Disusun oleh :
Windy Sukmi Rakhmatian
NIM : 20110020
HALAMAN SAMPUL…………………………………………………...
………………..i
DAFTAR ISI………………………………………………..……………….ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang………………………………………………3
1.2 rumusan Masalah……………………………………………8
1.3 Ruang Lingkup Penelitian…………………………………..8
1.4 Tujuan Penelitian……………………………………………8
1.5 Manfaat Penelitian…………………………………………..9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu………………………………………..10
2.2 Tinjauan Teori…..………………………………………….16
2.3 Kerangka Konseptual………..……………………………..21
2.4 Hipotesis………..…………………………………………..21
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………23
3.2 Jenis Penelitian……………………………...……….…….23
3.3 Populasi dan Sampel………..…………………….….……23
3.4 Teknik Analisa Data………………….……….….….……24
DAFTAR PUSTAKA…………… ………………………….…….……27
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pasca pendemi Covid-19 perekonomian Indonesia kini sudah mulai pulih.
Sejumlah lembagapun kini memproyeksikan perekonomian Indonesia ditahun
2022. Dengan meningkatnya mobilitas masyarakat yang merupakan kebijakan
pemerintah dalam melakukan pelonggaran pembatasan sosial. Pemerintah
memiliki target bahwa perekonomian Indonesia akan lebih baik dari tahun
sebelumnya. Menteri keuangan memprediksi perekonomian Indonesia akan
tumbuh pada kisaran 5,0% - 5,5% di tahun 2022. Sementara Bank Indonesia juga
mempediksi bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh pada 4,7% - 5,5 %
pada tahun yang sama.
Tidak hanya lembaga dalam negeri bahkan lembaga internasional pun
seperti Bank Dunia (Word Bank), Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi
Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi, serta HSBC Global Reseach ikut
memprediksi bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh positif. Tidak hanya
itu, bahkan perekonomian Indonesia digadang gadang akan menjadi
perekonomian terbaik dibandingkan dengan Negara lain pada saat ini.
Sebelum pandemi menyerang dunia, Indonesia disebut menjadi kandidat
kuat dalam kelompok BRIC (Brazil,Rusia, Indonesia, China). Kelompok lain juga
demikian seperti CIVETS (Columbia, Indonesia, Vietnam, Mesir, Turki, dan
Afika Selatan) yang menjadi sorotan dikarenakan memiliki sistem keuangan yang
cukup bagus dan populasi yang tumbuh dengan cepat. Bahkan pada tahun 2020
Produk Domestik Bruto ( PDB) anggota CIVETS diperkirakan berkontibusi
sebesar setengah dari perekonomian global.
Capaian tersebut tidak lain merupakan hasil gabungan dari kinerja
masyarakat dan berbagai instansi, khususnya instansi dari lembaga keuangan. Hal
tersebut dikarenakan lembaga keuangan merupakan instansi yang menjadi
mediator antara pihak yang memiliki kelebihan modal dengan pihak yang
mengalami kukurangan modal. Sejalan dengan pendapat Kasmir (2016 : 3) yang
menyatakan Bank adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya adalah
menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali dana tersebut ke
masyarakat serta memberikan jasa Bank lainnya. Jika fungsi bank bekerja dengan
baik maka roda perekonomian juga akan berjalan dengan baik.
Di Indonesia sendiri lembaga keuangan dibagi menjadi dua yakni lembaga
keuangan konvesional dan lembaga keuangan syariah. Lembaga keuangan yang
berbasis syariah merupakan lembaga keuangan yang baru-baru ini sedang
mengalami peningkatan dalam hal trasaksis ataupun kajian lebih dalam lagi.
Lembaga keuangan ini berpegang teguh tehadap hukum islam utamanya alqur’an
dan al-hadits. Menurut Heri Sudarsono (2003:27) menyatakan bahwa: Bank
syariah secara umum adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lain dalam lalulintas pembayaran serta
peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
Sementara Menurut Muhammad Syafi’i Antonio (1997) menyatakan bahwa :
Bank Islam adalah bank beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam,
yakni bank yang dalam beroperasinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah
Islam khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah secara Islam.
