iii
TIM KAJIAN
Penanggung Jawab :
Penulis :
Deny Hidayati
Haryadi Permana
Krishna Pribadi
Febrin Ismail v
Koen Meyers
Widayatun
Titik Handayani
Del Afriadi Bustami
Daliyo
Fitranita
Laila Nagib
Ngadi
Yugo Kumoro
Irina Rafliana
Teti Argo
KATA PENGANTAR
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang mewakili wilayah yang paling rentan terhadap
berbagai bencana alam. Dalam kurang dari dua tahun terakhir, Indonesia mengalami dua bencana
gempa bumi yang dahsyat, yaitu gempa Aceh dan Nias disusul tsunami yang kemudian menjadi
bencana alam terbesar dalam dekade terakhir. Kemudian gempa Jogjakarta di bulan Mei 2006
yang menelan korban jiwa lebih dari 6500 jiwa serta kerugian harta benda, yang tak ternilai.
Catatan sejarah serta temuan-temuan ilmiah semakin meyakinkan potensi pengulangan bencana
alam di masa depan di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Minimnya pengetahuan untuk memulai gerakan siaga bencana yang lebih terlembaga dalam
masyarakat adalah penyebab utama tingginya korban akibat dinamika proses alam yang terus
berlangsung. Kesiapsiagaan bencana juga menjadi kurang optimal dengan insitiatif – inisiatif
sporadis yang dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli untuk mengurangi resiko bencana alam.
Hal inilah yang menjadi pemahaman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, bekerja sama dengan
UNESCO (United Nations Educational and Scientific Cooperation) yang didukung penuh oleh
ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) untuk mengembangkan Kerangka Kerja
Kajian (Assessment Framework) Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
iii
Alam. Kerjasama kemudian digalang, untuk menggagas alat ukur tingkat kesiapsiagaan bencana
masyarakat, termasuk pemerintah daerahnya, dalam mengantisipasi bencana alam. Alat ukur ini
didesain dengan penekanan pada kesiapsiagaan terhadap potensi gempa serta tsunami. Desain
alat ukur mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, pendidikan, ekologi lingkungan, geologi, maupun
teknik fisik. Namun diupayakan menjadi produk yang cukup generik serta sederhana untuk
diterapkan dalam mengukur kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana alam lainnya, seperti
banjir, longsor atau badai yang kerap muncul di wilayah pesisir Indonesia.
Desain alat ukur dalam sebuah kerangka kerja (assessment framework) yang belum pernah
dimiliki Indonesia ini, dikembangkan dengan upaya kerja keras lembaga ilmiah serta perguruan
tinggi di Indonesia, diantaranya LIPI, Univeritas Andalas serta Institut Teknologi Bandung.
Sejumlah lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah ikut serta dalam proses
pengembangannya, diantaranya Bakornas, Palang Merah Indonesia, Departemen Dalam Negeri,
Kogami, Departemen Komunikasi dan Informasi, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia,
Walhi, Badan Meteorologi dan Geofisika dan lembaga lainnya yang bergerak di bidang
kesiapsiagaan masyarakat.
Dengan memiliki tolok ukur yang jelas serta mengakomodasi faktor – faktor kritis yang paling
sesuai dengan kondisi kelokalan di Indonesia, upaya dalam menuju peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang lebih terarah, menjadi lebih mudah. Tolok ukur
ini juga mencerminkan bagaimana upaya membangun gerakan kesiapsiagaan untuk mengurangi
resiko bencana yang terlembaga di dalam badan masyarakat, tidak dapat dilakukan oleh satu
pihak, namun merupakan sinergi jangka panjang yang konsisten serta kerjasama erat semua
pihak yang peduli terhadap kerentanan serta potensi bencana yang masih menghadang di masa
depan.
Dokumen cetak biru ini menyajikan suatu kerangka komprehensif untuk mengukur kesiapsiagaan
komunitas dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Materi yang tercakup di dalamnya
meliputi ringkasan hasil uji coba implementasi kerangka tersebut di tiga daerah studi, yaitu Aceh,
Padang, dan Bengkulu. Hasil uji coba yang merefleksikan tingkat kesiapsiagaan masyarakat
yang tinggal di kota besar, kota menengah, dan desa telah diperbarui dengan masukan teknis dan
ilmiah melalui pendekatan holistik dan lintas sektoral. Di samping itu, cetak biru ini memuat hasil
studi lapangan tentang pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan di Pulau Simeuleu sebagai
suatu sistem peringatan dini berbasis lokal yang berkontribusi terhadap upaya kesiapsiagaan
masyarakat.
Terlepas dari komitmen pemerintah dan dukungan dari banyak negara untuk membangun suatu
sistem peringatan bahaya tsunami dan bahaya-bahaya lainnya, isu utama yang terkait dengan
kesiapsiagaan masyarakat masih perlu difokuskan. Pengembangan dan penggunaan sistem
peringatan secara terpusat belum tentu menghasilkan tindakan respon yang diharapkan pada
tingkat komunitas. Walaupun masyarakat telah diperingatkan akan terjadinya bencana, mereka
mungkin masih ragu-ragu untuk melakukan evakuasi atau tindakan penyelamatan diri lainnya v
dikarenakan berbagai pertimbangan, seperti hilangnya mata pencaharian kelak. Oleh karena itu,
strategi kesiapsiagaan terhadap bencana penting untuk dikembangkan dimana masyarakat dan
pihak terkait lainnya diberikan sarana untuk mengukur dan mengenali tingkat kesiapan mereka
dalam menghadapi bencana. Dengan begitu, mereka mampu memberikan respon yang tepat
pada saat bencana terjadi.
Sejalan dengan permintaan Pemerintah Republik Indonesia untuk turut serta mendukung dalam
pengembangan sistem peringatan tsunami, UNESCO telah mengembangkan dan melakukan
beragam kegiatan seperti penguatan kapasitas dalam pengoperasian teknis sistem peringatan
dini bahaya sampai dengan kegiatan penguatan kesiapsiagaan masyarakat. Pada bulan Juni 2005,
hasil diskusi antara UNESCO dan LIPI - institusi pemerintah yang ditunjuk oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia untuk bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan penyadaran publik untuk
bencana - untuk memperkuat kesiapsiagaaan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di
sekitar pantai barat Pulau Sumatera.
Han Qunli
Director a.i.
UNESCO Office, Jakarta
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR DIAGRA
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN 1
3.1. Metode 41
3.1.1. Pengumpulan Data 42
3.1.2. Pengolahan dan Analisis Data 46
3.2. Instrumen 50
3.2.1. Kuesioner 50
3.2.2. Panduan Diskusi Terfokus dan Workshop 51
3.2.3. Pedoman Wawancara Mendalam 52
3.3. Sampling 52
3.3.1. Lokasi 52
3.3.1.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 53
3.3.1.2. Kota Bengkulu 54
3.3.1.3. Kota Padang 56
3.3.2. Responden 59
3.3.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besa 59
3.3.2.2. Kota Bengkulu 61
3.3.2.3. Kota Padang 63
3.4.2. Survei/Angket 78
3.4.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 78
3.4.2.2. Kota Bengkulu 79
3.4.2.3. Kota Padang 83
3.4.4. Workshop 90
3.4.4.1. Kota Bengkulu 91
3.4.4.2. Kota Padang 94
4. HASIL KAJIAN
8. LAMPIRAN
Tabel 3.3.1.3. Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Padang 58
Tabel 3.3.2.2. Jumlah Responden Rumah Tangga Menurut Lokasi dan Zona,
Kota Bengkulu 61 xv
Tabel 3.3.2.3. Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan
Tingkatan Sekolah, Kota Bengkulu 62
Tabel 3.3.2.6. Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan
Tingkatan Sekolah, Kota Padang 66
Tabel 4.1. Rekaman Kejadian Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatera 104
Table 4.1.4.1. Pendapat responden tentang penyebab terjadinya gempa bumi dan
ciri-ciri gempa kuat (presentase yang menjawab “ya”) 159
Tabel 4.2.2.5. Rencana Tanggap Darurat Bagi Keluarga Menurut Zona, Kota
Bengkulu,2006 234
Tabel 4.2.4.10. Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan untuk
Meningkatkan Kewaspadaan terhadap Bencana (Persentase yang
Menjawab ya) 301
Tabel 4.2.4.11. Rencana Tanggap Darurat di Sekolah Sampel Kota Bengkulu 304
Tabel 4.2.4.15. Jenis Bahan dan Materi tentang Gempa dan Tsunami yang
Diperoleh Siswa di Sekolah (Persentase yang Menjawab Ya) 312
Tabel 4.2.4.19. Mobilisasi Sumber Daya Sekolah Sampel Kota Bengkulu 318
Tabel 4.3.1.3. 4. Jumlah Penduduk Kota Padang Yang Tinggal Di Lokasi/ Zona
Rawan Menurut Kecamatan dan Kelurahan 355
Tabel 4.3.3.3.1. Resume Indikator Rencana Tanggap Darurat, Kota Padang 386
Tabel 4.3.4.3.2. Tindakan yang dilakukan guru jika terjadi gempa bumi pada
saat mengajar menurut tingkat sekolah 428
Tabel 4.3.4.6.3. Tingkat Kesiapsiagaan Guru Menurut Zona dan Tingkat Sekolah. 445
Tabel 4.3.4.6.4. Tingkat Kesiapsiagaan Siswa Menurut Zona dan Tingkat Sekolah 447
Tabel 5.3.1. Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode
Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan
Bencana Alam di Kota Bengkulu 473
Tabel 5.4.1. Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode
Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan
Bencana Alam di Kota Padang 478
xxiii
Diagram 4.1.4.4. Pengetahuan Tentang Bencana Alam Menurut Tingkatan Sekolah 166
Diagram 4.3.4.3.4. Akses Murid Terhadap Materi Tentang Gempa dan Tsunami
di Sekolah 430
xxxi
Gambar 4.2.1.5. Penyebaran Jenis Kerusakan Akibat Gempa Bumi Juni 2000
yang Berpusat di Bawah Pulau Enggano 210
Gambar 4.3.1.1.1. Peta topografi daerah Kota Padang dan sekitarnya. 347
Gambar 4.3.1.1.2. Peta sebaran jenis batuan atau geologi daerah Kota Padang 348
Peta 4.3.3.3.1. Peta Evakuasi Kota Padang Jika Terjadi Tsuami 387
Gambar 6.1.3. Peta Evakuasi Kawasan Tengah yang Terbagi dalam Dua Zona 500
Foto 4.1.1.1 (G-J). Gambaran kondisi lapangan Desa Gugop, Pulau Breuh. 112
Foto 4.2.1.1A). Kota Bengkulu Dilihat dari Teluk Segara. B). Panorama
Kota Bengkulu dan Teluk Segara. C). Dataran Pantai dan
Gumuk Pasir Sepanjang Pantai Panjang. D). Morfologi
Punggungan dengan KetinggianSekitar +25 m dpl di Daerah
Air Sebakul. E). Daerah Danau Dendam Tak Sudah. F).
Singkapan Batuan Andesitik di Pager Dewa 207
Foto 4.2.1.1 G). Singkapan Endapan Batu Lempung Tufaan di Padang Besi. H).
Dataran Rawa Sekitar Danau Dendam dan Air Bengkulu dan I)
di Teluk Sepang. J). Abrasi Pantai di Daerah Malabro. K)
Penahan Abrasi di Teluk Segara 209
xxxvii
“Bencana kembali melanda” merupakan judul berita yang sering kita baca di berbagai surat
kabar pada tahun-tahun terakhir. Tsunami, gempa bumi, gunung meletus, longsor, banjir, dan
kekeringan, menjadi berita utama di halaman depan berbagai surat kabar. Apa yang dimunculkan
oleh media membuat kita merasa bahwa dunia ini telah menjadi tempat yang semakin tidak aman
untuk dihuni. Dampak bencana yang dirasakan juga semakin parah, disebabkan oleh berbagai
faktor, termasuk diantaranya meningkatnya jumlah populasi penduduk yang tinggal di daerah
yang rentan bahaya, rendahnya tingkat kesiapsiagaan dan upaya mitigasi di tingkat pemerintahan
serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam upaya mempersiapkan diri menghadapi bencana.
Perkembangan teknologi media yang berdampak pada pergerakan arus informasi tentang bencana
yang terjadi dapat menarik perhatian jutaan penduduk di dunia dalam hitungan jam. Posisi yang
strategis pada zona rawan bencana alam, membuat Indonesia harus kehilangan ratusan ribu
penduduk dalam jangka waktu satu dekade terakhir akibat badai tropis, banjir, tsunami, gempa
bumi, gunung meletus, longsor dan kekeringan. Walaupun respon secara cepat dan efektif telah
diupayakan seoptimal mungkin, namun dampak psikologis dan sosio-ekonomi jangka panjang
dari bencana dapat terus menghantui komunitas yang terkena bencana dalam waktu relatif lama
setelah bencana tersebut terjadi.
1
Dari pengalaman sebelumnya terlihat bahwa bencana seringkali dipandang sebagai suatu kejadian
yang terjadi secara acak, dimana respon yang reaktif hanya dibutuhkan ketika bencana terjadi.
Fakta sejarah dan bukti empiris membuktikan bahwa banyak peristiwa bencana alam yang berulang
dan seringkali terjadi secara periodik pada wilayah tertentu. Walaupun sulit memprediksi waktu
dan skala intensitas suatu kejadian dengan tepat di masa depan, namun pemerintah dan masyarakat
dapat melakukan suatu tindakan pencegahan yang telah terbukti berdampak positif dalam
kaitannya dengan upaya mitigasi terhadap konsekuensi yang mungkin terjadi. Hingga saat ini,
manajemen bencana seringkali hanya sebatas respon-respon reaktif jangka pendek dan kurang
berorientasi pada tindakan proaktif kesiapsiagaan serta upaya mitigasi jangka panjang. Dengan
tindakan pencegahan yang tepat, keadaan bahaya diupayakan tidak selalu berakhir dengan
bencana. Tindakan pencegahan lebih baik daripada tindakan penanggulangan, mengingat adaptasi
masyarakat terhadap bencana alam akan selalu menjadi tantangan dalam kaitannya terhadap
tindakan respon, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Perkiraan biaya rekonstruksi yang dibutuhkan
dalam menanggulangi dampak bencana di Aceh dan Jogjakarta adalah sejumlah
US$6,000,000,000 dan US$3,000,000,000 (sumber: Bank Dunia). Biaya tersebut sebenarnya
Masalah ekonomi yang berkaitan dengan bencana merupakan suatu faktor penting yang patut
diperhitungkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, karena harga yang harus dibayar akibat
bencana sangat ditentukan oleh kemampuan mitigasi, kesiapsiagaan, dan respon terhadap suatu
kejadian. Pengalaman dari berbagai kejadian bencana menunjukkan bahwa mereka yang tergolong
miskin cenderung lebih rentan terhadap bencana dan juga memiliki kecenderungan yang lebih
besar terkena dampak penderitaan akibat bencana dalam jangka panjang hal ini menekankan
pentingnya hubungan intrinsik antara penanggulangan bencana dan pembangunan yang
berkesinambungan. Hingga saat ini, masih terdapat keengganan dan pengabaian terhadap
pentingnya melakukan tindakan investasi dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana karena tidak
ada manfaat langsung yang terukur dari pengeluaran sejumlah biaya untuk kegiatan tersebut.
Sikap seperti ini menunjukkan bahwa tindakan manajemen bencana yang dilakukan sekarang ,
masih lebih berfokus pada upaya responsif dibandingkan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan.
Kelemahan tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara berkembang, seperti juga halnya
tergambar pada dampak badai Katrina, ini menunjukkan adanya suatu kebutuhan untuk segera
mengevaluasi pendekatan-pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai bencana dan mengubah
paradigma dari upaya respon menuju upaya pengurangan risiko. Walaupun telah ada peningkatan
minat dan dukungan terhadap upaya pengurangan risiko, transisi sikap dari masyarakat yang
responsif terhadap bencana menuju masyarakat yang siapsiaga menghadapi bencana tidak hanya
bergantung dari komitmen pemerintah, tetapi juga membutuhkan dukungan masyarakat secara
menyeluruh.
Terbentuknya masyarakat yang siapsiaga dalam menghadapi bencana merupakan hal penting
bagi negara seperti Indonesia. Berdasarkan berbagai faktor, misalnya letak geografis, Indonesia
terletak pada lokasi yang rentan terhadap berbagai jenis bencana alam, seperti:gempa bumi,
tsunami, gunung meletus, longsor, kekeringan, dan banjir, yang melanda Indonesia hanya dalam
kurun waktu Desember 2004 hingga Juli 2006. Dengan menyandang status sebagai negara yang
rawan bencana, masyarakat Indonesia penting mempelajari cara hidup di tengah bahaya.
Membangun budaya ketahanan masyarakat dalam menghadapi dan mencegah dampak bencana
memerlukan intervensi yang inovatif, tepat, ekonomis, logis, berorientasi pada manusia dan
kebutuhannya.
Kelima prioritas tindakan di atas jelas memerlukan komitmen dari para pelaku dan pihak terkait,
termasuk pemerintah nasional dan lokal, organisasi-organisasi internasional, warga negara, sektor
swasta, dan komunitas ilmuwan. Komunitas ilmuwan dapat menawarkan landasan yang terpercaya
melalui penelitian tentang bahaya dan bencana, juga melalui informasi relevan yang dihasilkan
berkaitan dengan risiko-risiko, sebab dan akibat, dan cara-cara untuk menanggulangi bencana.
Indonesia memiliki komunitas ilmuwan dari berbagai institusi yang secara moral terpanggil untuk
turut serta membantu “Membangun Ketahanan Negara dan Masyarakat terhadap Bencana”, di
bawah Kerangka Aksi Hyogo. Landasan ilmiah ini memberikan suatu pendekatan yang potensial
Dengan dukungan dari UN-ISDR, dan bermitra dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), UNESCO telah memulai sebuah kegiatan untuk memperkuat kerjasama ilmiah selatan-
selatan mengenai manajemen bencana. Menyatukan sejumlah institusi-institusi ilmiah, universitas,
dan organisasi lokal seperti Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Andalas-Padang
(UNAND), Universitas Bengkulu (UniB), di bawah bendera LIPI, kegiatan ini berfungsi sebagai
katalisator bagi berbagai pendekatan inovatif terhadap manajemen bencana, dengan penekanan
utama pada komponen kesiapsiagaan. Dengan dukungan sejumlah ilmuwan dan spesialis bencana
dari berbagai disiplin ilmu, kerjasama ini telah berhasil mengembangkan dan menguji coba sebuah
metodologi dan alat baru untuk mengevaluasi dan mengukur kesiapsiagaan komunitas dalam
menghadapi bencana.
Setelah bencana gempa bumi dan tsunami di tahun 2004, sejumlah pihak terkait telah diikutsertakan
dalam berbagi aspek kesiapsiagaan bencana dan peringatan awal pada tingkat komunitas. Laporan
dari Konferensi Dunia mengenai Pengurangan Risiko Bencana menggarisbawahi pentingnya
memperkuat kapasitas-kapasitas pada tingkat komunitas untuk mengurangi resiko bencana pada
tingkat lokal, mengingat bahwa ukuran pengurangan risiko bencana yang tepat pada tingkat ini
memungkinkan komunitas dan inidivual secara signifikan mengurangi kerentanan terhadap bahaya.
Namun, banyak intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan komunitas dalam
menghadapi bencana dilakukan hanya berdasarkan modul-modul standar tanpa melakukan
pengukuran yang efektif dan tanpa memperhatikan tahap awal kesiapsiagaan komunitas sasaran.
Walaupun terdapat berbagai macam alat yang berfokus pada pemetaan risiko, kebanyakan alat
tersebut tidak memperhitungkan unsur lokalitas. Dihadapkan dengan kenyataan kurangnya
instrumen dan alat yang tepat untuk mengukur kesiapsiagaan komunitas dalam menghadapi bencana
di Indonesia, Kantor UNESCO, Jakarta dan LIPI telah mengembangkan dan menguji sebuah
kerangka evaluasi, yang memungkinkan dilakukannya pengukuran terhadap tingkat kesiapsiagaan
komunitas dalam menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Kerangka tersebut berupa
produk unik dan inovatif yang dikembangkan oleh ilmuwan Indonesia dan profesional di bidang
bencana, yang dapat diadaptasikan ke dalam kerangka multi-bahaya. Dengan kemampuan untuk
mengukur tingkat kesiapsiagaan komunitas secara spesifik, maka sangatlah mungkin melakukan
evaluasi terhadap berbagai dampak intervensi dan melacak kemajuan komunitas-komunitas dalam
mempersiapkan diri bagi bencana. Hal ini diharapkan dapat membantu mencapai tujuan yang
tertuang dalam Kerangka Aksi Hyogo, seperti “Membangun Ketahanan Negara dan Komunitas
terhadap berbagai Bencana”.
2.1.1. Pengertian
Dari pengalaman dalam menangani berbagai kejadian bencana di berbagai belahan bumi ini,
dalam 20 tahun terakhir ini telah dirasakan pentingnya meningkatkan kesiapsiagan masyarakat,
bukan saja pada tingkat pemerintahan dari suatu negara atau suatu daerah, tetapi juga pada
tingkatan komunitas yang langsung merasakan dan harus menghadapi bencana itu sendiri, terutama
sebelum bantuan atau pertolongan datang dari instansi atau badan-badan pertolongan atau
penanganan bencana yang resmi.
Pengertian komunitas dapat didekati dengan definisi dari McMillan & Chavis (1986) sebagai
berikut:
Pada realitasnya, di masyarakat masih banyak terdapat berbagai penafsiran yang berbeda terhadap
konsep kesiapsiagaan. Dalam kajian untuk pengembangan kerangka penilaian kesiapsiagaan
masyarakat ini, telah digunakan suatu konsep atau pengertian dari Nick Carter (1991), mengenai
kesiapsiagaan dari suatu pemerintahan, suatu kelompok masyarakat atau individu, sebagai berikut:
Kesiapsiagaan
Tanggap darurat
Mitigasi
Pemulihan
Pencegahan
Pembangunan
Gambar 2.1.1.
Kesiapsiagaan dalam Model Siklus Pengelolaan Bencana
Gambar 2.1.2
Kesiapsiagaan dalam Proses Manajemen Bencana
(Model Expand-Contract)
Selain itu juga perlu diperhatikan sifat kedinamisan dari suatu kondisi kesiapsiagaan suatu
komunitas. Tingkat kesiapsiagaan suatu komunitas dapat menurun setiap saat dengan berjalannya
waktu dan dengan terjadinya perubahan-perubahan sosial-budaya, politik dan ekonomi dari
suatu masyarakat. Karena itu sangat diperlukan untuk selalu memantau dan mengetahui kondisi
kesiapsiagaan suatu masyarakat dan melakukan usaha-usaha untuk selalu menjaga dan
meningkatkan tingkat kesiapsiagaan tersebut.
7
Dalam konteks pengurangan risiko bencana, dalam jangka panjang diharapkan terjadinya proses
pergeseran paradigma, dari pendekatan kesiapsiagaan ke pendekatan pencegahan dan mitigasi
dan hal ini memerlukan perubahan cara pandang dari tindakan-tindakan individual ke
pengembangan kebijakan dan arah dari para pengambil keputusan. Gambar 2.1.3 memperlihatkan
konteks pergeseran paradigma tersebut di atas.
Gambar 2.1.3.
Sifat Kesiapsiagaan dan Perubahan Cara Pandang
Pengurangan Risiko Bencana
Dalam mengembangkan kesiapsiagaan dari suatu masyarakat, terdapat beberapa aspek yang
memerlukan perhatian, yaitu :
- Perencanaan dan organisasi : adanya arahan dan kebijakan, perencanaan penanganan situasi
darurat yang tepat dan selalu diperbaharui (tidak tertinggal), struktur organisasi penanggulangan
bencana yang memadai
- Sumberdaya : inventarisasi dari semua organisasi sumberdaya secara lengkap dan pembagian
tugas dan tanggung jawab yang jelas
- Kesiapan : unit organisasi penanggulangan bencana harus bertanggung jawab penuh untuk
memantau dan menjaga standar kesiapan semua elemen
- Pelatihan dan Kesadaran Masyarakat : perlu adanya pelatihan yang memadai dan adanya
kesadaran masyarakat serta ketersediaan informasi yang memadai dan akurat.
- Tingkat Nasional
- Tingkat Propinsi/Daerah (Kabupaten/Kota)/Kecamatan
- Tingkat Organisasi Individual
- Tingkat Desa/Kelurahan/Nagari
- Tingkat RW/RT
- Tingkat Rumah Tangga
- Tingkat Individu/perseorangan.
Dalam mengembangkan dan memelihara suatu tingkat kesiapsiagaan, berbagai usaha perlu
dilakukan untuk mengadakan elemen-elemen penting berikut ini :
Khususnya fasilitas dan sistim operasional dari suatu kesiapsiagaan, perlu disediakan elemen-
elemen berikut ini:
Fasilitas-fasilitas penting yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan kegiatan tanggap darurat
secara memadai meliputi sarana-sarana antara lain :
Sistem peringatan dini menjadi bagian penting dari mekanisme kesiapsiagaan masyarakat, karena
peringatan dapat menjadi faktor kunci penting yang menghubungkan antara tahap kesiapsiagaan
- Ketepatan peringatan
- Jarak waktu yang tersedia antara keluarnya peringatan sampai datangnya peristiwa yang dapat
menimbulkan bencana
- Seberapa siap perencanaan pra bencana dan kesiapsiagaan masyarakat, termasuk kemampuan
masyarakat untuk menanggapi peringatan tersebut dan melakukan tindakan antisipasi secara
tepat
Gambar 2.1.4 memperlihatkan bagaimana proses urutan peringatan dini bencana terjadi, dari
mulai didapatnya informasi mengenai suatu ancaman bencana sampai terjadinya suatu tindakan
tanggap darurat untuk menanggapi peristiwa tersebut.
Gambar 2.1.4.
Mekanisme Peringatan Bencana
Sumber informasi dari mekanisme peringatan bencana dapat berasal dari tempat kejadian peristiwa
pertama dan tempat terjadinya situasi krisis. Kadang-kadang sumber ini bersifat dorman-tidak
aktif dan memerlukan satu tindakan agar dapat menghasilkan informasi bencana secara aktif.
Tanda peringatan dapat muncul dari sumber biasa, seperti masyarakat di tempat kejadian (misal
orang yang melihat air surut setelah gempa kuat sebagai tanda awal), atau dari sumber-sumber
khusus yang berwenang, misal dari sistem peringatan dini melalui pejabat/kantor yang disepakati
mempunyai wewenang (polisi, BMG, Pengamat Gunung Api, Pengamat Peil Banjir dan
sebagainya), atau dari citra satelit – foto udara dan sebagainya. Tahapan tanda peringatan ini
mengaktifkan mekanisme sistem peringatan bencana.
Penerimaan dan pencatatan pesan dalam sistem ini memegang peran penting, antara lain oleh
pusat informasi : seperti Pusat Pengendalian Operasi Darurat, Markas Polisi dan LinMas atau
posko-posko yang disepakati. Pusat informasi harus punya kemampuan mengolah dan menyimpan
informasi serta menyampaikan (display/tampilan) informasi. Hal ini penting untuk memastikan
adanya pencatatan informasi peringatan. Informasi dapat disampaikan dalam bentuk peta/gambar,
papan pengumuman, proyeksi visual (TV, layar umum dan lainnya), baligo dan sebagainya.
Proses kajian informasi merupakan fase pemanfaatan informasi. Kajian ini dapat dilakukan oleh
individual berdasarkan masukan dari staffnya dan bila dilakukan oleh pemerintah, biasanya melalui
suatu pertemuan khusus.
Proses pengambilan keputusan merupakan suatu phase kritis yang mengubah informasi jadi
tindakan nyata. Kegiatan ini dilakukan oleh individual/perseorangan yang bertanggung jawab
penuh atas tindakannya, atau oleh seseorang yang memegang tanggung jawab tertentu atas
konsultasi dengan staf atau penasihat ahlinya.
Tindakan yang dilakukan berupa tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam bentuk
serangkaian tindakan, baik dinamik maupun statik. Contoh tindakan dinamik : survei, SAR,
evakuasi, mobilisasi sumberdaya, peringatan/instruksi untuk masyarakat, sedangkan tindakan 11
statik bisa berupa menunggu informasi lebih lanjut/stand-by, atau tidak perlu mengambil tindakan
apa-apa.
- Kemampuan menerima peringatan dari sumber internasional (jaringan pemantau badai, jaringan
pemantau tsunami, informasi meteorologi dari citra satelit dan sebagainya)
- Kemampuan menyiapkan peringatan secara nasional-lokal
- Kemampuan menyampaikan peringatan dari tingkat pusat dan tingkat pemerintahan lainnya
- Kemampuan menyampaikan kepada masyarakat
- Kemampuan menerima peringatan dan melakukan tindakan berdasarkan peringatan :
Dengan sendirinya masyarakat sangat berperan dalam efektifitas sistem peringatan dini ini. Peran
ini tercermin dari kesadaran atau kepedulian masyarakat serta pemahaman terhadap sistem
peringatan, ditambah dengan kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan
terkait (tindakan antisipatif, prosedur evakuasi dan sebagainya). Harus diperhatikan juga bahwa
terlalu banyak peringatan yang salah (false alarm) dapat mengakibatkan kejenuhan atas peringatan
yang terus menerus, sehingga akhirnya sistem peringatan menjadi tidak efektif lagi.
Sistem peringatan dini juga tidak selalu efektif untuk semua jenis ancaman bahaya. Beberapa
jenis bahaya bahkan tidak mempunyai peringatan dini, seperti bahaya gempa. Gambar 2.1.5
memperlihatkan beberapa jenis bahaya atau ancaman bencana dikaitkan frekuensi kejadiannya
dan kemampuan untuk memberikan peringatan dini.
tsunami
gempa
Letusan
gunung
Tanpa Ada
Peringatan Longsor Badai Peringatan
Banjir Banjir
bandan Kebakaran
hutan
Gambar 2.1.5.
Frekuensi Ancaman Bencana dan Potensi Peringatan Dini
Dengan demikian pengembangan sistem peringatan bencana perlu memperhatikan secara realistis
jenis-jenis ancaman bencana yang bisa memberikan peringatan dini. Juga perlu memperhatikan
bahwa untuk beberapa jenis ancaman bencana yang memiliki frekuensi kejadian yang sangat
rendah dalam sistem peringatan dininya akan memiliki permasalahan bagaimana menjaga dan
Pengembangan framework dimulai dengan melakukan kajian terhadap faktor-faktor kritis (critical
factors) yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam
menghadapi bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Kajian ini dilakukan dengan
pendekatan partisipatif melibatkan berbagai komponen yang mempunyai latar belakang dan/
atau pengalaman yang berkaitan dengan kebencanaan dan kesiapsiagaan masyarakat, seperti:
peneliti geologi dan sosial dari LIPI, akademisi dari ITB dan Universitas Andalas (UNAND),
Institusi Pemerintah yang relevan (Bakornas, Depdagri, Kominfo dan Diknas), PMI, International 13
Federation of Red Cross (IFRC) dan LSM (Walhi).
Dari kajian ini disepakati 5 faktor kritis kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam, terutama
gempa bumi dan tsunami, yaitu:
1) Pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana
2) Kebijakan dan Panduan
3) Rencana untuk Keadaan Darurat Bencana
4) Sistim Peringatan Bencana
5) Kemampuan untuk Memobilisasi Sumber Daya
Ke lima faktor kritis ini kemudian disepakati menjadi parameter dalam assessment framework.
Parameter pertama adalah pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana. Pengetahuan
merupakan faktor utama dan menjadi kunci untuk kesiapsiagaan. Pengalaman bencana tsunami
di Aceh dan Nias, Jogyakarta serta berbagai bencana yang terjadi di berbagai daerah lainnya
memberikan pelajaran yang sangat berarti akan pentingnya pengetahuan tentang bencana alam.
Ketika air laut surut ke tengah laut, banyak penduduk pesisir di Aceh yang berlari ke pantai
untuk mengambil ikan-ikan yang terdampar di pantai. Mereka tidak mengetahui kalau surutnya
air laut tersebut merupakan suatu pertanda akan terjadinya tsunami. Akibatnya ketika gelombang
tsunami yang maha dahsyat menghantam pantai, sebagian besar tidak sempat menyelamatkan
diri dan menjadi korban tsunami. Pengetahuan yang dimiliki biasanya dapat mempengaruhi sikap
dan kepedulian masyarakat untuk siap dan siaga dalam mengantisipasi bencana, terutama bagi
mereka yang bertempat tinggal di daerah pesisir yang rentan terhadap bencana alam.
Parameter ke dua adalah kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan untuk
mengantisipasi bencana alam. Kebijakan kesiapsiagaan bencana alam sangat penting dan
merupakan upaya konkrit untuk melaksanakan kegiatan siaga bencana. Kebijakan yang signifikan
berpengaruh terhadap kesiapsiagaan meliputi: pendidikan publik, emergency planning, sistim
peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya, termasuk pendanaan, organisasi pengelola,
SDM dan fasilitas-fasilitas penting untuk kondisi darurat bencana. Kebijakan-kebijakan
dituangkan dalam berbagai bentuk, tetapi akan lebih bermakna apabila dicantumkan secara konkrit
dalam peraturan-peraturan, seperti: SK atau Perda yang disertai dengan job description yang
jelas. Agar kebijakan dapat diimplementasikan dengan optimal, maka dibutuhkan panduan-
panduan operasionalnya.
Parameter ke tiga adalah rencana untuk keadaan darurat bencana alam. Rencana ini menjadi
bagian yang penting dalam kesiapsiagaan, terutama berkaitan dengan evakuasi, pertolongan dan
penyelamatan, agar korban bencana dapat diminimalkan. Upaya ini sangat krusial, terutama
pada saat terjadi bencana dan hari-hari pertama setelah bencana sebelum bantuan dari pemerintah
dan dari pihak luar datang. Dari pengalaman bencana di Aceh dan berbagai pengalaman bencana
lainnya di Indonesia, menggambarkan bahwa bantuan dari luar tidak dapat segera datang, karena
rusaknya sarana infrastruktur, seperti jalan, jembatan dan pelabuhan.
Parameter ke empat berkaitan dengan sistim peringatan bencana, terutama tsunami. Sistim ini
meliputi tanda peringatan dan distribusi informasi akan terjadinya bencana. Dengan peringatan
bencana ini, masyarakat dapat melakukan tindakan yang tepat untuk mengurangi korban jiwa,
harta benda dan kerusakan lingkungan. Untuk itu diperlukan latihan dan simulasi, apa yang harus
dilakukan apabila mendengar peringatan, kemana dan bagaimana harus menyelamatkan diri dalam
waktu tertentu, sesuai dengan lokasi dimana masyarakat sedang berada saat terjadinya peringatan.
Parameter ke lima yaitu: mobilisasi sumber daya. Sumber daya yang tersedia, baik sumber daya
manusia (SDM), maupun pendanaan dan sarana – prasarana penting untuk keadaan darurat
Masing-masing stakeholder mempunyai peran dan tanggung jawab yang bervariasi terhadap
peningkatan kesiapsiagaan masyarakat. Berdasarkan tingkat kepentingan, tanggung jawab dan
sensitifitasnya, maka kajian ini mengelompokkan tujuh stakeholders kesiapsiagaan bencana
tersebut menjadi dua bagian, yaitu stakeholders utama dan stakeholders pendukung.
Stakeholders Utama
Dalam kajian ini disepakati tiga stakeholders yang termasuk dalam kelompok stakeholders
utama, yaitu:
Ketiga stakeholders ini memegang peran yang sangat penting dalam kesiapsiagaan masyarakat.
Individu dan rumah tangga merupakan ujung tombak, subjek dan objek dari kesiapsiagaan,
karena berpengaruh secara langsung terhadap resiko bencana. Pemerintah juga mempunyai peran
dan tanggung jawab yang sangat penting, terutama dalam kondisi sosial ekonomi masyarakat
yang masih memerlukan peran pemerintah, terutama dalam pendidikan masyarakat yang berkaitan
dengan bencana, penyediaan fasilitas, sarana dan prasarana publik untuk keadaan darurat, seperti:
tempat-tempat evakuasi atau bangunan untuk penyelamatan sementara, pertolongan dan evakuasi
korban bencana, pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban bencana, peringatan bencana dan
mobilisasi sumber daya baik dari pemerintah maupun pihak luar. Sedangkan komunitas sekolah
mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber pengetahuan, penyebar-luasan pengetahuan
tentang bencana dan petunjuk praktis apa yang harus disiapkan sebelum terjadinya bencana dan
apa yang harus dilakukan pada saat dan setelah terjadinya bencana.
1. Kelembagaan masyarakat, seperti: PKK, karang taruna, majelis taklim, kerapatan adat,
pemuda mesjid/gereja, dan lainnya
2. LSM dan Ornop
3. Kelompok profesi
4. Pihak swasta
Ke empat stakeholders tersebut mempunyai potensi yang besar dalam upaya meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat. Peran dan kontribusi masing-masing stakeholder bervariasi sesuai
dengan tujuan dan kemampuan masing-masing. Bentuk kontribusi juga bermacam-macam, baik
dalam bentuk tenaga, pelatihan, bimbingan teknis, penyebaran informasi, pengadaan materi dan
sarana/perlengkapan kesiapsiagaan maupun dalam bentuk dana.
Variabel
Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat, maka lima parameter yang telah disepakati
tersebut harus diterjemahkan menjadi variabel-variabel yang dapat dihitung nilainya. Jumlah variabel
bervariasi antar parameter dan antar stakeholders, sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi
masing-masing.
Parameter 2: Kebijakan, peraturan dan panduan dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu:
Parameter 3: Rencana untuk keadaan darurat diterjemahkan menjadi delapan variabel, yaitu:
Parameter 4: Sistim Peringatan Bencana Tsunami dijabarkan kedalam tiga variabel, yaitu:
- Sistim peringatan bencana secara tradisional yang telah berkembang/berlaku secara turun
temurun dan/atau kesepakatan lokal
- Sistim peringatan bencana berbasis teknologi yang bersumber dari pemerintah, termasuk instalasi
peralatan, tanda peringatan, diseminasi informasi peringatan dan mekanismenya
- Latihan dan simulasi
Sesuai dengan metode yang digunakan, maka dalam kajian ini dikembangkan satu paket instrumen
yang terdiri dari 3 set, yaitu: daftar pertanyaan atau kuesioner, panduan wawancara mendalam
dan panduan FGD workshop (penjelasan detail dapat dilihat pada bab 3 bagian 3.2.). Ke tiga
set instrumen ini disajikan pada lampiran 8.1. sampai 8.4.
Setelah paket instrumen selesai, maka dilakukan uji coba untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan
masyarakat di tiga lokasi kajian. Lokasi pertama dipilih perdesaan di Kabupaten Aceh Besar
dimana masyarakat di kedua desa tersebut pernah mengalami bencana tsunami pada tanggal 26
Desember 2006. Lokasi ke dua adalah Kota Bengkulu yang termasuk sebagai daerah yang
rentan bencana, khususnya gempa bumi dan tsunami. Kota Bengkulu dengan jumlah penduduk
hampir 300 ribu jiwa ini menjadi contoh untuk kota menengah/sedang di Indonesia. Lokasi ke
tiga adalah Kota Padang yang juga sangat rentan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Kota dengan penduduk sekitar 800 ribu jiwa dan sebagian besar tinggal di wilayah pesisir ini
menjadi contoh untuk kesiapsiagaan kota besar.
Berdasarkan hasil uji coba di Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Kota Padang, langkah selanjutnya
adalah melakukan editing framework dan paket instrumen. Dengan demikian, framework dan
instrumen-instumen yang dihasilkan adalah framwework dan paket instrumen yang sensitif dan
operasional, sehingga dapat digunakan untuk mengkaji kesiapsiagaan masyarakat di daerah-
daerah lain, terutama di daerah-daerah yang rentan terhadap bencana alam, di seluruh wilayah
Indonesia.
Dari kajian ini diidentifikasi tujuh stakeholders yang berkaitan erat dengan kesiapsiagaan
masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam, yaitu: individu dan rumah tangga, instansi
pemerintah yang berkaitan dengan pengelolaan bencana, komunitas sekolah, lembaga swadaya
masyarakat (LSM) dan organisasi non pemerintah (ornop), kelembagaan masyarakat, kelompok
profesi dan pihak swasta. Dari ke tujuh stakeholders tersebut disepakati tiga sebagai stakeholders 19
utama dalam kesiapsiagaan bencana, yaitu: individu dan rumah tangga, pemerintah dan komunitas
sekolah.
Ke tiga stakeholders utama ini mempunyai peran yang sangat besar dan menjadi key players
untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Framework dari stakeholders utama, yaitu:
individu dan rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah, dapat dilihat pada matrik 2.3.1.,
2.3.2. dan 2.3.3.
- Tersedianya alat/akses
komunikasi alternatif keluarga
(HP/radio/HT)
1. Pengetahuan Pengetahuan
- Kejadian alam dan bencana - Menjelaskan sejarah terjadinya
(tipe, sumber, besaran, bencana dan dampak yang
lokasi) ditimbulkan
- Menjelaskan tipe-tipe, sumber,
penyebab dan besaran/skala bencana
- Menyebutkan jenis-jenis bencana
- Bencana ikutan/turunan yang terjadi setelah gempa
yang di akibatkan - Menjelaskan tingkat kerentanan
terjadinya gempa masyarakat terhadap bencana alam
- Kerentanan fisik (lokasi, - Menjelaskan kondisi dan rencana
kondisi fasilitas-fasilitas fasilitas-fasilitas kritis
kritis, standar bangunan),
2. Kebijakan dan Kebijakan - Tersedianya kebijakan dan panduan
Panduan tentang organisasi pengelola bencana,
rencana aksi untuk tanggap darurat,
sistim peringatan bencana, mobilisasi
sumber daya, dan pendidikan
masyarakat
- Alokasi dana untuk kesiapsiagaan
bencana
- Adanya fakta/data pelaksanaan 23
kebijakan dan panduan
- Adanya kebijakan lain yang
mendukung kesiapsiagaan bencana
(seperti: RTRW, Renstra,
AKU/KUA, IMB, SNI)
Peraturan Tersedianya peraturan yang berkaitan
dengan:
- Organisasi pengelola bencana dan
prosedur tetap (protap) pelaksanaan
- Tempat-tempat evakuasi dan gedung-
gedung/bangunan untuk
penyelamatan sementara, pengecekan
dan pemeliharaan gedung-gedung
tempat evakuasi
- Pemenuhan kebutuhan dasar
(penyediaan, penyimpanan dan
distribusi dalam keadaan darurat) dan
protap pelaksanaan
27
1. Pengetahuan Pengetahuan
dan Sikap
- Kejadian alam dan bencana - Menjelaskan tipe-tipe, sumber, penyebab
(tipe, sumber, besaran, dan intensitas bencana
lokasi)
- Menyebutkan jenis-jenis bencana yang
- Bencana ikutan/turunan terjadi setelah gempa
yang di akibatkan
- Menjelaskan kerentanan lingkungan dan
terjadinya gempa
bangunan fisik sekolah
- Kerentanan fisik (lokasi dan
kondisi bangunan)
Sikap terhadap resiko bencana - Motivasi komunitas sekolah untuk
kesiapsiagaan mengantisipasi terjadinya
bencana alam
2. Kebijakan dan Kebijakan - Adanya kebijakan pendidikan dan panduan
Panduan untuk kesiapsiagaan bencana
- Tersedianya fakta/data pelaksanaan
kebijakan pendidikan kesiapsiagaan
bencana
Peraturan - Adanya peraturan-peraturan pendidikan
yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
bencana
- Tersedianya fakta/data tentang pelaksanaan
dari peraturan-peraturan pendidikan yang
berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana
3. Rencana Rencana untuk Merespon - Tersedianya rencana sekolah untuk keadaan
Tanggap Keadaan Darurat darurat
Darurat
- Tersedianya prosedur tetap (protap) sekolah
untuk keadaan darurat bencana
Rencana Evakuasi - Tersedianya rencana tempat-tempat, peta
dan jalur evakuasi
LSM dan Ornop, dan kelembagaan masyarakat mempunyai potensi yang besar untuk membimbing
masyarakat dalam meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Sebagai contoh, LSM
KOGAMI (Komunitas Siaga Tsunami) di Padang berupaya meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang gempa dan tsunami dan melakukan beberapa latihan simulasi evakuasi. PMI yang tersebar
di seluruh wilayah Indonesia, mempunyai kapasitas yang cukup besar, baik dari tenaga dan relawan
maupun peralatan dan perlengkapan evakuasi, untuk membimbing dan melatih masyarakat.
Peran kelompok profesi bervariasi, sesuai dengan keahlian dan pengalaman masing-masing profesi.
Kelompok insinyur teknik atau ahli konstruksi dan bangunan, misalnya, dapat berperan secara
aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai rumah atau bangunan tahan gempa
dan tsunami. Kelompok jurnalis mempunyai peran dalam menyebar-luaskan informasi mengenai
kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, dampak bencana, persiapan apa saja yang harus
dilakukan untuk mengantisipasi bencana dan kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan ketika terjadinya
bencana.
Sedangkan pihak swasta mempunyai interes yang lebih besar dari stakeholders pendukung lain.
Di satu sisi, pihak swasta termasuk para pelaku bisnis perlu meningkatkan kesiapsiagaan
perusahaannya masing-masing dalam menghadapi bencana alam. Di sisi lain, pihak swasta juga
mempunyai ‘kewajiban sosial’ untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, terutama yang
bertempat tinggal di sekitar perusahaan.
Paremeter/ Indikator
Variabel Kelembagaan LSM dan Ornop Kelompok Profesi (KP) Pihak Swasta (PS)
Masyarakat (KM)
Pengetahuan
- Kejadian alam dan - Mendiskripsikan tipe- - Mendiskripsikan tipe- - Adanya fakta/data - Adanya fakta/data
bencana (tipe, sumber, tipe kejadian alam yang tipe kejadian alam yang kontribusi/partisipasi kontribusi/partisipasi
besaran, lokasi) menimbulkan bencana, menimbulkan bencana, dalam meningkatkan dalam meningkatkan
sumber, penyebab dan sumber, penyebab dan pengetahuan pengetahuan
besaran/skala bencana besaran/skala bencana
- Bencana ikutan/turunan masyarakat tentang masyarakat tentang
- Menjelaskan bencana - Menjelaskan bencana kejadian alam dan kejadian alam dan
yang di akibatkan
ikutan yang diakibatkan ikutan yang diakibatkan bencana alam bencana alam
terjadinya gempa
terjadinya gempa terjadinya gempa (penyediaan materi/
- Kerentanan fisik (lokasi, - Adanya fakta/data
- Menjelaskan kerentanan - Menjelaskan kerentanan kontribusi/partisipasi bahan, dana)
kondisi fasilitas-fasilitas
masyarakat terhadap masyarakat terhadap
kritis, standar bangunan, dalam meningkatkan - Adanya fakta/data
bahaya fisik bahaya fisik
bagaimana kejadian pengetahuan kontribusi/partisipasi
alam merusak fasilitas - Menjelaskan kebijakan, - Menjelaskan kebijakan, masyarakat untuk dalam meningkatkan
dan menyebabkan peraturan dan panduan peraturan dan panduan mengurangi resiko pengetahuan
bencana yang dikeluarkan yang dikeluarkan dari kerentanan masyarakat untuk
pemerintah berkaitan pemerintah berkaitan
lingkungan dan fisik mengurangi resiko
dengan kesiapsiagaan dengan kesiapsiagaan
bencana bangunan dari kerentanan fisik
bencana
bangunan
Sikap terhadap resiko Orientasi terhadap resiko Orientasi terhadap resiko Orientasi terhadap resiko Orientasi terhadap resiko
bencana bencana, digambarkan dari bencana, digambarkan dari bencana, digambarkan dari bencana, digambarkan dari
motivasi kelembagaan motivasi LSM dan ornop motivasi kelompok profesi motivasi pihak swasta
masyarakat untuk untuk meningkatkan untuk meningkatkan untuk meningkatkan
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat kesiapsiagaan masyarakat kesiapsiagaan masyarakat
kesiapsiagaan masyarakat
Rencana Evakuasi - Adanya kontribusi Peran LSM dan Ornop - Adanya kontribusi - Adanya kontribusi
Kelembagaan dalam: kelompok profesi (KP) pihak swasta (PS)
Masyarakat (KM) dalam - mensosialissikan dalam pembuatan rencana dalam pembuatan
membuat rencana tempat-tempat, peta evakuasi (penentuan rencana evakuasi
tempat evakuasi dan jalur evakuasi tempat, desain dan (bahan/material,
masyarakat, peta, rambu
bimbingan teknis) dana)
dan jalur evakuasi
- membimbing
masyarakat membuat
peta, rambu dan jalur
evakuasi di
lingkungannya
Pertolongan Pertama, - Tersedianya rencana - Tersedianya rencana - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi
Penyelamatan, untuk pertolongan untuk pertolongan untuk pengembangan PS untuk
Keselamatan dan pertama pertama rencana kegiatan pengembangan
Keamanan pertolongan, rencana kegiatan
- Tersedianya rencana - Tersedianya rencana
penyelamatan, pertolongan,
untuk penyelamatan dan untuk penyelamatan
keselamatan dan penyelamatan,
pengamanan dan pengamanan
pengamanan dalam keselamatan dan
- Adanya fakta yang - Adanya fakta yang keadaan darurat bencana pengamanan dalam
menunjukkan partisipasi menunjukkan keadaan darurat
KM dalam kontribusiLSM dan bencana
pengembangan rencana Ornop dalam
untuk kegiatan pengembangan
pertolongan, rencana kegiatan
penyelamatan dan pertolongan,
pengamanan untuk penyelamatan dan
keadaan darurat di pengamanan untuk
lingkungan masyarakat keadaan darurat di
lingkungan
masyarakat
Penyediaan kebutuhan - Adanya kontribusi KM Peran LSM dan Ornop: - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi
dasar dalam merencanakan - membimbing dalam penyediaan, PS dalam
penyediaan kebutuhan masyarakat untuk penyimpanan dan penyediaan,
dasar masyarakat untuk menyiapkan distribusi kebutuhan dasar penyimpanan dan
33
33
34
- Adanya akses dari - mempunyai akses
pemerintah atau dari pemerintah atau
stakeholder lain untuk stakeholder lain
distribusi kebutuhan untuk distribusi
dasar kepada korban kebutuhan dasar
kepada korban
-
Peralatan dan - Tersedianya akses KM - Tersedianya akses - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi
Perlengkapan untuk menyediakan LSM dan Ornop untuk mengembangkan PS untuk
peralatan dan untuk menyediakan dan menyediakan peralatan mengembangkan
perlengkapan perlengkapan untuk dan perlengkapan dan menyediakan
kesiapsiagaan bencana kesiapsiagaan kesiapsiagaan bencana peralatan dan
Fasilitas-Fasilitas Penting - Adanya kontribusi KM - Adanya kontribusi - Adanya kontribusi KP untuk - Adanya kontribusi PS
(Rumah sakit, Pemadam untuk memfasilitasi LSM dan Ornop memfasilitasi masyarakat untuk memfasilitasi
Kebakaran, PAM, PLN, masyarakat dalam untuk memfasilitasi dalam mendapatkan akses masyarakat dalam
Telkom, Jalan/jembatan mendapatkan akses dan masyarakat dalam dan pelayanan terhadap mendapatkan akses
utama, pelabuhan, pelayanan terhadap mendapatkan akses fasilitas-fasilitas penting dan pelayanan
bandara) fasilitas-fasilitas penting dan pelayanan dalam keadaan darurat terhadap fasilitas-
dalam keadaan darurat terhadap fasilitas- bencana fasilitas penting dalam
bencana fasilitas penting keadaan darurat
dalam keadaan bencana
darurat bencana
Latihan dan - Jumlah anggota KM - Jumlah staf yang - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi
simulasi/gladi yang terlatih terlatih dalam meningkatkan PS dalam kegiatan
kesiapsiagaan - Jumlah kemampuan masyarakat simulasi
- Jumlah pelatihan/sosialisasi (konsep, training, (peralatan/bahan,
pelatihan/sosialisasi yang dilakukan panduan) tenaga, dana)
yang dilakukan kepada kepada masyarakat
masyarakat - Frekuensi simulasi
- Frekuensi simulasi gladi gladi (publik dan
(publik dan KM) LSM/Ornop)
Tradisional - Adanya kontribusi atau - Adanya kontribusi atau - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi PS
akses KM dalam akses LSM dan Ornop dalam pelaksanaan dalam pelaksanaan
Lokal pelaksanaan sistim dalam pelaksanaan sistim peringatan sistim peringatan
peringatan bencana sistim peringatan bencana secara lokal bencana secara lokal
secara tradisional dan bencana secara (desain, bimbingan (peralatan, dana,
lokal tradisional dan lokal teknis) bimbingan teknis)
Teknologi (tanda, sinyal, - Adanya akses KM - Adanya akses LSM - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi PS
standar) untuk mendapatkan dan Ornop untuk dalam dalam
informasi dari sistim mendapatkan mengembangkan mengembangkan
peringatan bencana informasi dari sistim teknologi sistim teknologi sistim
berbasis teknologi peringatan bencana peringatan bencana peringatan bencana
berbasis teknologi (bimbingan teknis dan
- Adanya
kontribusi/bimbingan dana)
teknis KP dalam
pemasangan peralan
35
35
36
- Diseminasi peringatan - Adanya rencana dan - Adanya rencana dan - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi PS
dan mekanisme prosedur untuk prosedur untuk dalam mendesain dan dalam
penyebarluasan informasi penyebarluasan informasi menyebar-luaskan mendiseminasikan
peringatan bencana peringatan bencana informasi peringatan sistim peringatan
kepada masyarakat kepada masyarakat
bencana bencana (penyediaan
- Adanya partisipasi KM - Adanya kontribusi LSM
bahan/perlengkapan/
dalam pengembangan dan Ornop dalam dana)
rencana dan prosedur pengembangan rencana
untuk penyebarluasan dan prosedur untuk
informasi peringatan penyebarluasan informasi
bencana kepada peringatan bencana
Latihan dan simulasi - Jumlah staf yang terlatih - Jumlah staf yang terlatih - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi PS
- Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi LSM dalam kegiatan dalam kegiatan
dalam mensosialisasikan dan Ornop dalam simulasi (konsep, simulasi (penyediaan
sistim peringatan mensosialisasikan sistim protap, training) bahan/perlengkapan/
bencana kepada peringatan bencana
dana)
masyarakat di kepada masyarakat
lingkungannya
- Frekuensi simulasi gladi
- Frekuensi simulasi gladi (publik dan LSM/
(publik dan KM) Ornop)
5. Mobilisasi Sumber Daya
Penataan Kelembagaan - Adanya tim/bagian - Adanya organisasi/tim - Adanya tim/bagian - Adanya tim/bagian
yang menangani kesiapsiagaan/ yang menangani yang menangani
kesiapsiagaan/ penanggulangan kesiapsiagaan/ kesiapsiagaan/
penanggulangan bencana penanggulangan penanggulangan
bencana bencana bencana
Komunikasi dan - Adanya data tentang - Adanya data - Adanya data tentang - Adanya data tentang
Koordinasi antar keikutsertaan KM dalam keikutsertaan LSM dan keikutsertaan KP dalam keikutsertaan PS dalam
Stakeholders yang jaringan/ organisasi Ornop dalam jaringan/ organisasi kegiatan kesiapsiagaan
relevan kesiapsiagaan bencana jaringan/organisasi kesiapsiagaan bencana bencana yang dilakukan
kesiapsiagaan bencana baik pemerintah maupun pemerintah dan
- Adanya partisipasi KM stakeholders lain stakeholders lain
dalam kegiatan - Adanya kontribusi LSM
kesiapsiagaan dan Ornop dalam
masyarakat yang kegiatan kesiapsiagaan
dilakukan oleh masyarakat yang
pemerintah dan dilakukan oleh
stakeholders lain pemerintah dan
stakeholders lain
Sumber Daya Manusia - Jumlah anggota/personil - Jumlah anggota/personil - Jumlah anggota KP - Jumlah staf/personil
yang dapat dialokasikan yang dapat dialokasikan yang dapat dialokasikan yang dapat dialokasikan
dan dimobilisasi untuk dan dimobilisasi untuk dan dimobilisasi untuk dan dimobilisasi untuk
kegiatan kesiapsiagaan kegiatan kesiapsiagaan kegiatan kesiapsiagaan kegiatan kesiapsiagaan
bencana bencana bencana bencana
Bimbingan Teknis dan - Adanya fakta/data - Adanya fakta/data - Adanya kontribusi KP - Adanya kontribusi
Penyediaan Materi bimbingan teknis yang bimbingan teknis yang dalam kegiatan/ berupa bimbingan
diberikan KM kepada diberikan LSM dan bimbingan teknis dan teknis, penyediaan
masyarakat Ornop kepada pengembangan materi materi/dana untuk
masyarakat kesiapsiagaan kegiatan kesiapsiagaan
Bab tiga terfokus pada kegiatan kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana
alam yang dilaksanakan di tiga lokasi, yaitu: perdesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu
dan Padang. Bab ini dimulai dengan penjelasan mengenai metodologi yang digunakan dalam
kajian, meliputi: metode pengumpulan data, analisis data, instrumen dan pemilihan sampel atau
sampling. Kemudian dikemukakan jadwal kegiatan dan aktivitas selama kajian di lapangan,
termasuk survei, Diskusi Kelompok Terfokus atau FGD, workshop dan wawancara mendalam.
Untuk mendapatkan gambaran yang utuh selama kajian, pada bagian akhir dikemukakan juga
anggota tim yang terlibat dalam kajian, baik yang berasal dari tim LIPI maupun anggota tim
daerah yang direkrut untuk membantu kajian di lapangan.
3.1. METODE
Kajian ini menggunakan kombinasi antara metode kuantitiatif, kualitatif dan partisipatif. Masing-
masing metode mempunyai kekuatan dan kelemahan, karena itu kombinasi ketiga metode ini
diharapkan akan menghasilkan kajian yang komprehensif. Metode kuantitatif difokuskan pada
kegiatan survei/angket dengan daftar pertanyaan yang didesain secara tertutup. Dengan survei/ 41
angket analisa didasarkan pada data kuantitatif hasil survei/angket, bukan pada perkiraan atau
subjektifitas peneliti atau penulis. Kelemahan dari survei/angket adalah data yang dikumpulkan
terbatas pada pertanyaan tertutup di kuesioner, sehingga tidak memberikan ruang kepada
pewawancara untuk mengeksplor informasi atau kepada responden untuk memberikan gambaran
yang lebih mendalam sesuai dengan kejadian di lapangan.
Dalam kajian ini, kelemahan dari metode survei/angket diatasi dengan menggunakan metode
kualitatif dan partisipatif. Metode kualitatif merupakan metode penelitian yang menekankan
pengumpulan data secara kualitatif, seperti: wawancara mendalam dan observasi lapangan.
Metode ini memberikan peluang kepada peneliti untuk mengumpulkan data dan informasi secara
mendalam dan kontekstual sesuai dengan kondisi dan kejadian di lokasi kajian. Karena itu, data
dan informasi yang dikumpulkan lebih kaya dan lebih sensitif, apabila dibandingkan dengan metode
kuantitatif.
Kajian ini juga menggunakan metode partisipatif dengan melibatkan stakeholders kesiapsiagaan
masyarakat di lokasi-lokasi kajian. Metode ini dilakukan melalui dua cara, yaitu: Diskusi Kelompok
Data yang dikumpulkan dalam kajian ini terdiri dari dua sumber, yaitu data primer dan sekunder.
Data Primer
- Survei /Angket
Survei/angket dilakukan pada stakeholders utama, yaitu: individu dan rumah tangga, komunitas
sekolah dan pemerintah. Masing-masing stakeholder menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner)
yang berbeda dengan data set yang berbeda juga. Kuesioner didesain lengkap dengan petunjuk
praktis untuk mengisi jawaban dan dikemas secara sederhana dengan bahasa yang mudah
dimengerti, sehingga responden dapat mengisi sendiri pertanyaan-pertanyaan pada kuesioner.
Dengan desain kuesioner yang sederhana dan praktis ini diharapkan di masa yang akan datang,
masyarakat, pemerintah dan komunitas sekolah dapat mengukur sendiri tingkat kesiapsiagaannya
masing-masing.
Pada kajian ini, pengumpulan data untuk stakeholder individu dan rumah tangga masih dibantu
oleh pewawancara-pewawancara yang telah dilatih. Untuk Kota Bengkulu dan Padang,
pewawancara adalah mahasiswa/mahasiswi dari Universitas Bengkulu (UNIB) dan Universitas
Andalas (UNAND). Sedangkan untuk perdesaan di Kabupaten Aceh Besar, pewawancara
adalah relawan-relawan PMI dari Banda Aceh.
Sedangkan untuk komunitas sekolah dan pemerintah menggunakan angket dimana responden
mengisi kuesioner sendiri. Sebelum pengisian kuesioner dimulai, mereka diberi penjelasan terlebih
dahulu mengenai bagaimana cara mengisi kuesioner oleh anggota tim, mahasiswa UNIB dan
UNAND serta relawan PMI yang telah mendapat pelatihan dari tim LIPI.
Untuk komunitas sekolah, dipilih sekolah SD atau sederajat, SMP atau sederajat dan SMA atau
sederajat. Pemilihan sekolah disesuaikan dengan lokasi-lokasi survei/angket untuk individu dan
rumah tangga. Di samping itu, pemilihan sekolah juga disesuaikan dengan beberapa kriteria,
seperti: jarak sekolah dengan pantai atau kerentanan lingkungan sekolah dari bencana tsunami,
keterlibatan komunitas sekolah dengan kegiatan kesiapsiagaan (sekolah yang pernah dan belum
pernah mendapat pelatihan kesiapsiagaan), dan tingkat keunggulan sekolah (sekolah yang unggul
dengan fasilitas yang lengkap dan sekolah yang tidak unggul dengan sarana dan fasilitas belajar
mengajar yang minim). Jumlah sekolah bervariasi antar tingkatan dan antar lokasi kajian, disesuaikan
dengan jumlah sekolah dan siswa.
Kuesioner untuk komunitas sekolah terdiri dari tiga seri. Kuesioner pertama (dengan seri S1)
adalah daftar pertanyaan untuk kelembagaan sekolah yang diisi oleh kepala sekolah atau yang
mewakili. Kuesioner ke dua (seri S2) merupakan daftar pertanyaan untuk guru dan diisi oleh
guru-guru yang mewakili sekolah yang terpilih. Kuesioner-kuesioner diberikan pada guru-guru
dan ditinggal beberapa hari untuk memberi kesempatan untuk mengisi. Kuesioner-kuesioner 43
yang telah diisi ini kemudian diambil oleh anggota tim (mahasiswa) pada hari dan waktu yang
telah disepakati sebelumnya. Sedangkan kuesioner ke tiga (seri S3) untuk siswa yang diisi oleh
siswa kelas 5 dan 6 untuk tingkat SD, kelas 2 untuk tingkat SMP dan SMA. Berbeda dengan
guru, pengisian kuesioner untuk siswa dilakukan di dalam kelas, setelah mendapat penjelasan
dari anggota tim (mahasiswa). Jumlah responden guru dan siswa bervariasi antar sekolah dan
daerah (keterangan detail dapat dilihat pada bagian 3.3).
Seperti komunitas sekolah, pengumpulan data untuk pemerintah juga menggunakan angket berupa
kuesioner yang terdiri dari tiga set. Kusioner pertama merupakan daftar pertanyaan untuk
pemerintah kota (seri P1). Pertanyaan ditujukan pada berbagai instansi yang berkaitan dengan
pengelolaan bencana dan BUMN yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dan fasilitas-
fasilitas kritis untuk keadaan darurat bencana. Untuk memudahkan pengumpulan data, kuesioner
P1 (satu kuesioner) diberikan kepada Ketua Bappeda Kota Bengkulu dan Padang untuk
mengkoordinir pengisian kuesioner. Untuk memudahkan pengisian, maka anggota tim menjelaskan
bagaimana cara mengisi kuesioner. Kuesioner yang telah diisi diambil kembali setelah beberapa
hari sesuai dengan kesepakatan. Kuesioner yang ke dua (seri P2) ditujukan pada aparat/staf
Jumlah responden bervariasi antar stakeholders dan lokasi kajian, disesuaikan dengan jumlah
dan kepadatan penduduk, jumlah sekolah dan siswa, dan tingkat kerentanan lokasi terhadap
bencana alam, khususnya tsunami. Untuk perdesaan di Kabupaten Aceh Besar, jumlah responden
sebanyak 200 orang. Untuk Kota Bengkulu yang merupakan contoh kota menengah, responden
berjumlah 2000 orang. Sedangkan Kota Padang yang merupakan contoh kota besar, jumlah
responden dua kali lebih banyak dari Kota Bengkulu, yaitu sebanyak 4000 responden. Keterangan
pembagian responden secara rinci akan di jelaskan pada bagian 3.3.
Pengumpulan data secara partisipatif dengan kelompok masyarakat dan komunitas sekolah
dilakukan melalui Diskusi Kelompok Terfokus atau Focus Group Discussions (FGD) di seluruh
lokasi kajian. Kegiatan FGD bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan peserta FGD tentang
bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami, dan kerentanan lingkungan fisik. Di samping
itu, FGD juga bertujuan untuk memahami tingkat kesiapsiagaan kelompok masyarakat dan
komunitas sekolah untuk mengantisipasi terjadinya bencana, termasuk rencana tanggap darurat,
seperti: tempat dan jalur evakuasi, pertolongan, penyelamatan dan pengamanan, pemenuhan
kebutuhan dasar; sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya ditingkat masyarakat
dan komunitas sekolah.
Kegiatan FGD menghasilkan data dan informasi umum mengenai tingkat pengetahuan dan
kesiapsiagaan masyarakat dan komunitas sekolah. Data dan informasi tersebut perlu digali lebih
mendalam melalui metode pengumpulan data lain, seperti: wawancara mendalam.
- Workshop
Pengumpulan data dan informasi juga dilakukan melalui workshop di Kota Bengkulu dan Padang.
Kegiatan ini melibatkan seluruh komponen masyarakat, termasuk: instansi pemerintah yang terlibat
dalam pengelolaan bencana, kelembagaan dan tokoh masyarakat, LSM dan ORNOP, komunitas
sekolah, kelompok profesi, kelompok perempuan dan pihak swasta.
Tujuan workshop adalah untuk menjaring informasi secara cepat dan partisipatif mengenai (1)
pengetahuan tentang bencana alam, kerentanan lingkungan, fisik dan masyarakat terhadap
bencana, (2) kebijakan, peraturan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana,
Dari hasil workshop diperoleh informasi umum mengenai tingkat pengetahuan, kondisi dan
permasalahan berkaitan dengan kesiapsiagaan masyarakat di Kota Bengkulu dan Padang.
Informasi tersebut perlu digali lebih mendalam melalui wawancara mendalam.
- Wawancara Mendalam
- Tingkat Kota:
- Satlak
- Instansi-instansi pemerintah: Bappeda, Dinas Kesehatan, Sekertaris Kota, Dinas Tenaga
Kerja dan Sosial, Kesbang Linmas, Kesra, Infokom, Dinas Kimpraswil/PU, Dinas
Pendidikan, Dinas Perhubungan, BMG, Satpol PP, Polres, Kodim, Lanal
- PLN, PDAM, Telkom
- Komunitas sekolah
- Kelembagaan Masyarakat: PKK, Karang Taruna, IKM (Ikatan Keluarga Melayu), BMA
(Badan Musyawarah Adat), Tiga Setungku (Ninik-mamak, cerdik-pandai dan alim ulama) 45
- LSM dan ORNOP: KOGAMI, Walhi, PMI
- Kelompok Profesi: RAPI, Press Club, Radio, Inkindo
- Pihak swasta: GAPENSI, Perusahaan (Semen Padang)
- Tingkat Kecamatan:
- Camat
- Komunitas Sekolah: Kepala sekolah dan guru
- Tingkat Kelurahan:
Data Sekunder
Untuk melengkapi data primer, kajian ini juga mengumpulkan data dari sumber sekunder. Pada
dasarnya data sekunder dikelompokkan dalam tiga bagian. Bagian pertama berupa data dasar,
seperti: data penduduk (demografi, sosial-ekonomi), sekolah (jumlah sekolah, guru dan siswa)
dan profil daerah. Bagian ke dua berupa kebijakan, peraturan dan panduan yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan dan pengelolaan bencana. Bagian ke tiga berupa hasil studi dan artikel
yang relevan.
Data hasil survei individu, komunitas sekolah, dan pemerintah di ketiga lokasi (perdesaan
Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang) diolah dengan komputer. Data dientry
menggunakan SPSS data entry versi 4. Setelah melalui tahapan cleaning data, kemudian data
tersebut dianalisis dengan SPSS 11.5 for Windows. Teknik analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan membuat tabel tiap-tiap variabel maupun tabel silang antar variabel,
diagram batang, diagram lingkaran dan analisis indeks. Tabel tunggal, tabel silang antar variabel,
maupun bar chart digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kesiapsiagaan masyarakat dalam
menghadapi bencana alam.
Analisis indeks dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui tingkat kesiapsiagaan masyarakat
menghadapi bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Indeks merupakan angka
perbandingan antara satu bilangan dengan bilangan lain yang berisi informasi tentang suatu
kharakteristik tertentu pada waktu dan tempat yang sama atau berlainan. Agar lebih sederhana
dan mudah dimengerti, nilai perbandingan tersebut dikalikan 100. Angka indeks dalam penelitian
ini meliputi indeks per parameter yaitu knowledge and attitude (KA); emergency planning
(EP), Warning System (WS), dan Resource Mobilization Capacity (RMC) pada setiap sumber
data survey/angket. Selain itu ada indeks gabungan antar parameter dalam satu sumber data
(indeks RT, indeks S1, indeks S2, dan seterusnya), maupun indeks gabungan satu parameter
yang berasal dari beberapa sumber data, seperti: indeks KA untuk komunitas sekolah (KS),
indeks KA untuk pemerintah (P), dan selanjutnya. Semakin tinggi angka indeks berarti semakin
Indeks per parameter pada individu (RT), sekolah (S1), guru (S2), siswa (S3), pemerintah kota
(P1), staf pemerintah (P2), dan pemerintah kecamatan (P3) dalam kajian ini mengggunakan
angka indeks gabungan tidak ditimbang, artinya semua pertanyaan dalam parameter tersebut
mempunyai bobot yang sama. Penentuan nilai indeks untuk setiap parameter dihitung berdasar
rumus :
Skor maksimum parameter diperoleh dari jumlah pertanyaan dalam parameter yang diindeks
(masing-masing pertanyaan bernilai satu). Apabila dalam 1 pertanyaan terdapat sub-sub
pertanyaan (a,b,c dan seterusnya), maka setiap sub pertanyaan tersebut diberi skor 1/jumlah
sub pertanyaan. Total skor riil parameter diperoleh dengan menjumlahkan skor riil seluruh
pertanyaan dalam parameter yang bersangkutan. Indeks berada pada kisaran nilai 0 – 100,
sehingga semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat preparednessnya. Setelah dihitung 47
indeks parameter dari satu responden baik siswa, guru, maupun individu/rumah tangga kemudian
dapat ditentukan nilai indeks keseluruhan sampel. Jika jumlah sampel adalah n, maka indeks
keseluruhan sampel dapat dihitung dengan menjumlahkan indeks seluruh sampel dibagi dengan
jumlah sampel (n).
Indeks gabungan dari beberapa parameter dihitung menggunakan indeks gabungan ditimbang,
artinya masing-masing parameter mempunyai bobot berbeda. Angka indeks gabungan dalam
kajian ini meliputi: indeks individu dan rumah tangga, indeks komunitas sekolah (guru, siswa, dan
institusi sekolah), dan indeks pemerintah (staff aparat, institusi pemerintah kota, dan institusi
pemerintah kecamatan). Secara sederhana angka indeks gabungan diperoleh dengan rumus
sebagai berikut :
No Komponen Parameter
komunitas sekolah KA PS EP WS RMC Total
1 Sekolah (S1) - 10 14 4 6 34
2 Guru (S2) 30 - 7 2 3 42
3 Siswa (S3) 20 - 2 1 1 24
Total 50 10 23 7 10 100
1 P1 - 13 18 7 15 53
2 P2 20 - 2 2 3 27
3 P3 - 7 5 1 7 20
Total 20 20 25 10 25 100
Indeks (P1)
= (13/53)*indeksPS + (18/53)*indeksEP + (7/53)* indeksWS + (15/53)*indeks RMC
= 0,25*indeksPS + 0,34*indeksEP + 0,13* indeks WS + 0,28*indeks RMC
Indeks (P2)
= 0,74*indeksKA + 0,07*indeksEP + 0,07* indeks WS + 0,11*indeks RMC
Indeks (P3)
= 0,35*indeksPS + 0,25*indeksEP + 0,05*WS + 0,35*indeks RMC
49
Indeks Pemerintah (P)
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam, analisis data di atas juga dikombinasikan
dengan analisa deskriptif, analisa situasi dan eksplanatoris. Analisa deskriptif didukung oleh data
kualitatif yang menerangkan tingkat kesiapsiagaan masyarakat. Analisa situasi dengan pendekatan
kontekstual dan eksplanatoris menerangkan kejadian di lapangan termasuk faktor-faktor yang
berpengaruh. Analisa ini penting untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif mengenai
pengetahuan masyarakat tentang bencana dan kerentanan lingkungan dan fisik serta kesiapsiagaan
masyarakat yang digambarkan dari persiapan untuk keadaan darurat bencana, peringatan bencana
dan mobilisasi sumber daya.
3.2. INSTRUMEN
Sesuai dengan metode yang digunakan, kajian ini dilengkapi dengan satu paket instrumen yang
terdiri dari tiga set, yaitu: kuesioner, pedoman wawancara mendalam dan panduan Diskusi
Kelompok Terfokus (FGD) dan workshop. Semua instrumen, kecuali panduan workshop1,
diaplikasikan di semua lokasi kajian, perdesaan di Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan
Kota Padang.
3.2.1. Kuesioner
Kuesioner terdiri dari tiga seri. Seri pertama untuk individu dan rumah tangga dengan kode seri
RT (Rumah Tangga). Kuesioner ini terdiri dari satu kuesioner yang dibagi ke dalam delapan
bagian, yaitu: pengenalan tempat, pengetahuan tentang bencana, rencana kesiapsiagaan keluarga,
peringatan bencana, mobilisasi sumber daya, keterangan rumah tangga, identitas responden dan
keterangan pewawancara (kuesioner detail dapat dilihat pada lampiran 8.1.1).
1
Workshop dilaksanakan di tingkat kota.
Kuesioner seri ke tiga diperuntukkan bagi komunitas sekolah dengan kode S (Sekolah). Kuesioner
ini terdiri dari tiga seri, yaitu: Seri: S1 untuk Sekolah, S2 untuk guru dan S3 untuk siswa. Kuesioner
Seri: S1 meliputi enam bagian, yaitu: pengenalan tempat, keterangan sekolah, kebijakan
kesiapsiagaan bencana, rencana tanggap darurat, peringatan bencana dan mobilisasi sumber
daya sekolah. Untuk memudahkan pengisian, maka pada halaman muka dilengkapi dengan
petunjuk pengisian. Kuesioner Seri: S2 berupa pertanyaan untuk guru yang mecakup: pengenalan
tempat, pengetahuan tentang bencana, rencana penyelamatan jika terjadi bencana, peringatan
bencana, mobilisasi sumber daya, identitas guru dan pemeriksa kuesioner. Seperti untuk sekolah,
pertanyaan untuk guru juga dilengkapi petunjuk pengisian pada halaman muka. Sedangkan
kuesioner Seri: S3 adalah pertanyaan untuk siswa juga meliputi tujuh bagian, yaitu: pengenalan
tempat, pengetahuan tentang bencana, rencana penyelamatan, peringatan bencana, mobilisasi
sumber daya siswa, identitas siswa dan pemeriksa kuesioner (Kuesioner Seri: S1, S2 dan S3
dapat dilihat pada lampiran 8.1.3.).
51
Agar diskusi kelompok terfokus atau FGD dapat berjalan sesuai dengan tujuan, maka diperlukan
panduan FGD. Kajian ini dilengkapi dengan dua panduan, yaitu panduan FGD untuk kelompok
masyarakat dan panduan FGD untuk komunitas sekolah. Kedua panduan ini menggunakan format
yang sama, meliputi: tujuan kegiatan FGD, peserta FGD (jumlah dan kriteria) dan tugas fasilitator
FGD. Ke dua panduan FGD dapat dilihat pada lampiran 8.3.1. dan 8.3.2.).
Panduan Workshop
Panduan workshop diperlukan untuk mengarahkan kegiatan dan jalannya workshop sesuai dengan
tujuan. Panduan ini berlaku untuk kegiatan workshop di Kota Bengkulu dan Padang. Panduan
ini diawali dengan tujuan workshop dan peserta workshop. Kemudian dijelaskan mengenai tahapan
kegiatan, termasuk pembagian dan tugas kelompok, kerja kelompok, persentasi dan diskusi
Pada kajian ini, pedoman wawancara mendalam dikembangkan berdasarkan stakeholders, yaitu:
kelembagaan dan tokoh masyarakat, pemerintah (tingkat kota dan desa/kelurahan), komunitas
sekolah, LSM dan ORNOP, kelompok profesi dan pihak swasta. Pedoman ini kembangkan
berdasarkan framework kajian dan dikemas berupa matrik yang terdiri dari kolom variabel
informasi yang akan digali dan informasi lanjutan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
mendalam. Pedoman secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 8.2.1. sampai dengan 8.2.6.
3.3. SAMPLING
3.3.1. Lokasi
Pada bagian ini akan dijelaskan sampling lokasi di tiga lokasi kajian, yaitu: perdesaan di
Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang.
Kajian di Kawasan Provinsi Nangggroe Aceh Darussalam (NAD) menetapkan Kabupaten Aceh
Besar sebagai lokasi penelitian, dengan memilih secara purposif dua kecamatan, yaitu: satu
kecamatan di daratan Aceh yaitu Kecamatan Leupung dan
lainnya di Pulau Breuh (Pulau Beras) di Kecamatan Pulo Aceh.
Kecamatan Leupung adalah wilayah pesisir yang dikelilingi
daerah perbukitan, dan berjarak sekitar 20 km dari Kota Banda
Aceh, ibukota Provinsi NAD. Sedangkan Kecamatan Pulo
Aceh merupakan gugus pulau yang terpisah dari daratan utara
Aceh, yang meliputi Pulau Breuh (Beras) dan Pulau Nasi.
- Kedua desa di Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh merupakan desa pesisir atau desa
pantai yang lokasinya dekat dengan laut lepas, dan juga merupakan daerah perbukitan yang
bervariasi tingkat kelandaian dan kondisi fisiknya.
- Pemilihan dua desa untuk masing-masing kecamatan, baik di darat maupun di pulau, juga
didasarkan pada kriteria adanya perbedaan: dampak bencana tsunami tahun 2004. Aset
kedua desa (perumahan dan bangunann lain) untuk masing-masing kecamatan musnah atau
hancur tersapu gelombang, namun berbeda dalam jumlah korban jiwa. Kedua desa yaitu
Ulee Paya (desa pulau) dan Pulot (desa pantai) merupakan area yang mewakili jumlah
korban jiwa relatif tidak banyak (kurang dari 30 persen). Sedangkan Desa Gugop (desa
pulau) dan Dayah Mamplam (desa pantai) mengalami jumlah korban yang relatif besar (lebih
dari 80 persen), terutama perempuan dan anak-anak.
Di sektor tengah – diwakili Kecamatan Ratu Agung dan Gading Cempaka. Pengambilan dua
kecamatan tersebut disebabkan sebagian besar kelurahan di Kecamatan Ratu Agung merupakan
wilayah pantai, sebaliknya semua kelurahan di Kecamatan Gading Cempaka merupakan wilayah
bukan pantai. Agar di sektor tengah masing-masing zone dapat diperoleh kelurahan sampel perlu
diambil dua kecamatan. Di sektor tengah kelurahan sampel yang mewakili zona dekat pantai
adalah Kelurahan Lempuing (Kecamatan Ratu Agung). Kelurahan sampel yang mewakili zona
yang jaraknya sedang adalah Kelurahan Jembatan Kecil (Kecamatan Gading Cempaka) dan
zona yang jauh dari pantai adalah Kelurahan Dusun Besar (Kecamatan Gading Cempaka).
Di sektor selatan – sebagaimana di sektor tengah, sektor ini juga diwakili dua kecamatan, yakni
Kecamatan Kampung Melayu dan Selebar. Alasan pengambilan dua kecamatan tersebut juga
sama dengan di sektor tengah. Zona yang dekat pantai diwakili Kelurahan Teluk Sepang
(Kecamatan Kampung Melayu). Sedangkan untuk zona yang jaraknya sedang dari pantai diwakili
Kelurahan Betungan (Kecamatan Selebar) dan zona jauh diwakili Kelurahan Pagar Dewa
(Kecamatan Selebar). Adapun pembagian sektor, zona, nama kecamatan, nama kelurahan sampel
dapat dilihat pada Tabel 3.3.1.1.
ZONA/
SEKTOR KECAMATAN JARAK DARI PANTAI Tabel 3.3.1.1.
KELURAHAN
(1) (2) (3) (4)
Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Bengkulu
RAWAN/
DEKAT Beringin Raya
Muara Bangkahulu Rawa Makmur
HATI –HATI/
55
Kandang Limun
SEDANG
UTARA
AMAN/
Bentiring
JAUH/
AMAN/
Dusun Besar
JAUH
Selebar HATI-HATI/
Betungan
SELATAN SEDANG
Pengambilan lokasi sampel sekolah menyesuaikan dengan sampel wilayah untuk rumah tangga.
Sekolah yang dipilih kurang lebih mempertimbangkan sektor dan zona. Ada 13 sekolah yang
dipilih, di zona dekat dipilih 4 SD/MI (138 siswa dan 30 guru), 2 SMP (92 siswa dan 20 guru)
dan 1 SMA (46 siswa dan 10 guru). Selanjutnya di zona sedang dipilih 2 SD/MI (69 siswa, 15
guru), 1 SMP (46 siswa, 10 guru) dan 1 SMA (31 siswa, 7 guru). Untuk zona jauh dipilih 1 SD
(23 siswa, 5 guru) dan 1 SMP (15 siswa, 3 guru). Jenis dan tingkat sekolah menurut zona, jumlah
guru dan siswa yang menjadi sampel tersaji pada Tabel 3.3.1.2.
Tabel 3.3.1.2.
Lokasi Penelitian Komunitas Sekolah Menurut Zona di Kota Bengkulu
SD/MI 4
RAWAN/ DEKAT SLTP 2
SLTA 1
SD/MI 2
HATI-HATI/ SEDANG SLTP 1
SLTA 1
SD/MI 1
AMAN/ JAUH SLTP 1
SLTA -
TOTAL 13
Kota Padang merupakan salah satu lokasi kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi
bencana yang dianggap sebagai representasi kota besar, di samping dua lokasi penelitian lainnya
yaitu Kota Bengkulu dan Pulau Aceh. Penentuan lokasi di Kota Padang pada tingkat kecamatan
maupun kelurahan dilakukan secara purposive. Lokasi kecamatan dipilih berdasarkan tingkat
kerawanan suatu daerah terhadap kemungkinan terjadinya bencana, khususnya gempa bumi
dan tsunami. Dari hasil pemetaan yang telah dibuat oleh salah satu NGO di Kota Padang, yaitu
KOGAMI (Komunitas Siaga Tsunami), wilayah Kota Padang yang terdiri dari sebelas (11)
kecamatan diidentifikasi ke dalam tiga zona yaitu zona rawan, hati-hati dan aman.
Kecamatan Koto Tangah merupakan wilayah yang berlokasi di sebelah utara dengan jumlah
penduduk terbanyak dan merupakan kecamatan terluas yaitu mencapai 232,25 Km2. Sementara
Kecamatan Bungus Teluk Kabung berada di sebelah selatan. Kecamatan Pauh berada di sebelah
timur, sedangkan Kecamatan Padang Utara dan Padang Timur berlokasi di sebelah barat.
57
Pemilihan pada tingkat kelurahan, selain mempertimbangkan tingkat kerawanan lokasi terhadap
kemungkinan terjadi bencana juga dipertimbangkan adanya kegiatan intervensi yang pernah
dilakukan di kelurahan yang bersangkutan. Dari lima kecamatan tersebut dipilih 11 kelurahan
yang terdiri dari 6 kelurahan mewakili zona rawan, 3 kelurahan mewakili zona hati-hati dan 2
kelurahan dari zona aman tsunami.
Berdasarkan pemetaan yang dibuat oleh KOGAMI, Kecamatan Koto Tangah merupakan
kecamatan yang mempunyai lokasi rawan, hati - hati dan aman. Di kecamatan ini diambil 6
kelurahan sebagai sampel penelitian yang mewakili daerah rawan (3 kelurahan), hati-hati (2
kelurahan) dan aman (1 kelurahan). Tiga kelurahan yang masuk dalam kategori rawan yaitu
Kelurahan Lubuk Buaya, Tabing dan Kelurahan Pasir Nan Tigo, sedangkan dua kelurahan yang
masuk dalam kategori hati-hati adalah Kelurahan Koto Pulai dan Aia Pacah. Kelurahan Lubuk
Minturun merupakan kelurahan dalam kategori zona aman yang diambil sebagai lokasi penelitian.
Di wilayah Kecamatan Padang Utara, hanya diambil dua kelurahan yaitu Kelurahan Gunung
Pangilun dan Lolong Belanti yang masuk dalam kategori daerah rawan. Di Kelurahan Gunung
Tabel 3.3.1.3.
Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Padang
Dalam kajian ini responden yang mewakili masyarakat, selain responden rumah tangga, juga
terdapat responden dari komunitas sekolah dari tingkat SD, SMP dan SMA. Penentuan sekolah
didasarkan pada sekolah yang berada di lima kecamatan terpilih, baik pada tingkat SD dan
SMP maupun SMA baik berstatus negeri maupun swasta. Penentuan sekolah selain
mempertimbangkan statusnya yaitu sekolah negeri dan swasta juga berdasarkan variasi pernah
tidaknya sekolah mendapatkan sosialisasi tentang bencana tsunami yang pernah dilakukan oleh
Kogami. Berdasarkan tingkat sekolah, jumlah SD umumnya lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah SMP dan SMA. Oleh karena itu, di tingkat SD jumlah sekolah yang diambil sebagai
sampel sebanyak 13 SD, baik negeri maupun swasta. Pada tingkat sekolah SMP dan SMA,
masing-masing diambil sampel 6 dan 3 sekolah. Dengan demikian perbandingan jumlah sekolah
di tingkat SD dibanding SMP dan SMA adalah tiga dibanding dua dan satu. Nama - nama
sekolah di tingkat SD, SMP dan SMA yang menjadi kajian di Kota Padang dapat dilihat pada
Tabel 3.3.1.4.
3.3.2. Responden
3.3.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar
Unit analisa untuk survei adalah rumah tangga dan komunitas sekolah. Survei dilakukan terhadap
205 responden yang mencakup masyarakat umum diwakili ru mah tangga sebanyak 145 KK
(sekitar 33 persen dari total KK di 4 desa sampel), serta 60 orang komunitas sekolah (guru dan
siswa). Pada umumnya responden masih menempati barak-barak pengungsian yang terdiri dari
puluhan pintu dan tiap pintu pada umumnya dihuni untuk setiap keluarga. Namun dibeberapa
lokasi yang banyak keluarga sudah tidak utuh lagi (menjadi korban tsunami) banyak KK yang
tinggal sendirian, sehingga banyak pintu barak yang ditempati lebih dari satu KK, seperti pada
Responden untuk rumah tangga/individu adalah kepala keluarga atau anggota rumah tangga
dewasa yang dapat mewakili. Pemilihan responden rumah tangga dilakukan secara accidental
terhadap rumah tangga yang ada di barak pengungsian dan bersedia diwawancarai pada saat
penelitian. Untuk barak pengungsian yang dihuni lebih dari 1 KK, maka setiap pintu barak hanya
diambil salah satu KK yang kebetulan berada di lokasi dan bersedia menjadi responden.
Wawancara terhadap responden rumah tangga dilakukan dengan mengunjungi rumah tangga
terpilih, demikian seterusnya sampai mencapai jumlah rumah tangga yang ditargetkan di lokasi
terpilih tersebut.
Responden untuk komunitas sekolah yaitu guru dan siswa SD (kelas 5 dan 6), SMP (kelas 2 dan
3) dan SMA (kelas 2). Karena jumlah siswa dan guru yang hadir di sekolah pengungsian masih
terbatas, maka hampir semua siswa dan guru di kelas tersebut yang kebetulan hadir dan bersedia
mengisi kuesioner terpilih sebagai responden. Sebagian siswa lainnya yang selamat dari bencana
masih ada yang dititipkan di sekolah lain di luar lokasi (antara lain di Banda Aceh). Demikian pula
masih banyak guru tetap yang sampai sekarang tidak aktif mengajar dan tinggal di Banda Aceh,
sehingga semua guru yang hadir pada saat penelitian dan bersedia mengisi kuesioner, dijadikan
responden. Pada komunitas sekolah, responden diberi penjelasan tentang cara-cara pengisian
kuesioner, kemudian diberi kesempatan untuk mengisi sendiri kuesioner. Khusus untuk siswa
sekolah pengisian kuesioner dilakukan dengan bimbingan tim peneliti yang dibantu oleh tim
pewawancara. Untuk menarik minat siswa-siswa sekolah, diberi acara tambahan yaitu pemutaran
film kartun untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana. Perbandingan jumlah responden rumah
tangga di masing-masing lokasi disesuaikan dengan jumlah penduduk yang tercatat di lokasi
tersebut Adapun distribusi responden menurut lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 3.3.2.1.
Tabel 3.3.2.1.
Distribusi Responden Menurut Lokasi Penelitian dan
Macam Responden, Kabupaten Aceh Besar
Sumber data: *) 1 dan 2 data Kecamatan Leupung ; 3 dan 4 data British Red Cross (BRC),
2005.
Jumlah responden untuk Kota Bengkulu ditetapkan sebanyak 2000. Jumlah ini terdiri dari
responden rumah tangga, komunitas sekolah dan aparat pemerintah.
Responden dalam penelitian rumah tangga adalah kepala rumah tangga. Apabila kepala rumah
tangga berhalangan atau tidak ada di tempat pada saat penelitian dapat diwakili oleh anggota
rumah tangga dewasa lain yang dianggap mampu memberikan jawaban. Target sampel rumah
tangga di seluruh Kota Bengkulu sebanyak 1.400. Dari jumlah target rumah tangga tersebut
dibagi ke 3 sektor, di mana untuk sektor tengah dan selatan masing-masing sektor diperlukan
467 rumah tangga dan untuk sektor utara sebanyak 466 rumah tangga (Tabel 3.3.2.2.). Selanjutnya
di masing-masing sektor untuk zona dekat jumlah target sampel rumah tangga sebanyak 280, di
zona sedang sebanyak 140 dan di zona jauh sebanyak 47, kecuali di Kelurahan Betiring
(Kecamatan Muara Bangkahulu – sektor utara) hanya 46. Kemudian pengambilan sampel rumah
tangga di masing-masing kelurahan diambil secara accidental dari quota sampling. Penarikan
sampel dari tingkat sektor, zona, kelurahan dan rumah tangga tersebut diasumsikan telah mewakili
Kota Bengkulu, sebab cara penarikannya dari tingkat sektor sampai kelurahan sudah diusahakan
menyebar. Sedangkan untuk pemilihan rumah tangga diambil secara accidental.
Tabel 3.3.2.2.
Jumlah Responden Rumah Tangga Menurut Lokasi dan Zona, Kota Bengkulu
ZONA/JARAK
SEKTOR KECAMATAN DARI PANTAI KELURAHAN RESPONDEN
(1) (2) (3) (4) (5)
RAWAN/DEKAT Beringin Raya 166
Rawa Makmur 114
61
UTARA Muara Bangkahulu HATI –HATI/SEDANG
Kandang Limun 140
AMAN/JAUH/
Bentiring 46
Total 466
Ratu Agung RAWAN/ DEKAT Lempuing 280
HATI-HATI/SEDANG
Jembatan Kecil 140
TENGAH Gading Cempaka
AMAN/JAUH
Dusun Besar 47
Total 467
Kampung Melayu RAWAN/DEKAT
Teluk Sepang 280
Total 467
TOTAL 1400
Di dalam komunitas sekolah ada tiga segmen yang disurvei/angket, yaitu responden siswa,
responden guru dan kepala sekolah. Untuk responden siswa diambil siswa kelas 5 untuk SD/
MI, kelas 2 untuk SMP/ sederajat dan SMA/ sederajat. Pengambilan kelas-kelas tersebut dengan
pertimbangan tidak mengganggu kegiatan belajar. Sebab kelas paling atas (SD/MI kelas 6, SMP
dan SMA kelas 3) saat penelitian dilakukan mereka sedang persiapan menghadapi ujian sekolah
dan ujian nasional.
Jumlah target siswa sampel adalah 460, yang dialokasikan untuk SD/MI sebanyak 230 siswa,
SMP sebanyak 153 siswa dan SMA sebanyak 77 siswa. Di SD/MI dari 230 siswa, di zona
dekat pantai diambil 138, di zona sedang 69 dan di zona jauh 23. Di SMP dari 153 siswa, di
zona dekat pantai diambil 92 siswa, di zona sedang 46 siswa dan zona jauh 15 siswa. Di SMA
dari 77 siswa, di zona dekat diambil 46, di zona sedang 31 siswa dan di zona jauh tidak diambil
sebab jumlah sampelnya terlalu kecil.
Pengambilan responden guru dari 13 sekolah dipilih 100 guru. Jumlah guru yang menjadi sampel
di masing-masing sekolah kurang lebih proporsional terhadap jumlah siswa yang dijadikan sampel
dan pengambilannya secara accidental. Kemudian untuk responden kepala sekolah masing-
masing sekolah hanya satu, yaitu kepala sekolahnya sendiri atau wakil kepala sekolah. Jadi
untuk 13 sekolah tersebut hanya memerlukan 13 responden kepala sekolah.
Tabel 3.3.2.3.
Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan Tingkatan Sekolah,
Kota Bengkulu
SD/MI 2 69 15
HATI-HATI/ SEDANG SLTP 1 46 10
SLTA 1 31 7
SD/MI 1 23 5
AMAN/ JAUH SLTP 1 15 3
SLTA - - -
Responden aparat pemerintah berjumlah 40 orang yang berasal dari berbagai instansi pemerintah
yang relevan, seperti Bappeda, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Pariwisata, Komunikasi
dan Informasi, Dinas Perhubungan, Bagian Kesra Setda, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial dan
Satpol PP. Kuesioner diberikan kepada kepala dinas atau yang mewakili untuk mendistibusikan
kuesioner tersebut kepada staf dari bagian yang berbeda. Kuesioner yang telah diisi diambil
setelah beberapa hari sesuai dengan waktu yang disepakati.
Tabel 3.3.2.4.
Jumlah Responden Aparat Pemerintah Menurut Instansi Tempat Kerja
di Kota Bengkulu
1. à Bappeda 8
2. à Dinas Pendidikan 5
4. à Dinas Kesehatan 5
5. à Dinas Perhubungan 5
8. à Satpol PP 5 63
à Jumlah 40
Jumlah responden secara keseluruhan yang ditetapkan di Kota Padang adalah sebanyak 4000
responden. Dari keseluruhan responden dibuat proporsi jumlah responden dengan komposisi
sebagai berikut :
1. Responden individu/ rumah tangga merupakan responden dengan persentase terbesar yaitu
70 persen atau sebanyak 2800. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sasaran utama
dari sistem siaga bencana adalah masyarakat. Kesiapsiagaan menghadapi bencana
dimaksudkan untuk meminimalisir dampak dan korban yang akan menimpa penduduk atau
Dari sebanyak 2800 responden individu/rumah tangga, sebaran responden antar kelurahan
ditentukan menurut lokasi rawan, hati-hati dan aman tsunami dengan perbandingan persentase
sebesar 60 persen (1680 responden ) berasal dari lokasi rawan; 30 persen (840 responden)
berasal dari lokasi/zona hati-hati dan 10 persen atau 280 responden berasal dari lokasi aman.
Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penduduk yang tinggal di wilayah yang berada
pada lokasi rawan memerlukan tingkat kesiapan yang lebih tinggi dibanding dengan penduduk
yang tinggal di lokasi kategori hati-hati atau bahkan aman. Setelah diketahui jumlah responden
dalam setiap lokasi/zona maka perlu ditetapkan pula sebaran responden antar kelurahan yang
didasarkan pada jumlah kelurahan dan kepadatan penduduk (banyaknya rumah tangga per
kelurahan). Jumlah responden untuk tiap kelurahan dan kecamatan serta perbedaan lokasi /
zona , secara detail dapat dilihat pada tabel 3.3.2.5.
2. Responden komunitas sekolah, jumlahnya ditetapkan sebesar 28 persen dari total responden.
Responden yang berasal dari sekolah terdiri dari responden murid 23 persen atau sebanyak
920 responden dan 5 persen responden guru atau sebanyak 200 responden. Relatif besarnya
proporsi responden pada komunitas sekolah terkait dengan asumsi bahwa komunitas sekolah
merupakan kelompok strategis bagi sosialisasi sistem siaga bencana. Seperti halnya responden
individu/rumah tangga, sebaran responden untuk tiap sekolah juga didasarkan pada sekolah
yang berada di lokasi rawan, hati-hati dan aman, dengan perbandingan 60 persen responden
untuk lokasi rawan dan 30 persen untuk lokasi hati-hati dan 10 persen untuk lokasi aman.
Pertimbangan lokasi rawan, hati-hati dan aman juga berlaku untuk responden guru.
Sebaran jumlah responden menurut tingkat pendidikan, Sekolah Dasar (SD)/ sederajat
mempunyai proporsi terbanyak, mengingat bahwa jumlah murid SD merupakan murid
terbanyak yaitu sebesar 50 persen dari total responden murid sekolah (460 murid). Sedangkan
jumlah murid SMP yang menjadi responden yaitu sekitar 33 persen dari total responden
murid sekolah dan sisanya, sekitar 17 persen berasal dari murid SMA atau sebanyak 154
murid. Demikian pula untuk responden guru yang secara keseluruhan berjumlah 200 orang,
proporsi terbesar adalah pada guru tingkat SD yaitu sebanyak 100 orang guru dan guru SMP
sebanyak 67 orang serta guru SMA sebanyak 33 orang. Sedangkan responden guru yang
merupakan wakil dari sekolah adalah sebanyak jumlah sekolah yaitu sekitar 22 orang yang
berasal dari masing-masing sekolah yang bersangkutan. Secara detail jumlah dan komposisi
responden murid dan guru menurut lokasi atau zona rawan, hati-hati dan aman serta tingkat
pendidikan dapat dilihat pada tabel 3.3.3.6.
Banyaknya responden untuk kelompok aparat pemerintah telah ditetapkan sebanyak dua (2)
persen dari total responden atau sebanyak 80 responden. Kendatipun demikian, dalam
pelaksanaannya didapatkan jumlah responden yang lebih banyak. Secara rinci nama-nama
instansi dan banyaknya responden dari masing-masing instansi dapat dilihat pada tabel 3.3.2.7.
• Pemilihan Responden
Komunitas Sekolah
Pemilihan responden untuk murid (kuesioner seri S-3), ditentukan secara purposive yaitu untuk
tingkat SD, diambil kelas 5, mengingat bahwa murid kelas 5 diharapkan mempunyai pemahaman
yang lebih baik dalam pengisian kuesioner dibanding murid-murid pada tingkatan dibawahnya.
Sedangkan murid kelas 6 tidak diambil sebagai responden mengingat pada waktu diadakan
kajian, mereka sedang melaksanakan ujian sekolah. Demikian pula untuk murid pada tingkatan
Sementara itu responden guru (kuesioner seri S2) berdasarkan jumlah yang telah ditetapkan
untuk masing-masing sekolah, maka guru yang akan dijadikan responden adalah guru yang
ditemui pada saat dilakukan kajian dan bersedia mengisi kuesioner. Demikian pula responden
guru sebagai wakil dari sekolah (kuesioner seri S1), apabila dimungkinkan diisi oleh kepala
sekolah atau wakil kepala sekolah tetapi apabila tidak memungkinkan maka daftar pertanyaan
diisi oleh guru yang bersedia mengisi kuesioner tentang sekolah yang bersangkutan.
Tabel: 3.3.2.6.
Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan Tingkatan Sekolah,
Kota Padang
Responden aparat pemerintah adalah kepala bagian atau staf dari seluruh instansi terkait dengan
kesiapsiagaan bencana antara lain: Dinas Kesejahteraan Sosial, dan penaggulangan bencana,
Dinas Pendidikan, Bakominfo dan staf dari sekertariat kota (Setko) Padang. Pemilihan responden
juga dipilih secara accidental sebanyak jumlah yang telah ditetapkan pada masing-masing instansi.
Tabel : 3.3.2.7.
Jumlah Responden Aparat Pemerintah Menurut Instansi Tempat Kerja
di Kota Padang
No Instansi Jumlah
1. Dinas Pendidikan 10
2. Pertambangan 10
3. Kesbangpol 5
4. Dinas Kesehatan 6
5. Dinas Kesejahteraan Sosial, Penanggulangan 10
Bencana dan Banjir.
6. Litbang Propinsi 6
7. Bappeda 10
8. Bakominfo 10
9. Sekretariat Daerah 20 67
Jumlah 87
Aktivitas kajian di lapangan dilakukan sepenuhnya oleh 5 orang tim peneliti dari LIPI dan 3
orang peneliti lainnya (ITB dan UNAND) yang bergabung selama beberapa hari. Tim peneliti
juga memperoleh dukungan dari PMI Aceh Besar yang menyediakan para relawannya (7 orang)
untuk membantu kelancaran survei selama di lapangan. Dukungan lainnya diperoleh dari British
Red Cross yang membantu dalam sosialisasi dan transportasi ke Pulo Aceh yang juga menjadi
daerah sasaran rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dan pelatihan kesiapsiagaan sebelumnya.
Tabel 3.4.1.1.
Jadwal Kegiatan Kajian di Perdesaan Kabupaten Aceh Barat, 2006
Kegiatan kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana alam di Kota Bengkulu
dilaksanakan dari tanggal 19 April sampai dengan tanggal 4 Mei 2006.
Tabel 3.4.1.2.
Jadwal Kegiatan Kajian di Kota Bengkulu, 2006
Kegiatan penelitian di Kota Padang secara keseluruhan dilakukan selama empat belas (14) hari.
Tabel 3.4.1.3.
Jadwal Kegiatan Kajian di Kota Padang, 2006
Pengisian kuesioner oleh siswa, diawali dengan penjelasan cara mengisi oleh tim peneliti dibantu
interviewer sehingga diharapkan mereka dapat mengisi dengan cara yang benar. Kuesioner untuk
guru diisi sendiri dengan diawali penjelasan kemudian ditinggal untuk memberi kesempatan guru
mengisinya, dan diambil kemudian oleh tim peneliti setelah selesai diisi dengan benar. Survei di
lakukan terhadap masyarakat baik rumah tangga maupun sekolah dengan target jumlah responden
sebanyak 200 untuk keempat lokasi terpilih. Pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner bersifat
tertutup untuk memudahkan pengolahan data dan skoring yang akan dilakukan pada tahap
berikutnya.
Kecamatan Leupung
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, responden survei secara keseluruhan berjumlah 2.019
responden yang terbagi dalam 1400 responden rumah tangga, 460 responden siswa, 100
responden guru, 13 sekolah, 40 responden yang mewakili aparat pemerintah, 5 kuesioner untuk
kecamatan dan 1 kuesioner untuk pemerintah Kota Bengkulu. Jenis kuesioner yang disebar
untuk masing-masing kelompok berbeda. Kuesioner dengan seri-RT disebar kepada rumah
tangga, kuesioner dengan seri-S1 untuk sekolah, kuesioner seri-S2 untuk guru, kuesioner seri-
Dalam melakukan survei rumah tangga dan sekolah, peneliti dibantu oleh 1 koordinator lapangan,
3 supervisor dan 25 interviewer. Koordinator dan supervisor berasal dari tenaga pengajar (dosen)
yang bertugas di Laboratorium Administrasi Negara Fakultas FISIP-UNIB, sedangkan interviewer
adalah mahasiswa dari fakultas yang sama. Sebelum pelaksanaan survei, setiap supervisor dan
interviewer harus mengikuti training atau pelatihan selama satu hari yang bertujuan untuk
memberikan pemahaman terhadap tujuan kajian dan instrumen kuesioner yang akan digunakan.
Selanjutnya setiap interviewer diwajibkan untuk melakukan uji coba pengisian kuesioner kepada
responden terpilih yang hasilnya kemudian akan menentukan keberlanjutan keikutsertaan
interviewer dalam penyebaran kuesioner. Uji coba ini dimaksudkan agar interviewer dapat
memahami isi dan cara pengisian kuesioner dengan baik.
Untuk survei rumah tangga, peneliti dibantu 1 orang koordinator lapangan, 3 (tiga) orang supervisor
dan 21 orang interviewer. Masing-masing supervisor bertanggung jawab atas satu sektor wilayah
(utara, tengah dan selatan) dengan dibantu masing-masing oleh 7 (tujuh) orang interviewer.
Interviewer bertugas melakukan pengisian kuesioner dengan menggunakan metode wawancara
(tatap muka) terhadap rumah tangga terpilih dan bertanggung jawab terhadap kelengkapan
pengisian dan kebenaran jawaban berdasarkan pengakuan responden. Sementara itu supervisor
bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan, kebenaran dan
keabsahan kuesioner yang telah diisi oleh interviewer berdasarkan hasil wawancara dengan
responden terpilih. Dalam pelaksanaannya, apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan isian jawaban
yang dianggap belum benar atau tidak lengkap, maka supervisor wajib meminta kembali pada
pewawancara untuk melengkapi/mengklarifikasi jawaban sampai kelengkapan dan kebenarannya
terpenuhi. Kuesioner yang telah diperiksa oleh supervisor kemudian diserahkan kepada peneliti
yang kemudian melakukan pengecekan ulang terhadap semua kuesioner. Dengan demikian
diharapkan keabsahan dan kelengkapan pengisian kuesioner terpenuhi. Disamping itu supervisor
juga bertanggung jawab memintakan ijin kepada lurah untuk pelaksanaan survei di wilayahnya.
Kegiatan survei untuk rumah tangga dilakukan selama 7 (tujuh) hari, dimulai satu hari setelah
dilakukan training dan uji coba pengisian kuesioner (Jadwal terlampir). Pelaksanaan survei untuk
semua sektor (utara, tengah dan selatan) dilakukan secara simultan, masing-masing sektor simulai
dari kelurahan yang terdekat. Pelaksanaan survei untuk sektor selatan memerlukan waktu yang
lebih lama satu hari dibandingkan dengan sektor utara dan selatan terkait dengan jarak serta
sarana transportasi untuk mencapai lokasi lebih sulit dibandingkan dengan lokasi lainnya. Selama
pelaksanaan survei, supervisor dan peneliti selalu melakukan komunikasi dan koordinasi terhadap
permasalahan yang muncul di lapangan pada saat penyebaran kuesioner, sehingga pada akhirnya
penyebaran kuesioner rumah tangga dapat berjalan lancar sesuai dengan rencana.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa survei dilakukan terhadap 2800 responden
rumah tangga, 920 responden murid, 200 responden guru, 22 responden wakil dari masing-
masing sekolah dan 80 responden yang berasal dari aparat pemerintah. Dengan demikian jumlah
kuesioner keseluruhan sebanyak 4022.
Survei terhadap 2800 rumah tangga dilakukan di sebelas (11) kelurahan oleh 39 interviewer
yang disupervisi oleh 11 supervisor. Dengan demikian satu supervisor membawahi satu kelurahan
dengan jumlah interviewer tiap kelurahan sebanyak 2- 5 orang. Interviewer bertugas melakukan
wawancara terhadap responden rumah tangga terpilih dengan menggunakan daftar pertanyaan
terstruktur serta mengkoreksi kelengkapan dan kebenaran jawaban sesuai dengan jawaban yang
diberikan oleh responden. Sedangkan supervisor bertanggung jawab terhadap kelengkapan
kuesioner, baik dari segi jumlah maupun isi kuesioner berdasarkan hasil wawancara interviewer
dengan responden. Kegiatan survei untuk rumah tangga dilakukan selama 13 hari dengan jadwal
waktu serta perincian perolehan kuesioner terlampir.
83
Foto 3.4.2.5.
Pelatihan Supervisor dan Interviewer di Kota Padang
Sementara untuk komunitas sekolah mempunyai prosedur pengisian kuesioner yang berbeda
dengan rumah tangga. Untuk responden siswa, pengisian kuesioner dilakukan sendiri oleh siswa
yang bersangkutan dengan dipandu oleh supervisor serta diawali dengan penjelasan dan petunjuk
pengisian kuesioner. Untuk daftar pertanyaan yang diitujukan pada sekolah, yaitu kuestioner
untuk guru dan wakil dari sekolah juga diisi sendiri oleh guru yang diawali dengan penjelasan
serta maksud dan tujuan dari kajian. Demikian pula untuk responden yang berasal dari pemerintah
juga diisi sendiri oleh responden, diawali dengan penjelasan dari peneliti mengenai maksud dan
tujuan dari kajian serta penjelasan tentang kuesioner.
Untuk mendapatkan gambaran umum mengenai pengetahuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam
mengantisipasi bencana alam, kajian ini juga melakukan Diskusi Kelompok Terfokus atau Focus
Group Discussions (FGD). FGD dilaksanakan pada kelompok komunitas sekolah dan
masyarakat di semua lokasi kajian, Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Kota Padang.
FGD digunakan sebagai instrumen penelitian untuk melengkapi data survei, untuk melakukan
cek dan ricek isu yang berkembang, berkaitan dengan subyek penelitian. FGD juga dilakukan
untuk dapat mempertemukan para tokoh masyarakat desa maupun sekolah, sehingga dapat
menjaring pendapat beberapa pihak sekaligus. Sesuai dengan panduan FGD, tujuan FGD adalah:
- Untuk memahami tingkat pengetahuan peserta FGD terhadap bencana alam, terutama gempa
bumi dan tsunami
- Untuk mengetahui kepedulian peserta terhadap kesiapsiagaan menghadapi bencana alam
- Memahami tingkat kesiapsiagaan sekolah dan masyarakat dalam menghadapi bencana alam.
Pelaksanaan FGD dipandu oleh seorang fasilitator (peneliti), diawali dengan pengarahan FGD
(maksud dan tujuan FGD) oleh koordinator lapangan, pencatatan hasil diskusi dan diakhiri dengan
menyimpulkan hasil diskusi. Dalam setiap FGD para peserta juga diberi kesempatan untuk
menanyakan berbagai hal tentang bencana alam untuk menambah pengetahuan peserta, dan
umumnya dijelaskan oleh peneliti dari geotek dengan bantuan in focus. FGD melibatkan semua
tim peneliti serta tokoh-tokoh masyarakat setempat dan masyarakat sekolah. Beberapa kegiatan
FGD terutama di Pulo Aceh dibantu oleh tim pewawancara, baik untuk memperlancar komunikasi
dengan bahasa setempat, maupun dalam pencatatan hasil diskusi. Selama penelitian di lapangan,
kegiatan FGD dilakukan sebanyak empat kali atau sekali pada setiap lokasi penelitian. FGD
untuk kelompok masyarakat dilakukan sebanyak 3 kali yaitu di Desa Pulot, Gugop dan Ulee
Paya. Sedangkan FGD untuk kelompok komunitas sekolah dilakukan sekali di Desa Dayah
Mamplam. Sesuai dengan kondisi masyarakat Aceh yang baru mengalami bencana tsunami,
maka penekanan FGD pada 4 aspek yaitu :
Setiap pelaksanan FGD berlangsung selama lebih kurang 2 hingga 3 jam, yang dimulai dengan
perkenalan masing-masing peserta dan latar belakang profesinya. Koordinator tim peneliti
kemudian memaparkan maksud, tujuan dan sekilas proses FGD yang akan dilakukan.
Sebagaimana telah dipahami sebelumnya, bahwa masyarakat di pesisir dan pulau tersebut memiliki
cukup kendala dalam menggunakan bahasa Indonesia secara formal, di dalam diskusi terutama
FGD masyarakat, dilakukan penerjemahan proses diskusi dengan bahasa setempat (Aceh) yang
dibantu oleh asisten peneliti dan relawan PMI. Suasana diskusi juga dibangun lebih santai agar
mencairkan kekakuan. Fasilitator FGD menggunakan metode kartu metacard dengan 5
pertanyaan kunci yang sederhana, untuk menggali pengetahuan dan pemahaman kesiapsiagaan
bencana di sekolah dan masyarakat. Pertanyaan kunci tersebut adalah:
Dalam proses diskusi, fasilitator juga menggunakan ilustrasi-ilustrasi sederhana yang digambarkan
di kertas karton atau kertas plano untuk membantu peserta memahami apa yang dimaksudkan
dari pertanyaan – pertanyaan tersebut. Misalnya gambar bukit dengan batu besar menuju seseorang
yang berada di kaki bukit (bahaya), lalu gambar batu besar tersebut yang menimpa orang (bencana
– segala sesuatu yang menimbulkan kerugian jiwa maupun harta). Analogi-analogi lain juga 85
sangat membantu proses FGD, untuk membedakan ‘bahaya’ dan ‘bencana’ sehingga peserta
dapat memberikan masukan yang lebih baik.
Kendala utama dari proses ini adalah bahasa, dimana masyarakat lebih dapat mengeluarkan
pendapatnya dengan menggunakan bahasa daerah setempat. Istilah bencana dan bahaya serta
beberapa terminologi umum dari kesiapsiagaan bencana juga belum terlalu familiar bagi masyarakat
peserta diskusi. Istilah lokal yang tidak dipahami oleh tim peneliti dan fasilitator, juga menjadi
kendala untuk mengungkapkan poin-poin penting dalam diskusi kesiapsiagaan masyarakat, seperti
hutan bakau, erosi, abrasi, kerak bumi dan sebagainya. Untuk itu, tim peneliti dan fasilitator
sedapat mungkin menyederhanakan bahasanya. Kendala lain adalah minimnya partisipasi
perempuan dalam mengemukakan pendapatnya. Perlu upaya tambahan untuk mendapatkan
partisipasi para perwakilan dan tokoh kaum perempuan, seperti perlu ditanya terlebih dahulu,
dipancing dengan analogi dan cerita atau pertanyaan diarahkan langsung kepada perwakilan
perempuan. Namun demikian untuk FGD komunitas sekolah di Riting, kendala-kendala diatas
tidak banyak ditemui, dan partisipasi perempuan termasuk wali siswanya sangat baik.
1. FGD dengan masyarakat sekolah di Rintis, Desa Dayah Mamplam. Undangan sebanyak 15
orang hadir 9 orang, selebihnya adalah 5 orang peneliti dari LIPI, dan beberapa dari tim
pewawancara. Peserta FGD terdiri dari kepala sekolah SMA, guru SD dan SMA, wali
siswa, ketua posko Rintis dan wakil siswa SMP dan SMA, masing-masing 2 orang. Komite
sekolah seperti tokoh masyarakat setempat hanya seorang yang hadir yaitu ketua posko
Rintis. Banyak undangan yang tidak bisa hadir karena beberapa guru sudah mempunyai
acara keluarga. Dalam FGD ini semua peserta aktif menyampaikan pendapatnya, termasuk
peserta perempuan baik yang menjadi wali siswa SMP maupun siswi SMA.
2. FGD dengan masyarakat rumah tangga di Desa Pulot, Kecamatan Leupung. Jumlah peserta
FGD mencapai lebih dari 20 orang yang datang secara bertahap. Peserta FGD sangat
bervariasi, terdiri dari para tokoh maupun warga biasa mewakili pekerjaan/profesi yang
beragam seperti nelayan, petani, pedagang, jasa, industri rumah tangga, guru, mahasiswa
dan ibu rumah tangga. FGD juga dihadiri oleh kepala desa (Pak Geucik) , mantan kepala
desa, guru SD Pulot, Ketua Posko desa, tokoh pemuda dan ibu-ibu PKK. Dalam FGD ini,
peserta laki-laki maupun perempuan aktif mengemukakan pendapatnya, dan isu tentang
rencana tanggap darurat dan kendala yang dihadapi banyak didominasi oleh para tokoh
masyarakat, khususnya mantan kepala desa yang termasuk pemilik kebun di bukit tempat
evakuasi.
3. FGD dengan para tokoh masyarakat di Desa Gugop, Kecamatan Pulo Aceh. FGD dihadiri
oleh sekitar 13 orang tokoh dan warga masyarakat, termasuk kepala desa, tokoh agama,
tokoh pemuda, guru SD, guru TPA/pengajian, kepala dusun/kesenian, ibu rumah tangga,
siswa SMA dan pedagang/pengusaha. Selain warga masyarakat setempat, FGD juga 87
disemarakkan oleh kehadiran para staf BRC yang sedang bertugas, sukarelawan PMI (tim
pewawancara). Peserta perempuan diwakili oleh beberapa siswa dan guru bantu yang
cenderung diam dan kurang berani mengemukakan pendapat di tengah kelompok laki-laki
yang cenderung sangat vokal dan kritis. Beberapa tokoh masyarakat lain yang diundang
(termasuk ibu-ibu PKK) tidak dapat hadir, karena kesibukannya mengikuti pelatihan tentang
’Operacy dan perencanaan mukim’ yang diselenggarakan oleh NGO asing (CRS) bekerja
sama dengan yayasan lokal (Yayasan Pembangunan Masyarakat Aceh). Dari masing-masing
desa mengirim 10 orang wakil untuk mengikuti training selama 6 hari, dan kebanyakan peserta
latihan adalah para tokoh masyarakat desa.
