Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saat ini, kita hidup dalam dunia yang kompleks, sibuk dan terus berubah. Di
dunia ini ada banyak pengalaman yang sulit dihadapi oleh seseorang. Memang,
biasanya kita terus menjalani hidup ini, namun ada saatnya kita terhenti oleh sebuah
peristiwa atau situasi yang tidak dapat dipecahkan saat itu. Biasanya, dalam
menghadapi problem ini, kita akan membicarakannya dengan keluarga, teman,
tetangga atau dokter keluarga kita. Tetapi, terkadang saran mereka tidak cukup
memuaskan, atau kita terlalu malu dan segan untuk memberitahukan kepada mereka
tentang apa yang mengganggu , atau bisa saja kita memang tidak memiliki orang
yang tepat untuk membicarakannya. Pada saat itulah, konseling merupakan pilihan
yang sangat berguna. Konseling tersedia di banyak tempat dan murah biayanya,
bahkan terkadang gratis. Konselor tak akan mendiagnosa atau memberikan cap
kepada kliennya. Konselor akan berusaha sebaik mungkin mendengarkan kliennya
dan kemudian bekerjasama dengan klien untuk menemukan cara terbaik memahami
dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien.
Di samping itu, menjadi seorang konselor merupakan peran yang memberikan
kepuasan. Ketika menjadi seorang konselor, akan ada saat dimana kita tahu bahwa
kita telah membuat perbedaan besar dalam hidup orang lain, dan kesempatan untuk
menjadi saksi sekaligus pendamping seseorang yang menghadapi rasa takut yang
terdalam dan dilema.
Untuk memahami keragaman konseling kontemporer, dan untuk menghargai
pentingnya pola praktik sekarang, maka penting untuk melihat cara konseling
berkembang dan bertransformasi selama 200 tahun. Perbedaan dan kontradiksi yang
eksis dalam konseling saat ini bersumber dari kekuatan yang membentuk budaya
modern secara keseluruhan.

1
Setiap orang dalam masyarakat di setiap waktu telah mengalami gangguan
emosi atau psikologi serta masalah tingkah laku. Dalam setiap kebudayaan terdapat
metode lokal untuk membantu mereka yang tertimpa masalah tersebut. Yang dapat
kita katakan adalah konseling yang dipandang sebagai sesuatu yang baik, efektif, atau
relevan oleh mereka yang hidup sekarang dalam budaya modern.

B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka masalah yang
dirumuskan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Awal Mula Konseling Dalam Perspektif Kultural?
2. Bagaimana Awal Mula Konseling Dalam Perspektif Historis?
3. Bagaimana Makna Sosial Konseling Itu?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut :
1. Agar Dapat Mengetahui Awal mula Konseling Dalam Perspektif Kultural.
2. Agar Dapat Mengetahui Awal Mula Konseling Dalam Perspektif Historis.
3. Agar Dapat Mengetahui Makna Sosial Konseling.

D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan dalam makalah kami yaitu :
1. Secara Teoritis
Menjadi sumbangan bagi ilmu pengetahuan, sebagai penunjang
pembelajaran khususnya dibidang mata kuliah Psikologi Konseling yang
berorientasi pada pembahasan “Akar Konseling: Tinjauan Kultural dan
Historis”.

2
2. Secara Praktis
Menjadi referensi bagi penulis lain yang ingin melakukan penulisan yang
serupa, dikembangkan dan diarahkan pada pemecahan masalah yang lebih
komperensif dan konstruktif dan disusun untuk memenuhi tugas kelompok
pada mata kuliah Psikologi Konseling.

3
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Psychology yang merupakan
gabungan dari kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa dan logos berarti ilmu.
Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu jiwa. Istilah psyche atau jiwa masih
sulit didefinisikan karena jiwa itu merupakan objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat
wujudnya, meskipun tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam beberapa
dasawarsa ini istilah jiwa sudah jarang dipakai dan diganti dengan istilah psikis.

Ada banyak ahli yang mengemukakan pendapat tentang pengertian psikologi,


diantaranya:
1. Pengertian Psikologi  menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990),
Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik
yang dapat dilihat  secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara
langsung.
2. Pengertian Psikologi menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku
manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya.
3. Pengertian Psikologi menurut Saam (2013) Psikologi adalah ilmu yang
mempelajari psikis dan tingkah laku manusia.
4. Pengertian Psikologi menurut Muhibbin Syah (2001), psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia
baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan
lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor
yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebgainya,
sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan
dan lain sebagainya.

