Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laringoskopi langsung (laringoskop direct) merupakan pemeriksaan laring
secara langsung dengan menggunakan spekulum. Pemeriksaan ini menggunakan
visualisasi secara langsung pada laring, berbeda dengan gambaran yang dihasilkan
dengan kaca pada laringoskopi tak langsung (laringoskop indirect). Perbedaan ini
menjadi sedikit berkurang dengan kemampuan melihat laring dengan
mempergunakan laringoskop serat optik (lentur), bronkoskop dan teleskop.
Gambar laring direfleksikan dari permukaan laring ke mata pemeriksa.
Sumber cahaya biasanya terletak di bagian distal laringoskop yang digunakan
sekarang, dan sudut antara sumber cahaya yang mengenai permukaan laring
dengan sorotan pantulan cahaya sangat besar.
Laringoskopi langsung (laringoskop direct) merupakan pelengkap untuk
pemeriksaan laringoskopi tak langsung (laringoskop indirect), dan bukan sebagai
penggantinya.. Pada laringoskopi langsung gambar tidak terbalik, gambaran yang
dihasilkan merupakan gambaran yang asli dan sesuai dengan posisi tubuh pasien.
Tujuan dan keuntungan dari pemeriksaan laringoskopi langsung
(laringoskop direct) adalah dapat melihat laring secara langsung untuk mendeteksi
adanya tumor, benda asing, kerusakkan saraf atau struktur lain atau kelainan-
kelainan lain. Terdapat dua cara pemeriksaan laringoskopi langsung (laringoskop
direct) yang saat ini dilakukan agar dapat memeriksa laring secara langsung.
Pertama, dengan menggunakan selang yang lentur (fleksibel), yang dibantu
dengan suatu alat serat optik yang disusupkan melalui hidung dan dimasukkan
terus hingga masuk ke dalam tenggorokan, sedangkan metode lainnya adalah
dengan menggunakan selang kaku yang dimasukkan langsung dari mulut hingga
ke dalam laring. Kedua metode ini, pada endoskopnya akan dilengkapi sebuah
lampu dan lensa yang akan digunakan sebagai alat penerangan sehingga
diharapkan akan lebih jelas dalam melakukan evaluasi pada laring serta daerah-
daerah disekitarnya. Selain itu pada selang endoskopik ini juga akan dilengkapi
dengan alat penyedot lendir atau kotoran sehingga akan sangat berguna untuk
membersihkan daerah yang akan dievaluasi, sehingga akan semakin jelas daerah-
daerah disekitar laring yang diperiksa.

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mempelajari, mengetahui serta
lebih memahami tentang pemeriksaan laringoskop direct.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Laring
Pada saat dasar lidah diangkat dengan laringoskop, pinggir bebas epiglotis
bagian superior akan dapat terlihat. Dengan lebih banyak mengangkat dasar lidah,
plika glosoepiglotik dapat terlihat diantara dasar lidah dan permukaan lingual
epiglotis. Plika glosoepiglotik akan memisahkan kedua valekula. Valekula dilapisi
oleh mukosa yang mempunyai jaringan areolar longgar di dalam lamina propia
dan dapat terangkat dari jaringan sekitarnya dengan mudah. Dasar lidah sebagian
besar terdiri dari jaringan limfoid dan terdapat kripta yang agak menonjol pada
tonsil lingual. Dasar lidah dan valekula mengandung banyak kelenjar
seromusinosa. Vena di bagian superfisial dasar lidah dan valekula sering
menonjol. Epitel permukaan bervariasi dari epitel gepeng berlapis tanpa
pertandukan sampai epitel torak berlapis semi bersilia.
Permukaan lingual epiglotis bagian superior merupakan permukaan
laringeal epiglotis, pita suara dan sinus piriformis yang dilapisi oleh epitel gepeng
berlapis, sedangkan sisa endolaring lainnya dilapisi oleh epitel pernafasan.
Hampir dapat dipastikan bahwa tidak mungkin akan dapat rnembedakan
permukaan epitel gepeng berlapis tanpa pertandukan dengan epitel pernafasan
dengan mata biasa atau dengan pembesaran hanya dengan menggunakan cahaya
yang dipantulkan dari permukaan epitel tanpa menggunakan peralatan
mikroskopik.
Tepi bebas epiglotis berbentuk cembung, epitelnya melekat erat pada
tulang rawan, dan merupakan bagian dari mukoperikondrium yang sesungguhnya.
Tulang rawan fibroelastik dari epiglotis yang berwarna kuning akan dapat terlihat
dari tepi bebasnya. Mukosa akan terlihat melekat secara longgar pada tulang
rawan epiglotis lingual. Permukaan lingual epiglotis lunak dan epitelnya akan
dapat digerakkan dari tulang rawan. Mukosa melekat erat pada permukaan linneal
epiglotis. Tulang rawan pada epiglotis ini akan mempunyai banyak celah-celah
kecil, dan mukoperikondrium pada permukaan laringeal epiglotis cenderung
masuk ke dalam defek pada tulang rawan tersebut, sehingga secara visual akan
terlihat permukaan epiglotis agak berbintik-bintik.
Tuberkulum adalah struktur yang menonjol di garis tengah epiglotis pada
permukaan laringeal epiglotis. Tuberkulum ini terjadi karena bentuk tulang rawan
yang berada tepat di atas tangkai epiglotis sekitar 1 cm di atas pita suara. Jika
tuberkulum ini sangat besar, maka akan dapat menghalangi komisura anterior
pada laringoskopi tak langsung.