4. FGD dengan tokoh masyarakat di Desa Ulee Paya. Jumlah tokoh dan warga masyarakat
desa yang hadir lebih dari 20 orang, di luar tim peneliti LIPI (termasuk tim pewawancara).
Peserta dari masyarakat sangat bervariasi dilihat dari jenis pekerjaan dan profesinya (sekretaris
desa, kepala mukim, kepala sekolah/guru SD dan SMP, imam mesjid/meunasah, ibu rumah
tangga, siswa SMP, pedagang, petani, dan nelayan). Kendala dalam FGD ini adalah banyak
peserta yang kurang lancar berbahasa Indonesia, sehingga kurang percaya diri dalam
Sesuai dengan rencana, kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) di Kota Bengkulu dilakukan
dua kali, yaitu dengan komunitas sekolah dan kelompok masyarakat.
Foto 3.4.3.3.
FGD Komunitas Sekolah di Kota Bengkulu
FGD komunitas sekolah dilaksanakan pada hari Selasa, tanggal 25 April 2006, bertempat di
Ruang Rapat Kantor Dinas Pendidikan Nasional Kota Bengkulu. FGD dihadiri 5 sekolah: SD
20 dan SD 56, SMP 12 dan SMP 17, dan SMA 1 yang terdiri dari pimpinan sekolah, wakil
guru, wakil komite sekolah dan wakil siswa atau dari OSIS.
Pemilihan sekolah dilakukan secara purposif berdasarkan letak sekolah dari pantai (dekat pantai
SD 20, SMP 12 dan SMA 1 dan jauh dari pantai SMP 17), tingkat keunggulan sekolah (sekolah
unggul SMP 12 dan sekolah bukan unggulan), pernah dan belum pernah mendapat sosialisasi
gempa dan gedung sekolah yang sesuai dengan standar tahan gempa (SD 20) dan belum
menggunakan standar tahan gempa.
Kegiatan FGD yang dibuka oleh kepala tata usaha Dinas Diknas Kota Bengkulu difasilitasi oleh
tim LIPI menggunakan panduan FGD. Diskusi berlangsung secara dinamis dimana semua peserta,
termasuk pimpinan sekolah, guru, komite sekolah dan siswa terlibat aktif dalam diskusi.
FGD Masyarakat dilaksanakan di Kelurahan Lempuing, Kecamatan Ratu Agung, pada tanggal
26 April 2006. Kegiatan FGD dihadiri 20 peserta yang terdiri dari berbagai unsur masyarakat,
seperti: tokoh masyarakat, tokoh pemuda, kelompok perempuan (anggota PKK), wakil nelayan,
guru, perawat dan staf kelurahan.
FGD di awali dengan penjelasan maksud dan tujuan diadakannya FGD oleh tim LIPI. Agar
diskusi tidak didominasi oleh beberapa peserta saja dan agar semua peserta FGD berpartisipasi
aktif, maka dilakukan sedikit modifikasi kegiatan FGD. Diskusi dilakukan dua tahap, tahap
pertama diskusi pada kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu, baru kemudian tahap ke dua
dilakukan diskusi pada kelompok yang melibatkan semua peserta.
Foto 3.4.3.4.
FGD Masyarakat di Kelurahan Lempuing, Bengkulu
89
Diskusi kelompok kecil terdiri dari 4 kelompok yang membahas tentang: sejarah kejadian alam
yang menimbulkan bencana di lingkungan masyarakat Lempuing, rencana masyarakat untuk
keadaan darurat bencana, peringatan bencana dan pemenuhan kebutuhan dasar untuk keadaan
darurat bencana. Masing-masing kelompok diberikan waktu berdiskusi dan menuliskan hasil
diskusi tersebut di atas kertas yang telah disediakan. Hasil diskusi kemudian disampaikan dalam
diskusi pleno dan kemudian didiskusikan kembali secara bersama-sama.
Focus group discussion (FGD) bertujuan untuk memahami tingkat pengetahuan peserta terhadap
bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Disamping itu, FGD juga dimaksudkan untuk
mengetahui kepedulian peserta terhadap kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana serta
memahami tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.
Foto 3.4.3.5.
FGD Komunitas Sekolah di Kota Padang
Para peserta FGD sekolah meliputi wakil guru dan siswa dari tingkat SD, SMP dan SMA negeri
maupun swasta, wakil dari Komite Sekolah dan wakil dari OSIS. Selain itu FGD ini juga dihadari
oleh serta staf dari Dinas Pendidikan Kota Padang bidang pendidikan dasar dan menengah.
FGD dengan masyarakat dilakukan di Kelurahan Pasir Nan Tigo yang merupakan lokasi rawan
terhadap terjadinya bencana tsunami. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 24 April 2006 yang
dihadiri oleh 25 peserta, terdiri dari wakil tokoh masyarakat dan agama, wakil kelompok/
kelembagaan masyarakat, wakil kelompok ibu-ibu dan wakil kelompok pemuda (karang taruna)
serta kepala desa dan staf kelurahan.
3.4.4. Workshop
Kajian secara partisipatif dilakukan dengan metode workshop yang melibatkan komponen-
komponen masyarakat. Kegiatan ini hanya dilaksanakan di tingkat kota, yaitu: Kota Bengkulu
dan Padang. Tujuan workshop adalah untuk memahami tingkat pengetahuan masyarakat tentang
kejadian dan bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, dan tingkat kesiapsiagaan masyarakat
dan pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya bencana.
Dalam workshop ini dibahas tiga topik yang berkaitan dengan kesiapsiagaan masyarakat untuk
mengantisipasi terjadinya bencana, yaitu:
2. Mengkaji kebijakan, peraturan dan panduan yang telah dikeluarkan, sedang direncanakan/
diproses atau diperlukan untuk Kota Bengkulu dan Padang, termasuk:
Workshop dilaksanakan pada tanggal 27 April 2006 bertempat di Hotel Bumi Endah di Kota
Bengkulu. Workshop dibuka pada jam 9.00 WIB oleh Walikota Bengkulu, Dr.Ir. Hariadi Rukmana
dan dihadiri pejabat-pejabat Kota Bengkulu, seeperti: Sekretaris Daerah Kota Bengkulu,
Kelompok 3 membahas rencana tanggap darurat. Kelompok ini menyepakati: perlunya rencana
evakuasi, pertolongan pertama, penyelamatan dan bentuk-bentuk keamanan, pemenuhan
kebutuhan dasar dan fasilitas penting untuk keadaan darurat. Pentingnya latihan dan simulasi/
gladi evakuasi serta pendidikan masyarakat juga mengemuka dalam diskusi kelompok ini. Selain
itu juga dibahas siapa atau instansi/lembaga apa saja yang terlibat dan bertanggung jawab dalam
masing-masing kegiatan dan perlunya kerjasama dan koordinasi antar lembaga, misalnya dengan
tim SAR, PMI, Pramuka, Kodim, dan Polri untuk kegiatan evakuasi dan pertolongan pertama,
dan Dinas Sosial Kota, Pramuka, Lurah/RW/RT dan LSM untuk pemenuhan dan distribusi
kebutuhan dasar.
Rangkuman hasil workshop dikemukakan oleh Dr. Ir. Febrin dan Dr. Titik Kartika pada sesi
akhir sebelum penutupan yang meliputi:
1. Kota Bengkulu merupakan daerah rawan terhadap bencana alam dalam bentuk banjir,
gempa bumi dan angin kencang
2. Kesadaran penduduk untuk mengantisipasi terjadinya bencana masih rendah, karena itu
perlu sosialisasi secara efektif dan efisien
3. Organisasi yang menangani bencana tidak efektif karena tupoksi tidak jelas, untuk itu
perlu diperjelas tentang tanggung-jawab masing-masing anggota 93
4. Perlu kebijakan sosialisasi bencana melalui bidang pendidikan, media formal dan non-
formal
5. Perlu kebijakan anggaran untuk rencana tanggap darurat
Workshop tentang Kesiapsiagaan Masyarakat Menghadapi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami
di Kota Padang dilakukan pada tanggal 20 April 2006 dengan dihadiri oleh sekitar 70 peserta
yang mewakili instansi pemerintah kota, pemerintah kecamatan, TNI, SAR, kelompok profesi,
LSM dan ORNOP, kelompok perempuan sektor swasta dan wakil dari kelompok media
elektronik dan cetak. Tujuan workshop adalah untuk mengidentifikasi tingkat pengetahuan tentang
bencana alam, khususnya gempa dan tsunami, dan kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap
kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Selain itu, dari kegiatan workshop ini dapat diketahuai
tingkat kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah Kota Padang dalam menghadapi bencana.
Untuk mencapai tujuan workshop para peserta dibagi ke dalam tiga kelompok diskusi. Kelompok
pertama membahas mengenai masalah pendidikan, dan pengetahuan terkait dengan bencana
alam dan kesiapsiagaan. Kelompok kedua membahas tentang kebijakan, peraturan dan panduan
kesiapsiagaan menghadapi bencana dan kelompok ketiga membahas tentang rencana tanggap
darurat.
Sesuai dengan panduan wawancara mendalam, kegiatan ini dilakukan dengan key informants
dari stakeholders utama dan pendukung kesiapasiagaan masyarakat di semua lokasi kajian.
Kegiatan wawancara bervariasi antar lokasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di masing-
masing lokasi.
Wawancara mendalam dilakukan untuk melengkapi data yang sulit diperoleh dari survei berstruktur,
mendalami permasalahan dan isu tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana, dan mendapatkan
data dasar baik di lokasi penelitian maupun di sekolah terpilih.Wawancara mendalam dengan
tokoh-tokoh masyarakat, baik formal maupun non formal yang terkait dengan subyek penelitian,
dilakukan oleh tim peneliti. Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara yang telah
disiapkan sebelumnya. Wawancara menggunakan beberapa pedoman, disesuaikan dengan target
sasaran, antara lain: untuk kesiapsiagaan tingkat desa (kepala desa/wakil, Camat/Sekcam, tokoh
masyarakat dan tokoh agama), kesiapsiagaan sekolah (Kepala sekolah/guru), LSM, organisasi
kemasyarakatan, sektor swasta dan kelompok profesi. Untuk lokasi perdesaan Aceh, hanya
dua pedoman wawancara yang digunakan yaitu untuk aparat desa dan komunitas sekolah, karena
informan untuk kelompok lainnya tidak ditemukan di lokasi penelitian. Pedoman wawancara ini
juga bersifat fleksibel agar mudah dikembangkan oleh peneliti untuk menggali informasi yang
dibutuhkan.
Di Desa Dayah Mamplam, lokasi kajian yang mengalami korban jiwa terbesar di Kecamatan
Leupung, wawancara mendalam dengan tokoh masyarakat sangat terbatas, karena banyak tokoh
yang menjadi korban bencana. Wawancara mendalam hanya berhasil dilakukan dengan sekretaris
desa, wakil posko desa (dihadiri beberapa anggota masyarakat lain) dan ketua posko pengungsian
Rintis. Di Desa Pulot, banyak tokoh masyarakat yang dapat dijumpai, seperti kepala desa (baru 95
3 bulan menjabat kepala desa), sekretaris desa, mantan kepala desa (mengundurkan diri), kepala
sekolah /guru, kepala posko desa, dan beberapa tokoh masyarakat lainnya. Demikian pula untuk
komunitas sekolah, kepala sekolah dan beberapa guru ketiga sekolah (SD, SMP dan SMA)
berhasil diwawancarai di sela-sela waktu mereka mengajar. Tokoh masyarakat lain di Kecamatan
Leupung yang menjadi informan adalah Camat, Sekretaris Camat dan Kasi Tantib. Meskipun
jumlah LSM yang beraktivitas di Kecamatan Leupung cukup banyak, namun tidak ada satupun
LSM yang aktivitasnya berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana, sehingga tidak
ada yang menjadi informan. Semua LSM (lokal maupun asing) mempunyai aktivitas untuk
rehabilitasi dan konstruksi Aceh, seperti perumahan, sarana pemerintah, dan sarana publik lainnya
(pendidikan, kesehatan, lingkungan dan peribadatan), antara lain Usaid, Plant, ADB, World
Vision, UN Habitat, Oxfam dan Islamic Relief. Keadaan ini disebabkan semua fasilitas publik
dan perumahan rata dengan tanah akibat bencana tsunami. Sehingga kesibukan di lokasi adalah
pembangunan fasilitas fisik, seperti: perumahan dan fasilitas lainnya.
Wawancara mendalam untuk Kecamatan Pulo Aceh lebih terbatas dibandingkan Leupung.
Absennya para tokoh desa selain karena kondisi yang sangat darurat yaitu hampir tidak ada
Beberapa informan yang berhasil untuk diwawancarai di kedua lokasi penelitian adalah Camat
Pulo Aceh, kepala desa/sekdes, tokoh agama/adat, tokoh pemuda (beberapa orang), tokoh
nelayan, bidan desa (baru 3 bulan), ibu PKK, kepala sekolah (SD/SMP) dan beberapa guru
tetap di kedua sekolah. Untuk bapak Camat selain wawancara mendalam, juga mengisi angket
kesiapsiagaan daerah menghadapi bencana. Tidak banyak NGO yang menjadi informan dalam
wawancara mendalam, karena pada umumnya NGO memfokuskan operasinya di Aceh ke
program rehabilitasi dan konstruksi. British Red Cross (BRC), termasuk NGO yang mempunyai
agenda untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana sejalan dengan kegiatan pokoknya yaitu
rehabilitasi dan rekonstruksi Pulo Aceh. PMI dan Palang Merah Internasional lainnya juga berkaitan
dengan kegiatan mengurangi resiko akibat bencana, misalnya pelatihan untuk pertolongan pertama.
Sedangkan organisasi masyarakat, seperti: Karang Taruna, PKK, kelompok pengajian, Julu-
julu (semacam arisan) dan kelompok kesenian belum pulih aktivitasnya, selain karena banyak
tokoh yang menjadi korban bencana, juga menunggu sampai meninggalkan lokasi pengungsian.
Salah satu tokoh PKK di Desa Gugop (Pulo Aceh) sulit diwawancarai akibat trauma bencana
tsunami yang telah banyak membawa korban keluarga dan harta bendanya.
Di kota Bengkuku, wawancara mendalam dilakukan dengan (1) pejabat atau yang mewakili dari
instansi pemerintah, termasuk: ketua Bappeda, kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, kepala
bagian Kesra yang mengelola Satlak Kota Bengkulu, kepala Dinas Kesehatan, staf Pemadam
Kebakaran, kepala Satpol PP, komandan Kodim 0407 yang menjadi wakil ketua Satlak, wakil
kepala Laksda Lanal, kepala opersi Polri, Pemadam Kebakaran, lurah Pagar Dewa Kecamatan,
Lurah Lempuing Kecamatan Ratu Agung, (2) komunitas sekolah: wakil kepala sekolah dan guru
SMA I, wakil kepala sekolah dan guru SMP 12, guru SD 20, guru SD 61, pembina pramuka
Provinsi Bengkulu, (3) kelembagaan dan tokoh masyarakat: ketua RT 10 Kelurahan Malabro,
ketua RT 1 Kelurahan Teluk Sepang, anggota LPM Teluk Sepang, Badan Musyawarah Adat
(BMA), (4) LSM dan ORNOP: Walhi, PMI, CCR, (5) kelompok profesi: RAPI, Dosen Ilmu
Sosial Universitas Bengkulu, dan (6) Pihak swasta: GAPENSI.
Seperti wawancara dengan informan dari pemerintah, wawancara dengan komunitas sekolah
lebih difokuskan pada kesiapsiagaan sekolah untuk mengantisipasi bencana. Wawancara diawali
dengan pemahaman informants mengenai kerentanan sekolah terhadap bencana alam dan
pemahaman siswa dan guru tentang kejadian dan bencana alam. Kemudian wawancara mengarah
pada kebijakan, program dan kegiatan kesiapsiaagaan apa yang telah dilakukan dan direncanakan
Kegiatan wawancara dengan kelembagaan dan tokoh masyarakat dimulai dengan pengalaman
mereka ketika mengalami bencana gempa pada tanggal 4 juni tahun 2000. Gempa kuat berskala
7,9 richter tersebut telah memporak-porandakan Kota Bengkulu menyebabkan banyak korban
jiwa (sekitar 200 orang untuk Provinsi Bengkulu), menghancurkan rumah, bangunan dan fasilitas
umum. Berdasarkan pengalaman tersebut, kemudian wawancara mulai diarahkan kepada
kesiapsiagaan masyarakat, termasuk rencana untuk keadaan darurat, sistim peringatan bencana,
dan potensi serta permasalahan yang dihadapi masyarakat.
Sedangkan untuk LSM dan Organisasi Non Pemerintah (ORNOP), wawancara lebih terfokus
pada peran LSM dan ORNOP, terutama berkaitan dengan kegiatan masing-masing, seperti:
Walhi yang menekankan pada kegiatan pendidikan publik dan PMI yang berkaitan dengan rencana
tanggap darurat, khususnya pertolongan dan penyelamatan korban bencana serta pelayanan
pada saat keadaan darurat.
Fokus bahasan dalam wawancara juga dilakukan pada stakeholder kelompok profesi dan pihak
swasta. Wawancara dengan ketua dan anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI)
ditekankan pada peran RAPI dalam kesiapsiagaan masyarakat, terutama penyebar-luasan
informasi tentang bencana dan peringatan bencana. Peran RAPI sangat penting, terutama dalam
keadaan darurat, menurut pengalaman aliran listrik biasanya mati, sehingga informasi melalui TV
dan Radio terhambat. Demikian juga dengan jaringan telekomunikasi mengalami kerusakan,
penggunaan telpon dan HP juga terputus. Dalam kondisi seperti ini, RAPI merupakan alternatif
untuk kegiatan komunikasi dan informasi kebencanaan. Sedangkan wawancara dengan pihak
swasta dari GAPENSI lebih difokuskan pada kerentanan dan ketahanan fisik bangunan
perumahan dan fasilitas-fasilitas penting, seperti: rumah sakit, sekolah, perkantoran dan pusat-
pusat perdagangan. Wawancara juga diarahkan pada peran pihak swasta dalam kesiapsiagaan
bencana, penyebar-luasan informasi dan penerapan standar bangunan tahan gempa.
Kajian di lapangan untuk daerah perdesaan Aceh Besar dilakukan sepenuhnya oleh 5 orang tim
peneliti dari LIPI, yaitu: 2 orang dari PPK-LIPI, seorang dari Geotek, dan 2 orang dari
COREMAP-LIPI. Tiga peneliti lainnya yaitu 2 orang dari ITB dan seorang dari Universitas
Andalas menyusul bergabung dan tidak sepenuhnya berada di lokasi penelitian, karena
kesibukannya di dua lokasi asesmen lainnya yaitu Padang dan Bengkulu. Untuk pelaksanaan
survei, tim peneliti dibantu oleh seorang asisten lapangan dari Banda Aceh, yang memiliki latar
belakang pengalaman tidak langsung dalam kegiatan kesiapsiagaan bencana. Selama pelaksanaan
kajian di lapangan tim peneliti juga dibantu 7 orang pewawancara dari tim sukarelawan PMI
Cabang Aceh Besar. Pada umumnya mereka berpendidikan minimal SLTA dan mempunyai banyak
pengalaman dalam kegiatan kemanusiaan di berbagai bencana, serta pelatihan masyarakat dalam
mengurangi resiko bencana, seperti pelatihan P3K di sekolah. Dalam berbagai kesempatan tim
pewawancara juga membantu tim peneliti dalam kegiatan lainnya, seperti sosialisasi ke masyarakat
di lokasi penelitian, pendamping dan sebagai perantara dalam memahami bahasa/istilah lokal
dalam wawancara atau diskusi terfokus, terutama di Pulo Aceh. Selama di Pulau Breuh, tim
peneliti dan tim pewawancara tinggal bersama di lokasi barak pengungsian Desa Ulee Paya,
yang juga merupakan tempat tinggal sebagian penduduk yang menjadi sasaran kajian di Pulo 99
Aceh.
Pulau Sumatera terbentuk sebagai akibat penunjaman lempeng Indo-Australia di bawah lempeng
Eurasia. Penunjaman lempeng tersebut membentuk jajaran gunung-gunung api dan perbukitan
volkanik yang dikenal dengan Bukit Barisan sepanjang daratan Sumatera dan patahan Sumatera
(SF) yang membelah daratan Sumatera (Natawidjaja, 2004). Jauh di lepas pantai barat Sumatera,
penunjaman lempeng membentuk kepulauan Mentawai yang dipisahkan dari daratan Sumatera
oleh patahan Mentawai (MF) yang berada di dasar laut (Diament dkk., 1992, gambar 4.1) dan
cekungan busur muka (fore arc basin). Sistem sesar Mentawai adalah sesar mendatar terbentuk
mulai dari sekitar Lampung menerus hingga ke sekitar Nias di utara. Kegiatan konvergensi lempeng
masih aktif sampai sekarang menimbulkan kegiatan kegunungapian dan kegempaan di sepanjang
jalur patahan dan penunjaman lempeng. Gambar 4.1 memperlihatkan jalur penunjaman, patahan
dan penyebaran gunung api di Pulau Sumatera, sedangkan gambar 4.2 memperlihatkan penyebaran
rekaman kegempaan sampai dengan tahun 2004 menurut hasil pengukuran BMG.
103
Gambar 4.1.
Unsur Tektonik Daerah Sumatera: Patahan Sumatera (SF) di
Daratan Sumatera dan Jalur Gunung Api (Bukit Barisan, segitiga
hitam), Zona Sesar Mentawai (MFZ) di Kawasan Lepas Pantai
Sumatera Barat
Gambar 4.2.
Sebaran Gempa Bumi Periode 1973-2004
di Kawasan Indonesia
Sumatera merekam kejadian gempa bumi tektonik yang cukup merusak di kawasan barat
Indonesia. Banyak dari gempa bumi tersebut berkekuatan diatas 6Mw, baik bersumber di
sepanjang patahan Sumatera maupun sepanjang kepulauan Mentawai. Tabel 4.1 memperlihatkan
catatan kejadian gempa bumi yang beberapa diantaranya menimbulkan tsunami, seperti di Aceh
dan Nias pada 26 Desember 2004. Fakta kejadian alam dan bencana tersebut di atas merupakan
salah satu alasan mengapa kajian kesiapan masyarakat menghadapi bencana dilakukan di kawasan
Sumatera.
Tabel 4.1.
Rekaman Kejadian Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatera
Pada kondisi aktual, kegiatan manusia, proses pelapukan dan erosi mengakibatkan berubahnya
bentuk bentang alam. Kemudian perubahan tata guna lahan akibat penebangan hutan, pertanian
dan perkebunan telah meningkatkan proses erosi tersebut. Bahan-bahan erosi melalui aliran
sungai maupun pantai kemudian diendapkan membentuk bentang alam dataran. Pengendapan
sebagian ke arah timur Bukit Barisan membentuk dataran sisi timur Sumatera dan sebagian 105
membentuk dataran sisi barat Sumatera. Bengkulu, Padang dan Kecamatan Leupung merupakan
kota-kota dan perdesaan yang terletak di sisi barat dataran Sumatera, sementara itu Pulau Aceh
atau Pulau Brueh/Pulau Beras merupakan kepulauan yang terbentuk akibat kegiatan gunung api
yang sekarang sudah tidak aktif dan batuan karang disepanjang pantai.
Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu wilayah yang parah dan banyak korban jiwa,
akibat bencana tsunami tanggal 26 Desember 2004. Demikian juga jumlah pengungsi terbesar
berasal dari wilayah kabupaten ini yaitu sekitar 46.998 orang atau 22,4 persen dari seluruh
pengungsi di Provinsi NAD. Namun dilihat dari persentase jumlah pengungsi terhadap jumlah
penduduk, wilayah ini termasuk terbesar keempat di Provinsi NAD yaitu sekitar 16 persen
(BPS, 2005). Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh, merupakan 2 dari 8 kecamatan di Kabupaten
Aceh Besar yang terpilih sebagai lokasi penelitian, mewakili kawasan daratan dan kepulauan.
Berdasarkan data statistik kecamatan (Leupung Dalam Angka Tahun 2003), Kecamatan Leupung
dengan ibukota Leupung, terdiri dari 6 gampong (desa), dan termasuk dalam satu mukim dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah utara adalah Kecamatan Lhoknga, sebelah selatan
Kecamatan Lhoong, sebelah barat adalah Samudra Indonesia dan di sebelah timur adalah
Kecamatan Indrapuri dan Cot Glie. Luas wilayah Kecamatan Leupung sekitar 7,600 Km2 (7,6
Ha), dengan area terluas adalah Desa Dayah Mamplam (1820 Km2) dan Desa Pulot (1510
Km2). Jarak kota kecamatan dari Banda Aceh sekitar 16 Km, sedangkan dari kota kabupaten
sekitar 76 km. Dari kantor Kecamatan Leupung, Desa Dayah Mamplam berjarak sekitar 1,2
km dan Desa Pulot sekitar 7 km.
Kecamatan Pulo Aceh dengan ibukota Lampuyang terdiri dari 17 gampong (desa) dan 3 mukim
dengan luas wilayah adalah 24,075 Km2 atau 24.075 Ha. Batas-batas wilayah kecamatan adalah
di sebelah utara Selat Malaka, dan di sebelah selatan, barat dan timur adalah Samudra Indonesia.
Dua lokasi yang menjadi sampel penelitian yaitu Desa Ulee Paya dan Desa Gugop di Pulau
Breuh, keduanya termasuk dalam Mukim Pulau Breuh Selatan yang luas areanya sekitar 17058 107
Km2. Jarak Desa Ulee Paya sekitar 11 Km dari kota kecamatan dan sekitar 98 km dari kota
kabupaten. Sedangkan jarak Desa Gugop dari kota kecamatan dan kota kabupaten, masing-
masing sekitar 6 Km dan 88 Km. (Pulo Aceh Dalam Angka, 2003). Letak geografis dari lokasi
kajian ini dapat dilihat pada Gambar 4.1.1.1.
Lokasi daerah kajian adalah Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD), terdiri dari 2 (dua) kecamatan yaitu Kecamatan Leupung yang mewakili kawasan Aceh
Daratan dan Kecamatan Pulo Aceh yaitu di Pulau Brueh yang secara geografis terletak pada
koordinat 5° 40’-5°45 LU; 95° 00’-95° 10 BT. Untuk lokasi Kecamatan Leupung diwakili oleh
2 desa yaitu Desa Dayah Mamplam dan Desa Pulot, sedang Kecamatan Pulo Aceh diwakili oleh
Desa Gugop dan Desa Ulee Paya yang terletak di Pulau Brueh (Gambar 4.1.1.1).
Lokasi Kajian
Kecamatan Leupung
Lokasi Kajian
Kecamatan Pulo Aceh
Gambar 4.1.1.1.
Peta Lokasi Daerah Penelitian
Secara fisiografis, Pulau Breuh dan Leupung terletak di kawasan pantai barat Aceh yang
berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia. Desa-desa tersebut secara umum dibentuk
oleh endapan aluvial yang terdiri dari material pasir, lempung dan lanau yang bersifat lunak dan
belum mengalami perkerasan. Perbukitan yang membatasi dataran pantai umumnya dibentuk
oleh batuan yang lebih keras, yaitu batu gamping/batu kapur, batuan gunung api berupa lava dan
breksi gunung api serta batupasir (Gambar 4.1.1.2).
1. Adanya gempa-gempa yang disebabkan pergerakan saling bertemu antara lempeng Hindia
dan lempeng Eurasia yang terdapat di bagian barat (Samudra Hindia).
2. Adanya gempa-gempa yang disebabkan oleh pergerakan patahan aktif Sumatera segmen
Aceh yang melalui area di sekitar Banda Aceh.
Permukiman masyarakat yang terdapat di kedua kecamatan tersebut sebagian besar terletak
pada dataran aluvial yang didominasi oleh pasir pantai yang bersifat lepas dan belum mengalami
perkerasan. Ditinjau dari aspek kegempaan, maka bangunan yang terdapat di daerah ini sangat
rawan terhadap goncangan gempa bumi. Hal ini disebabkan gelombang gempabumi yang mengenai
lapisan pasir ini mengalami “amplifikasi” (perbesaran). Dengan demikian goncangannya lebih
keras sehingga bangunan-bangunan yang berdiri pada tanah ini menjadi mudah roboh karena
getaran terebut. Disamping itu terjadinya amblesan-amblesan yang disebabkan oleh proses
“likuifaksi” pada pasir yang terkena getaran gelombang gempa sangat umum dijumpai dan bila
terisi oleh air membetuk rawa-rawa kecil.
Lokasi penelitian pertama adalah Kecamatan Leupung yang terletak di kawasan pantai barat
bagian utara Aceh yang berhadapan langsung dengan Samudera Indonesia di bagian baratnya
(Gambar 4.1.1.1). Jarak kecamatan ini lebih kurang 35 Km dari kota Banda Aceh dan dapat
ditempuh dengan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan waktu tempuh kira-kira 1
hingga 1,5 jam. Di bagian utara berbatasan dengan Kecamatan Lhok Nga, bagian selatan 109
berbatasan dengan Kecamatan Loong, sedang bagian timur berbatasan dengan perbukitan curam
yang dibentuk oleh batu gamping/batu kapur (Gambar 4.1.1.2 dan Foto 4.1A-4.1D).
Untuk Kecamatan Leupung lokasi kajian difokuskan di Desa Dayah Mamplam dan Desa Pulot.
Desa-desa tersebut mengalami kerusakan yang sangat parah akibat gempa dan tsunami tahun
2004. Pembangunan sarana perumahan dan fasilitas umum lainnya seperti sekolah, puskesmas
hingga kini masih berlangsung terus. Selama menunggu pembangunan perumahan selesai, sebagian
besar masyarakat masih berada di tempat pengungsian sementara.
Secara umum daerah permukiman Desa Dayah Mamplam dan Pulot terletak pada dataran pantai
yang mempunyai topografi yang landai. Daerah tersebut disusun oleh endapan pasir pantai yang
relatif lebih lunak dan belum mengalami perkerasan. Di beberapa tempat dataran pantai ini terisi
oleh air yang membentuk rawa-rawa dan dilewati beberapa aliran sungai yang langsung bermuara
di Samudera Hindia. Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa bentuk garis pantainya relatif
lurus (Foto 4.1D), menunjukkan bahwa arus/gelombang laut energinya lebih besar dibandingkan
dengan proses sedimentasi yang berasal dari sungai-sungai yang bermuara di pantai tersebut.
Gambar 4.1.1.2.
Jenis batuan dan geologi daerah Leupung dan Pulau Brueh
Sumber : DGSM, 1990
111
Foto 4.1.1.1.
Kondisi lapangan daerah Kecamatan Leupung: A: Desa Dayah Mamplam;
B dan D: Desa Pulot; C: Dusun Matai dan Pulau Breuh, E dan F:Ulee Paya
Kondisi pantai saat ini telah mengalami kerusakan yang cukup parah, disebabkan oleh abrasi
gerusan gelombang tsunami 26 Desember 2004. Terjadi kemunduran pantai ke arah daratan
lebih kurang 100 – 300 meter, ditunjukkan oleh bekas jalan raya dan beberapa sisa pohon
kelapa yang saat ini terdapat di laut yang sebelumnya terdapat di tepi pantai (daratan, foto 4.1.D).
Dengan kondisi demikian maka luas daratan menjadi lebih sempit, pantai lebih terbuka disebabkan
oleh tumbangnya pepohonan akibat kuatnya gelombang tsunami. Hal tersebut mengakibatkan
pengaruh tiupan angin, terutama pada saat angin barat lebih keras. Di samping itu kejadian pasang
naik juga sangat berpegaruh terhadap dataran pantai di sekitar Desa Dayah Mamplam dan Pulot,
yaitu makin banyak kawasan pantai yang tergenang air.
Kondisi yang agak menyulitkan untuk lokasi evakuasi terdapat di Desa Dayah Mamplam, yang
disebabkan oleh topografi perbukitan yang terdapat di sebelah timur desa relatif curam dan
terjal. Untuk kawasan ini tempat evakuasi sebaiknya dilakukan pada setiap dusun yang terdapat
di Desa Dayah Mamplam seperti Dusun Riting, Matai, Meunasa Bau dan Desa Masjid. Kendala
yang dihadapi dalam pembuatan tempat evakuasi ini adalah berkaitan dengan pemotongan bukit
kapur yang keras, sehingga diperlukan biaya yang relatif besar untuk maksud tersebut. Hal yang
agak menguntungkan adalah material hasil pemotongan bukit dapat langsung digunakan sebagai
timbunan sekaligus melandaikan lerengnya. Sedangkan keperluan pasir dapat diperoleh di
sepanjang pantai sekitar dusun-dusun tersebut. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah
Kondisi yang berbeda dijumpai di Desa Pulot, karena perbukitan tempat evakuasi masyarakat
cukup tersedia, dan kondisi fisik lahan yang cukup landai (sudut lereng antara 25 – 45o). sehingga
relatif mudah untuk merealisasikan pembangunannya. Di samping lokasinya dekat dengan
pemukiman, juga ditunjang oleh kondisi tanahnya yang merupakan pelapukan dari batu pasir
yang relatif lunak dan stabil terhadap longsoran tanah. Hal lain yang masih perlu direalisasikan
adalah adanya jalur evakuasi dan badan jalan menuju tempat evakuasi dan rumah atau “balee”
untuk tempat evakuasinya, yang pada waktu bencana terhalang oleh pagar kebun milik warga
setempat .
Lokasi lain dari pengkajian kesiapsiagaan adalah Desa Gugop dan Desa Ulee Paya, yang terletak
di Pulau Brueh bagian selatan, Kecamatan Pulo Aceh. Wilayah tersebut secara administrasi masuk
dalam Kabupaten Aceh Besar. Kecamatan ini terletak di bagian Utara Banda Aceh yang meliputi
Pulau Brueh, Pulau Nasi, dan Pulau Teunom dengan ibukotanya di Lampuyang (di Pulau Nasi).
Jarak Banda Aceh ke Desa Gugop dan Ulee Paya di Pulau Brueh lebih kurang 15 mil dan dapat
dicapai dengan kapal kayu (boat) dengan waktu tempuh 2 – 3 jam pelayaran. Desa Gugop dan
Desa Ulee Paya di bagian barat berbatasan dengan Samudera Indonesia, sedang di bagian timur
berbatasan dengan Desa Blang Setungku, sebelah utara dengan perbukitan Pulau Brueh dan di
sebelah selatan dengan Teluk Serapong yang berhubungan langsung dengan Samudera Indonesia
(gambar 4.1.1.2).
Desa Gugop dan Ulee Paya terletak pada dataran pantai dengan topografi yang datar (foto
4.1.I). Daerah tersebut disusun oleh endapan pasir pantai yang relatif lunak dan belum mengalami
perkerasan (Gambar 4.1.1.4). Di beberapa tempat dataran pantai ini terisi oleh air yang membentuk 113
rawa-rawa (foto 4.1.E). Di samping itu terdapat juga beberapa alur sungai yang bermuara di
teluk kecil antara Desa Gugop dan Desa Serapong. Perbukitan yang terdapat di bagian utara
desa-desa tersebut disusun oleh batuan gunungapi seperti lava dan breksi gunung api. Topografi
wilayahnya cukup landai yaitu dengan sudut lereng antara 25 – 45o (foto 4.1.G dan 4.1.I) .
Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa Desa Gugop terletak di tepi pantai yang berhubungan
langsung dengan Samudera Hindia di bagian barat dan teluk kecil di bagian selatan, dimana
terdapat badan jalan yang memotong teluk kecil tersebut menuju Desa Serapong (foto 4.1.H
dan 4.1.J). Pantai barat ini di Desa Gugop membentuk teluk dengan arus gelombang laut yang
cukup besar dan di tepiannya terdapat pematang bukit pasir dengan ketinggian 1 – 2 meter yang
merupakan hasil pengendapan arus laut. Di samping itu kawasan pantainya saat ini lebih terbuka,
hal ini menyebabkan angin laut yang menerpa permukiman lebih keras dibandingkan kondisi
sebelumnya. Sebelum bencana tsunami, sebagian permukiman di Desa Gugop terdapat di tepian
pantai yang menghadap langsung ke Samudera Hindia. Hal ini dapat dilihat dari sisa-sisa bangunan
yang terdapat di kawasan pantai (foto 4.1H), serta beberapa pohon kelapa yang kini posisinya
sudah tergenang air laut. Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi kemunduran pantai ke arah
Kondisi yang agak berbeda terdapat di Desa Ulee Paya (Foto 4.1E dan 4.1F), dimana dataran
pantainya lebih lebar dibandingkan dengan kondisi pantai di Desa Gugop. Dataran ini semula
merupakan daerah persawahan, namun saat ini belum dipergunakan lagi. Di bagian selatan daerah
ini berbatasan langsung dengan teluk dan sedikit tertutup oleh perbukitan dari Desa Serapong.
Kondisi ini agak menguntungkan karena proses abrasinya tidak begitu kuat dan tiupan anginnya
yang kencang agak terhalang oleh perbukitan tersebut. Keberadaan perbukitan di Desa Serapong
ini, menyebabkan gelombang tsunami agak tertahan masuk desa ini, sehingga masyarakat
mempunyai waktu untuk mencapai perbukitan. Akibatnya korban jiwa di Ulee Paya paling sedikit
dibandingkan desa-desa lainnya (kurang dari 10 orang). Desa Gugop dan Ulee Paya dibatasi
oleh perbukitan yang dibentuk oleh batuan hasil aktifitas gunung api. Batuannya terdiri dari lava
dan breksi yang bersusunan andesit, sehingga di lapangan nampak membentuk bongkah bongkah
(foto 4.1-G). Sebagian besar perbukitan merupakan ladang dan kebun masyarakat setempat
yang ditanami dengan tanaman keras, seperti kopi, durian, kelapa dan coklat.
Menyikapi kerawanan terhadap pasang naik, abrasi pantai, tiupan angin dan kemungkinan tsunami
dimasa depan, selain perlu penataan ulang pemukiman juga diharapkan segera pula dilakukan
penataan atau penanaman kembali kawasan pantai misal dengan tanaman mangroove, kelapa
maupun cemara pantai atau tanaman produktif lainnya. Di samping itu pada lokasi-lokasi yang
rawan abrasi pantai, terutama yang dekat dengan permukiman dibuat bangunan yang berfungsi
sebagai pemecah ombak. Hal tersebut selain dapat mempercepat pemulihan kesejahteraan
masyarakat juga berfungsi sebagai pemulihan dan pertahanan kondisi lingkungan yang ada.
Berkaitan dengan lokasi evakuasi sebagai upaya penyelamatan diri dari kemungkinan terjadinya
tsunami kembali, di Desa Gugop dan Ulee Paya telah menyediakan lahan yang cukup strategis di
perbukitan yang letaknya berada di sebelah utara ke dua desa tersebut. Di Desa Gugop lokasi
evakuasi telah ditentukan oleh masyarakat setempat berdasarkan kesepakatan setelah terjadi
bencana tsunami tahun 2004. Lokasi tersebut berdekatan dengan sumber air bersih dan untuk
menuju tempat tersebut sangat mudah karena sudut lerengnya cukup landai antara 30o – 50o .
Sedangkan lokasi evakuasi di Desa Ulee Paya menggunakan tempat yang pernah dipergunakan
oleh masyarakat setempat untuk penyelamatan diri pada saat bencana tsunami. Letak lokasinya
cukup baik karena dekat dengan sumber air bersih dari aliran sungai kecil serta daerahnya relatif
datar, sehingga memudahkan dalam pembuatan rumah atau “balee”. Disamping itu lerengnya
cukup stabil (tidak longsor) jika terjadi gempa bumi dan tsunami, hal ini ditunjang oleh kondisi
tanah yang berasal dari pelapukan tanah lava dan breksi gunung api. Hal lain yang perlu mendapat
perhatian adalah pembuatan jalan dan jalur evakuasi yang lebih memadai untuk menuju tempat
evakuasi yang telah ditentukan masyarakat setempat.
Fasilitas fisik yang terdapat pada empat desa di lokasi kajian terdiri dari kantor kecamatan dan
desa, perumahan dan balai pertemuan, prasarana pendidikan, prasarana kesehatan, mesjid dan
meunasah, jaringan jalan, jaringan telekomunikasi (telpon, radio, TV) dan ketersediaan air bersih.
Keempat desa tersebut pada bulan April 2006 ini sedang melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi
akibat bencana gempa dan tsunami. Sebagian besar fasilitas fisik hancur. Fasilitas yang pernah
ada saat ini berada pada kondisi: a) belum dibangun kembali sehingga fungsinya belum dijalankan;
b) sedang dibangun kembali dan fungsinya ditenggarai oleh institusi sementara; c) sebagian lagi
sudah difungsikan dengan kondisi sementara, dan d) sebagian sudah difungsikan dengan kondisi
yang ada pada bulan tersebut. Hampir tidak ada fasilitas fisik yang sudah dibangun dan difungsikan
sesuai dengan kondisi seperti sebelum bencana. Penilaian tingkat keselamatan (safety) yang
mungkin diperoleh dari fasilitas fisik yang saat ini tersedia, sulit dilakukan. Hal ini disebabkan
dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi, pembangunan fisik belum diselesaikan sehingga belum
berfungsi pada kondisi normal.
Kantor kecamatan baik Leupung maupun Pulo Aceh yang sekarang tersedia merupakan bangunan
sementara yang sudah difungsikan. Sebagian besar kegiatan Kecamatan Pulo Aceh dilaksanakan
pada bangunan ruko yang merupakan kantor penghubung atau perwakilan di Kota Banda Aceh.
Sedangkan rencananya kantor Kecamatan Pulo Aceh tetap berlokasi di Pulau Nasi, yaitu salah
satu dari tiga pulau di Kecamatan Pulo Aceh. Saat ini bangunan kecamatan di Pulau Nasi ini
sedang dalam proses penyelesaian. Bangunan kantor Kecamatan Leupung sekarang merupakan
bangunan sementara yang dikonstruksikan khusus untuk keperluan kantor kecamatan. Sedangkan
kantor Kecamatan Leupung yang permanen direncanakan akan dibangun dengan bantuan LSM
YIED,.
115
Kantor desa untuk ke tiga lokasi masih menggunakan tempat tinggal geucik (kepala desa) sebagai
lokasi kegiatan desa. Hanya Desa Pulot yang sudah memiliki bangunan kantor desa dan balai
pertemuan yg permanen dan dibangun atas bantuan USAID. Balai pertemuan umumnya dibangun
berdekatan dengan barak atau hunian sementara (huntara) penduduk, dan merupakan bagian
dari pembangunan perumahan penduduk. Hampir semua desa telah memiliki balai pertemuan
dalam bentuk fisik yang sementara dan sudah dapat digunakan baik untuk keperluan pertemuan
perdesaan maupun untuk keperluan beribadah.
Akibat tsunami, sebagian besar perumahan penduduk di empat desa tersebut, hancur. Banyak
penduduk yang saat ini masih tinggal di barak atau di huntara. Barak atau huntara ini dibangun
pada lahan dimana bangunan lama berlokasi. Umumnya juga tidak memiliki arah bangunan yang
jelas, namun dibangun dalam lokasi yg berkelompok. Rata rata bahan material yang digunakan
adalah tripleks, dan kayu. Sedangkan untuk huntara yang dibangun sendiri oleh warga,
mengandalkan bahan kayu bekas, terpal dan atap rumbia. Dari sekitar 200 rumah permanen
yang harus dibangun untuk Desa Gugop dan Ulee Paya, belum satupun yang sudah dilaksanakan.
Bantuan pembangunan perumahan diberikan oleh British Red Cross (BRC). Sedangkan untuk
Tabel 4.1.1.2.
Rencana Pembangunan Perumahan di Lokasi Studi 2006
Akibat bencana tsunami semua sarana pendidikan hilang terbawa gelombang tsunami. Saat ini
telah dibangun gedung sekolah sementara yang sudah difungsikan. Bangunan dibuat dari kayu,
dalam kondisi panggung. Di kedua desa, Kecamatan Pulo Aceh hanya terdapat 1 SD dan 1
SMP, yang saat ini menggunakan bangunan sementara. Sedangkan di kedua desa di Kecamatan
Leupung terdapat ketiga tingkat sekolah yaitu SD, SMP dan SMA, masing-masing satu unit.
Untuk Desa Pulot, bangunan SMP dan SMA sedang dibangun secara permanent. Sedangkan
untuk Desa Dayah Mamplam, bangunan SD dan SMP dibangun bersifat sementara untuk segera
difungsikan. Hal in mengingat kegiatan belajar mengajar masih menggunakan gedung milik orang
lain (Tabel 4.1.1.3).
Tabel 4.1.1.3.
Kondisi Prasarana Pendidikan Sebelum Tsunami 2003 dan Sesudah Tsunami 2006 di Lokasi Studi
Sumber: Kantor Statistik Kab. Aceh Besar 2003, dan Kantor Kecamatan Pulo Aceh dan Leupung 2006.
Sebelum bencana, setiap desa minimal memiliki satu mesjid atau meunasah yang saat ini juga
tidak tersisa lagi. Mesjid atau meunasah yang baru saat ini sudah difungsikan, walaupun merupakan
bangunan sementara di kedua desa, Kecamatan Leupung. Sedangkan untuk kedua desa di
Kecamatan Pulo Aceh, kegiatan beribadah masih menggunakan balai pertemuan yang tersedia
di setiap barak.
Tabel 4.1.1.4.
Prasarana Kesehatan Sebelum Tsunami 2003 dan Sesudah Tsunami 2006, di Lokasi Studi
Jaringan jalan yang saat ini tersedia untuk kedua kecamatan cukup berbeda. Secara geografis,
Kecamatan Leupung bersambungan langsung dengan Kota Banda Aceh. Jaringan jalan yg
melewati kedua desa di Kecamatan Leupung ini juga merupakan jaringan jalan regional yang
menghubungkan Kota Banda Aceh dan kota-kota di wilayah pantai barat. Akibatnya jalan ini
ketika hancur akibat tsunami, termasuk relative cepat diperbaiki dan difungsikan kembali.
Meskipun saat ini, angkutan umum belum berjalan seperti sediaka, namun kualitas jaringan jalan
ini baik dan perjalanan antara Banda Aceh dan Kecamatan Leupung cukup lancar. Sebelum
terjadi tsunami, sebuah dermaga berlokasi di Desa Dayah Maplam Kecamatan Leupung. Adanya
dermaga ini memudahkan upaya bertransportasi ke kota Banda Aceh, kota kota lain di sekitar
pantai Barat Aceh serta untuk mencapai pulau pulau kecil di utara. Kegiatan ekonomi yang
bersandar pada sub sector perikanan memberi kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Namun
saat ini dermaga ini hancur dan belum dibangun kembali.
Jaringan komunikasi dan telekomunikasi di kedua desa di Kecamatan Pulo Aceh masih sangat
terbatas. Beberapa warga mulai mengakses TV dengan antenna parabola. TV menjadi salah
satu sumber informasi penting bagi warga desa. Radio komersial atau RRI belum dapat dijangkau
di lokasi. Di Desa Ulee Paya penggunaan telpon celular (HP) masih terbatas pada lokasi tertentu
dimana sinyal komunikasi mudah terjangkau, sehingga mengakibatkan penggunaan telepon selular
belum menjadi sumber informasi. Di Desa Gugop, HP lebih dapat digunakan karena mudahnya
mendapat sinyal. Hubungan antar geucik (kepala desa) masih bergantung pada jaringan transportasi
yang mengangkut informan dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Jaringan listrik yg pasokannya disuplai oleh PLN, saat ini sudah mulai masuk kembali ke kedua
desa di Kecamatan Leupung. Sedangkan untuk keempat desa masih menggunakan genset yang
pemasangannya terbatas pada waktu tertentu. Pembelian bahan bakar solar sebagian dibantu
secara rutin oleh LSM (BRC). Sedangkan kekurangannya, masyarakat masih harus bergotong
royong untuk membeli solar sendiri.
Sumber air bersih untuk keempat desa kajian di Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh, sebelum
tsunami mengandalkan sumur gali. Saat ini air bersih untuk keempat desa ini juga mengandalkan
sumur yang airnya diolah terlebih dahulu. Pengolahan air ini, diperkenalkan oleh LSM, untuk
membantu peningkatan kualitas air terutama mengurangi efek adanya tsunami tersebut.
.
Pada tahun 2005 penduduk Kabupaten Aceh Besar berjumlah 296.541 jiwa atau sekitar 7,4
persen penduduk NAD. Jumlah penduduk Kecamatan Leupung pada tahun 2003 berjumlah
7878 jiwa dengan rasio jenis kelamin (sex ratio) sebesar 96 (Leupung Dalam Angka, 2003:12).
Tabel : 4.1.1.5.
Distribusi Penduduk Menurut Desa di Kecamatan Leupung
Sebelum (2003) dan Sesudah Bencana Tsunami, 2006
Berdasarkan data statistik yaitu Kecamatan Pulo Aceh Dalam Angka (2003:13), jumlah penduduk 119
kecamatan pada tahun 2003 sebesar 6002 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 101. Pada
tahun 2006 jumlah penduduk Pulo Aceh tinggal 4326 jiwa (sekitar 72 persen), dengan rasio
jenis kelamin sebesar 120. Dengan luas Kecamatan Pulo Aceh sebesar 24075 km2, maka
kepadatan penduduk pada tahun 2003 sekitar 25 jiwa per km2 dan pada tahun 2006 menjadi
sekitar 18 orang per km2. Kecamatan Pulo Aceh terdiri dari 17 desa, dengan jumlah penduduk
antara 87 jiwa (Desa Teunom) sampai 523 jiwa (Desa Alue Reuyeueng). Dua desa sampel yaitu
Desa Gugop dengan jumlah penduduk 297 jiwa (132 KK), mempunyai rasio jenis kelamin
sebesar 132, sedangkan Desa Ulee Paya berpenduduk sebesar 176 jiwa (48 KK) dengan rasio
jenis kelamin sebesar 120. Data penduduk menurut desa sebelum tsunami hanya dapat diperoleh
dari Kecamatan Dalam Angka tahun 2003 dari Kantor Statistik Kabupaten Aceh Besar. Secara
rinci data penduduk menurut desa sebelum dan sesudah tsunami dapat dilihat pada Tabel 4.1.1.6.
Sumber: Kantor Kecamatan (2005/2006). *) Kecamatan Pulo Aceh Dalam Angka, BPS, 2003.
Data di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan penduduk Pulo Aceh menurun tajam dari
6002 jiwa menjadi 4474 selama 2003-2005, atau menurun sebesar 25%. Penurunan ini akan
lebih besar apabila dihitung dari jumlah penduduk menjelang terjadi tsunami. Penurunan yang
lebih besar terjadi pada penduduk perempuan dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sekitar 32%
untuk perempuan dan 19% untuk laki-laki. Desa yang paling awal terkena gelombang tsunami
dan banyak kehilangan jiwa adalah Desa Gugop, karena lokasi desa ini persis di teluk yang
berhadapan dengan Samudra Hindia. Desa Ulee Paya yang penduduknya paling banyak selamat
dari bencana tsunami, jumlah penduduk sesudah bencana justru lebih banyak (2006) dibandingkan
tahun 2003, akibat pertambahan penduduk alami yang lebih besar dibandingkan korban tsunami
yang relatif kecil (kurang dari 10 jiwa).
Pendidikan
Gambaran kondisi pendidikan di suatu wilayah dapat dilihat dari tingkat pendidikan tertinggi
yang ditamatkan. Data tingkat pendidikan penduduk ini sebenarnya dapat dilihat dari data monografi
desa ataupun dokumen-dokumen lain, namun seluruh dokumen kini musnah disapu gelombang
tsunami Tahun 2004. Kondisi tingkat pendidikan di desa dalam laporan ini didasarkan pada
hasil survei kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Sebagian besar responden
di daerah lokasi studi berpendidikan SD ke bawah (sekitar 54 persen), tingkat SMP/ sederajat
sebesar 28 persen sedangkan tingkat SMA ke atas sekitar 18 persen. Kondisi ini tidak jauh
Tabel 4.1.1.7
Persentase Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Yang Ditamatkan
Dan Lokasi Studi
DESA
NO PENDIDIKAN Dayah Total
Gugop Ulee paya Pulot
Mamplam
1 SD/Kurang 64,4 45,8 40,6 57,1 53,8
2 SMP/sederajat 26,7 29,2 34,4 23,8 28,0
3 SMA ke atas 8,9 25,0 25,0 19,0 18,2
Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
N 45 25 32 42 144
Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
Desa Gugop yang merupakan salah satu dari dua desa sampel kajian di Kecamatan Pulo Aceh,
merupakan daerah dengan proporsi penduduk yang berpendidikan SD/kurang jauh lebih tinggi
dibandingkan desa sampel (sekitar 64 persen). Sebaliknya penduduk yang berpendidikan SMA
ke atas juga paling rendah (sekitar 9 persen). Hal ini dipengaruhi oleh terbatasnya fasilitas
pendidikan dan rendahnya aksesibilitas penduduk Pulo Aceh pada umumnya untuk melanjutkan
studi ke tingkat yang lebih tinggi. Daerah yang relatif terisolir dan selama ini dilanda konflik turut
mempengaruhi kesulitan penduduk untuk mengakses fasilitas pendidikan di daerah lain, terutama
di Kota Banda Aceh. Sebelum bencana, desa ini hanya memiliki 1 SD Negeri dan SLTP madrasah,
sehingga untuk melanjutkan studi ke jenjang SMA atau lebih tinggi mereka harus pergi ke luar
daerah. Di samping faktor ekonomi, jarak yang cukup jauh dan sarana transportasi yang masih
sulit merupakan faktor penghambat utama bagi masyarakat untuk melanjutkan studi. Alat 121
transportasi yang dapat digunakan dari daerah ini ke Banda Aceh adalah kapal kecil (boat), yang
berlayar setiap hari kecuali Jum’at. Biaya perjalanan cukup mahal (Rp 10 ribu) dan waktu yang
diperlukan untuk menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam.
Desa Ulee Paya merupakan desa yang letaknya bersebelahan dengan Desa Gugop, dengan
fasilitas pendidikan yang sama dengan Desa Gugop (sekolah darurat sementara SD dan SMP
berlokasi di Desa Ulee Paya). Bersumber dari data sampel menunjukkan keadaan pendidikan
yang lebih baik, dibandingkan dengan Desa Gugop, namun secara umum kondisi faktual pendidikan
penduduk di daerah ini hampir sama. Keterbatasan sarana dan prasarana di desa ini tampaknya
juga berpengaruh terhadap terbatasnya tenaga pendidik di daerah ini. Pengangkatan guru sebagai
PNS sering kali menjadi batu loncatan untuk dapat pindah ke daerah lain yang lebih nyaman
(dekat dengan kota). Hal ini juga dilakukan oleh beberapa tenaga pendidik yang berasal dari
daerah tersebut, yang menunjukkan masih kurangnya kesadaran warga untuk kemajuan pendidikan
di daerahnya. Hal ini juga terjadi dengan warga Pulo Aceh yang berpendidikan relatif tinggi,
kebanyakan juga berusaha untuk mendapatkan pekerjaan dan menetap di daerah perkotaan.
Sesudah tsunami, Pemda NAD kesulitan mengatasi permasalahan guru dan siswa di Pulo Aceh,
karena minimnya fasilitas perumahan dan transportasi di lokasi. Meskipun sering diadakan
pertemuan rutin untuk mengatasi masalah pendidikan di Pulo Aceh, namun solusi sangat minim.
Isu pendidikan di kedua lokasi kajian banyak terungkap pada saat diskusi terfokus (di Gugop),
yang menunjukkan kekecewaan masyarakat terhadap penanganan pendidikan pasca tsunami.
Pendidikan di kedua lokasi kajian dan di Pulo Aceh pada umumnya akan semakin tertinggal,
karena minimnya perhatian pemerintah pada permasalahan Pulo Aceh. Kebanyakan masyarakat
juga tidak mampu lagi untuk menyekolahkan anak ke Banda Aceh, karena kondisi sosial ekonomi
mereka sesudah tsunami. Terbukti siswa dari Pulo Aceh yang bersekolah di Banda Aceh banyak
berhasil, dibandingkan saudaranya yang hanya mampu dbersekolah di Pulo Aceh.
Dua desa di Kecamatan Leupung yang menjadi sampel dalam studi ini mempunyai akses yang
lebih baik jika dibandingkan dengan Desa Gugop dan Ulee Paya. Bangunan sekolah di Desa
Dayah Mamplam adalah SD, SMP, dan SMA, sedangkan di Desa Pulot terdapat sekolah SD
dan SMP yang saat ini masih dalam tahap pembangunan. Tsunami tahun 2004 telah
menghancurkan seluruh bangunan di kedua desa ini termasuk bangunan sekolah. Oleh sebab itu
kegiatan belajar mengajar sampai saat ini masih dilakukan di bangunan darurat. Akan tetapi
pembangunan fasilitas sekolah di daerah ini tampaknya lebih cepat di bandingkan dengan bangunan
di Pulo Aceh, karena aksesibilitasnya yang lebih baik. Hal yang wajar jika kondisi pendidikan
penduduk di daerah ini lebih baik dibandingkan dengan penduduk di Ulee Paya dan Gugop.
Desa Dayah Mamplam dan Pulot sama-sama dilalui oleh jalan provinsi, sehingga transportasi ke
daerah perkotaan relatif lebih mudah dan lancar. Jumlah guru yang aktif mengajar juga lebih
banyak, meskipun harus melaju ke Banda Aceh (karena belum ada perumahan di lokasi
pengungsian).
Pekerjaan
Karena Desa Ulee Paya dan Gugop terletak di pinggir laut dan juga mempunyai tanah yang
cukup luas, maka sebagian besar masyarakat bekerja di sektor pertanian atau sebagai nelayan.
Setelah tsunami, lahan untuk penanaman padi belum dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga
penduduk lebih terfokus pada tanaman-tanaman keras. Lahan tersebut belum dapat ditanami
karena lokasinya merupakan dataran rendah yang dekat dengan laut, sehingga banyak tertimbun
lumpur tsunami. Tanaman lain yang sangat terpengaruh oleh tsunami adalah kelapa, karena
kebanyakan tanaman ini ditanam di pinggir laut. Selain karena cocok untuk penanaman kelapa
yang membutuhkan cukup air, penduduk menanam tanaman kelapa ini sebagai penahan angin
dari laut yang biasanya cukup kencang. Tanaman keras lain (kinang, kopi, dan cengkeh) tidak
terpengaruh oleh tsunami karena lokasi penanaman tanaman keras ini berada di daerah perbukitan
yang tidak terjangkau oleh gelombang tsunami. Pemasaran hasil pertanian di daerah ini masih
menjadi salah satu hambatan bagi masyarakat, karena mereka harus menjual ke Banda Aceh.
Oleh sebab itu, meskipun hutan di daerah ini masih cukup luas tidak banyak penduduk yang
berusaha untuk memperluas arealnya karena pemasaran yang masih sulit. Hasil lain yang menonjol
dari Desa Gugop sebelum tsunami adalah rumput laut, namun pemasarannya sulit. Demikian pula
potensi penghasil jahe cukup besar, karena setiap panen/tahun bisa mencapai sekitar 20 ton.
Perekonomian Desa Ulee Paya didukung oleh 5 toko/kios, tetapi skala kios tersebut masih kecil
dan masih terbatas pada penyediaan barang-barang kebutuhan sehari-hari, sehingga belum dapat
menampung hasil pertanian masyarakat. 123
Penduduk di Desa Gugop juga mempunyai pekerjaan yang hampir sama dengan Desa Ulee
Paya, karena kondisi daya dukung sumber daya alam di daerah ini memang sama. Selain
berdekatan dengan laut yang memungkinkan mereka melaut (menjadi nelayan), wilayah ini juga
dikelilingi oleh bukit yang cukup luas sehingga memungkinkan penduduk setempat untuk bercocok
tanam. Sebagian besar penduduk juga bekerja sebagai petani tanaman pangan dan keras sehingga
mata pencaharian mereka tidak begitu terpengaruh oleh tsunami. Pengaruh tsunami terhadap
mata pengaharian penduduk yang bekerja sebagai petani tanaman keras, disebabkan pada
banyaknya peralatan yang hilang terbawa oleh air laut. Demikian pula sebagai nelayan, mereka
tidak lagi memiliki sarana dan peralatan penangkap ikan di laut. Penduduk Desa Gugop dan
Ulee Paya yang bekerja pada sektor perdagangan/angkutan/jasa relatif kurang dibandingkan
petani, karena daerah ini memang daerah pertanian dengan lahan yang masih cukup luas. Di
daerah ini industri pengolahan masih terbatas pada pengolahan hasil perikanan laut, dan sampai
sekarang usaha industri rumah tangga ini belum berjalan normal, karena jumlah nelayan yang
pergi melaut masih terbatas, akibat terbatasnya peralatan tangkap yang dimiliki.
Tabel 4.1.1.8
Persentase Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan dan Lokasi Studi
Desa Total
No Jenis pekerjaan
Gugop Ulee Paya Dayah Mamplam Pulot
1 Pertanian 62,2 66,7 34,4 23,8 45,5
Perdagangan/
2 26,7 12,5 37,5 38,1 30,1
Angkutan/Jasa
3 Industri 0,0 0,0 3,1 4,8 2,1
4 Tidak bekerja 11,1 20,8 25,0 33,3 22,4
Total 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0
N 45 25 32 42 144
Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
Aksesibilitas penduduk untuk memanfaatkan fasilitas publik di Desa Pulot dan Dayah Mamplam
sudah jauh lebih baik daripada Ulee Paya dan Gugop, sehingga proporsi penduduk yang bekerja
pada sektor perdagangan/angkutan/jasa lebih tinggi yaitu sekitar 38 persen untuk Dayah Mamplam
dan Pulot. Pekerjaan perdagangan di daerah ini dapat berupa toko/kios yang menyediakan
kebutuhan sehari-hari, maupun pedagang ikan (hasil laut) dan pedagang tanaman pangan. Karena
tsunami berpengaruh besar terhadap pekerjaan nelayan dan petani tanaman pangan, maka
pedagangpun mengalami hal yang sama. Salah seorang warga yang bekerja sebagai pedagang
juga menyebutkan bahwa sebelum tsunami ia dapat menjual ikan kering dengan kapasitas lebih
dari 1 ton, tetapi saat ini ia hanya dapat menjual ikan segar kurang lebih 100 kg dan dijual dengan
sepeda motor keliling desa. Pekerjaan di sektor jasa yang banyak digeluti penduduk laki-laki
adalah sopir dan jasa angkutan. Penduduk yang bekerja sebagai sopir, biasanya mempunyai
mobilitas yang lebih tinggi terutama keluar desa. Hal ini justru yang dapat menghindarkan mereka
dari bahaya tsunami pada tahun 2004 yang lalu, sebab pada waktu terjadi tsunami, penduduk
yang bekerja pada sektor ini sedang tidak berada di lokasi yang banyak membawa korban jiwa.
Pekerjaan ini lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki, sehingga penduduk yang masih selamat
Kelembagaan Sosial
Di setiap desa, baik di Leupung maupun Pulo Aceh, terdapat kelembagaan formal seperti
PKK untuk ibu-ibu dan Karang Taruna untuk para pemuda. Sedangkan kelembagaan sosial
informal biasanya berupa kelompok pengajian, yasinan, kesenian. Sedangkan lembaga
perekonomian masih sangat terbatas, terutama di Pulo Aceh. Lembaga sosial yang ada sebelum
tsunami terbatas pada Karang Taruna, PKK dan Kelompok Pngajian/TPA dan yasinan di masing-
masing desa. Keberadaan lembaga seperti PKK dan Karang Taruna di setiap desa pada umum
dibentuk secara formal oleh desa dengan ketua PKK isteri Geucik atau tokoh wanita lain. Di
kedua lokasi kajian ketua PKK masih ada (bukan isteri geucik), meskipun praktis tidak ada
kegiatannya Sebelum bencana, PKK di kedua desa memiliki balai pertemuan dan memperoleh
setiap tahun juga memperoleh dana sebagai bagian dana yang diperoleh desa.. Meskipun demikian
tidak ada kegiatan yang berarti untuk pengembangan masyarakat, terutama sesudah bencana.
Selain beberapa pengurusnya menjadi korban tsunami, prioritas kegiatan saat ini memenuhi
kebutuhan sehari-hari di pengungsian. Kegiatan kelompok pengajian, tetap djalankan minimal
seminggu sekali di masing-masing desa. Lembaga sosial lain yang khas Aceh adalah Julu-julu
yang kegiatannya semacam arisan di Jawa. Lembaga kesenian relative maju di Desa Gugop yaitu
kesenian debus (Rafai Debus) dan likok pulo (liku-liku kehidupan pulo). Kesenian ini pernah
menjadi 10 besar nasional, namun kurang berkembang, terutama sesudah tsunami, karena semua
asetnya musnah bersama tsunami
Mukim merupakan lembaga kepemimpinan tradisional Aceh, dimana setiap kepala mukim 125
umumnya meliputi beberapa desa. Di Kecamatan Pulo Aceh terdapat tiga mukim yaitu Mukim
Pulau Nasi (5 desa), Mukim Pulau Breuh Selatan (8 desa) dan Mukim Pulau Breuh Utara (4
desa). Kedua desa kajian yaitu Gugop dan Ulee Paya termasuk dalam satu mukim yaitu Mukim
Pulau Breuh Selatan, dengan kepala mukim berlokasi di Desa Ulee Paya. Mukim sebagai pemimpin
tradisional biasanya merupakan tokoh masyarakat atau tokoh agama yang disegani oleh
masyarakat, bahkan dalam berbagai hal perkataannya lebih didengar dan menjadi panutan daripada
kepemimpinan formal desa.
Kelembagaan adat di Aceh biasa disebut sebagai Majlis Adat Aceh (MAA) terdapat di setiap
kecamatan. Sedangkan di setiap desa persawahan terdapat ketua blank, biasanya berfungsi
untuk menyelesaikan perselisihan diantara masyarakat petani. Sedangkan untuk daerah perbukitan
terdapat ketua Glee yang fungsinya menyelesaikan perselisihan lahan dan ternak dalam masyarakat.
Secara adat di setiap wilayah kecamatan yang meliputi daerah pantai juga terdapat seorang
Panglima Laut. Dalam setiap teluk terdapat ketua Teupin yang meliputi lima desa. Akibat tsunami
banyak tokoh adat yang menjadi korban, termasuk panglima lautnya. Biasanya panglima laut
Atas inisiatif para pemuda di Desa Ulee Paya, dibentuk suatu gerakan siaga bencana yang
dinamakan “Tim Siaga Bencana Berbasis Masyarakat Tingkat Desa (Village Based Action Team)
atau disingkat SIBAD. Anggotanya diusahakan semua pemuda terlibat. Hal ini dilakukan sebagai
tindak lanjut dari pelatihan ‘kesiapsiagaan menghadapi bencana berbasis masyarakat’ yang pernah
diselenggarakan di Desa Seumeubok pada tahun 2005. Pelatihan diselenggarakan oleh BRC
bekerja sama dengan LIPI dan diikuti wakil-wakil pemuda dari 10 desa di Kecamatan Pulo
Aceh (2 mukim). Dari Ulee Paya peserta sebanyak 7 orang pemuda dan peserta dari Gugop 10
orang. Peserta dari Ulee Paya adalah para pemuda dan pemudi, guru dan panglima laut. Pelatihan
meliputi antara lain pemahaman tentang bencana, cara evakuasi, pertolongan pertama, memasang
tenda dan menyelenggarakan dapur umum (takulubung).
Terbentuknya SIBAD, sebagai gerakan kesiapsiagaan merupakan tindakan yang positif, sebagai
tindak lanjut dari suatu pelatihan sebelumnya, meskipun belum banyak aktivitas yang terarah
untuk suatu bentuk kesiapsiagaan berbasis masyarakat. Berdasarkan hasil diskusi dengan para
pemuda setempat, kendala utama dari gerakan tersebut adalah makin berkurangnya pengurus
yang aktif, karena berbagai kesibukan. Masalah lain untuk merealisasikan rencana ke depan
membutuhkan dukungan kebijakan desa dan dana. Beberapa rencana yang telah dibuat antara
lain : penghijauan, membuat jalan ke tempat evakuasi, dan membuat shelter di tempat evakuasi.
Kesepakatan yang telah dibuat desa, bukit yang menjadi tempat penyelamatan diri penduduk
deas, akan digunakan sebagai tempat evakuasi. Hasil yang sudah dicapai diantaranya adalah
peta desa yang baru telah memasukkan gunung tempat penyelamatan warga sebagai tempat
evakuasi. Pemukiman yang direncanakan dibangun untuk warga juga sudah lebih dekat sekitar
½ km ke gunung (sebelumnya berjarak 1 km). Penghijauan jalan di pantai dengan menanam
pohon bakau (dibantu Japan Red Cross) dan pohon ketapang oleh BRC. Untuk merealisasikan
tempat evakuasi perlu memperlebar jalan setapak dan tangga untuk pendakian. Meskipun
dukungan desa cukup, tapi memerlukan dukungan kebijakan dan dana untuk merealisir semua
rencana tersebut. Hal-hal yang masih diperlukan adalah memperbanyak pemuda yang terlatih
dalam siaga bencana. Keterbatasan SDM terlatih (hanya 2 orang yang aktif), menyulitkan untuk
transfer pengetahuan dan ketrampilan pada lainnya. Sosialisasi tentang kesiapsiagaan juga masih
diperlukan terhadap masyarakat. Pada saat ini yang lebih dibutuhkan adalah memperbanyak
orang yang terlatih menghadapi bencana, seperti latihan pertolongan pertama, evakuasi dan
sebagainya.
Kesiapsiagaan individu/rumah tangga menghadapi bencana khususnya gempa bumi dan tsunami
dalam kajian ini dikelompokkan menjadi beberapa parameter yaitu pengetahuan dan sikap,
perencanaan kedaruratan, sistem peringatan dan mobilisasi sumber daya. Parameter Pengetahuan
dan sikap individu/rumah tangga merupakan pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh
individu meliputi pengetahuan tentang bencana, penyebab dan gejala-gejala, maupun apa yang
harus dilakukan bila terjadi gempa bumi dan tsunami. Parameter perencanaan kedaruratan meliputi
rencana yang dilakukan individu/rumah tangga untuk menghadapi kemungkinan terjadinya gempa
bumi dan tsunami. Parameter ini dirinci dalam beberapa pertanyaan seperti rencana keluarga
yang telah ada, tempat evakuasi keluarga, obat-obatan maupun kebutuhan dasar lainnya. Sistem
peringatan meliputi keberadaan, sumber informasi maupun respon bila mendengar peringatan
baik yang sudah ada dimasyarakat maupun yang diadakan pemerintah. Sedangkan parameter
mobilisasi sumber daya dirinci ke dalam pertanyaan keikursertaan dalam pendidikan dan
ketrampilan, jenis ketrampilan yang diikuti, mobilisasi dana maupun social capital masyarakat.
Pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga dalam assessment ini diukur dengan beberapa
indikator seperti pengertian bencana alam, jenis dan tipe bencana alam, penyebab dan tanda-
tanda gempa bumi dan tsunami, aktifitas yang akan dilakukan jika terdapat bencana gempa bumi
maupun tsunami. Individu/rumah tangga yang mempunyai pengetahuan lebih tinggi, diharapkan
lebih siap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana, sebab pengetahuan merupakan dasar
dari kesadaran untuk melakukan perencanaan kedaruratan, mobilisasi sumber daya dan peringatan
dini. Pengetahuan juga menjadi dasar untuk melakukan aktivitas yang benar dalam mengantisipasi 127
datangnya bencana. Salah satu pertanyaan mendasar yang digunakan untuk mengukur tingkat
pengetahuan masyarakat adalah apa yang dimaksud dengan bencana alam. Pendapat responden
terhadap pertanyaan ini ternyata cukup bervariasi, namun sebagian besar (57 persen) menjawab
bahwa bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam (Diagram 4.1.2.1).
Beberapa contoh bencana alam yang mereka sebutkan adalah tsunami, gunung meletus, kebakaran
hutan dan banjir. Pendapat tentang bencana alam ini tidak jauh berbeda antar responden berdasar
tingkat pendidikan yaitu responden berpendidikan SD ke bawah sebesar 52 persen, sementara
SMA ke atas sebesar 56,7 persen. Hanya sekitar 1 persen responden yang menyatakan bahwa
bencana alam adalah bencana yang disebabkan oleh kerusuhan sosial/politik ataupun kebakaran
hutan. Responden yang berpendapat bahwa bencana alam merupakan bencana yang disebabkan
oleh perilaku manusia sebesar 41 persen. Pendapat ini berhubungan dengan kenyataan bahwa
selama ini banyak warga/orang luar yang menebang hutan secara sembarangan, yang dalam
waktu tertentu dapat menyebabkan terjadinya tanah gundul.
Diagram 4.1.2.1.
Persentase Responden menurut Pengetahuan Tentang
Bencana Alam (N=144)
Tanah gundul dapat mengakibatkan terjadinya tanah longsor, maupun kelangkaan sumber air
yang dapat berakibat pada terjadinya bencana kelaparan. Menjaga kelestarian alam seperti
hutan adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya bencana ini, sehingga hukum harus
ditegakkan. Selama ini memang belum terjadi bencana akibat penebangan hutan secara liar ini,
tetapi jika tidak diantisipasi kemungkinan terjadinya bencana sangat besar. Perilaku manusia
yang negative terutama yang bertentangan dengan ajaran agama mengakibatkan murka tuhan,
sehingga memberikan peringatan maupun azab bagi umat manusia berupa bencana alam. Pendapat
ini didukung oleh hasil FGD pada masyarakat desa yang secara mayoritas mengatakan bahwa
bencana merupakan kehendak tuhan untuk mengingatkan umat manusia agar tidak melakukan
perbuatan dosa. Oleh sebab itu, cara paling tepat untuk menghindari bencana adalah dengan
berbuat baik dan tidak melanggar larangan tuhan.
Bencana dapat terjadi karena berbagai sebab baik kejadian alam maupun ulah manusia sendiri,
pertanyaan yang diajukan selanjutnya adalah kejadian alam apa saja yang dapat menimbulkan
bencana. Dalam hal kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, sebagian besar responden
telah mengetahui bahwa gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi dan badai
dapat menimbulkan bencana (Tabel 4.1.2.1). Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin besar
pula persentase penduduk yang berpendapat demikian, bahkan untuk gempa bumi, banjir, tanah
longsor dan badai seluruh responden berpendidikan tinggi menyebutkan kejadian alam tersebut
dapat menimbulkan bencana. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa kejadian alam tersebut
sudah sangat dipahami oleh masyarakat. Pengalaman terjadinya tsunami, gempa bumi, banjir
dan kejadian alam lainnya di Aceh ataupun beberapa daerah lain di Indonesia telah memberikan
pengetahuan yang tidak akan terlupakan pada diri masyarakat baik kalangan terdidik sampai
tidak terdidik. Hampir seluruh responden telah memahami bahwa gempa bumi merupakan salah
Tabel 4.1.2.1.
Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Jenis Kejadian Alam yang
Menimbulkan Bencana Alam dan Tingkat Pendidikan
Pendidikan
No Kejadian alam SMP/ Total
SD/kurang Sederajat SMA ke atas
1 Gempa bumi 94,9 97,5 100,0 96,5
2 Tsunami 98,7 95,0 96,2 97,2
3 Banjir 94,9 95,0 100,0 95,8
4 Tanah longsor 93,6 97,5 100,0 95,8
5 Gunung Berapi 85,9 90,0 92,3 88,2
6 Badai 96,2 97,5 100,0 97,2
N 78 40 26 144
Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
Dalam sebuah diskusi kelompok terarah bersama mayarakat di Desa Pulot, sebagian masyarakat
menyebutkan bahwa kejadian alam yang paling potensial mengakibatkan bencana adalah badai
yang berasal dari laut. Mereka memahami bahwa jarak antara desa dengan laut sudah semakin
dekat bahkan mendekat kurang lebih 200 meter, sementara hampir seluruh tanaman dipinggir
laut habis oleh tsunami tahun 2004 yang lalu. Jika badai datang, tidak ada lagi tanaman penghalang
yang dapat melindungi mereka, sehingga sangat berbahaya bagi masyarakat. Hal yang sama juga
diungkapkan oleh masyarakat dalam diskusi kelompok terarah di Ulee Paya dan Gugop. Peserta
diskusi mengganggap bahaya utama yang mengancam desa mereka saat ini adalah badai, sebab 129
tanaman penghalang di pinggir laut sudah hilang, sementara jarak desa dari laut sudah semakin
dekat. Khusus untuk banjir dan tanah longsor dirasakan oleh masyarakat Ulee Paya dan Gugop
sebagai kejadian alam yang tidak akan terjadi di daerah mereka karena hutan di daerah ini masih
sangat baik.
Pertanyaan lebih jauh tentang kejadian alam yang dapat menimbulkan gempa bumi, hasilnya
menunjukkan bahwa pengetahuan responden cukup bervariasi. Sebagian besar responden (70,1
persen) berpendapat bahwa gunung meletus merupakan salah satu penyebab terjadinya gempa
bumi. Hal ini didasarkan pada berbagai pangalaman bahwa selama ini jika terjadi gunung meletus
pasti disertai dengan gempa bumi. Pergeseran kerak bumi merupakan hal yang belum banyak
diketahui warga sehingga hanya 56,9 persen yang menyatakan bahwa kejadian alam ini dapat
menimbulkan gempa bumi. Istilah kerak bumi memang tidak populer bagi masyarakat bahkan
selama ini banyak warga yang sama sekali belum tahu yang dimaksud dengan kerak bumi (Diagram
4.1.2.2).
Ketidaktahuan sebagian responden juga terjadi pada saat ditanyakan apakah pengeboran minyak
merupakan penyebab terjadinya gempa bumi yaitu hanya 40,3 persen menjawab tidak. Di sisi
lain proporsi responden yang berpendapat bahwa pengeboran minyak dapat menjadi salah satu
penyebab gempa bumi masih cukup banyak. Pendapat responden ini didasarkan pada pemikiran
bahwa pengeboran minyak akan menimbulkan lubang yang cukup luas di dalam tanah. Suatu
saat lubang ini dapat berdampak pada longsoran di bawah tanah yang dapat menimbulkan gempa
bumi. Cukup banyak responden yang menjawab tidak tahu, apakah pengeboran minyak dapat
mengakibatkan gempa bumi, sebab pada dasarnya mereka memang tidak tahu bagaimana sistem
kerja pengeboran minyak tersebut termasuk menimbulkan lubang yang besar di dalam tanah
atau tidak. Mereka yang merasa tidak tahu terhadap pernyataaan ini jauh lebih besar dibanding
pernyataan yang lain.
80
70,1 Ya
70 tidak
56,9 57,6 tidak tahu
60
50 45,8
39,6 40,3
40
32,6
30 25,7 27,1
25
17,4 18,1 17,4
20 14,6
11,8
10
0
Pergeseran Gunung meletus Tanah longsor Angin topan dan Pengeboran
kerak bumi halilintar minyak
Diagram 4.1.2.2.
Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang
Jenis Kejadian Alam Penyebab Gempa Bumi (N=144)
Pemahaman tentang kejadian alam yang dapat menyebabkan gempa bumi tidak berkorelasi
positif dengan tingkat pendidikan, sehingga belum tentu semakin tinggi pendidikan responden
Gempa bumi dapat terjadi sewaktu-waktu bahkan pada saat manusia masih tidur dan saat ini
belum ada alat yang dapat mengetahui secara pasti kapan gempa bumi akan tersebut. Oleh
sebab itu manusia hanya perlu siapsiaga terhadap kemungkinan datangnya bencana, sebab sebagian
besar bumi Indonesia sangat rawan terhadap gempa bumi. Gempa di Yogyakarta yang baru-
baru ini terjadi membuktikan bahwa tanah di Indonesia ini memang rawan terhadap gempa bumi.
Sifat gempa ini tampaknya telah diketahui oleh sebagian besar responden sebab 80 persen
responden mengatakan bahwa gempa bumi tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya dan hanya
3 persen yang menyatakan sebaliknya. Sifat tidak dapat diperkirakan ini pula yang menyebabkan
banyak orang menjadi panik pada saat terjadi gempa bumi berskala besar. Meskipun sebagian
besar telah mengetahui bahwa gempa bumi tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya tetapi
masih terdapat 17 persen responden yang menyatakan tidak tahu (Lampiran diagram 4.1.2.1).
Mereka yang tidak tahu ini sebagian besar berasal dari responden berpendidikan SD ke bawah.
Gempa besar yang terjadi sebelum datang tsunami di Aceh tahun 2004 memberikan tambahan
pengalaman nyata bagi responden untuk mengenali ciri-ciri gempa besar/kuat. Oleh sebab itu 131
sebagian besar responden dapat menjawab pertanyaan tentang ciri-ciri gempa besar secara
benar. Mayoritas responden menyatakan bahwa gempa besar menyebabkan bangunan retak
dan roboh, goyangan kencang/keras sehingga tidak dapat berdiri, membuat pusing/limbung dan
terjadi berulang-ulang.
Gempa terjadi secara berulang-ulang dimaksudkan setelah terjadi gempa besar kemudian akan
dikuti gempa-gempa lain yang skalanya lebih kecil. Bahkan hingga beberapa bulan setelah gempa
besar masih sering terjadi gempa-gempa yang lebih kecil. Meskipun gempa-gempa susulan tersebut
relatif lebih kecil biasanya warga akan tetap takut dan trauma terhadap kemungkinan terjadinya
gempa yang besar lagi.
Pengetahuan responden tentang ciri-ciri gempa kuat sudah cukup tinggi, sebab responden di
Aceh telah merasakan gempa besar yang terjadi sebelum datangnya tsunami di Aceh pada tahun
2004 yang lalu. Berdasar pengalaman responden, gempa besar menyebabkan goyangan yang
keras/kencang sehingga orang menjadi pusing dan limbung/tidak bisa berdiri tegak. Oleh sebab
itu lebih dari 90 persen responden menjawab ciri tersebut sebagai salah satu ciri gempa kuat.
Pada saat ditanyakan apakah setelah gempa besar selalu diikuti oleh gempa-gempa yang lebih
kecil, hampir keseluruhan responden (99 persen) menyatakan ya. Untuk gempa bumi di Aceh
tahun 2004 bahkan sampai saat ini masih sering terjadi gempa, meskipun mereka tidak tahu
persis apakah gempa tersebut mempunyai sumber yang sama. Gempa-gempa kecil ini akan
terus terjadi hingga terdapat keseimbangan alam baru. Baik responden berpendidikan rendah
maupun tinggi menjawab hal yang sama karena pengetahuan ini didapat dari pengalaman yang
mereka rasakan sendiri. Gempa-gempa kecil yang mengikuti gempa besar tersebut pada awalnya
sering terjadi dan secara berangsur menurun.
Pengetahuan responden tentang ciri-ciri bangunan yang tahan gempa ternyata belum tinggi. Ciri
umum bangunan tahan gempa yang diketahui oleh mayoritas responden adalah fundasi bangunan
tertanam cukup dalam (81,3 persen menyatakan ya). Salah satu ciri yang sulit dimengerti oleh
responden adalah bentuk bangunan yang berimbang/simetris, sebab istilah ini masih asing bagi
masyarakat sehingga terdapat 25,7 persen responden menyatakan tidak tahu. Demikian pula
halnya dengan bagian-bagian bangunan yang tersambung dengan kuat dan bangunan rumah terbuat
dari material yang ringan masih banyak responden yang menyatakan tidak tahu. Ketidaktahuan
responden ini bisa terjadi karena istilah yang digunakan dalam daftar pertanyaan tersebut tidak
populer, atau responden memang bukan seoerang tukang bangunan sehingga kurang paham
terhadap istilah-istilah dalam pertukangan. Padahal banyak informan menyatakan kebanyakan
bangunan rumah di lokasi kajian tidak pernah roboh (hanya retak-retak) meskipun beberapa
kali dilanda gempa besar (Tahun 1960 dan 1983). Kehancuran rumah secara total baru dialami
masyarakat, ketika terjadi bencana tsunami. Seorang informan di Desa Gugop menjelaskan secara
tradisional masyarakat sudah mengenal bangunan rumah panggung dari kayu/papan yang tahan
gempa, karena fondasi bangunan dibuat dari semen atau batu, dengan ikatan kuat pada sambungan-
sambungan bangunan, dengan menggunakan tali yang dibuat dari pohon enau (tidak membusuk).
Responden yang menyatakan bahwa bentuk bangunan berimbang dan bangunan terbuat dari
material yang ringan merupakan ciri-ciri rumah tahan gempa masih di bawah 50 persen. Persentase
ini semakin kecil dengan semakin rendahnya tingkat pendidikan responden. Semakin tinggi tingkat
pendidikan responden semakin tinggi pula yang mengetahui ciri-ciri bangunan yang tahan terhadap
gempa. Respoden berpendidikan SD ke bawah yang menyatakan bahwa bangunan/rumah terbuat
dari material ringan merupakan ciri bangunan tahan gempa hanya 41,0 persen, dan meningkat
menjadi 61,5 persen untuk responden berpendidikan SMA ke atas. Meskipun demikian hanya
fundasi bangunan tertanam cukup kuat yang diketahui oleh mayoritas responden.
Diagram 4.1.2.3.
Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang
Ciri-ciri Bangunan Tahan Gempa (N=144)
Pendapat yang cukup bervariasi terjadi pada waktu responden ditanyakan hal-hal yang akan
dilakukan jika terjadi gempa bumi. Mayoritas responden (lebih dari 80 persen) menjawab bahwa
mereka akan segera menuju lapangan yang terbuka, menjauhi benda-benda yang tergantung,
menjauhi jendela/kaca, dan berlari keluar rumah pada saat gempa. Pendapat ini merata untuk
seluruh responden baik menurut kecamatan maupun tingkat pendidikan yang ditamatkan. Secara
spontanitas responden akan berusaha mencari tempat yang aman dari gempat dan tempat itu
adalah tempat terbuka sehingga mereka harus keluar rumah. Menjauhi jendela kaca perlu
dilakukan, karena jendela kaca mudah pecah dan pecahan kaca tersebut dapat membahayakan
responden. Demikian pula halnya dengan benda-benda tergantung, dalam keadaan gempa keras 133
benda-benda tersebut dapat terjatuh dan mengenai responden, sehingga perlu dijauhi (Lampiran
tabel 4.1.2.3).
Mereka yang menyatakan akan merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda hanya sebesar
32,6 persen artinya lebih banyak responden yang tidak setuju terhadap langkah ini. Berbeda
halnya dengan negara Jepang yang telah menggunakan dinding terbuat dari benda-benda yang
ringan dan cukup kuat, di Indonesia kebanyakan dinding terbuat dari bahan yang berat atau
bahan ringan tetapi kurang memperhitungkan beban gempa bumi. Responden berpendapat sangat
beresiko jika pada waktu gempa mereka harus merapat ke dinding karena jika dinding tersebut
roboh dapat berbahaya bagi keselaman responden. Menjauhi ruangan setelah gempa reda juga
bukan menjadi pilihan mayoritas responden sebab hanya 48,6 persen yang akan melakukannya.
Menjauhi ruangan tidak perlu dilakukan menunggu gempa reda, tetap pada saat gempa tersebut
terjadi. Sebab jika gempa terlalu kuat, ruangan bisa hancur dan membahayakan mereka. Dalam
hal melindungi kepala, responden yang akan melindungi kepala jika terjadi gempa tidak terlalu
besar (55,6 persen), tidak jauh berbeda dengan berlindung di tempat yang aman (misal di bawah
meja).
Diagram 4.1.2.4.
Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang
Penyebab Tsunami (N=144)
Bahkan sampai sekarang sebagian masyarakat masih berpendapat bahwa bencana tsunami hanya
akan terjadi sekali dalam hidup mereka, yang diyakini sebagai akibat ulah manusia yang melanggar
ketentuan dan hukum Allah. Penduduk yang mengetahui bahwa badai/angin puting beliung bukan
sebagai kejadian alam yang dapat mengakibatkan tsunami ternyata masih rendah (47,2 persen).
Demikian juga dengan jawaban bahwa tsunami terjadi karena ‘longsoran di bawah laut’ hanya
sekitar 16 persen responden yang mengetahui bukan sebagai penyebab tsunami. Ketidaktahuan
responden semakin nampak karena lebih dari 25 persen mengatakan tidak tahu apakah kedua
kejadian itu dapat menyebabkan tsunami. Ketidaktahuan penduduk ini dapat dipahami karena
pengetahuan ini cukup spesifik dan belum diajarkan secara luas. Pendapat responden tentang
beberapa kejadian alam yang dapat menimbulkan tsunami ini merata menurut kecamatan dan
jenis kelamin.
Kejadian tsunami tahun 2004 memberikan pengetahuan yang berharga bagi penduduk Aceh
khususnya di lokasi kajian. Tsunami yang terjadi secara mendadak menyebabkan korban yang
demikian dahsyat, karena hampir seluruh penduduk belum mempunyai dasar pengetahuan yang
cukup untuk mengenali tanda-tanda tsunami. Pengalaman tsunami membuat sebagian besar
responden mengenali ciri-ciri kejadian tsunami. Hal ini terbukti dengan data yang menunjukkan
bahwa sebanyak 91,7 persen responden menyatakan terjadi gempa bumi yang cukup besar
sebelum datang gelombang tsunami di wilayah tersebut. Selisih waktu antara gempa bumi dengan
datangnya tsunami sebenarnya cukup lama (kurang lebih 30 menit), sehingga dapat dimanfaatkan
untuk menyelamatkan diri. Ketidaktahuan warga untuk mengenali tanda-tanda tsunami,
menyebabkan banyak warga yang saat itu berada di tempat yang aman (bukit), justru pulang
karena mengkhawatirkan keluarganya yang berada di rumah.
Mayoritas responden juga mengetahui tanda-tanda tsunami lainnya, yaitu sebanyak 92,4 persen
juga menyebutkan datangnya gelombang besar yang nampak di cakrawala. Gelombang ini disertai 135
dengan suara yang gemuruh seperti suara pesawat/jet, bahkan ada yang mengira sebagai suara
lebah, sehingga salah satu keluarga lari bersembunyi di dalam rumah, untuk menghindari serangan
lebah. Gelombang besar terjadi sebanyak tiga kali dan semakin membesar, sehingga pada
gelombang besar ketiga mampu menghancurkan dan menyeret seluruh bangunan yang terdapat
di lokasi kajian serta menewaskan banyak jiwa di sekitarnya. Ketidaktahuan warga tentang
tanda-tanda datangnya tsunami, berakibat fatal meskipun potensi untuk menyelamatkan diri di
desa kajian cukup besar, karena pada umumnya lokasi desa kajian memiliki tanah perbukitan
yang relatif mudah dicapai dari permukiman mereka.
Ciri kejadian tsunami lain yang disebutkan oleh 95,1 persen responden berdasar pengalaman
yang mereka alami adalah air laut tiba-tiba surut yang didahului suara ledakan yang sangat keras
dari laut sebanyak tiga kali. Salah satu informan menceritakan pengalamannya waktu ada kejadian
tsunami sebagai berikut :
“.... waktu itu saya bersama tiga orang anak saya di rumah dan ibu
mertua saya yang lumpuh. Tiba-tiba ada gempa besar yang
Pengetahuan bahwa tsunami didahului oleh surutnya air laut sampai beberapa ratus meter
tampaknya tidak akan terlupakan oleh warga, sehingga sebesar 94,4 persen responden
menyatakan akan berlari menjauhi laut ke tempat yang aman jika air laut tiba-tiba surut (Lampiran
diagram 4.1.2.5). Bagi masyarakat Ulee Paya, Gugop, dan Pulot tidak sulit untuk lari ke tempat
yang tinggi/aman ini, karena perumahan mereka berdekatan dengan bukit dan hanya diperukan
5-10 menit untuk mencapai ketinggian yang aman dari tsunami. Hal yang perlu dilakukan adalah
bagaimana menjaga agar pengetahuan ini tidak pernah terlupakan dari generasi satu ke generasi
berikutnya. Sebab tsunami terjadi dalam periode ratusan tahun sehingga beberapa generasi
berikutnya baru akan merasakan terulangnya bencana tsunami. Jika tidak selalu diingatkan baik
melalui dunia pendidikan formal, dongeng-dongeng maupun lagu-lagu, dikhawatirkan tanda akan
datangnya bencana ini akan kembali dilupakan oleh masyarakat. Pengalaman masyarakat di
Pulau Simeleu yang selalu menceritakan kembali pada generasi berikutnya melalui dongeng atau
nyanyian, dapat menjadi contoh di daerah Aceh, sehingga tsunami yang baru dialaminya tidak
menyebabkan banyak korban jiwa.
Secara umum responden di Aceh menyatakan bahwa tidak ada satupun rumah yang akan tahan
terhadap tsunami, karena kekuatan dan kecepatan gelombang tsunami sanggup merobohkan
berbagai bangunan dan pepohonan ketika benda-benda tersebut masih berada pada jarak 2
meter dari kejaran air laut. Demikian pula yang dialami oleh sebagian masyarakat yang tiba-tiba
mengalami kelumpuhan ketika berada pada jarak sekitar 2 meter dari air laut yang naik ke darat,
sehingga tidak dapat berdiri lagi/lumpuh. Bahkan ada rumah yang seperti dipotong/diiris bagian
atas fundasi kemudian dipindah ke tempat lain yang terbuka. Memang tidak semua mengatakan
hal yang sama, karena ada sebagian orang yang terbawa tsunami, dan mereka tetap masih sadar
bahkan mampu berenang di tengah air laut yang menyeret mereka. Akan tetapi sebagian besar
responden mengatakan bahwa sebagian besar rumah tahan pada gempa bumi, tetapi tidak akan
tahan untuk mengahadapi tsunami. Hal ini didasarkan pada fakta pada saat gempa datang tidak
ada satupun rumah yang roboh, tetapi begitu tsunami datang rumah-rumah hancur seperti disapu
oleh air laut. Namun demikian terhadap ciri-ciri bangunan yang benar-benar tahan gempa banyak
Transfer pengetahuan ke masyarakat tidak dapat terlepas dari media yang dapat menyampaikan
informasi/pengetahuan pada masyarakat. Sumber pengetahuan yang umum bagi penduduk di
lokasi kajian adalah radio, TV dan Koran, majalah, bulletin terbukti lebih dari 60 persen responden
menyatakan bahwa mereka mendapat pengetahuan dari media-media tersebut (Lampiran tabel
4.1.2.7). Radio, TV dan media cetak (koran, majalah, bulletin) memang lebih dapat menjangkau
masyarakat terpencil seperti halnya Desa Ulee Paya dan Gugop. Sumber informasi lain yang
lebih banyak didapat responden adalah saudara, kerabat, teman, ataupun tetangga yang dapat
terjadi melalui pertemuan-pertemuan informal seperti obrolan di warung kopi. Sebagai masyarakat
desa yang masih mempunyai budaya gotong royong dan hubungan kekerabatan yang tinggi media
ini memang cukup efektif bagi masyarakat.
Petugas pemerintah ternyata masih sedikit yang menjadi sumber pengetahuan bagi warga tentang
gempa dan tsunami yaitu 18,8 persen. Kondisi ini memang dapat dimaklumi sebab selama ini
pemerintah masih terfokus pada kegiatan untuk rekontruksi daerah pasca bencana. Selain itu,
tingkat pengetahuan aparat sendiri belum cukup memadai untuk ditransfer pada masyarakat,
karena selama ini belum ada pendidikan khusus tentang tsunami bagi aparat khususnya yang
berada di daerah perdesaan. Pilihan media dalam menyampaikan informasi atau pengetahuan
kepada masyarakat mesti dipilih yang efektif dan dapat diterima oleh masyarakat. Potensi local 137
merupakan unsur yang mesti diperhatikan dalam mentranser suatu pengetahuan/informasi kepada
masyarakat. Perpaduan antar berbagai media informasi juga dapat di tempuh guna memperoleh
hasil yang optimal.
Perencanaan kedaruratan merupakan bagian penting dari aktivitas yang perlu dilakukan dalam
rangka kesiapsiagaan masyarakat untuk menggantisipasi terjadinya gempa bumi dan tsunami.
Hal umum yang dilakukan oleh responden untuk perencanaan ini adalah dengan menambah
pengetahuan tentang gempa dan tsunami yaitu 87,5 persen (Tabel 4.1.2.2). Tambahan
pengetahuan ini dapat saja berasal dari media elektronik, media cetak, maupun aparat pemerintah.
Kesadaran warga terhadap kenyataan bahwa sebenarnya mereka masih dapat menyelamatkan
diri dari tsunami jika memiliki pengetahuan yang cukup, menjadi alasan utama mengapa mereka
mau menambah pengetahuan tersebut. Tindakan lain yang dilakukan sebagian besar rensponden
(77,8 persen) adalah dengan membuat rencana pengungsian/evakuasi keluarga. Meskipun tempat
Tabel 4.1.2.2.
Persentase Responden Menurut Tindakan Keluarga Setelah Gempa dan Tsunami 2004
Pendidikan
No Tindakan keluarga SD ke SMP/sedera SMA ke Total
bawah jat atas
Menambah pengetahuan tentang gempa dan
1 88,5 85,0 88,5 87,5
tsunami
Membuat rencana pengungsian/ evakuasi
2 79,5 77,5 73,1 77,8
keluarga
3 Melakukan latihan simulasi vakuasi keluarga 25,0 13,2 10,4 48,6
4 Membangun rumah tahan gempa 46,2 47,5 57,7 48,6
Pindah rumah dari pantai ke daratan yang
5 66,7 72,5 73,1 69,4
lebih tinggi
N 78 40 26 144
Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
Pindah rumah ke tempat yang tinggi tampaknya merupakan salah satu alternative yang dipilih
oleh sebagian responden terbukti sekitar 69 persen ingin melakukannya. Meskipun demikian
tempat baru tersebut harus memperhatikan mata pencaharian penduduk dan berbagai sarana-
prasarana yang dibutuhkan. Seperti yang terjadi di Dayah Mamplam, sebagian besar penduduk
ragu untuk pindah ke tempat yang tinggi meskipun mereka telah dibuatkan rumah di bukit yang
relatif aman dari tsunami. Alasan utamanya adalah di daerah baru tersebut sumber air sangat sulit
di dapat. Mereka tidak akan mampu membayar biaya air setiap bulan, seandainya harus
menggunakan air PAM. Melakukan latihan evakuasi dan membangun rumah tahan gempa
merupakan tindakan yang belum dilakukan oleh sebagian besar penduduk, karena terbukti hanya
48,6 persen yang melakukannya. Dalam hal rumah tahan gempa, responden tidak dapat melakukan
aktivitas ini sebab rumah tersebut telah dibuat oleh pihak luar (kontraktor) dan mereka tinggal
menempatinya. Pelatihan evakuasi juga belum dilakukan oleh sebagian besar penduduk sebab
selama ini memang belum ada pihak-pihak yang melakukan pelatihan bagi masyarakat.
Data juga menunjukkan bahwa rencana yang telah dilakukan oleh keluarga responden untuk
kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam dan tsunami terfokus pada dua
hal yaitu menyepakati tempat pengungsian/evakuasi keluarga (78,5 persen), dan menyiapkan
alamat-alamat/no telpon yang penting (66,0 persen). Kedua hal ini telah dilakukan oleh sebagian
besar responden sebab memang mudah dan praktis, tidak memerlukan biaya dan tenaga yang
berarti. Dalam hal tempat pengungsian, sebagian besar keluarga mengatakan tempat yang
disepakati adalah perbukitan yang pernah digunakan untuk mengungsi ketika terjadi tsunami.
Meskipun belum ada bangunan yang siap huni, tetapi tempat tersebut dirasa aman terhadap
tsunami (Lampiran tabel 4.1.2.8). Berkaitan dengan tempat evakuasi sebagian desa juga telah
Dalam diskusi kelompok terfokus di Desa Pulot juga terungkap betapa masyarakat menginginkan
penyiapan tempat evakuasi yang dapat digunakan jika sewaktu-waktu terjadi bencana khususnya
tsunami. Tempat yang diusulkan warga ini terletak di bukit yang tidak jauh dari permukiman
penduduk. Pada waktu tsunami datang tahun 2004, sebagian besar warga selamat karena dapat
menjangkau bukit tersebut meskipun pada waktu itu ada hambatan berupa pagar besi berduri
yang menghalangi jalan menuju bukit. Sebagian warga tidak sempat melewati pagar berduri
tersebut sehingga tersapu gelombang tsunami. Meskipun bukit tersebut dapat dijadikan tempat
evakuasi, masih perlu dibuat jalur evakuasi yang cukup, sehingga memudahkan warga menuju
tempat evakuasi. Selama ini kebun dibukit tertutup pagar untuk keamanan tanaman dari babi.
Mengingat lahan yang akan digunakan untuk jalur evakuasi harus bebas hambatan, maka
pembebasan lahan tersebut masih memerlukan negosiasi dengan pemiliknya. Berdasarkan
pengalaman waktu terjadi bencana, warga umumnya menyadari bahwa penyiapan tempat evakuasi
yang lebih baik diperlukan, agar warga di tempat evakuasi dapat memperoleh makanan dan
minuman yang layak. Di Desa Ulee Paya dan Gugop misalnya masyarakat yang berhasil
menyelamatkan diri di perbukitan, hanya minum dan makan dari kelapa yang banyak tumbuh di
bukit selama 6 hari, sebelum pertolongan datang. Begitu pula warga Pulot yang harus makan dan
minum dari kelapa selama 3 hari, dan makan super mi yang secara tidak sengaja ditemukan
dalam sebuah truk yang terdampar di bukit dan menyelamatkan banyak orang yang berada di
sekitarnya selama beberapa hari. Pengalaman ini memberikan kesadaran kepada warga betapa
perlunya menyiapkan tempat pengungsian yang juga dapat digunakan untuk tempat istirahat dan
pertolongan pertama ketika terjadi bencana.
Responden yang menyepakati tempat pengungsian keluarga di Kecamatan Pulo Aceh jauh lebih
besar dibanding responden di Leupung masing-masing 90 persen dan 67,6 persen. Hal ini 139
disebabkan kedua desa di Kecamatan Pulo Aceh memang mempunyai akses yang relative mudah
menuju tempat yang aman dari tsunami. Penduduk di kedua desa ini hanya memerlukan waktu
kurang lebih 5 menit untuk dapat sampai ke bukit. Oleh sebab itu, tempat pengungsian khususnya
untuk tsunami bukan hal sulit untuk ditentukan. Berbeda halnya dengan dua desa di Kecamatan
Leupung di mana satu desa mempunyai akses yang mudah untuk menuju ke bukit, tetapi desa
yang lain sangat sulit untuk mencapai bukit. Hal yang sangat sulit untuk menentukan lokasi yang
aman khususnya terhadap tsunami di salah satu desa tersebut. Hal yang sama terjadi pada
penentuan peta dan rute pengungsian dimana terdapat 68,6 persen responden di Kecamatan
Pulo Aceh yang telah melakukannya sedangkan di Kecamatan Leupung baru 41,9 persen
(Lampiran tabel 4.1.2.9). Fasilitasi BRC dalam membuat pemetaan perumahan perdesaan
yang berbasis masyarakat cukup memberikan pengaruh yang besar bagi kesiapan warga. Terbukti
peta perumahan tersebut juga mencakup jalur evakuasi yang diperlukan oleh masyarakat jika
suatu saat terjadi bencana gempa maupun tsunami.
Dokumen-dokumen penting dan bernilai merupakan komponen yang mendesak dan mudah untuk
disiapkan sehingga terdapat 56,9 persen responden yang telah melakukannya. Akan tetapi
80 72,5
69,2 Ya
67,4
70 64,1
Tidak
60
50
40 35,9
30,8 32,6
27,5
30
20
10
0
SD ke baw ah SMP/sederajat SMA ke atas keseluruhan
responden
Diagram 4.1.2.5.
Persentase Responden Menurut Kesiapsiagaan Dalam
Menyiapkan Kotak P3K dan Obat-obatan Khusus
untuk Pertolongan Pertama (N=144)
Cukup banyak responden yang menyiapkan kotak P3K dan obat-obatan khusus untuk
pertolongan pertama (67,4 persen). Keadaan ini hampir sama pada responden dengan tingkat
pendidikan yang berbeda. Kondisi ini menunjukkan kesadaran yang tinggi dari masyarakat bahwa
kesehatan merupakan kebutuhan utama jika terjadi suatu bencana seperti halnya gempa bumi
dan tsunami. Pengalaman menunjukkan banyaknya orang yang sakit/luka karena terkena benda
berat ataupun sebab lain. Oleh sebab itu obat-obatan merupakan kebutuhan pokok yang harus
disediakan untuk mengantisipasi terjadinya musibah tersebut. Program lembaga-lembaga
kesehatan seperti PMI, dan BRC cukup berpengaruh terhadap perencanaan keluarga untuk
menyiapkan kota P3K dan obat-obatan. Hal ini dapat dilihat dari responden Kecamatan Pulo
Aceh sebagai daerah yang telah mendapat program BRC dan PMI sebanyak 78,6 persen
responden telah menyiapkan kota P3K. Jumlah ini lebih besar dari responden di Kecamatan
Leupung yang belum ada program BRC dan PMI sebanyak 56,8 persen responden telah
menyiapkannya.
Sistem peringatan (Warning system) merupakan bagian penting dari kesiapsiagaan masyarakat
dalam menghadapi gempa dan tsunami. Tanda yang diberikan dari sistem peringatan akan
disampaikan kepada masyarakat luas baik langsung maupun tidak langsung, kemudian masyarakat
dapat merespon peringatan tersebut. Sistem peringatan yang efektif sangat bermanfaat bagi
masyarakat untuk menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin terjadi. Berkaitan dengan warning
sistem ini sebagian besar responden (82,3 persen) menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui
adanya system peringatan akan terjadinya tsunami di daerahnya baik dari pemerintah maupun
masyarakat lokal. Hanya 17,7 persen yang mengetahui adanya sistem peringatan tersebut, itupun
berdasar pada pengalaman ketika terjadi tsunami yang lalu yaitu berupa tanda-tanda alam.
Ketidaktahuan responden ini merata menurut jenjang pendidikan, karena selama ini memang
belum ada sistem peringatan yang diberikan oleh pemerintah. Semikian pula dengan pengetahuan
lokal, meskipun di daerah ini pernah terjadi tsunami pada waktu lebih dari 200 tahun yang lalu,
tetapi tidak ada cerita ataupun transfer pengetahuan yang dilakukan oleh pendahulu mereka.
Secara umum penduduk setempat berpendapat bahwa tsunami hanya akan terjadi sekali saja
dan tidak akan pernah terulang lagi selama manusia tidak melakukan tindakan-tindakan yang
melanggar norma agama.
100
87,2 Ya
90 83,3 82,3
Tidak
80 70,8
70
60
141
50
40
29,2
30 Diagram 4.1.2.6.
16,7 17,7
20 12,8
Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang Adanya
10
0 Sistem/cara Peringatan Akan Terjadinya Tsunami (N= 144)
SD ke baw ah SMP/sederajat SMA ke atas keseluruhan
responden
Dari berbagai diskusi kelompok terarah dan wawancara mendalam dengan masyarakat setempat,
dapat diketahui pada dasarnya masyarakat juga menginginkan sistem peringatan dini tersebut.
Selama ini masyarakat lokal menggunakan bedug untuk kepentingan sosial seperti kerja bakti,
rapat desa, dan informasi kematian, namun belum pernah dipikirkan untuk menyepakati suatu
tanda jika terdapat bahaya yang mengancam. Tanda bahaya tersebut perlu dirumuskan oleh
masyarakat secara musyawarah. Untuk mengingat bahwa di daerah ini terjadi tsunami yang
memakan kurban begitu dahsyat, masyarakat juga mengusulkan perlunya pembuatan monumen
atau tugu peringatan yang memuat kapan terjadinya tsunami, berapa kurban meninggal dan kerugian
yang ditimbulkan. Tugu/monumen ini dapat dipasang ditempat yang strategis sehingga orang dapat
selalu mengingat peristiwa yang luar biasa tersebut.
Peringatan yang disampaikan kepada masyarakat tidak akan berguna jika tidak ditindaklanjuti
dengan benar. Oleh sebab itu respon seseorang apabila mendengar peringatan atau tanda bahaya
tsunami merupakan bagian tak terpisahkan dari warning system. Hampir seluruh responden
mengatakan bahwa mereka akan membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua dan orang cacat
untuk keluar rumah menuju tempat aman sementara (96,2 persen). Tindakan selanjutnya adalah
bergegas menjauhi pantai menuju ke tempat yang aman (92,3 persen). Tempat yang aman itu
dapat berupa tempat/gedung yang tinggi maupun tempat penyelamatan/pengungsian/evakuasi
sehingga renponden yang akan melakukan dua tindakan ini hampir sama jumlahnya. Hanya sedikit
responden yang akan mematikan listrik, kompor, gas di rumah (36,1 persen), dan mengunci
pintu sebelum meninggalkan rumah (38,9 persen) jika mereka mendengar peringatan atau tanda
bahaya tsunami. Tindakan ini tidak akan dilakukan dengan alasan jika tsunami datang seperti
yang terjadi pada tahun 2004 semua rumah pasti akan hancur jadi untuk apalagi dikunci demikian
pula halnya dengan listrik, dan kompor gas di rumah.
Perbedaan cukup tinggi antar responden menurut tingkatan pendidikan terdapat pada tindakan
membawa tas/kotak/kantong siaga bencana yaitu untuk SD ke bawah 59,0 persen, SMP sederajat
75,0 persen, dan SMA ke atas 80,8 persen. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi
pula kesadaran untuk membawa tas/kotak/kantong siaga bencana. Ketidaktahuan responden
berpendidikan rendah pentingnya tas/kotak/kantong siaga bencana ini merupakan alasan mengapa
mereka tidak perlu membawanya. Pelatihan yang telah dilakukan terhadap sebagian kecil warga
desa di Kecamatan Pulo Aceh tempaknya juga berpengaruh terhadap tindakan yang akan
dilakukan jika mereka mendengar tanda peringatan tsunami. Sebagai contoh dalam hal tindakan
menjauhi pantai dan lari ke tempat yang aman terdapat 95,7 persen responden pulo aceh yang
akan melakukannya sedangkan di Leupung hanya 87,8 persen. Demikian pula dalam hal bergegas
menuju tempat penyelamatan/pengungsian/evakuasi terdapat 95,7 persen responden di Pulo Aceh
yang akan melakukannya, sedangkan di Leupung hanya sekitar 85 persen (Lampiran tabel
4.1.2.10).
Mobilisasi sumberdaya dalam kajian ini dapat merupakan suatu program pelatihan (sumber daya),
tindakan masyarakat, dana, sosial capital masyarakat. Pendidikan mengenai gempa dan tsunami
kepada masyarakat luas ternyata masih sangat rendah, terbukti kurang lebih 79,2 persen 143
responden mengatakan bahwa anggota keluarga mereka belum pernah mengikuti pelatihan, seminar,
atau pertemuan berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa dan tsunami. Baik
secara formal maupun informal sebagian besar responden mengatakan bahwa mereka belum
pernah mengikuti acara tersebut. Responden yang mengaku bahwa anggota keluarga mereka
ada yang telah mengikuti pelatihan, seminar, atau pertemuan sbesar 18,1 persen dan pertemuan
atau pelatihan tersebut biasanya dilakukan oleh tokoh masyarakat atau aparat pemerintah desa.
Tokoh masyarakat umumnya merupakan individu yang lebih dekat dengan masyarakat sehingga
lebih mampu mengkomunikasikan pengetahuannya kepada masyarakat baik formal maupun
informal.
Berkaitan dengan pelatihan untuk untuk kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dan tsunami ini
beberapa masyarakat di Desa Ulee Paya dan Pulot pernah mengikutinya, namun pengetahuan
yang didapat tersebut belum mencukupi sehingga mereka tidak mensosialisasikan kepada
masyarakat yang lain. Selain waktunya sangat pendek, peserta dibagi-bagi dalam beberapa
kelompok, sehingga tidak semua materi pelatihan dapat diterima oleh semua peserta. Harapan
yang muncul dari mereka adalah perlunya pelatihan lebih lanjut yang lebih dapat diterima oleh
90
79,5 80,8 79,2
77,5
80
70
60
50
40
30
19,2 17,5 18,1
20 15,4
10 5 3,8 2,8
1,3
0
SD ke baw ah SMP/sederajat SMA ke atas Keseluruhan
Ya responden
Tidak
Tidak Tahu
Diagram 4.1.2.7.
Persentase Responden dengan Keikutsertaan Anggota Rumah
Tangganya Dalam Pelatihan, Seminar/ Pertemuan
Kesiapsiagaan Menghadapi Gempa dan Tsunami
Ada beberapa tindakan yang telah dilakukan sebagian responden untuk mengantisipasi jika
tsunami dan gempa bumi datang baik berupa tabungan, asuransi, maupun investasi tanah/rumah
di tempat yang aman. Keseluruhan alternatif persiapan hanya dilakukan oleh kurang dari 60
persen responden dalam lokasi penelitian, dan jumlah yang sangat kecil terdapat pada asuransi
jiwa/harta dan kepemilikan tanah/rumah ditempat lain. Responden yang mempunyai tabungan
relatif lebih tinggi sebab tabungan memang dapat berfungsi ganda yaitu sebagai alternatif untuk
mengamankan uang sekaligus persiapan jika sewaktu-waktu membutuhkan biaya. Tabungan
masyarakat tersebut dapat berupa natura, uang, maupun perhiasan. Meskipun masih tinggal di
barak pengungsian, proporsi responden yang menabung cukup besar khususnya di Kecamatan
Pulo Aceh (77,1 persen), karena sebagian besar penduduk di kedua desa tersebut memiliki
lahan perkebunan di perbukitan yang tidak terjangkau oleh tsunami. Meskipun ditimpa tsunami
sebagian besar penduduk masih dapat menabung dari hasil perkebunan.
Kepemilikian tanah/rumah di tempat lain memerlukan biaya yang cukup mahal, sehingga tidak
semua orang dapat melakukannya. Persiapan ini biasanya hanya dilakukan oleh penduduk dengan
ekonomi yang sudah cukup baik. Bisa saja investasi berupa tanah perkebunan/pertanian di tempat
yang tinggi, tetapi itupun memerlukan biaya yang tidak sedikit. Responden yang melakukan asuransi
jiwa/harta/benda paling sedikit dibanding yang lain sebab lokasi penelitian ini dilakukan di daerah
perdesaan yang cukup terpencil, sehingga tidak mudah bagi masyarakat untuk mengakses asuransi.
Dari ketiga jenis persiapan ini menabung menjadi jenis persiapan yang paling banyak dilakukan
oleh warga mengingat sebelumnya masyarakat aceh memang sudah terbiasa menabung dalam
bentuk perhiasan. Pendidikan
No Jenis persiapan SM P/sederaja SM A ke Total
SD ke bawah t atas
Sebagian besar penduduk pesisir di aceh merupakan penduduk asli daerah setempat, sehingga
1 Tabungan 48,7 62,5 69,2
sebagian besar memiliki saudara dekat dan teman yang tinggal tidak jauh56,3
dari tempat tinggal 145
2 Asuransi jiwa/harta/benda 17,9 15,0 34,6 20,1
mereka. Tsunami
Tanah/rumah di tempat tahun 2004 telah berdampak pada meninggalnya sebagian besar famili dan
3 15,4 32,5 30,8 22,9
lain teman mereka. Oleh sebab itu sebagian besar responden menyatakan bahwa pada saat ini mereka
tidak mempunyai
N kerabat/teman78 yang bisa segera
40membantu jika26terjadi bencana
144 lagi. Keadaan
ini merata untuk semua tingkatan pendidikan, sebab sebagian besar diantara mereka memang
kehilangan banyak kerabat/famili tersebut. Hal yang berbeda akan terjadi jika pertanyaan
dilakukan sebelum tsunami, sebab sebagian besar responden menyatakan bahwa sekarang mereka
tidak punya siapapun, tetapi sebelum tsunami mereka punya. Bantuan dari teman/kerabat dapat
berupa materi, maupun bantuan psikologis dengan saling mendukung dan mengingatkan.
Tingkat pengetahuan dan sikap individu/rumah tangga Aceh terhadap bencana alam ternyata
masuk dalam kategori siap dengan nilai indeks 72 artinya penduduk telah mengetahui jenis,
gejala, dan apa yang perlu dilakukan jika suatu kejadian alam yang dapat menyebabkan bencana
terjadi. Kondisi ini disebabkan oleh pengalaman yang terjadi selama ini, sehingga mereka dapat
Akan tetapi pengetahuan ini belum dilengkapi dengan rencana kedaruratan, sistem peringatan
dini, maupun mobilisasi sumber daya yang cukup, terbukti tingkat kesiapsiagaan dalam parameter
ini sangat rendah. Indeks rencana kedaruratan = 53 (kurang siap), sistem peringatan = 45 (kurang
siap), mobilisasi sumber daya = 25 (belum siap), dan indeks gabungan =57 (hampir siap).
Mayoritas masyarakat bependapat bahwa yang paling utama dilakukan saat ini bagi mereka
adalah pemilihan perumahan dan sarana prasarana desa lainnya. Sejak awal perumahan penduduk
ini memang semestinya didesain dengan memperhitungkan kemungkinan bencana yang akan datang.
Selain itu pemulihan mata pencaharian penduduk yang hancur karena diterjang oleh tsunami juga
menjadi agenda utama harus dilakukan.
