Disusun Oleh :
Rifqi Muhammad Akbar (2112211068)
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar.............................................................................................................................i
Daftar Isi.....................................................................................................................................ii
BAB 1..........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................................1
1.2 Identifikasi Masalah.........................................................................................................2
1.3 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.5 Tujuan Penelitian.............................................................................................................2
1.6 Manfaat Penelitian...........................................................................................................2
BAB 2..........................................................................................................................................2
LANDASAN TEORI..................................................................................................................2
2.1 Pengertian Banjir.............................................................................................................2
2.1.1 Jenis Banjir....................................................................................................................2
2.1.2 Penyebab Terjadinya Banjir........................................................................................3
2.1.4 Penanggulangan Banjir.................................................................................................5
2.2 Pengertian Bencana..........................................................................................................5
2.2.1 Faktor Penyebab Bencana............................................................................................6
2.2.2 Jenis-jenis Bencana.......................................................................................................6
2.3 Daerah Aliran Sungai (DAS)...........................................................................................6
2.4 Sungai................................................................................................................................7
BAB 3..........................................................................................................................................8
METODE PENELITIAN..........................................................................................................8
A. LOKASI PENELITIAN.................................................................................................8
BAB IV........................................................................................................................................9
ANALISIS DAN PEMBAHASAN............................................................................................9
1. Analisis Banjir dari Topografi.....................................................................................9
2. Analisis Banjir dari Daerah Aliran Sungai (DAS).......................................................9
3. Analisis Daerah Banjir dari Erosi dan Sedimentasi..................................................11
4. Analisis Banjir dari Penurunan Permukaan Tanah..................................................12
PENGENDALIAN DAN PENGELOLAAN.......................................................................12
1. Upaya Pengelolaan.......................................................................................................12
2. Evaluasi Konservasi Daerah Sumber Air Larian......................................................12
3. Pembenahan Drainase..................................................................................................13
4. Pembangunan Berwawasan Lingkungan...................................................................13
5. Penegasan Terhadap Sempadan Sungai.....................................................................14
6. Pendekatan Pemerintahan dan Sosial.........................................................................14
BAB V.......................................................................................................................................16
PENUTUP.................................................................................................................................16
A. KESIMPULAN.............................................................................................................16
B. SARAN..........................................................................................................................16
Daftar Pustaka..........................................................................................................................17
BAB 1
PENDAHULUAN
Kejadian alam tersebut meliputi curah hujan yang tinggi, kapasitas alur sungai yang
tidak mencukupi, dan aliran anak sungai tertahan oleh aliran induk sungai. Sedangkan
akibat aktifitas manusia meliputi pengembangan daerah sepanjang tepi alur sungai,
adanya perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai (DAS) yang menyebabkan
aliran permukaan (Run off) menjadi besar, bantaran sungai yang dimanfaatkan sebagai
tempat pemukiman, dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah
pada tempatnya.
Di Jawa Barat, sungai Citarum merupakan sungai utama yang menjadi penunjang
kehidupan sebagian masyarakatnya. Namun seiring berjalannya waktu, sungai ini tidak
seperti dahulu memiliki air jernih dengan segala kekayaan di dalamnya, beberapa
masalah kerap kali timbul di aliran sungai citarum ini, salah satunya yang sering terjadi
yaitu banjir. Di wilayah sungai Citarum hampir setiap tahun terjadi banjir,
mengakibatkan kerugian yang cukup besar terutama dibeberapa daerah seperti
Baleendah, Dayeuh Kolot, dan Sapan. Banjir yang terbesar pernah terjadi dalam dua
periode pada tahun 1986 dan tahun 2005 dengan tinggi genangan lebih kurang 0.5
sampai dengan 2.0 m.
Hingga saat ini daerah Baleendah dan sekitarnya menjadi salah satu wilayah yang tidak
pernah terlepas dari masalah ini, dan setiap tahun korban akibat masalah ini terus
bertambah, jika tidak ditangulangi dengan seksama dan bertahap maka bencana ini akan
terus terjadi.
