mengelola potensi wisata dari budaya
Council, Bank Mandiri dan Masyarakat
yang mereka miliki untuk
Desa Bajo Mola tertanggal 2 Juni 2014,
dikembangkan. Proses pengembangan
dan diperbaharui pada 1 April 2015
pariwisata di Bajo Mola diawali
yang mengatur tentang program
dengan memberikan pemahaman awal
kolaborasi dan peran-peran dari
kepada masyarakat tentang mengkaji
antaraktor yang terlibat. Salah satu
potensi wisata di desa Bajo Mola
hasil dari kesepakatan tersebut yaitu
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

126

hasil pengelolaan pariwisata di Bajo dan keuntungan kolaboratif dalam


Mola sebanyak 65% digunakan untuk mengatur destinasi (Roxas, Rivera, &
mendukung kegiatan pelestarian Gutierrez, 2020).
budaya dan lingkungan, yaitu
Hasil Sementara
mengelola permasalahan sampah di
Hasil sementara (Intermediate
kawasan ini. Kemudian, setelah
outcome) merupakan hasil dari proses
pertemuan dan diskusi yang dilakukan
kolaborasi yang telah dicapai selama
juga membawa maksud dan tujuan dari
kegiatan berlangsung, namun bukanlah
pengembangan Wisata Bajo Mola
hasil akhir dari keseluruhan proses
yaitu: 1) Membangun ekonomi
kolaborasi. Hasil ini memberikan
kawasan dengan meningkatkan
masukan ke dalam proses kolaborasi
kemampuan masyarakat mengelola
serta memberikan kekuatan dalam
usaha pariwisata, meningkatkan
membangun kepercayaan untuk
pengawasan dan melakukan kegiatan
menguatkan komitmen. Selama proses
kreatif dan produktif di sektor
kolaborasi berlangsung memperoleh
pariwisata; dan 2) Membantu warga
hasil sementara yang cukup berhasil.
agar dapat mengelola permasalahan
Hasil dari kolaborasi aktor-aktor dalam
sampah lingkungan.
pengembangan Wisata Bajo Mola
Industri pariwisata melibatkan
membuat Lembaga Wisata Bajo Mola
jaringan kompleks kelompok
terbentuk dan mempunyai lima paket
pemangku kepentingan yang memiliki
wisata yang menjadi produk wisata dari
kepentingan dalam pengelolaan dan
masyarakat Bajo Mola.
pengembangan destinasi. Menyadari
Lima paket wisata ini terbentuk
bahwa pariwisata adalah rantai nilai,
berdasarkan hasil kolaborasi
maka dukungan, komitmen, dan
masyarakat yang membentuk tim yang
kerjasama para pemangku kepentingan
akan mengelola Wisata Bajo Mola
pariwisata sangat penting dalam
yang didampingi oleh British council
mendorong pariwisata berkelanjutan.
yaitu: Paket Wisata Kuliner, Walking
Ini adalah kunci untuk membangun
Tour, Canoeing (bersampan),
sinergi di antara para pemangku
Stargazing (Cerita bintang), dan
kepentingan pariwisata yang dapat
Dolphin Watching Tour (mengamati
memanfaatkan peran masing-masing
Indonesian Journal of International Relations
127

