Anda di halaman 1dari 3

Yang Kalah adalah yang Tidak Menang

“Siapa yang kalah?” tanya seorang tetangga di grup perumahan. Menanyakan


hasil pertandingan Indonesia melawan Curacao. Mau membalas, tapi rasa-
rasanya ada orang lain yang lebih layak menjawab pertanyaan tersebut. Hanya
memantau jalannya pertandingan melalui aplikasi karena lebih memilih
menonton film saya rasa kurang layak untuk memberi tahu hasil pertandingan.
Orang-orang yang menonton pertandinganlah yang lebih kompeten untuk
menjawab.

Jawaban dari pertanyaan itu memang saya tahu. Toh pada aplikasi tertera skor
pertandingan – walau untuk nama pencetak gol sempat kosong untuk beberapa
saat. Tapi kalau ada pertanyaan lanjutan, misal tetang siapa yang mencetak gol
atau bahkan jalannya pertandingan, itu saya tidak bisa menjawab.

Cari jalan aman, saya membiarkan pertanyaan itu dan menutup aplikasi
percakapan.

Hasil pertandingan memang menjadi hal menarik. Tidak hanya di sepakbola, tapi
juga di semua cabang olahraga lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari,
pertanyaan tentang hasil menjadi sesuatu yang sangat umum untuk
dikemukakan. “Berhasil?” “Sukses?” “Enak?” “Selesai?” dan pertanyaan-
pertanyaan sejenis yang merujuk pada keingintahuan tentang hasil. Bahkan bisa
dibilang, hasil cenderung lebih punya daya tarik dibandingkan dengan proses
yang dilalui.

Kalau kemudian jawaban dari pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah “Tidak”


atau tim/atlet yang didukung kalah, paling-paling yang timbul ungkapan
kekecewaan. Atau, pertanyaan lanjutan “Kok, bisa?” Atau, argumen yang
condong mengkambinghitamkan sesuatu sebagai penyebab kekalahan.

Siapa, sih, yang tidak ingin menang, berhasil, sukses, mencapai keinginan,
mewujudkan mimpi, dan sebagainya? Jangankan untuk diri sendiri, bahkan
ketika pencapaian itu diperoleh oleh pihak yang didukung, rasa bahagia
bercampur dengan bangga akan membuncah.

Apalagi kalau berbicara tentang tim sepakbola nasional Indonesia.

Ibaratnya, sudah berapa ratus purnama sudah dilalui oleh para pendukung
untuk merasa bangga karena tim mereka berhasil menjadi juara? Hahaha….
Agak hiperbola.

Sebagai salah satu cabang olahraga favorit di Tanah Air, prestasi tim nasional
Indonesia selalu menjadi sorotan publik. Jika di masa lalu sebatas pada level
senior, kini penonton bahkan memenuhi stadion pertandingan saat Tim Nasional
Junior bertanding. Sesuatu yang sempat membuat heran negara lain.

Untuk level junior, beberapa prestasi sudah berhasil ditorehkan. Tapi untuk level
senior, entah sudah beberapa kali para pendukung harus menjalani masa terapi
agar terlepas dari rasa kecewa.

Karenanya, meski sekadar persahabatan, hasil dua pertandingan melawan


Curacao tentu menjadi ‘obat’. Ada harapan, kebanggaan, senang. Shin Tae-yong
menjadi nama yang dielu-elukan. Opa favorit para pendukung sepakbola di
Indonesia. Dan tim yang dikalahkah dalam dua pertandingan tersebut pun
memiliki peringkat yang jauh di atas Indonesia.
---
Sebagai penggemar sepakbola, kecewa sudah menjadi bagian dari hobi saya
sejak kecil. Salah satu yang terberat, ketika Liverpool kalah dari Real Madrid
pada 2018 (selain tentunya puasa gelar Liga Inggris selama lebih dari tiga
dekade).

Bukan sekadar hasil pertandingan yang membuat kecewa, tapi juga hal-hal
selama pertandingan yang menjadi bahan ejekan selama beberapa waktu
lamanya. Salah yang cedera (yang oleh sebagian orang menjadi alasan
kekalahan Liverpool) dan yang paling fenomenal adalah aksi penjaga gawang
(ini yang paling berat untuk dihadapi).

Saya ingat komentar yang pernah disampaikan Jürgen Klopp di masa awal
kedatangannya sebagai pelatih Liverpool. Saat itu, The Reds akan menjalani
final Liga Eropa.

Saya tidak ingat persisnya komentar yang disampaikan, tapi secara garis besar
kira-kira, “Kalau tahu akan kalah, tentunya akan memilih hal itu terjadi di fase
sebelumnya, bukan di partai final. Melihat tim lawan mengangkat trofi
merupakan hal yang sangat mengecewakan. Rasa kecewa ketika kalah di
pertandingan final berkali lipat dibanding kekalahan di fase sebelumnya. Tapi,
itulah risiko yang harus dihadapi untuk bisa merasakan kepuasaan mengangkat
trofi.”

Saya tidak bisa membantah komentar tersebut. Tapi ketika menghadapi


kekalahan di Final Liga Champions 2018, hanya bisa menggugat “Kalah ya
kalah. Tapi, mbok, ya kalahnya biasa aja. Enggak usah pakai ‘lawakan’ di
lapangan hijau.”

Salah satu hal yang membuat saya respect pada sosok Klopp sebagai pelatih.
Tidak menjadikan kegagalan sebagai kekalahan. Di musim berikutnya, Liverpool
menjadi juara Liga Champions.
Rasa bangga, tentu saja. Tapi yang lebih membuat hati berdesir adalah ketika
menonton dokumentar perjalanan yang dilalui oleh Liverpool pada musim
2018/2019. Mulai dari persiapan hingga akhirnya mereka menjadi juara Liga
Champions.

Evaluasi besar-besaran dilakukan. Ego diturunkan. Terbuka akan perbaikan.


Aspek-aspek yang dianggap menjadi kekurangan atau kelemahan pun
diperbaiki, atau bahkan diganti. Makanya kemudian didatangkan pemain-pemain
baru. Pelawak lapangan hijau digantikan dengan penjaga gawang yang
sesungguhnya. Begitu pula dengan staf pelatih dan sistem latihan yang tak luput
dari perubahan (untuk pertama kalinya saya tahu ada profesi yang namanya
pelatih lemparan ke dalam/throw in). Semua perubahan itu ternyata
membuahkan hasil manis.
---
Balik ke soal hasil pertandingan. Meski hasil akan tetap menjadi perhatian besar
dalam sebuah pertandingan atau kompetisi, begitu juga dalam kehidupan
sehari-hari, tapi rasa-rasanya tidak mudah menentukan pemenang yang
sebenarnya.

Pihak yang tidak menang dalam suatu pertandingan atau kejuaraan belum tentu
kalah. Ketika hasil yang didapat menjadi bahan evaluasi dan referensi perbaikan
untuk pertandingan atau kompetisi sebelumnya, itu tentu menjadi sebuah
keuntungan. Dan keuntungan bukanlah sesuatu yang didapat oleh pihak yang
kalah.

Sebaliknya. Pihak yang menang atau menjadi juara belum tentu bebas dari
kekalahan. Pada kenyataannya, rasa bangga atau kepercayaan diri yang
berlebih bisa memunculkan kesombongan yang kemudian membuka lobang
kelengahan yang bisa dimanfaatkan lawan untuk mengalahkan.

Semoga sepakbola Indonesia bisa terus melakukan evaluasi agar tetap


berevolusi hingga mencapai prestasi.

Amin.

Anda mungkin juga menyukai