4
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik
sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku
tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang
disadari maupun yang tidak disadari.

B. Pengertian Konseling
Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin, yaitu “consilium”
yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau
“memahami”.
Kata “konseling” mencakup bekerja dengan banyak orang dan hubungan yang
mungkin saja bersifat pengembangan diri, dukungan terhadap krisis, psikoterapis,
bimbingan atau pemecahan masalah.
Ada beberapa ahli yang mengemukakan pendapat tentang pengertian konseling,
diantaranya:
1. Carl Rogers, seorang psikolog humanistik terkemuka, berpandangan bahwa
konseling merupakan hubungan terapi dengan klien yang bertujuan untuk
melakukan perubahan self (diri) pada pihak klien. Pada intinya Rogers
dengan tegas menekankan pada perubahan system self klien sebagai tujuan
konseling akibat dari struktur hubungan konselor dengan kliennya.
2. Menurut Saam (2013) Konseling adalah bantuan yang diberikan kepada
konseli supaya dia memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri
untuk dimanfaatkan olehnya dalam rangka memperbaiki tingkah lakunya
pada masa yang akan datang.
3. Menurut Sukardi (dalam Saam, 2013) mengemukakan definisi konseling
sebagai bantuan secara tatap muka antara konselor dengan klien dengan
usaha yang unik dan manusiawi yang dilakukan dalam suasana keahlian dan
didasarkan norma-norma yang berlaku.

5
 Jadi, dapat disimpulkan bahwa konseling merupakan proses pemberian bantuan
kepada klien dalam bentuk hubungan terapiutik antara konselor dan klien, agar klien
dapat melakukan perubahan diri, seperti meningkatkan kepercayaan diri dan
penyesuaian diri, atau berperilaku baru sehingga klien memperoleh kebahagiaan.

C. Pengertian psikologi konseling

Psikologi konseling adalah sintesis dari berbagai kecenderungan yang berkaitan


dalam gerakan bimbingan, kesehatan mental, psikometri, kasus-kasus sosial dan
psikoterapi.
psikologi konseling bermakna sebagai proses konseling berupa bantuan yang
dilakukan oleh seorang ahli kepada individu yang mengalami masalah melalui
pendekatan psikologi.
Psikologi Konseling merupakan suatu kegiatan yang dibangun melalui adanya
interaksi antara klien dengan psikolog / konselor untuk mengidentifikasi persepsi,
kebutuhan, nilai, perasaan, pengalaman, harapan, serta masalah yang dihadapi klien.
Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memecahkan masalah-masalah psikologis
klien dengan menyadarkan klien akan akar masalah yang sebenarnya dihadapi hingga
akhirnya klien dapat menemukan sendiri solusi dari masalah yang dihadapinya.
Dilihat dari proses konseling (counseling process), psikologi konseling adalah
cabang kekhususan dari psikologi yang mengkaji berbagai aspek yang terlibat dalam
proses konseling. Aspek-aspek itu meliputi karakteristik: konseling, konselor, konseli
dan masalahnya, berbagai kondisi yang menunjang dan menghambat konseling, serta
metode atau pendekatan-pendekatan dalam konseling.

D. Tujuan Psikologi Konseling


Psikologi konseling sebagai ilmu pengetahuan (scientific) secara umum
bertujuan untuk mengembangkan penggunaan teori-teori psikologi dalam layanan
konseling kepada konseli. Teori-teori psikologi ini diantaranya teori psikologi
Freudian, Behavioristik, dan Humanistik.

6
Secara khusus, tujuan psikologi konseling adalah untuk melakukan pengkajian
secara sistematis, logis dan objektif terhadap variabel-variabel konseling. variabel-
variabel konseling tersebut, diantaranya yaitu :
 Hakikat, tujuan, prinsip-prinsip, dan asas-asas konseling.
 Karakteristik dan kompetensi konselor
 Karakteristik konseli dan masalah-masalahnya
 Pengembangan kondisi psikologis yang menunjang berlangsungnya proses
konseling.
 Upaya mengatasi hambatan-hambatan dalam proses konseling
 Pengkajian dan pengembangan teori-teori psikologi untuk diterapkan ke
dalam pelayanan konseling
 Pengkajian dan pengembangan teknologi dalam konseling.