Dalam hal tanggap darurat masih sedikit responden yang telah menyiapkan kelengkapan untuk
pemenuhan kebutuhan kesehatan, makan, dan kebutuhan penting lainnya yang secara rinci telah
dijelaskan dalam subbab rencana kedaruratan. Kebutuhan-kebutuhan yang secara alami tersedia
oleh alam ataupun tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar seperti tempat pengungsian,
no telpon penting dan sebagainya memang telah direncanakan dan disediakan. Akan tetapi fasilitas
yang melengkapinya masih sangat sederhana seperti tempat pengungsian yang tidak dilengkapi
sarana dan prasarana apapun. Beda halnya dengan kebutuhan yang memerlukan biaya meskipun
tidak terlalu besar, sebagian responden belum dapat menyiapkannya.
Tabel 4.1.2.6.
Indeks Kesiapsiagaan Individu/Rumah tangga Dalam Menghadapi
Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Menurut Tingkat Pendidikan
Pendidikan
No Parameter Total
SD ke bawah SMP/sederajat SMA ke atas
1 Pengetahuan dan sikap 70 75 75 72
2 Rencana kedaruratan 52 52 61 53
3 Sistem Peringatan 43 45 53 45
4 Mobilisasi sumberdaya 22 24 35 25
Total 55 58 63 57
Indeks sistem peringatan dini menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang siap baik dalam
penyediaan sistem peringatan, maupun merespons jika mendengar tanda peringatan tersebut.
Sistem peringatan terhadap akan terjadinya bencana tsunami memang belum tersedia di lokasi
assessment, sebab selama ini masyarakat belum tahu bahwa ada salah satu bahaya yang
Indeks mobilisasi sumber daya di lokasi assessment masih rendah (nilai indeks 25) sebab selama
ini masyarakat masih terfokus pada kegiatan pemulihan pasca tsunami. Pembangunan rumah
kembali, pemulihan mata pencaharian penduduk menjadi fokus utama kegiatan mereka. Selain
itu belum ada suatu lembaga yang memfokuskan pada peningkatan kesiapsiagaan masyarakat.
Meskipun mobilisasi sumber daya individu/rumah tangga di desa lokasi studi masih rendah, tetapi
beberapa desa juga telah melakukan langkah-langkah positif untuk mengantisipasi bencana.
Salah satu kegiatan ini adalah dengan menanam tanaman pelindung di pantai guna menahan ombak
maupun angin dari laut. Kondisi ini didasari oleh hancurnya tanaman pelindung yang semula ada
di pantai, karena terkena tsunami. Selain itu, tanah dipantai saat ini sudah berkurang hingga
ratusan meter menjadi laut. Jika tidak diantisipasi masyarakat khawatir tanah akan semakin terkikis
dan kehidupan mereka menjadi terganggu.
Indeks emergency planning, warning system, dan resources mobilization berkorelasi dengan tingkat
pendidikan yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula angka indeksnya. Hal ini
menunjukkan tingkat kesadaran penduduk berpendidikan tinggi dalam kesiapsiagaan lebih tinggi
dibanding penduduk berpendidikan rendah. Penduduk berpendidikan tinggi sudah mulai
mempersiapkan tempat-tempat yang cocok untuk evakuasi, obat-obatan yang diperlukan dalam
kondisi gawat darurat, maupun pakaian seperlunya. Secara bersama-sama masyarakat khususnya
di Desa Ulee Paya dan Gugop sebenarnya juga telah membuat perencanaan kedepan tata ruang 147
perumahan di perdesaan termasuk tempat evakuasi terdekat, lorong/jalan menuju tempat evakuasi,
dan jarak antar rumah yang memudahkan untuk saling membantu. Alternatif lain yang ditempuh
oleh masyarakat dayah mamplam adalah dengan berpindah ke daerah yang lebih tinggi, meskipun
hingga kini keputusan tentang perpindahan ini belum ada titik temu.
Intervensi dari luar berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap gempa bumi dan tsunami tampaknya
juga sangat berpengaruh pada tingkat kesiapsiagaan masyarakat. Fakta empirik menunjukkan
responden yang tinggal di Pulo Aceh mempunyai indeks kesiapsiagaan 59, lebih tinggi dibanding
dengan masyarakat yang tinggal di Kecamatan Leupung dengan indeks kesiapsiagaan 55
(Lampiran tabel 4.1.2.11). Kedua nilai indeks ini berada pada kriteria hampir siap, tetapi level
hampir siapnya akan berbeda mengingat nilai indeksnya juga berbeda. Dua desa di Pulo Aceh
yang digunakan untuk assessment ini telah mendapatkan berbagai program termasuk pelatihan
bencana dan pemetaan perumahan perdesaan secara partisipatif.
Peristiwa gempa bumi dan tsunami tahun 2004 memberikan pembelajaran yang sangat berharga
bagi masyarakat Aceh khususnya dalam memberikan pengetahuan tentang bencana. Pernyataan
tersebut di atas juga didukung sepenuhnya bagi pemerintahan baik untuk kecamatan Leupung
maupun kecamatan Pulau Aceh. Secara aktual data-data atau informasi mengenai bencana yang
pernah terjadi di ke 2 kecamatan seperti gempa bumi, tsunami, kebakaran, banjir longsor dll,
belum ada atau hilang saat terjadi gempa bumi dan tsunami. Namun pihak kecamatan yang
diwakili oleh Camat/Sekretaris Camat masih ingat peristiwa-peristiwa gempa bumi sebelum tahun
2004, seperti yang pernah terjadi tahun 1967 dan tahun 1983 dengan pusat gempa di patahan
sumatra..
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan aparat kecamatan yang diwakili oleh Sekretaris
Camat Leupung dan camat Pulau Aceh menunjukkan bahwa pengetahuan tentang gempa bumi
dan tsunami cukup baik. Hal ini dibuktikan dengan pengalaman yang pernah dialami pada peristiwa
gempa bumi dan tsunami tahun 2004. Disamping itu juga pernah mengalami gempa-gempa
sebelumnya seperti yang terjadi tahun 1967 dan 1983 dengan pusat gempa di patahan Sumatra.
Gempa-gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami dan hanya bangunan-bangunan yang terdapat
di Banda Aceh yang mengalami kerusakan. Data-data tersebut tidak terekam dalam data
kecamatan, hal ini didukung dengan tidak adanya jawaban di pertanyaan kuisioner yang mewakili
pemerintah kecamatan. Demikian juga dokumen-dokumen berkaitan dengan kebencanaan seperti
peta bahaya (gempa, tsunami, longsor), peta evakuasi sekaligus tempat jalur dan tempat evakuasi
dan lain-lain sama sekali tidak dimiliki oleh kecamatan. Dimungkinkan data tersebut belum ada
atau hilang pada saat bencana tsunami tahun 2004 yang lalu. Disamping itu dimungkinkan
pemerintah kecamatan masih terfokus dalam pembangunan kembali (rehabilitasi dan rekonstruksi)
lahan dan perumahan yang rusak oleh gempa bumi dan tsunami tahun 2004.
Dari segi pengetahuan aparat kecamatan tentang gambaran umum dari keberadaan daerahnya
seperti kondisi geografi, topografi dan jenis tanahnya sangat baik. Hal ini ditunjukkan oleh
responden (camat/sekcam) mengetahui bahwa keberadaan wilayahnya terdapat di wilayah pantai,
Aparat kecamatan juga menyatakan tidak ada gejala atau tanda alam sebelum terjadi gempa, hal
ini berbeda dengan sebelum terjadi tsunami terdengar suara gemuruh yang berasal dari laut.
Pada saat tsunami banyak masyarakat yang menjadi korban meninggal dan hilang. Korban terbesar
terutama di desa Dayah Mamplam, kecamatan Leupung yang disebabkan curam dan terjalnya
perbukitan yang terdapat di bagian timurnya, sehingga sulit untuk mencapai tempat yang tinggi.
Sedang desa Gugop kecamatan Pulau Aceh dikarenakan tidak adanya waktu untuk
menyelamatkan diri, yang disebabkan adanya pematang bukit pasir (beach ridge) yang menghalangi
pandangan ke arah laut. Disamping korban manusia juga hampir seluruh harta benda berupa
rumah, ladang, sawah menjadi hancur semua. Demikian juga lahan di kawasan pantai sebagian
besar hilang, karena adanya abrasi dan penggerusan oleh gelombang tsunami yang menyebabkan
berkurangnya luas dataran pantainya, sedang lautnya lebih menjorok ke arah daratan. Akibat
lainnya adalah beberapa tempat di dataran pantainya terisi oleh air akibat adanya amblesan-
amblesan dan membentuk rawa-rawa, hal ini tentunya mengurangi lagi luas lahan yang ada.
Kondisi kerawanan wilayah menurut aparat sangat rentan terhadap gempa bumi, tsunami, abrasi
air laut dan angin kencang. Bahkan untuk gempa bumi setelah tahun 2004, goncangan gempa
masih sering terjadi dengan skala yang lebih kecil. Abrasi gelombang laut juga banyak menggerus
kawasan pantai barat kecamatan Leupung dan kecamatan Pulau Aceh (desa Gugop). Bahkan di
desa Pulot pada sisi jalan yang dekat dengan laut dipasang tumpukan batu guna menghindari
abrasi laut dan gelombang pasang.
Kondisi lain yang menjadikan daerah ini menjadi rawan menurut aparat adalah kencangnya tiupan 149
angin, sehingga masyarakat menjadi terganggu dan takut. Memang hampir seluruh desa-desa
baik di kecamatan Leupung maupun Pulau Aceh (desa Gugop dan Ulee Paya) sering mengeluh
dengan kencangnya angin laut, terutama pada musim angin barat yang menerpa pemukiman.
Tidak adanya pepohonan dikawasan pantai yang tumbang akibat bencana tsunami menambah
terbukanya kawasan ini dan menjadikan tiupan angin ini menjadi lebih kencang. Aparat juga telah
mengajukan permohonan untuk dilakukan penanaman pohon “kasuarina” (sejenis pinus) seperti
yang telah dilakukan di kecamatan Lhok Nga di sebelah utaranya.
Berdasarkan hasil angket yang diberikan kepada sekretaris camat Leupung dan camat Pulau
Aceh menunjukkan gambaran bahwa belum adanya struktur di lembaga kecamatan yang mengurusi
mengenai bencana. Walaupun demikian menurut aparat bahwa pemerintah kecamatan menyatakan
siap mendukung setiap kegiatan yang berkaitan dengan kesiap siagaan bencana yang mungkin
akan diusulkan dari setiap desa desa yang terdapat di lingkungannya. Disamping itu hasil wawancara
dengan camat dan sekretaris camat Leupung dan camat Pulau Aceh mengatakan perlunya dibentuk
lembaga khusus dalam menangani masalah kesiap siagaan bencana. Hal lain yang cukup
menggembirakan adalah sikap dan keinginan pemerintah tingkat kecamatan yang diambil dalam
mengurangi resiko jika bencana tersebut terjadi lagi. Keinginan tersebut seperti perlunya dilakukan
penambahan pengetahuan kebencanaan (gempabumi dan tsunami) dan pelatihan dalam
menghadapi kemungkinan terjadinya benana tersebut di atas.
Memang menurut aparat di kecamatan Leupung sebelum dan setelah peristiwa gempa dan tsunami
tahun 2004 belum pernah dilakukan sosialisasi tentang pengetahuan dan pemahaman tentang
kesiap siagaan menghadapi bencana. Sebaliknya 4 desa di kecamatan Pulau Aceh termasuk
didalamnya desa Gugop dan Ulee Paya pernah mendapatkan pelatihan pengetahuan tentang
kesiap siagaan bencana berbasis masyarakat yang dilakukan lebih kurang satu tahun yang lalu.
Untuk kebijakan yang berhubungan dengan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana hingga
saat ini dapat dikatakan belum ada, hal ini disebabkan konsentrasi utama dari pemerintahan
kecamatan masih terfokus pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi akibat bencana gempa dan
tsunami tahun 2004. Kendala lainnya adalah keterbatasan fasilitas kecamatan dan sumberdaya
manusia yang ada di kecamatan tersebut.
Perencanaan untuk tanggap darurat untuk kedua kecamatan yang sudah ada saat ini masih
tergolong minim. Mengikuti aturan yang diberlakukan melalui Kepmendagri No. 131 tahun 2003
tentang Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah, beberapa hal
harus dilakukan kecamatan. Dalam hal perencanaan tanggap darurat, beberapa hal perlu dilakukan
oleh pihak kecamatan.
Pada saat bencana terjadi, kegiatan yang harus ada tersebut tidak sempat dijalankan karena
pihak kecamatan dan pemerintah daerah lainnya merupakan pihak yang lumpuh atau tidak dapat
beroperasi secara normal. Pada tahap sesudah bencana, ketika kantor kecamatan sementara
sudah dapat berfungsi, kecamatan mulai dilibatkan lagi dalam kegiatan inventarisasi korban
bencana, dan penyaluran bantuan. Saat ini dengan fasilitas dan sumber daya manusia yang minim,
pihak kecamatan menginventarisasi kebutuhan dan memberi masukan dan memonitor rencana
dan pelaksanaan pembangunan yang akan / sedang berjalan di kecamatannya. Dalam melakukan
kegiatan ini, pihak kecamatan mendapat bantuan dari LSM asing baik berupa program pendataan,
maupun sumber daya manusia yang ditempatkan di kantor kecamatan1..
Pemerintah kecamatan dalam hal ini kurang berperan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh,
bahkan cenderung menjadi penonton hiruk pikuknya pembangunan kembali Aceh, baik oleh
1
Untuk kantor penghubung kecamatan Pulo Aceh, bantuan sumber daya manusia didapat melalui program yang
digerakkan oleh AIPRD.
Penjelasan mengenai fasilitas kritis ini meliputi kerentanan fisik, prosedur tanggap darurat, system
back up atau redudansi, dan kapasitas untuk merestorasi dan recovery dari fasilitas kritis ini.
Penjelasan mengenai fasilitas kritis pada desa desa ini akan dibagi berdasarkan kecamatan yaitu
Leupung dan Pulo Aceh. Hal ini didasarkan pada pembagian administrasi dan karakteristik fasilitas
yang dibutuhkan untuk menjalankan kesiapsiagaan di kedua kecamatan ini. Belajar dari pengalaman
menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami yang terjadi tanggal 26 Desember 2004, sebagian
besar fasilitas kritis yang mendukung kesiapsiagaan terhadap bencana telah rusak atau hancur.
Untuk itu penilaian terhadap kerentanan dari fasilitas kritis ini didasarkan pada kondisi keberadaan
fasilitas kritis pada saat ini.
Bagi kedua desa yg berlokasi di kecamatan Leupung, kerentanan dari fasilitas kritis jaringan
transportasi terletak pada jaringan jalan dan jembatan. Cepatnya proses rehabilitasi di kedua
desa ini, dikarenakan cepatnya pula pembangunan jaringan jalan regional yang menghubungkan
mereka dengan kota Banda Aceh. Jaringan jalan menjadi jalur vital bagi penduduk di kedua desa
tersebut. Sedangkan untuk jaringan transportasi laut masih terbatas pemfungsiannya. Hal ini
mengingat kerusakan selain pada prasarana dermaga juga kurangnya sarana berupa kapal dan
nakhoda yang dapat menjalankan kapal tersebut masih terbatas. Bagi kedua desa di kecamatan
Pulo Aceh, yang menjadi rentan adalah mengenai jaringan transportasi laut. Dengan hilangnya
dermaga, dan hilangnya kapal milik masyarakat yg sedianya digunakan untuk mengangkut orang
serta barang kebutuhan warga, maka hubungan antar pulau2 tersebut dengan daratan Aceh menjadi
tidak ada. Padahal jaringan transportasi laut ini lah yang membantu pengembangan jaringan jalan
di pulau Beras. Sedangkan jaringan jalan antar desa di setiap pulau di kecamatan ini bergantung
pada perkerasan jalan yang peralatan dan bahan bakunya harus didatangkan dari luar pulau.
Keberadaan dermaga yang dapat menerima barang, peralatan seperti ini dibutuhkan sekali.
Jaringan lifelines untuk desa desa di kedua kecamatan pada saat ini bersifat sementara. Apalagi
keberadaan jaringan transportasi menjadi penting bagi pergerakan orang dan barang terutama
untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti beras, pangan lainnya, obat2 an, buku, pakaian, bahan
bangunan, dan alat produksi yang memadai, keberadaan jaringan lifelines berkenaan dengan
berjalannya kehidupan sehari hari seperti listrik, telekomunikasi, dan air bersih. Untuk listrik
sementara ini masih menggunakan jenset bantuan pihak LSM. Untuk keperluan berkomunikasi,
sebagian besar warga menggunakan TV yg bersifat satu arah, radio HT, dan sebagian mereka yg
tinggal di desa Gugop dapat menggunakan telpon selular (HP). Kondisi darurat ini menunjukkan
tingkat kerentanan yang masih sangat tinggi terutama karena untuk ketersediaan pelayanannya
masih memerlukan bantuan rutin dari pihak luar seperti LSM. Masyarakat local sendiri belum
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, ataupun dengan bantuan pemerintah. Hal ini mengingat
pemerintah juga belum melakukan pemulihan jaringan listrik, TV yang sebelum terjadi tsunami
Dalam kondisi keempat desa lokasi studi sedang dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, maka
keberadaan fasilitas kritis tidak dalam kondisi normal, sehingga sulit untuk dapat dimobilisasikan
bagi kepentingan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Ada sekitar sebelas fasilitas kritis yang
akan diamati dan dibagi menjadi tiga kategori utama. Kategori pertama adalah fasilitas kritis
jaringan transportasi yang terdiri dari jalan dan jembatan, pelabuhan dan bandara. Kategori
kedua adalah fasilitas kritis lifelines yaitu PLN, Telkom, PDAM, dan Radio/TV. Sedangkan
merupakan pelayanan standar masyarakat di kedua desa Pulo Aceh. Untuk kedua desa di
kecamatan Leupung, kondisi lifelines hampir sama dengan yang di kecamatan Pulo Aceh. Perbedaan
mendasar, adalah berkenaan dengan kemudahan menggunakan HP untuk berkomunikasi.
Untuk pelayanan kesehatan di keempat desa, pada saat ini bergantung pada adanya Puskeslit
yang bersifat sementara, karena Puskesmas yang permanen untuk keempat desa ini sedang dalam
proses pembangunan. Pemilihan lokasi fasilitas ini menunjukkan areal yang mudah dijangkau dan
cukup aman terlindungi. Tidak ada rumah sakit, kegiatan SAR maupun pemadam kebakaran di
ke empat desa ini. 153
Prosedur tanggap darurat untuk ketiga kategori ini tidak dimiliki secara khusus untuk skala
kecamatan dan juga skala desa. Pemerintahan desa pada saat ini pada kondisi sementara, dimana
perangkat dan peraturan desa belum sempat dikonsolidasikan. Sedangkan pemulihan kegiatan
kecamatan lebih diprioritaskan oleh pemerintah pusat, terutama untuk melakukan pendataan
kembali pada asset yang tersisa termasuk kondisi penduduk. Pada saat ini, meskipun kondisi
bangunannya darurat, kegiatan di kecamatan sudah intensif, terutama dalam pendataan dan
monitoring kegiatan di desa desanya.
Demikian pula dengan sistem pendukung (back up system), akibat tsunami tidak ada lagi yang
tersisa. Sistem back up yang ada, bergantung pada kondisi alam yang mendukung dan dan pada
kegiatan pertanian di perbukitan. Back up system untuk jaringan transportasi tidak ada untuk
desa desa di Pulo Aceh. Sedangkan untuk Kecamatan Leupung, back up system untuk sistem
transportasi bergantung pada upaya rehabilitasi yang dilakukan pihak luar. Demikian pula back
up system untuk lifelines, bergantung pada pihak luar untuk membantu membuka isolasi desa
desa ini. Pelayanan kesehatan di desa ini bergantung pada ‘kemampuan warga local’ untuk mencari
Untuk kapasitas restore dan recovery, hampir di semua kategori bergantung pada pihak luar.
Kehilangan yg dihadapi masyarakat di keempat desa ini meliputi lapangan kerja yang hilang dan
setelah satu tahun belum kembali normal, kemandirian desanya dalam mencukupi kebutuhan
lokalnya seperti keperluan pangan, serta keaktifan warga dalam mendorong pembangunan di
desa desanya. Pada kondisi dimana kehidupan masyarakat masih bergantung pada pihak luar,
termasuk pemerintah dan LSM, dan masyarakat belum dapat menentukan sendiri prose mana
yang akan diutamakan, maka kapasitas untuk recovery dan restore dalam kondisi mandiri belum
terbangun baik.
Dari sisi sistem peringatan yang telah ada saat ini, pada lokasi studi di perdesaan Aceh, pihak
pemerintah kecamatan merupakan pihak yang bertanggung jawab. Sebelum terjadinya bencana,
tidak secara spesifik pemerintah kecamatan memiliki perangkat atau unit Operasi Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi. Menurut Kepmendagri No. 131 tahun 2003 tentang
Pedoman Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi di Daerah, pemerintah kecamatan
memiliki fungsi mengkoordinasikan kegiatan organisasi masyarakat struktural dan non struktural
yg dimulai dari tahap sebelum, saat dan setelah terjadi bencana. Salah satu mekanisme yang
harus dimiliki oleh kecamatan sebelum bencana adalah memberikan peringatan dini kepada
masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
Kondisi sosial politik dan keamanan sebelum terjadinya bencana 2004 mengakibatkan
pemerintahan sipil (terutama kecamatan dan desa) berjalan dengan memberikan pelayanan umum
yang minimal. Cara kerja yang dilakukan pemerintah sipil termasuk stagnan serta kurang
menyesuaikan terhadap peraturan-peraturan baru yg dibuat di tingkat pusat. Kondisi yang dapat
digambarkan mengenai peringatan dini di tingkat kecamatan hampir dikatakan tidak ada. Hal ini
juga mengingat pengalaman masyarakat dan pemerintah menghadapi bencana alam minimal2.
Pengalaman kebencanaan yang seringkali dialami justru dalam menghadapi konflik sosial politik
yang melibatkan pihak militer. Pihak kecamatan bekerjasama dengan polisi atau militer dalam
menyampaikan pesan yang bersifat publik kepada masyarakat terutama dalam menghadapi bahaya
pertikaian bersenjata. Pemerintah kecamatan juga bekerjasama dengan pihak pemerintah desa
yang kemudian menggantungkan kepada keberadaan mesjid sebagai pihak yang dapat
menyampaikan pesan secara komunal kepada warganya. Dengan jenis bencana alam seperti
gempa bumi atau tsunami, sistem peringatan bergantung pada pihak yang memiliki kemampuan
saintifik dan berwenang memberikan peringatan kepada masyarakat. Untuk Desa Gugop,
2
Pengalaman masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana alam sebelum tahun 2004, terjadi pada
tahun 1983 yaitu gempa bumi.
Situasi politik pada saat itu tidak memungkinkan banyak desa di Aceh dapat berkomunikasi
secara intensif dengan pihak luar. Desa- desa yg berlokasi di Pulau Breueh, Kecamatan Pulo
Aceh termasuk desa yang kurang tersentuh dengan komunikasi pihak pemerintah, kurang memiliki
jaringan telekomunikasi yang baik pula. Sedangkan desa- desa di Kecamatan Leupung termasuk
desa yang lebih terbuka, cukup ramai dan mandiri. Jika bencana terjadi, mereka yang tinggal di
Kecamatan Leupung akan bergantung pada aparat desa/ muspida untuk memberi informasi atau
peringatan mengenai kejadian bencana. Sedangkan di Kecamatan Pulo Aceh, aparat kecamatanlah
yang menentukan kondisi bencana di desa- desa tersebut.
155
Kecamatan merupakan lini pemerintahan yang difungsikan terlebih dahulu di Aceh sejak bencana
tsunami 2004, daripada pemerintah desa. Kegiatan di kecamatan menitikberatkan pada pendataan
penduduk, aset-aset masyarakat, dan memonitor rehabilitasi dan rekonstruksi yang sedang berjalan
di lapangan. Sedangkan pemerintah desa bekerja terutama untuk mendata anggota masyarakat
di desanya yang masih ada. Lokasi kantor pemerintah kecamatan masih sementara, jumlah staf
juga masih terbatas, lokasi masyarakat yang dilayani masih tersebar di lokasi tempat tinggal
sementara, bantuan dari lembaga asing seperti AIPRD mempermudah upaya menjalankan
pemerintahan kecamatan. Namun, kegiatan pelayanan umum dari pemerintah kecamatan masih
minimal dan belum membentuk pemerintah dengan struktur yang dapat memasukkan unsur unit
operasi kebencanaan.
Dari sisi warning system yang telah ada saat ini, pihak pemerintahan kecamatan menggantungkan
pada keberadaan mesjid sebagai pihak yang dapat menyampaikan pesan secara komunal kepada
warganya. Selama ini sistem peringatan sangat bergantung pada pihak luar untuk memberikan
informasi mengenai adanya bencana. Untuk Desa Gugop di Kecamatan Pulo Aceh dan Dayah
Meskipun peralatan untuk kesiapsiagaan menghadapi bencana yang saat ini dimiliki oleh pihak
kecamatan minim, namun pihak kecamatan memiliki satuan dari Hansip/Linmas yang dapat
diberdayakan untuk keperluan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Di kecamatan Leupung
terdapat 43 personnel hansip / linmas. Sedangkan di kecamatan Pulo Aceh terdapat 6 orang yg
menjadi hansip / linmas. Namun pelatihan periodic berkenaan dengan kesiapsiagaan seperti
yang digariskan melalui Kepmendagri tersebut, tidak dilakukan pada saat ini.
Pihak kecamatan Leupung mengaku siap untuk menolong warganya ketika bencana terjadi melalui
pendirian posko bencana, penyiapan dapur umum, penyaluran bantuan. Sedangkan di kecamatan
Pulo Aceh kesiapan ini lebih lemah. Hal yang utama dilakukan di kecamatan Pulo Aceh adalah
menyalurkan bantuan kepada warga. Kondisi di Pulo Aceh yang terdiri dari beberapa pulau dan
tidak dekat dengan daratan Aceh, mengakibatkan koordinasi kegiatan pada skala kecamatan
dan pelaksanaan pertolongan yg dikoordinir kecamatan sulit dilaksanakan. Lebih mudah, apabila
pihak desa dikuatkan unit operasi penanggulangan bencananya terutama pada sisi resource
mobilization and capacity. Hal ini dapat memperkuat keselamatan dan ketahanan warga dalam
menghadapi bencana.
Dari hasil kajian terungkap bahwa pemerintah kecamatan di Kabupaten Aceh Besar masih kurang
siap dalam mengantisipasi bencana, diindikasikan dari nilai indeks kesiapsiagaan yang hanya
mencapai 48. Tetapi penilaian ini tidak dapat mencerminkan kondisi yang sesungguhnya karena
kajian ini dilakukan hanya di 2 kecamatan dan kedua pimpinan pemerintahan kecamatan tersebut
juga masih relatif baru (sekitar 3 bulan), sehingga kemungkinan informasi yang diperoleh tentang
kesiapsiagaan juga terbatas. Di samping itu, kondisi Aceh belum sepenuhnya pulih dan saat ini
masih konsentrasi pada kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi bangunan-bangunan yang hancur
Kajian tentang kesiapsiagaan untuk komunitas sekolah mencakup 3 kelompok yaitu kesiapsiagaan
sekolah (S1), guru (S2) dan siswa (S3). Kesiapsiagaan sekolah dinilai terutama berdasarkan
pengisian kuesioner oleh kepala sekolah masing-masing sekolah. Jumlah sekolah di lokasi kajian
5 unit yaitu 2 unit di Pulo Aceh (SD dan SMP) dan 3 unit sekolah di Leupung.(SD,SMP dan
SMA), sehingga 5 kuesioner yang terisi adalah keseluruhan sekolah yang tersedia dilokasi saat
dilakukan asesmen. Kesiapsiagaan komunitas sekolah lainnya adalah 14 guru dari kelima sekolah
tersebut, yaitu 6 orang di Pulo Aceh dan 8 orang di Leupung. Jumlah guru yang menjadi responden
merupakan sebagian besar dari komunitas guru yang ada pada saat asesmen.
Komunitas sekolah lainnya adalah siswa dari kelima sekolah tersebut. Jumlah siswa sebagai
responden mencapai 46 siswa, terdiri dari 22 siswa di Pulo Aceh dan 24 di Leupung. Dilihat dari
masing-masing tingkat sekolah responden terdiri dari 19 orang (SD), 22 orang (SMP) dan 5
orang (SMA). Jumlah siswa yang menjadi responden merupakan sebagian besar dari siswa klas
5 dan 6 di tingkat SD, klas 2 dan 3 di SMP dan klas 2 SMA. Data lain diperoleh dari hasil
wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah dengan masyarakat sekolah, terutama dengan
kepala sekolah, guru dan komite sekolah (wakil orang tua siswa) Untuk keperluan analisa, tabulasi
157
silang untuk siswa di SMP dan SMA digabung karena jumlah responden di SMA relative kecil (5
orang), sehingga kurang bemakna jika dipisah dengan siswa lainnya (SMP).
Guru
Guru mempunyai peran yang sangat strategis untuk kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam
menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami. Sebagai pendidik guru dapat mentransfer ilmu
kepada siswa dari beberapa periode, sekaligus penggerak dan pelaku utama kesiapsiagaan
sekolah. Dalam hal apa yang dimaksud bencana alam terdapat 12 responden (85,7 persen) yang
menyebutkan bahwa bencana alam merupakan bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam.
Karena disebabkan oleh kejadian alam bencana tidak dapat ditolak atau dicegah, yang dapat
dilakukan hanyalah mengantisipasi agar jika bencana datang tidak menimbulkan kerugian baik
jiwa maupun harta. Antisipasi ini dapat dilakukan dengan mengetahui tanda-tanda akan terjadinya
Pendapat bahwa bencana alam merupakan bencana akibat perilaku manusia dinyatakan oleh
14,3 persen responden. Perilaku manusia yang tidak benar dalam mengelola sumber daya alam,
juga dapat berdampak pada bencana alam. Seperti halnya manusia yang menebang hutan secara
tidak beraturan, sehingga hutan menjadi gundul dan jika hujan datang dapat terjadi bencana
banjir. Kebakaran hutan, banjir maupun tanah longsor merupakan bencana yang dipengaruhi
oleh ulah tangan manusia. Bencana jenis ini sebenarnya dapat dihindari jika manusia mau bertindak
arif dan bijak dalam mengelola sumber daya alam.
Bencana akibat
perilaku manusia
14%
Bencana akibat
kejadian alam
86%
Diagram 4.1.4.1.
Persentase Responden Menurut Pengetahuan Tentang
Bencana Alam
Pada waktu ditanyakan tentang kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana hampir seluruh
guru (lebih dari 90 persen) menjawab bahwa gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung
berapi, dan badai merupakan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Gempa bumi
sangat potensial terjadi di daerah Aceh baik bersumber dari darat dan laut karena Aceh merupakan
bagian dari daratan Sumatra yang mempunyai patahan di darat dan laut. Tsunami juga merupakan
salah satu kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana terutama di Aceh. Periode tsunami
mencapai lebih dari 200 tahun menjadi tantangan tersendiri untuk selalu mengingatkan kejadian
tersebut kepada generasi selanjutnya, sebab jika tidak selalu diingatkan, generasi tersebut bisa
jadi akan melupakan kejadian yang memakan korban demikian besarnya. Gunung berapi yang
meletus juga sebagai kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Gunung
Merapi di Yogyakarta yang saat ini sedang aktif merupakan salah satu contoh bahwa gunung
berapi meletus merupakan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana.
Setelah ditanyakan lebih lanjut tentang apa saja penyebab gempa bumi, sebagian besar guru
menjawab pergesean kerak bumi dan gunung meletus. Alternatif jawaban yang salah dalam
pertanyaan ini (tanah longsor, angin topan dan halilintar, serta pengeboran minyak) hanya dipilih
oleh sebagian kecil guru. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan guru tentang penyebab gempa
bumi sudah cukup baik. Pergeseran kerak bumi merupakan salah satu penyebab terjadinya
NO URAIAN PERSENTASE
gempa bumi seperti yang terjadi di Aceh tahun 2004. Pada waktu itu, gempa yang sangat besar
terjadi GEMBA
PENYEBAB karena adanya
BUMI pergeseran kerak bumi di bawah laut. Gempa dengan intensitas yang
1 sangatkerak
Pergeseran besarbumi
telah membuat sebagian besar masyarakat panik, apalagi setelah
92,9 disusul oleh tsunami.
159
2 Gunung meletus 85,7
3 TanahGempa
longsor bumi menurut sebagian besar guru (57,1 persen) tidak dapat diperkirakan
28,6 kapan terjadinya,
4 Anginsehingga
topan dansebagian
halilintar besar orang menjadi bingung pada waktu terjadi gempa
7,1 besar. Kepanikan ini
5 Pengeboran minyak 14,3
akan berlanjut ke pasca gempa, seandainya gempa menimbulkan kerusakan yang parah terhadap
CIRI-CIRI GEMPA KUAT
rumah maupun barang-barang yang lain. Oleh sebab itu, tindakan yang paling baik adalah antisipasi
1 Gempa terjadi berulang-ulang 78,6
atau kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya gempa bumi tersebut, terutama gempa yang
2 Gempa membuat pusing/limbung 71,4
3 besar. Sebab gempa bumi yang besar dapat menyebabkan kerugian yang
Gempa menyebabkan goyangan kencang/keras
besar baik harta maupun
100,0
4 jiwa. Antisipasi
Bangunan retak dan roboh terhadap gempa dapat berupa antisipasi pada waktu terjadi
92,9 gempa, maupun
pasca gempa seperti tempat N evakuasi/pengungsian, barang-barang 14kebutuhan pokok, dan
mobilisasi sumber daya (Lampiran tabel 4.1.4.1).
.
Gempa besar memiliki ciri-ciri tertentu, dan pada saat ditanyakan ciri-ciri tersebut kepada guru
sebagian besar menjawab gempa terjadi berulang-ulang, membuat pusing/limbung, menyebabkan
goyangan keras/kencang dan bangunan retak/roboh. Gempa terjadi berulang-ulang artinya setelah
gempa besar pasti akan diikuti oleh gempa-gempa lain yang lebih kecil. Sehingga 100 persen
guru mengatakan bahwa setelah gempa besar selalu diikuti oleh gempa-gempa kecil. Gempa-
Gempa membuat pusing/limbung merupakan ciri lain dari gempa besar, sehingga orang biasanya
tidak dapat berdiri secara tegak. Itulah sebabnya pada waktu terjadi gempa besar disarankan
seseorang tidak keluar rumah/ruangan terlebih dahulu, tetapi perlu menunggu sampai gempa
mereda. Tindakan inipun dapat menimbulkan resiko, jika bangunan yang ditempati tidak tahan
terhadap gempa. Dengan mudah rumah tersebut dapat hancur dan menimpa orang yang
bersangkutan. Dalam kondisi seperti ini, rumah tahan gempa dan terbuat dari material yang ringan
menjadi salah satu alternatif untuk mengurangi adanya resiko gempa. Goyangan yang kencang/
keras dari gempa dapat berakibat pada bangunan menjadi retak maupun roboh, terutama bangunan
yang tidak memperhitungkan beban gempa.
Sebagai daerah yang rawan terhadap gempa, sudah semestinya apabila semua jenis bangunan
direncanakan sesuai dengan standard bangunan yang tahan terhadap gempa bumi. Keadaan ini
merupakan salah satu alternative untuk mencegah terjadinya korban yang besar baik harta maupun
jiwa. Pada saat ditanyakan ciri-ciri bangunan yang tahan terhadap gempa, sebagian besar guru
menjawab bahwa fondasi bangunan tertanam cukup dalam, dan bangunan/rumah terbuat dari
material yang ringan. Material yang ringan tersebut selain lebih tahan terhadap gempa, juga tidak
terlalu berbahaya bagi manusia. Bangunan seperti di Yogyakarta dan sekitarnya yang rata-rata
terbuat dari tembok misalnya ternyata tidak cukup tahan terhadap gempa. Selain itu bangunan
ini juga berbahaya bagi manusia terbukti banyak diantara mereka yang mati tertimpa reruntuhan
bangunan rumah. Bentuk bangunan berimbang dan bagian-bagian bangunan tersambung dengan
kuat, tampaknya belum banyak diketahui oleh informan, sehingga masih 50 persen ke bawah
yang berpendapat sebagai ciri bangunan yang tahan gempa. Islilah simetris/berimbang nampaknya
tidak familier bagi sebagian guru, sehingga mereka tidak dapat memberikan jawaban yang pasti
terhadap alternative pilihan tersebut (Lampiran tabel 4.1.4.2).
Dalam hal tindakan yang akan dilakukan apabila terjadi gempa besar, mayoritas guru telah dapat
menjawab secara benar. Keluar gedung menggunakan tangga bila berada di gedung bertingkat
setelah gempa reda merupakan alternative jawaban yang dipilih oleh sebagian kecil guru (35,7
persen). Kekhawatiran gempa dapat menyebabkan bangunan hancur, tampaknya menjadi alasan
guru tidak memilih alternative ini. Yang perlu dilakukan adalah segera keluar bangunan tersebut,
sehingga jika bangunan hancur manusia masih bisa selamat. Kondisi bangunan daerah setempat
yang terbuat dari material tidak ringan dan konstruksi bangunan yang belum disesuaikan dengan
standard gempa menjadi alasan guru untuk tidak memilih jawaban ini. Berbeda halnya dengan
daerah/negara lain yang telah membuat bangunan rumah yang tahan gempa material bangunan
terbuat dari bahan-bahan ringan dan fondasi bangunan kuat. Oleh sebab itu tinggal digedung
pada waktu ada gempa merupakan tindakan yang aman. Memang disadari sulit untuk keluar dari
rumah pada saat gempa terjadi, karena orang tidak dapat berdiri dengan tegak dan bisa pusing/
limbung tetapi tinggal di gedung juga mempuyai resiko yang sama.
Table 4.1.4.2.
Persentase responden yang berpendapat bahwa hal-hal berikut
akan dilakukan apabila terjadi gempa
1 Berlindung di tempat yang aman (misal bawah meja yang kokoh) 71,4
2 Melindungi kepala 71,4
3 Segera menuju lapangan yang terbuka 100
4 Menjauhi benda-benda yang tergantung 78,6
5 Merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda 57,1
6 Menjauhi jendela/dinding kaca 92,9
7 Meninggalkan ruangan setelah gempa reda 57,1
Keluar gedung menggunakan tangga bila berada di gedung bertingkat setelah
8 35,7
gempa reda 161
9 Memarkir mobil di pinggir jalan jika sedang berada di dalam kendaraan 100
10 Menjauhi jembatan 92,9
11 Berlari keluar rumah pada saat gempa 92,9
N 14
Sumber : Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
Pengetahuan guru terhadap gempa bumi yang dapat menyebabkan tsunami ternyata masih rendah,
terbukti baru 50 persen yang menyatakan bahwa tidak semua gempa bumi dapat menyebabkan
tsunami. Karena kurang memahami apakah setiap gempa dapat menyebabkan tsunami, sebanyak
35,7 persen guru memilih menjawab tidak tahu. Kondisi ini dapat terjadi karena guru yang menjadi
responden dalam assessment ini memang berasal dari latar belakang pendidikan yang berbeda-
beda. Jangankan mendapat palajaran tentang tsunami, sedangkan istilah tsunamipun baru mereka
dengar akhir-akhir ini melalui media. Hal yang sangat mereka sayangkan adalah mengapa
pemerintah tidak cepat merespon kemungkinan terjadinya tsunami, padahal tsunami memang
potensial terjadi di Aceh (Lampiran tabel 4.1.4.3).
Dalam hal pengetahuan tentang tsunami mayoritas guru mengakui bahwa selama ini pengetahuan
mereka masih sangat sedikit, sehingga sulit untuk mentransfer ilmu kepada siswa dan masyarakat
umum. Selama ini memang telah terdengar kejadian tsunami khususnya di Jepang, tetapi informasi
kemungkinan terjadi di Indonesia khususnya Aceh masih belum ada. Itulah sebabnya keluarga
dan bahkan guru-guru dalam satu sekolahan banyak yang menjadi korban. Salah satu guru geografi
mengakui bahwa selama ini ada pelajaran tentang bencana di mata pelajaran yang diajarkannya.
Tetapi muatannya sangat sedikit, sehingga dirasa tidak cukup bermanfaat bagi para siswa. Di
pelajaran tersebut memang ada disinggung bencana tsunami sebagai salah satu jenis bencana
yang ada di dunia, tetapi eksplorasi lebih lanjut tentang apa tsunami, gejala-gejala apa yang
mendahului jika akan terjadi tsunami, dan bahasan lainnya tidak dimuat dalam pelajaran tersebut.
Oleh karena itu, ia juga merasa bahwa selama ini ia telah gagal dalam memberikan pendidikan
kepada siswa, bahkan keluarga sendiri menjadi korban karena tidak tahu apa yang harus dilakukan
pada waktu terjadi tsunami.
Meskipun selama ini pengetahuan yang dimiliki oleh guru tentang tsunami masih sangat sedikit,
tetapi pengalaman tsunami tahun 2004 yang lalu memberikan tambahan pengetahuan secara
alami bagi para guru. Pada waktu kejadian tsunami para guru memang juga tidak tahu apa yang
sebenarnya telah terjadi dengan bumi mereka, sehingga tidak tahu apa yang harus diperbuat.
Ketidaktahuan kalangan pendidik tentu berdampak pada kejadian yang sangat tidak diinginkan
oleh semua pihak dimana banyak sekali terjadi korban tsunami. Pengenalan tanda/gejala akan
terjadinya bencana tsunami merupakan salah satu cara untuk dapat menyelamatkan diri dari
tsunami. Sebab kurang lebih 30 menit sebelum gelombang besar tersebut datang terdapat tanda-
tanda yang memungkinkan orang dapat menyelamatkan diri. Salah tanda yang disebutkan oleh
seluruh guru adalah terjadinya gempa yang menyebabkan goyangan sangat kencang/keras sehingga
tidak bisa berdiri. Gempa besar yang terjadi pada tahun 2004 dirasakan oleh seluruh masyarakat
di Aceh dan menimbulkan kepanikan, karena tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Ciri
lain yang menandai akan adanya tsunami adalah air laut tiba-tiba surut sampai ratusan meter.
Salah seorang guru di SD Ulee paya menceritakan pengalaman kejadian dan tanda-tanda tsunami
ini sebagai berikut :
Karena tidak semua guru mengetahui secara persis tanda-tanda sebelum terjadinya tsunami tahun
2004, maka hanya 50 persen yang menjawab adanya gelombang besar di cakrawala. Sama
halnya dengan masyarakat umum, para guru juga memberitahukan ciri lain sebelum datangnya 163
tsunami yaitu adanya suara ledakan yang sangat keras dari laut. Beberapa menit setelah ledakan
tersebut kemudian terjadi gelombang besar yang membuat desa Ulee Paya rata dengan tanah.
Tidak ada bangunan yang tersisa karena diterjang ombak besar. Setelah terjadinya tsunami sampai
beberapa minggu, praktis kegiatan belajar mengajar di desa ini lumpuh total, karena seluruh
masyarakat ikut mengungsi ke Kabupaten Banda Aceh.
Salah satu ciri akan datangnya tsunami adalah adanya air surut sampai ratusan meter, sehingga
pada waktu ditanyakan kepada para guru apa yang akan dilakukan jika air laut tiba-tiba surut
semua responden mengatakan bahwa mereka akan berlari menjauhi pantai. Akan tetapi berapa
meter air laut tersebut surut tentunya juga harus diperhatikan, sebab selama ini di daerah juga
sering terjadi air surut karena pasang surut dan bukan tanda akan terjadi tsunami. Jika setiap air
surut seseorang harus menjauhi pantai tentu kurang pas, sehingga perlu kombinasi antara air laut
surut dengan tanda-tanda lainnya. Meskipun demikian untuk mengantisipasi terjadinya tsunami,
langkah aman yang perlu diambil jika air laut tiba-tiba surut adalah dengan menjauhi pantai.
90
78,6
80
70 64,3
57,1
60
50
40
30
20
10
0
Adanya ruang-ruang Bagian bangunan yang Direncanakan sesuai
untuk jalannya air panjang tegak lurus dengan standar beban
terhadap garis pantai tsunami
Diagram 4.1.4.2.
Persentase Responden Dengan Pengetahuan Tentang Ciri
Bangunan/rumah yang Tahan Tsunami
Adanya ruang-ruang untuk jalannya air juga menjadi alternative jawaban yang dipilih oleh 57,1
persen guru sebagai ciri bangunan yang tahan tsunami. Alternative jawaban ini didasarkan pada
kenyataan adanya sebagian masjid yang masih berdiri tegak tidak hancur oleh tsunami. Adannya
celah yang cukup untuk jalannya air akan mengurangi bagian bangunan yang menahan air sehingga
beban berkurang. Meskipun demikian kombinasi antara beberapa ciri perlu dilakukan sehingga
bangunan dapat tahan terhadap tsunami. Ciri lainnya yang disebut oleh 64,3 persen responden
adalah bagian bangunan yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai. Tipe bangunan ini hanya
menahan air lebih sedikit dibanding jika bagian bangunan yang bagian panjangnya sejajar dengan
pantai sehingga bangunan lebih tahan terhadap tsunami.
Sumber pengetahuan tentang bencana baik gempa maupun tsunami dapat berupa media cetak,
media elektronik, petugas pemerintah, LSM maupun masyarakat. Dalam hal sumber pengetahuan
Seluruh stakeholder di daerah assessment termasuk guru menyadari bahwa Bangsa Indonesia
telah kecolongan oleh tsunami yang memakan korban begitu besar. Oleh sebab itu kesadaran
untuk dapat berperan serta mengantisipasi bencana tersebut menjadi hal yang sangat fundamental.
Guru sebagai salah satu elemen penting untuk penyiapan generasi penerus juga telah menyadari
kondisi ini, terbukti sebesar 64,3 persen dari mereka berusaha untuk memberikan pelajaran
tentang gempa dan tsunami kepada siswa. Mayoritas guru menyadari bahwa ilmu yang mereka
miliki tentang gempa dan tsunami memang masih sangat kurang, tetapi minimal mereka dapat
mengingatkan bahwa semua orang harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya bencana.
Pembelajaran tentang bencana ini dirasakan masih sangat minim, karena pengetahuan para guru
tentang bencana sendiri masih minim, dan pelajaran ini belum dimuat dalam bagian khusus mata
pelajaran di sekolah. Bagaimanapun pelajaran tentang bencana ini akan sangat kurang jika tidak
ada mata pelajaran tertentu yang memuatnya, karena sekolah sudah dituntut untuk menyelesaikan
kurikulum yang telah ada.
Tidak
36%
165
Untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan dan sikap siswa terhadap bencana alam khususnya
gempa bumi dan tsunami, beberapa pertanyaan dalam kuesioner meliputi antara lain pengertian
bencana alam, macam kejadian alam, penyebab dan gejala/tanda-tanda bencana, hubungan gempa
dan tsunami, pengetahuan tentang beberapa kejadian tsunami di Indonesia dan sumber
pengetahuan tersebut. Juga ditanyakan peran sekolah/masyarakat dalam meningkatkan
pengetahuan siswa tentang bencana.
Diagram : 4.1.4.4
Pengetahuan Tentang Bencana Alam Menurut
Tingkat Sekolah
Keadaan agak berbeda ketika pertanyaan mendalam tentang penyebab gempa bumi, karena
meskipun lebih dari separuh memberikan jawaban yang benar yaitu ’pergeseran kerak bumi’
dan ’gunung meletus’, namun persentasenya masing-masing hanya sekitar 65% dan 59% Hal ini
wajar karena tidak semua mengetahui penyebab gempa, meskipun mereka mengalaminya.
Pengetahuan ini tergantung pada informasi yanga sampai pada mereka, bukan pengalaman seperti
pertanyaan sebelumnya. Sedangkan untuk jawaban lainnya seperti tanah longsor, angin topan
dan pengeboran minyak merupakan 3 jawaban terendah persentasenya (kurang dari 50%). Hal
ini berarti sebagian besar responden memahami penyebab gempa yang benar yaitu pergeseran
kerak bumi dan gunung meletus. Namun dilihat lebih jeli, sebagian besar responden yang lebih
memahami penyebab gempa terutama siswa dari sekolah di Leupung (sekitar 79 dan 63%),
Penyebab Gempa Bumi Kecamatan (%) Tingkat Sekolah (%)
sementara dari sekolah di wilayah yang relative tertinggal (Pulo Aceh) persentase siswa untuk
P. Aceh Leupung Total SD SMP/SMA Total
a. kedua
Pergeseran kerak bumijawaban yang
50.0 benar, relative
79.2 rendah
65.2 (sekitar
47.4 50%) (Tabel
77.8 4.1.4.3).
65.2
b. Gunung meletus 54.5 62.5 58.7 73.7 48.1 58.7
c. Tanah longsor 59.1 45.8 52.2 Tabel 4.1.4.3 29.6
84.2 52.2 167
d. Angin topan & halilintar 63.6 20.8
Pengetahuan 41.3
Responden 63.2 Penyebab
tentang 25.9 Gempa Bumi
41.3
e. Pengeboran minyak 13.6Menurut Kecamatan
37.5 26.1Tingkat15.8
dan 33.3
Sekolah (Persentase 26.1 ‘Ya’)
jawaban
Jumlah Responden 22 24 46 19 27 46
Dilihat dari tingkat sekolah/pendidikan, tidak banyak perbedaan rata-rata persentase untuk kedua
jawaban yang benar, namun perbedaan menonjol pada jenis penyebab bencana, yaitu persentase
tertinggi untuk siswa SD lebih pada jawaban ‘gunung meletus’ (sekitar 79%), sedangkan pada
siswa SMP/SMA, persentase tertinggi pada jawaban ’pergeseran kerak bumi, dan pada kedua
tingkat sekolah untuk jawaban lainnya, relatif rendah (sekitar 48%). Namun secara keseluruhan
Pemahaman yang relatif baik terhadap bencana alam, terutama yang berdasarkan pengalaman
juga terlihat dari jawaban siswa terhadap pertanyaan” apakah gempa bumi dapat diperkirakan
sebelumnya?”. Pada umumnya siswa menjawab tidak dapat diperkirakan (87%), dan konsisten
untuk kedua lokasi dan tingkat sekolah. Demikian pula pemahaman responden tentang ciri-ciri
gempa yang kuat, untuk beberapa jawaban seperti ’ goyangan yang keras’ dan ’bangunan retak/
roboh’ persentasenya cukup tinggi (di atas 80%), dan merata untuk semua lokasi dan tingkat
sekolah. Sedangkan persentase terendah pada jawaban ’gempa membuat pusing dan limbung’
(sekitar 59%). Lagi-lagi temuan yang menarik diperlihatkan oleh siswa tingkat SD, dimana
persentase untuk semua jawaban yang merupakan ciri-ciri gempa kuat, lebih tinggi (63-90%)
dibandingkan siswa di tingkat SMP/SMA (56-82%). Dari kedua pertanyaan ini nampak bahwa
pengalaman gempa yang sering dirasakan di kedua lokasi, terutama gempa besar yang mendahului
tsunami, memberikan pemahaman yang benar bahwa gempa datang secara tiba-tiba tanpa gejala
apapun, namun sebagian besar responden masih ingat akan ciri-cirinya (Tabel 4.1.4.4).
Agak menarik menyimak jawaban responden ketika ditanya tentang adanya gempa susulan
sesudah gempa besar, karena mayoritas responden (87%) menunjukkan jawaban yang benar.
Hal ini konsisten untuk semua lokasi dan tingkat sekolah. Padahal pada jawaban sebelumnya
untuk ciri-ciri gempa kuat, jawaban tersebut (gempa terjadi berulang) relatif kurang dipahami
responden. Mungkin istilah ’berulang’ dan ’susulan’ membingungkan banyak siawa meskipun
secara pengertian tidak berbeda. Namun keseluruhan jawaban, menunjukkan sebagian besar
responden mempunyai pemahaman yang baik tentang bencana. Mungkin karena pasca tsunami,
banyak guru yang menyelipkan pelajaran tentang bencana pada setiap kesempatan mengajar,
atau mendengar dari sumber lain.
Tabel 4.1.4.4
Pengetahuan Responden Tentang Ciri-ciri Gempa Kuat Menurut
Kecamatan dan Tingkat Sekolah (% jawaban ‘Ya’)
Ciri-ciri Gempa Kuat Kecamatan (%) Total Tingkat Sekolah (%)
P. Aceh Leupung SD SMP/SMA
a. Gempa terjadi berulang 77.3 54.2 65.2 73.7 59.3
b. Gempa membuat 54.5 62.5 58.7 63.2 55.6
pusing/limbung
c. Goyangan keras 81.8 79.2 80.4 89.5 74.1
d. Bangunan retak/roboh 81.8 83.3 82.6 84.2 81.5
Jumlah Responden 22 24 46 19 27
Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat mengantisipasi bencana , LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
120
100
80 SD
60
40 SMP/SMA
20
0
a
an
a
a
ku
uk
ej
de
bu
ak
m
rb
en
s
h
te
k
de
ra
j
bw
dr
ng
r
be
dr
di
uh
a
h
ng
ru
n
ja
u
a
du
ja
ke
en
ng
en
n
ja
ri
rli
rla
m
be
be
Diagram 4.1.4.5
Tindakan bila Gempa menurut Tingkat Sekolah 169
Dalam memahami hubungan antara gempa dan tsunami, pertanyaan yang diajukan kepada
responden siswa sekolah adalah ’apakah setiap gempa bumi menimbulkan tsunami?’. Diagram
4.1.4.6 menunjukkan lebih dari separuh responden (sekitar 67%) mengerti bahwa tidak semua
gempa menimbulkan tsunami, dan hanya sekitar 22% yang memberikan jawaban salah. Namun
hal yang menarik adalah sekitar 11% menyatakan ’tidak tahu’ dan dilihat dari tingkat sekolah,
persentase tidah tahu siswa tingkat SMP/SMA lebih tinggi (sekitar 15%) dibandingkan siswa
tingkat SD yang hanya sekitar 5%. Padahal dari segi pengalaman, kedua tingkat sekolah
mempunyai pengalaman yang relatif sama yaitu baru sekali mengalami bencana tsunami dan gempa
besar. Tampaknya gempa kecil yang sering melanda daerahnya dan tidak menimbulkan tsunami
kurang mendapat perhatian mereka.
Bencana Tsunami benar-benar asing bagi kebanyakan siswa sekolah di kedua lokasi, kecuali
yang mereka alami yaitu Tsunami Aceh dan Nias (sekitar 96%). Sedangkan bencana tsunami
lainnya yang pernah terjadi di banyak daerah di Indonesia, ternyata tidak banyak diketahui oleh
responden. Tsunami di Simelue tahun 1907, yang juga di wilayah Sumatera hanya diketahui oleh
sebagian kecil siswa dan semakin sedikit siswa yang mengetahui kejadian tsunami ditempat lain,
seperti tsunami di Flores (1992). Krakatau (1883). Hal yang menarik adalah persentase siswa di
sekolah SD yang mengetahui kejadian tersebut selalu lebih tinggi (26-95%) dari siswa di tingkat
sekolah yang lebih tinggi (7-96%). Dengan sistem memilih jawaban yang tersedia, sulit mengetahui
kedalaman pengetahuan responden (Lampiran tabel 4.1.4.6).
Tampaknya bencana gempa dan tsunami yang dialami di Aceh, telah menyebabkan siswa sekolah
cukup paham tentang bencana tersebut termasuk penyebab dan ciri-ciri tsunami. Diagram 4.1.4.7
menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang penyebab tsunami cukup baik, karena
mayoritas responden cenderung memberikan jawaban yang benar tentang penyebab tsunami
yaitu ’gempa bumi di bawah laut’ (sekitar 85%) dan ’gunung meletus di bawah laut’ (sekitar
74%). Sementara persentase responden yang memberikan jawaban yang salah, relatif rendah,
yaitu tsunami disebabkan oleh ’Badai/puting beliung’ (39%) dan ’longsoran bawah laut’ (sekitar
57%). Meskipun pengetahuan mereka terbatas tentang penyebab tsunami, namun pengalaman
tsunami yang banyak dirasakan responden, seperti terjadinya gempa kuat dan berulang sebelum
tsunami, serta ledakan keras sebanyak tiga kali yang mendahului tsunami, memberikan inspirasi
bahwa keduanya berhubungan dengan gempa dan gunung meletus yang terjadi di laut. Pola yang
sama juga dapat dilihat pada lokasi dan tingkat sekolah yang berbeda, meskipun dengan tingkat
persentase yang berbeda.
Persentase untuk siswa tingkat SD yang memberikan 2 jawaban yang benar jauh lebih tinggi
(90-95%) dari pada siswa SMP/SMA (63-78%). Namun sebaliknya, persentase responden
untuk 2 jawaban yang salah pada siswa di sekolah SMP/SMA, juga lebih rendah (19-44%)
dibandingkan dengan responden di tingkat SD (68-74%). Jadi tampaknya sulit untuk menyimpulkan
apakah mereka benar-benar mengetahui atau hanya perkiraan saja, mengingat metode chek
Diagram 4.1.4.7
Pengetahuan tentang Penyebab Tsunami
Menurut Tingkat Sekolah
Bervariasinya persentase untuk tiap jawaban, menunjukkan bahwa responden juga kurang yakin
akan jawaban yang diberikan. Untuk jawaban seperti tsunami disebabkan oleh badai/puting
beliung, persentase siswa di Leupung sangat rendah (sekitar 21%) dibandingkan siswa sekolah
di Pulo Aceh yang mencapai hampir 60%.
Hal yang lebih mudah dirasakan oleh responden adalah pertanyaan tentang tanda-tanda tsunami,
karena mereka baru saja merasakannya ketika bencana tersebut terjadi. Itulah sebabnya mayoritas
responden
Peng ttg penyebab tsunami memberikan jawaban yang positif untuk ketiga jawaan yang disediakan (antara sekitar
menurut tkt sekolah
85 – 96%), dan konsisten untuk kedua lokasi dan semua tingkat sekolah. Persentase tertinggi
100
90 adalah responden dengan jawaban “air laut tiba-tiba surut’ (sekitar 95%), yang banyak diceritakan
80
70
sebagai gejala yang terlihat jelas di pantai, sebelum datangnya tsunami. Meskipun kebanyakan 171
SD
60
50
mereka tidak menyaksikan, namun SMP/SMA
banyak yang memberi informasi tentang surutnya air sampai
40 sekitar 200m dari pantai, sebelum Total gelombang besar tsunami melanda desanya. Bahkan di Pulo
30
20 Aceh, semua siswa memberi jawaban tentang tanda tsunami tersebut, juga tanda “gelombang
10
0 besar di Cakrawala. Sedangkan persentase siswa sekolah di Leupung hanya sekitar 92% untuk
gempa bumi
dibwh laut
jawaban
gunung
meletus
’air laut
longsoran
bawah laut
tiba-tiba
badai /putting
beliung
surut’ dan 75% untuk jawaban lainnya. Keadaan ini dapat berarti
adanya
dibwh laut pengalaman yang sama diantara siswa kedua lokasi, belum tentu menyebabkan
pemahaman yang sama (Lampiran tabel 4.1.4.7)..
Pengalaman sebelumnya mengajarkan pada responden bahwa banyak diantara mereka yang
selamat, karena mereka berada jauh dari laut, atau lari ke daerah perbukitan. Hal ini terjadi di
semua lokasi kecuali di Desa Dayah Mamplam yang sulit menemukan tempat untuk menyelamatkan
diri. Namun demikian mayoritas siswa (91%) memahami tindakan yang harus dilakukan apabila
air laut tiba-tiba surut yaitu ’berlari menjauh dari pantai’
Sedangkan jawaban lainnya yang merupakan tindakan ceroboh seperti : ’bermain pantai’,
’mengambil ikan yang terdampar’, hanya diberikan oleh beberapa orang siswa saja. Mungkin
dari pengalaman banyak orang mereka mendengar bahwa banyak anak-anak yang terseret
gelombang tsunami ketika asyik mengambil ikan yang terdampar ke pantai, karena mereka tidak
mengetahui surutnya air sebagai gejala akan datangnya tsunami. Hal yang menarik adalah masih
adanya yang menjawab ’tidak tahu’ baik untuk siswa tinkat SD maupun tingkat SDSMP/SMA.
Untuk kelompok siswa tersebut, yang sebagian besar berada di Leupung, jumlah responden
yang memberikan jawaban tidak benar dan tidak tahu mencapai sekitar 13%. Besar kemungkinan
mereka tidak membaca dengan baik jawabannya atau benar-benar memang tidak tahu jawaban
yang benar.
Pengetahuan siswa sekolah yang cukup baik tentang bencana tersebut nampaknya didukung
oleh upaya sekolah dalam memberikan pelajaran terkait. Sebagian besar responden (sekitar
83%) mengaku pernah memperoleh pelajaran tentang gempa bumi dan tsunami, terutama siswa
SMP/SMA (sekitar 93%).. Hal ini wajar karena mata pelajaran yang berkaitan dengan kebumian
yaitu geografi merupakan pelajaran di tingkat SMP dan SMA. Sedangkan di SD mungkin hanya
merupakan selingan dari mata pelajaran lainnya, terutama sesudah tsunami. Dilihat dari lokasi,
persentase siswa yang menjawab memperoleh pelajaran lebih menonjol di Pulo Aceh daripada
di Leupung, Hal ini sesuai dengan informasi dari kepala sekolah SMP dan SD, dimana setelah
tsunami sering diberikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami, meskipun belum ada mata
pelajaran khusus untuk itu. Demikian pula adanya buku tentang gempa dan tsunami yang pernah
diperoleh dari NGO (buku terbitan cormap-LIPI) untuk semua sekolah di lokasi, juga
memungkinkan mereka menambah pengetahuannya.
120
100 173
80 SDDiagram 4.1.4.9.
60 Tindakan untuk Kewaspadaan
SMP/SMA Menurut Tingkat Sekolah
40 Total
20
0 Mengenai sumber pengetahuan tentang bencana, terbukti sekolah sebagai sumber utama bagi
menambah
mendengarkan
ikut simulasi
buku dan alat
gempa dan
menyimpan
bencana
informasi dr
peng ttg
siswa (82%), sedangkan buku, komik,poster, leaflet dan sebagainya dianggap sebagai sumber
tsunami
sekolah
media
pengetahuan yang paling rendahbagi siswa (sekitar 46%). Dilihat dari lokasi tempat tinggal, semakin
tinggi akses lokasi terhadap informasi luar, semakin kecil peran sekolah. Kondisi ini jelas terlihat
pada siswa sekolah di Leupung, dimana persentase sumber pengetahuan merata pada sumber-
sumber yang ada, baik sekolah maupun sumber lainnya. Sedangkan untuk lokasi Pulo Aceh,
sebagai daerah yang relatif terisolir, sumber utama pengetahuan siswa dari sekolah (90%),
sementara persentase responden dengan sumber lain jauh lebih rendah dibandingkan Leupung.
Bagi masyarakat di lokasi yang relatif terisolir ini, fasilitas dan akses untuk sekolah yang baik
menjadi dambaan masyarakat, karena sumber pengetahuan lainnya sangat terbatas. Bahkan dalam
berbagai diskusi kelompok dan wawancara mendalam terungkap bahwa untuk meningkatkan
kesiapsiagaan, kurikulum khusus diperlukan siswa, agar dapat mengurangi resiko bencana. Isu
Kebijakan dan arahan sekolah sangat penting artinya untuk meningkatkan kesiapsiagaan
masyarakat sekolah dalam mengantisipasi kamungkinan terjadinya bencana, khususnya gempa
dan tsunami. Data tentang kebijakan dan arahan sekolah, diperoleh terutama dari kuesioner
kesiapsiagaan sekolah yang diisi oleh kepala sekolah masing-masing sekolah.
Pada saat dilakukan asesmen lapangan, jumlah keseluruhan siswa pada kelima sekolah sebanyak
263 siswa, yaitu 126 siswa di Leupung dan sisanya 137 siswa di Pulo Aceh. Sedangkan jumlah
guru untuk kelima sekolah sebanyak 52 orang, 42 guru di Leupung dan hanya sepuluh di Pulo
Aceh. Berdasarkan perbandingan jumlah guru dan siswa di setiap sekolah, maka tampak adanya
ketimpangan rasio guru dan siswa antara Leupung dan Pulo Aceh. Rasio guru dan siswa di
Leupung mencapai 1: 3, sementara di Pulo Aceh hanya 1: 14. Ketimpangan rasio guru dan siswa
di kedua lokasi, disebabkan di Pulo Aceh banyak guru yang tidak aktif mengajar, dan atau
pindah ke lokasi lain yang lebih aman. Sementara sekolah yang ada masih harus menampung
siswa yang mengungsi dari daerah lain. Akibatnya sekolah yang bersifat darurat ini tidak lagi
mengikuti standar sekolah yang ada, sampai sekolah yang normal selesai dibangun. Hal ini
menunjukkan betapa memprihatinkan masa depan pendidikan di Pulo Aceh, apabila gambaran
tersebut mewakili keadaan di kedua lokasi, terutama apabila sekolah yang baru tidak jelas kapan
direalisir.
Berdasarkan kondisi fisik sekolah, semua bangunan sekolah bersifat darurat atau bangunan
sementara, sambil menunggu bangunan permanen selesai dibangun. Kondisi ini sangat rawan
baik dilihat dari fisik bangunan, maupun dari lokasi bangunan (dekat pantai dan hampir sejajar
dengan permukaan laut). Kecuali untuk sekolah SMA di Leupung yang lokasinya agak di ketinggian
dan agak jauh dari pantai. Pada umumnya bangunan sekolah sementara ini tidak mengikuti standar
tahan gempa, apalagi tahan tsunami.
Sesuai dengan peraturan, kebijakan sekolah harus mengikuti kebijakan dan arahan Dinas
Kabupaten. Kelima sekolah yang menjadi sasaran kajian, mencoba untuk memulihkan kegiatan
belajar mengajar, sesuai dengan kemampuan yang ada, pindah dari satu lokasi pengungsian ke
lokasi lainnya. Dengan kondisi demikian, dan beban sekolah yang cukup berat, hampir semua
kepala sekolah hanya dapat berupaya mengikuti arahan kebijakan Diknas kabupaten seoptimal
mungkin, tanpa upaya lain di luar kebijakan yang sudah ada. Oleh karena kebijakan Diknas
kabupaten belum pernah menyentuh aspek kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, maka sekolah-
sekolah tersebut pun tidak ada yang mempunyai kebijakan serupa, meskipun semua kepala
sekolah mengakui pentingnya kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi bencana. Pentingnya
Seorang informan di salah satu sekolah di Pulo Aceh mengungkapkan, kurangnya perhatian
pemerintah kabupaten terhadap permasalahan sekolah pasca tsunami terutama untuk daerah
terpencil, sehingga pemulihan kegiatan belajar mengajar di sekolah berjalan lambat. Sampai
sekarang belum terpikirkan untuk mengeluarkan peraturan sekolah di luar arahan Diknas. Dana
yang terbatas juga tidak memungkinkan untuk mengalihkan pada kegiatan untuk kegiatan
kewaspadaan sekolah terhadap bencana. Bahkan untuk memberi honor yang memadai bagi
para guru bantupun sekolah hampir tidak mampu. Untuk menambah pengetahuan tentang bencana,
para kepala sekolah beranggapan pentingnya dimasukkan pelajaran tentang kesiapsiagaan dalam
kurikulum sekolah yang bersifat nasional. Seorang kepala sekolah (informan) mengungkapkan
pentingnya mata pelajaran kesiapsiagaan menghadapi bencana dengan mengingatkan keadaan
di Indonesia pada umumnya: “Bukankah sebagian besar daerah di Indonesia rawan bencana?
Jangan sampai daerah lain mengalami musibah seperti Aceh, karena minimnya pengetahuan
terhadap bencana”. Untuk daerah terisolir seperti Pulo Aceh peran sekolah sangat penting untuk
menginformasikan berbagai ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan bencana. Temuan dari hasil
survei menunjukkan sekolah sebagai sumber informasi utama bagi siswa dalam menyampaikan
pengetahuan tenatang bencana.
Menurut informan di sekolah SMA, pernah ada kebijakan untuk memberikan tambahan pelajaran
tentang kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, namun kebijakan tersebut tidak diikuti dengan 175
peraturan yang jelas, dan tidak ada disertai kurikulum khusus, sehingga implementasinya terserah
pada para guru terkait. Beberapa sekolah berusaha untuk menyelipkan pengetahuan tentang
bencana pada beberapa mata pelajaran yang ada, seperti geografi, pengetahuan umum, muatan
lokal, bahkan pelajaran agama. Namun karena tidak ada kurikulum khusus, maka pelaksanaannya
tergantung pada guru yang bersangkutan. Sekolah pada umunya siap untuk melaksanakannya,
apabila ada kurikulum khusus untuk itu. Para siswa dan guru sebetulnya dapat menambah
pengetahuan tentang kesiapsiagaan mengantisipasi bencana, apabila tersedia buku-buku, leaflet
dan sebagainya. Namun sampai sekarang, semua sekolah hanya menyimpan buku tentang bencana
tsunami dari LIPIdan BRR, yang dibawa oleh NGO (BRC). Leaflet juga pernah dibagikan,
namun hilang karena pindah sekolah.
Menurut salah seorang informan, meskipun komunitas sekolah perlu pelatihan kesiapsiagaan
untuk guru dan siswa, namun tidak bisa dilakukan sekarang karena keterbatasan dana. Sebuah
NGO dari India pernah menjanjikan bantuan program pelatihan kesiapsiagaan, namun sampai
sekarang tidak ada realisasinya. Pelatihan pernah diperoleh dari luar antar lain dari PMI (untuk
Rencana tanggap darurat merupakan parameter lain yang disepakati untuk mengukur tingkat
kesiapsiagaan masyarakat sekolah dalam mengantisipasi bencana. Pemahaman tentang bencana
menjadi kurang bermakna, apabila tidak diikuti dengan tindakan konkrit untuk mengantisipasi
bencana, seperti melakukan perencanaan penyelamatan baik dokumen sekolah, tempat evakuasi,
melakukan pertolongan pertama dan sebagainya sesuai dengan porsi masing-masing sebagai
lembaga (sekolah), sebagai pendidik guru dan sebagai siswa.
Sekolah
Setelah bencana tsunami, semua aset sekolah musnah, termasuk dokumen penting sekolah, tersapu
gelombang bersamaan dengan lenyapnya semua gedung sekolah. Tidak ada satupun benda yang
dapat diselamatkan, dan tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa bencana sedahsyat tsunami
akan memusnahkan semua yang dimiliki. Dengan pengalaman tersebut, rencana tanggap darurat
menjadi sangat penting bagi sekolah seperti penyimpanan back up dokumen, membuat rencana
evakuasi dan latihan pertolongan pertama. Namun kesibukan sekolah menata kembali kegiatan
belajar mengajar, menempati sekolah darurat di pengungsian, menyebabkan sampai sekarang
hampir tidak ada sekolah yang sengaja menyimpan copy dokumen dengan maksud untuk
mengantisipasi datangnya bencana.Namun beberapa sekolah mengaku kini lebih berhati-hati
dalam menyimpan dokumen, bahkan ada kepala sekolah yang menyimpan dokumen sekolah di
rumah kepala sekolah, karena kuatir hilang di sekolah pengungsian. Mereka beranggapan apabila
sekolah sudah permanen, penyimpanan dokumen akan lebih baik, karena lokasi sekolah yang
baru relatif lebih tinggi dari sekolah lama.
Demikian pula untuk rencana evakuasi, hampir semua sekolah belum ada yang benar-benar
menyiapkan rencana evakuasi, seperti peta evakuasi, rute dan tempat khusus untuk evakuasi.
Namun berdasarkan pengalaman penyelamatan diri sebelumnya, sewaktu bencana tsunami datang,
mereka sempat lari ke daetrah perbukitan yang tidak terjangkau oleh gelombang tsunami. Lokasi
itulah yang kemudian disepakati oleh masyarakat desa (termasuk komunitas sekolah) untuk
menjadi tempat evakuasi apabila terjadi bencana. Yang diperlukan untuk komunitas sekolah
adalah kesepakatan untuk menentukan jalur dari sekolah ke tempat evakuasi, shelter di bukit
yang kesemuanya perlu bantuan dana. Belum pernah ada rencana pembuatan peta dan jalur
evakuasi oleh sekolah yang ada. Mungkin karena sekolah masih di pengungsian, sehingga belum
terpikirkan untuk menyiapkan peta dan jalur evakuasi. Mereka beranggapan peta evakuasi,
jalur, juga akan berubah lagi apabila lokasi sekolah yang baru berbeda dengan sekolah sekarang
di pengungsian. Menurut beberapa kepala sekolah untuk tindakan menyiapkan evakuasi
memerlukan dana bantuan, karena sekolah dengan kondisi sekarang tidak mungkin dapat
Tindakan lain dalam tanggap darurat yang diperlukan adalah kegiatan untuk pertolongan pertama,
seperti pengadaan kotak P3K, obat-obatan, posko kesehatan sekolah, dokter kecil/PMR dan
latihan untuk pertolongan I. Namun hanya satu kegiatan yang pernah dilakukan oleh hampir
semua sekolah yaitu latihan P3K oleh PMI Aceh Besar. Hanya sekolah SD Leupung dan SD
Ulee Paya yang belum melakukan kegiatan tersebut. Menurut kepala sekolah SD di Leupung,
sekolah telah beberapa kali mengusulkan ke PMI untuk mengadakan pelatihan P3K ke
sekolahnya, namun belum pernah ditanggapi PMI. Berdasarkan informasi dari relawan PMI
Aceh Besar, program untuk P3K di PMI tidak diperuntukkan bagi sekolah SD, tetapi sekolah
yang tingkatannya lebih tinggi. Hampir semua pelatihan P3K untuk sekolah-sekolah dilakukan
oleh PMI setempat, namun minimal untuk tingkat SMP.
Guru
Rencana tanggap darurat guru setelah terjadi tsunami tahun 2004 merupakan salah satu hal yang
perlu dilihat, karena tanpa ada perencanaan sesuatu yang semestinya berdampak baik justru
dapat berdampak buruk. Demikian pula halnya dengan bencana, tanpa ada rencana kedaruratan
bencana yang menimpa manusia akan berdampak lebih buruk lagi dan dapat mengakibatkan 177
korban yang lebih besar. Untuk kewaspadaan terhadap tsunami, sebanyak 92,9 persen guru
telah menyiapkan/copy dokumen-dokumen kelas/mata pelajaran yang diajarkan dan
menyimpannya di tempat yang aman. Dalam hal penyimpanan dokumen ini, seluruh guru memiliki
tugas dan tanggung jawab yang sama khususnya menyangkut dokumen mata pelajaran yang
mereka ajarkan. Langkah ini diambil mengingat pada waktu terjadi tsunami yang lalu, hampir
seluruh dokumen sekolahan musnah sehingga mengganggu kelancaran belajar mengajar di sekolah.
Meskipun kegiatan belajar mengajar masih berada di tempat darurat, semua guru tetap waspada
terhadap kemungkinan terjadinya bencana lagi.
Kegiatan melatih siswa untuk menyelamatkan diri jika terjadi bencana juga dilakukan oleh 78,6
persen responden. Pelatihan ini memang belum merupakan pelatihan intensif karena hanya
dilakukan di sela-sela mata pelajaran yang diajarkan, termasuk pada waktu olah raga. Tetapi
pelatihan demikian diharapkan tetap bermanfaat bagi siswa, sehingga mereka dapat selalu waspada
terhadap segala bentuk kemungkinan terjadinya bencana. Keterbatasan materi pelatihan dan
keterbatasan pengetahuan yang dimiliki guru merupakan kendala utama dalam pelaksanaan
pelatihan ini. Kegiatan memaku/mengikat rak-rak buku ke dinding atau lantai juga dilakukan
Table 4.1.4.5.
Pendapatan Responden Tentang Tindakan-Tindakan Yang Akan Dilakukan
Seandainya Terjadi Tsunami Pada Waktu Sedang Mengajar (Persentase Menjawab Ya)
Sebagai tenaga pengajar guru memiliki tugas ganda pada waktu terjadi bencana sementara mereka
berada di sekolah yaitu terhadap keselamatan diri sendiri dan siswa. Hal utama yang akan dilakukan
sebagian besar guru (92,9 persen) jika terjadi gempa bumi adalah menenangkan diri dan siswa.
Keadaan tenang ini dibutuhkan karena mereka dapat berfikir jernih dan melakukan tindakan
yang benar. Sebaliknya kondisi yang tidak tenang/ panik dapat berdampak pada tindakan yang
salah dan membahayakan jiwa mereka. Salah satu kasus di Bantul Yogyakarta baru-baru ini juga
mencatat salah seorang yang tidak tenang pada waktu terjadi bencana, akhirnya meloncat ke
bawah dari lantai dua dan nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi. Mereka yang dapat tenang/
tidak panik dan tetap berada di lantai dua justru dapat selamat dari gempa.
Tindakan lainnya adalah memandu siswa untuk menjauh dari rak-rak buku/barang dan benda-
benda yang tergantung atau jendela kaca. Tindakan ini sangat perlu mengingat benda-benda
tersebut sangat rentan jatuh ataupun pecah jika terjadi bencana dan berpotensi menimbulkan
luka pada siswa. Selain itu sebesar 92,9 persen guru juga akan memandu siswa keluar ruangan/
gedung secara teratur dan tidak berdesak-desakan. Hanya dengan pikiran yang tenang semua ini
dapat terjadi dengan lancar. Berbeda halnya jika pada siswa dan guru panik, kemungkinan tabrakan
antar teman dapat terjadi yang berakibat pada meningkatnya korban. Sebagai orang yang berfungsi
untuk mendidik dan membimbing siswa tidak sepantasnya jika guru berlari menyelamatkan diri
sendiri sementara siswa masih di dalam ruangan. Alternatif jawaban ini memang masih dipilih oleh
Siswa
Setelah diketahui pemahaman siswa tentang bencana, penting artinya untuk mengetahui tentang
rencana tindakan siswa untuk penyelamatan diri, barang-barang penting yang perlu diselamatkan
serta peran sekolah dalam menyiapkan materi yang diperlukan. Untuk mengetahui tindakan yang
dilakukan siswa untuk penyelamatan diri, siswa ditanya tentang ’apa saja yang perlu kamu siapkan
agar selamat dari bencana gempa dan tsunami”? dari beberapa alternatif jawaban yang tersedia,
nampaknya mayoritas siswa (di atas 80%) cenderung memilih 2 jawaban yaitu tindakan
’mengetahui tempat yang aman’ (85%) dan ’mengikuti latihan penyelamatan diri’. Menonjolnya
kedua tindakan ini juga konsisten untuk kedua lokasi kajian dan pada semua tingkat sekolah dari
SD hingga SMP/SMA. Meskipun mereka tidak mengetahui tentang bahaya tsunami, namun
berdasarkan pengalaman mereka mengetahui kebanyakan yang sekarang selamat dari bencana,
adalah mereka yang sempat lari ke tempat aman yaitu daerah perbukitan. Secara alami mereka
mengikuti orang tua atau guru untuk menyelamatkan diri dari kejaran gelombang tsunami.
Sedangkan untuk proporsi terendah adalah siswa dengan jawaban tindakan ’mencatat alamat
dan nomor telpon penting’ (50%). Meski demikian proporsi siswa SD yang akan melakukan
tindakan ini cukup menonjol dibandingkan siswa di SMP/SMA (masing-masing sekitar 79 dan
30%). Mungkin siswa SD dibayangi kekuatiran mereka tidak dapat ketemu keluarganya, apabila
tidak tahu alamat dan nomor telpon penting. Namun siswa yang lebih tinggi tingkat sekolah,
justru menganggap tindakan tersebut kurang penting karena bencana menghabiskan semuanya,
termasuk semua dokumen. Belajar dari pengalaman, mass media banyak memaparkan gambar
anak-anak hilang ketika bencana tsunami terjadi akibat terpisahnya mereka dengan sanak keluarga.
Perbedaan tindakan siswa antar lokasi kajian tidak terlalu menonjol, namun pola yang konsisten 179
terdapat pada siswa menurut tingkat sekolah, yaitu siswa tingkat SD cenderung menunjukkan
lebih banyak melakukan tindakan yang positif dibandingkan siswa di tingkat SMP/SMA, yaitu
rata-rata persentasenya siswa SD pada setiap tindakan lebih tinggi dari siswa di tingkat sekolah
SMP/SMA (Lampiran tabel 4.1.4.9).
Diagram 4.1.4.10
Barang yang Diselamatkan bila Terjadi Bencana
Menurut Tingkat Sekolah
Tindakan siswa untuk rencana tanggap darurat juga dipengaruhi oleh kesiapan sekolah dalam
menyediakan bahan /materi yang berkaitan dengan bencana. Makin banyak siswa tahu sekolah
menyediakan bahan-bahan yang dapat meningkatkan pengetahuan siswa tentang gempa dan
tsunami baik berupa buku, poster, buku saku, leaflet maupun berupa VCD/kaset, makin
meningkatkan kesiapsiagaan mereka dalam mengantisipasi bencana. Ketika ditanyakan kepada
siswa tentang bahan-bahan yang dapat diperoleh di sekolah, mayoritas siswa SD (rata-rata di
atas 80%) menyatakan dapat memperoleh bahan-bahan tersebut di sekolah, sementara siswa
SMP/SMA rata-rata lebih kecil proporsinya (rata-rata di bawah 50%). Proporsi terbesar siswa
menyatakan dapat memperoleh buku-buku tentang gempa dan tsunami di sekolah (sekitar 74%),
sedangkan proporsi terkecil untuk bahan seperti poster, leaflet dan sebagainya (50%) (Diagram
4.1.4.11). Namun dari wawancara mendalam dengan informan di sekolah (kepala sekolah dan
guru), hampir semua bahan tersebut tidak dapat diperoleh di sekolah-sekolah darurat sekarang,
kecuali buku tentang tsunami yang dikeluarkan oleh Cormap LIPI yang pernah mereka terima
dari sebuah NGO lokal dan pada saat asesmen dibagikan cuma-cuma untuk tiap siswa yang
mengisi kuesioner dan untuk sekolah. Mungkin jawaban siswa tentang keberadaan materi tersebut
merupakan keinginan siswa untuk sekolah dapat menyediakan, atau karena tidak begitu memahami
maksud pertanyaan. Seorang informan di sekolah pernah menyatakan sebelum pindah ke sekolah
darurat sekarang, pernah memiliki poster, leaflet dan buku saku tentang bencana yang diterima
dari beberapa NGO, namun semua materi tersebut tidak terbawa ke sekolah sekarang (baru 3
bulan pindah dari pengungsian lama). Sebagai sekolah yang sifatnya sementara, belum memiliki
materi-materi yang diperlukan untuk tindakan tanggap darurat, namun sebagian besar siswa
menyatakan dapat memperoleh di sekolah. Dalam menilai tingkat kesiapsiagaan sekolah, beberapa
pertanyaan semacam ini perlu disikapi secara hati-hati, sehingga penilaian indeks untuk tiap
stakeholder mendekati keadaan obyektif. Masalahnya adalah apakah siswa SD yang mempunyai
persentase tinggi untuk jawaban pertanyaan ini berarti lebih siap dari siswa SMP/SMA yang
persentasenya lebih kecil tapi sesuai dengan realitas sekolahnya?.
Keadaan yang sama juga diberikan oleh siswa untuk pertanyaan apakah pernah mengetahui
keberadaan barang-barang di sekolah seperti peta evakuasi, peralatan untuk penyelamatan diri,
kotak P3K, posko kesehatansekolah dan Palang Merah Remaja (PMR). Meskipun untuk semua
jawaban persentasenya kecil (di bawah 50%), bahkan untuk kotak P3K, namun lebih dari separuh
siswa SD memberi jawaban pernah mengetahui. Sedangkan dari wawancara mendalam dengan
pihak sekolah, selain kotak P3K di beberapa sekolah, tidak pernah sekolah di pengungsian
menyediakannya.
materi yang dpt diperoleh di sekolah menurut tkt
sekolah
100
4.1.4.4. Sistem Peringatan
90 181
80
70 Di negara maju seperti Jepang yang rawan bencana gempa, sistem peringatan bencana menjadi
60
50
andalan untuk secara cepat mengevakuasi SD warganya, setiap bahaya gempa mengancam
40 masyarakat. Namun di IndonesiaSMP/SMA yang juga rawan bencana gempa dan tsunami, belum pernah
30
20 memiliki sistem peringatan bencana baik nasional maupun lokal. Salah satu sebab timbulnya
10
0 banyak korban jiwa di Aceh karena baik pemerintah daerah maupun masyarakat tidak memiliki
buku ttg sistem
poster,peringatan
leaflet dll yang
vcd, kasetdapat
ttg mengurangi resiko bencana tersebut. Bahkan peringatan yang
gempa/tsunami bencana
diberikan alam seperti gempa besar yang mendahului tsunami, gelombang tinggi di tengah laut
dan surutnya air laut secara tiba-tiba banyak diabaikan masyarakat, karena keterbatasan
pengetahuan mereka tentang bencana tsunami. Sistem peringatan bencana juga diperlukan bagi
masyarakat sekolah untuk mengantisipasi terjadinya bencana, terutama ketika mereka sedang
berada di sekolah.
Sekolah
Untuk sistem peringatan bencana di sekolah didasarkan pada hasil pengisian kuesioner
kesiapsiagaan sekolah yang diisi oleh Kepala Sekolah masing-masing. Pertanyaan diajukan untuk
Terbatasnya fasilitas komunikasi dan akses memperoleh informasi di Pulo Aceh pada umumnya,
menyulitkan masyarakat dalam menyiapkan sistem peringatan bencana, meskipun masyarakat
sangat memerlukannya. Dalam beberapa diskusi kelompok dan wawancara mendalam dengan
para tokoh masyarakat, mereka sangat mendambakan adanya akses dan fasilitas sistem peringatan
yang dapat mengurangi resiko bencana. Terjadinya banyak korban jiwa di Desa Gugop (Pulo
Aceh), lebih disebabkan tidak diperolehnya peringatan apapun sebelumnya, sampai gelomban
tsunami di depan mata. Padahal desa ini memilki tanah perbukitan yang landai di dekat permukiman
yang mudah dicapai masyarakat, seandainya mereka memperoleh peringatan bencana sebelumnya.
Guru
Peringatan bencana merupakan bagian penting dari kesiapsiagaan komunitas sekolah dalam
mengantisipasi datangnya tsunami. Tanda yang diberikan dari sistem peringatan akan disampaikan
kepada masyarakat sekolah baik langsung maupun tidak langsung, kemudian komunitas sekolah
dapat menindaklanjuti peringatan tersebut. Sistem peringatan yang efektif sangat bermanfaat
bagi komunitas sekolah untuk menghindarkan diri dari bahaya yang mungkin terjadi. Berkaitan
dengan warning sistem ini sebagian guru (57,1 persen) menyatakan bahwa mereka telah mengetahui
adanya system peringatan akan terjadinya tsunami di daerahnya. Sistem peringatan yang diketahui
ini memang bukan sistem yang secara formal diadakan oleh pemerintah ataupun secara informal
oleh masyarakat sekitar, tetapi lebih ke tanda-tanda alam jika akan terjadi tsunami. Guru
berpendapat bahwa sebelum tsunami sebenarnya telah terdapat tanda-tanda alam yang dapat
menjadi sistem peringatan yang efekive bagi masyarakat. Untuk itu pengenalan tanda-tanda alam
perlu dilakukan, sehingga masyarakat sekolah dan lainnya dapat segera menyelamatkan diri jika
bencana ini akan terjadi.
Sama halnya dengan masyarakat umum, komunitas sekolah pada dasarnya juga menginginkan
sistem peringatan formal yang diadakan pemerintah. Selama ini sekolah menggunakan bunyi
lonceng untuk memberitahukan jam-jam penting bagi siswa yang mungkin dapat dikembangkan
untuk tanda bahaya. Jika saja tsunami tahun 2004 terjadi sementara kegiatan belajar mengajar
sedang berjalan, para guru juga memprediksi korban di sekolah yang dekat dengan pantai pasti
lebih besar, sebab tidak ada sistem peringatan yang memberitahukan akan terjadinya bencana
tsunami kepada komunitas sekolah maupun masyarakat umum. Berkaitan dengan sistem peringatan
dini ini sebagian guru berpendapat bahwa sistem peringatan alami (tanda-tanda alam) memang
Tidak terbukti cukup efektive untuk menyelamatkan siswa khususnya SD Ulee Paya. Efektivitas ini
43%
dapat dilihat dari seorang nelayan yang dapat menyelamatkan siswa-siswa SD Ulee Paya setelah 183
ia dapat membaca tanda akan terjadinya tsunami. Setelah melihat tanda akan terjadi gelombang
besar seorang nelayan dengan cepat memberitahukan kepada para siswa dan guru untuk segera
ke bukit, sehingga semua siswa yang ada di sekolah tersebut selamat. Untuk itu perlu ada kombinasi
antara sistem peringatan formal dengan peringatan alam sehingga lebih efektive untuk
menyelamatkan seluruh komponen Ya masyarakat termasuk komunitas sekolah.
57%
Tanda/peringatan yang disampaikan kepada komunitas sekolah perlu direspon secara benar,
sehingga dapat berfungsi optimal. Berkaitan dengan respon guru terhadap tanda bahaya tsunami,
dalam assessment ini ditanyakan apa saja yang akan dilakukan guru seandainya mendengar
peringatan atau tanda bahaya tsunami. Keseluruhan guru (100 persen) mengatakan bahwa mereka
akan menenangkan diri/tidak panik, memandu siswa lari ke empat yang tinggi, memandu siswa
ke tempat pengungsian, dan membantu anak-anak,ibu hamil, orang tua dan orang cacat keluar
rumah menuju ke tempat aman sementara. Pada waktu ditanyakan apakah tempat tinggi tersebut
telah disiapkan beberapa guru ada yang mengatakan sudah, tetapi sebagian juga menjawab
belum. Guru yang belum menyiapkan tempat yang tinggi tersebut berpendapat tempat tinggi
untuk evakuasi memang diperlukan, tetapi setinggi apa tempat tersebut sehingga aman dari tsunami
Penyelamatan dokumen penting juga perlu dilakukan, sehingga terdapat 85,7 persen guru yang
akan melakukannya. Dokumen penting untuk guru dapat berupa buku mata pelajaran yang
diajarkan, catatan-catatan penting, dan sebagainya. Jika ingin lebih praktis sebenarnya dokumen-
dokumen tersebut dapat disiapkan sedini mungkin dalam bentuk tas siaga bencana. Hal yang
tidak akan dilakukan oleh sebagian besar guru adalah segera pulang ke rumah pada waktu
mendengar tanda/peringatan akan terjadinya tsunami. Kondisi ini dapat dimengerti mengingat
guru mempunyai tugas untuk menyelamatkan anak-anak sekolah jika suatu saat terjadi tsunami.
Siswa
Kesiapsiagaan siswa dalam sistem peringatan bencana terutama berdasarkan hasil survei terhadap
siswa di lima sekolah tersebut. Untuk pertanyaan tentang pengetahuan siswa akan sistem peringatan
bencana di daerahnya, lebih dari separuh siswa menyatakan tidak mengetahui sistem peringatan
tersebut (sekitar 59%), dan semakin kecil proporsinya untuk siswa di tingkat SD (sekitar 39%).
Sedangkan untuk kedua lokasi kajian, hampir tidak ada perbedaaan yang mencolok. Hal ini
wajar karena mungkin di daerahnya tidak pernah tersedia sistem peringatan bencana, meskipun
bencana besar pernah terjadi di daerahnya. Meskipun dari wawancara mendalam terungkap
bahwa wacana tentang sistem peringatan sering dibicarakan, tapi untuk merealisasikannya
memerlukan kesepakatan formal dari masyarakat tentang macam bunyi peringatan, alat yang
dipakai untuk menyebarluaskan informasi. Bahkan ide untuk peringatan bencana dilontarkan
oleh tokoh masyarakat di Pulo Aceh untuk membuat sistem peringatan yang aman dari bencana
misalnya peralatan ditempatkan di ketinggian, sehingga tidak mudah rusak.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang kesiapsiagaan mengantisipasi bencana tsunami, khususnya
dari aspek sistem peringatan bencana, ditanyakan tentang tindakan atau respon para siswa apabila
mendengar tanda bahaya tsunami. Mayoritas siswa merespon dengan baik tanda bahaya dengan
melakukan tindakan-tindakan positif seperti ’menjauhi pantai dan lari ke tempat ketinggian’ (87
%), ’menenangkan diri’ dan ’bergegas menuju tempat evakuasi’ (di atas 70%). Pola ini konsisten
untuk kedua lokasi dan semua tingkat sekolah. Proporsi terkecil yaitu tindakan ’membawa tas
siaga bencana’, terutama untuk siswa di Leupung dan siswa tingkat sekolah SMP/SMA, karena
dianggap bukan prioritas utama dalam mengambil tindakan yang diperlukan, dan lebih
mengedepankan tindakan lainnya terutama secepat mungkin lari untuk menyelamatkan diri
(Lampiran tabel 4.1.4.10).
Dalam mengantisipasi bencana, komunitas sekolah juga perlu mengetahui sumberdaya yang dimiliki
baik oleh sekolah sebagai lembaga maupun sumberdaya manusia sebagai pendukung kegiatan
Sekolah
Khusus untuk kegiatan pelatihan untuk kesiapsiagaan mengantisipasi bencana berbasis masyarakat
dan simulasi evakuasi pernah diadakan di Pulo Aceh, dimana sekolah –sekolah di Ulee Paya
pernah mengirimkan wakilnya yaitu 3 orang guru SD. Pelatihan diselenggarakan oleh BRR
bekerjasama dengan Cormap LIPI dengan mengikut sertakan perwakilan 10 desa di Kecamatan 185
Pulo Aceh. Sekolah lainnya yaitu SMP pernah mengikut sertakan wakilnya untuk mengikuti
pelatihan tentang pengetahuan bencana yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Aceh Besar.
Meskipun belum ada kurikulum khusus, namun sebagian sekolah mengaku memberikan materi
tentang bencana dalam mata pelajaran yang relevan, seperti geografi, agama dan muatan lokal.
Untuk menyediakan kurikulum khusus, semua sekolah merasakan kesulitan, karena terikat
peraturan dari instansi terkait, namun pada umumnya siap melaksanakan kurikulum tersebut,
apabila ada kebijakan yang mendukungnya. Sekolah juga belum pernah menerima bantuan dana
untuk pelatihan, kecuali adanya sumbangan berupa materi pelatihan yang pernah diperoleh dan
buku tentang bencana tsunami dari Cormap-LIPI. Materi berupa leaflet, poster beebrapa sekolah
pernah menerimanya di lokasi pengungsian sebelumnya, namun kini tidak ada lagi. Keterbatasan
dana dan SDM yang mampu untuk melakukan pelatihan evakuasi/simulasi menyebabkan sampai
sekarang sekolah belum pernah melakukannya, meskipun beberapa sekolah beranggapan sangat
penting untuk dilakukan.
Guru
Mobilisasi sumberdaya bagi guru dalam assessment ini diukur dari program pelatihan
(pengembangan sumber daya) yang pernah diikuti dan penyampaian materi yang didapat tersebut
kepada siswa. Dari alternatif jawaban yang disediakan terdapat 42,9 persen yang telah mengikuti
pelatihan, workshop, dan seminar tentang kesiapsiagaan terhadap bencana. Program pelatihan
pengetahuan tentang bencana, perencanaan tanggap darurat, dan sistem peringatan dini tersebut
dilakukan dalam satu paket sehingga peserta pelatihan akan mendapat semua materi tersebut
(Lampiran tabel 4.1.4.11). Salah satu pelatihan yang telah diikuti adalah psikologi bencana
yang dilakukan oleh dinas sosial, seminar sehari bencana alam yang diselenggarakan oleh dinas
sosial bekerja sama dengan NGO. Mobilisasi guru sendiri menghadapi kendala mengingat saat
ini masih banyak guru yang trauma dengan kejadian tsunami tahun 2004 yang lalu. Selain banyak
guru yang meninggal dunia terkena tsunami, banyak diantara mereka yang kehilangan anggota
keluarga. Oleh sebab itu program pemulihan psikologis guru sebenarnya juga diperlukan. Banyak
diantara guru yang saat ini harus tinggal di barak pengungsian, sehingga belum bisa memberikan
pendidikan yang optimal bagi siswa.
Pada waktu ditanyakan apakah mereka telah menyampaikan materi yang mereka dapat tersebut
kepada siswa, seluruh responden mengatakan bahwa mereka telah menyampaikannya.
Penyampaian materi dilakukan pada waktu mengajar mata pelajaran yang diajarkan ataupun
jika guru yang bertugas mengajar tidak hadir. Selain memberikan transfer pengetahuan kepada
para siswa, mereka juga memberikan kepada guru lain yang belum mengikuti program tersebut.
Siswa
Mobilisasi sumberdaya di kalangan siswa dari kelima sekolah berdasarkan pada dua pertanyaan
dalam kuesioner survei, yaitu tentang pengalaman siswa dalam mengikuti kegiatan pelatihan atau
pertemuan tentang kesiapsiagaan, dan pengalaman siswa dalam menyebarluaskan pengalaman
atau ilmu pengetahuan yang pernah diperolehnya. Beberapa kegiatan yang ditanyakan meliputi
Pelatihan P3K (termasuk dokter kecil da PMR), kepramukaan dan simulasi evakuasi dan
keikutsertaan siswa dalam pertemuan/ceramah tentang bencana. Secara umum partisispasi siswa
dalam kegiatan-kegiatan tersebut rendah (kurang dari separuh), kecuali kegiatan pertemuan/
Pertanyaan yang lebih rinci untuk siswa yang pernah mengikuti kegiatan di atas (Tabel 4.1.4.6)
adalah apakah siswa melakukan kegiatan penyebaran informasi tentang pengetahuan dan
ketrampilan yang pernah diterimanya. Menarik untuk melihat kecenderungan bahwa mayoritas
siswa melakukannya (lebih dari 70%). Persentase ini lebih tinggi untuk siswa tingkat SD (sekitar
82%) dibandingkan tingkat sekolah yang lebih tinggi (SMP/SMA) yaitu hanya sekitar 68% dan
lebih tinggi untukn siswa di Pulo Aceh daripada di Leupung. Hal ini menarik karena justru yang
banyak berparisipasi ikut kegiatan pertemuan/ceramah justru siswa di SMP/SMA di Leupung.
Mungkin siswa yang lebih tinggi tingkat sekolahnya lebih sibuk untuk kegiatan sekolah, sehingga
kurang mempunyai kesempatan dalam penyebarluasan informasi ke masyarakat luas (Lampiran
tabel 4.1.4.12).
Tabel 4.1.4.6
Distribusi Responden menurut Kegiatan Yang Pernah Diikuti
Lokasi Kajian dan Tingkat Sekolah (%jawaban ‘Ya’)
Kegiatan Responden Kecamatan (%) Total Tingkat Sekolah (%)
P. Aceh Leupung SD SMP/SMA
a. P3K termasuk dokter kecil, PMR 40.9 33.3 37.0 26.3 44.4
b. Kepramukaan (tali temali, pasang
tenda dan membuat tandu) 27.3 29.2 28.3 31.6 25.9 187
c. Latihan dan simulasi evakuasi
d. Pertemuan /ceramah tentang 31.8 29.2 30.4 42.1 22.2
bencana 45.5 75.0 60.9 57.9 63.0
Jumlah Responden 22 24 46 19 27
Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah merupakan angka komulatif dari angka indeks masing-
masing parameter pada setiap unsur dari komunitas tersebut, sehingga dapat diketahui angka
indeks total untuk kesiapsiagaan sekolah (S1), guru (S2) dan siswa (S3). Berdasarkan hasil
Berdasarkan tabel indeks tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa angka indeks untuk komunitas
sekolah secara keseluruhan hanya mencapai 50 atau dalam kondisi Kurang Siap untuk
mengantisipasi bencana. Nilai total angka indeks tertinggi yang mendukung nilai total adalah
angka indeks parameter KAP (68) dan nilai indeks terendah adalah parameter RMC. Sedangkan
unsur komunitas sekolah yang paling berpengaruh atas rendahnya tingkat kesiapsiagaan komunitas
sekolah adalah S1-Sekolah yang hanya mempunyai angka indeks 17 atau sekolah dalam kondisi
belum siap dalam mengantisipasi bencana terutama gempa dan tsunami.
Angka indeks S1-sekolah yang menunjukkan kondisi belum siap ini konsisiten pada semua
parameter pendukungnya yaitu semua parameter hanya mempunyai angka indeks kurang dari 40
(belum siap). Indeks parameter terendah untuk sekolah terdapat pada indeks PS yaitu kebijakan
dan arahan , yang memang semua sekolah tidak memiliki kebijakan untuk kesiapsiagaan
mengantisipasi bencana. Sekolah sebagai lembaga yang tidak otonom dan terikat dengan kebijakan
instansi terkait (Dik Bud), tidak bisa berbuat banyak terkait kebijakan sekolah, meskipun sekolah
mempunyai kewenangan dalam sistem belajar mengajar, sepanjang tidak merubah kurikulum
yang sudah ditentukan. Kebijakan sekolah menambah pelajaran terkait dengan kesiapsiagaan
bencana memang dimungkinkan sepanjang menempel pada mata pelajaran yang relevan, sehingga
beberapa sekolah dapat menambah pengetahuan tentang bencana dalam mata pelajaran terkait
seperti Geografi, Muatan Lokal dan pelajaran Agama. Fokus semua sekolah yang masih
menempati bangunan sekolah sementara di lokasi pengungsian, adalah memulihkan kondisi belajar
dan mengajar agar cepat normal. Diantara parameter pendukung angka indeks S1, nilai indeks
tertinggi adalah Indeks WS (sistem peringatan) yaitu 27, meskipun masih dalam kategori belum
siap untuk sistem peringatan mengantisipasi bencana. Nilai yang relative tinggi untuk indeks WS
adalah kesiapan sebagian besar sekolah untuk merespon sistem peringatan apabila tersedia
peralatannya.
Sebaliknya dari angka indeks S1- Sekolah, untuk kedua unsur komunitas lainnya mempunyai
angka indeks yang relative tinggi yaitu 67 untuk S2-Guru dan 69 untuk S3- Siswa, atau kedua
unsur komunitas sekolah ini dapat dikategorikan dalam kondisi Siap untuk mengantisipasi bencana.
Parameter tertinggi yang menjadi pendudukung kondisi siap kedua unsur komunitas sekolah ini
adalah indeks parameter KAP (pengetahuan dan sikap) untuk kelompok S3- Siswa (72) dan
indeks parameter EP (rencana tanggap darurat) untuk kelompok S2- Guru (76). Angka indeks
KAP yang menonjol pada kelompok siswa, merupakan satu-satunya parameter yang mendukung
lebih tingginya angka indeks komunitas siswa dibandingkan guru, karena angka indeks pada
parameter lainnya, kelompok siswa lebih rendah dari komunitas guru. Proporsi pertanyaan KAP
yang jauh lebih besar, sistem memilih jawaban dengan check point, dan beberapa pertanyaan
yang cenderung memberi nilai plus untuk jawaban ‘Ya’, kadang-kadang meragukan apabila dalam
realitasnya nilai plus harusnya diberikan pada yang menjawab ‘tidak’ (lihat analisa pada subbab
4.1.4.3 untuk rencana tanggap darurat bagi kelompok siswa). Sementara pada kelompok guru
Tabel 4.1.4.7.
Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat Sekolah Menurut
Komponen komunitas Sekolah dan Parameters
Angka indeks terendah untuk kedua komunitas sekolah ini sama yaitu untuk parameter mobilisasi
sumber daya (RMC), meskipun untuk kelompok siswa jauh lebih rendah dari guru. Hal ini wajar
karena hampir tidak ada tindakan siswa yang dapat menjadi pendukung parameter ini kecuali
keikut sertaan siswa (khususnya tingkat SMP/SMA) dalam pertemuan /ceramah, serta
kecenderungan siswa dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan atau ketrampilan yang pernah
diperoleh sebelumnya. Sementara kegiatan guru dalam mobilisasi sumber daya terutama dalam
berbagai latihan di beberapa sekolah cukup menentukan nilai indek spada parameter tersebut.
Namun rendahnya angka indeks untuk parameter mobilisasi sumber daya bagi semua komunitas
sekolah sangat dimaklumi untuk kondisi Aceh saat ini, terutama untuk lokasi Pulo Aceh yang 189
relative terisolir dan cenderung kurang mendapat perhatian. Boleh dikatakan kondisi Aceh belum
normal untuk kehidupan dasar masyarakat baik dalam bidang perumahan, pendidikan maupun
kesehatan penduduk.
Apabila dilihat lebih rinci untuk angka indeks siswa pada setiap tingkatan sekolah dan lokasi
kajian, maka dapat disimpulkan tidak ada perbedaan angka indeks komunitas siswa untuk kedua
lokasi leupung dan Pulo Aceh yaitu 67, namun angka indeks cukup bervariasi untuk tingkatan
sekolah SD, SMP dan SMA. Nilai indeks tertinggi siswa terdapat pada sekolah SD yang jauh
mengalahkan tingkat sekolah SMP (60) dan SMA (68). Untuk tingkat sekolah SMP dan SMA,
nilai indeks parameter yang mendukung hanya tertentu seperti KAP, sedangkan untuk tingkat
SD selain KAP juga terdapat parameter lain yang menonjol yaitu rencana tanggap darurat (77)
(Tabel 4.1.4.8).. Untuk parameter tersebut penilaian beberapa jawaban pertanyaan agak
meragukan kebenarannya. Rendahnya angka indeks parameter mobilisasi sumber daya, konsisten
untuk semua lokasi dan tingkat sekolah. Nilai indeks yang agak menonjol untuk parameter ini
Tabel 4.1.4.8.
Nilai Indeks Siswa Menurut Lokasi Kajian dan Tingkat Sekolah
Kecamatan Tingkat Sekolah
Parameter Total
Pulo Aceh Leupung SD SMP SMA
KAP 71 73 78 63 88 72
EP 67 58 77 53 43 62
WS 60 60 61 61 50 60
RMC 40 56 46 58 13 48
Indeks siswa 67 67 74 60 68 67
Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat mengantisipasi bencana , LIPI-UNESCO/ISDR, 2006
Di dalam kelembagaan tingkat desa di kedua lokasi penelitian, tidak terdapat secara khusus
organisasi, maupun stakeholders yang terintegrasi dalam badan masyarakat itu sendiri, misalnya
staf kepala desa, petugas kesehatan dan sebagainya yang bekerja dalam kesiapsiagaan masyarakat
dalam mengantisipasi bencana. Pasca tsunami 2004, ada sejumlah organisasi lokal, nasional
maupun internasional yang membantu masyarakat desa dalam upaya pemulihan serta rekonstruksi.
Bantuan berupa dukungan fasilitas pendidikan, dukungan psikososial atau pembangunan fisik
dan sarana kritis (jalan, sumber air bersih, sumber energi listrik solar sel dan sebagainya). Pada
umumnya masyarakat mengetahui kehadiran lembaga – lembaga yang memberikan bantuan ini.
Namun banyak juga keluhan yang keluar dari masyarakat mengenai ketidakjelasan program,
manfaat yang belum dirasakan oleh masyarakat, hingga pekerjaan yang belum rampung
diselesaikan. Ini membuat masyarakat memandang kebanyakan NGO (non-government
organizations) tidak memenuhi janjinya. Tindak lanjut kegiatan yang dijanjikan beberapa NGO
juga dirasa lambat. Di lain pihak, kehadiran berbagai NGO juga membantu masyarakat untuk
dapat membangun dengan tatanan yang lebih terarah, karena dapat bertukar pikiran.
Sejumlah NGO yang ditemui tim peneliti adalah British Red Cross, Palang Merah Indonesia,
AIPRD-AusAID serta International Federation Red Cross, yang programnya juga ada di Pulo
Aceh. Di Leupung, tidak banyak ditemui NGO yang bekerja dan bertinggal dengan masyarakat.
Kebanyakan dari NGO tersebut bertitik berat pada aktivitas rekonstruksi (pembangunan rumah
dan fasilitas fisik desa lainnya), seperti World Vision dan Oxfam GB. Masyarakat desa setempat
di Leupung, termasuk juga penduduk Blangbintang yang berada di luar kecamatan sepakat bahwa
kecamatan Leupung termasuk diantara wilayah yang minim perhatian dan tindak lanjut untuk
program rehabilitasi dan rekonstruksi, apalagi pendidikan kesiapsiagaan bencana, baik dari
pemerintah, donor maupun NGO.
Dalam membangun pengetahuan dan sikap masyarakat, beberapa NGO memiliki peran yang
cukup besar untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di tingkat desa dan sekolah. International
Federation Red Cross & Red Crescent (IFRC), yang berkantor di Banda Aceh, memiliki aktivitas
utama yaitu ICBRR (Integrated Community Based Risk Reduction, dengan sasaran 64 desa di
wilayah Aceh dan Nias yang terkena dampak tsunami (Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh
Jaya, Sabang, Nias, Simeulue, dan Aceh Besar). ICBRR menjadi kebijakan pelaksanaan program
dari setiap palang merah di Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia yang memiliki
organisasi palang merah di bawah naungan IFRC. Tidak hanya di Aceh dan Nias yang terkena
dampak terbesar akibat tsunami 2004, namun dimanapun palang merah melakukan aktivitas,
dikaitkan dengan upaya ICBRR. Khusus untuk Aceh, program rehabilitasi dan rekonstruksi pun
diintegrasikan dengan ICBRR, namun masih dalam tahap yang sangat awal. Baik IFRC, mapun
palang merah nasional lainnya (French Red Cross, British Red Cross, Japan Red Cross, Danish
Red Cross, dan lainnya) memiliki program masing-masing. Tim peneliti menemui staf pengelolaan
bencana (DM staffs atau DM Delegates) dari IFRC dan British Red Cross yang telah melakukan
aktivitas-aktivitas pendidikan berkaitan dengan pengurangan resiko bencana di Pulo Aceh dan
Leupung. BRC bekerjasama dengan LIPI telah memberikan pelatihan kesiapsiagaan bencana
kepada masyarakat Pulo Aceh, pada pertengahan 2005. Sedangkan Leupung masih dalam
tahap rencana intervensi. Namun demikian IFRC telah juga menyebarluaskan materi pendidikan 191
serta produk-produk pengetahuan kesiapsiagaan bencana LIPI, yang digandakan IFRC dan
disebarluaskan di seluruh daerah lokasi binaan ICBRR, termasuk juga ke sekolah-sekolah di
Leupung. BRC bersama dengan relawan PMI Aceh Besar juga telah melakukan sosialisasi awal
mengenai pengelolaan bencana kepada beberapa desa di Pulo Aceh, setelah pelatihan di lakukan
bagi masyarakat desa tersebut.
BRC yang juga menyempatkan diri untuk mengikuti sebagian kecil dari proses FGD di Desa
Gugop (Pulo Aceh), langsung menangkap kebutuhan-kebutuhan di bidang pengetahuan bagi
desa untuk meningkatkan kesiapsiagaannya. BRC kemudian membuat perencanaan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut, sejalan dengan proses pembangunan rumah penduduk tahan gempa,
serta jalur evakuasi masing-masing desa.
IFRC dan palang merah internasional maupun palang merah Indonesia memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang baik dalam pengelolaan bencana. Organisasi-organisasi tersebut juga
memahami kerentanan desa serta kebutuhan desa dari segi pengetahuan dan pendidikan, oleh
karenanya mendukung atau paling tidak merencanakan dukungan pengetahuan dan pendidikan
di Leupung dan Pulo Aceh, juga lokasi binaan lainnya. German Red Cross, selain fokus pada
Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh termasuk daerah sasaran aktivitas ICBRR yang baru dimulai
di tahap Community Planning Process atau proses perencanaan pengurangan resiko bencana
tingkat masyarakat desa. Organisasi-organisasi yang beraktivitas mendukung secara tidak
langsung maupun langsung dalam emergency planning desa di Leupung dan Pulo Aceh antara lain
Japan Red Cross (penghijauan pantai), dan British Red Cross. Lebih lanjut IFRC juga
menyampaikan bahwa lingkup perhatian palang merah terhadap upaya pengurangan resiko bencana
mencakup program sekolah, pelatihan, penyadaran masyarakat, aspek ekonomi/mata pencaharian
alternatif, buffer stock, shelter serta pembangunan radio masyarakat/community radio. Di bidang
kebijakan, organisasi AIPRD-AusAID memiliki program mendukung peningkatan kapasitas
kecamatan dan perencanaan desa berbasis masyarakat. Namun diungkapkan bahwa organisasi
ini belum atau tidak memberikan perhatian khusus terhadap upaya mengurangi resiko bencana
maupun dukungan terhadap kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana.
Pada saat tim peneliti berada di Pulo Aceh, sedang dilakukan workshop spatial planning dengan
perwakilan tokoh masyarakat, serta sekitar 6 NGO lokal dan internasional yang membantu
proses pemulihan dan rekonstruksi di Pulo Aceh. Namun, diketahui bahwa dalam workshop
tersebut, bahwa perencanaan desa tidak mempertimbangkan aspek kesiapsiagaan bencana.
French Red Cross, serta IFRC memiliki program khusus untuk sistem peringatan dini atau early
warning system. Namun program ini dititikberatkan pada pembangunan kapasitas staf PMI
Aceh Besar serta kabupaten lainnya. Program tersebut juga lebih dititik beratkan pada penyediaan
alat-alat komunikasi untuk mendiseminasi peringatan bahaya. IFRC menyampaikan bahwa
aktivitas program diantaranya adalah membuat kajian kebutuhan peralatan, serta memonitor
peralatan apa saja yang sudah disiapkan di masing-masing kantor cabang PMI. SOP serta
mekanisme dari PMI menuju masyarakat sedang dalam tahap pengembangan. Tidak ada bentuk
program khusus bagi masyarakat untuk membangun sistem peringatan tingkat desa.
Kapasitas masyarakat desa di kedua lokasi sangat terbatas, terlebih pasca tsunami 2004. Untuk
menghimpun sumberdaya dan mengukur tingkat mobilisasi, sangat memerlukan bantuan dan
Dalam membangun pengetahuan dan sikap masyarakat, beberapa NGO memiliki potensi peran
yang cukup besar untuk memfasilitasi kebutuhan pendidikan di tingkat desa dan sekolah di Aceh.
International Federation Red Cross & Red Crescent (IFRC), yang berkantor di Banda Aceh,
memiliki ICBRR (Integrated Community Based Risk Reduction), dengan sasaran 64 desa di
wilayah Aceh dan Nias yang terkena dampak tsunami. Di bidang kebijakan, organisasi AIPRD-
AusAID memiliki program mendukung peningkatan kapasitas kecamatan dan perencanaan desa
berbasis masyarakat. Namun diungkapkan bahwa organisasi ini belum atau tidak memberikan
perhatian khusus terhadap upaya mengurangi resiko bencana maupun dukungan terhadap
kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. French Red Cross, serta IFRC memiliki
program khusus untuk sistem peringatan dini atau early warning system. Namun program ini
dititikberatkan pada pembangunan kapasitas staf PMI Aceh Besar serta kabupaten lainnya.
Tidak ada bentuk program khusus bagi masyarakat untuk membangun sistem peringatan tingkat
desa. Di Pulo Aceh, British Red Cross berencana membuatkan jalur evakuasi, termasuk pondok
di titik tujuan evakuasi, yang dapat menyimpan cadangan kebutuhan penduduk dalam keadaan
darurat. Sedang dibicarakan untuk meningkatkan keterampilan medis dari penduduk setempat, 193
akibat sangat terbatasnya tenaga medis termasuk bidan.
Dari pemahaman, sikap dan persepsi IFRC dan BRC tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedua
organisasi non pemerintah ini siap dalam mendukung peningkatan pengetahuan masyarakat desa
di Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh. Pemberian materi dan pemahaman kepada masyarakat
desa sudah mulai dilakukan, meskipun belum optimal. Kedua lembaga ini juga hampir siap
dalam mendukung rencana siaga darurat (emergency planning) desa di Pulo Aceh. Sudah ada
proses perencanaan desa dan pendampingan dalam tahap awal. Untuk dukungan rencana siaga
darurat dan mobilisasi sumber daya (resource mobilization), belum ada aktivitas konkrit,
karenanya dapat dikatakan belum siap. Untuk aktivitas organisasi potensial mendukung
kesiapsiagaan bencana seperti AIPRD-AusAID dan NGO lain yang bekerja di Pulo Aceh, pada
umumnya tingkat dukungan lembaga tersebut dapat dikatakan belum siap secara keseluruhan.
Ini adalah karena prioritas utama mereka adalah kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi desa di
Aceh.
Instrumen yang digunakan untuk survei, pengisian angket, maupun pedoman wawancara
mempunyai variasi yang beragam sesuai dengan kebutuhan stakeholder yang menjadi sasaran
kajian. Daftar pertanyaan untuk survei terdiri dari :rumah tangga, komunitas sekolah (sekolah,
guru dan siswa), serta daftar pertanyaan untuk pemerintah (3 macam). Sedangkan pedoman
wawancara terdiri dari 7 pedoman pertanyaan sesuai dengan ragam stakehoder di lokasi kajian.
Beragamnya instrumen dimaksudkan untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat dari semua
stakehoder dalam masyarakat yang menjadi sasaran asesmen. Namun demikian memerlukan
SDM yang memadai dan dana yang cukup besar. Artinya bagi pengguna framework tersebut
perlu menyesuaikan dengan kapasitas SDM dan dana yang tersedia. Dalam memilih instrumen
yang akan dipakai perlu dipertimbangkan tujuan, target sasaran dan kemampuan dana sebagai
pendukungnya. Semakin banyak target sasaran, dan pendekatan yang dipakai (kuantitatif dan
kualitatif) semakin banyak dana dan SDM pendukung yang dibutuhkan . Pihak lain yang kelak
ingin menggunakan alat ukur ini dapat menyesuaikan dengan kemampuan sumber daya yang
dimiliki, dengan beberapa catatan tentang kelemahannya. Namun juga penting untuk memahami
kebutuhan keterampilan khusus yang lebih kompleks, jika ingin menggunakan alat ukur seperti
wawancara mendalam serta kelompok diskusi terfokus, atau didampingi oleh pihak yang lebih
kompeten dalam penelitian.