Perkembangan lembaga keuangan syariah mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Dalam satu dekade ini, lembaga keuangan syariah telah menjadi
salah satu sektor dengan pertumbuhan paling cepat di industri keuangan dunia,
melampaui pasar keuangan konvensional. walaupun terdampak pandemi Covid-19
pada tahun 2020, Global Islamic Economic Report (2020) memproyeksikan
keuangan syariah akan pulih dan terus tumbuh. Sejalan dengan tren dunia
tersebut, lembaga keuangan syariah di Indonesia juga tumbuh sangat
menggembirakan di tengah pandemi.
Perkembangan lembaga keuangan syariah baru dikembangkan pada tahun
1999, perkembangan tersebut dawali oleh Bank Indonesia dengan membentuk tim
penyusunan PSAK Bank Syariah, yang ditungakan dalam keputusan Bank
Indonesia Nomor 1/16/KEP/DGB/1999, yang mencakup unsur-unsur komponen
Bank Indonesia, Departeman Keuangan, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dan
pihak perbank kan dalam hal ini diwakili oleh Bank Muamalat Indonesia.
Pembahasan draft PSAK di lakukan oleh Tim penyusun PSAK yang di bawah
tanggung jawab IAI dalam hal ini Dewan Standar Akuntansi Keuangan, tetapi jika
berhubungan dengan masalah syariah maka hal tersebut dikonsultasikan langsung
pada Dewan Nasional Syariah. Hal tersebut dikarenakan kedua lembaga memiliki
keahlian masing-masing, IAI memiliki keahlian terhadap pengakuan, pengukuran,
serta penyajian atau hal lain yang berkaitan dengan akuntansi, sedangkan Dewan
Syariah Nasional memiliki keahliah dibidang syariah.
Perkembangan akuntansi syariah di Indonesia dibagi menjadi tiga periode
yaitu sebelum tahun 2002, tahun 2002 sampai dengan tahun 2007 dan tahun
setelah 2007 (Oyong Lisa : 2017). Di Indonesia untuk lembaga keuangan syariah
banyak didominasi oleh koperasi syariah yang jumlahnya mencapai ribuan
lembaga. Koperasi syariah dalam hal ini merupakan ujung tombak dalam
menggerakan perekonomian masyarakat, hal tersebut dikarenakan akses untuk
koperasi sangat mudah dijangkau oleh masyarakat kalangan bawah dibandingkan
dengan bank umum syariah.
Perbedaan mendasar antara lembaga keuangan syariah dengan lembaga
keuangan konvensional terletak pada sistem yang digunakan, lembaga keuangan
syariah tidak menggunakan sistem bunga dan hal tersebut terbukti pada saat
terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997, lembaga keuangan syariah tidak
terpengaruh krisis dan terbukti betapa besar dampak negatif yang ditimbulkan
oleh sistem bunga bank konvensional sehingga merusak hampir seluruh sendi
kehidupan ekonomi dan sosial politik negara akibat penerapannya terhadap
inflasi, investasi, produksi, pengangguran, serta kemiskinan (Machmud dan
Rukmana, 2010:6).
Pertubuhan lembaga keuangan syariah yang bagus tentu tidak akan lepas
dari berbagai macam masalah. Menurut Siswanto (2009 kelemahan dan kelebihan
dari lembaga BMT dengan menggunakan teknik SWOT, Di antara kelemahan
LKS adalah terdiri dari a) faktor eksternal (tingkat kompetisi dengan pesaing,
koloborasi atau kerja sama dengan lembaga keuangan, kebijakan pemerintah serta
faktor eksternal yang lain seperti LSM). b). faktor internal (produk program
pembiayaan dan tabungan, kompetensi manajemen serta pengelolaan keuangan).
Faktor yang menjadi permasalah pada lembaga keuangan syariah salah
satunya adalah program pembiayaan yang Non Performing. Pembiayaan yang
Non Performing mengalami fluktuatif dari tahun ketahun. Hal tersebut dapat
dilihat dari laporan yang telah dikeluarkan oleh otoritas jasa keuangan (OJK)
dalam beberapa periode terakhir.
Tahun 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
NPF (%) 2,2 2,6 4,33 4,34 4,15 3,87 2,85 3,11 3,08
Sumber ojk
Tingginya nilai NPF menunjukan indikator gagalnya lembaga
keuangan tersebut dalam mengelola dana yang disalurkan pada masyarakat
untuk usaha yang dapat mempengaruhi kinerja lembaga keuangan itu sendiri.