Oleh karena itu kami berinisiatif untuk menyusun penelitian Tugas 1 Rekayasa
Lingkungan dan AMDAL ini dengan judul “Pengelolaan dan Pengendalian Banjir di
Kawasan Baleendah Kabupaten Bandung” bermaksud untuk memberikan informasi
kepada para pembaca dalam menanggulangi masalah banjir yang kerap kali terjadi di
kawasan tersebut.
1. Berapa besar pengaruh debit banjir dari curah hujan ekstrim terhadap kapasitas
Sungai Cisangkuy?
2. Bagaimana pengaruh analisis tiga alternatif penanggulangan banjir untuk
mencegah luapan air Sungai Cisangkuy pada debit banjir?
3. Berapa besar penurunan debit banjir pada Sungai Cisangkuy setelah adanya
alternatif penanggulangan?
Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu
bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan Bumi yang bergerak ke
laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di
permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan
air ke dalam tanah.
1. Banjir air
Banjir yang satu ini adalah banjir yang sudah umum. Penyebab banjir ini adalah
meluapnya air sungai, danau, atau selokan sehingga air akan meluber lalu
menggenangi daratan. Umumnya banjir seperti ini disebabkan oleh hujan yang
turun terus-menerus sehingga sungai atau danau tidak mampu lagi menampung
air.
2. Banjir bandang
Tidak hanya banjir dengan materi air, tetapi banjir yang satu ini juga
mengangkut material air berupa lumpur. Banjir seperti ini jelas lebih berbahaya
daripada banjir air karena seseorang tidak akan mampu berenang ditengah-
tengah banjir seperti ini untuk menyelamatkan diri. Banjir bandang mampu
menghanyutkan apapun, karena itu daya rusaknya sangat tinggi. Banjir ini biasa
terjadi di area dekat pegunungan, dimana tanah pegunungan seolah longsor
karena air hujan lalu ikut terbawa air ke daratan yang lebih rendah. Biasanya
banjir bandang ini akan menghanyutkan sejumlah pohon-pohon hutan atau batu-
batu berukuran besar. Material-material ini tentu dapat merusak pemukiman
warga yang berada di wilayah sekitar pegunungan.
3. Banjir Rob
Banjir rob adalah banjir yang disebabkan oleh pasangnya air laut. Banjir seperti
ini kerap melanda kota Muara Baru di Jakarta. Air laut yang pasang ini
umumnya akan menahan air sungan yang sudah menumpuk, akhirnya mampu
menjebol tanggul dan menggenangi daratan.
4. Banjir Lahar Dingin
Salah satu dari macam-macam banjir adalah banjir lahar dingin. Banjir jenis ini
biasanya hanya terjadi ketika erupsi gunung berapi. Erupsi ini kemudian
mengeluarkan lahar dingin dari puncak gunung dan mengalir ke daratan yang
ada di bawahnya. Lahar dingin ini mengakibatkan pendangkalan sungai,
sehingga air sungai akan mudah meluap dan dapat meluber ke pemukiman
warga.
5. Banjir Lumpur
Banjir lumpur ini identik dengan peristiwa banjir Lapindo di daerah Sidoarjo.
Banjir ini mirip banjir bandang, tetapi lebih disebabkan oleh keluarnya lumpur
dari dalam bumi dan menggenangi daratan. Lumpur yang keluar dari dalam
bumi bukan merupakan lumpur biasa, tetapi juga mengandung bahan dan gas
kimia tertentu yang berbahaya. Sampai saat ini, peristiwa banjir lumpur panas di
Sidoarjo belum dapat diatasi dengan baik, malah semakin banyak titik-titik
semburan baru di sekitar titik semburan lumpur utama.
1) Faktor alam yaitu bencana yang diakibatkan oleh fenomena alam dan
tanpa ada campur tangan manusia.
2) Faktor manusia yaitu bencana yang diakibatkan perbuatan manusia.
3) Faktor sosial yaitu bencana yang terjadi karena rusak dan kurang
harmonisnya hubungan sosial antar anggota masyarakat yang disebabkan
berbagai faktor baik sosial, budaya, suku atau ketimpangan sosial.
