Anda di halaman 1dari 5

TEORI UTILITARIANISME

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Bahasa Indonesia yang diampuh oleh
Margret Ade Cipta Rahmani, S.Pd., M.Pd

Disusn Oleh :

1. Julison Yosep
2. Nani Liliyana
3. Michael Jama

POLITEKNIK BISNIS KALTARA TAHUN 2022/2023

Jl. Mada RT. 05 NO.17 Gedung A LT. 11, Karang Anyar Pantai, Tarakan Bar, Kota
Tarakan, Kalimantan Utara 77111

Oktober 2022
Utilitarianisme

Teori utilitarianisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa tindakan dan


kebijakan perlu dievaluasi berdasarkan manfaat dan biaya yang dibebankan pada
masyarakat. Dalam situasi apa pun, tindakan atau kebijakan yang “benar” adalah yang
memberikan manfaat paling besar atau biaya paling kecil (bila semua alternatif hanya
membebankan biaya bersih). Sebuah prinsip moral yang mengklaim bahwa sesuatu
dianggap benar apabila mampu menekan biaya sosial (social cost) dan memberikan
manfaat sosial (social benefit).
Utilitarianisme mempunyai ciri-ciri penting lain, yakni ‘sum-ranking’
(pemeringkatan penjumlahan). Sum-Rangking menurut utilitarianisme berarti
penjumlahan derajat utility (kebermanfaatan) bagi masyarakat yang berbeda-beda
demi memperoleh tingkat kebahagiaan yang tertinggi (Sen, 2001). Utilitarianisme
mempunyai beberapa daya tarik berupa sumbangan penting untuk filsafat moral.
Utilitarianisme merupakan filsafat politik yang menjadi fondasi bagi pengambilan
keputusan-keputusan individualistis yang bersifat politis ataupun menjadi fondasi
untuk institusi negara atau social untuk memformulasikan hukum dan regulasi. Aliran
utilitarianisme terkesan sangat populis karena memiliki tujuan kebermanfaatan bagi
masyarakat luas.
Teori utilitarianisme berpendapat bahwa setiap orang ketika memutuskan atau
bertindak atau berbuat mempunyai kewajiban melakukan pertimbangan-pertimbangan
apakah perbuatannya meningkatkan utility yang cukup luas dan besar, atau sebaliknya.
Pendapat kedua disampaikan oleh golongan utilitarianisme aturan (rule utilitarianism)
dengan prinsip political utilitarianism. Prinsip ini adalah hanya lembaga sosial dan
pemerintahlah yang wajib bertindak berdasarkan prinsip-prinsip utilitarianisme dan
bukan personal.
Secara singkat, prinsip utilitarian menyatakan bahwa: “Suatu tindakan dianggap
benar dari sudut pandang etis jika dan hanya jika jumlah total utilitas yang dihasilkan
dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah total utilitas oleh tindakan yang dapat
dilakukan.” Prinsip ini mengandung tiga kriteria yaitu:
1. Kita harus menentukan tindakan-tindakan atau kebijakan alternatif apa saja yang
dapat kita lakukan dalam situasi tersebut. Dalam hal ini, kriteria yang dapat
dijadikan dasar objektif untuk menilai suatu perilaku atau tindakan adalah manfaat
atau utlitas (utility), yaitu apakah tindakan atau perilaku benar jika menghasilkan
manfaat, sedangkan perilaku atau tindakan salah mendatangkan kerugian.
2. Untuk setiap tindakan alternatif, kita perlu menentukan manfaat dan biaya
langsung dan tidak langsung yang akan diperoleh dari tindakan tersebut bagi
semua orang yang dipengaruhi oleh tindakan itu di masa yang akan datang. Kriteria
kedua adalah manfaat yang terbanyak. Untuk penilaian kebijakan atau tindakan itu
sendiri, maka suatu kebaikan atau tindakan benar atau baik secara moral bila
kebijakan atau tindakan tersebut memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan
dengan kerugian yang ditimbulkannya.
3. Alternatif yang memberikan jumlah utilitas paling besar wajib dipilih sebagai
tindakan yang secara etis tepat. Kriteria ini mengandung pengertian tentang untuk
siapa manfaat terbanayak tersebut. Suatu tindakan atau kebijakan baik atau benar
secara moral jika memberikan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang.
Dengan demikian, kriteria objektif dalam etika utilitarianisme adalah “manfaat
terbesar bagi sebanyak mungkin orang” atau “kebaikan terbesar bagi sebagian besar
masyarakat” (“the greatest good for the greatest number”). Dengan kata lain, suatu
kebijakan atau tindakan yang baik dari segi etis adalah kebijakan atau tindakan yang
membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang,  atau sebaliknya membawa
akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sesedikit mungkin orang. Utilitarianisme
merupakan suatu doktrin moral, yang berpendapat bahwa kita seharusnya bertindak
untuk menghasilkan sebanyak mungkin manfaat (kebahagiaan atau kenikmatan) bagi
tiap-tiap orang yang terpengaruh oleh tindakan kita. 