Dilihat dari banyaknya masalah yang bisa muncul apabila nilai rasio NPF
tinggi maka sangatlah penting bagi sebuah lembaga keuangan untuk memenuhi
rasio NPF sesuai dengan ketentuan dari regulator. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
selaku badan pemerintah yang memiliki tugas mengatur dan mengawasi jasa
keuangan akan memanggil setiap lembaga keuangan yang memiliki rasio NPF
yang tinggi. Sehingga dibutuhkan penelitian secara berkala guna untuk menekan
sekecil mungkin Non Performing Financing (NPF).
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya NPF pada
lembaga keuangan syariah diantaranya faktor intern, faktor intern debitur dan
faktor ekstern diluar lembaga keuangan ataupun debitur. Dari intern bank,
kelemahan pengelola pembiayaan di bank dan tekanan pihak ketiga, agresifitas
bank dalam menyalurkan pembiayaan, lemahnya sistem pengawasan, campur
tangan yang berlebihan dari para pemegang saham, jaminan yang tidak memadai
dan tidak mengcover pembiayaan (Sutojo, 2000), over dalam agunan, over atau
underfinancing, pembiayaan fiktif (Suhardjono, 2003), itikad kurang baik pemilik
bank, pengurus atau pegawai bank (Tangkilisan, 2003), bank tidak dapat
mengandalkan sarana-sarana contract enforcement yang disediakan oleh hukum
(Tangkilisan, 2003).
Penyaluran pembiayaan yang tinggi dan agresif yang tujuannya untuk
memanfaatkan dana pihak ketiga yang masuk juga dapat menyebabkan tingginya
nilai NPF. Hal tersebut terjadi dikarena lembaga keuangan tidak melihat latar
belakang nasabah yang mengajukan pinjaman. Menurut Zulkifli Rusby (2017:11)
Analisa pembiayaan hendaknya mengikuti tahapan tahapan sebagai berikut :
1. Data Pemohon / Nasabah
2. Tujuan Pembiayaan
3. Latar Belakang Nasabah
4. Analisa Keuangan Nasabah
5. Analisa Agunan
6. Analisa Resiko Pembiayaan
7. Kesimpulan dan Rekomendasi
Pembiayaan dengan kontrak Profil Loss Sharing (PLS) yang merupakan
ciri khas dari Perbankan Syariah ternyata tidak banyak diminati, disebabkan oleh
resiko yang mengikutinya. Resiko potensi terjadinya kredit macet pada perbankan
membuat stackholder sangat jarang menggunakan kontrak PLS.
Jika dilihat dari fungsi kegiatan utamanya, baik bank umum syariah
maupun bank konvensional adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkan dana tersebut dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan. Pemberian
kredit/pembiayaan dari bank umum syariah kepada masyarakat dapat diukur
dengan Financing to Deposit Ratio (FDR). Dalam perbankan syariah tidak
dikenal istilah kredit (loan) namun dikenal dengan istilah pembiayaan atau
financing.
Pada umumnya konsep yang sama ditunjukkan oleh bank syariah dalam
mengukur likuiditas yaitu dengan menggunakan Financing to Deposit Ratio
(FDR). Financing to Deposit Ratio (FDR) yaitu seberapa besar Dana Pihak Ketiga
(DPK) bank syariah yang disalurkan untuk pembiayaan. Menurut Kasmir (2010)
FDR adalah rasio untuk mengukur komposisi jumlah pembiayaan yang diberikan
dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan.
Semakin tingggi rasio FDR maka kemampuan bank tersebut semakin baik yang
mengandung pengertian bahwa bank dapat mengelola fungsi intermediasi secara
optimal.
Sebaliknya, jika semakin rendah rasio ini maka artinya bahwa bank tidak
dapat mengelola fungsi intermediasinya secara optimal. Akan tetapi, semakin
tinggi rasio ini juga menggambarkan bahwa likuiditas bank menurun karena dana
lebih banyak dialokasikan untuk pemberian kredit/pembiayaan. Sedangkan
semakin rendah rasio ini menunjukkan bahwa bank semakin likuid.
Namun, keadaan bank yang semakin likuid menunjukkan banyaknya dana
menganggur (idle fund) sehingga memperkecil kesempatan bank untuk
memperoleh penerimaan yang lebih besar karena fungsi intermediasi tidak
tercapai dengan baik. Oleh karena itu, bank harus bisa mengelola dana yang
dimiliki dengan mengoptimalkan penyaluran pembiayaan agar kondisi likuiditas
bank tetap terjaga. Oleh sebab itu, rasio FDR harus dijaga agar tidak terlalu tinggi
dan tidak terlalu rendah.