E. Hubungan Psikologi Konseling dengan Psikiatri


Perbedaan pokok antara psikiatri dan psikologi konseling dapat dilihat dari dua
aspek yaitu : pendidikan tenaga dan masalah konseli.
Dilihat dari pendidikan tenaga, psikiatri lebih ditekankan pada pendidikan
medis yang dibangun di lingkungan kedokteran, sedangkan konseling lebih
ditekankan pada pendidikan psikopedagogis, artinya pendidikan untuk menyiapkan
tenaga konselor yang mampu memberikan pelayanan psikologi dalam suasana
pedagogis pada setting persekolahan maupun luar sekolah, dalam konteks kultur,
nilai, dan religi yang diyakini konseli dan konselor.
Dilihat dari masalah konseli, perbedaan lain yang dapat ditonjolkan ialah bahwa
psikiatri menangani masalah yang berhubungan dengan kondisi emosional yang lebih
berat seperti orang yang mengalami gangguan jiwa, sedangkan konseling menangani
masalah emosi yang ringan seperti : kecemasan, stress ringan, depresi, konflik,
ketergantungan dan frustasi.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Awal Mula Konseling Dalam Perspektif Kultural


1. Munculnya Trade in Lunacy
Meskipun konseling dan psikoterapi baru tersedia secara luas pada paruh abad
dua puluh, akan tetapi akarnya dapat dilacak ke awal abad delapan belas. Pada masa
sebelum ini, masalah dalam hidup ditangani dari perspektif agama yang
diimplementasikan pada tingkat komunitas lokal. Di Eropa, mayoritas orang hidup
dalam komunitas pedesaan kecil dan dipekerjakan ditanah tuan rumah. Dalam cara
hidup seperti ini, kegilaan atau mereka yang sangat terganggu ditoleransi sebagai
bagian dari komunitas. Masalah interpersonal atau emosional dengan level yang lebih
rendah ditangani oleh pendeta lokal dengan pengakuan dosa. merujuk tradisi
penyembuhan religius ini sebagai “obat bagi jiwa”, dan aspek terpenting dari obat
jiwa tersebut adalah pengakuan dosa yang kemudian diikuti oleh penyesalan. McNeill
(dalam McLEOD, 2010) menekankan bahwa pada awalnya pengakuan dosa
dilakukan di hadapan publik, dan seringkali diikuti dengan peringatan yang bersifat
komunal, doa, dan bahkan pengucilan. McNeill memberikan banyak contoh pendeta
yang menjalankan peran sebagai konseling terhadap para gembala mereka pada abad
enam belas dan tujuh belas.
Para penulis, seperti Foucault (1967), Rothman (1971), Scull (1979, 1981,
1989), dan Porter (1985), menyatakan bahwa semua ini mulai berubah seiring dengan
merebaknya Revolusi Industri, kapitalisme mulai mendominasi ekonomi dan
kehidupan politik, dan nilai-nilai sains mulai menggantikan nilai-nilai agama.
Perubahan dasar dalam struktur sosial dan kehidupan sosial serta ekonomi yang
terjadi pada masa ini diikuti oleh perubahan mendasar dalam hubungan antar manusia
dan cara orang mendefinisikan serta menghadapi tuntutan emosional dan psikologis.

8
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Albee (dalam McLEOD, 2010), perubahan
psikologis kunci yang terjadi adalah pergeseran dari masyarakat “berpusat-tradisi”
(tradition centered). Kepada masyarakat yang menekankan pada “arahan ke dalam”.
Dalam budaya tradisional, orang hidup dalam sebuah komunitas yang relatif kecil,
yang memungkinkan anggotanya untuk saling mengenal, dan tingkah laku dimonitor
dan dikontrol oleh orang lain. Dalam komunitas tersebut terdapat pengawasan
langsung terhadap apa yang seseorang lakukan, sekaligus tindakan langsung terhadap
penyelewengan sosial melalui hukuman atau pengucilan. Dasar dari sosial kontrol
dalam komunitas tersebut adalah perasaan malu.