Gambar 1. Anatomi Laring

Plika ariepiglotik terbentang mulai dari pinggir lateral epiglotis sampai ke


aritenoid. Muskulus ariepiglotik yang merupakan pita otot yang tipis akan mengisi
masing-masing plika dan secara bersama-sama menarik epiglotis ke arah posterior
pada saat kontraksi. Otot-otot ini biasanya tidak terlihat pada laringoskopi
langsung. Kadang-kadang terlihat kartilago kuneiform Wisberg di bagian
posterior plika ariepiglotik agak di dalam mukosa. Tulang rawan ini akan dapat
lebih terlihat dengan sedikit penekanan pada mukosa.
Plika ariepiglotik merupakan garis yang memisahkan vestibulum laring
atau endolaring dengan sinus piriformis. Sesuai namanya, sinus piriformis
berbentuk seperti buah per. Puncak akan berada dibagian inferior, sinus piriformis
menuju ke arah lumen esofagus dan akan membentuk seperti corong. Masing-
masing sinus piriformis terletak di antara lamina kartilago tiroid dan kartilago
aritenoid.
Pada inspirasi dalam sinus piriformis akan cenderung tertutup. Pada
fonasi, aritenoid akan berputar dan bergeser kearah medial sehingga sinus
piriformis akan terbuka. Cabang interna dan nervus laring superior yang
meneruskan rasa sakit dari bagian dalam laring terletak jauh di dalam mukosa
dinding anterior sinus piriformis, saraf ini dapat dianestesi dengan menggunakan
anestesi lokal secara topikal, sehingga hantaran saraf terputus lewat mukosa yang
musih utuh.
Pita suara palsu mempunyai permukaan superior yang cembung dan
permukaan inferior yang datar. Pita suara palsu mengandung banyak kelenjar
seromukus di lamina propria dan tampak agak berbenjol-benjol jika dibandingkan
dengan pita suara. Pita suara palsu akan dapat dengan mudah ditekan dengan
ujung laringoskop agar seluruh permukaan superior pita suara yang membentang
hampir sampai ke lamina tulang rawan tiroid akan lebih jelas terlihat. Retraksi pita
suara palsu ke lateral membuat seluruh panjang dan lebar ventrikel tampak
semakin jelas.
Permukaan superior pita suara datar, namun permukaan bagian bawahnya
agak sedikit cekung. Dua pertiga bagian anterior pita suara berupa membran dan
sepertiga bagian posterior sebagian besar terdiri dari prosesus vokalis aritenoid.
Di bagian medial mukosa akan melekat erat dengan prosesus vokalis, dan warna
kuning tulang rawan mungkin akan terlihat bila permukaan bagian medialnya
agak sedikit ditekan.
Pita suara melekat pada kartilago tiroid dikomisura anterior. Lamina
propria dari tepi bebas permukaan superior dan inferior pita suara mempunyai
susunan histologik yang khas. Terdapat ruang potensial antara tunika elastika
interna yang melekat ke m.vokalis (m.tiroaritenoid) dengan tunika elastika
eksterna. Ruang ini dikenal sebagai ruang reinke yang dibatasi oleh linea arkuata
superior pada permukaan superior pita suara dan linea arkuata inferior pada
permukaan inferior pita suara. Ruang reinke ini meluas dari prosesus vokalis
aritenoid sampai batas anterior pita suara. Jika terdapat lesi pada tepi bebas pita
suara, ruang ini akan terisi oleh cairan yang dapat melindungi m.vokalis di
bawahnya dan trauma pada saat dilakukan eksisi lesi superfisial mukosa.
Pada waktu fonasi pita suara merapat dengan erat. Pada inspirasi dalam
aritenoid bergeser dan begetar ke lateral, sehingga prosesus vokalis aritenoid akan
langsung bergerak ke lateral, membentuk glotis yang akan terlihat seperti berlian.
Diameter internal jalan napas atas terkecil adalah berada didaerah kartilago
krikoid. Ukuran pita endotrakea dan bronkoskop yang dapat dimasukkan tanpa
menimbulkan trauma dibatasi oleh diameter internal kartilago krikoid. Diameter
internal daerah subglotik ini akan membesar setelah melewati lumen yang
dikelilingi kartilago krikoid.