Pada awalnya, konsep utilitarianisme digagas oleh Aristoteles dan kemudian


Mill-lah yang mempopulerkannya sebagai konsep kebahagiaan tertinggi (the ultimate
happiness principle). Konsep ini berbeda dengan Bentham yang menyamakan semua
jenis happiness. Mill membedakan berbagai kualitas happiness secara terpisah. Ia
menempatkan kenikmatan (pleasure) intelektual dan moral lebih superior daripada
kenikmatan fsik. Ia juga membedakan antara kebahagiaan (happiness) dengan
kepuasan (satisfaction).
Aristoteles merupakan filosof pertama yang mengkaitkan antara kebahagiaan
dan keutamaan dengan tegas. Ia menjadikan sarana guna meraih tujuan yang lebih
tinggi yaitu kebahagiaan. Aristoteles membagi keutamaan menjadi 2 yaitu keutamaan
akal dan keutamaan moral. Keutamaan moral dicapai melalui tindakan yang moderat
(tengah-tengah) antara dua sisi dari keutamaan. Keutamaan adalah rasio dan itu adalah
alat mencapai kebenaran. Kebahagiaan manusia hanya bias dicapai melalui kehidupan
yang rasional dalam bentuk yang sempurna. Kesimpulannya, Manusia punya potensi
istimewa, berupa akal, namun Cuma bisa menjadi sempurna melalui 2 keutamaan.
Keutamaan moral merupakan tujuan yang hendak dicapai dengan cara menjadi baik
dan dengan keutamaan moral, jalan dan upaya yang hendak ditempuh menjadi baik
juga(Qabil, 1984). ”Kebahagiaan” sendiri merupakan fraseyang belum jelas. Sebagian
telah menyatakan bahwa kebahagiaan ialah menghasilkan kebermanfaatan dan
menjauhi kesengsaraan. Kebermanfaatan menjadi alat ukur utama perbuatan.
Perbuatan diukur hanya berdasar kuantitas kebermanfaatan yang dihasilkannya. Ini
baik karena lebih banyak menghasilkan kebermanfaatan dan ini buruk karena
menimbulkan lebih banyak kesengsaraan. Kebahagiaan pribadi manusia ataukah
kebahagiaan umum. Atas dasar itu, muncullah dua teori kebahagiaan yaitu kebahagiaan
pribadi atau Egoistic Hedonism, yang bertujuan bahwa manusia seharusnya
menghasilkan kebermanfaatan terbesar untuk dirinya sendiri. Teori kedua adalah
bertujuan meraih kebahagiaan atau manfaat umum atau Universalistic Hedonism atau
dikenal sebagai paham Utilitarianism, yang menyatakan bahwa manusia seharusnya
mengusahakan sebesar-besarnya kenikmatan atau kemanfaatan untuk manusia(Amin,
1991).
Utilitarianisme merupakan bentuk filsafat moral dan politik yang dibidani oleh
Jeremy Bentham (1748-1832). Paham ini hadir sebagai alternatif mengkritisi tradisi
hukum kodrat (natural law) yang berkibar di Inggris Raya pada saat itu(Shapiro, 2006).
Bentham berpendapat, manusia pada dasarnya memiliki dua orientasi yang berdaulat:
kemanfaatan (pleasure) dan penderitaan (pain)(Bentham, 2000). Manusia akan selalu
berusaha menghindari penderitaan namun disisi lain terus mengejar kemanfaatan.
Moralitas dan hukum harus disandarkan pada kenyataan tersebut.
John Stuart Mill (1806-1873) yang merupakan murid Bentham, menyetujui
pendapat Bentham bahwa manusia pada dasarnya mengejar kebahagiaan. Mill, ia
mengkritisi pendapat Bentham yang bercenderungan menilai kemanfaatan atau
kebahagiaan manusia dengan cara Arief Budiono 109 kuantitatif(K, 2000). Menurut
Mill, kualitas kebahagiaan dan kemanfaatan seharusnya juga diperhatikan, karena
kebahagian memiliki nilai dengan kualitasnya yang lebih tinggi dan lebih rendah(Mill,
2009). Mill walaupun mengkritik Bentham, terdapat kesamaan prinsip-prinsip ajaran
hukum dan moral bagi keduanya yang bersifat hedonistic, walaupun tentu saja bukan
hedonistik yang egoistis. Menurut kedua orang tersebut prinsip utilitarinisme adalah
the greatest happinest of the greatest number. Individu dalam meraih kemanfaatan
perlu melihat maupun mempertimbangkan kondisi masyarakat luas. Bentham dan Mill,
mereka menjadikan tolak ukur kemanfaatan (happiness) bagi sesame sebagai puncak
moral, adapun kebaikan-kebaikan lain juga dapat menjadi sarana untuk mencapai
kemanfaatan tersebut.
John Stuart Mill adalah salah satu flsuf berpengaruh abad ke-19.
Pandanganpandangannya dikenal membela empirisisme dan pandangan politk, sosial
dan kultural yang berbasis liberatf. Pemikiranpemikirannya banyak dipengaruh oleh
godfather-nya, yaitu Jeremy Bentham, John Locke, David Hume, dan George Berkeley.
Yang sungguh menarik dari pemikiran-pemikiran utilitarianismenya adalah konsep
“sepanjang tidak mencelakakan atau merugikan orang lain” (do no harm to others),
maka seseorang sudah termasuk kategori “bermoral.” Moralitas adalah masalah privat
dan publik tidaklah berhak untuk menentukan mana yang “baik” dan mana yang “tidak
baik.” Intinya adalah when harm is undone, we are all right.

Jadi, penulis menyimpulkan bahwa Teori Utilitarianisme adalah setiap orang


ketika memutuskan atau bertindak atau berbuat mempunyai kewajiban melakukan
pertimbangan-pertimbangan apakah perbuatannya meningkatkan utility
(Kebermanfaatan) yang cukup luas dan besar, atau sebaliknya.
Hasil dari suatu keputusan dianggap benar jika dan hanya kebermanfataan yang
dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari manfaat oleh tindakan yang dapat
dilakukan.
Daftar Pustaka

https://www.researchgate.net/publication/
338892496_TEORI_UTILITARIANISME_DAN_PERLINDUNGAN_HUKUM_LAHAN_PERTA
NIAN_DARI_ALIH_FUNGSI

https://jenniexue.com/wp-content/uploads/2012/04/BASIS-No.61-tahun-2012-John-
Stuart-Mills-.pdf

Anda mungkin juga menyukai