Model Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali
Model Pengelolaan Lingkungan Di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali
Nyoman Sudipa1*), Made Sudiana Mahendra1), Wayan Sandi Adnyana2), Ida Bagus
Pujaastawa3)
1)
Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana
2)
Program Studi Agroteknologi, Universitas Udayana
3)
Program Studi Ilmu Budaya, Universitas Udayana
*email: nyoman_sudipa@yahoo.com
ABSTRACT
As a regional income barn, the Nusa Penida Tourism Area needs to be managed
comprehensively by involving all available resources, by encouraging new thinking about
managing tourism that synergizes with environmental sustainability in the sustainable
environment of the Nusa Penida Tourism Area. Tourism can increase economic growth but
create a burden on the environment, so that Nusa Penida tourism becomes environmentally
friendly tourism to support the development of green tourism. Progress in tourism impacts the
environment, causes social and cultural changes in society, and impacts the carrying capacity of
land and water from the massive tourism development in Nusa Penida. For this reason, it is
necessary to formulate a model of environmental management that is relevant and has been
developed. This study uses a systems approach with the Interpretative Structural Modeling
(ISM) method to formulate an environmental management model in the Nusa Penida Tourism
Area. This method can be used to help a group, in identifying contextual relationships between
sub-elements of each element that forms a system based on ideas/structures or determinants in a
complex problem (Saxena, 1992). The environmental management model in the Nusa Penida
was formed based on government initiatives by involving all stakeholders as representatives of
the Nusa Penida community and involving other elements such as non-government organizations
and universities. In the management of the environment, institutional arrangements that
specifically handle the environment and tourism of Nusa Penida must be formed with the
government as the initiator and formed in a participatory manner. The recommended model of
environmental management needs to be applied carefully and continued with the formation of
institutions by involving the affected community sectors in Nusa Penida's environmental
management and tourism.
Keywords: tourism; model; management; environment; Nusa Penida
dikembangkan model pengelolaan kawasan Penida. Sub elemen yang disusun mengadopsi
secara komprehensif. atau menawarkan hasil rumusan daya dukung
Model pengeloaan lingkungan adalah lingkungan (air dan tanah), dampak
formulasi objek yang disusun melalui lingkungan dan dampak sosial budaya serta
perencanaan yang terstruktur. Dalam Sub elemen lainnya yang akan diperoleh
pengelolaan lingkungan setiap elemen melalui diskusi, wawancara dengan para
berkewajiban menggunakan potensi secara tokoh, pakar, pelaku dan penggiat pariwisata
arif dan menjaga keberlanjutan sumber daya di Nusa Penida.
lingkungan secara bijaksana (Basna et al., Rumusan Model pengelolaan
2012). Penyusunan model pengelolaan lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa
lingkungan dapat dilakukan dengan Penida dibentuk berdasarkan inisiatif
mengidentifikasi parameter-parameter yang pemerintah dengan melibatkan seluruh
akan saling berkaitan. Pengelolaan pemangku kepentingan sebagai representasi
lingkungan membutuhkan partisipasi masyarakat Nusa Penida dan melibatkan
masyarakat secara aktif didalamnya karena unsur lain seperti lembaga swadaya
masyarakat menjadi subyek dalam masyarakat dan perguruan tinggi. Dalam
pengelolaan lingkungan (Samadikun et al., pengelolaan lingkungan wajib dibentuk
2012). kelembagaan yang khusus menangani
Model pengelolaan lingkungan yang lingkungan dan pariwisata Nusa Penida
baik akan berdampak kepada keberlanjutan dengan pemerintah sebagai inisiator dan
pariwisata di Nusa Penida meliputi dibentuk secara partisipatif.
lingkungan eksternal, kapasitas pengelolaan
dan kinerja lembaga pengelola yang 2. METODOLOGI
berinteraksi dengan kelompok masyarakat
secara partisipatif (Rosadi et al., 2016). 2.1 Waktu Lokasi Penelitian
Model pengelolaan lingkungan berkelanjutan Penelitian dilakukan di Kawasan
dan harus didukung dengan pemberdayaan Pariwisata Nusa Penida dengan titik koordinat
masyarakat yang efektif, menumbuhkan 08o 49’11” Lintang Selatan dan 115o 35’13”
kepedulian lingkungan, meningkatkan Bujur Timur.
ekonomi masyarakat (Wibisono, 2008).
Pembangunan kawasan memperhatikan 2.2 Analisis Data
keterlibatan masyarakat untuk mengelola
dampak yang ditimbulkan, baik dampak Penelitian ini menggunakan pendekatan
positif maupun dampak negatif (Jaya, 2007). sistem dengan metode Interpretatif Structural
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Modelling (ISM) untuk merumuskan model
pariwisata sangat penting seperti kasus di pengelolaan lingkungan di Kawasan
Nusa Penida. Sebagaian besar pariwisata Pariwisata Nusa Penida. Metode ini dapat
Nusa Penida dibangun oleh masyarakat, maka membantu untuk menyederhanakan suatu
dalam menyusun kebijakan pariwisata masalah dan dapat digunakan untuk
representasi masyarakat harus disertakan. mengidentifikasi hubungan kontekstual antar
sub elemen. Beberapa kategori struktur dan
Untuk menyusun model Pengelolaan
kategori gagasan/ide yang mencerminkan
Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa
hubungan kontekstual antar elemen dapat
Penida dilakukan dengan mengidentifikasi
dikembangkan dengan memakai ISM
hubungan antar sub elemen dari setiap elemen
(Kanungo et al., 2009). Dengan kata lain ISM
yang berdasarkan gagasan/ide sebagai
merupakan sebuah perangkat untuk
penentu untuk memecahkan masalah (Saxena,
membantu menganalisis dalam mengambil
1992). Dalam menyusun elelem-elemen
keputusan yang rumit dengan cara
model pengelolaan lingkungan di Kawasan
mengelompokkan dan dituangkan dalam
Pariwisata Nusa Penida dilakukan melalui
sebuah peta. Interpretative Structural
diskusi, wawancara dengan para tokoh, pakar,
Modeling (ISM) merupakan model matematis
pelaku dan penggiat pariwisata di Nusa
melalui pengkajian secara komprehensif
2
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]
Struktur model hirarki kendala utama pengelompokan seperti pada Gambar 3. Sub
model pengelolaan lingkungan di Kawasan elemen yang yang lebih tinggi mempunyai
Pariwisata Nusa Penida yang berdasarkan pengaruh kepada level yang lebih rendah
.
5
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
G4. mengurangi alih fungsi lahan. G8. meningkatkan pendapatan asli daerah.
G5. meningkatkan pendapatan masyarakat. G9. pariwisata berkelanjutan.
G6. mengurangi biaya pengelolaan Penilaian pakar terhadap hubungan
lingkungan hidup. konstektual antar sub elemen tujuan program
G7. mengubah perilaku dan kesadaran dengan pendekatan V, A, X dan O dalam
lingkungan. Gambar 4.
No. G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9
G1 A A O V O A V A
G2 V A V V A V A
G3 X V V A V X
G4 O O X O V
G5 O O V A
G6 A O O
G7 O X
G8 A
G9
6
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]
7
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
berada di sektor IV (Independent), tetapi sub elemen pemerintah lebih kuat (Gambar 8).
8
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]
No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8
E1 X A X O A V V
E2 A A O X V O
E3 A O A V O
E4 V V V V
E5 O O O
E6 V V
E7 V
E8
dalam penerapannya dilakukan dengan hati- bersama akan lingkungan yang bersih dan
hati karena sub elemen tersebut sensitif dan sehat, mengurangi lingkungan, menjalin
tidak stabil. Pokok-pokok kegiatan yang kemitraan antar pemangku kepentingan dan
dilakukan adalah menciptakan perubahan- mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
perubahan dan meningkatkan kesadaran
11
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Kelembagaan Inisiator
(Partisipatif) Pemerintah
13
Status Terumbu Karang dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]
ABSTRACT
This study aims to identify the status of reef fishes and coral reefs in Gili Meno, Air and
Trawangan or Gili Matra waters. This area is part of the North Lombok Regency, West Nusa
Tenggara Province. Field observation was conducted on September 2011 at 11 (eleven) diving
points. The video-transect method was used for observing the coral reef condition, while reef
fishes abundance was observed by using visual-census method. The parameter that used to
determine the condition of coral reef in study location are the percentage of live hard coral cover
and index of coral mortality. In general, the result shows that percentage of live hard coral cover
in each diving point ranged from 4.4% - 37.2% and the Coral Mortality Index ranged from 0.40-
0.92. The values describe that the condition of coral reef at eleven diving points vary from fair
until poor condition. Current status of coral reef condition showed an unsignificant increase
from good-very good to moderate during the period 1998 - 2018. There were 23 families of reef
fishes from 46 genera were found during the study consisting of 16 genera of target fish groups,
5 genera of indicator fish group and 25 genera of major fish group. The water quality is still
within the limits of environmental quality standards.
Keywords: Coral reef; reef fish; Mortality Index; water quality; Gili Matra
Secara global, kondisi terumbu karang tumbuh dan hidup di ekosistem tersebut
di Indonesia sebagian besar mengalami (terutama ikan-ikan karang) menjadi daya
penurunan. Dari total 1067 lokasi, 36.18% tarik utama para wisatawan yang berkunjung,
(386 lokasi) dalam kategori jelek; 34.3% (366 sehingga status kondisinya perlu selalu
lokasi) dalam kategori cukup (termasuk mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan
daerah Lombok, NTB dan sekitarnya); untuk memberikan informasi kondisi status
22.96% (245) pada kategori baik; dan sisanya terumbu karang dan ikan karang di perairan
(6.56% atau 70 lokasi) dalam kategori sangat Gili Matra.
baik (Hadi et al, 2018). Tren kondisi tutupan
karang hidup mengalami penurunan di 2. METODOLOGI
beberapa wilayah yang diakibatkan oleh
fenomena pemutihan karang massal yang 2.1 Metode Pengambilan Data
terjadi pada akhir tahun 2015 dan 2016 (Hadi
et al. 2017), bahkan sebagian mengalami 2.1.1 Tutupan Karang
kematian dampak dari fenomena El-Nino Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan
tersebut yang mengakibatkan turunnya muka Konservasi Perairan Nasional Gili Matra,
air laut sehingga karang terdedah dalam yang berada di wilayah kelola Balai Kawasan
rentang waktu yang cukup lama (Ampou et Konservasi Perairan (BKKPN) Kupang.
al. 2017; Tito et al. 2019). Secara administratif, wilayah ini merupakan
Gili Matra, sebuah kawasan konservasi bagian dari wilayah desa Gili Indah,
yang terletak di ujung Barat Laut pulau Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok
Lombok merupakan kawasan Konservasi Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Perairan Nasional dengan kategori Taman Pengambilan data lapangan dilakukan pada
Wisata Perairan,. Kawasan yang mencakup bulan September 2011 di 11 (sebelas) titik
luas wilayah ± 2.954 hektar ini terdiri dari 3 penyelaman, yang tersebar di Gili Trawangan
pulau kecil (gili), yaitu Gili Meno, Gili Air, (4 titik: Shark Point, Shallow Turbo, Biorock,
dan Gili Trawangan (Gili Matra). Gili Matra Manta point), Gili Meno (3 titik: Meno Wall,
merupakan salah satu kawasan pariwisata Bounty, Meno 1), dan Gili Air (4 titik: Air
bahari di pulau Lombok yang banyak Wall, Hans Reef, Secret Reef, Front Point)
dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun (Gambar 1).
mancanegara, terutama bagi peminat wisata
selam (Dirjen KP3K, KKP. 2014). Ekosistem
terumbu karang dan biota lainnya yang
Gambar 1.Titik Pengambilan Data Terumbu Karang dan Ikan Karang di Gili Matra
Sumber: Peta Rupa Bumi Indonesia 2016 terbitan BIG & Google Map
15
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]
2.5 m
1m
belt transect
1m
2.5 m
50 m
Video-belt transect
Belt transect
Gambar 2. Metode Video-Belt Transect dan Belt Transect yang Digunakan untuk Pengamatan
Terumbu Karang dan Ikan Karang (English et al., 1997; Bianchi et al. 2004)
16
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Tabel 1. Parameter Kualitas Air dan Metode Pengambilan Data yang Digunakan
Alat
Parameter Metode Pengukuran
Pengukur
Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, Titrasi Pengukuran langsung di lapangan
DO)
pH pHmeter
Suhu (°C) Termometer
Salinitas (‰) Salinometer
Kelompok ikan target merupakan ikan karang Trawangan. Luas pulau ini adalah ±188 ha. Di
yang hidup berasosiasi dengan ekosistem bagian Barat Gili Meno terdapat danau air
perairan karang, yang memiliki nilai asin yang dikelilingi oleh vegetasi mangrove.
ekonomis penting atau disebut juga ikan Luas daratan Gili Meno ±150 ha. Gili
ekonomis. Sedangkan kelompok ikan mayor Trawangan adalah gili yang paling jauh dari
merupakan ikan yang tidak termasuk dalam daratan Pulau Lombok dan memiliki daratan
kelompok ikan indikator dan ikan target, ikan terluas dibandingkan Gili Meno dan Gili Air
ini biasanya dalam jumlah banyak dan (Dirjen KP3K 2014).
dijadikan ikan hias air laut (Allen dan Steene,
1994; English et al., 1997).
3.2 Kondisi Tutupan Karang
2.2.3 Kualitas Air Berdasarkan hasil pengamatan
Hasil pengukuran parameter kualitas air persentase karang hidup di kesebelas titik
di dua puluh delapan titik yang tersebar di penyelaman diketahui bahwa kondisi terumbu
perairan Gili Matra lalu di hitung nilai rata- karang di Gili Matra tidak ada yang dalam
rata, minimum, maksimum, dan kisarannya. kategori baik. Titik Meno 1 mempunyai
Kondisi kualitas perairan diketahui dengan persentase penutupan karang keras (hard
membandingkan nilai rata-rata hasil coral) yang paling tinggi dibdaningkan
pengukuran di setiap titik tersebut dengan dengan titik pengambilan data lainnya
baku mutu kualitas air untuk kehidupan biota (Gambar 4). Penutupan karang keras di lokasi
laut dan wisata bahari yang tertuang dalam tersebut mencapai 37.2% dan termasuk dalam
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 kategori sedang. Karang keras yang dijumpai
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. di lokasi ini sebanyak 10 jenis, yang terdiri
dari Porites sp., Seriatopora sp., Acropora
3 HASIL DAN PEMBAHASAN sp., Pocillopora sp., Fungia sp., Montipora
sp., Stylophora sp., Hydnopora sp., Favites
3.1 Gambaran Kondisi Lokasi sp., dan Goniastrea sp. Selain karang keras, di
Pengambilan Data lokasi ini juga ditemukan karang lunak (soft
coral) dengan penutupan 16.4%. Jenis-jenis
Wilayah perairan Gili Matra ditetapkan yang ditemukan adalah Sinularia sp.,
sebagai kawasan konservasi karena memiliki Lobophytum sp., dan Nephtea sp. Penutupan
keanekaragaman jenis biota laut. Letak Gili karang mati beralga (dead coral with algae)
Matra secara berurutan dari pulau Utama sebesar 19.4%; patahan karang (rubble)
Lombok ke arah selat Lombok adalah Gili sebesar 21.4%; turf algae sebesar 1.2%; biota
Air, Gili Meno, lalu Gili Trawangan. Gili Air lain (other) sebesar 2.8%; serta pasir (sand)
letaknya paling dekat dengan pulau Lombok, 6.7%. Indeks Mortalitas Karang (IMK) di
sehingga kondisinya banyak dipengaruhi oleh lokasi ini tergolong sedang dengan nilai 0.52.
daratan. Sementara Gili Meno terletak di
tengah-tengah, antara Gili Air dan Gili
18
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Gili Air
Gambar 4. Kondisi Tutupan Karang dan Benthic Lifeform di Lokasi Pengambilan Data di
Perairan Gili Matra
Titik Hans Reef mempunyai persentase dijumpai meliputi Sinularia sp., Lobophytum
tutupan karang keras yang paling rendah sp., dan Nephtea sp. Selain itu, di lokasi ini
(4.4%) dibandingkan dengan lokasi juga terdapat tutupan koral mati beralga
pengambilan data lainnya. Hal ini sebesar 11.2%, karang mati sebesar 7.2%,
menunjukan bahwa kondisi terumbu karang di pecahan karang sebesar 34.9%, turf algae
lokasi tersebut dalam kriteria buruk/jelek. Di sebesar 3%, dan pasir sebesar 35.4%. Pasir
lokasi ini ditemukan 4 jenis karang keras, dan patahan karang (rubble) mendominasi
yaitu Porites sp., Seriatopora sp., Pocillopora lokasi ini, sehingga dijadikan sebagai lokasi
sp., dan Acropora sp. Selain karang keras, di pelatihan selam oleh para pemula, guna
lokasi ini juga tercatat adanya karang lunak menghindari rusaknya karang hidup.