Modal merupakan faktor yang sangat penting dan mendasar bagi
perkembangan dan kemajuan suatu lembaga keuangan sekaligus berfungsi sebagai
membangun kepercayaan masyarakat. Selain itu modal juga harus bisa digunakan
untuk menjaga kemungkinan terjadinya risiko, terutama dana-dana pihak ketiga
atau masyarakat. Tingkat kecukupan modal bank dapat dinyatakan dengan rasio
kecukupan modal atau capital adequacy ratio ( CAR ). Tingkat kecukupan modal
tersebut dapat diukur dengan cara membandingkan dengan aktiva berisiko.
Komponen yang terdapat pada indikator ini terdiri dari rasio modal total terhadap
Dana / simpanan pihak ketiga.
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah CAR dapat mempengaruhi NPF?
2. Apakah Pembiayaan dapat mempengaruhi NPF?
3. Apakah ROA dapat mempengaruhi NPF?
4. Apakah BOPO dapat mempengaruhi NPF?
5. Apakah CAR,ROA,Pembiayaan, dan BOPO secara simultan berpengaruh
terhadap NPF
RUANG LINGKUP PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan laporan keuangan bank
umum syariah yang diperoleh dari Bursa Efek Indonesia pada tahun 2017-2022.
Batasan variabel Pembiayaan yang digunakan dalam penelitian ini hanya
pembiayaan mudarabah.
TUJUAN PENELITIAN
1. Mengetahui apakah CAR berpengaruh terhadap NPF.
2. Mengetahui apakah Pembiayaan berpengaruh terhadap NPF.
3. Mengetahui apakah ROA berpengaruh terhadap NPF.
4. Mengetahui apakah BOPO berpengaruh terhadap NPF.
5. Mengetahui apakah CAR,ROA,Pembiayaan, dan BOPO secara simultan
berpengaruh terhadap NPF.
MANFAAT PENELITIAN
1.Bagi pihak instansi
Hasil penelitian diharapkan memberikan sumbangan saran, pemikiran
serta informasi yang bermanfaat yang berkaitan Non Performing
Financing sehingga pihak koperasi syariah di Indonesia dapat menekan
sekecil mungkin nilai Non Performing Finacing (NPF)
2.Bagi pihak akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu proses pembelajaran serta
pengaplikasian ilmu pengetahuan, terutama yang berhubungan dengan
Non Performing Fiancing (NPF)
3 Bagi pihak lain
Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai referensi tambahan
atau untuk pengembangan gagasan baru pada penelitian selanjutnya, serta
sebagai bahan pertimbangan perusahaan atau sebuah instansi saat
menghadapi permasalahan yang sama.
BAB II
TINJAUAN PUSATAKA
aset lancar
current aset ratio= x 100 %
hutang lancar
2.2.3. Pembiayaan
Pembiayaan merupakan pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak bank
kepada pihak lain atau nasabah untuk membantu kebutuhan nasabah dalam bentuk
konsumtif atau investasi melalui akad yang disepakati oleh pihak yang
bersangkutan. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan
untuk mendukung investasi yang telah direncanakan (Asfiyah, 2015).
Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau
tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil
Menurut Kasmir (2008:96).
Selanjutnya yang di kemukakan oleh Antonio (2001:160) “Pembiayaan
yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak –
pihak yang merupakan defisit unit”. Sedangkan menurut Rivai dan Arifin (2010 :
681) pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncankan.
Terdapat tiga produk pembiayaan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan
syariah jika dilihat dari prinsip atau akad yang dijalankan. Produk penyaluran
dana dibedakan dalam tiga kategori yang berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu
transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang (prinsip jual beli),
untuk mendapatkan jasa (prinsip sewa), dan untuk mendapatkan barang dan jasa
(prinsip bagi hasil), Oyong lisa (2017 : 12)
Sementara menurut Ridwan (2005:163) Pembiayaan sering digunakan
untuk menunjukkan aktivitas utama BMT karena berhubungan dengan rencana
memperoleh pendapatan. Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 yang dimaksud
pembiayaan adalah “penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan tujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu ditambah dengan jumlah bunga, imbalan atau
pembagian hasil”.