Beberapa istilah memerlukan persepsi yang sama diantara pelaku kajian dan responden. Demikian
pula pemilihan untuk pewawancara perlu disesuaikan dengan kreteria yang dibutuhkan, sehingga
dapat melakukan kegiatan penelitian dengan baik, untuk mengurangi resiko validitas data.
Pada proses perumusan alat ukur, termasuk uji coba di lapangan, banyak pihak termasuk tim
peneliti sendiri merasakan perlunya pemahaman pengetahuan dasar kesiapsiagaan bencana dan
proses alam, yang baik. Hal ini kemudian menjadi tantangan yang lebih besar, saat alat ukur
dipakai oleh pihak lain selain tim peneliti, yang memiliki latar belakang pengetahuan beragam.
Diakui, pengetahuan dasar ini masih minim dikuasai oleh berbagai pihak, selain juga masih adanya
kesimpangsiuran terminologi dan pemahaman. Hal ini potensi menimbulkan bias ketika berhadapan
4. Pengenalan dan pemahaman metode penelitian kepada pengguna alat ukur penelitian
Bagi beberapa pihak yang membantu proses pelaksanaan survei di daerah perdesaan Aceh
(seperti PMI), metode survei dengan kuesioner, wawancara mendalam serta diskusi kelompok
terfokus, merupakan metode yang masih asing, selain dari tupoksi PMI sendiri yang bukan
ditiitkberatkan di bidang penelitian dan kajian. Memahami bahwa survei merupakan salah satu
instrument penelitian dengan semua kelebihan dan kekurangannya, maka diperlukan beberapa
instrument lain untuk melengkapi, cek ulang dengan bantuan metode lain, yaitu wawancara
mendalam dan diskusi kelompok terfokus, untuk lebih membantu memberikan gambaran
komprehensif dari rangkaian proses penelitian lapangan yang ideal untuk dilakukan.
5. Penggunaan pendekatan yang paling sesuai dan bahasa yang sederhana kepada
masyarakat (responden / informan / beneficiaries).
Bahasa penyampaian disini juga sangat instrumental, baik bahasa verbal menggunakan bahasa
setempat atau bahasa Indonesia yang sesederhana mungkin. Tim peneliti Aceh menemukan
bahwa penggunaan analogi serta pendekatan agamis mempermudah penerimaan serta pemahaman 195
masyarakat terhadap tujuan penelitian. Bagi masyarakat Aceh untuk memahami fenomena alam,
tidak cukup dengan ilmu pengetahuan yang kadang sulit dicerna, namun dengan perspektif agama,
akan memudahkan mereka dalam memahami kejadian alam.
Kondisi sosial politik yang selama ini dihadapi masyarakat di perdesaan Aceh kurang memberi
akses pada masyarakat untuk berkomunikasi dengan masyarakat luar. Untuk mendapatkan data
yang akurat dan valid diperlukan pendekatan yang hati-hati dan pemahaman religius yang relevan
dengan maksud penelitian. Pendekatan ini memerlukan pelaku kajian yang sesuai dengan bidang
studi dan memahami kondisi masyarakat sasaran. Bahasa religius yang menjadi bahasa sehari-
hari masyarakat, sering membantu dalam mencairkan situasi untuk mempercepat hubungan baik
diantara pelaku kajian dan masyarakat sasaran. Demikian pula halnya untuk asisten peneliti di
lapangan diperlukan SDM yang mengetahui subyek penelitian dan juga cepat bersosialisasi dengan
masyarakat sasaran.
Belajar dari pengalaman bencana tsunami 2004, ketergantungan masyarakat sangat tinggi terhadap
bantuan luar, termasuk pemerintah daerah sendiri. Dimulai dari bantuan pertolongan pertama,
evakuasi hingga logistik. Satu tahun setengah setelah bencana berlalu, masyarakat masih juga
tergantung inisiatif pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan serta kesiapsiagaan diri, dan hal
ini menjadi kendala, ketika prioritas pemerintah kemudian adalah rekonstruksi dan pembangunan
kembali tempat tinggal dan bangunan fisik penting lainnya. Self-reliance adalah peningkatan
kapasitas diri untuk membantu diri dan lingkungan terdekat ketika bahaya atau bencana menimpa.
Self-reliance akan merupakan proses yang cukup besar tantangannya, karena menyangkut
perubahan paradigma sentralistik menuju desentralistik serta budaya ketergantungan yang cukup
kental mewarnai masyarakat di Indonesia pada umumnya. Namun demikan, self-reliance adalah
mungkin untuk dilakukan, sejalan dengan otonomi daerah, yang kemudian perlu dijabarkan lebih
jauh ke tingkat atau unit yang lebih kecil dalam masyarakat, keluarga dan individu
8. Akses masyarakat terhadap hasil penelitian serta upaya dan dukungan tindak
lanjutnya
Tantangan sebuah aktivitas penelitian di sebuah daerah, adalah minimnya manfaat yang dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat. Sedangkan kontribusi responden dan informan sangat
besar dalam mewujudkan kesuksesan sebuah penelitian. Oleh karenanya, penting untuk paling
tidak memberikan akses kepada masyarakat untuk mengetahui hasil – hasil dari penelitian tersebut,
untuk kemudian menjadi bahan pemberdayaan swadaya oleh masyarakat sendiri ketika
membangun perencanaan desa. Namun demikian, hasil penelitian yang disampaikan kepada
masyarakat, perlu diterjemahkan dalam presentasi yang lebih sederhana dan mudah dipahami.
Bentuknya dapat berupa ringkasan hasil atau dimodifikasi cara untuk memudahkan penyampaian
terhadap masyarakat.
Sebuah penelitian akan menjadi lebih besar maknanya bagi masyarakat, ketika masyarakat juga
mendapatkan akses untuk menindaklanjuti hasil dari penelitian tersebut. Misalnya, dari hasil
penelitian diindikasikan bahwa desa sebenarnya sudah mampu membentuk kesepakatan setempat
untuk membangun sistem peringatan bencana. Maka masyarakat melalui tokoh yang berperan
penting dalam komunitasnya dapat memulai upaya pembangunan sistem tersebut, tanpa perlu
menunggu intervensi atau bantuan pihak lain di luar desa. Namun untuk beberapa aktivitas
tindak lanjut yang tidak dapat dimobilisasi semata-mata dari sumberdaya desa, maka penting
juga untuk mendiseminasikan peluang bantuan bagi desa. Sebagai contoh, tim peneliti Aceh juga
menyampaikan peluang dukungan bagi desa kepada beberapa NGO (non-governmental
9. Kemudahan akses penggunaan alat ukur (dengan software?) untuk mengkaji hasil
penelitian dengan lebih mudah dan lebih baik
Pengguna alat ukur dalam framework ini bisa jadi berbeda-beda. Ini bisa jadi berpotensi
menimbulkan perbedaan kualitas hasil ukur di wilayah yang berbeda juga. Untuk meminimalisir
kemungkinan tersebut, akan sangat membantu pengguna alat ukur, juga disediakan software
yang dapat mengintegrasikan hasil data kuantitatif menjadi luaran yang baik dan lebih valid. Ini
juga menjadi salah satu cara mengendalikan kualitas variatif dari pengguna alat ukur yang berbeda.
Software semacam ini akan sangat bermanfaat untuk memudahkan pengguna alat ukur dalam
mengelola dan menganalisa data kuantitatifnya, menggunakan metode seragam dengan pengguna
alat ukur di wilayah atau lingkup penelitian lain.
10. Akses publik terhadap hasil penelitian (pemerintah daerah, LSM, universitas
setempat, donor, akses antar daerah)
Paradigma lain yang perlu diubah adalah berbagai instansi keilmu-pengetahuan atau berbasis
riset yang perlu terus ‘membumikan’ temuan-temuan ilmiah baik bidang teknis maupun sosial-
ekonomi, agar manfaat terbanyak dirasakan oleh masyarakat sendiri. Akses publik dapat berupa
terjemahan ilmu pengetahuan dan riset ke dalam berbagai program inovatif formal, non formal
maupun informal. Khusus bagi hasil penelitian tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam
mengantisipasi bencana, yang kerangka umumnya dikembangkan oleh LIPI, sudah selayaknya
dibuka akses seluas-luasnya kepada pemerintah daerah, universitas setempat, donor pemberi
dukungan bagi program kesiapsiagaan masyarakat serta pihak lain yang berpotensi mendapatkan 197
manfaat sebanyak-banyaknya dari hasil riset tersebut. Akses berbasis website (internet) adalah
salah satu pilihan yang idealnya dapat menjadi solusi tersebut.
11. Pemanfaatan tools assessment (alat ukur) dalam contingency plan (rencana
kontinjensi) Bakornas (terutama alat ukur tingkat pemerintah daerah), serta pihak
– pihak lain yang memiliki program yang terlembaga (isu sustainability use of the
framework)
• Penggunaan metode wawancara mendalam dan kelompok diskusi terfokus, sangat diperlukan
untuk menutupi kekurangan survei yang terbatas kemampuannya dalam menggali informasi.
Metode yang cukup fleksibel diperlukan baik sasaran maupun cara pelaksanaannya, seperti
FGD dan wawancara tidak berstruktur.. Namun dalam menentukan jadwal dan sasaran
diskusi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan, kadang menimbulkan kesulitan
dalam mempersiapkannya terutama untuk membuat penjadwalan yang jelas, dan
mengidentifikasi narasumber yang sangat tergantung dengan kondisi di lapangan. Hal ini
kadangkala juga menjadi kendala, dalam mensosialisasikan maksud tujuan penelitian kepada
masyarakat, dan menjelaskan rencana penelitian secara pasti dimana diperlukan keterlibatan
sekelompok masyarakat dalam setiap metode yang dipakai.
• Mungkin perlu dikaji kembali jumlah pertanyaan dalam survei serta proporsi lingkup
pertanyaan untuk masing-masing parameter, agar hasilnya lebih proporsional untuk semua
parameter. Sedangkan metode lainnya merupakan komplemen dalam melengkapi kekurangan
survei yang serba terbatas dan rigid. Metode lainnya juga menjadi pendukung dalam
menginterpretasikan temuan data di survei. Namun demikian para pengguna framework ini
memerlukan latihan khusus atau pendampingan sementara dari pihak yang lebih kompeten
untuk menjaga tingkat validitasnya.
• Beberapa pertanyaan dalam survei perlu dikaji kembali tentang relevansinya untuk mengukur
tingkat kesiapsiagaan masyarakat yang menjadi sasaran. Pertanyaan yang menimbulkan bias
penilaian harus dihindari, untuk tidak membuat penilaian yang kurang obyektif, terutama
pertanyaan yang dapat menimbulkan perbedaan jawaban dengan kondisi riel di lapangan
(misal pertanyaan no 19 dan 20 pada komunitas siswa).
• Kajian tentang kesiapsiagaan masyarakat dengan menggunakan framework yang cukup rumit
untuk daerah seperti Aceh yang kondisinya belum normal, hasilnya hanya bersifat sementara,
sehingga memerlukan kajian semacam yang sifatnya berulang, sejalan dengan proses pemulihan
kondisi daerah, pemerintahan dan masyarakatnya. Pengalaman menghadapi bencana besar,
perubahan politik pasca tsunami akan banyak membawa perubahan kebijakan maupun
perkembangan masyarakat, sehingga memerlukan kajian yang sifatnya periodik (misal 5
tahun sekali).
4.1.7. Sintesa
Hasil survei untuk ketiga komunitas yaitu rumah tangga , sekolah dan pemerintah menjadi dasar
perhitungan indeks kesiapsiagaan setiap kelompok komunitas. Indeks pada setiap komunitas
merupakan gabungan dari kelima parameter yang disepakati menjadi ukuran kesiapsiagaan tiap
komunitas yaitu: 1) Pengetahuan dan sikap (KAP); 2) Kebijakan dan arahan (PS); 3) Rencana
tanggap darurat (EP); 4) Sistem peringatan (WS) dan 5) Mobilisasi sumber daya (RMC).
80
67 69
70
57
60 52
48
50
Indeks Kesiapsiagaan thd Be
40
30 Total
20 17
10
0
ga
an
h
ru
id
l
ta
la
ng
ur
at
Gu
To
ko
Ta
m
Se
ca
ah
Ke
m
Ru
Pelaku
Diagram 4.1.7.1.
Indeks Kesiapsiagaan Terhadap
Bencana untuk Kecamatan di Aceh, 2006
199
Pada komunitas rumah tangga, tingkat kesiapsiagaan mengantisipasi bencana didukung oleh
nilai indeks parameter KAP yang merupakan nilai tertinggi dari semua parameter. Hal ini berarti
tingkat pemahaman masyarakat (rumah tangga) yg ditangkap melalui tingkat pengetahuan dan
perilaku cukup tinggi dalam mengenali kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pengetahuan dan
perilaku ini juga didukung oleh kesiapan dalam melakukan rencana tanggap darurat dengan nilai
indeks 53, disusul dengan system peringatan dengan indeks 45. Namun tingginya pengetahuan,
perilaku yang kemudian dapat diejawantahkan dalam perencanaan dan system peringatan ini
belum didukung oleh penguatan dalam kapasitas dan sumber daya. Nilai indeks parameter
mobilisasi sumber daya dan peningkatan kapasitas hanya mencapai 25. Dengan demikian,
kekurangan terbesar pada tingkat masyarakat adalah pada penggalangan sumber daya dan
peningkatan kapasitas (Diagram 4.1.7.2).
Pada komunitas sekolah, indeks yang tinggi didukung juga oleh tingkat pengetahuan dan perilaku
yang paham akan kesiapsiagaan menghadapi bencana (indeks = 68). Pengejawantahan tingkat
pengetahuan dan perilaku ini, terdapat pada sistem peringatan (indeks = 44), daripada pada
rencana tanggap darurat (indeks = 39). Pada sistem peringatan, dukungan didapat dari peran
guru (indeks = 72) dan siswa (indeks = 60) dalam menggerakkan sistem peringatan, sedangkan
sekolah memiliki indeks yg kurang membantu (indeks = 27). Lebih pentingnya sistem peringatan
daripada rencana tanggap darurat dapat dipahami, mengingat lamanya siswa dan guru berinteraksi
di kelas hanya sekitar 5 jam saja dalam sehari. Sisa waktunya digunakan untuk interaksi di
masyarakat, termasuk dalam keluarganya. Rencana tanggap darurat juga sangat didukung oleh
peran guru (indeks = 76) dan siswa (indeks = 62) sedangkan sekolah hanya membantu dalam
sedikit situasi (indeks = 18). Meskipun nilai indeks untuk mobilisasi sumber daya merupakan
nilai parameter terendah untuk semua komunitas, namun pada komunitas sekolah, nilai indeks
tingkat mobilisasi sumber daya dan kapasitas cukup baik dibandingkan 2 komunitas lainnya
(Indeks = 33), meskipun perbedaannya relatif kecil. Indeks ini didukung olah peran guru dan
siswa sebagai pelaku aktif dalam mendorong mobilisasi ini. Sedangkan pihak sekolah sendiri
tidak banyak memiliki sumber daya yang dapat digerakkan, sehingga nilai indeks untuk parameter
ini terendah (19). Peran kebijakan sekolah dalam menggerakkan kesiapsiagaan menghadapi
bencana memiliki indeks yang sangat rendah (indeks = 10).
Secara keseluruhan dengan nilai indeks 50, komunitas sekolah dapat dikategorikan dalam kondisi
kurang siap. Dari seluruh parameter yang dipertimbangkan peran siswa (indeks = 69) dan guru
(indeks = 67) sangat menentukan berhasilnya komunitas sekolah memiliki kesiapsiagaan
menghadapi bencana Sedangkan dengan nilai indeks untuk S1-Sekolah yang hanya mencapai
80
70
60
S1-Sekolah
50
S2-Guru
40
S3-Siswa
30
Total
20
10
0
indeks Indeks PS Indeks EP Indeks WS Indeks
KAP RMC
Diagram 4.1.7.3
Indeks Komunitas Sekolah Menurut Parameter
Sangat rendahnya kesiapsiagaan sekolah untuk kebijakan dan arahan (nilai indeks 10),
menunjukkan hampir tidak ada kebijakan dan arahan dari instansi terkait (Dinas Pendidikan)
untuk melakukan kesiapsiagaan di sekolah. Padahal pengalaman di satu lokasi kajian (Desa
Ulee Paya) menunjukkan bahwa peran para guru dalam menyelamatkan anak didik cukup besar
ketika terjadi bencana, meskipun hanya mengandalkan reflek alami.
201
Pelaku komunitas pemerintah yang dipertimbangkan dalam studi di Aceh, adalah pemerintah di
tingkat kecamatan. Sesuai dengan lokasi kajian di 2 kecamatan, hanya terdapat dua responden
untuk pemerintah tingkat kecamatan yang mewakili kecamatan Leupung dan Pulo Aceh. Untuk
itu perlakuan terhadap hasil indeks ini perlu hati hati, terutama karena kedua pimpinan pemerintahan
kecamatan ini juga masih relatif baru (sekitar 3 bulan), sehingga kemungkinan informasi yang
diperoleh tentang kesiapsiagaan juga terbatas. Seperti pada komunitas lainnya, terdapat empat
parameter yang dipertimbangkan dalam mengamati tingkat kesiapsiagaan pemerintah kecamatan
dalam mengantisipasi bencana, yaitu: pembuatan kebijakan, rencana tanggap darurat, sistem
peringatan, dan mobilisasi sumber daya dan kapasitas. Dari keempat parameter tersebut, tiga
parameter pertama memiliki kepentingan yang sama atau setara. Sedangkan untuk parameter
mobilisasi sumber daya dan kapasitas, perlu diingat bahwa pemerintah kecamatan saat ini
menghadapi taraf rekontruksi dan rehabilitasi untuk daerahnya yang hancur total.. Sumber daya
yang masih serba terbatas baik di tingkat komunitas maupun pemeritah kecamatan, juga
menyebabkan lemahnya peran pemerintah dalam menggerakkan sumber daya yang serba
terbatas. Pemerintah kecamatan juga hampir tidak berperan dalam rencana pemulihan daerahnya,
Indeks tertinggi pada masyarakat rumah tangga, yang diikuti dengan indeks sekolah
mengindikasikan adanya peran masyarakat sendiri dan pihak sekolah, yang berupaya membangun
kembali kesiapsiagaan terhadap bencana, terutama dengan modal pengalaman menghadapi
bencana yang masih segar dalam ingatan kedua masyarakat tersebut. Meskipun institusi resmi
seperti pemerintah belum bekerja secara normal, namun masyarakat mulai mempersiapkan diri
dalam kehidupan dengan memasukkan unsur kesiapsiagaan terhadap bencana, terutama sebagai
suatu pengetahuan dan perilaku. Kekuatan yang terdapat pada masyarakat meskipun belum
optimal, membentuk tingkat kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Meskipun kekuatan pada masyarakat dan komunitas sekolah yang mendukung tingginya
kesiapsiagaan menghadapi bencana, namun peran pemerintah masih menentukan. Tingkat
kesiapsiagaan pemerintah kecamatan menghadapi bencana yang termasuk dalam kategori kurang
siap (indeks 48), mempengaruhi bagaimana parameter lainnya mengenai rencana tanggap
darurat, sistem peringatan, dan mobilisasi sumber daya dan kapasitas dapat digerakkan.
Penggerakan kegiatan yang ditunjukkan oleh parameter tersebut membutuhkan peran pemerintah
yang utama, terutama sebagai koordinator. Namun demikian, perlu dikaji secara lebih mendalam
mengenai peran kecamatan dalam upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana, terutama di wilayah
perdesaan. Sifat koordinatif yang harus dibangun dan upaya mendekatkan antara masyarakat
dan pihak pemerintah yang lebih tinggi memerlukan perangkat kecamatan dan aturan kecamatan
yang lebih diarahkan. Hal ini mengingat bahwa kecamatan bukan perangkat pemerintah dengan
kekuasaan desentralisasi, lebih banyak fungsi dekonsentrasi yang dilaksanakan pada pihak
kecamatan.
Parameter yang cukup berperan dalam mendukung nilai indeks rumah tangga dan sekolah adalah
nilai indeks KAP (72 dan 68). Tingginya pemahaman tentang bencana lebih disebabkan karena
pengalaman menghadapi bencana gempa dan tsunami, yang masih segar dalam ingatan masyarakat
umumnya termasuk para siswa dan guru. Bagi kebanyakan siswa, pengetahuan tersebut juga
diperoleh dari berbagai sumber yang banyak didengar setelah bencana, baik yang langsung berasal
dari pelajaran sekolah maupun sumber lainnya seperti radio, tv dan sebagainya. Namun demikian
melihat relatif rendahnya angka indeks parameter lainnya, menunjukkan bahwa pengetahuan
yang dimiliki masyarakat terhadap bencana belum diikuti dengan kesiapan dalam kebijakan,
rencana tanggap darurat, sistem peringatan dini, maupun mobilisasi sumber daya yang cukup,
sehingga kurang mendukung kesiapan masyarakat perdesaan Aceh secara keseluruhan dalam
mengantisipasi bencana. Hal ini terutama disebabkan prioritas masyarakat Aceh pada saat ini
adalah percepatan ke arah kondisi normal, terutama berkaitan dengan kebutuhan dasar masyarakat
yaitu perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Sedangkan nilai indeks mobilisasi sumber daya yang merupakan nilai parameter terendah untuk
semua komunitas (kurang dari 40), menunjukkan keadaan masyarakat yang belum siap untuk
menggerakkan kesiapsiagaan. Hal ini lebih disebabkan oleh masih tingginya ketergantungan
kehidupan masyarakat pada pihak luar, sehingga kurang memperhatikan kebutuhan untuk
meningkatkan kesiapsiagaan, kecuali mendapat bantuan dari pihak lain.
203
Secara geografis, kota Bengkulu terletak pada koordinat 102° 15’BT-102° 22’ 30"BT; 3° 44’
30"LS-3° 58’ 30". Di sisi barat, Kota Bengkulu dibatasi oleh Samudera Hindia, di selatan
berbatasan dengan Kabupaten Seluma sedangkan di utara dan di timur dibatasi Kabupaten
Bengkulu Utara. Kota Bengkulu terbagi dalam 8 kecamatan antara lain mulai dari utara adalah
Kecamatan Muara Bangka Hulu, Teluk Segara, Sungai Serut, Ratu Samban, Ratu Agung, Gading
Cempaka, Selebar dan Kecamatan Kampung Melayu (gambar 4.2.1.1.).
Gambar 4.2.1.2.
Peta Topografi Kota Bengkulu Berupa Dataran Pantai,
Banjir dan Perbukitan Bergelombang
Gambar 4.2.1.3.
Geologi Daerah Kota Bengkulu
Sumber : Gafoer, S., 1992
Catatan : Garis-garis putus menunjukan
kelurusan retakan atau zona lemah
Daerah kota Bengkulu secara fisik disusun oleh batuan lava andesit (Tpan, foto 4.2.1.1F). Batuan
lava andesit tersingkap disekitar Pager Dewa-Air Sebakul (foto 4.2.1.1F). Lapukan batuan
tersebut berupa soil tebal berwarna merah yang dibeberapa tempat dijadikan bahan pembuatan
bata dan genting. Batuan ini bersifat keras dan kompak. Di atas batuan lava ditutupi endapan
breksi gunung api, batu lempung tufaan berbatu apung (Qtb, foto 4.2.1.1G) tersingkap pada
tebing pantai di Pondok Besi. Batuan ini mempunyai sifat fisik lunak, sehingga mudah terombak
seperti teramati pantai yang terabrasi sekitar Pondok Besi. Kemungkinan batuan tersebut
penyebarannya lebih luas terutama sekitar perkotaan. Informasi penduduk menyebutkan batuan
“napal” untuk batuan keras yang kemungkinan adalah endapan breksi volkanik (Qtb). Batuan-
batuan ini bersifat keras dan kompak membentuk punggungan/perbukitan bergelombang ditengah
Kota Bengkulu. Di atas batuan breksi volkanik ditutupi endapan undak aluvium (Qat, foto
4.2.1.1B) yang disusun oleh pasir, lanau, lempung dan kerikil. Endapan undak aluvium bersifat
lunak dan tidak kompak menempati kawasan pantai mulai dari kampung Cina-Lempuing-Kandang
Batu gamping terumbu, batuan kapur atan batu koral (Ql) dijumpai di pantai Kampung Cina
maupun di lepas pantai Panjang, sekitar Teluk Baai dan Teluk Sepang. Beberapa dangkalan
melingkar di lepas pantai kemungkinan batuan koral terangkat/tumbuh seperti yang membentuk
Pulau Tikus. Batuan tersebut bersifat cukup keras dan kompak sehingga bermanfaat sebagai
pelindung pantai dari abrasi air laut. Batuan penutup permukaan tanah berupa endapan aluvium
(Qa) berupa bongkah, kerikil, pasir, lanau, lempung dan lumpur. Lapisan aluvium tersebut terbentuk
sebagai hasil endapan pantai maupun sungai menempati sepanjang kawasan pantai dan aliran
sungai. Batuan bersifat lunak dan lepas dan cenderung tidak stabil bila terjadi gempa bumi serta
mudah terosi maupun abrasi. Gambar 4.2.1.2 memperlihatkan penyebaran jenis batuan di Kota
Bengkulu. Lebih detil mengenai informasi jenis batuan diperlihatkan pada gambar 4.2.1.3 yaitu
peta geologi yang dikeluarkan oleh Bappeda Kota Bengkulu (2005) yang dimodifikasi.
Gambar 4.2.1.4.
Peta Geologi Detil Kota Bengkulu
Sumber : Bappeda Kota Bengkulu, 2005
Bahaya alam di kawasan Kota Bengkulu antara lain gempa bumi, tanah retak dan amblas, abrasi,
longsor, banjir, dan badai laut. Sementara itu, bahaya tsunami belum pernah tercatat pada kondisi
aktual. Gempa bumi merupakan kejadian alam yang paling merusak dirasakan oleh warga Kota
Bengkulu, seperti yang pernah terjadi pada 4 Juni 2000 dengan kekuatan 7,9 Mw. Walaupun
pusat gempa bumi berada di bawah Pulau Enggano, kerusakan bangunan dan lingkungan juga
terjadi di Kota Bengkulu. Catatan sejarah gempa bumi yang pernah melanda Bengkulu antara
lain gempabumi tahun 1833 (9Mw), 1914 (?Mw), 1940 (7Mw) dan 1980 (8Mw).
Data dari Bappeda Kota Bengkulu (2005) dan informasi dari masyarakat (2006) menunjukan
bahwa kerusakan bangunan akibat gempa bumi diakibatkan oleh kualitas bangunan yang tidak
memenuhi syarat tahan gempa bumi maupun diakibatkan oleh amblasan dan retakan tanah. Dua
hal terkhir mengakibatkan bangunan amblas maupun terbelah. Retakan tanah, oleh penduduk
disebut sebagai ‘urat gempa” memiliki keteraturan berupa kelurusan dengan arah paralel dengan
kelurusan garis pantai atau berarah barat laut-tenggara (gambar 4.2.1.4) terutama pada batuan
Gambar 4.2.1.5.
Penyebaran Jenis Kerusakan Akibat Gempa Bumi
Juni 2000 yang Berpusat di Bawah Pulau Enggano
Banjir adalah kejadian alam yang sering terjadi terutama sepanjang aliran sungai Bengkulu. Daerah
rawan bencana banjir antara lain adalah Tanjung Agung, Tanjung Jaya, Semarang dan Surabaya.
Sementara itu daerah yang perlu waspada adalah sepanjang aliran Sungai Janggalu. Banjir
diperkotaan sering diakibatkan tersumbatnya saluran pembuangan (siring) maupun akibat hujan
besar dan lama maupun pasang naik.
Longsor, menurut informasi jarang terjadi di Kota Bengkulu. Walaupun demikian perlu diwaspadai
potensi longsor terutama pada tebing batuan undak/teras yang kelurusannya sejajar dengan yang
disebut sebagai “urat gempa”, seperti yang pernah terjadi pada saat gempa bumi pada tahun
2000.
Badai laut merupakan kejadian alam yang pernah terjadi, seperti pernah melanda Pasar Bengkulu,
dan Kampung Cina. Daerah lainnya yang perlu waspada adalah sepanjang tepian pantai Panjang,
muara air Jenggalu, Desa Kandang maupun kawasan Desa Teluk Sepang. Kejadian alam lainnya
Dalam menghadapi bencana tsunami atau gempabumi, dengan mengacu pada data pengamatan
bentang alam dan sifat fisik lingkungan, Kota Bengkulu memiliki banyak pilihan jalur dan tempat
evakuasi, baik sementara maupun permanen. Untuk sementara Kota Bengkulu paling selatan
atau Teluk Sepang relatif akan mendapat kesulitan akibat terisolir bila ada bencana besar seperti
gempa bumi kecuali ada ruas-ruas jalan baru. Beberapa keuntungan Kota Bengkulu adalah
dataran rendah tepi pantainya cukup sempit hanya sekitar 300 m sampai 500 m, tidak jauh dari
pantai sudah sampai pada ketinggian 2-5 m atau sampai 10 m, kecuali daerah Kandang dan
Teluk Sepang.
Fasilitas fisik yang ada di kota Bengkulu terdiri dari fasilitas perumahan, pendidikan, kesehatan,
perkantoran, prasarana kota, serta sarana dan prasarana transportasi. Berikut ini akan dijelaskan
secara garis besar tentang fasilitas fisik dan tingkat keamanannya berdasarkan data buku Bengkulu
Dalam Angka tahun 2004, buku Selayang Pandang kota Bengkulu, laporan RT/RW kota Bengkulu
tahun 2005 dan juga berdasarkan pengamatan langsung di lapangan.
Fasilitas perumahan terdiri dari rumah permanen, rumah semi permanen, dan rumah temporer.
Jumlah rumah yang ada di kota Bengkulu hingga tahun 2005 adalah 32.681 unit untuk yang
permanen, 10.237 unit untuk yang semi permanen dan 1.695 unit untuk yang temporer.
Penyebaran rumah mengikuti lokasi pemukiman yang umumnya terkonsentrasi pada dua
kecamatan, yaitu: Kecamatan Gading Cempaka dan Kecamatan Teluk Segara. Kerentanannya 211
terhadap bahaya tsunami belum diketahui secara pasti karena belum adanya peta bencana tsunami.
Namun secara pengamatan lapangan cukup rentan karena banyaknya pemukiman yang tersebar
memanjang di daerah pantai.
Fasilitas pendidikan terdiri dari pendidikan tinggi, pendidikan menengah dan pendidikan dasar.
Jumlah pendidikan tinggi sebanyak 10 unit yang terdiri dari 2 perguruan tinggi negeri dan 8
perguruan tinggi swasta. Sementara jumlah pendidikan dasar dan menengah sebanyak 154 buah
yang terdiri dari 30 unit TK, 76 unit SD, 27 unit SMP/MTS dan 21 unit SMU/MAN/Kejuruan.
Penyebarannya mengikuti lokasi pemukiman yang cukup rentan terhadap bahaya tsunami.
Fasilitas kesehatan terdiri dari rumah sakit, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan posyandu.
Jumlah rumah sakit umum daerah ada 1 unit, puskesmas 13 unit, puskesmas pembantu 49 unit,
klinik KB 63 unit, rumah bersalin 10 unit, klinik sanitasi 13 unit, balai pengobatan 15 unit, dan
posyandu 193 unit. Kecuali rumah sakit umum yang cukup jauh dari pantai, fasilitas kesehatan
lainnya menyebar mengikuti lokasi pemukiman yang cukup rentan terhadap tsunami.
Prasarana kota meliputi instalasi air bersih, jaringan listrik, dan jaringan telpon. Kapasitas air
bersih sebesar 150 l/detik dengan total produksi 9.381.192 m3. Kapasitas listrik terpasang 150,52
MW yang melebihi kebutuhan masyarakat. Sementara sarana telekomunikasi berkembang dengan
pesat dengan adanya jaringan telpon selluler. Penyebaran tempat pengolahan air bersih sebagian
besar berada cukup jauh dari pantai sehingga tingkat kerentanannya terhadap tsunami cukup
kecil. Begitu juga untuk pembangkit listrik yang sudah interkoneksi dengan daerah di luar kota
Bengkulu, sehingga pemasokan tidak akan terganggu kecuali kerusakan pada jaringan ke
pengguna. Jaringan telkom menyebar sesuai dengan penyebaran pemukiman, namun dengan
adanya telpon selluler permasalahan komunikasi ini tidak ada masalah seandainya bencana tsunami
datang.
Sarana dan prasarana transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut dan transportasi
udara. Panjang jaringan jalan sebesar 676,048 km yang terdiri dari 64,980 jalan negara, 54,180
jalan provinsi, dan 557,048 km jalan kota. Terminal yang ada sebanyak 3 buah. Sarana
transportasi laut yang ada yaitu pelabuhan Baai yang berfungsi sebagai tempat melayani
penumpang dari Bengkulu ke Enggano. Sementara transportasi udara dilakukan dari pelabuhan
udara Fatmawati yang mampu didarati pesawat Boing 737. Jaringan jalan sekitar pantai cukup
rentan terhadap tsunami, namun banyaknya jalan yang vertikal menjauh dari garis pantai
memudahkan untuk evakuasi masyarakat. Sementara itu bandara udara Fatmawati relatif aman
dari tsunami karena cukup jauh dari pantai.
Penduduk Kota Bengkulu pada tahun 1971 (Sensus Penduduk 1971) hanya sebanyak 31.866
orang. Jumlah penduduk tersebut pada 10 tahun berikutnya (tahun 1980) telah mencapai lebih
dua kali lipat, yakni 64.783 orang. Kemudian dari jumlah tersebut hampir tiga kali lipat pada
dasawarsa berikutnya (tahun 1990) sebesar 170.327 orang. Pada tahun 2000 jumlah penduduk
Kota Bengkulu adalah 259.176 orang. Dari jumlah tersebut pada jangka waktu 5 tahun (tahun
2005) telah mencapai 287.868 orang. Pertumbuhan penduduk Kota Bengkulu selama 3
dasawarsa ini memang termasuk tinggi. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata per tahun pada
kurun waktu 1971 – 1980 telah mencapai angka yang sangat tinggi, yaitu 8,1 persen. Laju
pertumbuhan tersebut nampaknya semakin tak terbendung pada kurun waktu berikutnya (1980-
1990) menjadi 10,1 persen. Kemudian tingkat pertumbuhan tersebut menurun pada dasa warsa
berikutnya, namun masih menunjukkan angka yang cukup tinggi. Pada kurun waktu 1990-2005
Tingkat kepadatan penduduk Kota Bengkulu pada tahun 2000 sebesar 1.793 orang/ km². Angka
tersebut pada 5 tahun kemudian (2005) telah meningkat menjadi hampir 2000 orang/ km² (tepatnya
1.992 orang/ km²). Dengan memperhatikan tingkat kepadatannya, Kota Bengkulu termasuk
kota yang padat penduduk.
Penyebaran penduduk di masing-masing zona wilayah dan kelurahan, ternyata ada gambaran
yang menarik. Di zona jauh/aman jumlah penduduknya jauh lebih banyak (34.583 orang)
dibandingkan zone lainnya. Jumlah penduduk di masing-masing kelurahaan di zona jauh ini antara
6.856 orang sampai 15.581 orang. Kemudian di zona sedang/hati-hati jumlah penduduknya
hanya mencapai 13.781 orang. Jumlah penduduk di masing-masing kelurahan berkisar antara
3.776 orang sampai 5.306 orang. Selanjutnya yang paling sedikit di zona dekat/ rawan jumlah
penduduk kelurahan sampel hanya sebanyak 8.088 orang dan jumlah penduduk di masing-
masing kelurahan berkisar antara 2.277 orang sampai 3.010 orang. Gambaran variasi jumlah
penduduk antar zona ini menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kota Bengkulu nampaknya
lebih senang bertempat tinggal di wilayah yang lebih aman dan jauh dari pantai.
Berdasarkan kelurahan-kelurahan yang menjadi sampel, ternyata ada variasi tingkat kepadatan
penduduk. Kemudian dibedakan antar zona, ternyata tingkat kepadatan penduduk di zona dekat
pantai/ zona rawan paling rendah dibandingkan dengan zona lainnya. Hal ini disebabkan di zona
dekat pantai ini ada kelurahan yang wilayahnya cukup luas. Kelurahan Teluk Sepang merupakan
kelurahan yang terluas (21 Km²) yang terdiri dari areal pemukiman, perkebunan kelapa sawit, 213
rawa dan pantai. Jumlah penduduk kelurahan tersebut hanya 2.801 orang, sehingga tingkat
kepadatan penduduk di kelurahan tersebut hanya sekitar 138 Km². Total tingkat kepadatan
penduduk di kelurahan-kelurahan sampel di zona dekat hanya 477/ Km². Sedangkan di zona
sedang dan zona jauh tingkat kepadatan penduduknya semuanya di atas 1000 orang/ Km².
Sebagian besar wilayah di zona sedang dan zona jauh tersebut hanya merupakan perumahan
penduduk, perkantoran dan tempat bisnis.
TINGKAT
LUAS WILAYAH JUMLAH KEPADATAN
ZONA KELURAHAN (Km²) PENDUDUK PENDUDUK
(Orang/Km²)
(1) (2) (3) (4) (5)
Komposisi Penduduk
Menurut kelompok umur penduduk Kota Bengkulu sekitar 72,1 persen merupakan kelompok
penduduk umur produktif, yakni 13 – 65 tahun. Kaitannya dengan kesiapsiagaan menghadapi
bencana, segmen penduduk ini yang perlu diperdayakan agar mampu berpatisipasi baik untuk
rumah tangganya sendiri maupun masyarakat sekitarnya. Dalam demografi segmen penduduk
tersebut merupakan kelompok tenaga yang usia produktif.
Kemudian ada segmen penduduk yang perlu mendapatkan pertolongan khusus adalah penduduk
usia 0-6 tahun. Di kota ini ada sekitar 13,3 persen yang termasuk kelompok tersebut. Kemudian
ada segmen penduduk usia tua (di atas 65 tahun) hanya sekitar 2,8 persen. Jadi beban tanggungan
antara kelompok yang tergantung (perlu pertolongan pada usia 0-6 tahun dan 65 ke atas) dengan
yang secara teoritis mampu menolong (13 – 55 tahun) sekitar 22,3 persen. Artinya setiap 100
orang usia produktif perlu menolong sekitar 22 orang yang perlu pertolongan khusus. Hanya di
sini belum termasuk orang-orang cacat yang tidak mampu menolong dirinya sendiri, hanya jumlah
orang-orang cacat tersebut biasanya tidak begitu banyak.
Sumber : Diolah dari BPS & Bappeda, Kota Bengkulu Dalam Angka 2004
Catatan : Data kelompok penduduk umur 5 tahunan tidak tersedia.sehingga kelompok penduduk
usia produktif diasumsikan 13 – 65 tahun.
Di kelurahan-kelurahan sampel, apabila dibandingkan antar zona ada perbedaan besarnya beban
tanggungan. Di zona dekat pantai jumlah segmen penduduk yang perlu pertolongan (kelompok 0
– 6 dan 65 tahun ke atas) diperkirakan sekitar 22,8 persen, di zona sedang 19,1 persen dan di
zona jauh 18,3 persen. Apabila dihitung tingkat beban tanggunganya di zona dekat ini sekitar
35,7 orang tiap 100 orang penduduk usia produktif. Angka ini ternyata paling tinggi (lebih berat)
dibandingkan dengan tingkat beban penduduk di zona sedang dan zona jauh, di mana masing- 215
masing hanya sebesar 29,1 dan 27,7. Dalam hal ini perbedaan tingkat beban tanggungan tersebut
relatif tidak begitu besar. Namun dengan fakta tersebut berarti bahwa bantuan tenaga, sarana
dan prasarana angkutan untuk evakuasi lebih baik agak difokuskan di zona dekat pantai.
Pendidikan Penduduk
Menurut data tahun 2004 (BPS dan Bappeda Kota Bengkulu, 2005) ternyata sebagian besar
(65 persen) penduduk Kota Bengkulu yang berusia 15 tahun ke atas memiliki latar belakang
pendidikan cukup tinggi, yaitu SLTA ke atas. Hanya sebagian kecil (35 persen) yang memiliki
pendidikan rendah atau SLTP ke bawah. Dengan kata lain sebagian besar kualitas sumber daya
manusia di Kota Bengkulu sudah cukup baik ditinjau dari tingkat pendidikannya. Kondisi kualitas
penduduk dari segi pendidikan ini merupakan salah satu potensi yang cukup baik untuk
mengembangkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam di Kota Bengkulu. Sosialisasi
usaha kesiapsiagaan menjadi lebih mudah diterima bagi sebagian besar penduduk Kota Bengkulu.
Kesiapsiagaan tersebut tidak hanya disosialisasikan melalui media elektronik, tetapi juga media
cetak serta media lainnya.
Tingkat pendidikan penduduk apabila dibedakan menurut zona wilayah menunjukkan gambaran
yang cukup menarik, di mana ada kecenderungan penduduk yang latar belakang pendidikannya
tinggi cenderung tinggal di lokasi yang jauh dari pantai. Tabel 4.2.1.4 menunjukkan bahwa proporsi
penduduk yang berpendidikan tinggi (SLTA ke atas) di zona jauh/ aman paling tinggi (46,5 persen),
Tabel 4.2.1.4.
Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan, Zona dan Kelurahan,
di Kota Bengkulu, 2005
TINGKAT PENDIDIKAN
(Persentase)
ZONA KELURAHAN Tak Tamat SD/ JUMLAH
Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA +
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Sebagai wilayah perkotaan secara umum mata pencaharian penduduk Kota Bengkulu yang paling
menonjol adalah di sektor jasa (37 persen) dan perdagangan (27 persen) (BPS dan Bappeda
Kota Bengkulu,2005). Mereka yang bekerja di sektor jasa tersebut meliputi para pegawai/
karyawan negeri (PNS) dan swasta serta para buruh perusahaan/ pabrik. Di sektor perdagangan
adalah para pedagang yang status pekerjaannya sebagai usaha sendiri, usaha dibantu anggota
keluarga, usaha dibantu buruh tetap dan mereka yang membantu atau sebagai buruh/ pekerja di
perdagangan.
Tabel 4.2.1.5.
Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian, Zona dan Kelurahan,
di Kota Bengkulu, 2005
TINGKAT PENDIDIKAN
(Persentase)
ZONA KELURAHAN Petani/ Pagawai/ JUMLAH
Peternak/ TNI/Polri Pedagang Swasta Lainnya
Nelayan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
Kota Bengkulu sebagaimana kota-kota lainnya di Indonesia merupakan daerah penerima migran.
Mereka berasal dari wilayah sekitar Kota Bengkulu (satu provinsi) maupun dari berbagai wilayah
provinsi di luar Bengkulu. Adanya banyak migran yang masuk Kota Bengkulu dari berbagai
wilayah tersebut menyebabkan penghuni kota tersebut berasal dari multietnik, yaitu Suku Melayu
(sekitar 15 persen), Suku Serawai (15 persen), Suku Minangkabau (12 persen), Suku Rejang
(7 persen), Suku Lembak (4 persen), Suku Muko-muko (0,6 persen), Suku Jawa dan Sunda
(14 persen) dan Suku Batak 5 persen) (Bappeda Pemkot Bengkulu, 2005). Penduduk yang
multietnik dan banyak yang berasal dari luar Kota Bengkulu tersebut yang menyebabkan kurangnya
adat dan budaya yang dapat dimiliki bersama. Apalagi adat dan budaya yang akan dikembangkan
untuk kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Hal ini mungkin juga yang
menjadi salah satu hambatan untuk membuat kesepakatan yang terkait dengan adat kebiasaan
dan budaya mereka.
Data BKKBN Kota Bengkulu tahun 2004 menunjukkan bahwa sebanyak 1.206 (2,3 persen)
termasuk rumah tangga para-sejahtera (miskin sekali). Sebanyak 17.890 (34,6 persen) termasuk
klasifikasi rumah tangga sejahtera 1 (miskin). Penyebaran menurut kecamatan (4 kecamatan
lama, data kecamatan baru belum ada) rumah tangga pra sejahtera terbanyak berada di Kecamatan
Selebar (55 persen) dan 45 persen tersebar di Kecamatan Gading Cempaka, Teluk Segara dan
Muara Bangkahulu. Keluarga sejahtera 1 yang paling banyak (58 persen) terjadi di Kecamatan
Gading Cempaka. Kemudian 42 persen lainnya tersebar di Kecamatan Selebar,Teluk Segara
dan Muara Bangkahulu. 219
Sedangkan menurut klasifikasi rumah tangga miskin yang dilakukan BPS (data untuk pembagian
uang kompensasi kenaikan BBM) apabila diterapkan para zona wilayah dan kelurahan sampel
menunjukkan gambaran adanya perbedaan antar zona. Di kelurahan-kelurahan sampel di zona
dekat pantai/ zona rawan ternyata proporsi rumah tangga yang termasuk miskin paling tinggi
dibandingkan dengan zone lainnya. Di zona dekat tersebut jumlah rumah tangga yang
diklasifikasikan miskin sebanyak 32,4 persen. Sedangkan di zona sedang berada pada posisi
sedikit di bawahnya, yaitu 32 persen. Kondisi yang paling baik berada di zona jauh dari pantai,
di mana jumlah keluarga miskin hanya mencapai 20 persen (Tabel 4.2.1.6). Ini menunjukkan
bahwa di daerah-daerah yang dapat dikatakan zona dekat/ zona rawan ternyata merupakan
daerah yang relatif banyak memiliki rumah tangga miskin. Hal ini disebabkan karena akses pilihan
lokasi bagi rumah tangga miskin lebih terbatas dibandingkan keluarga yang tidak miskin. Di
daerah-daerah yang rawan biasanya merupakan tempat tinggal yang relatif murah dan terjangkau
secara ekonomi bagi rumah tangga miskin. Hal tersebut berbeda bagi rumah tangga tidak miskin,
mereka cenderung memiliki akses tinggal di mana saja termasuk lokasi yang paling aman, seperti
di daerah yang paling jauh dari pantai.
JUMLAH PERSENTASE
JUMLAH RUMAH RUMAH
ZONA KELURAHAN SAMPEL RUMAH TANGGA TANGGA
TANGGA MISKIN MISKIN
(1) (2) (3) (4) (5)
Individu dan rumah tangga merupakan salah satu stakeholder dalam assessment kesiapsiagaan
masyarakat menghadapi/ mengantipasi adanya bencana. Bagian ini akan mengkaji tentang
kesiapsiagaan individu dan rumah tangga dalam mengantipasi bencana alam. Sebelum mengkaji
tentang kesiapsiagaan tersebut, terlebih dahulu akan dikemukakan tentang karakteristik
responden. Karakteristik responden dibahas sebagai faktor-faktor yang ikut melatar-belakangi
parameter-perameter dalam kesiapsiagaan. Parameter tersebut adalah : (1). Pengetahuan tentang
bencana alam (Knowledge Attitude Behavior); (2). Rencana kesiapsiagaan rumah tangga
(Emergency Planning); (3). Peringatan bencana (Warning System); dan (4). Mobilisasi
sumberdaya rumah tangga (Resources Mobilization Capacity). Karakteristik responden yang
disajikan dalam bagian ini meliputi kondisi demografi dan sosial ekonomi responden.
Secara demografis hampir sebagian besar (57,1 persen) responden adalah laki-laki (Tabel 4.2.2.1).
Sedangkan dilihat dari statusnya dalam rumah tangga persentase terbanyak adalah kepala rumah
Menurut kelompok umur, mayoritas (90,6 persen) responden ternyata mereka yang sudah
berumur 20 – 59 tahun. Hanya sekitar 4,4 persen responden adalah yang berusia di bawah 20
tahun dan ada sekitar 5 persen responden yang berumur 60 tahun ke atas. Sedangkan dari latar
belakang pendidikannya, sebagian besar (65,2 persen) responden telah memiliki pendidikan
SMP/sederajat ke atas. Kemudian apabila diperinci lagi dari SMP/ sederajat ke atas tersebut
45,5 persen ternyata adalah telah berpendidikan SMA/sederajat ke atas. Jadi cukup banyak
responden yang memiliki pendidikan tinggi. Hanya sekitar 35 persen yang memiliki pendidikan
tamat SD ke bawah.
Kegiatan ekonomi responden, sebagian besar (63,3 persen) responden kegiatannya adalah
bekerja. Hal ini wajar sebab kebanyakan mereka kepala rumah tangga yang harus bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup rumah tangganya. Sekitar 23 persen responden hanya mengurus
rumah tangga yang mungkin isteri kepala rumah tangga. Sebanyak 6,9 persen masih menganggur,
1,6 persen masih mencari kerja serta 4,8 persen responden masih sekolah. Kemudian dari
responden yang bekerja tersebut, sebagian besar (63,8 persen) adalah mereka yang bekerja di
sektor jasa. Mereka antara lain adalah pegawai/ karyawan negeri atau swasta, pengusaha,
pedagang dan pekerja jasa lainnya. Responden yang bekerja di pertanian sebesar 33,4 persen. 221
Mereka termasuk pekebun, peternak, petani dan nelayan. Dalam status ekonomi rumah tangga
kajian ini menggunakan daftar rumah tangga miskin yang dibuat BPS untuk membagikan bantuan
langsung tunai dan beras raskin dari pemerintah. Sebesar 28,1 persen responden ternyata berasal
dari rumah tangga miskin yang mendapatkan bantuan uang langsung tunai. Kemudian 46 persen
responden termasuk rumah tangga miskin yang pernah mendapat bantuan beras miskin (raskin).
FREKUENSI
NO URAIAN
Absulut Persentase
(1) (2) (3) (4)
1. Jenis kelamin responden :
1. Laki-laki 799 57,1
2. Perempuan 601 42,9
Total 1.400 100,0
2. Status dalam rumah tangga :
1. Kepala rumah tangga 710 50,7
2. Istri/ suami 512 36,6
3. Anak 167 11,9
4. Lainnya 11 0,8
Total 1.400 100,0
3. Kelompok umur responden :
1. Kurang 20 tahun 62 4,4
2. 20 – 29 366 26.1
3. 30 – 39 423 30,2
4. 40 – 49 323 23,1
5. 50 – 59 157 11,2
6. 60 tahun ke atas 69 4,9
Total 1.400 100,0
4. Pendidikan tertinggi responden :
1. Tamat SD ke bawah 487 34,8
2. SMP/ sederajat 276 19,7
3. SMA/ sederajat ke atas 637 45,5
Total 1.400 100,0
5. Kegiatan ekonomi responden :
1. Bekerja 886 63,3
2. Menganggur 96 6,9
3. Cari kerja 23 1,6
4. Sekolah 67 4,8
5. Mengurus rumah tangga 328 23,4
Total 1.400 100,0
6. Lapangan pekerjaan responden :
1. Pertanian (termasuk pekebun,
peternak, petani, nelayan) 296 33,4
2. Jasa & perdagangan (termasuk
pegawai/ karyawan, pedagang &
jasa lainnya) 565 63,8
3. Manufaktur 25 2,8
Total 886 100,0
7. Status ekonomi rumah tangga :
1. Rumah tangga miskin yang
mendapat bantuan langsung
tunai (BLT) 393 28,1
2. Rumah tangga miskin yang
mendapat bantuan beras (raskin) 644 46,0
Pengetahuan yang akan diungkap dari penduduk Kota Bengkulu meliputi arti/ maksud dari bencana
alam dan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana. Kaitannya dengan pengetahuan
gempabumi mengungkap penyebab terjadinya gempabumi, kapan terjadinya gempabumi, ciri-
ciri gempa kuat, ciri-ciri bangunan/ rumah yang tahan gempa, dan apa yang dilakukan apabila
terjadi gempa. Selanjutnya terkait dengan pengetahuan tentang tsunami mengungkap apakah
setiap gempabumi menyebabkan tsunami, tanda-tanda/ gejala tsunami, ciri-ciri bangunan/ rumah
yang tahan terhadap tsunami, yang dilakukan seandainya air laut tiba-tiba surut serta sumber-
sumber informasi tentang gempa dan tsunami.
27,9
20,2 19,0 20,5
Hasil kajian terungkap bahwa arti/ maksud bencana alam, bagi sebagian besar responden (78,3
persen) menyatakan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam
(Diagram 4.2.2.1). Hanya sebagian kecil responden yang mengemukakan jawaban yang lain
dan tidak begitu tepat, seperti akibat perilaku manusia, akibat kerusuhan sosial politik dan akibat
kebakaran hutan/ serangan hama. Apabila dikaji menurut zona, ternyata proporsi responden
paling tinggi adalah mereka yang mengatakan bahwa bencana alam adalah bencana akibat kejadian
alam dan hal itu justru pada responden di zona dekat (79,3 persen), kemudian lebih rendah lagi
di zona sedang (78,8 persen) dan paling rendah di zona jauh (71,4 persen). Hal tersebut
kemungkinan disebabkan para responden di zona dekat yang paling banyak mengalami atau
merasakan bencana alam dan kemungkinan lain lebih banyak menerima informasi atau sosialisasi
tentang bencana alam. Menurut berbagai informan menunjukkan bahwa sosialisasi dan pelatihan
yang terkait dengan bencana alam selama ini masih lebih terfokus di zona dekat atau zona rawan.
Meskipun pelatihan dan sosialisasi tersebut belum merata ke masyarakat yang lebih luas di zona
Pengetahuan tentang kejadian-kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana, hampir seluruh
(lebih 90 persen) responden ternyata mengetahui kejadian-kejadian alam yang dapat menimbulkan
bencana, mulai dari gempabumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi dan badai (Diagram
4.2.2.2.). Dari 6 jenis bencana tersebut, nampaknya yang paling populer dan menyentuh hati
responden adalah gempabumi, tsunami dan banjir. Hal tersebut tercermin dari 98,9 persen
responden menyebut gempa bumi. Hal ini disebabkan karena daerah kajian merupakan daerah
yang rawan gempa. Gempa biasa terjadi setiap saat dan gempa yang akhir-akhir ini paling
dasyat dan banyak korban jiwa, rumah dan harta benda adalah tahun 2000. Kemudian jumlah
responden yang cukup tinggi (97,8 persen) yang menyebutkan bencana tsunami. Masih menjadi
ingatan segar bagi responden di Kota Bengkulu bahwa bencana tsunami telah menimbulkan
trauma bagi banyak penduduk wilayah pantai barat Sumatera termasuk di Kota Bengkulu dan
merupakan bencana nasional yang memakan korban jiwa ratusan ribu. Bagi penduduk pantai
Kota Bengkulu sampai saat ini masih ada rasa kekawatiran bila sewaktu-waktu akan terjadi
bencana tsunami. Sedangkan kejadian alam banjir selalu menjadi ingatan penduduk, sebab
bencana ini melanda sebagian wilayah Kota Bengkulu hampir setiap tahun. Bencana ini jarang
memakan korban jiwa, namun korban harta benda sering terjadi dan penduduk biasanya sementara
harus mengungsi ke tempat yang lebih aman.
Diagram 4.2.2.2.
Persentase Responden Rumah Tangga yang Menjawab “ya”
Mengenai Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006
Penyebab terjadinya gempabumi, secara umum yang dipahami oleh responden adalah adanya
pergeseran kerak bumi dan akibat gunung meletus. Dua jawaban tersebut masing-masing
disampaikan oleh lebih dari 80 persen jumlah responden (Tabel 4.2.2.2). Dari berbagai kejadian
alam yang cukup dasyat yang menimbulkan gempabumi dan diekspos di media massa terutama
dua kejadian alam (pergeseran kerak bumi dan gunung meletus) tersebut. Sedangkan tiga jawaban
lainnya, yakni tanah longsor, pengeboran minyak, angin topan dan halilintar bukan penyebab
terjadinya gempa bumi. Namun masih ada responden yang menyebutkan 3 jawaban tersebut,
antara lain tanah longsor 45,7 persen, pengeboran minyak 35,5 persen dan angin topan/ halilintar
19,4. Berarti mereka memang belum mengerti bahwa jawaban-jawaban tersebut tidak akan
menyebabkan terjadinya gempabumi yang besar.
Nampaknya pengetahuan tentang penyebab terjadinya gempabumi bagi responden di zona jauh
sedikit lebih baik dari pada di zona dekat. Perbedaan tersebut makin jelas apabila dibedakan
menurut latar belakang pendidikan responden. Kajian ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif
antara tingginya tingkat pendidikan dan besar proporsi responden yang memilih dua jawaban
tersebut. Di mana makin tinggi tingkat pendidikan responden makin tinggi yang menjawab
pergeseran kerak bumi dan gunung meletus, serta sebaliknya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa makin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi ada kecenderungan makin banyak
yang mengetahui sebab-sebab terjadinya gempabumi yang sebenarnya.
Tentang pengetahuan kapan diperkirakan gempabumi akan terjadi, sebagaimana teknologi geologis 225
yang dikuasai dan dimiliki instansi terkait dengan kebencanaan alam selama ini di mana gempabumi,
utamanya gempabumi yang episentrum di laut belum bisa diperkirakan kapan akan terjadi. Sebagian
besar responden (69,1 persen) ternyata juga memahami dengan mengatakan bahwa gempabumi
tidak dapat diperkirakan kapan akan terjadi. Hanya sebanyak 20,1 persen jumlah responden
tidak memberikan jawaban ’ya’ atau ’tidak’, sebab tidak memiliki pengetahuan sama sekali.
Selanjutnya masih ada sekitar 10,8 persen responden yang berani mengatakan ’ya, dapat
diperkirakan kapan gempa akan terjadi’. Sebetulnya jawaban ya tersebut dianggap kurang
tepat terutama gempabumi yang pusatnya di laut, sebab dengan teknologi yang ada sekarangpun
belum mampu memperkirakan secara tepat kapan gempabumi akan terjadi. Sebagai contoh
bencana gempa besar yang terjadi di Bengkulu tahun 2000 dan gempa dasyat yang melanda
Daerah Istimewa Yogyakarta pada Sabtu (27 Mei 2006) kelabu yang lalu, pusat gempanya
berada di laut dalam. Oleh karena itu, tidak ada teknologi (termasuk seismogram) di daerah
tersebut yang mampu memprediksi secara tepat kapan bencana akan terjadi. Hal ini yang
menyebabkan banyak penduduk terkejut dan tidak tahu apa yang harus segera dilakukan dan
akhirnya memakan korban jiwa yang cukup besar.
Untuk mengurangi resiko akibat gempabumi membuat bangunan/ rumah yang tahan gempa
merupakan salah satu pilihan yang tepat. Oleh karena itu, pengetahuan tentang ciri bangunan/
rumah yang tahan gempa menjadi sangat penting. Dari hasil kajian ini menunjukkan bahwa sebagian
besar responden (71,9 persen) ternyata mengatakan bahwa bangunan yang tahan gempa adalah
bangunan/ rumah yang terbuat dari material ringan (misal kayu, bambu, seng dsb). Mungkin
mereka beranggapan bahwa bangunan/ rumah dari material yang ringan akan banyak mengurangi
resiko akibat gempa dari pada model bangunan yang lain. Pengetahuan tentang bangunan/ rumah
terbuat dari material ringan tersebut bagi responden Kota Bengkulu barangkali berkaitan dengan
pengalaman melihat kerusakan akibat gempa selama ini. Juga melihat bangunan/ rumah yang
selama ini tidak mengalami kerusakan ketika ada gempa besar dan atap yang lebih aman seperti
seng. Menurut beberapa informan, setelah terjadinya gempa besar tahun 2000 banyak penduduk
Kota Bengkulu yang membangun rumah dengan material yang lebih ringan. Atap rumah yang
semula menggunakan genteng tanah atau genteng semen, sekarang banyak yang kembali
menggunakan atap seng. Adat kebiasaan masyarakat Bengkulu dahulu sebetulnya telah terbiasa
membuat rumah dengan atap seng dan kemungkinan mereka telah mengantipasi untuk mengurangi
resiko gempa. Di samping genteng seng lebih ringan, tidak begitu membahayakan seperti genteng
tanah/ semen. Apabila ada goyangan gempa besar genteng tanah/ semen bisa lepas-lepas dan
dapat jatuh menimpa orang-orang yang tinggal di bawahnya. Penggantian bahan ringan ini juga
telah dilakukan oleh salah seorang informan Lurah Pagar Dewa, di mana setelah kejadian gempa
besar besar tahun 2000 yang lalu semua atap bangunan rumahnya diganti dengan seng. Menurut
pengakuannya untuk mengurangi resiko apabila terjadi bencana gempa bumi yang besar lagi.
Tabel 4.2.2.2.
Pengetahuan Responden Tentang Gempabumi Menurut Zona, Kota Bengkulu
ZONE
(Persentase)
NO URAIAN
Rawan/ Hati-hati/ Aman/
TOTAL
Dekat Sedang Jauh
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Penyebab terjadinya gempabumi :
a. Pergeseran kerak bumi 78,9 84,5 85,0 81,7
b. Gunung meletus 84,6 77,5 85,7 82,0
c. Tanah longsor 45,8 41,6 55,7 45,7
d. Angin topan dan halilintar 22,8 14,2 22,1 19,4
e. Pengeboran minyak 39,4 27,3 47,1 35,5
2. Gempabumi dapat diperkirakan kapan terjadi:
1. Ya 9,2 12,4 12,9 10,8
2. Tidak 75,8 60,7 67,6 69,1
3. Tidak Tahu 15,1 26,9 19,4 20,1
Total 100,0 100,0 100,0 100,0
3. Apa ciri-ciri gempa kuat :
a. Gempa terjadi berulang-ulang 45,1 54,5 55,7 49,8 227
b. Gempa membuat pusing/ limbung 75,5 63,5 65,7 69,8
c. Gempa menyebabkan goyangan kencang/ keras,
sehingga tak bisa berdiri 93,8 91,3 93,6 92,8
d. Bangunan retak atau roboh 95,9 94,1 98,6 95,5
4. Gempa besar biasanya diikuti gempa susulan
yang lebih kecil :
1. Ya 96,8 96,7 92,9 96,3
2. Tidak 2,5 1,3 2,1 2,0
3. Tidak tahu 0,7 2,0 5,0 1,7
Total 100.0 100,0 100,0 100,0
5. Ciri-ciri bangunan/rumah tahan gempa :
a. Bentuk bangunan berimbang (simtri, spt segi
empat dan bujur sangkar. 23,8 30,4 20,0 26,0
b. Fondasi bengunan tertanam cukup dalam.
c. Bagian-bagian bangunan (fondasi, tiang, balok, 54,9 59,3 52,9 56,4
kuda-kuda) yang terbuat dari bata/beton/kayu
tersambung dengan kuat. 48,6 57,6 46,4 51,9
d. Bangunan/ rumah terbuat dari material yang
ringan (misal kayu, bambu, seng) 77,5 65,0 70,0 71,9
(N) (831) (420) (140) (1391)
Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Dalam Mengantipasi Bencana, LIPI –
UNESCO/ISDR, 2006
Mengenai pengetahuan tentang apa yang dilakukan apabila terjadi gempa, hampir semua responden
memilih segera menuju lapangan terbuka (95,8 persen). Sebagian besar responden ada yang
memilih menjauhi benda-benda yang tergantung (76,4 persen) agar tidak tertimpa apabila benda-
benda tersebut berjatuhan. Sebagian besar juga ada yang memilih menjauhi jendela/ dinding
kaca (71,7 persen) agar tidak terkena pecahan kaca dan ada yang memilih melindungi kepala
dengan berbagai alat (60,7 persen) mengingat kepala merupakan organ tubuh yang paling vital.
Ada sebagian besar responden (93,5 persen) yang mempunyai pilihan berlari ke luar rumah
pada saat gempa. Dari pengalaman responden pada kejadian gempa besar tahun 2000,
nampaknya penduduk yang selamat adalah mereka yang segera meninggalkan rumah saat
terjadinya gempa. Meskipun mereka harus jatuh bangun saat berlari ke luar rumah. Selanjutnya
dalam jumlah yang tidak besar ada responden yang ikut memilih berlindung di tempat yang aman
(53,6 persen), meninggalkan ruangan setelah gempa (36,3 persen), dan merapat dinding yang
bebas dari benda-benda (26,8 persen). Jawaban yang terakhir ini juga mengandung resiko
bilamana gempanya cukup kuat dan dinding tempat untuk berlindung ikut runtuh. Kasus ini ternyata
juga terjadi pada peristiwa gempa di Yogyakarta Sabtu, 24 Mei 2006 yang lalu, di mana mereka
yang berlindung di dekat dinding juga masih terkena reruntuhan dinding. Mungkin kasus tersebut
berbeda dengan di negara-negara rawan gempa, seperti Jepang yang kesiapsiagaan penduduknya
menghadapi bencana gempabumi sudah cukup tinggi. Dinding rumah penduduk di negara-negara
tersebut dibuat dari bahan yang ringan dan kuat, sehingga masih dapat digunakan untuk berlindung
pada saat gempa bumi terjadi.
Selanjutnya apabila dibedakan menurut zona, hampir semua pilihan jawaban di atas di zona jauh
persentase jumlah respondennya lebih tinggi dibandingkan di zona dekat dan zona sedang. Apabila
dibedakan menurut tingkat pendidikannya, hanya pada jawaban melindungi kepala dan menjauhi
benda-benda yang tergantung yang ada korelasi positif antara tingkat pendidikan responden dan
besarnya proporsi responden yang mengemukakan jawaban tersebut (Lampiran Tabel 4.2.2.2).
Pengalaman selama ini, ancaman korban bencana yang banyak adalah kepala karena tertimpa
benda-benda yang jatuh saat kejadian gempa. Karena merupakan organ tubuh yang sangat vital,
apabila kepala tertimpa benda-benda keras akibatnya adalah kematian dan gegar otak. Kasus
tersebut ternyata terjadi pada bencana gempa di Yogyakarta yang lalu, banyak korban luka di
kepala yang disebabkan kejatuhan genteng dan perabotan rumah yang lain.
ZONE
(Persentase)
NO URAIAN
Rawan/ Hati-hati/ Aman/
TOTAL
Dekat Sedang Jauh
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Berkaitan dengan bencana tsunami, ditanyakan tentang apakah setiap gempabumi akan
menyebabkan tsunami. Sebagian besar responden (76,7 persen) ternyata mengatakan ’tidak’
(Tabel 4.2.2.4). Ini berarti sebagian besar mereka telah memahami bahwa tidak setiap gempa
akan menghasilkan tsunami. Namun hal ini berbeda kasus yang terjadi pada gempabumi tahun
2005 yang lalu. Menurut beberapa informan pada waktu itu pemahaman masyarakat tentang
tsunami masih kurang, sehingga pada waktu gempa terjadi spontan penduduk berlarian menuju 229
tempat yang lebih tinggi. Kebetulan ada isu akan terjadi tsunami setelah gempa terjadi. Meskipun
belum pernah mengalami tsunami, mungkin penduduk masih trauma mengingat kejadian bencana
tersebut di Aceh Desember 2004 yang lalu. Pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena
panik dan saling bertabrakan. Setelah ada penjelasan dari pihak aparat bahwa tidak akan terjadi
tsunami, kemudian ada sebagian penduduk yang kembali ke rumahnya masing-masing serta setelah
beberapa saat ternyata tidak terjadi tsunami. Dari pengalaman tersebut mungkin telah merubah
opini penduduk Kota Bengkulu tentang pengetahuan gempabumi dan tsunami. Sehingga pada
waktu penelitian dilakukan banyak responden yang telah memahami bahwa tidak setiap gempa
akan menimbulkan tsunami. Hanya sebagian kecil (15,2 persen) yang masih beranggapan bahwa
setiap ada gempa akan memungkinkan terjadinya tsunami.
Dibedakan menurut zona, ternyata proporsi responden yang mengatakan ’tidak setiap gempa
akan menimbulkan tsunami’ untuk di zona aman lebih tinggi dibandingkan di daerah dekat
maupun zona sedang. Perbedaan ini nampaknya terkait dengan perbedaan tingkat pendidikan
responden. Kajian ini menunjukkan bahwa ada korelasi antara tingginya tingkat pendidikan dengan
pengetahuan yang benar tentang tsunami. Dalam kajian ini memperlihatkan bahwa makin tinggi
Pengetahuan tentang sebab-sebab ternjadinya tsunami, jawaban yang paling menonjol adalah
disebabkan adanya gempabumi di bawah laut (85,4 persen) dan karena gunung meletus di
bawah laut (66 persen). Dua jawaban tersebut adalah jawaban yang secara geologis paling
benar. Kemudian ada jawaban yang kurang tepat, yaitu akibat longsoran di bawah laut (52,2
persen) dan karena badai/ puting beliung (26,4 persen). Kemudian dibedakan menurut zona,
ternyata pada dua jawaban yang benar tersebut, persentase respondennya untuk zona jauh lebih
tinggi dibandingkan di zona sedang dan zona dekat pantai. Fenomena tersebut dapat didukung
dengan melihat tingkat pendidikan responden. Di mana makin tinggi pendidikan makin banyak
responden yang memberikan dua jawaban tersebut dan di zona jauh/ aman nampaknya lebih
banyak proporsi responden yang berpendidikan tinggi dibandingkan dengan yang di zona dekat.
Selanjutnya ditanyakan juga tentang tanda-tanda/ gejala akan adanya tsunami, jawaban yang
paling tinggi pada pilihan air laut tiba-tiba surut (82,7 persen). Pengetahuan ini sangat mungkin
menimba dari pengalaman tragedi Aceh yang disiarkan melalui berbagai media dan pengalaman
adanya isu yang tidak benar mengenai akan terjadinya tsunami di Kota Bengkulu pada tahun
2005 yang ternyata tidak terjadi sebab tanda-tanda utamanya tidak terlihat. Sehingga membuat
sebagian besar responden mengetahui betul gejala/tanda-tanda utama akan ternjadinya tsunami.
Kemudian dalam persentase yang tinggi adalah yang menjawab gempa menyebabkan goyangan
yang kencang/ keras sehingga tidak bisa berdiri dan gelombang besar di cakrawala. Apabila
dibedakan menurut zona, ternyata tidak ada pola perbedaan yang jelas antar zona. Namun bila
dibedakan menurut tingkat pendidikan responden di semua jawaban tanda-tanda/ gejala tsunami
tersebut ada korelasinya, yakni korelasi positif.
Mengenai ciri-ciri bangunan/ rumah yang tahan terhadap bencana tsunami, ada dua alternatif
jawaban yang perlu dipilih oleh responden, yakni adanya ruang-ruang untuk jalannya air dan
bagian bangunan yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai. Dua pilihan jawaban tersebut
ternyata kurang dipahami oleh para responden. Hanya 31,9 persen responden yang memilih
adanya ruang-ruang untuk jalannya air dan hanya 15,1 persen yang memilih bagian bangunan
yang panjang tegak lurus terhadap garis pantai. Apabila dibedakan menurut zona wilayah
ternyata tidak ada pola perbedaan yang jelas.
Dalam pengetahuan apa yang perlu dilakukan seandainya air laut tiba-tiba surut, berkaitan dengan
telah dipahaminya sebagian besar responden tentang tanda-tanda/ gejala terjadinya tsunami di
atas juga tercermin pada jawaban pertanyaan tersebut. Mayoritas responden (90,7 persen)
mengatakan mereka harus lari menjauh dari pantai. Sedangkan alternatif jawaban lain yang
sebenarnya tidak tepat hanya dinyatakan oleh sebagian kecil responden. Dibedakan menurut
zona wilayah, ternyata proporsi responden yang memilih berlari menjauhi pantai di zona jauh
sedikit lebih tinggi dari pada di zona dekat dan zona sedang.
ZONA
(Persentase)
NO URAIAN
Rawan/ Hati-hati/ Aman/ TOTAL
Dekat sedang Jauh
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Apakah setiap gempabumi menyebabkan
tsunami :
1. Ya 15,9 15,3 11,4 15,2
2. Tidak 77,2 74,8 82,1 76,7
3. Tidak tahu 6,9 9,9 6,4 8,0
Total 100,0 100,0 100,0 100,0
2. Apa yang bisa menyebabkan terjadinya
tsunami :
a. Gempabumi di bawah laut 84,2 85,4 91,4 85,4
b. Gunung meletus di bawah laut 68,1 62,5 68,6 66,0
c. Longsoran di bawah laut 55,5 47,8 52,9 52,2
d. Badai/ puting beliung 26,4 26,6 25,7 26,4
3. Tanda/gejala tsunami yang diketahui :
a. Gempa menyebabkan goyangan yang
kencang/keras sehingga tidak bisa berdiri 63,8 55,8 57,9 60,1
b. Air laut tiba-tiba surut 83,1 82,1 82,9 82,7
c. Gelombang besar di cakrawala 53,7 50,3 48,6 51,9
4. Ciri-ciri bangunan/rumah tahan tsunami :
a. Adanya ruang-ruang untuk jalannya air 32,4 31,9 29,3 31,9
b. Bagian bangunan yang panjang tegak lurus
terhadap garis pantai 12,8 19,9 8,6 15,1
5. Apa yang dilakukan seandainya air laut tiba
– tiba surut :
1. Berlari menjauh dari laut 91,0 89,1 95,0 90,7
2. Mendekati pantai 2,0 3,5 0,7 2,4
3. Mengambil ikan yang terdampar di pantai 1,7 2,4 0,7 1,9
4. Tidak tahu 5,4 5,0 3,6 5,0 231
Total 100,0 100,0 100,0 100,0
(N) (831) (420) (140) (1391)
Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantipasi Bencana, LIPI –
UNESCO/ISDR, 2006
Dari mana sumber informasi tentang gempa dan tsunami, ternyata sumber yang paling populer
adalah televisi, radio, media cetak, saudara/ kerabat/ teman dan tetangga (Diagram 4.2.2.3.).
Empat sumber informasi tersebut disampaikan masing-masing oleh lebih dari 70 persen responden.
Sehingga sumber informasi tersebut merupakan sumber informasi yang paling efektif bagi
masyarakat Kota Bengkulu untuk menyampaikan pesan/ berita dan mengadakan sosialisasi tentang
kesiapsiagaan bencana. Sedangkan peran aparat pemerintah, LSM/ Ornop dan media lain masih
kecil peranannya apabila digunakan untuk menyebarluasan kesiapsiagaan bencana.
Televis i 92,7
Radio 85,6
Diagram 4.2.2.3.
Persentase Responden Rumah Tangga yang Menjawab “ya”
Mengenai Sumber Informasi Tentang Gempa dan Tsunami, 2006
Dalam rencana penyelamatan/ tanggap darurat rumah tangga ada 4 indikator yang dikaji, yaitu
tindakan apa saja yang dilakukan rumah tangga setelah terjadinya gempa dan tsunami tahun
2004 yang lalu, di mana tempat penyelamatan anggota rumah tangga apabila terjadi gempa dan
tsunami, rencana-rencana yang dimiliki rumah tangga untuk kewaspadaan kemungkinan terjadinya
gempa dan tsunami dan apakah ada penyiapan kotak P3K dan obat-obatan khusus untuk
pertolongan pertama. Masing-masing indikator tersebut akan dibahas dalam uraian berikut.
Tentang tindakan apa yang dilakukan rumah tangga responden setelah terjadinya gempa dan
tsunami, nampaknya yang paling banyak dilakukan adalah menambah pengetahuan tentang
gempa dan tsunami (75,7 persen). Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui berbagai sumber
seperti media elektronik, media cetak maupun informasi dari sumber lain (keluarga, teman,
tetangga). Kemudian sekitar 47 persen telah membuat rencana pengungsian, antara lain lari
ke tempat yang tinggi/ aman dan mengungsi ke tempat kerabat yang lokasinya aman. Sedangkan
pilihan tindakan yang lain proporsi jumlah respondennya hanya kecil, seperti membangun rumah
yang tahan gempa (19,2 persen) dan pindah rumah ke tempat yang tinggi (18,2 persen).
Dua pilihan tindakan terakhir ini memerlukan kemampuan biaya yang besar. Oleh karena itu,
tidak semua responden mau memilihnya. Selanjutnya yang paling kecil proporsi responden yang
memilih melakukan latihan simulasi evakuasi keluarga. Tindakan ini sangat tergantung pada pihak
pemerintah apakah perlu melakukan atau tidak, nampaknya tidak mungkin dilakukan sendiri-
sendiri oleh rumah tangga.
Dilihat menurut zona, tidak ada pola yang jelas antar zona di daerah kajian. Namun apabila
dilihat menurut tingkat pendidikan, untuk jawaban menambah pengetahuan tentang gempa/ tsunami
Mengenai rencana tempat penyelamatan keluarga apabila terjadi gempa dan tsunami, ternyata
pilihan yang paling tinggi (79 persen) ke lapangan terbuka (Tabel 4.2.2.5). Dalam hal ini tentunya
juga di lokasi yang aman dan tinggi untuk bahaya tsunami. Pilihan kedua adalah lari ke gedung/
bangunan terdekat yang aman (70,8 persen). Dibandingkan antar zona, responden yang memilih
ini di zona jauh dan zona sedang lebih tinggi dari pada di zona dekat. Hal ini disebabkan gedung/
bangunan yang tinggi lebih banyak yang berada di zona sedang dan jauh dari pada di zona dekat.
Kemudian responden yang memilih posko bencana yang disediakan sebanyak 69 persen dan
yang memilih mengungsi ke rumah kerabat dan teman sebesar 51 persen. Dibedakan menurut
tingkat pendidikan, tempat menyelamatkan keluarga yang polanya jelas adalah di posko bencana
yang disediakan dan di gedung/ bangunan terdekat yang aman. Di mana makin tinggi
pendidikan responden proporsi yang menyebutkan 2 jawaban tersebut makin tinggi juga.
Rencana-rencana yang dimiliki rumah tangga untuk kewaspadaan kemungkinan terjadinya gempa
dan tsunami, ada 8 hal yang mungkin dapat dilakukan oleh rumah tangga responden. Hasil
wawancara menunjukkan bahwa hanya ada 3 hal yang paling banyak dikemukakan oleh
responden. Ketiga jawaban terbanyak tersebut adalah menyiapkan dokumen-dokumen penting
dan bernilai (71,4 persen), memufakati tempat pengungsian keluarga (63,8 persen) dan
menyiapkan pakaian dan kebutuhan khusus/ darurat keluarga (56,1 persen). Sedangkan
alternatif jawaban lainnya hanya kecil jumlah responden yang memilihnya, seperti menyiapkan
alamat-alamat/ nomor telepon yang penting (49,8 persen), menyiapkan photo keluarga (37,5
persen), dan menyiapkan makanan siap santap yang tahan lama (28,2 persen). Rendahnya mereka
yang memilih 3 hal tersebut mungkin dianggap tidak begitu penting sekali dan juga memerlukan
biaya. Penyiapan peta dan rute pengungsian hanya diakui oleh 32,7 persen responden, untuk
penyiapan tersebut sangat tergantung ketersediaan di tingkat pemerintah kota sampai tingkat 233
kelurahan, RW (Rukun Warga)/ lingkungan dan RT Rukun Tetangga) dan juga sosialisasinya ke
masyarakat yang selama ini masih kurang. Selanjutnya yang paling kecil adalah mengikuti latihan/
simulasi (10,0 persen), untuk kegiatan ini sangat tergantung pada kebijakan dan program
pemerintah kota. Saat ini kegiatan latihan dan simulasi tersebut masih untuk kalangan terbatas,
terutama kalangan para petugas penanggulangan bencana saja.
Dengan membandingkan antar zona, ternyata tidak ada pola perbedaan yang jelas. Juga dengan
membandingkan tingkat pendidikan responden, hanya pada 3 jawaban, yakni menyiapkan
dokumen-dokumen penting/ bernilai, menyiapkan alamat-alamat/ nomer telpon penting dan
jawaban menyiapkan pakaian dan kebutuhan khusus/ darurat keluarga yang menunjukkan ada
pola yang jelas. Ada korelasi positif antara tingginya tingkat pendidikan dengan tingginya persentase
responden yang menjawab di 3 jawaban terakhir.
c
d
e
234 LIPI – UNESCO/ISDR, 2006 f
1
2
korelasi positif antara tingkat pendidikan responden dengan besarnya proporsi keluarga responden
yang menyiapkan kotak P3K dan obat-obatan khusus pertolongan pertama.
Ada 3 indikator yang digunakan dalam kajian sistem peringatan bencana (warning system),
yaitu apakah mengetahui ada sistem/ cara peringatan akan terjadinya bencana tsunami, sumber
informasi tentang sistem/ cara peringatan akan terjadinya bencana tsunami dan kegiatan yang
dilakukan apabila mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami.
Dari hasil wawancara menunjukkan bahwa ternyata hanya sebagian kecil dari jumlah responden
(35,1 persen) yang mengetahui ada sistem/ cara peringatan akan terjadinya bencana tsunami
(Diagram 4.2.2.4.). Adapun sumber informasi tentang sistem/ cara peringatan akan terjadinya
tsunami tersebut proporsi responden yang banyak berasal dari pemerintah kota/ kelurahan, polisi
dan aparat keamanan, radio dan televisi. Masing-masing sumber informasi tersebut mencapai
lebih dari 60 persen. Cara peringatan dari pemerintah kota, polisi dan aparat keamanan, biasanya
apabila ada berita yang harus segera disampaikan langsung ke masyarakat biasanya melalui
pengeras suara yang dibawa mobil keliling/ mobil patroli polisi/ aparat keamanan. Seperti pada
waktu gempa besar yang terjadi tahun 2005, waktu itu penduduk sudah cukup panik berlarian
menuju tempat yang aman dan tinggi mengira bahwa akan terjadi bencana tsunami. Padahal
waktu itu tidak terjadi tsunami, sebagaimana telah diungkap di atas pihak aparat keamanan
dengan menggunakan mobil patroli keliling kota melalui pengeras suara berusaha menenangkan
penduduk.
Dibedakan menurut zona, ternyata proporsi responden tertinggi yang mengaku mendapatkan 235
sumber informasi cara peringatan dari pemerintah kota, polisi/ aparat keamanan, radio dan
televisi yang ada di zone sedang. Tingginya persentase responden di zona sedang tersebut
menunjukkan bahwa akses di zona ini terhadap sumber informasi tersebut lebih besar dari pada
zona lainnya. Sangat mungkin karena zona sedang merupakan pusat kota yang berada di tengah-
tengah Kota Bengkulu, sehingga lebih mudah terjangkau informasi atau paling dahulu menerima
informasi.
69,8
80
64,3 64,9
58,7
60
41,3
35,7 Ya
35,1
40 30,2
Tidak
20
0
Rawan/dekat Hati- Aman/Jauh Total
hati/sedang
Diagram 4.2.2.4.
Persentase Responden Rumah Tangga
mengenai Pernah atau Tidak Mendengar Peringatan Tsunami, 2006
Kegiatan apa yang dilakukan apabila mendengar peringatan/ tanda bahaya tsunami. Ada 7 alternatif
jawaban yang perlu dipilih oleh responden, ternyata sebagian besar (masing-masing di atas 60
persen) telah memilih 7 alternatif tersebut. Dari 7 alternatif jawaban tersebut yang tertinggi
persentasenya adalah memilih menjauhi pantai dan lari ke tempat/ gedung yang tinggi. Hal
ini relevan dengan pertanyaan sebelumnya mengenai pengetahuan yang perlu dilakukan apabila
air laut tiba-tiba surut mereka berlari menjauhi pantai (Tabel 4.2.2.6.). Dalam persentase yang
cukup tinggi adalah yang memilih bergegas menuju tempat penyelamatan/ pengungsian/
evakuasi (88,8 persen), membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua dan orang cacat keluar
rumah menuju ke tempat aman sementara (74,5 persen), mengunci pintu sebelum
meninggalkan rumah (74,9 persen), mematikan listrik dan kompor di rumah (72 persen)
dan menenangkan diri/ tidak panik (71,5 persen). Kemudian yang terakhir perlu membawa
tas/ kotak/ kantong siaga bencana hanya sebesar 63,2 persen. Dibandingkan antar zone ternyata
tidak ada perbedaan pola yang jelas. Juga pada perbandingan menurut tingkat pendidikan, hanya
pada jawaban membawa tas/ kotak/ kantong siaga bencana dan jawaban mengunci pintu sebelum
meninggalkan rumah ternyata ada pola korelasinya. Makin tingkat pendidikan responden makin
tinggi proporsi responden yang menyampaikan jawaban-jawaban tersebut.
ZONA
(Persentase)
URAIAN
NO Sumber : Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat Rawan/dalamHati-hati/
MengantipasiAman/
Bencana, LIPI –
TOTAL
Dekat Sedang Jauh
UNESCO/ISDR, 2006
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1. Sumber informasi adanya sistem/ cara 237
peringatan akan terjadinya tsunami :
a. Pemerintah kota/kabupaten/desa
4.2.2.4. Kemampuan Memobilisasi 56,1 Sumber 75,9
Daya 59,3 65,3
b. Polisi dan aparat keamanan 60,3 73,2 63,0 66,4
c. RRI dan radio swasta 60,7 71,1 64,8 65,8
d. Kemampuan
TVRI & TV Swasta/ media cetakmemobilisasi sumberdaya 54,9 merupakan
65,8 potensi
63,0 dan peran
60,7 rumah tangga dalam
e. Masjid, mushola, gereja, klenteng 44,0 49,6 46,3 46,7
f.
kesiapsiagaan menghadapi bencana
RAPI. ORARI, PMI & Ornop lainnya
gempa dan
20,9
tsunami. 22,2
33,0
Dalam mengkaji
26,5
potensi dan peran
g. keluarga tersebut
Tokoh masyarakat/cerita ada 4 indikator yang digunakan, yaitu keikutsertaan anggota keluarga responden
rakyat/turun
temurun/pengalaman pribadi
dalam pelatihan/ seminar/ pertemuan 40,3 40,4dengan kesiapsiagaan
yang terkait 44,4 40,7 menghadapi bencana
2. Apa yang dilakukan apabila mendengar
gempabahaya
peringatan/tanda dan tsunami,
tsunamijenis
: latihan/ ketrampilan yang sudah diikuti oleh anggota keluarga responden,
a. beberapa
Menjauhi pantai & lari kepenyiapan keluarga
tempat/gedung yang responden untuk kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya
tinggi. 93,1 92,5
b. bencana
Bergegas menuju tempat danpenyelamatan/
keradaan kerabat/ teman yang siap91,1
membantu94,3 apabila terjadi bencana.
pengungsian/ evakuasi 89,3 88,0 89,3 88,8
c. Membawa tas/kotak/ kantong siaga bencana
Dari hasil kajian menunjukkan
Membantu anak-anak, ibu hamil, orang tua &
bahwa ternyata
63,1
mayoritas
62,4
responden
66,9
(86 persen) mengemukakan
63,2
d. orang cacat belum
ke luar pernah ada anggota
rumah menuju keluarganya yang mengikuti pelatihan/ seminar/ pertemuan yang terkait
ke tempat
aman sementara
dengan kesiapsiagaan menghadapi 74,5 74,6
bencana gempa 74,3
dan tsunami 74,5 4.2.2.7). Meskipun
(Tabel
e. Menenangkan diri/ tidak panik 67,2 67,2 74,3 71,5
f. informasi
Mematikan listrik, kompor dari
di aparat
rumah pemerintah di tingkat
70,6 kecamatan70,6 pernah ada pelatihan-pelatihan
72,9 72,0 yang terkait
g. Mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah. 76,4 76,4 72,1 74,9
dengan kesiapsiagaan bencana, namun diakuinya masih terbatas pada petugas-petugas seperti
(N) (831) (420) (140) (1391)
Kemudian jenis-jenis latihan/ ketrampilan yang diikuti oleh anggota rumah tangga, yang paling
banyak diikuti adalah yang berkaitan dengan P3K (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan).
Persentase responden yang anggota rumah tangganya ikut pelatihan P3K sebanyak 69,1 persen.
Mereka adalah anak sekolah/ remaja anggota PMR (Palang Merah Remaja) yang biasanya
berada di SD, SLTP dan SLTA. Selanjutnya ada latihan kepramukaan (tali temali, memasang
tenda dan membuat tandu) sebesar 62,4 persen dari jumlah reponden. Ini adalah para rumah
tangga yang anggotanya/ anaknya ikut menjadi anggota pramuka. Kemudian dalam proporsi
yang lebih rendah (56,7 persen) jumlah responden yang anggota rumah tangganya ikut pelatihan
evakuasi korban, mungkin mereka itu anggota satgana, anggota SAR dll. Mereka ikut pelatihan
pengolahan air bersih juga ada meskipun hanya 33,5 persen.
Mengenai persiapan rumah tangga untuk kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya bencana
umumnya masih sangat rendah. Jumlah rumah tangga responden yang telah menyiapkan tabungan
hanya sekitar 32 persen. Kemudian yang mempunyai persiapan dengan memiliki tanah/ rumah
di tempat lain (18,6 persen). Tempat tersebut kemungkinan dianggap aman dan sewaktu-waktu
ada bencana bisa digunakan untuk tempat mengungsi. Sedangkan yang memiliki inisiatif berupa
asuransi jiwa/ harta benda hanya kecil sekali sebesar 14,4 persen. Apabila dibandingkan
antar zone wilayah ternyata tidak menunjukkan pola perbedaan yang jelas. Selanjutnya apabila
dibandingkan menurut tingkat pendidikan responden ternyata di semua jawaban tersebut
menunjukkan ada korelasi positif.
Indikator yang terakhir, adakah kerabat/ teman keluarga responden yang siap membantu apabila
terjadi bencana. Data menunjukkan bahwa ternyata sebagian besar (74 persen) responden
mengaku memiliki kerabat/ teman yang siap membantu andaikata ada bencana yang
menimpa keluarganya. Fakta ini memperlihatkan masih kentalnya hubungan perkerabatan/
pertemanan di masyarakat Kota Bengkulu untuk sayang tolong-menolong.. Menurut perbedaan
wilayah, ternyata justru keluarga di zona dekat/ rawan yang paling banyak memiliki kerabat/
teman yang siap membantu apabila ada bencana dibandingkan di zona sedang dan zona jauh/
aman. Nampaknya kekerabatan dan saling tolong-menolong dalam masyarakat di daerah rawan
dan miskin lebih kental dari pada di daerah yang tidak miskin.
100
80 69
56
60 51
38
40 28
20
0
Pengetahuan Rencana Sistim Kemampuan Indeks rumah
Tanggap Peringatan Memobilisasi tangga
Darurat Bencana Sumber Daya
Diagram 4.2.2.5.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga di Kota Bengkulu, 2006
100
80 69 69
69
59 57
Nilai Indeks
60 53 52 51 50
40
38 38
36
27 26
20
20
0
Raw an/Dekat Hati-hati/Sedang Aman/Jauh
Diagram 4.2.2.6.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga
Menurut Zona, Kota Bengkulu, 2006
Variasi tingkat kesiapsiagaan tersebut ternyata cenderung lebih jelas pada latar belakang pendidikan
masyarakat yang berbeda. Hal tersebut terbukti dari Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga tersebut
apabila dihubungkan dengan tingkat pendidikan responden menunjukkan gambaran yang cukup
menarik (Tabel 4.2.2.8). Ternyata ada korelasi positif antara besarnya indeks gabungan
kesiapsiagaan rumah tangga (IH) dengan tingginya tingkat pendidikan responden. Di mana makin
tinggi tingkat pendidikan responden besarnya indeks gabungan kesiapsiagaan rumah tangga juga
makin tinggi, sebaliknya makin rendah tingkat pendidikan responden juga makin rendah indeks
gabungan kesiapsiagaan keluarga. Kemudian yang lebih menarik lagi ternyata masing-masing
komponen indeks gabungan rumah tangga, yakni Indeks KAP, Indeks EP, Indeks WS dan
Tabel 4.2.2.8.
Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga dalam Menghadapi Gempa dan Tsunami
Menurut Tingkat Pendidikan Responden, Kota Bengkulu
TINGKAT PENDIDIKAN
NO PARAMETER
Tamat Tamat Tamat
Tak Sek. Tak Tamat Tamat SMP/ SMA/ Se Akademi/
SD SD Sederajat derajat PT
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. Pengetahuan 64 67 68 69 69 72
2. Rencana Penyelamatan/
Tanggap Darurat 29 34 34 38 41 44
3. Sistem Peringatan
Bencana 42 51 54 55 60 59
4. Kemampuan Mobilisasi
Sumberdaya 22 21 24 26 31 39
Indeks Kesiapsiagaan
Rumah angga 44 48 49 51 53 57
Tingkat kesiapsiagaan Kota Bengkulu dinilai berdasarkan hasil angket menggunakan kuesioner,
wawancara dengan informan dan narasumber dari instansi-instansi yang relevan, dan workshop
yang melibatkan semua stakeholders kesiapsiagaan masyarakat, baik stakeholders utama
maupun pendukung. Angket dilaksanakan dengan menyebar kuesioner kepada pemerintah kota
(seri P1), aparat pemerintah dari instansi yang relevan (seri P2) dan pemerintah kecamatan (seri
P3). Sesuai dengan rencana, kuesioner untuk pemerintah kota (seri P1) diserahkan kepada
Ketua Bappeda untuk mengkoordinir pengisian kuesioner yang datanya berasal dari berbagai
instansi yang terlibat dalam pengelolaan bencana, khususnya kesiapsiagaan bencana. Kuesioner
ini kemudian diambil sesuai dengan waktu yang telah disepakati. Kuesioner untuk aparat (seri
P2) sebanyak 40 diberikan kepada kepala-kepala dinas atau yang mewakili, yaitu: Bappeda
(8), Bagian Kesra - Sekda Kota Bengkulu (2), Dinas Kesehatan (5), Dinas Tenaga Kerja dan
Sosial (5), Dinas Pariwisata dan Komunikasi Informasi (5), Dinas Pendidikan Nasional (5),
Dinas Perhubungan (5) dan Satpol PP (5). Seperti kuesioner seri P1, kuesioner tersebut ditinggal
dan diambil beberapa hari kemudian, sesuai dengan kesepakatan. Agar kuesioner ini dapat
dijawab dengan baik, maka pada sampul kuesioner diberikan penjelasan singkat mengenai cara
pengisian. Sedangkan kuesioner dengan Seri P3 untuk kecamatan diisi oleh camat dan/atau yang
mewakili di lima lokasi survei, yaitu: Kecamatan Ratu Agung, Kecamatan Kampung Melayu,
Kecamatan Selebar, Kecamatan Muara Bangkahulu dan Kecamatan Gading Cempaka.
243
4.2.3.1. Pengetahuan Tentang Bencana
Pengetahuan yang mendasar tentang bencana adalah pengertian tentang bencana. Hasil kajian ini
menggambarkan bahwa responden aparat pemerintah Kota Bengkulu mempunyai pengetahuan
96
93
100 90
75
80
60
Persentase
25
20 10
7
4
0
SMA/sederajat Diploma/Akademi Perguruan Tinggi Total
Diagram 4.2.3.1.
Pengertian Bencana Alam Aparat Pemerintah
Kota Bengkulu, 2006
Dari hasil angket juga terungkap bahwa semua responden aparat mengetahui kejadian alam yang
dapat menimbulkan bencana. Dari pertanyaan apakah gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor,
genung berapi dan badai dapat menimbulkan bencana, 100 persen responden menjawab ke
enam kejadian alam tersebut dapat menimbulkan bencana. Menurut sebagaian aparat, kejadian
alam yang menimbulkan bencana di Kota Bengkulu adalah gempa bumi dan banjir. Tsunami
dalam dasa warsa ini belum pernah terjadi, meskipun kota ini seringkali terjadi gempa.
Pengetahuan umum aparat pemerintah tentang gempa bumi relatif baik. Hampir semua responden
menjawab gempa bumi tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya. Dari tabel 4.2.3.1. dapat
diketahui bahwa semua responden mengetahui gempa bumi terjadi karena adanya pergeseran
kerak bumi. Hampir semua juga mengemukakan gunung meletus sebagai penyebab gempa.
Sedangkan pengetahuan tentang tanah longsor sebagai penyebab gempa bervariasi menurut
pendidikan. Sebagian besar responden yang berpendidikan SMA atau sederajat mengemukakan
bahwa tanah longsor menyebabkan terjadinya gempa. Sebaliknya semua responden yang
berpendidikan Diploma/Akademi dan lebih dari separuh responden yang tamat Perguruan Tinggi
menjawab pertanyaan angket dengan benar, tanah longsor tidak menyebabkan terjadinya gempa
bumi. Di samping itu, umumnya responden mengetahui kalau angin topan dan halilintar serta
pengeboran minyak bukan penyebab terjadinya gempa.
Pendidikan Terakhir
Total
No.
Pengetahuan tentang Gempa SMA Diploma/ Perguruan
sederajat Akademi Tinggi
1. Penyebab terjadinya gempa bumi
a. Pergeseran kerak bumi 100,0 100,0 100,0 100,0
b. Gunung meletus 100,0 83,3 100,0 97,5
c. Tanah longsor 80,0 0,0 41,7 52,5
d. Angin topan dan
20,0 0,0 12,5 12,5
halilintar
e. Pengeboran minyak 20,0 16,7 25,0 22,5
2. Gempa bumi dapat diperkirakan kapan
0,0 16,7 12,5 10,0
terjadinya
3. Ciri-ciri gempa kuat
a. Gempa terjadi berulang-ulang 70,0 50,0 62,5 62,5
b. Gempa membuat pusing/ limbung 90,0 66,7 58,3 67,5
c. Gempa menyebabkan goncangan
kencang/ keras sehingga tidak bisa 95,0
berdiri 80,0 100,0 100,0
Di samping pengetahuan umum tentang gempa, dalam kajian ini juga ditanyakan pengetahuan
responden tentang kerentanan fisik bangunan terhadap gempa yang digambarkan dari ciri-ciri
bangunan tahan gempa. Dari empat ciri yang dikemukakan dalam kuesioner, sebagian besar
responden menjawab tiga ciri, yaitu: pondasi bangunan tertanam cukup dalam, bagian-bagian
bangunan (pondasi, tiang, balok, kuda-kuda) yang terbuat dari bata/beton/kayu tersambung
dengan kuat dan bangunan/rumah terbuat dari meterial yang ringan (misal kayu, bambu dan
seng). Sedangkan bentuk bangunan berimbang sebagai bangunan tahan gempa, jawabannya
bervariasi, dua per tiga dari jumlah responden yang berpendidikan diploma/akademi dan hanya
sepertiga responden yang berpendidikan perguruan tinggi. Gambaran ini menunjukkan pengetahuan
mengenai bentuk bangunan yang berimbang atau simetris belum banyak diketahui oleh aparat
sebagai salah satu ciri bangunan tahan gempa.
Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, hampir semua responden mengetahui kegiatan
yang dilakukan apabila terjadi gempa adalah: menjauhi benda-benda yang tergantung dan jendela/
dinding kaca, berlari keluar rumah pada saat gempa, segera menuju lapangan terbuka dan
melindungi kepala dan berlindung di tempat yang aman. Tetapi, hanya sebagian kecil responden
saja yang akan merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda. Rendahnya persentase
responden ini berkaitan erat dengan pengalaman dimana sebagian besar dinding rumah yang
terbuat dari beton mengalami keretakan dan kerusakan (runtuh) ketika terjadi gempa tahun 2000,
karena itu dianggap tidak cukup aman dan bahkan berbahaya jika mereka merapat didinding.
Tabel 4.2.3.2. menggambarkan adanya variasi tindakan yang dilakukan responden apabila terjadi
bencana gempa. Semua responden menjawab langsung keluar ruangan ketika terjadi gempa,
tetapi, dua per tiga responden juga menjawab akan meninggalkan ruangan setelah gempa reda.
Ketidak konsistenan jawaban ini dijelaskan responden dengan dua alasan, yaitu: gempa di Kota
Bengkulu biasanya berlangsung sangat cepat, hanya beberapa detik, sehingga gempa sudah berhenti
sebelum mereka sempat keluar ruangan, dan ketika mereka sedang berada di ruangan atau
gedung yang tidak memungkinkan untuk segera keluar pada saat terjadi gempa. Jika sedang
berada di gedung yang bertingkat, sebagian besar responden setuju untuk keluar gedung setelah
gempa reda dengan menggunakan tangga. Apabila gempa terjadi saat mereka sedang berada di
Tabel 4.2.3.2.
Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Tindakan yang Dilakukan
Apabila Terjadi Gempa, Menurut Pendidikan yang Ditamatkan
(Persentase yang Menjawab Ya)
Pendidikan
No. Kegiatan SMA D1/D2/D3/ Perguruan Total
sederajat Akademi Tinggi
1. Berlindung di tempat yang aman (misal
90,0 83,3 91,7 90,0
bawah meja yang kokoh)
2. Melindungi kepala 100,0 100,0 87,5 92,5
3. Segera menuju lapangan yang terbuka 100,0 100,0 100,0 100,0
4. Menjauhi benda-benda yang tergantung 100,0 100,0 95,8 97,5
5. Merapat ke dinding yang bebas dari benda-
10,0 33,3 37,5 30,0
benda
6. Menjauhi jendela/dinding kaca 90,0 100,0 79,2 85,0
7. Meninggalkan ruangan setelah gempa reda 66,7 65,0
60,0 66,7
N 10 6 24 40
Pengalaman seringnya terjadi gempa bumi di Kota Bengkulu membuat hampir semua responden
mengetahui bahwa tidak setiap gempa bumi menyebabkan tsunami, melainkan gempa bumi yang
terjadi di bawah laut sebagai penyebab tsunami. Di samping itu, hasil angket menggambarkan
sebagian besar responden mengetahui gunung meletus dan longsoran di bawah laut merupakan
penyebab terjadinya tsunami. Hanya seperempat dari jumlah responden yang menjawab badai
atau puting beliung menyebabkan terjadinya tsunami, berarti sebagian besar responden mengetahui
jawaban yang benar, badai dan puting beliung bukan penyebab tsunami. Jika dilihat dari tingkat
pendidikan, pengetahuan responden tersebut bervariasi, semua responden yang berpendidikan
Tabel 4.2.3.3.
Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu tentang Tsunami Menurut
Pendidikan yang Ditamatkan (Persentase yang Menjawab Ya)
Pendidikan
No. Pengetahuan tentang Tsunami SMA D1/D2/D3/ Perguruan Total
sederajat Akademi Tinggi
Pengetahuan tentang adanya gelombang besar di cakrawala sebagai tanda akan terjadinya tsunami
hanya diketahui oleh dua pertiga responden. Sedangkan gempa yang menyebabkan goyangan
yang kencang/keras, sehingga tidak bisa berdiri, sebagai tanda tsunami hanya dijawab sebagian
responden saja. Jawaban tersebut lebih didasarkan pada pengalaman responden ketika terjadi
Di samping pengetahuan umum tentang tsunami, dalam kajian ini juga ditanyakan pengetahuan
aparat mengenai ciri-ciri bangunan/rumah yang tahan tsunami. Pengetahuan ini sangat penting
untuk mengantisipasi dan mengurangi dampak bencana tsunami. Tetapi hasil angket menunjukkan
pengetahuan sebagian responden masih terbatas pada adanya ruang-ruang kosong untuk jalannya
air. Sedangkan ciri yang lain, seperti penempatan bagian yang panjang bangunan tegak lurus
terhadap garis pantai masih belum diketahui oleh sebagian besar responden dari semua tingkat
pendidikan.
Pengetahuan responden aparat mengenai ciri-ciri tsunami digambarkan juga dari tindakan yang
akan dilakukan apabila air laut tiba-tiba surut. Hampir semua responden menjawab akan segera
berlari menjauhi laut. Tindakan ini berlaku untuk semua tingkat pendidikan responden, meskipun
presentase responden yang berpendidikan diploma/akademi lebih rendah dari yang berpendidikan
SMA/sederajat dan perguruan tinggi. Pemberitaan pengalaman bencana tsunami di Aceh dan
Nias memberikan pengaruh yang sukup signifikan terhadap jawaban responden aparat pemerintah
Kota Bengkulu.
100 96 95
100 83
80
Diagram 4.2.3.2.
Tindakan Aparat Pemerintah Apabila Air Laut
Tiba-tiba Surut, 2006
Pengetahuan responden aparat tentang bencana gempa dan tsunami diperoleh dari berbagai
sumber. Dari diagram 4.2.3.3 diketahui bahwa TV merupakan sumber utama yang diperoleh
semua responden untuk semua tingkatan pendidikan. Sumber informasi lain yang dominan adalah
radio dan koran. Radio merupakan sumber informasi bagi semua responden, kecuali sebagian
kecil responden yang berpendidikan sarjana. Demikian juga dengan koran, merupakan sumber
informasi bagi semua responden, kecuali sebagian kecil responden dengan pendidikan tamat
SMA atau yang sederajat.
Petugas pemerintah 80
Koran 97
TV 100
Radio 92
0 20 40 60 80 100
Persentase
Diagram 4.2.3.3.
Sumber Informasi yang Diperoleh Aparat Pemerintah
Kota Bengkulu, 2006
Dari hasil angket terlihat bahwa aparat dengan pendidikan sarjana lebih memilih koran daripada
radio sebagai sumber informasi, dan sebaliknya dengan aparat dengan pendidikan SMA lebih
banyak mendapatkan informasi dari mendengarkan radio daripada membaca koran (tabel 4.2.3.4.)
Meskipun responden adalah aparat pemerintah, informasi yang berasal dari petugas pemerintah
lebih kecil jika dibandingkan dengan informasi dari saudara, kerabat, teman atau tetangga. Hal
ini mungkin berkaitan erat dengan masih terbatasnya informasi kesiapsiagaan bencana yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Di samping itu, pengalaman terjadinya gempa di Kota Bengkulu,
juga berkontribusi meningkatkan pengetahuan responden aparat tentang gempa bumi.
Dari tabel 4.2.3.4. juga terungkap bahwa informasi yang berasal dari barang cetakan, seperti:
buku saku, poster, leaflet dan papan pengumuman atau billboard masih sangat terbatas. Gambaran
ini diindiksikan dari persentase responden yang mendapatkan informasi dari sumber tersebut
menduduki posisi yang terendah. Hanya sebagian responden yang pernah mendapat informasi
dari buku saku, poster, leaflet dan billboard. Hal ini berkaitan erat dengan masih minimya buku
saku, poster, leaflet dan billboard yang berkaitan dengan kesiapsiagaan terhadap bencana di
Kota Bengkulu.
Kesiapsiagaan pemerintah untuk mengantisipasi bencana alam juga tercermin dari adanya kebijakan,
peraturan dan panduan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kebijakan, peraturan dan panduan
adalah bentuk komitmen pemerintah yang sangat penting, merupakan langkah awal yang
memayungi semua program dan kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana. Dalam kajian ini 251
penilaian kebijakan didasarkan pada data yang dikumpulkan melalui: 1) kuesioner angket dengan
seri P1 untuk Pemerintah Kota dan seri P3 untuk Pemerintah Kecamatan, 2) workshop yang
melibatkan semua komponen masyarakat, dan 3) untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
komprehensif dan detail, maka dilakukan wawancara dengan pimpinan, atau yang mewakili, dari
instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan bencana, seperti: Bappeda, Bagian Kesra, Dinas
Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Pariwisata dan Informasi Komunikasi, Dinas
Pendidikan Nasional, Dinas Perhubungan, Dinas Pemadam Kebakaran, Kodim 0407, Polres,
LANAL dan Satpol PP Kota Bengkulu.
- Pemerintah Kota
Kajian ini menggunakan 5 kelompok indikator untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan pemerintah
kota yang berkaitan dengan kebijakan, peraturan dan panduan. Kelompok indikator tersebut
terdiri dari: 1) keberadaan organisasi pengelola kesiapsiagaan, termasuk organisasi Satlak PB,
Berbeda dengan pengetahuan dasar aparat, kesiapsiagaan Pemerintah Kota Bengkulu yang
berkaitan dengan kebijakan relatif rendah. Gambaran ini dicerminkan dari masih terbatasnya
kebijakan, peraturan dan panduan yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu,
terutama yang berhubungan dengan organisasi pengelola bencana, alokasi dana, rencana untuk
keadaan darurat, sistim peringatan bencana, mobilisasi sumber daya dan pendidikan publik.
Organisasi Pengelola
Sesuai dengan standar, Satlak Kota Bengkulu diketuai oleh Walikota Bengkulu, dengan wakil
ketua: Dandim 0407 dan Kapolres Bengkulu dan sekretaris Sekretaris Daerah Kota Bengkulu.
Organisasi ini melibatkan seluruh instansi pemerintah dan komponen masyarakat yang relevan,
termasuk LSM, KSR PMI, GAPENSI, Darma Wanita dan PKK. Satlak Kota Bengkulu terdiri
dari 4 bidang, yaitu: (1) pengamanan, penyelamatan dan kesehatan, (2) perlengkapan dan dapur
umum, (3) penerimaan dan penyaluran bantuan, dan (4) administrasi dan keuangan.
Hasil kajian ini menggambarkan bahwa organisasi penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi ini belum berjalan optimal, meskipun Satlak Kota Bengkulu sudah terbentuk sejak
tahun 2002 dan telah mengalami perubahan sebanyak dua kali. Hal ini terungkap dari hasil
workshop yang melibatkan semua instansi pemerintah dan komponen masyarakat yang relevan,
dan hasil wawancara dengan narasumber dari instansi-instansi yang relevan. Meskipun dalam
kuesioner seri P1 dikatakan Satlak berperaan ketika bencana terjadi, tetapi peran ini hanya
Belum optimalnya kegiatan Satlak berkaitan erat dengan beberapa alasan. Pertama, sosialisasi
Satlak masih sangat terbatas, sehingga banyak anggota yang tidak mengetahui apa wewenang,
tugas dan fungsi Satlak. Minimnya sosialisasi juga menyebabkan belum pahamnya anggota satlak
mengenai tugas instansi mereka di organisasi ini. Sebagai contoh, seorang wakil ketua Satlak
terkejut ketika diberitahu dan diperlihatkan SK Satlak, lembaganya menjadi anggota bidang
perlengkapan dan dapur umum. Padahal, wewenang, tugas dan fungsi lembaga tersebut lebih
fokus pada bidang pengamanan dan penyelamatan. Contoh lain, pimpinan LSM belum mengetahui
kalau LSM termasuk anggota Satlak bidang pengamanan, penyelamatan dan kesehatan. Ke
dua, pembagian tugas, fungsi dan tanggung jawab masing-masing instansi atau lembaga yang
termasuk dalam anggota Satlak (siapa melakukan apa) belum tersedia. Keadaan ini
mengindikasikan belum adanya prosedur tetap (protap) pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana di Kota Bengkulu. Pada waktu kajian ini dilakukan, pemerintah Provinsi Bengkulu
sedang mengembangkan protap untuk tingkat provinsi, draft protap penanggulangan bencana
alam dan penanganan pengungsi Provinsi Bengkulu sedang dibahas. Ke tiga, anggota Satlak
kebanyakan adalah birokrat, pejabat-pejabat dari instansi-instansi pemerintah yang sibuk dengan
tugas dan tanggung jawab di instansi masing-masing, di samping itu person in-charge dari masing-
masing instansi atau lembagan seringkali tidak jelas dan berganti-ganti, karena pindah tugas atau
promosi jabatan, sehingga menyebabkan terputusnya informasi dan mempengaruhi kinerja Satlak.
253
Alokasi Dana
Pemerintah Kota Bengkulu mengalokasikan dana dalam Anggaran Belanja Pemerintah Daerah
(APBD) untuk penanggulangan bencana. Pada tahun 2006 anggaran yang direncanakan sebesar
Rp 1,5 miliar, dikelola oleh Bagian Kesra, Sekda Kota Bengkulu. Pada waktu kajian ini dilakukan
bulan April 2006, anggaran tersebut belum turun. Menurut Kepala Bagian Kesra, dana
penanggulangan bencana di kota ini termasuk untuk kegiatan kesiapsiagaan bencana, seperti
pelatihan-pelatihan yang dilakukan oleh Satgas.
Tetapi berdasarkan hasil workshop dan narasumber dari instansi-instansi yang terlibat
penanggulangan bencana, belum ada alokasi dana untuk kesiapsiagaan terhadap bencana. Belum
adanya alokasi dana tersebut juga dikemukakan oleh anggota DPRD dari Komisi D. Anggota
dewan tersebut menyatakan pentingnya pendidikan dan kesiapsiagaan masyarakat untuk
mengantisipasi bencana, mengingat Kota Bengkulu terletak di daerah yang rawan bencana. Oleh
karena itu beliau menganjurkan agar pemerintah kota mengajukan usulan dana untuk dialokasikan
pada anggaran daerah. Selama ini, upaya pelatihan kesiapsiagaan bencana, seperti yang dilakukan
Hasil kajian mengungkapkan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan rencana tanggap darurat
yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Bengkulu masih minim. Sebagai contoh, kebijakan
penentuan tempat-tempat evakuasi dikeluarkan atas dasar surat dari pemerintah Provinsi Bengkulu
yang merekomendasikan tempat-tempat tertentu aman dari bencana tsunami.
Selama ini, ketika terjadi bencana, seperti: banjir yang melanda Kota Bengkulu, kegiatan tanggap
darurat dilakukan oleh masing-masing instansi, yang relevan dengan penanggulangan bencana,
secara insidental sesuai dengan kebijakan dan tupoksi masing-masing instansi. Gambaran ini
mengindikasikan action plan untuk keadaan darurat bencana juga belum tersedia.
Sampai kajian ini dilakukan, pemerintah Kota Bengkulu belum mempunyai sistim peringatan
bencana, khususnya tsunami. Latihan secara periodik untuk merespon tanda peringatan juga
belum masuk dalam rencana pemerintah Kota Bengkulu. Selama ini peringatan dini secara berantai
diberikan oleh BMG kepada masyarakat, agar berhati-hati akan kemungkinan terjadinya banjir
dan badai pada musim hujan.
Meskipun Kota Bengkulu pernah mengalami bencana gempa yang cukup dahsyat pada tahun
2000, pendidikan masyarakat, baik formal maupun non-formal, berkaitan dengan kesiapsiagaan
terhadap bencana belum menjadi prioritas penting di kota ini. Berdasarkan hasil angket, FGD
dan workshop dapat diketahui bahwa pemerintah kota Bengkulu belum mengeluarkan kebijakan
yang berkaitan dengan pendidikan masyarakat.
Untuk pendidikan formal, materi gempa dimasukkan dalam mata pelajaran yang relevan sesuai
dengan tingkat pendidikan, SD/SMP/SMA. Untuk tingkat SD dan SMP, materi gempa masuk
dalam pelajaran IPA dan IPS, sedangkan untuk SMA masuk dalam pelajaran geografi dan fisika.
Sedangkan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan, terutama gempa, diberikan secara insidentil
melibatkan guru dan siswa dari sebagian kecil sekolah di kota ini. Sosialisasi kesiapsiagaan
dilakukan dalam bentuk pelatihan dan penyebaran brosur, terutama setelah terjadinya bencana
gempa di Bengkulu yang lalu dan akhir-akhir ini setelah terjadinya bencana tsunami di Aceh.
Kesiapsiagaan bencana penting bagi siswa, tetapi belum prioritas, menurut salah seorang pejabat
pemerintah kota yang relevan. Pemerintah kota masih menitikberatkan pada pembangunan fisik
bangunan sekolah akibat kerusakan yang terjadi karena bencana gempa tahun 2000.
Seperti pendidikan formal, pemerintah kota Bengkulu juga belum mempunyai kebijakan
pendidikan masyarakat secara non-formal. Kegiatan sosialisasi diklaim beberapa instansi seperti
Kesra dan Beppeda telah dilaksanakan di Kota Bengkulu, tetapi kegiatan ini masih dilakukan
secara insidntil dan sporadis. Kegiatan pendidikan masyarakat dilaksanakan oleh instansi atau
lembaga, seperti Dinas Sosial dan Kodim 0407 Bengkulu. Kodim melalui salah satu kegiatan
TMMD (Tentara Manunggal Masuk Desa) merencanakan untuk melakukan sosialisasi secara
rutin setiap tahun. Pada kegiatan TMMD bulan April 2006, pihak Kodim telah melakukan
sosialisasi gempa dan tsunami menggunakan bahan-bahan dari Departemen ESDM dan LIPI.
Kodim juga mengenalkan tanda-tanda bahaya, seperti tanda peringatan untuk bencana alam dan
kebakaran serta tanda untuk menyatakan keadaan aman, tanda terjadinya pencurian dan tanda
untuk mengumpulkan warga.
Meskipun belum ada di Kota Bengkulu, dari hasil workshop disepakati bahwa salah satu kebijakan
yang penting dalam rencana tanggap darurat adalah kebijakan perlindungan perempuan dan
anak. Selama ini kebijakan ini masih diabaikan, tetapi berdasarkan pengalaman-pengalaman
dari berbagai bencana alam yang terjadi di Bengkulu dan daerah-daerah lain di Indonesia, 255
perlindungan untuk perempuan dan anak dari kekerasan, penjualan dan perkosaan perlu
dimasukkan dalam kebijakan untuk kesiapsiagaan terhadap bencana. Kebijakan ini dapat
diintegrasikan ke dalam jaring penanganan terpadu yang dikelola oleh tim penanggulangan dan
perlindungan dari tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ada di tingkat kota,
kecamatan dan kelurahan.
- Pemerintah Kecamatan
Dalam kajian ini kesiapsiagaan pemerintah kecamatan diwakili oleh 5 kecamatan yang menjadi
lokasi survei rumah tangga, yaitu: Kecamatan Muara Bangkahulu, Selebar, Kampung Melayu,
Ratu Agung dan Gading Cempaka. Penilaian kesiapsiagaan yang berkaitan dengan parameter
kebijakan dilakukan berdasarkan 4 indikator yang terdiri dari: 1) keberadaan unit/ institusi di
tingkat kecamatan yang mengurusi bencana; 2) keberadaan dokumen-dokumen yang terkait
dengan kebencanaan yang dimiliki pemerintah kcamatan; 3) penyediaan anggaran untuk
menanganan bencana; dan 4) keberadaan petunjuk pelaksanaan (juklak) posko bencana.