lumba-lumba). Kelima paket wisata ini penghasilan saya.” (Wawancara,


20 Juni 2021)
merupakan keunggulan suku Bajo yang
disajikan kepada wisatawan.
Proses kolaborasi yang dilakukan
Selain itu hasil sementara yang
dalam pengembangan Wisata Bajo
dihasilkan dalam kolaborasi antara
Mola tidak hanya meningkatkan
British Council, Bank Mandiri, Dinas
kapasitas masyarakat dalam mengelola
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
usaha pariwisatanya tetapi juga
Kabupaten Wakatobi dan masyarakat
memberi dampak bagi kebersihan
Bajo Mola yaitu dengan launching atau
lingkungan serta meningkatnya
rilisnya Lembaga Pariwisata Bajo
pendapatan masyarakat. Terkait
Mola secara resmi yang dilaksanakan
dengan peningkatan pendapatan
pada tanggal 7 Agustus 2015. Lepa
setelah Lepa Mola mengelola wisata
Mola ini menempati bangunan Pusat
secara mandiri, berdasarkan laporan
Informasi Pariwisata Mola Raya
keuangan Lepa Mola pada periode
sebagai pusat pelayanan dan informasi
Januari hingga Mei pada tahun 2016
Wisata Bajo Mola. Kemudian proses
mengalami peningkatan yang cukup
kolaborasi dalam pengembangan
singnifikan, yaitu sejumlah Rp.
Wisata Bajo Mola dengan British
8.224.500,00. Proses pengembangan
Council dan Bank Mandiri yang
pariwisata bukan hanya peningkatan
memberikan pelatihan dan bimbingan
indikator ekonomi seperti pendapatan
kepada masyarakat berhasil
atau investasi, melainkan juga
memberikan peningkatan keterampilan
menghasilkan dampak sosial pada
dan kapasitas masyarakat dalam
kehidupan masyarakat lokal seperti
mengelola usaha pariwisatanya seperti
perubahan sikap, kepuasan dan
yang diungkapkan oleh masyarakat
kepercayaan lokal (Manyara & Jones,
Bajo Mola:
2007). Hal ini kemudian selaras dengan
“awalnya karena hanya seorang
studi bahwa pengembangan pariwisata
nelayan ketika angin kencang
tidak akan melaut pastinya berdampak secara ekonomi bagi
penghasilan kurang, tetapi ketika
masyarakat lokal (Akama & Kieti,
sudah ada bajo Mola ini ketika
tidak melaut saya dapat menjadi 2007; Ko & Stewart, 2002). Ini juga
guide di wisata bajo Mola ini,
merupakan bagian dari tujuan bersama
sehingga ada alternatif untuk
yang ditetapkan dalam kolaborasi yang
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

128

dilakukan. Karena dengan al, 2005). Pengembangan Wisata Bajo


meningkatnya kapasitas masyarakat Mola melibatkan banyak pemangku
dalam mengelola usaha pariwisatanya kepentingan. Setiap pemangku
maka akan memberikan dampak kepentingan secara langsung
meningkatnya pendapatan masyarakat menjalankan peran dan fungsinya
Bajo Mola. Setelah masyarakat sebagai organisasi. Pengembangan
dianggap mampu untuk mengelola pariwisata Bajo Mola termasuk dalam
secara mandiri potensi pariwisatanya jenis kerjasama yang berada pada level
maka diserahkan pengelolaan yang tinggi dengan ciri tidak adanya
pariwisata secara keseluruhan pada ego sektoral, keterbukaan penuh antar
Lembaga Pariwisata Bajo Mola dan pemangku kepentingan, komunikasi
selesainya masa kolaborasi British yang intens dan kesetaraan seluruh
Council dan Bank Mandiri sejak pemangku kepentingan dalam proses
berakhirnya MoU tersebut. kolaborasi.
Temuan dalam studi ini selaras
SIMPULAN
dengan Jamal & Getz (1995) bahwa
pentingnya kolaborasi sebagai proses Proses kolaborasi yang dilakukan
pengambilan keputusan bersama di dalam proses pengembangan
antara pemangku kepentingan, pariwisata Bajo Mola melibatkan
komunitas antar-organisasi untuk berbagi aktor yaitu British Council,
menyelesaikan masalah perencanaan Bank Mandiri, Dinas Pariwisata dan
dan/atau untuk mengelola masalah Ekonomi Kreatif Kabupaten Wakatobi,
yang terkait dengan perencanaan dan Lembaga Pariwisata Bajo Mola dan
pengembangan pariwisata, kolaborasi juga masyarakat di Desa Bajo Mola.
yang sukses menekankan pada Proses kolaborasi sudah berjalan
integrasi berbagai fungsi. Integrasi ini dengan baik dengan memenuhi
mencakup fungsi birokrasi yang beberapa indikator pada proses tata
melintasi area kebijakan di tingkat kelola kolaboratif yang di awali dengan
pemerintahan serta melibatkan warga, adanya tahap dialog tatap muka yang
masyarakat, dan organisasi non- dilakukan aktor-aktor yang terlibat,
pemerintah dalam proses pemecahan dengan tujuan membangun
masalah dan implementasi (Weber et kepercayaan sekaligus membahas
Indonesian Journal of International Relations
129

mengenai kegiatan pengembangan Collaborative Governance in


wisata di Bajo Mola. Selanjutnya Theory and Practice. Journal of
Public Administration Research
keputusan yang telah disepakati
and Theory, 18(4), 543–571.
bersama kemudian dijalankan oleh https://doi.org/10.1093/jopart/m
masing-masing aktor seperti um032

pemberdayaan masyarakat dalam Bello, F. G., Lovelock, B., & Carr, N.