dengan tutupan sebesar 3.9%. Jenis yang
Gambar 5. Kondisi Status Terumbu Karang di Indonesia 2018, Kotak Hitam dengan Lingkaran
Kuning Menunjukkan Lokasi Gili Matra (Hadi et al., 2018)
19
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]
Indeks Mortalitas Karang (IMK) di pada tahun 2000 hingga sebelum 2017. Di
lokasi ini tergolong tinggi dengan nilai 0.92. periode 2017-2018, kondisi membaik namun
Nilai IMK pada lokasi ini telah mendekati 1, tidak terlalu signifikan, yaitu dari jelek/buruk
yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan ke cukup/sedang (Giyanto et al., 2017; Hadi
yang berarti dari tutupan karang hidup et al., 2018). Klasifikasi habitat secara detail
menjadi karang mati. IMK di suatu lokasi telah dilakukan menggunakan citra satelit
menunjukkan tingkat kerusakan ekosistem beresolusi tinggi (world view 2) oleh Manessa
terumbu karang terkait dengan besarnya et al. (2014). Sedangkan proses perubahan
perubahan karang hidup menjadi karang mati. ekosistem terumbu karang secara signifikan
IMK pada setiap lokasi pengamatan akan sangat terlihat jelas jika menggunakan
ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan nilai data citra satelit beresolusi sangat tinggi dan
indeks mortalitas masing-masing lokasi time series (Andréfouët et al., 2001;
mempunyai tingkat kerusakan terumbu Scopélitis et al., 2009; Iovan et al., 2015;
karang yang tinggi, yang masuk dalam Ampou et al., 2018).
kategori jelek. Hampir di setiap lokasi nilai
IMK mendekati nilai 1. Menurut English et. Proses pemulihan ekosistem terumbu
al. (1997) kondisi terumbu karang dikatakan karang sangat tergantung pada resistant,
memiliki rasio kematian yang tinggi jika nilai dimana kemampuan suatu ekosistem, dalam
IMK mendekati 1. Hal ini diperkuat dengan hal ini terumbu karang untuk tahan terhadap
tingkat penutupan substrat oleh karang mati gangguan tanpa melalui fase pergeseran atau
beralga (death coral with algae, karang mati kehilangan struktur atau fungsi, contoh
(death coral) dan pecahan karang (rubble) kemampuan terumbu karang untuk tahan
yang tinggi pada kedua titik pengamatan terhadap pemutihan dan kematian (Odum,
tersebut. 1989; Grimsditch dan Salm, 2006). Dan
Status kondisi terumbu karang di Gili resilient, kemampuan suatu sistem untuk
Matra mengalami perubahan dari tahun ke menyerap atau pulih dari gangguan dan
tahun (Tabel 2). Kondisi terumbu karang perubahan, sambil mempertahankan fungsi
tahun 1998 dalam kondisi baik – sangat baik. dan layanannya (Carpenter et al,. 2001;
Kemudian mengalami penurunan kualitas Grimsditch dan Salm, 2006).
20
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
9000
7460 7380 7700
Kelimpahan (ind/ha)
8000
7000 6520 6460
5920 5738
6000 4940 4600 4480
5000 4160
4000 3500
3000
2000
1000
0
Hans Secret Front Air Wall Meno 1 Meno Bounty Manta Shark Shallow Biorock
Reef Reef Port Wall Point Point Turbo
Gili Air Gili Meno Gili Trawangan Rata-
Rata
Gambar 6. Kelimpahan Ikan Karang di Lokasi Pengambilan Data di Gili Matra
Ikan karang yang tercatat pada survei di Gili Matra mengalami peningkatan
ini (2011) termasuk kedalam 52 genera dari diversitas dan diharapkan dapat mendekati
23 famili. Pomacentridae adalah famili ikan kondisi pada tahun 1998, yang berhasil
karang yang paling banyak dijumpai mengidentifikasi ikan karang sebanyak 123
(59,79%), lalu diikuti dengan famili spesies dari 33 famili (Dahuri et al, 1998).
Balistidae (10,49) dan Chaetodontidae Dengan adanya pertumbuhan populasi ikan,
(6,69%) (Gambar 7). Jumlah tersebut lebih baik jenis atau biomasa, dapat
banyak dibandingkan dengan hasil survei mengindikasikan keberhasilan pengelolaan
sebelumnya yang menemukan ikan karang suatu kawasan konservasi perairan.
sebanyak 54 spesies dari 11 famili (Ahyadi, Rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan
2010). Pada tahun 2014, ikan karang di Gili mekanisme kontrol dalam eksploitasi ikan
Matra mengalami peningkatan dengan jumlah karang sangat diperlukan untuk meningkatkan
ditemukannya 111 spesies dari 17 famili kondisi ekologis di perairan Gili Matra dari
(COREMAP-CTI, 2014). Kondisi ikan karang waktu ke waktu (COREMAP-CTI, 2014).
21
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]
59.79
60.00
40.00
30.00
20.00
10.49
10.00 5.01 6.65
1.68 2.69 3.42 1.74 1.77 2.06 1.96
0.29 0.25 0.44 0.41 0.13 0.48 0.13 0.19 0.32 0.06 0.03
0.00
Gambar 7. Persentase Komposisi Ikan Karang di Lokasi Pengambilan Data di Gili Matra
Meskipun kondisi ekosistem terumbu Ikan indikator adalah jenis ikan karang
karangnya tidak terlalu baik, namun yang khas mendiami daerah terumbu karang
berdasarkan peranannya ikan karang yang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem
ditemukan di Gili Matra masih dalam kondisi tersebut (English et al, 1997). Ikan jenis ini
lengkap, baik kelompok ikan target, ikan masih ditemukan di Gili Matra, meskipun
mayor, maupun ikan indikator. Hasil analisis hanya dalam jumlah yang sedikit (6,65% dari
menunjukan bahwa yang paling banyak 3156 individu/ha). Lokasi yang paling banyak
ditemukan adalah ikan mayor (76,81%), lalu ditemukan ikan indikator tersebut adalah
berturut-turut ikan target (16,54%) dan ikan Biorock di Gili Trawangan (Gambar 8).
indikator (6,69%) (Gambar 8). Menurut Edrus dan Suharti (2016) bahwa
Menurut English et al (1997), ikan target status jenis ikan karang di Gili Matra
merupakan ikan ekonomis penting dan biasa meningkat cukup signifikan, meskipun
ditangkap untuk dikonsumsi. Kelompok ikan beberapa jenis ikan dari golongan herbivora
ini biasanya menjadikan terumbu karang belum bisa mendukung secara maksimal
sebagai tempat memijah, sarang, atau daerah dalam proses daya lenting terumbu karang.
asuhan. Sebanyak 16 genera ikan target dari COREMAP-CTI (2014) juga menemukan hal
12 famili dapat dijumpai dalam penelitian ini. yang sama bahwa lokasi Biorock paling
Kelimpahan ikan target tertinggi ada pada banyak ditemukan ikan indikator. Di lokasi
lokasi Bounty di Gili Meno (Gambar 88) ini terdapat terumbu karang buatan (biorock)
dengan jumlah 2240 individu/ha. Pada tahun yang selain berfungsi untuk mempercepat
2014, ditemukan lebih banyak ikan target, pertumbuhan karang juga digunakan sebagai
yaitu 84 spesies ikan target dari 16 famili tempat berlindung ikan. Ikan indikator yang
(COREMAP-CTI, 2014). Sebagaimana tertera dijumpai tersebut diwakili oleh famili
pada Gambar 77, ikan target yang dijumpai di Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), terdiri dari
Gili Matra diwakili oleh famili Lutjanidae 5 genera. Nash (1998) menguraikan juga
(ikan kakap), Acanthuridae (ikan pakol), bahwa keberadaan ikan indikator ini menjadi
Labridae, Serranidae (ikan kerapu), salah satu indikasi kesehatan ekosistem
Haemulidae (ikan bibir tebal), Nemipteridae terumbu karang di suatu wilayah. Suatu
(ikan kurisi), Mullidae (ikan kuniran), ekosistem terumbu karang dianggap sehat
Siganidae (ikan baronang), Lethrinidae (ikan atau dalam kondisi baik jika dapat ditemukan
lencam), Carangidae (ikan selar), dan setidaknya 44 spesies ikan indikator, seperti
Sphyraenidae (ikan barakuda). yang ditemukan di perairan Papua.
22
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Gambar 8. Distribusi Spasial Kelimpahan Ikan Target, Ikan Mayor, Ikan Indikator di Perairan
Gili Matra
Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas Air di Gili Matra pada Saat Survei Lapangan (BPOL, 2011)
Baku Mutu*
Parameter Rata-rata Minimum Maksimum
Biota Laut Wisata Bahari
Suhu (°C) 26.8 oC 24.1 °C 29.1 °C 28-30 °C Natural
DO 4.7 mg/l 4.31 mg/l 5.33 mg/l > 5 mg/l > 5 mg/l
Salinitas (‰) 34.7 33 35 33-34 Natural
pH 7.9 7.3 8.2 7 - 8.5 7 - 8.5
*Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut
23
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]
4.1 Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
1. Secara umum, kondisi tutupan karang di
Gili Matra bervariasi dalam kondisi sedang
Allen, G. R., dan Steene, R. 1994. Indo-
sampai jelek/buruk, dimana kondisi terbaik
Pacific Coral Reef Field Guide.
ditemukan di Gili Meno. Kondisi terumbu
Tropical Reef Research 378pp.
karang di Gili Matra mengalami perubahan
dari tahun ke tahun. Kondisi baik – sangat Ahyadi, H. 2010. Evaluasi sumber daya
baik di tahun 1998, dan mengalami terumbu karang untuk wisata di Gili
penurunan pada dekade 2000 hingga Trawangan Propinsi Nusa Tenggara
periode sebelum 2017. Tahun 2017-2018, Barat. Desertasi Pascasarjana. Institut
kondisi membaik namun tidak terlalu Pertanian Bogor, Bogor.
signifikan, yaitu dari jelek/buruk ke
Ampou, E.E. 2010. Study of Prevalence on
cukup/sedang. Coral Bleaching and Diseases. Jurnal
2. Populasi ikan karang di wilayah studi Ilmu Lingkungan (Journal of
masih dalam komposisi lengkap, masih Environmental Science). v. 5, n. 2, p.
ditemukan ikan kelompok indikator, target,
123 - 128, ISSN 1907-5626.
dan mayor. Namun, jumlah kelompok ikan https://ojs.unud.ac.id/index.php/ECOT
indikator sebagai indikator kesehatan ROPHIC/article/view/13597
karang ditemukan dalam jumlah yang
relatif sedikit. Ampou, E.E., Johan, O., Menkes, C.E., Niño,
3. Kondisi kualitas air pada saat survei F., Birol, F., Ouillon, S., Andréfouët,
penelitian ini dalam kategori baik karena S. 2017. “Coral Mortality Induced by
masih di bawah baku mutu yang the 2015–2016 El-Niño in Indonesia:
ditetapkan. The Effect of Rapid Sea Level Fall.”
Biogeosciences 14 (4): 817–26.
https://doi.org/10.5194/bg-14-817-
4.2 Saran 2017.
1. Perlu dilakukan monitoring lanjutan terkait Ampou, E.E., Ouillon, S., Iovan, C.,
status ekosistem terumbu karang di Gili Andréfouët, S. 2018. “Change
Matra secara spasial/citra beresolusi sangat Detection of Bunaken Island Coral
tinggi dan perubahan habitatnya apakah Reefs Using 15 Years of Very High
resistant atau resilient. Resolution Satellite Images: A
2. Perlu adanya kebijakan zonasi dalam Kaleidoscope of Habitat Trajectories.”
proses eksploitasi ikan karang di Gili Marine Pollution Bulletin 131 (June):
Matra. 83–95.
3. Pengukuran kualitas air laut secara https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.20
periodik untuk mendapatkan gambaran 17.10.067.
fluktuasi kondisi perairan di Gili Matra. Ampou, E.E., Triyulianty, I., Widagti, N.,
Nugroho, S.C., Pancawati, Y. 2020.
5 UCAPAN TERIMA KASIH "Bakteri Pada Karang Scleractinia di
Penulis mengucapkan terima kasih Kawasan Perairan Bunaken, Morotai
kepada Balai Penelitian dan Observasi Laut, dan Raja Ampat". Jurnal Pesisir dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Laut Tropis. Vol. 8, No. 1, Hal. 122-
(sekarang Balai Riset dan Observasi Laut) 134,
atas dukungan dana DIPA 2011, tim dari https://doi.org/10.35800/jplt.8.1.2020.
Fakultas Biologi Universitas Mataram dan 28128.
dive center lokal dalam proses pengambilan
24
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
25
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]
Grimsditch, G.D dan Salm, R.V. 2006. “Coral Effects of Improving Noise Correction
Reef Resilience and Resistance to Method dan Spectral Cover.” Remote
Bleaching.” IUCN, Gland, Sensing 6 (5): 4454–72.
Switzerland, 52pp. https://doi.org/10.3390/rs6054454.
Gomez, E.D dan Yap, H.T. 1988. Monitoring Nash, S.V. 1988. Reef Diversity Index Survey
Reef Condition In Kenchington RA Method for Non Sspecialist. Tropical
and Hudson B E T (ed). Coral Reef Coastal Area Management. Vol. 4 (3):
Management Hand Book. UNESCO. 14-17
Regional Office for Science and Setiawan, F., Muttaqin, A., Tarigan S.A.
Technology for South East Asia 2017. Dampak Pemutihan Karang
Jakarta. Tahun 2016 Terhadap Ekosistem
Giyanto, Abrar, M., Hadi, T.A., Budiyanto, Terumbu Karang: Studi Kasus Di
A., Hafizt, M., Salatalohy, A., Iswari, TWP Gili Matra (Gili Air, Gili Meno
Y.M. 2017. Status Terumbu Karang dan Gili Trawangan) Provinsi NTB.
Indonesia 2017. Jakarta: Pusat Jurnal Kelautan: 10(2)
Penelitian Oseanografi – Lembaga Madduppa, H dan Zamani, N.P. 2011. A
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Standard Criteria for Assessing the
Hadi, T.A., Giyanto, G., Prayudha, B., Hafizt, Health of Coral Reefs: Implication for
M., Budiyanto, A., Suharsono. 2018. Management and Conservation.
Status Terumbu Karang Tahun 2018. Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2)
Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi (2011) 137-146
– Lembaga Ilmu Pengetahuan Odum, P. O. 1989. Ecology dan Our
Indonesia.
Endangered Life-Support Systems.
Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, Sinauer Associates Inc: Sunderland
coral bleaching and the future of the (USA).
world's coral reefs. Journal Marine Scopélitis, J., Andréfouёt, S., Phinn, S.,
and Freshwater Research. Vol. 50, 8 : Chabanet, P., Naim, O., Tourrdan, O.,
839-866. Done, T. 2009. “Changes of Coral
Iovan, C., Ampou, E., Andréfouët, S., Communities over 35 Years:
Ouillon, S., Gaspar, P. 2015. "Change Integrating in Situ dan Remote-
Detection of Coral Reef Habitats from Sensing Data on Saint-Leu Reef (La
Multi-temporal and Multi-source Réunion, Indian Ocean).” Estuarine,
Satellite Imagery in Bunaken, Coastal and Shelf Science 84: 342–52.
Indonesia". 8th International Workshop Tarigan, S.A.R., Setiawan, F., Muttaqin, A.,
on the Analysis of Multitemporal Muhidin, S.P., Hotmariyah., Sabil, A.
Remote Sensing Images, 22-24 July 2017. Laporan Teknis: Monitoring
2015, Annecy, France. Publisher: Ekosistem Terumbu Karang Taman
IEEE-Institute of Electrical dan Wisata Perairan Tahun 2016. Wildlife
Electronics Engineers. DOI: Conservation Society. Bogor.