Meskipun terdapat unit yang menangani bencana, tetapi dari kelima kecamatan sampel tersebut
belum ada kebijakan dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebencanaan, seperti: 1)
prosedur tetap penanggulangan bencana (Protap PB); 2) action plan kesiapsiagaan bencana; 3)
petunjuk teknis emergency respons; 4) petunjuk teknis penanggulangan bencana; dan 5) protap
Ruang Pusat Pengendalian dan operasi Penanggulangan Bencana (Protap Rupusdalops PB).
Menurut beberapa informan biasanya penanganan bencana dilakukan secara spontan apabila
terjadi bencana dan semua petunjuk pelaksanaan disampaikan secara lisan tanpa dokumen tertulis.
Demikian juga dengan petunjuk pelaksanaan untuk posko bencana, belum satu kecamatanpun
yang mempunyai dokumen tertulis.
Sedangkan kebijakan yang berkaitan dengan alokasi anggaran untuk kesiapsiagaan bencana
juga belum tersedia di semua kecamatan sampel. Selama ini, anggaran penanganan bencana di
seluruh kecamatan berasal dari dana yang dikumpulkan dari masyarakat. Sebanyak empat dari
lima kecamatan juga mendapatkan dana daripemerintah kota yang berasal dari dana APBD
(Anggaran Pembangunan Belanja Daerah). Hanya satu kecamatan yaitu: Kecamatan Muara
Bangkahulu yang mengharapkan peran swasta, khususnya perusahaan-perusahaan yang
beroperasi di wilayah kecamatan tersebut, untuk berpartisipasi dalam mendanai kegiatan
kebencanaan.
Gambaran di atas mencerminkan bahwa pemerintah kecamatan di Kota Bengkulu belum siap
dengan kebijakan, peraturan dan panduan untuk menghadapi bencana. Dari ke empat indikator
yang diukur, hanya indikator keberadaan unit yang menangani bencana yang tersedia di kelima
kecamatan tersebut.
Kesiapsiagaan pemerintah yang berkaitan dengan rencana untuk keadaan darurat bencana
didasarkan dari hasil angket yang ditanyakan pada Pemerintah Kota (kuesioner seri P1), aparat
pemerintah (seri P2) dan pemerintah Kecamatan (seri P3). Untuk mendapatkan pemahaman
yang lebih komprehensif dan untuk melakukan cek dan ricek terhadap data yang dikumpulkan
tersebut, maka dalam kajian ini juga dilakukan wawancara dengan narasumber yang berasal
dari instansi-instansi relevan dan workshop yang melibatkan berbagai stakeholders.
Meskipun pemerintah Kota Bengkulu telah menyiapkan rencana tanggap darurat untuk
mengantisipasi bencana, hasil kajian ini mengungkapkan kesiapsiagaan rencana tanggap darurat
pemerintah kota belum optimal, dicerminkan dari terbatasnya rencana yang berkaitan dengan:
(1) tempat evakuasi, (2) pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan pengamanan
korban bencana, (3) persediaan pemenuhan kebutuhan dasar, dan (4) fasilitas-fasilitas kritis
untuk keadaan darurat bencana.
Tempat Evakuasi
Kota Bengkulu yang terletak di ibukota Provinsi Bengkulu mempunyai akses, termasuk akses
kesiapsiagaan bencana, lebih besar dari kabupaten lainnya terhadap potensi dan sumber daya
dari pemerintah Provinsi Bengkulu. Pemerintah provinsi melalui Dinas Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) telah mengidentifikasi tempat-tempat yang aman terhadap bahaya tsunami,
sehingga dapat dijadikan lokasi-lokasi evakuasi di Kota Bengkulu, seperti: sepanjang jalan dri
UNIHAZ – Suprapto – Simpang Lima – simpang SKIP – Tanah Patah – P. Natadirja – Simpang
Km 8 – Polda. Air Sebakul – STQ dan Tahura juga direkomendasikan sebagai tempat-tempat
evakuasi. Sedangkan Simpang Pagar Dewa dinyatakan relatif aman terhadap tsunami dan dapat
dijadikan sebagai jalur evakuasi pertama. Tempat-tempat tersebut kemudian ditetapkan
Pemerintah Kota Bengkulu sebagai tempat-tempat evakuasi.
Setelah terjadi bencana gempa tahun 2000 dan mengingat Kota Bengkulu rentan terhadap bahaya
yang ditimbulkan oleh kejadian alam, ITB telah membuat peta bahaya, khususnya gempa bumi,
di wilayah Kota Bengkulu. Peta bahaya ini sebetulnya dapat dijadikan landasan bagi pemerintah
kota Bengkulu untuk menentukan lokasi-lokasi yang berbahaya dan aman, sehingga dapat 257
digunakan sebagai tempat-tempat pengungsian apabila terjadi bencana alam.
Meskipun tempat-tempat evakuasi sudah diidentifikasi oleh pemerintah provinsi dan peta bahaya
sudah disediakan ITB, pemerintah kota Bengkulu belum menindak-lanjutinya dengan membuat
peta dan jalur-jalur evakuasi. Padahal, pembuatan peta dan jalur-jalur evakuasi sangat penting
mengingat Kota Bengkulu terletak pada daerah yang rawan terhadap bencana, terutama gempa
dan tsunami. Pembuatan peta dan jalur-jalur evakuasi sangat berguna sebagai petunjuk bagi
masyarakat untuk mengetahui kemana dan melalui arah mana saja mereka dapat menyelamatkan
diri apabila terjadi bencana. Dengan demikian, penumpukan pada tempat tertentu saja dapat
dikurangi ketika terjadi evakuasi besar-besaran pada keadaan darurat. Gambaran ini
mengindikasikan bahwa rambu-rambu evakuasi belum tersedia di kota ini.
ESDM Provinsi Bengkulu juga telah mengidentifikasi beberapa gedung, seperti: Kantor Gubernur,
DPRD, RSUD dan Polda, sebagai tempat pengungsian sementara. Gedung-gedung ini juga telah
diklaim dan ditetapkan oleh pemerintah kota sebagai tempat pengungsian di Kota Bengkulu.
Dari hasil kajian juga terungkap bahwa sekolah-sekolah dan mesjid-mesjid yang terletak di
Posko Bencana
Pengalaman Kota Bengkulu mengalami bencana gempa bumi yang meluluh-lantakkan kota dengan
korban jiwa yang cukup besar seharusnya menjadi pelajaran yang berharga bagi pemerintah
kota untuk kesiapsiagaan terhadap bencana. Sayangnya, posko bencana yang beroperasi pada
waktu terjadinya gempa tahun 2000 tersebut sekarang sudah tidak aktif lagi. Posko diaktifkan
apabila terjadi bencana, padahal keberadaan dan aktivitas posko bencana sangat penting untuk
kesiapsiagaan mengantisipasi terjadinya bencana, bukan hanya pada saat terjadinya bencana
saja.
Dari kajian ini dapat diketahui pemerintah kota Bengkulu belum mempunyai rencana pertolongan,
penyelamatan dan pengamanan yang khusus didesain untuk keadaan darurat bencana. Tetapi,
berdasarkan pengalaman bencana gempa tahun 2000 dan bencana banjir yang sering terjadi di
Kota Bengkulu, kegiatan pertolongan, penyelamatan dan pengamanan dilakukan secara insidental
apabila terjadi bencana. Kegiatan ini dilaksanakan oleh instansi-instansi atau lembaga yang relevan,
seperti: pertolongan pertama oleh Dinas Kesehatan, penyelamatan dan pengamanan oleh Polres,
Kodim, Lanal dan Satpol PP.
Kegiatan pertolongan pertama korban bencana di bawah koordinasi Dinas Kesehatan. Korban
bencana yang memerlukan pertolongan di evakuasi ke rumah sakit M. Yunus, dan jika telah
melebihi kapasiatas rumah sakit ini, maka korban akan dikirim ke rumah sakit (RS) Polisi, RS
Tentara dan RS Raflesia dengan kapasitas: 485 tempat tidur, 40 dokter dan 384 paramedis
untuk semua rumah sakit. Korban juga dapat dievakuasi di 17 puskesmas dan 16 klinik yang
tersebar di Kota Bengkulu. Untuk kegiatan evakuasi digunakan mobil ambulan, baik ambulan
rumah sakit maupun ambulan-ambulan yang ada di setiap puskesmas dan puskes keliling di Kota
Bengkulu (keterangan secara detail dapat dilihat pada bagian 4.3.3.4).
Persediaan obat-obatan juga sangat penting untuk pertolongan pertama dan pelayanan kesehatan
korban bencana. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kota Bengkulu, sebanyak 20 persen dari
jumlah persediaan obat untuk kebutuhan Kota Bengkulu dialokasikan untuk Kejadian Luar Biasa
(KLB). Mengingat di Dinas Kesehatan tidak terdapat istilah bencana, maka keadaan darurat
bencana dianalogikan dengan KLB. Alokasi 20 persen tersebut termasuk obat-obatan untuk
keadaan darurat bencana, seperti: obat-obatan untuk pertolongan pertama dan cairan infus.
Mengingat di Kota Bengkulu belum terbentuk Unit SAR, maka selama ini kegiatan penyelamatan
korban bencana dilakukan oleh LANAL yang mempunyai unit SAR dan Pramuka (SAR Pramuka)
dengan dibantu oleh personnel dari Kodim, Polri, PMI, RAPI, Satpol pp dan instansi-instansi
lain yang relevan. Kegiatan penyelamatan berkaitan erat dengan peralatan dan perlengkapan
evakuasi yang tersedia, jumlah dan kapasitas personil yang terlibat dalam kegiatan penyelamatan.
Peralatan dan perlengkapan penyelamatan korban masih sangat terbatas dan tersebar di berbagai
lembaga, seperti: LANAL mempunyai satu speed boat, satu perahu fiber glass dan dua perahu
karet. Satpol pp mempunyai satu speedboat dan satu perahu. Dinas Sosial Provinsi Bengkulu
memiliki 3 unit perahu karet dan 33 pelampung.
Pengamanan dalam keadaan darurat di tangani oleh Kodim 0407 dan Polres Kota Bengkulu di
bawah komando Dandim dan Kapolres. Pengamanan di permukiman penduduk dilakukan oleh
polisi, satpol pp dan hansip setempat. Dalam melaksanakan pengamanan, kodim 0407 mempunyai
Prosedur Tetap (protap) No. VII/2005 tentang penanggulangan bencana alam, gempa bumi dan
tsunami. Dalam protap ini dicantumkan bahwa pengamanan dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Pengamanan langsung mencakup: (1) pengamanan jiwa para korban di daerah sasaran
peristiwa, (2) penyelamatan harta benda milik korban agar terhindar dari kemusnahan karena
bencana maupun dari orang yang tidak bertanggung jawab, dan (3) pengaturan evakuasi menuju
tempat-tempat yang telah ditentukan dan terjaga keamanannya. Sedangkan pengamanan tidak
langsung meliputi: (1) pemberian bantuan untuk mengawasi pendistribusian pangan, sandang dan
menentukan tempat tinggal sementara bagi para korban bencana sesuai dengan alokasi yang
diberikan, (2) Pemberian semangat kepada korban bencana, dan (3) pengawasan distribusi 259
bantuan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Seperti rencana untuk keadaan darurat yang lain, pemerintah kota Bengkulu juga belum mempunyai
rencana khusus untuk pemenuhan kebutuhan dasar dalam mengantisipasi terjadinya bencana
alam. Selama ini persediaan kebutuhan dasar dikelola oleh Dinas Tenaga kerja berdasarkan
standar Dinas Sosial Provinsi Bengkulu yang mengacu pada ketentuan Departemen Sosial RI.
Menurut Keputusan Mentri Sosial (Kepmensos), stok beras untuk tingkat kota/kabupaten
sebanyak 5 ton, sedangkan untuk tingkat provinsi sebanyak 50 ton. Tetapi untuk kejadian luar
biasa, maka stok beras dapat ditingkatkan dengan menggunakan stok nasional, sehingga stok
untuk provinsi dapat mencapai 200 ton beras.
Untuk Kota Bengkulu beras sebanyak 5 ton tersebut disimpan di toko dengan perjanjian dapat
diambil setiap saat jika diperlukan. Penyimpanan beras di toko ini didasarkan pada pertimbangan
agar stok beras tersebut selalu dalam keadaan dan kualitas yang baik. Di samping beras, Depsos
Apabila ada informasi terjadinya bencana, staf Dinas Sosial langsung mengecek ke lokasi bencana
untuk mengidentifikasi kebutuhan apa saja yang mendesak dan berapa banyak untuk korban
bencana, membuat posko dan dapur umum. Peralatan dan perlengkapan dapur umum yang
dimiliki Dinas Sosial Kota Bengkulu, antara lain: 5 unit tenda, peralatan masak dan piring. Peralatan
ini disimpan di Dinas Sosial Kota, sehingga dapat sewaktu-waktu digunakan.
- Pemerintah Kecamatan
Untuk tingkat kecamatan, kesiapsiagaan pemerintah kecamatan yang berkaitan dengan rencana
tanggap darurat diukur menggunakan lima indikator. Indikator tersebut meliputi: 1) keberadaan
peta bahaya di tingkat kecamatan (termasuk peta banjir, peta gempa, peta lokasi tanah longsor,
tsunami dan lainnya); 2) keberadaan peta evakuasi termasuk lokasi/tempat evakuasi dan jalur/
rute alternatif dalam situasi bahaya; 3) penentuan lokasi posko bencana; 4) kesiapan kecamatan
dalam pertolongan pertama dalam bencana; dan 5) kesiapan kecamatan dalam penyiapan tempat
penampungan sementara bagi korban bencana.
Dari hasil kajian dapat diketahui bahwa belum satupun kecamatan yang dikaji mempunyai peta
bahaya di wilayah kecamatan masing-masing. Demikian juga dengan peta evakuasi, belum tersedia
di kantor kecamatan. Padahal peta bahaya dan evakuasi sangat diperlukan, mengingat kecamatan-
kecamatan di Kota Bengkulu merupakan wilayah yang rawan bencana (gempa, banjir dan
tsunami). Kepemilikan dokumen tersebut cukup penting untuk membantu kelancaran evakuasi
korban.
Semua camat di kecamatan sampel mengaku mengetahui dan turut menentukan posko bencana
apabila ada kejadian bencana. Posko tersebut penempatannya bervariasi antar kecamatan, ada
yang terletak di tingkat kecamatan, kelurahan dan RT, tergantung jenis bencana dan skala besarnya
bencana. Para camat di Kota Bengkulu yang diwawancarai semuanya mengaku sebagai anggota
Satlak dan bilamana ada kejadian bencana, camat bertanggung jawab dalam penanganan bencana
di wilayah kecamatannya.
Hasil kajian juga menggambarkan bahwa hanya sebagian kecil pemerintah kecamatan yang telah
mempunyai rencana tanggap darurat yang berkaitan dengan pertolongan pertama korban bencana.
Dari lima kecamatan sampel hanya dua kecamatan, yaitu Kecamatan Muara Bangkahulu dan
Selebar yang menyebutkan telah menyiapkan rencana untuk pertolongan pertama. Pelaksana
Jika ditelusuri lebih lanjut, ternyata hanya sebagian kecil kecamatan yang menyiapkan tempat
penampungan sementara bagi korban bencana. Seperti rencana pertolongan korban, hanya dua
kecamatan (Kecamatan Muara Bangkahulu dan Selebar) yang menyebutkan telah menyiapkan
tempat penampungan sementara. Pemerintah Kecamatan Muara Bangkahulu telah menyiapkan
tempat penampungan sementara yang berada di masing-masing kelurahan dan tempat
penampungan utama di wilayah Tahura (Taman Hutan Raya) di Kelurahan Betiring. Taman tersebut
terletak di lokasi yang cukup tinggi dan aman terhadap gempa, tsunami dan banjir. Sedangkan
Pemerintah Kecamatan Selebar telah menyiapkan tempat penampungan di wilayah Kampus
STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri). Lokasi tersebut tingginya diperkirakan di atas 20
meter dari permukaan laut dan tersedia jalan bebas hambatan yang menuju lokasi tersebut, sehingga
agak mudah dijangkau. Apabila ada bencana tsunami relatif aman sebagai tempat pengungsian.
- Aparat Pemerintah
Berbeda dengan pemerintah kota, rencana aparat pemerintah untuk keadaan darurat lebih
difokuskan pada rencana kesiapsiagaan aparat tersebut yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka
di kantor. Diagram 4.2.3.4. menggambarkan variasi kesiapsiagaan aparat, baik berdasarkan
tingkat pendidikan maupun kegiatan yang disiapkan. Sebagian besar responden menjawab
menyiapkan duplikasi dokumen dan surat-surat penting. Jawaban ini berlaku bagi semua tingkatan
pendidikan responden, dengan kecenderungan semakin rendah pendidikan, semakin tinggi
persentase responden yang menyiapkan dokumen penting. Sebaliknya, kurang dari separuh
responden yang pernah mendengar atau membaca protap yang berkaitan dengan tugas pada 261
saat darurat bencana. Rendahnya persentase responden ini kemungkinan dikarenakan tidak
tersedianya protap yang dimaksud tersebut.
Hanya sebagian responden, kecuali responden dengan tingkat pendidikan SMA atau sederajat,
yang menata ruang dan barang sebagai upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana. Sebagian
besar responden berpendidikan SMA melakukan penataan ruang dan barang sebagai bentuk
antisipasi, mungkin berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda dengan responden
yang berpendidikan Diploma/Akademi dan Perguruan Tinggi.
60
57 Menyiapkan duplikasi dan menyimpan dokumen penting di
54 tempat aman
60 50
Persentase
17
20
0
SMA/sederajat Diploma/Akademi Perguruan Tinggi Total
Diagram 4.2.3.4.
Rencana Kesiapsiagaan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu Menurut
Pendidikan (Persentase Responden yang Menjawab Ya), 2006
Fasilitas kritis adalah fasilitas yang diharapkan masih dapat berfungsi ketika bencana alam terjadi
karena sangat dibutuhkan untuk tindak darurat. Fasilitas kritis dapat dikelompokkan dalam 3
kelompok besar yaitu jaringan transportasi, lifelines, dan fasilitas pelayanan kesehatan dan
keselamatan. Jaringan transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi
udara. Lifelines meliputi jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air bersih, dan jaringan informasi
radio/tv. Sementara itu fasilitas pelayanan kesehatan dan keselamatan meliputi dinas kesehatan,
rumah sakit, SAR/ ambulance, dan pemadam kebakaran. Berdasarkan hasil survey dan
pengamatan lapangan di kota Bengkulu kesiapsiagaan fasilitas kritis dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Jenis fasilitas kritis yang tersedia di kota Bengkulu adalah SAR/ Ambulans, Dinas Kesehatan ,
Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, Radio / TV, Telkom, PT PLN , PDAM, Dinas Kimpraswil,
Pelabuhan, dan Bandar Udara.
Nama SAR / Dinas Rumah Sakit Dr. Kantor Tim Radio Telkom PT PLN PDAM kota Dinas Pelabuhan Bandara
Instansi/Fasilitas Ambulans Kesehatan M. Yunus Pemadam Penggerak / TV (Persero) Bengkulu Kimpraswil Pulau Fatmawati
Penting Kebakaran PKK kota WSAJB Kota Baai Soekarno
cabang Bengkulu Km 14
Bengkulu
Kapasitas 5 RS (449 Instalasi Gawat 5 unit Dapur Daya 68 053 38% jumlah Jalan, Dermaga Panjang
Pelayanan t.t.); 17 Darurat (IGD) lokasi: umum 605 VA penduduk Jembatan. samudera; runway
Terpasang Puskesmas, dengan Lingkar Pelanggan: kota Gedung, dermaga 2.250 M x
(kemampuan 17 bh; Kapasitas: timur, ps. 56406 Bengkulu Irigasi nusantara; 30 M
pelayanan) puskesmas 1. Meja operasi Minggu; atau 22156 Kota dermaga mengangkut
pembantu Cyto Kp Bali; pelanggan local; 106014 org
48 bh 2. a. meja Ps. bongkar yg datang;
tindakan Kemuning; 188536 108689 org
medis 3 Pemda ton/thn; yg pergi;
buah Prop muat barang
b. meja 623256 602509 ton
tindakan non ton/thn bongkar &
medis 3 211846 ton
buah muat
3. genset
Identifikasi Masih 1. IGD Uang, RSUD, Intake Buldozer 1 Fasilitas:
Komponen2 seringnya 2. BSB pakaian, telkom, instalasi bh, Truck radio, listrik,
Vital untuk ada 3. PPGD tenaga kantor pengolahan, 1 bh, navigasi,
Layanan gangguan 4. Bankes + pemerintahan jaringan Pickup 1 landasan
Fasilitas telpon kpd Ambulance pipa bh, walles pacu
yg diisolir transmisi 6 bh
krn tidak dan
disediakan distribusi
dana utk
banjir;
Fasilitas lifeline terdiri dari listrik, telpon, dan air bersih. Untuk pengadaan listrik dalam kondisi
kebencanaan dapat dipulihkan tergantung tingkat kerusakan jaringan yang ada. Ketersediaan
pasokan listrik dari pembangkit tidak masalah karena sudah dilakukan interkoneksi dengan wilayah
lainnya di luar kota Bengkulu. Begitu juga untuk jaringan telekomunikasi, dalam keadaan bencana
alam komunikasi dapat dilakukan dengan telpon seluler yang sudah banyak digunakan masyarakat
yaitu dengan memperkuat kapasitas radius pemancaran pada jaringan transmisi yang masih berdiri.
Sementara itu ketersediaan air bersih di Instalasi Pengolahan Air dalam kondisi bencana alam
tsunami cukup aman, karena tempatnya yang cukup jauh dari pantai dan berada di daerah
ketinggian. Dalam kondisi pipa penyaluran rusak, transportasi air bersih dapat dilakukan dengan
kenderaan. Masa perbaikan jaringan pipa yang rusak, sangat bergantung pada tingkat
kerusakannya.
Sarana dan prasarana transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi
udara. Panjang jaringan jalan sebesar 676,048 km yang terdiri dari 64,980 jalan negara, 54,180
jalan provinsi, dan 557,048 km jalan kota. Jaringan jalan dan jembatan ini umumnya tersebar
relatif merata ke seluruh arah sehingga dalam keadaan darurat akses jalan dapat dilakukan dengan
berbagai alternatif. Alat berat yang dimiliki pemerintah sangat terbatas sehingga kapasitasnya
sangat kecil untuk melakukan perbaikan dalam keadaan bencana alam. Sementara itu pelabuhan
yang dimiliki kota Bengkulu ada 1 buah yang melayani bongkar muat barang dan penumpang ke
Pulau Enggano. Kemampuan pemulihannya saat bencana alam, sangat bergantung dari jenis
kerusakan yang terjadi. Transportasi udara dilakukan dari pelabuhan udara Fatmawati yang
mampu didarati pesawat Boing 737. Lokasi bandara ini relatif jauh dari pantai, sehingga kerusakan
akibat tsunami relatif tidak ada.
Sistim peringatan bencana merupakan elemen penting dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Dalam kajian ini penilaian dilakukan melalui angket yang ditanyakan kepada pemerintah kota
tentang sistim peringatan berbasis teknologi yang dikembangkan oleh pemerintah Kota Bengkulu
(P1) dan respon aparat apabila mendengar tanda peringatan (P2). Untuk mendapatkan
- Pemerintah Kota
Kajian ini menggunakan dua indikator untuk menilai tingkat kesiapsiagaan pemerintah kota yang
berkaitan dengan sistim peringatan bencana. Indikator pertama lebih difokuskan pada keberadaan
sistim peringatan bencana, terutama tsunami, yang berbasis teknologi. Sedangkan indikator ke
dua adalah diseminasi sistim peringatan bencana, termasuk bencana tsunami dan bencana lain,
seperti banjir yang sering melanda kota Bengkulu.
Sampai kajian ini dilakukan pada bulan April 2006, pemerintah Kota Bengkulu belum mempunyai
sistim peringatan bencana, khususnya tsunami. Rencana untuk mengembangkan sistim peringatan
belum menjadi prioritas, masih menunggu sistim yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Pada
bulan Februari tahun 2006, BMG pusat bekerjasama dengan Jerman melalui German Indonesia
Tsunami Warning System (GITEWS) telah memasang beberapa peralatan, seperti: buoy
dipermukaan laut (sekitar 150 mil dari Enggano) dan Ocean Bottom Pressure (OBP) yang
ditanam di dasar laut. Alat-alat tersebut berfungsi untuk mendeteksi terjadinya tsunami secara
dini, tetapi pada waktu kajian ini dilakukan pada bulan April 2006 ada peralatan yang putus,
sehingga diambil untuk sementara.
Meskipun sistim peringatan bencana tsunami belum tersedia, pemerintah kota melalui BMG
Kepahyang telah memberikan peringatan untuk mengantisipasi bencana banjir dan badai, terutama
pada musim hujan. BMG memberikan peringatan dalam bentuk surat pemberitahuan kepada
sekertariat Satlak. Kemudian, Satlak mendistribusikan surat tersebut ke kecamatan-kecamatan, 267
dan pihak kecamatan mengirimkan berita kepada kelurahan-kelurahan. Pihak kelurahan
menyebarluaskan pemberitahuan ini kepada masyarakat melalui pertemuan-pertemuan di
kelurahan, RT/RW, kelompok masyarakat dan perorangan.
- Pemerintah Kecamatan
Dalam kajian sistim peringatan bencana terdapat dua indikator yang digunakan untuk menilai
kesiapsiagaan pemerintah di tingkat kecamatan. Indikator tersebut adalah keberadaan akses
mendapatkan informasi tentang peringatan bencana dan adanya person yang bertanggung jawab
untuk merespon tanda peringatan. Hasil wawancara dengan para camat di kecamatan sampel
menunjukkan bahwa ternyata seluruh kecamatan mengemukakan bahwa mereka punya akses
untuk mendapatkan informasi peringatan bencana. Akses tersebut dapat berasal dari bawah
(lurah) maupun dari atas (walikota). Peralatan yang digunakan untuk komunikasi adalah HT, HP
dan telpon. Selama ini sistem dan peralatan komunikasi tersebut yang digunakan terutama untuk
keadaan darurat atau sangat penting. Sedangkan yang berkaitan dengan penaggung jawab untuk
- Aparat Pemerintah
Hasil kajian ini menunjukkan bahwa kesiapsiagaan responden aparat pemerintah Kota Bengkulu
yang berkaitan dengan sistim peringatan bencana masih terbatas. Dari tabel 4.2.3.6. dapat diketahui
kurang dari separuh responden yang mengetahui sistim ini dengan persentase terendah adalah
responden dengan tingkat pendidikan Diploma/Akademi dan yang tertinggi adalah responden
berpendidikan SMA atau sederajat. Masih minimnya pengetahuan responden tersebut mungkin
berkaitan erat dengan belum tersedianya sistim peringatan bencana tsunami tersebut di Kota
Bengkulu.
Tabel 4.2.3.6.
Pengetahuan dan Tindakan yang Dilakukan Aparat Pemerintah Kota Bengkulu
Berkaitan dengan Peringatan Bencana (Presentase yang Menjawab Ya)
Pendidikan
No. Peringatan Bencana SMA D1/D2/D3 Perguruan Total
sederajat Akademi Tinggi
1. Pengetahuan tentang sistim peringatan
60,0 16,7 37,5 40,0
bencana tsunami di daerah ini
2. Kegiatan yang dilakukan bila mendengat tanda peringatan tsunami
a. Menyelamatkan dokumen
100,0 100,0 100,0 100,0
penting
b. Menyebarluaskan informasi
tanda bahaya di lingkungan 100,0 100,0 87,5 92,5
kantor dan institusi lainnya
c. Menghubungi keluarga untuk
100,0 100,0 100,0 100,0
siap siaga
d. Membantu teman sekerja/ orang
lain menuju ke tempat aman 90,0 100,0 91,7 92,5
sementara
3. Tindakan yang dilakukan bila terjadi bencana saat sedang bertugas
a. Tetap menjalankan tugas sesuai
40,0 16,7 4,2 15,0
dengan prosedur yang berlaku
b. Pulang ke rumah untuk
60,0 66,7 75,0 70,0
menyelamatkan keluarga
c. Menyelamatkan diri masing-
0,0 16,7 20,8 15,0
masing
N 10 6 24 40
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI -
UNESCO/ISDR, 2006
Meskipun pengetahuan responden masih terbatas, secara umum responden aparat mengetahui
kegiatan yang harus dilakukan apabila mendengar tanda peringatan tsunami. Semua responden
untuk semua tingkatan pendidikan menjawab kegiatan yang dilakukan adalah menyelamatkan
dokumen penting dan menghubungi keluarga untuk siap siaga. Selain itu, sebagian besar responden,
Kemampuan memobilisasi sumber daya yang dimiliki pemerintah sangat penting dan menjadi
salah satu kunci keberhasilan kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana di Kota Bengkulu.
Dalam kajian ini, mobilisasi yang dinilai meliputi: dana, peralatan, personil, bimbingan teknis dan
penyediaan materi, koordinasi dan komunikasi dengan stakeholders yang relevan serta pemantauan
dan evaluasi kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana. Penilaian dilakukan pada
pemerintah Kota Bengkulu menggunakan angket (P1), aparat pemerintah (P2) dan pemerintah
kecamatan (P3). Di samping angket, dalam kajian ini juga dilakukan workshop dan wawancara
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan penilaian yang lebih objektif.
- Pemerintah Kota
Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa kemampuan pemerintah Kota Bengkulu untuk
memobilisasi sumber daya yang dimiliki kota ini masih terbatas. Masih terbatasnya mobilisasi
sumber daya ini berkaitan erat dengan beberapa alasan, seperti masih minimnya mobilisasi dana
karena alokasi dana untuk kesiapsiagaan bencana juga masih sangat minim.
Keadaan ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap mobilisasi peralatan, personil, bimbingan
teknis dan penyediaan materi kesiapsiagaan masyarakat. Di samping itu, koordinasi dan
komunikasi pemerintah kota dengan stakeholders yang relevan, seperti LSM dan pihak swasta, 269
untuk kesiapsiagaan mengantisipasi bencana juga masih sangat terbatas, karena biasanya hal ini
dilakukan setelah terjadinya bencana.
- Pemerintah Kecamatan
Dalam mengkaji kemampuan pemerintah kecamatan untuk memobilisasi sumber daya di wilayah
kecamatan, kajian ini menggunakan tujuh indikator kesiapsiagaan. Indikator tersebut meliputi: 1)
pemilikan informasi mengenai bencana di kecamatan penelitian; 2) kepemilikan dokumen yang
terkait dengan kebencanaan di kecamatan berupa peta pendukung kajian bencana; 3) peta
pendukung kajian kerentanan; 4) keberadaan pemberitaan di media masa; 5) hansip/ linmas
kecamatan yang mendapatkan bimbingan dan penyuluhan tanggap darurat bencana; 6) komunikasi
dengan Ormas/ LSM yang mengurusi kebencanaan; dan 7) keberadaan Ormas/LSM yang
membantu kesiapsiagaan menghadapi bencana alam.
Berbeda dengan pemerintah kota dan aparat pemerintah, pemerintah kecamatan lebih mampu
untuk mobilisasi sumber daya di tingkat kecamatan Kota Bengkulu. Kemampuan pemerintah
Sedangkan bencana banjir yang terjadi hampir setiap tahun, pada awal tahun 2006 memakan
korban 3 orang meninggal dunia, banyak kerusakan pada perabotan rumah dan bangunan rumah
serta tanaman pangan. Bencana kebakaran tahun 2006 menelan korban 5 rumah hangus di
Kecamatan Gading Cempaka, 3 rumah hangus di Kecamatan Ratu Agung dan 4 rumah hangus
di Kecamatan Muara Bangkahulu dan Selebar. Bencana angin ribut tahun 2006 melanda
Kecamatan Selebar dan Ratu Agung, dampaknya satu orang meninggal dan 5 rumah roboh serta
banyak pohon tumbang. Bencana abrasi terakhir terjadi pada awal tahun 2006, dampaknya
adalah 5 rumah rusak.
Dari hasil kajian dapat dikemukakan bahwa pemerintah kecamatan belum memiliki dokumen-
dokumen yang terkait dengan kebencanaan, khususnya berupa peta pendukung kajian bahaya
seperti peta topografi, geologi, betimetri dsb dan peta pendukung kajian kerentanan seperti peta
demografi, jaringan pipa, tata guna lahan dan lainnya. Padahal keberadaan peta-peta ini sangat
diperlukan untuk merencanakan kegiatan kesiapsiagaan masyarakat di wilayah kecamatan.
Semua kecamatan mengemukakan bahwa ketika di daerahnya dilanda bencana, berita kejadian
tersebut selalu dimuat di media masa. Media cetak yang paling sering memuat berita tentang
bencana adalah surat kabar daerah, yaitu Harian Bengkulu Ekpres dan Harian Rakyat Bengkulu.
Untuk media elektronik RRI daerah, TVRI dan TV Swasta juga sering memuat berita tentang
bencana alam di daerah Bengkulu terutama untuk bencana-bencana besar. Bencana tersebut
antara lain gempa bumi besar tahun 2000 yang menimbulkan banyak kerusakan dan gempa bumi
tahun 2005 yang memicu adanya isu akan terjadi bencana tsunami, sehingga sempat membuat
kepanikan bagi penduduk Kota Bengkulu.
Sedangkan yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya manusia (SDM) di tingkat kecamatan,
sebagian besar kecamatan atau empat dari lima kecamatan, melakukan upaya untuk meningkatkan
kapasitas staf kecamatan. Peningkatan kapasitas SDM ini berupa bimbingan dan penyuluhan
kepada anggota hansip/ limas yang berkaitan dengan kegiatan tanggap darurat bencana. Kegiatan
ini baru dilakukan sekali, sehingga belum menjadi kegiatan yang berkala.
- Aparat Pemerintah
Hasil kajian ini mengungkapkan bahwa mobilisasi sumber daya responden aparat pemerintah
Kota Bengkulu masih rendah. Rendahnya mobilisasi sumber daya aparat juga dapat dilihat dari
tabel 4.2.3.7. yang menggambarkan minimnya keikutsertaan responden aparat dalam latihan,
gladi/simulasi evakuasi bila terjadi keadaan darurat bencana. Demikian juga dengan keikutsertaan
responden aparat dalam meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan
kesiapsiagaan dan mitigasi bencana masih terbatas. Gambaran ini cenderung berlaku untuk
responden pada setiap tingkat pendidikan, terutama responden dengan tingkat pendidikan diploma/
akademi.
Tabel 4.2.3.7.
Mobilisasi Sumber Daya Aparat Pemerintah Kota Bengkulu
(Presentase yang Menjawab Ya)
Pendidikan 271
No. Mobilisasi Sumber Daya SMA Diploma/ Perguruan Total
sederajat Akademi Tinggi
1. Keikursertaan dalam pelatihan, workshop, seminar
a. Pengetahuan tentang
30,0 16,7 50,0 40,0
bencana
b. Darurat bencana 30,0 0,0 29,2 25,0
c. Sistim peringatan dini 50,0 0,0 33,3 32,5
d. Pengelolaan bantuan 50,0 0,0 25,0 27,5
e. Mitigasi bencana 30,0 0,0 20,8 20,0
2. Latihan, gladi/simulasi darurat
20,0 16,7 12,5 15,0
bencana di kantor
3. Memberikan informasi
kesiapsiagaan menghadapi 70,0 33,3 79,2 70,0
bencana kepada masyarakat
N 10 6 24 40
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI -
UNESCO/ISDR, 2006
Tingkat kesiapsiagaan pemerintah diindikasikan dari total nilai indeks yang berasal dari indeks
gabungan atau komposit pemerintah kota (P1), aparat pemerintah (P2) dan pemerintah kecamatan
(P3) di Kota Bengkulu. Sedangkan indeks gabungan P1, P2 dan P3 dihitung berdasarkan indeks
gabungan ke lima parameter kunci dalam framework kesiapsiagaan masyarakat, yaitu:
pengetahunan dan sikap terhadap resiko bencana (KA), kebijakan dan panduan (PS), rencana
tanggap darurat (EP), sistim peringatan bencana (WS) dan kemampuan memobilisasi sumber
daya (MRC).
Untuk mendapatkan tingkat kesiapsiagaan, total nilai indeks yang dihasilkan kemudian
dikelompokkan menjadi lima kategori sesuai dengan kesepakatan, yaitu: 1) sangat siap dengan
nilai indeks antara 80 - 100, 2) siap dengan indeks antara 65-79, 3) hampir siap dengan indeks
antara 55-64, 4) kurang siap dengan indeks antara 40-54, dan 5) belum siap dengan indeks
kurang dari 40.
100
80
80
52 52 54
60
40 38
40
20
0
KA PS EP WS RMC Indeks
Pemerintah
Diagram 4.2.3.5.
Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah di Kota Bengkulu, 2006
Nilai indeks pengetahuan yang tinggi untuk pemerintah di Kota Bengkulu diperoleh dari responden
aparat pemerintah kota yang mewakili berbagai instansi yang relevan dengan pengelolaan bencana.
Pengetahuan tentang bencana terutama bersumber dari media elektronik, TV dan radio, dan
media cetak, koran dan majalah. Media-media tersebut banyak memberitakan bencana gempa
bumi di Bengkulu tahun 2000, gempa dan tsunami di Aceh dan Nias tahun 2004 serta rumor
akan terjadinya tsunami di Padang dan Bengkulu pada tahun 2005. Di samping itu, responden
juga mendapatkan pengetahuan, khususnya gempa bumi, dari pengalaman terjadinya gempa
bumi yang sering kali melanda kota ini,
100
90 100 80
80 72
63 63
70
Nilai Indeks
55 53
60 50 50 52
50 43 45
40 34
30 37
20 25
10 273
0
Pemerintah Kota Pemerintah Aparat
Kecamatan
Pengetahuan Kebijakan
Rencana Tanggap Darurat Sistim Peringatan Bencana
Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya Indeks kesiapsiagaan
Diagram 4.2.3.6.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota dan Kecamatan
serta Aparat di Kota Bengkulu, 2006
Dari Diagram 4.2.3.6. terungkap bahwa nilai indeks sistim peringatan bencana yang rendah dan
termasuk kategori belum siap, hanya mencapai nilai 38, terutama dikarenakan rendahnya nilai
indeks pemerintah kota (25). Hal ini mungkin berkaitan erat dengan belum tersedianya sistim
peringatan bencana di Kota Bengkulu. Keadaan ini dapat dipahami, mengingat sistim peringatan
bencana di tingkat nasionalpun juga masih dalam tahap pengembangan. Meskipun pemerintah di
tingkat kecamatan mempunyai nilai indeks yang sangat tinggi (100), bukan berarti pemerintah
Hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan yang berkaitan dengan kebijakan
pemerintah masih berada pada kategori kurang siap dengan nilai indeks sebesar 40. Kekurang
siapan ini terjadi di semua tingkatan, baik pada tingkat pemerintah kota maupun pemerintah
kecamatan. Nilai indeks pemerintah kecamatan bahkan hanya mencapai angka 34, dengan
demikian termasuk dalam kategori terendah, yaitu: belum siap.
Rendahnya nilai indeks tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan dan panduan yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan terhadap bencana, baik di tingkat kota maupun kecamatan, masih minim.
Analisa pada bagian 4.2.3.2. mengungkapkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
kota masih terbatas pada organisasi pengelola bencana (Satlak PB) yang merupakan kelanjutan
dari ketentuan pemerintah pusat. Panduan yang mengatur tugas, fungsi dan tanggung jawab anggota
Satlak dan mekanisme pelaksanaannya belum tersedia, sehingga Satlak yang terbentuk belum
bisa berjalan sesuai dengan tujuannya. Sedangkan kebijakan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
bencana, seperti: rencana tanggap darurat, sistim peringatan bencana, mobilisasi sumber daya
dan pendidikan masyarakat belum menjadi prioritas, baik bagi pemerintah kota maupun pemerintah
di tingkat kecamatan. Di tingkat kecamatan, enam dari delapan indikator kesiapsiagaan yang
berkaitan dengan kebijakan belum tersedia. Hanya dua indikator yang memberikan kontribusi
positif pada nilai indeks pemerintah kecamatan, yaitu: keberadaan unit yang khusus menangani
bencana alam dan ketersediaan anggaran untuk menangani bencana, meskipun belum terfokus
pada dana kesiapsiagaan.
Gambaran mengenai kebijakan di atas, juga berlaku untuk rencana tanggap darurat. Hasil
perhitungan indeks menunjukkan bahwa pemerintah Kota Bengkulu kurang siap untuk
mengantisipasi bencana, meskipun nilai indeksnya (52) lebih tinggi dari nilai indeks kebijakan.
Untuk rencana tanggap darurat, nilai indeks tertinggi disumbangkan oleh aparat pemerintah yang
mencapai angka 63 dan masuk kategori hampir siap. Rencana tanggap darurat aparat pemerintah
lebih ditekankan pada kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana yang berkaitan
dengan tugasnya di kantor, prosedur dan kegiatan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana
ketika sedang berada di kantor.
Nilai indeks pemerintah kecamatan (55) lebih tinggi dari nilai indeks pemerintah kota (50), meskipun
perbedaannya tidak signifikan. Di tingkat kecamatan, rencana tanggap darurat dilakukan
pemerintah di bawah satu pintu (kantor), yaitu kantor kecamatan yang dikoordinasi oleh camat.
Sedangkan di tingkat kota, rencana tanggap darurat tersebar di dinas-dinas atau instansi yang
relevan, sehingga penentuan rencana didominasi oleh tupoksi dinas atau instansi masing-masing
Hasil perhitungan juga menggambarkan nilai indeks pemerintah untuk rencana tanggap darurat
sama dengan nilai kemampuan pemerintah untuk memobilisasi sumber daya di Kota Bengkulu.
Berbeda dengan rencana tanggap darurat, untuk mobilisasi sumber daya ini, nilai indeks yang
terendah (37) disumbangkan oleh aparat pemerintah. Rendahnya nilai indeks aparat ini berkaitan
erat dengan minimnya upaya aparat untuk meningkatkan kapasitasnya di bidang kesiapsiagaan,
meskipun kebanyakan aparat membagi pengetahuan tentang bencana yang dimiliki dengan
masyarakat di sekitarnya. Sedangkan nilai indeks tertinggi (63) berasal dari pemerintah kecamatan,
mungkin berkaitan dengan upaya meningkatkan kemampuan aparat, khususnya hansip, yang
berkaitan dengan tanggap darurat bencana dan komunikasi serta koordinasi pihak kecamatan
dengan kelembagaan masyarakat dan LSM yang mengurusi kebencanaan.
Dari diagram 4.2.3.7. dapat diketahui tingkat kesiapsiagaan pemerintah Kota Bengkulu berada
pada level ke dua dari bawah, yaitu: kategori kurang siap. Kekurang siapan ini bersumber dari
semua parameter kesiapsiagaan, dengan nilai indeks terendah berasal dari sistim peringatan
bencana. Sedangkan rencana tanggap darurat dan kemampuan memobilisasi sumber daya
mempunyai nilai indeks yang sama. Hasil ini menggambarkan bahwa pengalaman terjadinya
bencana gempa di Bengkulu tahun 2000 belum memberikan pelajaran yang berharga bagi
pemerintah Kota Bengkulu untuk siap siaga dalam menghadapi bencana.
Apabila di bandingkan dengan unsur pemerintah yang lain, nilai indeks kesiapsiagaan pemerintah
kota Bengkulu menduduki posisi terendah. Tetapi jika di lihat dari tingkat kesiapsiagaan, pemerintah 275
kota berada pada posisi yang sama dengan pemerintah kecamatan, yaitu pada level kurang siap.
Sedangkan bila dibandingkan dengan aparat pemerintah, tingkat kesiapsiagaan pemerintah kota
dua tingkat lebih rendah. Gambaran ini mengindikasikan bahwa kesiapsiagaan pemerintah kota
perlu ditingkatkan, utamanya dikarenakan tingkat kerentanan Kota Bengkulu terhadap bencana
cukup tinggi (penjelasan detail dapat dilihat pada bagian 4.2.1).
Tingkat kesiapsiagaan pemerintah kecamatan di Kota Bengkulu termasuk dalam kategori kurang
siap dengan nilai indeks tertinggi diperoleh dari peringatan bencana dan sebaliknya nilai terendah
dari kebijakan dan panduan. Pola ini berlaku untuk semua kecamatan yang dikaji, yaitu: Kecamatan
Muara Bangkahulu, Selebar, Kampung Melayu, Ratu Agung dan Gading Cempaka (lihat tabel
4.2.3.8.).
Tabel 4.2.3.8.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kecamatan untuk
Mengantisipasi Bencana di Kota Bengkulu
Bila ditelusuri berdasarkan parameter, rencana tanggap darurat pemerintah kecamatan di Kota
Bengkulu hampir siap untuk menghadapi bencana alam. Namun demikian, kesiapsiagaan untuk
rencana tanggap darurat ini masih perlu mendapat perhatian serius, karena nilai indeks tersebut
berada pada posisi terendah untuk kategori hampir siap, hanya satu poin di atas kategori kurang
siap.
Diagram 4.2.3.8. mengungkapkan bahwa dari kelima kecamatan yang dikaji terdapat variasi
tingkat kesiapsiagaan yang berkaitan dengan rencana tanggap darurat, mulai dari kurang siap
sampai dengan sangat siap untuk mengantisipasi bencana. Namun demikian, tiga dari lima
kecamatan, yaitu: Kampung Melayu, Ratu Agung dan Gading Cempaka, nilai indeksnya hanya
mencapai angka 40 yang berarti berada pada kategori kurang siap. Sedangkan Kecamatan
Selebar, tingkat kesiapsiagaannya satu level lebih tinggi dari ketiga kecamatan tersebut, yaitu
hampir siap. Satu-satunya kecamatan yang nilai indeks rencana tanggap daruratnya tinggi adalah
Kecamatan Muara Bangkahulu (80), sehingga kecamatan ini termasuk dalam kategori yang paling
tinggi, yaitu sangat siap, berbeda cukup signifikan dari kecamatan-kecamatan lainnya.
100
80
277
80
60
55
60
40 40
40
40
20
0
Kec . Muara Kec. Selebar Kec. Kampung Kec. Rat u agung Kec. Gading Pemerint ah
Bengkulu Melayu Cempaka Kecamat an
Diagram 4.2.3.8.
Nilai Indeks Rencana Tanggap Darurat Pemerintah
Kecamatan di Kota Bengkulu, 2006
100
90
80
Nilai Indeks Kebijakan
70
60
42 42 42
50
33 34
40
30 17
20
10
0
Kec. Muara Kec. Kec. Kec. Ratu Kec. Gading Pemerintah
Bengkulu Selebar Kampung Agung Cempaka Kecamatan
Melayu
Diagram 4.2.3.9.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Kebijakan Pemerintah Kecamatan
di Kota Bengkulu, 2006
Berbeda dengan pemerintah kota, kemampuan pemerintah kecamatan untuk memobilisasi sumber
daya di tingkat kecamatan cukup baik, digambarkan dari indeks mobilisasi yang mencapai angka
63 atau termasuk dalam kategori hampir siap. Dari diagram dapat diketahui bahwa kemampuan
pemerintah bervariasi antar kecamatan, mulai dari belum siap sampai dengan siap. Tiga dari lima
kecamatan, yaitu: Pemerintah Kecamatan Muara Bangkahulu, Ratu agung dan Gading Cempaka,
mampu untuk memobilisasi sumber daya yang ada di wilayah kecamatannya. Sebaliknya,
Pemerintah Kecamatan Gading Cempaka belum mampu, diindikasikan dari nilai indeks yang
sangat rendah hanya mencapai angka 33 (lihat diagram 4.2.3.10.).
Dari Indeks mobilisasi sumber daya tersebut apabila dirunut dari indikator-indikator pendukungnya,
hampir semua indikator memberikan kontribusi positif, hanya ketersediaan dokumen-dokumen
terkait dengan kebencanaan, seperti: peta pendukung kajian bahaya dan peta pendukung kajian
kerentanan yang tidak memberikan kontribusi atau mempunyai nilai 0.
80 67 67 67 63
50
60
33
40
20
0
Kec. Muara Kec. Selebar Kec. Kec. Ratu Kec. Gading Pemerintah
Bengkulu Kampung Agung Cempaka Kecamatan
Melayu
Diagram 4.2.3.10.
Nilai Indeks Mobilisasi Sumber Daya Pemerintah Kecamatan
di Kota Bengkulu, 2006
Berbeda dengan tingkat kesiapsiagaan dari parameter sebelumnya yang bervariasi, semua
pemerintah kecamatan mempunyai tingkat kesiapsiagaan peringatan bencana yang sama, yaitu
sangat siap dengan nilai indeks yang maksimum sebesar 100. Semua kecamatan yang dikaji
mempunyai akses untuk mendapatkan informasi mengenai bencana, terutama yang berasal dari
bawah, yaitu tingkat kelurahan. Keadaan ini perlu terus dipertahankan, mengingat kecamatan-
kecamatan di wilayah Kota Bengkulu sering terjadi bencana, seperti banjir.
Meskipun tingkat kesiapsiagaannya sama, dari tabel 4.2.3.9. terlihat adanya kecenderungan nilai
indeks responden aparat yang berpendidikan diploma/akademi lebih rendah dari responden yang
berpendidikan SMA/sedrajat dan perguruan tinggi. Kecenderungan ini berlaku untuk semua
parameter kesiapsiagaan. Sebaliknya dengan responden yang berpendidikan SMA/sederajat,
nilai indeksnya lebih tinggi dari responden lainnya yang mempunyai pendidikan lebih tinggi.
Pendidikan Terakhir
SMA/ D1/D2/D3/ Perguruan Total
Parameter
sederajat Akademi Tinggi
Hasil kajian ini menggambarkan bahwa aparat pemerintah Kota Bengkulu mempunyai pengetahuan
dasar yang sangat baik tentang bencana alam, diindikasikan dari indeks pengetahuan aparat
yang mencapai angka 80 dari nilai maksimum 100 (lihat diagram 4.2.3.11.). Jika dilihat dari
tingkat pendidikan, pengetahuan aparat, terutama tentang gempa bumi dan tsunami, hampir merata,
semuanya, kecuali aparat yang berpendidikan diploma/akademi, berada pada tingkatan yang
paling tinggi. Pengetahuan responden juga hampir sama apabila dilihat dari instansi tempat bekerja,
yaitu: Bappeda, Kesra, Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas
Kesehatan, Dinas Pariwisata dan Infokom, Dinas Perhubungan dan Satpol PP. Gambaran
pengetahuan aparat secara detail dapat dilihat pada lampiran tabel 4.2.3.10.
Diagram 4.2.3.11.
Nilai Indeks Pengetahuan Aparat Pemerintah Kota
Bengkulu, 2006
Hasil penilaian dari kajian ini juga menunjukkan bahwa kesiapsiagaan responden aparat pemerintah
Kota Bengkulu yang berkaitan dengan sistim peringatan bencana masih kurang, dicerminkan
dari indeks kesiapsiagaannya yang hanya mencapai angka 52. Tingkat kesiapsiagaan bervariasi
menurut pendidikan. Seperti parameter sebelumnya, aparat yang berpendidikan SMA/sederajat
memiliki tingkat kesiapsiagaan yang lebih tinggi, yaitu hampir siap, sedangkan aparat yang
berpendidikan diploma/akademi dan perguruan tinggi hanya mencapai level kurang siap. Rendahnya
indeks ini tercermin dari pengetahuan responden aparat tentang sistim peringatan bencana tsunami
yang masih rendah. Keadaan ini dapat dipahami karena sistim peringatan bencana belum tersedia
di Kota Bengkulu dan informasi yang relevan dari berbagai sumber juga masih sangat terbatas.
Sebaliknya dengan pengetahuan yang indeksnya tinggi, indeks kesiapsiagaan aparat pemerintah
yang berkaitan dengan mobilisasi sumber daya masih rendah, dua kali lebih rendah jika
dibandingkan dengan indeks pengetahuan. Dengan demikian aparat pemerintah menduduki
peringkat paling bawah dari kesiapsiagaan, yaitu belum siap. Keadaan ini berlaku untuk semua
kelompok pendidikan aparat, dengan nilai terendah diberasal dari aparat yang berpendidikan
diploma/akademi. Aparat belum mampu untuk memobilisasi sumber daya. Hal ini mungkin 281
berkaitan erat dengan kurangnya kesempatan yang tersedia bagi aparat pemerintah Kota Bengkulu
untuk meningkatkan kemampuannya atau capacity building.
Secara umum pemerintah di kota Bengkulu masih kurang siap dalam mengantisipasi terjadinya
bencana alam. Pengalaman terjadinya bencana gempa yang menimbulkan banyak korban jiwa
dan harta benda pada tahun 2000, belum memberikan pelajaran yang berarti bagi pemerintah
untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian yang serius,
mengingat Kota Bengkulu terletak di daerah yang rawan bencana dan pemerintah mempunyai
tanggung jawab yang besar untuk mengurangi resiko bencana. Kita tidak ingin pengalaman pahit
dari bencana gempa terulang kembali di kota ini.
Kesiapsigaan komunitas sekolah diukur berdasarkan lima parameter yaitu pengetahuan dan sikap
komunitas sekolah terhadap resiko bencana, kebijakan dan pedoman terkait dengan kesiapsiagaan
Data kesiapsiagaan komunitas sekolah untuk mengantisipasi bencana diperoleh dari angket yang
disebar pada sekolah, guru dan siswa. Angket dengan kode Seri-S1 digunakan untuk
mendapatkan data tentang kesiapsiagaan sekolah, disebar pada 13 sekolah dan diisi oleh kepala
sekolah atau dapat diwakili oleh guru yang dianggap mengetahui kondisi kesiapsiagaan sekolah.
Angket Seri-S2 diisi oleh 100 orang guru dari berbagai bidang studi dan tingkatan. Angket S3
untuk siswa diisi oleh siswa kelas 5 (lima) SD, siswa kelas 2 (dua) SMP/sederajat dan siswa
kelas 2 (dua) SMA/sederajat sejumlah 460 angket. Dalam melakukan analisa, masing-masing
parameter akan dibedakan berdasarkan kelompok, zona dan tingkatan sekolah. Cara pengambilan
sampel dan penyebaran angket untuk masing-masing kelompok telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Di samping menggunakan angket, data kesiapsiagaan komunitas sekolah juga
diperoleh dari wawancara dan diskusi kelompok terfokus (FGD) untuk memperdalam analisa
dan mengklarifikasi data-data yang diperoleh dari angket.
Pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana untuk komunitas sekolah digambarkan oleh
pengetahuan guru dan siswa. Indikator yang digunakan untuk mengukur pengetahuan dan sikap
terhadap resiko bencana adalah pengetahuan guru dan siswa terhadap jenis-jenis, penyebab dan
intensitas bencana alam serta sikap terhadap resiko bencana terutama bencana gempa dan tsunami.
Kelompok Guru
Pengukuran pengetahuan guru tentang bencana diawali dengan pertanyaan mendasar tentang
definisi dari bencana alam. Diagram 4.2.4.1 menunjukkan bahwa mayoritas (lebih dari 80 persen)
guru menjawab dengan benar bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh
kejadian alam, sekitar 11 persen sebagai akibat ulah manusia, 2 persen akibat kerusuhan sosial/
politik dan tidak ada yang memilih bencana akibat kebakaran hutan/serangan hama. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar guru memahami perbedaan antara bencana
alam dengan bencana-bencana lainnya. Dari ketiga pengertian yang salah tentang bencana alam,
bencana akibat perilaku manusia mendapat proporsi tertinggi. Pendapat ini dilatarbelakangi pada
kenyataaan bahwa banyak bencana yang timbul karena ulah manusia. Diantaranya adalah bencana
tanah longsor dan banjir yang terjadi sebagai dampak dari penggundulan hutan yang dilakukan
oleh manusia. Pendapat serupa juga muncul dalam diskusi kelompok terfokus untuk komunitas
sekolah yang juga dihadiri oleh guru-guru sekolah di Kota Bengkulu.
Kejadian
alam
87%
Diagram 4.2.4.1.
Pendapat Responden Guru Tentang
Apa yang Dimaksud dengan Bencana Alam, 2006
Tingkatan sekolah yang diajar nampaknya mempengaruhi jawaban guru. Guru yang mengajar
pada tingkatan sekolah yang lebih tinggi mempunyai pengetahuan tentang definisi bencana alam
lebih baik dibandingkan guru yang mengajar di tingkatan sekolah yang lebih rendah (Lampiran
tabel 4.2.4.1). Guru SD yang menjawab dengan benar sebesar 82 persen, meningkat menjadi
91 persen pada guru SMP dan tertinggi pada guru SMA sebesar 94 persen. Namun jawaban
guru tidak menunjukkan pola yang jelas apabila dibedakan menurut zona lokasi sekolah.
100
283
97
91 88
86
81
Diagram 4.2.4.2.
Persentase Responden Siswa yang Menjawab ya Tentang
Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006
Disamping gempa bumi, banjir, tanah longsor, badai, tsunami, dan letusan gunung berapi, abrasi
muncul sebagai salah satu jenis bencana alam oleh komunitas sekolah. Jenis bencana ini muncul
dalam diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah. Bencana badai dialami oleh sebagian
penduduk Kota Bengkulu terutama yang bermukim di wilayah pantai. Akibat abrasi, banyak
rumah-rumah yang tadinya terletak di tepi pantai terpaksa harus ditinggalkan. Salah satu lokasi
yang mengalami abrasi pantai di Kota Bengkulu adalah daerah Pasar Bengkulu yang mencapai
100 meter dan penduduknya kemudian dipindahkan ke daerah lain yaitu di daerah Teluk Sepang.
Pengetahuan guru tentang gempa bumi digambarkan oleh jawaban guru pada pertanyaan tentang
penyebab, intensitas dan ciri-ciri bangunan yang relatif tahan terhadap gempa. Berdasarkan Tabel
4.2.4.1 dapat diketahui bahwa pengetahuan guru terhadap penyebab terjadinya gempa bumi
cukup baik, diindikasikan oleh tingginya persentase guru yang memilih jawaban yang benar yaitu
pergeseran kerak bumi dan gunung meletus (lebih dari 90 persen). Gambaran ini merata untuk
semua tingkatan sekolah dan zona lokasi sekolah. Disamping dua jawaban yang benar tentang
penyebab terjadinya gempa bumi, responden guru juga diberikan tiga pilihan yang salah yaitu
angin topan/halilintar, pengeboran minyak dan tanah longsor. Tingginya pengetahuan responden
guru tentang penyebab terjadinya gempa bumi ternyata juga didukung oleh rendahnya persentase
responden guru yang memilih ketiga jawaban yang salah tersebut kecuali untuk tanah longsor
karena sekitar 51 persen responden guru kurang memahami keterkaitan tanah longsor dengan
gempa bumi. Munculya pendapat bahwa tanah longsor merupakan salah satu penyebab terjadinya
gempa bumi kemungkinan timbul karena pada saat terjadi tanah longsor timbul getaran seperti
gempa yang dapat dirasakan oleh penduduk di sekitar daerah lokasi kejadian.
Gempa bumi merupakan kejadian alam yang paling sering dialami masyarakat di Kota Bengkulu.
Akibatnya, sebagian masyarakat Kota Bengkulu beranggapan bahwa mereka dapat memprediksi
kekuatan gempa serta ciri-cirinya, mulai dari gempa yang berkekuatan kecil sampai gempa
berkekuatan besar. Gempa kecil biasanya tidak menimbulkan getaran yang kuat dan menurut
sebagian masyarakat sudah dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak dirasakan lagi. Namun
tidak demikian halnya dengan gempa yang berkekuatan besar atau disebut dengan gempa kuat.
Gempa kuat mempunyai ciri-ciri yang dapat diamati baik pada saat terjadi atau dari dampak
yang ditimbulkannya. Seperti sudah disebutkan sebelumnya, gempa berkekuatan 7,9 skala richter
pernah dialami masyarakat di Kota Bengkulu pada tahun 2000. Peristiwa ini telah memberikan
pengetahuan pada masyarakat termasuk guru tentang gempa ciri-ciri gempa kuat seperti yang
terlihat pada Tabel 4.2.4.1. Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar guru
mengetahui bahwa ciri-ciri gempa kuat adalah gempa yang menyebabkan goyangan yang kencang/
keras (91 persen), bangunan retak/roboh (89 persen), gempa terjadi berulang-ulang, (65 persen)
dan gempa membuat pusing/limbung (64 persen). Persentase guru yang memilih dua ciri-ciri
yang disebutkan pertama jauh lebih tinggi dibandingkan dengan dua ciri-ciri lainnya. Kemungkinan
dua ciri-ciri inilah yang paling membekas di pikiran guru dari pengalaman gempa kuat tahun
2000. Hal ini juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan beberapa orang guru yang menyebutkan
bahwa gempa yang terjadi pada saat itu sangat kuat, goncangnya sangat keras sehingga
menyebabkan banyak bangunan sekolah yang roboh dan rusak berat. Sebagian rumah/bangunan
bahkan ada yang masuk kedalam tanah. Sementara itu, persentase guru yang menjawab gempa
yang terjadi berulang-ulang dan gempa yang membuat pusing atau limbung jauh lebih kecil. Hal
ini disebabkan sebagian responden guru beranggapan gempa yang terjadi berulang-ulang dianggap
tidak selalu berkekuatan besar. Tetapi gempa kuat biasanya selalu diikuti oleh gempa-gempa
susulan yang lebih kecil.
Apabila dibedakan menurut zona lokasi sekolah persentase guru yang mengetahui ciri-ciri gempa
kuat bervariasi. Variasi terbesar terlihat pada ciri-ciri gempa yang terjadi berulang-ulang. Persentase
guru di zona rawan (78 persen) yang mengetahui ciri-ciri ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dari
pada guru di zona aman (37 persen) dan hati-hati (48 persen). Hal ini berkaitan dengan tingginya
kemungkinan guru di zona rawan mengalami gempa dibandingkan zona aman dan hati-hati.
Seperti pada pertanyaan sebelumnya, pengalaman gempa besar pada tahun 2000 tampaknya
mempengaruhi jawaban guru pada pertanyaan “apakah gempa kuat selalu diikuti oleh gempa
Gempa kuat dapat meruntuhkan bangunan apa saja termasuk sekolah. Akibat yang ditimbulkan
akan menjadi lebih besar apabila reruntuhan bangunan menimpa manusia dan menyebabkan
kematian. Resiko kerusakan bangunan serta jatuhnya korban akibat bencana gempa dapat
dikurangi apabila dibangun dengan menggunakan metode atau ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri bangunan
tahan gempa tersebut adalah bentuk bangunan berimbang, pondasi tertanam cukup dalam, bagian-
bagian bangunan tersambung dengan kuat dan terbuat dari material yang ringan. Tabel 4.2.4.1
menunjukkan bahwa mayoritas guru sudah mengetahui ciri-ciri bangunan tahan gempa kecuali
untuk ciri bentuk bangunan berimbang. Pondasi yang tertanam cukup dalam (74 persen)
menempati peringkat pertama. Beberapa bangunan sekolah yang terdapat di Kota Bengkulu
bahkan sudah menggunakan metode ini (diantaranya disebut metode cakar ayam). Salah satunya
adalah gedung SMA I Lempuing yang dibangun dengan bantuan dana dari pemerintah dan luar
negeri. Biaya yang diperlukan dua kali lebih besar dibandingkan bangunan dengan pondasi biasa.
Peringkat kedua dimiliki oleh ciri bangunan terbuat dari material ringan (67 persen). Sebelum
gempa, sebagian besar bangunan/rumah termasuk di Kota Bengkulu adalah rumah permanen
dan menggunakan atap genteng. Kondisi ini berkaitan erat dengan penilaian masyarakat bahwa
rumah permanen dengan atap genteng lebih mentereng dibandingkan dengan rumah semi permanen
atau kayu dan beratap seng. Namun saat terjadi gempa ternyata rumah-rumah permanen dan
beratap genteng mengalami kerusakan yang lebih parah dan menimbulkan lebih banyak korban
dibandingkan dengan rumah semi permanen atau rumah kayu dan beratap seng. Belajar dari
pengalaman tersebut, saat ini banyak rumah atau bangunan yang dibangun kembali dengan
menggunakan atap seng, termasuk bangunan sekolah.
287
Bangunan berimbang merupakan ciri bangunan tahan gempa yang paling sedikit dikenal guru (41
persen), jauh lebih rendah dibanding tiga ciri-ciri lainnya. Hal ini mungkin disebabkan
ketidakmengertian guru dengan maksud istilah bangunan berimbang. Bangunan berimbang diartikan
bahwa bangunan tersebut berbentuk simetri seperti segiempat, persegi panjang atau lingkaran.
Pendapat responden guru tentang ciri-ciri ini semakin meningkat dengan semakin rawannya zona
sekolah. Proporsi responden guru yang menjawab “ya” di zona rawan dua kali lipat dibandingkan
responden guru di zona hati-hati dan empat kali lipat dari proporsi guru di zona aman. Hal ini
menunjukkan bahwa pengetahuan guru tentang ciri bangunan berimbang semakin membaik di
zona yang lebih rawan.
Meskipun mayoritas masyarakat di Kota Bengkulu mengetahui ciri-ciri bangunan tahan gempa
namun sebagian lainnya memberikan pendapat yang berbeda. Pendapat tersebut menyatakan
bahwa tidak ada bangunan yang bisa selamat dari gempa apabila terletak di urat gempa (istilah
yang dipakai oleh masyarakat setempat untuk daerah pusat gempa). Munculnya pendapat ini
didasari oleh kenyataan yang terjadi pada peristiwa gempa kuat tahun 2000. Pada saat itu,
hampir seluruh rumah/bangunan yang terletak di urat gempa mengalami kerusakan yang cukup
Selain ciri-ciri bangunan tahan gempa yang telah disebutkan di atas, masyarakat Kota Bengkulu
sebenarnya mempunyai cara membuat bangunan tahan gempa yang diturunkan oleh orang-orang
tua namun saat ini sudah jarang digunakan. Ciri bangunan tahan gempa tersebut terletak pada
cara pembuatan dinding yang disebut dengan “bidai”. Bidai merupakan dinding yang dibangun
dengan menggunakan rangka bambu yang dijalin dengan rangka besi dan dicampur dengan pasir
dan semen. Menurut salah seorang pemilik rumah bidai, gempa tahun 2000 tidak meruntuhkan
dinding yang dibuat dengan system bidai, kerusakan yang terjadi sangat kecil yaitu sedikit retak
dan mengeluarkan serpihan kecil-kecil dibeberapa bagian.
Ada beberapa tindakan yang perlu dilakukan pada saat gempa. Pengetahuan tentang hal ini
penting untuk mengurangi resiko yang tidak diinginkan. Hasil survei menunjukkan bahwa
pengetahuan guru mengenai tindakan-tindakan yang harus dilakukan pada saat gempa sudah
cukup baik (Tabel 4.2.4.2). Sebagian besar guru (lebih dari 50 persen) menjawab “ya” untuk
semua tindakan yang harus dilakukan. Pendapat guru tersebut adalah segera menuju lapangan
terbuka (97 persen), menjauhi benda-benda yang tergantung (95 persen), menjauhi jendela/
dinding kaca (94 persen), berlari keluar rumah (93 persen), menjauhi jembatan (92 persen),
melindungi kepala (89 persen), memarkir mobil di pinggir jalan jika sedang berada dalam
kendaraan(89 persen), berlindung di tempat aman (83 persen), keluar gedung menggunakan
tangga bila berada di gedung yang bertingkat (67 persen) dan keluar ruangan setelah gempa reda
(57,6 persen). Gambaran ini tidak berbeda jika dirinci menurut zona dan tingkat sekolah yang
diajar terkecuali untuk keluar ruangan setelah gempa reda.
Merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda tidak dipilih oleh sebagian besar guru karena
dianggap membahayakan. Hal ini terbukti pada peristiwa gempa tahun 2000, banyak korban
yang jatuh akibat terkena reruntuhan dinding. Berbeda dengan apa yang terjadi di Jepang.
Bangunan di Jepang pada umumnya terbuat dari bahan yang kuat dan ringan, sehingga tindakan
merapat ke dinding lebih aman. Di Indonesia, dinding bangunan pada umumnya terbuat dari
bahan yang berat atau ringan yang tidak memperhitungkan beban gempa bumi, sehingga apabila
dilakukan justru akan membahayakan.
Berdasarkan pengalaman gempa tahun 2000, muncul tindakan lain yang oleh sebagian masyarakat
diyakini dapat menyelamatkan diri mereka dari reruntuhan dinding akibat gempa. Tindakan tersebut
adalah berdiri di bawah kusen kayu pintu yang kokoh. Pengalaman ini pernah dialami oleh salah
seorang penduduk yang selamat pada saat gempa tahun 2000. Cerita ini kemudian tersebar dan
menjadi salah satu tindakan yang dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan penyelamatan diri
apabila terjadi gempa besar lagi dan mereka tidak sempat ke luar rumah.
1 Berlindung di tempat aman 83,3 81,3 87,5 80,0 87,9 82,4 83,0
2 Melindungi kepala 95,0 78,1 87,5 92,0 87,9 82,4 89,0
3 Segera menuju lapangan terbuka 98,3 93,8 100,0 96,0 100,0 94,1 97,0
Menjauhi benda-benda yang
4 98,3 90,6 87,5 96,0 93,9 94,1 95,0
tergantung
Merapat ke dinding yang bebas dari
5 43,3 21,9 75,0 42,0 27,3 52,9 39,0
benda-benda
6 Menjauhi jendela/dinding kaca 96,7 87,5 100,0 92,0 93,9 100,0 94,0
Meninggalkan ruangan setelah gempa
7 61,0 50,0 62,5 62,0 46,9 64,7 57,6
reda
Keluar gedung menggunakan tangga
8 bila berada di gedung yang bertingkat 76,7 53,1 50,0 66,0 60,6 82,4 67,0
setelah gempa reda
Memarkir mobil di pinggir jalan jika
9 95,0 81,3 75,0 92,0 87,9 82,4 89,0
sedang berada dalam kendaraan
10 Menjauhi jembatan 95,0 90,6 75,0 96,0 84,8 94,1 92,0
11 Berlari keluar rumah pada saat gempa 98,3 87,5 75,0 86,0 100,0 100,0 93,0
N 60 32 8 50 33 17 100
Selain gempa bumi, pengetahuan guru tentang bencana digali dari pertanyaan-pertanyaan tentang
penyebab, intensitas dan ciri-ciri bangunan yang relatif tahan terhadap bencana tsunami. Tabel
4.2.4.3. menunjukkan bahwa mayoritas guru mengetahui dengan benar penyebab terjadinya
tsunami yaitu gempa bumi dibawah laut (96 persen) dan gunung meletus dibawah laut (79 persen). 289
Pendapat guru terhadap kedua penyebab tsunami tersebut merata menurut zona dan tingkatan
sekolah yang diajar. Kondisi ini juga didukung oleh rendahnya persentase guru yang memilih
badai/puting beliung karena kejadian alam ini tidak dapat menyebabkan terjadinya tsunami.
Pendapat guru yang menjawab “ya” untuk badai/puting semakin rendah dengan semakin tingginya
tingkat sekolah yang diajar. Hal ini menunjukkan bahwa guru yang mengajar pada tingkatan
sekolah yang lebih tinggi mempunyai pengetahuan yang lebih baik tentang keterkaitan antara
badai/puting beliung dengan gempa dibandingkan guru yang mengajar di tingkatan sekolah yang
lebih rendah. Namun apabila dibedakan menurut zona sekolah terlihat adanya peningkatan
persentase responden guru dengan semakin rawannya zona lokasi sekolah tempat mengajar.
Kemungkinan hal ini dipengaruhi oleh pengalaman guru di zona rawan pada saat mengalami
badai/angin puting beliung (daerah pantai). Ketika peristiwa ini terjadi, gelombang laut menjadi
besar dan air menjadi pasang sehingga menimbulkan ketakutan akan terjadinya terjadinya tsunami.
Meskipun pengetahuan guru terhadap kedua penyebab terjadinya tsunami cukup tinggi dan
didukung oleh rendahnya persentase guru yang memilih badai/angin puting beliung. Namun
pengetahuan tersebut tidak disokong oleh jawaban guru terhadap longsoran bawah laut. Tabel
Mayoritas guru mengetahui bahwa tidak semua gempa bumi dapat menimbulkan tsunami
diindikasikan oleh lebih dari 50 persen guru menjawab “tidak”. Jawaban ini kemungkinan berasal
dari pengalaman yang dialami sendiri oleh guru. Kota Bengkulu merupakan kota rawan gempa,
belakangan frekuensi terjadinya gempa cukup tinggi namun belum pernah terjadi tsunami.
Persentase guru yang menjawab dengan benar tidak terlalu berbeda jika dibedakan menurut
tingkat sekolah yang diajar. Namun jika dirinci menurut zona lokasi sekolah, proporsi guru yang
menjawab dengan benar paling rendah di zona aman. Kondisi ini bisa dimaklumi mengingat
frekuensi gempa di zona aman lebih rendah dibandingkan di zona rawan dan hati-hati sehingga
dapat mempengaruhi jawaban guru.
Berbeda dengan kejadian gempa yang tidak dapat diperkirakan terjadinya, tsunami mempunyai
beberapa tanda sebelum terjadi. Tanda-tanda tersebut antara lain adalah air laut tiba-tiba surut,
gelombang besar di cakrawala dan gempa dengan goncangan yang kuat sehingga susah untuk
berdiri. Tabel 4.2.4.3. menunjukkan bahwa sebagian besar (lebih dari 50 persen guru mengetahui
tanda-tanda terjadinya tsunami. Tanda tsunami yang paling banyak diketahui oleh guru adalah air
laut tiba-tiba surut (99 persen). Informasi mengenai surutnya air laut di Aceh, sebelum terjadinya
tsunami tampaknya mempengaruhi jawaban guru. Tingginya pengetahuan tersebut mempengaruhi
respon guru pada pertanyaan “apa yang akan dilakukan apabila air laut tiba-tiba surut”. Hampir
semua guru memberikan respon yang benar yaitu berlari menjauhi pantai.
Persentase guru yang memilih gelombang besar di cakrawala (58 persen) dan gempa dengan
goncangan yang kuat sehingga susah berdiri (59 persen) jauh lebih rendah dibandingkan air laut
tiba-tiba surut. Hal ini disebabkan sebagian responden guru berpendapat gempa bumi yang kuat
belum tentu dapat menimbulkan tsunami. Pendapat ini dikemukakan berdasarkan pengalaman
gempa tahun 2000, gempa kuat yang terjadi pada saat itu tidak disertai dengan tsunami.
Seperti halnya dengan gempa, resiko yang ditimbulkan akibat tsunami dapat dikurangi apabila
suatu bangunan dibuat dengan memperhatikan ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut antara lain
mempunyai ruang-ruang kosong, penempatan bangunannya tegak lurus garis pantai. Tabel 4.2.4.3.
menunjukkan bahwa sebagian besar guru tidak mengetahui ciri-ciri bangunan yang relatif aman
terhadap tsunami. Guru yang menjawab ya untuk kedua ciri-ciri bangunan tahan tsunami kurang
dari 50 persen. Jawaban guru bervariasi menurut zona dan tingkatan sekolah yang diajar. Ciri
Petugas pemerintah
71
92
Koran,majalah,bulletin
TV 99
Radio 96
Diagram 4.2.4.3.
Sumber Informasi Responden Guru Tentang Kesiapsiagaan Bencana, 2006
Keberadaan sumber informasi merupakan bagian yang sangat penting dalam menyebarluaskan
pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana. Semakin banyak sumber informasi, akses informasi
tentang bencana semakin baik. Akhir-akhir ini peran media elektronik seperti radio dan televisi
serta media cetak seperti koran/majalah sangat besar dalam menyebarluaskan berbagai informasi
termasuk tentang bencana gempa dan tsunami. Sebagai contoh kejadian gempa dan tsunami di
Aceh serta bencana gempa yang baru-baru ini melanda DI Yogyakarta dan Jawa Tengah dapat
diketahui dengan cepat melalui media ini. Besarnya peran media elektronik seperti TV/radio dan
media cetak juga terlihat dari jawaban responden guru tentang sumber informasi gempa dan
tsunami (Diagram 4.2.4.3.). Hampir semua responden mengaku memperoleh informasi melalui
ketiga sumber ini. Saudara, kerabat, teman dan tetangga juga menjadi sumber informasi yang
banyak dipilih guru (90 persen). Peran petugas pemerintah dan LSM atau lembaga non pemerintah
lainnya seperti PMI masih jauh lebih rendah dibandingkan media elektronik dan media cetak.
Dari hasil wawancara dengan beberapa pihak ditemukan hampir tidak ada LSM di Bengkulu
yang terlibat dalam penyebarluasan informasi tentang gempa dan tsunami. Jenis sumber informasi
berupa buku saku, poster, leaflet, bilboard dan sosialisasi seminar, pertemuan dan rambu peringatan
memperoleh paling sedikit dibandingkan dengan sumber informasi lainnya. Kondisi ini juga terkait
dengan kurangnya sosialisasi tentang gempa dan tsunami yang dilakukan di Kota Bengkulu.
Tingkat pengetahuan siswa tentang bencana alam diukur berdasarkan pengetahuan siswa terhadap
bencana secara umum, jenis-jenis bencana alam, penyebab terjadinya, intensitas bencana serta
sikap untuk mengurangi dampak dari bencana terutama bencana gempa dan tsunami.
Kebakaran
hutan/serangan
Perilaku manusia
hama
20%
3%
Kerusuhan
sosial/politik
2%
Kejadian alam
75%
Diagram 4.2.4.4.
Pendapat Responden Siswa Tentang
Apa yang Dimaksud dengan Bencana Alam, 2006
Pengetahuan siswa tentang bencana secara umum diketahui dari pemahaman siswa tentang
pengertian bencana. Dari diagram 4.2.4.4. diketahui bahwa tingkat pengetahuan siswa tentang
pengertian dari bencana alam termasuk tinggi. Lebih dari 70 persen responden siswa menjawab 293
dengan benar bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh kejadian alam, sekitar
20 persen responden siswa menjawab akibat perilaku manusia dan hanya sebagian kecil yang
menjawab akibat kerusuhan sosial/politik dan akibat kebakaran hutan/serangan hama. Tingginya
tingkat pemahaman siswa terhadap pengertian bencana alam tampaknya dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan siswa (Lampiran tabel 4.2.4.2). Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi
proporsi siswa yang menjawab dengan benar. Apabila dibedakan menurut zona, jawaban siswa
bervariasi. Siswa di zona rawan menjawab jauh lebih baik dibandingkan siswa di zona hati-hati,
dan sedikit lebih tinggi dari zona aman. Kondisi ini kemungkinan berkaitan dengan kenyataan
bahwa siswa di zona rawan lebih sering mengalami bencana dibandingkan dengan siswa di zona
aman dan hati-hati. Dari tiga pernyataan yang salah tentang pengertian bencana alam, bencana
alam sebagai bencana akibat perilaku manusia mempunyai persentase tertinggi. Seperti halnya
pada responden guru, pendapat siswa ini tampaknya dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa
bencana tanah longsor dan banjir terjadi sebagai akibat ulah manusia yang melakukan penebangan
hutan secara liar. Penebangan hutan berdampak pada berkurangnya kemampuan tanah untuk
Diagram 4.2.4.5.
Persentase Responden Siswa yang Menjawab Ya Tentang
Kejadian Alam yang Dapat Menimbulkan Bencana, 2006
Bencana alam terjadi sebagai akibat dari berbagai kejadian alam. Dari pertanyaan tentang jenis-
jenis kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana terlihat bahwa mayoritas siswa mengetahui
bahwa gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, gunung berapi dan badai dapat menimbulkan
bencana (Diagram 4.2.4.5.). Gambaran ini berlaku untuk semua zona lokasi sekolah dan tingkat
pendidikan (Lampiran tabel 4.2.4.2). Di antara 6 kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana,
gempa bumi, banjir dan badai merupakan kejadian alam yang paling sering dialami oleh penduduk
Kota Bengkulu. Pengalaman terhadap gempa bumi besar berkekuatan 7,9 skala richter pada
tahun 2000 menempatkan gempa bumi sebagai peringkat pertama dan dipilih oleh hampir semua
siswa. Para siswa juga menyadari bahwa sebagian wilayah Kota Bengkulu sering mengalami
banjir, bencana ini menempati peringkat kedua. Tanah longsor pernah juga pernah terjadi di
beberapa wilayah Kota Bengkulu dan menjadi pilihan ketiga terbesar oleh para siswa. Demikian
pula halnya dengan bencana badai yang sering terjadi daerah pantai dan pernah menyebabkan
kerusakan bangunan salah satu sekolah di zona rawan menjadi pilihan bagi mayoritas responden
siswa sebagai salah satu kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana.
Gempa bumi dapat terjadi karena pergeseran kerak bumi dan gunung meletus. Hal ini tampaknya
sudah dipahami oleh sebagian besar siswa di Kota Bengkulu. Sekitar 80 persen siswa menjawab
“ya” untuk kedua penyebab utama gempa bumi tersebut. Tingkat pendidikan tampaknya
berpengaruh terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap penyebab terjadinya gempa bumi.
Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi persentase siswa yang mengetahui bahwa
penyebab gempa bumi adalah pergeseran kerak bumi dan gunung meletus. Apabila dibedakan
menurut zona, jawaban siswa tidak menunjukkan pola yang jelas. Sementara itu kurang dari
Tabel 4.2.4.4.
Pengetahuan Siswa tentang Gempa Bumi (Persentase Siswa yang Menjawab Ya)
Ciri-ciri gempa kuat Sebagaimana halnya yang terjadi pada responden guru, pengetahuan siswa tentang “apakah
1 gempa bumi dapat
Gempa terjadi berulang-ulang 52,7 diperkirakan
60,5 waktunya”
44,7 57,7masih kurang.
52,6 Sekitar
49,4 45 persen
54,6 siswa menjawab
2 dengan benar (tidak
Gempa membuat pusing/limbung 33,5 dapat
39,5 diketahui),
10,5 2531,7
persen menjawab
30,9 ya
43,2(bisa diprediksi)
33,5 dan sisanya
3 Gempa menyebabkanmenjawab
goyangan tidak tahu. Kondisi ini agak bertentangan dengan kenyataan bahwa masyarakat Kota
yang kencang/keras sehingga 84,0 79,6 81,6 79,7 81,6 91,4 82,4
tidak bisa berdiri
4 Bangunan retak/roboh 87,3 95,9 89,5 85,9 92,1 98,8 90,2
Gempa kuat diikuti oleh gempa susulan LIPI – UNESCO/ISDR, 2006 295
yang lebih kecil
1 Ya 81,8 89,8 63,2 76,2 87,5 92,6 82,8
2 Tidak 10,2 3,4 7,9 13,2 3,3 1,2 7,8
3 Tidak Tahu 8,0 6,8 28,9 10,6 9,2 6,2 9,3
N 276 146 38 230 152 77 460
Bengkulu sudah sering mengalami gempa. Pendapat responden siswa tentang hal ini tidak
menunjukkan pola yang jelas jika dibedakan menurut zona dan tingkat pendidikan siswa.
Adapun pengetahuan siswa tentang ciri-ciri gempa kuat bervariasi. Sama halnya dengan yang
terjadi pada responden guru, pengalaman dari gempa kuat pada tahun 2000 menempatkan
bangunan retak roboh (90 persen) dan gempa menyebabkan goyangan yang kencang (82 persen)
sebagai ciri-ciri gempa yang paling banyak diketahui oleh siswa. Apabila membedakan tingkat
pendidikan terlihat adanya pola hubungan yang positif antara kedua jawaban dengan tingkat
pendidikan. Persentase siswa yang memilih kedua ciri-ciri gempa kuat ini semakin meningkat
dengan semakin tingginya tingkat pendidikan siswa. Ciri gempa kuat lain yaitu gempa yang terjadi
berulang-ulang dipilih oleh 55 persen siswa. Sementara itu, ciri-ciri yang paling sedikit dipilih oleh
siswa adalah gempa yang menyebabkan pusing/limbung hanya dipilih oleh 34 persen siswa. Kondisi
ini terjadi karena sebagian siswa berpendapat gempa gempa yang menyebabkan pusing atau
limbung tidak selalu menjadi ciri-ciri dari gempa kuat. Dampak dari gempa terhadap seseorang
sangat tergantung pada daya tahan tubuh orang tersebut.
Gempa kuat biasanya selalu dikuti oleh gempa susulan yang lebih kecil, hal ini tampaknya juga
telah dipahami oleh sebagian besar responden siswa. Lebih dari 80 persen siswa menjawab
dengan benar. Pengetahuan ini juga diperoleh dari pengalaman pribadi siswa pada saat menghadapi
gempa besar pada tahun 2000. Setelah terjadi gempa besar, dalam selang beberapa hari terjadi
gempa susulan yang berkekuatan kecil kurang lebih sebanyak 2000 kali. Pendapat siswa tentang
hal ini semakin meningkat dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Jika dirinci menurut zona
terlihat bahwa persentase responden di zona rawan dan hati-hati jauh lebih tinggi dibandingkan
zona aman. Hal ini kemungkinan disebabkan siswa di zona raman dan hati-hati lebih berpengalaman
terhadap gempa dibandingkan dengan siswa yang bersekolah di zona yang aman.
Pengetahuan siswa tentang hal-hal yang harus dilakukan pada saat gempa termasuk tinggi yaitu
berkisar antara 78-90 persen kecuali untuk pernyataan berlindung dibawah meja yang kokoh
sambil berpegangan pada kaki meja (Tabel 4.2.4.5). Tindakan yang mendapat peringkat tertinggi
adalah berlari menuju ruang/lapangan terbuka sambil melindungi kepala. Kondisi ini juga ditemui
dari hasil wawancara dengan salah seorang guru SD. Menurut informan biasanya pada saat
terjadi gempa siswa secara otomatis akan berlari keluar ruangan sambil melindungi kepala. Tindakan
yang mendapat peringkat terendah adalah berlindung di bawah meja sambil berpegangan pada
kaki meja yaitu kurang dari 50 persen. Kondisi ini terjadi karena sebagian siswa beranggapan
bahwa meja di sekolah yang mereka miliki saat ini kurang kokoh sehingga tidak aman untuk
dijadikan sebagai tempat berlindung apabila terjadi gempa. Jika dibedakan menurut tingkat
pendidikan terlihat bahwa sikap siswa SMP dan SMA terhadap hal-hal yang seharusnya dilakukan
pada saat gempa lebih baik dibandingkan siswa SD. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
menentukan respon siswa terhadap apa yang harus dilakukan pada saat gempa. Namun jika
dibedakan menurut zona tidak menunjukkan perbedaan yang berarti.
Selanjutnya pengetahuan siswa tentang sejarah tsunami. Dari empat kejadian tsunami yang
ditanyakan pada siswa yaitu Simelue 1907, Flores 1992, Aceh dan Nias tanggal 26 Desember
2004 dan Krakatau 1883, hanya kejadian tsunami di Aceh dan Nias yang banyak diketahui oleh
siswa (lebih dari 80 persen). Kejadian-kejadian tsunami lainnya hanya diketahui oleh sepertiga
responden siswa. Hal ini bisa dimaklumi karena kejadian tsunami di Aceh dan Nias baru saja
terjadi dan menelan korban yang sangat besar dan diekspose oleh semua media baik cetak
maupun elektronik bertaraf nasional maupun internasional. Sementara itu informasi tentang
kejadian-kejadian tsunami lainnya masih sangat kurang. Pengetahuan siswa tentang sejarah tsunami
ini tidak menunjukkan perbedaan yang berarti jika dibedakan menurut zona dan tingkat pendidikan.
297
Mayoritas (64 persen) siswa mengetahui bahwa tidak semua gempa dapat menimbulkan tsunami.
Sekitar seperlima siswa mempunyai persepsi yang salah dengan mengatakan bahwa setiap gempa
dapat menimbulkan tsunami dan sisanya menjawab tidak tahu. Tingkat pemahaman terhadap hal
ini tampaknya juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan siswa. Proporsi siswa yang menjawab
dengan benar semakin membaik dengan semakin bertambahnya tingkat pendidikan. Namun
apabila dibedakan menurut zona tidak memperlihatkan pola yang jelas.
Dari empat pilihan penyebab terjadinya tsunami hanya dua yang pernyataaan yang benar. Kedua
kejadian alam tersebut adalah gempa bumi di bawah laut dan gunung meletus di bawah laut. Dari
tabel 4.2.4.6. diketahui bahwa mayoritas siswa menjawab “ya” untuk kedua hal tersebut. Apabila
dirinci menurut tingkat pendidikan, terlihat adanya peningkatan pemahaman siswa mengenai
penyebab tsunami pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Namun jika dibedakan menurut
zona sekolah, proporsi siswa di zona rawan ternyata lebih rendah dibandingkan zona hati-hati
dan aman. Kondisi ini sebenarnya kurang menguntungkan mengingat siswa yang bersekolah di
zona rawan mempunyai resiko yang lebih besar untuk mengalami tsunami. Sementara itu kurang
Tabel 4.2.4.6.
Pengetahuan Siswa tentang Tsunami (Persentase Siswa yang Menjawab Ya)
Pernah mendengar/melihat/membaca
mengalami bencana tsunami di
1 Simeleu 1907 13,5 8,8 18,4 15,9 9,2 8,6 12,4
2 Flores 1992 20,7 15,0 34,2 22,9 17,8 16,0 20,0
3 Aceh dan Nias 26 Desember 2004 93,8 89,1 97,4 93,8 92,1 90,1 92,6
4 Krakatau 1883 34,2 27,2 36,8 30,4 33,6 34,6 32,2
Jika gempa tidak dapat diprediksi waktunya maka tsunami mempunyai beberapa tanda-tanda
yang dapat diamati sebelum terjadi. Tanda-tanda tersebut antara lain air laut tiba-tiba surut,
gempa kuat dengan goyangan yang kencang sehingga susah berdiri, dan gelombang besar di
cakrawala. Secara umum, mayoritas siswa mengetahui dengan benar ciri-ciri tsunami diindikasikan
oleh tingginya persentase siswa yang menjawab “ya” (lebih dari 50 persen). Tanda-tanda tsunami
yang paling banyak diketahui oleh siswa adalah air laut yang tiba-tiba surut (lebih dari 80 persen).
Kondisi ini dilatarbelakangi oleh adanya informasi tentang kejadian tsunami di Aceh tahun 2004.
Pengetahuan siswa terhadap ciri-ciri ini mempengaruhi jawaban siswa pada pertanyaan “tindakan
Tabel 4.2.4.7.
Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Dilakukan Seandainya Air Laut
Tiba-tiba Surut (Persentase Siswa yang Menjawab Ya)
Zona Tingkatan sekolah
Uraian SD/ SMP/ SMA/ Total
Hati-hati Aman
Rawan sederajat Sederajat Sederajat
1 Berlari menjauhi pantai 92,7 87,8 97,4 88,1 95,4 93,8 91,5
2 Bermain di pantai 2,5 5,4 0,0 4,0 3,3 1,2 3,3
Mengambil ikan yang
3 0,0 2,7 0,0 1,3 0,0 1,2 0,9
terdampar
4 Tidak tahu 4,7 4,1 2,6 6,6 1,3 3,7 4,3
N 276 146 38 230 152 77 460
Peran sekolah dalam memberikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami pada siswa cukup
besar. Hal ini diindikasikan oleh tingginya persentase siswa yang mengaku pernah mendapatkan
pengetahuan tentang gempa dan tsunami di sekolah (72 persen). Apabila dibedakan menurut
tingkat pendidikan terlihat adanya variasi yang cukup besar. Siswa yang pernah mendapatkan
pelajaran tentang gempa dan tsunami terbesar di tingkat SMA dengan persentase 90 persen
sedangkan yang terendah adalah siswa SMP. Menurut pengakuan salah seorang guru SMA, 299
pelajaran tentang gempa dan tsunami diberikan dalam mata pelajaran geografi dan fisika. Apabila
dibedakan menurut zona terlihat bahwa persentase siswa yang pernah mendapat pelajaran tentang
gempa dan tsunami merata di semua zona.
Pengetahuan tentang gempa dan tsunami tidak hanya dapat diperoleh di sekolah tetapi juga
dapat diperoleh dari pembicaraan dengan orang lain seperti teman dan keluarga. Untuk menjaring
siswa yang tidak mendapatkan pengetahuan tentang gempa dan tsunami di sekolah, diberikan
pertanyaan “apakah pernah membicarakan gempa dan tsunami dengan teman atau keluarga”.
Dari hasil survei diketahui bahwa persentase siswa yang membicarakan gempa dan tsunami
dengan teman atau keluarga termasuk tinggi (lebih dari 80 persen). Artinya, meskipun siswa-
siswa tersebut tidak mendapat pelajaran tentang gempa dan tsunami di sekolah tetapi perhatian
siswa terhadap bencana ini cukup tinggi. Jika tidak mendapatkan pelajaran di sekolah, mereka
berusaha untuk mengetahuinya dari orang lain. Apabila dibedakan menurut tingkat pendidikan
terlihat adanya peningkatan proporsi siswa yang menjawab “ya” pada tingkat pendidikan yang
lebih tinggi. Terutama pada siswa SMA/sederajat (100 persen). Hal ini juga menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat pendidikan, keinginan siswa untuk memperoleh informasi tentang bencana
semakin meningkat.
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya tidak semua siswa memperoleh pelajaran tentang bencana
di sekolah. Meskipun demikian, informasi tentang bencana juga dapat diperoleh dari sumber-
sumber lain. Berdasarkan tabel 4.2.4.9. diketahui bahwa informasi tentang bencana paling banyak
diperoleh siswa melalui media cetak seperti koran dan majalah dengan persentase lebih dari 90
persen. Sekitar 80 persen memperoleh informasi dari keluarga/saudara/teman, sekolah 70 persen
dan hanya sekitar 37 persen yang memperoleh pengetahuan tentang bencana dari buku-buku,
komik, poester, leaflet, papan pengumuman maupun selebaran. Kondisi ini juga menunjukkan
bahwa media cetak dapat menjadi sumber informasi yang paling efektif dalam penyebar luasan
informasi tentang bencana. Keluarga/saudara dan teman serta sekolah juga bisa menjadi sumber
informasi yang cukup baik. Sementara itu keberadaan buku, komik, poster, papan pengumuman
dan selebaran masih perlu ditingkatkan.
Tabel 4.2.4.9.
Sumber-Sumber Informasi tentang Bencana (Persentase yang Menjawab Ya)
Zona Tingkat Pendidikan
Uraian SD/ SMP/ SMA/ Total
Rawan Hati-hati Aman
sederajat Sederajat Sederajat
1 Sekolah 70,5 75,5 55,3 63,9 71,1 90,1 70,9
2 Media cetak 94,2 92,5 100,0 90,3 96,7 100,0 94,1
3 Buku, komik, poster, leaflet,
37,5 40,1 26,3 32,6 42,1 42,0 37,4
papan pengumuman, selebaran
4 Keluarga/saudara/teman 84,4 81,6 76,3 71,8 90,8 98,8 82,8
N 276 146 38 230 152 77 460
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI- UNESCO/ISDR, 2006
Tabel 4.2.4.10.
Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan untuk Meningkatkan
Kewaspadaan terhadap Bencana (Persentase yang Menjawab ya)
Kebijakan dan pedoman menjadi salah satu parameter untuk mengukur kesiapsiagaan komunitas
sekolah. Pada komunitas sekolah, parameter ini hanya dipunyai oleh sekolah. Ada dua indikator
yang digunakan untuk mengukur paramater kebijakan dan pedoman yaitu adanya kebijakan
Sekolah
Perencanaan penyelamatan di tingkat sekolah diukur dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan
sekolah terkait dengan pertolongan pertama, rencana evakuasi dan penyelamatan terhadap
dokumen-dokumen penting.
Kesiapan sekolah untuk perencanaan pertolongan pertama sangat penting untuk mengurangi
resiko pada saat terjadi bencana. Kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pertolongan pertama
tersebut meliputi penyediaan kotak P3K dan obat-obatan penting, menyediakan posko kesehatan
sekolah, mengaktifkan dokter kecil atau PMR dan mengadakan latihan pertolongan pertama.
Dari hasil survei menunjukkan bahwa ternyata di semua sekolah yang terkena sampel telah
menyediakan kotak P3K dan obat-obatan penting. Sebagian besar atau sekitar 60 persen sekolah
juga telah mengadakan pelatihan untuk pertolongan pertama. Pelatihan pertolongan pertama ini
Pada saat terjadi bencana terutama bencana gempa dan tsunami, sekolah diharapkan telah
mempunyai rencana evakuasi seperti menyepakati tempat-tempat evakuasi/pengungsian, membuat
peta dan jalur evakuasi sekolah, menyiapkan peralatan dan perlengkapan evakuasi serta melakukan
latihan/simulasi evakuasi. Namun hasil survei menunjukkan bahwa masih sangat jarang sekolah
yang telah melakukan rencana evakuasi, hanya ada 2 sekolah dari 13 sekolah. Hal ini juga
terungkap dalam diskusi kelompok terfokus komunitas sekolah. Pada umumnya belum
menyepakati tempat-tempat pengungsian atau evakuasi, tetapi sebagian besar sudah mengetahui
tempat-tempat yang dianggap sebagai tempat untuk menyelamatkan diri. Sebagai contoh siswa-
siswa dan guru-guru di SMA I Lempuing secara otomatis akan menyelamatkan diri ke Kantor
Pemda yang jaraknya kurang lebih 200 meter dari sekolah tersebut tanpa adanya kesepakatan
di sekolah. Kantor ini dianggap sebagai tempat yang aman dan paling dekat karena terletak di
tempat yang agak tinggi dengan gedung yang bertingkat. Namun dikatakan bahwa lokasi tersebut
hanya aman untuk sementara.
Kemudian tentang penyiapan back-up atau copy dokumen-dokumen penting sekolah untuk
mengantipasi seandainya ada gempa dan tsunami, ternyata hanya satu dari 13 sekolah yang telah
melakukannya. Sehingga bisa dikatakan masih sangat kecil sekolah yang peduli akan perlunya 303
mengamankan dokumen-dokumen penting sekolah dari ancaman bencana. Pengalaman dari salah
satu sekolah yang mengalami kerusakan parah pada saat gempa, banyak dokumen-dokumen
yang rusak atau hilang. Namun saat ini, sekolah tersebut masih belum melakukan tindakan untuk
memback-up dokumen-dokumen dan menyimpannya di tempat aman. Dokumen yang ada hanya
disimpan di lemari kayu. Penyimpanan dokumen-dokumen juga dapat dilakukan dalam bentuk
elektronik-file (e-file) seperti cd/disket yang lebih ringan, simpel dan tidak memakan tempat.
Namun dari hasil wawancara dengan beberapa sekolah tidak ditemukan satu sekolah pun yang
menyimpan dokumen penting dalam bentuk e-file tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan keterbatas
dana dan ketersediaan komputer di sekolah.
Terkait dengan keberadaan peta/jalur evakuasi di sekolah, hanya ada 1 dari 13 sekolah yang
disurvei yang mengaku telah membuat peta/jalur evakuasi di sekolah. Kondisi ini juga didukung
oleh hasil wawancara dan diskusi kelompok terfokus dengan komunitas sekolah. Dari kedua
metode ini tidak ditemukan sekolah yang memiliki peta dan jalur evakuasi tersebut. Meskipun
demikian pada umumnya sekolah atau komunitas sekolah sudah guru/siswa sudah mengetahui
lokasi-lokasi tertentu yang dianggap aman sebagai tempat untuk melarikan diri. Pembuatan peta
Hanya dua dari tiga belas sekolah yang mengisi pernah melakukan kegiatan simulasi-evakuasi.
Kedua sekolah tersebut terletak di zona rawan. Penyelengaraan kegiatan ini sangat terkait dengan
kebijakan sekolah untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana di sekolah. Masih sangat jarang
sekolah yang mempunyai kebijakan untuk mengadakan pelatihan simulasi di sekolah terkait dengan
kurangnya pengetahuan sekolah akan pentingnya kegiatan simulasi untuk antisipasi bencana.
Kemungkinan lain adalah adanya anggapan bahwa kegiatan simulasi kurang penting seperti yang
terungkap dalam diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah. Pendapat ini muncul dengan
anggapan bahwa masyarakat Kota Bengkulu sudah terbiasa dengan gempa. Apabila terjadi gempa
besar dan dicurigai akan terjadi tsunami masyarakat secara spontan akan lari ke tempat tinggi.
Meskipun demikan dari wawancara dengan sekolah ditemukan satu sekolah yang pernah
melakukan kegiatan simulasi. Kegiatan ini diadakan setelah salah seorang guru mendapat pelatihan
tentang gempa. Meskipun baru dilakukan satu kali hal ini menunjukkan bahwa pelatihan
kesiapsiagaan bencana telah menumbuhkan kesadaran dan memberi pengetahuan akan pentingnya
kegiatan simulasi dalam meningkatkan kesiapsiagaan komunitas sekolah.
Tabel 4.2.4.11.
Rencana Tanggap Darurat di Sekolah Sampel Kota Bengkulu
URAIAN FREKUENSI
Absulut Persentase
Sekolah yang ada kegiatan berkaitan pertolongan pertama :
a. Menyiapkan kotak P3K & obat-obatan penting 13 100,0
b. Menyiapkan posko kesehatan sekolah 6 46,2
c. Mengaktifkan dokter kecil/ PMR 5 38,5
d. Latihan pertongan pertama 8 61,5
Parameter rencana penyelamatan untuk antisipasi bencana kelompok guru diterjemahkan dalam
dua indikator yaitu persiapan yang telah dilakukan guru dalam mengantisipasi bencana serta
tindakan yang akan dilakukan pada saat terjadi bencana.
Secara umum rencana penyelamatan untuk antisipasi bencana yang telah dilakukan oleh guru
masih perlu ditingkatkan. Persentase guru yang telah melakukan tindakan rencana penyelamatan
baru berkisar antara 31-59 persen. Rendahnya partisipasi guru menunjukkan masih kurangnya
pemahaman guru terhadap perlunya melakukan beberapa tindakan terkait dengan rencana
penyelamatan untuk mengantisipasi bencana. Selain itu, tindakan-tindakan tersebut juga
dipengaruhi oleh kebijakan sekolah. Seperti sudah dijelaskan dalam rencana penyelamatan
sekolah, masih sangat jarang ditemukan sekolah yang mempunyai kebijakan untuk melakukan
tindakan-tindakan rencana penyelamatan terkait dengan masalah dana dan kurangnya pengetahuan.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, persiapan yang paling banyak dilakukan guru adalah melatih siswa
menyelamatkan diri (59 persen). Pelatihan tersebut dapat dilakukan pada saat memberikan mata
pelajaran yang terkait dengan bencana. Meskipun demikian, hal ini sangat tergantung pada inisiatif
guru yang bersangkutan. Kedua, menyiapkan copy dokumen-dokumen kelas/mata pelajaran
yang diajarkan dan menyimpannya ditempat yang aman (56 persen). Ketiga adalah mengikat
rak-rak buku ke dinding atau lantai (40 persen) sedangkan persiapan yang paling jarang dilakukan
guru adalah meletakkan barang-barang dan buku-buku di tempat rendah/lantai (31 persen).
Diagram 4.2.4.6.
Persentase Responden Guru yang Telah Melakukan Persiapan
dalam Rangka Rencana Penyelamatan untuk Kondisi Darurat Bencana, 2006
Lokasi sekolah tampaknya mempengaruhi tingkat persiapan yang telah dilakukan guru. Data
menunjukkan adanya kecenderungan semakin rawan zona sekolah tempat seorang guru mengajar
semakin baik persiapan yang telah dilakukan kecuali untuk tindakan menyiapkan copy dokumen-
Berbeda dengan tingkat persiapan guru yang kurang baik untuk mengantisipasi bencana, respon
guru terhadap hal-hal yang harus dilakukan apabila terjadi gempa dan tsunami sangat baik. Kondisi
ini terlihat dari tingginya persentase guru yang menjawab “ya” terhadap semua tindakan yang
harus dilakukan pada saat terjadi gempa bumi ketika sedang mengajar di sekolah (lebih dari 75
persen). Pendapat guru tentang hal ini merata di semua zona dan tingkatan sekolah yang diajar.
Pengetahuan guru tentang hal tersebut diantaranya diperoleh dari pengalaman gempa yang sering
dialami penduduk di Kota Bengkulu.
Tabel 4.2.4.12.
Pendapat Responden Guru mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan Seandainya
Terjadi Gempa Bumi (Persentase yang menjawab Ya)
1 Menangkan diri dan siswa 93,3 100,0 100,0 96,0 97,0 94,1 96,0
Memberi aba-aba agar siswa berlindung
2 dibawah meja yang kokoh sampai getaran 75,0 75,0 87,5 76,0 78,8 70,6 76,0
gempa berhenti
Memandu siswa untuk menjauh dari rak-rak
3 buku/barang dan benda-benda yang 90,0 100,0 100,0 96,0 90,9 94,1 94,0
tergantung atau jendela kaca
7 Lari menyelamatkan diri 85,0 81,3 75,0 90,0 69,7 88,2 83,0
N 60 32 8 50 33 17 100
Kelompok Siswa
Rencana penyelamatan dalam kondisi darurat bencana diperlukan sebagai antisipasi untuk
mengurangi resiko bencana terutama gempa dan tsunami. Untuk siswa, hal ini digambarkan oleh
4 (empat) indikator yaitu pendapat siswa tentang tindakan-tindakan penting apa saja yang harus
dilakukan untuk agar selamat dari bencana gempa dan tsunami, pendapat siswa terhadap barang-
barang yang perlu diselamatkan, keberadaan peta dan jalur evakuasi serta fasilitas untuk
pertolongan pertama di sekolah, dan ketersediaan bahan atau materi tentang gempa dan tsunami
di sekolah.
Pendapat siswa tentang tindakan-tindakan penting yang harus dilakukan agar selamat dari bencana
gempa dan tsunami bervariasi (Diagram 4.2.4.7). Tindakan yang mendapat persentase paling
tinggi adalah mengetahui tempat yang aman yaitu mencapai 85 persen. Informasi tentang tempat-
tempat aman dapat diperoleh siswa berbagai sumber seperti dari orang tua atau guru, teman
disekolah dan media massa. Dari hasil diskusi kelompok terfokus dengan komunitas sekolah
diketahui bahwa informasi tentang tempat-tempat aman tsunami telah dibuat oleh pemerintah 307
Propinsi Bengkulu dan juga pernah dimuat di koran. Sekolah-sekolah yang berada di lokasi
yang rawan terhadap tsunami sudah mengetahui lokasi-lokasi yang aman untuk menyelamatkan
diri apabila terjadi gempa dan tsunami. Sebagai contoh siswa dan guru di SMA I Lempuing akan
lari ke kantor gubernur yang terletak kurang lebih 200 meter yang dianggap tempat aman apabila
terjadi bencana gempa dan tsunami. Gedung tersebut berada di lokasi yang cukup tinggi dan
bertingkat sehingga dianggap cukup aman sebagai tempat untukmenyelamatkan diri meskipun
hanya untuk sementara. Disamping itu, isu tsunami di Kota Bengkulu pada akhir tahun 2005 lalu
juga memberi pengetahuan pada siswa pentingnya mengetahui tempat-tempat aman. Gambaran
tentang tingginya persentase siswa yang menjawab pentingnya mengetahui tempat-tempat yang
aman merata untuk semua zona dan tingkat pendidikan (Lampiran tabel 4.2.4.4).
Diagram 4.2.4.7.
Persentase Responden Siswa yang Telah Melakukan Persiapan
dalam Rangka Rencana Penyelamatan untuk Kondisi Darurat Bencana, 2006
Pada saat terjadi bencana anggota keluarga sering tercerai berai karena tidak berada di lokasi
yang sama pada saat kejadian atau terpisah pada saat menyelamatkan diri masing-masing.
Pengalaman ini terjadi pada masyarakat Aceh dalam peristiwa tsunami tahun 2004 lalu. Banyak
anak-anak yang terpisah dari orang tua atau saudara, beberapa diantaranya baru bisa bertemu
kembali setelah melakukan pencarian selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Oleh karena
itu penting untuk menyepakati tempat berkumpul dengan anggota keluarga terutama bagi siswa
apabila bencana terjadi pada saat berada di sekolah. Tindakan ini menjadi tindakan kedua yang
dianggap perlu disiapkan oleh siswa (65 persen) namun dengan persentase yang jauh lebih rendah
dibandingkan mengetahui tempat-tempat aman. Sekitar 2 persen siswa menganggap hal ini tidak
perlu, dan sekitar 33 persen menjawab tidak tahu. Ketidaktahuan siswa merupakan cerminan
dari ketidaktahuan keluarga. Untuk memperbaiki hal tersebut perlu diinformasikan pada siswa
akan perlunya menyepakati tempat berkumpul keluarga pada saat terjadi bencana. Apabila dirinci
menurut zona terlihat adanya peningkatan proporsi siswa yang menjawab ya pada zona yang
lebih rawan. Artinya adanya kesadaran yang lebih tinggi pada siswa di zona yang rawan akan
pentingya menyepakati tempat berkumpul keluarga dibanding siswa di zona yang lebih aman.
Pendapat siswa tersebut merata jika dibedakan menurut tingkat pendidikan.
Sekitar 60 persen responden siswa mengatakan perlu mengikuti latihan penyelamatan diri, 33
persen menganggap tidak dan 8 persen menjawab tidak tahu. Angka-angka ini menunjukkan
bahwa mayoritas siswa menganggap latihan menyelamatkan diri penting dilakukan sebagai
persiapan untuk mengantisipasi bencana. Gambaran ini berlaku merata di semua zona dan tingkat
pendidikan. Kemungkinan sebagian siswa mengalami trauma akan kejadian gempa besar tahun
2000 serta kejadian tsunami di Aceh tahun 2004. Dengan adanya latihan untuk menyelamatkan
Mengetahui tempat-tempat strategis seperti rumah sakit, pemadam kebakaran, polisi, PMI maupun
PLN hanya dipilih oleh (48 persen). Apabila ditelusuri lebih dalam, hal ini disebabkan oleh
kurangnya pemahaman siswa akan pentingnya mengetahui tempat-tempat kritis hal ini tercermin
dari tingginya persentase siswa yang menjawab tidak tahu (40 persen). Jika dibedakan berdasarkan
tingkat pendidikan terlihat bahwa tingkat pemahaman siswa akan perlunya mengetahui tempat-
tempat fasilits kritis semakin baik dengan semakin tingginya tingkat pendidikan. Siswa pada
tingkatan yang lebih tinggi menganggap penting mengetahui tempat-tempat kritis dibandingkan
siswa pada tingkatan yang lebih rendah. Apabila dibedakan menurut zona, terlihat bahwa
persentase siswa yang tidak tahu atau merasa tidak perlu mengetahui lokasi fasilitas penting
paling tinggi di zona aman. Kemungkinan siswa menganggap lokasi sekolahnya sudah berada di
zona aman sehingga tidak perlu mengetahui fasilitas-fasilitas penting tersebut.
1 Rapor/ijazah
86,9 85,0 78,9 78,4 90,1 97,5 85,7
Tas/kantong/kotak yang berisi buku
2
dan keperluan sekolah 49,5 50,3 31,6 41,9 50,7 61,7 48,3
Surat-surat dan barang-barang
3
penting lainnya
85,5 83,7 86,8 79,7 86,8 96,3 85,0
4 Barang-barang kesayangan
30,9 36,7 23,7 32,2 23,0 49,4 32,2
Tas/kantong/kotak yang berisi buku dan keperluan sekolah hanya dipilih oleh 48 persen siswa.
Hal ini menunjukkan bahwa pada saat terjadi bencana menyelamatkan tas/kantong/kotak berisi
keperluan sekolah secara umum dianggap lebih tidak penting dibandingkan menyelamatkan raport/
ijazah dan surat-surat penting lainnya. Terlihat adanya peningkatan proporsi siswa yang memilih
menyelamatkan tas/kantong/kotak yang berisi buku dan keperluan sekolah dengan semakin
tingginya tingkat pendidikan. Siswa yang berpendidikan lebih tinggi lebih menganggap barang ini
perlu diselamatkan dibandingkan siswa yang berpendidikan lebih rendah. Namun apabila
dibedakan menurut zona tidak memperlihatkan pola yang jelas. Lain halnya dengan barang-
barang kesayangan karena tidak termasuk barang yang harus diselamatkan apabila terjadi bencana.
Hal ini tampaknya sudah disadari oleh sebagian besar siswa, diindikasikan oleh rendahnya
persentase siswa yang menjawab ya untuk barang-barang kesayangan (32 persen). Sebagian
besar siswa menjawab tidak perlu (58 persen) dan hanya sedikit yang menjawab tidak tahu.
Tabel 4.2.4.14.
Pengetahuan Responden Siswa Mengenai Keberadaan Peralatan/perlengkapan
yang Berkaitan dengan Rencana Penyelamatan di Sekolah
(Persentase yang Menjawab Ya)
3 Kotak P3K dan obat-obatan penting 85,8 85,7 76,3 77,1 92,1 93,8 85,0
4 Posko kesehatan sekolah 65,5 73,5 60,5 70,5 63,2 67,9 67,6
5 Palang Merah Remaja 72,7 57,8 52,6 56,4 75,0 77,8 66,3
Peta/jalur evakuasi (34 persen) dan peralatan/perlengkapan evakuasi (33 persen) adalah hal-hal
yang paling sedikit dapat ditemukan siswa di sekolah. Rendahnya proporsi siswa yang mengetahui
keberadaan kedua hal ini merata di semua zona dan tingkat pendidikan siswa. Hal ini berkaitan
311
erat dengan kenyataan bahwa sangat sedikit sekolah yang telah membuat peta/jalur evakuasi
atau pun memiliki peralatan/perlengkapan evakuasi.. Data survei di tingkat sekolah ternyata
mendukung pendapat siswa, dari 13 sekolah yang menjadi sampel hanya satu sekolah yang
mengaku telah mempunyai peta/jalur evakuasi dan hanya 2 dari 13 sekolah yang telah menyiapkan
peralatan/perlengkapan evakuasi. Hasil diskusi kelompok terfokus untuk komunitas sekolah juga
menunjukkan hal yang sama. Tidak ada satu sekolah pun yang menjadi peserta diskusi sudah
mempunyai peta/jalur evakuasi dan sangat sedikit sekolah yang mempunyai peralatan/perlengkapan
evakuasi. Peralatan/perlengkapan evakuasi tidak disiapkan secara khusus. Perlengkapan seperti
tenda/tandu biasanya ada di pramuka.
Ketersediaan bahan dan materi tentang bencana di sekolah membantu meningkatkan pengetahuan
siswa dan pada akhirnya akan meningkatkan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana.
Semakin tinggi akses siswa untuk memperoleh bahan dan materi tentang bencana dalam berbagai
bentuk diharapkan akan dapat meningkatkan kesiapsiagaan siswa terhadap bencana. Jawaban
siswa mengenai bahan dan materi tentang gempa dan tsunami bervariasi. Dari tiga jenis bahan
dan materi tentang bencana, bahan dan materi dalam bentuk buku adalah yang paling banyak
Tabel 4.2.4.15.
Jenis Bahan dan Materi tentang Gempa dan Tsunami yang Diperoleh Siswa di
Sekolah (Persentase yang Menjawab Ya)
Zona Tingkat pendidikan
Uraian SD/ SMP/ SMA/ Total
Rawan Hati-hati Aman
sederajat Sederajat Sederajat
Buku-buku tentang gempa dan
71,6 76,2 63,2 78,0 66,4 67,9 72,4
1 tsunami
Poster, laflet, buku saku,
komik, kliping koran tentang 39,6 40,8 48,6 39,6 41,1 43,2 40,7
2 gempa dan tsunami
VCD, kaset tentang gempa
38,2 53,7 57,9 54,2 35,5 35,8 44,8
3 dan tsunami
N 276 146 38 230 152 77 460
Sementara itu, akses siswa untuk mendapatkan bahan dan materi tentang bencana dalam bentuk
VCD/kaset dan poster/leaflet/buku saku/komik/kliping koran jauh lebih rendah dibandingkan
dalam bentuk buku-buku. Kondisi ini berkaitan erat dengan kurangnya penyebaran informasi
tentang gempa dan tsunami yang diberikan dalam kedua bentuk tersebut. Apabila dibedakan
menurut lokasi sekolah, terlihat bahwa akses siswa di zona rawan untuk mendapatkan materi
dalam bentuk VCD dan kaset tentang gempa dan tsunami paling kecil dibandingkan zona aman
dan hati-hati padahal seharusnya mempunyai akses yang lebih baik. Untuk tingkat pendidikan,
siswa SD/sederajat mempunyai akses lebih baik dibandingkan siswa SMP/sederajat dan SMA/
sederajat. Meskipun demikian secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa keberadaan bahan
dan materi tentang gempa dan tsunami dalam bentuk VCD/kaset dan poster/leaflet/buku saku/
komik/kliping koran masih kurang sehingga penyediaan materi dalam kedua bentuk ini perlu
ditingkatkan.
Sekolah
Indikator yang digunakan untuk mengukur peringatan bencana adalah : (1) keberadaan akses
informasi tentang peringatan bencana; (2) pemilikan peralatan untuk menyampaikan peringatan
bencana; dan (3) sekolah menyiapkan rencana/ langkah untuk merespon peringatan bencana.