1. Bencana Alam, yaitu bencana yang bersumber dari fenomena alam seperti
gempa bumi, letusan gunungapi, meteor, pemanasan global, banjir, topan
dan tsunami.
2. Bencana Non Alam, yaitu adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa
atau rangkaian peristiwa non alam antara lain berupa gagal teknologi, gagal
modernisasi, epidemi dan wabah penyakit.
3. Bencana Sosial, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik
sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat.
1. Daerah hulu terjadinya erosi vertikal sangat kuat. Pada umumnya daerah ini
bergunung-gunung dengan aliran sungai yang mengalir masih deras. Banyak
dijumpai jeram-jeram dan air terjun di daerah hulu. Dasar lembah daerah ini
biasanya terdiri dari batu-batu besar dan aliran masih sempit serta curam.
2. Daerah tengah terjadi erosi vertikal dan lateral yang sama kuatnya. Lembah-
lembahnya semakin besar dengan air mengalir tidak begitu deras. Dan dilembah
daerah ini dapat dijumpai batu-batu guling. Secara garis besar daerah aliran ini
miring melandai kearah muaranya. Didaerah ini biasanya terdapat meander atau
lembah sungai yang berkelok-kelok.
3. Daerah hilir mempunyai aliran yang lambat, dasar dari lembahnya terututup
pasir pada umumnya. Pada daerah ini terdapat delta yang terbentuk akibat proses
sedimentasi.
2.4 Sungai
Sungai adalah massa air yang secara alami mengalir pada suatu lembah, sedang lembah
adalah bentuk permukaan bumi yang cekung, sebagai hasil pengikisan air mengalir yang
bentuk dan ukurannya bermacam-macam. Sungai mempunyai ciri-ciri, diantaranya :
A. LOKASI PENELITIAN
Pada peta topografi Kabupaten Bandung, Jawa Barat terlihat bahwa daerah-
daerah yang kerap mengalami banjir berada pada topografi rendah, lebih rendah
dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Daerah dataran rendah lebih memiliki potensi
banjir daripada daerah dataran tinggi, terutama bagi daerah yang berada dekat dengan
aliran air dan/atau sungai. Air cenderung mengalir dari daerah tinggi ke daerah rendah
mengikuti alirannya. Dalam hal ini, daerah tinggi dapat dianggap sebagai hulu
sedangkan daerah rendah diasumsikan sebagai daerah hilir. Keadaan lingkungan di
daerah hulu dan daerah hilir saling terkait satu sama lain dalam suatu daerah yang
disebut DAS atau daerah aliran sungai.
Peta DEM Sebagian DAS Citarum menunjukkan bahwa daerah banjir di Kabupaten
Bandung bukan merupakan daerah hulu juga bukan merupakan daerah hilir. Jika dilihat
secara lebih detail, daerah banjir memiliki suatu perbedaan dengan daerah lainnya
dalam satu wilayah DAS Citarum. Daerah banjir berada di antara pegunungan, yaitu
Gunung Burangrang dan Gunung Bukittunggul di sebelah utara, Gunung Malabar dan
Gunung Patuha di sebelah selatan , dan Gunung Kerenceng di sebelah timur. Pada peta
diatas terlihat jarak dari gunung-gunung yang menjadi sumber air larian sampai ke
daerah banjir tergolong lebih dekat dibandingkan jarak sampai ke daerah hilir. Jarak
horisontal yang dekat ditambah dengan jarak vertikal (ketinggian) daerah hulu
menimbulkan kemiringan lereng yang cukup besar. Kemiringan lereng DAS
berpengaruh pada waktu periode laju air larian. Semakin besar kemiringan lereng suatu
DAS, semakin cepat laju air larian, maka mempercepat respons DAS oleh adanya curah
hujan (Asdak, 2007). Dengan kemiringan lereng yang cukup besar antara daerah hulu
dengan daerah banjir menyebabkan air larian dari hulu mengalir lebih cepat menuju
daerah banjir dimana daerah banjir merupakan titik topografi rendah pertama pengaliran
air larian dari gunung-gunung. Sementara pembangunan (perkerasan atau perubahan
lahan) yang semakin berkembang baik itu di daerah hulu sampai daerah banjir tanpa
diimbangi dengan pengelolaan terhadap air larian hujan yang baik dan benar
mengakibatkan air larian memerlukan waktu yang lebih lama untuk masuk ke dalam
tanah, bahkan tidak terserap ke dalam tanah melainkan terus menuju sungai karena
terhalang perkerasan. Dengan kata lain, laju air larian dari hulu ke daerah banjir
semakin cepat namun laju infiltrasi (daya serap tanah terhadap air) semakin rendah, hal
ini berpotensi menjadi salah satu penyebab terjadinya banjir. Berbeda kondisinya
dengan di sebelah barat daerah banjir sampai ke daerah hilir DAS Citarum memiliki
jarak pengaliran air larian dari gunung-gunung yang lebih jauh, serta terarah dan
terakumulasi menuju Waduk Saguling, Waduk Cirata, dan Waduk Juanda.