10.1109/Multi-Temp.2015.7245758. Indonesia.
Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Tito, C.K., Ampou, E.E., Wibawa, T.A. 2019.
"Baku Mutu Air Laut Untuk Biota "Stressor-Response of Reef-Building
Laut". Menteri Negara Lingkungan Corals to Climate Change in the
Hidup. Menjangan Island, West Bali National
Manessa, M., Kanno, A., Sekine, M., Ampou, Park, Indonesia". IOP Conference
E.E., Widagti, N dan As-syakur, A.R. Series: Earth and Environmental
2014. “Shallow-Water Benthic Science, Vol. 246. 4th International
Identification Using Multispectral Conference on Tropical dan Coastal
Satellite Imagery: Investigation on the Region Eco Development 30–31
26
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
27
Kombinasi Tray Aerator dan Filtrasi Untuk Menurunkan Kadar Besi (FE) dan Mangan (MN)…. [Muhammad Al Kholfi, dkk.]
ABSTRACT
The problem that is often found in water well is the high content of iron (Fe) and
manganese (Mn). This study aims to reduce the content of Fe and Mn in water well with aeration
and filtration systems. Aeration used is a multilevel aerator tray using 4 tray trays which are
spaced 30 cm between the trays. The filtration media used are activated carbon and zeolite sand
with a height of 70 cm each. The sample was taken at one of the community wells in the Dukuh
Menanggal area of Sidoarjo. The study was conducted for 7 days with a processed sampling
system carried out on the aerator tray output and both filtration. The results showed that the
aeration process with tray aerator was able to reduce Fe levels up to 98.34% and Mn reached
97.40%. In the filtration process with activated carbon can reduce Fe levels by 98.48% and Mn
by 98.25%. While the filtration process with zeolite sand media can reduce Fe levels by 98.43%
and Mn by 97.44%
digunakan adalah Tray Aerator sedangkan Tujuan utama dari tray aerator tersebut
filtrasi yang digunakan adalah media zeolit adalah untuk menggontakkan air dengan
dan karbon aktif. udara sehingga terdapat kandungan oksigen di
Tray aerator yang diaplikasikan pada dalam air. Hasil olahan pada tray aerator
penelitian ini adalah ketinggian mencapai 180 ditampung pada sebuah wadah olahan. Hasil
cm dengan variasi jumlah nampan yaitu olahan tersebut kemudian diaambil untuk
sebanyak 4 nampan (tray). Masing-masing dianalisis kadar Fe dan Mn nya. Selain itu
tray berjarang 30 cm. Filtrasi yang digunakan dari hasil oalahan tray aerator tersebut juga di
dalam peneltian ini yaitu terbuat dari pipa alirkan secara down flow ke kedua alat filter
akrilik berdiameter 20 cm. Ketinggian tabung yang sudah dilengkapi dengan media filter
filtrasi yaitu mencapai 1 m dengan rancangan yaitu karbon aktif dan zeolit. Pengambilan
ketingian media yang sama yaitu mencapai 70 sampel olahan yang berada di dalam filter
cm. penelitian dilakukan selama 7 hari untuk dilakukan secara manual karena
melihat setiap perubahan yang terjadi antara menggunakan sistem batch. Untuk dianalisis
pengolahan tray aerator dan filtrasi. di laboratorium sampel didiamkan bersama
Penelitian dilakukan dengan sistem batch media filter terlebih dahulu selama 24 jam
sehingga tidak membutuhkan debit aliran dengan tujuan agar media filter dapat bekerja
dalam mengambil air hasil olahan. Secara secara maksimal dalam mereduksi kadar Fe
garis besar gambar reaktor pengolahan tersaji dan Mn dalam air.
pada Gambar 1. Reaktor pengolahan Metode analisis data yang akan
merupakakan sebagaian besar rangkaian diterapkan yakni masing-masing sampel yang
perpipaan dengan menggunakan sistemm didapatkan dari hasil pemeriksaan
aliran down flow. laboratorium akan dikumpulkan. Setelah data
terkumpul, maka selanjutnya akan dilakuakan
Tray Aerator 1 30 cm
analisis data yang akan disajikan dalam
bentuk tabel kemudian akan di uraiakan
30 cm
dalam bentuk narasi dan ditarik suatu
Tray Aerator 2 30 cm kesimpulan. Data tersebut dianalisa meliputi
30 cm
efektifitas penurunan parameter Fe dan Mn
pada air sumur dengan menerapkan
Tray Aerator 3 30 cm
persamaan sebagai berikut.
30 cm
(a−b)
Tray Aerator 4 30 cm
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓𝑖𝑡𝑎𝑠(%) = 𝑥 100% (1)
a
30 cm
Tampungan Air Olahan
Tray Arrator
Dimana: a = nilai Awal
b = nilai Akhir
30
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
bahaya yang besar dari penggunaan air yang sebesar 0,576 mg/L air dengan waktu kontak
diperoleh dari sumur gali tersebut. 60 menit memberikan pengaruh yang besar
Berdasarkan hasil pengukuran awal di terhadap perubahan kadar Fe dan Mn dalam
laboratorium menunjukan kadar awal Fe yaitu air. Dengan waktu kontak selama 60 menit
1,68 mg/l dan kadar Mn yakni 1,14 mg/l. dapat menurunkan kadar Fe sebesar 0,045
mg/L dan Mn sebesar 0,004 mg/L (Wahyudin
3.1. Efisiensi Penurunan Kadar Fe dan et al., 2013).
Mn pada Aerasi Tray Aerator Penelitian lain yang dilakukan secara
Langkah penting yang harus dilakukan rinci dengan menggunakan metode aerasi
untuk meningkatkan efektifitas proses kaskade menunjukan bahwa air dapat
pengolahan air adalah dengan melakukan memerangkap oksigen saat menuruni tangga
penyaringan. Penyaringan dapat dialkuan sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen
dengan berbagai cara. Hal yang paling dalam air. Aerasi kaskade digunakan pada
sederhana tentunya dengan menggunakan kondisi aerasi yang memadai atau sesuai yaitu
kain sebagai penyaring kotoran menurunkan pada area di bidang sungai, kanal,
padatan tersuspensi dan larva dalam air pembenihan ikan tambak, instalasi
(Herlambang, 2010). Penggunaan desinfeksi pengolahan air, dan lain-lain (Baylar et al.,
pada pengolahan air diyakini dapat 2007). Berikut efisiensi penurunan kadar Fe
menurunkan kadar Fe dan Mn. Pada dan Mn pada aerasi tray aerator yang di
penerapan desinfeksi ozon dengan konsentrasi tunjukan pada tabel 1 dan 2.
karena adanya kontak antara air dengan udara sampel air pada proses aerasi (Lutfihani &
yang membentuk endapan Fe(OH3) (Joko & Purnomo, 2015).
Rachmawati, 2016). Hasil di atas menunjukan
terjadi penurunan sesuai dengan reaksi aerasi 3.2. Efisiensi removal Kadar Fe dan Mn
seperti: pada Reaktor Filtrasi Bermedia
Karbon Aktif
4 𝐹𝑒 2+ + 𝑂2 + 10 𝐻2 𝑂 → 4 𝐹𝑒 (𝑂𝐻)3 + 8 𝐻 + (2) Perbedaan debit aliran dalam sistem
pengolahan menunjukan hasil yang berbeda.
Tray aerator dengan variasi 2 tray Pada debit 0,5 L/menit terjadi penurunan Fe
memiliki efisiensi penurunannya kadar Fe sebesar 11,7% sedangkan Mn sebesar 23.3%.
hanya mencapai 10% (Lutfihani & Purnomo, pada debit aliran 1,0 L/menit mampu
2015). Sedangkan penerapan tray aerator menurunkan kadar Fe dan Mn sebesar 28,6%
dengan variasi 3 tray memiliki efisiensi dan pada debit aliran 2,0 L/menit mampu
penurunan kadar Fe mencapai 52% menurunkan kadar Fe sebesar 30,4% dan
(Nainggolan et al., 2017). Hal ini menujukan kadar Mn turun menjadi 29,1% (Purwono &
adanya perbedaan dengan penelitian sekarang Karbito, 2013).
jika dilihat dari efisiensi penurunan
Karbon aktif meruapakan bahan yang
penelitian, dimana pada penelitian sekarang
mampu menyerap kadar logam terutama
yang menggunakan 4 tray memiliki efisiensi
kadar logam dalam air (Nurhasmi et al.,
lebih baik. Banyaknya jumlah tray pada pada
2015). Karbon aktif memiliki struktur amorf
aerator sangat berpengaruh pada hasil aerasi.
atau mikrokristalin dengan luas permukaan
Selain itu juga akan memberikan kontak yang
yang tinggi yaitu sekitar 1500 m2/g serta
lama antara oksigen dengan air sehingga
mempunyai daya serap dalam fase cair
kadar Fe dapat teroksidasi dengan baik (Joko
maupun fase gas (Cobb et al., 2012). Banyak
& Rachmawati, 2016).
bahan yang bisa digunakan sebagai sumber
Penurunan kadar Mn pada tray aerator karbon aktif, namun yang sering digunakan
juga dipengaruhi karena adanya transfer untuk mengolaha air adalah karbon aktif yang
oksigen ke dalam air. Proses aerasi juga dapat terbuat dari batok kelapa. Hal ini karena batok
mereduksi bahan organik yang mudah kelapa memiliki miktopori yang banyak,
menguap. Terjadinya kontak langsung antara kadar abu yang rendah dan memiliki sifat
sampel dan gas mengakibatkan adanya kelarutan dalam air (Ferone et al., 2013)
perpindahan senyawa seperti pada reaksi
Kandungan kation dalam karbon aktif
berikut:
dapat meningkatkan nilai pH pada air. Kontak
yang lama antara karbon aktif tempurung
2 𝑀𝑛2+ + 𝑂2 + 2 𝐻2 𝑂 → 2 𝑀𝑛𝑂2 + 4 𝐻 + (3) kelapa dan sampel air akan berpengaruh pada
kenaikan nilai pH. Pada konsentrasi karbon
Metode aerasi dengan menggunakan 5 aktif 0,3 gram bisa menaikkan nilai pH dari
buah tray aerator menunjukan hasil yang 6,48 menjadi 6,64 dan pada konsentrasi 0,6
efektif tertutama pada kadar Fe. Nilai rata-rata gram rata-rata peningkatan pH menjadi 6,71
penurunan kadar Fe setelah dilakukan sedangkan pada konsentrasi 0,9 gram
pengolahan dengan menggunakan 5 buah tray peningkatan rata-rata nilai pH menjadi 6,74
aerator diperoleh hasil sebesar 1,12 mg/L. (Jamilatun & Setyawan, 2014). Berikut
Hal ini masih di luar batas maksimum yang efisiensi penuruna kadar Fe dan Mn pada
disyaratkan oleh Menteri Kesehatan Republik reaktor filtrasi bermedia karbon aktif setelah
Indonesia yang mensyaratkan besar kadar Fe melalui proses pada tray aerator yang akan
yang diperbolehkan yaitu sebesar 1,00 mg/L ditujukan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
(Ronny & Hasim, 2018). Jumlah penampang
akan mempengaruhi injeksi udara dengan
32
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
33
Kombinasi Tray Aerator dan Filtrasi Untuk Menurunkan Kadar Besi (FE) dan Mangan (MN)…. [Muhammad Al Kholfi, dkk.]
36
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]
ABSTRACT
meningkat seiring meningkatnya aktivitas (2010) lebih lanjut lagi menyebutkan tiga
pariwisata dan ekonomi di NTB, aspek utama dalam PSB adalah aspek
permasalahan pengelolaan sampah ini perlu fisik/teknikal, aspek keberlanjutan, dan aspek
segera ditangani. pelaku (formal dan informal) dalam sistem
Saat ini tren global dalam pengelolaan tersebut. Pada saat ini, integrasi pada sistem
destinasi pariwisata adalah dengan pengelolaan sampah di berbagai desa di
menggunakan konsep Pariwisata Indonesia masih lemah (Artiningsih et al.,
Berkelanjutan atau Sustainable Tourism. 2012; Setiadi, 2015; Utami et al., 2008).
Konsep ini juga sudah diadopsi oleh Pengelolaan sampah diberbagai daerah masih
Kementerian Pariwisata Indonesia yaitu dilakukan secara tradisional dan tidak
dalam Peraturan Menteri Pariwisata no. 14 mengimplementasikan sistem yang
tahun 2016 mengenai Pedoman Destinasi terintegrasi, dimana proses munculnya
Pariwisata Berkelanjutan. Dalam sampah, pengambilan sampah, dan
mengembangkan destinasi pariwisata, pembuangan sampah masih dilakukan secara
Pariwisata Berkelanjutan (PB) tidak hanya terpisah. Dengan menerapkan pengelolaan
mengedepankan aspek ekonomi, namun juga sampah yang berkelanjutan, banyak manfaat
aspek lingkungan, aspek sosial, dan juga yang akan didapatkan oleh masyarakat,
aspek budaya (World Tourism Organization, terutama dari sisi lingkungan dan kesehatan
2004). Saat ini konsep PB sudah banyak publik (Joseph, 2006).
diterapkan dibanyak negara terutama di Dalam menelaah potensi PSB, paper ini
negara maju seperti negara-negara di Eropa, akan fokus membahas aspek informal
Amerika dan Australia (Lu & Nepal, 2009). stakeholders dan juga infrastruktur yang ada
Konsep dari PB juga sejalan dengan visi dan di Desa Saribaye. Informal stakeholder yang
misi Pemerintah baik oleh Pemerintah Pusat, dimaksud adalah masyarakat Desa Saribaye
maupun Pemerintah Daerah NTB. secara keseluruhan. Informal stakeholder
Salah satu aspek yang penting dalam PB dipilih karena dalam mewujudkan suatu
adalah adanya sistem pengelolaan sampah pengelolaan sampah yang berkelanjutan,
yang baik. Pengelolaan sampah yang peran masyarakat sangat penting dan
dilakukan di provinsi NTB saat ini adalah dibutuhkan. Pengelolaan sampah dengan
pengelolaan sampah secara konvensional dan melibatkan masyarakat biasa disebut dengan
tidak terintegrasi. Bahkan, di beberapa daerah pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
di NTB, sarana/prasarana pembuangan Pendekatan yang digunakan adalah
sampah seperti TPS atau TPA masih tidak pendekatan bottom-up dimana dalam proses
tersedia. Untuk menghadapi laju tumbuh pelaksanaan suatu kegiatan di suatu lokasi,
sektor pariwisata, Pemerintah Daerah NTB masyarakat lokal berperan secara aktif dalam
harus bisa mengelola sampahnya dengan lebih mengidentifikasi masalah, mengambil
baik, salah satunya dengan melakukan keputusan, serta merancang solusi untuk
pengelolaan sampah yang berkelanjutan. masalah tersebut (World Health Organization,
Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan 2002). Pengelolaan sampah dengan konsep
(PSB) atau Sustainable Waste Management parsitipasi masyarakat/komunitas juga sedang
mulai banyak diterapkan di Asia (Visvanathan marak berkembang di Indonesia (Putri et al.,
et al., 2007). Di dalam negeri sendiri, 2012; Setiadi, 2015). Keterlibatan masyarakat
beberapa penelitian juga sudah dalam kegiatan pengelolaan sampah dapat
mengungkapkan pentingnya sistem PSB menghasilkan pengelolaan sampah yang
dalam pengelolaan dan pelestarian daerah mandiri. Putri et al. (2012) dalam
pariwisata (Dewi, 2017; Vitasurya, 2017). penelitiannya di Komunitas Adat Seminyak
Bali menunjukkan bahwa dengan pendekatan
PSB adalah suatu proses dimana
yang dilakukan secara bottom-up (partisipasi
pengelolaan sampah sudah lebih terintegrasi
masyarakat), peran serta masyarakat dalam
satu sama lain dan memiliki keterlibatan
pengelolaan tersebut mencapai lebih dari
pemangku kepentingan (stakeholder) yang
70%.
lebih luas (Rodic et al., 2010). Rodic et al
38
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Manfaat dari kegiatan PSB dengan Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA
berbasis masyarakat diharapkan tidak hanya atau juga disebut Pemahaman Partisipatif
mengurangi dampak negatif di lingkungan, Kondisi Pedesaan (PPKP) adalah pendekatan
tetapi juga dapat memberikan keuntungan yang melibatkan masyarakat secara langsung
materi bagi masyarakat lokal dari hasil dalam merumuskan rencana tindakan dan
penjualan sampah plastik atau hasil produk kebijakan. Metode PRA dipilih karena
daur ulang. Dengan melakukan pengelolaan memungkinkan masyarakat desa untuk saling
sampah yang berkelanjutan, suatu destinasi berbagi dan menganalisis pengetahuan
wisata juga dapat mengurangi masalah masyarakat, dan membuat rencana dan
sampah lokal, menekan biaya pengangkutan tindakan nyata (Chambers, 1994).
sampah, dan dapat menambah nilai keunikan Dalam penelitian ini, metode atau tools
untuk daerah destinasi wisata. PRA yang digunakan secara spesifik adalah
dengan Focus Group Discussion (FGD).