2. Penemuan psikoterapi
Pada akhir abad sembilan belas, psikiatri telah menempati posisi dominan
dalam penanganan kegilaan yang pada saat itu dikenal dengan “sakit mental”. Kini,
dalam dunia pengobatan dan psikiatri, muncul psikoterapi sebagai spesialisasi baru.
Hipnosis adalah sebuah fenomena yang sangat menarik bagi para praktisi medis
Eropa di abad ke-19. Peran yang dimainkan oleh hipnosis dalam kemunculan
psikoterapi amat signifikan. Kemunculan mermerisme dan hipnosis pada abad ke-18
dan ke-19 di Eropa, dan transformasi mereka kepada psikoterapi dapat dilihat sebagai
asimilasi bentuk kultur tradisional dengan ilmu kedokteran modern.
Figur kunci dalam transformasi dari hipnosis kepada psikoterapi adalah
Sigmund Freud. Setelah ia meninggalkan teknik hipnosis dan memilih untuk
mengembangkan teknik psikoanalisisnya yang didasarkan pada asosiasi bebas (free
association) dan interpretasi mimpi (dream interpretation). Kontribusi unik Freud
adalah kemampuannya untuk mengasimilasikan semua ide tersebut ke dalam sebuah
model teori koheren yang terbukti sangat bernilai dalam banyak bidang. Signifikansi
kultural di balik ide Freud dapat dilihat dari asumsi implisit bahwa kita semua
neurotik, bahwa dibalik setiap topeng dari seseorang yang paling sukses sekalipun
terdapat konflik batin dalam dirinya (inner conflict) dan dorongan instingtual
(instinctual drive).

9
B. Awal Mula Konseling Dalam Perspektif Historis
Konseling sebagai suatu aktifitas yang berbasis luas merupakan bagian dari
eksistensi manusia sejak jaman purbakala. Konselor identik dengan orang yang
memiliki kepekaan dalam ‘mendengarkan / listening’ dan bijaksana dalam
memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan orang lain. Mereka biasanya
adalah orang yang dianggap lebih tua dalam suku-suku atau marga-marga. Mereka
sering disebut ‘tukang sihir’, dukun’, dan pembimbing spiritual. Mereka memiliki
pengalaman hidup atau pengetahuan yang luar biasa untuk membina hubungan
dengan sesama manusia dan mau membagi pengetahuan dan pengalamannya untuk
hidup dengan orang-orang yang kurang berpengalaman. Di bagian-bagian terpencil di
dunia, konseling dengan tipe semacam ini masih terjadi. Oleh karena itu, dari sudut
pandang kultural, konseling berbasis luas seperti yang dilukiskan melalui tradisi ini,
merupakan fenomena universal.
Konseling mulai berkembang pada awal tahun 1900, ketika terjadi reformasi
sosial dan pendidikan karena kondisi masyarakat yang saat itu sedang ‘sakit’. Di
akhir abad 19 ini terjadi pergerakan reformasi sosial di Amerika. Dalam pergerakan
ini, para aktifis sosial menentang dan mendesak pemerintah agar lebih humanis dalam
memperlakukan masyarakat, baik itu para imigran, kaum miskin, para penganggur,
juga orang yang terganggu secara mental. Para pionir dalam konseling (yang
selanjutnya disebut ‘guidance’) ini kebanyakan para guru dan para pembaharu.
Mereka memfokuskan pengajaran kepada anak-anak dan para pemuda. Tujuannya
adalah membantu anggota masyarakat agar lebih peka dan menghargai diri mereka
sendiri, orang lain, dunia kerja, dan kehidupan berwarga negara. Pada awalnya
mereka terlibat terutama dalam kesejahteraan anak-anak, bimbingan vokasional,
pengajaran di sekolah, dan pembaharuan hukum. Mereka bekerja memberikan
informasi khusus dan pelajaran-pelajaran seperti pengajaran moral yang baik dan
yang benar. Mereka mengkonsentrasikan usaha-usahanya pada pengembangan
hubungan-hubungan intra dan interpersonal.

10
Tiga orang pionir yang patut dicatat karena jasanya dalam membangun arah
konseling adalah: Frank Parson, Jesse Davis, dan Clifford Beers. Mereka telah
mempengaruhi orang-orang Amerika dan membuat dampak yang bersifat global.
Kontribusi mereka adalah dalam area pembuatan keputusan karir, bimbingan
pendidikan dan kesehatan mental. Frank Parson adalah orang yang memfokuskan diri
pada kepentingan konseling dan pengembangan karir para calon penerbang. Jesse
Davis, menekankan pelayanan kepentingan bimbingan dan konseling di sekolah-
sekolah sebagai suatu ukuran yang mendukung pembentukan kewarganegaraan yang
baik. Clifford Beers, mulai mereformasi pergerakan kesehatan mental terutama yang
bersifat preventif, seperti bagaimana memperlakukan individu yang mengalami
gangguan emosional. Ketignya telah memantapkan pertumbuhan konseling. Gagasan-
gagasan dan aktifitas-aktifitas mereka dalam tiga bidang keahlian profesional seperti
telah disebutkan tadi menjadi akar pemunculan cabang fondasai-fondasi konseling.
Sebagai tambahan bagi mereka bertiga, konseling menjadi suatu profesi karena
telah diformulasikan teori-teori yang efektif. Pada awalnya konseling bergantung
pada 4 teori utama yakni:
1. directive (E.G. Williamson),
2. nondirective (Carl Rogers),
3. psychoanalysis, dan
4. behaviorism.
Tahun 1950, banyak pendekatan-pendekatan baru diciptakan. Dengan adanya
teori-teori tersebut, lebih memberikan kepercayaan terhadap konseling dan
membuatnya lebih dapat diterima oleh masyarakat umum.