Penelitian telah dilakukan oleh Supangat dan Paimin (2007) di Sungai Citarum,
penelitian tersebut mengungkapkan bahwa dari hulu hingga hilir, sepanjang Sungai
Citarum mengalami berbagai permasalahan, diantaranya adalah perubahan penggunaan
lahan di daerah hulu yang mengakibatkan tingginya erosi dan eksploitasi airtanah
berlebih yang menyebabkan turunnya draw down (Sudarmadji, dkk, 2013). Chay Asdak
dalam bukunya tahun 2010 mendokumentasikan pendangkalan saluran irigasi karena
proses sedimentasi yang terjadi akibat besarnya proses erosi di daerah hulu. Tanah atau
material halus lain yang mengalami erosi akan tertransport oleh aliran air sungai
kemudian tersedimentasi dan terendapkan pada aliran sungai bagian bawah. Tingginya
erosi akibat perubahan lahan di daerah hulu Sungai Citarum berpotensi meningkatkan
sedimentasi pada sungai bagian bawah, khususnya daerah banjir yang merupakan
daerah dengan topografi paling rendah di DAS Citarum. Besarnya sedimentasi dapat
mengakibatkan pendangkalan sungai khususnya sungai-sungai daerah banjir yang
memiliki topografi rendah dan mempengaruhi kondisi lingkungan di sempadan sungai
tersebut. Sungai yang telah mengalami pendangkalan akibat sedimentasi akan
mengurangi daya tampung sungai dalam menerima aliran air dengan volume yang sama
saat hujan dari tahun ke tahun, sehingga menyebabkan luapan air sungai di sempadan
sungai dan sekitarnya, kemudian mengakibatkan genangan atau banjir terlebih saat
hujan deras. Oleh karena itu, sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 28/PRT/M/2015 tentang
Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau sebagai upaya
perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumber daya pada sempadan sungai.
Dalam peraturan tersebut, telah diatur pula jenis-jenis bangunan apa saja yang boleh
didirikan di daerah sempadan sungai, dengan kata lain tidak boleh didirikan bangunan-
bangunan selain yang tercantum pada peraturan agar saat terjadi luapan air sungai
sewaktu-waktu baik karena sedimentasi atau curah hujan yang sangat tinggi tidak ada
bangunan-bangunan yang terendam yang dapat merugikan secara material. Dengan kata
lain, pendangkalan sungai di daerah banjir oleh sedimentasi berpotensi menyebabkan
terjadinya genangan atau banjir di daerah tersebut.