B. Indikasi Laringoskopi direct


Indikasi Laringoskopi direct atau laringoskopi langsung adalah untuk
memperjelas permasalahan klinik yang berhubungan dengan suara dan laring.
Pasien dengan suara serak yang telah menetap selama 2 sampai 3 minggu,
dimana pada pemeriksaan laringoskop tak langsung tidak dapat dilihat adanya
kelainan, atau keadaan suara serak yang tidak dapat dijelaskan secara tepat dengan
laringoskopi tak langsung, pada keadaan ini harus dilakukan laringoskopi
langsung untuk menyingkirkan adanya lesi yang mungkin hanya akan terlihat
dengan pemeriksaan laringoskopi langsung, misalnya tumor di daerah subglotik.
Selain itu sebagai prosedur yang telah lazim dilakukan dibagian THT-KL,
bahwa semua massa dan lesi yang terdapat didaerah laring dan sekitarnya harus
dilakukan tindakan biopsi jaringan, tindakan ini dilakukan untuk guna
pemeriksaan patologi anatomi jaringan, sehingga dari hasil pemeriksaan jaringan
tersebut akan diketahui jenis dari tumor atau lesi di daerah tersebut. Laringoskopi
langsung pada oleh sebagian ahli dianggap sebagai metode yang aman dan tepat
untuk melakukan biopsi laring. Jika dicurigai adanya tumor ganas, maka tujuan
laringoskopi langsung selain untuk melakukan biopsi, juga dapat digunakan untuk
menentukan perluasan tumor sehingga akan dapat lebih menentukan terapi serta
tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien sehingga pada akhirnya akan
diperoleh hasil kesembuhan yang optimal..
Pengangkat polip pada pita suara, nodul pada pita suara serta biopsi ulkus
pada pita suara juga juga dapat dilakukan dengan direct laring, yang biasanya
akan dilakukan dalam anestesi umum dan menggunakan mikroskop. Demikian
juga papiloma dan tumor jinak laring lainnya, pengangkatan dilakukan dengan
laringoskopi langsung.
Pada kasus yang dicurigai atau telah dipastikan ada benda asing di laring,
laringoskopi langsung perlu dilakukan untuk menemukan dan mengeluarkan
benda asing tersebut. Banyak benda asing di laring yang hanya dapat dikeluarkan
setelah dilakukan trakeostomi. Trakeostomi mungkin diperlukan untuk menjamin
dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat serta untuk menginduksi obat-obat
anestesi umum sehubungan dengan tindakan direct laring yang sedang dilakukan.