1. Akar Sejarah Pertama (1908-1950)


Frank Parson (1854-1908) adalah seorang yang banyak ilmu pengetahuannya,
penulis yang persuasif, aktifis yang tidak kenal lelah dan intelek besar. Ia adalah
orang yang pertama mengadakan Gerakan Bimbingan Pekerjaan (Vocational

11
Guidance Movement) di Boston. Daya pendorong dari gerakan ini adalah sebagai
berikut:
a. Kemajuan industri di Amerika Serikat (AS) memunculkan beragam karir. Jika
suatu industri berkembang, selalu menuju kepada spesialisasi dengan beragam
jenis keterampilan karir yang dibutuhkan. Kegiatan manual dengan tenaga
manusia berubah menjadi kegiatan mesin yang membutuhkan orangorang yang
terampil di bidangnya. Mulai abad ke-20 industri di AS berkembang pesat
terutama mesin perang, mesin produksi, dan sebagainya. Oleh karena itu,
tenaga atau personil dengan beragam karir dituntut oleh industri tersebut,
sehingga bimbingan karir dibutuhkan karena orang tidak dengan mudah
menyesuaikan diri dengan pekerjaannya.
b. Banyak siswa sekolah menengah yang mengikuti pendidikan. Hal ini
memerlukan bimbingan pendidikan atau konseling sekolah dengan tujuan agar
para siswa sukses dalam pendidikan. Masalah yang dihadapi siswa pun
beragam seperti masalah pribadi, kesulitan belajar, masalah dengankeluarga,
hubungan dengan jenis kelamin, juga masalah lanjutan studi dan karir di dunia
kerja yang banyak dan penuh persaingan.
c. Banyak pemuda yang kembali dari medan perang untuk mengikuti wajib
militer. Mereka harus berkeluarga, sehingga terjadi kelahiran bayi yang banyak
(baby boom). Di samping itu, untuk menghidupi keluarga, mereka harus
memperoleh lapangan pekerjaan. Oleh karena itu diperlukan penelusuran
bakat, kemampuan, minat,kepribadian, dan pelatihan kerja. Dengan demikian,
peranan psikologi konseling amat dibutuhkan. Dalam hal ini berkaitan dengan
konseling karir dan keluarga serta konseling individual. Di samping itu adalah
masalah pemilihan pekerjaan dan pendidikan lanjutan para pemuda tersebut,
karena tidak semuanya ingin bekerja, tetapi banyak dari mereka yang ingin jadi
sarjana.
Dalam pergerakannya, Parson memberi bantuan terhadap orang muda di dua
bidang yakni, bimbingan pekerjaan dan bimbingan pendidikan. Dengan ilmu yang

12
dimilikinya (bidang matematika, engeneering, politik, ekonomi, dan hukum), Parson
memberikan layanan bimbingan berupa:
a) menelusuri aspek-aspek internal di dalam diri klien seperti minat, bakat, dan
kemampuan;
b) menelusuri aspek-aspek eksternal yang berada di sekitar klien seperti faktor
sosial ekonomi, masalah keluarga, dan sebagainya;
c) menggali upaya-upaya pengembangan pendidikan dan karir klien ke masa
depan dihubungkan dengan masalah lapangan kerja dan pendidikan yang
tersedia melalui berbagai informasi.
Gerakan bimbingan pekerjaan (Vocational Guidance) yang dipelopori
Parson ini mencapai gema di tnigkat nasional pada tahun 1910 dengan
diadakannya Konferensi Nasional I yang disponsori oleh BCC (Boston Chamber
of Commerce) pada bulan Maret 1910. Inil ah titik keunggulan vocational
guidance sehingga seluruh bangsa dapat mengetahui akan kegunaan bimbingan
tersebut.

