Dosen pengampu:
Disusun oleh:
Anshori
David Kurnia
Hakki Pratama
FAKULTAS USHULUDDIN
2022
KATA PENGANTAR
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
B.PERMASALAHAN
C.TUJUAN PERMASALAHAN
1
Prof. Dr. H. Syamruddin Nasution, M. Ag., sejarah peradaban islam (depok:rajawali pers, 2022),
hlm 153.
BAB II
PEMBAHASAN
3
Fachruddin,Fuad Muh. Perkembangan Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1985
menguasai daerah-daerah syam termasuk pusat pemerintahan Dinasti Umayyah.
Upaya pembersihan keturunan Dinasti Umayyah serta penge-jaran terhadap
khalifah Marwan II terus dilakukan.Akhirnya, pada tahun 123 H./750M. pasukan
Abbasiyah dibawah pimpinan Shaleh bin Ali berhasil membunuh khalifah
Marwan II. Dengan terbunuhnya khalifah Marwan II, maka berakhirlah kekuasaan
Dinasti Umayyah dalam panggung sejarah peradaban ummat Islam.
Disisi lain, kemajuan politik yangterjadi pada masa Dinasti Abbasiyah ini adalah
masuknya orang-orang Persia ke dalam pemerintahan. Dinasti ini telah
memberikan peluang yang cukup besar kepada orang-orang Mawali keturunan
Persia untuk menduduki jabatan-jabatan penting dan strategis seperti jabatan
Wazir.Dengan demikian, pengaruh Persia semakinsignifikan dalam tatanan
kehidupan politik pada masa itu. Kehidupan a-la Persia menjadi trend setter, baik
pemikiran mau-pun gaya hidup. Hal ini berlaku tidak hanya pada kalangan
masyarakat awam, akan tetapi juga terjadi di kalangan elit pemerintahan.
Saat para Wali, Amir, dan lain-lain termasuk kalangan istana makin kaya rakyat
justru makin lemah dan miskin.Dengan adanya independensi dinasti-dinasti
tersebut perekonomian pusat menurun karena mereka tidak lagi membayar upeti
kepada pemerintahan pusat. Sementara itu, disisi lain meningkatnya
ketergantungan pada tentara bayaran. Disamping itu, faktor yang penting yaitu
merosotnya moral para Khalifah Abbasiyah pada zaman kemunduran, serta
melalaikan salah satu sendi Islam, yaitu jihad.
Dalam buku yang ditulis Abu Su‘ud, disebutkan faktor-faktor intern yang
membuat Daulah Abasiyah lemah kekudian hancur antara lain :
(1) adanya persaingan tidak sehat diantara beberapa bangsa yang terhimpun
dalam Daulah
Abasiyah, terutama Arab, Persia, dan Turki.
2. Eksternal
Abbasiyah di Mesir itu akhirnya diambil oleh Sultan salami dan Turki Usmani
ketika meguasai Mesir tahun 1517, dengan demikian, maka hilanglah Khalifah
Abbasiyah untuk selamnya.
Pada mulanya Ibu kota negara adalah Kufah. Namun untuk lebih memantapkan
dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Manshur memindahkan ibu
kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota
Persia,Ctesipon, tahun 762 M. Dengan demikian pusat pemerintahan Dinasti
Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.5
4
Badri Yatim,Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1993),hlm.277.
5
Syed Mahmudunnashir, Islam KonsepsidanSejarahnya(Bandung :RemajaRosdaKarya, 1994),
h. 246.
adalah semacam balai ilmu dan perpustakaan. Di situ para cendikiawan dan
peneliti sering berkumpul untuk menerjemah dan diskusi masalah ilmiah.
Khalifah Harun Ar-Rasyid kemudian Al-Makmun secara aktif selalu ikut dalam
pertemuan-pertemuan itu.
D.Memajukan Ekonomi
Di tinjau dari segi ekonomi letak kota ini sangat Menguntungkan, sebab di
situ terletak sungai Tigris yang Dapat menghubungkan kota dengan negara lain.