Gambar 2. Posisi pasien saat pemeriksaan laringoskop langsung

Pasien dengan trauma leher mungkin memerlukan tindakan laringoskopi


langsung dan juga trakeoskopi serta esofagoskopi untuk menetapkan luas dan
beratnya trauma. Laringoskopi dan trakeoskopi juga dilakukan jika terdapat
trauma tumpul pada leher yang disertai hemoptosis atau adanya emfisema
subkutis, meskipun gambaran laring pada laringoskopi tak langsung tidak dapat
sepenuhnya menunjukkan kelainan yang berarti, untuk menyingkirkan
kemungkinan fraktur trakea atau terpisahnya trakea.
Pada pasien dengan endolaring yang telah mengalami perubahan akibat
trauma, biasanya diperlukan trakeostorni. Setelah trakeostomi, laringoskopi
langsung dapat dilakukan dengan anestesi umum untuk menilai kerusakan dan
merencanakan rekonstniksi laring. Rekonstmksi mungkin memerlukan
laringofisur untuk memperbaiki mukosa endolaring, mereduksi tulang rawan yang
fraktur serta pemasangan bidai internal laring jika memang sangat diperlukan.
Pada trauma yang tidak terlalu berat, mungkin fraktur tulang rawan yang disertai
dengan sedikit laserasi mukosa serta bergesernya tulang rawan, maka pemasangan
bidai internal dapat dipassang dengan bantuan laringoskopi langsung.
Pasien dengan paralisis pita suara yang penyebabnya tidak diketahui, juga
harus dievaluasi dengan laringoskopi langsung, di samping melakukan foto
tengkorak, toraks, esofagus dan laring serta pemeriksaan CT-scan laring.
Pemeriksaan laringoskopi harus dilakukan bersama dengan bronkoskopi,
esofagoskopi dan pemeriksaan nasofaring. Paralisis pita suara harus dibedakan
dengan artritis krikoaritenoid dengan melakukan uji gerakan pasif aritenoid. Pada
paralisis pita suara aku, maka tidak akan dijumpai pembatasan gerakan sewaktu
dilakukan manipulasi pasif pada aritenoid dengan spatula laring. Sedangkan pada
artritis krikoaritenoid, pembatasan gerakannya akan terlihat sangat berat. Namun
juga harus diingat, bahwa pada paralisis pita suara yang telah berlangsung lama
juga akan terlihat sedikit pembatasan gerakan sendi krikoaritenoid karena fiksasi.
Laringoskopi langsung harus dilakukan pada pasien dengan massa di leher
yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik secara teliti, yang disertai pemeriksaan kelenjar liur, nasofaring, faring,
hipofaring, laring, radiografi sinus paranasal, leher, toraks, esofagus dan CTscan
tiroid, maka laringoskopi langsung harus dilakukan bersamaan dengan
bronkoskopi, esofagoskopi, nasofaringoskopi dan biopsy nasofaring secara acak.
Jika evaluasi laring hanya tergantung pada laringoskopi tak langsung, maka lesi
yang tersembunyi pada permukaan laringeal epiglotis, sinus piriformis, daerah
postkrikoid dan subglotik mungkin akan terlewati.