2. Akar Sejarah Kedua


Perkembangan sejarah kedua terjadi pada awal abad ke-20, dengan adanya
konseling sekolah. Pada awalnya tujuan para konselor di sekolah ini adalah
meningkatkan kewarganegaraan. Jesse B. Davis adalah orang pertama yang membuat
program bimbingan secara sistematik di sekolah-sekolah public. Pimpinan The Grand
Rapids, Michigan, Sekolah Sistem tahun 1907 menganjurkan guru-guru mengarang
Bahasa Inggris dikelas-kelas mengajar muridnya sebuah pelajaran bimbingan
seminggu sekali dengan tujuan membangun karakter dan mencegah terjadinya
permasalahan. Hal ini dipengaruhi oleh para pendidik Amerika seperti Horace Mann
dan John Dewey. Davis meyakini bahwa sistem demikian akan membantu
menyembuhkan sakit masyarakat Amerika.

13
3. Akar Sejarah Ketiga
Perkembangan sejarah ketiga dari perkembangan konseling psikologi tidak
dapat dilepaskan dari Gerakan Kesehatan Mental (Mental Hygiene Movement) pada
awal abad ke-20. Gerakan ini amat penting bagi konseling psikologi dan vocational
guidance Karena beberapa hal yaitu sebagai berikut:
Pertama, untuk memperbaiki mental generasi muda dan para siswa sekolah
yang mengalami berbagai trauma perang dan gangguan mental lainnya, sehingga sulit
jika hanya dengan pendekatan bimbingan dan konseling.
Kedua, untuk mempelajari berbagai faktor penyebab baik internal maupun
eksternal. Misalnya seberapa jauh trauma perang masih berkesan pada klien, atau
apakah karena faktor bawaan sehingga seseorang mengalami gangguan jiwa. Selain
itu apakah kesulitan belajar siswa disebabkan kondisi keluarga yang tidak kondusif
bagi perkembangan kepribadian anak, serta perlunya meneliti faktor kemampuan dan
minat sekolah.

4. Akar Sejarah Ke-4


Gerakan Psikometrika (The Psychometric Movement) yang ditandai oleh :
a. Munculnya studi tentang perbedaan individu (individual differences)
b. Gerakan pertama muncul di Perancis oleh Alfred Binet dengan
pengukuran intelegensi Binet Simon tahun 1905
c. Dikembangkan alat tes psikologi untuk PD I dengan tujuan rekruitmen
cakon tentara oleh Waltetr Dill Scott yang disebut Army’s Committee on
Classification of Personal.

5. Akar sejarah ke – 5
a. berkembangnya konseling dan psikoterapi yang non-medikal dan
nonpsikoanalitik dari Carl R. Roger dengan bukunya yang terkenal
“Counseling and Psychotherapy” pada tahun 1942.

14
b. Timbul gerakan para ahli psikometrika dengan melakukan assessment dan
diagnosis (1930-an).
c. Pada tahun 1955 Donald Super mengembangkan tes psikologi untuk
pekerjaan / karir.

6. Akar sejarah ke-6:


Pengaruh sosial, ekonomi, politik,dan budaya berdampak pada kepribadian
individu. (1946-1950): Mengadministrasi Para Veteran.
Setelah PD II, para veteran menghadapi masalah pribadi dan pekerjaan, oleh
karena itu dibutuhkan layanan psikologis lebih banyak lagi. Hal ini berpengaruh
terhadap kuantitas dan kualitas ahli psikologi, khususnya psikologi konseling. Dalam
bidang psikologi konseling bagi veteran tersebut dibutuhkan tiga program utama
untuk rehabilitasi, yaitu:
1) pendidikan;
2) pekerjaan;
3) penanganan masalah emosional.
Tujuan program-program tersebut agar psikologi mendapat pengakuan publik.
Pada tahun 1950, American Psychologist Association (APA) membentuk divisi-divisi
12 dan 17 yaitu, Psikologi Klinis dan Guidance and Counseling. Selanjutnya
diadakan training untuk mencapai tingkat doktor psikologi di kedua bidang. Divisi 17
adalah Bimbingan dan Konseling (Guidance and Counseling) yang memiliki tugas di
bidang-bidang pendidikan, pekerjaan, dan penyesuaian diri (personal adjustment).
Sementara itu konseling sendiri memberikan layanan psikologis (treatmet) terhadap
orang normal atau mendekati normal (near normal).