2. METODOLOGI Peneliti juga melakukan observasi sebagai
bentuk triangulasi kebenaran/validasi data
Lokasi kajian potensi penerapan
primer yang diambil. Pengambilan data
pengelolaan sampah berkelanjutan dilakukan
primer dilakukan pada bulan Agustus 2018.
di Desa Saribaye, Lingsar, Kabupaten
Dalam FGD ini peserta diberikan pertanyaan
Lombok Barat. Desa Saribaye dipilih karena
menyangkut kesadaran lingkungan, kemauan
merupakan salah satu daerah destinasi wisata
untuk melakukan pengelolaan sampah, dan
di Lombok. Desa Saribaye saat ini belum
mengenai sarana dan prasarana pengelolaan
memiliki pengelolaan sampah. Berlokasi di
sampah yang tersedia. FGD ini ditargetkan
bantaran Sungai Jangkok, Desa Saribaye juga
pada 4 kelompok, yaitu:
merupakan salah satu penyumbang pada
pencemaran/polusi sampah di perairan 1. Kelompok Ibu Rumah Tangga,
Lombok. 2. Kelompok Petani,
3. Kelompok Bisnis/Pengusaha, dan
2.1 Pertanyaan Riset
4. Kelompok Pemuda
Dalam penelitian ini, ada beberapa
pertanyaan riset yang sudah diformulasikan: 2.2.2 Data Sekunder
1. Apakah masyarakat Desa Saribaye Data sekunder yang digunakan adalah
memiliki kesadaran lingkungan yang data demografi kependudukan Desa Saribaye
baik? yang didapatkan dari Kantor Desa. Faktor
2. Apakah masyarakat Desa Saribaye demografi adalah salah satu hal yang penting
memiliki kemauan dalam melakukan dalam melihat potensi dalam pengelolaan
pengelolaan sampah berbasis sampah (Rodic et al., 2010). Adapun data
masyarakat? yang dikaji adalah luas wilayah, populasi,
3. Apakah Desa Saribaye memiliki tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan dan
sarana/prasarana yang memadai untuk mata pencaharian dari penduduk Desa
melakukan pengelolaan sampah? Saribaye.
4. Apakah ada potensi untuk Desa 2.3 Metode Analisis Data
Saribaye untuk dapat melakukan
pengelolaan sampah yang Analisis data dilakukan dengan
berkelanjutan berbasis masyarakat? meninjau data primer yang didapatkan dari
FGD serta data sekunder yang didapatkan dari
2.2 Pengambilan Data Kantor Desa. Selanjutnya data primer dan
sekunder tersebut dianalisis dalam empat
2.2.1 Data Primer: Participatory Rural kategori, yaitu:
Appraisal (PRA) 1. Analisis perilaku masyarakat dalam
Pendekatan yang di lakukan untuk pengelolaan sampah yaitu aspek
mendapatkan data primer adalah dengan kesadaran lingkungan dan kemauan
39
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]
40
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
41
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]
B. Populasi
Populasi di Desa Saribaye, berdasarkan
Data Internal Kantor Administrasi Desa
Saribaye yang tercatat pada tahun 2017,
jumlah penduduk mencapai 2.294 orang
dengan jumlah wanita sebanyak 1.126 orang
Gambar 3. Distribusi Pendidikan di Desa Saribaye
dan pria sebanyak 1.168 orang. Dari total
2.294 orang, 1.731 orang atau sekitar 75%
dari total tersebut adalah penduduk dalam
usia produktif. Berdasarkan Badan Pusat
Statistik (BPS, 2019), penduduk usia
produktif sendiri adalah penduduk yang
memiliki usia diantara 15 – 64 tahun. Angka
ini mengindikasikan bahwa Desa Saribaye
memiliki potensi produktivitas sumber daya
manusia yang besar.
42
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
43
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]
Untuk itu, mereka mengharapkan ada satu potensi dari grup swadaya ini untuk
kegiatan yang bisa membantu mereka berkembang. Proses pengangkutan dan sudah
mengelola sampah, sekaligus juga bisa dimulainya kebiasaan masyarakat dalam
memberikan insentif ekonomi kepada mengumpulkan dan memilah sampah ini,
masyarakat. menunjukkan awal mula yang baik untuk
mewujudkan terciptanya proses pengelolaan
3.4 Analisis Sistem Sarana dan sampah yang berkelanjutan (Wilson, 2007).
Prasarana Pendukung Pengelolaan
Sampah 3.5 Analisis Data Demografi
Hasil FGD menunjukkan bahwa belum Berikut adalah hasil analisis data
tersedianya sarana pengelolaan sampah yang demografi dari Desa Saribaye dari segi Luas
memadai di Desa Saribaye, seperti kontainer Wilayah, Populasi, Pendidikan, Kesejahteraan
sampah ataupun Tempat Pembuangan dan Mata Pencaharian:
Sementara (TPS) sehingga praktik membuang Potensi pariwisata dan luas wilayah
di lahan terbuka/sungai masih sangat sering Desa Saribaye mendukung untuk
dilakukan. Satu-satunya bentuk melakukan proses pengeloaan sampah
sarana/prasarana yang tersedia adalah sebuah berbasis masyarakat
komunitas swadaya masyarakat yaitu Bank Jumlah usia produktif di Desa Saribaye
Sampah My Darling (Masyarakat Sadar yang besar mengindikasikan potensi
Lingkungan). sumber daya manusia yang besar untuk
Manajemen Bank Sampah My Darling menjalankan pengelolaan sampah
dilakukan secara swadaya oleh pemuda desa berbasis msayarakat
setempat. Bank Sampah My Darling Tingginya jumlah penduduk yang
mengumpulkan sampah plastik yang dipilah telah/sedang bersekolah memberikan
dari rumah nasabah untuk kemudian dijual peluang baik dalam berkomunikasi
kepada pengepul. Waktu operasi dengan masyarakat setempat sehingga
pengumpulan sampah plastik sangat terbatas, dapat memberikan kemudahan dalam
yaitu hanya sekali dalam seminggu. Dengan proses inisiasi dan keberlanjutan
jumlah anggota sekitar 20 orang pemuda desa, program (Riswan et al., 2011).
bank sampah tidak mampu menjangkau
seluruh wilayah Desa Saribaye untuk menjadi Masih besarnya jumlah keluarga
nasabahnya. Bank Sampah My Darling prasejahtera memberikan peluang bagi
membiayai operasionalnya secara mandiri kegiatan pengelolaan sampah berbasis
melalui iuran yang dikeluarkan oleh masing- masyarakat ini untuk dapat
masing anggotanya. Selain itu, operasional menghasilkan suatu pendapatan
bank sampah juga didapatkan dari hasil tambahan yang diharapkan dapat
penjualan sampah di pengepul, dan terkadang meningkatkan kesejahteraan penduduk
ditambah dengan dana bantuan dari desa. dan menekan angka kemiskinan.
Pengelolaan sampah Desa Saribaye Dari segi mata pencaharian, jumlah
belum memadai jika hanya bergantung pada kelompok penduduk yang belum bekerja
Bank Sampah My Darling. Dengan kapasitas dan jumlah kelompok ibu rumah tangga
yang dimiliki bank sampah saat ini tidak akan masih besar. Kegiatan pengelolaan
mampu mengelola sampah yang dihasilkan sampah berbasis masyarakat dapat
warga desa. Padahal, jika melihat jumlah menjadi suatu sarana meningkatkan
sampah yang dihasilkan satu rumah tangga, produktivitas dan kreatifitas penduduk
maka kemungkinan jumlah sampah yang untuk kelompok-kelompok tersebut.
dibuang tanpa diolah sangat besar. Berdasarkan hasil analisis data
Berdasarkan Data Internal dari Kantor demografi tersebut, Desa Saribaye memiliki
Administrasi Desa Saribaye, jumlah nasabah potensi yang baik untuk
yang dikelola oleh Bank Sampah My Darling mengimplementasikan program pengelolaan
saat ini adalah 99 KK, sehingga masih banyak sampah berbasis masyarakat.
45
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]
3.6 Analisis SWOT (Strength, Weakness, 3. Desa Saribaye memiliki jumlah penduduk
Opportunity, and Threat) usia produktif yang besar serta faktor
demografi lain yang dapat mendukung
Berdasarkan dari hasil FGD dan hasil
terlaksananya kegiatan pengelolaan
data sekunder, berikut adalah hasil dari
sampah yang berkelanjutan berbasis
analisis SWOT:
masyarakat.
1. Strengths
4. Infrastruktur desa untuk pengelolaan
a. Kemauan yang besar dalam
sampah tidak memadai, namun ada
mengelola sampah
potensi yang yang baik dari itikad
b. Adanya komunitas bank sampah “My
sebagian warga untuk mengelola sampah
Darling” yang sudah terbentuk dari
plastik secara swadaya, yaitu kelompok
swadaya masyarakat lokal
Masyarakat Sadar Lingkungan “My
2. Weaknesses
DarLing”. Hal ini menunjukkan potensi
a. Kesadaran lingkungan yang rendah
yang baik untuk melakukan suatu
b. Sarana dan Prasarana serta proses
pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
pengelolaan sampah yang tidak
memadai
Sehingga disimpulkan bahwa Desa
3. Opportunities
Saribaye memiliki potensi untuk melakukan
a. Jumlah penduduk produktif yang
besar dan potensi demografi yang pengelolaan sampah berkelanjutan berbasis
masyarakat apabila didukung dengan kegiatan
memadai
yang dapat meningkatkan kesadaran
b. Potensi ekonomi yang besar dari
lingkungan serta dukungan pemerintah dalam
proses pengelolaan sampah
bentuk infrastruktur dan prasaran pengelolaan
berkelanjutan
sampah yang lebih baik dan memadai.
c. Kegiatan pengelolaan sampah yang
berkelanjutan dapat menjadi daya
4.2 Saran
tarik wisata, serta hasil produk yang
unik bisa menjadi ciri khas desa. 1. Perlu diadakannya suatu kegiatan edukasi
4. Threats dan workshop yang dapat meningkatkan
a. Tantangan dalam mengubah pengetahuan serta kesadaran lingkungan
kebiasaan masyarakat masyarakat sehingga masyarakat tidak
b. Pasar dari produk daur ulang yang hanya mengetahui tapi juga menjalankan
masih berkembang kegiatan-kegiatan yang dapat melestarikan
lingkungan.
2. Perlu dirancang suatu sistem pengelolaan
4. SIMPULAN DAN SARAN
sampah secara berkelanjutan dan
4.1 Kesimpulan terintegrasi serta dibangunnya infrastuktur
yang memadai untuk mencegah warga
Berdasarkan dari hasil penelitian dan membuang sampah di bantaran Sungai
analisis dari berbagai sisi dan sudut pandang Jangkok. Hal ini perlu segera dilakukan
serta menjawab pertanyaan riset sebelumnya, melihat terus meningkatnya aktifitas
dapat disebutkan bahwa: pariwisata di Pulau Lombok. Sistem yang
dibangun membutuhkan kerja sama antara
1. Mayoritas warga Saribaye sudah mengerti pemerintah setempah khususnya Dinas
mengenai dampak buruk dari sampah, Lingkungan Hidup dan masyarakat
namun belum mengamalkan pengetahuan setempat agar dapat menjaga keselarasan
tersebut dikehidupan sehari-hari sehingga lingkungan serta mencapai suatu sistem
masih dapat dikatakan belum memiliki pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
kesadaran lingkungan. 3. Perlu diadakan suatu skema pelatihan
2. Warga Saribaye memiliki kemauan untuk pengelolaan sampah yang berkelanjutan
mengelola sampah, namun masih terbatas untuk masyarakat serta sistem
oleh sarana dan prasarana yang tersedia. pemantauan/monitoring berkala.
46
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
48
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]
Apri I Supii1*),Thania Inas Aprillia2), Akhmad Adi Sulianto 2), Novia Lusiana 2)
1)
Balai Besar Riset Budidaya Laut, Gondol
2)
Program Studi Teknik Lingkungan, Jurusan Keteknikan Pertanian, FTP Universitas Brawijaya
*Email: aprisupii@yahoo.co.id
ABSTRACT
Buleleng Regency has the potential to develop a hybrid cantang grouper aquaculture
business. However, the cultivation business in Buleleng Regency on average does not have
its own waste disposal site. Ammonia is the most dangerous content of aquaculture waste for
marine life. Ammonia can cause an increase and accumulation of levels of inorganic
compounds that can trigger toxins for some organisms to increase the prevalence of
pathogens and certain fish diseases in the waters. One treatment that can be done in reusing
wastewater is to make wastewater as a place to live fish by processing using filtration and
disinfection methods, namely using silica sand media, zeolite, activated charcoal, palm fiber
and ultraviolet (UV). The purpose of this study is to test the feasibility of water before and
after filtration, and determine the best type of water for the Cantang hybrid grouper nursery.
The method used in this research is a quantitative method using RAL (Completely
Randomized Design) with three treatments and four replications. After that an analysis using
ANOVA is used to determine the effect of the treatment given on the parameters tested. In
the study, the water quality after filtration and disinfection treatment was better than the
water quality before filtration and disinfection treatment, it can be seen in the ability of the
filtration and disinfection method in reducing ammonia, nitrite and total bacterial colonies by
41.30%, 79.75%, and 76.92%, and increase the water pH and phosphate levels to 7.50 and
27.36%. In addition, the use of filtration and disinfection water can increase the survival of
fish by 7.14% compared to using sea water. The survival of groupers using filtration and
disinfection water is 100% while sea water is only 92.86% and wastewater is 57.14%.
Filtration water can reduce bacteria compared to sea water and waste water. Except for the
salinity, ammonia and phosphate parameters which still do not meet the standards.
ECOTROPHIC14(1):49–61 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395 49
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
dibuatkan saluran pembuangan yang dapat pertumbuhan budidaya ikan kerapu pada
mengalirkan air buangan ke bibir pantai. proses pendederan.