Hanya sebagian kecil sekolah (2 sekolah) yang memiliki peralatan untuk menyampaikan/menyebar-
luaskan peringatan bencana. Sedikitnya jumlah sekolah yang mengisi mempunyai peralatan yang
dapat digunakan untuk menyebarluaskan peringatan bencana ini kemungkinan disebabkan oleh
kurangnya pemahaman kepala sekolah/guru yang mengisi angket bahwa bel atau lonceng dapat
digunakan sebagai alat untuk menyebarluaskan peringatan bencana. Dalam diskusi terfokus dengan
komunitas sekolah dikemukakan beberapa alat yang dapat digunakan sebagai alat untuk
menyebarluaskan peringatan bencana. Alat-alat tersebut antara lain mikrofon/bel panjang yang
bisa digunakan pada saat listrik masih menyala, lonceng, tiang listrik dan TOA apabila listrik
mati. Peluang pemakaian tiang listrik sebagai alat untuk menyebarluaskan peringatan bencana
menjadi berkurang terkait dengan adanya penggantian jenis bahan yang digunakan untuk tiang
listrik dari besi/logam menjadi beton.
Jawaban sekolah tentang apakah telah menyiapkan respon terhadap peringatan bencana berbeda
dengan jawaban ada atau tidaknya alat untuk menyebarluaskan peringatan bencana. Dari 7 dari
13 sekolah mengaku telah menyiapkan tindakan sebagai usaha untuk merespon apabila ada
peringatan bencana. Artinya, sebagian besar sekolah yang disurvei sudah menyiapkan tindakan-
tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi bencana.
URAIAN FREKUENSI
Absulut Persentase
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI -UNESCO/ISDR, 2006
Ada 3 (tiga) indikator yang digunakan untuk mengukur parameter sistim peringatan bencana
(Warning system) di tingkat guru. Indikator tersebut adalah pengetahuan guru terhadap
keberadaan cara/sistem peringatan bencana tsunami dan pendapat guru tentang tindakan yang
seharusnya dilakukan apabila mendengar peringatan bencana tsunami.
Berdasarkan data survei diketahui bahwa hanya sebagian kecil guru yang mengetahui adanya
cara/sistim peringatan bencana tsunami di Kota Bengkulu (32 persen). Rendahnya persentase
guru yang mengetahui adanya cara/system peringatan tsunami juga dilatarbelakangi oleh belum
adanya cara/sistem yang disepakati oleh pemerintah Kota Bengkulu sebagai pihak yang paling
berwenang untuk peringatan adanya tsunami. Cara/system peringatan tsunami yang diketahui
oleh sebagian guru adalah cara yang biasa digunakan untuk memberi tahu adanya bahaya
kebakaran dan kemalingan misalnya sirine dari mobil patroli polisi, pengeras suara atau TOA.
Cara lain yang bisa digunakan adalah memukul tiang listrik atau pelek mobil. Gambaran tentang
rendahnya pengetahuan guru tentang adanya cara/sistem peringatan tsunami di daerahnya merata
di semua zona dan tingkatan sekolah yang diajar.
Tabel 4.2.4.17.
Pengetahuan Responden Guru tentang Cara/Sistem Peringatan Tsunami di
Daerahnya dan Tindakan yang Akan Dilakukan Apabila Mendengar Peringatan
Pemberitaan media masa tentang bencana terutama tentang gempa dan tsunami di Aceh tampaknya
memberikan pengetahuan dan pelajaran pada guru tentang tindakan-tindakan yang harus dilakukan
apabila mendengar tanda bahaya tsunami terutama jika sedang mengajar di sekolah. Mayoritas
Meskipun mayoritas guru memberikan respon yang baik terhadap tindakan-tindakan yang
seharusnya dilakukan apabila mendengar peringatan tsunami tetapi jawaban guru untuk tindakan
yang seharusnya dijawab “tidak” yaitu segera pulang ke rumah juga cukup tinggi (dipilih oleh 74
persen guru). Apabila peringatan tsunami terdengar ketika sedang mengajar seorang guru
berkewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan penyelamatan tidak hanya untuk dirinya sendiri
tetapi juga siswa, orang-orang yang berada di tempat terdekat serta barang-barang yang dianggap
penting terkait dengan tugasnya sebagai seorang pengajar. Kemungkinan pendapat guru ini didasari
oleh keinginan manusiawi guru sebagai seorang manusia untuk menyelamatkan keluarga yang
dicintainya.
Kelompok Siswa
Seperti halnya pada kelompok guru. Kesiapsiagaan siswa terkait dengan peringatan bencana
diukur berdasarkan pengetahuan siswa terhadap keberadaan sistem peringatan bencana tsunami
di daerahnya dan tindakan yang akan dilakukan apabila mendengar adanya tanda peringatan
tersebut.
315
Data survei menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mengetahui adanya cara/sistem peringatan
tsunami tetapi dengan persentase yang tidak jauh berbeda dibandingkan persentase siswa yang
menjawab tidak (Tabel 4.2.4.18.). Gambaran tentang pendapat responden siswa mengenai cara/
sistem peringatan tsunami tersebut merata di semua zona dan tingkat pendidikan siswa. Informasi
tentang cara/sistem peringatan ini dapat diperoleh media masa atau mendengar dari orang lain.Dari
hasil wawancara diketahui bahwa cara yang dapat dipakai untuk peringatan tsunami di masyarakat
di Kota Bengkulu sama dengan cara yang digunakan untuk kondisi bahaya lainnya. Pada saat
listrik tidak mati bisa menggunakan pengeras suara, atau bel jika di sekolah. Namun pada saat
tidak ada listrik dapat menggunakan tiang listik, pelek mobil atau TOA. Sementara itu cara/
sistem peringatan khusus untuk tsunami dari pemerintah belum ada. Cara yang digunakan
pemerintah masih sama dengan cara untuk kondisi bahaya lainnya seperti sirine patroli polisi.
Peringatan bencana tsunami bertujuan untuk memberi tanda kepada masyarakat akan bahaya
yang mengancam. Dengan adanya peringatan tersebut diharapkan masyarakat termasuk siswa
dapat mengambil tindakan yang tepat untuk mengantisipasi berbagai resiko yang tidak diinginkan.
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa respon siswa terhadap peringatan peringatan bencana
Tabel 4.2.4.18.
Pengetahuan Responden Siswa tentang Peringatan Tsunami dan Tindakan yang akan
Dilakukan Apabila Mendengar Peringatan
Zona Tingkat Pendidikan
Uraian Hati- SMP/ SMA/ Total
Rawan Aman SD/ sederajat
hati sederajat sederajat
Sekolah
Ada banyak indikator yang digunakan untuk mengukur sumberdaya sekolah. Indikator sumberdaya
tersebut antara lain meliputi ketersediaan tenaga di sekolah yang sudah terlatih, penyediaan bahan
dan materi untuk kesiap-siagaan menghadapi bencana, penyebarluasan pengetahuan dan simulasi
tentang bencana kepada siswa, alokasi anggaran dan bantuan/bimbingan dalam kesiapsiagaan
bencana.
Sebagian besar sekolah belum memiliki petugas/ kelompok/ gugus khusus yang berkaitan dengan
kesiap-siagaan menghadapi bencana. Hanya ada 3 sekolah yang melaporkan bahwa di sekolah
mereka telah ada petugas/ kelompok/ gugus khusus tersebut. Mereka adalah para siswa yang
terpilih menjadi anggota PMR (Palang Merah Remaja). Kelompok ini biasanya mendapatkan
pelatihan tentang cara pemberian bantuan terhadap korban bencana. Pelatihan dilakukan oleh
PMI di tingkat kota atau provinsi.
Apakah ada pimpinan/ pengajar/ staf sekolah yang pernah diikutkan pelatihan/ seminar/ workshop/
pertemuan yang berkaitan dengan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Sebagian besar sekolah
sampel belum pernah mengikutkan pimpinan/ pengajar/ staf sekolahnya dalam kegiatan tersebut.
Hanya 3 sekolah sampel yang mengikutsertakan dalam kegiatan tersebut yang materinya adalah
pengetahuan tentang bencana. Untuk kegiatan tentang rencana evakuasi, pertolongan pertama,
sistem peringatan dini dan simulasi evakuasi masing-masing hanya satu sekolah yang mengaku
pernah mengikutsertakan tenaganya. Sedikitnya jumlah sekolah yang pernah mengikutsertakan
pimpinan/pengajar/staf sekolah dalam pelatihan/workshop/pertemuan terkait dengan kesiapsiagaan
menghadapi bencana ini disebabkan oleh kurangnya penyelenggaraan kegiatan tersebut untuk 317
sekolah di Kota Bengkulu.
Tentang penyediaan bahan dan materi oleh sekolah yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
menghadapi bencana, ternyata hanya satu sekolah yang melaporkan telah menyediakan buku-
buku tentang gempa dan tsunami. Kemudian tentang bahan dan materi lainnya, seperti poster,
leaflet, kliping koran tentang gempa dan tsunami, VCD dan kaset tentang gempa dan tsunami
belum ada satu sekolahpun yang mengaku ada. Hal ini menunjukkan bahwa materi tentang gempa
dan tsunami di sekolah masih sangat kurang. Penyediaan bahan dan materi tersebut juga dipengaruhi
oleh alokasi anggaran untuk kesiapsiagaan bencana di sekolah. Dari survei sekolah diperoleh
data bahwa belum ada satu sekolahpun yang telah mengalokasikan. Hal ini disebabkan masih
rendahnya kemampuan anggaran sekolah. Menurut pengakuan beberapa kepala sekolah anggaran
yang digunakan untuk kegiatan belajar mengajar saja kadang kekurangan anggaran, apalagi untuk
mengalokasikan kesiap-siagaan bencana.
Keberadaan sekolah yang telah memasukkan materi tentang bencana dalam mata pelajaran yang
relevan, ternyata sebagian besar dari sekolah sampel melaporkan telah melaksanakan. Materi
Tabel 4.2.4.19.
Mobilisasi Sumber Daya Sekolah Sampel Kota Bengkulu
URAIAN FREKUENSI
Absulut Persentase
Sekolah ada petugas/kelompok/gugus khusus menghadapi bencana :
1. Ya 3 23,1
2. Tidak 10 76,9
Total 13 100,0
Pimpinan/guru/staf sekolah pernah ikut pelatihan/ seminar/workshop/
pertemuan terkait dengan bencana :
a. Pengetahuan tentang bencana 3 23,1
b. Rencana evakuasi 1 8,3
c. Pertolongan pertama 1 8,3
d. Sistem peringatan dini 1 8,3
e. Simulasi evakuasi 1 8,3
Sekolah menyediakan bahan & materi terkait kesiap-siagaan menghadapi
bencana :
a. Buku tentang gempa dan tsunami. 1 7,7
b. Poster, leaflet, kliping ttg gempa dan tsunami 0 0,0
c. VCD, kaset ttg gempa dan tsunami 0 0,0
Sekolah telah memasukkan materi tentang bencana dalam mata pelajaran
relevan :
1. Ya 9 69,2
2. Tidak 4 30,8
Total 13 100,0
Sekolah telah melakukan simulasi evakuasi untuk siswa :
1. Ya 1 7,7
2. Tidak 11 92,3
Total 13 100,0
Ada alokasi anggaran kesiapsiagaan hadapi bencana gempa dan tsunami :
1. Ya 0 0
2. Tidak 13 100,0
Total 13 100,0
Bimbingan/bantuan terkait kesiapsiagaan bencana dari pemerintah :
1. Ya 2 15,4
2. Tidak 11 84,6
Total 13 100,0
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI -UNESCO/ISDR, 2006
Kelompok Guru
Tentang simulasi evakuasi untuk latihan siswa, ternyata sebagian besar sekolah belum pernah
melakukannya. Dari hasil diskusi kelompok terfokus dengan kumonitas sekolah ditemukan adanya
anggapan bahwa kegiatan simulasi evakuasi “kurang penting” dengan alasan bahwa apabila terjadi
gempa atau tsunami orang-orang secara spontan akan menyelamatkan diri ke tempat yang tinggi.
Mobilisasi sumber daya guru diukur berdasarkan 2 (dua) indikator yaitu partisipasi guru pada
kegiatan pelatihan, workshop dan seminar baik menyangkut pengetahuan tentang bencana, rencana
pada kondisi darurat bencana, sistem peringatan dini dan keikutsertaan guru dalam melakukan
penyebaran pengetahuan tentang kesiapsiagaan bencana kepada masyarakat. Semakin banyak
guru yang mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kesiapsiagaan
dalam mengantisipasi bencana alam terutama bencana gempa dan tsunami.
Tabel. 4.2.4.20.
Partisipasi Guru dalam Pelatihan, Workshop, Seminar tentang Kesiapsiagaan 319
Bencana dan Menginformasikan Pengetahuan pada Masyarakat
Menginformasikan pengetahuan
tentang kesiapsiagaan menghadapi
bencana kepada masyarakat
1 Ya 40,0 37,5 50,0 42,0 30,3 52,9 40,0
2 Tidak 60,0 62,5 50,0 58,0 69,7 47,1 60,0
N 60 32 8 50 33 17 100
Guru merupakan salah satu aktor yang diharapkan dapat menyebarkan pengetahuan tentang
bencana tidak hanya pada siswa tetapi juga pada masyarakat. Kemampuan guru dalam
memberikan penjelasan di depan kelas akan sangat bermanfaat dalam penyampaian informasi
tentang kesiapsiagaan bencana. Tetapi ternyata kemampuan guru ini tidak dimanfaatkan dengan
optimal. Persentase guru yang mengaku pernah menyampaikan informasi tentang kesiapsiagaan
bencana kepada masyarakat hanya sebesar 40 persen, 60 persen lainnya mengaku tidak pernah
melakukannya. Hal ini terkait dengan penjelasan sebelumnya bahwa sangat sedikit guru yang
pernah mengikuti kegiatan terkait dengan kesiapsiagaan dalam mengantisiapsi bencana sehingga
pengetahuan yang dimiliki oleh guru masih terbatas. Keterbatasan pengetahuan guru menjadi
menjadi penghalang utama bagi guru untuk menyampaikan informasi tentang kesiapsiagaan bencana
pada masyarakat. Apabila memperhatikan tingkatan sekolah yang diajar terlihat partisipasi guru
dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat kebanyakan dilakukan oleh guru SMA.
Sementara itu apabila dibedakan menurut zona lokasi sekolah partisipasi tertinggi dilakukan oleh
responden guru yang berada di zona aman.
Kelompok Siswa
Mobilisasi sumberdaya merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kesiapsiagaan bencana.
Di tingkat siswa, mobilisasi sumberdaya diukur dengan menggunakan dua indikator yaitu partisipasi
siswa dalam kegiatan-kegiatan seperti pertemuan/ceramah tentang bencana, pelatihan P3K seperti
dokter kecil atau PMR, kepramukaan (tali temali, memasang tenda dan membuat tandu), latihan
dan simulasi evakuasi. Kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat memberikan pengetahuan
dan keterampilan kepada siswa untuk mengantisipasi bencana.
Secara umum partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan/pelatihan/pertemuan yang telah disebutkan
di atas masih kurang yaitu berkisar antara 32-52 persen. Dari empat kegiatan yang ditanyakan
hanya kegiatan pertemuan/ceramah tentang bencana yang diikuti oleh lebih dari separuh siswa.
Salah satu alasan yang menyebabkan cukup tingginya persentase siswa mengikuti kegiatan ini
adalah keterlibatan guru dalam memberikan pengetahuan tentang bencana disekolah. Pengetahuan
tentang bencana tidak hanya dilakukan secara khusus dalam pertemuan yang besar tetapi dapat
diselipkan dalam mata pelajaran sekolah yang terkait dengan topik-topik kejadian-kejadian alam
seperti gempa. Di tingkat SD melalui mata pelajaran IPA dan IPS, di tingkat SMP dan SMA
dalam mata pelajaran Geografi dan Fisika. Dari hasil wawancara dengan beberapa guru di sekolah
Tabel 4.2.4.21.
Partisipasi Siswa dalam Kegiatan/Latihan/Pertemuan P3K, Simulasi Evakuasi dan
Pertemuan/Ceramah tentang Bencana
Zona Tingkat Pendidikan
Uraian Hati- SD/ SMP/sede SMA/sede Total
Rawan Aman
hati Sederajat rajat rajt
Sumber: Kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana, LIPI –UNESCO/ISDR, 2006
321
Kegiatan kepramukaan dan P3K termasuk dokter kecil dan PMR hanya diikuti oleh masing-
masing 44 persen dan 32 persen siswa, artinya kurang dari separuh siswa. Rendahnya
keikusertaan siswa sangat terkait dengan kebijakan pendidikan yang berlaku saat ini. Di sekolah,
kegiatan P3K termasuk dokter kecil/PMR termasuk dalam kegiatan ekskul, sehingga keterlibatan
siswa sangat tergantung pada minat dan pilihannya. Kegiatan dokter kecil terdapat di tingkat SD
sedangkan kegiatan PMR di tingkat SMP dan SMA. Semakin besar minat siswa maka semakin
banyak yang akan memilih kegiatan ini sebagai kegiatan ekskul di sekolah. Alasan lain adalah
semakin beratnya beban pelajaran yang ditanggung oleh siswa sehingga banyak siswa yang tidak
mengikuti kegiatan ekskul. Pendapat ini dikemukakan oleh salah seorang guru SD pada saat
dilakukan wawancara dengan guru di sekolah. Apabila memperhatikan zona sekolah terlihat
adanya kecenderungan penurunan keikutsertaan siswa dalam kegiatan kepramukaan di zona
yang lebih rawan. Partisipasi siswa yang mengikuti kegiatan kepramukaan di zona aman mencapai
63 persen, menurun menjadi 54 persen di zona hati-hati dan terendah berada di zona rawan (36
persen). Kondisi ini kurang menguntungkan mengingat zona rawan mempunyai kemungkinan
yang lebih tinggi untuk terkena bencana. Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, keikutsertaan
siswa pada kegiatan kepramukaan dan P3K termasuk PMR dan dokter kecil ditingkat SMP
Sementara itu, kegiatan simulasi evakuasi merupakan kegiatan yang paling sedikit diikuti oleh
siswa (22 persen). Rendahnya partisipasi siswa dalam mengikuti kegiatan ini sangat dipengaruhi
oleh kebijakan di tingkat sekolah. Hasil angket sekolah (Seri-S1) menunjukkan bahwa masih
sangat jarang sekolah yang melakukan kegiatan simulasi evakuasi, yaitu hanya 1 dari 13 sekolah.
Keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru-guru atau kepala sekolah simulasi evakuasi
dapat menjadi salah satu alasan kurangnya penyelenggaraan kegiatan ini di sekolah. Pengetahuan
tentang simulasi evakuasi dapat diperoleh melalui kegiatan sosialisasi tentang kesiapsiagaan
bencana, namun penyelenggaraannya masih jarang dilakukan di Kota Bengkulu. Dari kajian
ditemukan satu sekolah yang pernah melakukan kegiatan simulasi pada saat gempa. Kegiatan ini
dilakukan setelah salah seorang guru di sekolah tersebut mendapat pelatihan mengenai
penanggulangan gempa dari ITB. Namun kegiatan simulasi di sekolah ini hanya pernah dilakukan
sekali, belum dilakukan secara regular. Beberapa sekolah menganggap kegiatan latihan simulasi
evakuasi perlu dilakukan, disisi lain muncul pendapat bahwa simulasi evakuasi kurang penting
untuk masyarakat Kota Bengkulu. Anggapan ini juga muncul dalam diskusi kelompok terfokus
dengan komunitas sekolah dengan alasan bahwa masyarakat Kota Bengkulu sudah terbiasa
dengan gempa sehingga apabila terjadi gempa besar, masyarakat tanpa diberitahu secara spontan
akan berlari menuju tempat yang tinggi untuk antisipasi terjadinya tsunami.
Hasil perhitungan indeks gabungan kesiapsiagaan komunitas sekolah adalah 48 atau termasuk
dalam kategori kurang siap. Apabila memperhatikan nilai indeks gabungan masing-masing
parameter untuk komunitas sekolah, parameter yang memiliki nilai indeks tertinggi adalah parameter
pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana yang hanya dimiliki oleh kelompok guru dan
siswa (64) berada pada batas atas klasifikasi hampir siap. Kedua, indeks gabungan parameter
peringatan bencana (45) dengan klasifikasi kurang siap. Ketiga, indeks parameter rencana
penyelamatan dalam kondisi darurat bencana (40) termasuk klasifikasi kurang siap. Parameter
dengan indeks terkecil terletak pada parameter mobilisasi sumberdaya (27) dan kebijakan dan
panduan terkait kesiapsiagaan bencana (11) dengan kategori belum siap. Kedua parameter
terakhir berpotensi menjatuhkan nilai indeks gabungan komunitas sekolah. Berdasarkan nilai
indeks gabungan parameter-parameter komunitas sekolah dapat dikatakan bahwa tingginya indeks
pengetahuan guru dan siswa tidak didukung oleh nilai indeks parameter lainnya terutama terhadap
mobilisasi sumberdaya dan kebijakan dan panduan kesiapsiagaan bencana. Untuk meningkatkan
kesiapsiagaan pada komunitas sekolah yang paling perlu dilakukan adalah usaha-usaha untuk
memperperbaiki kesiapsiagaan untuk kedua parameter tersebut.
100
80
64
60 48
45
40
323
40 27
11
20
0
Pengetahuan Kebijakan Rencana Sistim Kemampuan Indeks
Tanggap Peringatan Memobilisasi sekolah
Darurat Bencana Sumber Daya
Diagram 4.2.4.8.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah, 2006
Rendahnya nilai indeks parameter kebijakan dan panduan untuk komunitas sekolah disebabkan
oleh tidak adanya kebijakan pendidikan terkait kesiapsiagaan bencana di Kota Bengkulu serta
rendahnya motivasi sekolah untuk membuat kebijakan kesiapsiagaan di tingkat sekolah. Kebijakan
pendidikan tentang kesiapsigaan bencana belum dianggap penting dibandingkan dengan kebutuhan
dasar untuk membuat kebijakan pendidikan secara umum yang sampai saat ini dianggap belum
100
80 71 69
67
63
60
Nilai Indeks 60 58 57
60
33 50
40
23 23
21
11 27
20
0
Sekolah Guru Siswa
Pengetahuan Kebijakan
Rencana Tanggap Darurat Sistim Peringatan Bencana
Kemampuan Memobilisasi Sumber Daya Indeks kesiapsiagaan
Diagram 4.2.4.9.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah, 2006
Apabila memperhatikan nilai indeks gabungan masing-masing kelompok dalam komunitas sekolah
(Diagram 4.2.4.9). Kelompok yang mempunyai tingkat kesiapsiagaan tertinggi dimiliki oleh
kelompok siswa (69) dengan klasifikasi siap. Yang kedua, kelompok guru dengan nilai indeks
58, klasifikasi hampir siap. Kelompok sekolah memberikan kontribusi terendah (21) termasuk
dalam klasifikasi belum siap. Rendahnya indeks gabungan sekolah ini menyebabkan jatuhnya
nilai indeks gabungan untuk komunitas sekolah secara keseluruhan. Gambaran nilai indeks
kelompok-kelompok dalam komunitas sekolah menunjukkan bahwa kesiapsiagaan siswa dan
guru, tidak didukung oleh kesiapsiagaan sekolah. Oleh karena itu untuk memperbaiki tingkat
kesiapsiagaan komunitas sekolah dapat dilakukan melalui peningkatan kesiapsiagaan kelompok
sekolah.
Membandingkan kelompok guru dan siswa terlihat bahwa nilai indeks kesiapsiagaan guru lebih
rendah dibandingkan dengan nilai indeks kesiapsiagaan siswa. Nilai indeks kesiapsiagaan guru
Perbedaaan yang cukup besar antara nilai indeks guru dengan siswa dapat terlihat pada nilai
parameter mobilisasi sumberdaya. Nilai indeks guru termasuk klasifikasi belum siap (27) maka
indeks siswa dalam klasifikasi kurang siap (50). Perbedaan ini dilatarbelakangi oleh perbedaan
akses untuk mendapatkan pengetahuan/keterampilan tentang kesiapsiagaan bencana. Siswa dapat
memperoleh pengetahuan tentang bencana dan keterampilan untuk kesiapsiagaan bencana melalui
guru mata pelajaran tertentu, mengikuti kegiatan keparamukaan, PMR atau dokter kecil di sekolah
sedangkan guru hanya melalui kegiatan sosialisasi bencana yang diadakan oleh pihak dari luar
sekolah. Sementara itu, penyelenggaraan kegiatan sosialisasi kesiapsiagaan bencana untuk guru
di Kota Bengkulu masih kurang sehingga akses guru untuk mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan tentang kesiapsiagaan bencana masih rendah.
325
Untuk memberikan pemahaman tentang tingkat kesiapsiagaan masing-masing kelompok. Berikut
ini akan diberikan penjelasan tentang tingkat kesiapsiagaan masing-masing kelompok secara
terpisah.
Tabel 4.2.4.22. menunjukkan bahwa nilai indeks gabungan sekolah adalah 21. Angka indeks ini
termasuk dalam klasifikasi belum siap atau termasuk dalam klasifikasi terendah untuk
kesiapsiagaan terhadap bencana. Kondisi ini berlaku untuk semua nilai parameter yang digunakan
untuk mengukur nilai indeks kesiapsiagaan gabungan sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat
kesiapsiagaan sekolah berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan sehingga diperlukan usaha
yang serius untuk meningkatkan kesiapsiagaan sekolah secara menyeluruh.
Meskipun berada dalam klasifikasi yang sama, nilai indeks sekolah menunjukkan peningkatan
pada zona yang lebih rawan. Nilai indeks sekolah di zona aman adalah 5 kemudian meningkat
Apabila memperhatikan tingkat sekolah ternyata nilai indeks sekolah SMA/sederajat lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai indeks sekolah untuk tingkat SD/sederajat dan SMP/sederajat. Nilai
indeks sekolah SMA/sederajat adalah 49 dan termasuk dalam klasifikasi kurang siap sedangkan
indeks sekolah SD/sederajat (17) dan sekolah SMP/sederajat (15) termasuk klasifikasi belum
siap. Penyebabnya adalah perbedaan nilai indeks sekolah pada parameter rencana penyelamatan
dan peringatan bencana. Nilai indeks sekolah SMA/sedejarat untuk kedua parameter tersebut
termasuk dalam klasifikasi siap sedangkan nilai indeks sekolah SMP/sederajat dan SD/sederajat
termasuk dalam klasifikasi belum siap. Tingginya nilai indeks kedua parameter tersebut
menyebabkan tingkat kesiapsiagaan sekolah SMA/sederajat menjadi lebih tinggi dibandingkan
tingkatan sekolah di bawahnya.
Tabel 4.2.4.22.
Nilai Indeks Gabungan Tingkat Kesiapsiagaan Sekolah
Tingkat kesiapsiagaan guru digambarkan oleh indeks gabungan dari 4 parameter yaitu indeks
pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, indeks rencana penyelamatan dalam kondisi
darurat bencana, indeks peringatan bencana dan indeks mobilisasi sumberdaya.
Tabel 4.2.4.23.
Nilai Indeks Gabungan Tingkat Kesiapsiagaan Guru
Rencana penyelamatan 68 67 58 71 65 61 67
327
Peringatan bencana 63 55 56 58 61 63 60
Mobilisasi sumberdaya 25 29 27 29 18 36 27
Indeks gabungan 59 57 60 58 58 61 58
Apabila memperhatikan tingkat sekolah yang diajar ditemukan hal yang menarik yaitu pada
parameter rencana penyelamatan. Indeks rencana penyelamatan yang dimiliki guru semakin rendah
dengan semakin tingginya tingkatan sekolah yang diajar. Jika indeks guru SD/sederajat termasuk
dalam klasifikasi siap, indeks guru SMP/sederajat (65) dan SMA/sederajat (61) dalam klasifikasi
hampir siap. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat sekolah yang diajar mempunyai hubungan
yang negatif dengan rencana penyelamatan terhadap resiko bencana yang dilakukan oleh guru.
Kepedulian guru untuk melakukan tindakan penyelamatan pada tingkatan sekolah yang lebih
tinggi semakin berkurang. Kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan rencana penyelamatan untuk
kondisi darurat bencana lebih banyak dilakukan oleh guru pada tingkat pendidikan yang lebih
rendah.
Tingkat kesiapsiagaan siswa digambarkan oleh indeks gabungan dari 4 parameter yaitu indeks
pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana, indeks rencana penyelamatan dalam kondisi
darurat bencana, indeks peringatan bencana dan indeks mobilisasi sumberdaya.
Indeks kesiapsiagaan siswa Kota Bengkulu dari hasil perhitungan adalah 69. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa siswa mempunyai tingkat kesiapsiagaan yang termasuk dalam klasifikasi
siap. Parameter yang memberi kontribusi terbesar adalah parameter pengetahuan dan sikap
terhadap termasuk klasifikasi siap (71). Kemudian disusul oleh parameter peringatan bencana
dengan kalsifikasi hampir siap (63). Di urutan ketiga adalah parameter rencana penyelamatan
dengan klasifikasi siap (57). Parameter dengan nilai indeks terendah terletak pada parameter
mobilisasi sumberdaya dalam klasifikasi kurang siap (50). Nilai-nilai indeks tersebut menunjukkan
bahwa tingkat kesiapsiagaan siswa untuk mengantisipasi bencana masih perlu ditingkatkan, hal
ini dapat dilakukan terutama melalui kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kesiapsiagaan pada
parameter mobilisasi sumberdaya. Tingkat kesiapsiagaan siswa tidak berbeda jika dirinci menurut
zona sekolah dan tingkat pendidikan karena masih berada dalam klasifikasi yang sama.
Tabel 4.2.4.24.
Nilai Indeks Gabungan Tingkat Kesiapsiagaan Siswa
Rencana penyelamatan 56 59 50 56 56 61 57
Peringatan bencana 65 59 66 63 61 68 63
Mobilisasi sumberdaya 49 50 57 54 43 50 50
Indeks gabungan 69 67 68 65 71 74 69
Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat dikatakan bahwa tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah
di Kota Bengkulu masih harus ditingkatkan karena masih termasuk dalam klasifikasi kurang
siap. Sekolah merupakan kelompok yang perlu mendapat perhatian khusus karena mempunyai
tingkat kesiapsiagaan paling rendah dibandingkan kelompok guru dan siswa. Rendahnya tingkat
kesiapsiagaan sekolah menyebabkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah secara
keseluruhan. Di tingkat parameter, kebijakan dan panduan serta mobilisasi sumber daya adalah
parameter-parameter dengan nilai indeks terendah. Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah
dapat ditingkatkan melalui usaha-usaha yang terkait dengan peningkatan kesiapsiagaan terkait
dengan dua parameter tersebut.
Stakeholders pendukung kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam terdiri 329
dari kelembagaan masyarakat, LSM dan Organisasi Non Pemerintah (ORNOP), kelompok
profesi dan pihak swasta. Berbeda dengan stakeholders utama yang menggunakan metode
kuantitatif dan kualitatif, penilaian kesiapsiagaan stakeholders pendukung dilakukan hanya dengan
metode kualitatif, yaitu melalui wawancara mendalam dan dukungan data sekunder.
Pengalaman terjadinya bencana gempa bumi tanggal 4 Juni tahun 2000 dan seringnya terjadi
gempa di Kota Bengkulu memberikan pelajaran bagi stakeholders pendukung bahwa Kota
Bengkulu merupakan daerah yang rentan terhadap bahaya gempa. Setelah terjadinya bencana
tsunami di Aceh tahun 2004 dan gencarnya pemberitaan mengenai potensi terjadinya tsunami di
berbagai media elektronik dan cetak, menambah pengetahuan mereka tentang tingginys potensi
bahaya tsunami di kota ini. Pemahaman bervariasi antar stakeholders, misalnya antara anggota
pramuka dan GAPENSI, tetapi sebagian besar masih terbatas pada pengertian umum dan dampak
terjadinya gempa dan tsunami.
Meskipun terdapat sekitar 40 LSM aktif di Kota Bengkulu, belum ada LSM yang mengkhususkan
kegiatannya untuk kebencanaan, termasuk kesiapsiagaan bencana. Pada waktu terjadi bencana
gempa tahun 2000, banyak LSM yang terlibat dalam kegiatan tanggap darurat dan rehabilitasi
pasca bencana, tetapi upaya LSM-LSM tersebut tidak berlanjut. Pada saat kajian ini dilakukan
pada bulan April 2006, sebagian besar LSM bergerak di bidang lingkungan dan sisanya menangani
aspek kebijakan. Beberapa LSM konsen dengan pendidikan publik, seperti Walhi, Warsi dan
CCRR (Citra Cinta Remaja Raflesia). Walhi lebih berkonsentrasi pada upaya peningkatan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat di wilayah pesisir, seperti abrasi pantai yang cukup
tinggi di Kota Bengkulu sebagai dampak penebangan mangrove dan penambangan pasir, dan
Warsi lebih konsentrasi di bidang lingkungan, terutama kawasan DAS. Sedangkan CCRR –
PKBI lebih menekankan pada pendidikan kesehatan repoduksi kelompok remaja.
Informasi tentang tsunami diberitakan oleh media-media lokal pada waktu-waktu tertentu. Ketika
isu akan terjadinya tsunami di Padang merebak pada akhir tahun 2005, media cetak lokal, seperti
Rakyat Bengkulu, memuat berita tersebut. Pemberitaan media masih bersifat umum, karena materi
tentang gempa dan tsunami masih sangat terbatas. Karena itu informasi yang tersedia belum
memberikan pemahaman yang komprehensif bagi pembaca dan pemirsanya.
Pada waktu kajian ini dilakuan, hanya SAR Pramuka, PMI dan RAPI yang mempunyai kegiatan
berkaitan dengan kegiatan tanggap darurat. Sedangkan stakeholders pendukung lainnya belum
mempunyai rencana, meskipun menganggap bahwa persiapan untuk keadaan darurat bencana
perlu dilakukan di kota yang rawan bencana ini.
Tempat-tempat, peta dan jalur evakuasi, merupakan bagian penting dalam rencana evakuasi.
Tempat-tempat evakuasi untuk Kota Bengkulu telah diidentifikasi oleh Dinas Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu, antara lain Sebakul – STQ, dan Taman Hutan Raya.
Ketika terjadi rumor akan terjadinya tsunami di Kota Bengkulu, tempat-tempat evakuasi ini
disosialisasikan oleh media lokal, seperti: Rakyat Bengkulu, RRI dan TVRI. Sedangkan peta
dan jalur-jalur evakuasi belum tersedia. Tetapi kegiatan sosialisasi ini masih terbatas, digambarkan
dari masih menumpuknya masyarakat di Taman Hutan Raya (sekitar Pom Bensin) pada saat
terjadinya rumor tsunami yang lalu.
Stakeholders pendukung di Kota Bengkulu, kecuali SAR pramuka dan PMI, belum mempunyai
rencana dan kegiatan kesiapsiagaan bencana alam, khsususnya pertolongan pertama,
penyelamatan dan pengamanan. Meskipun dalam SK Satlak yang dikeluarkan pada bulan Maret
2005 LSM termasuk sebagai anggota yang menangani bidang pertolongan dan penyelamatan,
tetapi berbagai LSM yang diwawancarai, seperti: Walhi, Warsi dan CCRC, belum mengetahui
keanggotaan dan tugas mereka dalam organisasi satlak.
Pramuka dan PMI mempunyai keahlian dan pengalaman melakukan kegiatan pertolongan dan
penyelamatan korban bencana. Pada waktu terjadi bencana berskala besar (gempa tahun 2000)
dan bencana-bencana lain berskala kecil (seperti: banjir dan orang tenggelam), Pramuka dan
PMI mempunyai peran yang cukup besar dalam kegiatan pertolongan dan penyelamatan korban
dengan pembagian kerja, pramuka melakukan penyelamatan/evakuasi korban dan setelah itu
pertolongan korban dilakukan oleh PMI. Keahlian dan pengalaman ini merupakan modal dasar 331
dalam upaya kesiapsiagaan bencana alam. Sayangnya pramuka di tingkat kota kurang aktif,
sehingga kegiatan kepramukaan di Kota Bengkulu masih didominasi oleh pramuka tingkat Provinsi
Bengkulu.
Pramuka dengan unit SARnya (SAR Pramuka) Provinsi Bengkulu mempunyai potensi yang besar
dalam kesiapsiagaan bencana. SAR Pramuka, yang dibentuk dua bulan sebelum gempa tahun
2000, mempunyai anggota aktif 25 orang (level perguruan tinggi dan purna SMA) dan memiliki
keahlian di bidang SAR. Anggota pramuka tersebar di Kota Bengkulu dengan jumlah anggota
aktif sekitar 150, hampir setiap sekolah mempunyai kegiatan pramuka. Dalam melakukan
kegiatannya, SAR Pramuka menggunakan peralatan milik Dinas Sosial Provinsi Bengkulu, seperti
3 unit perahu karet, 1 unit dapur umum, 2 unit tenda pleton dan 2 unit tenda regu, 33 pelampung,
sedangkan tali karmantel dan karabiner diusahakan sendiri oleh pramuka. Mobilitas kegiatan
didukung oleh satu mobil kijang super yang merupakan inventaris dari Pemda Bengkulu.
Seperti SAR Pramuka, kegiatan PMI di Kota Bengkulu didominasi oleh PMI Provinsi Bengkulu.
Meskipun program utama PMI sekarang adalah penanggulangan bencana alam dan kesehatan
Berdasarkan keahlian dan pengalaman, PMI merupakan lembaga yang penting untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat. Sesuai dengan perannya, PMI Provinsi Bengkulu berpartisipasi dalam
peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat, seperti: Palang Merah Remaja (PMR) yang
anggotanya berasal dari siswa-siswa sekolah SD, SMP dan SMA, Tenaga Sukarela (TSR) dan
Korps Sukarela (KSR) dari kalangan masyarakat serta Satuan Penanggulangan Bencana
(Satgana). PMI melakukan pelatihan pertolongan pertama, baik secara teori maupun praktek,
kepada anggota-anggota PMR, TSR, KSR dan Satgana.
Sayangnya dalam kajian ini, peneliti tidak dapat melakukan wawancara dengan pimpinan dan
anggota PMI Kota Bengkulu, karena sedang tidak berada dikantor, meskipun peneliti telah dua
kali mendatangi kantor PMI kota. Berdasarkan data yang dikumpulkan melalui telpon, dapat
diungkapkan bahwa PMI Kota Bengkulu juga berpartisipasi dalam peningkatan kapasitas
kelembagaan masyarakat, khususnya PMR dan Satgana. Kegiatan yang dilakukan adalah pelatihan
pertolongan pertama dan TOT untuk PMR. PMI juga pernah terlibat dalam pelatihan satgana
tentang penanggulangan bencana yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial. Kegiatan PMI Kota
Bengkulu dilaksanakan oleh staf markas yang berjumlah 5 orang dan pengurus sebanyak 11
orang. PMI juga dibantu oleh relawan yang terdiri dari 600 anggota PMR, 114 orang KSR dan
26 orang TSR.
Di samping Pramuka dan PMI, kegiatan penyelamatan dan pertolongan juga dibantu oleh anggota
RAPI tingkat Provinsi Bengkulu. Meskipun dari keahlian dan pengalaman anggota RAPI masih
kurang jika dibandingkan dengan Pramuka dan PMI, RAPI mempunyai kelebihan berupa sarana
komunikasi dan informasi, sehingga dengan peralatan yang tersedia, RAPI dapat menginformasikan
dan menyebarluaskan keadaan bencana kepada masyarakat, melalui anggota RAPI yang tersebar
di Kota Bengkulu dan daerah-daerah lainnya. Dengan jaringan yang dimiliki, RAPI juga dapat
mengkomunikasikan dan menginformasikan bencana pada kawasan yang lebih luas, sampai ke
tingkat nasional.
Kegiatan pertolongan dan penyelamatan dilakukan apabila terjadi bencana tanpa ada perencanaan.
Ketika terjadi bencana, anggota SAR Pramuka, PMI dan RAPI segera turun ke tempat kejadian.
Koordinasi dengan aparat-aparat keamanan, seperti: dari Polres, Kodim dan Lanal serta instansi
pemerintah dilakukan di lapangan, sedangkan para pejabat melakukan pertemuan di kantor/
rumah walikota atau tempat-tempat lain yang ditentukan.
Sampai kajian ini dilakukan belum ada stakeholders pendukung yang mempunyai rencana dan
kegiatan yang berkaitan dengan rencana pemenuhan kebutuhan dasar. Tetapi berdasarkan
pengalaman terjadinya bencana gempa di Kota Bengkulu, LSM, kelompok profesi, kelembagaan
masyarakat dan pihak swasta mempunyai kontribusi dalam pemenuhan kebutuhan dasar korban
bencana. Mereka melakukan pengumpulan dan/atau memberikan bantuan. Distribusi bantuan
dapat dilakukan secara langsung atau melalui posko-posko bencana yang tersedia. Pramuka
bekerjasama dengan Dinas Sosial Provinsi Bengkulu biasanya mengelola dapur umum untuk
penyediaan makanan dan minuman para korban.
Di Kota Bengkulu belum ada rencana sistim peringatan bencana, karena itu sangat wajar kalau
belum ada keterlibatan stakeholders pendukung dalam kegiatan ini. Dari kegiatan workshop
dan wawancara yang dilakukan dengan berbagai stakeholders, sistim peringatan bencana sangat
diperlukan, mengingat Kota Bengkulu merupakan kota yang rentan terhadap bencana alam,
termasuk gempa dan tsunami.
Dari hasil wawancara terungkap bahwa RAPI Provinsi Bengkulu merupakan salah satu organisasi
yang penting untuk mendiseminasikan peringatan bencana, di samping media elektronik lain,
seperti Radio dan TV. Potensi ini ditunjang oleh tujuan dan fungsi RAPI yaitu membantu pemerintah
dibidang komunikasi radio dalam menangani masalah sosial, terutama dalam penanggulangan
bencana alam. Saat ini RAPI sedang menjalin kerjasama dengan Infokom Provinsi Bengkulu dan
BMG Kepahyang. RAPI juga diminta gubernur Bengkulu untuk mendesain jaringan komunikasi 333
dengan instansi-instansi yang terlibat dalam penanggulangan bencana.
Pada umumnya mobilisasi sumber daya stakeholders pendukung kesiapsiagaan masyarakat masih
terbatas dan bervariasi antar dan/atau dalam satu stakeholder. Kelembangaan masyarakat yang
diwakili oleh BMA, IMMB dan PKK belum konsen dengan kesiapsiagaan masyarakat untuk
mengantisipasi bencana alam, karena itu mobilisasi sumber daya anggota BMA, IMMB dan
PKK baru terbatas pada keikutsertaan dalam workshop, seperti yang dilakukan pada kajian ini.
Hal serupa juga terjadi pada LSM (seperti Walhi, Warsi dan CCRR), kelompok profesi (RAPI)
dan pihak swasta (GAPENSI), mobilisasi anggota masing-masing organisasi masih terbatas pada
kehadiran dalam pertemuan yang berkaitan dengan pengelolaan bencana. Dari 687 anggota
RAPI, baru 0,5 persen yang telah mengikuti pelatihan penanggulangan bencana yang dilakukan
oleh Departeme Sosial dan terlatih di lapangan.
Di samping itu mobilisasi sumber daya stakeholders pendukung juga bersumber dari PMI Kota
Bengkulu. Meskipun jumlah staf markas PMI hanya 5 orang dan pengurus sebanyak 11 orang,
PMI mempunyai relawan yang cukup banyak, teridiri dari 500 anggota PMR, 114 anggota
KSR, 26 anggota TSR dan 20 orang satgana. Sesuai dengan perannya, PMI Kota Bengkulu
pernah melakukan TOT dan pelatihan pertolongan pertama untuk PMR. Selain itu, lembaga ini
juga ikut berpartisipasi dalam pelatihan penanggulangan dan kesiapsiagaan bencana yang dilakukan
oleh Dinas Sosial di Kota Bengkulu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan stakeholders pendukung untuk
kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam di Kota Bengkulu masih
terbatas. Kejadian alam seperti gempa dan banjir, sudah dianggap sebagai fenomena alam yang
sering terjadi di Kota Bengkulu. Kejadian tersebut tidak dianggap sebagai sesuatu yang ‘istimewa’,
sehingga perlu disikapi secara serius untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat. Hanya beberapa
organisasi, seperti: SAR Pramuka, RAPI dan PMI yang telah mulai melakukan kegiatan
kesiapsiagaan terhadap bencana, tetapi mereka bukan organisasi di tingkat Kota Bengkulu,
melainkan tingkat Provinsi Bengkulu. Meskipun demikian, organisasi-organisasi ini mempunyai
kontribusi dalam kegiatan kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana di Kota
Bengkulu.
4.2.6. Tantangan
Kajian kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam di Kota Bengkulu pada
umumnya berjalan dengan lancar, namun dalam proses pelaksanaannya, tim menghadapi kendala-
Pengalaman dari kajian kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam di Kota
Bengkulu memberikan pelajaran bahwa pelaksanaan kajian ditentukan oleh beberapa faktor
penting, yaitu: ketersediaan dan kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) pelaksana kajian,
ketersediaan dan kemampuan dana, political will pemerintah kota dan kepedulian dan support
dari stakeholders pendukung, termasuk lembaga donor. Faktor-faktor tersebut saling berkaitan
satu dengan lain, sehingga dapat mempengaruhi proses dan hasil kajian.
Kajian ini menggunakan kombinasi antara metode kuantitatif dan kualitatif. Masing-masing metode
memiliki kekuatan dan kelemahan, karena itu penggunaan kombinasi ini sangat ideal untuk
mendapatkan data yang akurat dan komprehensif. Namun demikian, penggunaan ke dua metode
ini memerlukan keahlian dan keterampilan yang berbeda, sehingga Sumber Daya Manusia (SDM)
pelaksana kajian seharusnya juga memenuhi persyaratan tersebut. Persyaratan ini kemungkinan
besar dapat dipenuhi untuk kajian di kota-kota besar atau kota yang sekaligus menjadi ibukota
provinsi, terutama yang terdapat lembaga-lembaga penelitian dan universitas-universitas yang
mempunyai pengalaman penelitian kuantitatif dan kualitatif. Tetapi, untuk daerah-daerah lain yang
tidak memiliki kemampuan SDM tersebut, ada beberapa alternatif yang dapat dilakukan, antara
lain: 1) memilih salah satu metode sesuai dengan kemampuan SDM yang tersedia (detail lihat
pada bagian tantangan penggunaan instrumen), dan 2) melibatkan SDM dari lembaga penelitian
atau universitas di daerah atau provinsi yang bersangkutan atau dari tempat-tempat lain.
335
Penggunaan metode kajian secara lengkap akan berpengaruh terhadap biaya pelaksanaan kajian.
Kajian secara lengkap dapat dilakukan dengan dana yang relatif besar, karena melibatkan jumlah
SDM yang cukup banyak dengan kemampuan yang berbeda dan dana survei yang juga cukup
besar untuk penggandaan kuesioner dan honor pewawancara, serta biaya pengolahan data.
Tetapi apabila dana untuk melakukan kajian terbatas, maka pengguna dapat memilih dan
melakukan kajian secara parsial (tidak lengkap) dengan fokus stakeholders tertentu saja, sehingga
besarnya dana dapat ditekan, sesuai dengan kemampuan.
Di samping SDM dan dana, pelaksanaan kajian juga dipengaruhi oleh political will dari pemerintah
kota atau daerah akan pentingnya kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam.
Pemerintah kota atau daerah merupakan stakeholder utama yang bertanggung jawab untuk
meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat, terutama yang berkaitan dengan peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang bencana, rencana tanggap darurat (termasuk tempat-tempat
evakuasi, pertolongan, penyelamatan dan pengamanan, pemenuhan kebutuhan dasar, penyediaan
fasilitas-fasilitas kritis, sistim peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya pemerintah, LSM,
kelompok profesi dan pihak swasta).
Mengingat kajian ini dilakukan pada semua stakeholders, baik stakeholder utama maupun
pendukung, maka kepedulian dan support dari stakeholders pendukung juga berpengaruh
terhadap pelaksanaan kajian. Kepedulian dan dukungan tidak hanya memperlancar kegiatan
selama kajian, tetapi juga yang lebih penting melengkapi data dan informasi yang dikumpulkan
dari masing-masing stakeholder, termasuk kelembagaan masyarakat, LSM dan ORNOP,
kelompok profesi dan pihak swasta. Di samping stakeholders pendukung tersebut, kepedulian
dan dukungan dari lembaga donor juga sangat diperlukan untuk melakukan kajian kesiapsiagaan
masyarakat, terutama di kota atau daerah-daerah yang sangat rawan terhadap bencana alam
dan pemerintah kota/daerahnya belum mampu untuk melakukannya sendiri, karena minimnya
potensi dan pendapatan kota atau daerah tersebut.
Dari penjelasan pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa kajian ini menggunakan
kombinasi antara metode kuantittatif dan kualitatif dengan satu paket instrumen. Pada dasarnya
instrumen dapat dikelompokkan menjadi tiga set, yaitu:
- Daftar pertanyaan (kuesioner) untuk kegiatan survei/angket yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:
1) kuesioner untuk rumah tangga (seri RT), 2) kuesioner untuk komunitas sekolah yang
dikelompokkan dalam tiga sub-set: sekolah (seri S1), guru (seri S2) dan siswa (seri S3), dan
3) kuesioner pemerintah juga dibagi dalam tiga sub-set: pemerintah kota (seri P1), aparat
pemerintah kota (seri P2) dan pemerintah kecamatan (seri P3).
- Pedoman wawancara terdiri dari 6 sub-set, meliputi: 1) pedoman wawancara pemerintah kota
dan pemerintah kelurahan/desa, 2) komunitas sekolah, 3) kelembagaan dan tokoh-tokoh
masyarakat, 4) lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi non-pemerintah
(ORNOP), 5) kelompok profesi, dan 6) pihak swasta.
- Panduan untuk kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD) sekolah dan masyarakat, dan
kegiatan workshop di tingkat kota.
Instrumen-instrumen di atas merupakan satu paket instrumen yang lengkap, sehingga kelemahan
dari satu instrumen, seperti untuk kegiatan survei/angket dapat diatasi dan dilengkapi dari instrumen
Paket instrumen ini dikembangkan sedemikian rupa, sehingga instrumen-instrumen tersebut relatif
sederhana, mudah dipahami dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk praktis serta sifatnya
general, sehingga dapat dilakukan oleh pengguna lainnya untuk mengkaji kesiapsiagaan masyarakat
di daerah-daerah seluruh wilayah Indonesia. Hal ini terutama untuk kegiatan survei/angket. Survei
menggunakan instrumen daftar pertanyaan (kuesioner) untuk rumah tangga. Demikian juga dengan
angket menggunakan kuesioner untuk mengumpulkan data dari komunitas sekolah dan pemerintah.
Data yang dikumpulkan, kemudian dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program
komputer, tetapi jika tidak memungkinkan dapat dilakukan secara manual, tentu saja dengan
waktu yang lebih lama. Penilaian tingkat kesiapsiagaan dilakukan dengan menggunakan perhitungan
yang formulanya telah disediakan dari kajian ini (lihat bagian 3.1).
Sedangkan untuk pedoman wawancara, panduan FGD dan workshop meskipun dibuat
sesederhana mungkin, tetapi memerlukan keterampilan dalam pelaksanaannya. Pewawancara,
idealnya, mempunyai keterampilan untuk mengembangkan pertanyaan dan menggali informasi
lebih lanjut dari narasumber yang diwawancarai, sesuai permasalahan dan kondisi di lapangan.
Demikian juga dengan FGD dan workshop, fasilitator, idealnya, mempunyai keterampilan untuk
memfasilitasi kegiatan, sehingga peserta berpartisipasi secara aktif memberikan informasi. Informasi
dari kegiatan FGD dan workshop sebaiknya digali lagi dan di check dan re-check melalui
wawancara dengan narasumber sampai mendapatkan pemahaman yang solid dan komprehensif. 337
Instrumen-instrumen yang telah disiapkan dari kajian ini merupakan paket instrumen yang telah
diujicobakan di lapangan (Bengkulu, Padang dan Aceh) dan telah mengalami perbaikan sesuai
dengan pembelajaran di lokasi-lokasi kajian tersebut. Dengan demikian instrumen-instrumen ini
(lihat lampiran 8.1 sampai 8.4.) adalah paket instrumen yang operasional dan siap untuk digunakan
oleh pengguna lain di lokasi-lokasi lainnya.
Apabila kajian kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam akan diaplikasikan
di daerah-daerah lain, idealnya menggunakan paket instrumen yang lengkap. Tetapi penggunaan
paket lengkap ini memerlukan dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dana yang relatif
besar serta waktu yang relatif panjang. Namum demikian, jika dukungan tersebut terbatas, maka
pengguna dapat memilih instrumen-instrumen tertentu saja. Pemilihan instrumen sebaiknya
disesuaikan dengan tujuan, target sasaran, kemampuan SDM yang akan melaksanakan kajian
dan dana yang tersedia. Sebagai contoh, siapa target sasaran yang ingin dikaji? Stakeholders
utama yang terdiri dari rumah tangga, komunitas sekolah dan pemerintah, apakah semua atau
satu stakeholder saja? dan yang mana? Stakeholders pendukung meliputi kelembagaan
Pengumpulan Data
- Daftar pertanyaan untuk survei rumah tangga yang dikemas sesederhana mungkin umumnya
dapat ditanyakan oleh pewawancara dan dijawab oleh responden, hanya terdapat beberapa
istilah yang kurang dipahami oleh responden seperti: 1) bentuk bangunan berimbang/simetri
sebagai ciri bangunan atau rumah tahan gempa dan 2) jumlah anggota rumah tangga yang perlu
pertolongan khusus apabila terjadi bencana. Kendala ini langsung dapat dapat diatasi oleh
pewawancara dengan memberikan penjelasan. Istilah pertolongan khusus telah diperbaiki dalam
instrumen, sehingga kedepan sudah tidak menjadi kendala lagi. Di samping itu, pertanyaan no.
22 mempunyai tiga opsi jawaban, ya, tidak dan tidak tahu. Bila jawaban responden adalah ya,
maka dilanjutkan dengan pertanyaan selanjutnya no.23, tetapi jika jawabannya tidak dan tidak
tahu, maka pertanyaan lompat ke no. 24. Ada beberapa pewawancara yang telah mengisi
jawaban tidak, tetapi tetap mengisi jawaban no.23. Kendala ini dapat diatasi dengan memberikan
tanda khusus pada kuesioner dan menanyakan kepada pewawancara untuk memastikan apakah
responden menjawab no.22 - ya atau tidak.
- Angket dilakukan pada komunitas sekolah dan pemerintah. Untuk komunitas sekolah kegiatan
angket berjalan lancar sesuai dengan rencana, baik pimpinan sekolah atau yang mewakili, guru
dan siswa dapat menjawab pertanyaan dalam kuesioner tanpa mengalami kendala. Tetapi
untuk pemerintah, kegiatan ini mengalami beberapa kendala. Untuk mengetahui kesiapsiagaan
pemerintah kota, kuesioner (seri P1) dikemas secara lengkap dalam satu kuesioner, karenanya
melibatkan berbagai instansi yang relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam
kuesioner tersebut. Sesuai dengan rencana, kuesioner ini diberikan kepada ketua Bappeda
untuk mengkoordinir pengisian kuesioner tersebut dan kuesioner yang telah diisi diambil kembali
setelah beberapa waktu sesuai dengan kesepakatan. Tetapi ketika kuesioner tersebut kembali,
- Kendala yang berkaitan dengan instrumen kuesioner seri P1 diatasi dengan cara memberikan
kuesioner (seri P1) kepada instansi-instansi yang relevan, seperti: Dinas Kesehatan, Bagian
Kesra dan Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Dinas Perhubungan dan PLN. Masing-masing
instansi mengisi pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan bidang tugas masing-masing. Dengan
demikian tim tetap mendapatkan data yang diperlukan, kecuali data yang memang tidak tersedia.
- Kegiatan angket untuk aparat pemerintah kota (kuesioner seri P2) berjalan lancar, meskipun
ada sedikit kendala. Beberapa responden aparat tidak membaca petunjuk dengan seksama,
sehingga ada beberapa pertanyaan yang tidak diisi secara lengkap. Kendala ini dapat segera
diatasi pada waktu pengembalian kuesioner. Anggota tim peneliti melakukan pengecekan secara
langsung, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang belum diisi dapat langsung dijawab oleh 339
responden.
- Pengumpulan data untuk sekolah secara umum tidak mengalami kendala, tetapi untuk beberapa
sekolah kegiatan ini harus ditunda beberapa hari, karena sedang persiapan menghadapi ujian.
- Untuk mendapatkan data yang bisa memrepresentasikan masyarakat Kota Bengkulu, maka
lokasi survei dipilih berdasarkan pertimbangan: 1) penyebaran wilayah, yaitu: bagian utara,
tengah dan selatan, 2) jarak dari pantai: dekat, sedang dan jauh, dan 3) jumlah dan kepadatan
penduduk. Dengan menggunakan kriteria ini maka lokasi survei yang menyebar dengan jarak
yang relatif jauh, sehingga waktu tempuhnya cukup lama. Sebagai contoh, Kelurahan Teluk
Sepang memerlukan waktu dua jam sampai lokasi dengan biaya yang cukup mahal.
- Penyebaran lokasi ini berpengaruh terhadap biaya untuk pewawancara, khususnya untuk
biaya transportasi. Konsekuensinya, LIPI harus menambah biaya transportasi tersebut.
Akibatnya, dana untuk pengumpulan data survei/angket melampaui jumlah dana yang telah
ditentukan dalam anggaran yang tercantum pada kontrak.
- Jumlah responden rumah tangga di Kota Bengkulu sebanyak 1400 orang atau 2,5 persen dari
jumlah penduduk, sedangkan jumlah responden siswa sekolah sebanyak 460 orang dan guru
sebanyak 100 orang. Mengingat keterbatasan waktu, penentuan jumlah responden dilakukan
di Jakarta tanpa melakukan pre visit terlebih dahulu, penentuan jumlah didasarkan pada
pertimbangan jumlah penduduk dan asumsi adanya heterogenitas penduduk kota serta jumlah
sekolah dan siswa di Kota Bengkulu yang bersumber dari data sekunder. Berdasarkan
pengalaman lapangan, ternyata jumlah responden, baik rumah tangga maupun komunitas
sekolah, dapat diperkecil sampai separuhnya, karena kondisi sosial demografi penduduk dan
kondisi sekolah yang relatif homogen.
- Kajian ini menggunakan paket instrumen secara lengkap dan melibatkan seluruh stakeholders,
baik stakeholders utama maupun pendukung. Konsekuensinya, narasumber yang
diwawancarai juga sangat banyak, padahal waktu yang tersedia terbatas. Dari pengusulan
waktu kajian selama 15 hari, yang disetujui dalam kontrak hanya 10 hari, dan realisasi
pelaksanaan selama 11 hari. Akibatnya, tim harus bekerja ekstra keras dan over time,
diindikasikan dari kegiatan wawancara mendalam dengan stakeholders, khususnya
stakeholders pendukung, seperti: RAPI, LSM/Walhi, GAPENSI dan anggota pramuka,
dilakukan pada malam hari sampai larut malam. Untuk kedepan, waktu pelasanaan kajian ini
perlu mendapat perhatian agar tim peneliti mempunyai waktu yang cukup untuk mengumpulkan
data dari berbagai instrumen yang digunakan.
- Mengingat kesibukan para informan atau narasumber, beberapa narasumber sulit untuk ditemui,
padahal waktu penelitan yang sangat terbatas. Hari kerja di Kota Bengkulu hanya lima hari
dengan jam kerja sampai jam 16.00, tetapi sulit bagi tim untuk menemui beberapa narasumber
setelah makan siang, karena belum atau tidak kembali lagi ke kantor. Sampai waktu penelitian
berakhir, tim tidak dapat bertemu dengan pejabat dari Dinas Pariwisata, Informasi dan
Komunikasi, meskipun telah beberapa kali ke kantor tersebut dan membuat janji dengan staf
yang bersangkutan. Hal serupa terjadi dengan PMI Kota Bengkulu, tim telah dua kali
mendatangi kantor, tetapi tidak dapat bertemu karena tidak ada pejabat dan staf yang dapat
mewakili. Data PMI diperoleh dari workshop dan melalui telpon jarak jauh. Tim juga terpaksa
mendatangi Pelres, Satkorlak dan Dinas Kesehatan sebanyak dua kali karena pejabat yang
berwenang tidak berada di tempat.
- Sebagian kecil narasumber kurang konsen dengan kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam
mengantisipasi bencana. Ada kecenderungan mereka kurang peduli karena belum melihat
pentingnya pengumpulan data untuk kesiapsiagaan bencana, menurut mereka ‘kebutuhan inti’
saja belum terpenuhi, apalagi untuk sesuatu yang belum tentu terjadi. Gempa yang sering
terjadi dianggap sebagai kejadian yang biasa di Kota Bengkulu.
Pewawancara, mahasiswa/i Fakultas Ilmu Sosial (Fisip) Universitas Bengkulu (UNIB), sangat
membantu kelancaran survei, karena mereka telah mempunyai pengalaman melakukan survei
berbagai penelitian di fakultas dan universitasnya. Kelancaran ini juga didukung oleh supervisor,
dosen-dosen senior dari FISIP UNIB, yang memberikan bimbingan dan melakukan pengecekan
terhadap kuesioner yang telah diisi oleh pewawancara. Kelemahan dari pewawancara adalah
pengetahuan mereka mengenai bencana dan kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana masih
kurang. Meskipun pada awal training diberikan pengetahuan tentang bencana secara singkat,
mereka belum mampu memberikan penjelasan kepada responden, terutama jika responden
bertanya mengenai gempa dan tsunami.
Pengolahan Data
- Pengolahan data memerlukan waktu lebih banyak dari waktu yang direncanakan (2 minggu).
Hal ini dikarenakan pada waktu inputing data, terutama untuk kuesioner Padang, banyak
kuesioner yang terlewatkan, sehingga diperlukan pengecekan ulang kuesioner-kuesioner
yang sudah dan belum di input. Keadaan ini mempengaruhi pengolahan data untuk lokasi
kajian yang lain, termasuk Kota Bengkulu. Di samping itu, pihak pengolah data juga
memerlukan waktu untuk cleaning data, agar data yang telah diolah dapat langsung dianalisa.
4.2.7. Sintesa
Hasil kajian menggambarkan bahwa Kota Bengkulu termasuk di dalam kategori kurang siap1
untuk mengantisipasi bencana alam, diindikasikan dari indeks kesiapsiagaan kota ini yang baru 341
mencapai angka 51 dari nilai nilai indeks maksimum sebesar 100 (lihat diagram 4.2.7.1.).
Gambaran tersebut didasarkan pada kekurang siapan semua stakeholders utama, yaitu: rumah
tangga, komunitas sekolah dan pemerintah. Pemerintah, meskipun menduduki posisi tertinggi
dengan nilai indeks sebesar 54, juga masih termasuk dalam kategori kurang siap. Rumah tangga
yang merupakan cerminan dari masyarakat Kota Bengkulu mempunyai indeks kesiapsiagaan
sebesar 51, berada pada posisi ke dua diantara dua stakeholders lainnya. Sedangkan komunitas
sekolah, yang seharusnya merupakan sumber pengetahuan bagi masyarakat, ternyata paling kurang
siap, indeks kesiapsiagaannya hanya mencapai angka 48 atau paling rendah, jika dibandingkan
dengan rumah tangga dan pemerintah Kota Bengkulu.
1
Tingkat kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana alam didasarkan pada nilai indeks yang dibagi ke dalam lima
tingkatan, yaitu:
1. Sangat siap : 80 ke atas
2. Siap : 65 – 79
3. Hampir siap : 55 – 64
4. Kurang siap : 40 – 54
5. Belum siap :
80
54 51
51 48
60
40
20
0
RT Komunitas Pemerintah
Diagram 4.2.7.1. Kota
Sekolah Bengkulu
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Kota Bengkulu, 2006
Tingkat kesiapsiagaan komunitas sekolah yang menduduki posisi paling rendah ini berkaitan erat
dengan beberapa alasan. Dari lima parameter kesiapsiagaan bencana, tidak ada satu parameterpun
yang masuk kategori siap, empat parameter (kebijakan, rencana tanggap darurat, peringatan
bencana dan mobilisasi sumber daya) diklasifikasikan dalam kategori kurang Siap, hanya
parameter pengetahuan saja yang termasuk kategori hampir siap (lihat tabel 4.2.7.1.). Dari distribusi
nilai indeks dapat diketahui bahwa institusi sekolah ternyata mempunyai nilai indeks kesiapsiagaan
paling rendah (21), jika dibandingkan dengan indeks guru (58) dan siswa (69), keadaan ini
berlaku untuk semua parameter.
Hasil kajian juga mengungkapkan bahwa komunitas sekolah, yang idealnya memiliki pengetahuan
lebih tinggi karena merupakan sumber pengetahuan, ternyata mempunyai pengetahuan paling
rendah (64) diantara ke tiga stakeholders utama kesiapsiagaan masyarakat Kota Bengkulu.
Indeks pengetahuan tertinggi dimiliki oleh aparat pemerintah kota (80), mungkin dikarenakan
mendapatkan akses terhadap materi kesiapsiagaan lebih besar jika dibandingkan dengan rumah
tangga (69) dan komunitas sekolah.
Kesiapsiagaan bencana belum menjadi prioritas kebijakan sekolah, digambarkan dari indeks
yang sangat rendah, yaitu hanya mencapai angka 11. Hal ini berkaitan erat dengan kebijakan
Dinas Pendidikan Nasional Kota Bengkulu yang masih menitik-beratkan pada pembangunan
fisik bangunan sekolah. Minimnya kebijakan ini berimplikasi pada mobilisasi sumber daya sekolah
untuk kesiapsiagaan yang juga sangat rendah (indeks sebesar 27) dan rencana tanggap darurat
di sekolah yang juga masih rendah (indeks 40).
Sumber: Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana, LIPI – UNESCO/ISDR, 2006
Hasil kajian yang juga cukup mengagetkan adalah tingkat kesiapsiagaan guru lebih rendah daripada
siswa, dengan perbandingan nilai indeks 58 dan 69. Perbedaan angka indeks ini cukup besar,
terutama terdapat pada mobilisasi sumber daya guru yang sangat rendah, hampir separuh (27:50)
dari mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh siswa di Kota Bengkulu. Keadaan ini dikarenakan
minimnya akses guru untuk meningkatkan kapasitasnya yang berkaitan dengan kesiapsiagaan
bencana, seperti mengikuti pelatihan dan pertemuan. Sedangkan siswa lebih banyak melakukan
kegiatan ekstrakurikuler (ekskul) yang berkaitan dengan kesiapsiagaan, seperti: pertolongan
pertama melalui kegiatan
Indeks Palang Merah Remaja
Rumah (PMR) untukPemerintah
Komunitas SMP dan SMA dan Unit Kesehatan
Sekolah (UKS) dan Dokter
Parameter Kecil untuk tingkat
Tangga Sekolah SD, dan keterampilan tali temali, pembuatan
tandu dan tenda serta upaya penyelamatan melalui kegiatan pramuka. Di samping itu, siswa
Pengetahuan SMP dan SMA juga telah 69 mendapat pelajaran64 80
gempa bumi yang termasuk dalam matapelajaran
Kebijakan - 11 40 343
geografi untuk siswa SMP dan geografi dan fisika untuk siswa SMA.
Rencana Tanggap Darurat 38 40 52
Sistim Peringatan Bencana 56 45 38
Di Kota Bengkulu, indeks pengetahuan guru (60) juga lebih rendah dari siswa (71). Gambaran
Kemampuan Memobilisasi 28 27 52
Sumber Daya ini juga mengindikasikan adanya perbedaan tingkat kesiapsiagaan (pengetahuan) antara guru
Indeks Gabungan dan siswa, guru termasuk dalam
51 klasifikasi hampir
48 siap, sedangkan54 siswa telah mencapai kategori
siap. Perbedaan ini mungkin berkaitan dengan akses guru untuk mendapatkan informasi tentang
bencana lebih rendah dari siswa. Siswa mendapatkan informasi melalui mata pelajaran yang
relevan dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler (ekskul), sedangkan guru tidak semuanya
mempunyai akses, hanya guru tertentu saja, khususnya yang mengajar mata pelajaran yang
relevan dan membimbing kegiatan ekskul saja.
Di samping komunitas sekolah, Pemerintah Kota Bengkulu juga termasuk dalam kategori kurang
siap untuk mengantisipasi bencana alam. Meskipun Kota Bengkulu mempunyai pengalaman pahit
terjadinya bencana gempa yang menyebabkan banyak korban jiwa dan harta benda pada tahun
2000, pengalaman tersebut belum menjadi pembelajaran bagi pemerintah kota akan pentingnya
kesiapsiagaan masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam. Kondisi ini digambarkan dari
Rendahnya nilai indeks Pemerintah Kota Bengkulu ini berkaitan erat dengan belum adanya sistim
peringatan bencana. Dari analisa pada bagian 4.3.3. terungkap bahwa nilai indeks untuk parameter
ini hanya mencapai 25, dikarenakan pemerintah kota masih menunggu sistim peringatan dari
tingkat nasional yang masih dalam tahap pengembangan, seperti: pemasangan peralatan. Sebaliknya
dengan pemerintah di tingkat kecamatan, dari lima kecamatan yang dikaji, semua memiliki indeks
peringatan bencana maksimal, yaitu sebesar 100. Angka ini menunjukkan bahwa masing-masing
kecamatan mempunyai akses untuk mendapatkan informasi peringatan bencana yang berbasis
bottom-up. Selama ini, berdasarkan pengalaman terjadinya bencana banjir yang sering terjadi di
Kota Bengkulu, peringatan bencana bersumber dari tingkat kelurahan melalui HP dan/atau HT.
Informasi ini kemudian ditindak lanjuti dengan mengirimkan peringatan tersebut ke pemerintah
Kota Bengkulu yaitu melalui walikota. Semua kecamatan juga menyatakan bahwa setelah ada
peringatan terjadinya bencana di wilayah kecamatan tersebut, maka camat bertanggung jawab
dan berwenang untuk melakukan evakuasi masyarakat dari lokasi bencana ke tempat-tempat
aman.
Analisa dalam kajian ini juga mengungkapkan ketergantungan Pemerintah Kota Bengkulu terhadap
Pemerintah Provinsi Bengkulu cukup tinggi. Letak Kota Bengkulu yang juga merupakan ibukota
Provinsi Bengkulu menjadi keuntungan bagi pemerintah kota, terutama mendapatkan akses yang
besar terhadap potensi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah provinsi. Hal ini dapat dilihat
dari rencana tanggap darurat, seperti: penentuan tempat-tempat evakuasi yang telah
direkomendasikan oleh Dinas ESDM Provinsi Bengkulu dan rencana pemenuhan kebutuhan
dasar yang disiapkan oleh Dinas Sosial Provinsi Bengkulu. Kegiatan yang berkaitan dengan
penyelamatan korban bencana, karena di Kota Bengkulu belum terbentuk unit SAR, mengandalkan
SAR yang terdapat pada lembaga lain, seperti SAR Pramuka Tingkat Provinsi Bengkulu dan
Lanal. Sedangkan untuk mobilisasi sumber daya, seperti pelatihan penanggulangan bencana untuk
satgana juga masih bertumpu pada kegiatan yang diselenggarakan dan dibiayai oleh Departemen
Sosial RI melalui Dinas Sosial Provinsi Bengkulu. Demikian halnya dengan peringatan bencana,
pemerintah kota juga banyak menggunakan jasa RAPI Tingkat Provinsi Bengkulu, karena RAPI
di tingkat kota belum aktif.
Namun demikian di lihat dari tingkat pengetahuan umum tentang bencana, aparat pemerintah
Kota Bengkulu menduduki posisi tertinggi(indeks 80), jika dibandingkan dengan komunitas
sekolah (indeks 64) dan rumah tangga (indeks 69). Sebaliknya, komunitas sekolah, ternyata
tingkat pengetahuannya menduduki posisi terendah, lebih rendah dari pengetahuan rumah tangga.
Keadaan ini sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian serius oleh pemerintah Kota
Dari stakeholders utama kesiapsiagaan terhadap bencana, rumah tangga yang mewakili
masyarakat Kota Bengkulu memiliki indeks kesiapsiagaan sebesar 51 yang berarti bahwa
masyarakat masih kurang siap dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam. Nilai indeks rumah
tangga ini didominasi oleh pengetahuan umum tentang bencana yang sudah cukup baik, sehingga
masuk dalam kategori siap. Pengetahuan tersebut bersumber dari pengalaman terjadinya bencana
gempa pada tahun 2000, gempa bumi dan banjir yang sering terjadi di Kota Bengkulu serta
bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias tahun2004. Pemberitaan yang intensif melalui
media masa, seperti TV, Radio dan Koran mempunyai andil yang cukup besar terhadap
pengetahuan masyarakat Kota Bengkulu.
Berbeda dengan pengetahuan yang cukup baik, rencana untuk keadaan darurat dan mobilisasi
sumber daya rumah tangga untuk mengantisipasi terjadinya bencana masih rendah. Hal ini berkaitan
erat dengan masih terbatasnya kepedulian akan kesiapsiagaan, mengingat gempa dan banjir sudah
dianggap sebagai kejadian rutin di Kota Bengkulu. Beberapa responden rumah tangga juga
mempunyai kepercayaan bahwa bencana yang disebabkan gempa bumi tidak akan lagi melanda
Kota Bengkulu, karena bencana gempa sudah mereka alami pada tahun 2000 yang lalu.
Kurangnya kesiapsiagaan masyarakat Kota Bengkulu juga berkaitan dengan masih minimnya
dukungan dari stakeholders pendukung. Analisa pada bagian 4.2.5. mengungkapkan bahwa
dukungan dari stakeholders pendukung, seperti: kelembagaan masyarakat, LSM dan Organisasi
Non Pemerintah (ORNOP), kelompok profesi dan pihak swasta masih sangat terbatas. Meskipun
di Kota Bengkulu terdapat banyak LSM, belum satupun LSM yang konsen dengan kesiapsiagaan
masyarakat untuk mengantisipasi bencana. Peran LSM-LSM selama ini masih terbatas pada 345
penanganan korban pasca bencana, seperti yang terjadi pada bencana gempa tahun 2000 dan
banjir yang sering melanda kota ini pada musim hujan.
Hanya beberapa stakeholders pendukung yang mempunyai kegiatan kesiapsiagaan, seperti SAR-
Pramuka, RAPI, PMI dan media massa. SAR-Pramuka lebih berkonsentrasi pada kegiatan
penyelamatan korban bencana dan peningkatan pengetahuan anggota pramuka, kelompok
pencinta alam dan staf dari beberapa instansi, seperti: Satpol PP Kota Bengkulu. RAPI, sesuai
dengan tujuan dan fungsinya, lebih terfokus pada penyebaran informasi tentang bencana, sedangkan
PMI lebih fokus pada pertolongan dan penanggulangan bencana. Ke tiga stakeholders ini
sebetulnya bukan organisasi yang berada di wilayah Kota Bengkulu, melainkan adalah organisasi
di tingkat Provinsi Bengkulu. Sedangkan media massa, seperti media elektronik TV dan Radio
dan media cetak, koran, menyiarkan atau memberitakan informasi tentang bencana secara
insidentil, terutama jika terjadi bencana di Kota dan Provinsi Bengkulu serta wilayah lainnya di
Indonesia.
Kota Padang sebagai ibukota provinsi Sumtera Barat dalam kajian ini mewakili kota besar.
Secara geografis, Kota Padang terletak pada 100°20’-100°30 BT dan 1°00’-1°30LU. Sisi
barat Kota Padang dibatasi oleh samudera Hindia, Kabupaten Pariaman di utara, kaki Bukit
Barisan di sisi timur dan Kabupaten Pasir. Foto 4.3A memperlihatkan kawasan Kota padang
dilihat dari Gunung Pangilun.
Kearah sisi barat, kawasan pantai sepanjang Kota Padang mempunyai variasi kedalaman antara
-5m-20m, pantai dimana sampai dengan kedalaman -5m mempunyai lebar antara 300m sampai
1km, 100-300m lebar pantai dengan kedalaman sampai -10m dan 300m sampai 1,5km lebar
pantai untuk kedalaman -20m (lihat gambar 4.3.1.1.2).
Gambar 4.3.1.1.2.
Peta sebaran jenis batuan atau geologi daerah Kota Padang
(Kastowo et al., 1996) dan kedalam dasar laut sepanjang pantai.
Lingkungan fisik atau geologi yang menyusun kota Padang adalah endapan aluvial (Qal) berupa
pasir, lanau, kerikil dan endapan rawa; endapan kipas aluvial (Qf), berupa rombakan batuan
gunungapi, batuan tuff kristal yang telah mengeras (QTt) atau batuan aliran lainnya (Qtau, lahar
dan endapan koluvium); andesit dan tuf (Qta) dan andesit berbutir kasar (QTp). Batuan endapan
aluvial dan ujung endapan kipas aluvial umumnya bersifat lunak dan tidak kompak. Begitu pula
halnya, lapukan batuan andesit juga cenderung bersifat lepas dan lunak. Gambar 4.3.1.1.2
349
Banjir di Kota Padang merupakan suatu hal rutin, yang terjadi bilamana hujan menerus dan
terutama saat pasang naik tiba. Selain akibat sifat alam, dimana Kota Padang merupakan suatu
dataran yang dipenuhi banyak aliran sungai yang cukup besar, perubahan penggunaan lahanpun
ikut menyumbangkan perannya. Daerah genangan seperti rawa-rawa dan resapan di kawasan
pantai telah berubah fungsi mengakibatkan menurunnya kemampuan alam menampung limpahan
air pada saat musim basah. Hal lainnya adalah tidak lancarnya saluran air sekitar kota akibat
sampah maupun rusaknya saluran air. Daerah rawan banjir antara lain sepanjang aliran sungai
Anai di utara, maupun di daerah kelokan sungai Binungan, sepanjang aliran sungai Muarapanjalin,
daerah pertemuan sungai Lubukgajah dan sungai Air Sekayanbatang, dan sepanjang aliran Batang
Arau. Daerah banjir tersebut telah dipetakan oleh Dinas Pemadam dan Bencana Banjir Kota
Padang. Diperkotaan, yang terjadi adalah genangan airhujan akibat penuhnya saluran pembuangan
(drainase).
Bencana longsor berpotensi di kota Padang terutama di tepian tebing perbukitan sepanjang sisi
selatan Padang, seperti sekitar Teluk Bayur sampai jalan menuju Bungus, kemudian sisi barat
bukit Kototinggi, sekitar desa Labuhgajah dan sisi barat bukit Labuanbadak. Jenis longsor, dapat
berupa runtuhan batuan terutama di Bungus atau longsoran tanah pelapukan. Longsoran tersebut
dapat terjadi selain karena curah hujan tinggi juga dapat diakibatkan oleh gempabumi yang
sumbernya dekat atau di darat. Untuk mengurangi potensi longsor tersebut diperlukan penataan
kawasan sekitar perbukitan bertebing curam.
Kejadian badai atau pasang naik hanya menimpa kawasan tepi pantai mulai dari Bungus, Teluk
Bayur, Muaro, sampai ke arah Pasirjambak dan muara Batang Anai. Walaupun demikian, dapat
pula mengakibatkan tergenangnya kota Padang bilamana diikuti hujan lebat dan lama. Hal lain
yang perlu dicermati adalah kemajuan pantai selain akibat abrasi atau penenggelaman pantai
yang kemungkinan sebagai akibat peristiwa tektonik berkaitan dengan aktifitas penunjaman
lempeng Indo-Australia. Hal terakhir ini perlu verifikasi misanya dengan peralatan GPS yang
sudah dipasang pihak LIPI-Caltech.
Gempabumi, dalam catatan modern belum secara langsung menimpa Kota Padang, begitu pula
halnya dengan tsunami. Walaupun ada banyak catatan sejarah, belum ada catatan khusus
gempabumi pernah menimpa Padang seperti halnya dengan Kota Bengkulu. Gempabumi di sekitar
Sipora-Pagai pada 1833, dilaporkan menimbulkan tsunami di Padang. Gempa-gempa lainnya
bersumber di darat sepanjang patahan Sumatera atau di sekitar kepulauan Mentawai seperti
pernah terjadi pada 28 Maret dan 10 April 2005. Menurut catatan, gempabumi sering dirasakan
oleh masyarakat Padang. Kepanikan masyarakat yang sering terjadi sekarang adalah akibat
trauma yang ditimbulkan oleh peristiwa gempabumi dan tsunami di kawasan Aceh dan Sumut.
Selama hampir 6 bulan pertama, di tahun 2005, banyak dilakukan sosialisasi gempabumi dan
pemahaman mengenai tsunami melalui TOT, latihan evakuasi, penyebaran pamflet, buku-buku
panduan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi, pemerintah lokal, dan LSM terutama
KOGAMI. Selain untuk meningkatkan pemahaman terhadap kejadian alam tersebut di atas,
juga dimaksudkan untuk meredam kepanikan dan trauma masyarakat. Hadirnya peta zonasi
rawan tsunami dan jalur evakuasi merupakan respon positif dalam antisipasi terhadap serangan
tsunami ke kota Padang. Peta-peta tersebut telah diinisiasi oleh KOGAMI dan sementara ini
menjadi pegangan bagi warga Kota Padang.
Dimasa mendatang, Kota Padang harus melakukan uji coba dan evaluasi efektifitas jalur evakuasi
melalui latihan-latihan secara rutin dan melakukan evaluasi zonasi sehingga tidak ada penumpukan
pengungsi. Kemudian juga harus ditingkatkan penyebaran peta-peta tersebut merata keseluruh
lapisan masyarakat. Kesulitan utama dalam pembuatan jalur evakuasi di Kota Padang adalah
hampir semua jalan utama sejajar dengan pantai. Oleh karena itu, perlu direncanakan beberapa
terobosan dalam membuat jalur baru yang menjauhi pantai menuju ke jalan bypass yang relatif
aman.
Hal lain yang juga penting adalah belum adanya perencanaan matang tempat evakuasi permanen.
Tempat tersebut tentu saja harus memenuhi banyak syarat antara lain datar, luas, dekat dengan
sumber air bersih. Supaya tidak terjadi penumpukan pengungsi, maka tempat evakuasi permanen
tersebut harus cukup banyak dan ada di setiap zona. Perencanaan tempat evakuasi permanen
tersebut perlu dilakukan oleh pemerintah setempat bersama dengan seluruh instansi terkait dengan
senario terburuk adalah Padang terisolir untuk beberapa saat.
351
Fasilitas fisik yang ada di kota Padang terdiri dari fasilitas perumahan, fasilitas pendidikan, fasilitas
kesehatan, fasilitas perkantoran, prasarana kota, serta sarana dan prasarana transportasi. Berikut
ini akan dijelaskan secara garis besar tentang fasilitas fisik dan tingkat keamanannya berdasarkan
data buku Padang Dalam Angka tahun 2004, laporan RT/RW kota Padang tahun 2004, dan
juga berdasarkan pengamatan langsung di lapangan.
Fasilitas perumahan tersebar di daerah pemukiman yang umumnya berada di daerah pantai.
Diperkirakan 50 % dari jumlah penduduk kota Padang berada pada daerah 0-5m dari permukaan
laut, yang menyebabkan tingkat kerentanannya terhadap tsunami cukup tinggi.
Fasilitas pendidikan terdiri dari pendidikan tinggi, pendidikan menengah, dan pendidikan dasar,
Jumlah pendidikan tinggi sebanyak 66 unit yang berstatus negeri maupun swasta. Sementara
jumlah pendidikan dasar dan menengah sebanyak 154 buah yang terdiri dari 195 unit TK, 414
Fasilitas kesehatan terdiri dari rumah sakit, dan puskesmas. Jumlah rumah sakit ada 14 unit baik
milik negeri maupun swasta, 12 unit rumah sakit khusus, 19 unit puskesmas, 56 unit puskesmas
pembantu. Penyebaran fasilitas kesehatan mengikuti penyebaran pemukiman sehingga tingkat
kerentanannya terhadap tsunami juga tinggi.
Prasarana kota meliputi instalasi air bersih, jaringan listrik, dan jaringan telpon. Kapasitas air
bersih sebesar 150 l/detik dengan total produksi 9.381.192 m3. Kapasitas listrik terpasang
150,52 MW yang melebihi kebutuhan masyarakat. Penyebaran tempat pengolahan air bersih
sebagian besar berada cukup jauh dari pantai sehingga tingkat kerentanannya terhadap tsunami
cukup kecil. Begitu juga untuk pembangkit listrik yang sudah interkoneksi dengan daerah di luar
kota Padang, sehingga pemasokan tidak akan terganggu kecuali kerusakan pada jaringan ke
pengguna. Jaringan telkom menyebar sesuai dengan penyebaran pemukiman, namun dengan
adanya telpon selluler permasalahan komunikasi ini tidak ada masalah seandainya bencana tsunami
datang.
Sarana dan prasarana transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi
udara. Panjang jaringan jalan sebesar 924,3 km dengan jumlah jembatan sebanyak 163 buah
baik besar maupun kecil. Jaringan jalan dan jembatan ini umumnya mengarah dari utara ke selatan
yang sejajar pantai, sehingga tingkat kerentanannya terhadap tsunami juga tinggi. Sementara itu
pelabuhan yang dimilki kota Padang adalah 1 buah pelabuhan international yang melayani bongkar
muat barang dan penumpang, 1 buah pelabuhan untuk penimbunan BBM, dan 2 buah pelabuhan
penangkapan ikan. Lokasi pelabuhan ini sudah tentu sangat rentan terhadap tsunami. Pelabuhan
udara yang dimilki kota Padang ada 2 buah yaitu bandara Tabing dan bandara Minangkabau.
Kedua bandara ini berada tidak jauh dari pantai yang kerentanannya cukup tinggi terhadap
tsunami.
Kota Padang yang merupakan ibu kota propinsi Sumatera Barat adalah pusat perekonomian,
pendidikan, maupun pelabuhan bahkan juga pusat pariwisata. Jumlah penduduk di Kota Padang
pada tahun 2005 sebanyak 784.740 jiwa terdiri dari 385.460 penduduk perempuan atau sekitar
49 persen dan penduduk laki-laki sebanyak 399.280 (51 persen). Dilihat menurut komposisi
umur, kelompok Balita atau penduduk berumur 0 - 4 tahun jumlanya sekitar 10 persen dari total
penduduk yaitu 77.807 jiwa. Pada kelompok penduduk lanjut usia jumlahnya juga relatif besar
Tabel 4.3.1.3.1.
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur Di Kota Padang
Persebaran penduduk antar kecamatan memperlihatkan bahwa jumlah penduduk terbesar tinggal
di Kecamatan Koto Tangah yang mencapai 145.193 jiwa atau 18, 4 persen, diikuti dengan
Kuranji dan Kecamatan Lubuk Begalung masing-masing sebesar; 108.029 jiwa (13, 7 persen)
dan 95.539 jiwa (12 persen). Kendatipun demikian apabila dilihat dari kepadatannya justru di
Kecamatan Koto Tengah mempunyai kepadatan penduduk yang paling rendah, hanya sekitar
625 jiwa per Km2. Hal ini disebabkan kecamatan tersebut merupakan wilayah terluas. Sementara
itu untuk kecamatan – kecamatan di dalam kota seperti Padang Timur, Padang Barat dan Padang
Utara mempunyai wilayah dengan kepadatan paling tinggi di kota Padang, masing-masing
mencapai 9.991 dan 8.819 jiwa per Km2.
Tabel 4.3.1.3.3
Jumlah Penduduk Tiap Kecamatan Menurut Luas Wilayah
dan Kepadatan Di Kota Padang
Tabel 4.3.1.3. 4
Jumlah Penduduk Kota Padang Yang Tinggal Di Lokasi/ Zona Rawan
Menurut Kecamatan dan Kelurahan
Tabel 4.3.1.3.5
Penduduk Kota Padang Menurut Tingkat Pendidikan Tertinggi
Yang Ditamatkan
Komposisi penduduk Kota Padang, khususnya yang berusia 15 tahun ke atas apabila dilihat
menurut kegiatan ekonomi menunjukkan bahwa penduduk yang termasuk dalam kategori angkatan
kerja adalah lebih dari lima puluh persen, 40 persen diantaranya berstatus telah bekerja dan
sekitar 12 persen berstatus pencari kerja atau penganggur penuh. Sedangkan bagi penduduk
yang telah bekerja, proporsi terbesar adalah bekerja di sektor jasa yang mencapai sekitar 80
Salah satu indikator yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan penduduk
adalah jumlah keluarga yang termasuk dalam kategori Pra sejahtera (Pra KS), Keluarga Sejahtera
–I (KS-I); Keluarga Sejahtera – II (KS-II) ; Keluarga Sejahtera III (KS-III) dan Keluarga
Sejahtera plus. Untuk Kota Padang jumlah keluarga yang masih berada di tingkat pra sejahtera
jumlahnya relatif sedikit yaitu sebanyak 314 keluarga atau sebesar 0,21 persen dari total keluarga
di Kota Padang. Sementara yang termasuk dalam kategori KS-I mencapai 30 persen. Sebaliknya
yang telah mencapai kategori keluarga sejahtera plus, jumlahnya cukup besar yaitu sebanyak
8.579 keluarga atau sekitar 6 persen. Hal ini mengindikasikan tingkat kesejahteraan penduduk
di Kota Padang yang relatif baik. Disamping itu, berdasarkan data jumlah penduduk miskin di
Kota Padang jumlahnya juga paling kecil dibanding kota lainnya di Sumatera Barat yaitu sekitar
4 persen. Demikian pula besarnya garis kemiskinan per kapita per bulan untuk Kota Padang
jumlahnya cukup tinggi yaitu sebesar Rp.205.816 jauh melampai garis kemiskinan Propinsi Sumbar
yang hanya Rp.144.704. (Statistik Kemiskinan, BPS Diolah dari Data Susenas 2004.).
Tabel 4.3.1.3.6
Jumlah Keluarga Menurut Tingkat Kesejahteraan
Keluarga dan Kecamatan
Di Kota Padang, 2004
Kesiapan individu dan rumah tangga dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana
khususnya gempa bumi dan tsunami dalam kajian ini dilihat menurut lima parameter yaitu
Knowledge Attitude and Practice (KAP); Emergency Planning (EP), Warning System (WS)
dan Resource Mobilization (RM). Dalam analisa mengenai kesiapan individu atau rumah tangga
terhadap antisipasi kemungkinan terjadinya bencana dibedakan menurut zona tingkat kerawanan
lokasi tempat tinggal terhadap kemungkinan terjadinya bencana yaitu zona rawan, hati-hati dan
aman. Perbedaan zona - tingkat kerawanan lokasi tempat tinggal dapat dimanfaatkan dalam
kegiatan intervensi. Disamping itu analisa kesiapsiagaan individu juga akan dibedakan menurut
tingkat pendidikan yang mempunyai korelasi cukup siginifikan. Sedangkan menurut perbedaan
jenis kelamin dan pekerjaan tidak dikemukakan, mengingat bahwa data hasil survei menunjukkan
tidak terdapat perbedaan berarti antara kedua variabel tersebut dengan kesiapsiagaan
mengantisipasi terjadinya bencana. Sehingga analisa dalam uraian ini hanya akan mengemukakan
perbedaan zona dan tingkat pendidikan.
Uraian pada bagian ini akan mengemukakan berbagai temuan mengenai kesiapsiagaan individu
dan rumah tangga menurut empat parameter sebagaimana dijelaskan dan akan dikemukakan
pula indeks kesiapsiagaan rumah tangga terhadap kemungkinan terjadinya bencana berdasarkan
hasil survey terhadap 2800 responden yang merupakan wakil dari masing-masing rumah tangga.
Sebelum dikemukakan analisa kesiapsiagaan rumah tangga dalam mengantisipasi bencana, akan
dideskripsikan pula gambaran atau karakteristik sosial demografi rumah tangga yang menjadi
kajian.
Secara umum karakteristik sosial demografi rumah tangga yang disurvei menunjukkan bahwa
sekitar 58 persen responden adalah perempuan dan sisanya (42 persen) laki-laki . Keadaan ini
kemungkinan disebabkan waktu wawancara yang sebagian besar dilakukan pada siang hari
sehingga responden yang berada di rumah cenderung perempuan (ibu rumah tangga). Terkait
dengan status dalam rumah tangga, persentase terbesar adalah yang berstatus isteri (43 persen),
sedangkan 30 persen berstatus kepala keluarga, dan sisanya berstatus sebagai anak. Sementara
itu dilihat menurut usia, mayoritas responden adalah berusia produktif yaitu antara 19 – 44 tahun
mencapai 70 persen dan sisanya adalah responden yang berusia 45 – 65 tahun (27 persen ) dan
hanya sekitar 3 persen yang berusia 65 tahun ke atas.
Sementara itu, komposisi anggota rumah tangga, dari sebanyak 2800 rumah tangga, terdapat
sekitar seperempatnya yang mempunyai satu orang bayi dan balita (0-4 tahun.). dan hanya sekitar
8 persen rumah tangga yang mempunyai 2 orang atau lebih bayi dan balita dalam rumah tangganya.
Sementara itu, rumah tangga yang mempunyai penduduk lanjut usia yaitu 65 tahun ke atas
(sebanyak satu orang) adalah sekitar 12 persen. Sedangkan yang mempunyai dua orang lansia
Kegiatan ekonomi responden yang dilihat dari kegiatan seminggu yang lalu, data menunjukkan
bahwa sekitar 40 persen responden berstatus bekerja dan sebanyak 10 persen berstatus
mengaggur dan mencari kerja, sebanyak 32 persen adalah ibu rumah tangga dan sisanya (11
persen) merupakan pelajar. Dari mereka yang telah bekerja, lapangan pekerjaan mereka
kebanyakan (82 persen) adalah di sektor perdagangan/angkutan dan jasa lain termasuk
wiraswasta, 14 persen adalah petani dan nelayan dan hanya sekitar 4 persen yang berstatus
sebagai pegawai negeri.
Kondisi ekonomi rumah tangga dilihat menurut kondisi bangunan perumahan yaitu dinding rumah
terbanyak, sebanyak 33 persen mempunyai dinding terbuat dari batu bata relatif cukup banyak
yaitu sekitar 66 persen, dan yang terbuat dari papan/kayu sebanyak 33 persen. Sedangkan
lantai terluas, sebagian besar mempunyai lantai dari semen (71 persen) dan lantai keramik sekitar
20 persen, selebihnya mempunyai rumah dengan lantai tanah. Kondisi ekonomi rumah tangga
dilihat dari banyaknya rumah tangga yang menerima program “bantuan langsung tunai” yaitu
program pemerintah yang memberikan dana sebesar Rp. 300.000 per bulan bagi rumah tangga
miskin, yaitu sekitar 15 persern. Sedangkan rumah tangga yang menerima program Raskin atau
“beras untuk keluarga miskin” dan yang menerima kartu keluarga miskin masing-masing hanya
sebesar 9 persen. Rumah tangga tersebut kemunkinan adalah rumah tangga yang sama. Kondisi
rumah tangga yang relatif tidak mampu juga memerlukan pertolongan khusus apabila terjadi
bencana.
Parameter pengetahuan dilihat dari beberapa variabel yang diturunkan dalam empat belas
pertanyaan dalam kuesioner. Berdasarkan hasil survei, secara umum dapat diketahui bahwa
pengetahuan individu di Kota Padang dilihat menurut pengertian pengertian bencana, faktor
penyebab terjadinya gempa bumi dan tsunami serta ciri-cirinya relatif baik. Demikian pula
berkaitan dengan pemahaman ciri-ciri rumah tahan gempa dan tsunami serta tindakan yang
harus dilakukan apabila terjadi gempa bumi yang kuat serta tsunami juga relatif baik.
Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa pengetahuan individu tentang bencana alam adalah
cukup baik. Untuk pengertian tentang bencana alam, data menunjukkan bahwa responden yang
menyatakan “bencana alam merupalan kejadian alam” persentasenya cukup besar yaitu sekitar
81 persen. Sangat sedikit (kurang dari 1 persen) yang menyatakan bahwa bencana alam
adalah akibat kerusuhan sosial dan politik dan bencana akibat kebakaran hutan. Sedangkan
yang menyatakan bahwa bencana alam adalah bencana akibat perilaku manusia hanya sekitar
18 persen. Lebih lanjut apabila diperhatikan menurut perbedaan zona - lokasi tempat tinggal
terhadap kemungkinan terjadinya bencana alam khususnya tsunami, tidak menunjukkan perbedaan
yang menonjol sebagaimana ditampilkan dalam Diagram 4.3.2.1.1. Kendatipun persentase pada
kelompok responden yang menjawab benar (bencana alam merupakan kejadian alam) dan tinggal
di zona hati-hati dan aman justru mempunyai persentase yang lebih besar dibanding yang tinggal
di lokasi aman. Artinya dalam hal ini, responden yang memiliki pengetahuan lebih dalam hal
pengertian bencana adalah yang tinggal di zona hati-hati dan aman (89 persen dan 85 persen
dibanding 79 persen).
100
361
80
77 89 85 81
60
40
21 10 14 18
1 0,4 0,7
20 0,5
0,5 1 0,7 0,4
0
Raw an Hati-hati Aman Total
Pengetahuan individu tentang gempa bumi dilihat dari beberapa indikator pertanyaan, diantaranya
adalah perkiraan terjadinya gempa bumi, penyebab terjadinya gempa bumi, ciri-ciri gempa kuat,
ciri- ciri rumah tahan gempa serta serta pengetahuan tentang gempa susulan. Berdasarkan
pertanyaan, “apakah gempa bumi dapat diperkirakan kapan terjadinya ?” Cukup besar responden
yang mempunyai pengetahuan baik, di mana yang menjawab bahwa “ gempa bumi tidak dapat
diperkirakan kapan terjadinya” cukup besar yaitu sekitar tiga perempatnya. (77 persen). Lebih
lanjut dikemukakan oleh salah seorang nara sumber bahwa untuk Kota Padang, penduduk sudah
akrab dengan kejadian gempa bumi meskipun dalam skala kecil, relatif sering terjadi dan mereka
mengetahui bahwa hal itu tidak dapat diperkirakan kapan akan terjadi sehingga tidak ada
pemberitahuan baik dari pemerintah (BMG) maupun pihak lain yang terkait.
Pengetahuan individidu tentang penyebab terjadinya gempa bumi juga menunjukkan pemahaman
yang cukup baik. Pergeseran kerak bumi dan gunung meletus merupakan kejadian alam yang
berpotensi sebagai penyebab terjadinya gempa bumi. Hasil survei menunjukkan bahwa responden
yang menyatakan bahwa pergeseramn kerak bumi sebagai penyebab terjadinya gempa bumi
persentasenya cukup besar , yaitu sekitar 83 persen. Sedangkan sekitar 90 persen menjawab
gunung meletus. Apabila diperhatikan lebih lanjut, persentase responden yang tinggal di zona
rawan yang menyatakan bahwa pergeseran kerak bumi dan gunung meletus sebagai penyebab
gempa bumi mempunyai persentase relatif lebih besar dibanding dengan yang tinggal di zona
hati-hati dan aman.
Sementara itu, pengetahuan individu tentang ciri-ciri rumah tahan gempa relatif lebih rendah
dibanding dengan pengetahuan tentang pengertian dan penyebab terjadinya gempa bumi. Dari
empat ciri-ciri rumah tahan gempa yang dikemukakan dalam pertanyaan, yaitu bentuk bangunan
berimbang (seperti bujur sangkar) , fondasi bangunan tertanam cukup dalam dan bagian-bagian
bangunan tersambung dengan kuat serta bahan bangunan terbuat dari material yang ringan, hanya
29 persen responden yang menyatakan bahwa bentuk bangunan berimbang, sebagaimana terlihat
dalam Diagram 4.3.2.1.2. Sementara persentase terbesar adalah yng menyatakan bahwa fondasi
bangunan tertanam cukup dalam (65 persen). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pengertian
“bentuk bangunan berimbang kurang familiar dan kurang dipahami oleh responden. Sedangkan
fondasi yang kuat lebih mudah untuk dipahami dan dibayangkan. Pengetahuan individu tentang
Diagram 4.3.2.1.2.
Pengetahuan Responden Tentang Ciri-ciri
Bangunan Tahan Gempa
Pengetahuan responden berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan apabila terjadi gempa
Pengetahuan Responden Tentang Ciri-Ciri
kuat juga relatif baik. Terhadap pertanyaan, tindakan-tindakan apa yang akan dilakukan jika
Bangunan Tahan Gempa
terjadi gempa, lebih dari 90 persen menyatakan bahwa mereka akan berlari ke luar ruangan
setelah gempa reda dan segera menuju lapangan terbuka. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari 363
Bentuk bangunanterkena jatuhan benda-benda atau bangunan yang roboh. Hanya sedikit responden yang
29
berimbang
menyatakan bahwa mereka akan merapat ke dinding yang bebas dari benda-benda (43,5 persen)
mereka tetap khawatir kalau justru dinding juga akan roboh karena goyangan gempa. Sedangkan
Fondasi tertanam
65
dalam pengetahuan responden apabila dilihat dari adanya kejadian gempa besar, apakah selalu diikuti
dengan gempa kecil. Sebagian besar (90 persen) menjawab bahwa setelah terjadi gempa besar
Bagian bangunan
selalu diikuti gempa susulan yang lebih
57 kecil. Hal ini juga berkaitan dengan pengalaman yang
tersambung kuat
pernah dialami oleh responden. Khususnya pada bulan April tahun 2005 pernah terjadi gempa
bumi relatif cukup besar dan diikuti dengan gempa susulan kecil.
Bahan terbuat dari
50
material ringan
- Pengetahuan Tentang Tsunami
0 20 40 60 80 100
Untuk menggali pengetahuan responden berkaitan dengan bencana tsunami, dalam kajian ini
ditanyakan melalui empat pertanyaan, diantaranya adalah penyebab dan ciri-ciri terjadinya tsunami
serta tindakan yang akan dilakukan seandainya air laut tiba-tiba surut. Berkaitan dengan
pertanyaan, “Apakah setiap gempa bumi dapat menyebabkan terjadinya tsunami ?”, sebagian
Diagram 4.3.21.3
Pendapat Responden Tentang “Apakah Gempa Bumi
Dapat Menyebabkan Tsunami”
Pengetahuan responden dilihat dari faktor penyebab terjadinya tsunami, cukup besar pula yang
menjawab dengan kategori jawaban yang benar yaitu “gempa bumi dibawah laut”, dan “Gunung
meletus dibawah laut” masing-masing sebesar 85 persen dan sekitar 68 persen. Sebaliknya
pada kelompok responden yang menyatakan bahwa longsoran dibawah laut dan badai/puting
beliung merupakan penyebab terjadinya tsunami mempunyai persentase lebih kecil, yaitu masing-
masing kurang dari 40 persen, dimana kedua kejadian alam tersebut bukan merupakan penyebab
terjadinya tsunami. Pengetahuan individu atau responden terhadap tanda-tanda terjadinya tsunami
juga cukup baik, sebagian besar responden (90 persen) menyatakan: “adanya gempa besar
menyebabkan goyangan yang membuat tidak bisa berdiri”, “adanya air laut yang tiba-tiba surut”
serta “gelombang besar di cakrawala” adalah tanda-tanda terjadinya tsunami. Sementara itu
pengetahuan responden tentang ciri-ciri bangunan atau rumah yang tahan terhadap tsunami relatif
rendah. Dari dua ciri-ciri bangunan atau rumah tahan gempa yang dikemukakan dalam pertanyaan,
yaitu “adanya ruang-ruang untuk jalannya air” dan “bagian bangunan yang panjang tegak lurus
dengan garis pantai”, hanya sebagian kecil (sekitar 30 persen dan 25 persen ) yang menyatakan
bahwa ciri-ciri tersebut adalah ciri bangunan/rumah tahan tsunami. Pengetahuan responden
berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan apabila terjadi bencana tsunami , sebagian besar
responden menyatakan bahwa mereka akan segera menjauh dari laut dan hanya sedikit yang
mengemukakan akan mendekati laut dan mengambil ikan di laut yaitu hanya sekitar 3 persen).
Tingkat pendidikan seseorang diharapkan akan berpengaruh terhadap pnegetahuan yang dimiliki.,
termasuk pengetahuan berkaitan dengan bencana dan tsunami. Hasil kajian yang dilakukan di
Kota Padang juga menunjukkan kecenderungan tersebut, kendatipun tidak semua indikator
pengetahuan mempunyai perbedaan yang menonjol. Untuk pengetahuan responden tentang
pengertian bencana alam misalnya responden yang memberikan jawaban benar bahwa:”bencana
alam adalah bencana akibat kejadian alam”, persentase yang berpendidikan tamat SLTA maupun
perguruan tinggi hampir sama dengan yang berpendidikan tamat SD ke bawah. (Lampiran
Tabel 4.3.21b). Demikian pula dalam kaitannya dengan pertanyaan, “apakah gempa bumi dapat
diperkirakan kapan terjadinya?” . Sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 4.3.2 2b, responden
yang memberikan jawaban benar yaitu “ gempa bumi tidak dapat diperkirakan kapan terjadinya”
pada kelompok pendidikan tamat SD dan tamat SMP serta SMA bahkan perguruan tinggi tidak 365
terdapat perbedaan yang berarti. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan adanya intervensi
sosialisasi tentang bencana yang telah dilakukan di sebagian Kota Padang oleh pemerintah
maupun Lembaga Swadaya Masyarakat
Meskipun demikian, dalam hal pengetahuan tentang gempa bumi yaitu penyebab terjadinya gempa
bumi , menunjukkan bahwa responden yang memberikan jawaban benar yaitu “pergeseran
kerak bumi dan gunung meletus” sebagai penyebab terjadinya gempa bumi” persentase yang
berpendidikan tamat SMA dan perguruan tinggi cenderung lebih tinggi dibanding yang
berpendidikan dibawahnya (tamat SMP dan SD ke bawah), kendatipun perbedaannya kurang
menonjol sebagaimana dapat dilihat dari Diagram berikut.
Sementara itu, pengetahuan tentang ciri-ciri rumah tahan gempa, responden yang berpendidikan
tamat SMA dan perguruan tinggi juga mempunyai persentase terbesar yang menyatakan
persetujuannya terhadap alternatif jawaban yang diberikan yang semuanya benar yaitu bentuk
bangunan berimbang atau simetri seperti segi empat dan bujur sangkar. Persentase responden
yang menjawab kategori jawaban ini kecil,. yang mengindikasikan kurang pahamnya responden
terhadap ciri-ciri bangunan ini, terutama pada kelompok berpendidikan rendah. Demikian pula
untuk ciri-ciri bagian bangunan tersambung dengan kuat., persentase responden yang menyatakan
“ya”, lebih kecil dibanding dengan kelompok responden berpendidikan tinggi. Sementara untuk
ciri-ciri fondasi bangunan yang kuat, cukup dipahami responden.
Pengetahuan responden tentang gempa besar, apakah selalu diikuti dengan gempa susulan yang
lebih kecil, nampaknya lebih didasarkan pada pengalaman dibanding dengan tingkat pendidikan.
Data yang ada menunjukkan bahwa responden yang menjawab dengan benar, bahwa “gempa
besar selalu diikuti oleh gempa susulan yang lebih kecil “ tidak menunjukkan perbedaan yang
berarti antara kelompok pendidikan rendah, menegah dan tinggi. Di sisi lain, pengetahuan
responden tentang gempa bumi dalam kaitannya dengan tsunami dapat dilihat dari data dalam
Diagram 4.3.2..1.5 yang menunjukkan bahwa responden yang menjawab pertanyaan dengan
Data dalam Diagram 4.3.2.1.menunjukkan bahwa rencana kesiapsiagaan bencana yang dimiliki
oleh keluarga, persentase terbesar adalah menambah pengetahuan tentang gempa bumi dan
tsunami (74 persen). Sedangkan persentase terkecil adalah adanya rencana keluarga membangun
rumah tahan gempa yaitu hanya sebesar 15 persen. Hal ini dapat dimengerti mengingat
bahwa‘membangun rumah tahan gempa, buakn merupakan hal yang simple serta memerlukan
biaya bahkan pengetahuan tentang rumah tahan gempa.
Rencana kesiapsiagaan keluarga dilihat menurut perbedaan zona atau lokasi rawan cenderung
lebih besar daripada yang terdapat pada lokasi aman. Hal ini terlihat pada besarnya persentase
responden yang mempunyai tindakan setelah terjadi gempa dan tsunami di Aceh dan Nias pada
bulan Desember tahun 2004, terutama pada responden yang mempunyai rencana membuat
pengungsian, persentase responden yang tinggal di zona rawan sebesar 51 persen dibanding
dengan responden yang tinggal di lokasi aman hanya sebesar 35 persen. Latihan simulasi dan
evakuasi juga lebih banyak dilakukan oleh individu/rumah tangga yang tinggal di zona rawan,
demikian pula responden yang merencanakan akan pindah rumah ke tempat lebih aman, persentase
Diagram 4.3.2.2.1.
Rencana Tindakan Yang Dilakukan RT Setelah Terjadi
Gempa dan Tsunami Aceh dan Nias
Rencana Tindakan Yg Dilakukan RT Setelah Terjadi
Gempa
Tempat dan Tsunami
penyelamatan Aceh
diri dan danapabila
keluarga Nias terjadi bencana dan tsunami juga sudah menjadi
100
bagian dari87rencana kesiapsiagaan keluarga di Kota Padang yang menjadi kajian. Responden 369
78 74
80
yang telah mempunyai rencana
69 tempat bagi penyelamatan diri dan keluarga apabila terjadi bencana,
persentase terbesar adalah pada mereka yang ingin menggunakan posko bencana yang telah
60
51 disediakan (7141
persen) dan persentase terkecil
46 adalah yang mempunyai rencana tempat
penyelamatan diri di rumah saudara,
35 kerabat atau teman dekat yang aman.
40 28
23 22 12 23
17 16 12 15 20
20
Rencana penentuan10tempat bagi penyelamatan diri dan keluarga apabila terjadi gempa dan tsunami
14
menurut perbedaan zona rawan, hati-hati dan aman juga menunjukkan bahwa responden yang
0 telah mempunyai rencana tempat penyelamatan bagi keluarganya, persentase yang lebih besar
Rawan Hati-hati
adalah responden yang tinggalAman Total untuk responden yang menyatakan bahwa
di lokasi rawan, kecuali
tempat penyelamatan diri bagi keluarga adalah pada lapangan terbuka yang aman, persentase
Menambah pengetahuan Membuat rencana pengungsian
yterbesar jusru terdapat pada‘zona aman dan persentase‘terkecil justru pada responden rawan.
Latihan simulasi dan evaluasi Membangun rumah tahan gempa
Hal ini kemungkinan berkaitan dengan pertimbangan bahwa lapangan terbuka yang aman, justru
Pindah rumah yg lebih aman
kurang aman apabila terjadi tsunami, sementara pada zona rawan lebih ditentukan berdasarkan
kemungkinan terjadinya tsunami.
Rencana kesiapsiagaan keluarga apabila dilihat menurut perbedaan tingkat pendidikan, juga
menunjukkan kecenderungan bahwa pada‘responden yang berpendidikan lebih tinggi (tamat
SMA ke atas) cenderung lebih mempunyai rencana kesiapsiagan bagi diri dan keluarganya
dibanding dengan yang berpendidikan rendah (tamat SD kebawah). Sebagaimana terlihat dalam
Lampiran Kota Padang- Tabel 4.3.2.7b, responden yang menyatakan bahwa setelah terjadi
gempa dan tsunami pada bulan Desember tahun 2004, berbagai tindakan dilakukan oleh individu
dan keluarganya mulai dari meningkatkan pengetahuan tentang gempa dan tsunami sampai dengan
pindah rumah dari pantai ke daratan yang lebih tinggi., persentase yang lebih besar terjadi pada
responden yang berpendidikan tamat SMA ke atas dibanding yang berpendidikan rendah (tamat
SD kebawah).. Demikian pula untuk rencana penyelamatan diri dan keluarga apabila terjadi
bencana dan tsunami serta keluarga yang memiliki rencana untuk kewaspadaan terhadap
kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami. Dalam hal penyiapan perlengkaan P3K serta
obat-obatan khusus untuk pertolongan pertama, responden yang berpendidikan mempunyai
persentase sebesar 52 persen dibanding pada responden yang berpendidikan tamat SD kebawah
yang hanya sebesar 28 persen. Adanya rencana bagi kesiapsiagaan menghadapi bencana yang
relatif lebih tinggi pada individu/keluarga yang berpendidikan lebih tinggi berkaitan dengan
kesadaran akan pentingnya kesiapsiagaan yang dimiliki oleh mereka.
Sistem peringatan bencana merupakan salah satu parameter yang cukup berperan dalam
kesiapsiagaan mengantisipasi bencana. Dalam kajian ini sistem peringatan bencana digali melalui
Pengetahuan responden tentang sistem peringatan bencana di Kota Padang relatif rendah di
mana responden yang mengetahui adanya sistem tersebut kurang dari separuhnya (45 persen).
Responden yang tinggal di lokasi rawan lebih mengetahui adanya sistem peringatan bencana
dibanding dengan responden yang tinggal di zona hati-hati dan aman, yaitu masing-masing sebesar
52 persen untuk responden di zona rawan, 36 persen di zona hati-hati dan hanya 34 persen
untuk responden yang tinggal di zona aman. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan adanya
sosialisasi yang pernah dilakukan oleh pemerintah di lokasi atau zona rawan. Sesuai dengan
sumber informasi tentang sistem peringatan bencana, di mana pada zona rawan, persentase
terbesar berasal dari pemerintah kota yaitu sebesar 71 persen. Sedangkan untuk zona aman,
hanya sebesar 63 persen. Demikian pula untuk sumber informasi yang berasal dari polisi dan
aparat keamanan, persentase yang tinggal di zona rawan sebesar dua kali lipat dibanding dengan
responden yang tinggal dalam zona aman ( 42,5 persen untuk yang tinggal di zona rawan dan 21
persen di zona aman) (lihat Tabel 4.3.2.8a)
Apabila mencermati jawaban responden terhadap pertanyaan, “tindakan apa yang akan dilakukan
apabila mendengar peringatan akan terjadinya bencana tsunami.”. Sebagaimana terlihat pada
Tabel 4.3.2.8a, persentase terbesar adalah yang menyatakan akan menjauhi pantai dan lari 371
ketempat/gedung lebih tinggi yaitu mencapai 90 persen., diikuti dengan responden yang menjawab
“bergegas menuju tempat penyelamatan/evakuasi. (82 persen). Pada dua kategori jawaban
tersebut, persentase terbesar juga terjadi pada responden yang tinggal di zona rawan dibanding
dengan yang tinggal di zona hati-hati dan aman aman. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan
posisi lokasi yang “rawan” sehingga ada kecenderungan ingin segera menyelamatkan diri yang
merupakan prioritas utama,. Sebaliknya pada kategori jawaban yang lebih pada perbekalan
logistik seperti membawa tas siaga bencana dan membantu menolong penduduk rentan seperi
anak-anak, ibu hamil, orang tua dan cacat serta menenangkan diri /tidak panik, persentase pada
responden yang tinggal di zona rawan justru lebih kecil dan mereka yang tinggal di zona hati-hati
dan aman persentasenya lebih besar. Keadaan ini berkaitan dengan adanya ketenangan yang
relatif lebih dimiliki oleh penduduk yang tinggal di zona aman, sehingga mereka merasa tidak
terburu-buru harus meninggalkan rumahnya. Data lain juga menunjukkan bahwa jawaban seperti
“mematikan listrik dan kompor di rumah” dan “ mengunci pintu sebelum meninggalkan rumah “
persentase pada responden yang tinggal di lokasi hati-hati dan aman lebih tinggi.
Pemahaman dan sumber informasi tentang sistem peringatan dini di Kota Padang serta tindakan
yang harus dilakukan apabila mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami apabila dicermati
menurut perbedaan tingkat pendidikan dapat dilihat data pada Tabel 4.3.2.8b. Secara umum,
terdapat kecenderungan kelompok responden yang berpendidikan lebih tinggi (tamat SMA ke
atas) mempunyai persentase yang lebih besar dalam hal pengetahuan tentang sistem peringatan
akan terjadinya bencana tsunami maupun dalam hal tiindakan-tindakan yang harus dilakukan
apabila mendengar peringatan atau tanda bahaya tsunami.
Adanya pengetahuan yang lebih tinggi serta melakukan tindakan-tindakan yang benar pada
responden yang berpendidikan juga berkaitan dengan akses informasi yang lebih besar yang
dimiliki oleh mereka. Sumber informasi tentang sistem /cara peringatan akan terjadinya bencana
tsunami baik yang berasal dari pemerintah, polisi dan aparat keamanan, media elektronik maupun
dari RAPI dan ORARI, reponden yang berpendidikan tamat SMA ke atas mempunyai persentase
lebih tinggi dibanding yang berpendidikan rendah (tam,at SMP ke bawah). Dengan demikian,
masih diperlukan sosialisasi tentang sistem peringatan bencana, khususnya bagi penduduk yang
berpendidikan relatif rendah .
Mobilisasi sumberdaya dilihat dari adanya anggota rumah tangga yang pernah ikut pelatihan/
seminar berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami adalah
cukup kecil , yaitu hanya sekitar 19 persen. Apabila dilihat menurut zona kerawanan menunjukkan
. bahwa pada zona rawan, persentasenya mencapai dua kali lipat dibanding pada zona hati-hati
, yaitu mencapai 23 persen dibanding di zona hati-hati (11, 8 persen) dan zona aman (13,4
persen). Sementara itu jenis pelatihan pada lokasi atau zona rawan seperti evakuasi korban juga
mempunyai perbedaan cukup signifikan dibanding rresponden yang tinggal di zona aman, dengan
perbandingan persentase sebesar 27 persen dibanding 14 persen di lokasi hati-hati dan 36 persen
di lokasi aman. Demikian pula untuk jenis pelatihan seperti kepramukaan, tali-temali, memasang
Rumah tangga yang mempunyai persiapan untuk kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya
bencana alam, juga telah disiapkan dalam bentuk alokasi anggaran melalui tabungan, asuransi
serta adanya tanah/rumah di tempat lain. Secara umum menunjukkan bahwa pada responden
yang tinggal di zona rawan cenderung telah melakukan persiapan untuk kewaspadaan terhadap
kemungkinan terjadinya bencana dibanding dengan responden di zona hat-hati dan aman
sebagaimana dapat dilihat pada Diagram berikut.