Sampai ke Tiongkok untuk ekspor barang, dan dapat mendatangkan Segala
sesuatu yang diperlukan baik hasil lautan, maupunBahan makanan yang
dihasilkan oleh Mesopotamia, Armenia, Dan daerah-daerah sekitarnya sebagai
bahan impor. Dengan Adanya aktivitas ekspor-impor itu maka perekonomian
Daulah Abbasiyah dapat berkembang. 6
Sepuluh tahun terakhir dari pemerintahan al-Mansur Adalah masa aman dan
damai, masa kemakmuran yang Melimpah ruah sehingga seluruh perhatian telah
dapat Sepenuhnya dicurahkan bagi perkembangan ilmu Pengetahuan,
kesusasteraan dan kebudayaan.
Sejak awal berdirinya, kota ini sudah menjadi pusat Peradaban dan
kebangkitan ilmu pengetahuan dalam Islam. Al-Mansur memerintahkan
penerjemahan buku-buku ilmiah Dan kesusasteraan dari bahasa asing, yaitu India,
Yunani Kuno, Bizantium, Persia dan Syria ke dalam bahasa Arab. Para Peminat
ilmu dan kesusasteraan segera berbondong-bondong Datang ke kota itu7. Dari
konteks ini dapat dipahami bahwa Urbanisasi merupakan suatu yang tidak dapat
terelakkan.
6
Ibid., h. 108.
7
Badri Yatim, op.cit., h. 278.
Dukungan lain bagi maraknya perkembangan ilmu Pengetahuan pada masa
al-Mansur karena keluarga Bermakid (Barmakiyah) yang kepala keluarganya
bernama Khalid bin Barmak diangkat menjadi wazir oleh Khalifah. Mereka
dikenal Mempunyai perhatian besar pada ilmu pengetahuan.8 Dalam Hal ini al-
Mansur mendirikan Departemen Study Ilmiah dan Penterjemahan di pusat ibu
kota Baghdad. 9
Andil al-Mansur yang lain dalam meletakkan dasar yang Kokoh bagi
aktivitas pengembangan ilmu pengetahuan dengan Mendirikan Departemen Study
Ilmiah dan Pernterjemahan, maka Aktivitas kegiatan di bidang penerjemahan
sudah mulai Terlaksana pada masa khalifah al-Mansur dan mencapai puncak
Kejayaannya pada masa cucunya khalifah al-Makmun. Keberhasilan al-Mansur
yang lain bagi pengokohan Daulah Abbasiyah adalah kerjasamanya yang baik
dengan Golongan Mawali, dalam hal ini keluarga Barmaki. Sebagai Seorang
Persia mereka pencinta ilmu pengetahuan dan Administrator yang baik, maka al-
Mansur mengangkat mereka Sebagai pendukung utamanya, di antaranya diangkat
sebagai Wazir (Perdana Menteri). Maka jika Daulah Abbasiyah Mencapai puncak
kejayaannya pada masa khalifah al-Makmun, Hal itu tidak dapat dilepaskan dari
dukungan orang Persia ini.
pada “abad kesembilan ada dua nama Raja besar yang gemilang dalam urusan-
urusan dunia; Charlemagne10 di barat dan Harun al-Rasyid di timur”. 11 Di antara
kedua raja itu, Harun meruupakan raja yang paling gemilang dan paling berkuasa
yang dapat mengembangkan kebudayaan yang lebih tinggi. Kedua raja tersebut
juga mengadakan hubungan persahabatan yang didorong oleh kepentingan
masing-masing. Charles mengharapkan Harun menjadi sekutunya menghadapi
Bizantium yang juga merupakan musuh Harun, juga Harun mengharapkan
8
Syed Mahmudunnasir, op.cit., h. 254.
9
Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),
h. 308.
10
Charlemagne disebut juga Charles (Karel) Agung, raja Franka yang
kemudian menjadi kaisar Romawi.
11
Syed Mahmudunnasir, op.cit., h. 259.
Charles menjadi sekutunya menghadapi penguasa bani Umayyah di Spanyol, juga
musuh Charles12
Sebagai gambaran, bahwa kota Baghdad muncul sebagai kota yang terindah
dan termegah di dunia waktu itu dapat dilihat dari yang dilukiskan oleh penyair
cemerlang Anwari, di antaranya dia bersenandung: “Selamat, selamatlah kota
Baghdad, kota ilmu dan seni. Tiada kota lain menandinginya di seluruh
dunia.Iklimnya yang sehat menyamai hembusan angin. Temboknya kemilau
laksana permata dan batu delima. Tanahnya subur berbaur ambar. Taman-taman
penuh bidadari, menari kemilau. Laksana sinar mentari di angkasa.”14
Kota Baghdad menjadi lebih masyhur lagi, karena perannya sebagai pusat
perkembangan peradaban dan kebudayaan Islam, sehingga banyak para ilmuwan
dari berbagai penjuru datang ke kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang
ingin mereka tuntut.