Menurut Andrianto dan Anang Firmansyah (2019:182) Kegiatan pembiaya
merupakan salah satu tugas pokok bank, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dan
untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang berupakan defisit unit, yang
menurut sifat penggunaannya, pembiayaan dapat dibagi dalam :
Memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis untuk memenuhi
kebutuhan.
Produksi dalam arti luas, yaitu untuk meningkatkan usaha, baik
usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
2.2.4. Financing to Deposito Ratio (FDR)
Menurut Nasution (2003), manajemen kredit bank syariah akan
mempengaruhi likuiditas bank itu sendiri dan akhirnya akan mempengaruhi
penghimpunan dana dari pihak ketiga. Likuiditas dalam penelitian ini akan
diproksikan dengan Finance to Deposit ratio (FDR). Financing to Deposit Ratio
(FDR) adalah perbandingan antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan
dana pihak ketiga yang berhasil dikerahkan oleh bank (Antonio 2005).
Rasio FDR yang dianalogikan dengan Loan to Deposit Ratio (LDR) pada
bank konvensional merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur tingkat
likuiditas bank yang menunjukkan kemampuan bank untuk memenuhi permintaan
kredit dengan menggunakan total aset yang dimiliki bank (Lukman, 2005).
Financing to Deposit Ratio (FDR) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur likuiditas suatu bank dalam membayar kembali penarikan dana yang
dilakukan deposan dengan mengandalkan pembiayaan yang diberikan sebagai
sumber likuiditasnya, yaitu dengan cara membagi jumlah pembiayaan yang
diberikan oleh bank terhadap Dana Pihak Ketiga (DPK). Semakin tinggi
Financing to Deposit Ratio (FDR) maka semakin tinggi dana yang disalurkan ke
Dana Pihak Ketiga (DPK). Dengan penyaluran Dana Pihak Ketiga (DPK) yang
besar maka pendapatan bank Return on Asset (ROA) akan semakin meningkat,
sehingga Financing to Deposit Ratio (FDR) berpengaruh positif terhadap Return
on Asset (ROA). Standar yang digunakan Bank Indonesia untuk rasio Financing
to Deposit Ratio (FDR) adalah 80% hingga 110%. Jika angka rasio Financing to
Deposit Ratio (FDR) suatu bank berada pada angka dibawah 80% (misalkan
60%), maka dapat disimpulkan bahwa bank tersebut hanya dapat menyalurkan
sebesar 60% dari seluruh dana yang berhasil dihimpun.
Karena fungsi utama dari bank adalah sebagai intermediasi (perantara)
antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana, maka
dengan rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) 60% berarti 40% dari seluruh
dana yang dihimpun tidak tersalurkan kepada pihak yang membutuhkan, sehingga
dapat dikatakan bahwa bank tersebut tidak menjalankan fungsinya dengan baik.
Kemudian jika rasio Financing to Deposit Ratio (FDR) bank mencapai
lebih dari 110%, berarti total pembiayaan yang diberikan bank tersebut melebihi
dana yang dihimpun. Oleh karena dana yang dihimpun dari masyarakat sedikit,
maka bank dalam hal ini juga dapat dikatakan tidak menjalankan fungsinya
sebagai pihak intermediasi (perantara) dengan baik. Semakin tinggi Financing to
Deposit Ratio (FDR) menunjukkan semakin buruknya kondisi likuiditas bank,
sebaliknya semakin rendah Financing to Deposit Ratio (FDR) menunjukkan
kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan pembiayaan. Jika rasio Financing
to Deposit Ratio (FDR) bank berada pada standar yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, maka laba yang diperoleh oleh bank tersebut akan meningkat (dengan
asumsi bank tersebut mampu menyalurkan pembiayaannya dengan efektif). Rasio
ini dirumuskan sebagai berikut:
jumlah dana yang diberikan
FDR= x 100 %
totaldana pihak ketiga
2.2.5. Non Performing Financing (NPF)
Ditinjau dari pengertiannya Non Performing Financing (NPF) adalah
risiko pembiayaan. Risiko ini muncul jika bank tidak mendapatkan kembali
cicilan pokok ataupun keuntungan yang diperoleh dari pembiayaan atau investasi
yang diberikan (Arifin, 2009: 263). Pembiayaan bermasalah merupakan
pembiayaan yang disalurkan oleh bank tetapi nasabah tidak dapat melakukan
pembayaran atau melakukan angsuran tidak sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati oleh bank dan nasabah. (Ismail, 2013:87).