50
45 46
40
39
35 36
30
25
23
20 21 19
21 17
15 17
13
10 10 12
5
0
Rawan Hati-hati Aman Total 373
Tabungan Asuransi Jiwa/harta benda Tanah/rumah ditempat lain
Diagram 4.3.2.4.1
Persiapan RT Terhadap Kemunginan Terjadinya Bencana
Sementara itu mobilisasi sumberdaya rumah tangga dilihat menurut perbedaan tingkat pendidikan
(responden yang mewakili rumah tangga) juga menunjukkan perbedaan yang cukup berarti.
Persentase responden yang mempunyai anggota rumah tangga yang pernah mengikuti berbagai
pelatihan terkait dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana pada kelompok yang berpendidikan
tinggi persentasenya lebih dari dua kali lipat dibading yang berpendidikan rendah yaitu 26 persen
untuk yang berpendidikan tinggi dan 11 persen yang berpendidikan tamat SD ke bawah. Demikian
pula untuk rumah tangga yang telah mempunyai persiapan untuk kewaspadaan terhadap
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa indeks kesiapan rumah tangga dapat dilihat
dari lima parameter yaitu Pengetahuan dan Sikap , Rencana Tanggap Darurat , Sistem Peringatan
Bencana dan Mobilisasi Sumberdaya. Masing – masing parameter tersebut terdiri dari beberapa
variable yang diturunkan dalam pertanyaan.-pertanyaan sebagaimana telah diuraikan dalam
pembahasan sebelumnya. Tiap jawaban dari pertanyaan – pertanyaan diberi nilai atau score dan
secara kumulatif dijumlah dan dibagi dengan jumlah pertanyaan dan dikalikan dengan seratus
sehingga ditemukan nilai indeks dari masing-masing parameter yang berkisar antara 0 – 100.
Semakin tinggi nilai indeks berarti tingkat kesiapsiagaan individu dan rumah tangga dalam
menghadapi bencana gempa bumi dan tsunami juga semakin besar, sebaliknya semakin rendah
nilai indeks, tingkat kesiapsiagaan juga semakin rendah. Nilai indeks kesiapsiagaan individu atau
rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi lima kategori tingkat kesiapan sebagai berikut : 1)
Nilai indeks 80 atau lebih termasuk dalam kategori sangat siap 2) nilai 65- 79 termasuk kategori
siap dan 3) nilai indeks 55 – 64 termasuk kategori hampir siap, 4) nilai indeks 40-54 termasuk
kategori kurang siap dan 5) kurang dari 40 ke bawah termasuk kategori belum siap.
Untuk Kota Padang indeks kesiapsiagaan individu / rumah tangga secara keseluruhan yaitu sebesar
56 atau termasuk dalam kategori hampir siap. Nilai indeks tersebut merupakan kumpulan dari
empat parameter sebagaimana telah dikemukakan. Sementara itu indeks kesipsiagaan individu/
rumah tangga apabila dilihat menurut masing-masing parameter menunjukkan bahwa nilai tertinggi
aalah parameter sistem peringatan bencana yaitu sebesar 73, dan nilai indeks terendah yaitu 32
merupakan nilai indeks dari parameter mobilisasi sumberdaya. Indeks kesiapsiagaan pada
parameter pengetahuan juga cukup tinggi yaitu sebesar 72. Apabila diperhatikan lebih lanjut
terdapat kecenderungan adanya nilai indeks yang tinggi pada aspek-aspek yang berkaitan
dengan pengetahuan, seperti pada dua parameter tersebut yaitu pengetahuan dan sistem peringatan
Diagram 4.3.2.5.1
Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut Parameter
Sebagaimana terlihat dalam Diagram 4.3.2.5.2 menunjukkan bahwa secara umum nilai indeks
kesiapsiagaan individu atau rumah tangga yang tinggal di zona rawan adalah paling tinggi yaitu
sebesar 57 dibanding yang tinggal di zona hati-hati hanya sebesar 52 dan di zona aman sebesar
53. Apabila dicermati menurut perbedaan parameter, untuk parameter pengetahuan, rumah
tangga yang tinggal di zona rawan dan hati-hati justru mempunyai nilai indeks yang lebih rendah
Sementara itu nilai indeks kesiapan rumah tangga bila dilihat dari parameter rencana tanggap
darurat , hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai indeks pada zona rawan jauh lebih besar
dibanding dengan nilai ineks pada zona hati-hati dan aman, yaitu sebesar 46 dibanding 35 dan
36, kendatipun ketiga-tiganya masih termasuk dalam kategori nilai indeks yang rendah. Keadaan
tersebut kemungkinan berkaitan dengan adanya kesadaran rumah tangga yang tinggal di zona
rawan sehingga harus membuat perencanaan.
100
90
80
75 75
70 72 74
72
60
57
50 52 56 53
40 48
30 35
35 38
20 25 31
10
0
Rawan Hati-Hati Aman
Diagram 4.3.2.5.2
Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut Zona
Di Kota Padang
Hasil perhitungan nilai indeks sistem peingatan bencana menunjukkan bahwa indeks sistem
peringatan bencana di zona rawan maupun hati-hati relatif lebih tinggi dibanding dengan indeks
sistem peringatan bencana di zona aman, yaitu masing-masing sebesar 75 untuk indeks sistem
peringatan bencana di zona rawan dan hati-hati dan hanya sebesar 56 untuk indeks sistem
peringatan bencana rumah tangga di zona aman. Hal itu kemungkinan berkaitan dengan adanya
sosialisasi yang telah dilakukan oleh LSM (Kogami) dan juga pemerintah kota.
Sementara itu, untuk mengukur parameter mobilisasi sumber daya, digunakan indikator adanya
pelatihan, seminar atau pertemuan yang berkaitan dengan kesiapsdiagaan menghadapi bencana
gempa dan tsunami yang pernah diikuti oleh anggota keluarga serta persiapan keluarga terhadap
kemungkinan terjadinya bencana dalam bentuk tabungan, asuransi atau rumah di tempat lain.
Sementara itu tingkat kesiapsiagaan rumah tangga apabila dilihat menurut perbedaan tingkat
pendidikan menunjukkan korelasi yang positif antara tingkat pendidikan dengan besarnya indeks
kesiapsiagaan . Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang . semakin tinggi pula nilai indeks
kesiapasiagaan. Pada tingkat pendidikan rendah, yaitu tidak tamat SD kebawah mempunyai
nilai indeks kesiapsiagaan sebesar 66 dan pada tingkat pendidikan tamat SMA dan perguruan
tinggi nilai indeksnya semakin besar yaitu masing-masing 73 dan 75. sebagaimana diperlihatkan
dalam Diagram 4.3.2.5.3. menunjukkan bahwa pada setiap parameter kesiapsiagaan terdapat
hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan besarnya nilai indeks kesiapsiagaan pada
seluruh parameter.
Diagram 4.3.2.5.3
Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga Menurut
Tingkat Pendidikan
Indeks kesiapsiagaan rumah tangga dilihat dari zona tempat tinggal yang dibagi menurut zobna
rawan, hati0hati dan aman, menunjukkan perbedaan yang kuarng berarti kendatipun untuk rumah
tangga yang tinggal di zona rawan mempunyai nilai indeks tertinggi yaitu sebesar 57 (termasuk
kategori hampir siap). Sedangkan rumah tangga yang tinggal di zona hati0hati dan aman
mempunyai nilai indeks lebih rendah yaitu masing-masing sebesar 52 dan 53, termasuk kategori
kurang siap. Meskipun mempunyai sedikit perbedaan nilai indeks kesiapsiagaan, tetapi suatu hal
yang cukup menggembirakan apabila rumah tangga yang tinggal di zona rawan mempunyai
kesiapsiagaan yang lebih dibanding dengan rumah tangga yang tinggal di zona hati-hati dan aman.
Kendatipun demikian peningkatan kesiapsiagaan pada rumah tangga yang tinggal di zona rawan
dan hati-hati tetap perlu ditingkatkan.
Indeks kesiapsiagaan menurut tingkat pendidikan, menunjukkan korelasi yang sangat signifikan,
semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar nilai indeks kesiapsiagaannya. Dengan demikian,
pendidikan sebagai investasi jangka panjang merupakan media strategis bagi peningkatan
kesiapsiagaan yang dapat dimulai dari komunitas sekolah baik melalui kurikulum maupun ekstra
kurikulum. Demikian pula pendidikan di luar sekolah juga merupakan media strategis.
Kesiapsiagaan pemerintah dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam dalam kajian ini dilihat
berdasarkan data yang diperoleh dari tiga jenis daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan untuk
pemerintah di tingkat kota merupakan daftar pertanyaan yang terdiri dari satu set data dari
berbagai sector sehingga diisi oleh nara sumber sebagai wakil dari instansi-instansi terkait,
diantaranya adalah Kepala Dinas Kesejahteraan sosial dan Penanggulangan Banjir dan Bencana,
serta wakil dari Sekretaiat Daerah bagian pemerintahan. Sedangkan daftar pertanyan P2 juga
diisi oleh informan aparat pemerintah di seluruh instansi yang berkaitan dengan penanganan
bencana sebanyak 58 responden. Sementara itu daftar pertanyaan, P3 adalah daftar pertanyaan
di tingkat Kecamatan yang diisi oleh staf kecamatan di lima kecamatan yang merupakan lokasi
penelitian yaitu Kecamatan Bungus Teluk kabung, Kecamatan Pauh, Padang Timur, Koto Tangah
dan Kecamatan Padang Utara.
Secara umum dapat diketahui bahwa pengetahuan aparat tentang bencana alam dan gempa
bumi cukup baik. Pemahaman aparat dilihat dari pengertian bencana alam menunjukkan bahwa
mayoritas responden atau aparat (sekitar 91 persen) mempunyai pengetahuan cukup baik berkaitan
dengan pengertian bencana alam dan menyatakan bahwa bencana alam adalah bencana akibat
kejadian alam Demikian pula terhadap kejadian-kejadian yang dapat menimbulkan bencana
alam, responden juga mempunyai pengetahuan yang cukup baik. Sebagian besar (sekitar 95
persen ke atas) mengemukakan bahwa gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor dan gunung
berapi merupakan kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana alam. Kendatipun demikian
aparat yang menyatakan bahwa badai dapat menimbulkan bencana alam juga cukup besar.
Pengetahuan aparat tentang bencana alam menurut perbedaan tingkat pendidikan tidak
menunjukkan perbedaan yang berarti antara aparat pada kelompok yang berpendidikan tamat
SMA sederajat, Diploma maupun yang telah lulus perguruan tinggi. Demikian pula untuk
pengetahuan aparat tentang gempa bumi. Data pada Tabel 4.3.3.1 menunjukkan bahwa aparat
yang berpendapat bahwa dua kejadian alam penyebab terjadinya gempa bumi yaitu pergeseran 379
kerak bumi dan gunung meletus persentasenya juga besar, baik pada aparat yang berpendidikan
tamat SMA maupun sarjana. Sementara itu kejadian alam yang bukan penyebab terjadinya gempa
bumi seperti tanah longsor, angin topan dan pengeboran minyak hanya dijawab oleh sedikit
responden yaitu sekitar 25 persen responden aparat atau staf di kantor pemerintahan.
Pengetahuan aparat mengenai adanya gempa besar yang diikuti oleh gempa lebih kecil, juga
berkaitan dengan tingkat pendidikan. Sebagaimana dapat dilihat pada Diagram 4.3.3.1. , dimana
mereka yang menjawab benar dan menyatakan “ya” sebesar 85 persen. Sedangkan yang
menyatakan tidak tahu hanya sekitar 11 persen. Apabila dicermati lebih jauh, aparat yang
menyatakan “ya” persentasenya semakin meningkat sejalan dengan tingkat pendidikannya. Artinya
semakin tinggi tingkat pendidikan cenderung semakin mengetahui adanya gempa susulan yang
lebih kecil apabila terjadi gempa besar. Sebaliknya, aparat yang menjawab tidak tahu persentase
terbesar adalah mereka yang berpendidikan SMA (30 persen) dibanding yang berpendidikan
sarjana, yaitu sekitar 7 persen.
80 60
60
30
40
7 11
10 5 5
20 2 4
0
SMA sederajat Akademi Universitas Total
Diagram 4.3.3.1.
Pengetahuan Aparat Ttg “Apakah Gempa Besar Selalu Diikuti
Dengan Gempa Kecil?” Menurut Tingkat Pendidikan
Data tentang pengetahuan aparat berkaitan dengan tindakan yang harus dilakukan apabila terjadi
gempa bumi sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.3.3.2. menunjukkan bahwa sebagian besar
aparat akan melakukan tindakan-tindakan sebagaimana dikemukakan diantaranya adalah
berlindung ditempat yang aman, segera menuju lapangan terbuka, menjauhi benda-benda yang
tergantung dan menjauhi jembatan , masing-masing proporsinya di atas 90 persen. Sementara
itu, relative sedikit aparat (68 persen) yang menyatakan bahwa apabila terjadi gempa akan
melakukan tindakan merapat kedinding yang bebas dari benda-benda.
Tabel 4.3.3.2.
Pengetahuan Aparat Tentang Tindakan Yang Harus Dilakukan Apabila Terjadi
Gempa , Menurut Tingkat Pendidikan
Pengetahuan T entang Tingkat Pendidikan
G em pa B um i SM A Akadem i U niversitas Jum lah
Tindakan – Tindakan Apa Saja Y ang
A kan Dilakukan A pabila Terjadi G em pa?
- Berlindung di tempat yang am an 90,0 100,0 98,2 96,6
- M elindungi kepala 75,0 100,0 87,3 86,0
- Segera menuju lapangan terbuka 60,0 100,0 98,2 94,2
- M enjauhi benda-benda yang tergantung 85,0 91,0 96,4 93,1
- M erapat ke dinding yang bebas dari 55,0 72,7 72,7 68,6
benda-benda
- M enjauhi dinding/jendela kaca 75,0 81,8 85,7 83,0
- M eninggalkan ruangan setelah gempa 80,0 90,9 76,8 79,3
reda
- K eluar gedung menggunakan tangga bila 75,0 90,9 82,1 81,6
berada di gedung yang bertingkat setelah
gempa reda
- M emarkir mobil di pinggir jalan jika 85,0 90,9 87.5 87,4
sedang berada di dalam kendaraan
- M enjauhi jem batan 85,0 90,0 98,2 94,2
- Berlari keluar rumah pada saat gempa 70,0 100,0 80,4 80,5
N 20 11 56 87
Sebelum terjadi bencana alam tsunami akan didahului oleh gempa besar, kendatipun demikian
tidak setiap gempa dapat menimbulkan tsunami. Pemahaman aparat pemerintah tentang tsunami
berdasarkan pertanyaan, “Apakah setiap gempa dapat menyebabkan terjadinya tsunami?”,
sebagian besar aparat (92 persen) memberikan jawaban yang benar yait tidak semua gempa
dapat menyebabkan tsunami dan hanya sedikit aparat yang menyatakan tidak tahu. Apabila
dilihat dari proporsinya, aparat yang berpendidikan sarjana mempunyai pengetahuan yang lebih
baik dilihat dari besarnya persentase yang menjawab “ya” pada aparat berpendidikan sarjana
yang lebih tinggi. Sedangkan pada aparat berpendidikan SMA lebih banyak yang menyatakan
“tidak tahu” dibanding dengan yang berpendidikan tinggi.
Pengetahuan tentang penyebab terjadinya tsunami, cukup besar pula responden yang memberikan
jawaban benar, yaitu gempa bumi dibawah laut serta gunung meletus dibawah laut. Sebaliknya
yang memberikan jawaban yang salah yaitu longsoran dibawah laut persentasenya lebih rendah
yaitu sebesar 63 persen, bahkan yang menjawab badai/puting beliung sebagai penyebab tsunami
hanya sebesar 13 persen (Tabel 4.3.3.3 ) Apabila diperhatikan tingkat pendidikannya, tidak
memperlihatkan perbedaan yang berarti,kendatipun terdapat sedikit perbedaan persentase yang
memberikan jawaban benar adalah pada kelompok yang berpendidikan lebih tinggi.
Pengetahuan aparat pemerintah tentang tanda-tanda terjadinya tsunami juga cukup baik. Data
yang ada memperlihatkan bahwa 90 persen aparat menyatakan bahwa air laut yang tiba-tiba
surut adalah salah satu tanda-tanda tsunami. Disamping itu tanda-tanda lain adalah adanya gempa
besar yang menyebabkan goyangan kuat sehingga tidak bisa berdiri, dinyatakan oleh sekitar 77
persen, dan yang menyatakan adanya geombang besar di cakrawala hanya sebesar 62 persen.
383
Sementara itu, pemahaman aparat terhadap ciri-ciri bangunan yang tahan terhadap tsunami, relatif
kurang dimengerti oleh responden aparat pemerintah. Terhadap dua kategori ciri-ciri rumah tahan
tsunami yang diberikan yaitu “adanya ruang-ruang untuk jalannya air”, dijawab oleh sekitar 58
persen. Sedangkan yang menyatakan persetujuannya terhadap ciri-ciri bangunan tahan tsunami
yaitu “penempatan bangunan yg panjang tegak lurus dengan pantai”, hanya disetujui oleh sekitar
36 persen responden . Belum mengertinya ciri-ciri bangunan atau rumah tahan tsunami ,
seyogyanya diketahui oleh aparat pemerintah. Sehigga diperlukan sosialisasi untuk meningkatkan
pengetahuan aparat berkaitan dengan ciri-ciri rumah atau bangunan tahan gempa bumi maupun
tsunami sangat diperlukan. Mengingat bahwa aparat pemerintah sebagai stakeholder penting
bagi peningkatkan pengetahuan masyarakat diharapkan mempunyai tingkat pengetahuan yang
lebih baik.
Komitmen kota Padang pada upaya kesiapsiagaan menghadapi bencana ditunjukkan dengan
pernyataan yang dibuat tertulis pada dokumenta resmi milik pemerintahan. Ada lima pendekatan
yang dilakukan dalam mengenali adanya komitmen yang dibuat melalui kebijakan publik.
Komitmen tertinggi mengenai kesiapsiagaan menghadapi bencana suatu pemerintah daerah apabila
telah terdapat kebijakan yang telah diputuskan dan khusus ditujukan untuk merencana,
melaksanakan dan memonitor kesiapsiagaan menghadapi bencana. Dokumen yang bersifat acuan
umum (disaster mitigation planning), atau bersifat teknis seperti prosedur tetap (protap), action
planning, petunjuk teknis mengenai respons tanggap darurat, dan protab rupusdalops PB. Dari
beberapa dokumen yang telah diamati, saat ini kota Padang masih mengupayakan agar protab
penanggulangan bencana diselesaikan dan disyahkan. Proses ini masih berjalan dan dengan
demikian protab ini belum dapat digunakan. Action plan dan juknis belum juga terdapat pada
dokumen milik pemerintah. Sedangkan mengenai protab Rupusdalops PB telah ada.
Komitmen tinggi lainnya mengenai kesiapsiagaan pemerintah dalam menghadapi bencana adalah
apabila sudah memasukkannya dalam dokumen pemerintah mengenai pembangunan. Yang diacu
saat ini adalah dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) atau
Rencana Strategis Kota. Ini merupakan dokumen pembangunan untuk lima tahunan yang akan
diacu setiap tahunnya dan diterjemahkan menjadi AKU / KUA. Dokumen KUA ini pulalah yang
akan diterjemahkan menjadi APBD setiap tahunnya. Hal yang selalu terdapat pada APBD adalah
dana yg dialokasikan untuk kegiatan Satlak PB kota, dan dana lain lain yg akan digunakan dalam
kejadian bencana. Namun dalam kegiatan persiapan, belum secara khusus terdapat alokasi dana
untuk kegiatan ini. Sedangkan kesiapsiagaan menghadapi bencana secara structural atau fisik
umumnya terangkum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Padang. Saat ini kota 385
Padang sudah memiliki RTRW kota tahun 2005-2015, dan di dalamnya terdapat komitmen
mengenai kesiapsiagaan bencana. Namun, tingkat yang sudah masuk dalam Rencana ini masih
terbatas pada zonasi atau permintakatan umum, belum memasukkan unsure yang berkontribusi
terhadap bencana terutama gempa bumi atau tsunami.
Mengenai struktur organisasi pemerintahan yang resmi terdapat di pemko Padang, seperti yang
terdapat pemda lainnya adalah Satlak PB. Satlak ini bekerja terutama untuk menanggulangi
terhadap bencana. Sebagai instansi yang masih bersifat ad hoc, kemampuannya untuk terlibat
dalam penentuan kebijakan termasuk juga petunjuk yang bersifat teknis terbatas. Menurut
Permendagri 131/2003 Satlak PB ini memiliki tugas salah satunya adalah memberikan peringatan
dini dan secara khusus membangun perencanaan tanggap darurat. Di kota PAdang, upaya
membangun peringatan dini sedang dilaksanakan melalui pembangunan lokasi pengamatan.
Organisasi yang secara khusus menangani peringatan dini juga belum secara khusus dimunculkan.
Hal yang terakhir dilakukan adalah mengenai pelatihan mengenai kebencanaan yang secara rutin.
Masyarakat kota Padang sendiri pernah mengikuti simulasi evakuasi skala kota tahun 2005.
Setelah itu, masyarakat terekspos pada kegaitan yang berlangsung di kota lainnya melalui media
Dalam kajian ini tingkat perencanaan kesiapsiagaan bencana (emergency plan) pemerintah Kota
Padang dilihat dari beberapa indikator terkait dengan ketersediaan rencana tanggap darurat
bencana dan SOPnya; perencanaan evakuasi ( peta, jalur dan lokasi, pusat komando bencana,
SOP bencana, ketersediaan kebutuhan dasar dalam keadaan darurat, tempat penyimpanan
barang yang diperlukan dalam keadaan darurat, supplay air, listrik dalam ekadaan darurat,
tersedianya jaringan kominukasi dalam keadaan darurat, keberadaan SAR dan sistem evakuasi/
ambulan di Unit SAR.
Tabel 4.3.3.3.1
Resume Indikator Rencana Tanggap Darurat,
Kota Padang
No Uraian Keterangan
1. Dokumen terkait dengan rencana tanggap darurat:
• Peta bahaya Ada
• Peta Evakuasi Ada
2. Lokasi yang dijadikan tempat evakuasi Ada
3. Bangunan/gedung yang sudah dipersiapkan sbg tempat penyelamatan Ada
sementara
4. Pusat komando bencana Ada
5. Petunjuk pelaksanaan dari pusat komando Ada
6. Pelatihan menghadapi bencana di pusat komando Ada
7. Penyimpanan barang yang diperlukan dalam keadaan darurat Ada
8. Prosedur/rencana dalam pengadaan barang yang diperlukan untuk Ada
keadaan darurat
9. Tim SAR Ada
10. Sistem evakuasi/ambulan di unit SAR Ada
11. Supply listrik dalam keadaan darurat Ada
12. Jaringan komunikasi untuk keadaan darurat Ada
13. Supply air bersih Ada
14. Ketersediaan alat-alat berat Ada
387
Peta 4.3.3.3.1
Peta Evakuasi Kota Padang
Jika Terjadi Tsuami
Tabel 4.3.3.3.2
Tempat –tempat evakuasi yang telah diidentifikasi
Dalam rangka kesiapsiagaan bencana Pemko Kota Padang juga sudah mengidentifikasi bangunan/
gedung-gedung yang akan dipakai sebagai tempat penyelamatan sementara jika terjadi bencana.
Menurut Pemko Kota Padang sekurang-kurangnya ada 11 gedung yang dapat dipakai tempat
penyelamatan sementara. Gedung-gedung tersebut diantaranya adalah Kantor Gubernur, Gedung
BPKP, Universitas Negri Padang, Hotel Bumi Minang, Hotel Pangeran Beach, BII, BTN dan
Universitas Eka Sakti. Keberadaan gedung-gedung tersebut juga sudah disosialisasikan ke
masyarakat melalui leaflet, dimuat di media cetak dan disiarkan melalui media elektronika (TV
dan radio). Namun demikian masing-masing gedung yang telah diidentifikasi sebagai tempat
penyelamatan sementara tersebut belum diberi tanda yang dapat diketahui oleh masyarakat.
Selain gedung yang direncanakan dipakai untuk penyelamatan sementara, Kota Padang juga
sudah menetapkan Pusat komando bencana yang semula letaknya di pinggir pantai, tetapi sekarang
sudah dipindahkan ke gedung Bagindo Aziz Khan yang letaknya tidak jauh dari balai kota.
Penyiapan kegiatan tanggap darurat di tingkat kecamatan sangat penting mengingat pemerintah
kecamatan merupakan lini terdepan yang langsung berhadapan dengan masyarakat. Jika ada
peringatan bencana dari posko komando, pemerintah kecamatan melalui posko bencana yang
kemudian menyebarluaskannya ke masyarakat.
Dalam kajian ini indikator tanggap darurat pemerintah kecamatan antara lain dilihat dari
ketersediaan dokumen kebencanaan yang dimiliki berkaitan dengan rencana kesiapsiagaan seperti
peta bencana, peta evakuasi dan juklak pelaksanaan posko bencana. Selain itu juga dilihat dari
keikutsertaan pemerintah kecamatan menentukan lokasi posko, akses pemerintah kecamatan
terhadap peringatan bencana, ketersediaan pertolongan pertama dan tempat penampungan
sementara.
Secara umum rencana kegiatan tanggap darurat pemerintah kecamatan di Kota Padang masih
belum optimal. Dari lima kecamatan yang disurvei hanya ada satu kecamatan, yaitu Bungus
Teluk Kabung yang relatif lebih baik rencana tanggap daruratnya. Kecamatan ini mempunyai
dokumen peta bencana dan evakuasi. Selain itu, kecamatan Bungus Teluk Kabung juga sudah
menyiapkan pertolongan pertama pada bencana dan tempat penampungan sementara bagi para
korban bencana.
Berkaitan dengan ketersediaan peta bencana dan peta evakuasi , dari lima kecamatan tiga
diantaranya mempunyai peta bencana dan peta evakuasi. Ketiga kecamatan tersebut adalah
Kecamatan Padang Barat, Padang Timur dan Bungus Teluk Kabung yang sebagian besar
wilayahnya berada di zona rawan bencana tsunami.
389
Untuk kegiatan tanggap darurat, khususnya terkait penyiapan pertolongan pertama dan penyediaan
penampungan sementara hanya Kecamatan Padang Utara dan Bungus Teluk Kabung yang telah
mempersiapkan. Sementara dua kecamatan lainnya yaitu Kecamatan Padang Timur yang berada
di zona rawan dan Kecamatan Koto Tangah yang sebagian wilayahnya ada zona rawan belum
menyiapkan kegiatan terkait dengan pertolongan pertama dan penampungan sementara bagi
korban bencana.
Ketersediaan juklak pelaksanaan posko bencana masih minim di tingkat pemerintah kecamatan.
Hasil self assessment yang disebarkan ke para camat atau staffnya menunjukkan hanya ada satu
kecamatan yang mempunyai juklak pelaksanaan posko, yaitu Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
Empat kecamatan lainnya belum mempunyai juklak pelaksanaan posko (Tabel 4.3.3.3.3).
.
No Uraian/Indikator Kecamatan
A B C D E
1. Dokumen kebencanaan yang dimiliki pemerintah
kecamatan berkaitan dengan rencana
kesiapsiagaan:
a. Peta bencana - V V V -
b. Peta evakuasi - V V V -
2. Apakah kecamatan mengetahui atau turut
menentukan lokasi posko bencana
1. Ya
2. Tidak - - - V V
3. Apakah kecamatan memiliki juklak pelaksanaan
posko bencana ?
1. Ya
2. Tidak - - - V -
5. Dalam rangka kesiapsiagaan bencana, apakah
kecamatan ini sudah menyiapkan?
• Pertolongan pertama pada bencana
1. Ya - V - V -
2. Tidak
• Tempat penampungan sementara bagi
korban bencana
1. Ya - V - V -
2. Tidak
Indikator untuk menilai perencanaan kesiapsiagaan bencana aparat pemerintah dilihat dari
pertanyaan – pertanyaan mengenai tindakan-tindakan apa yang dilakukan oleh aparat untuk
antisipasi terjadinya gempa bumi dan tsunami. Tindakan-tindakan tersebut diantaranya adalah
penyelamatan dokumen penting dengan menyimpan atau membuat duplikasi dan menata ruangan
atau barang-barang untuk mengurangi resiko bencana. Selain itu, apakah aparat juga pernah
mendengar/membaca prosedur tetap (Protap) yang berkaitan dengan tugasnya pada saat darurat
bencana.
Hasil kajian menunjukan bahwa secara umum perencanaan penyelamatan dokumen penting
dikalangan aparat relatif baik, sekitar 94 persen responden menyatakan melakukan penyelamatan
dokumen penting dengan cara menyimpan di tempat aman atau membuat duplikasi dokumen.
Rencana tanggap darurat terkait dengan penataan ruangan dan barang-barang untuk mengurangi
resiko bencana masih belum menjadi prioritas utama bagi aparat pemerintah Kota Padang. Hanya
sekitar 64 persen aparat yang menyatakan akan melakukan penataan rauangan untuk mengurangi
resiko bencana.
Dilihat menurut pendidikan responden, terdapat kecenderungan bahwa aparat yang mempunyai
pendidikan S1 keatas kurang mempunyai respon untuk tanggap darurat dengan menyimpan
dokumen/file penting di tempat aman dan melakukan penataan ruangan untuk mengurangi resiko
dibandingkan dengan aparat yang berpendidikan Diploma dan SMA. Hal ini kemungkinan terkait
dengan pangkat dan jabatan struktural yang dimiliki oleh aparat berpendidikan SI keatas. Aparat
yang berpendidikan S1 keatas umumnya telah menduduki jabatan tertentu sehingga urusan teknis
dan administrasi termasuk menyimpan file dan penataan ruangan diserahkan kepada stafnya
yang umumnya berpendidikan Diploma atau SMA. 391
Prosedur tetap (Protap) yang berkaitan dengan tugas pada saat darurat bencana secara umum
belum dimiliki oleh setiap instansi pemerintah daerah. Namun demikian dari hasil survei ditemukan
ada sekitar 61 persen responden yang menyatakan telah membaca/mendengar Protap yang
berkaitan dengan tugas pada saat darurat bencana. Ini merupakan persepsi aparat bahwa mereka
pernah mendengar/membaca Protab tentang tugas darurat bencana.
Diagram 4.3.3.3.3
Rencana Tanggap Darurat Aparat
Pemerintah Menurut Tingkat Pendidikan
Fasilitas kritis adalah fasilitas yang diharapkan masih dapat berfungsi ketika bencana alam terjadi
karena sangat dibutuhkan untuk tindak darurat. Fasilitas kritis dapat dikelompokkan dalam 3
kelompok besar yaitu jaringan transportasi, lifelines, dan fasilitas pelayanan kesehatan dan
keselamatan. Jaringan transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi
udara. Lifelines meliputi jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air bersih, dan jaringan informasi
radio/tv. Sementara itu fasilitas pelayanan kesehatan dan keselamatan meliputi dinas kesehatan,
rumah sakit, SAR/ ambulance, dan pemadam kebakaran. Berdasarkan hasil survey dan
pengamatan lapangan di kota Padang kesiapsiagaan fasilitas kritis dapat dijelaskan sebagai berikut.
Jenis fasilitas kritis yang tersedia di kota Padang adalah SAR/ Ambulans, Dinas Kesehatan ,
Rumah Sakit, Pemadam Kebakaran, Radio / TV, Telkom, PT PLN , PDAM, Dinas Kimpraswil,
Pelabuhan, dan Bandar Udara.
Dari data yang ada secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut. Fasilitas kesehatan terdiri
dari rumah sakit, dan puskesmas. Jumlah rumah sakit di kota Padang berjumlah 14 unit baik
milik negeri maupun swasta, 12 unit rumah sakit khusus, 19 unit puskesmas, 56 unit puskesmas
pembantu. Umumnya rumah sakit yang besar sudah memiliki sistem operasional dalam keadaan
darurat seperti bencana alam. Hal ini terlihat dari data yang diberikan Rumah Sakit M. Djamil
dimana mereka sudah memiliki protap kedaruratan diantaranya kemampuan mendirikan Rumah
Sakit lapangan dalam 1 hari serta tersedianya fasilitas pendukung seperti genset dan listrik dalam
keadaan darurat. Semua ini dapat dilakukan selama kondisi fisik bangunan tidak roboh terkena
bencana.
Fasilitas lifeline terdiri dari listrik, telpon, dan air bersih. Untuk pengadaan listrik dalam kondisi
kebencanaan dapat dipulihkan tergantung tingkat kerusakan jaringan yang ada. Ketersediaan
pasokan listrik dari pembangkit tidak masalah karena sudah dilakukan interkoneksi dengan wilayah
lainnya di luar kota Padang. Begitu juga untuk jaringan telekomunikasi, dalam keadaan bencana
alam komunikasi dapat dilakukan dengan telpon selluler yang sudah banyak digunakan masyarakat
yaitu dengan memperkuat kapasitas radius pemancaran pada jaringan transmisi yang masih berdiri.
Sementara itu ketersediaan air bersih di Instalasi Pengolahan Air dalam kondisi bencana alam
tsunami cukup aman, karena tempatnya yang cukup jauh dari pantai dan berada di daerah
ketinggian. Dalam kondisi pipa penyaluran rusak, transportasi air bersih dapat dilakukan dengan
kenderaan. Masa perbaikan jaringan pipa yang rusak, sangat bergantung pada tingkat
kerusakannya.
Sarana dan prasarana transportasi meliputi transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi
udara. Panjang jaringan jalan sebesar 924,3 km dengan jumlah jembatan sebanyak 163 buah 393
baik besar maupun kecil. Jaringan jalan dan jembatan ini umumnya mengarah dari utara ke selatan
yang sejajar pantai, sehingga tingkat kerentanannya terhadap tsunami juga tinggi. Dalam keadaan
jembatan roboh, jembatan sementara dapat digunakan jembatan belly yang tersedia beberapa
buah. Sementara itu alat-alat berat juga dimiliki oleh dinas sarana prasarana jalan yang dapat
dimobilisasi untuk perbaikan sarana dan prasarana yang rusak. Sementara itu pelabuhan yang
dimiliki kota Padang ada 1 buah pelabuhan international yang melayani bongkar muat barang
dan penumpang, 1 buah pelabuhan untuk penimbunan BBM, dan 2 buah pelabuhan penangkapan
ikan. Lokasi pelabuhan ini sudah tentu sangat rentan terhadap tsunami. Tingkat kemampuan
pemulihan pelabuhan akibat bencana, sangat bergantung pada jenis kerusakan yang terjadi.
Pelabuhan udara yang dimilki kota Padang ada 2 buah yaitu bandara Tabing dan bandara
Minangkabau. Kedua bandara ini berada tidak jauh dari pantai yang kerentanannya cukup tinggi
terhadap tsunami. Tingkat pemulihan pengoperasian bandara sangat bergantung pada jenis
kerusakan yang terjadi. Sementara itu di bandara Minangkabau, selalu dilakukan latihan simulasi
setiap tahun dalam keadaan darurat seperti kecelakaan pesawat, namun simulasi dalam keadaan
bencana alam belum ada. Hasil evaluasi dituliskan dalam bentuk matriks seperti pada Tabel
4.3.3.4.1.
Nama Instansi/Fasilitas SAR / Dinas RS Dr. M. Pemadam Radio / TV Telkom PT PLN PDAM Kota Kimpraswil Pelabuhan Bandara
Penting Ambulans Kesehatan Djamil Kebakaran (Persero) Padang Minangkabau
Padang / Cabang
118 Padang
Kapasitas Pelayanan SARnasda 700 tempat Radio Pelanggan Peta Panjang jln 3935 pnp 45 movement
Terpasang (kemampuan tidur untuk komersial 65358 (kapasitas 924.3 km; naik & 3861 per hari
pelayanan) rawat inap dedikasi pelayanan: jembatan pnp turun.
utk 1000 lt/dtk) 163 dgn pjg 76 kapal
bencana 7385 m pnp;
(Pro FM)
Identifikasi Komponen2 IGD + Pembangkit, Intake Jalan,
Pemerintah Kota
Pemerintah Kota Padang belum mempunyai sistim peringatan bencana yang terpasang. Namun
demikian telah ada kajian-kajian mengenai sistim peringatan bencana, bentuk serta teknologi
yang akan dipakai. Ada dua alternatif yang direncanakan untuk sistim peringatan bencana, yaitu
menggunakan sistem sirene dan buoy. Sirene rencanannya akan dipasang pada tower-tower
telekomunikasi yang ada di kota Padang. Untuk merealisasikan rencana ini akan dilakukan
kerjasama antara pemerintah Kota Padang dan PT Telkom.
Bouy merupakan alat untuk Public Warning FM-RDS Early Warning System (Peringatan dini
bahaya kepada masyarakat melalui frekwensi Modulation Radio Digital System) yang dapat
digunakan sebagai alternative pelengkap radar sensor yang dipasang dilaut. Informasi yang diterima
tentang gerakan air laut dan gempa yang diterima dengan radar tersebut langsung diinformasikan
ke BMG dan Posko Bencana di Kota Padang. kemudian diinformasikan kesetiap kelurahan
serta warga lainnya oleh Walikota atau pejabat yang berwenang melalui gelombang radio (Public
Warning FM-RDS Early Warning System).
Cara kerja Public Warning FM-RDS Warning System ini dipasang pada salah satu stasiun radio
seperti RRI dan dihubungkan dengan sub terminal pada radio swasta lainnya. Informasi yang
akurat diterima dari pihak BMG melalui system Buoy ini dan langsung disampaikan ke Posko
Bencana oleh pihak yang berwenang seperti Walikota melalui suara langsung maupun text, setiap
radio yang sedang hidup akan langsung mengakses informasi ini, sedangkan yang mempunyai
alat RDS Decoder akan dapat menerima langsung informasi ini, baik dalam keadaan stand by
atau off, alat tersebut akan mengeluarkan informasi dan seruan langsung serta pesan text berjalan.
Pemerintah Kecamatan
Indikator yang dipakai untuk mengukur peringatan bencana di tingkat kecamatan adalah
tersedianya akses pemerintah kecamatan untuk mendapatkan informasi peringatan bencana dari
yang berwenang (tingkat pemerintah kota). Selanjutnya setelah, menerima peringatan bencana
apakah ada pihak yang bertanggung jawab/berwenang menyatakan bahwa masyarakat perlu
dievakuasi. Dari lima kecamatan yang menjadi kajian, hanya ada satu kecamatan yang mempunyai
akses mendapat informasi dan ada pihak/person yang berwenang menyatakan perlu diadakan
evakuasi.
Pada sistem peringatan bencana, peran pemerintah kecamatan adalah menyebarluaskan informasi
tentang adanya bencana kepada masyarakat dan selanjutnya menyebarluaskan berita tersebut
kepada masyarakat dan menentukan perlunya melakukan evaluasi. Hasil kajian ini
menggambarkan bahwa sistem peringatan bencana di tingkat kecamatan masih belum optimal,
.
Aparat di Tingkat Kabupaten
Sistim peringatan bencana secara umum sudah diketahui oleh aparat pemerintah Kota Padang.
Lebih dari 87 persen responden mengetahui adanya sistem peringatan bencana dini. Menurut
tingkat pendidikan responden, data menunjukkan bahwa pengetahuan tentang peringatan bencana
aparat yang mempunyai pendidikan SMA cenderung lebih baik dibandingkan dengan aparat
yang berlatar belakang pendidikan S1 keatas (Diagram 4.3.3. 5.1).
100
80
60
90 91 88 87
40
20
0 Tidak 397
SMA Diploma S1 Total
Ya
Diagram 4.3.3.6.1.
Aparat Yang Mengetahui Adanya
Peringatan Bencana
Berkaitan dengan tindakan apa yang akan dilakukan jika terjadi peringatan bencana sekitar 86
persen - 92 persen responden melakukan tindakan yang sesuai dengan prosedur, seperti
menyelamatkan dokumen, menyebarluaskan informasi tanda bahaya, menghubungi keluarga dan
membantu teman sekerja/orang lain menuju ke tempat aman sementara. Respon terhadap
peringatan bencana pada aparat yang berpendidikan S1 keatas cenderung lebih rendah jika
dibandingkan dengan aparat yang berpendidikan Diploma dam SMA.
Mobilisasi sumberdaya merupakan salah satu faktor cukup penting dalam kesiapsiagaan
mengantisipasi terjadinya bencana. Peran pemerintah kota, untuk melakukan mobilisasi
sumberdaya baik melalui capacity building , peningkatan ketrampilan serta sosialisasi terkait
dengan kebencanaan bagi staf atau aparat pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya
merupakan hal yang sangat diperlukan. Disamping itu pada tingkat pemerintah kecamatan yang
menjadi penghubung antara pemerintah kota dengan masyarakat di tingkat kelurahan/desa., juga
mempunyai peranan yang sama pentingnya. Artinya mobilisasi sumberdaya yang telah dilakukan
oleh pemerntah kota, seharusnya juga ditindaklanjuti oleh pemerintah kecamatan. Demikian
pula aparat pemerintah baik di tingkat kota maupun kecamatan seharusnya mempunyai aktifitas
yang lebih bersinergi dengan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah. Tulisan pada bagian ini
akan mengemukakan uraian mengenai mobilisasi sumberdaya pemerintah kota, pemerintah
kecamatan maupun aparat pemerintah kota.
Mobilisasi sumberdaya, apabila dilihat dari sosialisasi informasi baik melalui pemberitahuan di
media massa dan atau televisi mengenai kegiatan pemerintah kota berkaitan dengan kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana juga telah dilakukan. Kegiatan simulasi pelatihan evakuasi di beberapa
lokasi Kecamatan dan sekolah juga telah dilakukan bekerja sama dengan Kogami dan LIPI.
Mobilasai sumberdaya yang dilakukan oleh pemerintah tingkat kecamatan, hanya didasarkan
pada lima kecamatan yang menjadi kajian. Yaitu Kecamatan Koto Tengah, Kecamatan Padang
Utara, Kecamatan Padang Timur, Bungus Teluk Kabung dan Kecamatan Pauh. Mengkaji
mobilisasi sumberdaya yang dilakukan oleh lima kecamatan tersebut, berdasarkan beberapa
indikator yaitu keberadaan informasi mengenai kejadian bencana, data dalam Lampiran Kota-
padang Tabel 4.3.3.6 menunjukkan bahwa terdapat 4 kecamatan dari lima kecamatan yang
mempunyai informasi tentang bencana yang pernah dialami di masing-masing kecamatan. Data
dan Informasi sangat penting bagi pembelajaran akan bencana yang mungkin akan dialami kembali.
Sementara itu mobilisasi sumberdaya yang dilihat dari keberadaan peta pendukung kajian bahaya
seperti topografi, gelologi dan batimetri, dari lima kecamatan tidak satupun kecamatan yang
mempunyai .peta tersebut. Padahal dua kecamatan diantaranya berada di zona rawan. Demikian
Mobilisasi sumberdaya dilihat dari sosialisasi informasi melalui pemberitaan di media masa jika
terjadi bencana di tingkat kecamatan juga merupakan hal sangat penting bagi masyarakat. Dari
lima Kecamatan yang menjadi kajian, hanya dua kecamatan yang pernah dilakukan pemberitaan
yaitu Kecamatan Koto tangah dan Kecamatan Pauh, melalui media masa atau koran lokal.
Untuk peningkatan ketrampilan staf yang terkait dengan kesiapsiagaan yaitu linmas atau hansip
yang pernah mendapat pelatihan atau bimbingan dan penyuluhan mengenai tanggap darurat
bencana hanya dilakukan oleh satu kecamatan yaitu Kecamatan Bungus Teluk Kubung. Demikian
pula untuk Kecamatan yang berkomunikasi dan merencanakan kerjasama misalnya untuk pelatihan
juga hanya dilakukan oleh dua kecamatan Padang Utara dan Kecamatan Bungus Teluk kabung.
Tabel 4.3.3.6.1.
Mobilisasi Sumberdaya Di Kalangan Aparat Menurut Tingkat Pendidikan
Mobilisasi sumberdaya aparat, dalam kajian ini dilihat dari tiga indiikator yaitu pernah tidaknya
ikut pelatihan , workshop atau seminar berkaitan dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana,
Data sebagaimana tersaji dalam Tabel 4.3.3.6.1 memperlihatkan bahwa aparat pemerintah di
Kota Padang, baru sekitar 60 persennya yang pernah mendapapatkan pelatihan atau mengikuti
seminar berkaitan dengan pengetahuan tentang bencana. Perbedaan tingkat pendidikan tidak
menunjukkan korelasi dengan pernahtidaknya aparat mengikuti pelatihan atau seminar tentang
pengetahuan bencana. Sementara itu, bagi aparat yang pernah mengikuti pelatihan tentang
darurat bencana, terdapat kecenderungan bahwa persentase terbesar adalah pada aparat yang
berpendidikan akademi dan universitas dibanding yang berpendidikan SMA. Demikian pula
untuk jenis pelatihan yang lain, sebagaimana terlihat pada Diagram 4.3.3.6.2
Aparat Pem erintah Yang Pernah Me ngikuti Pelatihan Berk aitan Dengan
Ke siaps iagaan Be ncana Menurut Tingkat Pendidikan
90 82
80 63
61
70 61
48 57
60 50 52 41
46
50 43 36
35
40 28
32 30
30 24
18 16
20 11
10
0
Pengetahuan Darurat Sis tem Pengelolaan Mitigasi 401
tentang bencana peringatan bantuan be ncana
be ncana bencana
Diagram 4.3.3.6.2
Aparat Pemerintah Yang Pernah Mengikuti Pelatihan Berkaitan
Dengan Kesiapsiagaan Bencana Menurut Tingkat Pendidikan
Sementara itu, apabila dilihat dari pelatihan dan atau seminar berkaitan dengan kesiapsiagaan
mengjhadapi bencana yang dilkuakan di kantor, hanya separuh responden aparat pemerintah
yang pernah mengikutinya. Apabila diperhatikan lebih lanjut menurut tingkat pendidikan, terdapat
kecenderungan bahwa pada kelompok berpendidikan tinggi (sarjana) mempunyai persentase
yang pernah ikut pelatihan paling kecil dan hampir sama dengan yang berpendidikan SMA.
Persentase terbesar adalah pada kelompok aparat yang berpendidikan menenegah. (akademi)
yang mempunyai persentae tertinggi yaitu sekitar 70 persen Sementara itu, dari sejumlah
Indeks kesiapsiagaan bencana pemerintah Kota Padang sebesar 75 ada pada level siap. Indeks
tersebut merupakan gabungan tiga komponen, yaitu indeks Pemerintah Kota Padang, Pemerintah
Kecamatan dan aparat pemerintah. Indeks tertinggi, sebesar 89 (level sangat siap) dari komponen
Pemerintah Kota Padang dan indeks terendah dari komponen Pemerintah kecamatan 36 (level
belum siap). Jika dilihat parameternya, nilai indeks tertinggi dari parameter emergency planning
(EP) dan indeks terendah 49 dari peringatan bencana (warning system).
Padang
100 89
75 75
80
60
36
40
20
0
Pemerintah Pemerintah Aparat Pemerintah
Kota Kecamatan Kota Padang
Diagram 4.3.3.7.1.
Indeks Kesiapsiagaan Pemerintah Kota Padang
Hasil kajian ini menemukan perbedaan yang cukup signifikan antara indeks kesiapsiagaan bencana
Pemerintah Kota Padang dan pemerintah kecamatan. Semua parameter indeks kesiapsiagaan
bencana pemerintah kecamatan nilainya jauh lebih rendah dari indeks Pemerintah Kota Padang.
Temuan ini mengindikasikan adanya kesenjangan upaya kesiapsiagaan bencana yang dilakukan
pemerintah Kota Padang dan pemerintah kecamatan. Upaya Pemerintah Kota Padang untuk
kesiap-siagaan bencana dari berbagai parameter seperti kebijakan, rencana tanggap darurat,
peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya belum secara optimal disosialisasikan dan
diimplementasikan di tingkat kecamatan. Dalam rencana tanggap darurat pemerintah Kota Padang
sudah menentukan lokasi yang akan digunakan sebagai tempat evakuasi yang tersebar di 6
Demikian pula untuk parameter mobilisasi sumber daya (RMC), di tingkat pemerintah Kota
Padang indeksnya mencapai 100, sementara di tingkat pemerintah kecamatan indeksnya hanya
sebesar 33. Hal ini menunjukkan bahwa upaya mobliasasi sumber daya yang dilakukan oleh
pemerintah kecamatan untuk masih minim. Berbagai kegiatan worshop/seminar dan sosialisasi
tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Padang dalam
beberapa tahun terakhir belum secara signifikan meningkatkan mobiliasasi sumber daya di tingkat
kecamatan.
Parameter peringatan bencana di tingkat pemerintah kecamatan nilainya juga sangat rendah (20),
atau pada level belum siap. Peran pemerintah kecamatan adalah menyebarluaskan informasi
peringatan bencana yang diperoleh dari pemerintah kota kepada masyarakat melalui kelurahan
dan lembaga kemsayarakatan lainnya. Dari hasil kajian terungkap bahwa sebagian besar kecamatan
yang dikaji belum mempunyai akses terhadap peringatan bencana. Oleh karena itu perlu adanya
upaya untuk mengembangkan sistim peringatan bencana yang ada di tingkat kecamatan. Setelah
mendapat informasi peringatan bencana, pemerintah kecamatan bertanggung jawab
menyebarluaskan informasi bencana kepada masyarakat melalui kelurahan dan lembaga
kemasyarakatn lainnya. Dengan rendahnya indeks peringatan bencana tersebut, pemerintah
kecamatan belum siap melakukan tanggung jawabnya menyebarluaskan informasi peringatan
bencana. Di lain pihak, pemerintah kecamatan merupakan lini terdepan untuk menyampaikan
informasi tersebut kepada masyarakat melalui kelurahan dan lembaga kemsayarakatan lainnya.
Oleh karena itu perlu adanya upaya pemerinta Kota Padang mengembangkan system peringatan
bencana yang dapat menjembatani terputusnya sistem informasi dari pemerintah ke masyarakat. 403
Kendatipun demikian tingginya nilai indeks pemerintah ini perlu ditinjau implimentasinya di lapangan.
Semua indikator kesiapsiagaan bencana, terutama dari parameter rencana tanggap darurat dan
mobilisasi sumber daya telah terpenuhi, akan tetapi pelaksanaan di lapangan belum optimal,
terlihat dari masih timpangnya parameter indeks kesiapsiagaan pemerintah kota dan kecamatan.
Hal yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Kota Padang untuk lebih memaksimalkan
implementasi rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana di lapangan adalah optimalisasi peran
dan fungsi Satlak. Pemerintah Kota Padang telah membentuk Satlak dengan SK walikota.
Organisasi Satlak ini terdiri dari berbagai unsur dari instansi pemerintah kota, LSM dan organisasi
profesi. Meskipun telah terbentuk, Satlak Kota Padang belum optimal melaksanakan fungsinya.
Berbagai upaya dan kegiatan tentang kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dilaksanakan di
Kota Padang dalam beberapa tahun terakhir ini dikoordinir oleh salah satu dinas pemerintah
kota, yaitu Dinas Kebakaran dan Penanggulangan Bencana. Secara organisatoris, Dinas
Kebakaran dan Penanggulangan Bencana Kota Padang mempunyai kendala untuk melakukan
koordinasi, karena kapasitas kelembagaan tidak bisa secara resmi melakukan koordinasi dengan
instansi lainnya di jajaran pemerintah kota. Jika melakukan koordinasi, seperti melakukan rapat
Tabel 4.3.3.7.1.
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Kota Padang
Ada tiga stakeholders utama dalam kajian rencana kesiap-siagaan menghadapi bencana Kota
Padang yaitu pemerintah, masyarakat umum, dan komunitas sekolah. Ketiga stakeholders ini
masing-masing memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesiap-siagaan menghadapi
bencana. Pemerintah berperan memfasilitasi segala upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan
menghadapai bencana, seperti dukungan kebijakan, sarana-prasarana untuk perencanaan
penyelamatan, peringatan bencana dan mobilisasi sumber daya. Masyarakat yang akan terkena
dampak langsung jika terjadi bencana berperan mengupayakan adanya kesiap-siagaan dengan
difasilitasi pemerintah. Sementara itu, komunitas sekolah yang terdiri dari sekolah sebagai institusi,
guru dan siswa mempunyai peran yang cukup strategis. Komunitas sekolah berperan menyiapkan
rencana penyelamatan sekaligus juga menyebarluaskan peringatan bencana. Dalam jangka panjang
komunitas sekolah berperan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bencana melalui
pelajaran yang diberikan di sekolah.
Dalam mengkaji kesiapsiagaan komunitas sekolah telah dilakukan penyebaran angket kepada
guru dan siswa di tingkat SD, SMP dan SMA di Kota Padang. Jumlah sekolah yang menjadi
sampel kajian adalah 22 sekolah terdiri dari 3 SMA, 6 SMP dan 12 SD. Lokasi ke 22 sekolah
tersebut tersebar diberbagai kecamatan di Kota Padang yang dapat dibagi ke dalam tiga zona
yaitu zona rawan tsunami, zona hati-hati dan zona aman tsunami. Zona rawan tsunami adalah
wilayah di tepi pantai, hingga 5 meter di atas permukaan laut. Jumlah sampel sekolah yang
4.3.4.1. Pengetahuan
Guru
Peran guru cukup penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan sekolah menghadapi bencana.
Melalui guru pesan-pesan terkait dengan kesiapsiagaan menghadapi bencana dapat disampaikan
kepada siswa. Oleh karena itu, pengetahuan guru tentang bencana khususnya gempa dan tsunami
merupakan kunci utama untuk meningkatkan kesiapsiagaan sekolah dalam menghadapi tsunami.
Secara umum pengetahuan guru di Kota Padang terkait dengan bencana cukup baik. Hampir 82
persen responden menjawab bahwa bencana alam adalah bencana yang terjadi akibat dari
kejadian alam. Sementara itu, serangkaian kejadian alam yang dapat menimbulkan bencana menurut
responden yang paling utama adalah tsunami dan gempa bumi, diikuti dengan banjir, tanah longsor,
letusan gunung berapi dan badai. Dari focus group discussion (FGD) dengan para guru dan staff
Dinas Pendidikan Kota Padang terungkap bahwa pengetahuan para guru mengenai bencana
cukup bervariasi. Pada umumnya para guru sependapat bahwa Kota Padang rawan terjadi
bencana, seperti banjir, longsor, gempa bumi dan tsunami. 405
Bencana
perilaku
manusia, 19.2
Bencana
akibat kejadian
alam, 80.8
Diagram 4.3.4.1.1
Pengetahuan Guru Tentang Bencana Alama
99 100 98 97 96 94
110
90
70
50
30
10
Gempa Tsunami Banjir Tanah Gunung Badai
bumi longsor Berapi
Diagram 4.3.4.1.2
Pengetahuan Guru Tentang Kejadian Alam yang Dapat
Menimbulkan Bencana
Menurut zona tidak terdapat perbedaan pengetahuan tentang bencana dan penyebab terjadinya
bencana alam yang cukup mencolok antara guru yang mengajar di sekolah yang terletak di zona
rawan, hati-hati dan aman. Para guru yang mengajar di wilayah aman berpendapat bahwa selain
gempa bumi dan tsunami, tanah longsor merupakan kejadian alam yang disebutkan responden
sebagai penyebab terjadinya bencana. Hal in terkait dengan letak sekolah yang pada umumnya
berada di daerah pegunungan yang rawan bencana tanah longsor. Data juga memperlihatkan
bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara pengetahuan guru yang mengajar di sekolah
SD, SMP dan SMA. (Lihat Tabel 4.3.4.1.A dan 4.3.4.1.B di bagian 8.6.3)
Indikator untuk menilai pengetahuan para guru tentang gempa bumi diantaranya dilihat dari
serangkaian pertanyaan terkait dengan penyebab gempa bumi, ciri-ciri gempa, ciri-ciri bangunan
tahan gempa dan usaha-usaha apa saja yang dapat dilakukan apabila terjadi gempa. Secara
umum pengetahuan para guru tentang gempa bumi cukup baik. Hal ini terlihat dari cukup besarnya
proporsi responden yang dapat menjawab dengan benar sebagian besar dari serangkaian
pertanyaan tersebut. Mengenai terjadinya gempa bumi, hampir semua responden dapat menjawab
bahwa pergeseran kerak bumi dan gunung meletus adalah penyebabnya. Namun demikian selain
pergeseran kerak bumi dan gunung meletus, masih ada sebagian kecil responden yang beranggapan
bahwa tanah longsor, angin topan dan halilintar serta pengeboran minyak sebagai penyebab
gempa bumi.
Sementara itu mengenai perkiraan terjadinya gempa, hanya 70 persen responden yang dapat
menjawab dengan benar bahwa gempa bumi tidak dapat diperkirakan terjadinya. Sedangkan
mengenai
Diagram ciri-ciri
4.3.4.1.3 gempa hampir
Pengetahuan sebagian
Guru besar
Tentang responden bisa menyebutkan dengan benar ciri-
Penyebab
Terjadinya
ciri tersebut, yaitu gempaGempa Bumiberulang-ulang, gempa yang menyebabkan goyangan yan
yang terjadi
97 97
kencang sehingga tidak bisa berdiri dan bangunanretak/roboh.
100 407
Pengetahuan tentang gempa terutama yang terkait dengan ciri-ciri bangunan yang tahan gempa
80
relatif masih rendah. Ciri-ciri rumah tahan gempa yang paling banyak disebut oleh responden
adalah fondasi tertanam cukup dalam dan diikuti oleh bagian-bagain rumah tersambung dengan
60
kuat. Sedangkan ciri-ciri rumah tahan gempa seperti bentuk bangunan simetri dan bangunan
29 ringan belum banyak diketahui oleh responden. Data menunjukkan
terbuat dari materi yang
40 25
bahwa hanya 38 dan 45 persen responden
13 yang mengetahui bahwa bentuk bangunan simetri dan
material yang ringan adalah ciri-ciri rumah tahan gempa. Wawancara dengan salah satu informan
20
seorang guru SMP terungkap bahwa pengetahuan tenatng rumah tahan gempa belum dipahami
dengan baik. Menurut informan banguanan tahan gempa adalah bangunan yang dibuat dengan
0 campuran semen dan pasir yang sesuai (biasanya 1 dibanding 4).
Pergeseran Gunung Tanah Angin Pengeboran
kerak bumi Meletus Longsor topan/halilintar minyak
60 45
38
40
20
0
Bentuk Fondasi Bagian Bangunan
bangunan tertanam tersambung dr materi yg
simetri cukup dalam dgn kuat ringan
Diagram 4.3.4.1.4.
Pwengetahuan Guru Tentang Bangunan Tahan Tsunami
Sementara itu terkait dengan pengetahuan tentang usaha-usaha yang dilakukan apabila terjadi
gempa secara umum para guru dapat menyebutkan tindakan-tindakan yang mesti dilakukan
untuk tindakan penyelamatan. Tindakan yang paling banyak dilakukan adalah segera menuju ke
lapangan dan tindakan yang paling sedikit akan dilakukan adalah meninggalkan ruangan setelah
gempa reda.
Dilihat menurut zona, tidak ditemukan adanya perbedaan pengetahuan responden yang mengajar
di sekolah yang berada di wilayah rawan, hati-hati dan aman. Secara umum pengetahuan mengenai
penyebab, cirri-ciri gempa, cirri-ciri bangunan tahan gempa dan usaha-usaha ang dlakukan apabila
terjadi gempa relative sama. Perbedaan cukup menonjol terkait dengan pertanyaan mengenai
apakah gempa bumi dapat diperkirakan terjadinya. Para responden yang mengajar di sekolah
yang berada di wilayah rawan dan hati-hati yang mengenathui bahwa gempa bumi tidak dapat
diperkirakan terjadinya sekitar 60 persen dan 58 persen. Apabila dilihat menurut tingkat sekolah
juga terlihat tidak ada perbedaan yang cukup menonjol antara pengetahuan guru yang mengajar
di tingkat SD sederajat, SMP dan SMA (Lihat Tabel 4.3.4.1.C bagian 8.6.3 Lampiran).
Dalam survei ini serangkaian pertanyaan yang digunakan untuk melihat pengetahuan responden
tentang tsunami diantaranya adalah: penyebab dan tanda-tanda tsunami, ciri-ciri bangunan tahan
tsunami dan usaha-usaha yang dilakukan apabila terjadi tsunami. Dari hasil survei tergambar
bahwa secara umum pengetahuan guru mengenai tsunami relatif baik, yang terlihat dari tingginya
proporsi responden yang menjawab benar dari serangkaian pertanyan mengenai tsunami. Data
menunjukan bahwa responden yang menjawab benar mengenai penyebab, tanda-tanda tsnami
60
40
11
20
0
Gempa bumi Gunung Longsoran Badai/puting
di bawah meletus di bawah laut beliung
laut bawah laut
Diagram 4.3.4.1.5
Pengetahuan Guru Tentang Penyebab Tsunami
Namun demikian pengetahuan guru mengenai tsunami ini masih perlu ditingkatkan mengingat
cukup besarnya (sekitar 70 persen) proporsi responden yang menganggap bahwa longsoran
tanah merupakan penyebab tsunami dan masih adanya anggapan bahwa badai/halilintar juga
dapat menyebabkan tsunami. Dari FGD dengan para guru juga terungkap bahwa pengeboran
409
minyak menurut para guru dapat berdampak pada terjadinya tsunami. Demikian pula pengetahuan
terkait dengan ciri-ciri bangunan tahan gempa relatif masih rendah. Ini terlihat dari kecilnya proporsi
responden yang menjawab benar pada pertanyaan mengenai ciri-ciri bangunan tahan tsunami.
Data menunjukkan proporsi responden yang mengatakan adanya ruang-ruang kosong untuk
jalan air dan penempatan bangunan yang panjang tegak lurus dengan pantai berturut-turut sekitar
51 persen dan 35 persen.
69
80
60
40
20
0
Gempa besar shg Air laut tiba-tiba Gelombang besar
tdk bisa berdiri surut di cakrawala
Diagram 4.3.4.1.6
Pengetahuan Guru Tentang Penyebab Tsunami
Data tentang pengetahuan guru menurut tingkat sekolah menunjukkan adanya kecenderungan
bahwa semakin tinggi tingkat sekolah semakin rendah tingkat pengetahuan para guru mengenai
tsnami. Pengetahuan para guru SD mengenai penyebab, tanda-tanda tsunami, ciri-ciri bangunan
tahan tsunami dan antisipasi langkah-langkah jika terjadi air surut relatif lebih baik dibandingkan
dengan guru SMP dan SMA yang terlihat dari lebih besarnya proporsi responden tingkat SD
yang dapat menjawab dengan benar tentang penyebab, tanda-tanda tsunami dan ciri-ciri bangunan
yang tahan tsunami. Hal ini kemungkinan dikarenakan telah dilakukannya sosialisasi mengenai
tsunami oleh sebuah LSM di Padang (KOGAMI) yang kegiatannya lebih terfokus di sekolah
tingkat SD di daerah rawan dan hati-hati.
100
80
89 91
60 83
83 83
70
40
79 62 59 24
15
20 11
0
SD SMP SMA
Gempa bumi di bawah laut Gunung meletus di bawah laut
Longsoran bawah laut Badai/puting beliung
Diagram 4.3.4.1.7
Pengetahuan Guru Tentang Penyebab Terjadinya Tsunami
Menurut Tingkat Sekolah
80
88 86
80
60
98 89
94
40
70 65
69
20
0
SD SMP SMA
Gempa besar shg tdk bisa berdiri Air laut tiba-tiba sutut
Gelombang besar di cakraw ala
Diagram 4.3.4.1.8
Pengetahuan Guru Tentang Gejala Tsunami
Menurut Tingkat Pendidikan
Dilihat menurut zona terdapat variasi tingkat pengetahuan antara para guru yang mengajar di
wilayah rawan, hati-hati dan aman. Pengetahuan para guru mengenai penyebab terjadinya tsunami
dan ciri-ciri bangunan yang tahan tsunami yang tinggal di wilayah hati-hati relatif lebih baik dengan
guru yang tinggal di wilayah rawan dan aman. Data menunjukkan bahwa jumlah responden yang
menjawab benar pada pertanyaan terkait dengan penyebab terjadinya tsunami dan ciri-ciri
bangunan yang tahan tsunami di wilayah rawan jauh di bawah rata-rata untuk seluruh zona.
Sebaliknya pengetahuan berkaitan dengan tanda-tanda tsunami menunjukkan bahwa para guru
yang tinggal di wilayah rawan jauh lebih baik dibandingkan dengan para guru yang tinggal di
wilayah hati-hati dan aman. 411
Televisi mempunyai peran yang cukup penting dalam menyebarluaskan informasi berkaitan dengan
gempa dan tsunami pada masyarakat umum, termasuk kalangan guru. Hal ini terlihat dari hasil
survei yang menunjukkan bahwa televisi merupakan sumber informasi yang paling utama bagi
para guru. Seperti diketahui sejak tsunami melanda Aceh pada akhir tahun 2006 pemberitaan
mengenai tsunami di televisi sangat gencar. Oleh karena itu televisi telah menjadi acuan utama
sumber informasi tentang gempa bumi dan tsunami di kalangan guru. Data survei menunjukkan
bahwa semua responden mnyebutkan televisi merupakan sumber informsi mengenai gempa dan
tsunami. Radio merupakan acuan informasi kedua setelah televisi. Salah satu radio swasta di
Padang yang cukup aktif memberikan informasi mengenai gempa dan tsunami adalah radio Pro
News. Sementara itu koran dan majalah merupakan sumber informasi ketiga setelah radio. Cukup
tingginya proporsi responden yang mendapat informasi tentang gempa dan tsunami dari televisi,
Sumber informasi mengenai gempa dan tsunami dari teman dan kerabat juga cukup besar
proporsinya (91 persen). Para guru mendapatkan informasi tentang gempa dan tsunami dari
teman dan keluarga lebih ditunjang oleh kemudahan komunikasi baik melalui telepon rumah
maupun telepon genggam. Data survei juga menunjukkan bahwa peran petugas pemerintah dalam
menyebarluaskan pada para guru cukup besar. Ini terlihat dari cukup tingginya proporsi responden
yang mendapatkan informasi mengenai gempa dan tsunami dari aparat pemerintah (82 persen).
Sementara proporsi responden yang menjawab mendapatkan informasi dari buku saku, poster
dan leaflet sekitar 67 persen. Di Kota Padang poster mengenai gempa dan tsunami umumnya
masih terfokus daerah perkotaan. Sedangkan leaflet dan buku saku tentang tsunami telah
disebarluaskan baik oleh LSM dan pemerintah di perumahan-perumahan dan sekolah-sekolah.
Akses guru untuk mendapatkan informasi mengenai gempa dan tsunami melalui seminar cukup
baik. Hampir 70 persen responden yang menyatakan mendapatkan informasi tentang gempa
dan tsunami dari seminar. Sementara itu peran LSM secara umum masih lebih rendah dibandingkan
dengan peran pemerintah dalam menyebarluaskan informasi kepada para guru. Sekitar 66 persen
responden yang menyatakan mendapatkan informasi mengenai gempa dan tsunami dari LSM.
Salah satu LSM yang mempunyai kegiatan terkait pembuatan preparedness system dan edukasi
masyarakat dalam rangka mitigasi gempa dan tsunami di kota Padang adalah Kogami.
Data survei menunjukkan adanya perbedaaan akses para guru untuk mendapatkan informasi
mengenai gempa dan tsunami berdasarkan zona. Para guru yang mengajar di sekolah di zona
rawan mempunyai akses yang lebih besar untuk mendapatkan informasi dari buku saku, poster,
rambu peringatan; sosialisasi seminar, petugas pemerintah dan LSM dibandingkan dengan para
guru yang mengajar di zona hati-hati dan aman. Ini terlihat dari kecilnya proporsi responden yang
mangajar di daerah aman yang mengatakan mendapatkan infriomasi dari buku saku, poster dan
dari LSM (kurang dari 50 persen). Temuan ini merupakan implikasi dari sosialisasi yang dilakukan
oleh pemerintah dan LSM yang lebih memfokuskan pada penyebaran informasi di daerah rawan.
Sementara itu dilihat dari tingkat sekolah, secara umum tidak terdapat perbedaan yang cukup
mencolok mengenai akses untuk mendapatkan informasi mengenai gempa dan tsunami antara
guru yang mengajar di SD, SMP dan SMA. Perbedaan kecil ditemukan pada akses para guru
mendapatka informasi dari sosialisasi seminar, petugas pemerintah dan LSM. Para guru yang
mengajar di tingkat SMA lebih mempunyai akses dibandingkan dengan guru SMP dan SD.
Guru merupakan focal point utama dalam meningkatkan kesiap-siagaan sekolah menghadapi
bencana. Dengan pengetahuannya guru dapat memberikan pelajaran kepada siswa tentang gempa
dan tsunami. Ada beberapa cara untuk menyampaikan pengetahuan mengenai gempa dan tsunami
kepada siswa. Salah satu cara adalah dengan mengintegrasikan dalam pelajaran geografi, IPA
atau pada pelajaran extrakulikuler bidang pramuka.
Data survei menunjukkan bahwa hanya sekitar 61 persen responden yang menyatakan bahwa
pengetahuan mengenai gempa dan tsnami diajarkan kepada siswa. Dari FGD dengan para guru
SD, SMP dan SMA terungkap bahwa para guru sangat setuju jika pelajaran tentang gempa dan
tsunami diberikan kepada anak didik. Permasalahan yang dihadapi oleh para guru adalah belum
adanya kebijakan yang menjadi dasar dilaksanakannya pengajaran tentang gempa dan tsunami.
Diagram 4.3.4.1.8
4 3 Gempa
Sosialisasi Tentang 4 1 9 dan Tsunami pada
Murid Menurut Zona dan Tingkat Sekolah
100
29 23
40 51 39
80 42
57
60
40 71 76
60 58 49 61
43
20
0
Rawan Hati- Aman SD SMP SMA Total
hati
Ya Tidak
Diagram 4.3.4.1.8
Sosialisasi Tentang Gempa dan Tsunami pada Murid
Menurut Zona dan Tingkat Sekolah
Apabila dilihat menurut tingkat sekolah terlihat bahwa proporsi para guru SD yang memberikan
pelajaran tentang gempa dan tsunami lebih tinggi dibandingkan dengan guru SMP dan SMA.
Proporsi guru SD yang memberikan pelajaran tenang gempa dan tsunami sebesar 76 persen,
guru SMP 49 persen dan guru SMA 43 persen. Tingginya proporsi guru yang menyatakan
mengajarkan tentang pelajaran gempa bumi dan tsunami ini kemungkinan dikarenakan sosialisasi
yang dilakukan oleh oleh LSM (KOGAMI) selama ini lebih difokuskan pada sekolah tingkat
SD. Dengan demikian sebagian besar para guru SD telah mempunyai kesadaran untuk memberikan
pelajaran tentang gempa dan tsunami kepada siswanya melalui guru kelas. Wawancara mendalam
dengan seorang guru SD yang ada di daerah rawan dan pernah mengikuti simulasi terungkap
bahwa pengetahuan tentang gempa bumi dan tsunami serta pengalaman mengikuti simulasi
diajarkan kepada siswa-siswanya. Sementara itu, salah seorang wakil kepala sekolah salah satu
SMA yang berada di daerah rawan mengatakan bahwa pada umumnya guru-guru SMA cenderung
belum memberikan pelajaran tentang gempa bumi dan tsunami kepada siswa karena selain belum
ada kebijakan sebagai landasannya juga ketiadaan materi pengajaran dan bahan referensi. Selama
ini pelajaran tentang gempa bumi dan tsunami untuk di SMA diberikan di pelajaran geografi dan
materi yang diberikan sebatas mengenai jenis-jenis gempa. Materi terkait dengan penyebab,
cirri-ciri gempa dan bagaimana langkah-langkah perencanaan penyelamatan belum pernah
diberikan.
Secara umum pengetahuan siswa tentang bencana alam cukup baik. Hal tersebut tercermin dari
cukup besarnya proporsi responden yang dapat menjawab dengan benar mengenai apa yang
dimaksud dengan bencana alam. Demikian pula pertanyaan terkait dengan penyebab terjadinya
bencan alam, diatas 90 persen responden dapat menjawab dengan benar. Kejadian alam yang
cukup banyak disebutkan responden adalah gempa bumi, tsunami dan tanah longsor.
Hasil survei memperlihatkan bahwa ada sedikit perbedaan pengetahuan siswa yang tinggal di
zona rawan, hati-hati dan aman. Proporsi siswa di zona aman yang dapat menjawab dengan
benar pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan bencana relatif lebih rendah dari siswa
yang tinggal di wilayah rawan dan hati-hati. Sedangkan jika dilihat menurut tingkat sekolah tidak
ada perbedaan yang signifikan pengetahuan tentang bencana antara siswa SD, SMP dan SMA
(Tabel 4.3.4.1.2).
Tabel 4.3.4.1.2
Pengetahuan siswa tentang bencana
menurut Zona dan tingkat sekolah
Pengetahuan tentang Bencana Alam Zona Jumlah
Rawan Hati- Aman
hati
Apa yang dimaksud dengan bencana alam?
- Bencana Akibat Perilaku 19.5 15.3 31.9 20.2
Manusia
- Bencana akibat kerusuhan - - - -
sosial/politik
- Bencana akibat kejadian alam 79.5 83.6 67.4 79.8
- Kebakaran hutan - - -
Kejadian yang dapat menimbulkan bencan alam? 415
- Gempa bumi 98.2 98.3 97.2 98.0
- Tsunami 94.3 94.1 97.9 94.8
- Banjir 93.3 85.6 91.7 90.6
- Tanah longsor 94.3 88.7 94.4 92.6
- Gunung Berapi 89.8 91.5 88.9 90.2
- Badai 87.9 87.7 90.9 88.3
N 460 307 153 920
Tingkat Sekolah
SD SMP SMA
Apa yang dimaksud dengan bencana alam?
Bencana Akibat Perilaku Manusia 22.9 14.8 21.8 20.1
Bencana akibat kejadian alam 75.5 84.8 77.6 78.9
Kerusuhan sosial politik 0.3 - 0.6 0.4
Kebakaran hutan 0.9 0.3 - 0.6
Pengetahuan siswa tentang gempa relatif baik yang tercermin dari tingginya proporsi siswa yang
dapat menjawab dengan benar serangkaian pertanyaan tentang gempa: penyebab, ciri-ciri gempa
besar, apakah gempa bisa diperkirakan terjadinya. Namun demikian pengetahuan tentang
penyebab gempa dikalangan siswa perlu diluruskan mengingat masih ada yang menganggap tanah
bahwa longsor, pengeboran minyak dan angin topan sebagai penyebab gempa bumi.
Diagram 4.3.4.1.9
Pengetahuan Siswa Tentang Penyebab
Terjadinya Gempa Bumi
Mengenai tindakan yang dilakukan apabila terjadi gempa hampir sebagian besar siswa dapat
menyebutkan tindakan-tindakan penyelamatan seperti, berlindung di bawah meja, menjauhi rak-
rak buku dan benda yang tergantung, menjauhi jendela dan berlari menuju lapangan. Tingginya
proporsi siswa yang bisa menjawab dengan benar berbagai tindakan yang perlu diantisipasi jika
terjadi gempa ini dikarenakan seringnya tejadi gempa di Kota Padang. Jika terjadi gempa pada
saat jam pelajaran sebagian besar guru telah mengajarkan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan
siswa.
Diagram 4.3.4.1.10 Pengetahuan Siswa Tentang Tindakan yg
dilakukan bila terjadi gempa
0 20 40 60 80 100
Diagram 4.3.4.1.10
Pengetahuan Siswa Tentang Tindakan
Dilakukan Bila Terjadi Gempa
Seperti pengetahuan tentang gempa, pengetahuan tentang tsunami siswa - siswa di Kota Padang
cukup baik. Sebagian besar siswa bisa menjawab dengan benar pertanyaan terkait dengan
pengetahuan tentang tsunami. Proporsi siswa yang bisa menjawab dengan benar serangkaian
pertanyaan tentang penyebab, tanda-tanda dan tindakan - tindakan yang harus dilakukan jika air
tiba-tiba surut berkisar cukup besar (lebih dari 65 persen).
Berkaitan dengan pengetahuan tentang penyebab sebagian besar menyebutkan penyebab tsunami
adalah gempa bumi di bawah laut dan gunung meletus dibawah laut. Walaupun demikian masih
ada sebagian siswa yang memberikan jawaban bahwa tsunami bisa disebabkan oleh longsoran
di bawah laut dan badai/puting beliung. Kedua jawaban ini tidak benar, sehingga perlu lebih
disosialisasikan lagi kepada siswa tentang penyeba tsunami yang benar. Sementara itu terkait
dengan tanda-tanda tsunami hampir semua siswa bisa menjawab dengan benar bahwa salah satu
tanda tsunami adalah air laut tiba-tiba surut. Pengetahuan bahwa gempa yang besar sehingga
orang tdiak bisa berdiri dan adanya gelombang besar di cakrawala hanya diketahui oleh sekitar
duapertiga responden sebagai tanda-tanda tsunami.
100 90
80
64
60
38
40 417
13
20
0
Gempa bumi Gunun Longsora Badai/puttin
bawah meletus bawah beliung
bawah
Diagram 4.3.4.1.11
Pengetahuan Siswa Tentang
Penyebab Tsunami
Dilihat menurut zona tidak ada perbedaan yang menonjol antara pengetahuan siswa sekolah
yang terletak di zona rawan, hati-hati dan aman. Sedangkan apabila dilihat menurut tingkat
pendidikan terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat sekolah semakin baik pengetahuan
tentang tsunami, terutama yang terkait dengan penyebab dan tanda-tanda tsunami. Siswa siswa
60
40
20
0
Gempa besar Air laut tiba-tiba Gelombang
shg tdk bisa sutut besar di
berdiri cakrawala
Diagram 4.3.1.12
Pengetahuan Siswa Tentang Tanda-tanda Tsunami
40
24
20 15
11
0
SD SMP SMA
Gempa bumi di bawah Gunung meletus di bawah
Longsoran bawah Badai/puting
Diagram 4.3.1.13
Pengetahuan Siswa Tentang Penyebab
Terjadinya Tsunami Menurut Tingkat Sekolah
98
100 94
88 86 89
80
80 70 69
65
60
40
20
0
SD SMP SMA
Gempa besar shg tdk bisa Air laut tiba-tiba
Gelombang besar di
Diagram 4.3.1.14
Pengetahuan Siswa Tentang Tanda-tanda
Tsunami Menurut Tingkat Sekolah
Untuk kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya tsunami para siswa sekolah di Kota Padang
pada umumnya melakukan beberapa tindakan-tindakan yang sifatnya menambah pengetahuan
tentang tsunam. Tindakan yang umum dilakukan adalah mendengarkan informasi tentang gempa
dan tsunami dari radio, TV dan mengikuti pelatihan/simulasi tentang gempa dan tsunami. Sementara
itu tindakan yang sifatnya ‘action’ untuk mengurangi resiko seperti menyimpan buku dan peralatan
sekolah di tempat yang aman belum banyak dilakukan. 419
Apabila dilihat menurut tingkat pendidikan terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin besar tingkat kewaspadaan siswa. Hal ini terlihat dari lebih tingginya proporsi
siswa yang SMA yang melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya menambah pengetahuan tentang
gempa dan tsunami maupun yang sifatnya ‘action’ dibandingkan siswa SMP dan SD.
Media cetak dan elektronika merupakan sumber informasi tentang gempa dan tsunami yang
utama bagi siswa-mrid sekolah di Kota Padang. Besarnya peran media elektronik dan cetak
dalam menyebarluaskan informasi tentang gempa dan tsunami terutama setelah peristiwa Aceh.
Berbagai stasiun TV secara intensif menyiarkan informasi tentang gempa dan tsunami di Aceh.
Selain TV para siswa di Kota Padang juga mendapat informasi tentang gempa dan tsunami
melalui radio, baik RRI Kota Padang dan berbagai radio swasta. Salah satu radio yang sering
melakukan penyebarluasan informasi tentang gempa dan tsunami melalui berbagai acara seperti
telepon interaktif, talk show dan wawancara khusus adalah Radio swasta Pro News.
Walaupun belum ada kebijakan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan pengajaran tentang gempa
dan tsunami di sekolah, peran sekolah dalam meningkatkan pengetahuan siswa tentang tentang
gempa dan tsunami cukup besar. Hasil kajian menunjukkan bahwa hampir 86 persen responden
menyebutkan bahwa sekolah sebagai sumber informasi tentang gempa dan tsunami. Wawancara
dengan guru menunjukkan bahwa para guru secara umum telah memberikan infromasi tentang
Berbagai poster, rambu peringatan yang sudah dipasang di beberapa sudut Kota Padang belum
efektif memberikan informasi tentang gempa dan tsunami kepada para siswa. Demikian pula
buku saku, komik dan leaflet yang secara terbatas sudah disebarluaskan kepada beberapa sekolah
dan instansi pemerintah oleh LSM dan LIPI belum menjadi sumber informasi yang efektif
memberikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami pada siswa. Hal ini terlihat dari hasil kajian
yang menunjukkan bahwa kurang dari 50 persen responden yang menyatakan mendapatkan
informasi tentang gempa dan tsunami dari buku saku, komik, poster dan rambu peringatan.
Selain dari media (cetak maupun elektronik) dan sekolah, para siswa Kota Padang juga
mendapatkan informasi tentang gempa dan tsunami dari saudara dan kerabat. Dari hasil kajian
terlihat bahwa peran saudara dan kerabat dalam memberikan informasi tentang gempa dan tsunami
kepada siswa cukup besar. Peran sudara dan kerabat dalam memberikan informasi tentang
gempa dan tsunami ini lebih ditunjang oleh kemudahan komunikasi baik melalui telepon rumah
maupun seluler.
Saudara, kerabat 86
Sekolah 86
0 20 40 60 80 100
Diagram 4.3.4.1.15
Sumber Infromasi Tentang Gempa dan Tsunami
4.3.4.2. Kebijakan
Indikator yang dipakai untuk melihat parameter kebijakan di bidang pendidikan diantaranya
adalah adanya kebijakan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis tentang pentingnya materi
pendidikan bencana di sekolah-sekolah, baik tingkat SD, SMP atau SMA. Dalam kajian ini
Dari wawancara dengan berbagai narasumber dan hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan
komunitas sekolah dapat diketahui bahwa pada tingkat Kota Padang maupun tingkat sekolah
belum ada kebijakan tertulis yang dapat dipakai sebagai dasar untuk melaksanakan pendidikan
bencana kepada siswa di sekolah-sekolah. Namun demikian, secara tidak tertulis telah ada
kebijakan yang mengupayakan dilakukannya pendidikan bencana di sekolah-sekolah. Kebijakan
tidak tertulis tersebut diantaranya adalah adanya upaya Dinas Pendidikan Kota Padang untuk
melakukan kerjasama dengan LIPI yang telah mengembangkan buku panduan kelautan untuk
murid kelas 1 sampai dengan kelas 6 dan buku panduan guru. Dalam rencana kerjasama tersebut
Diknas Pendidikan Kota Padang akan membiayai pencetakan kembali (produksi) buku yang
rencananya akan dipakai di beberapa sekolah yang terletak di pinggir pantai. Sayangnya kerjasama
tersebut sampai sekarang belum bisa terealisasi. Akan tetapi dengan adanya upaya tersebut telah
menunjukkan adanya kepedulian pihak Dinas Pendidikan Kota Padang akan pentingnya
pendidikan bencana diberikan di sekolah-sekolah.
Selain rencana kerjasama di atas, LIPI bekerjasama dengan Kogami dan Dinas Pendidikan
Kota Padang pernah melakukan simulasi evakuasi di salah satu SD di Kota Padang. Simulasi
tersebut melibatkan guru, murid dari beberapa SD, SMP dan SMA yang ada di zona rawan
tsunami di Padang. Setelah diadakan simulasi tersebut, para guru dan murid yang terlibat
mempraktekkan pengalaman simulasi di sekolah masing-masing. Salah satu guru wakil peserta
simulasi dari SD yang letaknya di zona rawan yang diwawancarai mengatakan bahwa di sekolahnya
menerapkan kebijakan untuk melakukan simulasi evakuasi bencana gempa dan tsunami minimal
satu kali dalam satu bulan. Sekolah tersebut juga sudah mengidentifikasi tempat-tempat aman
sementara yang dapat dipakai untuk penyelamatan jika bencana tsunami terjadi. Dari FGD dengan
komunitas sekolah juga terungkap bahwa di beberapa sekolah telah menerapkan simulasi evakuasi,
terutama untuk mengantisipasi bencana gempa yang sering terjadi di Kota Padang. Sekolah-
sekolah tersebut memprakttekkan tindakan-tindakan penyelamatan jika terjadi gempa pada saat
jam pelajaran sekolah. Berbagai kegiatan simulasi yang diadakan oleh sekolah-sekolah tersebut
merupakan contoh telah adanya kepedulian para pengelola sekolah tentang pentingnya pendidikan
bencana di sekolah.
Jika dalam waktu dekat usulan tersebut belum direspon oleh walikota melalui Dinas Pendidikan
Kota Padang, FGD komunitas sekolah mengusulkan untuk dilakukan pendidikan di sekolah-
sekolah tertentu, terutama di sekolah yang terletak di zona rawan. Untuk melaksanakan
pendidikan bencana tersebut sekolah dapat bekerjasama dengan komite sekolah dengan
menggunakan dana BOS (biaya operasional sekolah). Dalam hal ini diperlukan peningkatan
pengetahuan guru tentang gempa dan tsunami melalui pelatihan singkat atau TOT.
Peserta workshop yang diadakan di balai kota juga menggarisbawahi pentingnya memberikan
pendidikan bencana secara formal dan informal di sekolah-sekolah, terutama mengenai jenis-jenis
gempa dan bahaya tsunami yang terjadi, baik secara ilmiah maupun bidang agama. Pendidikan
bencana tersebut dapat dilakukan dengan mengaktifkan pemberdayaan ekstra kurikuler di sekolah
seperti PMR, pramuka, sispala atau di tingkat masyarakat bisa melibatkan karang taruna dan
tokoh masyarakat.
Sekolah
Indikator tanggap darurat sekolah yang digunakan dalam kajian ini diantaranya adalah adanya
back-up/copy file dokumen penting, tersedinya peta dan rencana evakuasi, dan adanya peralatan
dan upaya pertolongan pertama. Berdasarkan indikator tersebut secara umum rencana tanggap
darurat sekolah-sekolah di Padang masih relatif rendah yang terlihat dari minimnya tindakan -
423
tindakan yang dilakukan oleh sekolah terkait dengan penyiapan back-up file atau copy dokumen
penting, perencanaan evakuasi dan kegiatan pertolongan pertama. Dari ketiga tindakan terkait
dengan rencana tanggap darurat tersebut, tindakan pertolongan pertama yang lebih banyak
dilakukan oleh sekolah, terutama penyiapan kotak P3K yang umumnya standar tersedia di setiap
sekolah. Kegiatan lain seperti posko kesehatan sekolah dan pengaktifan dokter kecil baru
dilakukan oleh sekitar 50 persen dari jumlah sekolah yang disurvai. Padahal kegiatan posko
kesehatan sekolah dan dokter kecil untuk beberapa sekolah telah menjadi kegiatan yang rutin
dilakukan.
Penyiapan rencana evakuasi yang dilakukan oleh sekolah juga masih sangat minim. Dari 22
sekolah yang disurvei hanya 14-29 persen yang melakukan rencana evakuasi seperti menyepakati
tempat-tempat evakuasi/pengungsian, membuat peta/jalur evakuasi dan melakukan latihan/simulasi.
Pembuatan peta/jalur evakuasi dan simulasi evakuasi masih belum menjadi perhatian oleh sekolah-
sekolah. Data survei menunjukkan bahwa hanya 14 persen sekolah yang telah membuat peta/
jalur evakuasi dan sekitar 24 persen yang melaksanakan latihan evakuasi. Masih minimnya
perencanaan evakuasi sekolah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain pengetahuan dan
Rencana tanggap darurat menyangkut penyiapan back-up file dan copy dokumen penting
tampaknya juga belum menjadi prioritas sekolah-sekolah di Padang. Data menunjukkan bahwa
hanya 27 persen sekolah yang menyatakan melakukan copy dokumen penting sekolah. Guru
sekolah di sebuah SD yang terletak di zona rawan menyatakan bahwa belum menjadi kebiasaan
bagi sekolah untuk membuat copy dokumen. Hal tersebut dikarenakan jika file penting telah
dibuat copynya tetapi disimpan di sekolah resikonya tetap sama akan hilang terkena sapuan
tsunami karena letak sekolah yang hanya sekitar 250 meter dari pantai. Para pengelola sekolah
belum terfikir untuk menyimpan file dokumen penting di tempat/lokasi yang aman dengan cara
dititipkan di salah satu guru yang tempat tinggalnya di zona aman atau di simpan di bank-bank
yang memberikan jasa pelayanan penyimpanan surat-surat penting.
Tabel 4.3.4.3.1
Rencana Kesiapsiagaan Sekolah Menurut Zona
Rencana kesiapsiagaan Zona Total
Sekolah Rawan Hati-hati Aman
Apakah sekolah ini menyiapkan back-up atau copy dokumen penting untukmengantisiapsi becana dan
tsunami?
- Ya 18.2 57.1 0.0 27.3
- Tidak 81.8 42.9 100.0 72.7
Apakah di sekolah ini terdapat kegiatan yang berkaitan dengan pertolongan pertama sbb:
Menyiapkan kotak P3K dan obat-obatan penting 72.7 100.0 75.0 81.8
N 11 7 4 22
80
60
40 30 30 29 25 29 24
25
20 14 14
14
20
10 14 9
0 0
0
Raw an Hati-hati Aman Total
Menyepakati tempat-tempat evakuasi
Membuat peta/jalur evakuasi
Menyiapkan peralatan dan perlengkapan evakuasi
Melakukan latihan/simulasi evakuasi
425
Diagram 4.3.4.3.1.
Rencana Evakuasi Menurut Zona
Secara umum rencana tanggap darurat berdasarkan tingkat sekolah menunjukkan adanya
perbedaan antara SD, SMP dan SMA, meskipun perbedaan tersebut tidak terlalu signifikan.
Tindakan rencana evakuasi semakin meningkat dengan naiknya tingkat sekolah. Hal ini tercermin
dari banyaknya SMA yang telah melakukan rencana evakuasi. Jumlah SMA yang telah
mengadakan rencana evakuasi berkisar antara 33 persen sampai 67 persen. Sedangkan proporsi
SD yang telah melakukan kegiatan yang sama hanya berkisar 0 persen – 23 persen. Sebaliknya,
kegiatan terkait dengan pertolongan pertama, justeru lebih banyak dilakuan di tingkat SD daripada
di tingkat SMA.
Guru
Informasi mengenai perencanaan tanggap darurat guru didapatkan dari dua pertanyaan mengenai
tindakan-tindakan apa yang dilakukan oleh guru untuk antisipasi terjadinya gempa bumi dan
tsunami. Pertanyaan pertama mengenai tindakan antisipasi apa yang akan dilakukan oleh guru
terkait dengan penyelamatan dokumen dan siswa, misalnya menyiapkan copy dokumen pelajaran
dan melatih siswa ntuk menyelamatkan diri. Pertanyaan yang kedua, mengenai tindakan-tindakan
darurat apa yang dilakukan jika terjadi gempa bumi dan tsunami.
Data survei menunjukan bahwa secara umum perencanaan penyelamatan dokumen dan antisipasi
penyelamatan siswa di kalangan guru masih relatif rendah. Hanya sekitar 55 persen responden
yang menyiapkan copy dokumen kelas dan mata pelajaran dan menempatkannya di tempat yang
aman. Di samping itu, guru yang menyatakan pernah melakukan pelatihan kepada siswa untuk
penyelamataan diri juga masih relatif rendah (54 persen). Tindakan antisipasi penyelamatan bahan
pelajaran/dokumen kelas dengan menempatkannya di tempat rendah atau memaku/mengikat
rak-rak buku ke dinding juga masih minim. Masih minimnya tindakan penyelamatan dokumen
dengan menempatkannya ke rak-rak yang aman dari bencan tsunami ini terkait kebijakan sekolah
dan biaya. Dokumen sekolah dan bahan-bahan materi pelajaran umumnya ditempatkan di ruang
guru atau ruang kepala sekolah. Jika seorang guru mempunyai kepedulian untuk berinisiatif
menempatkan rak-rak dokumen dan bahan materi pelajaran perlu berkonsultasi dengan kepala
sekolah karena menyangkut pembiayaan dan ketersediaan ruangan yang memadai. Wawancara
dan observasi ke salah satu SD yang terletak di daerah rawan dan salah satu gurunya pernah
mengikuti pelatihan simulasi kesiapsiagaan bencana terungkap bahwa menurut para guru sebaiknya
ada rak-rak khusus untuk mengamankan dokumen sekolah. Akan tetapi untuk merealisasikan
Kajian ini juga menemukan bahwa rencana tanggap darurat guru SD lebih baik dari guru SMP
dan SMA, baik menyangkut penyelamatan penyelamatan dokumen maupun tindakan jika terjadi
gempa pada saat mengajar. Kondisi ini kemungkinan juga terkait dengan telah adanya sosialisasi
yang dilakukan oleh LSM dan lembaga lain yang peduli tentang gempa da tsunami di Padang.
0
SD SMP SMA Total
Diagram 4.3.4.3.2
Rencana Ranggap Darurat Guru
Menurut Tingkat Sekolah
Siswa 1
2
Rencana tanggap darurat siswa dalam kajian ini dilihat dari serangkaian indikator, seperti: persiapan
pelatihan, ketersediaan alamat-alamat dan sarana-sarana penting, tindakan penyelamatan barang-
3
barang dan perlengkapan, akses dan ketersediaan peta dan jalur evakuasi. Secara umum hasil
kajian menunjukkan bahwa rencana tanggap darurat siswa cukup baik, terlihat dari relatif tingginya
proporsi siswa yang bisa menjawab dengan benar serangkaian tentang rencana penyelamatan. 4
Jika dicermati rencana tanggap darurat menyangkut usaha dan persiapan tindakan yang perlu 5
dilakukan siswa lebih baik dibandingkan akses untuk mendapatkan materi-materi tentang informasi
gempa/tsnami, peta/jalur evakuasi, peralatan dan perlengkapan penyelamatan, posko kesehatan 6
dan palang merah remaja (PMR). Data pada 4.3.4.3.2. menunjukkan bahwa proporsi siswa
yang bisa menjawab pertanyaan tentang persiapan yang perlu dilakukan dan tindakan
penyelamatan barang-barang dan perlengkapan yang diperlukan cukup baik, nilainya diatas 60 7
persen. Dilihat menurut zona, data menunjukkan bahwa rencana penyelamatan siswa di zona
rawan justeru lebih rendah dibandingkan siswa di zona hati-hati dan aman. Hal ini terlihat dari
Tabel 4.3.4.3.3
Rencana Penyelamatan Siswa Menurut Zona
Barang dan perlengkapan apa saja yang perlu kamu selamatkan jika terjadi gempa dan tsunami?
- Raport/ijazah dan surat-surat penting 94.2 86.1 91.0 91.2
- Tas/kantong/kotak siaga bencana (yg 58.1 64.2 68.8 61.7
berisi makanan seperlunya)
- Surat-surat dan barang-barang penting 93.6 90.6 95.1 92.9
- Barang-barang kesayangan 35.1 32.2 49.3 36.4
N 460 307 153 920
429
Materi tentang gempa/tsunami dan fasilitas penyelamatan
Akses siswa untuk mendapatkan materi dan bahan tentang gempa dan tsunami berupa buku,
poster dan VCD/kaset dari sekolah relatif rendah. Secara umum data menunjukkan bahwa siswa
yang mempunyai akses terhadap berbagai bahan/materi tersebut jumlahnya kurang dari 65 persen.
Sedangkan apabila dilihat menurut zona terdapat sedikit kecenderungan siswa yang tinggal di
zona rawan mempunyai akses mendapatkan materi/bahan tentang gempa dan tsunami yang lebih
rendah dibandingkan dengan siswa yang ada di zona hati-hati dan aman. Padahal siswa yang
berada di zona rawan lebih memerlukan informasi tentang gempa dan tsunami dibandingkan
dengan siswa yang ada di zona hati-hati dan aman. Temuan ini dapat menjadi masukan bagi
pemerintah maupun LSM yang mempunyai aktifitas mensosialisasikan kesiap-siagaan masyarakat
dalam menghadapi bencana di Kota Padang yang selama ini cenderung terfokus ke zona rawan,
namun demikian hasilnya belum begitu efektif (Diagram 4.3.4.3. 4).
54
Aman 51
68
58
Hati-hati 52
69
47
Rawan 47
61
0 10 20 30 40 50 60 70 80
VCD, kaset tentang gempa dan tsunami
P o ster, leaflet, klipping tentang gempa dan tsunam
B uku tentang gempa dan tsunami
Diagram 4.3.4.3.4.
Akases Murid Terhadap Materi tentang
Gempa dan Tsunami di Sekolah
Kajian ini menemukan bahwa fasilitas dan peralatan untuk rencana tanggap darurat yang dapat
diakses oleh siswa masih minim, terutama menyangkut peta dan peralatan evakuasi. Data
menunjukkan bahwa proporsi siswa yang mempunyai akses untuk memanfaatkan peta/jalur dan
peralatan evakuasi dari sekolah hanya sekitar 35 persen. Berbagai fasilitas dan peralatan
penyelamatan yang relatif dapat diakses dengan baik oleh siswa adalah kotak P3K dan Posko
kesehatan sekolah. Kedua fasilitas ini merupakan fasilitas standar yang umum dimiliki oleh sekolah
untuk mengatasi kedaruratan jika terjadi kecelakaan di sekolah atau ada siswa yang sakit. Temuan
ini mempunyai implikasi bahwa secara umum ketersediaan fasilitas dan peralatan penyelamatan
untuk menghadapi bencana di sekolah belum memadai.
0
Raw an Hati-hati Aman Total
Peta dan jalur evakuasi
Peralatan dan perlengkapan evakuasi
Kotak P3K dan obat-obatan
Posko Kesehatan Sekolah
Palang Merah Remaja
Diagram 4.3.4.3.4.
Akases Murid Terhadap Materi tentang
Gempa dan Tsunami di Sekolah
40
20
0
Raw an Hati- Aman SD SMP SMA Total
hati
Diagram 4.3.4.4.1.
Akses Sekolah Terhadap Peringatan Bencana Menurut Zona
dan Tingkat Sekolah
Diagram 4.3.4.4.2.
Ketersediaan Perlatan Penyebarluasan Peringatan menurut Zona
Dan Tingkat Sekolah
Perbedaan peringatan bencana yang cukup signifikan terjadi antara SD, SMP dan SMA. Data
menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat sekolah semakin besar untuk mendapatkan akses
informasi tentang bencana. Demikian pula dengan peralatan untuk penyebarluasan informasi dan
respon terhadap peringatan, tingkat SMA lebih baik dibandingjan dengan SMP dan SD.
Guru
Pengetahuan guru tentang adanya peringatan bencana dan tindakan - tindakan yang harus dilakukan
jika terjadi tsunami pada saat jam pelajaran mempunyai peran penting dalam meningkatkan kesiap-
siagaan komunitas sekolah menghadapi bencana. Melalui kepala sekolah dan guru sekolah
berperan menyebarluaskan peringatan bencana tersebut kepada siswa, staf sekolah dan
masyarakat di sekitar sekolah melalui guru. Oleh karena itu jika guru mempunyai pengetahuan
tentang adanya peringatan dan sekolah mempunyai akses untuk mendapatkan peringatan bencana
maka penyebarluasan informasi dan proses evakuasi dapat secara cepat dilakukan. 433
Hasil kajian menunjukkan bahwa secara umum pengetahuan guru tentang adanya peringatan
bencana relatif cukup. Ini tercermin dari sekitar 65 persen responden yang nmenyatakan
mengetahui adanya peringatan bencana. Sekolah yang berada di zona rawan yang mempunyai
resiko lebih tinggi untuk terkena bencana tsunami diharapkan mempunyai guru yang pengetahuan
tentang peringatan bencana lebih baik dibandingkan dengan guru yang ada di zona hati-hati dan
aman. Namun demikian dalam kajian ini tidak ditemukan adanya perbedan yang signifikan
pengetahuan guru tentang peringatan bencana antara guru yang mengajar di zona rawan, hati-hati
dan aman. Sedangkan dilihat dari tingkat sekolah guru SMA cenderung mempunyai pengetahuan
tentang adanya peringatan bencana yang lebih rendah dibadingkan dengan guru SMP dan SD
(Diagram 4.3.4.4.3).
Tindakan yang akan dilakukan guru jika terjadi tsunami pada saat mengajar menunjukkan adanya
kepedulian yang cukup tinggi untuk melakukan evakuasi terhadap siswa. Menenangkan diri agar
tidak panik merupakan langkah yang baik dilakukan oleh guru. Data menunjukan bahwa lebih
proporsi responden yang menjawab akan menenangkan diri jika mendengar peringatan bencana
ckup tinggi (hampir 97 persen), diikuti dengan dari rencana melakukan evakuasi menuju ke
tempat pengungsian dan lari menuju ke tempat yang lebih tinggi. Dari serangkaian tindakan yang
akan dilakukan guru jika mendengar peringatan tsunami, tindakan penyelamatan siswa lebih
diutamakan dari pada penyelematan dokumen. Hal ini terlihat dari lebih kecilnya proporsi
responden akan melakukan penyelamatan dokumen daripada tindakan lainnya.
Dilihat menurut zona, tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai tindakan yang akan dilakukan
antara guru yang mengajar di zona rawan, hati-hati dan aman. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan
dan antisipasi rencana penyelamatan semua guru di Kota Padang relatif sama, meskipun mereka
mengajar di zona rawan, hati-hati dan aman.
No Sekolah
Tindakan yang akan dilakukan guru Zona Total
Rawan Hati-hati Aman
Memandu siswaDariuntuk lari ke tempat
serangkaian yangyang
indikator tinggidipakai
95.1untuk menilai
90.8 93.8 sumber
mobilisasi 93.5 daya sekolah, seperti
Memandu siswa menuju tempat 96.1 93.8 93.8 95.0
adanya petugas khusus berkaitan dengan kesiap-siagaan bencana, keikutsertaan guru/staff dalam
pengungsian/evakuasi
435
pelatihan/seminar/workshop, penyiapan materi tentang bencana alam, kegiatan simulasi yang
Menyelamatkan dokumen penting 77.7 81.3 78.1 78.9
dilakukanibu
Membantu anak-anak, sekolah, tersedianya
hamil, orang tua dan anggaran
91.3 dan76.9
adanya bimbingan
78.1 dari
84.5LSM atau pemerintah
orang cacat dimenunjukkan
sekitar sekolahbahwa mobilisasi
ke tempat aman sumberdaya sekolah masih relatif rendah. Hanya sebagian kecil
sementara sekolah (18 persen) yang telah membentuk petugas khusus untuk penanganan bencana. Demikian
Menenangkanpula keikutsertaan
diri/tidak panik para guru/staff sekolah dalam mengikuti
94.2 98.5 pelatihan/seminar
100.0 96.5 tampaknya berkorelasi
Mematikan listrik
dengandi sekolah 82.4
kegiatan simulasi, evakuasi, penyiapan 87.7
materi dan84.4 84.4
pengajaran tentang bencana gempa
Segera pulangbumi/tsunami
ke rumah 49.5 67.7 62.5 57.5
yang dilakukan oleh sekolah masih rendah. Pelatihan yang banyak diikuti oleh
N 100 67 33 200
para staf/guru terutama yang berkaitan dengan pengetahuan tentang bencana, sementara pelatihan
yang berkaitan dengan rencana evakuasi, pertolongan pertama, sistem peringatan dini masih
minim. Belum maksimalnya keikutsertaan guru/staf dalam pelatihan berimplikasi pada rendahnya
kegiatan kesiap-siagaan bencana di sekolah. Data memperlihatkan bahwa hanya sekitar 36 persen
sekolah yang pernah melakukan simulasi/evakuasi. Demikian pula sekolah yang melakukan
penyiapan materi bencana dan mengajarkannnya pada siswa hanya dilakukan oleh sekitar 41
persen sekolah. Rendahnya mobilisasi sumber daya sekolah ini juga tercermin dari belum
dialokasikan dana sekolah untuk kegiatan kesiap-siagaan menghadapi bencana. Dari 22 sekolah
yang disurvei tidak ada satu sekolahpun yang telah mengalokasikan dananya.
Apakah di sekolah ini telah menyiapkan bahan dan materi yang berkaitan dengan
kesiap-siagaan menghadapi bencana sbb:
- Buku-buku tentang gempa dan 36.4 57.1 25.0 40.9
tsunami
- Poster, leaflet, buku saku, komik, 36.4 50.0 25.0 38.1
kliping tentang gempa dan tsunami
- VCD, kaset tentang gempa dan 9.1 0.0 50.0 14.3
tsunami
Apakah di sekolah ini telah memasukkan materi tentang bencana dalam mata pelajaran
yang relevan
- Ya 45.5 42.9 25.0 40.9
- Tidak 54.5 57.1 75.0 59.1
Apakah di sekolah initeah melakukan simulasi/gladi evakuasi untuk siswa
Peningkatan mobilisasi sumber daya sekolah selain berasal dari intern sekolah yang menyangkut
kapasitas dan kualitas guru/staff dalam menghadapi kesiap-siagaan bencana, tetapi juga dapat
berasal dari luar sekolah. Peningkatan kapasitas guru dan staff dari luar ini dapat dilihat dari
adanya bantuan bimbingan dari berbagai stakeholders terkait, seperti pemerintah, LSM, ORNOP
lain dan pihak swasta. Hasil kajian menunjukkan bahwa peningkatan mobilisasi sumber daya 437
sekolah yang dilakukan oleh stakeholders belum optimal. Keterlibatan pemerintah dalam
memobilisasi sumber daya sekolah masih minim. Dari 22 sekolah hanya sekitar 23 persen yang
pernah mendapatkan bimbingan atau bantuan dari pemerintah. LSM di Kota Padang tampaknya
lebih berperan dalam memobilisasi sumber daya sekolah, terlihat sekitar 43 persen sekolah pernah
mendapatkan bimbingan dan bantuan. Peran pihak swasta dalam peningkatan mobilisasi sumber
daya sekolah belum ada. Dari 22 sekolah tidak ada satupun yang pernah mendapat bimbingan
dari pihak swasta.
Hasil kajian menunjukkan bahwa mobilisasi sumber daya sekolah di wilayah zona rawan lebih
baik dibandingkan dengan sekolah yang ada di zona aman. Hal ini terlihat antara lain dari tingginya
keikutsertaan guru/staff sekolah dalam pelatihan/seminar/workshop tentang bencana. Para guru/
staff yang berada di sekolah zona rawan antara 27 persen - 55 persen pernah mengikuti berbagai
pelatihan/seminar/workshop tentang bencana, rencana evakuasi, pertolongan pertama, sistim
peringatan dini dan simulasi evakuasi.
Sebaliknya para guru/staff yang mengajar di sekolah hati-hati dan aman kurang mendapatkan
kesempatan untuk mengikuti kegiatan pelatihan. Dampak dari masih rendahnya akses guru/staff
Dilihat menurut tingkat sekolah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara mobilisasi tingkat
SD, SMP dan SMA. Data menunjukkan adanya sedikit perbedaan terutama di penyiapan materi
bencana gempa dan tsunami dan memasukkanya dalam mata pelajaran yang relevan. Untuk
tingkat SMA proporsi sekolah yang telah menyiapkan materi dan mengajarkannya kepada anak
didik lebih besar daripada SMP dan SD.
Mobilisasi sumber daya sekolah yang dilakukan oleh pemerintah dan ORNOP lain tidak terfokus
pada satu tingkatan sekolah saja, tetapi merata dari SD sampai SMA. Ini terlihat dari data yang
menunjukkan bahwa proporsi sekolah yang mendapat bimbingan dari ORNOP dan pemerintah
dari tingkat SD sampai SMA hampir sama nilainya. Sebaliknya bimbingan yang dilakukan oleh
LSM terlihat lebih terfokus di tingkkat sekolah dasar.
Guru
Mobilisasi sumber daya guru merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan kesiapsiagaan
menghadapi bencana pada komunitas sekolah. Dalam kajian ini indikator yang dipakai untuk
menilai mobilisasi sumber daya guru antara lain adalah keikutsertaan guru dalam pelatihan/
workshop/seminar tentang bencana dan kesempatan melakukan sosialisasi pengethuan tentang
bencana kepada masyarakat.
Kajian ini menemukan bahwa secara umum mobilisasi sumber daya guru di Kota Padang masih
minim. Hanya sekitar 20-30 persen guru yang mendapatkan kesempatan mengikuti pelatihan/
seminar/workshop. Tindakan guru untuk menginformasikan (sosialisasi) ke masyarakat
pengetahuan tentang kesiap-siagaan menghadapi bencana juga masih minim (53 persen).
Menurut zona tidak ada perbedaan perbedaan dalam mendapatkan kesempatan mendapatkan
pelatihan, seminar dan worshop bagi guru yang mengajar di zona rawan, hati-hati dan aman.
Sedangkan menurut tingkat sekolah terdapat kecenderungan semakin tinggi tingkat sekolah
semakin sedikit guru mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pelatihan, seminar, workshop.
Wawancara mendalam dengan salah seorang guru SMP yang lokasi sekolahnya berada di zona
rawan mengatakan bahwa sampai sejauh ini belum pernah diberikan undangan/seminar/workshop
tentang kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana. Pengetahuan tentang bencana secara umum
didapat dari media elektronik dan media massa yang menurut nara sumber sifatnya hanya umum-
umum.Sedangkan Pengetahuan tentang penyebab, cirri-ciri gempa dan tsunami serta tindakan
yang mesti dilakukan jika ada tanda-tanda tsunami belum terlalu dipahami. Dengan kondisi ini
nara sumber merasa kapasitasnya kurang memadai untuk ikut berperan serta melakukan
penyebarluasan informasi ke masyarakat.
0 20 40 60 80 100
· Sistem peringatan dini
· Perencanaan tanggap darurat
· Pengetahuan tentang bencana
Diagram 4.3.4.5.1
Akses Guru Untuk Mengikuti
Pelatihan Tentang Bencana Menurut Tingkat Sekolah
Siswa
Selain pengetahuan, sikap; perencanaan penyelamatan, warning system, mobilisasi sumber daya
merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam rencana kesiap-siagaan menghadapi
Data survei menunjukkan bahwa mobilisasi sumber daya siswa masih rendah yang terlihat dari
kecilnya proporsi siswa yang pernah mengikuti berbagai kegiatan kesiapsiagaan menghadapi
bencana. Proporsi siswa yang pernah mengikuti berbagai pelatihan tentang kesiapsiagan bencana
berkisar antara 34-69 persen. Siswa yang mengatakan pernah mengikuti latihan P3K dan simulasi
evakuasi hanya sekitar 34 persen. Sementara yang pernah megikuti pelatihan tentang bencana
dan latihan kepramukaan sekitar 61 persen.
Tabel 4.3.4.5.3
Mobilisasi Siswa Menurut Zona
Hasil kajian ini juga memperlihatkan bahwa mobilisasi sumber daya siswa di zona aman justeru
lebih baik dari siswa yang berada di zona rawan dan hati-hati. Proporsi siswa di zona aman yang
pernah mengikuti pelatihan tentang kesiap-siagaan menghadapi bencana berkisar 38 persen
sampai 74 persen dan di zona rawan proporsinya paling kecil 32 persen dan yang terbesar 70
persen.
Apabila dilihat menurut tingkat sekolah, terdapat kecenderungan mobilisasi siswa di tingkat SD
justeru lebih baik dari siswa di tingkat SMA. Data menunjukkan bahwa proporsi siswa yang
pernah mengikuti latihan/simulasi evakuasi dan P3K di tingkat SD berturut-turut adalah 40 persen
dan 36 persen. Sebaliknya, di tingkat SMA proprosi tersebut adalah berturut-turut adalah 24
persen dan 33 persen.
Indeks kesiapsiagaan komunitas sekolah Kota Padang nilainya sebesar 59. Indeks komunitas
sekolah ini merupakan gabungan indeks sekolah, guru dan siswa. Dari ketiga komponen indeks
komunitas sekolah tersebut, kesiapsiagaan siswa mempunyai nilai indeks tertinggi sebesar 80,
pada level sangat siap. Sebaliknya kesiapsiagaan sekolah justeru mempunyai indeks terendah 441
sebesar 40, ada pada level belum siap. Sementara itu, indeks kesiapsiagaan guru nilainya 63,
pada level siap.
diagram 4.3.4.6.1 Indeks Kesiapsiagaan Komunitas
Sekolah Kota Padang
100 80
63
80 59
60 40
40
20
0
Sekolah Guru Siswa Komunitas
Sekolah
Diagram 4.3.4.6.1.
Indeks Kesiapsiagaan Komunitas
Sekolah Kota Padang
Belum adanya kebijakan tertulis tentang pentingnya pelajaran bencana di sekolah tersebut
mempunyai implikasi terhadap rendahnya parameter kesiapsiagaan menghadapi bencana di tingkat
sekolah. Nilai indeks EP, WS dan RMC di tingkat sekolah sangat rendah dibandingkan dengan
nilai indeks parameter EP, WS dan RMC untuk guru dan siswa. Oleh karena itu, kebijakan
tertulis pada level kota (Dinas Pendidikan Kota Padang) yang mendukung pelaksanaan pemberian
pelajaran tentang bencana alam di sekolah-sekolah sangat diperlukan. Selain kebijakan sebagai
landasan pelaksanaanya, juga diperlukan fasilitas pendukung seperti materi/buku acuan dan
pelatihan kepada guru.
Dilihat per parameternya nilai indeks tertinggi adalah dari pengetahuan dan sikap (KAP) dan
nilai terendah adalah dari parameter mobilisasi sumber daya (RMC). Hal yang mengagetkan
adalah untuk parameter KAP, komponen parameter guru indeksnya hanya 65 sedangkan untuk
siswa 85. Demikian juga parameter RMC, komponen parameter guru nilainya juga jauh lebih
rendah dari siswa (masing-masing 39 dan 66). Padahal guru sebagai ‘stakeholders’ utama untuk
komunitas sekolah sangat berperan dalam meningkatkan kesiapsiagaan sekolah. Rendahnya nilai
indeks RMC guru dibandingkan dengan RMC siswa ini terkait dengan kurangnya akses guru
terhadap kesempatan untuk mendapatkan pelatihan/workshop/seminar. Jika ada seminar/
workshop/pelatihan tentang bencana dan simulasi evakuasi yang diadakan oleh instansi pemerintah,
LSM dan Ornop peserta dari setiap sekolah diwakili oleh satu atau dua orang guru. Guru yang
mewakili sekolah sebagai peserta tersebut biasanya kepala sekolah, wakil kepala sekolah atau
guru yang mengajar mata pelajaran tertentu. Dengan demikin tidak semua guru mendapatkan
akses yang sama untuk mengikuti pelatihan/workshop/ seminar. Sebaliknya siswa mempunyai
Tabel 4.3.4.6.1
Indeks Tingkat Kesiapsiagaan Komunitas Sekolah
Tingkat kesiapsiagaan sekolah secara umum sangat rendah, dengan nilai indeks sebesar 40 (kurang
siap). Parameter yang nilai indeksnya relatif baik hanya kebijakan (PS) dengan nilai 57, sedangkan 443
tiga parameter lainnya, yaitu perencanaan penyelamatan (EP), peringatan bencana (WS) dan
mobilisasi sumber daya (RMC) nilainya sangat rendah dibawah 40 atau pada level belum siap.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum jumlah sekolah di Kota Padang yang telah mempunyai
perencanaan penyelamatan jika terjadi bencana masih relatif kecil. Sebagian besar sekolah belum
melakukan upaya perencanaaan penyelamatan jika terjadi bencana, seperti membuat peta/jalur
evakuasi, pemyiapkan peralatan evakuasi, menyepakati tempat evakuasi dan melakukan simualsi
evakuasi. Demikian pula upaya peningkatan mobilisasi sumber daya (RMC) belum secara optimal
mendapat perhatian ole pengelola sekolah. Hal ini antara lain terlihat dari relative kecilnya jumlah
guru/staff yang mendapat pelatihan/seminar/workshop tentang bencana dan minimnya bahan/
materi tentang bencana yang disediakan oleh sekolah. Di samping mobilisasi yang sifatnya internal
sekolah, mobilisasi eksternal yang tercermin dari adanya bantuan/fasilitasi dari pemerintah, ORNOP
dan LSM juga rendah (lihat bagian 4.3.4.5).
Tingkat kesiapsiagaan antara sekolah yang berada di zona rawan, hati-hati dan aman cukup
bervariasi. Sekolah yang terletak di zona hati-hati mempunyai indeks kesiapsiagaan bencana
yang jauh lebih baik daripada sekolah di zona rawan dan aman. Lebih tingginya indeks
kesiapsiagaan sekolah di zona hati-hati ini dikarenakan parameter kebijakan (PS). Selain itu
parameter EP dan WS meskipun nilainya rendah dan masuk dalam kategori kurang siap, tetapi
nilai indeks ini masih lebih baik daripada nilai indeks EP dan WS sekolah yang ada di zona rawan
dan aman.