15
C. Makna Sosial Konseling
Pada tahun awal kemunculan psikiatri, jelas sekali bahwa penekanan dalam
perawatan psikiatrik pada waktu itu adalah kontrol terhadap individu yang dipandang
mengacaukan jalannya masyarakat. Walaupun terjadi banyak perubahan dalam
psikiatris, namun hingga saat ini para psikiatris memiliki kekuatan untuk melakukan
perumahsakitan. Sedangkan di sisi lain, konselor aliran humanistik memiliki tujuan
”self actualization” (aktualisasi diri) dan berasumsi bahwa klien mereka memiliki
tanggung jawab terhadap hidup dan tindakan mereka. Ada kecenderungan yang
sangat kuat dalam diri konselor atau organisasi konseling untuk secara eksplisit
menempatkan diri mereka pada kebebasan dan liberalisasi individu diakhir kontinum
ini. Walaupun demikin, dalam praktiknya masih terdapat tekanan berkenaan dengan
arah keyakinan dan kontrol sosial dalam setiap situasi konseling. Yang lebih konkret
lagi adalah nilai dan kepercayaan konselor berkenaan dengan apa yang bisa atau tidak
bisa diterima secara sosial dalam diri seorang klien. Yang lebih samar adalah
pengaruh penyandang dana layanan konseling, terutama dalam setting konseling
seperti sekolah, organisasi bisnis atau lembaga swadaya masyarakat, tempat klien
tidak akan dipungut bayaran untuk layanan yang mereka perlukan.
Beberapa penulis menganggap pendekatan mereka terhadap konseling atau
psikoterapi adalah sebagai sarana untuk menyajikan kritik terhadap eksistensi norma
sosial atau sebagai cara untuk memunculkan perubahan sosial. (Kovel 1981) seorang
psikoanalisis radikal misalnya, telah menyatkan bahwa teori Freudian klasik
mempresentasikan alat yang luar biasa untuk perubahan politik, dan merasa sedih
dengan cara para teoretikus generasi kedua post-Freudian, khususnya di Amerika. Dia
menyatakan :
Apa yang baik dalam Freud, yaitu kemampuan kritisnya untuk melihat di
bawah sistem yang telah mapan, jika tidak dapat dikatakan melihat ke belakang,
maka harus dibuang. Sedangkan apa yang sesuai dengan hubungan kapitalis tingkat

16
tinggi atau advanced capitalist relations, yaitu pelepasan sedikit hasrat yang
dibarengi dengan kontrol teknis dan penyimpangan, harus diperkuat.
Argumen yang menyatakan bahwa sisi radikal teori Freud telah hilang juga
dinyatakan oleh Holland (1977), sedangkan ide konseling atau terapi sebagai sarana
perubahan sosial dimunculkan oleh Rogers (1978). Dalam praktik kontemporer,
aliansi antara konseling dan aksi sosial terwujud secara efektif oleh konselor feminis
dan gay serta para praktisi dari grup minoritas. Tetapi, usaha meradikalisasi konseling
ini juga menghadapi konfrontasi yang berujung pada pencarian perubahan sosial
melalui media dengan mengindividualisasikan dan mempsikologiskan permasalahan
sosial (Conrad, 1981)
Ada aspek kritis lain karakteristik sosial konseling yang berhubungan dengan
pembagian kekuatan antara konselor dank lien. Secara historis, hubungan konselor-
klien telah mengidentikkan diri dengan hubungan dokter-pasien atau pendeta-jamaah.
Secara tradisional, dokter dan pendeta dilihat sebagai figur pakar dan otoratif, dan
semua orang yang berkonsultasi dengan mereka, berharap diberitahu apa yang harus
mereka lakukan. Sebaliknya, dalam dunia konseling, banyak praktisi yang
mendukung konsep “menguatkan” pasien dan hingga tingkat tertentu setuju dengan
apa yang dikatakan oleh Carl Rogers bahwa “klienlah yang mengetahui apa yang
benar”. Disamping itu, situasi dalam sebagian besar wawancara konseling juga
memproduksi aspek kekuatan hubungan dokter-pasien. Pertemuan diadakan di daerah
konselor yang secara otomatis memiliki kekuatan untuk melanjutkan atau mengakhiri
sesi.
Karakteristik sosial konseling menyebar ke dalam kerja konselor melalui tiga
cara. Pertama, tindakan ingin menemui konselor dan proses perubahan yang muncul
dari konseling akan selalu memiliki efek sosial dalam dunia si klien. Kedua,
kekuatan dan status seorang konselor bersumber dari fakta bahwa ia menjalankan
peran yang memiliki otoritas sebagai “penolong” atau “penyembuh”. Penyembuhan
atau pertolongan yang secara spesifik diadopsi oleh konselor tergantung pada konteks
kultural yang ada. Contohnya, terapis yang ada di rumah sakit akan memakai bahasa

17
sains untuk mendeskripsikan pekerjaan mereka, sedangkan mereka yang bekerja di
klinik holistik atau pengobatan alternatif akan menggunakan kalimat pertumbuhan
dan spritualitas. Ketiga, dimainkannya berbgai model interaksi sosial yang mereka
gunakan dalam keseharian dalam hubungan antara klien dan konselor.