Hasil pengamatan yang dilakukan pada
penelitian air buangan hatchery didapatkan 2. METODOLOGI
data bahwa air buangan budidaya perikanan
yang dibuang langsung ke laut cenderung 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
tidak bersifat toxic seperti limbah-limbah
industri yang biasa dihasilkan. Walau tidak Pelaksanaan penelitian dilakukan
bersifat toxic ada satu material air buangan selama satu bulan yaitu dimulai pada 28
yang paling berbahaya yaitu ammonia September sampai 28 Oktober 2019.
nitrogen (Handy&Poxton, 1993). Kadar Penelitian ini dilaksanakan di tempat
ammonia tertentu akan menyebabkan efek budidaya ikan laut Apri Hatchery di Jalan
stres dan toxic pada ikan, serta Raya Seririt-Gilimanuk, Buleleng, Bali.
meningkatkan senyawa anorganik terlarut
2.2 Bahan dan Alat
yang akan memicu eutrofikasi perairan,
potensi blooming plankton, pemicu racun Bahan dasar yang digunakan pada
bagi sebagian organisme akuatik hingga penelitian ini yaitu air laut, air buangan dan
meninggalkan prevelensi patogen dan ikan kerapu hibrid cantang yang diperoleh
penyakit ikan tertentu (Samocha et al., dari hatchery milik bapak Dr. Apri Iman
2004). Hal ini dikarenakan air buangan Supi’I, M.Si, S.Pi. bahan lainnya yang
bekas pemeliharaan ikan mengandung digunakan adalah pasir kuarsa (8-16 mesh)
material organik dan anorganik yang Zeolit (0,5-1,2 mesh), Karbon aktif (4-8
dihasilkan dari sisa pakan, metabolisme, mesh) dan Ijuk. Serta alat yang digunakan
eksresi ikan budidaya dan residu pada penelitian ini seperti, Lampu UV
penggunaan bahan kimia seperti pupuk, obat Merek Aquazonic 30 watt, kran, jaring 0.5
dan desinfektan (Zhou et al., 2015). mm, pompa air 125 watt, akuarium, gunting,
Salah satu treatment yang dapat dilakukan bak filter ukuran 36 cm x 36 cm x 45 cm,
dalam pengolahan air buangan yaitu sterofoam ukuran ukuran 75 cm x 42 cm x
memanfaatkan kembali air buangan sebagai 29 cm, botol kaca, cool box, kamera,
tempat hidup ikan dengan dilakukan penyangga, sambungan pipa, timbangan
pengolahan menggunakan media filter dan digital, penggaris, thermometer, DO meter,
sinar ultraviolet (UV). Berdasarkan tahapan pH meter dan Refraktometer.
pengolahan limbah penambahan media filter
dan sinar UV yang bertujuan untuk 2.3 Pelaksanaan Penelitian
mengurangi konsentrasi ammonia, fosfat, Pelaksanaan penelitian memiliki
nitrit dan beberapa bakteri yang berlebih beberapa tahapan, antara lain persiapan alat
pada air buangan hasil budidaya ikan filtrasi, pengambilan sampel kualitas air,
merupakan tahapan pengolahan limbah pengambilan sampel pertumbuhan ikan,
tersier atau tertiary treatment. Maka dari itu pengujian sampel kualitas air, pengujian
penelitian ini dilakukan guna mengetahui sampel pertumbuhan ikan dan analisis data.
kualitas air sebelum dan setelah proses
filtrasi dengan menggunakan media filter 2.3.1.Persiapan Alat Filtrasi
ijuk pasir kuarsa, zeolit, arang aktif dan juga
Unit filtrasi dan desinfeksi yang
penambahan sinar UV dalam aktivitas
digunakan pada penelitian dibuat dari
pendederan ikan kerapu hibrid cantang.
akuarium dengan ukuran panjang 45 cm,
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji
lebar 36 cm dan tinggi 36 cm. Kemudian
kelayakan air buangan hatchery budidaya
akuarium dilubangi pada bagian bawah
ikan laut sebelum dan setelah dilakukan
berguna sebagai saluran yang mengalirkan
proses filtrasi dan desinfeksi dan
air hasil filtrasi menuju UV water sterillizer
menentukan jenis air terbaik untuk
dengan kapasitas 30 Watt sebelum akhirnya
50
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]
dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku sebagai wadah filter dibagi menjadi lima
perkembangan ikan kerapu hibrid cantang. bagian filter yaitu adalah ijuk, pasir silika,
Penggunaan UV water Sterillize setelah air zeolit dan yang terakhir merupakan arang
melewati media filter disebabkan aktif. Pada media filter arang aktif memiliki
penggunaan sinar UV di awal perlakuan ketebalan 12.5 cm, ketebalan pasir silika
tidak efektif pada air keruh karena daya yaitu 12.5 cm, ketebalan zeolit yaitu 11 cm
desinfektannya hanya dapat menembus dan ketebalan arang aktif yaitu 9 cm.
beberapa centimeter dari permukaan air Adapun ambar skema air dapat dilihat pada
(Priano dan Satyani, 2012). Pada akuarium Gambar 1.
Input
Urutan media filter
1. Ijuk
12.5 cm
2. Pasir kuarsa
3. Zeolite
4. Arang aktif Bak filter 12.5 cm
11 cm
9 cm
36 cm
42 cm
Bak UV
Output
75 cm
51
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
52
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]
53
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
54
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]
Sedangkan tingginya kadar fosfat di air kanibalisme Kadar nitrit yang terlalu tinggi
filtrasi dan air buangan ini dapat disebabkan dapat menghambat kemampuan darah dalam
oleh tingginya difusi fosfat dari sedimen membawa oksigen yang akan mengakibatkan
yang berasal dari air buangan sisa budidaya gelisah dan menghambat metabolisme ikan
(Patty et al., 2015). Hasil uji kualitas air yang akan menyababkan kematian pada ikan
sampel terhadap fosfat dapat dilihat pada (Mustafa dan Athirah, 2014). Adapun grafik
Gambar 8. perbandinga rata-rata pertumbuhan robot
ikan dapat dilihat pada Gambar 10 dan hasil
H. Nitrit
uji BNJ pertumbuhan bobot mutlak ikan
Nitrit pada perairan mempengaruhi
dapat dilihat pada Tabel 1.
pertumbuhan ikan kerapu karena nitrit akan
mempengaruhi kemampuan darah dalam
Tabel 1. Uji BNJ Terhadap Pertumbuhan
membawa oksigen, dimana tingginya
Bobot Mutlak Ikan
kandungan nitrit didalam air akan
menghambat metabolisme pada ikan. Subset Notasi
Berdasarkan hasi pengukuran kadar nitrit Perlakuan N 1 2
pada air buangan hampir mendekati 1 mg/L.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh aktivitas AB 4 5.7200 a
hatchery yang tinggi sehingga bahan
organik yang di produksi pada air buangan AF 4 6.1000 a
juga meningkat. Penguraian bahan organik
oleh mikrooganisme memerlukan oksigen AL 4 8.9775 b
dalam jumlah yang besar. Pada air filtrasi
dengan air buangan kadar nitrit dari data Sig. .881 1.000
penelitian menurun hingga 79.75% hal ini Sumber: Hasil Olahan Data
dipengaruhi oleh oksigen yang tersedia Keterangan: BNJ = 2.2019
cukup banyak. Dengan bantuan bakteri,
oksigen akan mengoksidasi nitrit menjadi Dari hasil uji lanjut BNJ diketahui jika
nitrat dan mengakibatkan kandungan nitrit semikin baik kualitas airnya maka akan
pada air sampel akan menjadi kecil semakin tinggi rata-rata pertumbuhan bobot
(Risamasu dan Prayitno, 2011). Hasil uji mutlak ikan. Berdasarkan hasil tersebut
kualitas air sampel terhadap nitrit dapat perlakuan menggunakan air buangan dan air
dilihat pada Gambar 9. filtrasi menunjukan hasil yang tidak
signifikan berbeda, sehingga kedua
3.2 Pengujian Pertumbuhan Ikan perlakuan tersebut memiliki pertumbuhan
A. Pertumbuhan Bobot Mutlak panjang mutlak yang sama. Sedangkan pada
Berdasarkan hasil pengukuran yang perlakuan menggunakan air laut berbeda
dilakukan pada masing-masing perlakuan nyata dengan perlakuan air buangan dan air
didapatkan jika setiap minggunya bobot ikan filtrasi. Hal ini disebabkan karena kualitas
mengalami kenaikan yang dapat dilihat pada air laut lebih baik untuk meningkatkan
Gambar 10. Perbedaan pertumbuhan bobot bobot ikan.
mutlak ikan dimasing-masing perlakuan
mengalami perbedaan yang dipengaruhi oleh B. Pertumbuhan Panjang Mutlak Ikan
kualitas air. Pemberian pakan ikan kerapu Berdasarkan hasil pertumbuhan
tergatung dengan suhu dan salinitas air, panjang ikan dimasing-masing perlakuan
apabila suhu dan salinitas air meningkat mengalami peningkatan kecuali pada
maka nafsu makan ikan kerapu ikut penggunaan air buangan yang dapat dilihat
meningkat. Ketika nafsu makan ikan pada Gambar 11. Perbedaan yang terjadi
meningkat tetapi pemberian pakan diberikan disebabkan oleh kualitas air yang digunakan
tidak sesuai maka akan menyebabkan berbeda-beda. Rendahnya pH air laut dapat
55
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Residual
1.142 10 .114
Total
1.547 11
Berdasarkan Tabel 2 dapat terlihat menyebabkan stres pada ikan dan menjadi
tidak adanya pengaruh antara perlakuan lemah serta nafsu makan yang akan
menggunakan air laut, air buangan dan air menurun (Khairuman, 2002). Adapun
filtrasi terhadap pertumbuhan panjang kualitas air yang mempengaruhi tingginya
mutlak ikan. Pada regression, Fhitung<Ftabel laju pertumbuhan ikan pada air laut
(3.545<3.86), sehingga dapat disimpulkan dibandingkan dengan air filtrasi yaitu
bahwa perlakuan yang diberikan tidak salinitas, semakin tinggi salinitas air akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang semakin tinggi nafsu makan ikan yang akan
mutlak ikan dan tidak perlu dilakukan menyebabkan kanibalisme pada ikan kerapu
pengujian menggunakan BNJ (5%). sehingga ikan akan terluka dan akhirnya
mati. selain itu kadar ammonia dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan tingginya
C. Laju Pertumbuhan
ammonia dalam air dapat menganggu proses
Hasil penelitian menunjukan
peningkatan oksigen oleh darah dan pada
persentase laju pertumbuhan ikan kerapu
akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi dan
hibrid cantang dengan menggunakan air
terjadi kematian pada ikan, Hal ini di
laut, air filtrasi dan air buangan secara
perjelas dengan pada grafik laju
berurutan yaitu 5.25 %/hari, 4.21 %/hari dan
pertumbuhan air laut. Adapun hasil uji bnj
4.06 %/hari. Perbedaan laju pertumbuhan
laju pertumbuhan ikan dapat dilihat pada
pada masing-masing perlakuan ditentukan
Tabel 3.
oleh kualitas air, pakan dan padat tebar.
Kekurangan pakan akan memperlambat laju
pertumbuhan dan akan menyebabkan
kanibalisme pada ikan, sedangkan
pemberian pakan yang secara berlebihan
akan mencemari perairan yang akan
56
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]
Tabel 3. Uji BNJ Laju Pertumbuhan Ikan filtrasi dengan pengujian TSA didapatkan
Subset total koloni bakteri sebanyak 5 x 100
Notasi CFU/mg dan pengujian penggunakan TCBS
Perlakuan N 1 2 sebayak 1 x 100 CFU/mg. Pada penggunaan
AB a air laut didapatkan total koloni bakteri pada
4 28.4475 pengujian TSA dan TCBS sebesar 7 x 100
CFU/mg dan 4 x 100 CFU/mg. Kematian
AF a ikan kerapu yang disebabkan oleh bakteri di
4 29.4725
perjelas dengan pengecekan borok pada ikan
AL b menggunakan media TSA dan TCBS
4 36.7300
sebanyak 1476 x 103 CFU/mg dan 1250 x
Sig.
103 CFU/mg. Bakteri-bakteri yang terdapat
.886 1.000 didalam air seperti bakteri vibrio dapat
menyebabkan kerusakan pada tubuh ikan
Sumber: Olah Data
Keterangan: BNJ = 6.0552 serta berubahnya nafsu makan pada ikan.
Adapun hasil Uji BNJ Laju Pertumbuhan
Dari hasil uji lanjut BNJ diketahui jika Ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
semikin baik kualitas airnya maka akan
semakin tinggi laju pertumbuhan ikan. Tabel 4. Uji BNJ Laju Pertumbuhan Ikan
Berdasarkan hasil tersebut perlakuan Subset
menggunakan air buangan dan air filtrasi Perlakuan Notasi
menunjukan hasil yang tidak signifikan N 1 2
berbeda, sehingga kedua perlakuan tersebut AB a
memiliki pertumbuhan panjang mutlak yang 4 57.1425
sama. Sedangkan pada perlakuan
menggunakan air laut berbeda nyata dengan AL b
4 92.8550
perlakuan air buangan dan air filtrasi. Hal
ini disebabkan karena kualitas air laut lebih AF b
baik untuk meningkatkan pertumbuhan ikan. 4 100.0000
Adapun grafik laju pertumbuhan panjang
ikan dapat dilihat pada Gambar 12. Sig. 1.000 .711
Sumber: Hasil Olahan Data
D. Kelangsungan Hidup Keterangan: BNJ = 35.1858
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase kelangsungan hidup ikan kerapu Dari hasil uji lanjut BNJ dapat diketahui
hibrid cantang dengan menggunakan air bahwa semakin sedikitnya ikan yang mati
filtrasi lebih besar dibandingkan dengan maka semakin tinggi kelangsungan
penggunaan air laut dan air buangan. Hal ini hidupnya. Berdasarkan hasil uji BNJ
dipengaruhi oleh tingginya kematian ikan diketahui perlakuan menggunakan air
yang disebabkan oleh bakteri yang ada pada buangan berbeda nyata dengan air laut dan
air yang digunakan. Berdasarkan data air filtrasi yang disebabkan karena
penelitian bakteri yang paling banyak banyaknya ikan yang mati pada air buangan.
terdapat pada air buangan yang dimana pada Sedangkan pada air laut dan air buangan
pengujian TSA didapatkan total koloni tidak berbeda nyata karena perbandingan
bakteri sebanyak 11 x 102 CFU/mg dan ikan yang mati pada air laut dengan air
untuk pengujian TCBS didapatkan total filtrasi hanya 2 ekor. Adapun Grafik
koloni bakteri sebanyak 15 x 102 CFU/mg. kelansungan hidup ikan dapat dilihat pada
Sedangkan, total koloni bakteri yang paling Gambar 13.
sedikit didapatkan pada penggunaan air
57
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
33 16
Bakteri (CFU/mg)
Suhu (Celcius)
32
31 12
30 suhu TCBS
8
29
TSA
28 4
27
AL AB AF 0
Jenis Air AL AB AF
Jenis Air
Gambar 2. Perbandingan Suhu Sampel Air Gambar 6. Perbandingan Bakteri Sampel Air
Awal Awal
7.5 0.05
7.5
Fosfat (mg/L)
7.5 0.0375
7.5 pH
pH
7.5 0.025
Fosfat
7.5
7.5 0.0125
7.5
AL AB AF 0.
AL AF AB
Jenis Air
Jenis Perlakuan
35
7.
Salinitas (ppt)
34
Oksigen terlarut
5.3 33
Salinitas
(mg/L)
58
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]
Nitrit (mg/L)
0.675 nitrit
Amonia 0.75 standar…
0.45
0.5
0.225
0. 0.25
AL AF AB 0.
Jenis Perlakuan AL AF AB
Jenis Perlakuan
Gambar 7.Perbandingan Ammonia Sampel Air
Awal
Gambar 9. Perbandingan Nitrit
Sampel Awal
15.
air laut
12. air buangan
Bobot (gram)
air filtrasi
9.
6.
3.
0.
minggu ke-0 minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3 minggu ke 4
Pengukuran
9.
6.75
Panjang (cm)
0.
minggu ke-0 minggu ke1 minggu ke2 minggu ke3 minggu ke-4
Pengukuran
59
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
46.25 125.
Laju Pertumbuhan
Kelangsungan
37. 100.
Hidup (%)
75.
(%/hari)
27.75
50.
18.5
25.
9.25 0.
0. air Laut air air filter
air laut air bungan air filtrasi buangan
Jenis Air Jenis Air
60
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]
61
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]
Nina Yulianti123*), Kitso Kusin23), Elvi Murni3), Dedy3), Betrixia Barbara1), Daisuke
Naito4567), Osamu Kozan56), Yusurum Jagau123), Ici Piter Kulu13), Fengky Florante Adji13),
Kurniawan Eko Susetyo7)
1)
Faculty of Agriculture, University of Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia
2)
Graduate Program of Environmental Science, University of Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia
3)
UPT. LLG - CIMTROP, University of Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia
4)
Faculty of Agriculture, Kyoto University, Kyoto, Japan
5)
CSEAS, Kyoto University, Kyoto, Japan
6)
Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Japan
7)
Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia
*Email: nyulianti@agr.upr.ac.id
ABSTRACT
Central Kalimantan covers an area of 157,983 km2 with more than 2,000 km2 of tropical
peatlands, which is one of the buffer regions of Indonesia's new capital government city.
However, the sad story is the conversion of about one million hectares from peat swamp forests
(PSF) to rice fields occurred in the mid-1990s, so called the Mega Rice Project (MRP). Since
then, forest and peatland fires become an annual event due to high level of degradation under the
climate change symptoms such the frequent of the El Niño event. In very strong El Niño of
2015, Indonesia has returned to the world spotlight in relation to the fires and the haze crisis.
The most fire prone area was recorded in the iconic Tumbang Nusa, Pulang Pisau Regency and
its adjecent areas. However, the thick haze had covered almost the entire province. There are the
dis-adventages impact during more than two months. Therefore, this study was to investigate
what are the causes and the impacts of this disaster at the site level. This research location was
focuses on three regencies and one city namely Pulang Pisau, Kapuas, Katingan and Palangka
City. The method was a Focus Group Discussion (FGD) with key figures representing eight
clusters of village communities. This method is also supported by statistical, hotspots and spatial
data for additional analysis. The result are only two villages with very high average of hotspot
and eight with high average of hotspots in Pulang Pisau and Kapuas Regency. Further, the FGDs
in seven villages showed that there were three main clusters that caused forest-land fires, namely
natural factors, human factors and village policy / regulation factors. The villages study that
were affected by the fire in 2015 showed there were three main impacts namely on people,
environment and capital. This result is a foundation of cause-effect factor for further Root Cause
Analysis to find out the options for fire prevention and management in climate change
mitigation efforts.
on various sectors ranging from local to (Koplitz et al., 2016; Yulianti, 2018 Marlier et
global levels (Limin et al, 2007; Yulianti, al, 2019; Uda et al. 2019;) of the forest-
2011; WBG, 2016). Officially, Indonesia peatland fires in the modern situation.
accepts the position as one of the largest However, it turns out that the forest-peatland
global carbon emitter countries (DNPI, 2011) could not stop after 2015, and even continues
and the exporter of transboundary-haze today. There are indications that the causes
pollution for Southeast Asian countries (Heil and impacts also vary depending on
et al., 2006). geographical, social, economic, cultural and
In 2014/2015, this frightening condition local political issues from year to year.
reoccurred under the influence of the El Niño According to Ferdinand (2006), this type of
event, too. Endarwati (2016) stated that the causality research is research conducted to
distribution of forest-land fires in 2015 was look for an explanation of the cause-effect
mostly found in the other use areas outside relationship or cause-effect between several
the forest, where those areas close to the variables in a management goal, which can
community access. As many as 22% of the also be a means of finding options for a
total fires occurred on peatlands. It seemed problem. Jua´rez-Orozco et al (2017) and
the non-forest fire spread out to conservation Lestari et al (2018) conduct research on the
swamp forests such in Sebangau and Tanjung impacts and causes of tropical forest fires
Putting National Park in Central Kalimantan. with a bibliometric and knowledge-based
Indications of the distribution of fire areas on approach. This study seeks to investigate
peatlands in Central Kalimantan Province are what conditions and parameters at the site
over 500.000 ha. This condition generates the level with various categories of forest-fire and
worst air pollution in history for the last haze hazard in Central Kalimantan using
decade (Hayasaka and Sepriando, 2018). The social research methods. This research aims
haze is not only releases greenhouse gases but to found effective ways in the prevention and
also contains harmful gases for humans mitigation of future forest-peatland fires.
(Stockwell et al 2017; Wooster et al, 2018).
Air quality in 2015 exceeding the safe limit 2. METHODOLOGY
for human and living things. The previous
study predicted tens of thousands of people 2.1 Research Location
are exposed to respiratory diseases, many
flights were canceled, and schools were The locations of this study are several
closed during the peak fire season. There villages in Palangka Raya City, Pulang Pisau,
were indications of haze had blowing to Kapuas and Katingan Regencies in Central
neighboring Southeast Asian countries and Kalimantan Province as shown in Figure 1.
polluting air quality in neighboring Singapore The coordinates of the study sites include
and Malaysia (Van Mead, 2017; 0o24' to 3o22' South Latitude and 112o06 ' to
Ramakreshnan et al 2017; Koplitz et al, 114o45 East Longitude. The research began in
2016). 2018 and is planned until 2020, which it can
The other studies with spatial methods cover various categories of forest-peatland
and literature reviews try to explore what the fire and haze hazard in Central Kalimantan
causes behind the fire occurrences (Atwood, (Table 1). However, the results in this article
2016; Sumarga, 2017; Carlson, 2017; shown are only for 2 (two) years, excluding
Hirschberger, 2017) and also how the impacts the 2020 activity.
63
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]
Year of 2020*
Year of 2018 Year of 2019 [rencana]
Note:
a. Priority of peat restoration area post 2015 fire from Figure 2
b. Average of very high hotspot area from table 2
c. Average of high hotspot area from table 2
d. Average of moderate hotspot area from table 2
e. Average of low hotspot area from table 2
f. Location in peatlads
(Note: kedalaman gambut is depth peat; desa is village; bandar udara is airport)
64
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
The number of the adult population in The data analysis technique used was to
the villages (groups of 20 years and over) categorize the various causes and impacts of
who are considered to be able to express their fires delivered by respondents in focus group
opinions independently in FGD activities is discussions on the village that was the
585,758 people, where spread in 4 (four) location of the study. In this research, in-
districts (Table 2). This study uses a 90% depth analysis has not been carried out such
degree of confidence, the error rate is 10%. as the Fishbone diagram or Ishikawa Diagram
Researchers can determine what is the often also called fishbone diagram-because of
minimum limit of samples that can meet the its shape like fish bones. The reason is that
requirements of an error rate of 10% by this research is still preliminary mapping of
entering these numbers into Slovin formula. the main causes and impacts, which the
This greater value is due to the consideration results only display tabular forms.
of the large diversity of conditions in the
research location and FGD facilitators. The
3. RESULTS AND DISCUSSION
results of the calculation of sampling are
obtained at least 100 people as respondents in 3.1 The Fire-Prone Areas
this study, where each village was divided as
many as 20 respondents. The number of villages that were
targeted in this study was 444, based on the
The data collection method is the most initial map of district division in 2002. There
strategic step in qualitative and quantitative is a possibility that the number of new
research because the main objective of the villages could increase in 2019. The districts
study is to obtain data in several ways such as with the most villages are Kapuas Regency
in this study, namely: and the least is Palangka Raya City. Table 2
shows that around 80% of the villages in the
four regencies recorded historically had one
65
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]
or more hotspots. 2 villages are categorized as selected were those that had a more 60%
very high, 8 villages that are categorized as confidence level. Besides, TERRA and
high, 70 villages are classified as moderate AQUA satellite sensors recorded only cross
and the rest are only low. The villages with an area at a certain time, which can be when
very high and high categories are in Pulang severe fires are not detected. Hotspot
Pisau and Kapuas Regencies. Figure 1 shows locations also cross administrative boundaries
that the majority of these villages are on so it is very difficult to analyze them, for
peatlands. example, hotspot pixel coordinates in Village
A but within a 1km2 pixel radius including in
The number of hotspots shown in Table Village B. Thus, hotspots are only an
2 is not the actual number of fires in the field. indicator that an area is prone or does not
The main reason is that a pixel hotspot is experience forest fires such as in previous
within a radius of 1km2 and can be 500m2 if studies from Yulianti et al (2013). This
the weather is good (Giglio et al, 2003), so parameter can also be used to overcome the
those small fire incidents are often not limitations of observing and recording the
detected. Especially in this study, the data data from field-workers.
Pulang
Pisau 8 997 81 228 2 6 20 47 6 81
222
Kapuas 14 999 200 2 20 116 40 178
Palangka 179
Raya 2 399 782 8 17 5 30
102
Katingan 17 500 548 22 104 29 155
585
Total 43 895 758 2 8 70 284 80 444
Note:
*Census data in 2017
**Based on administration map in 2002
centimeters. The firefighting team is very Central Kalimantan. The total area is 8000
difficult to detect this type of fire because km2 or greater than Bali Island which is only
there is often no visible flame or smoke 5000 km2. This figure shows how much the
release. Figure 2 shows the results of the loss of peatlands as a carbon source and
analysis of the distribution of former fires and climate balancer.
hotspots in 2015 for priority restoration in
Figure 2. Priority of peat restoration area post 2015 fire (white color) and the hotspot distribution
in 2015 (red dot color) for EMRP areas
Since then, the Indonesian Government during 2019. Of these, approximately 150
has become more stringent in managing cases are still under investigation and around
peatlands through various policies such as the 30 cases have reached the investigation stage
following: 1) carrying out a peatland Even dozens of people suspected of being
restoration program by establishing a Peat perpetrators of land burning both individuals
Restoration Agency (abbrv. BRG), issuing a and corporations have also been secured
moratorium map on peatland use permits during the post-2015 forest fires (Priyono,
through the Ministry of Environment and 2019).
Forestry (Abbrv. KLHK) and taking firm
action against perpetrators of forest and land
3.2 Cluster of Main Causes
burning through the Letter of Republic of
Indonesia Police (Abbrv. POLRI) as The starting point of this research is the
mentioned in Yulianti (2018). Peatland very severe forest-fire in 2015, although in
restoration was carried out on 2015’s burned 2018 it was also recorded as the top 10 fires
peatlands in seven priority provinces in in Central Kalimantan (Yulianti et al., 2019).
Indonesia, one of which was Central Based on the results of the FGD and
Kalimantan (Figure 2). Some companies in observations there are 3 (three) main causes
Central Kalimantan are suspended or revoked of forest-fire clusters as listed in Table 3.
to obtain permits if they are located on the Factors in the first and second columns are
peatlands (Anonymous, 2016). The Central the answers of the majority of respondents,
Kalimantan Regional Police are reported to while the third column is the result of answers
have handled almost 200 cases of forest fires from the respondent, especially those located
67
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]
in Palangka Raya City (Figure 3). Each (2015) shows that approximately 70 percent
village has a specific cause. For example, of respondents practice clear land by burning
from respondents in Desa Tumbang Nusa, until the middle of 2015. This condition has
Pulang Pisau obtained an answer that the great potential as a major cause of fire and
main factor in the fires that spread was haze crisis. Whereas, this study is not defined
accidental/negligence such as littering as the causes by percentage but the
cigarette butts or uncontrolled burning, combination of the cluster of main factors and
especially in abandoned areas around the its sub-factors. For example, scenario 1 is the
Primary Channel (abbrv. SPI) which is land burning carried in non-El Niño years,
located between the trans- Kalimantan and scenario 2 is the El Niño phenomenon
Sebangau River. Meanwhile, one of the occurred but the burning is not in the
causes such in Kelurahan Bukit Tunggal. peatlands, scenario 3 is there is lack of
There is an intentional for political-related regulation for prohibiting burning at the
sabotage related to provincial or city elections village level but the peatland is still
schedule. waterlogged or natural condition. The
scenarios might support a little chance of
Previous research in several regencies massive forest-peatland fires such as 2015 or
in Central Kalimantan by Barbara et al. 2019.
68
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Figure 3. Activity of FGD in villages of Pulang Pisau Regency and Palangka Raya City
3.3 Cluster of Main Impact on the gardens / land come on fire, the house
also catches fire and also public facilities are
As same as in section 3.2, the impact of disturbed. However, this study has not
forest-land fires referred to in this study calculated the economic value of the impacts
began in 2015. There are 3 (three) clusters of in Table 4.
impacts experienced by respondents who
were in the village as the research location as Some impact factors and sub-factors are
listed in Table 4. The direct impact that was still in line with previous research although
felt shortly after the incident was to humans using a different approach that conducted by
and living things. When the thick haze Limin et al (2007), Yustiawati et al (2016),
releases from the peat fire is concentrated in Uda et al (2018). One of the macro-scale
the areas, it will cause a variety of studies such conducted by the World Bank
disadvantages to health, livelihoods and Group stated that the cost of forest fires in
quality of education. The impact on the Indonesia in 2015 reached US $ 16 billion
environment can be observed after a few days (WBG, 2016). Meanwhile, the decline in
or weeks of fire, such as shrinking peat, hot income due to the impact of the household
temperatures, reduction or depletion of forest level on the livelihoods of fishermen and
products and non-forest products, rubber farmers in several villages in Pulang
contamination on air, water and soil. Further, Pisau Regency ranged from 20% to 40%
the worse forest-peatland fires could impact (Yulianti et al, 2015).
69
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]
Closing of public
transportation route
Additional expenditure
for drilling wells and /
or land guard fees
Figure 4. Raw Note Paper of FGD in Buntoi dan Tumbang Nusa Village, Pulang Pisau Regency
on September 2018
70
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
ABSTRACT
The aims of this work is to perform the effect of flowrate and operating time on decreasing
of Fe, Cr, COD, BOD concentrations, assessing the quality of wastewater after being treated
with dilution, neutralization, coagulation and adsorption techniques, especially for parameters
suck as Cr, Fe, COD, BOD and pH. The variables in this study are the waste water flow that is
100 mL / min and 140 mL / min, with operating time for 60 min. The adsorption process is
carried out continuously with down flow. Adsorbents in the form of activated zeolite and
activated carbon are arranged in stages in a PVC reactor. The results of this study are 100
ml/min discharge can reduce most of Fe concentration. The discharge of 100 ml/min can reduce
Fe by 99.94% from 1,768 ± 1.14 mg / L to 0.98 ± 0.03 mg/L and chrome by 99.07% from
48.35±0.49mg/L to 0.39±0.00 mg/L, COD 99.17% from 35.455±2.1mg/L to 286±1.4 mg/L,
BOD 99% from 15.052±13.5 mg/L to 149.5±2.1mg/L, pH 7.05 - 7.25. The discharge of 140
ml/min can reduce Fe by 99.94% from 1,768±1.14mg/L to 0.99±0.03mg/L and chrome 99.07%
from 48.35±0,49mg/L to 0.45±0.00mg/L, COD 99.08% from 35.485±2.1 mg/L to 325.25±2.12
mg/L, BOD 98% from 15.052±13,5mg/L to 160.5±0.70mg/L, pH 6.95 - 7.25. The quality of
wastewater after being treated have met the quality standard in accordance with the Minister of
Environment Regulation No. 5 of 2014.
Keywords: Adsorption; Coagulation; Dilution; Laboratory Waste.
memenuhi PerRMen LH No. 5 Tahun 2014 melalui rantai makanan (Kristianto, Wilujeng
mengenai baku mutu air limbah. Jika tidak and Wahyudiarto, 2017), di dalam tubuh akan
dilakukan proses pengolahan limbah cair sulit untuk dikeluarkan sehingga kadarnya
laboratorium lebih lanjut maka dapat akan meningkat di dalam tubuh organisme
mencemari lingkungan sekitar (Raimon, (Prastyo et al., 2016). Krom merupakan
2011). logam yang berbahaya bagi kehidupan.
Limbah cair yang mengandung besi Logam krom merupakan logam yang sulit
terlarut dalam bentuk Ferro (Fe2+). Besi dalam didegradasi sehingga dapat bertahan lama
bentuk Ferro mudah teroksidasi menjadi besi dalam perairan (Paramita et al., 2017).
dalam bentuk Ferri (Fe3+) dengan adanya Kandungan senyawa kromium dalam
oksigen di udara (Febrina and Ayuna, 2015). lingkungan yang paling banyak ditemui
Bakteri Crenothrix dan Gallionella dapat adalah dalam krom trivalen (Cr3+) dan krom
memanfaatkan Fe2+ sebagai sumber energi heksa valen (Cr6+). Krom heksavalen
dalam pertumbuhannya dan dapat merupakan senyawa krom yang sangat
mengendapkan Fe3+. Semakin tinggi kadar berbahaya, karena dianggap sangat beracun,
Fe2+ menjadikan pertumbuhan bakteri sangat karsinogen, mutagenik. Ion krom dapat
cepat yang berakibat tersumbatnya saluran menyebabkan kerusakan hati, kerusakan
pipa (Febrina and Ayuna, 2015). Logam besi saluran pernapasan, kerusakan ginjal, kanker
yang berada di dalam tanah mudah paru-paru. (Sy et al., 2016), mutasi gen,
mengalami oksidasi dan reduksi. Dengan bersifat karsinogen dan teratogenic
adanya reaksi biologis dari bakteri pada (Kristianto et al., 2017).
kondisi anaerob, maka unsur Fe dalam tanah Pengolahan air lmbah yang
akan tereduksi sehingga menjadi besi yang mengandung logam berat dapat dilakukan
terlarut. Persitiwa oksidasi dan reduksi besi di secara fisika, kimia atau kombinasi fisika dan
dalam tanah menyebkan besi akan masuk ke kimia. Penyisihan logam berat dalam limbah
dalam irigasi. Kelarutan Fe juga dipengaruhi cair biasanya dilakukan dengan presiptasi,
oleh pH. Kelebihan kandungan besi dalam koagulasi, adsobsi (Ariani and Rahayu, 2016),
lingkungan dapat mengakibatkan air tanah filtrasi atau kombinasi dari semuanya. Metode
terkontaminasi dan mengganggu kombinasi presipitasi dan adsobsi dapat
kelangsungan makhluk hidup lainnya. Logam menyisihkan logam berat pada limbah
Fe di dalam tanah akan diserap oleh tanaman laboratorium hingga 98,09 – 99,99% (Ariani
melalui akar. Kadar Fe yang tinggi di dalam and Rahayu, 2016).
tanah akan menyebabkan tanaman Air limbah yang mengandung logam
mengakumulasi Fe di dalam tubuhnya berat dapat diolah dengan menggunakan
sehingga menyebabkan keracunan (Apriyanti teknologi presipitasi (pengendapan).
and Candra, 2018). Teknologi presipitasi dapat dilakukan dengan
Tingginya kadar besi yang berada penambahan zat terntu sehingga akan
dalam tubuh manusia akan mengakibatkan mengubah logam yang mudah larut menjadi
penyakit seperti keracunan, kanker, liver dan logam yang sukar larut. NaOH merupakan
hemokromatis (Jenti and Nurhayati, 2014). senyawa alkali yang bersifat basa, mudah
Dalam tubuh, besi diperlukan sebagai larut dalam air dan cepat mengendapkan Fe
pembentukan hemoglobin. Dalam dosis yang dan logam yang lain (Apriastuti et al., 2017),
cukup tinggi, besi dapat merusak jaringan larutan NaOH juga berfungsi untuk menaikan
dinding usus (Febrina and Ayuna, 2015). pH air limbah. Pengendapan logam berat
Limbah yang mengandung logam krom dalam air limbah sanga dipengaruhi pH
termasuk kategori limbah B3. Krom termasuk (Ariani and Rahayu, 2016).
logam berat, dan masuk ke dalam kelompok Poly Aluminium Chloride (PAC)
16 besar substansi berbahaya oleh Agency for merupakan koagulan dari garam dari
Toksic Substances and Disease Registry aluminium klorida yang sering diaplikasikan
(ATSDR) (Sy et al., 2016). Krom bersifat dalam pengolahan air limbah maupun air
bioakumulasi di dalam makhluk hidup, bersih karena mempunyai daya koagulasi dan
75
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]
flokulasi lebih kuat jika dibandingkan dengan Demand (COD) limbah industri krisotil
tawas. PAC efektif bekerja pada rentang pH sebesar 63% (Yuliastuti and Cahyono, 2018).
5,0 – 8,0. PAC dapat menurunkan turbidity Keberhasilan proses adsobsi
97,69% dan TSS 99,24% air limbah (Husaini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
et al., 2018). PAC konsentrasi 300 mg/L karakteristik adsorben, meliputi luas
dapat meremoval TDS 13,7%; Cr 97% dan permukaan, ukuran partikel (Sirajuddin and
Pb 93,5% pada air limbah laboratorium Harjanto, 2018), waktu kontak, pH, suhu,
(Nurhayati et al., 2018). konsentrasi adsorbat (Arisna et al., 2016).
Zeolit alam merupakan adalah senyawa Waktu kontak yang diperlukan proses adsobsi
terhidrat dari aluminosilikat yang terdiri dari untuk mencapai equilibrium tidak sama,
dar ikatan SiO4 dan AlO4 terhidrat yang waktu kontak akan dicapai apabila tidak
dihubungkan dengan oksigen (Utami, 2017). terjadi perubahan konsentrasi adsorbat pada
Zeolit banyak dimanfaatkan sebagai adsorben, solute (Sirajuddin and Harjanto, 2018).
ion exchange, katalis pada industry (Anggoro, Pada penelitian terdahulu, pengolahan
2017). Katalis zeolit menyebabkan reaksi limbah cair dilakukan dengan cara netralisasi,
lebih cepat, efisien, sehingga mengurangi koagulasi dan adsobsi menggunakan karbon
penggunaan energy dan pengolahan limbah. aktif ampas tebu dan zeolit yang tidak
Zeolit banyak diaplikasikan dalam proses diaktivasi, dengan debit 140 ml/L, pada menit
adsorbansi polutan karena mempunyai rongga ke-15 dapat menurunkan konsentrasi krom
struktur kristal alumina silika yang berisi ion sebesar 93% dari 5,37 ppm menjadi 0,36
logam (Aidha, 2013). Zeolit mampu ppm, tetapi pada menit ke-30 sampai menit
menurunkan logam Fe sebesar 62,78% dari ke-120, konsentrasi krom mengalami
12,668 mg/L menjadi 1,948 mg/L yang kenaikan yang signifikan (Nurhayati et al.,
terkandung dalam air lindi (Larasati et al., 2018). Oleh karena itu perlu adanya
2016). Penggunaan zeolit tanpa aktivasi, penelitian lanjutan supaya adsorben tidak
karbon aktif dan ijuk sabut kelapa dapat cepat jenuh dan dapat menurunkan polutan
menurunkan Cr 93% dari 5,37 mg/L menjadi lebih besar dengan menggunakan adsorben
0,36 mg/L dalam waktu pengoperasian 15 diaktivasi dan memvariasikan debit waktu
menit (Nurhayati et al., 2018). Proses operasi. Tujuan dari penelitian ini adalah
adsorbsi akan lebih efektif apabila air limbah mengkaji pengaruh debit aliran dan waktu
memiliki pH netral. Kombinasi koagulasi dan operasi terhadap penurunan Fe, Cr COD, dan
adsorbsi dapat menurunkan logam Fe dengan BOD. Menganalisa kualitas limbah cair
tingkat keberhasilan sebesar 62,25% dari setelah diolah dengan pengenceran,
kadar awal 194 ppm menjadi 7,324 ppm netralisasi, koagulasi dan adsobsi terutama
(Audina et al., 2017). untuk parameter Cr, Fe, COD, BOD dan pH.
Adsobsi merupakan salah satu proses
pengolahan limbah yang sederhana dan dapat 2. METODOLOGI
menggunakan adsorben bahan alam yang
tidak terpakai (Widayatno et al., 2017). Penelitian ini dilakukan secara kontinyu
Karbon aktif merupakan karbon yang dengan skala laboratorium. Variable
diaktivasi untuk memmbuka pori-pori penelitian adalah debit aliran yaitu 100
sehingga berfungsi sebagai adsorben. ml/menit dan 140 ml/menit dan waktu operasi
Aktivator yang digunakan biasanya gas CO2, yaitu 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60
uap air atau zat kimia (Polii, 2017). Aktivasi menit.
karbon dengan pemanasan berfungsi untuk
memperluas permukaan, menghilangkan 2.1 Alat dan Bahan
kotoran yang mudah menguap, tar dan Limbah yang diolah adalah limbah
kidrokarbon pengotor (Masthura and Putra, laboratorium Teknik Lingkungan yang
2018). Karbon yang diaktivasi asam phospat diambil yang diambil langsung dari dari
dapat menurunkan Chemical Oksygen wastafel. Reaktor adsobsi berupa berupa pipa
dengan diameter 4 inci dan panjang pipa 145
76
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
77
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]
di dalam limbah. Endapan logam yang konsentrasi 300 mg/L. Koagulan PAC
terbentuk berwarna hitam, terjadi karena konsentrasi 300 ppm dapat menghilangkan
peningkatan nilai pH akan mengubah konsentrasi Cr hingga 93,47% pada limbah
senyawa karbonat menjadi senyawa cair Laboratorium TL (Nurhayati et al.,
hidroksida yang berbentuk partikel kecil 2018). Karakteristik air limbah setelah
dalam limbah (Nurhayati et al., 2018). dilakukan pengenceran, netralisasi dan
Penambahan pH juga bertujuan supaya kerja koagulasi dapat disajikan pada Tabel 2.
PAC sebagai koagulan lebih efektif. Secara organoleptis air limbah setelah
Koagulan PAC akan bekerja lebih efektif dilakukan koagulasi flokulasi berwarna hijau,
pada pH 5,0 – 8,0 (Husaini et al., 2018). jernih bagian atas dan bagian bawah terdapat
Proses koagulasi air limbah endapan hitam.
laboratorium menggunakan PAC dengan
Tabel 2. Hasil Uji Air Limbah Laboratorium TL UNIPA Surabaya Setelah Pretreatment
Netralisasi dan Koagulasi
Parameter Satuan Hasil Uji Baku Mutu Air limbah*
pH - 7,2 ± 0,00 6,0 – 9,0
Fe Total mg/L 1,75±0,014 5
Cr Total mg/L 1,37±0,080 0,5
COD mg/L 1.876±1,4 300
BOD Mg/L 404,5 ±0,70 150
*) PerMen LH No. 5 Tahun 2014
Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa bahwa limbah cair laboratorium diolah
dengan proses pengenceran, netralisasi dan menggunakan metode presiptasi dengan
koagulasi mampu menurunkan kadar Fe penambahan NaOH samapi pH 7 dapat
sebesar 99,50%, Cr 98,50%, COD 95,2% dan meremoval Cr sebesar 98,85% (Avessa et al.,
BOD 97,30%. Konsentrasi Cr dan Fe total, 2016).
COD, BOD setelah proses pengenceran, Netralisasi, koagulasi dan flokulasi juga
netralisasi dan koagulasi belum memenuhi efektif menurunkan konsentrasi COD dan
PerMen LH No. 5 Tahun 2014 sedangkan BOD, hal ini disebabkan polutan yang mudah
pH=7,2 sudah memenuhi, oleh karena itu terdegradasi maupun yang sulit terdegradsi
diperlukan proses lanjutan supaya konsentrasi dalam air limbah berkurang karena
polutan dapat memenuhi baku mutu. mengalami presipitasi. Pengendapan zat
Proses pengenceran, netralisasi dan organik menyebabkan oksigen terlarut yang
koagulasi dapat meremoval Cr dan Fe diatas digunakan untuk mengoksidasi air limbah
98 %, hal ini dikarenakan penambahan NaOH berkurang, nilai BOD dan COD berkurang
sebagai senyawa alkasi yang besifat basa kuat (Febrina and Ayuna, 2015). Pengendapat zat
menyebabkan krom dan besi yang ada di organik semakin efisien karena proses
dalam air limbah mengendap sebagai presiptasi dilakukan dalam suasana netral.
Kromium hidroksida Cr(OH)3 dan Fe(OH)2. Dengan penambahan NaOH menyebabkan zat
Endapan logam Fe da Cr yang berupa koloid organik yang tersuspeni baik yang mudah
dan flok flok kecil dengan penambahan terdegradasi maupun yang sulit terdegradsi
koagulan PAC dan proses flokukasi akan mengalami pengendapan sehingga BOD dan
diikat sehingga membentuk flok flok besar COD menurun (Wardhani and Dirgawati,
yang mudah mengendap. Penambahan NaOH 2013). Suasana netral juga menyebabkan
menyebabkan pH menjadi netral sehingga penurunan BOD, karena mikroorganisme
koagulan PAC akan bekerja lebih efektif dalam air limbah dapat hidup dengan baik
dalam mengikat logam berat (Nurhayati et al., sehingga dapat melakukan degradsi secara
2018). Penelitian serupa juga didapatkan hasil biologis (Irmanto and Suyata, 2010).
79
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]
Proses adsobsi terjadi karena adanya gaya berarti semakin lama waktu kontak antara
Van Der Waals, sehingga pori karbon aktif adsorben, yaitu karbon aktif dan zeolit aktif
akan menarik partikel pencemar sehingga dengan adosrbat yaitu polutan dalam air
terperangkap (Widayatno et al., 2017). limbah. Waktu kontak yang lebih lama
Logam Fe memiliki elektron valensi yang memberi kesempatan ion Fe bersinggungan
rendah sehingga dalam proses adsorbsi dengan permukaan adsorben sehingga pori-
dengan karbon aktif dan zeolit lebih cepat pori adsorben banyak menyerap ion Fe lebih
tersisihkan. banyak (Marlinawati et al., 2015). Proses
Dalam penelitian ini menggunakan adsobsi secara kontinyu, semakin kecil debit
karbon aktif berbentuk serbuk sehingga aliran yang digunakan dalam menyisihkan
memperbesar daya adsobsi. Karbon aktif logam berat maka kapasitas adsorbsi semakin
berbentuk serbuk mempunyai pori-pori yang besar (Shafirinia et al., 2016).
lebih banyak, sehingga partikel yang
teradsobsi semakin besar pula. Karbon aktif 3.4 Pengaruh Debit dan Waktu Operasi
dapat menurunkan logam Fe sampai efisiensi Terhadap Kadar Kromium (Cr)
62,25% (194 mg/L menjadi 7,324 mg/L) Penurunan krom Total (Cr) selama
(Audina et al., 2017). proses adsosi tersaji pada Gambar 2. Pada
Peran dari zeolit juga menambah Gambar 2 menunjukan bahwa proses adsobsi
kapasitas adsorbsi karena memiliki sifat secara kontinyu menggunakan adsorben
sebagai pengadsorbsi dan penukar ion. Zeolit karbon aktif dan zeolit teraktivasi dengan
yang akan digunakan sebagai adsorben debit 100 ml/menit dapat menurunkan krom
diaktivasi menggunakan H2SO4 untuk total rerata sebesar 70,4% dengan kadar akhir
memperbesar porositas, karena pori-pori krom total 0,39 mg/l, sedangkan pada debit
zeolit terbuka luas, (Nurhayati et al., 2018). 140 ml/menit dapat menurunkan krom total
sehingga keaktifan zeolit meningkat (Aidha, rerata sebesar 66% dengan kadar krom akhir
2013). Penyerapan zat pencemar akan 0.45 mg/L. Kadar krom total setelah treatment
sempurna dengan menggunakan zeolit yang sudah memenuhi baku mutu menurut PerMen
mempunyai pori-pori yang besar (Azamia, LH No. 5 Tahun 2014.
2012).
Dilihat dari waktu operasi, dari menit
ke-15 sampai menit ke-45 removal Fe terjadi
kenaikkan yang signifikan baik pada debit
100 ml/menit maupun debit 140 ml/menit hal
ini terjadi karena pada awal adsobsi laju
berjalan cepat karena pori-pori adsorben
masih kosong dan partikel Fe mudah
menempel pada pori pori adsorben. Pada
menit ke-45 sampai menit ke-60, removal Fe
mengalami penurunan, karena semakin lama
waktu operasi pori-pori adsorben yang kosong
semakin berkurang, oleh karena itu Gambar 2. Pengaruh Debit dan Waktu
kemampuan menyerap Fe juga semakin Operasi Tehadap Removal Cr
berkurang (Puspita et al., 2017).
Adsobsi dengan debit 100 ml/menit Penurunan kadar krom total dalam air
mulai dari menit ke-15 hingga 60 dapat limbah laboratroium disebabkan karbon aktif
meremoval Fe lebih tinggi daripada adsobsi serta zeolit aktif mengadsobsi krom. Ion Cr3+,
dengan debit 140 ml/menit. Pada menit ke-15 Cr6+ dan Fe2+ dalam air limbah mengalir
hingga 60, debit 100ml/menit dapat melalui kolom zeolit dan mengalami
menurunkan Fe rerata 38 % sedangkan pada penukaran dengan adanya ion H+ di dalam
debit 140 ml/menit rerata dapat menurunkan rongga zeolit (Aidha, 2013). Proses adsobsi
Fe 20%. Hal ini dikarena semakin kecil debit dan pertukaran ion ini berlangsung secara
81
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]
83
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]
3.8 Kombinasi Pengenceran, Netralisasi, menghasilkan air limbah yang sudah sesuai
Koagulasi, Flokukasi Dan Adsobsi PERMEN LH No. 5 Tahun 2014 kecuali
BOD dan COD pada adsobsi dengan debit
Penelitian tentang pengolahan air
140 ml/L. Efsiensi penurunan ion Fe, ion Cr,
limbah laboratirum TL menggunakan
COD dan BOD diatas 99%. Karakteristik air
teknologi kombinasi pengenceran, netralisasi,
limbah sebelum dan sesudah pengolahan dan
koagulasi dan adsobsi dengan adsorben
nilai removal disajikan dalam Tabel 3.
karbon aktif dan zeolit teraktivasi,
Tabel 3. Karakteristik Air Limbah dan Removal Polutan Setelah Koagulasi dan Adsobsi
85
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]
86
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
87
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]
ABSTRACT
Mangroves are typical coastal plants whose habitat is influenced by tidal and substrate
characteristics. Mangrove ecosystems have a variety of functions that can be utilized both in
terms of physical, biological, and economic. Utilization of mangrove ecosystems that do not pay
attention to environmental sustainability and conservation aspects cause damage of a whole
coastal ecosystems. This study aims to analyze the structure of mangrove vegetation based on
biophysical environment quality. This research was conducted on February until March 2017 at
Ngurah Rai Forest Park Bali. The results of study show that the conditions of temperature, pH,
and salinity are still in accordance with the specified quality standards, however dissolved
oxygen has been classified as polluted by anthropogenic waste. The analysis of the structure and
distribution of mangrove vegetation found that species of S. alba dominated at the location
research, followed by R. apiculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza, R. stylosa, X. granatum, A.
marina, and A. corniculatum. Overall, the mangrove condition was damaged category with a
mangrove density value < 1000 ind/ha.
laut untuk memulai rantai makanan dengan sangat potensial dalam pemanfaatan di sektor
memanfaatkan serasah mangrove. Tidak pariwisata, bisnis, dan letaknya yang dekat
hanya organisme laut, masyarakat juga dengan pemukiman penduduk. Tentu saja hal
seringkali memanfaatkan areal mangrove ini menyebabkan terjadinya tekanan
sebagai tambak, kayu bakar, bahan obat - lingkungan akibat adanya limbah domestik.
obatan, dan lainnya. Tidak hanya limbah, alih fungsi lahan juga
Kondisi ekosistem mangrove sebagai menyebabkan ekosistem mangrove menjadi
habitat berbagai macam organisme kini rusak. Mengingat peran ekosistem mangrove
eksistensinya terancam. Seiring bertambahnya sangat penting bagi kehidupan makhluk
jumlah penduduk dan ditambah dengan hidup, maka dari itu perlu adanya kajian
meningkatnya kebutuhan sehari - hari, secara komprehensif untuk mengalisis
ditengarai akan membuat ekosistem struktur vegetasi mangrove di Tahura
mangrove perlahan kehilangan perannya NgurahaRai Bali.
sebagai penyangga ekosistem pesisir. Hal ini
juga didukung dengan adanya pemanfaatan 2. METODOLOGI
ekosistem mangrove yang tidak melihat dari
aspek kelestarian lingkungan dan konservasi 2.1 Lokasiadan WaktuaPenelitian
seperti yang terjadi di Taman Hutan Raya Penelitian iniadilakukan padaabulan
(Tahura) Ngurah Rai Bali. Februari-Maret 2017 diaTahura Ngurah Rai,
Kawasan Tahura Ngurah Rai Bali. Lokasi penelitian dibagi menjadi tiga
Baliamerupakan habitat ekosistem mangrove stasiun yaitu di Pantai Mertasari (Stasiun 1),
terluas di Baliayang terletak di Kabupaten Sungai Mati (Stasiun 2), dan Tanjung Benoa
Badung dan Kota Denpasar. Kawasan Tahura (Stasiun 3) (Gambar 1).
Ngurah Rai Bali merupakan lokasi yang
INP = RDi + RFi+ RCi (7) Suhu perairan pada setiap stasiun
penelitian yaitu 29 - 29,4 °C. Sesuai dengan
Keterangan: Kepmen LH No. 51 (2004), kisaran suhu yang
RDi : Kerapatanarelatif ideal bagi kehidupan mangrove adalah 28 - 32
RFi : Frekuensiarelatif °C. Berdasarkan hasil penelitian, kisaran suhu
RCi : Penutupanarelatif perairan tidak ada perbedaan secara
signifikan. Hal ini terjadi karena kerapatan
mangrove yang hampir sama pada setiap
3. HASILaDANaPEMBAHASAN stasiun penelitian. Perbedaan suhu perairan
disebabkan oleh tinggi rendahnya kerapatan
3.1 Karakteristik FisikaaKimiaaPerairan mangrove sehingga memengaruhi intensitas
cahaya matahari yang diterima oleh perairan.
Pengambilan data kualitas lingkungan
Pernyataan ini serupa dengan pendapat
perairan meliputi suhu, pH air, salinitas, dan
Poediharajoe et al., (2017) dimana suhu tinggi
oksigen terlarut. Berdasarkan hasil
disebabkan adanya cahaya matahari yang
pengukuran terdapat terdapat perbedaan nilai
masuk ke dalam kawasan mangrove yang
pada setiap stasiun (Tabel 1).
agak terbuka.
Nilai pHaperairan pada lokasi penelitian masukan air tawar dari daratan sehingga
adalah 7,26 - 7,56. Sesuai dengan Kepmen salinitas menjadi rendah. Hal ini sesuai
LH No. 51 (2004), kisaran pH perairan yang dengan pendapat Asri et al., (2015); Geng et
cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah al., (2016), dimana adanya air payau dengan
6,5 - 8,5. Salah satu faktor yang kondisi salinitas yang fluktuatif karena
mempengaruhi nilai pH perairan di kawasan adanya akumulasi air laut dan air tawar.
mangrove adalah adanya serasah mangrove. Kepmen LH No. 51 (2004) menyatakan
Hal ini sesuai dengan pernyataan Adeleke et kisaran salinitas pada suatu perairan tidak
al., (2017) dimana serasah mangrove yang lebih dari 34 ‰ sehingga dapat dikatakan
jatuh terdekomposisi oleh mikroorganisme bahwa salinitas cocok untuk pertumbuhan
sehingga menghasilkan detrius yang mangrove.
menyebabkan perairan menjadi asam. Oksigen terlarut (DO) merupakan
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat indikator kualitas lingkungan perairan yang
dikatakan bahwa nilai pH perairan cocok sangat penting bagi organisme laut.
untuk pertumbuhan ekosistem mangrove. Kandungan DO dibutuhkan dalam proses
Salinitas adalah kandungan garam respirasi dan metabolisme yang selanjutnya
dalam perairan yang dapat menentukan menghasilkan energi untuk
kehidupan ekosistem mangrove. Hasil perkembangbiakan organisme laut (Dubuc et
pengukuran salinitas pada stasiun penelitian al., 2019). Hasil pengukuran kandungan DO
berkisar antara 13,8 - 20,7 ‰. Terdapat pada stastiun penelitian berkisar antara 2,85 –
perbedaan kadar salinitas yang signifikan 4,18 mg/l. Tinggi rendahnya nilai DO terjadi
pada stasiun penelitian. Hal ini terjadi karena karena lokasi penelitian yang dekat dengan
lokasi penelitian stasiun 1 dan stasiun 3 pusat kegiatan masyarakat sehingga
berada di wilayah pantai sedangkan stasiun 2 menghasilkan limbah. Gedan et al., (2017),
berada di wilayah estuari. Lokasi yang berada menyatakan bahwa nilai DO akan rendah
di estuari menyebabkan adanya pengaruh apabila limbah masuk ke perairan. Hal ini
91
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Redoks potensial (Eh) dan pH tanah fraksi substrat dapat menggambarkan kondisi
memiliki hubungan erat pada kelarutan dan lingkungan perairan untuk pertumbuhan
ketersediaan hara bagi pertumbuhan ekosistem pesisir secara keseluruhan.
mangrove (Cyio, 2008). Nilai Eh substrat Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan
merupakan suatu besaran potensial listrik bahwa tekstur substrat pada setiap stasiun
yang dapat menggambarkan proses penelitian memiliki persentase yang berbeda
dekomposisi bahan organik dalam substrat (Tabel 3). Tekstur substrat pasir kasar (pasir)
yang berlangsung pada keadaan reduksi atau dominan ditemukan pada stasiun 1 (68,9 %)
oksidasi (Kurniawan, 2012). Odum (1993) dan stasiun 3 (35,1 %). Sementara itu, tekstur
menyatakan nilai Eh >+ 0 mV masuk ke substrat halus (lumpur) dominan dijumpai
dalam proses oksidasi. Nilai Eh substrat pada pada stasiun 2 (44,2 %). Adanya perbedaan
stasiun penelitian berkisar 74 - 92 mV persentase karena karakteristik lokasi
sehingga dapat dikatakan pada kondisi penelitian yang berada dekat dengan sungai
oksidasi terjadi proses dekomposisi bahan dan pantai. Tingginya persentase substrat
organik. kasar (pasir) pada stasiun 1 dan stasiun 3
Sementara itu, pH substrat karena terletak dekat dengan pantai sehingga
menggambarkan keseimbangan asam dan adanya pengaruh arus dan gelombang yang
basa dalam substrat. Berdasarkan hasil dapat mengubah komposisi substrat.
penelitian didapatkan nilai pH substrat Pernyataan ini senada dengan Abdulkarim et
berkisar antara 5,23 - 6,04. Menurut Onrizal al., (2011); Wang et al., (2016) dimana
dan Kusmana (2008), pH substrat yang layak substrat kasar (pasir) umumnya dijumpai pada
bagi pertumbuhan mangrove berkisar antara 6 kondisi perairan yang memiliki arus kuat
- 7. Nilai pH substrat yang sedikit asam sedangkan kondisi arus yang tenang lebih
diduga dipengaruhi oleh adanya serasah banyak ditemukan substrat halus (lumpur).
mangrove yang jatuh ke tanah. Pernyataan ini Selain itu juga substrat pasir halus dominan
sesuai dengan pendapat Setiawan (2013), ditemukan pada stasiun 2 karena lokasi yang
dimana nilai pH substrat yang asam terjadi dekat dengan sungai sehingga pengaruh arus
karena adanya proses dekomposisi serasah tidak terlalu signifikan terjadi. Menurut
mangrove oleh bakteri pengurai pada substrat Roswaty et al., (2014), butiran substrat
yang nantinya akan menghasilkan asam lumpur memiliki ukuran yang halus karena
organik sehingga menurunkan pH substrat. kecepatan arus yang melemah pada daerah
muara sungai.
Substrat merupakan material yang
berasal dari proses pelapukan batuan yang
tersusun dari organisme, proses kimiawi laut,
dan detritus (Prarikeslan, 2016). Pengukuran
92
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]
93
ECOTROPHIC VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Kerapatan spesies mangrove di stasiun jarang (rusak) serta kategori anakan dan
1 pada tingkat pohon dominan ditemukan S. semai tergolong pada kelompok kategori baik
alba (822 ind/ha) dan terendah spesies R. (rapat) dengan nilai ≥ 1500 ind/ha.
stylosa (56 ind/ha). Berikutnya pada tingkat Kerapatan spesies mangrove di stasiun 3
anakan, spesies S. alba mendominasi (1467 pada tingkat pohon, anakan, dan semai
ind/ha) dan terendah dijumpai spesies X. mangrove tertinggi dijumpai spesies S. alba.
granatum (178 ind/ha). Sementara itu, pada Adapun pada kategori pohon kerapatan
tingkat semai spesies S. alba paling banyak mangrove S. alba (767 ind/ha), diikuti oleh R.
dijumpai (67780 ind/ha) dan spesies yang apiculata (489 ind/ha), dan R. Stylosa (133
jarang ditemukan yaitu R. stylosa (10000 ind/ha) serta spesies yang paling sedikit
ind/ha) (Tabel 4). Menurut Kepmen LH No. ditemukan yaitu A. marina (78 ind/ha).
201 (2004) bahwaakerapatan spesies Berikutnya pada tingkat anakan ditemukan
mangrove yang tergolong jarang (rusak) sebesar 1600 ind/ha, dan kategori semai
memiliki nilai <1000 ind/ha, baik (sedang) sebesar 17778 ind/ha. Di lain pihak, pada
≥1000 ind/ha, dan baik (rapat) ≥1500 ind/ha. tingkat anakan mangrove R. apiculata paling
Jadi dapat dikatakan bahwa kerapatan pohon jarang dijumpai dengan nilai 111 ind/ha dan
mangrove termasuk kategori jarang (rusak), R. stylosa sebesar 10000 ind/ha pada tingkat
sebagian anakan mangrove berada pada semai mangrove. Berdasarkan hasil tersebut
kategori baik (sedang) dan sebagian termasuk maka dapat dikatakan bahwa pohon mangrove
dalam kategori jarang (rusak), dan semai berada pada kategori jarang (rusak) serta
mangrove masih tergolong baik (rapat). kategori anakan dan semai tergolong pada
Kerapatan spesies mangrove di stasiun kelompok kategori baik (rapat) dengan nilai ≥
2 pada tingkat pohon mangrove ditemukan 1500 ind/ha.
spesies R. mucronata mendominasi (733
ind/ha), diikuti oleh R. apiculata (400 ind/ha),
dan S. alba (122 ind/ha) serta spesies yang 3.4 Indeks Nilai Penting
paling jarang dijumpai yaitu B. gymnorrhiza
Perhitungan Indeks NilaiaPenting (INP)
(56 ind/ha). Selanjutnya pada tingkat anakan
dilakukan menggunakan analisis vegetasi yang
dan semai mangrove, spesies R. mucronata
meliputi total hasil dari kerapatanarelatif,
paling banyak dijumpai sebesar 1822 ind/ha
frekuensiarelatif, dan penutupanarelatif. Nilai
(anakan) dan 62222 ind/ha (semai) (Tabel 5).
INP memiliki kisaran antara 0 - 300 dan dapat
Berdasarkan hasil tersebut maka menandakan
dilihat pada Gambar 2.
bahwa pohon mangrove berada pada kategori
94
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]
200
160
80
40
0
SA RA BG RS SA RA BG XG RM SA RA BG RS AC AM
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
2.5
2
Pasir sedang
1.5 1.1
1.3
1
1.2 Oksigen
terlarut
F2 (21.14 %)
0.5 pH air
2.1 Salinitas
0 Pasir sangat
2.2 3.1 kasar
Pasir sangat 3.3
-0.5 Redoks
halus Suhu
potensial
Pasir kasar
-1 2.3 pH tanah
Pasir halus
-1.5
-2 3.2
-2.5
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
F1 (44.85 %)
Gambar 3. Analisis PCA antara Lokasi Penelitian dengan Lingkungan
2.5
2 A. marina
1.5 A. corniculatum
F2 (25.66 %)
3.1
1
B. gymnorrhiza
0.5
2.2
X. R.
S. alba granatum mucronata
0
1.2 2.1 2.3
3.2 1.1
1.3
-0.5 3.3 R. apiculata
R.stylosa
-1
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
F1 (55.85 %)
Rows Columns
keragaman data sebesar 55,85 % dimana penurunan kualitas lingkungan biofisik dan
spesies R. mucronata dan X. granatum ekosistem mangrove dan perlu adanya
dominan ditemukan di stasiun 2 yang penelitian lanjutan pada lokasi yang sama
dicirikan jenis substrat halus (lumpur) namun pengambilan data dilakukan pada
(Gambar 3). Hal ini sesuai dengan pendapat waktu yang berbeda agar informasi yang
Robertson and Alongi (2016); Warsidi dan dihasilkan menjadi informasi ilimah dalam
Endayani (2017), dimana pertumbuhan R. upaya mendukung keberhasilan perencaanan
mucronata dan X. granatum optimal pada dan pengelolaan mangrove di Tahura Ngurah
kondisi arus yang tenang dan substrat lumpur Rai Bali.
yang kaya bahan organik.
Sumbu 2 (F2) menerangkan keragaman DAFTAR PUSTAKA
data sebesar 25.66 % dimana A. marina dan
Abdulkarim, R., Akintoye, A.E., Oguwuike,
Aegiceras corniculatum dijumpai pada
I.D., Imhansoeleva, T.M., Philips, I.M.,
Stasiun 3 yang dicirikan oleh suhu perairan
Ruth, F.B., Olubukola, S.O., Rasheed,
yang tinggi. Jenis A. marina yang jarang
J.O., and Banji, A.O. 2011.
ditemukan Stasiun 3 diduga karena suhu yang
Sedimentological Variation in Beach
tidak mendukung pertumbuhan kedua jenis
Sediments of the Barrier bar Lagoon
ini. Suhu ideal untuk pertumbuhan jenis A.
Coastal System, South-Western Nigeria.
marina berkisar antara 18-20 ˚C dan apabila
Nature and Science. 9(9):19-26.
suhu lebih tinggi maka akan mengganggu
pertumbuhannya (Aksornkoae, 1993). Selain Adeleke, R., Nwangburuka, C., Oboirien, B.
itu, tingginya suhu perairan karena adanya 2016. Origins, roles and fate of organic
penebangan pohon mangrove sehingga acids in soils: A review. South African
cahaya matahari langsung menembus ke Journal of Botany. 108: 393-406.
perairan. Aksornkoae, S. 1993. Ecology and
Management of Mangrove. Bangkok
4. SIMPULAN DAN SARAN (TH): IUCN.
99