Gambar 3. Alat laringoskop

Evaluasi nafas yang berbunyi pada bayi, memerlukan pemeriksaan


endoskopi, termasuk laringoskopi. Obstruksi jalan nafas di setiap tempat, antara
nares anterior dan bronkiolus, akan dapat menimbulkan nafas berbunyi atau
stridor. Penting untuk mencoba menetapkan anatomi letak lesi, sebelum dilakukan
evaluasi endoskopik. Fase respirasi terjadinya nafas berbunyi terutama tergantung
dari letak obstruksi (Snow). Pada saluran nafas bawah, dilatasi jalan nafas terjadi
saat inspirasi, dan kontraksi jalan nafas akan terjadi saat ekspirasi, maka obstruksi
parsial cenderung akan menimbulkan nafas berbunyi yang lebih jelas sewaktu
ekspirasi. Saluran nafas bagian atas ukurannya tidak berubah karena ada rangka
tulang rawan.
Pada obstruksi parsial jalan nafas atas, inspirasi dengan tekanan
intralumen yang negatif cenderung akan menarik jaringan lunak ke arah lumen,
sehingga akan menambah derajat obstruksi. Nafas akan berbunyi lebih jelas pada
saat inspirasi. Ekspirasi dengan tekanan positif intralumen, akan
mengesampingkan jaringan lunak yang menyumbat ke samping. Obstruksi pada
daerah trakea akan menimbulkan bunyi nafas pada saat inspirasi dan saat
ekspirasi, serta akan menimbulkan bunyi napas (stridor) yang sangat jelas dan
akann terdengar bolak-balik.
Demikian juga, lama masa fase respirasi yang relatif, terutama akan
ditentukan oleh letak obstruksi karena alasan yang sama. Masa inspirasi relatif
cenderung akan lebih besar pada obstruksi jalan nafas atas dan masa ekspirasi
relatif cenderung lebih besar pada obstruksi jalan nafas bawah.
Di antara penyebab obstruksi jalan nafas atas yang telah diketahui dan
ditemukan pada neonatus adalah atresia koana bilateral, celah palatum pada
sindrom Pierre Robin, bersama hipoplasia mandibula dan lidah yang relatif besar,
paralisis pita suara bilateral dan subluksasi aritenoid sekunder akibat trauma dan
atresia laring, atau selaput pada kista laring laring; hemangioma subglotik; lesi
trakea intrinsik, seperti trakeomalasia. Tidak terdapatnya cincin trakea dan
stenosis trakea; serta kompresi trakea ekstrinsik, antara lain dapat disebabkan
karena tumor tiroid, timus, esofagus, mediastinum dan cincin vaskuler. Tetanus
pada bayi baru lahir yang disertai spasme laring biasanya dikenal dari sifatnya
yang khas. Neonatus dengan fistel trakeoesofagus pasti menderita nafas berbunyi
akibat aspirasi, tetapi biasanya tidak ada obstruksi jalan nafas yang sebenarnya.
Selain berhubungan dengan timbulnya bunyi nafas dengan fase respirasi,
lama masa inspirasi dan ekspirasi relatif, perbedaan pokok dalam menentukan
letak lesi, ialah ada atau tidaknya hiperekstensi leher, kualitas suara atau tangis
ada atau tidaknya kesulitan pada saat memberi makan, seringnya terjadi infeksi
paru. Hiperekstensi leher lebih mungkin timbul pada obstruksi supraglotik dan ob-
struksi trakea ekstrinsik. Gejala ini biasanya timbul pada abses retrofaring, adanya