4. Analisis Banjir dari Penurunan Permukaan Tanah
Selain erosi, di sepanjang Sungai Citarum juga telah terjadi penurunan draw
down akibat eksploitasi airtanah secara berlebihan. Danaryanto dan Hadipurwo, 2006
dalam Kodoatie dan Roestam, 2010 juga melakukan penelitian pada terkait penurunan
permukaan tanah di Bandung. Dalam penelitiannya diungkapkan bahwa pada periode
2000-2002 di beberapa daerah yang termasuk dalam daerah banjir, yaitu Dayeuhkolot
dan Rancaekek mengalami penurunan tanah yang relatif besar. Penurunan tanah di
Dayeuhkolot sebesar 46cm dan di Rancaekek sebesar 42cm. Penurunan permukaan
tanah di CAT Bandung-Soreang ini tidak selalu oleh volume pengambilan airtanah,
namun juga oleh besarnya produktivitas akuifer dan keragaman tanah penyusunnya.
Apabila dikaitkan dengan banjir, penurunan permukaan air tanah semakin menurunkan
topografi dan memperbesar potensi terjadinya genangan dan/atau banjir.
1. Upaya Pengelolaan
Uraian-uraian yang telah dibahas dapat diambil kesimpulan bahwa banjir yang
terjadi di Kabupaten Bandung dapat disebabkan tidak hanya oleh satu faktor saja, tetapi
juga oleh faktor-faktor lain yang masih saling terkait satu sama lain. Topografi yang
rendah, kemiringan lereng yang besar dari daerah banjir dengan daerah hulu, erosi di
daerah hulu dan sedimentasi di bagian bawah sungai, serta penurunan permukaan tanah
berpotensi menjadi faktor-faktor terjadinya banjir yang rutin terjadi saat hujan deras.
Upaya pengelolaan yang dapat dilakukan meliputi evaluasi konservasi daerah sumber
air larian, pembenahan drainase dari hulu sampai daerah banjir, pembangunan secara
terarah dan berwawasan lingkungan, dan penegasan terhadap sempadan sungai.
2. Evaluasi Konservasi Daerah Sumber Air Larian
Telah banyak penelitian dan kajian mengenai konservasi daerah hulu khususnya
di Hulu DAS Citarum, diantaranya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Febriani, 2008.
Menurut Febriani, konservasi yang telah dilakukan di Hulu DAS Citarum sudah sesuai
dengan kondisi geografis dan wilayah. Konservasi perlu diperluas tidak hanya di hulu
sungai Citarum (Gunung Wayang), tetapi juga di daerah dataran tinggi dan/atau gunung
di DAS Citarum yang juga mengalirkan aliran airnya menuju anak-anak sungai.
Konservasi dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan vegetatif dan
pendekatan teknik.
Pendekatan teknik untuk daerah konservasi adalah dari cara bercocok tanam di daerah
tersebut. Tujuannya adalah untuk mengendalikan air yang mengalir di atas permukaan
tanah, memperpanjang waktu air tertahan di permukaan tanah dan meningkatkan jumlah
air yang masuk ke dalam tanah. Alternatif pendekatan teknik yang dapat dilakukan
adalah dengan pembuatan guludan dan saluran teras pada aeral persawahan, pembuatan
pematang bulan sabit pada areal kebun campuran, dan lahan pertanian dan/atau
perkebunan yang mengikuti garis kontur.
3. Pembenahan Drainase
Drainase memiliki arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan
air (Suripin, 2004). Menurut Suhardjono, 1948, drainase adalah suatu cara pembuangan
kelebihan air yang tidak diinginkan pada suatu daerah, serta cara-cara penanggulangan
akibat yang ditimbulkan oleh kelebihan air tersebut. Konsep drainase yang baru atau
biasa dikenal dengan istilah eko-drainase dapat menjadi alternatif pendekatan teknik.
Eko-drainase atau drainase ramah lingkungan merupakan upaya pengelolaan kelebihan
air dengan cara meresapkan sebanyak-banyaknya air ke dalam tanah secara alami atau
mengalirkan air ke sungai tanpa melampaui kapastitas sungai, serta mengelola
kelebihan air agar tidak mengalir secepatnya ke sungai (PerMenPU
No.12/PRT/M/2014). Ada berbagai metode eko-drainase, yaitu metode kolam
konservasi, metode sumur resapan, metode river side polder, dan metode
pengembangan areal perlindungan air tanah. Untuk daerah banjir di Kabupaten
Bandung, metode yang paling cocok untuk diterapkan adalah metode kolam
konservasi. Metode ini membuat kolam-kolam air untuk menampung air hujan,
meresapkannya ke dalam tanah, kemudian sisa kelebihan air dialirkan ke sungai secara
perlahan-lahan. Hanya saja,dalam penerapannya perlu disediakan suatu lahan dengan
area yang telah diperhitungkan dan disesuaikan dengan debit yang akan ditampung.