Indeks kesiapsiagaan sekolah pada tingkat pendidikan SD jauh lebih rendah dari sekolah level
yang lebih tinggi (SMP dan SMA). Indeks kesiapsiagan SD sebesar 35 atau pada level tidak
siap, sedangkan indeks kesiapsiagaan SMP dan SMA keduanya ada ada level kurang siap dengan
nilai amsing-masing 48 dan 41. Rendahnya nilai indeks kesiapsiagaan SD ini dikarenakan
parameter EP, WS dan RMC yang nilainya sangat kecil. Hal ini mencerminkan bahwa jumlah SD
di kota Padang yang telah berupaya untuk melakukan perencanaan penyelamatan jika terjadi
bencana (EP) masih relatif kecil . Demikian pula usaha untuk melakukan mobilisasi sumber daya
masih minim dan sistem peringatan bencana.
Indeks kesiapsiagaan guru dalam menghadapi bencana sebesar 63 atau masuk dalam kategori
siap. Jika dilihat masing-masing parameter, indeks terendah adalah dari parameter mobilisasi
sumber daya dan indeks tertinggi dari parameter peringatan bencana. Rendahnya indeks mobilisasi
sumber daya ini mengindikasikan masih minimnya akses guru untuk mendapatkan kesempatan
mengikuti berbagai pelatihan/seminar/workshop tentang bencana yang diadakan oleh pemerintah
maupun lembaga non-pemerntah termasuk LSM di Kota Padang. Oleh karena itu upaya untuk
Hasil kajian ini tidak menemukan perbedaan yang signifikan tingkat kesiapsiagaan guru menurut
zona. Tingkat kesiapsiagaan guru yang sekolahnya berada di zona rawan sebesar 64 dan indeks
kesiapsiagan di zona hati-hati dan aman sebesar 63. Untuk masing-masing parameter juga tidak
ada perbedaan yang mencolok antara zona rawan, hati-hati dan aman, kecuali parameter mobilisasi
sumber daya. Indeks mobilisasi sumber daya zona rawan justeru rendah dari zona hati-hati dan
aman.
Tabel 4.3.4.6. 3
Tingkat Kesiapsiagaan Guru
Menurut Zona dan Tingkat Sekolah
Parameter Zona Tingkat Sekolah Total
Kesiapsiagaan Rawan Hati- Aman SD SMP SMA
hati
Pengetahuan dan 66 63 64 66 63 62 65
Sikap
Perencanaan 64 65 67 71 60 8 65
Penyelamatan
Peringatan Bencana 75 77 75 77 77 68 76
Mobilisasi sumber 33 47 42 46 32 34 39 445
daya
Total 64 63 63 66 61 60 63
Dilihat menurut tingkat sekolah, terdapat kecenderungan bahwa indeks kesiapsiagaan guru SD
lebih baik dibandingkan dengan indeks kesiapsiagaan guru SMP dan SMA. Faktor yang
mempengaruhi rendahnya indeks kesiapsiagaan guru SMA dan SMP dibandingkan dengan guru
SD ini antara lain adalah parameter mobilisasi sumber daya guru di tingkat SMP dan SMA yang
sangat rendah, berturut turut indeksnya adalah 32 dan 34. Lebih lanjut rendahnya indeks mobilisasi
sumber daya guru SMA ini berdampak juga pada rendahnya perencanaan penyelamatan dan
system peringatan dini (nilainya masing-masing 58 dan 68).
Rendahnya indeks mobilisasi sumber daya guru di zona rawan dan pada tingkat pendidikan
SMP dan SMA ini mempunyai implikasi bagi pemerintah Kota Padang dan lembaga non-
Kesiapsiagaan siswa dalam menghadapi bencana berada pada posisi sangat siap dengan nilai
indeks 80. Tingginya indeks kesiap-siagaan siswa ini terutama dikarenakan kontribusi indeks
dari parameter pengetahuan dan sikap tentang bencana dan sistem peringatan bencana yang
nilainya masing-masing 83 dan 82. Parameter yang nilai indeksnya masih relatif rendah adalah
perencanaan penyelamatan dan mobilisasi sumber daya siswa. Temuan ini menggambarkan
perlunya meningkatkan perencanaan penyelamatan dan mobilisasi sumber daya siswa. Peningkatan
perencanaan penyelamatan siswa ini terutama difokuskan pada pemberian akses yang lebih luas
pada siswa untuk mendapatkan bahan/materi terkait dengan pengetahuan tentang bencana dan
fasilitas penyelamatan/tanggap darurat seperti peta/jalur dan peralatan evakuasi. Hasil kajian
pada perencanaan penyelamatan menunjukkan bahwa akses siswa untuk mendapatkan bahan
dan peralatan evakuasi tersebut dari sekolah masih minim (lihat bagian 4.3.4.3). Sementara itu,
terkait dengan mobilisasi sumber daya siswa, aspek yang perlu ditingkatkan adalah akses siswa
untuk mengikuti pelatihan simulasi evakuasi dan P3K termasuk dokter kecil, PMR. Hal tersebut
dikarenakan masih minimnya siswa mendapatkan kesempatan mengikuti simulasi/evakuasi dan
pelatihan dokter kecil (lihat bagian 4.3.4.5).
Kajian ini tidak menemukan perbedaan yang signifikan tingkat kesiap-siagaan siswa di zona
rawan, hati-hati dan aman. Tingkat kesiapsiagaan siswa di zona rawan justeru lebih rendah dari
tingkat kesiap-siagaan siswa yang ada di zona hati-hati dan aman, meskipun perbedaanya tipis.
Jika dicermati, parameter yang nilai indeksnya masih rendah pada tingkat kesiapsiagaan siswa di
zona rawan adalah perencanaan penyelamatan dan mobilisasi sumber daya.
Menurut tingkat pendidikan terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara indeks kesiapsiagaan
siswa di tingkat SD dengan indeks kesiapsiagaan siswa di tingkat SMP dan SMA. Indeks
kesiapsiagaan siswa SD berada pada tingkat siap (78), sedangkan indeks kesiapsiagaan siswa
di tingkat SMP dan SMA berada pada level sangat siap (83 dan 82). Rendahnya indeks
kesiapsiagaan siswa SD ini dikarenakan parameter KAP dan peringatan bencana (WS) siswa
SD yang jauh lebih rendah dibandingkan KAP dan WS siswa SMP dan SMA. Sedangkan
parameter mobilisasi sumber daya (RMC) meskipun nilainya relatif rendah sebesar 69 (level
siap), tetapi nilai ini masih lebih tinggi dari parameter RMC siswa SMP dan SMA.
Selain mengkaji kesiapsiagaan tiga stakeholders utama, yaitu pemerintah, rumah tangga dan
komunitas sekolah, kajian ini juga melihat peran stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan
masyarakat menghadapi bencana di Kota Padang. Stakeholders pendukung yang dimaksudkan
dalam kajian ini diantaranya adalah LSM/Ornop, organisasi profesi, kelompok media, sektor
swasta dan berbagai organisasi kemasyarakatan. LSM dan Organisasi Non Pemerintah (Ornop)
di Kota Padang yang sudah mempunyai kegiatan terkait dengan kesiapsiagaan menghadapi
bencana adalah Yayasan Kogami (Komunitas Siaga Tsunami) dan PMI. Berbagai kelompok 447
media yang berperan dalam menyebarluaskan informasi tentang bencana di Kota Padang
diantaranya RAPI/ORARI, PRSNI dan Padang Press Club. Sektor swasta atau pelaku bisnis
yang berperan dalam mengantisipasi bencana diantaranya adalah PT Semen Padang. Peran
kelompok profesi, seperti relawan yang tergabung dalam SAR dan Global Rescue Network
juga tidak dapat diabaikan dalam kesiapsiagaan bencana Kota Padang.
4.3.5.1. Pengetahuan
Indikator yang dipakai untuk mengetahui peran stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan
bencana, khususnya terkait dengan parameter pengetahuan adalah adanya fakta/data/kontribusi
dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang kejadian alam dan bencana alam serta
bagaimana mengurangi resiko apabila bencana terjadi. Selain itu dilihat juga orientasi terhadap
resiko bencana yang digambarkan dari motivasi stakeholders pendukung untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat. Berbagai stakeholders pendukung yang berperan dalam kesiapsiagaan
bencana, utamanya terkait dengan peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
Secara umum pengetahuan dan sikap para stakeholders pendukung di kota Padang sebenarnya
cukup memadai, para supporting stakeholder telah mengikuti berbagai pelatihan tentang bencana,
dan bahkan beberapa diantaranya telah pula mengambil inisitif untuk mengadakan panel diskusi
tentang kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Wahana
Lingkungan Hidup tanggal 18 Oktober 2004 di Kota Padang.
Kogami berperan cukup besar di dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang bencana
dan resiko bencana, khususnya gempa dan tsunami. Upaya meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang bencana gempa bumi dan tsunami yang dilakukan oleh Kogami antara lain adalah
pengadaan sarana prasarana edukasi dan pelatihan master trainer umum. Pengadaan sarana
dan prasarana edukasi diantaranya adalah pamflet, leaflet, brosur, billboard dan buku-buku.
Pelatihan master trainer umum utamanya melatih tokoh masyarakat, tokoh pemuda, ulama,
pemerintah dan berbagai relawan NGO bencana dan guru sekolah. Mereka yang telah dilatih ini
diharapkan dapat melaksanakan edukasi kepada target masyarakat sesuai dengan posisi dan
peran trainer di dalam masyarakat. Seperti misalnya untuk pelatihan sistim siaga bencana berbasis
sekolah dilaksanakan pelatihan dan sosialisasi tentang bencana kepada guru dan murid. Dalam
hal ini Kogami telah melakukan pelatihan dan sosialisasi di berbagai sekolah dari tingkat SD/
sederajat sampai SMA/sederajat, terutama yang terletak di zona merah atau awas tsunami.
Sementara itu pelatihan sistim siaga bencana berbasis masyarakat dilaksanakan dengan edukasi
dari pintu ke pintu melalui tokoh masyarakat setempat seperti ketua RT dan RW mapun pemuda-
pemuda setempat. Dalam hal ini Kogami melakukan pelatihan terhadap para master trainer dari
kelompok tokoh masyarakat, ulama dan pemuda. Kegiatan pelatihan dan sosialisasi tentang
kesiapsiagaan bencana yang dilakukan oleh Kogami dapat dilihat dalam skema berikut ini:
Kelompok Masyarakat
Homogen (komunitas
sekolah) dan heterogen
Kelompok stakeholders pendukung lain seperti para mahasaiswa pecinta alam, memiliki upaya
tersendiri dalam bersikap. Kelompok ini lebih banyak berperan sebagai pelaksana kegiatan untuk
membangun kesiapsiagaan masyarakat kota Padang terhadap bencana. Sebagian dari kelompok 449
ini memiliki kemampuan pengetahuan sebagai trainers.
Dalam kelompok professional terdapat stakeholders yang sudah mampu menterjemahkan peta-
peta ilmiah menjadi peta-peta yang memuat jalur evakuasi yang mudah dimengerti oleh masyarakat
seperti yang sudah dilakukan oleh beberapa professional yang bekerja di Bill Consultant. Peta-
peta itu di cetak dalam ukuran yang besar dan kecil untuk dimanfaatkan dalam kegiatan evakuasi.
Palang Merah Indonesia adalah stakeholders’ yang mapan, para volunteernya telah dibekali
dengan berbagai keterampilan, seperti pengetahuan dasar tentang bencana, manajemen bencana,
keterampilan dalam pertolongan pertama dan beberapa telah memiliki kemampuan pengetahuan
mengenai shelter management. Para staff dan relawan dari PMI ini berperan dalam
menyebarluaskan pengetahuan dan informasi tentang bencana dengan menjadi pembicara dan
fasilitator di berbagai seminar/workshop dan simulasi tentang bencana yang diadakan di Kota
Padang.
Dalam menilai peran stakeholders pendukung dalam kesiapsiagaan bencana di Kota Padang,
kajian ini menggunakan beberapa indikator. Indikator tersebut diantaranya adalah adanya
kontribusi LSM, ORNOP, pihak swasta dan kelompok profesi dalam pembuatan rencana
evakuasi, membimbing masyarakat membuat peta di lingkungannya, pengembangan rencana
kegiatan pertolongan pertama, penyelamatan, keselamatan dan pengamanan dalam keadaan
darurat bencana. Selain itu, dilihat pula peran stakeholders tersebut dalam rencana penyediaan
perlengkapan untuk kesiapsiagaan bencana, kebutuhan dasar, termasuk pelayanan kesehatan.
Peran para stakeholders pendukung dalam rencana tanggap darurat juga dapat diidentifikasi dari
perannya dalam latihan/simulasi/gladi evakuasi. Peran stakeholders pendukung dalam rencana
tanggap darurat bencana di Kota Padang cukup besar. Hampir semua pihak yang masuk dalam
kategori stakeholders pendukung, seperti KOGAMI, PMI, RAPI/ORARI, PRSNI, PHRI
mempunyai kontribusi dalam berbagai kegiatan terkait dengan rencana tanggap darurat.
Pengertian dan analisis resiko bencana gempa bumi dan tsunami untuk kota Padang sudah diinisiasi
oleh Geoteknologi – LIPI dan dimodifikasi oleh stakeholders pendukung menjadi peta zonasi
dan peta jalur evakuasi yang cukup akurat untuk dimanfaatkan oleh masyarakat. Peta-peta tersebut
dibuat dalam bentuk poster, billboard dan leaflet. Billboard dan poster telah dipasang diberbagai
lokasi strategies di Kota Padang. Sementara leaflet disebarluaskan melalui sekolah-sekolah,
kantor-kantor pemerintah, kecamatan, kelurahan dan langsung ke pemukiman penduduk (dari
pintu ke pintu).
Stakeholders yang berperan menyebarluaskan informasi tentang peta evakuasi dan membimbing
masyarakat untuk membuat peta evakuasi diantaranya adalah Kogami dan PMI. Sementara itu
berbagai stakeholders yang tergabung dalam media elektronik melakukan sosialisasi peta evakuasi
melalui radio. Salah satu radio yang aktif melakukan sosialisasi adalah Radio Swasta Niaga
ProNews FM90.1 MHz. Stakeholders yang tergabung dalam media cetak (PPC) juga berperan
dalam melakukan sosialisasi tentang rencana tanggap darurat, dengan membuat kolom khusus
tentang gempa dan tsunami pada harian lokal.
Peran stakeholders pendukung dalam simulasi evakuasi cukup besar, terutama simulasi tanggal
26 desember 2005 yang diinisiasi oleh LIPI. Suksesnya pelaksanaan simulasi tersebut tidak
terlepas dari dukungan berbagai pihak seperti KOGAMI, Palang Merah Indonesia, Radio Antar
Penduduk dan Organisasi Amatir Radio Indonesia, Global Rescue Network, Bill Consultant,
Padang Press Club (PPC), Perkumpulan Radio Swasta Niaga Seluruh Indonesia (PRSNI kota
Padang), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) para Pecinta Alam Kampus (Mapala Unand,
Mapala Proklamator Universitas Bung Hatta) dan Brigade penolong Pramuka. Di samping
simulasi yang dilakukan kerjasama antara LIPI dan Pemerintah Kota Padang, Kogami secara
mandiri juga melakukan sosialisasi dan simulasi evakuasi di komunitas sekolah dan masyarakat.
Pengembangan rencana tanggap darurat di Kota Padang juga mendapat dukungan dari para
sektor swasta (perusahaan swasta) dan pelaku bisnis. Salah satu perusahaan swasta yang cukup 451
besar di Kota Padang yaitu PT Semen Padang mempunyai personil/tim evakuasi dan perlengkapan
yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan jika dibutuhkan dalam keadaan darurat. Perlengkapan
evakuasi dan pertolongan pertama yang dimiliki antara lain alat berat, mobil pemadam kebakaran,
alat pemadam kebakaran dan berbagai sarana dan prasarana lain untuk pertolongan pertama.
Sementara itu para pelaku binis, terutama PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia) juga
berpartisipasi dalam pengembangan rencana tanggap darurart bencana tsunami. Beberapa
pengusaha hotel, salah satu diantaranya Hotel Bumi Minang telah menyatakan kesediaannya
untuk dijadikan tempat evakuasi, tempat penyelamatan jika terjadi tsunami. Direncanakan di
setiap hotel di tingkat paling atas, disediakan stock kebutuhan dasar untuk korban tsunami.
Sementara itu sistem peringatan bencana yang berbasis teknologi, pemerintah Kota Padang
bersama dengan sektor swasta dan didukung stakeholder lain seperti radio swasta telah
mempunyai rencana untuk penyebarluasan informasi peringatan bencana kepada masyarakat.
Pemerintah Kota Padang telah merencanakan untuk membeli peralatan dan ditawari oleh
perusahaan 2WCOM Jerman berupa 2wcom FM-RDS Early Warning System (Bouy)
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Pada waktu ekspose peralatan tersebut, selain
dihadiri oleh wakil-wakil dari instansi terkait, beberapa pihak swasta, Lembaga swadaya
masyarakat dan wakil dari karang taruna juga hadir dan mendiskusikan prosedur penyebarluasan
informasi peringatan bencana kepada masyarakat serta kelebihan dan kekurangan dari peralatan
tersebut. Kendatipun demikian, sampai saat kajian selesai dilakukan, rencana tersebut belum
juga terlaksana mengingat mahalnya biaya peralatan, dan saat ini masih dalam tahap usulan
permohonan bantuan pada Bakornas.
Indikator yang dipakai untuk menggambarkan mobilisasi sumber daya stakeholders pendukung
yang ada di Kota Padang antara lain adalah: adanya tim/bagian yang menangani kesiapsiagaan
penanggulangan bencana, tersedianya data tentang keikutsertaan lembaga dalam kegiatan
kesiapsiagaan yang dilakukan oleh pemerintah, adanya personil/relawan yang dialokasikan untuk
kegiatan kesiapsiagaan, adanya bimbingan teknis kepada masyarakat, fakta tentang penyebaran
materi kesiapsiagaan dan alokasi sumber dana untuk mobilisasi. Secara umum stakeholders
pendukung mempunyai peran yang yang cuku besar dalam mobilisasi sumber daya kesiapsiagaan
bencana Kota Padang. Resume mengenai mobilisasi berbagai stakeholders pendukung tersebut
dapat dilihat pada Tabel 4.3.5.4.1.
Yayasan Kogami (Komunitas Siaga Tsunami), merupakan salah satu stakeholders pendukung
yang berperan cukup besar dalam memobilisasi sumber daya untuk kesiapsiagaan menghadapi
PMI, khususnya PMI cabang Kota Padang juga mempunyai kontribusi cukup besar dalam rangka
melakukan mobilisasi sumber daya dalam rangka kesiapsiagaan bencana Kota Padang. Lembaga
ini telah melakukan assesment program kesiapsiagaan bencana gempa bumi dan tsunami Kota
Padang. Dalam assesment tersebut selain dipaparkan tentang wilayah dan jumlah penduduk
Kelompok Media
Kelompok media yang berhasil diwawancarai dalam kajian ini antara lain adalah Rapi/ORARI
dan Padang Press Club (PPC). Berbagai kelompok media ini berperan dalam mobilisasi sumber
daya kesiapsiagaan bencana Kota Padang, terutama dalam penyebarluasan informasi dan
komunikasi lintas organisasi seperti BMG, Pemerintah Kota Padang, Swasta dan kepada
masyarakat. Selain RAPI/ORARI dan PPC berbagai media elektronik seperti Radio Swasta
Niaga ProNews FM90.1 MHz dan TVRI Kota Padang juga berperan cukup penting dalam
membangun kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana. Kedua stakeholders ini selalu
menyiarkan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pengetahuan dan sikap untuk mengurangi
dampak bencana bagi masyarakat kota Padang. Hampir setiap pertemuan ilmiah seperti lokakarya
baik dalam skala local, nasional dan international dipancarluaskan oleh kedua media ini. Tidak
jarang crew TVRI kodya Padang memfasilitasi acara talk shows yang melibatkan personal-
personal tamu seperti para narasumber yang tengah bertugas ke kota padang.
Sektor Swasta
Salah satu sektor sawasta (pelaku) bisnis yang behasil diwawancarai dalam kajian ini adalah PT
Semen Padang. Perusahaan ini telah mempunyai tim khusus dan relawan untuk penanggulangan
bencana, khususnya kebakaran dan tanah longsor. Tim khusus ini siap untuk diberbantukan dalam
penanggulangan bencana jika diperlukan. Perusahaan ini juga melakukan bimbingan teknis
terhadap masyarakat setempat terkait dengan bencana kebakaran di dua kecamatan yang letaknya
dengan lokasi pabrik. Selain itu, PT Semen Padang juga mempunyai berbagai alat berat dan
personil yang siap diperbantukan untuk penanggulangan berbagai bencana di Kota Padang termasuk
gempa dan tsunami.
Selain Kogami, PMI Kota Padang maupun PMI daerah Sumatera Barat juga merupakan
stakeholders potensial. Sebagai lembaga dengan struktur organisasi yang telah mapan serta
merupakan bagian dari PMI di tingkat pusat maupun internasional, PMI juga cukup berperan
dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di Kota Padang. Community Based Disaster
Preparadness (CBDP) atau Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat yang dikembangkan
oleh PMI pusat dilaksanakan di tiga PMI daerah, termasuk Propinsi Sumatera Barat.
Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Masyarakat yang dikembangkan oleh PMI adalah program
yang mendorong pemberdayaan kapasitas masyarakat untuk menyiagakan diri dalam mencegah
serta mengurangi dampak dan resiko bencana yang terjadi di lingkungannya. Berkaitan dengan
program tersebut, PMI juga melakukan pemetaan wilayah bencana, sosialisasi pada masyarakat
serta pelatihan dan orientasi – Satuan Siaga Bencana (Satgana) dan Siaga Bencana Desa
(Sibad). Kendatipun saat ini, PMI Sumatera Barat masih melakukan assessment dan Identifikasi
Program Kesiapsiagaan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Kota Padang dengan dukungan
dari PMI pusat dan Federasi. Assessment yang dibuat oleh PMI diantaranya adalah perkiraan
mobilisasi penduduk Kota Padang jika terjadi tsunami, Identifikasi daerah rawan dan aman serta
identifikasi kemungkinan bangunan /lahan yang dapat digunakan sebagai tempat evakuasi ,
identifikasi Posko penaggulangan bencana serta kapasitas sarana kesehatan, dan sarana penting
lainnya. Dengan demikian, PMI Kota Padang maupun Sumatera Barat juga berperan dalam
meningkatkan pengetahuan masyarakat, memberikan kontribusi dalam rencana tanggap darurat
serta melakukan mobilisasi sumberdaya.
Stakeholder pendukung lain adalah kelompok profesional yang bergerak di bidang komunikasi
yaitu RAPI dan ORARI juga berperan dalam diseminasi informasi dan komunikasi dari berbagai
lintas seperti Pemerintah Kota Padang, BMG, pihak swasta maupun masyarakat. Di samping
itu, Radio Swasta Niaga ProNews FM90.1 MHz dan TVRI Kota Padang juga aktif melakukan
sosialisasi peta evakuasi serta merupakan suatu bagian penting dalam penyebarluasan informasi
tentang kesiapsiagaan bencana.
Stakekeholder lain yang cukup potensial adalah sektor swasta diantaranya PT.Semen Padang,
Perusahaan ini ikut berperan dalam mobilisasi sumberdaya diantaranya adalah melakukan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kapasitas stakeholder pendukung
di Kota Padang dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap antisipasi terjadinya
gempa bumi dan tsunami ádalah cukup baik. Bahkan tanpa stakekeholder pendukung,
pemerintah Kota Padang dengan keterbatasan birokrasi yang dimilikinya belum tentu memiliki
tingkat kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana seperti yang telah dicapai sekarang ini.
Tantangan
Kajian tentang kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya benvcana alam gempa
bumi dan tsunami di Kota Padang kendatipun mempunyai berbagai peluang bagi tindak lanjut
pengembangan kebijakan dan program untuk meningkatkan kesiapsiagaan seluruh stakeholder,
tetapi juga menghadapi berbagai kendala dan tantangan.
Salah satu peluang, diantaranya adalah belum pernah dilakukannya kajian kesiapsiagaan baik di
Kota Padang maupun di daerah lain, sehingga kajian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
bagi pengembangan framework maupun implikasi kebijakan di daerah, khususnya daerah-daerah
rawan bencana. Pengalaman selama ini dengan adanya bencana besar di Aceh, Nias dan terakhir 457
di daerah Yogyakarta menunjukkan kurangnya kesiapsiagaan masyarakat dan juga pemerintah,
sehingga korban yang seharusnya dapat diminimalisir belum dapat diupayakan. Dengan adanya
hasil kajian ini juga dapat ditindaklanjuti dengan bebagai intervensi yang relevan. Misalnya
rendahnya nilai indeks mobilisasi sumberdaya rumah tangga di zona rawan diperlukan tindak
lanjut dengan meningkatkan akses rumah tangga terhadap peningkatan kualitas SDM terkait
dengan kesiapsiagaan yaitu melalui pelatihan-pelatihan.
Sementara itu, disamping terdapat peluang, beberapa tantangan terkait dengan kajian kesiapsiagaan
masyarakat mengantisipasi bencana. Tantangan tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut :
Kendala
459
Kendala yang ditemui selain berkaitan dengan instrumen juga terdapat kendala yang dihadapi
pada waktu pelaksanaan lapangan. Terdapat beberapa istilah dalam kuesioner yang sulit untuk
disederhanakan, karena merupakan istilah baku seperti kerak bumi dan lain-lain, sehingga kurang
dipahami oleh responden karena itu perlu dijelaskan oleh pewawancara. Untuk mengatasi masalah
tersebut, dalam menjelaskan kepada responden pewawancara menggunakan bahasa lokal/daerah.
Selain kendala berkaitan dengan instrumen, terdapat kendala yang menyangkut sumber daya
manusia yaitu pewancara dan supervisor. Sebagian pewawancara kurang memenuhi kualifikasi
baik dalam hal pengalaman wawancara, cara pendekatan dengan responden, komunikasi. Di
samping itu, pengetahuan tentang bencana sebagian pewawancara masih kurang. Untuk itu
dalam rekruitmen pewawancara perlu dilakukan seleksi secara lebih ketat dan memerlukan
waktu khusus. Persoalan yang sama juga dialami oleh supervisor yang kurang memenuhi persyaratan
sebagai supervisor yang seharusnya memiliki kemampuan dan pengalaman yang lebih baik dari
pewawancara.
4.3.7. Ringkasan
Kota Padang yang terletak di pinggir pantai Barat Sumatera merupakan pusat perekonomian,
pendidikan, maupun pelabuhan dan juga pusat pariwisata. Luas wilayahnya sekitar 1.414,89
Km² yang merupakan perpaduan antara wilayah pantai, daerah aliran sungai, dataran dan
perbukitan/pegunungan. Karena wilayah geografisnya yang membentang dari pantai sampai
pegunungan, Kota Padang rawan terhadap ancaman berbagai bencana alam. Bencana alam
tersebut diantaranya adalah letusan gunung berapi dan tanah longsor. Bencana tanah longsor
berpotensi terjadi di kawasan pergunungan bukit barisan yaitu tepatnya sebelah Timur dari pusat
kota dan pada bukit lainnya yang berada di kawasan pusat kota seperti di kawasan Gunung
Padang. Bentuk perbukitan yang terdapat di kota Padang relatif terjal dan tinggi dengan jenis
tanah yang sangat labil. Bencana tanah longsor tidak hanya terjadi pada kawasan perbukitan dan
pegunungan, namun juga berpotensi melanda daerah yang terletak di aliran lima sungai besar
yang membentang di wilayah kota Padang. Dengan adanya lima aliran sungai besar tersebut,
bencana banjir juga sudah menjadi langganan untuk wilayah Kota Padang yang menyebar pada
seluruh wilayah pusat kota.
Selain potensi bencana banjir dan tanah longsor, Kota Padang menurut para pakar geologi
dinyatakan sebagai daerah rawan gempa karena terletak diantara dua sumber gempa aktif yaitu
pertemuan lempeng Australia dan lempeng Eurasia. Berdasarkan catatan sejarah pada tahun
1797 M dan 1833 M telah terjadi gempa besar (+ 9 skala richter) di sekitar Mentawai yang
diikuti oleh gelombang Tsunami yang menghabiskan sepertiga Kota Padang. Jika dilihat sejarahnya,
diperkirakan akan terjadi pengulangan gempa besar setiap 200 s/d 300 tahunan. Oleh karena itu
diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan Kota Padang kembali dalam masa pengulangan
tersebut. Jika terjadi gempa besar yang diikuti oleh Tsunami maka potensi bahayanya sangat
besar karena Kota Padang terletak di pingir pantai dengan konsentrasi penduduk yang tinggal di
wilayah pantai cukup tinggi.
Jmlah penduduk Kota Padang pada tahun 2005 sebanyak 784.740 jiwa terdiri dari 385.460
penduduk perempuan atau sekitar 49 persen dan penduduk laki-laki sebanyak 399.280 ( 51
persen). Dilihat menurut komposisi umur menunjukkan bahwa kelompok Balita atau penduduk
berumur 0 - 4 tahun mempunyai proporsi sekitar 10 persen dari total penduduk yaitu sekitar
77.807 jiwa. Pada kelompok penduduk lanjut usia jumlahnya juga relatif banyak, mencapai
28.653 jiwa atau sekitar 3,5 persen dari total penduduk Kota Padang.
Hal yang perlu mendapat perhatian adalah, jumlah penduduk yang tinggal di zona rawan bencana
tsunami, yaitu mereka yang bermukim di tepi pantai, hingga 5 meter di atas permukaan laut,
jumlahnya cukup besar yang mencapai 340.446 jiwa atau sekitar 43 persen dari total penduduk
Kota Padang. Proporsi terbesar adalah penduduk yang tinggal di Kecamatan Koto Tangah
yaitu mencapai 89.764 jiwa. Untuk wilayah dalam kota, Kecamatan Padang Barat mempunyai
penduduk yang tinggal di zona rawan cukup besar yaitu mencapai 63.000 jiwa (Kogami, 2005).
Banyaknya penduduk yang tinggal di lokasi rawan bencana, semakin meningkatkan pentingnya
kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana.
Hasil kajian kesiapsiagaan menghadapi bencana yang dilakukan di Kota Padang menunjukkan
nilai indeks kesiapsiagaan sebesar 63,55. Nilai indeks tersebut merupakan nilai indeks gabungan
antara nilai indeks pemerintah, komunitas sekolah dan nilai indeks rumah tangga dengan bobot
masing-masing stakeholder yang hampir sama. Bobot untuk nilai indeks pemerintah sebesar 35
persen, untuk masyarakat (rumah tangga) sebesar 35 dan untuk komunitas sekolah sebesar 30
persen. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa kesiapsiagaan khususnya pada‘tahap
tanggap darurat apabila terjadi bencana, maka yang akan bertindak paling awal adalah masyarakat. 461
Nilai indeks kesiapsiagaan kota Padang (63,55) termasuk dalam kategori hampir siap. Namun
jika dicermati lebih lanjut, nilai indeks masing-masing stakeholder menunjukkan perbedaan yang
cukup berarti. Nilai indeks pemerintah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nlai indeks komunitas
sekolah dan rumah tangga. Nilai indeks pemerintah sebesar 75 dan termasuk dalam kategori
siap, sedangkan indeks pada komunitas sekolah dan rumah tangga masing-masing 59 dan 56,
masuk dalam kategori hampir siap.
40
20
0
Rumah tangga Komunitas Pemerintah Kota Padang
Sekolah
Diagram 4.3.7.1.
Indeks Kesiapsiagaan Masyarakat
Kota Padang Dalam Menghadapi Bencana
Masih rendahnya nilai indeks kesiap-siagaan di tingkat rumah tangga dan komunitas sekolah ini
berimplikasi pada pentingnya Pemerintah Kota Padang memfasilitasi upaya peningkatan
kesiapsiagaaan menghadapi bencana pada masyarakat umum dan komunitas sekolah. Fasilitasi
tersebut antara lain dapat berupa dukungan kebijakan untuk sekolah tentang pentingnya
memasukkan pelajaran gempa kepada siswa. Hal ini tidak terlepas dari peran komunitas sekolah
sebagai stakeholder utama dalam meningkatkan kesiapsiaagaan bencana. Melalui komunitas
sekolah, pengetahuan dan kepedulian tentang bencana dapat diberikan sejak usia dini. Selain
dukungan kebijakan, diperlukan pula dukungan bersifat teknis seperti penyediaan sarana/prasarana
tanggap darurat dan peringatan bencana sampai ke tingkat kecamatan, kelurahan dan kelompok
masyarakat.
Nilai indeks kesiapsiagaan merupakan gabungan dari nilai indeks parameter pengetahuan (KA),
kebijakan (PS), rencana tanggap darurat, sistem peringatan bencana dan nilai indeks mobilisasi
sumberdaya mempunyai keterkaitan satu sama lain. Indeks parameter yang cukup tinggi, terutama
dari parameter pengetahuan dan sikap (KA), rencana tanggap darurat (EP) dan mobilisasi sumber
daya (RMC). Tingginya nilai indeks pemerintah kota Padang tidak terlepas dari dukungan dan
peran stakeholders lain seperti LSM, PMI, sektor swasta dan organisasi professional seperti
ORARI dan RAPI. Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh stakeholders tersebut mendukung
kegiatan rencana tanggap darurat dan mobilisasi sumber daya yang dilakukan oleh pemerintah
Kota Padang.
Kendatipun demikian tingginya nilai indeks pemerintah ini perlu ditinjau implimentasinya di lapangan.
Semua indikator kesiapsiagaan bencana, terutama dari parameter rencana tanggap darurat dan
mobilisasi sumber daya telah terpenuhi, akan tetapi pelaksanaan di lapangan belum optimal,
terlihat dari masih timpangnya parameter indeks kesiapsiagaan pemerintah kota dan kecamatan.
Tabel:4.3.7.1
Nilai Indeks Kesiapsiagaan Rumah Tangga, Komunitas Sekolah
dan Pemerintah Dalam Menghadapi Bencana, Kota Padang
Peran pemerintah sebagai penyedia fasilitas kesiapsiagan bencana seperti peta bencana dan peta
evakuasi merupakan hal yang sangat diperlukan oleh masyarakat. Untuk pemerintah Kota Padang
fungsi penyedia fasilitas‘tersebut tampaknya telah terpenuhi, terlihat dari relatif tingginya nilai
indeks EP (85), terutama berasal dari kontribusi nilai indeks EP pemerintah kota (P1) yang
nilainya 100, sementara untuk tingkat kecamatan hanya sebesar 38. Adanya kesenjangan ini
mengindasikan bahwa fasilitas emergency planning seperti keberadaan peta bencana, peta
evakuasi dan tempat-tempat evakuasi yang sudah ditentukan kurang disosialisasikan dan
diimplementasikan pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah.
Kesiapsiagaan dilihat dari parameter sistem peringatan bencana (warning system) mempunyai
nilai indeks yang rendah terutama di tingkat pemerintah yaitu sebesar 49 (kategori kurang siap).
Disisi lain, nilai indeks di tingkat masyarakat (sekolah dan rumah tangga) cukup baik masing-
masing sebesar 62 (hampir siap) dan 73 (siap). Tingginya nilai indeks peringatan bencana di
tingkat masyarakat ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan bagi penyerbarluasan informasi
peringatan bencana. Untuk itu pemerintah perlu mengembangkan system peringatan bencana
yang dapat menjembatani terputusnya sistem informasi dari pemerintah ke masyarakat.
Mobilisasi sumberdaya di tingkat kota mempunyai nilai indeks yang relatif tinggi dan termasuk
dalam kategori siap (76). Sementara itu di tingkat sekolah dan rumah tangga mempunyai nilai
indeks yang rendah masing-asing sebesar 37 dan 32 (kategori belum siap). Pemerintah sebagai
stakeholder utama mempunyai tanggung jawab untuk menfasilitasi mobilisasi sumberdaya
masyarakat melalui berbagai pelatihan berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana.
Kebijakan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana di tingkat pemerinyah kota dilihat dari
nilai indeks dokumen kebijakan (policy statement) cukup baik yaitu sebesar 69 (kategori cukup
siap). Namun demikian berbagai kebijakan tersebut belum belum ditindak lanjuti dalam bentuk
rencana kegiatan yang konkrit dan jelas seperti keberadaan protap, action plan, petunjuk teknis
emergency respon dan petunjuk teknis penaggulangan bencana.
Dari hasil wawancara, diskusi kelompok terfokus (FGD) di seluruh lokasi kajian dan workshop
di Kota Bengkulu dan Padang terungkap bahwa pemahaman tentang kejadian alam yang
menimbulkan bencana masih terbatas, baik untuk stakeholders utama maupun stakeholders
pendukung. Gambaran ini mengindikasikan pentingnya peningkatan pengetahuan dan pemahaman
tentang fenomena alam dan bencana yang ditimbulkannya serta petunjuk praktis apa yang harus
disiapkan sebelum terjadinya bencana dan apa yang harus dilakukan pada saat dan setelah terjadi
bencana. Dari kajian ini juga terungkap pentingnya latihan dan simulasi atau gladi secara reguler
agar masyarakat lebih memahami apa yang harus dilakukan, kapan dan kemana mereka
menyelamatkan diri bila terjadi bencana alam.
Sebagai tindak lanjut hasil kajian, maka dilakukan workshop yang bertujuan untuk membahas
inisiatif-inisiatif yang diperlukan untuk mendukung kesiapsiagaan masyarakat sesuai dengan
kebutuhan dan kharakteristik lokal. Dalam kegiatan ini dibahas juga upaya untuk menjembatani
sistem peringatan nasional, daerah, masyarakat dan pengetahuan lokal. Hasil pembahasan tersebut 465
digunakan sebagai dasar yang jelas untuk menindak lanjuti inisiatif-inisiatif masyarakat beserta
kebutuhannya dalam membangun masyarakat yang siaga bencana.
Kegiatan workshop dilakukan di dua tempat, yaitu Kota Bengkulu pada tanggal 3 Mei 2006 dan
Kota Padang pada tanggal 9 Mei 2006. Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 40 peserta yang dipilih
seca purposif mewakili instansi pemerintah, NGO dan kelembagaan masyarakat yang relevan
dan/atau mempunyai pengalaman dengan pendidikan dan kesiapsiagaan masyarakat. Agar
pembahasan dapat lebih terfokus, peserta workshop dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: (1)
sistim peringatan bencana ,dan (2) pendidikan dan kepedulian masyarakat.
Kelompok 1, Sistim Peringatan Bencana, mendiskusikan tiga pokok bahasan, yaitu: (1) sistim
peringatan bencana berbasis lokal, termasuk tanda-tanda alam, sistim peringatan secara tradisional
atau kearifan lokal yang berkembang, distribusi dan mekanisme penyebar-luasan informasi serta
peralatan dan perlengkapan yang digunakan, (2) sistim peringatan bencana berbasis teknologi
yang bersumber dari pemerintah, termasuk sumber peringatan, siapa yang berwenang (komando)
memberikan peringatan ditingkat kota, bagaimana alur atau jaringan informasi dari komando
Berbeda dengan Kota Bengkulu dan Padang, kegiatan workshop tidak dilakukan di desa-desa
Kabupaten Aceh Besar, karena stakeholders kesiapsiagaan yang terbatas. Tetapi upaya untuk
menjaring inisitif-inisiatif sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal tetap dilaksanakan melalui
kegiatan diskusi kelompok terfokus dan wawancara mendalam dengan berbagai narasumber,
baik yang berasal dari desa-desa kajian maupun dari luar daerah dan lembaga-lembaga
internasional yang bekerja di daerah tersebut.
Kebutuhan – kebutuhan konkrit lainnya yang memerlukan tindak lanjut segera, juga didapat,
saat LIPI (tim peneliti) diundang oleh BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan
Nias) untuk menyampaikan presentasi kesiapsiagaan masyarakat bagi pemerintah daerah Provinsi
NAD. Kebutuhan tersebut muncul dalam sesi diskusi, setelah LIPI memaparkan pembelajaran
dari Aceh juga Padang pasca tsunami 2004. Kegiatan ini berlangsung tepat di akhir penelitian
tim di Pulo Aceh, pada hari Sabtu 29 April 2006.
- Pendidikan Formal, Non formal dan Informal untuk Proses alam dan Kesiapsiagaan
Mengantisipasi Bencana
Pengetahuan adalah dasar untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat. Tidak dapat diingkari
tingginya kebutuhan ilmu pengetahuan mengenai proses alam (dinamika bumi) serta kesiapsiagaan
Sebagian masyarakat desa mulai memahami bahwa alam akan terus bergerak, dan dalam
prosesnya dapat senantiasa menimbulkan bencana. Karenanya muncul kebutuhan untuk menjaga
pengetahuan lokal agar dapat diteruskan kepada generasi berikutnya. Bentuk yang paling banyak
disampaikan oleh masyarakat, baik dari Leupung maupun di Pulo Aceh, adalah dibangunnya
tugu peringatan kejadian tsunami, yang mengabadikan kisah yang melanda desa tahun 2004.
Pengetahuan lokal yang termasuk baru bagi masyarakat di Leupung dan Pulo Aceh ini, juga
diusulkan untuk dituang dalam dongeng atau lagu anak-anak (pengantar tidur), atau dengan hikayat.
Wasiat dapat dilakukan langsung oleh masyarakat kepada keluarga dan turunan di lingkungannya
yang terdekat.
Penyampaian pengetahuan proses alam dan siaga bencana bagi masyarakat desa di Aceh, 467
mendapatkan cukup tantangan dari masyarakat sendiri. Selama penelitian berlangsung, hampir
seluruh masyarakat yang menjadi informan, menyatakan bahwa bencana adalah datangnya dari
Tuhan, dan karenanya tidak ada lagi yang dapat dilakukan manusia untuk mencegahnya. Bahwa
agama juga mewajibkan manusia untuk berikhtiar dan berusaha, serta selalu mencari ilmu
pengetahuan untuk memperbaiki kehidupan, menjadi lebih mudah bagi masyarakat untuk
memahami pentingnya siaga mengantisipasi bencana.
Alat-alat peraga tiga dimensi yang dapat membantu menggambarkan dinamika bumi serta proses
alam serta pengetahuan lain yang terlalu abstrak bagi masyarakat, misalnya menjelaskan pergeseran
lempeng bumi / dinamika bumi, dan lainnya.
Sebelum bencana tsunami 2004, fungsi lembaga masyarakat desa, diantaranya PKK, tidak berjalan
aktif. Keterbatasan tenaga medis serta guru juga menjadi permasalahan bahkan sebelum tsunami
terjadi, apalagi pasca bencana, dimana tenaga – tenaga tersebut semakin sedikit. Korban bencana
dapat semakin ditekan, dengan meningkatnya kapasitas serta keterampilan masyarakat serta
lembaga masyarakat. Memahami fungsi lembaga masyarakat yang besar perannya dalam
membangun masyarakat desa yang siaga, menjadi kebutuhan berikutnya yang muncul dari hasil
kajian lapangan.
- Skema Guru Bantu dan Tenaga Medis Terlatih dari Desa dengan Dukungan Insentif
(Kompensasi) Berbasis Desa
Salah satu solusi revitalisasi fungsi lembaga masyakat adalah dengan perekrutan potensi desa
untuk mengisi ruang kosong kebutuhan tenaga medis dan guru, melalui skema pendidikan jangka
pendek dan menengah. Usai mendapatkan pendidikan yang cukup memenuhi standar minimum
kecakapan tenaga bantu medis, serta guru bantu, masyarakat desa juga memahami kebutuhan
insentif bagi tenaga-tenaga bantu insourcing tersebut, yang perlu dialokasikan oleh pemerintah
desa/pemerintah setempat (DIPDesa/DIPDA). Oleh karenanya masyarakat desa meminta
perhatian khusus terhadap upaya ini.
Sistem peringatan dini perlu didukung oleh ketersediaan critical facilities (listrik, komunikasi,
transportasi) di tempat yang aman bencana, atau tidak terganggu saat bencana terjadi termasuk
jalur evakuasi dan shelter
Dukungan ilmu pengetahuan serta pengetahuan kesiapsiagaan bencana tidak hanya diperlukan
semata-mata bagi masyarakat desa, namun juga lini pemerintahan di jenjang yang lebih tinggi,
untuk memungkinkan dukungan yang integratif dan komprehensif dari pemerintah daerah kepada
masyarakat. Dukungan yang selama ini dirasakan masih terlalu minim dari pemerintah daerah,
antara lain juga disebabkan minimnya pengetahuan dan pemahaman pentingnya peran pemerintah
daerah dalam membangun masyarakat siaga bencana. Hal ini dapat dilihat dari minimnya aktivitas
konkrit pemerintah daerah, termasuk Satlak dan Satkorlak dalam membangun siaga bencana
desa/masyarakat.
Sesuai dengan panduan workshop, peserta workshop dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: (1)
kelompok 1: Sistim Peringatan Bencana, terdiri dari wakil BMG Kapahiyang, Kodim 0407
Bengkulu, Kantor Kesra Setda Kota Bengkulu, Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Bengkulu,
PMI Kota Bengkulu, RAPI Provinsi Bengkulu, RRI Kota Bengkulu, Bengkulu TV, LSM Kelopak,
KNPI Kota Bengkulu, Ikatan Masyarakat Melayu Bengkulu (IMMB) Kota Bengkulu dan Tokoh
Masyarakat, kelompok 2: Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat, dan (2) kelompok 2:
Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat, peserta terdiri dari wakil Komisi II DPRD Kota
Bengkulu, Bappeda Kota, Dinas Pertambangan dan Energi, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Bengkulu (UNIB), PRSSNI Kota Bengkulu, PAFE UNIB, WALHI
Kota Bengkulu, Badan Musyawarah Adat (BMA) Kota Bengkulu, Taman Budaya Provinsi
Bengkulu, Harian Rakyat Bengkulu, PGRI dan LSM Citra Cinta Remaja Raflesia (CCRR) Kota
Bengkulu.
469
Workshop dimulai dengan pengantar temuan awal dari hasil kajian dan workshop komponen
masyarakat yang dilakukan pada tanggal 27 April 2006 yang mengindikasikan pentingnya
peningkatan pengetahuan dan pemahaman masyarakat untuk mengantisipasi bencana alam, sistim
peringatan bencana oleh BMG Kapahiyang, konsep penyadaran masyarakat dan penjelasan
kegiatan workshop. Kemudian peserta di bagi ke dalam dua kelompok dengan fokus diskusi,
kelompok 1 Sistim Peringatan Bencana dan kelompok 2 Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat
dipimpin oleh ketua kelompok yang dipilih oleh anggota kelompok masing-masing dan difasilitasi
oleh Tim LIPI.
Kelompok 1 membahas dan menyepakati tiga topik. Topik pertama mengenai peringatan bencana
berbasis lokal mendiskusikan tanda-tanda alam yang mengindikasikan terjadinya bencana, seperti:
Pengetahuan mengenai tanda-tanda alam diatas memerlukan pengamatan yang terus menerus
selain dari daerah setempat juga perlu penyebaran pengetahuan dari daerah lainnya. Pengetahuan
tentang penyusutan air laut secara mendadak merupakan pengetahuan umum masyarakat, tetapi
perlu digali tanda alam lain yang berguna terutama bagi penduduk kawasan pantai yang bertempat
tinggal tidak di tepi pantai. Sementara itu mengenai suara gemuruh dan burung-burung berterbangan
perlu pengamatan lebih mendalam.
Topik lain adalah seputar distribusi informasi dan mekanisme penyebaran informasi peringatan
tersebut. Dalam hal menghadapi tsunami diperlukan jaringan informasi dari nelayan atau petugas
yang ditunjuk/berwenang yang secara berkala atau segera mengamati pantai bila ada gempabumi
dan segera menyebarkan informasi secara berantai kepada masyarakat. Dalam menyebarkan
informasi berbasis masyarakat, beberapa jenis peralatan dan perlengkapan yang diusulkan untuk
digunakan antara lain:
- Beduk Masjid
- Lonceng Gereja
- Kentongan dan bunyi-bunyian lainnya
Walaupun demikian, dalam pertemuan ini belum disepakati pola suara/bunyi dari peralatan tersebut
untuk membedakan dengan isyarat kejadian lainnya. Hal tersebut perlu ditindak lanjuti oleh
pemerintah setempat.
Topik bahasan ke dua adalah peringatan bencana berbasis teknologi yang bersumber dari
pemerintah. Hasil diskusi menyepakati perlunya:
• Sumber peringatan berasal dari BMG Kabupaten Kepahyang diteruskan melalui siaran
RRI, TVRI dan RAPI
- Simulasi penanggulangan bencana adalah tugas KESBANG LINMAS, teknis bisa diserahkan
pada LSM, Pramuka dan lainnya.
Topik diskusi mengenai Peringatan Bencana Berbasis Teknologi yang bersumber dari pemerintah
dan mekanisme penyebaran informasinya menjadi bahan diskusi menarik. Hal tersebut merupakan
bagian dari pembelajaran dari kasus Aceh dimana fungsi pemerintah lumpuh. Oleh karena itu
disepakati bahwa Sumber Resmi Peringatan berasal dari BMG. Informasi tersebut segera
disampaikan kepada Gubernur/Walikota/Bupati sebagai ketua SATKORLAK Provinsi/ketua
SATLAK Kabupaten/Kota untuk diteruskan kepada institusi terkait. Sementara itu, sumber
informasi lain (internasional) harus terlebih dahulu dikonfirmasikan kepada BMG. Dalam hal
tersebut di atas disepakati bahwa yang berwenang memberikan komando adalah Gubernur sebagai
ketua SATKORLAK PBP Provinsi Bengkulu dan Walikota/Bupati sebagai ketua satlak
kabupaten/kota. Dalam diskusi tersebut dicermati pula seputar Tanda Peringatan, Peralatan dan
Perlengkapan yang digunakan untuk meneruskan informasi bencana, seperti pemanfaatan sistem 471
penyiaran, pemanfaatan radio komunikasi mulai dari gelombang UHF, VHF sampai HF dan
Sirene. Hal lain adalah perlunya Sistem Monitoring Gempabumi Otomatis yang tentu saja
merupakan porsinya BMG.
Dalam diskusi tercetus juga perlunya Kota Bengkulu memiliki Peta Evakuasi yang didalamnya
menunjukan kawasan zona aman dan zona bahaya, serta jalur evakuasi serta lokasi penampungan
pengungsi. Selain itu, Kota Bengkulu perlu memiliki Pos Pemantau Bencana (permanen) dan
membangun Pusat Informasi dan Sistem Pengendali/PISP/Crisis Center, menara pengamat pantai
di tempat strategis serta melaksanakan sosialisasi tentang penanggulangan bencana dan pengungsi
Gambar 5.3.1.
Bagan Aliran Informasi Gempabumi dan Tsunami yang
Diharapkan Berfungsi oleh Masyarakat Kota Bengkulu
Pada akhir diskusi, kelompok 1 merekomendasikan kepada Pemda Provinsi, Kabupaten dan
Kota untuk:
Kelompok dua yang dipimpin oleh ketua kelompok Dr. Titik Kartika dari FISIP UNIB
mengidentifikasi dan mengelompokan target prioritas untuk pendidikan dan kepedulian masyarakat
ke dalam tiga kelompok, yaitu: kelompok masyarakat pesisir dan masyarakat non-pesisir.
Kelompok masyarakat pesisir terdiri dari: komunitas sekolah, tokoh masyarakat, nelayan dan
masyarakat umum (kelompok perempuan, kelompok profesi dan LSM, seperti: Risma dan Karang
Taruna). Kelompok masyarakat non-pesisir terdiri dari: komunitas sekolah, tokoh masyarakat
dan masyarakat umum (kelompok perempuan, kelompok profesi dan LSM, seperti: Risma dan
Karang Taruna). Sedangkan kelompok tiga adalah eksekutif dan legislative yang berkaitan erat
dengan pembuatan kebijakan.
Dari hasil diskusi kelompok disepakati materi dan metode untuk masing-masing kelompok target,
sebagian besar materi hamper sama, terutama materi inti kejadian dan bencana alam serta petunjuk
praktis mengurangi resiko bencana, tetapi untuk beberapa stakeholders terdapat tambahan materi
lain, sesuai dengan kondisi dan tugas dan spesifikasi masing-masing stakeholder. Sedangkan
untuk media dan cara penyampaian informasi bervariasi sesuai dengan kondisi dan kharakteristik
masing-masing. Hasil kelompok 2 secara rinci dapat dilihat pada tabel 5.3.1. di bawah ini.
Tabel 5.3.1.
Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode
Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan Bencana Alam
Metode
Materi
Kelompok Target
Prioritas Media / Alat Cara 473
1. Kelompok
Masyarakat Pesisir
• Pengetahuan dasar TK - SMA: 1. Integrasi dalam mata
• Komunitas sekolah tentang bencana Buku suplemen, film, pelajaran,
• Tindakan kegiatan ekstra kurikuler, 2. Pelatihan, workshop
penyelamatan program radio, dan simulasi
• Pemulihan permainan.
• Kesiapsiagaan akan
bencana
• Peringatan dini
• Kelompok tokoh bencana Pertemuan, buku saku, 1. Pelatihan, workshop
masyarakat • Pengelolaan poster, leafleat, peta dan 2. Seminar
lingkungan rambu evakuasi. 3. Diskusi kampung
1. Kelompok
Masyarakat Non- • Pengetahuan dasar
Pesisir tentang bencana
• Tindakan
1. Komunitas sekolah penyelamatan TK - SMA: 1. Simulasi rutin
• Pemulihan Buku suplemen, film, 2. Kegiatan olahraga
• Kesiapsiagaan akan kegiatan ekstra kurikuler, 3. Perlombaan mading,
bencana program radio, dan simulasi LCT
• Peringatan dini permainan.
bencana
• Keterampilan
2. Kelompok tokoh penanganan korban Pertemuan, buku saku, 1. Pelatihan,
masyarakat bencana poster, leafleat, peta dan workshop
rambu evakuasi. 2. Seminar
3. Kecek Kito (diskusi
kampung)
Need based initiatives untuk Kota Padang dilaksanakan melalui workshop yang dilaksanakan
di hotel Bumi Minang pada tanggal 9 Mei 2006. Workshop tersebut dihadiri oleh wakil-wakil
institusi yang selama ini merupakan key players dalam berbagai kegiatan kebencanaan di kota
Padang. Setelah menyaksikan film Simulasi Evakuasi serta brainstorming isu lokal berkaitan
dengan kesiapsiagaan bencana, peserta dibagi dalam dua kelompok panel berdasarkan topik
yang berbeda. Pertama adalah Kelompok Sistim Peringatan Bencana (Warning System) dan
kedua adalah kelompok Pendidikan dan Kesiapsiagaan Masyarakat.
- Kelompok 1 tentang pengembangan Tsunami Warning System Kota Padang. Kelompok ini
terdiri dari perwakilan Dinas Pendidikan, RAPI, Lurah, Taruna Koto Tangah, Inkindo, pemred
berita koran lokal (Singgalang), Mercy Corps, Walhi, Surfaid, Dinas Kominfo, BSB, DPRD
Sumbar, hingga media lokal.
- Kelompok 2 tentang pengembangan pendidikan dan kepedulian masyarakat kota Padang,
dengan peserta diskusi perwakilan dari SAR, RAPI, PolPP, Pemko, Kimpraswil, Pasi Ops 475
Kodim, BMG, LANAL, LANUD, Kogami, Pramuka, dan Padang Press Club. Kogami turut
menjadi anggota tim fasilitator bersama tim peneliti ITB, UNAND dan LIPI.
Dalam workshop ini, terdapat tiga orang perwakilan dari Kota Bengkulu, yang ikut serta untuk
mengambil pembelajaran dari proses workshop ini.
Beberapa topik yang diulas dalam Kelompok Sistem Peringatan Bencana Tsunami (Warning
System) antara lain:
- Sistem peringatan yang sudah ada, sedang dikembangkan atau sudah berjalan
- Feature EWS yang lebih efisien, koordinasi, dan kapasitas lokal
- Mekanisme penyelamatan yang sudah ada dan kelemahan sistim
- Pola jaringan pada saat bencana
Sistim Peringatan existing yang dikenal sampai saat ini adalah peringatan gempa bumi berasal
dari BMG disampaikan kepada Satlak/Satkorlak. Pada kondisi aktual, BMG sudah dapat
menyampaikan informasi gempa bumi dalam waktu < 5menit, diharapkan pada 2009 informasi
gempa bumi dapat diketahui dalam waktu < 3 menit. Sementara itu feature EWS yang lebih
efisien dan tentu saja efektif bagi masyarakat adalah mengoptimalkan pengetahuan tanda-tanda
alam sebagai peringatan adanya bencana bagi masyarakat. Tentu saja hal tersebut sangat
bermanfaat bila terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik. Selain itu juga diperlukan pemanfaatan
kapasitas lokal untuk pendeteksian kehadiran bencana dan menerapkan metode PRA.
Hal lain yang dibahas adalah situasi psikologis masyarakat bila ada bencana. Tidak bisa dipungkiri
dalam kondisi tersebut, naluri menyelamatkan keluarga dan diri sendiri lebih mengemuka, setelah
keluarga selamat baru dapat melaksanakan tugas untuk membantu masyarakat. Kondisi tersebut
mengisyaratkan bahwa masyarakat secara individual maupun keluarga harus memiliki
keterampilkan dalam menyelamatkan diri terutama pada saat terjadinya bencana. Dilain pihak,
Polri dan TNI pada saat bencana diharapkan berperanan dalam membuat persiapan, memfasilitasi
masyarakat, memberikan ketenangan batin membantu proses evakuasi, pengamanan jalan dan
jalur evakuasi, membantu masyarakat sekitar dan keluarga, melakukan apel dan pengecekan
dan keterbatasan perlengkapan seperti helikopter kurang misalnya. Kemudian diharapkan Satlak
dapat bekerjasama dengan Kesbanglinmas maupun dengan komponen lain.
Isu kritis yang dianggap paling penting dalam pengembangan sistem tersebut di Kota Padang
adalah absennya peran koordinatif dari Satkorlak atau Satlak, dalam mengambil komando untuk
memobilisasi sumber daya dan modal sosial yang dimiliki Kota Padang. Selama ini, pengembangan
sistem berjalan informal, sejalan dengan hubungan ’pertemanan’ antar pihak yang terkait dengan
warning system, dan karena kepedulian pihak-pihak tersebut terhadap potensi gempa besar
dan tsunami yang dihadapi kota Padang. Namun diperlukan legal formal dalam bentuk Protap
serta dukungan konkrit kota Padang yang kemudian bermuara pada dukungan dana, agar
’hubungan pertemanan’ stakeholder utama dalam sistem menjadi mekanisme operasional yang
lebih realistis. Sehingga, tidak lagi terbentur paradigma menyelamatkan dulu keluarga ketika
bencana, jika sistem komando sudah jelas.
Kelompok Sistim Peringatan Bencana mengusulkan alur informasi peringatan mulai dari BMG
hingga sampai ke masyarakat seperti dalam gambar 5.1. Disain jaringan informasi pada gambar
tersebut mencerminkan keinginan untuk supaya informasi peringatan bencana segera tersebar ke
masyarakat. Pemerintah berperan dalam koordinasi dan komando dalam mengelola informasi.
Diharapkan Kominfo dapat segera mendistribusikan informasi tersebut melalui berbagai cara
seperti tertera pada gambar. Dengan semakin banyaknya komponen masyarakat terlibat dalam
penyebaran informasi, diharapkan akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
menyelamatkan diri dan keluarganya sebelum bantuan tiba.
Untuk mengefektifkan disain jaringan tersebut di atas, maka kelompok Sistim Peringatan Bencana
memberikan beberapa rekomendasi seperti berikut:
477
1. Perlunya implementasi koordinasi antar komponen pemerintah dan komponen masyarakat;
2. Pemerintah baik pusat maupun daerah perlu menyiapkan dana khusus bagi kesiagaan
menghadapi bencana;
3. Perlunya pelatihan secara periodik seperti evakuasi
4. Perlunya perencanaan baik jangka panjang maupun jangka pendek dalam menyikapi
bencana;
5. Untuk efektifitas organisasi diperlukan penguatan dan pengaktifan posko-posko bencana
secara terpola dan mempunyai penanggung jawab yang tetap;
6. Dalam penglolaan bencana perlu mekanisme yang memperhatikan aspek manusiawi;
7. Pentingnya memanfaatkan Social Capital yang dimiliki oleh setiap daerah.
Kelompok 2 atau kelompok Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat memilah kelompok target
prioritas kedalam 11 bagian seperti dalam tabel dibawah ini. Masing-masing bagian mempunyai
Kelompok 2 atau kelompok Pendidikan dan Penyadaran Masyarakat memilah kelompok target
prioritas kedalam 11 bagian seperti dalam tabel dibawah ini. Masing-masing bagian mempunyai
materi dan metoda tersendiri dalam meningkatkan kesadaran akan bencana. Diharapkan dalam
jangka waktu panjang, kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana akan meningkatkan
tingkat keselamatan dan kemandirian masyarakat itu sendiri. Sementara itu dalam jangka pendek
dan menengah, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menyiapkan materi dan implementasi
pendidikan itu sendiri.
Tabel 5.4.1.
Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode
Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan Bencana Alam
di Kota Padang
Metode
Kelompok Target Materi
Prioritas Media / alat Cara
1. Perlu adanya tindak lanjut dari hasil workshop ini yang cepat dan tepat sesuai dengan
skala prioritas.
2. Materi yang disosialisasikan agar mempunyai standar baku yang ditetapkan oleh badan
yang berwenang.
3. Meningkatkan peranan media massa sebagai sosial kontrol dari pertemuan ini.
4. Mengoptimalkan penggunaan posko siaga bencana yang telah ada dengan fasilitator
SATLAK dan SATKORLAK Penanggulangan Bencana, BMG dan KOGAMI.
5. Hasil pertemuan ini perlu disosialisasikan ke masyarakat yang menjadi objek kajian.
Dari hasil workshop, FGD dan wawancara dengan narasumber di tiga lokasi kajian, Kabupaten
Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang diperoleh informasi mengenai kebutuhan-kebutuhan
yang perlu ditindak lanjuti untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap
bencana alam. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dikelompokkan kedalam dua bagian, yaitu:
pendidikan masyarakat dan peringatan dini bencana.
• Pengembangan materi pendidikan masyarakat. Dari hasil kajian ini terungkap materi
yang sangat dibutuhkan masyarakat adalah pengetahuan dasar tentang bencana, tindakan
penyelamatan, persiapan yang perlu dilakukan, peringatan dini bencana dan keterampilan 481
sederhana untuk menangani korban.
• Pengembangan dan produksi buku saku yang memuat informasi kesiapsiagaan terhadap
bencana dari aspek agama, termasuk surat-surat dan ayat-ayat Qur’an yang relevan.
• Pembuatan dan produksi peta evakuasi dalam bentuk leaflet, poster dan billboard di
Kota Bengkulu dan desa-desa di Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan di Padang peta
evakuasi sudah tersedia, hanya memerlukan up-dating disesuaikan dengan kondisi dan
data lingkungan yang mutakhir
Hasil workshop di Kota Bengkulu dan Padang belum dapat secara konkrit mengemukakan titik
temu interface antara sistim peringatan bencana dari pemerintah pusat ke pemerintah kota/
daerah sampai ke masyarakat. Hal ini terutama dikarenakan sistim peringatan bencana dari
pemerintah pusat masih dalam proses pengembangan. Karena itu, kegiatan workshop lebih
difokuskan pada sistim peringatan di tingkat kota/daerah dan diseminasinya sampai ke masyarakat.
Seperti halnya dengan pemerintah pusat, pemerintah kota/daerah juga sedang atau bahkan belum
mengembangkan sistim peringatan bencana, khususnya tsunami. Pengembangan sistim ini
mengalami beberapa kendala, antara lain: struktur organisasi dalam jaringan diseminasi peringatan
bencana. Sistim peringatan merupakan salah satu bagian dari sistim pengelolaan bencana, karena
itu dalam pelaksanaannya melibatkan organisasi pengelola bencana di tingkat kota/daerah, yaitu
Satlak PB. Hasil kajian ini menggambarkan bahwa Satlak yang telah terbentuk belum mempunyai
prosedur tetap (protap) yang mengatur tugas, fungsi dan wewenang anggota Satlak (siapa
melakukan apa), sehingga Satlak belum berperan sebagaimana mestinya.
Dari hasil kajian ini disepakati beberapa kebutuhan mendesak yang berkaitan dengan sistim
peringatan bencana, antara lain:
• Pengembangan prosedur tetap (protap) organisasi pengelola bencana di tingkat kota/ daerah
– Satlak di semua lokasi kajian, Aceh, Kota Bengkulu dan Padang.
• Pengembangan prosedur tetap (protap) untuk komunikasi dan diseminasi peringatan bencana
di Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang.
• Sosialisasi protap Satlak, protap diseminasi dan tanda (bunyi) peringatan bencana di lokasi-
lokasi kajian, khususnya, dan daerah-daerah lain yang rentan terhadap bencana alam.
Dari kegiatan kajian kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana di perdesaan Aceh
Besar, Kota Bengkulu dan Padang tidak hanya berhasil mengumpulkan data dan mengembangkan
inisiatif-inisiatif untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat saja, tetapi berhasil mendorong
stakeholders untuk melakukan kegiatan konkrit yang berkaitan dengan upaya kesiapsiagaan
masyarakat. Bagian ini akan mengemukakan beberapa kegiatan yang segera akan dilaksanakan
di ketiga lokasi.
Kota Bengkulu
- Perencanaan simulasi peringatan bencana Kota Bengkulu secara mandiri (lokal) yang
direncanakan dilakukan pada bulan Juni 200.
Kota Padang
- Memanfaatkan potensi sosial yang ada di Kota Padang dalam menyusun PROTAP (Prosedur
Tetap) Kota Padang untuk Siaga Bencana dengan dukungan UNESCO.
- Menyepakati teknologi yang sederhana dan sesuai dengan kondisi lokal kota Padang untuk
sistem peringatan bencana (sirene melalui masjid, pembangunan sirene poles).
Framework yang dihasilkan adalah framework yang sensitif terhadap kesiapsiagaan masyarakat
dan mencakup pengukuran semua stakeholders, termasuk stakeholders utama, yaitu: individu
dan rumah tangga, komunitas sekolah dan pemerintah; dan stakeholders pendukung, seperti:
kelembagaan masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Non-
Pemerintah (ORNOP), kelompok profesi dan pihak swasta. Di samping itu, framework ini juga 485
didesain secara sederhana dan generic, sehingga dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia
atau daerah-daerah yang rentan terhadap bencana alam, terutama gempa dan tsunami.
Dalam framework ini, tingkat kesiapsiagaan masyarakat didasarkan pada penilaian lima parameter
kunci yang sensitif dan mempunyai pengaruh signifikan terhadap kesiapsiagaan bencana. Ke lima
parameter kesiapsiagaan bencana adalah: pengetahuan dan sikap terhadap resiko bencana,
kebijakan dan panduan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan, rencana aksi untuk keadaan darurat,
sistim peringatan dini bencana dan kemampuan untuk memobilisasi sumber daya, termasuk Sumber
Daya Manusia (SDM), peralatan/bahan, pendanaan, komunikasi dan koordinasi antar
stakeholders. Parameter-parameter tersebut merupakan hasil kesepakatan tim dan stakeholders
kesiapsiagaan bencana setelah melakukan serangkaian kajian dengan pendekatan brainstorming,
diskusi kelompok, pengisian kartu clue card dan desk review.
Kajian ini mengelompokkan tingkat kesiapsiagaan terhadap bencana kedalam lima tingkatan,
yaitu: belum siap, kurang siap, hampir siap, siap dan sangat siap. Klasifikasi ini didasarkan pada
Framework pengukuran kesiapsiagaan masyarakat ini dilengkapi dengan tool berupa satu paket
instrumen yang lengkap, sehingga penilaian dapat dilakukan secara objektif dengan hasil yang
akurat dan komprehensif. Framework ini juga dilengkapi dengan tool untuk menganalisis tingkat
kesiapsiagaan terhadap bencana, berupa formula analisis data yang pengolahannya dilakukan
dengan komputer. Tetapi jika akses komputer tidak memungkinkan, pengolahan data dapat
dilakukan secara manual, tentu saja memerlukan ketelitian dan waktu yang lebih lama.
Paket instrumen kesiapsiagaan masyarakat terdiri dari tiga set, yaitu: 1) daftar pertanyaan atau
kuesioner untuk kegiatan survei/angket, yang terdiri dari beberapa sub-set, tergantung dari
stakeholders. Untuk individu dan rumah tangga: satu set kuesioner dengan seri RT; komunitas
sekolah ada tiga sub-set, yaitu: kelembagaan sekolah dengan seri S1, guru dengan seri S2 dan
siswa dengan seri S3; dan pemerintah juga terdapat tiga sub-set, yaitu: pemerintah kota/daerah
dengan seri P1, aparat pemerintah dengan seri P2 dan pemerintah kecamatan dengan seri P3; 2)
pedoman wawancara yang terdiri dari enam set, yaitu: pedoman wawancara untuk pemerintah
kota/kabupaten dan kelurahan/desa, komunitas sekolah, kelembagaan dan tokoh-tokoh
masyarakat, LSM dan ORNOP, kelompok profesi dan pihak swasta; dan 3) panduan untuk
Diskusi Kelompok Terfokus atau FGD komunitas sekolah dan masyarakat, serta panduan
workshop untuk tingkat kota/kabupaten.
Semua instrumen didesain secara sederhana dan ramah terhadap pengguna atau user friendly.
Instrumen untuk pengukuran melalui survei/angket berupa kuesioner terstruktur dengan pertanyaan
tertutup dan dilengkapi dengan petunjuk praktis untuk pengisian. Dengan demikian pengguna
dapat mengisi jawaban dan dengan lembar jawaban dan formula analisis yang tersedia, pengguna
dapat mengukur sendiri tingkat kesiapsiagaannya atau self assessment. Namun pengukuran
dengan instrumen ini hanya dapat dilakukan pada stakeholders utama saja, yaitu rumah tangga,
komunitas sekolah dan pemerintah.
Uji coba di perdesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang mengindikasikan
bahwa framework dan paket instrumen ini dapat diterapkan di lapangan. Secara umum uji coba
berjalan lancar dengan hasil yang relatif baik. Namun dalam proses pelaksanaannya mengalami
Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat bervariasi antara kurang
siap di perdesaan Kabupaten Aceh Besar dan Kota Bengkulu, dan hampir siap di Kota Padang.
Masyarakat yang diwakili rumah tangga – rumah tangga di perdesaan Aceh Besar, meskipun
mempunyai pengalaman pahit terjadinya bencana gempa dan tsunami pada tahun 2004, tetapi
belum sepenuhnya meningkatkan kesiapsiagaannya, karena masih terkonsentrasi pada rehabilitasi
dan rekonstruksi pasca bencana. Hal yang serupa juga ditemukan di Kota Bengkulu yang
mengalami bencana gempa pada tahun 2000, masyarakat juga kurang siap dalam mengantisipasi
bencana, bahkan nilai indeks kesiaspsiagaannya (51) paling rendah dari dua lokasi lainnya, Kota
Padang (56) dan perdesaan Aceh Besar (57).
Kondisi yang serupa juga ditemukan pada komunitas sekolah di tiga lokasi kajian, dengan tingkat
kesiapsiagaan bervariasi antara kurang siap dan hampir Siap. Meskipun berada pada posisi
yang sama, kurang siap, nilai indeks komunitas sekolah lebih rendah jika dibandingkan dengan
indeks rumah tangga di perdesaan Aceh Besar dan Kota Bengkulu. Sedangkan di Kota Padang,
nilai indeks komunitas sekolah (59) sedikit lebih tinggi dari indeks rumah tangga (56), tetapi
tingkat kesiapsiagaannya kedua stakeholders tersebut sama, yaitu hampir siap.
Berbeda dengan rumah tangga dan komunitas sekolah, hasil kajian menunjukkan adanya 487
perbedaan yang cukup signifikan antara nilai indeks Pemerintah Kota Bengkulu (54) atau termasuk
kategori kurang siap dengan indeks Pemerintah Kota Padang (75) yang termasuk level siap.
Seperti masyarakat, pengalaman bencana gempa tahun 2000 juga belum meningkatkan kepedulian
Pemerintah Kota Bengkulu untuk melakukan upaya kesiapsiagaan terhadap bencana. Sebaliknya,
Pemerintah Kota Padang menyadari bahwa daerahnya sangat rentan terhadap bencana gempa
dan tsunami, karena itu pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
kesiapsiagaan masyarakat di kota tersebut. Tetapi apabila ditelusuri lebih lanjut, upaya
kesiapsiagaan yang dilakukan oleh pemerintah Kota Padang, ternyata belum diikuti oleh pemerintah
kecamatan. Padahal, pemerintah kecamatan merupakan ujung tombak dari kesiapsiagaan
masyarakat. Nilai indeks pemerintah kecamatan (36) kurang dari separuh nilai indeks pemerintah
Kota Padang kota, yang berarti belum siap. Nilai indeks pemerintah kecamatan di kota ini bahkan
lebih rendah daripada nilai indeks pemerintah kecamatan di Aceh Besar (48) dan Kota Bengkulu
(53).
Sedangkan pengetahuan masyarakat, yang diwakili oleh responden rumah tangga, relatif baik.
Rumah tangga di desa-desa Aceh Besar dan Kota Padang mempunyai pengetahuan umum yang
sama dengan nilai indeks sebesar 72. Sedangkan di Kota Bengkulu, tingkat pengetahuan rumah
tangga sedikit lebih rendah, yaitu sebesar 69, tetapi masih termasuk dalam kategori yang sama
dengan masyarakat di dua lokasi lainnya.
Dari hasil kajian dapat diketahui bahwa sumber utama pengetahuan stakeholders sama di tiga
lokasi kajian, yaitu: media elektronik (TV dan Radio) dan media cetak (Koran dan majalah).
Untuk rumah tangga di Kota Bengkulu, pengetahuan umum tentang bencana, khususnya gempa
bumi, banyak diperoleh dari pengalaman terjadinya bencana gempa di kota ini. Sedangkan di
perdesaan Aceh Besar, di samping gempa, mereka juga mengalami bencana tsunami yang
memberikan pelajaran yang sangat berarti bagi pengetahuan dan kehidupan penduduk. Sedangkan
di Kota Padang yang belum mengalami bencana gempa atau tsunami, pengetahuan stakeholders
tentang bencana juga diperoleh dari pelatihan-pelatihan yang dilakukan di sekolah-sekolah dan
simulasi evakuasi yang melibatkan masyarakat di sebagian wilayah kota tersebut. Sumber informasi
lainnya, seperti leaflet, buku saku dan poster masih sangat terbatas, dikarenakan ketersediaan
bahan-bahan tersebut masih sangat minim.
Sedangkan jika ditelusuri dari parameter kebijakan, pola kesiapsiagaan juga bervariasi antar
stakeholders dan antar lokasi. Pemerintah Kota Padang mempunyai kebijakan yang termasuk
kategori sangat siap, diindikasikan dari nilai indeks sebesar 84. Sebaliknya, kebijakan pemerintah
di Kota Bengkulu masih sangat terbatas, sehingga masuk klasifikasi kurang siap. Berbeda dengan
pemerintah, kebijakan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan sekolah (SD, SMP dan SMA) sangat
minim, sehingga termasuk kategori belum siap. Kondisi ini tercermin dari angka indeks kebijakan
yang sangat rendah, yaitu sebesar 10 untuk sekolah di Aceh Besar dan 11 untuk sekolah di Kota
Bengkulu. Minimnya kebijakan di Aceh Besar dan Bengkulu mencerminkan masih kurangnya
kepedulian pemerintah dan sekolah akan pentingnya kesiapsiagaan untuk mengantisipasi bencana.
Dari parameter rencana tanggap darurat, hasil kajian menggambarkan adanya variasi yang sangat
tinggi antar stakeholders dan antar lokasi kajian. Seperti halnya kebijakan, pemerintah di Kota
Meskipun organisasi pengelola bencana Satlak PB telah dibentuk dengan SK walikota, tetapi
organisasi ini belum bekerja secara optimal, baik di Kota Bengkulu maupun Padang. Kondisi ini
berkaitan erat dengan kurangnya sosialisasi mengenai organisasi tersebut dan belum tersedianya
pembagian tugas dan tanggung jawab anggota Satlak dan rencana aksi untuk keadaan darurat
bencana. Sementara ini satlak masih mengklaim kegiatan yang dilakukan oleh instansi pemerintah
relevan, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi non pemerintah sebagai kegiatan satlak.
Nampaknya, sosialisasi dan kegiatan masih terbatas pada level pimpinan instansi yang melakukan
pertemuan pada saat terjadi bencana, misalnya banjir yang sering melanda Kota Bengkulu.
Sedangkan operasional di lapangan, aparat pemerintah masih bekerja sendiri-sendiri, sesuai dengan
tupoksi instansinya masing-masing.
Rumah tangga dan komunitas sekolah di tiga lokasi kajian juga belum dan kurang siap dengan 489
rencana tanggap darurat. Nilai indeks tertinggi ternyata dimiliki oleh rumah tangga di perdesaan
Aceh Besar (53) dan sebaliknya nilai terendah berasal dari rumah tangga di Kota Bengkulu (38).
Gempa dan banjir yang seringkali melanda Kota Bengkulu membuat masyarakat kurang peduli
akan pentingnya rencana untuk penyelamatan diri dan keluarga, karena sudah dianggap kejadian
yang rutin. Sedangkan untuk komunitas sekolah, nilai indeks tertinggi dimiliki oleh komunitas
sekolah di Kota Padang, sebagai dampak dari adanya pelatihan dan simulasi bagi sebagian
siswa di kota ini. Sedangkan nilai indeks rencana tanggap darurat yang terendah berasal dari
komunitas sekolah di perdesaan Aceh Besar, karena masih disibukkan dengan pemulihan proses
belajar dan mengajar serta pembangunan fisik sekolah pasca bencana.
Kurangnya kesiapsiagaan masyarakat di ketiga lokasi juga berkaitan dengan masih minimnya
dukungan dari stakeholders pendukung. Meskipun di Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang
terdapat banyak LSM, tetapi belum ada satupun LSM di perdesaan Aceh Besar dan Kota
Bengkulu yang konsen dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengantisipasi bencana. Di
perdesaan Aceh Besar, LSM masih konsentrasi pada kegiatan rehabilitasi dan pembangunan
fisik pasca bencana. Di Kota Bengkulu, hanya beberapa stakeholders pendukung di tingkat
Dari hasil kajian juga terungkap bahwa semua lokasi belum memiliki sistim peringatan bencana.
Hal ini dicerminkan dari indeks kesiapsiagaan pemerintah untuk peringatan bencana masih rendah
dan termasuk kategori belum siap dan kurang siap. Kesiapsiagaan komunitas sekolah lebih
bervariasi, mulai dari belum siap di Kota Padang, kurang siap di perdesaan Aceh Besar dan
hampir siap di Kota Bengkulu. Gambaran yang serupa juga terjadi untuk rumah tangga, tetapi
tingkat kesiapsiagaanya lebih tinggi satu tingkat, yaitu mulai dari kurang siap, hampir siap dan
siap. Variasi ini mungkin berkaitan dengan bervariasinya kepemilikan akses untuk mendapatkan
informasi peringatan bencana. Rumah tangga di Kota Bengkulu memiliki akses yang paling tinggi,
sebaliknya yang paling rendah dipunyai oleh rumah tangga di desa-desa Aceh Besar. Keadaan
ini dapat dipahami, mengingat masyarakat Aceh baru mengalami bencana yang menghabiskan
harta benda dan mengganggu perekonomian penduduk. Jaringan dan fasilitas komunikasi yang
menjadi sumber informasi juga masih terbatas di desa-desa kajian.
Seperti parameter kesiapsiagaan yang lain, kemampuan memobilisasi sumber daya juga berbeda
antar stakeholders dan antar lokasi. Hasil kajian mengungkapkan bahwa stakeholders
pemerintah, kecuali pemerintah kecamatan di Aceh Besar, mempunyai kemampuan yang lebih
tinggi, jika dibandingkan dengan komunitas sekolah dan rumah tangga. Indeks tertinggi dimiliki
pemerintah di Kota Padang, khususnya pemerintah kota dengan nilai maksimum sebesar 100,
tetapi belum diikuti oleh pemerintah kecamatan yang belum mampu memobilisasi sumber daya
yang terdapat di kecamatannya. Berbeda dengan Padang, pemerintah kecamatan di Kota Bengkulu
lebih mampu memobilisasi sumber daya daripada pemerintah kota. Hal ini berkaitan erat dengan
pengalaman pemerintah kecamatan yang seringkali menangani bencana banjir dan bencana lainnya
di wilayahnya. Sedangkan untuk pemerintah kecamatan di Aceh Besar belum mampu untuk
memobilisasi sumber daya, sebagai dampak dari terjadinya bencana gempa dan tsunami tahun
2004. Kemampuan stakeholders rumah tangga dan komunitas sekolah untuk memobilisasi sumber
daya di semua lokasi kajian masih sangat rendah, dicerminkan dari nilai indeks yang berada pada
level paling bawah atau belum mampu untuk memobilisasi sumber daya yang ada di rumah tangga
dan sekolah.
Dari kajian di perdesaan Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang mengindikasikan bahwa semua
lokasi belum optimal dalam menyiapkan dan mengantisipasi terjadinya bencana. Keadaan ini
perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat ketiga lokasi tersebut rentan terhadap bencana
alam. Peningktan kepedulian akan pentingnya kesiapsiagaan dan kemampuan untuk mengantisipasi
bencana bagi rumah tangga, pemerintah dan komunitas sekolah masih sangat diperlukan, utamanya
untuk mengurangi korban dan resiko bencana.
Hasil kajian ini memberikan pembelajaran yang berarti untuk pengembangan framework dan
instrumen serta upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di perdesaan Aceh Besar,
Kota Bengkulu dan Padang. Pembelajaran tersebut berupa rekomendasi yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: framework dan tools, kesiapsiagaan dalam
mengantisipasi bencana di tiga lokasi kajian dan rekomendasi yang bersifat umum.
- Kajian ini merekomendasikan untuk penggunaan paket instrumen secara lengkap. Masing-
masing instrumen punya kekuatan dan kelemahan masing-masing, sehingga penggunaan paket
yang lengkap akan memberikan hasil yang akurat dan komprehensif dengan pemahaman yang
mendalam mengenai kesiapsiagaan masyarakat secara keseluruhan, termasuk stakeholders
utama dan pendukung. Penggunaan instrumen kuesioner melalui survei/angket menghasilkan
data kuantitatif dan/atau check list yang memberikan gambaran kasar tingkat kesiapsiagaan
masyarakat. Sedangkan penggunaan instrumen lain melalui kegiatan FGD, workshop dan
wawancara, memungkinkan pengguna untuk menggali informasi sedalam-dalamnya dan
melakukan check dan re-check terhadap akurasi dan validasi serta kelengkapan data yang
diisi melalui kuesioner. Dengan demikian akan diperoleh gambaran tingkat kesiapsiagaan yang
lengkap dan detail. Pemahaman yang mendalam ini sangat diperlukan untuk mengetahui tindak
lanjut apa saja yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di lokasi
kajian.
- Penggunaan paket instrumen yang lengkap memerlukan SDM dan dana yang relatif besar, 491
karena itu apabila sumber daya tersebut terbatas, ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan,
disesuaikan dengan tujuan dan kemampuan pengguna instrumen, antara lain:
• Apabila data yang ingin dikumpulkan adalah check list dari parameter dan variabel
kesiapsiagaan terhadap bencana, maka dapat melakukan angket dengan menggunakan
instrumen kuesioner untuk stakeholder tertentu saja, misalnya untuk pemerintah menggunakan
kuesioner dengan seri P1, P2 dan P3, dan komunitas sekolah menggunakan kuesioner dengan
seri S1, S2 dan S3.
• Apabila ingin mengetahui tingkat kesiapsiagaan pemerintah, seperti: pemerintah kota dan
pemerintah kecamatan, maka dapat menggunakan instrumen pemerintah dengan seri P1
dan P2 dan perhitungan tingkat kesiapsiagaan menggunakan formula yang telah disediakan
untuk pemerintah. Penilaian ini dapat dilakukan sendiri oleh pemerintah (self assessment).
• Apabila memerlukan data kualitatif dengan pemahaman yang mendalam, maka dapat
melakukan wawancara dengan narasumber dari stakeholders utama saja, atau jika
memungkinkan juga melakukanwawancara dengan stakeholders pendukung, menggunakan
instrumen pedoman wawancara sesuai dengan stakeholders yang diwawancarai.
• Apabila memerlukan informasi singkat kesiapsiagaan terhadap bencana dari semua komponen
stakeholders kesiapsiagaan masyarakat, stakeholders utama dan pendukung, maka dapat
melakukannya secara cepat melalui kegiatan workshop.
• Apabila memerlukan informasi kesiapsiagaan dari kelompok tertentu saja, seperti masyarakat
dan komunitas sekolah, maka dapat melakukan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dengan
instrumen panduan FGD.
- Bagi pengguna lain yang ingin memanfaatkan framework ini diperlukan pemahaman yang cukup
baik mengenai metode yang dipakai maupun analisanya. Di samping itu, diperlukan juga
pengetahuan dan pemahaman substansi materi kesiapsiagaan bencana bagi pengguna alat ukur
penelitian serta pendukungnya.
- Kemudahan akses penggunaan alat ukur (dengan software?) untuk mengkaji hasil penelitian
dengan lebih mudah dan lebih baik.
Pengguna alat ukur dalam framework ini bisa berbeda-beda. Keadaan ini berpotensi
menimbulkan perbedaan kualitas hasil ukur di wilayah yang berbeda juga. Untuk meminimalisir
kemungkinan tersebut, maka penyediaan software akan sangat membantu pengguna alat ukur
dalam mengintegrasikan hasil data kuantitatif menjadi luaran yang baik. Ini juga menjadi salah
satu cara mengendalikan kualitas variatif dari pengguna alat ukur yang berbeda. Software
semacam ini akan sangat bermanfaat untuk memudahkan pengguna alat ukur dalam mengelola
dan menganalisa data kuantitatif.
- Dalam pelaksanaan di lapangan beberapa metode memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat,
sehingga diperlukan pendekatan yang paling sesuai dan dengan bahasa yang sederhana yang
dapat dipahami masyarakat sasaran. Untuk memperoleh informasi sedalam mungkin, seringkali
terkendala oleh bahasa, sehingga dalam diskusi kelompok seringkali memerlukan bantuan
penterjemah yang dapat menjembatani komunikasi antar peserta.
- Kondisi sosial politik yang selama ini dihadapi masyarakat di perdesaan Aceh kurang memberi
akses pada masyarakat untuk berkomunikasi dengan masyarakat luar. Untuk mendapatkan
data yang akurat dan valid diperlukan pendekatan yang hati-hati dan pemahaman religius yang
relevan dengan maksud penelitian. Pendekatan ini memerlukan pelaku kajian yang sesuai dengan
bidang studi dan memahami kondisi masyarakat sasaran.
493
- Kondisi Aceh yang belum normal menyebabkan hasil pengukuran tingkat kesiapsiagaannya
juga bersifat sementara dan akan berubah sesuai dengan proses rehabilitasi di lapangan (misal
dalam mobilisasi sumber daya). Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kerangka
kesiapsiagaan bencana yang dihadirkan oleh berbagai lembaga/organisasi yang bekerja dalam
lingkup pengurangan resiko bencana di Indonesia.
- Dari hasil kajian juga terungkap pentingnya rencana aksi untuk keadaan darurat bencana,
seperti pembuatan peta-peta evakuasi, pemasangan rambu-rambu tanda bahaya dan jalur-
jalur evakuasi.
- Jalur evakuasi perlu direncanakan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Selain harus
memenuhi syarat keamanan selama dipakai evakuasi, juga mudah dikenali. Dalam laporan ini,
jalur evakuasi menghadapi bencana tsunami masih bersifat umum, perlu dilakukan kajian langsung
- Blok pertama adalah kawasan Utara (gambar 6.1.1.) yang dibatasi oleh Sungai Bengkulu di
selatan dan Air Hitam di utara serta kawasan pantai di sisi barat. Pengungsi disarankan tidak
menyebrang ke arah kedua sungai tersebut dan menjauhi kawasan pantai menuju komplek
Universitas Bengkulu, Padang Limun maupun Bentiring.
- Blok kedua adalah Bengkulu Kota atau kawasan barat yang mempunyai kerapatan penduduk
cukup tinggi (gambar 6.1.2.). Pada zona ini, sepanjang jalan protokol cukup aman sebagai
tempat evakuasi sementara, sebelum menuju ke daerah evakuasi permanen. Penduduk Pasar
Bengkulu dianjurkan tidak menyebrangi Sungai Bengkulu, tetapi bergeser ke selatan menuju
kawasan Kantor Gubernur/Walikota. Penduduk daerah sepanjang Sungai Bengkulu sebaiknya
menjauhi kawasan aliran dan muara sungai, menuju ke arah desa Surabaya dan ke arah selatan,
tetapi hindari sepanjang kawasan danau. Kemudian penduduk dearah Padang Besi, Kampung
Cina, Sumur Maleleh dan Anggut Utara dianjurkan menuju jalan protokol atau kawasan Kantor
Gubernur/Walikota. Warga daerah Kecamatan Ratu Samban dan Ratu Agung, Lempuing dapat
menuju arah aman sepanjang jalur protokol sebelum didistribusikan ke tempat pengungsian
permanen.
497
- Blok ke tiga adalah kawasan tengah menyangkut Kecamatan Gading Cempaka dan Selebar
(gambar 6.1.3.). Kawasan ini dibagi dalam 3 sub blok dipisahkan oleh aliran sungai. Seperti
kawasan lainnya, daerah jalan protokol dapat dijadikan tempat penampungan sementara,
sebelum menuju ke kawasan penampungan seperti daerah Rumah Sakit M.Yunus dan Pemadam
Kebakaran. Sementara penduduk sekitar Pager Dewa dapat segera menuju ke arah STAIN
atau UIN. Penduduk sekitar bandara dapat bergerak menuju bandara dengan menjauhi pantai
ataupun jembatan.
- Kawasan selatan merupakan Kecamatan Kampung Melayu termasuk di dalamnya Desa Teluk
Sepang (gambar 6.1.4.). Sebagian besar merupakan daerah dataran berawa. Bandara Fatmawati
dapat dijadikan tempat evakuasi dengan cara menjauhi pantai dan jembatan bagi penduduk
Desa Kandang, Sumberjaya dan padang Serai. Sementara Desa Teluk Sepang dapat mengarah
ke arah Kabupaten Bangkulu Utara (Desa Jenggalu dan Simpang) dengan menghindari
jembatan besar sekitar muara sungai.
- Tempat evakuasi permanen Kota Bengkulu harus memenuhi beberapa syarat, yaitu daerah
dataran atau lapangan cukup luas dengan ketinggian di atas 15 meter dari permukaan laut,
mempunyai atau diketahui ada sumber air bersih dan dekat dengan tempat pembuangan air
kotor atau sanitasi. Skenario terburuk adalah jembatan dan jaringan PDAM putus, maka akan
cukup sulit distribusi air bersih. Walaupun bukan bangunan permanen, pemerintah setempat
sudah harus punya perencanaan lokasi tempat evakuasi permanan. Tempat pengungsian
permanen di kawasan utara mempunyai banyak pilihan, antara lain sekitar Universitas Bengkulu
ataupun daerah kawasan baru pemerintah Kota Bengkulu. Walaupun demikian perlu dilakukan
499
Gambar 6.1.2..
Peta Evakuasi Kawasan Barat
Catatan : Keterangan lihat gambar 6.1.1.
Jalan protokol dapat merupakan tempat evakuasi sementara
Gambar 6.1.4.
Peta Evakuasi Kawasan Selatan. Bandara Fatmawati
- Agar rencana tanggap darurat dan upaya meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana dapat
dilakukan, maka kegiatan Satlak PB dan kapasitas anggotanya perlu ditingkatkan. Prosedur
tetap (protap) pembagian tugas dan tanggung jawab anggota satlak harus segera dibuat dan
disosialisasikan pada anggota agar dapat diimplementasikan. Upaya ini akan terwujud apabila
disertai dengan political will dari pemerintah kota, terutama melalui kebijakan, program dan
alokasi dana kesiapsiagaan bencana serta mobilisasi sumber daya yang masih perlu ditingkatkan,
agar pengalaman pahit bencana gempa di Kota Bengkulu tidak terulang kembali.
• Kota Padang
Individu/Rumah Tangga
- Indeks kesiapsiagaan rumah tangga di Kota Padang, kendatipun termasuk kategori hampir
siap, tetapi baru mencapai 56. Tentu saja masih memerlukan peningkatan, apalagi besarnya
nilai indeks tersebut merupakan kontribusi dari parameter pengetahuan yang mempunyai nilai
sebesar 72 (termasuk dalam kategori siap) serta parameter sistem peringatan bencana sebesar
73 (kategori siap). Sementara itu parameter rencana tanggap darurat rumah tangga hanya 501
sebesar 42 (kategori kurang siap), bahkan untuk parameter mobilisasi sumberdaya hanya 32
, yang termasuk kategori belum siap. Dengan demikian, peningkatan nilai indeks kesiapsiagaan
rumah tangga selain melalui peningkatan pengetahuan dan akses terhadap sistem peringatan
bencana juga perlu ditekankan pada peningkatan kesiapan rumah tangga untuk rencana tanggap
darurat rumah tangga dan mobilisasi sumberdaya. Rencana tanggap darurat rumah tangga
seperti melalui rencana keluarga untuk merespon keadaan darurat, dan rencana evakuasi
yaitu tersedianya peta, tempat dan jalur evakuasi keluarga dapat meminta bantuan dari LSM
dan Dinas Kesejahteraan Sosial Penaggulangan Banjir dan Bencana Kota Padang. Sedangkan
untuk mobilisasi sumberdaya, perlu peningkatan jaringan sosial antar rumah tangga melalui
pertetanggaan, lingkungan RT-RW, dan atau melalui jorong dan nagari serta kekerabatan yang
masih kental pada masyarakat Minang. Hal itu dimaksudkan untuk meningkatkan solidaritas
dan akses bantuan logistik dan lain-lain yang diperlukan saat terjadi bencana. Sedangkan untuk
peningkatan kualitas anggota rumah tangga berkaitan dengan kesiapsiagaan bencana, juga
dapat meminta bantuan pada LSM dalam hal ini Kogami dan instansi terkait untuk memberikan
pelatihan.
- Indeks kesiapsiagaan bila dilihat menurut tingkat pendidikan, menunjukkan korelasi yang sangat
signifikan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar nilai indeks kesiapsiagaannya. Untuk
narasumber wakil dari rumah tangga yang berpendidikan tamat SD ke bawah dan tamat SMP
serta SMA mempunyai nilai indeks yang hampir sama yaitu sebesar 52 dan 53. Sedangkan
pada informan yang berpendidikan perguruan tinggi indeksnya sebesar 60. Dengan demikian,
pendidikan sebagai investasi jangka panjang merupakan media strategis bagi peningkatan
kesiapsiagaan yang dapat dimulai dari komunitas sekolah baik melalui kurikulum maupun ekstra
kurikuler.
Pemerintah
- Indeks kesiapsiagan Kota Padang cukup tinggi sebesar 63, masuk dalam kategori hampir
siap. Namun demikian tingginya nilai indeks pemerintah kota Padang tidak terlepas dari dukungan
dan peran stakeholders lain seperti Kogami, PMI, sektor swasta dan organisasi profesi, seperti
ORARI dan RAPI. Hal yang perlu mendapat perhatian Pemerintah Kota Padang untuk lebih
memaksimalkan implementasi rencana kesiapsiagaan menghadapi bencana di lapangan adalah
optimalisasi peran dan fungsi Satlak. Pemerintah Kota Padang telah membentuk Satlak dengan
SK walikota. Organisasi Satlak ini terdiri dari berbagai unsur dari instansi pemerintah kota,
LSM dan organisasi profesi. Meskipun telah terbentuk, Satlak Kota Padang belum optimal
melaksanakan fungsinya. Berbagai upaya dan kegiatan tentang kesiapsiagaan menghadapi
bencana yang dilaksanakan di Kota Padang dalam beberapa tahun terakhir ini dikoordinir
oleh salah satu dinas pemerintah kota, yaitu Dinas Kesejahetraan Sosial dan Penanggulangan
Bencana (Kesos dan PB). Secara organisatoris, Dinas Kesos dan PB Kota Padang mempunyai
kendala untuk melakukan koordinasi, karena kapasitas kelembagaan tidak bisa secara resmi
melakukan koordinasi dengan instansi lainnya di jajaran pemerintah kota. Jika melakukan
koordinasi, seperti melakukan rapat koordinasi undangannya harus melalui sekertaris kota
(sekot). Jika peran Satlak dioptimalkan, maka fungsi koordinasi tersebut menjadi tanggung
jawab Satlak dan secara kelembagan menjadi wewenangnya.
- Hasil kajian ini menemukan perbedaan yang cukup signifikan antara indeks kesiapsiagaan
bencana Pemerintah Kota Padang dan Pemerintah Kecamatan. Semua parameter indeks
kesiapsiagaan bencana pemerintah kecamatan nilainya jauh lebih rendah dari indeks Pemerintah
Komunitas Sekolah
- Indeks kesiapsiagaan komunitas sekolah cukup baik dengan nilai 59 (level hampir siap). Namun
demikian dalam komponen indeks kesiapsiagaan komunitas sekolah juga terdapat kesenjangan
antara tingkat kesiapan sekolah, guru dan murid. Dari ketiga komponen indeks komunitas
sekolah tersebut, kesiapsiagaan siswa mempunyai nilai indeks tertinggi sebesar 80, pada level
sangat siap. Sebaliknya kesiapsiagaan sekolah justru mempunyai indeks terendah sebesar 40,
ada pada level belum siap. Sementara itu, indeks kesiapsiagaan guru nilainya 63, pada level
siap. Temuan ini menggambarkan bahwa peran sekolah dan guru dalam memfasilitasi siswa
untuk meningkatkan pengetahuan, kepedulian dan sikap dalam menghadapi bencana belum 503
optimal. Dalam hal ini sekolah masih menghadapi berbagai kendala dalam memfasilitasi siswa
mendapatkan pembelajaran tentang gempa dan tsunami melalui sekolah. Secara umum sekolah-
sekolah yang ada di Padang belum mempunyai materi berupa buku panduan, leaflet tentang
bencana dan berbagai bahan pendukung lainnya. Di samping itu, jumlah guru di tiap sekolah
yang mempunyai pengetahuan tentang bencana masih minim. Minimnya jumlah guru yang
mempunyai pengetahuan tentang gempa dan tsunami ini berkaitan dengan rendahnya akses
guru terhadap berbagai kesempatan untuk mengikuti pelatihan/seminar dan workshop. Berbagai
kendala yang dihadapi oleh sekolah dan guru tersebut bermuara pada belum adanya kebijakan
tertulis yang dapat dijadikan dasar bagi sekolah untuk memberikan pelajaran (mensosialisasikan)
kepada siswa tentang gempa dan tsunami. Di lain pihak, baik sekolah maupun guru memandang
sangat perlu untuk memberikan pelajaran tentang bencana pada siswa, mengingat Kota Padang
merupakan kota yang rawan terhadap ancaman bencana alam. Pemberian pelajaran tentang
bencana kepada siswa tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler (ekskul),
paket atau muatan lokal (mulok). Oleh karena itu, kebijakan tertulis pada level kota (Dinas
Pendidikan Kota Padang) yang mendukung pelaksanaan pemberian pelajaran tentang bencana
alam di sekolah-sekolah sangat diperlukan. Selain kebijakan tertulis sebagai landasan
Rekomendasi Lainnya
- Akses masyarakat terhadap hasil kajian serta upaya dan dukungan tindak lanjutnya
Tantangan sebuah aktivitas penelitian di sebuah daerah adalah minimnya manfaat yang dapat
dirasakan langsung oleh masyarakat. Sedangkan kontribusi responden dan informan sangat
besar dalam mewujudkan kesuksesan sebuah penelitian. Oleh karenanya, masyarakat perlu
mendapatkan akses untuk mengetahui hasil-hasil dari kajian tersebut, untuk kemudian menjadi
bahan pemberdayaan swadaya oleh masyarakat sendiri ketika membangun perencanaan desa.
Namun demikian, hasil penelitian yang disampaikan kepada masyarakat, perlu diterjemahkan
dalam presentasi yang lebih sederhana dan dan mudah dipahami, misalnya melalui ringkasan
hasil penelitian.
Sebuah penelitian akan menjadi lebih besar maknanya bagi masyarakat, ketika masyarakat
juga mendapatkan akses untuk menindaklanjuti hasil dari penelitian tersebut. Misalnya, dari
hasil penelitian diindikasikan bahwa desa sebenarnya sudah mampu membentuk kesepakatan
setempat untuk membangun sistem peringatan bencana. Maka masyarakat melalui tokoh yang
berperan penting dalam komunitasnya dapat memulai upaya pembangunan sistem tersebut,
tanpa perlu menunggu intervensi atau bantuan pihak lain di luar desa. Namun untuk beberapa
aktivitas tindak lanjut yang tidak dapat dimobilisasi semata-mata dari sumberdaya desa, maka
penting juga untuk mendiseminasikan peluang bantuan bagi desa. Sebagai contoh, tim peneliti
Aceh juga menyampaikan peluang dukungan bagi desa kepada beberapa NGO (non-
governmental organization) untuk menangkap dan menindaklanjuti kebutuhan dasar
masyarakat, seperti pelatihan kesiapsiagaan bencana berbasis sekolah dan desa, sesuai dengan
isu yang dikaji.
- Akses publik terhadap hasil penelitian (pemerintah daerah, LSM, universitas setempat, donor
dan akses antar daerah)
Paradigma lain yang perlu diubah adalah berbagai lembaga ilmu-pengetahuan atau lembaga
yang berbasis riset perlu terus ‘membumikan’ temuan-temuan ilmiahnya, baik bidang teknis
maupun sosial-ekonomi, agar manfaat terbanyak dirasakan oleh masyarakat terutama yang
505
Penghargaan dan ucapan terima kasih kami tujukan kepada semua stakeholders yang
berpartisipasi dalam pengembangan framework, termasuk wakil dari instansi pemerintah, seperti:
Depdagri, BMG, Kominfo, Diknas dan Bakornas, LSM dan ORNOP, seperti: Walhi, KOGAMI
dan PMI, akademisi dari ITB dan UNAND, lembaga internasional, seperti: IFRC dan UNESCO
serta peneliti dari bidang Geoteknologi, Oceanografi dan Kependudukan LIPI.
Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua kontribusi dalam kegiatan kajian
kesiapsiagaan masyarakat di perdesaan Kabupaten Aceh Besar, Kota Bengkulu dan Padang.
Kegiatan di ketiga lokasi ini dapat berjalan dengan baik atas kerjasama dan dukungan serta 511
bantuan tanpa pamrih masyarakat, khususnya yang menjadi responden penelitian, tokoh-tokoh
masyarakat, guru, kepala sekolah, LSM dan ORNOP, pejabat dan aparat pemerintah tingkat
kota dan kecamatan serta para kepala desa atau kelurahan di Aceh Besar, Kota Bengkulu dan
Padang. Terima kasih kami sampaikan pada Pemerintah Kecamatan Leupung dan Pulo Aceh,
Pemerintah Kota Bengkulu dan Pemerintah Kota Padang atas semua bantuan dan partisipasinya.
LIPI juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada PMI Aceh Besar, Fakultas
Fisip Universitas Bengkulu dan KOGAMI yang telah membantu dalam kegiatan survei/angket
untuk masyarakat, pemerintah dan komunitas sekolah.
Pelaksanaan kajian ini dapat terwujud atas dukungan pimpinan LIPI dan steering committee.
Ucapan terima kasih kami sampaikan pada ketua LIPI, Prof.Dr.Ir. Umar Anggara Jenie, Apt,
MSc dan Deputi IPK LIPI, Prof.Dr.Ir. Jan Sopaheluwakan, MSc atas segala dukungannya.
Terima kasih kami tujukan pada Dr. Sugeng dari Bakornas; Dr. Hery Haryono, Kepala Pusat
Penelitian Geoteknologi; Dr. Suharsono, Kepala Puslit Oceanografi; Dr. Aswatini, Kepala Puslit
Kependudukan dan Dr. Neni Sintawardani Ka Biro Kerjasama dan Pemasyarakatan IPTEK
LIPI.
Kajian dan laporan ini dapat terlasana atas kerja keras anggota tim. Terima kasih kepada Dr.
Deny Hidayati; Dr. Haryadi Permana; Dr. Krishna Pribadi; Dr. Teti Argo; Dr. Febrin Ismail; Dra
Laila Nagib, MA; Widayatun SH, MA; Dra. Titik Handayani, Msi; Drs. Dalyo, MA; Fitranita,
Ssi; Drs. Ngadi, Msi; Drs. Herry Yogaswara, MA; Ir. Yugo Kumoro MSc; Dr. Eko Yulianto;
Drs. Del Afriadi Bustami, MBiomed dan Irina Rafliana SE. Ucapan terima kasih juga disampaikan
pada Deny Sutisna, Yos Maryo, Dwi Sekar Asih, Juriono dan Puji Hartana.
Tim telah berusaha untuk mengembangkan framework dan paket instrumen serta melakukan
kajian secara komprehensif, tetapi kami menyadari sepenuhnya bahwa framework dan laporan
ini belum sempurna. Karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan untuk penyempurnaannya.
Kami berharap agar framework dan paket instrumen ini dapat digunakan di daerah-daerah lain
di Indonesia, terutama yang rentan terhadap bencana. Dengan pengukuran tingkat kesiapsiagaan
bencana, dapat diketahui apa yang sudah dilakukan dan apa yang masih perlu dipersiapkan oleh
masyarakat, pemerintah dan stakeholders lainnya untuk mengantisipasi dan mengurangi resiko
bencana.
Dr. Suharsono
Kepala Pusat Penelitian Oceanografi LIPI
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang mewakili wilayah yang paling rentan terhadap
berbagai bencana alam. Dalam kurang dari dua tahun terakhir, Indonesia mengalami dua bencana
gempa bumi yang dahsyat, yaitu gempa Aceh dan Nias disusul tsunami yang kemudian menjadi
bencana alam terbesar dalam dekade terakhir. Kemudian gempa Jogjakarta di bulan Mei 2006
yang menelan korban jiwa lebih dari 6500 jiwa serta kerugian harta benda, yang tak ternilai.
Catatan sejarah serta temuan-temuan ilmiah semakin meyakinkan potensi pengulangan bencana
alam di masa depan di hampir seluruh wilayah di Indonesia.
Minimnya pengetahuan untuk memulai gerakan siaga bencana yang lebih terlembaga dalam
masyarakat adalah penyebab utama tingginya korban akibat dinamika proses alam yang terus
berlangsung. Kesiapsiagaan bencana juga menjadi kurang optimal dengan insitiatif – inisiatif
sporadis yang dilakukan oleh berbagai pihak yang peduli untuk mengurangi resiko bencana alam.
Hal inilah yang menjadi pemahaman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, bekerja sama dengan
UNESCO (United Nations Educational and Scientific Cooperation) yang didukung penuh oleh
ISDR (International Strategy for Disaster Reduction) untuk mengembangkan Kerangka Kerja
Kajian (Assessment Framework) Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana
iii
Alam. Kerjasama kemudian digalang, untuk menggagas alat ukur tingkat kesiapsiagaan bencana
masyarakat, termasuk pemerintah daerahnya, dalam mengantisipasi bencana alam. Alat ukur ini
didesain dengan penekanan pada kesiapsiagaan terhadap potensi gempa serta tsunami. Desain
alat ukur mengintegrasikan aspek sosial ekonomi, pendidikan, ekologi lingkungan, geologi, maupun
teknik fisik. Namun diupayakan menjadi produk yang cukup generik serta sederhana untuk
diterapkan dalam mengukur kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana alam lainnya, seperti
banjir, longsor atau badai yang kerap muncul di wilayah pesisir Indonesia.
Desain alat ukur dalam sebuah kerangka kerja (assessment framework) yang belum pernah
dimiliki Indonesia ini, dikembangkan dengan upaya kerja keras lembaga ilmiah serta perguruan
tinggi di Indonesia, diantaranya LIPI, Univeritas Andalas serta Institut Teknologi Bandung.
Sejumlah lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah ikut serta dalam proses
pengembangannya, diantaranya Bakornas, Palang Merah Indonesia, Departemen Dalam Negeri,
Kogami, Departemen Komunikasi dan Informasi, Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia,
Walhi, Badan Meteorologi dan Geofisika dan lembaga lainnya yang bergerak di bidang
kesiapsiagaan masyarakat.
Dengan memiliki tolok ukur yang jelas serta mengakomodasi faktor – faktor kritis yang paling
sesuai dengan kondisi kelokalan di Indonesia, upaya dalam menuju peningkatan kesiapsiagaan
masyarakat dalam mengantisipasi bencana yang lebih terarah, menjadi lebih mudah. Tolok ukur
ini juga mencerminkan bagaimana upaya membangun gerakan kesiapsiagaan untuk mengurangi
resiko bencana yang terlembaga di dalam badan masyarakat, tidak dapat dilakukan oleh satu
pihak, namun merupakan sinergi jangka panjang yang konsisten serta kerjasama erat semua
pihak yang peduli terhadap kerentanan serta potensi bencana yang masih menghadang di masa
depan.
Dokumen cetak biru ini menyajikan suatu kerangka komprehensif untuk mengukur kesiapsiagaan
komunitas dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami. Materi yang tercakup di dalamnya
meliputi ringkasan hasil uji coba implementasi kerangka tersebut di tiga daerah studi, yaitu Aceh,
Padang, dan Bengkulu. Hasil uji coba yang merefleksikan tingkat kesiapsiagaan masyarakat
yang tinggal di kota besar, kota menengah, dan desa telah diperbarui dengan masukan teknis dan
ilmiah melalui pendekatan holistik dan lintas sektoral. Di samping itu, cetak biru ini memuat hasil
studi lapangan tentang pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan di Pulau Simeuleu sebagai
suatu sistem peringatan dini berbasis lokal yang berkontribusi terhadap upaya kesiapsiagaan
masyarakat.
Terlepas dari komitmen pemerintah dan dukungan dari banyak negara untuk membangun suatu
sistem peringatan bahaya tsunami dan bahaya-bahaya lainnya, isu utama yang terkait dengan
kesiapsiagaan masyarakat masih perlu difokuskan. Pengembangan dan penggunaan sistem
peringatan secara terpusat belum tentu menghasilkan tindakan respon yang diharapkan pada
tingkat komunitas. Walaupun masyarakat telah diperingatkan akan terjadinya bencana, mereka
mungkin masih ragu-ragu untuk melakukan evakuasi atau tindakan penyelamatan diri lainnya v
dikarenakan berbagai pertimbangan, seperti hilangnya mata pencaharian kelak. Oleh karena itu,
strategi kesiapsiagaan terhadap bencana penting untuk dikembangkan dimana masyarakat dan
pihak terkait lainnya diberikan sarana untuk mengukur dan mengenali tingkat kesiapan mereka
dalam menghadapi bencana. Dengan begitu, mereka mampu memberikan respon yang tepat
pada saat bencana terjadi.
Sejalan dengan permintaan Pemerintah Republik Indonesia untuk turut serta mendukung dalam
pengembangan sistem peringatan tsunami, UNESCO telah mengembangkan dan melakukan
beragam kegiatan seperti penguatan kapasitas dalam pengoperasian teknis sistem peringatan
dini bahaya sampai dengan kegiatan penguatan kesiapsiagaan masyarakat. Pada bulan Juni 2005,
hasil diskusi antara UNESCO dan LIPI - institusi pemerintah yang ditunjuk oleh Wakil Presiden
Republik Indonesia untuk bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan penyadaran publik untuk
bencana - untuk memperkuat kesiapsiagaaan masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di
sekitar pantai barat Pulau Sumatera.
Han Qunli
Director a.i.
UNESCO Office, Jakarta
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR DIAGRA
DAFTAR LAMPIRAN
1. PENDAHULUAN 1
3.1. Metode 41
3.1.1. Pengumpulan Data 42
3.1.2. Pengolahan dan Analisis Data 46
3.2. Instrumen 50
3.2.1. Kuesioner 50
3.2.2. Panduan Diskusi Terfokus dan Workshop 51
3.2.3. Pedoman Wawancara Mendalam 52
3.3. Sampling 52
3.3.1. Lokasi 52
3.3.1.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 53
3.3.1.2. Kota Bengkulu 54
3.3.1.3. Kota Padang 56
3.3.2. Responden 59
3.3.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besa 59
3.3.2.2. Kota Bengkulu 61
3.3.2.3. Kota Padang 63
3.4.2. Survei/Angket 78
3.4.2.1. Perdesaan Kabupaten Aceh Besar 78
3.4.2.2. Kota Bengkulu 79
3.4.2.3. Kota Padang 83
3.4.4. Workshop 90
3.4.4.1. Kota Bengkulu 91
3.4.4.2. Kota Padang 94
4. HASIL KAJIAN
8. LAMPIRAN
Tabel 3.3.1.3. Lokasi Penelitian Rumah Tangga Menurut Zona di Kota Padang 58
Tabel 3.3.2.2. Jumlah Responden Rumah Tangga Menurut Lokasi dan Zona,
Kota Bengkulu 61 xv
Tabel 3.3.2.3. Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan
Tingkatan Sekolah, Kota Bengkulu 62
Tabel 3.3.2.6. Jumlah Responden Guru dan Siswa Menurut Zona dan
Tingkatan Sekolah, Kota Padang 66
Tabel 4.1. Rekaman Kejadian Gempa Bumi dan Tsunami di Sumatera 104
Table 4.1.4.1. Pendapat responden tentang penyebab terjadinya gempa bumi dan
ciri-ciri gempa kuat (presentase yang menjawab “ya”) 159
Tabel 4.2.2.5. Rencana Tanggap Darurat Bagi Keluarga Menurut Zona, Kota
Bengkulu,2006 234
Tabel 4.2.4.10. Pendapat Siswa Mengenai Tindakan yang Harus Dilakukan untuk
Meningkatkan Kewaspadaan terhadap Bencana (Persentase yang
Menjawab ya) 301
Tabel 4.2.4.11. Rencana Tanggap Darurat di Sekolah Sampel Kota Bengkulu 304
Tabel 4.2.4.15. Jenis Bahan dan Materi tentang Gempa dan Tsunami yang
Diperoleh Siswa di Sekolah (Persentase yang Menjawab Ya) 312
Tabel 4.2.4.19. Mobilisasi Sumber Daya Sekolah Sampel Kota Bengkulu 318
Tabel 4.3.1.3. 4. Jumlah Penduduk Kota Padang Yang Tinggal Di Lokasi/ Zona
Rawan Menurut Kecamatan dan Kelurahan 355
Tabel 4.3.3.3.1. Resume Indikator Rencana Tanggap Darurat, Kota Padang 386
Tabel 4.3.4.3.2. Tindakan yang dilakukan guru jika terjadi gempa bumi pada
saat mengajar menurut tingkat sekolah 428
Tabel 4.3.4.6.3. Tingkat Kesiapsiagaan Guru Menurut Zona dan Tingkat Sekolah. 445
Tabel 4.3.4.6.4. Tingkat Kesiapsiagaan Siswa Menurut Zona dan Tingkat Sekolah 447
Tabel 5.3.1. Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode
Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan
Bencana Alam di Kota Bengkulu 473
Tabel 5.4.1. Kelompok Target Prioritas, Materi yang Diperlukan dan Metode
Pendidikan dan Kepedulian Masyarakat terhadap Kesiapsiagaan
Bencana Alam di Kota Padang 478
xxiii
Diagram 4.1.4.4. Pengetahuan Tentang Bencana Alam Menurut Tingkatan Sekolah 166
Diagram 4.3.4.3.4. Akses Murid Terhadap Materi Tentang Gempa dan Tsunami
di Sekolah 430
xxxi
Gambar 4.2.1.5. Penyebaran Jenis Kerusakan Akibat Gempa Bumi Juni 2000
yang Berpusat di Bawah Pulau Enggano 210
Gambar 4.3.1.1.1. Peta topografi daerah Kota Padang dan sekitarnya. 347
Gambar 4.3.1.1.2. Peta sebaran jenis batuan atau geologi daerah Kota Padang 348
Peta 4.3.3.3.1. Peta Evakuasi Kota Padang Jika Terjadi Tsuami 387
Gambar 6.1.3. Peta Evakuasi Kawasan Tengah yang Terbagi dalam Dua Zona 500
Foto 4.1.1.1 (G-J). Gambaran kondisi lapangan Desa Gugop, Pulau Breuh. 112
Foto 4.2.1.1A). Kota Bengkulu Dilihat dari Teluk Segara. B). Panorama
Kota Bengkulu dan Teluk Segara. C). Dataran Pantai dan
Gumuk Pasir Sepanjang Pantai Panjang. D). Morfologi
Punggungan dengan KetinggianSekitar +25 m dpl di Daerah
Air Sebakul. E). Daerah Danau Dendam Tak Sudah. F).
Singkapan Batuan Andesitik di Pager Dewa 207
Foto 4.2.1.1 G). Singkapan Endapan Batu Lempung Tufaan di Padang Besi. H).
Dataran Rawa Sekitar Danau Dendam dan Air Bengkulu dan I)
di Teluk Sepang. J). Abrasi Pantai di Daerah Malabro. K)
Penahan Abrasi di Teluk Segara 209
xxxvii