cicin vaskuler, serta tumor yang menekan trakea. Hiperekstensi leher tidak
mungkin terjadi pada obstruksi laring instrinsik. Kualitas suara biasanya normal,
kecuali jika pita suara cacat. Sebagai contoh pada paralisis pita suara bilateral
biasanya suara tangisan normal, sedangkan selaput laring biasanya menyebabkan
suara yang sangat serak.
Kesulitan pemberian makan biasanya terjadi pada lesi ekstrinsik di
esofagus dan trakea, antara lain pada tumor mediastinum dan pada cincin vaskuler
berupa arkus aorta ganda atau arkus aorta kanan dengan ligamentum arteri kiri.
Cacat vaskuler lain berupa anomali arteri inominata dan anomali arteri karotis
komunis kiri, akan dapat menimbulkan obstruksi trakea tanpa kompresi esofagus
(Fearon dan Shortreed). Arteri subklavia kanan aberans mungkin dapat
menimbulkan kompresi esofagus tanpa kompresi trakea.
Stridor akibat kelainan saraf dapat disebabkan oleh miastenia gravis
infantil, glionia pada batang otak dan ensefalitis yang mungkin disertai kesulitan
pemberian makan. Fistel trakeesofagus juga akan mengakibatkan kesulitan yang
berat saat pemberian makan. Sebaliknya, obstruksi laring dan obstruksi
trakeobronkial ekstrinsik jarang bersamaan dengan masalah pemberian makan.
Tetapi, setiap bayi yang dyspne berat sangat mungkin disebabkan karena aspirasi
cairan. Pneumonitis yang disebabkan penyakit lain cenderung lebih sering terjadi
pada obstruksi trakea dan bronkus, sedangkan pada laringomalasia jarang.
Pada pemeriksaan auskultasi dada dan leher, untuk menentukan titik
intensitas maksimum dari stridor, mungkin juga dapat memberi informasi yang
berharga mengenai letak obstruksi. Selain itu mungkin juga terdapat tanda-tanda
emfisem obstruktif atau atelektasis disebelah distal dari tempat obstruksi.
Pemeriksaan radiografi yang berguna untuk penatalaksanaan stridor pada
bayi dan anak-anak adalah foto leher lateral serta foto toraks posteroanterior dan
lateral. Foto lateral leher akan dapat memperlihatkan massa di retrofaring atau
masa dihipofaring yang tidak diduga sebelumnya, atau adanya benda asing di
daerah esofagus. Foto dada dapat memperlihatkan dengan baik gambaran kolom
udara trakea, yang mungkin akan terdesak ke anterior oleh cincin vaskuler.
Massa pada daerah mediastinum mungkin juga akan dapat terlihat pada
tehnik pemeriksaan foto ini. Bukti adanya emfisem obstruktif atau atelektasis
mungkin juga akan dapat terlihat pada foto posisi posteroanterior. Pemeriksan
esofagografi dengan kontras yang larut dalam air akan dapat memperlihatkan
fistel trakeoesofagus, benda asing di esofagus, kompresi esofagus oleh kista
mediastinum, tumor atau cincin vaskuler. Trakeografi dan bronkografl pada waktu
laringoskopi, trakeoskopi dan bronkoskopi akan dapat memberikan informasi
yang sangat berharga mengenai adanya obstruksi ekstrinsik maupun obstruksi
instrinsik pada saluran trakeobronkial (Perguson dan Flake).
Keadaan pasien pada waktu stridor pertama kali ditemukan, yang