Menurut Andianto dan Anang Firmansyah (2019: 264) Non Performing
Financing Adalah risiko dimana nasabah / debitur atau counterpart tidak mampu
memenuhi kewajiban keuangannya sesuai kontrak /kesepakatan yang telah
dilakukan. Definisi ini dapat disimpulkan bahwa risiko pembiayaan adalah risiko
yang timbulkan oleh kualitas pembiayaan semakin menurun. Masih menurut
Andianto dan Anang Firmansyah (2019: 264) Hal-hal yang termasuk dalam
Risiko Pembiayaan adalah:
Lending Risk, yaitu risiko akibat nasabah/debitur tidak mampu melunasi
fasilitas yang telah diberikan oleh bank, baik berupa fasilitas pembiayaan
langsung maupun tidak langsung (cash loan maupun non cash loan)
Counterparty Risk, risiko dimana counterpart tidak bisamelunasi
kewajibannya ke bank baik sebelum tanggalkesepakatan maupun pada saat
tanggal kesepakatan.
Issuer Risk, risiko dimana penerbit suatu surat berhargatidak bisa
melunasi kepada bank sejumlah nilai suratberharga yang dimiliki bank.
Menurut Darmawi (2014: 126) Non Performing Financing (NPF) meliputi
kredit di mana peminjam tidak dapat melaksanakan persyaratan perjanjian kredit
yang telah ditandatanganinya, yang disebabkan oleh berbagai hal sehingga perlu
ditinjau kembali atau perubahan perjanjian. Menurut Gianini (2013: 29) rasio Non
Performing Financing (NPF) dapat dirumuskan sebagai berikut :
pembiayaan bermasalah
NPF= x 100 %
total pembiayaan
PEMBIAYAAN
CAR NPF
FDR
3.6. Hipotesis Penelitian
Sugiyono (2009) menyatakan bahwa hipotesis merupakan jawaban
sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah
penelitian telah dinyatakan dalam bentuk pertanyaan. Sedangkan menurut
Kerlinger (1973) Hipotesis adalah pernyataan dugaan hubungan antara dua
variabel atau lebih.
3.6.1 Efek Pembiyaan terhadap Non Performing Financing
Diah Ayu Legowati (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh
Pembiayaan Berdasarkan Jenis Penggunaan Terhadap Non Performing Financing
Pada Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) di Indonesia
Periode 2009 – 2015 menyatakan bahwa Pembiayaan modal kerja, investasi dan
konsumsi berpengaruh terhadap NPF. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Haifa dan Dedi Wibowo (2015) menyatakan bahwa pembiayaan murabahah
berpengaruh terhadap Non Performing Financing
Y = b 1 x 2+ b1 x 3 +b x 1 x 2 +b x 1 x 3
Keterangan :
Y = Non Performing Financing
X1 = Current Aseet Ratio
X2 = Financing Deposito Ratio
X3 = Pembiayaan
B = Slope
DAFTAR PUSTAKA
Andiman dan Agus Widardjono. (2021). Analisis Pembiayaan Mudharabah Bank
pembiayaan Rakyat Syariah terhadap Non Performing Fiancing di
Indonesia tahun 2016 – 2020. Jurnal Baabu Al-Ilmi Volumen 6 No. 1
April Tahun 2021.
Ayu Retnowati dan Prabowo Yudo Jayanto. (2020). Factors Affecting Non
Performing Financing at Islamic Commercial bank in Indonesia.
Accounting Analysis Journal 9 (1) (2020) 38-45.
Haifan dan Dedi Wibowo. (2015). Pengaruh Faktor Internal Bank dan Makro
Ekonomi Terhadap Non Performing Financing Perbankan Syariah di
Indonesia : Periode 2010-2014. Jurnal Nisbah Volume 1 Nomer 2 2015.
Jaenal Effendi, Usy Thiarany, dan Tita Nursyamsiah. (2017). Factor Influencing
Non Performing Financing (NPF) at Sharia Banking. Walisongo : Jurnal
Penelitian Sosial keagamaan Vol. 25 No. 1 2017.
Riyadi, S., Iqbal, M., dan Lauren, Novia. (2014). Strategi Pengelolaan Non
Performing Loan Bank Umum Yang Go Public. Jurnal Dinamika
Manajemen Vol. 6, No. 1, pp: 85-97.