pengembangan potensi wisata. Proses (2018). Enhancing community
participation in tourism planning
kolaborasi tersebut memperoleh hasil associated with protected areas in
sementara, yaitu meningkatnya developing countries: Lessons
kapasitas masyarakat mengelola usaha from Malawi. Tourism and
Hospitality Research, 18(3),
wisata dan juga memberi peningkatan
309–320.
pendapatan masyarakat di Desa Bajo https://doi.org/10.1177/1467358
Mola. Karena dinilai sudah dapat 416647763
mengelola secara mandiri, maka Bevir, M. (2008). Key concepts in
pengelolaan pariwisata diserahkan governance. Key Concepts in
Governance, 1–232.
sepenuhnya pada Lembaga Pariwisata
Bajo Mola. Bichler, B. F., & Lösch, M. (2019).
Collaborative Governance in
Tourism: Empirical Insights into
REFERENSI
a Community-Oriented
Destination. Sustainability,
Agranoff, R. (2006). Inside
11(23), 6673.
Collaborative Networks: Ten
https://doi.org/10.3390/su11236
Lessons for Public Managers.
673
Public Administration Review,
66(s1), 56–65. Buteau‐Duitschaever, W. C.,
https://doi.org/10.1111/j.1540- McCutcheon, B., Eagles, P. F. J.,
6210.2006.00666.x Havitz, M. E., & Glover, T. D.
(2010). Park visitors’ perceptions
Akama, J. S., & Kieti, D. (2007).
of governance: a comparison
Tourism and Socio-economic
between Ontario and British
Development in Developing
Columbia provincial parks
Countries: A Case Study of
management models. Tourism
Mombasa Resort in Kenya.
Review, 65(4), 31–50.
Journal of Sustainable Tourism,
https://doi.org/10.1108/1660537
15(6), 735–748.
1011093854
https://doi.org/10.2167/jost543.0
Byrd, E. T. (2007). Stakeholders in
Ansell, C., & Gash, A. (2007).
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

130

sustainable tourism development 2013.11.082


and their roles: applying
Jamal, T. B., & Getz, D. (1995).
stakeholder theory to sustainable
Collaboration theory and
tourism development. Tourism
community tourism planning.
Review, 62(2), 6–13.
Annals of Tourism Research,
https://doi.org/10.1108/1660537
22(1), 186–204.
0780000309
https://doi.org/10.1016/0160-
Charlton, C., & Essex, S. (1996). The 7383(94)00067-3
involvement of district councils
Keyim, P. (2016). Tourism and rural
in tourism in England and Wales.
development in western China: a
Geoforum, 27(2), 175–192.
case from Turpan. Community
https://doi.org/10.1016/0016-
Development Journal, 51(4),
7185(96)00011-5
534–551.
Dredge, D., & Jenkins, J. M. (2007). https://doi.org/10.1093/cdj/bsv0
Tourism planning and policy. 46
Milton: John Wiley.
Keyim, P. (2018). Tourism
Emerson, K., Nabatchi, T., & Balogh, Collaborative Governance and
S. (2012). An Integrative Rural Community Development
Framework for Collaborative in Finland: The Case of
Governance. Journal of Public Vuonislahti. Journal of Travel
Administration Research and Research, 57(4), 483–494.
Theory, 22(1), 1–29. https://doi.org/10.1177/0047287
https://doi.org/10.1093/jopart/m 517701858
ur011
KISMARTINI, K., & PUJIYONO, B.
Fredricsson, K., & Smas, L. (2013). (2020). Collaborative
Small-Scale Tourism in Rural Management Model Tanjung
Areas: Trends and Research in Lesung Tourism In Pandeglang
the Nordic Countries. Nordic District, Banten Province,
Working Group 1B: Future Rural Indonesia. GeoJournal of
Areas. Working Paper 3/2013. Tourism and Geosites, 30(2
Nordregio, Stockholm. supplement), 868–874.
https://doi.org/10.30892/gtg.302
Hanafiah, M. H., Jamaluddin, M. R., &
spl12-516
Zulkifly, M. I. (2013). Local
Community Attitude and Support Ko, D.-W., & Stewart, W. P. (2002). A
towards Tourism Development structural equation model of
in Tioman Island, Malaysia. residents’ attitudes for tourism
Procedia - Social and Behavioral development. Tourism
Sciences, 105, 792–800. Management, 23(5), 521–530.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro. https://doi.org/10.1016/S0261-
Indonesian Journal of International Relations
131

5177(02)00006-7 Management, 63, 242–254.