dihubungan dengan informasi tentang letak lesi, akan sangat membantu ahli
endoskopi untuk melakukan penatalaksanaan permasalahannya dengan efektif. Di
kamar bersalin, atresia koana dan sindrom Pierre Robin akan segera menimbulkan
kesukaran bernafas. Jika salah satu kelainan ini terdapat pada bayi baru lahir yang
berupaya untuk bernafas tetapi tidak dapat mencukupi ventilasi paru, pertolongan
jalan nafas melalui mulut dapat menghilangkan obstruksi.
Pada laringomalasia terjadi prolapsus epiglotis dan aritenoid yang lentur
ke dalam glotis pada saat inspirasi, obstruksi ini dapat dihilangkan dengan cara
membuka pita suara dengan laringoskop. Meskipun hemangioma subglotik
mungkin menimbulkan obstruksi jalan nafas atas pada waktu lahir, penyakit ini
lebih sering tanpa gejala, sampai bayi tersebut menderita infeksi jalan nafas atas
untuk pertama kalinya. Hemangioma ini tidak boleh dibiopsi karena mungkin
menyebabkan perdarahan di trakea yang tidak dapat diatasi. Terapi kortikosteroid
mungkin dapat mengecilkan besarnya lesi (Cohen dan Wang). Semprotan dengan
laser CO2 sekarang merupakan terapi pilihan (Simpson dkk).
Laringomalasia merupakan penyebab stridor yang paling sering pada bayi
baru lahir dan dapat membaik dengan bertambahnya umur. Jika terdapat stridor
pada bayi baru lahir, tetapi pertukaran ventilasi cukup adekuat untuk menunjang
hidupnya, maka evaluasi secara endoskopik sebaiknya ditunda. Jika terdapat
perbaikan secara berangsur, penyelidikan mungkin terbatas pada pemeriksaan
radiologik saja. Seandainya derajat obstruksi jalan nafas mernburuk atau tidak
membaik dalam 2-3 bulan, evaluasi secara endoskopik segera harus dilakukan.
Trakeomalasi didiagnosis secara endoskopik bila terjadi perbaikan nafas
setelah bronkoskop melewati daerah yang lemah Trakeomalasi juga dapat sembuh
dengan bertambahnya usia. Stenosis trakea dapat didiagnosis bila bronkoskop
tidak dapat melewati daerah tersebut. Tidak terdapatnya cincin trakea tampak
seperti stenosis, tetapi bronkoskop dapat melewati daerah tersebut dengan mudah.
Trakeoskopi dapat memperlihatkan kompresi yang berdenyut pada dinding
anterior dan lateral trakea akibat kelainan vaskuler. Trakeografi juga dapat
memperlihatkan kompresi trakea. Angiografi secara jelas dapat melukiskan jenis
kelainan vaskuler yang terjadi (Seda dan Snow).
Akhirnya, laringoskopi langsung harus dilakukan pada setiap tindakan
bronkoskopi agar masalah pada saluran nafas atas yang mungkin berhubungan
atau ada di samping gejala dan tanda kelainan pada saluran nafas bawah tidak
terlewatkan. Demikian juga, laringoskopi langsung selalu dilakukan jika mungkin
untuk mempertahankan jalan nafas dengan melakukan intubasi endotrakea atau
memasukkan bronkoskop sebelum dilakukan trakeostomi pada obstniksi jalan
nafas atas, sehingga trakeostomi tidak lagi merupakan tindakan darurat melainkan
tindakan yang dapat dilakukan dengan tenang dan benar.