Selain itu, drainase yang telah ada dan telah dilakukan pengecekan secara berkala perlu
dibenahi dan dikondisikan, disesuaikan dengan perkembangan pembangunan perkerasan
yang telah ada dari daerah hulu sampai dengan ke daerah banjir, seperti pelebaran
drainase, efektifitas kemiringan drainase dalam mengalirkan air, dan pembersihan
drainase dari sampah dan sedimentasi tanah. Penyelenggaraan drainase sebaiknya
seimbang dengan tingkat perkerasan (pembangunan fisik) agar air larian menjadi terarah
dan terkelola dengan baik.
1. Lebih memperhatikan penggunaan lahan yang ada di daerah hulu sampai dengan ke
daerah banjir, apabila ada yang kurang cocok dilakukan penyuluhan dan sosialisasi
kepada masyarakat.
2. Menjaga kawasan sempadan sungai sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Bandung Tahun 2007-2027.
3. Penambahan pengetahuan dan wawasan sejak dini tentang pentingnya menjaga
kelestarian ekosistem DAS.
4. Penyuluhan kepada kelompok tani dan warga yang memiliki kebun agar dapat
mengelola perkebunan dan persawahan dengan lebih baik lagi.
Pengelolaan perlu dilakukan dan dibenahi dari semua sisi, baik itu di daerah hulu,
tengah, sampai ke daerah hilir, bukan hanya untuk mengurangi potensi banjir tapi juga
untuk memperbaiki ekosistem DAS. Kerjasama dari instansi terkait dan masyarakat,
serta partisipasi lebih dikembangkan kembali untuk bersama-sama mewujudkan
Kabupaten Bandung yang bebas banjir.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Banjir di daerah kabupaten Bandung sudah terjadi sejak lama dan seolah telah
menjadi acara tahunan bagi para penduduk disana. Untuk mengelola banjir tersebut,
ada beberapa tindakan yang mampu mengurangi dampak dari banjir diantaranya
menganalisis penyebab banjir dari berbagai sudut pandang, upaya pengelolaan,
evaluasi konservasi daerah sumber air larian, pembenahan drainase, pembangunan
berwawasan lingkungan, penegasan terhadap sempadan air sungai, hingga
pendekatan pada pemerintah.
B. SARAN
1. Agar masyarakat daerah Baleendah lebih meningkatkan pengetahuan tentang
Mitigasi dan Adaptasi Bencana Banjir pihak dari Badan Penaggulangan Bencana
Daerah (BPBD) berperan melakukan penyuluhan disetiap sekolah, maupun
ditenga – tenga masyarakat.
2. Diharapkan pada masyarakat untuk tidak membuang sampa organik di sungai,
tidak mendirikan rumah ditempat yang rawan banjir lagi, satu hal kalau bertahan
ditempat tersebut diharapkan meninggikan lantai rumah dan mempersiapkan
transportasi pengankutan atau penampungan barang atau berkas penting berupa
sampan besar.
3. Diharapkan pemerintah lebih berperan dalam perbaikan atau pembangunan agar
masalah banjir tahunan di Baleendah bisa terselesaikan.
Daftar Pustaka
http://repository.unj.ac.id/13446/4/BAB%203.pdf
https://eprints.uny.ac.id/66696/4/BAB%20III.pdf
http://repositori.unsil.ac.id/763/3/BAB%20II.pdf
http://eprints.ums.ac.id/30287/6/BAB_III.pdf
http://repository.upi.edu/29277/6/S_PLS_0908965_Chapter3.pdf