https://doi.org/10.1016/j.tourma
Larsen, R. K., Calgaro, E., & Thomalla,
n.2017.06.021
F. (2011). Governing resilience
building in Thailand’s tourism- Palmer, N. J., & Chuamuangphan, N.
dependent coastal communities: (2018). Governance and local
Conceptualising stakeholder participation in ecotourism:
agency in social–ecological community-level ecotourism
systems. Global Environmental stakeholders in Chiang Rai
Change, 21(2), 481–491. province, Thailand. Journal of
https://doi.org/10.1016/j.gloenvc Ecotourism, 17(3), 320–337.
ha.2010.12.009 https://doi.org/10.1080/1472404
9.2018.1502248
Liu, C.-H., Tzeng, G.-H., & Lee, M.-H.
(2012). Improving tourism policy Parker, S. (1999). Collaboration on
implementation – The use of Tourism Policy Making:
hybrid MCDM models. Tourism Environmental and Commercial
Management, 33(2), 413–426. Sustainability on Bonaire, NA.
https://doi.org/10.1016/j.tourma Journal of Sustainable Tourism,
n.2011.05.002 7(3–4), 240–259.
https://doi.org/10.1080/0966958
Manyara, G., & Jones, E. (2007).
9908667338
Community-based Tourism
Enterprises Development in Pierre, J., & Peters, B. G. (2000).
Kenya: An Exploration of Their Governance, politics and the
Potential as Avenues of Poverty state. Basingstoke: Macmillan.
Reduction. Journal of
Roxas, F. M. Y., Rivera, J. P. R., &
Sustainable Tourism, 15(6), 628–
Gutierrez, E. L. M. (2020).
644.
Mapping stakeholders’ roles in
https://doi.org/10.2167/jost723.0
governing sustainable tourism
Miles, M. B., Huberman, M. A., & destinations. Journal of
Saldana, J. (2014). Qualitative Hospitality and Tourism
Data Analysis: A Methods Management, 45, 387–398.
Sourcebook. Washington D.C: https://doi.org/10.1016/j.jhtm.20
Sage Publications, Inc. 20.09.005
Moghavvemi, S., Woosnam, K. M., Scheyvens, R. (1999). Ecotourism and
Paramanathan, T., Musa, G., & the empowerment of local
Hamzah, A. (2017). The effect of communities. Tourism
residents’ personality, emotional Management, 20(2), 245–249.
solidarity, and community https://doi.org/10.1016/S0261-
commitment on support for 5177(98)00069-7
tourism development. Tourism
Shani, A., & Pizam, A. (2012).
Tata Kelola Kolaboratif (Collaborative Governance)
Pembangunan Pariwisata Bajo Mola Wakatobi
Faturachman Alputra S, Irma Tri Annisya T & La Tarifu

132

Community Participation in Gaffney, M. (2005).


Tourism Planning and Collaboration, Enforcement, and
Development. In Handbook of Endangered Species: A
Tourism and Quality-of-Life Framework for Assessing
Research (pp. 547–564). Collaborative Problem-Solving
Dordrecht: Springer Netherlands. Capacity. Society & Natural
https://doi.org/10.1007/978-94- Resources, 18(8), 677–698.
007-2288-0_32 https://doi.org/10.1080/0894192
0591005034
Siu, G., Lee, L. Y. S., & Leung, D.
(2013). Residents’ Perceptions Wesley, A., & Pforr, C. (2010). The
Toward the “Chinese Tourists’’ governance of coastal tourism:
Wave” in Hong Kong: An unravelling the layers of
Exploratory Study.” Asia Pacific complexity at Smiths Beach,
Journal of Tourism Research, Western Australia. Journal of
18(5), 446–463. Sustainable Tourism, 18(6), 773–
https://doi.org/10.1080/1094166 792.
5.2012.665062 https://doi.org/10.1080/0966958
1003721273
Sudirman, F. A., Basri, M., Huda, K.,
& Upe, A. (2020). Collaborative Winengan, W. (2019). Local
Governance Dalam Pelaksanaan community resistance in Lombok
Program Keluarga Harapan against tourism development
(PKH) Sebagai Upaya policy. Masyarakat, Kebudayaan
Pencapaian Sustainable Dan Politik, 32(1), 69.
Development Goals (Sdgs). https://doi.org/10.20473/mkp.V3
Jurnal Neo Societal, 5(4), 381– 2I12019.69-79
394.
Vernon, J., Essex, S., Pinder, D., &
Curry, K. (2005). Collaborative
policymaking. Annals of Tourism
Research, 32(2), 325–345.
https://doi.org/10.1016/j.annals.
2004.06.005
Viken, A. (2011). Tourism, research,
and governance on Svalbard: a
symbiotic relationship. Polar
Record, 47(04), 335–347.
https://doi.org/10.1017/S003224
7410000604
Weber, E. P., Lovrich, N. P., &

Anda mungkin juga menyukai