C. Tehnik Laringoskopi Langsung


Ada dua cara melakukan laringoskopi langsung yang biasa digunakan.
Pertama laringoskop Jackson standar atau jenis komisura anterior dipegang
dengan tangan kiri operator yang tidak kidal. Teknik ini cocok untuk prosedur
diagnostik, yang relatif lebih banyak diperlukan gerakan dari laringoskop. Teknik
ini juga digunakan untuk bermacam-macam tujuan terapi. Pada teknik kedua,
laringoskop dipegang oleh alat penopang. Laringoskopi langsung dengan
memakai trukroskop dan digunakan mikroskop dan anestesi umum. Teknik ini
lebih cocok untuk tujuan terapi, tetapi penting juga untuk diagnostik. Dengan cara
kedua, kecermatan observasi atau manipulasi relatif lebih penting daripada
gerakan laringoskop dan lapangan penglihatan. Dengan cara kedua, manipulasi
bimanual dapat dilaksanakan, dan cara ini lebih cocok untuk manipulasi yang
lama dan luas (Gambar 65-4).
Sering kedua cara ini dikombinasikan, sehingga penelitian awal terhadap
laring dan hipofaring dilakukan dengan laringoskop yang dipegang oleh tangan,
dan kemudian laringoskop dengan penopang dan mikroskop digunakan untuk
mengevaluasi mukosa atau tindakan bedah endolaring.
Cara lain yaitu pasien dibaringkan dalam posisi Boyce. Laringoskop
Jackson standar dipegang oleh tangan kiri dengan menggenggam bagian vertikal
gagang laringoskop memakai empat jari dan ibu jari diletakkan pada sudut antara
bagian vertikal dan horizontal gagang laringoskop. Kabel cahaya diletakkan di
atas pergelangan tangan kiri agar berada di luar lapangan pandang. Laringoskop
dipegang dengan tangan kiri ahli bedah yang tidak kidal agar tangan kanan bebas
untuk melakukan manipulasi yang sulit dengan bermacam-macam alat (Gambar
65-5) lewat laringoskop. Ahli bedah yang tidak kidal melihat lapangan operasi
dengan mata kanan, sehingga kepala ahli bedah berada lebih banyak ke kiri untuk
menghindarkan gangguan pada saat memasukkan alat dan melakukan manipulasi
sambil melihat terus menenis lewat laringoskop. Bibir atas ditarik dengan jari
telunjuk kanan. Ujung laringoskop dimasukkan melalui sisi kiri dasar lidah,
kemudian dasar lidah, valekula dan tepi bebas epiglotis serta permukaan lingual
epiglotis diamati. Ujung distal laringoskop dimasukkan melintasi bagian posterior
epiglotis, dan permukaan laringeal epiglotis, serta endolaring diamati.
Laringoskop Jackson standar diteruskan mendekati pita suara palsu. Agar
endolaring terlihat seluruhnya, laringoskop harus diangkat. Bagian proksimal
laringoskop mungkin bersentuhan dengan gigi atas, akan tetapi gigi tidak boleh
diperlakukan sebagai tumpuan. Dinding hipofaring posterior dan masing-masing
sinus piriformis diperiksa. Dalam anestesi lokal gerakan pita suara dapat diamati
dengan meminta pasien berfonasi dan menarik nafas dalam.
Laringoskop komisura anterior dimasukkan dengan menggunakan cara
yang sama sampai ke batas glotis untuk melihat pita suara, komisura anterior dan
ventrikel. Gerakan pita suara dievaluasi lagi. Pita suara palsu ditarik ke latetal
dengan memiringkan ujung laringoskop untuk menginspeksi ventrikel. Gagang
laringoskop di putar 90 derajat ke kanan dan dimasukkan perlahan-lahan lewat
pita suara agar dapat menginspeksi daerah subglotik. Sinus piriformis dapat
diperiksa dengan lebih memuaskan memakai laringoskop komisura anterior dari
pada laringoskop Jackson standar.
Sangat penting untuk membuat kebiasaan memeriksa dengan seksama
setiap sentimeter persegi dari daerah hipofaring dan laring supaya tidak ada lesi
yang terlewatkan. Jika diperlukan observasi yang lama dalam pembesaran tertentu
serta manipulasi secara luas atau dibutuhkan pembedahan untuk memperbaiki
suara, laringoskop Jako atau Dedo dimasukkan sampai batas glotis, kemudian
dipasang mikroskop Zeiss dengan kepala lurus dan lensa objektif 400 milimeter.
Konjungtivitis bakterial dan keratitis tuberkulosis dapat terjadi akibat
kontaminasi mata ahli endoskopi selama tindakan laringoskopi dan bronkoskopi.
Ahli bedah dan siapa saja yang melihat lewat laringoskop dan bronkoskop harus
melindungi matanya dari sputum yang mungkin dibatukkan kearah mereka
dengan memakai kacamata (Gambar 65-6). Lensa normal dipakai oleh orang yang
tidak memerlukan refraksi. Kacamata harus dipakai bersama dengan masker untuk
beberapa waktu sebelum prosedur endoskopik, sehingga lensa akan menjadi
hangat oleh nafas ahli bedah dan tidak akan berkabut oleh kondensasi uap air
akibat pernafasan ahli bedah atau pasien. Harus diperhatikan bahwa tidak boleh
memandang langsung (tidak melewati lensa) seperti yang cenderung dilakukan
orang. Kacamata optik jauh lebih unggul dari pelindung plastik dan kacamata
tidak mengganggu posisi kepala ahli bedah atau manipulasi alat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ballenger JJ. Disease of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck,
Philadelphia, Lea & Fabiger, 2009, chapter 29,31-33,37, pp.570-588,605-
41,682-746
2. Bailey BJ and Pillsburry III HC. Head and Neck Surgery –
Otolaryngology. Philadelphia, JB Lippincott Co, 2014, chapter 68,
pp.989-1003
3. Dhingra PL. Disease of Ear, Nose and Throat & Head and Neck Surgery.
New Delhi, Elsevier, 6th Ed, 2014, Chapter 61, pp.303-07

.
TUGAS PRETEST

LARINGOSKOPI DIREK

Oleh

Anantyo Kusuma Yudha

Pembimbing :
dr.Vicky Eko, N.H., Sp.T.H.T.K.L(K) MSc

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU KESEHATAN THT-KL FK UNS
RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2021

Anda mungkin juga menyukai