18
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :

 Awal mula konseling dalam perspektif kultural diawalai dengan munculnya


Trade in Lunacy dimana Pada waktu itu, masalah dalam hidup ditangani dari
perspektif agama yang diimplementasikan pada tingkat komunitas lokal. Dalam
cara hidup pada waktu itu, kegilaan atau mereka yang sangat terganggu
ditoleransi sebagai bagian dari komunitas. Masalah interpersonal atau
emosional dengan level yang lebih rendah ditangani oleh pendeta lokal dengan
pengakuan dosa. merujuk tradisi penyembuhan religius ini sebagai “obat bagi
jiwa”, dan aspek terpenting dari obat jiwa tersebut adalah pengakuan dosa yang
kemudian diikuti oleh penyesalan.
 Awal Mula Konseling Dalam Perspektif Historis yaitu Konseling mulai
berkembang pada awal tahun 1900, ketika terjadi reformasi sosial dan
pendidikan karena kondisi masyarakat yang saat itu sedang ‘sakit’. Di akhir
abad 19 ini terjadi pergerakan reformasi sosial di Amerika. Dalam pergerakan
ini, para aktifis sosial menentang dan mendesak pemerintah agar lebih humanis
dalam memperlakukan masyarakat, baik itu para imigran, kaum miskin, para
penganggur, juga orang yang terganggu secara mental. Para pionir dalam
konseling (yang selanjutnya disebut ‘guidance’) ini kebanyakan para guru dan
para pembaharu. Mereka memfokuskan pengajaran kepada anak-anak dan para
pemuda. Tujuannya adalah membantu anggota masyarakat agar lebih peka dan
menghargai diri mereka sendiri, orang lain, dunia kerja, dan kehidupan
berwarga negara. Selanjutnya, akar konseling ditinjau dari perspektif historis,
dapat dilihat pula dari : Akar Sejarah Pertama (1908-1950, Akar Sejarah Kedua,
Akar Sejarah Ke tiga, Akar Sejarah Ke empat dan Akar Sejarah Ke lima.

19
 Makna Sosial Konseling : Secara historis, hubungan konselor-klien telah
mengidentikkan diri dengan hubungan dokter-pasien atau pendeta-jamaah.
Secara tradisional, dokter dan pendeta dilihat sebagai figur pakar dan otoratif,
dan semua orang yang berkonsultasi dengan mereka, berharap diberitahu apa
yang harus mereka lakukan. Sebaliknya, dalam dunia konseling, banyak praktisi
yang mendukung konsep “menguatkan” pasien dan hingga tingkat tertentu yaitu
klienlah yang mengetahui apa yang benar. Disamping itu, situasi dalam
sebagian besar wawancara konseling juga memproduksi aspek kekuatan
hubungan dokter-pasien. Pertemuan diadakan di daerah konselor yang secara
otomatis memiliki kekuatan untuk melanjutkan atau mengakhiri sesi

B. Saran
Pembaca yang budiman, semoga makalah ini dapat dijadikan salah satu
referensi dalam pembelajaran Psikologi Konseling khususnya pada pembahasan
“Akar Konseling: Tinjauan Kultural dan Historis”. Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna, kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca sekalian sangat penulis harapkan guna kesempurnaan
makalah ini di masa mendatang.

20
DAFTAR PUSTAKA

Hartono dan Boy Soedarmadji. 2012. Psikologi Konseling Edisi Revisi. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

McLeod, John. 2010. Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus.

Dialihbahasakan oleh: A. K. Anwar. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Prayitno dan Erman Amti. 2009. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.

Jakarta: PT Rineka Cipta.

Wardhani, Nurul. 2008. Kajian Historis Mengenai Konseling Di Dunia.

Jatinangor: Universitas Padjadjaran.

Zulfan, saam. 2013. Psikologi Konseling, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

http://belajarpsikologi.com/pengertian-psikologi/ diakses pada tanggal 05 maret

2015 ( pukul 06 : 49 )

https://nurhalimahzakki.wordpress.com/2013/05/16/psikologi-konseling/

diakses pada tanggal 04 maret 2015 ( pukul 20 : 54 )

21

Anda mungkin juga menyukai