12
Ibid., 259-260.
13
Philip K. Hitti, Capital Cities of arab Islam (Minneapolis: University of
Minesota Press, 1973), h. 308.
14
Syed Amir, Api Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 556-558
Ada tiga keistimewaan kota ini, yaitu: pertama, prestise politik, kedua,
supremasi ekonomi, ketiga, aktivitas intelektual. Tidak mengherankan jika ilmu
pengetahuan dan sastra berkembang sangat pesat di wilayah ini. Banyak buku
filsafat yang sebelumnya dipandang sudah “mati” dihidupkan kembali dengan
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.15
15
Ibid.,h. 91.
Dapat lebih ditegaskan kemegahan kota Baghdad dan kemewahan hidup di istana
merupakan sumber inspirasi tersendiri yang merangsang berkembangnya ilmu
pengetahuan dan intelektual di tangan para ilmuwan. Seni tari dan seni suara di
tangan penari-penari dan penyanyi- penyanyi terkenal pada masa itu. Juga
berkembang seni sajak di tangan penyair-penyair yang sangat masyhur dalam
kesusasteraan Islam. 16
Hal di atas untuk ukuran saat itu sudah sangat mewah sebagai gambaran
betapa sejahteranya hidup para cendikiawan dan para sarjana saat itu. Tidak
16
Jamil Ahmad, op.cit., h. 308.
17
Ibid., h. 309.250 Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya
(Bandung: Rosda Bandung, 1988), h. 264-265.
mengherankan di tangan merekalah berkembang berbagai cabang ilmu
pengetahuan, intelektual, seni, dan agama sekaligus.
18
Ibid., h. 315.
Sebagai Syekh penerjemah pada saat itu adalah Hunain bin Ishak, salah
seorang sarjana yang paling besar dan mulia di zamannya. Dia adalah seorang
Kristen Nestarian yang pada waktu mudanya bekerja sebagai apoteker pada
seorang dokter pribadi khalifah. Kecakapan Hunain sebagai penerjemah
ditegaskan oleh berita yang menyatakan bahwa dia sebagai penerjemah menerima
upah sebanyak 500 dinar setiap bulan, melebihi dari yang diperoleh para
penerjemah lainnya. Gaji tersebut merupakan nilai yang cukup mahal untuk
ukuran saat itu. Selain itu al-Makmun membayar buku-buku terjemahan dengan
emas seberat kitab-kitab yang diterjemahkan. Tetapi puncak kemasyhuran Hunain
di kemudian hari bukan saja sebagai penerjemah, namun juga sebagai dokter.
Khalifah al- Makmun mengangkatnya sebagai dokter pribadi. Maka kombinasi
dari “Balai Ilmu” sebagai akademi, sebagai balai penerjemah dan sebagai
perpustakaan, menjadikan kota Baghdad yang megah itu menjadi kotaintelektual
dan sebagai profesornya masyarakat Islam yang diminati oleh para ilmuwan,
pujangga, sastrawan, dan tokoh- tokoh masyarakat lainnya. Secara berbondong-
bondong mereka datang ke kota itu untuk mendiskusikan berbagai cabang ilmu
pengetahuan dan menerjamahkan buku ke dalam bahasa Arab.19
Dapat lebih ditegaskan lagi, bahwa ada beberapa faktor untuk mewujudkan
terciptanya perkembangan ilmu pengetahuan dan intelektual.
Ketiga, penguasa negara adalah orang yang bermental ilmiah. Dari mereka
diharapkan sokongan dan dukungan menyediakan sebagian fasilitas negara untuk
pengembangan ilmu dan imtelektual, seperti khalifah al-Mansur, Harun al-
Rasyid, dan al-Makmun. Mereka menjadi mesin penggerak berkembangnya ilmu
pengetahuan. Pada masa mereka lahirlah berbagai cabang ilmu pengetahuan
beserta tokoh- tokohnya.
19
Philip K. Hitti, Capital, op.cit., h. 308.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA