Anda di halaman 1dari 99

Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.

MODEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN


DI KAWASAN PARIWISATA NUSA PENIDA, BALI

Nyoman Sudipa1*), Made Sudiana Mahendra1), Wayan Sandi Adnyana2), Ida Bagus
Pujaastawa3)
1)
Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan, Universitas Udayana
2)
Program Studi Agroteknologi, Universitas Udayana
3)
Program Studi Ilmu Budaya, Universitas Udayana
*email: nyoman_sudipa@yahoo.com

ABSTRACT

ENVIRONMENTAL MANAGEMENT MODEL


IN THE NUSA PENIDA TOURISM AREA, BALI

As a regional income barn, the Nusa Penida Tourism Area needs to be managed
comprehensively by involving all available resources, by encouraging new thinking about
managing tourism that synergizes with environmental sustainability in the sustainable
environment of the Nusa Penida Tourism Area. Tourism can increase economic growth but
create a burden on the environment, so that Nusa Penida tourism becomes environmentally
friendly tourism to support the development of green tourism. Progress in tourism impacts the
environment, causes social and cultural changes in society, and impacts the carrying capacity of
land and water from the massive tourism development in Nusa Penida. For this reason, it is
necessary to formulate a model of environmental management that is relevant and has been
developed. This study uses a systems approach with the Interpretative Structural Modeling
(ISM) method to formulate an environmental management model in the Nusa Penida Tourism
Area. This method can be used to help a group, in identifying contextual relationships between
sub-elements of each element that forms a system based on ideas/structures or determinants in a
complex problem (Saxena, 1992). The environmental management model in the Nusa Penida
was formed based on government initiatives by involving all stakeholders as representatives of
the Nusa Penida community and involving other elements such as non-government organizations
and universities. In the management of the environment, institutional arrangements that
specifically handle the environment and tourism of Nusa Penida must be formed with the
government as the initiator and formed in a participatory manner. The recommended model of
environmental management needs to be applied carefully and continued with the formation of
institutions by involving the affected community sectors in Nusa Penida's environmental
management and tourism.
Keywords: tourism; model; management; environment; Nusa Penida

hidup, kehidupan sosial dan budaya.


1. PENDAHULUAN Pariwisata bukan semata-mata mengejar
Sebagai kawasan pariwisata, Nusa keuntungan finansial tetapi berjalan seiring
Penida masih belum dikelola secara optimal. dengan peningkatan kualitas lingkungan
Masih banyak sumber pendapatan dari hidup, peningkatan kesejahteraan dan
pariwisata yang belum diakses karena pemerataan pendapatan dan pelestarian
keterbatasan manajemen pengelolaan. Dalam budaya masyarakat setempat. Perkembangan
pengembangan pariwisata dibutuhkan sistem pariwisata di Nusa Penida menimbulkan
pengelolaan dan pengawasan lingkungan dampak akumulatif apabila tidak
yang berbasis pada keseimbangan lingkungan
ECOTROPHIC14(1):1–13 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395 1
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

dikembangkan model pengelolaan kawasan Penida. Sub elemen yang disusun mengadopsi
secara komprehensif. atau menawarkan hasil rumusan daya dukung
Model pengeloaan lingkungan adalah lingkungan (air dan tanah), dampak
formulasi objek yang disusun melalui lingkungan dan dampak sosial budaya serta
perencanaan yang terstruktur. Dalam Sub elemen lainnya yang akan diperoleh
pengelolaan lingkungan setiap elemen melalui diskusi, wawancara dengan para
berkewajiban menggunakan potensi secara tokoh, pakar, pelaku dan penggiat pariwisata
arif dan menjaga keberlanjutan sumber daya di Nusa Penida.
lingkungan secara bijaksana (Basna et al., Rumusan Model pengelolaan
2012). Penyusunan model pengelolaan lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa
lingkungan dapat dilakukan dengan Penida dibentuk berdasarkan inisiatif
mengidentifikasi parameter-parameter yang pemerintah dengan melibatkan seluruh
akan saling berkaitan. Pengelolaan pemangku kepentingan sebagai representasi
lingkungan membutuhkan partisipasi masyarakat Nusa Penida dan melibatkan
masyarakat secara aktif didalamnya karena unsur lain seperti lembaga swadaya
masyarakat menjadi subyek dalam masyarakat dan perguruan tinggi. Dalam
pengelolaan lingkungan (Samadikun et al., pengelolaan lingkungan wajib dibentuk
2012). kelembagaan yang khusus menangani
Model pengelolaan lingkungan yang lingkungan dan pariwisata Nusa Penida
baik akan berdampak kepada keberlanjutan dengan pemerintah sebagai inisiator dan
pariwisata di Nusa Penida meliputi dibentuk secara partisipatif.
lingkungan eksternal, kapasitas pengelolaan
dan kinerja lembaga pengelola yang 2. METODOLOGI
berinteraksi dengan kelompok masyarakat
secara partisipatif (Rosadi et al., 2016). 2.1 Waktu Lokasi Penelitian
Model pengelolaan lingkungan berkelanjutan Penelitian dilakukan di Kawasan
dan harus didukung dengan pemberdayaan Pariwisata Nusa Penida dengan titik koordinat
masyarakat yang efektif, menumbuhkan 08o 49’11” Lintang Selatan dan 115o 35’13”
kepedulian lingkungan, meningkatkan Bujur Timur.
ekonomi masyarakat (Wibisono, 2008).
Pembangunan kawasan memperhatikan 2.2 Analisis Data
keterlibatan masyarakat untuk mengelola
dampak yang ditimbulkan, baik dampak Penelitian ini menggunakan pendekatan
positif maupun dampak negatif (Jaya, 2007). sistem dengan metode Interpretatif Structural
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan Modelling (ISM) untuk merumuskan model
pariwisata sangat penting seperti kasus di pengelolaan lingkungan di Kawasan
Nusa Penida. Sebagaian besar pariwisata Pariwisata Nusa Penida. Metode ini dapat
Nusa Penida dibangun oleh masyarakat, maka membantu untuk menyederhanakan suatu
dalam menyusun kebijakan pariwisata masalah dan dapat digunakan untuk
representasi masyarakat harus disertakan. mengidentifikasi hubungan kontekstual antar
sub elemen. Beberapa kategori struktur dan
Untuk menyusun model Pengelolaan
kategori gagasan/ide yang mencerminkan
Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa
hubungan kontekstual antar elemen dapat
Penida dilakukan dengan mengidentifikasi
dikembangkan dengan memakai ISM
hubungan antar sub elemen dari setiap elemen
(Kanungo et al., 2009). Dengan kata lain ISM
yang berdasarkan gagasan/ide sebagai
merupakan sebuah perangkat untuk
penentu untuk memecahkan masalah (Saxena,
membantu menganalisis dalam mengambil
1992). Dalam menyusun elelem-elemen
keputusan yang rumit dengan cara
model pengelolaan lingkungan di Kawasan
mengelompokkan dan dituangkan dalam
Pariwisata Nusa Penida dilakukan melalui
sebuah peta. Interpretative Structural
diskusi, wawancara dengan para tokoh, pakar,
Modeling (ISM) merupakan model matematis
pelaku dan penggiat pariwisata di Nusa
melalui pengkajian secara komprehensif
2
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]

untuk menggambarkan perihal yang kompleks dengan elemen 2 dan elemen


teknik permodelan sistem (Pridaswara, 2009). berikutnya tetapi tidak sebaliknya.
Dalam menyusun elelem-elemen model b) Simbol A untuk menyatakan adanya
pengelolaan lingkungan di Kawasan hubungan kontekstual antara elemen
Pariwisata Nusa Penida dilakukan melalui Ej terhadap elemen Ei atau elemen 2
diskusi, wawancara dengan para tokoh, pakar, dengan elemen 1, elemen 3 dengan
pelaku dan penggiat pariwisata di Nusa elemen 1 dan dengan elemen
Penida. Sub elemen yang disusun mengadopsi berikutnya, tetapi tidak sebaliknya.
atau menawarkan hasil rumusan daya dukung c) Simbol X untuk menyatakan adanya
lingkungan (air dan tanah), dampak hubungan kontekstual secara timbal
lingkungan dan dampak sosial budaya serta balik antara elemen Ei dengan elemen
Sub elemen lainnya yang akan diperoleh Ej.
melalui diskusi, wawancara dengan para d) Simbol O untuk menyatakan tidak
tokoh, pakar, pelaku dan penggiat pariwisata adanya hubungan kontekstual antara
di Nusa Penida dengan langkah-langkah elemen Ei dan elemen Ej.
sebagai berikut:
4. Reachability Matrix (RM)
1. Identifikasi elemen-elemen sistem
pengelolaan lingkungan di Kawasan Matriks ini adalah matriks biner hasil
Pariwisata Nusa Penida. konversi dari SSIM.
Kegiatan ini dapat dilakukan melalui 5. Pembuatan level partitioning.
penelitian, brainstorming, wawancara dan Elemen-eleman diklasifikasikan kedalam
diskusi terfokus dengan stakeholder kunci. level yang berbeda daristruktur ISM yang
Ada 3 elemen dari 9 elemen yang akan dipilih akan dibentuk.
yaitu (1) kebutuhan, (2) kendala atau 6. Pembentukan canonical matrix dengan
permasalahan, (3) perubahan yang mengelompokkan elemen-elemen dengan
dimungkinkan, (4) tujuan, (5) tolok ukur dan level yang sama
indikator, (6) aktivitas/kegiatan yang 7. Digraph melalui grafik yang berasal dari
dilakukan dalam rangka transformasi, (7) elemen-elemen yang saling berhubungan
pelaku atau lembaga yang terlibat, (8) segmen secara langsung, dan level hirarki.
masyarakat yang terpengaruh; dan (9)
8. Memberikan penjelasan dari elemen-
efektivitas transformasi.
elemen sistem beserta alur hubungannya.
2. Hubungan kontekstual antar elemen.
9. Untuk menguji hasil yang dirumuskan
Hubungan kontekstual antar elemen atau dalam model, dilakukan uji rumusan
sub elemen ditetapkan sesuai dengan tujuan model dengan melakukan umpan balik
dari model yang akan dibangun. Sub elemen kepada para tokoh. pakar, pelaku dan
berasal dari masukan yang diperoleh melalui penggiat pariwisata di Nusa Penida.
diskusi, wawancara dengan para tokoh. pakar,
pelaku dan penggiat pariwisata di Nusa
Penida. Sub elemen yang dipilih relevan 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan kondisi yang ada dan sesuai dengan Kawasan pariwisata Nusa Penida yang
model yang akan dibangun. sedang bertumbuh terus mengalami tekanan
3. Pembentukan Structural Self Interaction akibat masifnya pertumbuhan pembangunan
Matrix (SSIM). sarana pariwisata dan sektor pendukung
Matriks ini menggunakan empat macam pariwisata. Lingkungan hidup mengalami
simbol untuk menyajikan tipe hubungan yang dampak dari tekanan yang ditimbulkan oleh
ada adalah: perkembangan pariwisata di Nusa Penida.
Untuk menanggulangi dampak yang muncul
a) Simbol V untuk menyatakan adanya perlu dirumuskan model pengelolaan
hubungan kontekstual antara elemen lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa
Ei terhadap elemen Ej atau elemen 1 Penida. Elemen-elemen yang dipilih dalam
menganalisis model pengelolaan lingkungan
3
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

di Kawasan Pariwisata Nusa Penida adalah pemahaman masyarakat tentang pengelolaan


elemen-elemen penting yang berperan lingkungan, meningkatkan kesadaran para
mempengaruhi pengelolaan Kawasan pengusaha dan masyarakat masih rendah,
Pariwisata Nusa Penida. Dari 9 elemen yang pemberian sanksi dan penindakan dengan
dikembangkan oleh Saxena (1992), tegas, menguatkan penerapan aturan,
berdasarkan hasil wawancara dengan para memperkuat koordinasi antar
tokoh, pakar, pelaku dan penggiat pariwisata lembaga/instansi, dan mengoptimalkan sikap
di Nusa Penida, dipilih 5 elemen yang paling mental dalam pengelolaan lingkungan.
berpengaruh, yaitu (1) elemen kendala utama,
(2) elemen tujuan program, (3) sektor No. B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 B8 B9
masyarakat yang terpengaruhi, (4) perubahan B1 V A A O O A O A
yang diinginkan dan (5) elemen pelakuaatau
B2 V V A O A O X
lembaga yang terlibat dalam program.
B3 X O A A A A
3.1 Elemen Kendala Utama B4 A X A A O
B5 O V O O
Dari hasil diskusi dan wawancara
dengan para tokoh, pakar, pelaku dan B6 A O A
penggiat pariwisata di Nusa Penida terhadap B7 A O
pengelolaan lingkungan di Kawasan B8 O
Pariwisata Nusa Penida diperoleh 9 sub B9
elemen yaitu:
B1. masih rendahnya pemahaman Gambar 1. Hubungan Konstektual antar Sub
masyarakat tentang pengelolaan Elemen Kendala Utama
lingkungan.
B2. kesadaran para pengusaha dan Disamping itu sub elemen sumber daya
masyarakat masih rendah. manusia masih terbatas (5) dan dukungan
B3. pemberian sanksi dan penindakan dana masih lemah (8) berdasarkan Driver
belum tegas. Power dan Dependence berada di sektor IV
B4. penerapan aturan masih lemah. (Independent), sub elemen tersebut juga
B5. sumber daya manusia masih terbatas mempunyai daya ungkit yang kuat terhadap
baik secara kualitas maupun kuantitas. elemen kendala utama. Sub elemen sistem
B6. koordinasi antar lembaga/instansi masih pelayanan dan pencegahan kerusakan
lemah. lingkungan masih lemah (7) juga mempunyai
B7. sistem pelayanan dan pencegahan daya penggerak yang kuat terhadap elemen
kerusakan lingkungan masih lemah. kendala utama tetapi kurang kuat
B8. dukungan dana masih lemah. dibandingkan dengan sub elemen sumber
B9. sikap mental yang belum optimal. daya manusia masih terbatas (5) dan
dukungan dana masih lemah (8). Sedangkan
sub elemen (1) masih rendahnya pemahaman
Penilaian pakar terhadap hubungan
masyarakat tentang pengelolaan lingkungan,
konstektual antar sub elemen kendala utama
(2) kesadaran para pengusaha dan masyarakat
dengan pendekatan V, A, X dan O dalam
masih rendah, (3) pemberian sanksi dan
Gambar 1. Dari 9 sub elemen kendala utama
penindakan belum tegas, (4) penerapan aturan
yang menjadi sub elemen kunci adalah
masih lemah, (6) koordinasi antar
sumber daya manusia masih terbatas (5) dan
lembaga/instansi masih lemah, dan (9) sikap
dukungan dana masih lemah (8). Hal ini
mental yang belum optimal berdasarkan
menunjukkan bahwa kendala utama dalam
Driver Power dan Dependence berada di
pengelolaan lingkungan adalah mendorong
sektor III (Linkages), sub elemen tersebut
penguatan sumber daya manusia dan
adalah sub elemen sensitif dan tidak stabil
memberikan dukungan dana untuk
yang perlu kehati-hatian dalam mendukung
mewujudkan sistem pencegahan kerusakan
elemen kendala utama dalam menyusun
lingkungan dan didukung oleh menguatkan
model pengelolaan lingkungan di Kawasan
4
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]

Pariwisata Nusa Penida. Komitmen memberikan dukungan pendanaan dalam


pemerintah dan pelaku pariwisata sangat pengelolaan lingkungan di Kawasan
diperlukan dalam pengembangan dan Pariwisata Nusa Penida (Gambar 2).
penguatan sumber daya manusia dan

Gambar 2. Kuadran Hubungan Konstektual antar Sub Elemen Kendala Utama

Struktur model hirarki kendala utama pengelompokan seperti pada Gambar 3. Sub
model pengelolaan lingkungan di Kawasan elemen yang yang lebih tinggi mempunyai
Pariwisata Nusa Penida yang berdasarkan pengaruh kepada level yang lebih rendah
.

Gambar 3. Struktur Model Hirarki Kendala Utama


Dalam menyusun model pengelolaan swadaya masyarakat, pengusuha dan dunia
lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa pendidikan dengan didukung sumber
Penida khususnya dalam menganalisis pendanaan yang jelas.
kendala utama pengelolaan lingkungan
bertumpu kepada peningkatan kualitas
sumber daya manusia dan memberikan 3.2 Elemen Tujuan Program
dukungan pendanaan dalam program
Dari hasil diskusi dan wawancara
pengelolaan lingkungan. Peningkatan kualitas
dengan para tokoh, pakar, pelaku dan
sumber daya manusia dan memberikan
penggiat pariwisata di Nusa Penida terhadap
dukungan pendanaan harus ditempatkan
pengelolaan lingkungan di Kawasan
sebagai kunci utama untuk mendukung
Pariwisata Nusa Penida diperoleh 9 sub
keberhasilan pelaksanaan dalam pengelolaan
elemen yaitu:
lingkungan. Sumber daya manusia yang
dimaksudkan adalah sumber daya yang G1. meningkatkan gairah investasi.
berasal dari masyarakat sebagai model G2. meningkatkan kualitas lingkungan
pengelolaan lingkungan secara partisipatif hidup.
dengan melibatkan multi sektor mulai dari G3. terjaganya daya dukung lingkungan
pemerintah, masyarakat lokal, lembaga hidup.

5
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

G4. mengurangi alih fungsi lahan. G8. meningkatkan pendapatan asli daerah.
G5. meningkatkan pendapatan masyarakat. G9. pariwisata berkelanjutan.
G6. mengurangi biaya pengelolaan Penilaian pakar terhadap hubungan
lingkungan hidup. konstektual antar sub elemen tujuan program
G7. mengubah perilaku dan kesadaran dengan pendekatan V, A, X dan O dalam
lingkungan. Gambar 4.

No. G1 G2 G3 G4 G5 G6 G7 G8 G9
G1 A A O V O A V A
G2 V A V V A V A
G3 X V V A V X
G4 O O X O V
G5 O O V A
G6 A O O
G7 O X
G8 A
G9

Gambar 4. Hubungan Konstektual antar Sub Elemen Tujuan Program

Hasil analisis terhadap 9 sub elemen meningkatkan pendapatan masyarakat (5),


tujuan program menunjukkan bahwa yang mengurangi biaya pengelolaan lingkungan
menjadi sub elemen kunci adalah hidup (6), dan meningkatkan pendapatan asli
meningkatkan kualitas lingkungan hidup (2), daerah (8) merupakan sub elemen tidak bebas
terjaganya daya dukung lingkungan hidup (3), berdasarkan Driver Power dan Dependence
mengurangi alih fungsi lahan (4), mengubah berada di sektor II (Dependent), elemen ini
perilaku dan kesadaran lingkungan (7), dan berfungsi sebagai elemen pendukung tujuan
pariwisata berkelanjutan (9). Walapun sebagai program pengelolaan lingkungan (Gambar 5).
sub elemen kunci tetapi sub elemen ini Struktur model hirarki tujuan program
berdasarkan Driver Power dan Dependence dalam menyusun model pengelolaan
berada di sektor III (Linkage), yang berarti lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa
sub elemen tersebut sentitif dan tidak stabil Penida yang berdasarkan pengelompokan
sehingga perlu kehati-hatian dalam aplikasi seperti pada Gambar 6. Sub elemen yang
menyusun model pengelolaan lingkungan di yang lebih tinggi mempunyai pengaruh
Kawasan Pariwisata Nusa Penida. Sub elemen kepada level yang lebih rendah.
meningkatkan gairah investasi (1),

Gambar 5. Kuadran Hubungan Konstektual antar Sub Elemen Tujuan Program

6
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]

Grafik 6. Struktur Model Hirarki Tujuan Program

Dalam menyusun model pengelolaan memungkinkan adalah badan layanan umum


lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa daerah (BLUD).
Penida khususnya dalam menganalisis tujuan
program pengelolaan lingkungan harus 3.3 Elemen Sektor Masyarakat yang
menitik beratkan pada meningkatkan kualitas Terpengaruhi
lingkungan hidup, terjaganya daya dukung Dari hasil diskusi dan wawancara
lingkungan hidup, mengurangi alih fungsi dengan para tokoh, pakar, pelaku dan
lahan, merubah perilaku dan kesadaran penggiat pariwisata di Nusa Penida terhadap
lingkungan, dan pariwisata berkelanjutan. pengelolaan lingkungan di Kawasan
Dalam menerapkan tujuan program sebaiknya Pariwisata Nusa Penida diperoleh 11 sub
dilakukan dengan hati-hati, karena hal ini elemen yaitu:
berhubungan dengan regulasi pemerintah.
C1. pemerintah.
Pesatnya pertumbuhan pariwisata telah
C2. pengusaha.
menimbulkan penurunan daya dukung
C3. lembaga swadaya masyarakat.
lingkungan, alih fungsi lahan dan konlik
C4. masyarakat.
sosial di Nusa Penida. Seperti sempadan
C5. mahasiswa/pelajar.
pantai dan tanah negara di pinggir pantai
C6. lembaga adat.
hampir habis dibangun oleh investor dan
C7. tokoh formal.
masyarakat, padahal secara aturan tidak
C8. wisatawan.
diperbolehkan. Kondisi ini jelas menurunkan
C9. pemuda dan remaja.
kualitas lingkungan, menurunkan daya
C10. perguruan tinggi
dukung lingkungan dan menimbulkan alih
C11. pemerhati lingkungan/relawan
fungsi lahan.
Menerapkan kebijakan yang berhubungan Penilaian pakar terhadap hubungan
dengan tujuan program pengelolaan konstektual antar sub elemen sektor
sebaiknya dilakukan dengan melibatkan lintas masyarakat yang terpengaruhi dengan
sektor seperti pemerintah, masyarakat lokal, pendekatan V, A, X dan O dalam Gambar 7.
pengusaha, lembaga adat, lembaga swadaya Hasil analisis terhadap 9 sub elemen sektor
masyarakat dan para pemerhati lingkungan. masyarakat yang terpengaruhi menunjukkan
Muara dari tujuan program adalah bahwa yang menjadi sub elemen kunci
kelembagaan untuk mengelola lingkungan di adalah pemerintah (1) karena berdasarkan
Kawasan Pariwisata Nusa Penida. Driver Power dan Dependence berada di
Kelembagaan yang dibangun adalah sektor IV (Independent), yang berarti sub
kelembagaan yang mengakomodir semua elemen tersebut juga mempunyai daya ungkit
pemangku kepentingan yang ujungnya untuk dan daya penggerak yang kuat terhadap
membangun pariwisata berkelanjuta di Nusa elemen elemen sektor masyarakat yang
Penida. Model kelembagaan yang paling terpengaruhi. Sub elemen pengusaha (2) juga

7
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

berada di sektor IV (Independent), tetapi sub elemen pemerintah lebih kuat (Gambar 8).

No. C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 C9 C10 C11


C1 V V V V V V V V V V
C2 O V O V V V O O O
C3 V O V V O V A X
C4 A X X V X A A
C5 V V O X X A
C6 X V V A A
C7 A X A A
C8 A A A
C9 X A
C10 X
C11

Gambar 7. Hubungan Konstektual antar Sub Elemen


Sektor Masyarakat yang Terpengaruhi

Gambar 8. Kuadran Hubungan Konstektual antar Sub Elemen


Sektor Masyarakat yang Terpengaruhi

Sub elemen lembaga swadaya menyusun model pengelolaan lingkungan di


masyarakat (3), masyarakat (4), Kawasan Pariwisata Nusa Penida.
mahasiswa/pelajar (5), lembaga adat (6), Struktur model hirarki sektor
tokoh formal (7), wisatawan (8), pemuda dan masyarakat yang terpengaruhi dalam
remaja (9), perguruan tinggi (10), dan menyusun model pengelolaan lingkungan di
pemerhati lingkungan/relawan (11) Kawasan Pariwisata Nusa Penida yang
berdasarkan Driver Power dan Dependence berdasarkan pengelompokan seperti pada
berada di sektor III (Linkage), yang berarti Gambar 9. Sub elemen yang yang lebih
sub elemen tersebut sentitif dan tidak stabil tinggi mempunyai pengaruh kepada level
sehingga perlu kehati-hatian dalam aplikasi yang lebih rendah.

8
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]

Grafik 9. Struktur Model Hirarki Sektor Masyarakat yang Terpengaruhi

Dalam menyusun model pengelolaan pengelolaan lingkungan di Kawasan


lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Pariwisata Nusa Penida diperoleh 8 sub
Penida khususnya dalam menganalisis sektor elemen yaitu:
masyarakat yang terpengaruhi dalam E1. kebersihan dan kesehatan lingkungan
pengelolaan lingkungan adalah pemerintah terjaga.
dan pengusaha. Tetapi posisi pemerintah lebih E2. berkurangnya pelanggaran lingkungan.
kuat dan merupakan kunci penggerakan E3. terbentuk kemitraan lingkungan.
utama dalam menyusun model pengelolaan E4. pengelolaan pariwisata dan lingkungan
lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa berkelanjutan.
Penida. Pemerintah yang dimaksud adalah E5. berkurangnya biaya operasional
Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung. pengelolaan lingkungan.
Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung E6. meningkatnya kesadaran pengusaha dan
harus menjadi motor utama dan menjadi masyarakat.
inisiator dalam menyusun model pengelolaan E7. meningkatnya investasi.
lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa E8. meningkatnya pendapatan asli daerah.
Penida, karena pemerintah memegang Penilaian pakar terhadap hubungan
regulasi, kebijakan, memiliki sumber daya konstektual antar sub elemen perubahan yang
manusia dan mempunyai kewenangan untuk diinginkan dengan pendekatan V, A, X dan O
membagun kelembagaan. dalam Gambar 10. Hasil analisis terhadap 8
Inisiatif model pengelolaan lingkungan sub elemen tujuan program menunjukkan
dimulai dengan melakukan pendekatan- bahwa yang menjadi sub elemen kunci adalah
pendekatan formal dan informal dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan terjaga
sektor masyarakat yang berpengaruh dan (1), berkurangnya pelanggaran lingkungan
dilanjutkan dengan membentuk model (2), terbentuk kemitraan lingkungan (3),
kelembagaan formal sebagai bentuk pengelolaan pariwisata dan lingkungan
komitmen dalam mengelola lingkungan. berkelanjutan (4), meningkatnya kesadaran
Model kelembagaan yang akan dibangun pengusaha dan masyarakat (6). Walapun
merujuk kepada tata aturan pemerintah yang sebagai sub elemen kunci tetapi sub elemen
mengakomodir peran serta pemerintah, ini berdasarkan Driver Power dan
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, Dependence berada di sektor III (Linkage),
pengusaha, lembaga adat, dll. yang berarti sub elemen tersebut sentitif dan
tidak stabil sehingga perlu kehati-hatian
3.4 Elemen Perubahan yang Diinginkan dalam aplikasi menyusun model pengelolaan
Dari hasil diskusi dan wawancara lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa
dengan para tokoh, pakar, pelaku dan Penida. Sedangkan sub lemen meningkatkan
penggiat pariwisata di Nusa Penida terhadap gairah investasi berkurangnya biaya
9
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

operasional pengelolaan lingkungan (5), berada di sektor II (Dependent), elemen ini


meningkatnya investasi (7), dan berfungsi sebagai elemen pendukung tujuan
meningkatnya pendapatan asli daerah (8) program pengelolaan lingkungan (Gambar
merupakan sub elemen tidak bebas 11).
berdasarkan Driver Power dan Dependence

No. E1 E2 E3 E4 E5 E6 E7 E8
E1 X A X O A V V
E2 A A O X V O
E3 A O A V O
E4 V V V V
E5 O O O
E6 V V
E7 V
E8

Gambar 10. Hubungan Konstektual antar Sub Elemen


Perubahan yang Diinginkan

Struktur model hirarki sektor berdasarkan pengelompokan tertera pada


masyarakat yang terpengaruhi dalam Gambar 12. Sub elemen yang yang lebih
menyusun model pengelolaan lingkungan di tinggi mempunyai pengaruh kepada level
Kawasan Pariwisata Nusa Penida yang yang lebih rendah.
.

Gambar 11. Kuadran Hubungan Konstektual antar Sub Elemen


Perubahan yang Diinginkan

Dalam menyusun model pengelolaan dan kesehatan lingkungan, berkurangnya


lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa pelanggaran lingkungan, terbentuk kemitraan
Penida khususnya dalam menganalisis lingkungan, pengelolaan pariwisata dan
perubahan yang diingikan pengelolaan lingkungan berkelanjutan, meningkatnya
lingkungan dititik-beratkan pada kebersihan kesadaran pengusaha dan masyarakat, tetapi
10
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]

dalam penerapannya dilakukan dengan hati- bersama akan lingkungan yang bersih dan
hati karena sub elemen tersebut sensitif dan sehat, mengurangi lingkungan, menjalin
tidak stabil. Pokok-pokok kegiatan yang kemitraan antar pemangku kepentingan dan
dilakukan adalah menciptakan perubahan- mengelola lingkungan secara berkelanjutan.
perubahan dan meningkatkan kesadaran

Grafik 12. Struktur Model Hirarki Perubahan yang Diinginkan

Sub elemen kunci dari elemen model pengelolaan lingkungan di Kawasan


perubahan yang diingikan yaitu kebersihan Pariwisata Nusa Penida seperti pada Gambar
dan kesehatan lingkungan terjaga (1), 13. Model pengelolaan lingkungan di
berkurangnya pelanggaran lingkungan (2), Kawasan Pariwisata Nusa Penida dibentuk
terbentuk kemitraan lingkungan (3), berdasarkan inisiatif pemerintah dengan
pengelolaan pariwisata dan lingkungan melibatkan seluruh pemangku kepentingan
berkelanjutan (4), meningkatnya kesadaran sebagai representasi masyarakat Nusa Penida
pengusaha dan masyarakat (6), bisa dijadikan dan melibatkan unsur lain seperti lembaga
sebagai misi dalam pembetukan kelembagaan swadaya masyarakat dan perguruan tinggi.
pengelolaan lingkungan di Kawasan Dalam pengelolaan lingkungan wajib
Pariwisata Nusa Penida. Sub elemen tersebut dibentuk kelembagaan yang khusus
perlu didiskusikan lebih lanjut dengan lintas menangani lingkungan dan pariwisata Nusa
sektor untuk mencapai kesepakatan bersama. Penida dengan pemerintah sebagai inisiator
Berdasarkan elemen-elemen dan sub dan dibentuk secara partisipatif.
elemen kunci dapat dirumuskan gambaran

11
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Kelembagaan Inisiator
(Partisipatif) Pemerintah

Kendala Utama (masalah) Melibatkan


1. Sumber daya manusia masih terbatas 1. Pemerintah (sub elemen kunci)
dan dukungan dana masih lemah (sub 2. Pengusaha (sub elemen kunci tetapi
elemen kunci) kurang kuat)
2. Sistem pelayanan dan pencegahan
3. Lembaga Swadaya Masyarakat,
kerusakan lingkungan masih lemah (sub
Masyarakat, Mahasiswa/pelajar,
elemen kunci tetapi kurang kuat)
Lembaga adat, Tokoh formal,
3. Masih rendahnya pemahaman
Wisatawan, Pemuda dan remaja,
masyarakat tentang pengelolaan
Perguruan tinggi, dan Pemerhati
lingkungan, kesadaran para pengusaha
lingkungan/relawan (sensitif dan
dan masyarakat masih rendah,
tidak stabil)
pemberian sanksi dan penindakan
belum tegas, penerapan aturan masih
lemah, koordinasi antar
lembaga/instansi masih lemah, dan
sikap mental yang belum optimal Perubahan yang Diinginkan (Misi)
(Sensitif dan tidak stabil) 1. Kebersihan dan kesehatan
lingkungan terjaga, berkurangnya
pelanggaran lingkungan, terbentuk
Tujuan kemitraan lingkungan, pengelolaan
1. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup, pariwisata dan lingkungan
terjaganya daya dukung lingkungan hidup, berkelanjutan, meningkatnya
mengurangi alih fungsi lahan, merubah perilaku kesadaran pengusaha dan
dan kesadaran lingkungan dan pariwisata masyarakat (sub elemen kunci)
berkelanjutan (sub elemen kunci) 2. Berkurangnya biaya operasional
2. Meningkatkan gairah investasi, meningkatkan pengelolaan lingkungan,
pendapatan masyarakat, mengurangi biaya meningkatnya investasi, dan
pengelolaan lingkungan hidup, dan meningkatnya pendapatan asli
meningkatkan pendapatan asli daerah (sub daerah (sub elemen pendukung)
elemen pendukung)

Gambar 13. Model Pengelolaan Lingkungan

Badan hukum yang memungkinkan 1. Sumber daya manusia masih terbatas


dengan meibatkan lintas sektor adalah badan dan dukungan dana masih lemah (sub elemen
layanan umum daerah (BLUD) dengan kunci).
dibentuk bagian-bagian sebagai operasional di 2. Sistem pelayanan dan pencegahan
lapangan. Dalam menjalankan fungsi kerusakan lingkungan masih lemah (sub
pengelolaan lingkungan dan pariwisata, elemen kunci tetapi kurang kuat).
lembaga yang dibangun harus mengenali
3. Masih rendahnya pemahaman
kendala utama atau masalah yang dihadapi masyarakat tentang pengelolaan lingkungan,
sebagai berikut: kesadaran para pengusaha dan masyarakat
masih rendah, pemberian sanksi dan
12
Model Pengelolaan Lingkungan di Kawasan Pariwisata Nusa Penida, Bali [Nyoman Sudipa, dkk.]

penindakan belum tegas, penerapan aturan 3: pp 274-280. Jurnal Manusia dan


masih lemah, koordinasi antar Lingkungan.
lembaga/instansi masih lemah, dan sikap Jaya, I. 2007. “Pengelolaan Lingkungan
mental yang belum optimal (sensitif dan tidak Kawasan Wisata Danau Lebo
stabil). Kecamatan Taliwang Kabupaten
Kendala utama atau masalah tersebut Sumbawa Barat” (tesis). Semarang.
harus ditanggulangi dengan melakukan Universitas Diponegoro.
penguatan kelembagaan, penguatan sumber
daya manusia dan sumber dukungan dana dari Kanungo S dan V.V. Batnagar, 2002. Beyond
Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung Generic Models for Information
atau kelembagaan yang dibentuk secara System Quality : The Use of
mandiri mendanai dirinya sendiri dengan Interpretative Structural Modelling
sumber pendanaan dari hasil pengelolaan (ISM); Vol. 19: pp 531:549. Journal of
kawasan. Memperkuat pemahaman System Research and Behavior
masyarakat dengan melakukan sosialisasi, Science.
pelatihan pembinaan dan pendampingan, Pridaswara. 2009. Model Kerangka Keja
meningkatkan koordinasi antar organisasi Supply Chain dengan Menggunakan
perangkat daerah dalam penegakan aturan dan Metode Interpretative Structural
penindakan pelanggaran lingkungan. Modeling (ISM). Jakarta. Universitas
Indonesia: p 25-31.
4. SIMPULAN DAN SARAN Rosadi, Purwanto M. Y. J, Sutjahyo S. H,
Pramudya B. 2016. Sistem
4.1. Simpulan Pengembangan Kelembagaan
Model pengelolaan lingkungan di Agroindustri Padi Skala Kecil dan
Kawasan Pariwisata Nusa Penida dibentuk Menengah; Vol. 8. No. 2: pp 1-11.
berdasarkan inisiatif pemerintah dengan Jurnal Sosial Ekonomi Pekerjaan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan Umum.
sebagai representasi masyarakat Nusa Penida Samadikun, B., P., Sudibyakto, Setiawan, B.,
dengan membentuk kelembagaan yang Rijanta. 2012. Model Perencanaan
khusus menangani lingkungan dan pariwisata dan Pengelolaan Lingkungan (Kasus;
Nusa Penida dengan pemerintah sebagai Bentang Lahan Kawasan Tembalang
inisiator dan dibentuk secara partisipatif Semarang); Vol. 9. No. 1: pp 17-20.
dalam pengelolaan lingkungan di Kawasan Jurnal Presipitasi.
Pariwisata Nusa Penida.
Saxena, J. P. 1992. Hierarchy and
4.2. Saran Classification of Program Plan
Element Using Interpretative
Model pengelolaan lingkungan yang
Structural Modelling; 12 (6): P
telah direkomendasikan perlu diterapkan
651:670. Systems Practice.
secara hati-hati dan dilanjutkan dengan
pembentukan kelembagaan dengan Wibisono, B. 2008. “Model Kebijakan
melibatkan sektor masyarakat yang Pengelolaan Lingkungan
terpengaruhi dalam pengelolaan lingkungan Pertambangan Mineral yang
dan pariwisata Nusa Penida. Berkelanjutan (Studi Kasus:
Pengelolaan Lingkungan Mod-ADA di
DAFTAR PUSTAKA Kabupaten Mimika Papua)”
(disertasi). Bogor. Institut Pertanian
Basna, N., Marsono, D., Gunawan, T., Irham. Bogor.
2012. Model Pengelolaan Lingkungan
Taman Wisata Alam Gunung Meja
Manokwari Papua Barat; Vo. 19. No.

13
Status Terumbu Karang dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]

STATUS TERUMBU KARANG DAN IKAN KARANG DI GILI MATRA,


NUSA TENGGARA BARAT

Eghbert Elvan Ampou1*), Nuryani Widagti1) , Suciadi Catur Nugroho2) ,


Ikram M. Sangadji3)
¹)Balai Riset dan Observasi Laut, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
²)Loka Riset Perikanan Tuna, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan
3)
Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional, Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
*e-mail: eghbert.ampou@kkp.go.id

ABSTRACT

THE STATUS OF CORAL REEF DAN REEF FISH IN GILI MATRA,


WEST NUSA TENGGARA

This study aims to identify the status of reef fishes and coral reefs in Gili Meno, Air and
Trawangan or Gili Matra waters. This area is part of the North Lombok Regency, West Nusa
Tenggara Province. Field observation was conducted on September 2011 at 11 (eleven) diving
points. The video-transect method was used for observing the coral reef condition, while reef
fishes abundance was observed by using visual-census method. The parameter that used to
determine the condition of coral reef in study location are the percentage of live hard coral cover
and index of coral mortality. In general, the result shows that percentage of live hard coral cover
in each diving point ranged from 4.4% - 37.2% and the Coral Mortality Index ranged from 0.40-
0.92. The values describe that the condition of coral reef at eleven diving points vary from fair
until poor condition. Current status of coral reef condition showed an unsignificant increase
from good-very good to moderate during the period 1998 - 2018. There were 23 families of reef
fishes from 46 genera were found during the study consisting of 16 genera of target fish groups,
5 genera of indicator fish group and 25 genera of major fish group. The water quality is still
within the limits of environmental quality standards.

Keywords: Coral reef; reef fish; Mortality Index; water quality; Gili Matra

1. PENDAHULUAN dan juga faktor alam seperti peningkatan suhu


permukaan air laut yang dapat menyebabkan
Wilayah laut Indonesia termasuk dalam
pemutihan karang jika terjadi dalam waktu
kawasan segi tiga karang atau Coral Triangle
yang lama (Hoegh-Guldberg, 1999;
Center dengan keanekaragaman karang dan
Grimsditch dan Salm, 2006; Setiawan et al.,
ikan karang yang sangat tinggi (Veron et al.,
2017), bahkan beberapa diantaranya
2009). Sayangnya, terumbu karang
mengalami penyakit karang (Ampou, 2010;
merupakan ekosistem yang sangat rentan
Ampou et al., 2020). Berbagai parameter
terhadap kerusakan. Beberapa faktor yang
dapat digunakan untuk mengetahui kondisi
dapat mengancam keberadaan ekosistem ini
kesehatan terumbu karang di Indonesia,
adalah sedimentasi, pencemaran dari limbah
diantaranya persentase tutupan karang hidup
industri dan rumah tangga, kegiatan perikanan
dan Indeks Mortalitas Karang (IMK)
yang tidak ramah lingkungan (menggunakan
(Madduppa dan Zamani, 2011).
bahan peledak dan racun), kegiatan wisata,
14 ECOTROPHIC14(1):14–27 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Secara global, kondisi terumbu karang tumbuh dan hidup di ekosistem tersebut
di Indonesia sebagian besar mengalami (terutama ikan-ikan karang) menjadi daya
penurunan. Dari total 1067 lokasi, 36.18% tarik utama para wisatawan yang berkunjung,
(386 lokasi) dalam kategori jelek; 34.3% (366 sehingga status kondisinya perlu selalu
lokasi) dalam kategori cukup (termasuk mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan
daerah Lombok, NTB dan sekitarnya); untuk memberikan informasi kondisi status
22.96% (245) pada kategori baik; dan sisanya terumbu karang dan ikan karang di perairan
(6.56% atau 70 lokasi) dalam kategori sangat Gili Matra.
baik (Hadi et al, 2018). Tren kondisi tutupan
karang hidup mengalami penurunan di 2. METODOLOGI
beberapa wilayah yang diakibatkan oleh
fenomena pemutihan karang massal yang 2.1 Metode Pengambilan Data
terjadi pada akhir tahun 2015 dan 2016 (Hadi
et al. 2017), bahkan sebagian mengalami 2.1.1 Tutupan Karang
kematian dampak dari fenomena El-Nino Penelitian ini dilaksanakan di Kawasan
tersebut yang mengakibatkan turunnya muka Konservasi Perairan Nasional Gili Matra,
air laut sehingga karang terdedah dalam yang berada di wilayah kelola Balai Kawasan
rentang waktu yang cukup lama (Ampou et Konservasi Perairan (BKKPN) Kupang.
al. 2017; Tito et al. 2019). Secara administratif, wilayah ini merupakan
Gili Matra, sebuah kawasan konservasi bagian dari wilayah desa Gili Indah,
yang terletak di ujung Barat Laut pulau Kecamatan Pemenang, Kabupaten Lombok
Lombok merupakan kawasan Konservasi Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Perairan Nasional dengan kategori Taman Pengambilan data lapangan dilakukan pada
Wisata Perairan,. Kawasan yang mencakup bulan September 2011 di 11 (sebelas) titik
luas wilayah ± 2.954 hektar ini terdiri dari 3 penyelaman, yang tersebar di Gili Trawangan
pulau kecil (gili), yaitu Gili Meno, Gili Air, (4 titik: Shark Point, Shallow Turbo, Biorock,
dan Gili Trawangan (Gili Matra). Gili Matra Manta point), Gili Meno (3 titik: Meno Wall,
merupakan salah satu kawasan pariwisata Bounty, Meno 1), dan Gili Air (4 titik: Air
bahari di pulau Lombok yang banyak Wall, Hans Reef, Secret Reef, Front Point)
dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun (Gambar 1).
mancanegara, terutama bagi peminat wisata
selam (Dirjen KP3K, KKP. 2014). Ekosistem
terumbu karang dan biota lainnya yang

Gambar 1.Titik Pengambilan Data Terumbu Karang dan Ikan Karang di Gili Matra
Sumber: Peta Rupa Bumi Indonesia 2016 terbitan BIG & Google Map

15
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]

Pengambilan data tutupan terumbu kedalaman 4 - 8 meter (English et al., 1997;


karang bertujuan untuk menghitung Bianchi et al., 2004; Galparsoro et al., 2012).
kelimpahan jenis karang keras (Dahl 1981;
Clua et al., 2006). Metode yang digunakan 2.1.2 Ikan Karang
untuk mengambil data tersebut adalah video Pengamatan ikan karang dilakukan
transek sabuk (video-belt transect), dengan menggunakan metode visual census.
modifikasi dari metode transek sabuk (belt Transek sepanjang 50m dibentangkan sejajar
transect). Pada metode ini digunakan kamera garis pantai dan mengikuti kontur dasar
bawah air untuk merekam kondisi karang perairan. Pengamat ikan karang
sepanjang transek dan luasan yang dilalui. mengidentifikasi dan mencatat jenis dan
Transek sepanjang 50 meter menjadi acuan, jumlah ikan karang yang ditemukan di sekitar
kemudian ditarik garis maya yang paralel transek garis. Batas pengamatan atau
dengan transek sepanjang 1 meter di kanan pencatatan data ikan adalah 2.5 meter ke arah
dan kiri transek sehingga membentuk luasan kiri dan ke kanan transek, sehingga luasan
persegi panjang 2 x 50 m2. Komponen total pengamatan adalah 250 m2 (English et
penyusun dasar terumbu karang yang diamati al., 1997; Bianchi et al. 2004).
digolongkan berdasarkan bentuk Metode pengamatan terumbu karang dan
pertumbuhan. Pengamatan dilakukan satu ikan karang diilustrasikan pada Gambar 2.
kedalaman pada setiap lokasi yaitu di

2.5 m

1m
belt transect

1m

2.5 m

50 m
Video-belt transect
Belt transect
Gambar 2. Metode Video-Belt Transect dan Belt Transect yang Digunakan untuk Pengamatan
Terumbu Karang dan Ikan Karang (English et al., 1997; Bianchi et al. 2004)

karang. Sejumlah 28 titik ditentukan sebagai


2.1.3 Kualitas Air
lokasi pengukuran kualitas air (Gambar 3).
Pengukuran kualitas air dilakukan guna Parameter yang diukur meliputi suhu, oksigen
mengetahui kondisi perairan Gili Matra pada terlarut, salinitas, dan pH (Tabel 1).
saat pengambilan data karang dan ikan

16
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Gambar 3. Titik Pengukuran Parameter Kualitas Air di Perairan Gili Matra

Tabel 1. Parameter Kualitas Air dan Metode Pengambilan Data yang Digunakan

Alat
Parameter Metode Pengukuran
Pengukur
Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen, Titrasi Pengukuran langsung di lapangan
DO)
pH pHmeter
Suhu (°C) Termometer
Salinitas (‰) Salinometer

B = Persentase tutupan karang hidup


2.2 Metode Analisis Data
(hard coral + soft coral)
2.2.1 Tutupan Karang
Persentase tutupan karang dianalisis 2.2.2 Ikan Karang
dengan mengidentifikasi dan
Data hasil identifikasi ikan karang
mengklasifikasikan karang keras hidup (hard
dianalisis dengan menghitung kelimpahan dan
coral), karang mati (dead coral) dan jenis
komposisinya. Kelimpahan jenis (ind/m2)
bentik lainnya, seperti pasir (sand); patahan
diketahui dengan membagi jumlah individu
karang (rubble); alga (turf algae); karang mati
yang ditemukan di area pengamatan dengan
dengan alga (dead coral with algae); dan
luasan area yang diamati (250 m2). Sementara
lainnya, yang berada dalam area transek 2 x
komposisi ikan karang diketahui dengan
50 m2. Penghitungan Indeks Mortalitas
menghitung dan mengklasifikasikan ikan
Karang (IMK) menggunakan rumus yang
berdasarkan genus dan famili, lalu
dikembangkan oleh Gomez dan Yap (1988),
dikelompokan berdasarkan peranannya dalam
sebagai berikut:
𝐴 ekosistem terumbu karang, yaitu ikan mayor,
𝐼𝑀𝐾 = (𝐴+𝐵) (1) ikan target, dan ikan indikator (English et al.,
Keterangan: 1997; Bianchi et al. 2004).
IMK = Indeks Mortalitas Karang (IMK) Kelompok ikan indikator merupakan
A = Persentase tutupan karang mati spesies ikan yang sangat tergantung dengan
(dead coral with algae + dead coral + rubble) keberadaan karang di suatu perairan.
17
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]

Kelompok ikan target merupakan ikan karang Trawangan. Luas pulau ini adalah ±188 ha. Di
yang hidup berasosiasi dengan ekosistem bagian Barat Gili Meno terdapat danau air
perairan karang, yang memiliki nilai asin yang dikelilingi oleh vegetasi mangrove.
ekonomis penting atau disebut juga ikan Luas daratan Gili Meno ±150 ha. Gili
ekonomis. Sedangkan kelompok ikan mayor Trawangan adalah gili yang paling jauh dari
merupakan ikan yang tidak termasuk dalam daratan Pulau Lombok dan memiliki daratan
kelompok ikan indikator dan ikan target, ikan terluas dibandingkan Gili Meno dan Gili Air
ini biasanya dalam jumlah banyak dan (Dirjen KP3K 2014).
dijadikan ikan hias air laut (Allen dan Steene,
1994; English et al., 1997).
3.2 Kondisi Tutupan Karang
2.2.3 Kualitas Air Berdasarkan hasil pengamatan
Hasil pengukuran parameter kualitas air persentase karang hidup di kesebelas titik
di dua puluh delapan titik yang tersebar di penyelaman diketahui bahwa kondisi terumbu
perairan Gili Matra lalu di hitung nilai rata- karang di Gili Matra tidak ada yang dalam
rata, minimum, maksimum, dan kisarannya. kategori baik. Titik Meno 1 mempunyai
Kondisi kualitas perairan diketahui dengan persentase penutupan karang keras (hard
membandingkan nilai rata-rata hasil coral) yang paling tinggi dibdaningkan
pengukuran di setiap titik tersebut dengan dengan titik pengambilan data lainnya
baku mutu kualitas air untuk kehidupan biota (Gambar 4). Penutupan karang keras di lokasi
laut dan wisata bahari yang tertuang dalam tersebut mencapai 37.2% dan termasuk dalam
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 kategori sedang. Karang keras yang dijumpai
Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. di lokasi ini sebanyak 10 jenis, yang terdiri
dari Porites sp., Seriatopora sp., Acropora
3 HASIL DAN PEMBAHASAN sp., Pocillopora sp., Fungia sp., Montipora
sp., Stylophora sp., Hydnopora sp., Favites
3.1 Gambaran Kondisi Lokasi sp., dan Goniastrea sp. Selain karang keras, di
Pengambilan Data lokasi ini juga ditemukan karang lunak (soft
coral) dengan penutupan 16.4%. Jenis-jenis
Wilayah perairan Gili Matra ditetapkan yang ditemukan adalah Sinularia sp.,
sebagai kawasan konservasi karena memiliki Lobophytum sp., dan Nephtea sp. Penutupan
keanekaragaman jenis biota laut. Letak Gili karang mati beralga (dead coral with algae)
Matra secara berurutan dari pulau Utama sebesar 19.4%; patahan karang (rubble)
Lombok ke arah selat Lombok adalah Gili sebesar 21.4%; turf algae sebesar 1.2%; biota
Air, Gili Meno, lalu Gili Trawangan. Gili Air lain (other) sebesar 2.8%; serta pasir (sand)
letaknya paling dekat dengan pulau Lombok, 6.7%. Indeks Mortalitas Karang (IMK) di
sehingga kondisinya banyak dipengaruhi oleh lokasi ini tergolong sedang dengan nilai 0.52.
daratan. Sementara Gili Meno terletak di
tengah-tengah, antara Gili Air dan Gili

18
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Gili Trawangan Gili Meno

Gili Air

Gambar 4. Kondisi Tutupan Karang dan Benthic Lifeform di Lokasi Pengambilan Data di
Perairan Gili Matra
Titik Hans Reef mempunyai persentase dijumpai meliputi Sinularia sp., Lobophytum
tutupan karang keras yang paling rendah sp., dan Nephtea sp. Selain itu, di lokasi ini
(4.4%) dibandingkan dengan lokasi juga terdapat tutupan koral mati beralga
pengambilan data lainnya. Hal ini sebesar 11.2%, karang mati sebesar 7.2%,
menunjukan bahwa kondisi terumbu karang di pecahan karang sebesar 34.9%, turf algae
lokasi tersebut dalam kriteria buruk/jelek. Di sebesar 3%, dan pasir sebesar 35.4%. Pasir
lokasi ini ditemukan 4 jenis karang keras, dan patahan karang (rubble) mendominasi
yaitu Porites sp., Seriatopora sp., Pocillopora lokasi ini, sehingga dijadikan sebagai lokasi
sp., dan Acropora sp. Selain karang keras, di pelatihan selam oleh para pemula, guna
lokasi ini juga tercatat adanya karang lunak menghindari rusaknya karang hidup.
dengan tutupan sebesar 3.9%. Jenis yang

Gambar 5. Kondisi Status Terumbu Karang di Indonesia 2018, Kotak Hitam dengan Lingkaran
Kuning Menunjukkan Lokasi Gili Matra (Hadi et al., 2018)

19
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]

Indeks Mortalitas Karang (IMK) di pada tahun 2000 hingga sebelum 2017. Di
lokasi ini tergolong tinggi dengan nilai 0.92. periode 2017-2018, kondisi membaik namun
Nilai IMK pada lokasi ini telah mendekati 1, tidak terlalu signifikan, yaitu dari jelek/buruk
yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan ke cukup/sedang (Giyanto et al., 2017; Hadi
yang berarti dari tutupan karang hidup et al., 2018). Klasifikasi habitat secara detail
menjadi karang mati. IMK di suatu lokasi telah dilakukan menggunakan citra satelit
menunjukkan tingkat kerusakan ekosistem beresolusi tinggi (world view 2) oleh Manessa
terumbu karang terkait dengan besarnya et al. (2014). Sedangkan proses perubahan
perubahan karang hidup menjadi karang mati. ekosistem terumbu karang secara signifikan
IMK pada setiap lokasi pengamatan akan sangat terlihat jelas jika menggunakan
ditampilkan pada Tabel 3. Berdasarkan nilai data citra satelit beresolusi sangat tinggi dan
indeks mortalitas masing-masing lokasi time series (Andréfouët et al., 2001;
mempunyai tingkat kerusakan terumbu Scopélitis et al., 2009; Iovan et al., 2015;
karang yang tinggi, yang masuk dalam Ampou et al., 2018).
kategori jelek. Hampir di setiap lokasi nilai
IMK mendekati nilai 1. Menurut English et. Proses pemulihan ekosistem terumbu
al. (1997) kondisi terumbu karang dikatakan karang sangat tergantung pada resistant,
memiliki rasio kematian yang tinggi jika nilai dimana kemampuan suatu ekosistem, dalam
IMK mendekati 1. Hal ini diperkuat dengan hal ini terumbu karang untuk tahan terhadap
tingkat penutupan substrat oleh karang mati gangguan tanpa melalui fase pergeseran atau
beralga (death coral with algae, karang mati kehilangan struktur atau fungsi, contoh
(death coral) dan pecahan karang (rubble) kemampuan terumbu karang untuk tahan
yang tinggi pada kedua titik pengamatan terhadap pemutihan dan kematian (Odum,
tersebut. 1989; Grimsditch dan Salm, 2006). Dan
Status kondisi terumbu karang di Gili resilient, kemampuan suatu sistem untuk
Matra mengalami perubahan dari tahun ke menyerap atau pulih dari gangguan dan
tahun (Tabel 2). Kondisi terumbu karang perubahan, sambil mempertahankan fungsi
tahun 1998 dalam kondisi baik – sangat baik. dan layanannya (Carpenter et al,. 2001;
Kemudian mengalami penurunan kualitas Grimsditch dan Salm, 2006).

Tabel 2. Beberapa Publikasi Perubahan Status Terumbu Karang di Gili Matra

Referensi Tahun Pengambilan Data Status


Dahuri et al. (1998) 1998 Baik - Sangat Baik
BKSDA (2000) 2000 Jelek - Baik
Bachtiar (2004) 2000 Jelek - Sedang
Ahyadi (2010) 2010 Jelek - Sedang
Ampou et al (ulasan saat ini) 2011 Jelek
Suana & Ahyadi (2012) 2012 Jelek
COREMAP-CTI, (2014) 2014 Jelek
Giyanto et al. (2017) 2017 Jelek - Cukup
Hadi et al. (2018) 2018 Cukup

20
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Tabel 3. Indeks Mortalitas Karang (IMK) di 3.3 Ikan Karang


Setiap Lokasi Pengambilan Data di Gili Matra Berdasarkan observasi dan identifikasi
dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa
Indeks Mortalitas rata-rata kelimpahan ikan karang di Gili
Lokasi
Karang (IMK) Matra secara kolektif adalah 5738
Hans Reef 0.92 individu/ha. Kelimpahan ikan karang tertinggi
Secret Reef 0.79 dijumpai di lokasi Manta Point (Gili
Trawangan), yaitu 7700 individu/ha;
Front Port 0.63 sedangkan kelimpahan terendah terdapat di
Air Wall 0.51 Shallow Turbo (Gili Trawangan) dengan
Meno 1 0.52 jumlah 3500 individu/ha (Gambar 6). Tarigan
et al (2016) mencatat bahwa rata-rata
Meno Wall 0.51 kelimpahan ikan karang di Gili Matra telah
Manta Point 0.40 mencapai 12.747 individu/ha dengan nilai
tertinggi sebesar 22.936,67 individu/ha di
Shark Point 0.67
lokasi Biorock dan terendah sebesar 7.910
Shallow Turbo 0.54 individu/ha di lokasi Bongkas Reef. Jumlah
Bounty 0.58 tersebut menunjukan bahwa adanya
peningkatan kelimpahan ikan karang di Gili
Biorock 0.75
Matra.

9000
7460 7380 7700
Kelimpahan (ind/ha)

8000
7000 6520 6460
5920 5738
6000 4940 4600 4480
5000 4160
4000 3500
3000
2000
1000
0
Hans Secret Front Air Wall Meno 1 Meno Bounty Manta Shark Shallow Biorock
Reef Reef Port Wall Point Point Turbo
Gili Air Gili Meno Gili Trawangan Rata-
Rata
Gambar 6. Kelimpahan Ikan Karang di Lokasi Pengambilan Data di Gili Matra

Ikan karang yang tercatat pada survei di Gili Matra mengalami peningkatan
ini (2011) termasuk kedalam 52 genera dari diversitas dan diharapkan dapat mendekati
23 famili. Pomacentridae adalah famili ikan kondisi pada tahun 1998, yang berhasil
karang yang paling banyak dijumpai mengidentifikasi ikan karang sebanyak 123
(59,79%), lalu diikuti dengan famili spesies dari 33 famili (Dahuri et al, 1998).
Balistidae (10,49) dan Chaetodontidae Dengan adanya pertumbuhan populasi ikan,
(6,69%) (Gambar 7). Jumlah tersebut lebih baik jenis atau biomasa, dapat
banyak dibandingkan dengan hasil survei mengindikasikan keberhasilan pengelolaan
sebelumnya yang menemukan ikan karang suatu kawasan konservasi perairan.
sebanyak 54 spesies dari 11 famili (Ahyadi, Rehabilitasi ekosistem terumbu karang dan
2010). Pada tahun 2014, ikan karang di Gili mekanisme kontrol dalam eksploitasi ikan
Matra mengalami peningkatan dengan jumlah karang sangat diperlukan untuk meningkatkan
ditemukannya 111 spesies dari 17 famili kondisi ekologis di perairan Gili Matra dari
(COREMAP-CTI, 2014). Kondisi ikan karang waktu ke waktu (COREMAP-CTI, 2014).

21
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]

59.79
60.00

Proporsi Kelimpahan (%) 50.00

40.00

30.00

20.00
10.49
10.00 5.01 6.65
1.68 2.69 3.42 1.74 1.77 2.06 1.96
0.29 0.25 0.44 0.41 0.13 0.48 0.13 0.19 0.32 0.06 0.03
0.00

Ikan Target Famili


Ikan Indikator
Ikan Mayor

Gambar 7. Persentase Komposisi Ikan Karang di Lokasi Pengambilan Data di Gili Matra

Meskipun kondisi ekosistem terumbu Ikan indikator adalah jenis ikan karang
karangnya tidak terlalu baik, namun yang khas mendiami daerah terumbu karang
berdasarkan peranannya ikan karang yang dan menjadi indikator kesuburan ekosistem
ditemukan di Gili Matra masih dalam kondisi tersebut (English et al, 1997). Ikan jenis ini
lengkap, baik kelompok ikan target, ikan masih ditemukan di Gili Matra, meskipun
mayor, maupun ikan indikator. Hasil analisis hanya dalam jumlah yang sedikit (6,65% dari
menunjukan bahwa yang paling banyak 3156 individu/ha). Lokasi yang paling banyak
ditemukan adalah ikan mayor (76,81%), lalu ditemukan ikan indikator tersebut adalah
berturut-turut ikan target (16,54%) dan ikan Biorock di Gili Trawangan (Gambar 8).
indikator (6,69%) (Gambar 8). Menurut Edrus dan Suharti (2016) bahwa
Menurut English et al (1997), ikan target status jenis ikan karang di Gili Matra
merupakan ikan ekonomis penting dan biasa meningkat cukup signifikan, meskipun
ditangkap untuk dikonsumsi. Kelompok ikan beberapa jenis ikan dari golongan herbivora
ini biasanya menjadikan terumbu karang belum bisa mendukung secara maksimal
sebagai tempat memijah, sarang, atau daerah dalam proses daya lenting terumbu karang.
asuhan. Sebanyak 16 genera ikan target dari COREMAP-CTI (2014) juga menemukan hal
12 famili dapat dijumpai dalam penelitian ini. yang sama bahwa lokasi Biorock paling
Kelimpahan ikan target tertinggi ada pada banyak ditemukan ikan indikator. Di lokasi
lokasi Bounty di Gili Meno (Gambar 88) ini terdapat terumbu karang buatan (biorock)
dengan jumlah 2240 individu/ha. Pada tahun yang selain berfungsi untuk mempercepat
2014, ditemukan lebih banyak ikan target, pertumbuhan karang juga digunakan sebagai
yaitu 84 spesies ikan target dari 16 famili tempat berlindung ikan. Ikan indikator yang
(COREMAP-CTI, 2014). Sebagaimana tertera dijumpai tersebut diwakili oleh famili
pada Gambar 77, ikan target yang dijumpai di Chaetodontidae (ikan kepe-kepe), terdiri dari
Gili Matra diwakili oleh famili Lutjanidae 5 genera. Nash (1998) menguraikan juga
(ikan kakap), Acanthuridae (ikan pakol), bahwa keberadaan ikan indikator ini menjadi
Labridae, Serranidae (ikan kerapu), salah satu indikasi kesehatan ekosistem
Haemulidae (ikan bibir tebal), Nemipteridae terumbu karang di suatu wilayah. Suatu
(ikan kurisi), Mullidae (ikan kuniran), ekosistem terumbu karang dianggap sehat
Siganidae (ikan baronang), Lethrinidae (ikan atau dalam kondisi baik jika dapat ditemukan
lencam), Carangidae (ikan selar), dan setidaknya 44 spesies ikan indikator, seperti
Sphyraenidae (ikan barakuda). yang ditemukan di perairan Papua.

22
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Gambar 8. Distribusi Spasial Kelimpahan Ikan Target, Ikan Mayor, Ikan Indikator di Perairan
Gili Matra

Di Gili Matra, ditemukan sebanyak 25


genera ikan mayor dari 10 famili, yaitu famili, 3.4 Kualitas Air
Pomacentridae, Zanclidae, Tetraodontidae, Hasil pengukuran kualitas air di 28 titik
Balistidae, Scaridae, Gobiidae, (Gambar 3) menunjukan bahwa kondisi
Holocentridae, Caesionidae, Ephippidae, dan kualitas perairan di Gili Matra pada saat
Aulostomidae. Pomacentridae adalah famili pengambilan data masih berada di bawah
yang paling banyak ditemukan (Gambar 77). baku mutu air laut, baik untuk kehidupan
Ikan mayor ditemukan dengan proporsi biota laut dan wisata bahari (Tabel 4).
kelimpahan >50% di hampir semua lokasi Parameter kualitas air yang membatasi
pengamatan di ketiga gili (Gambar 88). kehidupan terumbu karang yang diukur dalam
Kelompok ikan ini biasanya ditemukan dalam penelitian ini adalah suhu, salinitas, pH, dan
jumlah yang melimpah, berukuran kecil (5- oksigen terlarut (DO). Akan tetapi, kondisi ini
25cm), dengan karakteristik perwarnaan yang belum dapat menggambarkan kondisi kualitas
beragam sehingga biasanya dikenal sebagai perairan Gili Matra secara umum. Pengukuran
ikan hias (English et al, 1997). hanya dilakukan satu kali, sehingga hanya
menggambarkan kondisi perairan pada saat
survei dilakukan.

Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas Air di Gili Matra pada Saat Survei Lapangan (BPOL, 2011)

Baku Mutu*
Parameter Rata-rata Minimum Maksimum
Biota Laut Wisata Bahari
Suhu (°C) 26.8 oC 24.1 °C 29.1 °C 28-30 °C Natural
DO 4.7 mg/l 4.31 mg/l 5.33 mg/l > 5 mg/l > 5 mg/l
Salinitas (‰) 34.7 33 35 33-34 Natural
pH 7.9 7.3 8.2 7 - 8.5 7 - 8.5
*Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut

23
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]

data di lapangan, serta kepada semua pihak


4 SIMPULAN DAN SARAN yang membantu kelancaran penelitian ini.

4.1 Simpulan
DAFTAR PUSTAKA
1. Secara umum, kondisi tutupan karang di
Gili Matra bervariasi dalam kondisi sedang
Allen, G. R., dan Steene, R. 1994. Indo-
sampai jelek/buruk, dimana kondisi terbaik
Pacific Coral Reef Field Guide.
ditemukan di Gili Meno. Kondisi terumbu
Tropical Reef Research 378pp.
karang di Gili Matra mengalami perubahan
dari tahun ke tahun. Kondisi baik – sangat Ahyadi, H. 2010. Evaluasi sumber daya
baik di tahun 1998, dan mengalami terumbu karang untuk wisata di Gili
penurunan pada dekade 2000 hingga Trawangan Propinsi Nusa Tenggara
periode sebelum 2017. Tahun 2017-2018, Barat. Desertasi Pascasarjana. Institut
kondisi membaik namun tidak terlalu Pertanian Bogor, Bogor.
signifikan, yaitu dari jelek/buruk ke
Ampou, E.E. 2010. Study of Prevalence on
cukup/sedang. Coral Bleaching and Diseases. Jurnal
2. Populasi ikan karang di wilayah studi Ilmu Lingkungan (Journal of
masih dalam komposisi lengkap, masih Environmental Science). v. 5, n. 2, p.
ditemukan ikan kelompok indikator, target,
123 - 128, ISSN 1907-5626.
dan mayor. Namun, jumlah kelompok ikan https://ojs.unud.ac.id/index.php/ECOT
indikator sebagai indikator kesehatan ROPHIC/article/view/13597
karang ditemukan dalam jumlah yang
relatif sedikit. Ampou, E.E., Johan, O., Menkes, C.E., Niño,
3. Kondisi kualitas air pada saat survei F., Birol, F., Ouillon, S., Andréfouët,
penelitian ini dalam kategori baik karena S. 2017. “Coral Mortality Induced by
masih di bawah baku mutu yang the 2015–2016 El-Niño in Indonesia:
ditetapkan. The Effect of Rapid Sea Level Fall.”
Biogeosciences 14 (4): 817–26.
https://doi.org/10.5194/bg-14-817-
4.2 Saran 2017.
1. Perlu dilakukan monitoring lanjutan terkait Ampou, E.E., Ouillon, S., Iovan, C.,
status ekosistem terumbu karang di Gili Andréfouët, S. 2018. “Change
Matra secara spasial/citra beresolusi sangat Detection of Bunaken Island Coral
tinggi dan perubahan habitatnya apakah Reefs Using 15 Years of Very High
resistant atau resilient. Resolution Satellite Images: A
2. Perlu adanya kebijakan zonasi dalam Kaleidoscope of Habitat Trajectories.”
proses eksploitasi ikan karang di Gili Marine Pollution Bulletin 131 (June):
Matra. 83–95.
3. Pengukuran kualitas air laut secara https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.20
periodik untuk mendapatkan gambaran 17.10.067.
fluktuasi kondisi perairan di Gili Matra. Ampou, E.E., Triyulianty, I., Widagti, N.,
Nugroho, S.C., Pancawati, Y. 2020.
5 UCAPAN TERIMA KASIH "Bakteri Pada Karang Scleractinia di
Penulis mengucapkan terima kasih Kawasan Perairan Bunaken, Morotai
kepada Balai Penelitian dan Observasi Laut, dan Raja Ampat". Jurnal Pesisir dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Laut Tropis. Vol. 8, No. 1, Hal. 122-
(sekarang Balai Riset dan Observasi Laut) 134,
atas dukungan dana DIPA 2011, tim dari https://doi.org/10.35800/jplt.8.1.2020.
Fakultas Biologi Universitas Mataram dan 28128.
dive center lokal dalam proses pengambilan
24
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Andréfouët, S, Muller-Karger, F. E., COREMAP CTI Pusat Penelitian


Hochberg, E. J., Hu, C., Carder, K. L. Oseanografi-LIPI. Jakarta.
2001. “Change Detection in Shallow Dahl, A. L. 1981. Coral Reef Monitoring
Coral Reef Environments Using
Hdanbook. South Pacific Commission
Landsat 7 ETM+ Data.” Remote Noumea, New Caledonia.
Sensing of Environment 78 (January):
150–62. Dahuri, R., Nikijuluw, V., Suparman, A.,
Yulidana, F., Setyobudi, I., Kinseng,
[BKSDA] Balai Konservasi Sumber Daya R.A. 1998. Buku 1: Rencana
Alam. 2000. Laporan pendataan pengelolaan taman wisata alam laut
kondisi terumbu karang di Taman gili indah Propinsi Nusa Tenggara
Wisata Alam Laut Gili Indah Propinsi Barat. Proyek Penyusunan Neraca
Nusa Tenggara Barat, Mataram. p. 36. Sumber Daya Kelautan dan Pesisir
[BPOL] Balai Penelitian dan Observasi Laut. Daerah. Kerjasama Dirjen
2011. Laporan Hasil Penelitian Pembangunan Daerah dengan Dirjen
"Observasi dan Kajian Kawasan Perlindungan Hutan dan Pelestarian
Konservasi Laut". BPOL, Alam. Mataram.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dirjen KP3K, KKP. 2014. “Master Plan Delta
Bachtiar, I. 2004. Status terumbu karang di Api Desa Gili Indah – Kecamatan
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Jurnal Pemenang, Kabupaten Lombok Utara.
Biologi Tropis, 5(1), 1-9. Konsep Pembangunan Desa Medana
2013 - 2023”. Direktorat Jenderal
Bianchi, C. N., Pronzato, R., Cattaneo-Vietti,
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
R., Benedetti Cecchi, L., Morri, C.,
Kementrian Kelautan Perikanan.
Pansini, P., Chemello, R., Milazzo,
Santiri Foundation.
M., Faschetti, S.,Terlizzi, A., Peirano,
A., Salvati, E., Benzoni, F., Calcinai, English, S., Wilkinson, C., Baker, V. 1997.
B., Cerrano, C., Bavestrello, G. 2004. Survey Manual for Tropical Marine
“Hard Bottoms.” Biol. Mar. Medit. 11: Resources. 2nd edition., ASEAN.
185–215. Townsville, Australia: Australia
Marine Science Project, Living
Carpenter, S., Walker, B., Daneries, J.M.,
Coastal Resources, Australian Institute
Abel, N. 2001. “From Metaphor to
Measurement: Resilience of What to of Marine Science.
What?” Ecosystems, 2001. edsjsr. Edrus, I.N dan Suharti, S.R. 2016. Sumber
Clua, E., Legendre, P., Vigliola, L., Magron, Daya Ikan Karang di Taman Wisata
Alam Gili Matra, Lombok Barat.
F., Kulbicki, M., Sarramegna, S.,
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia,
Labrosse, P., Galzin, R. 2006.
“Medium Scale Approach (MSA) for Vol. 22 No. 4, p-ISSN: 0853-5884, e-
Improved Assessment of Coral Reef ISSN: 2502-6542, hal. 225-242.
Fish Habitat.” Journal of Galparsoro, I., Connor, D.W., Borja, A., Aish,
Experimental Marine Biology dan A., Amorim, P., Bajjouk, T.,
Ecology 333 (2): 219–30. Chambers, C et al. 2012. “Using
https://doi.org/10.1016/j.jembe.2005.1 EUNIS Habitat Classification for
2.010. Benthic Mapping in European Seas:
Present Concerns dan Future Needs.”
[COREMAP-CTI] Coral Reef Rehabilitation
Marine Pollution Bulletin 64 (12):
dan Management - Coral Triangle
2630–38.
Initiative. 2014. Baseline survey
https://doi.org/10.1016/j.marpolbul.20
kesehatan terumbu karang dan
ekosistem terkait di Taman Wisata 12.10.010.
Perairan Gili Matram (p. 80).

25
Status Terumbu Karang Dan Ikan Karang di Gili Matra, Nusa Tenggara Barat [Eghbert Elvan A, dkk.]

Grimsditch, G.D dan Salm, R.V. 2006. “Coral Effects of Improving Noise Correction
Reef Resilience and Resistance to Method dan Spectral Cover.” Remote
Bleaching.” IUCN, Gland, Sensing 6 (5): 4454–72.
Switzerland, 52pp. https://doi.org/10.3390/rs6054454.
Gomez, E.D dan Yap, H.T. 1988. Monitoring Nash, S.V. 1988. Reef Diversity Index Survey
Reef Condition In Kenchington RA Method for Non Sspecialist. Tropical
and Hudson B E T (ed). Coral Reef Coastal Area Management. Vol. 4 (3):
Management Hand Book. UNESCO. 14-17
Regional Office for Science and Setiawan, F., Muttaqin, A., Tarigan S.A.
Technology for South East Asia 2017. Dampak Pemutihan Karang
Jakarta. Tahun 2016 Terhadap Ekosistem
Giyanto, Abrar, M., Hadi, T.A., Budiyanto, Terumbu Karang: Studi Kasus Di
A., Hafizt, M., Salatalohy, A., Iswari, TWP Gili Matra (Gili Air, Gili Meno
Y.M. 2017. Status Terumbu Karang dan Gili Trawangan) Provinsi NTB.
Indonesia 2017. Jakarta: Pusat Jurnal Kelautan: 10(2)
Penelitian Oseanografi – Lembaga Madduppa, H dan Zamani, N.P. 2011. A
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Standard Criteria for Assessing the
Hadi, T.A., Giyanto, G., Prayudha, B., Hafizt, Health of Coral Reefs: Implication for
M., Budiyanto, A., Suharsono. 2018. Management and Conservation.
Status Terumbu Karang Tahun 2018. Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2)
Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi (2011) 137-146
– Lembaga Ilmu Pengetahuan Odum, P. O. 1989. Ecology dan Our
Indonesia.
Endangered Life-Support Systems.
Hoegh-Guldberg, O. 1999. Climate change, Sinauer Associates Inc: Sunderland
coral bleaching and the future of the (USA).
world's coral reefs. Journal Marine Scopélitis, J., Andréfouёt, S., Phinn, S.,
and Freshwater Research. Vol. 50, 8 : Chabanet, P., Naim, O., Tourrdan, O.,
839-866. Done, T. 2009. “Changes of Coral
Iovan, C., Ampou, E., Andréfouët, S., Communities over 35 Years:
Ouillon, S., Gaspar, P. 2015. "Change Integrating in Situ dan Remote-
Detection of Coral Reef Habitats from Sensing Data on Saint-Leu Reef (La
Multi-temporal and Multi-source Réunion, Indian Ocean).” Estuarine,
Satellite Imagery in Bunaken, Coastal and Shelf Science 84: 342–52.
Indonesia". 8th International Workshop Tarigan, S.A.R., Setiawan, F., Muttaqin, A.,
on the Analysis of Multitemporal Muhidin, S.P., Hotmariyah., Sabil, A.
Remote Sensing Images, 22-24 July 2017. Laporan Teknis: Monitoring
2015, Annecy, France. Publisher: Ekosistem Terumbu Karang Taman
IEEE-Institute of Electrical dan Wisata Perairan Tahun 2016. Wildlife
Electronics Engineers. DOI: Conservation Society. Bogor.
10.1109/Multi-Temp.2015.7245758. Indonesia.
Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Tito, C.K., Ampou, E.E., Wibawa, T.A. 2019.
"Baku Mutu Air Laut Untuk Biota "Stressor-Response of Reef-Building
Laut". Menteri Negara Lingkungan Corals to Climate Change in the
Hidup. Menjangan Island, West Bali National
Manessa, M., Kanno, A., Sekine, M., Ampou, Park, Indonesia". IOP Conference
E.E., Widagti, N dan As-syakur, A.R. Series: Earth and Environmental
2014. “Shallow-Water Benthic Science, Vol. 246. 4th International
Identification Using Multispectral Conference on Tropical dan Coastal
Satellite Imagery: Investigation on the Region Eco Development 30–31
26
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

October 2018, Semarang, Indonesia. Smith, M., Peterson, N. 2009.


https://iopscience.iop.org/article/10.10 Delineating the Coral Triangle.
88/1755-1315/246/1/012011. Galaxea, Journal of Coral Reef
Studies 11: 91-100
Veron, J.E.N., Devantier, L.M., Turak, E.,
Green, A.L., Kininmonth, S., Stafford-

27
Kombinasi Tray Aerator dan Filtrasi Untuk Menurunkan Kadar Besi (FE) dan Mangan (MN)…. [Muhammad Al Kholfi, dkk.]

KOMBINASI TRAY AERATOR DAN FILTRASI UNTUK MENURUNKAN


KADAR BESI (FE) DAN MANGAN (MN) PADA AIR SUMUR

Muhammad Al Kholif *, Sugito, Pungut, dan Joko Sutrisno


Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas PGRI Adi Buana
Surabaya
*E-mail: alkholif87@unipasby.ac.id

ABSTRACT

COMBINATION OF TRAY AERATOR AND FILTRATION TO


REDUCING IRON (FE) AND MANGANESE (MN) LEVELS IN WATER
WELLS

The problem that is often found in water well is the high content of iron (Fe) and
manganese (Mn). This study aims to reduce the content of Fe and Mn in water well with aeration
and filtration systems. Aeration used is a multilevel aerator tray using 4 tray trays which are
spaced 30 cm between the trays. The filtration media used are activated carbon and zeolite sand
with a height of 70 cm each. The sample was taken at one of the community wells in the Dukuh
Menanggal area of Sidoarjo. The study was conducted for 7 days with a processed sampling
system carried out on the aerator tray output and both filtration. The results showed that the
aeration process with tray aerator was able to reduce Fe levels up to 98.34% and Mn reached
97.40%. In the filtration process with activated carbon can reduce Fe levels by 98.48% and Mn
by 98.25%. While the filtration process with zeolite sand media can reduce Fe levels by 98.43%
and Mn by 97.44%

Keywords: Aeration; Filtration; Tray Aerator; Water Wells

Kualitas air tanah dipengaruhi


1. PENDAHULUAN kandungan mineral dan bahan-bahan lainnya.
Air sumur adalah sumber air bersih Mineral dalam air tanah ditemukan berbagai
yang sering kali pakai masyrakat dalam skala unsur kimia yang terdapat di dalam air tanah.
besar. Permasalahan yang sering timbul dari Keberadaan berbagai mineral sebagiannya
air tanah adalah tingginya kadar pencemar diperlukan oleh tubuh namun ada sebagian
yang terkandung di dalamnya. Jika dilihat dari yang tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia
standar yang ditetapkan, maka air yang layak bahkan dapat mengganggu kesehatan
untuk digunakan tentunya disesuaikan dengan manusia. Air dapat memberikan manfaat yang
persyaratan yang ada. Jika dari persyaratan optimal jika memenuhi syarat kesehatan yang
yang ada belum terpenuhi, menandakan hal ditetapkan oleh World Health Organization
tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai (WHO) (Azkiyah & Sutrisno, 2014).
kebutuhan air bersih. Permasalahan lain yang Ketersediaan air bersih adalah suatu
sering muncul dari penggunaan air tanha atau problematika global yang harus secepatnya
sumur adalah tingginya kandungan Besi (Fe) diselesaikan (Astuti et al., 2007).
dan Mangan (Mn). Kedua kandungan tersebut Tingginya zat pencemar seperti Zn dan
mudah larut dalam air dan keberadaannya Mn pada air bukan lagi merupakan sesautu
sangat sulit untuk dideteksi dengan mata hal yang baru. Warna air yang berubah
telanjang (Purwono & Karbito, 2013). setalah terjadinya kontak dengan udara dalam
28 ECOTROPHIC14(1):28–36 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

waktu tertentu menandakan adanya kadar Fe Jika konsentrasi zat Fe melebihi 5


dan Mn yang tinggi dalam air. Hal yang mg/L, maka penggabungan dua teknologi
paling mudah untuk mendeteksi keberadaan sekaligus yaitu teknologi aerasi-filtrasi dapat
kedua kadar tersebut dalam air adalah dengan dijadikan sebagai acuan dalam mereduksi zat
mengamati kondisi bau, dan timbul warna Fe tersebut (Muliawan & Ilmianih, 2016).
kekuning-kuningan pada bak dan pakaian Partikel-partikel hasil pengendapan dari
(Rasman & Saleh, 2016). Upaya untuk proses aerasi yang memiliki masa jenis
mengatasi itu adalah dirancanglah alat untuk hampir sama dengan air akan sukar untuk
mengolah air sumur dijadikan air bersih. mengendap sendirinya, maka dari itu perlu
Di Indonesia khususnya di wilayah adanya proses penyaringan atau filtrasi
perkotaan, penyediaan air bersih dalam skala terhadap partikel-partikel tersebut. Metode
besar masih di kelola oleh Perusahaan Air filtrasi saat ini telah banyak mengalami
Minum (PAM). Sebagian besar pelayanan air modifikasi diantaranya dengan
bersih belum mendapatkan hasil yang mengkombinasikan arah aliran dan media
maksimal atau jumlahnya belum mencukupi filtrasi. Bahan-bahan yang biasa digunakan
untuk pelayanan masyarakat baik dalam segi sebagai media filtrasi diantaranaya seperti
kualitas maupun kuantitas. Wilayah yang karbon aktif, zeolite dan pasir (Febiary et al.,
tidak terjaringi oleh air bersih pada akhirnya 2016). Pada penelitian yang dilakukan oleh
memilih untuk memanfaatkan air tanah (Saifudin & Astuti, 2005) didapatkan
(sumur) atau sumber mata air lainnya untuk efektifitas penggabungan teknologi dalam
kebutuhan air bersih. Persentase masyarakat mengurangi kadar Fe dan Mn yaitu
yang menggunakan air tanah di Indonesia menggunakan pasir dan zeolite yaitu
sangat tinggi karena murah dan mudah mencapai 93,52%.
diperoleh. Dari data statistik menunjukan Permasalahan yang muncul untuk
bahwa masyarakat yang memakai air leding dijadikan obyek penelitian adalah banyaknya
sebesar 16,08%, air tanah sebesar 11,61%, air masyarakat yang tidak mengetahui kalau air
sumur (perigi) yaitu 49,92%, mata air sebesar sumur yang mereka gunakan banyak
13,92 %, air sungai yaitu 4,91%, air hujan mengandung Fe dan Mn yang tidak
sebesar 2,62% dan lainnya sebesar 0,80% memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
(Purwono & Karbito, 2013). Penelitian ini akan mengkombinasikan suatu
Dalam beberapa kasus seperi pada PAM pengoalahan air sumur dengan menerapkan
masih sering dijumpai endapan Fe dan Mn sistem tray aerator dengan filter dalam
dalam jumlah yang kecil. Penggunaan media mereduksi kadar Fe dan Mn pada air sumur
zeolit serta karbon aktif sebagai media media warga di daerah Dukuh Menanggal Surabaya.
keramik ganda dalam filter mampu mereduksi Tujuan utama dari penelitian ini adalah
senyawa Fe dan Mn pada air bersih mengkaji setiap perubahan yang terjadi pada
(Mifbakhuddin et al., 2008; Nurhasmi et al., kadar Fe dan Mn setelah dilakukan
2015). Kadar Fe dan Mn dalam air juga dapar pengolahan dengan menerapkan tray aerator
direduksi dengan menggunakan radiasi dan filtrasi. Dari hasil penetian menunjukan
ultraviolet. Penggunaan radiasi ultraviolet adanya perubahan kadar Fe dan Mn pada air
juga dapat menginaktivasi mikroorganisme tanah setalah dilakukan pengolahan dengan
dalam air bersih (Rezagama, 2013; Wahyudin menggunakan tray aerator dan filtrasi.
et al., 2013). Di Kabupaten Gowa, mayoritas
masyarakat kota nya memperoleh air bersih 2. METODOLOGI
yang bersumber dari air sumur gali dengan
Alat penelitian dirancang dalam skala
kedalaman air rata-rata mencapai 7-10 meter.
laboratorium mengacu pada unit PAM yang
Mulai dari komunitas kecil sampai pada
sesungguhnya dengan mengkombinasikan dua
komunitas individu sebagian besar
teknologi sekaligus untuk mereduksi zat Fe
masyarakatnya mengambil air tanah sebagai
dan Mn pada air sumur. Sampel air sumur
kebutuhan air minum (Ronny & Hasim,
diperoleh dari salah satu warga di daerah
2018).
Dukuh Menanggal Surabaya. Aerasi yang
29
Kombinasi Tray Aerator dan Filtrasi Untuk Menurunkan Kadar Besi (FE) dan Mangan (MN)…. [Muhammad Al Kholfi, dkk.]

digunakan adalah Tray Aerator sedangkan Tujuan utama dari tray aerator tersebut
filtrasi yang digunakan adalah media zeolit adalah untuk menggontakkan air dengan
dan karbon aktif. udara sehingga terdapat kandungan oksigen di
Tray aerator yang diaplikasikan pada dalam air. Hasil olahan pada tray aerator
penelitian ini adalah ketinggian mencapai 180 ditampung pada sebuah wadah olahan. Hasil
cm dengan variasi jumlah nampan yaitu olahan tersebut kemudian diaambil untuk
sebanyak 4 nampan (tray). Masing-masing dianalisis kadar Fe dan Mn nya. Selain itu
tray berjarang 30 cm. Filtrasi yang digunakan dari hasil oalahan tray aerator tersebut juga di
dalam peneltian ini yaitu terbuat dari pipa alirkan secara down flow ke kedua alat filter
akrilik berdiameter 20 cm. Ketinggian tabung yang sudah dilengkapi dengan media filter
filtrasi yaitu mencapai 1 m dengan rancangan yaitu karbon aktif dan zeolit. Pengambilan
ketingian media yang sama yaitu mencapai 70 sampel olahan yang berada di dalam filter
cm. penelitian dilakukan selama 7 hari untuk dilakukan secara manual karena
melihat setiap perubahan yang terjadi antara menggunakan sistem batch. Untuk dianalisis
pengolahan tray aerator dan filtrasi. di laboratorium sampel didiamkan bersama
Penelitian dilakukan dengan sistem batch media filter terlebih dahulu selama 24 jam
sehingga tidak membutuhkan debit aliran dengan tujuan agar media filter dapat bekerja
dalam mengambil air hasil olahan. Secara secara maksimal dalam mereduksi kadar Fe
garis besar gambar reaktor pengolahan tersaji dan Mn dalam air.
pada Gambar 1. Reaktor pengolahan Metode analisis data yang akan
merupakakan sebagaian besar rangkaian diterapkan yakni masing-masing sampel yang
perpipaan dengan menggunakan sistemm didapatkan dari hasil pemeriksaan
aliran down flow. laboratorium akan dikumpulkan. Setelah data
terkumpul, maka selanjutnya akan dilakuakan
Tray Aerator 1 30 cm
analisis data yang akan disajikan dalam
bentuk tabel kemudian akan di uraiakan
30 cm
dalam bentuk narasi dan ditarik suatu
Tray Aerator 2 30 cm kesimpulan. Data tersebut dianalisa meliputi
30 cm
efektifitas penurunan parameter Fe dan Mn
pada air sumur dengan menerapkan
Tray Aerator 3 30 cm
persamaan sebagai berikut.
30 cm

(a−b)
Tray Aerator 4 30 cm
𝐸𝑓𝑒𝑘𝑡𝑖𝑓𝑖𝑡𝑎𝑠(%) = 𝑥 100% (1)
a

30 cm
Tampungan Air Olahan
Tray Arrator
Dimana: a = nilai Awal
b = nilai Akhir

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Karbon
Penelitian dilakukan dengan mengecek
Zeolit
Aktif
terlebih dahulu karakteristik awal dari air
sumur gali sebelum dilakukan pengolahan
Gambar 1. Rangkaian Alat Pengolahan Air dengan menggunkan tray aerator dan filtrasi.
Sumur Hasil dari karakteristik awal ini dapat
dijadikan acuan untuk mengetahui seberapa
Gambar 1 menjelaskan bahwa sampel besar efisiensi dari unit pengolahan air yang
air sumur terlebih dahulu di tamping pada digunakan. Dari hasil pengamatan di lapangan
sebuah wadah inlet setelah dipompa dari menunjukan bahwa 90% lebih warga Desa
sumber sampel. Dari wadah inlet tersebut Bungurasih Kecamatan Waru menggunakan
kemudian air dialirkan menuju tray aerator air sumur sebagai kebutuhan air bersih.
yang terdiri dari 4 susunan tray aerator. Masyarakat tidak menyadari adanya potensi

30
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

bahaya yang besar dari penggunaan air yang sebesar 0,576 mg/L air dengan waktu kontak
diperoleh dari sumur gali tersebut. 60 menit memberikan pengaruh yang besar
Berdasarkan hasil pengukuran awal di terhadap perubahan kadar Fe dan Mn dalam
laboratorium menunjukan kadar awal Fe yaitu air. Dengan waktu kontak selama 60 menit
1,68 mg/l dan kadar Mn yakni 1,14 mg/l. dapat menurunkan kadar Fe sebesar 0,045
mg/L dan Mn sebesar 0,004 mg/L (Wahyudin
3.1. Efisiensi Penurunan Kadar Fe dan et al., 2013).
Mn pada Aerasi Tray Aerator Penelitian lain yang dilakukan secara
Langkah penting yang harus dilakukan rinci dengan menggunakan metode aerasi
untuk meningkatkan efektifitas proses kaskade menunjukan bahwa air dapat
pengolahan air adalah dengan melakukan memerangkap oksigen saat menuruni tangga
penyaringan. Penyaringan dapat dialkuan sehingga terjadi peningkatan kadar oksigen
dengan berbagai cara. Hal yang paling dalam air. Aerasi kaskade digunakan pada
sederhana tentunya dengan menggunakan kondisi aerasi yang memadai atau sesuai yaitu
kain sebagai penyaring kotoran menurunkan pada area di bidang sungai, kanal,
padatan tersuspensi dan larva dalam air pembenihan ikan tambak, instalasi
(Herlambang, 2010). Penggunaan desinfeksi pengolahan air, dan lain-lain (Baylar et al.,
pada pengolahan air diyakini dapat 2007). Berikut efisiensi penurunan kadar Fe
menurunkan kadar Fe dan Mn. Pada dan Mn pada aerasi tray aerator yang di
penerapan desinfeksi ozon dengan konsentrasi tunjukan pada tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Fe pada Tray Aerator


Hari Awal (mg/l) Akhir (mg/l) Penurunan (mg/l) Efisiensi
1 1,68 0,298x10-2 1,6502 98,22%
2 1,68 0,298x10-2 1,6502 98,22%
3 1,68 0,295x10-2 1,6505 98,25%
4 1,68 0,294x10-2 1,6506 98,25%
5 1,68 0,285x10-2 1,6515 98,30%
6 1,68 0,280x10-2 1,6520 98,33%
7 1,68 0,278x10-2 1,6522 98.34%

Tabel 2. Hasil Pengukuran Kadar Mn pada Tray Aerator


Hari Awal (mg/l) Akhir (mg/l) Penurunan (mg/l) Efisiensi
1 1,14 0,299x10-2 1,1101 97,37%
2 1,14 0,298x10-2 1,1102 97,38%
3 1,14 0,297x10-2 1,1103 97,39%
4 1,14 0,297x10-2 1,1103 97,39%
5 1,14 0,298x10-2 1,1102 97,38%
6 1,14 0,297x10-2 1,1103 97,39%
7 1,14 0,296x10-2 1,1104 97,40%

Tabel 1 dan 2 menunjukan adanya Nilai efisiensi penurunan tertinggi untuk


penurunan yang terjadi pada kadar Fe dan Mn parameter Fe mencapai 98,34% pada hari ke-
setelah dilakukan pengolahan air sumur 7 penelitian. Sedangkan pada kadar Mn
dengan sistem tray aerator. Secara efisiensi penyisihan terbaik pada hari terakhir
keseluruhan untuk ke dua jenis parameter penelitian yakni mencapai 97,40%. Nilai awal
olahan memiliki nilai efisiensi lebih dari 95%. kadar Mn jauh lebih kecil jika dibandingkan
Pada kadar Fe dari sampel awal sebesar 1,68 dengan kadar awal pada kadar Fe. Terjadinya
mg/L turun rata-rata menjadi ini 1,65 mg/L. penurunan kadar besi pada aerasi tray aerator
31
Kombinasi Tray Aerator dan Filtrasi Untuk Menurunkan Kadar Besi (FE) dan Mangan (MN)…. [Muhammad Al Kholfi, dkk.]

karena adanya kontak antara air dengan udara sampel air pada proses aerasi (Lutfihani &
yang membentuk endapan Fe(OH3) (Joko & Purnomo, 2015).
Rachmawati, 2016). Hasil di atas menunjukan
terjadi penurunan sesuai dengan reaksi aerasi 3.2. Efisiensi removal Kadar Fe dan Mn
seperti: pada Reaktor Filtrasi Bermedia
Karbon Aktif
4 𝐹𝑒 2+ + 𝑂2 + 10 𝐻2 𝑂 → 4 𝐹𝑒 (𝑂𝐻)3 + 8 𝐻 + (2) Perbedaan debit aliran dalam sistem
pengolahan menunjukan hasil yang berbeda.
Tray aerator dengan variasi 2 tray Pada debit 0,5 L/menit terjadi penurunan Fe
memiliki efisiensi penurunannya kadar Fe sebesar 11,7% sedangkan Mn sebesar 23.3%.
hanya mencapai 10% (Lutfihani & Purnomo, pada debit aliran 1,0 L/menit mampu
2015). Sedangkan penerapan tray aerator menurunkan kadar Fe dan Mn sebesar 28,6%
dengan variasi 3 tray memiliki efisiensi dan pada debit aliran 2,0 L/menit mampu
penurunan kadar Fe mencapai 52% menurunkan kadar Fe sebesar 30,4% dan
(Nainggolan et al., 2017). Hal ini menujukan kadar Mn turun menjadi 29,1% (Purwono &
adanya perbedaan dengan penelitian sekarang Karbito, 2013).
jika dilihat dari efisiensi penurunan
Karbon aktif meruapakan bahan yang
penelitian, dimana pada penelitian sekarang
mampu menyerap kadar logam terutama
yang menggunakan 4 tray memiliki efisiensi
kadar logam dalam air (Nurhasmi et al.,
lebih baik. Banyaknya jumlah tray pada pada
2015). Karbon aktif memiliki struktur amorf
aerator sangat berpengaruh pada hasil aerasi.
atau mikrokristalin dengan luas permukaan
Selain itu juga akan memberikan kontak yang
yang tinggi yaitu sekitar 1500 m2/g serta
lama antara oksigen dengan air sehingga
mempunyai daya serap dalam fase cair
kadar Fe dapat teroksidasi dengan baik (Joko
maupun fase gas (Cobb et al., 2012). Banyak
& Rachmawati, 2016).
bahan yang bisa digunakan sebagai sumber
Penurunan kadar Mn pada tray aerator karbon aktif, namun yang sering digunakan
juga dipengaruhi karena adanya transfer untuk mengolaha air adalah karbon aktif yang
oksigen ke dalam air. Proses aerasi juga dapat terbuat dari batok kelapa. Hal ini karena batok
mereduksi bahan organik yang mudah kelapa memiliki miktopori yang banyak,
menguap. Terjadinya kontak langsung antara kadar abu yang rendah dan memiliki sifat
sampel dan gas mengakibatkan adanya kelarutan dalam air (Ferone et al., 2013)
perpindahan senyawa seperti pada reaksi
Kandungan kation dalam karbon aktif
berikut:
dapat meningkatkan nilai pH pada air. Kontak
yang lama antara karbon aktif tempurung
2 𝑀𝑛2+ + 𝑂2 + 2 𝐻2 𝑂 → 2 𝑀𝑛𝑂2 + 4 𝐻 + (3) kelapa dan sampel air akan berpengaruh pada
kenaikan nilai pH. Pada konsentrasi karbon
Metode aerasi dengan menggunakan 5 aktif 0,3 gram bisa menaikkan nilai pH dari
buah tray aerator menunjukan hasil yang 6,48 menjadi 6,64 dan pada konsentrasi 0,6
efektif tertutama pada kadar Fe. Nilai rata-rata gram rata-rata peningkatan pH menjadi 6,71
penurunan kadar Fe setelah dilakukan sedangkan pada konsentrasi 0,9 gram
pengolahan dengan menggunakan 5 buah tray peningkatan rata-rata nilai pH menjadi 6,74
aerator diperoleh hasil sebesar 1,12 mg/L. (Jamilatun & Setyawan, 2014). Berikut
Hal ini masih di luar batas maksimum yang efisiensi penuruna kadar Fe dan Mn pada
disyaratkan oleh Menteri Kesehatan Republik reaktor filtrasi bermedia karbon aktif setelah
Indonesia yang mensyaratkan besar kadar Fe melalui proses pada tray aerator yang akan
yang diperbolehkan yaitu sebesar 1,00 mg/L ditujukan pada Tabel 3 dan Tabel 4.
(Ronny & Hasim, 2018). Jumlah penampang
akan mempengaruhi injeksi udara dengan

32
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Tabel 3. Efisiensi Removal Kadar Fe pada Filtrasi Media Karbon Aktif


Hari Awal (mg/l) Akhir (mg/l) Penurunan (mg/l) Efisiensi
1 1,68 0,294x10-2 1,6506 98,25%
2 1,68 0,292x10-2 1,6508 98,26%
3 1,68 0,291x10-2 1,6509 98,26%
4 1,68 0,289x10-2 1,6511 98,27%
5 1,68 0,260x10-2 1,6540 98,45%
6 1,68 0,255x10-2 1,6545 98,48%
7 1,68 0,253x10-2 1,6547 98,48%

Tabel 4. Efisiensi Removal Kadar Mn pada Filtrasi Media Karbon Aktif


Hari Awal (mg/l) Akhir (mg/l) Penurunan (mg/l) Efisiensi
1 1,14 0,210x10-2 1,1190 98,15%
2 1,14 0,211x10-2 1,1189 98,14%
3 1,14 0,211x10-2 1,1189 98,14%
4 1,14 0,299x10-2 1,1101 97,37%
5 1,14 0,296x10-2 1,1104 97,40%
6 1,14 0,296x10-2 1,1104 97,40%
7 1,14 0,295x10-2 1,1105 98,25%

Berdasarkan tabel 3 efisiensi penurunan 2013). Perbedaan ketinggian media akan


kadar Fe dari awal penelitian sampai hari mempengaruhi hasil akhir dari proses filtrasi
terakhir terus terjadi peningkatan efisiensi itu sendiri. Semakin tinggi permukaan media
penurunan dengan rata-rata penuruna sebesar yang digunakan, maka akan semakin besar
98,35%. Efisiensi penurunan terbaik yaitu pada efisiensi penyisihan yang dihasilkan. Volume
hari ke-7 yaitu mencapai 98,49%. Sedangkan reaktor yang digunakan juga akan
pada tabel 4 nilai efisiensi penurunan kadar mempengaruhi hasil dari suatu pengolahan
Mn dari awal sampai akhir penelitian air. Semakin besar volume reaktornya, maka
berkisaran antara 97,40% sampai 98,25%. semakin besar angka penurunan
Efisiensi penurunan terbaik yakni pada hari ke- pencemarnya.
7 yang mencapai 98,25%. Semakin kecil aliran
air yang dialirkan, maka niali efisiensinya akan 3.3. Efisiensi Removal Kadar Fe dan Mn
semakin besar, begitupun sebaliknya (Oesman pada Filtrasi Bermedia Pasir Zeolit
& Sugito, 2017). Terjadinya penurunan Fe dan Batuan zeolite yang diperoleh untuk
Mn pada filtrasi bermedia karbon aktif di dijadikan media filter haruslah yang sudah
karenakan pada proses filtrasi terjadi proses diaktivasi terlebih dahulu agar daya serapnya
pengendapan dan pemisahan polutan hasil semakin baik. Media filter zeolite yang
aerasi (Purwonugroho, 2013). Karbon aktif digunakan sebelumnya harus memiliki berat
pada proses filtrasi berfungsi sebagai adsorben yang konstan. Selain digunakan untuk
yang dapat mengadsorpsi gas-gas dan senyawa pengolahan air bersih dan air minum, media
kimia tertentu seperti Fe dan Mn. zeolite juga dapat digunakan sebagai media
Penelitian terdahulu (Mugiyantoro et untuk mengolah air limbah. Penambahan
al., 2017) mampu menurunkan kadar Fe pada masa zeolit akan berpengaruh pada
preoses filtrasi yaitu mencapai 99%. peningkatan nilai pH, dimana secara drastis
Tingginya nilai efisiensi yang dihasilkan nilai pH akan meningkat dari pH 05,08
karena adanya pengkombinasian media filter menjadi 06.64 pada masa zeolit 600,00 g
yang diterapkan dalam satu reactor yaitu (Rahayu et al., 2015). Berikut efisiensi
media karbon aktif, zeolite dan pasir silika. reduksi kadar Fe dan Mn pada filtrasi
Pada penerapan media filter dengan bermedia pasir zeolit setelah melalui proses
ketinggian media 60 cm mampu menurukan pada tray aerator akan ditujukan pada Tabel 5
kadar Mn mencapai 72,56% (Purwonugroho, dan 6.

33
Kombinasi Tray Aerator dan Filtrasi Untuk Menurunkan Kadar Besi (FE) dan Mangan (MN)…. [Muhammad Al Kholfi, dkk.]

Tabel 5. Removal Kadar Fe pada Filtrasi Pasir Zeolit


Hari Awal (mg/l) Akhir (mg/l) Penurunan (mg/l) Efisiensi
1 1,68 0,280x10-2 1,6520 98,33%
2 1,68 0,270x10-2 1,6530 98,39%
3 1,68 0,265x10-2 1,6535 98,42%
4 1,68 0,263x10-2 1,6537 98,43%
5 1,68 0,290x10-2 1,6510 98,27%
6 1,68 0,290x10-2 1,6510 98,27%
7 1,68 0,297x10-2 1,6503 98,23%

Tabel 6. Efisiensi Removal Kadar Mn pada Filtrasi Pasir Zeolit


Hari Awal (mg/l) Akhir (mg/l) Penurunan (mg/l) Efisiensi
1 1,14 0,294x10-2 1,1106 97,41%
2 1,14 0,294x10-2 1,1106 97,42%
3 1,14 0,295x10-2 1.1105 97,41%
4 1,14 0,297x10-2 1,1103 97,39%
5 1,14 0,294x10-2 1,1106 97,42%
6 1,14 0,291x10-2 1,1109 97,44%
7 1,14 0,291x10-2 1,1109 97,44%

Tabel 5 dan 6 merupakan efisiensi


penurunan kadar Fe dan Mn pada reaktor 4. SIMPULAN
filtrasi bermedia pasir zeolite, dimana
Penerapan teknologi tray aerator dan
presentase penurunan untuk kadar Fe dari hari
filtrasi terbilang berhasil karena mampu
pertama sampai hari terakhir berkisaran antara
mereduksi zat Fe dan Mn dalam air. Sistem
98,23% sampai 98,43%. Sedangkan untuk
aerasi tray aerator mampu menurunkan kadar
kadar Mn berkisaran antara 97,39% sampai
Fe hingga 98,34%, dan kadar Mn mencapai
97,44%. Besarnya nilai penyisihan yang
penurunan sebesar 97,40%. Sedangkan
terjadi pada media zeolite untuk kadar Fe dan
penerapan filtrasi karbon aktif mampu
Mn dikarenakan pada filtrasi bermedia pasir
menurunkan kadar Fe sebesar 98,48%
zeolit terjadi reaksi pertukaran ion. Selain itu,
sedangkan untuk Mn mencapai 98,25%.
rongga-ronga yang terdapat pada pasir zeolit
Proses filtrasi menggunakan pasir zeolite
juga menyebabkan pasir zeolit berfungsi
mampu menurunkan kadar Fe hingga 98,43%
sebagai adsorben. Jika dibandingkan dengan
dan kadar Mn mencapai 97,44%. Disarankan
penelitian yang dilakukan oleh
untuk penelitian lebih lanjut untuk
(Purwonugroho, 2013), maka penelitian ini
menerapkan waktu kontak yang lebih lama
lebih baik. Efisiensi penurunan kadar Fe
terutama pada bagian filtrasi serta
hanya mencapai 94%, sedangkan untuk kadar
memperbanyak tray aerator sehingga
Mn mencapai 84%. Perbedaan ketinggian
hasilnya lebih maksimal.
media filter memberikan pengaruh yang besar
terhadap nilai efisiensi yang dihasilkan.
Penerapan ketinggian media zeolit, pasir DAFTAR PUSTAKA
halus dan kerikil sebesar 120 cm
menghasilkan nilai efisiensi kadar Mn sebesar Astuti, W., Jumali, A., & Amin, M. (2007).
100% (El-Naggar, 2010). Sedangkan Desalinasi Air Payau Menggunakan
penerapan keringgian media zeolit yang Surfactant Modified Zeolite (SMZ).
dikombinasikan dengan media pasir halus dan Jurnal Zeolit Indonesia, 3(2), 32–37.
kerikil dengan tinggi media masing-masing https://doi.org/10.1017/CBO9781107415
20 cm mampu menurunkan kadar Mn sebesar 324.004
88% (Siwila et al., 2017).
34
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Azkiyah, I. N. F., & Sutrisno, J. (2014). Industri, 12(1), 73–83.


Penurunan Kadar Besi (Fe) dan Mangan Joko, T., & Rachmawati, S. (2016). Variasi
(Mn) pada Air Sumur Gali dengan Penambahan Media Adsorpsi Kontak
Metode Aerasi dan Filtrasi Di Sukodono Aerasi Sistem Nampan Bersusun (Tray
Sidoarjo. Jurnal Teknik WAKTU, 12(2), Aerator) Terhadap Kadar Besi (Fe) Air
28–33. Tanah Dangkal di Kabupaten Rembang.
Baylar, A., Bagatur, T., & Emiroglu, M. E. 15(1), 1–5.
(2007). Aeration efficiency with nappe Lutfihani, A., & Purnomo, A. (2015). Analisis
flow over stepped cascades. Proceedings Penurunan Kadar Besi (Fe) dengan
of the Institution of Civil Engineers - Menggunakan Tray aerator dan Diffuser
Water Management, 160(1), 43–50. Aerator. 4(1), 25–27.
https://doi.org/10.1680/wama.2007.160.1
.43 Mifbakhuddin, Wardani, R. S., & Rozaq, A.
P. (2008). Pengaruh Ketebalan Diameter
Cobb, A., Warms, M., Maurer, E. P., & Zeolit Digunakan Sebagai Media Filter
Chiesa, S. (2012). Low-Tech Coconut
Terhadap Penurunan Kesadahan Air
Shell Activated Charcoal Production. Sumur Artetis di Kelurahan
International Journal for Service
Sendangguwo Kecamatan Tembalang
Learning in Engineering, Humanitarian Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Engineering and Social Masyarakat Indonesia, 4(2), 51–69.
Entrepreneurship, 7(1), 93–104.
https://doi.org/10.24908/ijsle.v7i1.4244 Mugiyantoro, A., Husna Rekinagara, I., Dian
Primaristi, C., & Soesilo, J. (2017).
El-Naggar, H. (2010). Development of low Penggunaan Bahan Alam Zeolit, Pasir
cost technology for the removal of iron Silika, Dan Arang Aktif Dengan
and manganese from ground water in Kombinasi Teknik Shower Dalam
Siwa Oasis. The Journal of the Egyptian Filterisasi Fe, Mn, Dan Mg Pada Air
Public Health Association, 85(3–4), Tanah Di Upn “Veteran” Yogyakarta.
169–188. Seminar Nasional Kebumian Ke-10, 492,
Febiary, I., Fitria, W. A., & Yuniarno, S. 1127–1137.
(2016). Efektivitas Aerasi, Sedimentasi, Muliawan, A., & Ilmianih, R. (2016). Metoda
dan Filtrasi untuk Menurunkan Pengurangan Zat Besi Dan Mangan
Kekeruhan dan Kadar Besi (Fe) dalam Menggunakan Filter Bertingkat Dengan
Air. Journal of Chemical Information Penambahan UV Sterilizer Skala Rumah
and Modeling, 8(1), 32–39. Tangga. Jurnal Ilmiah Giga, 19(1), 1–8.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415 http://journal.unas.ac.id/giga/article/view
324.004 /298
Ferone, C., Colangelo, F., Roviello, G., Nainggolan, A., Tarigan, A., & Khair, H.
Asprone, D., Menna, C., Balsamo, A., (2017). Pengaruh Aerasi Bertingkat
Prota, A., Cioffi, R., & Manfredi, G.
dengan Kombinasi Saringan Pasir,
(2013). Application-oriented chemical Karbon Aktif, dan Zeolit dalam
optimization of a metakaolin based Menyisihkan Parameter Fe dan Mn dari
geopolymer. Materials, 6(5), 1920–1939. Air Tanah di Pesantren Ar-Raudhatul
https://doi.org/10.3390/ma6051920 Hasanah. Jurnal Dampak, 14, 1.
Herlambang, A. (2010). Teknologi https://doi.org/10.25077/dampak.14.1.1-
Penyediaan Air Minum Untuk Keadaan 12.2017
Tanggap Darurat. Jai, 6(1), 52–63. Nurhasmi, Subaer, & Nurhayati. (2015).
Jamilatun, S., & Setyawan, M. (2014). Pengembangan Geopolimer Berbasis
Pembuatan Arang Aktif dari Tempurung Karbon Aktif sebagai Keramik Filter
Kelapa dan Aplikasinya untuk Ganda (Double Filter) untuk Aplikasi
Penjernihan Asap Cair. Spektrum Pengolahan Air Sumur. 11(3), 280–285.
35
Kombinasi Tray Aerator dan Filtrasi Untuk Menurunkan Kadar Besi (FE) dan Mangan (MN)…. [Muhammad Al Kholfi, dkk.]

https://ojs.unm.ac.id/index.php/JSdPF/art Saifudin, M. R., & Astuti, D. (2005).


icle/view/1753 Kombinasi Media Filter untuk
Menurunkan Kadar Besi (Fe). Penelitian
Oesman, N. M., & Sugito. (2017). Penurunan
Sains Dan Teknologi, 6(1), 49–64.
Logam Besi dan Mangan Menggunakan
http://hdl.handle.net/11617/376
Filtrasi Media Zeolit dan Manganese
Greensand. Jurnal Teknik WAKTU, Siwila, S., Chota, C., Yambani, K., Sampa,
15(2), 57–65. D., Siangalichi, A., Ndawa, N., &
Tambwe, G. (2017). Design of a small
Purwono, & Karbito. (2013). Pengolahan Air
scale iron and manganese removal
Sumur Gali Menggunakan Saringan
system for Copperbelt University’s
Pasir Bertekanan (Presure Sand Filter)
borehole water. Journal of
untuk Menurunkan Kadar Besi (Fe) dan
Environmental Geology, 01(01), 24–30.
Mangan (Mn)(Studi Kasus di Desa
https://doi.org/10.4172/2591-
Banjar Negoro Kecamatan Wonosobo
7641.1000007
Tanggamus). Jurnal Kesehatan
Lingkungan Poltekkes Kemenkes Wahyudin, Tjahjanto, R. T., & Wardhani, S.
Tanjungkarang, 4(1), 305–314. (2013). Kombinasi Ozonisasi, Iradiasi
Ultraviolet Dan Zeolit Untuk Disinfeksi
Purwonugroho, N. (2013). Keefektifan
Air Tanah Dan Penentuan Konsentrasi
Kombinasi Media Zeolit dan Karbon
Aktif. In Universitas Muhammadiyah Ozon Dengan Metode Spektrofotometri
Surakarta. Universitas Muhammadiyah Uv-Visible. Jurnal Student Kimia, 1(1),
126–132.
Surakarta.
Rahayu, A., Masturi, M., & Yulianti, I.
(2015). Pengaruh Perubahan Massa
Zeolit Terhadap Kadar Ph Limbah
Pabrik Gula Melalui Media Filtrasi.
Jurnal Fisika (Semarang), 5(2), 1–4.
https://doi.org/10.15294/jf.v5i2.7411
Rasman, R., & Saleh, M. (2016). Penurunan
Kadar Besi (Fe) Dengan Sistem Aerasi
dan Filtrasi Pada Air Sumur Gali
(Eksperimen). HIGIENE: Jurnal
Kesehatan Lingkungan, 2(3), 159–167.
http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/higiene/article/
view/1826
Rezagama, A. (2013). Studi Ozonisasi
Senyawa Organik Air Lindi Tempat
Pemrosesan Akhir Sarimukti. Teknik,
34(2), 82.
https://doi.org/10.14710/teknik.v34i2.56
30
Ronny, & Hasim, A. H. (2018). Effectiveness
of multiple tray-aerators in reducing iron
(Fe) water wells in Gowa Regency,
Indonesia. Ecology, Environment and
Conservation, 24(1), 22–25.
https://doi.org/10.31227/osf.io/yqv8j

36
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]

ANALISIS POTENSI PENGELOLAAN SAMPAH BERKELANJUTAN


BERBASIS MASYARAKAT DI DESA SARIBAYE NUSA TENGGARA
BARAT
Fati Ramadhanti
Universitas Prasetiya Mulya
Email: fati.ramadhanti@pmbs.ac.id

ABSTRACT

ANALYSIS OF COMMUNITY BASED SUSTAINABLE WASTE MANAGEMENT IN


DESA SARIBAYE WEST NUSA TENGGARA
Tourism activities are more likely to bring positive impact on the economy of the society.
However, if managed poorly, the tourism activities may also bring a bad luck to the region. One
of the negative impacts is the excessive unmanaged waste. The excessive waste may create
problems that harm the environment and affect the society well-being. This paper aims to
examine the potential of sustainable waste management practice in tourism area in Lombok,
West Nusa Tenggara. This paper also intent to specifically examine the potential of community
participatory aspect in sustainable waste management. This research uses Participatory Rural
Appraisal (PRA) methodology to assess the primary data. Additionally, further analysis of
secondary data is also added. The research is conducted in tourism area in Saribaye village,
Lingsar, West Nusa Tenggara province. The results show that Saribaye village residents still
lack of enviromenment awareness and the infrastructure is still far from adequate to support a
sustainable management practice. However, the Saribaye village community have a high
willingness to learn about the sustainable waste management practice and their current
demographic structures may support the sustainable waste management development in the
village.
Keywords: Waste Management; Community Participation; Tourism; SWOT

tantangan untuk dapat mengelola sampah


1. PENDAHULUAN yang dihasilkan dari sektor pariwisata tersebut
Indonesia memiliki potensi pariwisata dengan lebih baik.
yang besar. Nusa Tenggara Barat (NTB) Di tahun 2018, provinsi NTB
sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia menghasilkan lebih dari 630 ton sampah per
yang populer dan juga memiliki Kawasan harinya. Tahun lalu, kota Mataram sebagai
Ekonomi Khusus, mengalami pertumbuhan ibukota provinsi, sempat mengalami
pengunjung yang signifikan dalam satu permasalahan sampah, dimana banyak
dekade terakhir. Menurut Badan Pusat timbunan sampah menggunung dan
Statistik NTB (BPS NTB, 2019), total berserakan di tempat umum (SuaraNTB,
wisatawan yang berkunjung ke NTB pada 2018). Salah satu penyebabnya adalah karena
tahun 2009 yaitu 619.370 orang. Angka ini minimnya anggaran pemerintah dalam
naik secara fantastis, hingga hampir 5x lipat penangangan sampah. Praktek pengelolaan
dalam kurun waktu 7 tahun, yaitu dengan sampah saat ini pun masih sangat
jumlah pengunjung sebanyak 3.094.437 orang konvensional dan prosesnya tidak terintegrasi
di tahun 2016. Memiliki potensi pariwisata satu sama lain. Dengan masalah sampah yang
yang besar, NTB ke depannya menghadapi ada dan potensi produksi sampah yang kian
ECOTROPHIC14(1):37–48 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395 37
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]

meningkat seiring meningkatnya aktivitas (2010) lebih lanjut lagi menyebutkan tiga
pariwisata dan ekonomi di NTB, aspek utama dalam PSB adalah aspek
permasalahan pengelolaan sampah ini perlu fisik/teknikal, aspek keberlanjutan, dan aspek
segera ditangani. pelaku (formal dan informal) dalam sistem
Saat ini tren global dalam pengelolaan tersebut. Pada saat ini, integrasi pada sistem
destinasi pariwisata adalah dengan pengelolaan sampah di berbagai desa di
menggunakan konsep Pariwisata Indonesia masih lemah (Artiningsih et al.,
Berkelanjutan atau Sustainable Tourism. 2012; Setiadi, 2015; Utami et al., 2008).
Konsep ini juga sudah diadopsi oleh Pengelolaan sampah diberbagai daerah masih
Kementerian Pariwisata Indonesia yaitu dilakukan secara tradisional dan tidak
dalam Peraturan Menteri Pariwisata no. 14 mengimplementasikan sistem yang
tahun 2016 mengenai Pedoman Destinasi terintegrasi, dimana proses munculnya
Pariwisata Berkelanjutan. Dalam sampah, pengambilan sampah, dan
mengembangkan destinasi pariwisata, pembuangan sampah masih dilakukan secara
Pariwisata Berkelanjutan (PB) tidak hanya terpisah. Dengan menerapkan pengelolaan
mengedepankan aspek ekonomi, namun juga sampah yang berkelanjutan, banyak manfaat
aspek lingkungan, aspek sosial, dan juga yang akan didapatkan oleh masyarakat,
aspek budaya (World Tourism Organization, terutama dari sisi lingkungan dan kesehatan
2004). Saat ini konsep PB sudah banyak publik (Joseph, 2006).
diterapkan dibanyak negara terutama di Dalam menelaah potensi PSB, paper ini
negara maju seperti negara-negara di Eropa, akan fokus membahas aspek informal
Amerika dan Australia (Lu & Nepal, 2009). stakeholders dan juga infrastruktur yang ada
Konsep dari PB juga sejalan dengan visi dan di Desa Saribaye. Informal stakeholder yang
misi Pemerintah baik oleh Pemerintah Pusat, dimaksud adalah masyarakat Desa Saribaye
maupun Pemerintah Daerah NTB. secara keseluruhan. Informal stakeholder
Salah satu aspek yang penting dalam PB dipilih karena dalam mewujudkan suatu
adalah adanya sistem pengelolaan sampah pengelolaan sampah yang berkelanjutan,
yang baik. Pengelolaan sampah yang peran masyarakat sangat penting dan
dilakukan di provinsi NTB saat ini adalah dibutuhkan. Pengelolaan sampah dengan
pengelolaan sampah secara konvensional dan melibatkan masyarakat biasa disebut dengan
tidak terintegrasi. Bahkan, di beberapa daerah pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
di NTB, sarana/prasarana pembuangan Pendekatan yang digunakan adalah
sampah seperti TPS atau TPA masih tidak pendekatan bottom-up dimana dalam proses
tersedia. Untuk menghadapi laju tumbuh pelaksanaan suatu kegiatan di suatu lokasi,
sektor pariwisata, Pemerintah Daerah NTB masyarakat lokal berperan secara aktif dalam
harus bisa mengelola sampahnya dengan lebih mengidentifikasi masalah, mengambil
baik, salah satunya dengan melakukan keputusan, serta merancang solusi untuk
pengelolaan sampah yang berkelanjutan. masalah tersebut (World Health Organization,
Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan 2002). Pengelolaan sampah dengan konsep
(PSB) atau Sustainable Waste Management parsitipasi masyarakat/komunitas juga sedang
mulai banyak diterapkan di Asia (Visvanathan marak berkembang di Indonesia (Putri et al.,
et al., 2007). Di dalam negeri sendiri, 2012; Setiadi, 2015). Keterlibatan masyarakat
beberapa penelitian juga sudah dalam kegiatan pengelolaan sampah dapat
mengungkapkan pentingnya sistem PSB menghasilkan pengelolaan sampah yang
dalam pengelolaan dan pelestarian daerah mandiri. Putri et al. (2012) dalam
pariwisata (Dewi, 2017; Vitasurya, 2017). penelitiannya di Komunitas Adat Seminyak
Bali menunjukkan bahwa dengan pendekatan
PSB adalah suatu proses dimana
yang dilakukan secara bottom-up (partisipasi
pengelolaan sampah sudah lebih terintegrasi
masyarakat), peran serta masyarakat dalam
satu sama lain dan memiliki keterlibatan
pengelolaan tersebut mencapai lebih dari
pemangku kepentingan (stakeholder) yang
70%.
lebih luas (Rodic et al., 2010). Rodic et al
38
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Manfaat dari kegiatan PSB dengan Participatory Rural Appraisal (PRA). PRA
berbasis masyarakat diharapkan tidak hanya atau juga disebut Pemahaman Partisipatif
mengurangi dampak negatif di lingkungan, Kondisi Pedesaan (PPKP) adalah pendekatan
tetapi juga dapat memberikan keuntungan yang melibatkan masyarakat secara langsung
materi bagi masyarakat lokal dari hasil dalam merumuskan rencana tindakan dan
penjualan sampah plastik atau hasil produk kebijakan. Metode PRA dipilih karena
daur ulang. Dengan melakukan pengelolaan memungkinkan masyarakat desa untuk saling
sampah yang berkelanjutan, suatu destinasi berbagi dan menganalisis pengetahuan
wisata juga dapat mengurangi masalah masyarakat, dan membuat rencana dan
sampah lokal, menekan biaya pengangkutan tindakan nyata (Chambers, 1994).
sampah, dan dapat menambah nilai keunikan Dalam penelitian ini, metode atau tools
untuk daerah destinasi wisata. PRA yang digunakan secara spesifik adalah
dengan Focus Group Discussion (FGD).
2. METODOLOGI Peneliti juga melakukan observasi sebagai
bentuk triangulasi kebenaran/validasi data
Lokasi kajian potensi penerapan
primer yang diambil. Pengambilan data
pengelolaan sampah berkelanjutan dilakukan
primer dilakukan pada bulan Agustus 2018.
di Desa Saribaye, Lingsar, Kabupaten
Dalam FGD ini peserta diberikan pertanyaan
Lombok Barat. Desa Saribaye dipilih karena
menyangkut kesadaran lingkungan, kemauan
merupakan salah satu daerah destinasi wisata
untuk melakukan pengelolaan sampah, dan
di Lombok. Desa Saribaye saat ini belum
mengenai sarana dan prasarana pengelolaan
memiliki pengelolaan sampah. Berlokasi di
sampah yang tersedia. FGD ini ditargetkan
bantaran Sungai Jangkok, Desa Saribaye juga
pada 4 kelompok, yaitu:
merupakan salah satu penyumbang pada
pencemaran/polusi sampah di perairan 1. Kelompok Ibu Rumah Tangga,
Lombok. 2. Kelompok Petani,
3. Kelompok Bisnis/Pengusaha, dan
2.1 Pertanyaan Riset
4. Kelompok Pemuda
Dalam penelitian ini, ada beberapa
pertanyaan riset yang sudah diformulasikan: 2.2.2 Data Sekunder
1. Apakah masyarakat Desa Saribaye Data sekunder yang digunakan adalah
memiliki kesadaran lingkungan yang data demografi kependudukan Desa Saribaye
baik? yang didapatkan dari Kantor Desa. Faktor
2. Apakah masyarakat Desa Saribaye demografi adalah salah satu hal yang penting
memiliki kemauan dalam melakukan dalam melihat potensi dalam pengelolaan
pengelolaan sampah berbasis sampah (Rodic et al., 2010). Adapun data
masyarakat? yang dikaji adalah luas wilayah, populasi,
3. Apakah Desa Saribaye memiliki tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan dan
sarana/prasarana yang memadai untuk mata pencaharian dari penduduk Desa
melakukan pengelolaan sampah? Saribaye.
4. Apakah ada potensi untuk Desa 2.3 Metode Analisis Data
Saribaye untuk dapat melakukan
pengelolaan sampah yang Analisis data dilakukan dengan
berkelanjutan berbasis masyarakat? meninjau data primer yang didapatkan dari
FGD serta data sekunder yang didapatkan dari
2.2 Pengambilan Data Kantor Desa. Selanjutnya data primer dan
sekunder tersebut dianalisis dalam empat
2.2.1 Data Primer: Participatory Rural kategori, yaitu:
Appraisal (PRA) 1. Analisis perilaku masyarakat dalam
Pendekatan yang di lakukan untuk pengelolaan sampah yaitu aspek
mendapatkan data primer adalah dengan kesadaran lingkungan dan kemauan
39
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]

dalam pengelolaan sampah 3. HASIL DAN PEMBAHASAN


menggunakan data primer
2. Analisis sistem sarana dan prasarana 3.1 Hasil FGD
pendukung pengelolaan sampah Penelitian ini meninjau perilaku
menggunakan data primer berdasarkan tingkat kesadaran lingkungan dan
3. Analisis demografi dengan kemauan masyarakat Desa Saribaye dalam
menggunakan data sekunder mengelola sampah. Tema tersebut kemudian
4. Analisis SWOT untuk melihat potensi ditentukan dalam beberapa aspek yang
pengelolaan sampah berkelanjutan digunakan untuk meninjau perilaku
menggunakan data primer dan data masyarakat (lihat Tabel 1).
sekunder
Tabel 1. Tema dan Aspek yang Ditinjau dalam FGD
No. Tema Aspek yang Ditinjau
1. Kesadaran Lingkungan  Pengetahuan jenis-jenis sampah yang dihasilkan
 Pengetahuan dampak sampah terhadap lingkungan
 Praktik pembuangan sampah sehari-hari
2. Kemauan mengelola  Komitmen mengurangi sampah
sampah  Aktivitas yang diharapkan dalam pengelolaan sampah
3. Sarana dan prasarana  Pengetahuan ketersediaan fasilitas pengelolaan sampah di
pengelolaan sampah di desa seperti TPS atau bank sampah
Desa Saribaye

Dengan menggunakan aspek penijauan pengetahuan tentang sarana dan prasarana


pada Tabel 1, maka didapatkan hasil FGD serta pengelolaan sampah di Desa, seperti
data perilaku masyarakat Desa Saribaye, tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil FGD Prilaku lingkungan masyarakat Desa Saribaye

No. Kelompok Aspek yang Hasil


FGD ditinjau
1. Ibu Rumah Kesadaran  IRT mengetahui jenis sampah sampah organik
Tangga Lingkungan dapur dan sampah plastik kemasan
(IRT)  IRT menyebutkan bahwa dampak dari sampah
plastik dapat menimbulkan penyakit, dan jika
dibakar, bisa menyebabkan kanker.
 IRT dalam praktiknya mengelola sampah sehari-
hari dengan dibakar dan dibuang ke sungai.
Kemauan  IRT ingin mengurangi jumlah sampah namun
Pengelolaan tidak mengetahui caranya
Sampah
Sarana/Prasarana  Sampah plastik yang bernilai dijual di bank
sampah My Darling
 IRT bertanggung jawab dalam membuang
sampah hasil rumah tangga.

40
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

No. Kelompok Aspek yang Hasil


FGD ditinjau
2. Petani Kesadaran  Petani dapat mengidentifikasi sampah seperti
Lingkungan sampah plastik, kotoran sapi, dan sisa pertanian
 Sampah yang dihasilkan sebagian dibakar dan
sebagian lain dibuang ke sungai
 Petani sadar bahwa sampah plastik dapet
menimbulkan penyakit
Kemauan  Petani memiliki kemauan untuk melakukan
Pengelolaan pengelolaan sampah, namun tergantung dari
Sampah besarnya insentif ekonomi yang diterima
Sarana/Prasarana  Petani menyadari ada bank sampah My Darling di
Desa Saribaye, tetapi belum bergabung menjadi
nasabah.
3. Pengusaha Kesadaran  Pengusaha dapat mengidentifikasi sampah rumah
Lingkungan tangga dan sampah dari usaha, seperti limbah
peternakan ayam.
 Pengusaha rata-rata tidak paham cara mengelola
sampah plastik
 Plastik yang bernilai dijual ke bank sampah My
Darling
Kemauan  Pengusaha ingin mengelola sampah jika
Pengelolaan disediakan fasilitas oleh pemerintah
Sampah
Sarana/Prasarana  Pengusaha memanfaatkan jasa bank sampah My
Darling
4. Pemuda Kesadaran  Pemuda dapat mengidentifikasi jenis-jenis
Lingkungan sampah berdasarkan aktivitas masyarakat yang
ada di desa.
 Pemuda memahami dampak sampah terhadap
kesehatan, potensinya menjadi sarang nyamuk,
dan bisa menyebabkan banjir.
Kemauan  Pemuda menginisiasi bank sampah My Darling
Pengelolaan untuk mengelola sampah plastik.
Sampah
Sarana/Prasarana  Fasilitas yang ada saat ini terbatas pada
pengumpulan sampah plastik yang dilakukan
bank sampah My Darling.
 Tidak ada fasilitas pengelolaan sampah.

41
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]

3.2 Hasil Data Sekunder

A. Letak dan Luas Wilayah


Desa Saribaye terletak di kecamatan
Lingsar, kabupaten Lombok Barat, Provinsi
Nusa Tenggara Barat. Luar wilayah dari Desa
Saribaye adalah 131,43 ha dengan luas
pemukiman sekitar 80 ha, persawahan 82,3
ha, perkebunan 28.6 ha dan sisanya adalah
perkantoran dan prasarana umum. Dengan
luas persawahan yang besar, Desa Saribaye
menjadi salah satu desa yang indah dan
menarik untuk dikunjungi berwisata alam.
Menjadi salah satu desa tujuan wisata di Gambar 2. Jumlah Penduduk Desa Saribaye
berdasarkan Jenis Kelamin
Lombok, Desa Saribaye belum memiliki
fasilitas pengelolaan sampah yang memadai. C. Pendidikan
Faktanya, mayoritas dari penduduk desa
masih membuang sampah rumah tangga Berdasarkan latar belakang Pendidikan,
mereka di tahan kosong atau sungai/kali sekitar 70% penduduk di Desa Saribaye
terdekat. pernah/sedang menempuh jenjang
pendidikan. Angka ini menunjukkan kualitas
sumber daya manusia yang relatif tinggi di
Desa Saribaye.

Gambar 1. Bantaran Sungai Jangkok menjadi


Lokasi Pembuangan Sampah di Desa Saribaye

B. Populasi
Populasi di Desa Saribaye, berdasarkan
Data Internal Kantor Administrasi Desa
Saribaye yang tercatat pada tahun 2017,
jumlah penduduk mencapai 2.294 orang
dengan jumlah wanita sebanyak 1.126 orang
Gambar 3. Distribusi Pendidikan di Desa Saribaye
dan pria sebanyak 1.168 orang. Dari total
2.294 orang, 1.731 orang atau sekitar 75%
dari total tersebut adalah penduduk dalam
usia produktif. Berdasarkan Badan Pusat
Statistik (BPS, 2019), penduduk usia
produktif sendiri adalah penduduk yang
memiliki usia diantara 15 – 64 tahun. Angka
ini mengindikasikan bahwa Desa Saribaye
memiliki potensi produktivitas sumber daya
manusia yang besar.

42
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

D. Tingkat Kesejahteraan kesejahteraan keluarga di Desa Saribaye


adalah sebagai berikut:
Berdasarkan BKKBN (2019), tingkat
kesejahteraan keluarga diklasifikasikan Tabel 3. Distribusi Kesejahteraan Keluarga di
menjadi 5 kelompok, yaitu sebagai berikut: Desa Saribaye
i. Keluarga Prasejahtera
Adalah keluarga yang belum mampu No. Kelompok Keluarga Jumlah KK
memenuhi kebutuhan dasarnya berupa 1. Keluarga Prasejahtera 101 KK
kebutuhan agaman, pangan, sandang 2. Keluarga Sejahtera 1 70 KK
dan kesehatan.
3. Keluarga Sejahtera 2 375 KK
4. Keluarga Sejahtera 3 190 KK
ii. Keluarga Sejahtera 1
5. Keluarga Sejahtera 3+ 0 KK
Adalah keluarga yang telah mampu
Total KK 736 KK
memenuhi kebutuhan dasar namun
belum mampu memenuhi kebutuhan Dari tabel diatas, jumlah kepala
social psikologisnya. keluarga yang masih termasuk keluarga
iii. Keluarga Sejahtera 2 prasejahtera adalah sejumlah 101 KK atau
Adalah keluarga yang sudah mampu sekitar 14% dari total 736 KK di Desa
memenuhi kebutuhan dasar dan social Saribaye. Sedangkan untuk Keluarga
psikologisnya, namun belum mampu Sejahtera 1, 2 dan 3, jumlah KK yang
memenuhi kebutuhan termasuk kelompok tersebut adalah 70 KK,
pengembangannya, seperti menabung 375 KK dan 190 KK, secara berurutan. Di
dan memperoleh informasi. Desa Saribaye, tidak ada satupun keluarga
iv. Keluarga Sejahtera 3 yang termasuk dalam Keluarga Sejahtera 3+.
Adalah keluarga yang mampu memnuhi E. Mata Pencaharian
kebutuhan dasar, social psikologis dan
kebutuhan pengembangannya, namun Memiliki persawahan yang sangat luas,
belum mampu untuk memberikan mayoritas penduduk di Desa Saribaye bekerja
sumbangan maksimal kepada sebagai Petani dan Buruh Tani. Selain itu,
masyarakat. untuk wanita, mayoritas penduduk adalah
sebagai ibu rumah tangga, seperti yang telah
v. Keluarga Sejahtera 3+
ditampilkan pada Gambar 4 dibawah.
Adalah keluarga yang telah mampu Pengelolaan sampah berbasis masyarakat
memenuhi seluruh kebutuhannya, yaitu dapat menjadi suatu kegiatan yang dapat
kebutuhan dasar, sosial psikologis, dimanfaatkan bagi penduduk yang belum
pengembangan dan dapat memberikan bekerja ataupun para ibu rumah tangga untuk
sumbangan maksimal kepada menyalurkan energi, ide dan kreatifitas, yang
masyarakat. juga akan berdampak baik bagi keasrian dan
Berdasarkan Data Internal Kantor kesehatan masyarakat disekitar lingkungan
Administrasi Desa Saribaye (2017) distribusi tersebut.

43
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]

Gambar 4. Distribusi Mata Pencaharian Penduduk di Desa Saribaye


pada pernyataan Ibu-Ibu Rumah Tangga,
3.3 Analisis Perilaku Masyarakat dalam
aktivitas pembuangan sampah pada
Pengelolaan Sampah
praktiknya lebih banyak dibebankan pada
Dari hasil FGD (Tabel 2) diketahui kaum perempuan, yaitu mereka sebagai Ibu
bahwa di dalam pengelolaan sampah Desa Rumah Tangga.
Saribaye, masyakat masih membuang sampah Dengan demikian, pada saat ini
tidak pada tempat pembuangan sampah. masyarakat belum bisa dikatakan sebagai
Masyarakat mengelola sampah rumah tangga masyarakat yang sadar lingkungan, karena
secara individu dan tidak ada sistem pengetahuan tersebut tidak sejalan dengan
pengelolaan yang tersedia dari pemerintah tindakan yang dilakukan warga dalam
desa maupun dinas lingkungan hidup. Hasil mengelola sampah yang mereka hasilkan.
FGD menunjukkan bahwa masyarakat Prilaku sadar namun tidak sadar lingkungan
membuang sampah di tempat-tempat terbuka bisa terjadi ketika masyarakat sendiri tidak
yang dekat dengan lokasi tempat tinggal melihat adanya insentif dalam mengubah
mereka. Sebagian besar warga membuang kebiasaan mereka tersebut.
sampah di Sungai Jangkok yang mengalir
Di sisi lain, meskipun belum memiliki
melalui Desa Saribaye. Alasan warga
membuang di bantaran sungai adalah karena kesadaran lingkungan, masyarakat desa sadar
tidak tersedianya fasilitas pembuangan akan pentingnya pengelolaan sampah dan
memiliki keinginan untuk melakukan
sampah yang mudah dijangkau di Desa, dan
pengelolaan sampah di Desa Saribaye. Hal ini
sungai merupakan lahan kosong yang
terbukti dengan adanya kelompok swadaya
terdekat.
yang didirikan oleh masyarakat setempat
Sementara itu, masyarakat sebenarnya khususnya para pemuda, yaitu Bank Sampah
mengetahui bahwa membuang sampah di My Darling (Masyarakat Sadar Lingkungan).
sungai dapat merusak lingkungan. Keempat Berdasarkan hasil FGD, semua kelompok
kelompok masyarakat sebagian besar sudah responden mengetahui akan keberadaan Bank
mengetahui dampak dari masalah sampah di Sampah My Darling, walaupun belum semua
desa. Masyarakat juga sudah mengerti bahwa bergabung menjadi nasabah. Beberapa
permasalahan sampah adalah tanggung jawab kelompok belum mengetahui bagaimana cara
mereka semua. Lebih lanjut lagi, mengacu mengelola sampah yang baik secara mandiri.
44
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Untuk itu, mereka mengharapkan ada satu potensi dari grup swadaya ini untuk
kegiatan yang bisa membantu mereka berkembang. Proses pengangkutan dan sudah
mengelola sampah, sekaligus juga bisa dimulainya kebiasaan masyarakat dalam
memberikan insentif ekonomi kepada mengumpulkan dan memilah sampah ini,
masyarakat. menunjukkan awal mula yang baik untuk
mewujudkan terciptanya proses pengelolaan
3.4 Analisis Sistem Sarana dan sampah yang berkelanjutan (Wilson, 2007).
Prasarana Pendukung Pengelolaan
Sampah 3.5 Analisis Data Demografi
Hasil FGD menunjukkan bahwa belum Berikut adalah hasil analisis data
tersedianya sarana pengelolaan sampah yang demografi dari Desa Saribaye dari segi Luas
memadai di Desa Saribaye, seperti kontainer Wilayah, Populasi, Pendidikan, Kesejahteraan
sampah ataupun Tempat Pembuangan dan Mata Pencaharian:
Sementara (TPS) sehingga praktik membuang  Potensi pariwisata dan luas wilayah
di lahan terbuka/sungai masih sangat sering Desa Saribaye mendukung untuk
dilakukan. Satu-satunya bentuk melakukan proses pengeloaan sampah
sarana/prasarana yang tersedia adalah sebuah berbasis masyarakat
komunitas swadaya masyarakat yaitu Bank  Jumlah usia produktif di Desa Saribaye
Sampah My Darling (Masyarakat Sadar yang besar mengindikasikan potensi
Lingkungan). sumber daya manusia yang besar untuk
Manajemen Bank Sampah My Darling menjalankan pengelolaan sampah
dilakukan secara swadaya oleh pemuda desa berbasis msayarakat
setempat. Bank Sampah My Darling  Tingginya jumlah penduduk yang
mengumpulkan sampah plastik yang dipilah telah/sedang bersekolah memberikan
dari rumah nasabah untuk kemudian dijual peluang baik dalam berkomunikasi
kepada pengepul. Waktu operasi dengan masyarakat setempat sehingga
pengumpulan sampah plastik sangat terbatas, dapat memberikan kemudahan dalam
yaitu hanya sekali dalam seminggu. Dengan proses inisiasi dan keberlanjutan
jumlah anggota sekitar 20 orang pemuda desa, program (Riswan et al., 2011).
bank sampah tidak mampu menjangkau
seluruh wilayah Desa Saribaye untuk menjadi  Masih besarnya jumlah keluarga
nasabahnya. Bank Sampah My Darling prasejahtera memberikan peluang bagi
membiayai operasionalnya secara mandiri kegiatan pengelolaan sampah berbasis
melalui iuran yang dikeluarkan oleh masing- masyarakat ini untuk dapat
masing anggotanya. Selain itu, operasional menghasilkan suatu pendapatan
bank sampah juga didapatkan dari hasil tambahan yang diharapkan dapat
penjualan sampah di pengepul, dan terkadang meningkatkan kesejahteraan penduduk
ditambah dengan dana bantuan dari desa. dan menekan angka kemiskinan.
Pengelolaan sampah Desa Saribaye  Dari segi mata pencaharian, jumlah
belum memadai jika hanya bergantung pada kelompok penduduk yang belum bekerja
Bank Sampah My Darling. Dengan kapasitas dan jumlah kelompok ibu rumah tangga
yang dimiliki bank sampah saat ini tidak akan masih besar. Kegiatan pengelolaan
mampu mengelola sampah yang dihasilkan sampah berbasis masyarakat dapat
warga desa. Padahal, jika melihat jumlah menjadi suatu sarana meningkatkan
sampah yang dihasilkan satu rumah tangga, produktivitas dan kreatifitas penduduk
maka kemungkinan jumlah sampah yang untuk kelompok-kelompok tersebut.
dibuang tanpa diolah sangat besar. Berdasarkan hasil analisis data
Berdasarkan Data Internal dari Kantor demografi tersebut, Desa Saribaye memiliki
Administrasi Desa Saribaye, jumlah nasabah potensi yang baik untuk
yang dikelola oleh Bank Sampah My Darling mengimplementasikan program pengelolaan
saat ini adalah 99 KK, sehingga masih banyak sampah berbasis masyarakat.
45
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]

3.6 Analisis SWOT (Strength, Weakness, 3. Desa Saribaye memiliki jumlah penduduk
Opportunity, and Threat) usia produktif yang besar serta faktor
demografi lain yang dapat mendukung
Berdasarkan dari hasil FGD dan hasil
terlaksananya kegiatan pengelolaan
data sekunder, berikut adalah hasil dari
sampah yang berkelanjutan berbasis
analisis SWOT:
masyarakat.
1. Strengths
4. Infrastruktur desa untuk pengelolaan
a. Kemauan yang besar dalam
sampah tidak memadai, namun ada
mengelola sampah
potensi yang yang baik dari itikad
b. Adanya komunitas bank sampah “My
sebagian warga untuk mengelola sampah
Darling” yang sudah terbentuk dari
plastik secara swadaya, yaitu kelompok
swadaya masyarakat lokal
Masyarakat Sadar Lingkungan “My
2. Weaknesses
DarLing”. Hal ini menunjukkan potensi
a. Kesadaran lingkungan yang rendah
yang baik untuk melakukan suatu
b. Sarana dan Prasarana serta proses
pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
pengelolaan sampah yang tidak
memadai
Sehingga disimpulkan bahwa Desa
3. Opportunities
Saribaye memiliki potensi untuk melakukan
a. Jumlah penduduk produktif yang
besar dan potensi demografi yang pengelolaan sampah berkelanjutan berbasis
masyarakat apabila didukung dengan kegiatan
memadai
yang dapat meningkatkan kesadaran
b. Potensi ekonomi yang besar dari
lingkungan serta dukungan pemerintah dalam
proses pengelolaan sampah
bentuk infrastruktur dan prasaran pengelolaan
berkelanjutan
sampah yang lebih baik dan memadai.
c. Kegiatan pengelolaan sampah yang
berkelanjutan dapat menjadi daya
4.2 Saran
tarik wisata, serta hasil produk yang
unik bisa menjadi ciri khas desa. 1. Perlu diadakannya suatu kegiatan edukasi
4. Threats dan workshop yang dapat meningkatkan
a. Tantangan dalam mengubah pengetahuan serta kesadaran lingkungan
kebiasaan masyarakat masyarakat sehingga masyarakat tidak
b. Pasar dari produk daur ulang yang hanya mengetahui tapi juga menjalankan
masih berkembang kegiatan-kegiatan yang dapat melestarikan
lingkungan.
2. Perlu dirancang suatu sistem pengelolaan
4. SIMPULAN DAN SARAN
sampah secara berkelanjutan dan
4.1 Kesimpulan terintegrasi serta dibangunnya infrastuktur
yang memadai untuk mencegah warga
Berdasarkan dari hasil penelitian dan membuang sampah di bantaran Sungai
analisis dari berbagai sisi dan sudut pandang Jangkok. Hal ini perlu segera dilakukan
serta menjawab pertanyaan riset sebelumnya, melihat terus meningkatnya aktifitas
dapat disebutkan bahwa: pariwisata di Pulau Lombok. Sistem yang
dibangun membutuhkan kerja sama antara
1. Mayoritas warga Saribaye sudah mengerti pemerintah setempah khususnya Dinas
mengenai dampak buruk dari sampah, Lingkungan Hidup dan masyarakat
namun belum mengamalkan pengetahuan setempat agar dapat menjaga keselarasan
tersebut dikehidupan sehari-hari sehingga lingkungan serta mencapai suatu sistem
masih dapat dikatakan belum memiliki pengelolaan sampah yang berkelanjutan.
kesadaran lingkungan. 3. Perlu diadakan suatu skema pelatihan
2. Warga Saribaye memiliki kemauan untuk pengelolaan sampah yang berkelanjutan
mengelola sampah, namun masih terbatas untuk masyarakat serta sistem
oleh sarana dan prasarana yang tersedia. pemantauan/monitoring berkala.

46
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

4. Perlu dilakukan riset yang lebih Joseph, K. (2006). Stakeholder participation


mendalam mengenai proses pengelolaan for sustainable waste management.
sampah di berbagai daerah wisata di NTB Elsevier.
dan dilakukan pengkajian mengenai https://www.sciencedirect.com/science/a
praktek terbaik yang sesuai dengan rticle/pii/S0197397505000524
kondisi sosial masyarakat di NTB Lu, J., & Nepal, S. K. (2009). Sustainable
tourism research: An analysis of papers
Ucapan Terima Kasih published in the Journal of Sustainable
Tourism. In Journal of Sustainable
Ucapan terima kasih disampaikan Tourism (Vol. 17, Issue 1, pp. 5–16).
kepada Bappeda Provinsi NTB dan Dewan https://doi.org/10.1080/09669580802582
Riset Daerah Provinsi NTB atas dukungan 480
selama penyusunan naskah ini dan pihak-
pihak lain yang sudah bersedia memberikan Putri, I. A. T. E., Mardani, N., & Pujaastawa,
data dan saran dalam penyusunan naskah ini. I. (2012). Studi Sistem Pengelolaan
Sampah Berbasis Komunitas Adat Di
Desa Adat Seminyak Kecamatan Kuta
DAFTAR PUSTAKA Kabupaten Badung. In Ecotrophic:
Journal of Environmental Science (Vol.
Artiningsih, N. K. A., Hadi, S. P., &
5, Issue 1).
Syafrudin. (2012). PERAN SERTA
MASYARAKAT DALAM Riswan, Rya Sunoko, H., Hadiyarto, A.,
PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH Kesehatan Kabupaten Hulu Sungai
TANGGA (Studi Kasus di Sampangan & Selatan, D., Selatan, K., Kedokteran, F.,
Jomblang, KotaSemarang). Serat Acitya. Semarang, U., & Teknik Kimia, F.
http://jurnal.untagsmg.ac.id/index.php/sa (2011). PENGELOLAAN SAMPAH
/article/view/29 RUMAH TANGGA DI KECAMATAN
DAHA SELATAN. In Jurnal Ilmu
BKKBN. (2019). Batasan dan Pengertian
Lingkungan (Vol. 9, Issue 1).
MDK.
http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/Batasan Rodic, L., Scheinberg, A., & Wilson, D. C.
MDK.aspx (2010). Comparing Solid Waste
Management in the World ’ s Cities.
BPS. (2019). Istilah.
October, November, 15–18.
https://www.bps.go.id/istilah/index.html
http://www.sswm.info/sites/default/files/
?Istilah_page=4
reference_attachments/UN HABITAT
BPS NTB. (2019). Banyaknya Kunjungan 2010 Solid Waste Management in the
Wisatawan ke Provinsi Nusa Tenggara Worlds Cities.pdf
Barat 2009 -2016.
Setiadi, A. (2015). Studi Pengelolaan Sampah
https://ntb.bps.go.id/dynamictable/2017/
Berbasis Komunitas pada Kawasan
06/07/155/banyaknya-kunjungan-
Permukiman Perkotaan di Yogyakarta.
wisatawan-ke-provinsi-nusa-tenggara-
Jurnal Wilayah Dan Lingkungan, 3(1),
barat-2009---2016.html
27. https://doi.org/10.14710/jwl.3.1.27-
Chambers, R. (1994). Paradigm Shifts and the 38
Practice of Participatory Research and
Utami, B. D., Indrasti, N. S., & Dharmawan,
Development.
A. H. (2008). Pengelolaan Sampah
Dewi, R. P. (2017). PERANCANGAN Rumahtangga Berbasis Komunitas:
SISTEM PENGELOLAAN SAMPAH Teladan dari Dua Komunitas di Sleman
UNTUK MENDUKUNG dan Jakarta Selatan. Sodality - Jurnal
PERKEMBANGAN INDUSTRI Sosiologi Pedesaan, 2(1).
KREATIF DI DAERAH PARIWISATA https://doi.org/10.22500/sodality.v2i1.58
(Issue 3). 93
47
Analisis Potensi Pengelolaan Sampah Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Desa Saribaye….. [Fati Ramadhanti]

Visvanathan, C., Visvanathan, C., Adhikari, Arsitektur KOMPOSISI, 10(5), 315.


R., & Ananth, A. P. (2007). 3R Practices https://doi.org/10.24002/jars.v10i5.1092
for Municipal Solid Waste Management Wilson, D. C. (2007). Development drivers
in Asia Membrane Based Emergency for waste management.
Water Supply View project British https://doi.org/10.1177/0734242X07079
Council, Newton Fund, Institutional 149
Links project “Community Scale,
Decentralised Anaerobic Digestion for World Health Organization. (2002).
Energy and Resource Recovery” Vi. Community participation in local health
https://www.researchgate.net/publication and sustainable development: A working
/268299500 document on approaches and techniques.
Vitasurya, V. R. (2017). SAWITRI (Sampah World Tourism Organization. (2004).
Wisata Pentingsari): Model Pengelolaan Indicators of sustainable development
Sampah Aktivitas Wisata Desa for tourism destinations : a guidebook.
Pentingsari, Yogyakarta. Jurnal World Tourism Organization
.

48
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]

UJI PEMANFAATAN AIR BUANGAN HATCHERY BUDIDAYA IKAN


LAUT UNTUK PENDEDERAN IKAN KERAPU HIBRID CANTANG

Apri I Supii1*),Thania Inas Aprillia2), Akhmad Adi Sulianto 2), Novia Lusiana 2)
1)
Balai Besar Riset Budidaya Laut, Gondol
2)
Program Studi Teknik Lingkungan, Jurusan Keteknikan Pertanian, FTP Universitas Brawijaya
*Email: aprisupii@yahoo.co.id

ABSTRACT

UTILIZATION OF MARINE FISH HATCHERY WASTEWATER FOR NURSEY


HIBRID GROUPER

Buleleng Regency has the potential to develop a hybrid cantang grouper aquaculture
business. However, the cultivation business in Buleleng Regency on average does not have
its own waste disposal site. Ammonia is the most dangerous content of aquaculture waste for
marine life. Ammonia can cause an increase and accumulation of levels of inorganic
compounds that can trigger toxins for some organisms to increase the prevalence of
pathogens and certain fish diseases in the waters. One treatment that can be done in reusing
wastewater is to make wastewater as a place to live fish by processing using filtration and
disinfection methods, namely using silica sand media, zeolite, activated charcoal, palm fiber
and ultraviolet (UV). The purpose of this study is to test the feasibility of water before and
after filtration, and determine the best type of water for the Cantang hybrid grouper nursery.
The method used in this research is a quantitative method using RAL (Completely
Randomized Design) with three treatments and four replications. After that an analysis using
ANOVA is used to determine the effect of the treatment given on the parameters tested. In
the study, the water quality after filtration and disinfection treatment was better than the
water quality before filtration and disinfection treatment, it can be seen in the ability of the
filtration and disinfection method in reducing ammonia, nitrite and total bacterial colonies by
41.30%, 79.75%, and 76.92%, and increase the water pH and phosphate levels to 7.50 and
27.36%. In addition, the use of filtration and disinfection water can increase the survival of
fish by 7.14% compared to using sea water. The survival of groupers using filtration and
disinfection water is 100% while sea water is only 92.86% and wastewater is 57.14%.
Filtration water can reduce bacteria compared to sea water and waste water. Except for the
salinity, ammonia and phosphate parameters which still do not meet the standards.

Keywords: Grouper Fish; UV Light; Water Filtration


potensi wisata pesisir dan bahari yang cukup
1. PENDAHULUAN besar, contohnya dalam pengembangan
usaha budidaya berbagai komoditas laut
1.1 Latar Belakang yang memiliki prospek usaha yang
Perairan Bali Utara dengan luas ± menjanjikan. Tempat budidaya yang berada
3.168 km² yang meliputi beberapa pantai, di Desa Penyabangan tidak memiliki tempat
salah satunya yaitu pantai yang berada di penampungan limbah air budidaya baik
sepanjang Kabupaten Buleleng dengan milik perorangan maupun komunal. Air
panjang ruas pantai sekitar 144 km. Hal ini buangan hasil budidaya pada umumnya
menjadikan Kabupaten Buleleng memiliki dibuang langsung ke bibir pantai yang sudah

ECOTROPHIC14(1):49–61 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395 49
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

dibuatkan saluran pembuangan yang dapat pertumbuhan budidaya ikan kerapu pada
mengalirkan air buangan ke bibir pantai. proses pendederan.
Hasil pengamatan yang dilakukan pada
penelitian air buangan hatchery didapatkan 2. METODOLOGI
data bahwa air buangan budidaya perikanan
yang dibuang langsung ke laut cenderung 2.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
tidak bersifat toxic seperti limbah-limbah
industri yang biasa dihasilkan. Walau tidak Pelaksanaan penelitian dilakukan
bersifat toxic ada satu material air buangan selama satu bulan yaitu dimulai pada 28
yang paling berbahaya yaitu ammonia September sampai 28 Oktober 2019.
nitrogen (Handy&Poxton, 1993). Kadar Penelitian ini dilaksanakan di tempat
ammonia tertentu akan menyebabkan efek budidaya ikan laut Apri Hatchery di Jalan
stres dan toxic pada ikan, serta Raya Seririt-Gilimanuk, Buleleng, Bali.
meningkatkan senyawa anorganik terlarut
2.2 Bahan dan Alat
yang akan memicu eutrofikasi perairan,
potensi blooming plankton, pemicu racun Bahan dasar yang digunakan pada
bagi sebagian organisme akuatik hingga penelitian ini yaitu air laut, air buangan dan
meninggalkan prevelensi patogen dan ikan kerapu hibrid cantang yang diperoleh
penyakit ikan tertentu (Samocha et al., dari hatchery milik bapak Dr. Apri Iman
2004). Hal ini dikarenakan air buangan Supi’I, M.Si, S.Pi. bahan lainnya yang
bekas pemeliharaan ikan mengandung digunakan adalah pasir kuarsa (8-16 mesh)
material organik dan anorganik yang Zeolit (0,5-1,2 mesh), Karbon aktif (4-8
dihasilkan dari sisa pakan, metabolisme, mesh) dan Ijuk. Serta alat yang digunakan
eksresi ikan budidaya dan residu pada penelitian ini seperti, Lampu UV
penggunaan bahan kimia seperti pupuk, obat Merek Aquazonic 30 watt, kran, jaring 0.5
dan desinfektan (Zhou et al., 2015). mm, pompa air 125 watt, akuarium, gunting,
Salah satu treatment yang dapat dilakukan bak filter ukuran 36 cm x 36 cm x 45 cm,
dalam pengolahan air buangan yaitu sterofoam ukuran ukuran 75 cm x 42 cm x
memanfaatkan kembali air buangan sebagai 29 cm, botol kaca, cool box, kamera,
tempat hidup ikan dengan dilakukan penyangga, sambungan pipa, timbangan
pengolahan menggunakan media filter dan digital, penggaris, thermometer, DO meter,
sinar ultraviolet (UV). Berdasarkan tahapan pH meter dan Refraktometer.
pengolahan limbah penambahan media filter
dan sinar UV yang bertujuan untuk 2.3 Pelaksanaan Penelitian
mengurangi konsentrasi ammonia, fosfat, Pelaksanaan penelitian memiliki
nitrit dan beberapa bakteri yang berlebih beberapa tahapan, antara lain persiapan alat
pada air buangan hasil budidaya ikan filtrasi, pengambilan sampel kualitas air,
merupakan tahapan pengolahan limbah pengambilan sampel pertumbuhan ikan,
tersier atau tertiary treatment. Maka dari itu pengujian sampel kualitas air, pengujian
penelitian ini dilakukan guna mengetahui sampel pertumbuhan ikan dan analisis data.
kualitas air sebelum dan setelah proses
filtrasi dengan menggunakan media filter 2.3.1.Persiapan Alat Filtrasi
ijuk pasir kuarsa, zeolit, arang aktif dan juga
Unit filtrasi dan desinfeksi yang
penambahan sinar UV dalam aktivitas
digunakan pada penelitian dibuat dari
pendederan ikan kerapu hibrid cantang.
akuarium dengan ukuran panjang 45 cm,
Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji
lebar 36 cm dan tinggi 36 cm. Kemudian
kelayakan air buangan hatchery budidaya
akuarium dilubangi pada bagian bawah
ikan laut sebelum dan setelah dilakukan
berguna sebagai saluran yang mengalirkan
proses filtrasi dan desinfeksi dan
air hasil filtrasi menuju UV water sterillizer
menentukan jenis air terbaik untuk
dengan kapasitas 30 Watt sebelum akhirnya
50
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]

dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku sebagai wadah filter dibagi menjadi lima
perkembangan ikan kerapu hibrid cantang. bagian filter yaitu adalah ijuk, pasir silika,
Penggunaan UV water Sterillize setelah air zeolit dan yang terakhir merupakan arang
melewati media filter disebabkan aktif. Pada media filter arang aktif memiliki
penggunaan sinar UV di awal perlakuan ketebalan 12.5 cm, ketebalan pasir silika
tidak efektif pada air keruh karena daya yaitu 12.5 cm, ketebalan zeolit yaitu 11 cm
desinfektannya hanya dapat menembus dan ketebalan arang aktif yaitu 9 cm.
beberapa centimeter dari permukaan air Adapun ambar skema air dapat dilihat pada
(Priano dan Satyani, 2012). Pada akuarium Gambar 1.

Input
Urutan media filter
1. Ijuk
12.5 cm
2. Pasir kuarsa
3. Zeolite
4. Arang aktif Bak filter 12.5 cm

11 cm

9 cm

36 cm
42 cm

Bak UV
Output

75 cm

Gambar 1. Skema Air Filtrasi Dan Desinfeksi


dengan keadaan terbuka, kemudian dibilas
2.3.2 Pengambilan Sampel Kualitas Air
sebanyak 3 kali, lalu diisi dengan air
A. Air Buangan kemudian tutup botol tersebut sebelum
Pengambilan sampel air dengan cara dinaikkan kedaratan agar oksigen tidak
mencelupkan botol dengan hati-hati ke masuk kedalam air tersebut. Prosedur
dalam air dengan posisi mulut botol pengambilan sampel air laut yang dilakukan
berlawanan dengan aliran air, sehingga air pada penelitian sudah sesuai dengan Standar
masuk ke dalam botol dengan tenang, Nasional Indonesia. 6984.8.2015, mengenai
kemudian isi botol sampai penuh dan pengambilan sampel air laut pada parameter
hindari terjadinya turbulensi dan gelembung in situ seperti suhu, pH, salinitas, oksigen
udara selama pengisian, setelah itu botol terlarut, dan lainnya.
ditutup rapat pada saat botol masih berada di
C. Air Filtrasi
dalam air (SNI 6989.59:2008). Pengambilan
Pengambilan sampel air filtrasi dan
sampel air buangan budidaya ikan laut
desinfeksi pada akuarium ikan kerapu
sesuai yang sudah ditetapkan oleh SNI maka
dilakukan dengan memasukkan botol uji
pengambilan sampel dilakukan pada saluran
pada bak penampungan yang sebelumnya
sekitar mulut pipa air.
sudah dibilas sebanyak tiga kali, setelah
B. Air Laut dibilas air ditampung pada botol uji dan
Pengambilan sampel air laut dilakukan botol uji ditutup ketika masih berada di
dengan botol uji dimasukkan ke dalam air dalam air agar tidak ada oksigen yang

51
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

terperangkap. Pengambilan sampel air hanya dilakukan perhitungan pertumbuhan panjang


dilakukan di satu titik karena aquarium yang mutlak, pertumbuhan bobot mutlak, laju
digunakan sebagai wadah air filter dan pertumbuhan dan kelangsungan hidup.
desinfeksi berukuran kecil dengan volume Laju pertumbuhan spesifik adalah
air 22.464 liter dan sistem pergantian air pertumbuhan ikan dalam berat selama waktu
yang digunakan adalah air mengalir pemeliharaan. Rumus yang digunakan pada
sehingga dianggap homogen. perhitungan laju pertumbuhan spesifik
menurut Effendie (2002).
2.3.3 Pengambilan Sampel Pertumbuhan
Ikan 𝐼𝑛𝑃𝑡−𝐼𝑛𝑃𝑜
g= x 100% (1)
𝑡
Sampling dilakukan dengan cara
mengambil seluruh ikan kerapu hibrid Keterangan:
cantang ukuran dan bobot disetiap perlakuan g = Laju pertumbuhan spesifik individu
pada empat kali pengulangan yang (%/hari)
dilakukan pengukuran pertumbuhan ikan Pt = Bobot rata-rata ikan uji pada akhir pada
kerapu hibrid cantang setiap minggu baik akhir penelitian (gram)
pada bobot ikan maupun panjang ikan Po= Bobot rata-rata ikan uji pada awal
menggunakan milimeterblock dengan skala penelitian (gram)
ketelitian 0,1 cm untuk mengukur panjang, t = Lamanya penelitian (hari)
sedangkan untuk pengukuran bobot ikan Pertumbuhan ikan dapat dibedakan
menggunakan timbangan digital. menjadi dua yaitu pertumbuhan panjang
mutak (PMP) dan pertumbuhan bobot
2.3.4 Pengujian Sampel Kualitas Air multak (PMB) yang dapat dihitung
Pada penelitian dilakukan dua menggunakan rumus Effendi et al (2006)
pengujian yaitu uji kualitas air laut, air sebagai berikut:
buangan setelah dan sebelum filtrasi dan
desinfeksi dan yang kedua adalah uji L = L2-L1 (2)
pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan
kerapu hibrid cantang. Pada uji kualitas air Keterangan:
pada 3 perlakuan yaitu air laut, air buangan L = Pertumbuhan panjang mutlak individu
dan air filtrasi menguji parameter yang (cm)
sama, antara lain suhu, pH, salinitas, L2 = panjang akhir ikan(cm)
oksigen terlarut, nitrit, ammonia, dan fosfat. L1= Panjang awal ikan (cm)
Pada pengujian kualitas air ini dapat dilihat
beberapa perubahan pada parameter yang Adapun rumus yang digunakan untuk
terjadi sebelum dan sesudah air digunakan mengukur bobot multak dapat dihitung
dalam proses budidaya dan setelah air menggunakan rumus Dewantoro (2001),
difiltrasi. sebagai berikut:

2.3.5 Pengujian Sampel Pertumbuhan W = Wt-W0 (3)


Ikan
Keterangan:
Pada uji pertumbuhan dilakukan dengan W= Pertumbuhan bobot mutlak individu
pengukuran panjang menggunakan (gram)
millimeterblok dan pengukuran bobot Wt = Bobot akhir ikan (gram)
menggunakan timbangan analitik pada W0= Bobot awal ikan (gram)
masing-masing perlakuan yang diberikan
setiap satu minggu sekali terhitung dari awal Kelangsungan hidup merupakan
ikan masuk ke bak perlakuan. Setelah sejumlah organisme yang hidup pada akhir
didapatkan data setiap minggunya maka pemeliharaan yang dinyatakan dalam

52
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]

persentase (Damayanti et al., 2018). 3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Menurut Effendie (2002), pengujian yang
dilakukan pada parameter ukur 3.1 Hasil Pengujian Kualitas Air
kelangsungan hidup (survival rate) yang A. Suhu
diamati dengan menghitung jumlah ikan Suhu air laut (AL) sangat berpengaruh
pada akhir penelitian dan dihitung terhadap kelangsungan hidup dan
berdasarkan rumus yaitu: pertumbuhan ikan laut, dimana perubahan
𝑁𝑡
suhu air laut sangat berpengaruh dalam
Sr= 𝑁𝑜 x100% (4) kecepatan metabolisme tubuh dan berkaitan
dengan konsentrasi oksigen terlarut (Lestari
Keterangan: dan Dewantoro, 2018). Berdasarkan hasil
Sr = Tingkat kelangsungan hidup ikan pengukuran yang didapatkan, suhu air pada
uji(%) penelitian masih memenuhi SNI
Nt = Jumlah ikan uji yang hidup pada akhir 8036.2:2014 yaitu berkisar antara 280C -
penelitian (ekor) 320C. Perbadaan suhu yang terjadi dapat
No = Jumlah ikan uji yang hidup pada awal disebabkan oleh proses biokimia, melalui
penelitian (ekor) mikroorganisme yang dapat menghasilkan
panas (Patty, 2013). Berasal dari pernyataan
2.4 Analisis Data Patty (2013) mempertegas hasil pengujian
bakteri diawal penelitian yang dilakukan,
Metode analisis data yang digunakan
bahwa pada air buangan (AB) dan air filtrasi
adalah analisis varian (ANOVA) dengan
(AF) masih terdapat mikororganisme
kategori Rancangan Acak Lengkap (RAL)
didalam air yang dapat menimbulkan panas.
dengan tujuan untuk mengetahui adanya
Hasil uji kualitas air sampel terhadap suhu
pengaruh perbedaan sampel/perlakuan yang
dapat dilihat pada Gambar 2.
diamati. Dimisalkan terdapat t adalah
jumlah data dan r merupakan jumlah B. Derajat Keasaman (pH)
pengulangan. Sehingga terdapat tr satuan Derajat keasaman air laut dapat
percobaan dengan hasil undian atau angka mempengaruhi pendengaran ikan yang akan
acak yang diperoleh perlakuan-perlakuan mengakibatkan ikan akan sulit mendapatkan
tersebut ditempatkan pada satuan percobaan makanan sehingga dapat mempengaruhi
tersebut (Lentner & Bishop, 1986). Setelah pertumbuhan ikan kerapu (Sudjiharno dan
dilakukan analisis menggunakan ANOVA Winanto, 1998). Pada hasil pengamatan saat
dengan software statistical package for the dibandingkan dengan baku mutu pH sampel
social siences (SPSS) 16.0. dan didapatkan air masih memenuhi SNI 8036.2:2014 yaitu
hasil akhir analisis berupa nila Fhitung maka berkisar antara 7,5 sampai dengan 8,5. Hal
akan dilakukan perbandingan antara Fhitung ini menjelaskan bahwa pada proses filtrasi
dengan Ftabel dengan tingakat signifikan (α = yang dilakukan sudah mampu menyaring
0,05). Jika nilai Fhitung ≤ Ftabel maka H0 bahan organik yang dapat melakukan
diterima yang tidak ada pengaruh pada kegiatan fotosintesis di dalam air.
penelitian yang dilakukan. Akan tetapi, jika Sedangkan pada air buangan ketika
nilai Fhitung > Ftabel maka H0 tidak di terima dilakukan pengukuran didapatkan pH yang
yang artinya pada penelitian yang dilakukan masih dibawah standar baku mutu yaitu
terdapat pengaruh. Jika didapatkan hasil sebesar 7.49 karena disebabkan oleh
Fhitung > Ftabel yang artinya pada penelitian pencemaran limbah yang mengandung
terdapat pengaruh maka dilanjutkan dengan bahan-bahan organik yang mempengaruhi
uji lanjut Tukey atau BNJ (Beda Nyata pH air laut (Manik, 2003). Hasil uji kualitas
Jujur) dengan tingkat signifikan (α = 0,05). air sampel terhadap pH air dapat dilihat pada
Gambar 3.

53
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

C. Oksigen Terlarut TCBS. Bakteri yang terdapat pada air laut,


Oksigen terlarut memiliki peranan air filtrasi dan air buangan setelah diuji TSA
penting terhadap pertumbuhan ikan karena dan TCBS dapat menyebabkan
oksigen terlarut dibutuhkan oleh ikan untuk kelangsungan hidup ikan kerapu menurun,
bernafas, proses metabolisme atau borok pada tubuh ikan, nafsu makan
pertukaran zat yang kemudian menghasilkan menurun, ikan kerapu cantang menjadi
energi, energi tersebut digunakan untuk menghitam yang dapat menurunkan harga
pertumbuhan dan perbiakan ikan (Salmin, jual dipasaran (Desrina et al., 2006). Hal ini
2005). Hasil pengukuran masih memenuhi tentu mempengaruhi ikan kerapu cantang
SNI 8036.2:2014 yaitu minimal 4 mg/L. yang dihasilkan tidak bagus karena dan
Pada hasil pengujian yang dilakukan membuat kerugian bagi para pemilik usaha
didapatkan hasil air buangan dan air filtrasi budidaya. Faktor yang mempengaruhi
yang lebih rendah dibandingkan dengan air perkembangan bakteri vibrio di suatu
laut karena pada air buangan dan air filtrasi perairan dapat disebabkan oleh pH, aktivitas
terdapat bakteri-bakteri anaerobik yang air, kemampuan mengoksidasi-reduksi,
menggunakan oksigen dalam proses kandungan nutrient, bahan yang terkandung
pemecahan bahan-bahan organik. Hasil uji pada bakteri, struktur bahan makanan yang
kualitas air sampel terhadap oksigen terlarut terkandung pada suatu wilayah, suhu air,
dapat dilihat pada Gambar 4. oksigen terlarut, cahaya dan intensitas sinar
ultraviolet (Hikmawati et al., 2019). Hasil
D. Salinitas
uji kualitas air sampel terhadap bakteri
Salinitas air laut memiliki peranan
vibrio dapat dilihat pada Gambar 6.
penting terhadap perumbuhan ikan
dikarenakan salinitas air akan F. Ammonia
mempengaruhi nafsu makan ikan, sehingga Ammonia pada air laut mempengaruhi
tingginya salinitas akan meningkatkan nafsu makan ikan, dimana semakin tinggi air
pertumbuhan ikan jika diimbangi dengan laut nafsu makan ikan akan berkurang
pemberian makan yang optimal sehingga pertumbuhan ikan juga akan
(Septianawati dan Tjahjaningsih, 2010). terhambat. Pada penelitian didapatkan
Hasil pengukuran salinitas air buangan dan kandungan ammoni di air filtrasi berkurang.
air filtrasi saat dibandingkan dengan baku Hal ini dikarenakan zeolite memiliki
mutu sudah melebihi standar yaitu 33 ppt. kemampuan menghilangkan ammonia
Adapun faktor yang mempengaruhi dengan menukarkan ion natrium yang
kenaikan salinitas pada air filter dan air dibutuhkan oleh ikan. Hasil uji kualitas air
buangan yaitu pola sirkulasi air, penguapan terhadap konsentrasi ammonia. Hasil uji
dan curah hujan (Patty et al, 2015). Pada air kualitas air sampel terhadap ammonia dapat
filtrasi dan air buangan di dapatkan nilai dilihat pada Gambar 7.
yang sama karena menurut Kalangi et al G. Fosfat
(2013), salinitas air cenderung konstan dan Fosfat di perairan sangat berpengaruh
tidak berubah, maka dari itu pada air filtrasi
terhadap pertumbuhan ikan karena
yang mengunakan air buangan tidak kadungan fosfat didalam air akan
mengalami perubahan salinitas. Hasil uji mempengaruhi metabolisme pada ikan
kualitas air sampel terhadap salinitas dapat (khairuman, 2002). Pada air laut diketahui
dilihat pada Gambar 5. jika pengambilan air dilakukan dengan
E. Bakteri Vibrio menggunakan pompa pada kedalaman
Berdasarkan hasil pengujian yang kurang lebih 15-20 cm dari atas permukaan
sudah dilakukan didapatkan hasil yang air laut yang cenderung kondisi perairannya
cukup baik pada data air filtrasi. Hal ini di lebih tenang. Maka dari itu pada pengukuran
tunjukkan pada pengujian dengan isolasi air sampel air laut kadar fosfat masih cukup
bakteri menggunakan media TSA dan kecil dibandingkan sampel air yang lainnya.

54
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]

Sedangkan tingginya kadar fosfat di air kanibalisme Kadar nitrit yang terlalu tinggi
filtrasi dan air buangan ini dapat disebabkan dapat menghambat kemampuan darah dalam
oleh tingginya difusi fosfat dari sedimen membawa oksigen yang akan mengakibatkan
yang berasal dari air buangan sisa budidaya gelisah dan menghambat metabolisme ikan
(Patty et al., 2015). Hasil uji kualitas air yang akan menyababkan kematian pada ikan
sampel terhadap fosfat dapat dilihat pada (Mustafa dan Athirah, 2014). Adapun grafik
Gambar 8. perbandinga rata-rata pertumbuhan robot
ikan dapat dilihat pada Gambar 10 dan hasil
H. Nitrit
uji BNJ pertumbuhan bobot mutlak ikan
Nitrit pada perairan mempengaruhi
dapat dilihat pada Tabel 1.
pertumbuhan ikan kerapu karena nitrit akan
mempengaruhi kemampuan darah dalam
Tabel 1. Uji BNJ Terhadap Pertumbuhan
membawa oksigen, dimana tingginya
Bobot Mutlak Ikan
kandungan nitrit didalam air akan
menghambat metabolisme pada ikan. Subset Notasi
Berdasarkan hasi pengukuran kadar nitrit Perlakuan N 1 2
pada air buangan hampir mendekati 1 mg/L.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh aktivitas AB 4 5.7200 a
hatchery yang tinggi sehingga bahan
organik yang di produksi pada air buangan AF 4 6.1000 a
juga meningkat. Penguraian bahan organik
oleh mikrooganisme memerlukan oksigen AL 4 8.9775 b
dalam jumlah yang besar. Pada air filtrasi
dengan air buangan kadar nitrit dari data Sig. .881 1.000
penelitian menurun hingga 79.75% hal ini Sumber: Hasil Olahan Data
dipengaruhi oleh oksigen yang tersedia Keterangan: BNJ = 2.2019
cukup banyak. Dengan bantuan bakteri,
oksigen akan mengoksidasi nitrit menjadi Dari hasil uji lanjut BNJ diketahui jika
nitrat dan mengakibatkan kandungan nitrit semikin baik kualitas airnya maka akan
pada air sampel akan menjadi kecil semakin tinggi rata-rata pertumbuhan bobot
(Risamasu dan Prayitno, 2011). Hasil uji mutlak ikan. Berdasarkan hasil tersebut
kualitas air sampel terhadap nitrit dapat perlakuan menggunakan air buangan dan air
dilihat pada Gambar 9. filtrasi menunjukan hasil yang tidak
signifikan berbeda, sehingga kedua
3.2 Pengujian Pertumbuhan Ikan perlakuan tersebut memiliki pertumbuhan
A. Pertumbuhan Bobot Mutlak panjang mutlak yang sama. Sedangkan pada
Berdasarkan hasil pengukuran yang perlakuan menggunakan air laut berbeda
dilakukan pada masing-masing perlakuan nyata dengan perlakuan air buangan dan air
didapatkan jika setiap minggunya bobot ikan filtrasi. Hal ini disebabkan karena kualitas
mengalami kenaikan yang dapat dilihat pada air laut lebih baik untuk meningkatkan
Gambar 10. Perbedaan pertumbuhan bobot bobot ikan.
mutlak ikan dimasing-masing perlakuan
mengalami perbedaan yang dipengaruhi oleh B. Pertumbuhan Panjang Mutlak Ikan
kualitas air. Pemberian pakan ikan kerapu Berdasarkan hasil pertumbuhan
tergatung dengan suhu dan salinitas air, panjang ikan dimasing-masing perlakuan
apabila suhu dan salinitas air meningkat mengalami peningkatan kecuali pada
maka nafsu makan ikan kerapu ikut penggunaan air buangan yang dapat dilihat
meningkat. Ketika nafsu makan ikan pada Gambar 11. Perbedaan yang terjadi
meningkat tetapi pemberian pakan diberikan disebabkan oleh kualitas air yang digunakan
tidak sesuai maka akan menyebabkan berbeda-beda. Rendahnya pH air laut dapat

55
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

mempengaruhi pendengaran ikan sehingga tentu dapat menghambat kemampuan darah


menyebabkan ikan sulit mendapatkan dalam membawa oksigen dan
makanan dan jika dibiarkan ikan tidak akan mempengaruhi metabolisme pada ikan,
mengalami pertumbuhan, hal ini diperkuat sehingga menyebabkan pertumbuhan
juga dengan tingginya kadungan ammonia panjang ikan kerapu di masing-masing
pada air buangan menyababkan nafsu makan perlakuan pada minggu pertama pengukuran
ikan berkurang (Sudjiharno dan Winanto, mengalami perbedaan. Adapun uji F
1998). Selain itu, rendahnya kandungan Terhadap pertumbuhan panjang mutlak ikan
fosfat dan tingginya kadar nitrit pada air dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Uji F Terhadap Pertumbuhan Panjang Mutlak Ikan


Mean
Model Sum of Squares df Square F Sig.
1 Regression
.405 1 .405 3.545 .089a

Residual
1.142 10 .114

Total
1.547 11

Sumber: Hasil Olahan Data


Keterangan: F tabel = 3.86

Berdasarkan Tabel 2 dapat terlihat menyebabkan stres pada ikan dan menjadi
tidak adanya pengaruh antara perlakuan lemah serta nafsu makan yang akan
menggunakan air laut, air buangan dan air menurun (Khairuman, 2002). Adapun
filtrasi terhadap pertumbuhan panjang kualitas air yang mempengaruhi tingginya
mutlak ikan. Pada regression, Fhitung<Ftabel laju pertumbuhan ikan pada air laut
(3.545<3.86), sehingga dapat disimpulkan dibandingkan dengan air filtrasi yaitu
bahwa perlakuan yang diberikan tidak salinitas, semakin tinggi salinitas air akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan panjang semakin tinggi nafsu makan ikan yang akan
mutlak ikan dan tidak perlu dilakukan menyebabkan kanibalisme pada ikan kerapu
pengujian menggunakan BNJ (5%). sehingga ikan akan terluka dan akhirnya
mati. selain itu kadar ammonia dapat
mempengaruhi laju pertumbuhan tingginya
C. Laju Pertumbuhan
ammonia dalam air dapat menganggu proses
Hasil penelitian menunjukan
peningkatan oksigen oleh darah dan pada
persentase laju pertumbuhan ikan kerapu
akhirnya dapat mengakibatkan sufokasi dan
hibrid cantang dengan menggunakan air
terjadi kematian pada ikan, Hal ini di
laut, air filtrasi dan air buangan secara
perjelas dengan pada grafik laju
berurutan yaitu 5.25 %/hari, 4.21 %/hari dan
pertumbuhan air laut. Adapun hasil uji bnj
4.06 %/hari. Perbedaan laju pertumbuhan
laju pertumbuhan ikan dapat dilihat pada
pada masing-masing perlakuan ditentukan
Tabel 3.
oleh kualitas air, pakan dan padat tebar.
Kekurangan pakan akan memperlambat laju
pertumbuhan dan akan menyebabkan
kanibalisme pada ikan, sedangkan
pemberian pakan yang secara berlebihan
akan mencemari perairan yang akan

56
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]

Tabel 3. Uji BNJ Laju Pertumbuhan Ikan filtrasi dengan pengujian TSA didapatkan
Subset total koloni bakteri sebanyak 5 x 100
Notasi CFU/mg dan pengujian penggunakan TCBS
Perlakuan N 1 2 sebayak 1 x 100 CFU/mg. Pada penggunaan
AB a air laut didapatkan total koloni bakteri pada
4 28.4475 pengujian TSA dan TCBS sebesar 7 x 100
CFU/mg dan 4 x 100 CFU/mg. Kematian
AF a ikan kerapu yang disebabkan oleh bakteri di
4 29.4725
perjelas dengan pengecekan borok pada ikan
AL b menggunakan media TSA dan TCBS
4 36.7300
sebanyak 1476 x 103 CFU/mg dan 1250 x
Sig.
103 CFU/mg. Bakteri-bakteri yang terdapat
.886 1.000 didalam air seperti bakteri vibrio dapat
menyebabkan kerusakan pada tubuh ikan
Sumber: Olah Data
Keterangan: BNJ = 6.0552 serta berubahnya nafsu makan pada ikan.
Adapun hasil Uji BNJ Laju Pertumbuhan
Dari hasil uji lanjut BNJ diketahui jika Ikan dapat dilihat pada Tabel 4.
semikin baik kualitas airnya maka akan
semakin tinggi laju pertumbuhan ikan. Tabel 4. Uji BNJ Laju Pertumbuhan Ikan
Berdasarkan hasil tersebut perlakuan Subset
menggunakan air buangan dan air filtrasi Perlakuan Notasi
menunjukan hasil yang tidak signifikan N 1 2
berbeda, sehingga kedua perlakuan tersebut AB a
memiliki pertumbuhan panjang mutlak yang 4 57.1425
sama. Sedangkan pada perlakuan
menggunakan air laut berbeda nyata dengan AL b
4 92.8550
perlakuan air buangan dan air filtrasi. Hal
ini disebabkan karena kualitas air laut lebih AF b
baik untuk meningkatkan pertumbuhan ikan. 4 100.0000
Adapun grafik laju pertumbuhan panjang
ikan dapat dilihat pada Gambar 12. Sig. 1.000 .711
Sumber: Hasil Olahan Data
D. Kelangsungan Hidup Keterangan: BNJ = 35.1858
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase kelangsungan hidup ikan kerapu Dari hasil uji lanjut BNJ dapat diketahui
hibrid cantang dengan menggunakan air bahwa semakin sedikitnya ikan yang mati
filtrasi lebih besar dibandingkan dengan maka semakin tinggi kelangsungan
penggunaan air laut dan air buangan. Hal ini hidupnya. Berdasarkan hasil uji BNJ
dipengaruhi oleh tingginya kematian ikan diketahui perlakuan menggunakan air
yang disebabkan oleh bakteri yang ada pada buangan berbeda nyata dengan air laut dan
air yang digunakan. Berdasarkan data air filtrasi yang disebabkan karena
penelitian bakteri yang paling banyak banyaknya ikan yang mati pada air buangan.
terdapat pada air buangan yang dimana pada Sedangkan pada air laut dan air buangan
pengujian TSA didapatkan total koloni tidak berbeda nyata karena perbandingan
bakteri sebanyak 11 x 102 CFU/mg dan ikan yang mati pada air laut dengan air
untuk pengujian TCBS didapatkan total filtrasi hanya 2 ekor. Adapun Grafik
koloni bakteri sebanyak 15 x 102 CFU/mg. kelansungan hidup ikan dapat dilihat pada
Sedangkan, total koloni bakteri yang paling Gambar 13.
sedikit didapatkan pada penggunaan air

57
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

33 16

Bakteri (CFU/mg)
Suhu (Celcius)
32
31 12
30 suhu TCBS
8
29
TSA
28 4
27
AL AB AF 0
Jenis Air AL AB AF
Jenis Air

Gambar 2. Perbandingan Suhu Sampel Air Gambar 6. Perbandingan Bakteri Sampel Air
Awal Awal

7.5 0.05
7.5

Fosfat (mg/L)
7.5 0.0375
7.5 pH
pH

7.5 0.025
Fosfat
7.5
7.5 0.0125
7.5
AL AB AF 0.
AL AF AB
Jenis Air
Jenis Perlakuan

Gambar 3. Perbandingan pH Sampel Air Gambar 8. Perbandingan Fosfat Sampel Air


Awal Awal

35
7.
Salinitas (ppt)

34
Oksigen terlarut

5.3 33
Salinitas
(mg/L)

3.5 Oksigen Terlarut 32 standar maksimal


standar minimal 32
1.8
31
0.
AL AB AF
AL AB AF
Jenis Perlakuan
Jenis Perlakuan

Gambar 5. Perbandingan Salinitas Sampel Air


Gambar 4. Perbandingan Oksigen Terlarut Awal
Sampel Air Awal

58
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]

Ammonia (mg/L) 1.125 1.25


0.9 1.

Nitrit (mg/L)
0.675 nitrit
Amonia 0.75 standar…
0.45
0.5
0.225
0. 0.25
AL AF AB 0.
Jenis Perlakuan AL AF AB
Jenis Perlakuan
Gambar 7.Perbandingan Ammonia Sampel Air
Awal
Gambar 9. Perbandingan Nitrit
Sampel Awal

15.
air laut
12. air buangan
Bobot (gram)

air filtrasi
9.

6.

3.

0.
minggu ke-0 minggu ke-1 minggu ke-2 minggu ke-3 minggu ke 4
Pengukuran

Gambar 10. Grafik Perbandingan Rata-Rata Pertumbuhan Bobot Ikan

9.

6.75
Panjang (cm)

4.5 Air laut


Air buangan
2.25 Air filtrasi

0.
minggu ke-0 minggu ke1 minggu ke2 minggu ke3 minggu ke-4
Pengukuran

Gambar 11 Grafik Perbandingan Rata-Rata Pertumbuhan Panjang Ikan

59
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

46.25 125.
Laju Pertumbuhan

Kelangsungan
37. 100.

Hidup (%)
75.
(%/hari)
27.75
50.
18.5
25.
9.25 0.
0. air Laut air air filter
air laut air bungan air filtrasi buangan
Jenis Air Jenis Air

Gambar 12 Grafik Laju Pertumbuhan Panjang


Ikan Gambar 13 Grafik Kelangsungan Hidup Ikan
Pada Masing-masing Perlakuan

pertumbuhan ikan dan kelangsungan


4. SIMPULAN hidup ikan. Namun penggunaan air
filter dan desinfektan tidak berpengaruh
1. Kualitas air setelah dilakukan perlakuan terhadap pertumbuhan panjang mutlak
filtrasi dan desinfeksi lebih baik ikan kerapu hibrid cantang dalam proses
dibandingkan dengan kualitas air pendederan.
sebelum dilakukan perlakuan filtrasi
dan desinfesik, dapat dilihat pada
kemampuan metode filtrasi dan DAFTAR PUSTAKA
desinfeksi dalam menurunkan kadar Damayanti., Eka indah Raharjo dan Farida.
ammonia sebesar 41.30%, menurukan 2018. Sistem Resirkulasi
kadar nitrit sebesar 79.75%, Menggunakan Kombinasi Filtrasi
mengurangi total koloni bakteri Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan
sebanyak 76.92%, miningkatkan pH air Benih Ikan Jelawat (Leptobarbus
menjadi 7.50 dan meningkatkan kadar Hoeveni). Jurnal Ruaya. Vol. 6,
fosfat sebesar 27.36%. No.2:1-8.
2. Air filtrasi yang dilakukan didapatkan Desrina., Arief Taslihan., Ambariyanto dan
laju pertumbuhan ikan sebesar 4.21
Susiani suryaningrum. 2006. Uji
%/hari sedangkan pada air buangan Keganasan Bakteri Vibrio Pada Ikan
yaitu sebesar 4.06 %/haridan pada iar Kerapu Macan (Epinephelus
laut sebesar 5.25 %/hari. Selain itu Fuscoguttatus). Ilmu Kelautan.
kelangsungan hidup ikan kerapu Volume. 11(3):119-125.
menggunakan air filtrasi sebesar 100%
sedangkan air laut hanya sebesar Dewantoro, G.W. 2001. Fekunditas Dan
92.86% dan air buangan sebesar Produksi Larva Pada Ikan Cupang
57.14%. Pada penelitian yang dilakukan (Berra Splendens Regan) Yang
didapatkan hasil bahwa filter mampu Berbeda Umur Dan Pakan Alaminya.
mereduksi bakteri dibandingkan dengan Fakultas Biologi, Universitas
air laut dan air buangan. Kecuali untuk Nasional Jakarta. Jurnal
parameter salinitas, ammonia dan fosfat Iktiologi Indonesia, 1(2):49-52.
yang masih belum memenuhi standar. Effendie MI. 2002. Biologi perikanan.
3. Penggunaan air filter dan desinfektan Yayasan Pustaka Nusatama,
pada proses pendederan ikan kerapu Yogyakarta..
cantang hanya berpengaruh terhadap Effendi, I., N.J. Bugri dan Widanarmi. 2006.
pertumbuhan bobot mutlak ikan, laju Pengaruh Pada Penebaran

60
Uji Pemanfaatan Air Buangan Hatchery Budidaya Ikan Laut Untuk Pendederan Ikan….. [Apri I Supii, dkk.]

Terhadap Pertumbuhan Benih Risamasu, Fonny J.L dan Hanif Budi


Ikan Gurami Osphronemus Prayitno. 2011. Kajian Zat
Gouramy Ukuran 2 cm. Jurnal Hara Fosfat, Nitrit, Nitrat Dan Silikat
Akuakultur Indonesia , 5 (2): 127-135. Di Perairan Kepualauan Matasiri,
Kalimantan Selatan. Ilmu
Handy, R. D dan Poxton, M.G. 1993.
Kelautan. Vol. 16(3): 135-142.
Nitrigen pollution In mariculture:
Toxicity And Excretion Of Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) Dan
Nitrogenous Compounds By Marine Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Fish. Rev. Fish Biol. Fish. 205-241. Sebagai Salah Satu Indikator Untuk
Menentukan Kualitas Perairan.
Hikmawati, Farida., Ari Susilowati dan
Oseana, Volume 30,Nomor 3:
Ratna Setyaningsih. 2019. Deteksi
21-26
Jumlah dan Uji Patogenitas Vibrio
spp. Pada Kerang Hijau (Perna Samocha, T.M., Lopez, I.M., Jones, E.R.,
viridis) Dikawasan Wisata Pantai Jackson, S dan Lawrence, A.L.2004.
Yogyakarta. PROS SEM NAS MASY Characterization Of Intake And
BIODIF INDOV: volume 5, Nomor Effluent Water From Intensive And
2(334-339) Semiuntensive Shrimp Farms In
Kalangi, Patrice NI., Aselum Mandagi., Texas. Aquaculture Research, 35, 321-
339.
KWA Masengi., Alfert Luasunaunh.,
FTP Pangalila dan Masamitsu Iwata. Septianawati., Atmira dan Wahyu
2013. Sebaran Suhu Dan Salinitas Di Tjahjaningsih.2010. Manajemen
Teluk Manado.Jurnal Perikanan dan pembesaran Kerapu Tikus
Kelautan Tropis IX(2):71-75 (cromileptes altivesis) Di Balai Besar
Pengembangan Budidaya Air Payau
Khairuman. 2002. Budidaya Patin Super.
(BBPBAP) Jepara Jawa Timur.
Agromedia Pustaka. Jakarta
Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan
Lestari, Tuti Puji dan Eko Dewantoro. 2018. Vol, 2, No.1.
Pengaruh Suhu Media Pemeliharaan
Sudjiharno dan Winanto, T.
Terhadap Laju Pemangsaan dan
1998.Pembenihan Kerapu Macan
Pertumbuhan Larva Ikan Lele Dumbo
(Clarias Gariepinus). Jurnal Ruaya (Ephinephelus Fuscoguuatus).
Dapartemen Pertanian Direktorat
Vol.6. No.1.
Jendral Perikanan Balai Budidaya
Manik, K.E.S. 2003. Pengelolaan Laut Lampung. 16-17 hal.
Lingkungan Hidup. Djambatan
Standar Nasional Inodnesia (SNI)
Jakarta.
6989.59:2008. Metode Pengambilan
Patty, Simon I. 2013. Distribusi Suhu, Contoh Air Limbah. Badan
Salinitas Dan Oksigen Terlarut Di Standarisasi Nasional.
Perairan Kema,Sulawesi
Zhou, L., Boyd C., Brady, Y., Chappel, J
Utara. Jurnal Ilmiah Platax. Vol. 1(3).
dan Li, X. (2015). Investigation
Patty, Simon I., Hairat Arfah dan Malik S. Of Ammonia Niyrogen In
Abdul. 2015. Zat Hara (Fosfat, Aquaculture: The Methodology,
Nitrat), Oksigen Terlarut Dan pH Concentrations, Removal And
Kaitannya Dengan Kesuburan Di Pond Fertilization. Dissertation Of
Perairan Jikumersa, Pulau Buru. Graduate Faculty Of Auburn
Jurnal Pesisir dan Laut Tropis. University. Alabama, USA, 116
Volume 1, Nomor 1(43-50). pp.

61
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]

PRELEMINARY ANALYSIS OF CAUSE-EFFECT ON FOREST-


PEATLAND FIRES PRIOR TO 2020 IN CENTRAL KALIMANTAN

Nina Yulianti123*), Kitso Kusin23), Elvi Murni3), Dedy3), Betrixia Barbara1), Daisuke
Naito4567), Osamu Kozan56), Yusurum Jagau123), Ici Piter Kulu13), Fengky Florante Adji13),
Kurniawan Eko Susetyo7)
1)
Faculty of Agriculture, University of Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia
2)
Graduate Program of Environmental Science, University of Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia
3)
UPT. LLG - CIMTROP, University of Palangka Raya, Palangka Raya, Indonesia
4)
Faculty of Agriculture, Kyoto University, Kyoto, Japan
5)
CSEAS, Kyoto University, Kyoto, Japan
6)
Research Institute for Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Japan
7)
Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor, Indonesia
*Email: nyulianti@agr.upr.ac.id

ABSTRACT

Central Kalimantan covers an area of 157,983 km2 with more than 2,000 km2 of tropical
peatlands, which is one of the buffer regions of Indonesia's new capital government city.
However, the sad story is the conversion of about one million hectares from peat swamp forests
(PSF) to rice fields occurred in the mid-1990s, so called the Mega Rice Project (MRP). Since
then, forest and peatland fires become an annual event due to high level of degradation under the
climate change symptoms such the frequent of the El Niño event. In very strong El Niño of
2015, Indonesia has returned to the world spotlight in relation to the fires and the haze crisis.
The most fire prone area was recorded in the iconic Tumbang Nusa, Pulang Pisau Regency and
its adjecent areas. However, the thick haze had covered almost the entire province. There are the
dis-adventages impact during more than two months. Therefore, this study was to investigate
what are the causes and the impacts of this disaster at the site level. This research location was
focuses on three regencies and one city namely Pulang Pisau, Kapuas, Katingan and Palangka
City. The method was a Focus Group Discussion (FGD) with key figures representing eight
clusters of village communities. This method is also supported by statistical, hotspots and spatial
data for additional analysis. The result are only two villages with very high average of hotspot
and eight with high average of hotspots in Pulang Pisau and Kapuas Regency. Further, the FGDs
in seven villages showed that there were three main clusters that caused forest-land fires, namely
natural factors, human factors and village policy / regulation factors. The villages study that
were affected by the fire in 2015 showed there were three main impacts namely on people,
environment and capital. This result is a foundation of cause-effect factor for further Root Cause
Analysis to find out the options for fire prevention and management in climate change
mitigation efforts.

Keywords: Climate Change; El-Niño; Fires; Focus Group Discussion; Peatland

al., 2012). Hotspot maps in Kalimantan show


1. INTRODUCTION
that most fire-prone areas are covering the
Since the very strong El Niño event in peatlands, especially in Central, South and
1997/1998, Kalimantan has always been the West Kalimantan (Yulianti & Hayasaka,
object of annual forest-peatland fires. 2013). The conversion of forest functions and
Approximately half of the numbers of total the massive degradation of peatland during
hotspots in Indonesia are in Kalimantan. An the previous decades could be a factor behind
area of Central Kalimantan Province holds the the incident. These widespread forest-
first rank among five provinces (Yulianti et peatland fires have serious negative impacts
62 ECOTROPHIC14(1):62–73 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

on various sectors ranging from local to (Koplitz et al., 2016; Yulianti, 2018 Marlier et
global levels (Limin et al, 2007; Yulianti, al, 2019; Uda et al. 2019;) of the forest-
2011; WBG, 2016). Officially, Indonesia peatland fires in the modern situation.
accepts the position as one of the largest However, it turns out that the forest-peatland
global carbon emitter countries (DNPI, 2011) could not stop after 2015, and even continues
and the exporter of transboundary-haze today. There are indications that the causes
pollution for Southeast Asian countries (Heil and impacts also vary depending on
et al., 2006). geographical, social, economic, cultural and
In 2014/2015, this frightening condition local political issues from year to year.
reoccurred under the influence of the El Niño According to Ferdinand (2006), this type of
event, too. Endarwati (2016) stated that the causality research is research conducted to
distribution of forest-land fires in 2015 was look for an explanation of the cause-effect
mostly found in the other use areas outside relationship or cause-effect between several
the forest, where those areas close to the variables in a management goal, which can
community access. As many as 22% of the also be a means of finding options for a
total fires occurred on peatlands. It seemed problem. Jua´rez-Orozco et al (2017) and
the non-forest fire spread out to conservation Lestari et al (2018) conduct research on the
swamp forests such in Sebangau and Tanjung impacts and causes of tropical forest fires
Putting National Park in Central Kalimantan. with a bibliometric and knowledge-based
Indications of the distribution of fire areas on approach. This study seeks to investigate
peatlands in Central Kalimantan Province are what conditions and parameters at the site
over 500.000 ha. This condition generates the level with various categories of forest-fire and
worst air pollution in history for the last haze hazard in Central Kalimantan using
decade (Hayasaka and Sepriando, 2018). The social research methods. This research aims
haze is not only releases greenhouse gases but to found effective ways in the prevention and
also contains harmful gases for humans mitigation of future forest-peatland fires.
(Stockwell et al 2017; Wooster et al, 2018).
Air quality in 2015 exceeding the safe limit 2. METHODOLOGY
for human and living things. The previous
study predicted tens of thousands of people 2.1 Research Location
are exposed to respiratory diseases, many
flights were canceled, and schools were The locations of this study are several
closed during the peak fire season. There villages in Palangka Raya City, Pulang Pisau,
were indications of haze had blowing to Kapuas and Katingan Regencies in Central
neighboring Southeast Asian countries and Kalimantan Province as shown in Figure 1.
polluting air quality in neighboring Singapore The coordinates of the study sites include
and Malaysia (Van Mead, 2017; 0o24' to 3o22' South Latitude and 112o06 ' to
Ramakreshnan et al 2017; Koplitz et al, 114o45 East Longitude. The research began in
2016). 2018 and is planned until 2020, which it can
The other studies with spatial methods cover various categories of forest-peatland
and literature reviews try to explore what the fire and haze hazard in Central Kalimantan
causes behind the fire occurrences (Atwood, (Table 1). However, the results in this article
2016; Sumarga, 2017; Carlson, 2017; shown are only for 2 (two) years, excluding
Hirschberger, 2017) and also how the impacts the 2020 activity.

63
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]

Table 1. Villages in Research Location

Year of 2020*
Year of 2018 Year of 2019 [rencana]

1.Tumbang Nusa, Pulang 3. Tanjung Taruna, Pulang


Pisau acf Pisau acf 8. Bahaur, Pulang Pisau abf
4. Kalampangan, Palangka
2. Buntoi, Pulang Pisau adf Raya aef 9. Baun Bango, Katingandf
5. Kereng Bangkirai,
Palangka Raya adf 10. Mandomai, Kapuasef

6. Luwuk Kanan, Katingan adf


7. Bukit Tunggal, Palangka
Raya adf

Note:
a. Priority of peat restoration area post 2015 fire from Figure 2
b. Average of very high hotspot area from table 2
c. Average of high hotspot area from table 2
d. Average of moderate hotspot area from table 2
e. Average of low hotspot area from table 2
f. Location in peatlads

Figure 1. Peatland distribution in Central Kalimantan, Indonesia

(Note: kedalaman gambut is depth peat; desa is village; bandar udara is airport)
64
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

2.2 Methods and Data Analysis


In social survey research, the way of 1. Focus Group Discussion (FGD) is
calculating the large research samples is where the researcher conducted a question
determined by the research design used and and answer method with 8 (eight community
the data taken. This study uses the Slovin groups), namely village officers, traditional
formula to calculate sample sizes. This and religious leaders, community firefighter,
formula was introduced by Slovin in 1960 farmers and fishermen groups, women's
and often used in survey research with a large groups, youth groups, representatives of
number of samples, so we need the formula to teachers, and representatives of health
get a small sample but can represent the entire workers.
population (Altares et al 2003). The equation
used is: 2. Observation is where researchers
review the location of fires at several points
n=N/(1+(N x e2)) (1) during the fire season. The results of these
observations will be directly noted by
researchers so that from this activity can be
Which:
known how the causal process of forest fires.
n : Total Sample
3. Study of bibliography and
N : Total Population
statistical data collection from the Indonesia
e : Tolerance percentage of sampling error Statistical Agency, Provincial Disaster
(10% as in Loren et al, 2015) Agency and local village profiles

The number of the adult population in The data analysis technique used was to
the villages (groups of 20 years and over) categorize the various causes and impacts of
who are considered to be able to express their fires delivered by respondents in focus group
opinions independently in FGD activities is discussions on the village that was the
585,758 people, where spread in 4 (four) location of the study. In this research, in-
districts (Table 2). This study uses a 90% depth analysis has not been carried out such
degree of confidence, the error rate is 10%. as the Fishbone diagram or Ishikawa Diagram
Researchers can determine what is the often also called fishbone diagram-because of
minimum limit of samples that can meet the its shape like fish bones. The reason is that
requirements of an error rate of 10% by this research is still preliminary mapping of
entering these numbers into Slovin formula. the main causes and impacts, which the
This greater value is due to the consideration results only display tabular forms.
of the large diversity of conditions in the
research location and FGD facilitators. The
3. RESULTS AND DISCUSSION
results of the calculation of sampling are
obtained at least 100 people as respondents in 3.1 The Fire-Prone Areas
this study, where each village was divided as
many as 20 respondents. The number of villages that were
targeted in this study was 444, based on the
The data collection method is the most initial map of district division in 2002. There
strategic step in qualitative and quantitative is a possibility that the number of new
research because the main objective of the villages could increase in 2019. The districts
study is to obtain data in several ways such as with the most villages are Kapuas Regency
in this study, namely: and the least is Palangka Raya City. Table 2
shows that around 80% of the villages in the
four regencies recorded historically had one
65
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]

or more hotspots. 2 villages are categorized as selected were those that had a more 60%
very high, 8 villages that are categorized as confidence level. Besides, TERRA and
high, 70 villages are classified as moderate AQUA satellite sensors recorded only cross
and the rest are only low. The villages with an area at a certain time, which can be when
very high and high categories are in Pulang severe fires are not detected. Hotspot
Pisau and Kapuas Regencies. Figure 1 shows locations also cross administrative boundaries
that the majority of these villages are on so it is very difficult to analyze them, for
peatlands. example, hotspot pixel coordinates in Village
A but within a 1km2 pixel radius including in
The number of hotspots shown in Table Village B. Thus, hotspots are only an
2 is not the actual number of fires in the field. indicator that an area is prone or does not
The main reason is that a pixel hotspot is experience forest fires such as in previous
within a radius of 1km2 and can be 500m2 if studies from Yulianti et al (2013). This
the weather is good (Giglio et al, 2003), so parameter can also be used to overcome the
those small fire incidents are often not limitations of observing and recording the
detected. Especially in this study, the data data from field-workers.

Table 2. Average of Hotspot Category from 2006 to 2018.

Adult Average of Hotspot Category


Total Popul
ation * Very Total of
Regency Area High No Village**
(km2) (>100 High Moderate Low Fire
) (51-100) (11 - 50) (1-10) (0)

Pulang
Pisau 8 997 81 228 2 6 20 47 6 81

222
Kapuas 14 999 200 2 20 116 40 178

Palangka 179
Raya 2 399 782 8 17 5 30

102
Katingan 17 500 548 22 104 29 155
585
Total 43 895 758 2 8 70 284 80 444

Note:
*Census data in 2017
**Based on administration map in 2002

Based on simultaneous research on burned uncontrollably, reaching their peak in


Yulianti et al (2019), forest-peatland fires in September and October 2015. In these months
2015 were the worst events in history in the the type of fire that occurred was an
21st century. The epicenter distribution of the underground fire (smoldering). According to
most vulnerable areas is Pulang Pisau, Yulianti (2018), fuel from this type of fire is
Kapuas, Katingan and Palangka Raya cities. not only littering on the surface of the peat
Large numbers of forests and peatlands but also the layer of dry peat reaching tens of
66
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

centimeters. The firefighting team is very Central Kalimantan. The total area is 8000
difficult to detect this type of fire because km2 or greater than Bali Island which is only
there is often no visible flame or smoke 5000 km2. This figure shows how much the
release. Figure 2 shows the results of the loss of peatlands as a carbon source and
analysis of the distribution of former fires and climate balancer.
hotspots in 2015 for priority restoration in

Figure 2. Priority of peat restoration area post 2015 fire (white color) and the hotspot distribution
in 2015 (red dot color) for EMRP areas

Since then, the Indonesian Government during 2019. Of these, approximately 150
has become more stringent in managing cases are still under investigation and around
peatlands through various policies such as the 30 cases have reached the investigation stage
following: 1) carrying out a peatland Even dozens of people suspected of being
restoration program by establishing a Peat perpetrators of land burning both individuals
Restoration Agency (abbrv. BRG), issuing a and corporations have also been secured
moratorium map on peatland use permits during the post-2015 forest fires (Priyono,
through the Ministry of Environment and 2019).
Forestry (Abbrv. KLHK) and taking firm
action against perpetrators of forest and land
3.2 Cluster of Main Causes
burning through the Letter of Republic of
Indonesia Police (Abbrv. POLRI) as The starting point of this research is the
mentioned in Yulianti (2018). Peatland very severe forest-fire in 2015, although in
restoration was carried out on 2015’s burned 2018 it was also recorded as the top 10 fires
peatlands in seven priority provinces in in Central Kalimantan (Yulianti et al., 2019).
Indonesia, one of which was Central Based on the results of the FGD and
Kalimantan (Figure 2). Some companies in observations there are 3 (three) main causes
Central Kalimantan are suspended or revoked of forest-fire clusters as listed in Table 3.
to obtain permits if they are located on the Factors in the first and second columns are
peatlands (Anonymous, 2016). The Central the answers of the majority of respondents,
Kalimantan Regional Police are reported to while the third column is the result of answers
have handled almost 200 cases of forest fires from the respondent, especially those located
67
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]

in Palangka Raya City (Figure 3). Each (2015) shows that approximately 70 percent
village has a specific cause. For example, of respondents practice clear land by burning
from respondents in Desa Tumbang Nusa, until the middle of 2015. This condition has
Pulang Pisau obtained an answer that the great potential as a major cause of fire and
main factor in the fires that spread was haze crisis. Whereas, this study is not defined
accidental/negligence such as littering as the causes by percentage but the
cigarette butts or uncontrolled burning, combination of the cluster of main factors and
especially in abandoned areas around the its sub-factors. For example, scenario 1 is the
Primary Channel (abbrv. SPI) which is land burning carried in non-El Niño years,
located between the trans- Kalimantan and scenario 2 is the El Niño phenomenon
Sebangau River. Meanwhile, one of the occurred but the burning is not in the
causes such in Kelurahan Bukit Tunggal. peatlands, scenario 3 is there is lack of
There is an intentional for political-related regulation for prohibiting burning at the
sabotage related to provincial or city elections village level but the peatland is still
schedule. waterlogged or natural condition. The
scenarios might support a little chance of
Previous research in several regencies massive forest-peatland fires such as 2015 or
in Central Kalimantan by Barbara et al. 2019.

Table 3. Analysis of main causes of forest and peatland fire in 2015

Natural causes of fire Human cause of fire Factors affecting policy

Lack of regulations prohibiting


Clearing land for
El Niño phenomenon (every 2-15 years) burning at the village level
economic activity

Lack of village-level regulations


regarding burning peatland as a
Fishing
land management practice

Throwing away Lack of village-level regulations


Thick peat
cigarette butts on this front
National conservation efforts,
relocation of the capital,
Burning trash
Land damaged / unsuitable for planting expansion of rice fields, and
transmigration

The policy regarding to the


national and regional election
schedule, for example the
severest fire in 2015 coincided
Accident / failure
Land left abandoned or bare with the election of the Governor
of Central Kalimantan or the
fires of 2019 coincided with the
presidential election.

68
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Figure 3. Activity of FGD in villages of Pulang Pisau Regency and Palangka Raya City

3.3 Cluster of Main Impact on the gardens / land come on fire, the house
also catches fire and also public facilities are
As same as in section 3.2, the impact of disturbed. However, this study has not
forest-land fires referred to in this study calculated the economic value of the impacts
began in 2015. There are 3 (three) clusters of in Table 4.
impacts experienced by respondents who
were in the village as the research location as Some impact factors and sub-factors are
listed in Table 4. The direct impact that was still in line with previous research although
felt shortly after the incident was to humans using a different approach that conducted by
and living things. When the thick haze Limin et al (2007), Yustiawati et al (2016),
releases from the peat fire is concentrated in Uda et al (2018). One of the macro-scale
the areas, it will cause a variety of studies such conducted by the World Bank
disadvantages to health, livelihoods and Group stated that the cost of forest fires in
quality of education. The impact on the Indonesia in 2015 reached US $ 16 billion
environment can be observed after a few days (WBG, 2016). Meanwhile, the decline in
or weeks of fire, such as shrinking peat, hot income due to the impact of the household
temperatures, reduction or depletion of forest level on the livelihoods of fishermen and
products and non-forest products, rubber farmers in several villages in Pulang
contamination on air, water and soil. Further, Pisau Regency ranged from 20% to 40%
the worse forest-peatland fires could impact (Yulianti et al, 2015).

69
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]

Table 4. Analysis of main impacts of forest and peatland fire in 2015

Impact on Human Impact on Environment Impact on Capital

Garden / private land


Human health [ URI, stomach
Peatlands shrink and heat rises was burnt
ache, miscarriage, death]

Difficult livelihoods [due to Forest products such as game


disrupted transportation, reduced animals and wood are of less House was burnt
catches, withered / dead plants, economic value and are even
reduced tourist arrivals] extinct

The quality of education is Damage to public


decreasing [due to school Severe and transboundary haze facilities (roads,
holidays] bridges, houses of
worship)

Dirty water [lots of burnt residue Land and water traffic


and acid release from peat accidents
material]

Closing of public
transportation route

Additional expenditure
for drilling wells and /
or land guard fees

Figure 4. Raw Note Paper of FGD in Buntoi dan Tumbang Nusa Village, Pulang Pisau Regency
on September 2018

70
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

4. CONCLUSION AND SUGGESTION supported by Ministry of Agriculture,


Forestry and Fishery Japan (MAFF). Data
4.1 Conclusion collection in Taruna Jaya Village of Pulang
Pisau Regency, Kereng Bangkirai Village and
The conclusions of this study are as follows: Kalampangan Village of Palangka Raya City
1. The average category of hotspots for 12 was supported by Research Institute for
years (2006 - 2018) showed that there Humanity and Nature (RIHN), Kyoto, Japan
were around 80 villages that were entitled “Action Research for the Peatland
included in the medium to thevery high Restoration and Transdisciplinary Study for
class which were spread in 4 (four) the Future of Peatland Society”.
districts in Central Kalimantan.
2. Villages affected by fire in 2015 showed
that there were 3 (three) main cause REFERENCES
clusters namely natural, human and Altares, P., Copo, A., Gabuyo, Y., Laddaran,
regulatory. Generally, these factors are a A., Meija, L., Policarpio , I., . . . Yao,
combination of two or more factors and/or A. (2003). Elementary Statistics: A
sub-factors in a forest and land fire event. Modern Approach (1 ed.). Manila:
3. The major impact clusters resulting from Rex Book Store.
forest-land fires are on people, the
environment and capital. As for the Anonymous. (8. May 2016).
impacts experienced by humans in the https://sampit.prokal.co/. Haettu 1.
short term generally such as health Desember 2019 osoitteesta
problems, the difficulty of livelihoods and https://sampit.prokal.co/read/news/333
the declining quality of education of 1-ribuan-hektare-lahan-perusahaan-di-
school-age children. kawasan-gambut-kalteng-diambil-
alih-negara
Atwood, E., Englhart, S., Lorenz, E., Halle,
4.2 Suggestion W., Wiedemann, W., & Siegert, F.
(2016). Detection and
For further research, it is suggested to Characterization of Low Temperature
do a detailed analysis with Root Cause Peat Fires during the 2015 Fire
Analysis (RCA) or Fishbone diagram to Catastrophe in Indonesia Using a New
examine the root cause and effect of forest- High- Sensitivity Fire Monitoring
peatland fires as well as the haze impact to Satellite Sensor (FireBird). PLoS
choose the right options in fire reduction and ONE, 11(8), 1-24.
climate change mitigation efforts. Barbara, B., Yulianti, N., & Firdara, E.
(2015). Knowledge, Attitude, and
ACKNOWLEDGEMENT Practice (KAP) IKebakaran hutan-
lahandi Provinsi Kalimantan Tengah.
Great thanks to the chief of villages in J-SEA (Journal Socio Economics
Pulang Pisau Regency, Katingan Regency and Agricultural(10), 1-9.
Palangka Raya City, who had provided the Carlson, K., Heilmayr, R., Gibbs, H.,
stastitical data and village profile. This Noojipady, P., Burns, D., Mortonh,
research was a collaboration project between D., . . . Kremen, C. (2017). Effect of
UPT. Laboratorium Lahan Gambut- oil palm sustainability certification on
CIMTROP and CIFOR under Letter of deforestation and fire in Indonesia.
Agreement (LoA) of Fiscal Year of PNAS, 1-6.
2018/2019 entitled “Enhancing Climate-
Resilient Livelihood In Boreal And Tropical
High Carbon Forests And Peatlands”, which
71
Preleminary Analysis of Cause-Effect on Forest-Peatland Fires Prior to 2020 in Central….. [Nina Yulianti, dkk.]

DNPI, D. (2010). Indonesia's Greenhouse Tropical Conservation Science, 10, 1-


Gas Abatement Cost Curve. Jakarta: 14.
DNPI. Koplitz , S., Mickley , L., Marlier, M.,
Endarwati. (2016). Analisis Data Titik Panas Buonocore, J., Kim , P., Liu, T., . . .
(Hotspot) dan Areal Kebakaran Schwartz, J. (2016). Public health
hutan-lahanTahun 2016. Jakarta: impacts of the severe haze in
Direktorat Inventarisasi dan Equatorial Asia in September–October
Pemantauan Sumber Daya Hutan, 2015: demonstration of a new
Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata framework for informing fire
Lingkungan Kementerian Lingkungan management strategies to reduce
Hidup dan Kehutanan. downwind smoke exposure. Environ
Res Lett, 11(9).
Ferdinand, A. (2006). Metode Penelitian
Manajemen: Pedoman Penelitian Lestari, A., Rumantir, G., Tapper,, N.,
untuk skripsi, Tesis dan Disertai Ilmu Saharjo, B., Usup, A., Graham, L., . . .
Manajemen. Semarang: Universitas Teguh, R. (2018). Analysing Causal
Diponegoro. Factors of Peatland Wild res: A
Knowledge-based Approach.
Giglio, L., Descloitres, J., Justice, C., &
Melbourne: Pacific Asia Conference
Kaufman, Y. (2013). An Enhanced
Contextual Fire Detection Algorithm on Information Systems (PACIS
for MODIS. Remote Sensing of 2018).
Enviroment , 87, 273-282. Limin, S., Takahashi, H., Usup, A., Hayasaka,
H., Kamiya, M., & Murao, N. (2007).
Hayasaka, H., & Sepriando, A. (2018). Severe
Impacts of Haze in 2002 on Social
Air Pollution Due to Peat Fires During
Acivity and Human Health in
2015 Super El Niño in Central
Palangka Raya. Tropics 16, 275-282.
Kalimantan, Indonesia. In K. Vadrevu,
T. Ohara, & C. Justice (Eds.), Land- Loren, A., Ruslan, M., Yusran, F., &
Atmospheric Research Applications in Rianiwati, F. (2015). Analisis Faktor
South and Southeast Asia (Vol. 195, Penyebab Kebakaran Hutan-Lahan
pp. 129-142). Springer Remote serta Upaya Pencegahan yang
Sensing/Photogrammetry Springer dilakukan Masyarakat di Kecamatan
Cham. Basarang Kabupaten Kapuas
Kalimantan Tengah. EnviroScienteae,
Heil, A., Langmann, B., & Aldrian, E. (2006).
11, 1-9.
Indonesia Peat and Vegetation Fire
Emissions: Study on Factors Marlier, M., Liu, T., Yu, K., Buonocore, J.,
Influencing Large-Scale Smoke Haze Koplitz, S., DeFries, R., . . . Myers, S.
Pollution using A Regional (2019). Fires, Smoke Exposure, and
Atmospheric Chemistry Model. Public Health: An Integrative
Mitigation and Adaptation Strategies Framework to Maximize Health
for Global Change, 12, 113-133. Benefits From Peatland Restoration.
GeoHealth, 3, 178-189.
Hirschberger, P., 4con forestconsulting, &
www.forestconsulting.de. (2016). Priyono, A. (4. September 2019).
Forest Ablaze, Causes and Effects on https://www.borneonews.co.id/.
Global Forest Fires. Berlin: WWF Haettu 20. Oktober 2019 osoitteesta
Deutschland. https://www.borneonews.co.id/berita/
136640-polda-kalimantan-tengah-
Jua ́rez-Orozco, S., Siebe, C., & Ferna ́ndez y
Ferna ́ndez, D. (2017). Causes and tangani-186-kasus-karhutla
Effects of Forest Fires in Tropical Ramakreshnan, L, Aghamohammadi, N.,
Rainforests: A Bibliometric Approach. Fong, CS., Bulgiba, A., Zaki, RA.,
Wong, LP., Sulaiman, NM. 2017.
72
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Haze and health impacts in ASEAN Global Environmental Research 16,


countries: a systematic review. 105-116.
Environmental Science and Pollution Yulianti, N. (2011). The Health Effect of
Research. Smoke and Haze from Tropical
https://doi.org/10.1007/s11356-017- Forest-Peat Fires. In Texbook for
0860-y Summer School 2011 in Indonesia
Stockwell, C., Jayarathne, T., Cochrane, M., "Management Strategy of Tropical
Ryan, K., Putra, E., Saharjo , B., . . . Peatland: Development and
Stone, E. (2016). Field measurements Conservation" (pp. 114-115). Bogor,
of trace gases and aerosols emitted by Indonesia: Integrated Field
peat fires in central Kalimantan, Environmental Science Global Center
Indonesia, during the 2015 El Niño. of Excellent (IFES - GCOE) Indonesia
Atmospheric Chemistry and Physics, Liason Office.
16, 11711–11732. Yulianti, N. (2018). Pengenalan Bencana
Sumarga, E. (2017). Spatial Indicators for Kebakaran dan Kabut Asap Lintas
Human Activities May Explain the Batas (Studi Kasus Eks Lahan
2015 Fire Hotspot Distribution in Gambut Sejuta Hektar) (1 ed.). Bogor:
Central Kalimantan Indonesia. IPB Press.
Tropical Conservation Science, 10, 1- Yulianti, N., & Hayasaka, H. (2013). Recent
9. Active Fire under El Niño Conditions
Uda, S., Hein, L., & Atmoko, D. (2019). in Kalimantan, Indonesia. American
Assessing the health impacts of Journal of Plans Science, 4, 685-696.
peatland fires: a case study for Central Yustiawati, Sazawa, K., Syawal, M.,
Kalimantan, Indonesia. Environmental Kuramitz, H., Saito, T., Hosokawa, T.,
Science and Pollution Research, Tanaka, S. (2016). Peat Fire Impact on
26(30), 31315–31327. Water Quality and Organic Matter in
Van Mead, N. (2017, February 13). The Peat Soil. In M. Osaki , & N. Tsuji
Guardian. Retrieved from (Eds.), Tropical Peatland Ecosystems
thegurdian.com: (pp. 281-296). Tokyo: Springer.
https://www.theguardian.com/cities/da Yulianti, N., Kusin, K., Naito, D., Kawasaki,
tablog/2017/feb/13/most-polluted- M., & Kozan, O. (2019). The Linkage
cities-world-listed-region of El Niño -induced Peat Fire and Its
WBG, W. (2016). The Cost of Fire, An Relation to Current Haze Condition in
Economic Analysis of Indonesia's Central Kalimantan. Banjarmasin: The
2015 Fire Crisis. Jakarta: The World International Symposium on Wetland
Bank. Environmental Management (ISWEM
Wooster, M., Gaveau, D., Salim, M., Zhang, 2019). Banjarmasin, 4-6 November
2019.
T., Xu, W., Green, D., . . . Sepriando ,
A. (2018). New Tropical Peatland Gas
and Particulate Emissions Factors
Indicate 2015 Indonesian Fires
Released Far More Particulate Matter
(but Less Methane) than Current
Inventories Imply. Remote Sensing, 1-
31.
Yulianti , N., Hayasaka, H., & Usup, A.
(2012). Recent forest and Peat Fires
Trends in Indonesia, The Latest
Decade by MODIS Hotspot Data.
73
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]

PENURUNAN KADAR BESI (Fe), KROMIUM (Cr), COD DAN BOD


LIMBAH CAIR LABORATORIUM DENGAN PENGENCERAN,
KOAGULASI DAN ADSOBSI
Indah Nurhayati*, Sela Vigiani, dan Dian Majid
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
*Email: indahnurhayati@unipasby.ac.id

ABSTRACT

REDUCITION OF IRON, CHROMIUM, COD, AND BOD CONCENTRATIONS OF


LABORATORY LIQUID WASTE WITH DILUTION, COAGULATION, AND
ADSORPSION

The aims of this work is to perform the effect of flowrate and operating time on decreasing
of Fe, Cr, COD, BOD concentrations, assessing the quality of wastewater after being treated
with dilution, neutralization, coagulation and adsorption techniques, especially for parameters
suck as Cr, Fe, COD, BOD and pH. The variables in this study are the waste water flow that is
100 mL / min and 140 mL / min, with operating time for 60 min. The adsorption process is
carried out continuously with down flow. Adsorbents in the form of activated zeolite and
activated carbon are arranged in stages in a PVC reactor. The results of this study are 100
ml/min discharge can reduce most of Fe concentration. The discharge of 100 ml/min can reduce
Fe by 99.94% from 1,768 ± 1.14 mg / L to 0.98 ± 0.03 mg/L and chrome by 99.07% from
48.35±0.49mg/L to 0.39±0.00 mg/L, COD 99.17% from 35.455±2.1mg/L to 286±1.4 mg/L,
BOD 99% from 15.052±13.5 mg/L to 149.5±2.1mg/L, pH 7.05 - 7.25. The discharge of 140
ml/min can reduce Fe by 99.94% from 1,768±1.14mg/L to 0.99±0.03mg/L and chrome 99.07%
from 48.35±0,49mg/L to 0.45±0.00mg/L, COD 99.08% from 35.485±2.1 mg/L to 325.25±2.12
mg/L, BOD 98% from 15.052±13,5mg/L to 160.5±0.70mg/L, pH 6.95 - 7.25. The quality of
wastewater after being treated have met the quality standard in accordance with the Minister of
Environment Regulation No. 5 of 2014.
Keywords: Adsorption; Coagulation; Dilution; Laboratory Waste.

limbah cair laboratorium. Limbah cair


1. PENDAHULUAN laboratorium jika dilihat dari jumlahnya
Laboratorium dalam suatu lembaga sedikit tetapi termasuk kategori limbah B3
pendidikan merupakan tempat untuk (Nurhayati et al., 2018). Senyawa yang
melakukan praktikum, penelitian dan terkandung dalam limbah cair laboratorium
pengujian sampel. Kegiatan di dalam antara lain Timbal (Pb), Krom (Cr), Besi (Fe),
laboratorium mulai dari persiapan penelitian, Perak (Ag). Hasil penelitian pendahuluan,
praktikum dan pengujian sampel menunjukan bahwa limbah laboratorium TL
menggunakan reagen kimia. Reagen kimia UNIPA khususnya limbah cairnya
yang sering digunakan adalah zat yang mempunyai karakteristik sebagai berikut,
mengandung senyawa organik, anorganik, kandungan Fe = 1.810 ± 0,21 mg/L, Cr =
logam berat, bersifat asam, basa, iritatif, 50,7± 0,21 mg/L, Pb = 6,06 ± 1,4 mg/L, Total
reaktif dan bersifat racun (Nurhayati et al., Dissolved Solid (TDS) = 14.874 ± 1,14 mg/L,
2018). pH= 2,60 ± 00, Total Suspended Solid (TSS)
= 601±1,14 mg/L, Chemical Oksigen Demand
Laboratorium Teknik Lingkungan
(COD) 37.669 ± 2,1 mg/L dan Biological
masih sedikit yang melakukan pengolahan
Oksigen Demand (BOD) 16.502 ± 1,14 mg/L.
sehingga zat kimia yang digunakan di dalam
Dilihat dari karakteristiknya, limbah cair
laboratorium langsung dibuang menjadi
Laboratorium TL UNIPA Surabaya belum
74
ECOTROPHIC14(1):74–87 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

memenuhi PerRMen LH No. 5 Tahun 2014 melalui rantai makanan (Kristianto, Wilujeng
mengenai baku mutu air limbah. Jika tidak and Wahyudiarto, 2017), di dalam tubuh akan
dilakukan proses pengolahan limbah cair sulit untuk dikeluarkan sehingga kadarnya
laboratorium lebih lanjut maka dapat akan meningkat di dalam tubuh organisme
mencemari lingkungan sekitar (Raimon, (Prastyo et al., 2016). Krom merupakan
2011). logam yang berbahaya bagi kehidupan.
Limbah cair yang mengandung besi Logam krom merupakan logam yang sulit
terlarut dalam bentuk Ferro (Fe2+). Besi dalam didegradasi sehingga dapat bertahan lama
bentuk Ferro mudah teroksidasi menjadi besi dalam perairan (Paramita et al., 2017).
dalam bentuk Ferri (Fe3+) dengan adanya Kandungan senyawa kromium dalam
oksigen di udara (Febrina and Ayuna, 2015). lingkungan yang paling banyak ditemui
Bakteri Crenothrix dan Gallionella dapat adalah dalam krom trivalen (Cr3+) dan krom
memanfaatkan Fe2+ sebagai sumber energi heksa valen (Cr6+). Krom heksavalen
dalam pertumbuhannya dan dapat merupakan senyawa krom yang sangat
mengendapkan Fe3+. Semakin tinggi kadar berbahaya, karena dianggap sangat beracun,
Fe2+ menjadikan pertumbuhan bakteri sangat karsinogen, mutagenik. Ion krom dapat
cepat yang berakibat tersumbatnya saluran menyebabkan kerusakan hati, kerusakan
pipa (Febrina and Ayuna, 2015). Logam besi saluran pernapasan, kerusakan ginjal, kanker
yang berada di dalam tanah mudah paru-paru. (Sy et al., 2016), mutasi gen,
mengalami oksidasi dan reduksi. Dengan bersifat karsinogen dan teratogenic
adanya reaksi biologis dari bakteri pada (Kristianto et al., 2017).
kondisi anaerob, maka unsur Fe dalam tanah Pengolahan air lmbah yang
akan tereduksi sehingga menjadi besi yang mengandung logam berat dapat dilakukan
terlarut. Persitiwa oksidasi dan reduksi besi di secara fisika, kimia atau kombinasi fisika dan
dalam tanah menyebkan besi akan masuk ke kimia. Penyisihan logam berat dalam limbah
dalam irigasi. Kelarutan Fe juga dipengaruhi cair biasanya dilakukan dengan presiptasi,
oleh pH. Kelebihan kandungan besi dalam koagulasi, adsobsi (Ariani and Rahayu, 2016),
lingkungan dapat mengakibatkan air tanah filtrasi atau kombinasi dari semuanya. Metode
terkontaminasi dan mengganggu kombinasi presipitasi dan adsobsi dapat
kelangsungan makhluk hidup lainnya. Logam menyisihkan logam berat pada limbah
Fe di dalam tanah akan diserap oleh tanaman laboratorium hingga 98,09 – 99,99% (Ariani
melalui akar. Kadar Fe yang tinggi di dalam and Rahayu, 2016).
tanah akan menyebabkan tanaman Air limbah yang mengandung logam
mengakumulasi Fe di dalam tubuhnya berat dapat diolah dengan menggunakan
sehingga menyebabkan keracunan (Apriyanti teknologi presipitasi (pengendapan).
and Candra, 2018). Teknologi presipitasi dapat dilakukan dengan
Tingginya kadar besi yang berada penambahan zat terntu sehingga akan
dalam tubuh manusia akan mengakibatkan mengubah logam yang mudah larut menjadi
penyakit seperti keracunan, kanker, liver dan logam yang sukar larut. NaOH merupakan
hemokromatis (Jenti and Nurhayati, 2014). senyawa alkali yang bersifat basa, mudah
Dalam tubuh, besi diperlukan sebagai larut dalam air dan cepat mengendapkan Fe
pembentukan hemoglobin. Dalam dosis yang dan logam yang lain (Apriastuti et al., 2017),
cukup tinggi, besi dapat merusak jaringan larutan NaOH juga berfungsi untuk menaikan
dinding usus (Febrina and Ayuna, 2015). pH air limbah. Pengendapan logam berat
Limbah yang mengandung logam krom dalam air limbah sanga dipengaruhi pH
termasuk kategori limbah B3. Krom termasuk (Ariani and Rahayu, 2016).
logam berat, dan masuk ke dalam kelompok Poly Aluminium Chloride (PAC)
16 besar substansi berbahaya oleh Agency for merupakan koagulan dari garam dari
Toksic Substances and Disease Registry aluminium klorida yang sering diaplikasikan
(ATSDR) (Sy et al., 2016). Krom bersifat dalam pengolahan air limbah maupun air
bioakumulasi di dalam makhluk hidup, bersih karena mempunyai daya koagulasi dan
75
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]

flokulasi lebih kuat jika dibandingkan dengan Demand (COD) limbah industri krisotil
tawas. PAC efektif bekerja pada rentang pH sebesar 63% (Yuliastuti and Cahyono, 2018).
5,0 – 8,0. PAC dapat menurunkan turbidity Keberhasilan proses adsobsi
97,69% dan TSS 99,24% air limbah (Husaini dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu
et al., 2018). PAC konsentrasi 300 mg/L karakteristik adsorben, meliputi luas
dapat meremoval TDS 13,7%; Cr 97% dan permukaan, ukuran partikel (Sirajuddin and
Pb 93,5% pada air limbah laboratorium Harjanto, 2018), waktu kontak, pH, suhu,
(Nurhayati et al., 2018). konsentrasi adsorbat (Arisna et al., 2016).
Zeolit alam merupakan adalah senyawa Waktu kontak yang diperlukan proses adsobsi
terhidrat dari aluminosilikat yang terdiri dari untuk mencapai equilibrium tidak sama,
dar ikatan SiO4 dan AlO4 terhidrat yang waktu kontak akan dicapai apabila tidak
dihubungkan dengan oksigen (Utami, 2017). terjadi perubahan konsentrasi adsorbat pada
Zeolit banyak dimanfaatkan sebagai adsorben, solute (Sirajuddin and Harjanto, 2018).
ion exchange, katalis pada industry (Anggoro, Pada penelitian terdahulu, pengolahan
2017). Katalis zeolit menyebabkan reaksi limbah cair dilakukan dengan cara netralisasi,
lebih cepat, efisien, sehingga mengurangi koagulasi dan adsobsi menggunakan karbon
penggunaan energy dan pengolahan limbah. aktif ampas tebu dan zeolit yang tidak
Zeolit banyak diaplikasikan dalam proses diaktivasi, dengan debit 140 ml/L, pada menit
adsorbansi polutan karena mempunyai rongga ke-15 dapat menurunkan konsentrasi krom
struktur kristal alumina silika yang berisi ion sebesar 93% dari 5,37 ppm menjadi 0,36
logam (Aidha, 2013). Zeolit mampu ppm, tetapi pada menit ke-30 sampai menit
menurunkan logam Fe sebesar 62,78% dari ke-120, konsentrasi krom mengalami
12,668 mg/L menjadi 1,948 mg/L yang kenaikan yang signifikan (Nurhayati et al.,
terkandung dalam air lindi (Larasati et al., 2018). Oleh karena itu perlu adanya
2016). Penggunaan zeolit tanpa aktivasi, penelitian lanjutan supaya adsorben tidak
karbon aktif dan ijuk sabut kelapa dapat cepat jenuh dan dapat menurunkan polutan
menurunkan Cr 93% dari 5,37 mg/L menjadi lebih besar dengan menggunakan adsorben
0,36 mg/L dalam waktu pengoperasian 15 diaktivasi dan memvariasikan debit waktu
menit (Nurhayati et al., 2018). Proses operasi. Tujuan dari penelitian ini adalah
adsorbsi akan lebih efektif apabila air limbah mengkaji pengaruh debit aliran dan waktu
memiliki pH netral. Kombinasi koagulasi dan operasi terhadap penurunan Fe, Cr COD, dan
adsorbsi dapat menurunkan logam Fe dengan BOD. Menganalisa kualitas limbah cair
tingkat keberhasilan sebesar 62,25% dari setelah diolah dengan pengenceran,
kadar awal 194 ppm menjadi 7,324 ppm netralisasi, koagulasi dan adsobsi terutama
(Audina et al., 2017). untuk parameter Cr, Fe, COD, BOD dan pH.
Adsobsi merupakan salah satu proses
pengolahan limbah yang sederhana dan dapat 2. METODOLOGI
menggunakan adsorben bahan alam yang
tidak terpakai (Widayatno et al., 2017). Penelitian ini dilakukan secara kontinyu
Karbon aktif merupakan karbon yang dengan skala laboratorium. Variable
diaktivasi untuk memmbuka pori-pori penelitian adalah debit aliran yaitu 100
sehingga berfungsi sebagai adsorben. ml/menit dan 140 ml/menit dan waktu operasi
Aktivator yang digunakan biasanya gas CO2, yaitu 15 menit, 30 menit, 45 menit dan 60
uap air atau zat kimia (Polii, 2017). Aktivasi menit.
karbon dengan pemanasan berfungsi untuk
memperluas permukaan, menghilangkan 2.1 Alat dan Bahan
kotoran yang mudah menguap, tar dan Limbah yang diolah adalah limbah
kidrokarbon pengotor (Masthura and Putra, laboratorium Teknik Lingkungan yang
2018). Karbon yang diaktivasi asam phospat diambil yang diambil langsung dari dari
dapat menurunkan Chemical Oksygen wastafel. Reaktor adsobsi berupa berupa pipa
dengan diameter 4 inci dan panjang pipa 145

76
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

cm. Adsorben yang digunakan zeolit 2.5 Koagulasi dan Flokulasi


teraktivasi dan karbon aktif, masing-masing Proses koagulasi menggunakan
sebanyak 5 L. koagulan PAC dengan dosis 300 mg/L.
Pengadukan dilakukan dengan jar test
2.2 Aktivasi Adsorben
berkecapatan 204 rpm (Nurhayati et al.,
Aktivasi zeolit dilakukan dengan cara 2018), selama 2 menit kemudian flokulasi
zeolit direndam ke dalam larutan H2SO4 2 N dengan pengadukan lambat 50 rpm selama 5
selama 80 menit kemudian dibilas dengan menit (Yuanita, 2015), dengan harapan akan
aquades. Selanjutnya direndam kembali ke terbentuk flok yang sempurna. Pengadukan
dalam larutan NaOH 4 N selama 80 menit dan yang terlalu lambat pada saat koagulasi
bilas dengan aquades. Zeolit dikeringkan menyebabkan terbentuknya flok juga lambat,
menggunakan oven dengan suhu 300°C sedangan pada saat flokulasi pengadukan
selama 2 jam (Aidha, 2013) Untuk menjaga harus lambat supaya flok yang terbentuk tidak
daya adsrobsi agar tetap baik zeolit disimpan tidak pecah (Rahimah et al., 2016).
ke dalam wadah yang tertutup rapat. Karbon
yang digunakan berbentuk yang diaktivasi 2.6 Adsobsi
dengan cara dipanaskan menggunakan oven Proses adsobsi Dilakukan secara
padan temperatur 150°C selama 120 menit. kontinyu dengan aliran down flow dengan
Agar karbon aktif tetap dalam keadaan baik, debit yang divariasikan yaitu 140 ml/menit
disimpan dalam desikator yang tertutup rapat. dan 100 ml/menit dan waktu operasi yaitu 15
menit, 30 mneit, 45 menit dan 60 menit.
2.3 Pengenceran
Parameter yang diukur adalah Cr, Fe, BOD,
Sebelum diolah, limbah laboratorium COD dan pH. Penentuan kadar Cr
dilakukan pengenceran dengan tujuan menggunakan Spektrofotometer Serapan
konsentrasi pencemar berkurang sehingga Atom (SAA) (SNI 6989,17:2009), kadar Fe
proses adsobsi dapat lebih efektif. menggunakan SAA (SNI 6989,4), konsenrasi
Pengenceran dilakuakn menggunakan BOD menggunakan metode SNI
aquades dengan perbandingan air limbah : 6989.72:2009, konsentrasi COD
aquades adalah 1:2 menggunakan metode SNI 6989.2:2009 dan
pH menggunakan pH meter
2.4 Netralisasi
Dari hasil penelitian pendahuluan air 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
limbah mempunyai pH= 2,60 ± 00, oleh
karena itu dilakukan netralisasi supayaa 3.1 Karakteristik Limbah Cair
proses koagulasi dan adsobsi lebih efektif Laboratorium
menurunkan polutan. Netralisasi dilakukan Hasil pengamatan secara visual limbah
samapi pH sekitar 7 menggunakan NaOH 5N. cair laboratorium berwarna coklat tua, berbau
menyengat dan keruh. Karekteristik awal
limbah cair dijelaskan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Karekteristil Limbah Cair Laboratorium TL Sebelum Diolah


Parameter Satuan Hasil uji Baku Mutu Air limbah*
pH - 2,70 ± 0,0 6,0 – 9,0
Fe Total Mg/L 1.768 ± 1,41 5
Cr Total Mg/L 48,35± 0,49 0,5
COD Mg/L 35.485 ± 2,1 300
BOD Mg/L 16.052 ± 3,5 150
*) PerMen LH No. 5 Tahun 2014

77
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]

Dari Tabel 1 menyajikan mengenai terdegradasi maupun yang mudah


limbah cair Laboratorium TL berada diatas terdegradasi yang tinggi. Kadar BOD dan
ambang batas kualitas air limbah di Indonesia. COD yang tinggi menunjukan juga
Air limbah laboratorium dapat mencemari menunjukan kadar oksigen terlarutnya dalam
lingkungan melalui peresapan air ke dalam air limbah kecil oleh karena itu jika dibuang
tanah (Raimon, 2011). Limbah cair ke perairan akan membahayakan
Laboratorium TL memliki pH yang rendah mikroorganisme aquatik.
yaitu 2,70 ± 00 dan bersifat sangat asam.
Limbah yang bersifat sangat asam, pH < 3 3.2 Pengenceran, Netralisasi dan
(PP No. 101 Tahun 2004) bersifat korosif dan Koagulasi
termasuk kategori limbah B3, sehingga dapat Air limbah sebelum diolah mempunyai
merusak properti serta mengganggu kadar polutan yang sangat tinggi. sehingga
organisme. Perairan dengan pH < 4, tidak menyebabkan adsorben mudah mengalami
dapat ditoleransi oleh tumbuhan sehingga kejenuhan (Nurhayati et al., 2018). Untuk
dapat menyebabkan tumbuhan air mati mengurangi beban pencemar tersebut air
(Nurhayati et al., 2018). Oleh sebab itu limbah diencerkan terlebih dahulu. Pada
limbah cair yang akan dibuang untuk diolah penelitian ini sampel air limbah Laboratorium
terlebih dahulu. diencerkan sebanyak dua kali menggunakan
Kadar Cr total dan Fe total air limbah aquades.
sangat tinggi, hal ini disebabkan karena Proses netralisasi air limbah
penelitian mahasiswa dan dosen banyak yang menggunakan larutan NaOH 5N, karena
menganalisis parameter COD dan Biological limbah bersifat asam dengan pH 2,70 ± 00.
Oxygen Demand (BOD) yang mana Peningkatan pH seiring degan penambahan
menggunakan Cr dan Fe. Reagent yang NaOH. Selain itu penambahan NaOH juga
digunakan dalam analisis COD adalah kalium menyebabkan beberapa logam mengendap
dikromat (K2CrO7) dan Fero ammonium dalam bentuk logam hidroksida (Adli, 2012).
sulfat ((NH4)2 Fe(SO4)2). Analisis BOD salah pH juga dapat mempengaruhi kelarutan logam
satunya menggunakan reagen Feri klorida (Said, 2010).
(FeCl3).
Penambahan NaOH akan
Kromium heksavalen (Cr6+) biasanya mengendapkan logam seperti kromium
dalam bentuk kromat (CrO42-) merupakan sebagai Kromium hidroksida Cr(OH)3.
logam yang berbahaya bagi lingkungan Kromium hidroksida merupakan senyawa
(Kurniawati et al., 2017), menimbulkan iritasi yang sukar larut pada pH antara 8.5 – 9.5, dan
pada kulit, menimbulkan keracunan sistemik akan larut pada pH rendah atau suasana asam.
(Asmadi et al., 2009), sehingga dapat Krom hexavalen merupakan senyawa yang
menimbulkan kematian organisme akuatik mudah larut oleh karena itu untuk
(Setiyono and Gustaman, 2017). menghilangkan senyawa tersebut harus
Fe termasuk logam essensial, yaitu direduksi menjadi Cr3+ (Asmadi et al., 2009).
sangat dibutuhkan makhluk hidup dalam Limbah cair setelah ditambah NaOH
jumlah tertentu, tetapi dengan kadar yang menyebabkan ion Fe2+ terikat dengan OH-
melebihi baku mutu dapat menimbukan efek dari NaOH membentuk endapan Fe(OH)2
racun (Kamarati et al., 2018), dan merusak yang berwarna putih. Pada proses
dinding usus (Febrina and Ayuna, 2015). pengendapan terjadi koloid yang akan saling
Febrina melaporkan, kelarutan Fe diatas 10 mengikat membentuk endapan (Apriastuti et
ppm mengakibatkan air tersebut berbau telur al., 2017).
busuk (Febrina and Ayuna, 2015).
Setelah dilakukan netralisasi air limbah
Tingginya kadar BOD dan COD air menjadi berwarna hitam pekat, hal ini karena
limbah menunjukan air limbah laboratorium terbentuknya endapan logam logam yang ada
mengandung zat organik yang sulit
78
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

di dalam limbah. Endapan logam yang konsentrasi 300 mg/L. Koagulan PAC
terbentuk berwarna hitam, terjadi karena konsentrasi 300 ppm dapat menghilangkan
peningkatan nilai pH akan mengubah konsentrasi Cr hingga 93,47% pada limbah
senyawa karbonat menjadi senyawa cair Laboratorium TL (Nurhayati et al.,
hidroksida yang berbentuk partikel kecil 2018). Karakteristik air limbah setelah
dalam limbah (Nurhayati et al., 2018). dilakukan pengenceran, netralisasi dan
Penambahan pH juga bertujuan supaya kerja koagulasi dapat disajikan pada Tabel 2.
PAC sebagai koagulan lebih efektif. Secara organoleptis air limbah setelah
Koagulan PAC akan bekerja lebih efektif dilakukan koagulasi flokulasi berwarna hijau,
pada pH 5,0 – 8,0 (Husaini et al., 2018). jernih bagian atas dan bagian bawah terdapat
Proses koagulasi air limbah endapan hitam.
laboratorium menggunakan PAC dengan

Tabel 2. Hasil Uji Air Limbah Laboratorium TL UNIPA Surabaya Setelah Pretreatment
Netralisasi dan Koagulasi
Parameter Satuan Hasil Uji Baku Mutu Air limbah*
pH - 7,2 ± 0,00 6,0 – 9,0
Fe Total mg/L 1,75±0,014 5
Cr Total mg/L 1,37±0,080 0,5
COD mg/L 1.876±1,4 300
BOD Mg/L 404,5 ±0,70 150
*) PerMen LH No. 5 Tahun 2014

Dari Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa bahwa limbah cair laboratorium diolah
dengan proses pengenceran, netralisasi dan menggunakan metode presiptasi dengan
koagulasi mampu menurunkan kadar Fe penambahan NaOH samapi pH 7 dapat
sebesar 99,50%, Cr 98,50%, COD 95,2% dan meremoval Cr sebesar 98,85% (Avessa et al.,
BOD 97,30%. Konsentrasi Cr dan Fe total, 2016).
COD, BOD setelah proses pengenceran, Netralisasi, koagulasi dan flokulasi juga
netralisasi dan koagulasi belum memenuhi efektif menurunkan konsentrasi COD dan
PerMen LH No. 5 Tahun 2014 sedangkan BOD, hal ini disebabkan polutan yang mudah
pH=7,2 sudah memenuhi, oleh karena itu terdegradasi maupun yang sulit terdegradsi
diperlukan proses lanjutan supaya konsentrasi dalam air limbah berkurang karena
polutan dapat memenuhi baku mutu. mengalami presipitasi. Pengendapan zat
Proses pengenceran, netralisasi dan organik menyebabkan oksigen terlarut yang
koagulasi dapat meremoval Cr dan Fe diatas digunakan untuk mengoksidasi air limbah
98 %, hal ini dikarenakan penambahan NaOH berkurang, nilai BOD dan COD berkurang
sebagai senyawa alkasi yang besifat basa kuat (Febrina and Ayuna, 2015). Pengendapat zat
menyebabkan krom dan besi yang ada di organik semakin efisien karena proses
dalam air limbah mengendap sebagai presiptasi dilakukan dalam suasana netral.
Kromium hidroksida Cr(OH)3 dan Fe(OH)2. Dengan penambahan NaOH menyebabkan zat
Endapan logam Fe da Cr yang berupa koloid organik yang tersuspeni baik yang mudah
dan flok flok kecil dengan penambahan terdegradasi maupun yang sulit terdegradsi
koagulan PAC dan proses flokukasi akan mengalami pengendapan sehingga BOD dan
diikat sehingga membentuk flok flok besar COD menurun (Wardhani and Dirgawati,
yang mudah mengendap. Penambahan NaOH 2013). Suasana netral juga menyebabkan
menyebabkan pH menjadi netral sehingga penurunan BOD, karena mikroorganisme
koagulan PAC akan bekerja lebih efektif dalam air limbah dapat hidup dengan baik
dalam mengikat logam berat (Nurhayati et al., sehingga dapat melakukan degradsi secara
2018). Penelitian serupa juga didapatkan hasil biologis (Irmanto and Suyata, 2010).
79
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]

Mengacu pada penelitian terdahulu, penyimpanan sesusi aturan tidak boleh


limbah penyamakan kulit setelah dilakukan langsung dibuang ke lingkungan.
presipitasi dengan penambahan NaOH pada
pH 7 dapat menurunkan BOD5 sebesar
97,05% dan COD sebesar 84,22% (Wardhani 3.3 Pengaruh Debit Aliran dan Waktu
and Dirgawati, 2013). Pengendapan zat Operasi Terhadap Kadar Besi (Fe)
organik akan lenih efisien karena setelah
Konsentrasi Fe selama proses adsobsi
proses prespitasi dilakukan koagulasi dengan
disajikan pada grafik dibawah (Gambar 1),
koagulan PAC dan flokulasi. Koagulasi
pada grafik tersebut menunjukan bahwa
flokuasi mengakibatkan partikel organik dari
bahwa proses adsobsi dengan adsorben zeolit
flok flok kecil akan bergabung sehingga
aktif dan karbon aktif secara kontinyu
proses presipitasi akan lebih cepat dan lebih
menggunakan debit 100 ml/menit dan 140
sempurna.
ml/menit sama-sama dapat menurunkan kadar
Pada proses koagulasi dan flokulasi air Fe. Pada menit ke-15 sampai menit ke-45
limbah menggunakan jar test, dan PAC debit 100 ml/menit dapat menurunkan Fe
sebagai koagulan befungsi untuk 43% sedangkan debit 140 ml/menit dapat
mendetsabilisasi partikel koloid di dalam air menurunkan Fe 15%, tetapi pada menit ke-60
limbah untuk membentuk mikro flok. Proses perbedaan debit tidak berpengaruh signfikan
koagulasi dilanjutkan dengan flokulasi yaitu terhadap removal Fe. Pada menit ke-60 menit
partikel-partikel kecil akan bergabung dengan debit 100 ml/menit dapat menurunkan
membentuk flok yang lebih besar untuk Fe sebesar 45%, (1,75 mg/L menjadi 0.971
menyerap zat organik yang larut sehingga mg/L), dan pada debit 140 ml/menit dapat
mengendap dengan cepat (Rahimah et al., menurunkan Fe sebesar 43% (1,75 mg/L
2016). Proses koagulasi akan menyebabkan menjadi 0,99 mg/L). Hal ini terjadi karena
partikel kecil yang tersuspensi saling melekat pada debit yang lebih kecil akan memberikan
sehingga dapat menghilangkan zat terlarut kesempatan larutan melakukan kontak dengan
dengan cara pengendapatn (Yuanita, 2015). adsorben (Ida Rofida et al., 2018). Setelah
Hasil penelitian serupa juga dilakukan melalui proses adsobsi kadar Fe telah
oleh Audiana, kombinasi koagulasi dan memenuhi PerMen LH No. 5 Tahun 2014.
adsorbsi pada pengolahan limbah limbah
Laboratorium Teknik Lingkungan mampu
menurunkan logam Fe dengan efisiensi
sebesar 62,25% (194 mg/L menjadi 7,3 mg/L)
(Audina et al., 2017). Koagulan PAC dapat
meremoval turbidity air limbah tailing dump
sebesar 97,77 % dari 130,74 NTU menjadi
2,92 NTU dan TSS (196,33 ppm menjadi 38,7
ppm) (Husaini, dkk, 2018). Pengolahan
limbah Kolong Tambang 23 Desa Kimhin
Sungaiiat dengan penambahan NaOH 6%
dapat menurunkan kadar Fe sebesar 88,99 %
(Apriastuti et al., 2017). Pengolahan limbah
limbah batik menggunakan PAC 6 gr/L dapat Gambar 1. Pengaruh Debit dan Waktu
rata-rata menurunkan BOD 83,80% (Fitriana Operasi Tehadap Removal Fe
et al., 2015).
Limbah laboratorium setelah dilakukan Penurunan Fe dalam air limbah terjadi
netraliasasi, koagulasi dan flokulasi karena karbon aktif sebagai adsorben
menghasilkan endapan, sebelum dilakukan mengadsobsi Fe pada permukaan karbon aktif
proses adsobsi. Endapan yang terjadi tentunya (Audina et al., 2017). Adsorbat akan
mengandung logam berat, oleh karena berpindah dari permukaan adsorben ke pori-
endapat tersebut harus dilakukan poti adsorben (Yuliastuti and Cahyono, 2018).
80
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Proses adsobsi terjadi karena adanya gaya berarti semakin lama waktu kontak antara
Van Der Waals, sehingga pori karbon aktif adsorben, yaitu karbon aktif dan zeolit aktif
akan menarik partikel pencemar sehingga dengan adosrbat yaitu polutan dalam air
terperangkap (Widayatno et al., 2017). limbah. Waktu kontak yang lebih lama
Logam Fe memiliki elektron valensi yang memberi kesempatan ion Fe bersinggungan
rendah sehingga dalam proses adsorbsi dengan permukaan adsorben sehingga pori-
dengan karbon aktif dan zeolit lebih cepat pori adsorben banyak menyerap ion Fe lebih
tersisihkan. banyak (Marlinawati et al., 2015). Proses
Dalam penelitian ini menggunakan adsobsi secara kontinyu, semakin kecil debit
karbon aktif berbentuk serbuk sehingga aliran yang digunakan dalam menyisihkan
memperbesar daya adsobsi. Karbon aktif logam berat maka kapasitas adsorbsi semakin
berbentuk serbuk mempunyai pori-pori yang besar (Shafirinia et al., 2016).
lebih banyak, sehingga partikel yang
teradsobsi semakin besar pula. Karbon aktif 3.4 Pengaruh Debit dan Waktu Operasi
dapat menurunkan logam Fe sampai efisiensi Terhadap Kadar Kromium (Cr)
62,25% (194 mg/L menjadi 7,324 mg/L) Penurunan krom Total (Cr) selama
(Audina et al., 2017). proses adsosi tersaji pada Gambar 2. Pada
Peran dari zeolit juga menambah Gambar 2 menunjukan bahwa proses adsobsi
kapasitas adsorbsi karena memiliki sifat secara kontinyu menggunakan adsorben
sebagai pengadsorbsi dan penukar ion. Zeolit karbon aktif dan zeolit teraktivasi dengan
yang akan digunakan sebagai adsorben debit 100 ml/menit dapat menurunkan krom
diaktivasi menggunakan H2SO4 untuk total rerata sebesar 70,4% dengan kadar akhir
memperbesar porositas, karena pori-pori krom total 0,39 mg/l, sedangkan pada debit
zeolit terbuka luas, (Nurhayati et al., 2018). 140 ml/menit dapat menurunkan krom total
sehingga keaktifan zeolit meningkat (Aidha, rerata sebesar 66% dengan kadar krom akhir
2013). Penyerapan zat pencemar akan 0.45 mg/L. Kadar krom total setelah treatment
sempurna dengan menggunakan zeolit yang sudah memenuhi baku mutu menurut PerMen
mempunyai pori-pori yang besar (Azamia, LH No. 5 Tahun 2014.
2012).
Dilihat dari waktu operasi, dari menit
ke-15 sampai menit ke-45 removal Fe terjadi
kenaikkan yang signifikan baik pada debit
100 ml/menit maupun debit 140 ml/menit hal
ini terjadi karena pada awal adsobsi laju
berjalan cepat karena pori-pori adsorben
masih kosong dan partikel Fe mudah
menempel pada pori pori adsorben. Pada
menit ke-45 sampai menit ke-60, removal Fe
mengalami penurunan, karena semakin lama
waktu operasi pori-pori adsorben yang kosong
semakin berkurang, oleh karena itu Gambar 2. Pengaruh Debit dan Waktu
kemampuan menyerap Fe juga semakin Operasi Tehadap Removal Cr
berkurang (Puspita et al., 2017).
Adsobsi dengan debit 100 ml/menit Penurunan kadar krom total dalam air
mulai dari menit ke-15 hingga 60 dapat limbah laboratroium disebabkan karbon aktif
meremoval Fe lebih tinggi daripada adsobsi serta zeolit aktif mengadsobsi krom. Ion Cr3+,
dengan debit 140 ml/menit. Pada menit ke-15 Cr6+ dan Fe2+ dalam air limbah mengalir
hingga 60, debit 100ml/menit dapat melalui kolom zeolit dan mengalami
menurunkan Fe rerata 38 % sedangkan pada penukaran dengan adanya ion H+ di dalam
debit 140 ml/menit rerata dapat menurunkan rongga zeolit (Aidha, 2013). Proses adsobsi
Fe 20%. Hal ini dikarena semakin kecil debit dan pertukaran ion ini berlangsung secara
81
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]

berkelanjutan, selama adsorben belum 271,7±0,70 mg/L. Penurunan COD terjadi


mengalami kejenuhan. karena karbon dan zeolit aktif menyerap zat
Kadar logam Cr air limbah setelah organik yang mudah teradsorb dalam air
proses adsorbsi dengan debit 100 ml/menit limbah.
mencapai efisiensi paling baik dibandingkan
debit 140 ml/menit. Semakin kecil debit
berarti semakin lama waktu kontak antara
adsorben dengan polutan yang ada dalam air
limbah. Semakin lama waktu kontak dapat
memberi kesempatan Cr bersinggungan
dengan permukaan adsorben sehingga pori-
pori adsorben menyerap Cr semakin besar
(Marlinawati et al., 2015). Proses ini akan
terus berlangsung selama kondisi adsorben
belum mengalami kejenuhan. Kondisi jenuh
menandakan bahwa pori-pori adsorben sudah
dipenuhi Cr. Gambar 3. Pengaruh Debit dan Waktu
Proses adsobsi dengan debit 100 Operasi Tehadap Removal COD
ml/menit maka kontak adsorben dengan air
limbah lebih lama dan mengakibatkan banyak
ion logam Cr yang terperangkap dalam Gambar 3 juga menunjukan bahwa
karbon aktif dan zeolit. Hasil tersebut sesuai efisiensi removal COD tertinggi pada pada
dengan penelitian Shafirina., dkk., (2016), waktu operasi 15 menit, sedangkan pada
pada variasi debit 100 ml/menit removal menit ke-45 hingga 60 besarnya efisiensi
konsentrasi logam Cr waktu optimumnya fluktuatif tetapi cenderung stabil. Hal ini
lebih cepat dibandingkan dengan debit 50 disebabkan pada menit ke-15 pori-pori
ml/menit dan 75 ml/menit dan removal kadar adsorben masih kosong sehingga terjadi
ion logam Cr pada menit ke 150 menit penyerapan secara optimal. Sedangkan pada
sebesar 36%. Pada menit ke-15 pada debit menit ke-45 - 60 selain terjadi adsobsi, pada
100 m/menit dan debit 140 ml/menit dapat proses ini juga terjadi pelepasan (desorbsi) zat
meremoval krom total sebesar 66%. Pada organik ke dalam limbah sehingga
menit ke-30 hingga 60 penurunan krom tidak mengakibatkan penurunan kadar COD yang
signifikan. Hal ini menandakan karbon aktif teradsorb.
dan zeolit mengalami kejenuhan sehingga Proses adsobsi air limbah dengan
tidak mampu lagi untuk mengadsobsi ion mnggunakan debit 100 dan 140 ml/menit,
logam Cr. Adsorben yang jenuh semua gugus keduanya efektif dalam menurunkan air
adsorben sudah mengikat ion logam Cr, limabah. Pengaturan aliran debit bertujuan
kondisi ini menandakan keseimbangan telah untuk memberikan kesempatan partikel
tercapai, kadar ion logam dalam air limbah adsorben untuk bersinggungan dengan limbah
sama dengan kadar logam dalam adsorben yang akan diserap. Berdasarkan gambar
(Nurhayati et al., 2018). diatas, pada debit 100 ml/menit rerata
penurunan COD sebesar 82,66% sedangkan
3.5 Pengaruh Debit dan Waktu Operasi pada debit 140 ml/menit rerata penurunan
Terhadap Consentarsi COD COD sebesar 79,5%. Debit 100 ml/menit
efisiensi penurunanya lebih besar dari pada
Efisiensi penurunan COD dalam proses
adsorbsi dengan debit 140 ml/menit. Debit
adsobsi dijelaskan pada grafik dibawah ini.
yang kecil mengakibatkan kontak adsorben
Dari gambar 2, menunjukan proses adsobsi
dengan zat organik lebih lama, sehingga
efektif dapat menurunkan COD air limbah.
permukaan adsorben mempunyai kesempatan
Dalam waktu operasi 60 menit adsorben
untuk bersinggungan dengan zat organik dan
karbon dan zeolit aktif dapat meremoval COD
mengakibatkan zat organik akan terserap
sebesar 83% dari 1876 ± 1,4 mg/L menjadi
lebih banyak di dalam pori-pori karbon aktif
82
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

dan zeolit (Marlinawati et al., 2015). Proses


adsobsi secara kontinyu, semakin kecil debit
aliran yang digunakan dalam menyisihkan
polutan, maka kapasitas adsorbsi semakin
besar (Shafirinia et al., 2016). Hal yang
serupa telah dilaporkan oleh Wardhani dan
Dirgawati. 2013, Penyisihan COD limbah
penyamakan kulit menggunakan karbon aktif
secara bach dengan variasi waktu kontak pada
0,5; 2,5; dan 5,5 jam, yang paling efektif
menyisihkan COD adalah waktu kontak 5,5
Gambar 4. Pengaruh Debit dan Waktu
jam dengan efisiensi 98,03 5 dari 811,19
Operasi Tehadap Removal BOD
mg/L menjadi 16 mg/L (Wardhani and
Dirgawati, 2013).
3.7 Pengaruh Debit dan Waktu Operasi
Terhadap pH
3.6 Pengaruh Debit dan Waktu Operasi
Terhadap Konsentarsi BOD Salah satu parameter fisik air limbah
adalah pH. Kehidupan mikroorganisme salah
Kadar BOD dalam air limbah
satunya dipengaruhi oleh pH. PH air limbah
menunjukan jumlah kadar zat orgaik yang
yang terlalu asam jika dibuang ke lingkungan
terdegradasi secara biologi oleh bakteri
perairan akan mengganggu kehidupan
(Lasindrang et al., 2014). Removal BOD
makhluk hidup aquatic, beberapa ion logam
dengan adsorben zeolit dan karbon aktif
yang tadinya mengendap akan larut dan
selama waktu operasi 60 menit dengan sistim
merusak perpipaan logam karena korosi
koninyu diajikan dalam Gambar 4. Gambar
(Lasindrang et al., 2014).
tersebut menunjukan bahwa efisiensi tertinggi
terjadi pada menit ke-15 debit 100 L/menit Nila pH selama proses adsobsi
yaitu sebesar 63 % dari 404,5±0,7 menjadi disajikan dalam gambar 5. Selama proses
149,5±0,7. adsobsi pH air limbah berubah fluktuatuf
tetapi tidak terlalu signifikan yaitu antara 6,95
Penurunan BOD terjadi karena zat
± sampai 7,25±0,07, nilai tersebut masih
organik yang terurai oleh bakteri diserap oleh
berada pada rentang yang diperbolehkan
adsorben karbon aktif dan zeolit teraktivasi.
sesuaia baku mutu yaitu 6,0 - 9,0. Waktu
Pada 15 menit pertama pori-pori adsorben
operasi dan debit tidak mempengaruhi nilai
masih kosong sehingga terjadi penyerapan zat
pH air limbah. Nilai pH yang tidak berupah
organik secara optimal. Pada menit ke-30
secara signifkan dan pada rentang pH normal
hingga 60, removal BOD senderung stabil,
menyebabkan proses koagulasi dan adsobsi
hal ini karena pori-pori adsorben sudah
berjalan optimal.
menggalami kejenuhan sehingga tidak
mampu menyerap zat organik lagi. Debit
aliran limbah 100 L/menit selama 60 menit
rata-rata meremoval BOD sebesar 62,5 %
sedangkan debit 140 L/menit rerata dapat
meremoval BOD 57%. Semakin cepat debit
aliran air limbah semakin cepat kontak antara
zat organik dengan adsorben, sehingga
kesempatan zat organik untuk menempati
pori-pori karbon dan zeolit aktif semakin
cepat, sehingga zat organik yang terserap
semakin kecil.
Gambar 5. Nlilai pH

83
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]

3.8 Kombinasi Pengenceran, Netralisasi, menghasilkan air limbah yang sudah sesuai
Koagulasi, Flokukasi Dan Adsobsi PERMEN LH No. 5 Tahun 2014 kecuali
BOD dan COD pada adsobsi dengan debit
Penelitian tentang pengolahan air
140 ml/L. Efsiensi penurunan ion Fe, ion Cr,
limbah laboratirum TL menggunakan
COD dan BOD diatas 99%. Karakteristik air
teknologi kombinasi pengenceran, netralisasi,
limbah sebelum dan sesudah pengolahan dan
koagulasi dan adsobsi dengan adsorben
nilai removal disajikan dalam Tabel 3.
karbon aktif dan zeolit teraktivasi,

Tabel 3. Karakteristik Air Limbah dan Removal Polutan Setelah Koagulasi dan Adsobsi

Paramter Satuan Awal Akhir Removal (%)

pH - 2,70 ± 00 6,95 -7,25

Fe Total Mg/L 1.768 ± 1,14 0.98±0,03 99.94

Cr Total Mg/L 48,35± 0,49 0.39±0,00 99.18

COD Mg/L 35.485 ± 2,1 286± 1,4 99.19

BOD Mg/L 15.052 ± 13.5 149.5±2,1 99.00

mg/L menjadi 0.99±0,03 mg/L dan krom


4. SIMPULAN DAN SARAN total 99,07% dari 48,35± 0,49 mg/L
4.1 Simpulan menjadi 0.45±0,00 mg/L, COD 99.08 %
dari 35.485 ± 2,1 mg/L menjadi 325,25±
Pengolahan limbah cair Laboratorium 2,12 mg/L, BOD 98% dari 15.052 ± 13.5
TL menggunakan kombinasi teknologi mg/L menjadi 160,5 ±0,70 mg/L, pH
pengenceran, netralisasi, koagulasi dan 6,95 – 7,25
adsobsi dengan adsorben karbon aktif dan
zeolit aktif dapat disimpulkan: 5. Kualitas air limbah setelah treatmen
sudah memenuhu baku mutu sesuai
1. Proses adsobsi secara kontinyu, semakin
dengan PerMen LH No. 5 Tahun 2014
kecil debit semakin tinggi removal Fe,
kecuali BOD dan COD pada adsobsi
Cr, COD dan BOD
denga debit 140 ml/L
2. Waktu operasi dari menit ke-15 sampai
ke-16 semakin lama waktu operasi 4.2 Saran
semakin kecil removal Fe, Cr, COD dan Perlu ada penelitian lanjutan mengenai
BOD tingkat kemampuan adsorben terhadap logam
3. Adsobsi dengan debit 100 ml/menit dapat yang lain, dan proses adsobsi dilakukan diatas
menurunkan Fe total sebesar 99,94% dari 60 menit. Selain itu juga perlu dilakukan
1.768 ± 1,14 mg/L menjadi 0.98±0,03 penelitian proses regenerasi adsorben yang
mg/L dan krom total 99,07% dari 48,35± sudah jenuh sehingga bisa digunakan kembali
0,49 mg/L menjadi 0.39±0,00 mg/L, untuk mengolah limbah, dan pengolahan
COD 99.17 % dari 35.485 ± 2,1 mg/L lumpus dari proses koagulasi dan flokulasi.
menjadi 286± 1,4 mg/L, BOD 99% dari
15.052 ± 13.5 mg/L menjadi 149.5±2,1
mg/L, pH 7,05 – 7,25.
4. Debit 140 ml/Menit dapat menurunkan
Fe total sebesar 99,94% dari 1.768 ± 1,14
84
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

UCAPAN TERIMA KASIH Audina, M., Apriani, I. and Kadaria, U.


(2017) ‘Pengolahan Limbah Cair
Penelitian ini dibiayai oleh Universitas
Laboratorium Teknik Lingkungan
PGRI Adi Buana Surabaya melalui penelitian
dengan Koagulasi dan Adsorpsi untuk
unggulan hibah adi buana tahun anggaran
Menurunkan Cod, Fe, dan Pb’, Jurnal
2018 No. 089. 18/LPPM/V/2019 tanggal 13
Teknologi Lingkungan Lahan Basah,
Mei 2019
1(5), pp. 1–10.
Avessa, I. et al. (2016) ‘Penurunan Kadar
DAFTAR PUSTAKA Cr3+[Kromium(Iii)] Dan Tss (Total
Suspended Solid) Pada Limbah Cair
Aidha, N. N. (2013) ‘Aktivasi Zeolit Secara Laboratorium Dengan Penggunaan
Fisika Dan Kimia Untuk Menurunkan Metode Presipitasi’, Jurnal kimia
Kadar Kesadahan (Ca dan Mg) Dalam mulawarman, 14(November), pp. 7–12.
Air Tanah (Activation Of Zeolite By
Physical And Chemical Methods’, J. Febrina, L. and Ayuna, A. (2015) ‘Studi
Kimia Kemasan, 35(1), pp. 58–64. Penurunan Kadar Besi (Fe) Dan
Mangan (Mn) Dalam Air Tanah
Anggoro, D. (2017) Teori dan Aplikasi Menggunakan Saringan Keramik’,
Rekayasa Zeolit. Semarang: UNDIP Jurnal Teknologi, 7, pp. 35–40. doi:
Press. 10.24853/jurtek.7.1.35-44.
Apriastuti, E. D., Pitulima, J. and Mardiah Fitriana, W., Kasjono, H. S. and Astuti, D.
(2017) ‘Pengaruh Penambahan NaOH (2015) ‘Keefektifan Poly Alumunium
dan Ca(OH)2 Terhadap Penurunan Chloride (PAC) Dalam Menurunkan
Kadar Logam Berat (Fe) di Kolong Kadar BOD (Biological Oxygen
Tambang 23 Desa Kimhin Kecamatan Demand) Pada Limbah’, Naskah
Sungailiat’, Jurnal Mineral, Publikasi Program Studi kesehatan
2(September), pp. 10–15. masysrakat Universitas Muhammadiyah
Apriyanti, H. and Candra, I. N. (2018) Surakarta.
‘Karakterisasi Isoterm Adsorpsi Dari Husaini, H. et al. (2018) ‘Perbandingan
Ion Logam Besi (Fe) Pada Tanah Di koagulan hasil percobaan dengan
Kota Bengkulu’, Jurnal Pendidikan dan koagulan komersial menggunakan
Ilmu Kimia, 2(1), pp. 14–19. metode jar test’, Jurnal Teknologi
Ariani, M. D. and Rahayu, D. (2016) ‘Review Mineral dan Batubara, 14, p. 31.
Artikel: Penyisihan Logam Berat Dari Ida Rofida, Wahyuningsih, N. E. and
Limbah Cair Laboratorium Kimia’, Nurjazuli (2018) ‘Efektivitas Arang
Farmaka, 14(4), pp. 89–97. Aktif Kayu Dengan Variasi Ukuran
Arisna, R., Zaharah, T. A. and Rudiyansyah Adsorben Dan Debit Aliran Dalam
(2016) ‘Adsorpsi Besi dan Bahan Menurunkan Kadar Kadmium (Cd)
Organik pada Air Gambut oleh Karbon Pada Limbah Cair Pertanian’, Jurnal
Aktif Kulit Durian’, Jurnal Kimia Kesehatan Masyarakat, 6, pp. 150–158.
Khatulistiwa, 5(3), pp. 31–39. Irmanto and Suyata (2010) ‘Optimasi
Asmadi, Endro, S. and Oktiawan, W. (2009) Penurunan Nilai Bod, Cod Dan Tss
‘Pengurangan Chrom (Cr) Dalam Limbah Cair Industri Tapioka
Limbah Cair Industri Kulit Pada Proses Menggunakan Arang Aktif Dari Ampas
Tannery Menggunakan Senyawa Alkali Kopi’, Molekul, 5(1), pp. 22–32.
Ca(Oh)2, Naoh Dan Nahco3 (Studi Jenti, U. B. and Nurhayati, I. (2014)
Kasus Pt . Trimulyo Kencana Mas ‘Pengaruh Penggunaan Media Filtrasi
Semarang)’, J. Air Indonesia, 5(1), pp. Terhadap Kualitas Air Kabupaten
41–54. Sidoarjo’, Waktu, 12, pp. 34–38.

85
Penurunan Kadar Besi (Fe), Kromiun (Cr), COD dan BOD Limbah Cair Laboratorium…… [Indah Nurhayati,dkk.]

Kamarati, K. F. A. et al. (2018) ‘Kandungan Paramita, R. W., Wardhani, E. and


Logam Berat Besi (Fe), Timbal (Pb) Pharmawati, K. (2017) ‘Kandungan
Dan Mangan (Mn) Pada Air Sungai Logam Berat Kadmium ( Cd ) dan
Santan’, Jurnal Peneliti Ekosistem Kromium ( Cr ) di Air Permukaan dan
Dipterokarpa, 4(1), pp. 49–56. Sedimen : Studi Kasus Waduk Saguling
Jawa Barat’, Rekayasa Lingkungan,
Kristianto, S., Wilujeng, S. and Wahyudiarto,
5(2), pp. 1–12.
D. (2017) ‘Analisis Logam Berat
Kromium (Cr) Pada Kali Pelayaran Polii, F. F. (2017) ‘Pengaruh Suhu Dan Lama
Sebagai Bentuk Upaya Penanggulang Aktifasi Terhadap Mutu Arang Aktif
Pencemaran Lingkungan Di Wilayah Dari Kayu Kelapa Effects of Activation
Sidoarjo’, Jurnal Biota, 3(2), pp. 66–70. Temperature and Duration Time on the
Quality of the Active Charcoal of
Kurniawati, S., Nurjazuli and Raharjo, M.
Coconut Wood’, Jurnal Industri Hasil
(2017) ‘Risiko Kesehatan Lingkungan
Perkebunan, 2(12), pp. 21–28.
Pencemaran Logam Berat Kromium
Heksavalen ( Cr VI ) pada Ikan Nila Prastyo, D., Herawati, T. and Iskandar (2016)
( Oreochromis niloticus ) di Aliran ‘Bioakumulasi Logam Kromium (Cr)
Sungai Garang Kota Semarang’, Pada Insang, Hati, Dan Daging Ikan
Higiene, 3(3), pp. 152–160. Yang Tertangkap Di Hulu Sungai
Cimanuk Kabupaten Garut’, Jurnal
Larasati, A. I., Susanawati, L. D. and Suharto,
Kelautan, 7(2), pp. 1–8.
B. (2016) ‘Efektivitas Adsorpsi Logam
Berat Pada Air Lindi Menggunakan Puspita, M., Firdaus, M. L. and Nurmahidah
Media Karbon Aktif, Zeolit, Dan Silika (2017) ‘Pemanfaatan Arang Aktif Sabut
Gel Di Tpa Tlekung, Batu’, Jurnal Kelapa Sawit Sebagai Adsoben Zat
Sumberdaya Alam dan Lingkungan, pp. Warna Sintetis Reactive Red-120 Dan
44–48. Direct Green -26’, Jurnal Pendidikan
dan Ilmu Kimia, 1(1), pp. 75–79.
Lasindrang, M. et al. (2014) ‘Adsorpsi
pencemaran limbah cair industri Rahimah, Z., Heldawati, H. and Syauqiah, I.
penyamakan kulit oleh kitosan yang (2016) ‘Pengolahan Limbah Deterjen
melapisi arang aktif tempurung kelapa’, Dengan Metode Koagulasi-flokulasi
Jurnal Teknosains, 3(2), pp. 132–141. Menggunakan Koagulan Kapur Dan
Pac’, Jurnal Konversi UNLAM, 5(2),
Marlinawati, Yusuf, B. and Alimudin (2015)
pp. 13–19.
‘Pemanfaatan Arang Aktif Dari Kulit
Durian (Durio Zibethinus L) Sebagai Raimon (2011) ‘Pengolahan Air Limbah
Adsorben Ion Logam Kadmium (I)’, J. Laboratorium Terpadu Dengan Sistem
Kimia Mulawarman, 13(1), pp. 23–27. Kontinyu’, Jurnal Dinamika Penelitian
Masthura, M. and Putra, Z. (2018) Industri, 2(22), pp. 18–27.
‘Karakterisasi Mikrostruktur Karbon Said, N. I. (2010) ‘Metoda Penghilangan
Aktif Tempurung Kelapa dan Kayu Logam Berat (As , Cd , Cr , Ag , Cu ,
Bakau’, Elkawnie, 1(4), pp. 45–54. doi: Pb , Ni dan Zn ) Di Dalam Air Limbah
10.22373/ekw.v4i1.3076. Industri’, J. Air Indonesia, 6(2), pp.
136–148.
Nurhayati, I., Sugito and Pertiwi, A. (2018)
‘Pengolahan Limbah Cair Laboratorium Setiyono, A. and Gustaman, R. (2017)
Dengan Adsorpsi Dan Pretreatment ‘Pengendalian Kromium (Cr) Yang
Netralisasi Dan Koagulasi’, J. Sains dan Terdapat Di Limbah Batik Dengan
Teknologi Lingkungan, 10(2), pp. 125– Metode Fitoremediasi’, Unnes Journal
138. of Public Health, 6, p. 155. doi:
10.15294/ujph.v6i3.15754.

86
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Shafirinia, R., Wardhana, I. W. and Oktiawan, Wardhani, E. and Dirgawati, M. (2013)


W. (2016) ‘Pengaruh Variasi Ukuran ‘Kombinasi Proses Presipitasi Dan
Adsorben Dan Debit Aliran Terhadap Adsorpsi Karbon Aktif Dalam
Penurunan Khrom (Cr) Dan Tembaga Pengolahan Air Limbah Industri
(Cu) Dengan Arang Aktif Dari Limbah Penyamakan Kulit’, Lingkungan Tropis,
Kulit Pisang Pada Limbah Cair Industri 7(1), pp. 39–52.
Pelapisan Logam (Elektroplating) Widayatno, T., Yuliawati, T. and Susilo, A.
Krom’, Jurnal Teknik Lingkungan, 5(1),
A. (2017) ‘Adsorpsi Logam Berat (Pb)
pp. 1–9. Dari Limbah Cair Dengan Adsorben
Sirajuddin and Harjanto (2018) ‘Pengaruh Arang Bambu Aktif’, Jurnal Teknologi
Ukuran Adsorben Dan Waktu Adsorpsi Bahan Alam, 1(1), pp. 17–23.
Terhadap Penurunan Kadar Cod Pada Yuanita, Y. A. (2015) ‘Kefektifan Dosis PAC
Limbah Cair Tahu Menggunakan Arang (Poli Aluminium Chloride) Terhadap
Aktif Tempurung Kelapa’, Prosiding Penurunan TSS (Total Suspended
Seminar Hasil Penelitian, 2018, pp. 42– solids) Limbah Industri Penyamakan
46. Kulit Magetan’, Naskah Publikasi UMS,
Sy, S. et al. (2016) ‘Adsorbsi Ion Cr(VI) pp. 1–9. Available at:
Menggunakan Adsorben Dari Limbah http://eprints.ums.ac.id/39281/1/NASK
Padat Lumpur Aktif Industri Crumb AH PUBLIKASI.pdf.
Rubber’, Jurnal Litbang Industri, 2(Vi), Yuliastuti, R. and Cahyono, H. B. (2018)
pp. 135–145. ‘Penggunaan Karbon Aktif yang
Utami, I. (2017) ‘Aktivasi Zeolit Sebagai Teraktivasi Asam Phosphat pada
Adsorben Gas CO2’, Jurnal Teknik Limbah Cair Industri Krisotil’, Jurnal
Kimia, 11(2), pp. 51–55. Teknologi Proses Dan Inovasi Industri,
3(1), pp. 23–26.

87
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]

STRUKTUR VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN KUALITAS


LINGKUNGAN BIOFISIK DI TAMAN HUTAN RAYA NGURAH RAI
BALI

Ajie Imamsyah*, Dietriech Geoffrey Bengen, Meutia Samira Ismet


Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian
Bogor
*
Email: ajieimamsyah21@gmail.com

ABSTRACT

STRUCTURE OF MANGROVE VEGETATION BASED ON BIOPHYSICAL


ENVIRONMENTAL QUALITY IN NGURAH RAI FOREST PARK BALI

Mangroves are typical coastal plants whose habitat is influenced by tidal and substrate
characteristics. Mangrove ecosystems have a variety of functions that can be utilized both in
terms of physical, biological, and economic. Utilization of mangrove ecosystems that do not pay
attention to environmental sustainability and conservation aspects cause damage of a whole
coastal ecosystems. This study aims to analyze the structure of mangrove vegetation based on
biophysical environment quality. This research was conducted on February until March 2017 at
Ngurah Rai Forest Park Bali. The results of study show that the conditions of temperature, pH,
and salinity are still in accordance with the specified quality standards, however dissolved
oxygen has been classified as polluted by anthropogenic waste. The analysis of the structure and
distribution of mangrove vegetation found that species of S. alba dominated at the location
research, followed by R. apiculata, R. mucronata, B. gymnorrhiza, R. stylosa, X. granatum, A.
marina, and A. corniculatum. Overall, the mangrove condition was damaged category with a
mangrove density value < 1000 ind/ha.

Keywords: Coastal; Environmental; Mangrove; Vegetation

ekosistem pesisir, salah satunya adalah


1. PENDAHULUAN ekosistem mangrove.
Ekosistem pesisir adalah ekosistem Mangrove adalah tumbuhan khas yang
peralihan antara darat dan laut dimana tumbuh di pantai dan estuari serta tergenang
terdapat ekosistem penunjang kehidupan oleh pasangasurut airalaut. Ekosistem
organisme seperti ekosistem terumbu karang, mangrove dapat dikatakan bersifat kompleks,
padang lamun, danamangrove. Selain untuk dinamis, dan labil. Dikatakan kompleks
penunjang kehidupan organisme laut, karena ekosistem mangrove merupakan
ekosistem pesisir juga memiliki peran vital habitat monyet, ular, burung, dan organisme
secara fisik yaitu melindungi pantai dari perairan. Dikatakan dinamis karena adaptif
gelombang pasang, erosi, dan abrasi. Secara terhadap kondisi lingkungan dan bersifat labil
ekonomis, ekosistem pesisir juga dapat karena rentan rusak dan memerlukan waktu
dimanfaatkan sebagai penghasil sumberdaya yang lama untuk mengembalikan fungsi
dan produktivitas hayati yang bernilai ekosistem (Ashton et al., 2003). Ekosistem
ekonomis tinggi, penyedia jasa lingkungan, mangrove termasuk ekosistem dengan
dan kawasan ekowisata. Namun adanya keanekaragaman hayati dengan berbagai
pemanfaatan ekosistem secara berlebihan macam fungsi baik secara fisik, biologis, dan
ditengarai akan menyebabkan perubahan ekonomis. Di samping itu, ekosistem
mangove juga dimanfaatkan oleh organisme
88 ECOTROPHIC14(1):88–99 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]

laut untuk memulai rantai makanan dengan sangat potensial dalam pemanfaatan di sektor
memanfaatkan serasah mangrove. Tidak pariwisata, bisnis, dan letaknya yang dekat
hanya organisme laut, masyarakat juga dengan pemukiman penduduk. Tentu saja hal
seringkali memanfaatkan areal mangrove ini menyebabkan terjadinya tekanan
sebagai tambak, kayu bakar, bahan obat - lingkungan akibat adanya limbah domestik.
obatan, dan lainnya. Tidak hanya limbah, alih fungsi lahan juga
Kondisi ekosistem mangrove sebagai menyebabkan ekosistem mangrove menjadi
habitat berbagai macam organisme kini rusak. Mengingat peran ekosistem mangrove
eksistensinya terancam. Seiring bertambahnya sangat penting bagi kehidupan makhluk
jumlah penduduk dan ditambah dengan hidup, maka dari itu perlu adanya kajian
meningkatnya kebutuhan sehari - hari, secara komprehensif untuk mengalisis
ditengarai akan membuat ekosistem struktur vegetasi mangrove di Tahura
mangrove perlahan kehilangan perannya NgurahaRai Bali.
sebagai penyangga ekosistem pesisir. Hal ini
juga didukung dengan adanya pemanfaatan 2. METODOLOGI
ekosistem mangrove yang tidak melihat dari
aspek kelestarian lingkungan dan konservasi 2.1 Lokasiadan WaktuaPenelitian
seperti yang terjadi di Taman Hutan Raya Penelitian iniadilakukan padaabulan
(Tahura) Ngurah Rai Bali. Februari-Maret 2017 diaTahura Ngurah Rai,
Kawasan Tahura Ngurah Rai Bali. Lokasi penelitian dibagi menjadi tiga
Baliamerupakan habitat ekosistem mangrove stasiun yaitu di Pantai Mertasari (Stasiun 1),
terluas di Baliayang terletak di Kabupaten Sungai Mati (Stasiun 2), dan Tanjung Benoa
Badung dan Kota Denpasar. Kawasan Tahura (Stasiun 3) (Gambar 1).
Ngurah Rai Bali merupakan lokasi yang

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Tahura Ngurah Rai Bali

batas darat sampai dengan batas laut


2.2 Prosedur Penelitian
tumbuhnya mangrove. Adapun di dalam
Pengamatan vegetasi mangrove transek garis dipasang transek kuadrat (plot)
dilakukan pada tiga stasiun penelitian, dimana sesuai dengan kategori vegetasi mangrove.
pada tiap stasiun penelitian ditentukan tiga Menurut Bengen (2004), transek berukuran
sub stasiun yang dipasang transek garis dari 10 x 10 m2 digunakan untuk pengambilan
89
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

data pohon mangrove, transek 5 x 5 m2 untuk


pengambilan anakan mangrove, dan transek 1 Frekuensi relatif (RF𝑖) adalahaperbandingan
x 1 m2 untuk pengambilan data semai antara frekuensi spesies i (F𝑖) dengan jumlah
mangrove. Pengambilan sampel kualitas frekuensi untuk seluruh jenis (∑F)
lingkungan perairan dan substrat (pH tanah
dan redoks potensial) dilakukan secara in situ P𝑖
RF𝑖= x100% (4)
ketika kondisi surut agar memudahkan dalam ∑F
mobilisasi di lokasi penelitian. Sementara itu,
analisis fraksi substrat menggunakan metode Keterangan:
ayakan saringan bertingkat untuk melihat RF𝑖 : Frekuensi relatif jenis i
ukuran butiran substrat. Analisis fraksi F𝑖 : Frekuensi spesies ke-i
substrat dilakukan di Laboratorium ∑F : Jumlahafrekuensi untukaseluruh
Lingkungan Budidaya Perairan, Institut jenis
Pertanian Bogor.

2.3 Analisis Data Penutupan spesies dan penutupan relatif


Penutupanaspesies (C𝑖) adalahaluas
Kerapatan spesies dan kerapatan relatif
penutupanajenis i dalamasuatu unit area
mangrove
Kerapatan spesies merupakan nilai yang ∑BA
C𝑖 = (5)
dapat menggambarkan banyaknya individu A
suatu jenis perasatuan luas (Ghufran dan
Kordi 2012). Keterangan:
C𝑖 : Luas penutupan jenis i
πDBH
n𝑖 BA : A , (π = 3.1416)
D𝑖 = A (1)
A : Luas total area pengambilan contoh
Keterangan: (m2)
Di : Kerapatanaspesies ke-i (ind/m2)
n𝑖 : Jumlahatotalategakan ke-i Penutupanarelatif jenis (RCi)
A : Luasaareaatotalapengambilanacontoh adalahaperbandingan antara luas
2
(m ) areaapenutupan jenis i (C𝑖) dan total luas area
penutupan untuk seluruh jenis (∑C)
Kerapatanarelatif (RDi)
adalahaperbandingan antaraajumlah tegakan C𝑖
jenis i dan jumlah total tegakanaseluruh jenis RC𝑖= x 100 % (6)
∑C
(∑n).
Keterangan:
n𝒊 RC𝑖 : Penutupan relatif jenis i
RD𝑖= ∑n x100% (2)
C𝑖 : Luas penutupan spesies ke –i
∑C : Total luas area penutupan untuk
seluruh pengaruh
Frekuensi spesies dan frekuensi relatif
Frekuensi (F𝑖) adalahapeluang ditemukannyaajenis
i dalam plotayang diamatia Indeks Nilai Penting (INP)
IndeksaNilai Penting (INP) adalah analisa
P𝑖
F𝑖= (3) secara kuantitatifayang menggambarkan
∑p
adanya spesies yang mendominasi dalam
Keterangan: vegetasi. Perhitungan INP dapat melihat
F𝑖 : Frekuensi spesies ke – i pengaruh suatu spesies mangrove di dalam
P𝑖 : Jumlahaplotaditemukannya jenis ke-i ekosistem.
∑P : Jumlahaplotapengamatan
90
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]

INP = RDi + RFi+ RCi (7) Suhu perairan pada setiap stasiun
penelitian yaitu 29 - 29,4 °C. Sesuai dengan
Keterangan: Kepmen LH No. 51 (2004), kisaran suhu yang
RDi : Kerapatanarelatif ideal bagi kehidupan mangrove adalah 28 - 32
RFi : Frekuensiarelatif °C. Berdasarkan hasil penelitian, kisaran suhu
RCi : Penutupanarelatif perairan tidak ada perbedaan secara
signifikan. Hal ini terjadi karena kerapatan
mangrove yang hampir sama pada setiap
3. HASILaDANaPEMBAHASAN stasiun penelitian. Perbedaan suhu perairan
disebabkan oleh tinggi rendahnya kerapatan
3.1 Karakteristik FisikaaKimiaaPerairan mangrove sehingga memengaruhi intensitas
cahaya matahari yang diterima oleh perairan.
Pengambilan data kualitas lingkungan
Pernyataan ini serupa dengan pendapat
perairan meliputi suhu, pH air, salinitas, dan
Poediharajoe et al., (2017) dimana suhu tinggi
oksigen terlarut. Berdasarkan hasil
disebabkan adanya cahaya matahari yang
pengukuran terdapat terdapat perbedaan nilai
masuk ke dalam kawasan mangrove yang
pada setiap stasiun (Tabel 1).
agak terbuka.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Parameter Fisika Kimia Perairan


Parametera Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Suhu (°C) 29 ± 0,68 29,1 ± 0,81 29,4 ± 0,57
pH air 7,54 ± 0,32 7,26 ± 0,15 7,56 ± 0,11
Salinitas (‰) 20,4 ± 4,22 13,8 ± 1,58 20,7 ± 1,73
DO (mg/l) 4,18 ± 1,69 2,85 ± 0,5 4,06 ± 0,4

Nilai pHaperairan pada lokasi penelitian masukan air tawar dari daratan sehingga
adalah 7,26 - 7,56. Sesuai dengan Kepmen salinitas menjadi rendah. Hal ini sesuai
LH No. 51 (2004), kisaran pH perairan yang dengan pendapat Asri et al., (2015); Geng et
cocok untuk pertumbuhan mangrove adalah al., (2016), dimana adanya air payau dengan
6,5 - 8,5. Salah satu faktor yang kondisi salinitas yang fluktuatif karena
mempengaruhi nilai pH perairan di kawasan adanya akumulasi air laut dan air tawar.
mangrove adalah adanya serasah mangrove. Kepmen LH No. 51 (2004) menyatakan
Hal ini sesuai dengan pernyataan Adeleke et kisaran salinitas pada suatu perairan tidak
al., (2017) dimana serasah mangrove yang lebih dari 34 ‰ sehingga dapat dikatakan
jatuh terdekomposisi oleh mikroorganisme bahwa salinitas cocok untuk pertumbuhan
sehingga menghasilkan detrius yang mangrove.
menyebabkan perairan menjadi asam. Oksigen terlarut (DO) merupakan
Berdasarkan hasil tersebut maka dapat indikator kualitas lingkungan perairan yang
dikatakan bahwa nilai pH perairan cocok sangat penting bagi organisme laut.
untuk pertumbuhan ekosistem mangrove. Kandungan DO dibutuhkan dalam proses
Salinitas adalah kandungan garam respirasi dan metabolisme yang selanjutnya
dalam perairan yang dapat menentukan menghasilkan energi untuk
kehidupan ekosistem mangrove. Hasil perkembangbiakan organisme laut (Dubuc et
pengukuran salinitas pada stasiun penelitian al., 2019). Hasil pengukuran kandungan DO
berkisar antara 13,8 - 20,7 ‰. Terdapat pada stastiun penelitian berkisar antara 2,85 –
perbedaan kadar salinitas yang signifikan 4,18 mg/l. Tinggi rendahnya nilai DO terjadi
pada stasiun penelitian. Hal ini terjadi karena karena lokasi penelitian yang dekat dengan
lokasi penelitian stasiun 1 dan stasiun 3 pusat kegiatan masyarakat sehingga
berada di wilayah pantai sedangkan stasiun 2 menghasilkan limbah. Gedan et al., (2017),
berada di wilayah estuari. Lokasi yang berada menyatakan bahwa nilai DO akan rendah
di estuari menyebabkan adanya pengaruh apabila limbah masuk ke perairan. Hal ini
91
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

karena DO dimanfaatkan oleh Pengamatan parameter fisika kimia


mikroorganisme aerobik dalam proses substrat pada lokasi penelitian didapatkan
dekomposisi bahan organik dari limbah. bahwa adanya perbedaan nilai pH tanah,
Dalam keadaan tertentu, apabila hal ini terus redoks potensial, dan fraksi substrat. Adapun
terjadi maka akan mengganggu kehidupan hasil pengamatan disajikan padaaTabel 2 dan
ekosistem pesisir secara keseluruhan. Tabel 3.

3.2 Karakteristik Fisika Kimia Substrat

Tabel 2. HasilaPengukuran Parameter Fisika Kimia Substrat


Parametera Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
pH substrat 5.36 ± 0.57 5.23 ± 0.5 6.04 ± 0.7
Redoks Potensial (mV) 74 78 92

Redoks potensial (Eh) dan pH tanah fraksi substrat dapat menggambarkan kondisi
memiliki hubungan erat pada kelarutan dan lingkungan perairan untuk pertumbuhan
ketersediaan hara bagi pertumbuhan ekosistem pesisir secara keseluruhan.
mangrove (Cyio, 2008). Nilai Eh substrat Berdasarkan hasil pengukuran didapatkan
merupakan suatu besaran potensial listrik bahwa tekstur substrat pada setiap stasiun
yang dapat menggambarkan proses penelitian memiliki persentase yang berbeda
dekomposisi bahan organik dalam substrat (Tabel 3). Tekstur substrat pasir kasar (pasir)
yang berlangsung pada keadaan reduksi atau dominan ditemukan pada stasiun 1 (68,9 %)
oksidasi (Kurniawan, 2012). Odum (1993) dan stasiun 3 (35,1 %). Sementara itu, tekstur
menyatakan nilai Eh >+ 0 mV masuk ke substrat halus (lumpur) dominan dijumpai
dalam proses oksidasi. Nilai Eh substrat pada pada stasiun 2 (44,2 %). Adanya perbedaan
stasiun penelitian berkisar 74 - 92 mV persentase karena karakteristik lokasi
sehingga dapat dikatakan pada kondisi penelitian yang berada dekat dengan sungai
oksidasi terjadi proses dekomposisi bahan dan pantai. Tingginya persentase substrat
organik. kasar (pasir) pada stasiun 1 dan stasiun 3
Sementara itu, pH substrat karena terletak dekat dengan pantai sehingga
menggambarkan keseimbangan asam dan adanya pengaruh arus dan gelombang yang
basa dalam substrat. Berdasarkan hasil dapat mengubah komposisi substrat.
penelitian didapatkan nilai pH substrat Pernyataan ini senada dengan Abdulkarim et
berkisar antara 5,23 - 6,04. Menurut Onrizal al., (2011); Wang et al., (2016) dimana
dan Kusmana (2008), pH substrat yang layak substrat kasar (pasir) umumnya dijumpai pada
bagi pertumbuhan mangrove berkisar antara 6 kondisi perairan yang memiliki arus kuat
- 7. Nilai pH substrat yang sedikit asam sedangkan kondisi arus yang tenang lebih
diduga dipengaruhi oleh adanya serasah banyak ditemukan substrat halus (lumpur).
mangrove yang jatuh ke tanah. Pernyataan ini Selain itu juga substrat pasir halus dominan
sesuai dengan pendapat Setiawan (2013), ditemukan pada stasiun 2 karena lokasi yang
dimana nilai pH substrat yang asam terjadi dekat dengan sungai sehingga pengaruh arus
karena adanya proses dekomposisi serasah tidak terlalu signifikan terjadi. Menurut
mangrove oleh bakteri pengurai pada substrat Roswaty et al., (2014), butiran substrat
yang nantinya akan menghasilkan asam lumpur memiliki ukuran yang halus karena
organik sehingga menurunkan pH substrat. kecepatan arus yang melemah pada daerah
muara sungai.
Substrat merupakan material yang
berasal dari proses pelapukan batuan yang
tersusun dari organisme, proses kimiawi laut,
dan detritus (Prarikeslan, 2016). Pengukuran
92
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]

3.3 Kerapatan Mangrove


Tabel 3. Fraksi Substrat Dasar di Berdasarkan hasil pengamatan
StasiunaPenelitian didapatkan beberapa spesies penyusun zonasi
Stasiun Stasiun Stasiun
mangrove. Dalam penelitian ini ditemukan 8
Substrat (%) 1 2 3
(delapan) spesies mangrove yang ditemukan
Pasir Halus 14,9 44,2 18,9 yaitu A. marina, A. corniculatum, B.
gymnorrhiza, R. apiculata, R. mucronata, R.
Pasir Sedang 8,4 20,1 26,5 stylosa, S. alba, dan X. granatum. Hasil
Pasir Kasar 68,9 26,5 35,1 penelitian juga menemukan bahwa terdapat
perbedaan kerapatan spesies mangrove yang
Kerikil 7,8 9,2 16,7 dapatadilihat padaaTabela4, Tabela5, dan
Tabela6.

Tabel 4. Kerapatan Mangrove pada Stasiun 1

Kerapatan Mangrove (ind/ha)


Spesies Mangrove
Pohon Anakan Semai
S. alba 822 1467 67780
R. apiculataa 722 844 15556
R. mucronataa - - -
R. stylosaa 56 444 10000
B. gymnorrhizaa 100 - 32222
A. corniculatum - - -
X. granatum - 178 -
A. marina - - -

Tabel 5. Kerapatan Mangrove pada Stasiun 2

Kerapatan Mangrove (ind/ha)


Spesies Mangrove
Pohon Anakan Semai
S. alba 122 - -
R. apiculataa 400 - 21111
R. mucronataa 733 1822 62222
R. stylosaa - - -
B. gymnorrhizaa 56 444 -
A. corniculatum - - -
X. granatum 89 356 -
A. marina - - -

93
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Tabel 6. KerapatanaMangrove pada Stasiuna3

Kerapatan Mangrove (ind/ha)


Spesies Mangrove
Pohon Anakan Semai
S. alba 767 1600 17778
R. apiculataa 489 111 15556
R. mucronataa - - -
R. stylosaa 133 444 10000
B. gymnorrhizaa 111 711 11111
A. corniculatuma 122 756 -
X. granatum - 667 12222
A. marina 78 - -

Kerapatan spesies mangrove di stasiun jarang (rusak) serta kategori anakan dan
1 pada tingkat pohon dominan ditemukan S. semai tergolong pada kelompok kategori baik
alba (822 ind/ha) dan terendah spesies R. (rapat) dengan nilai ≥ 1500 ind/ha.
stylosa (56 ind/ha). Berikutnya pada tingkat Kerapatan spesies mangrove di stasiun 3
anakan, spesies S. alba mendominasi (1467 pada tingkat pohon, anakan, dan semai
ind/ha) dan terendah dijumpai spesies X. mangrove tertinggi dijumpai spesies S. alba.
granatum (178 ind/ha). Sementara itu, pada Adapun pada kategori pohon kerapatan
tingkat semai spesies S. alba paling banyak mangrove S. alba (767 ind/ha), diikuti oleh R.
dijumpai (67780 ind/ha) dan spesies yang apiculata (489 ind/ha), dan R. Stylosa (133
jarang ditemukan yaitu R. stylosa (10000 ind/ha) serta spesies yang paling sedikit
ind/ha) (Tabel 4). Menurut Kepmen LH No. ditemukan yaitu A. marina (78 ind/ha).
201 (2004) bahwaakerapatan spesies Berikutnya pada tingkat anakan ditemukan
mangrove yang tergolong jarang (rusak) sebesar 1600 ind/ha, dan kategori semai
memiliki nilai <1000 ind/ha, baik (sedang) sebesar 17778 ind/ha. Di lain pihak, pada
≥1000 ind/ha, dan baik (rapat) ≥1500 ind/ha. tingkat anakan mangrove R. apiculata paling
Jadi dapat dikatakan bahwa kerapatan pohon jarang dijumpai dengan nilai 111 ind/ha dan
mangrove termasuk kategori jarang (rusak), R. stylosa sebesar 10000 ind/ha pada tingkat
sebagian anakan mangrove berada pada semai mangrove. Berdasarkan hasil tersebut
kategori baik (sedang) dan sebagian termasuk maka dapat dikatakan bahwa pohon mangrove
dalam kategori jarang (rusak), dan semai berada pada kategori jarang (rusak) serta
mangrove masih tergolong baik (rapat). kategori anakan dan semai tergolong pada
Kerapatan spesies mangrove di stasiun kelompok kategori baik (rapat) dengan nilai ≥
2 pada tingkat pohon mangrove ditemukan 1500 ind/ha.
spesies R. mucronata mendominasi (733
ind/ha), diikuti oleh R. apiculata (400 ind/ha),
dan S. alba (122 ind/ha) serta spesies yang 3.4 Indeks Nilai Penting
paling jarang dijumpai yaitu B. gymnorrhiza
Perhitungan Indeks NilaiaPenting (INP)
(56 ind/ha). Selanjutnya pada tingkat anakan
dilakukan menggunakan analisis vegetasi yang
dan semai mangrove, spesies R. mucronata
meliputi total hasil dari kerapatanarelatif,
paling banyak dijumpai sebesar 1822 ind/ha
frekuensiarelatif, dan penutupanarelatif. Nilai
(anakan) dan 62222 ind/ha (semai) (Tabel 5).
INP memiliki kisaran antara 0 - 300 dan dapat
Berdasarkan hasil tersebut maka menandakan
dilihat pada Gambar 2.
bahwa pohon mangrove berada pada kategori

94
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]

200

160

Indeks Nilai Penting


120

80

40

0
SA RA BG RS SA RA BG XG RM SA RA BG RS AC AM
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3

Gambara2. Indeks Nilai Penting Mangrove Pada Setiap Stasiun Penelitian


Keterangan
AC : Aegiceras corniculatum RM : Rhizophora mucronata
AM : Avicennia marina RS : Rhizophora stylosa
BG : Bruguiera gymnorrhiza SA : Sonneratia alba
RA : Rhizophora apiculata XG : Xylocarpus granatum

Pertumbuhan ekosistem mangrove mengarah ke daratan pengaruh ombak yang


dapat dilihat berdasarkan kondisi vegetasi lemah, substrat lumpur yang tinggi, dan lokasi
yang menggambarkan tinggi rendanya fungsi penelitian yang berada di wilayah estuari
suatu spesies terhadap suatu ekosistem. sehingga tingkat adaptasi mangrove terhadap
Kondisi ini dapat dianalisis dengan lingkungan menjadi lebih tinggi karena
menggunakan analisis INP. Nilai INP yang melemahnya tekanan lingkungan. Pernyataan
tinggi menggambarkan spesies tertentu ini didukung oleh Darmadi dan Ardhana
adaptif terhadap kondisi lingkungan. (2010); Prabu dan Gokul (2017), dimana
Sebaliknya, rendahnya nilai INP mangrove tumbuh pada wilayah pesisir
mengindikasikan bahwa spesies tersebut dengan ombak yang tenang dan substrat
kurang mampu bersaing dengan lingkungan lumpur yang kaya akan bahan organik.
sekitar. Akbar et al., (2016) memaparkan
tingginya nilai INP yang berada di suatu 3.5 Sebaran Mangrove dengan
lokasi menandakan bahwa pertumbuhan Karakteristik Lingkungan
mangrove baik dan adaptif terhadap kondisi Hasil Principal Component Analysis
lingkungan yang ada. (PCA) yang didapatkan menggambarkan
Hasil pengamatan yang dilakukan bahwa data terkait dengan kualitas lingkungan
menunjukkan bahwa jenis S. alba dan R. biofisik pada lokasi penelitian berada pada
mucronata mendominasi di lokasi sumbu F1 dan F2 dengan keragaman total
pengamatan. Jenis mangrove yang dominan sebesar 65,99 % (Gambar 3).
ditemukan pada Stasiun 1 yaitu S. alba Sumbu 1 (F1) menerangkan keragaman
(171,63) dan terendah ditemukan jenis R. data sebesar 44,85 % yang dipengaruhi nilai
stylosa (17,78). Selanjutnya, jenis R. suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan
mucronata dominan ditemukan pada Stasiun pHaairayangatinggiapadaastasiun 1 dan
2 (155,58) dan jenis B. gymnorrhiza memiliki stasiun 3. Lokasi pengambilan data yang
nilai INP yang paling rendah diantara seluruh terletak di wilayah pesisir dan estuari
spesies yang ditemukan (13,91). Sementara menyebabkan parameter lingkungan yang
itu, pada Stasiun 3 jenis S. alba paling banyak diamati memiliki perbedaan nilai. Adanya
ditemukan (145,13) dan jenis A. marina perbedaan nilai disebabkan adanya
paling jarang ditemukan (15,06). percampuran air tawar dan tinggi rendahnya
Penyebaran jenis S. alba dan R. curah hujan.
mucronata meningkat apabila lokasi
95
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

2.5

2
Pasir sedang
1.5 1.1
1.3
1
1.2 Oksigen
terlarut

F2 (21.14 %)
0.5 pH air
2.1 Salinitas
0 Pasir sangat
2.2 3.1 kasar
Pasir sangat 3.3
-0.5 Redoks
halus Suhu
potensial
Pasir kasar
-1 2.3 pH tanah
Pasir halus
-1.5

-2 3.2

-2.5
-3 -2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
F1 (44.85 %)
Gambar 3. Analisis PCA antara Lokasi Penelitian dengan Lingkungan

Sumbu 2 (F2) menerangkan keragaman Kamaruzzaman et al., (2002); Nugroho dan


data sebesar 21,14 % yang dicirikan oleh Basit (2014); Eddy dan Roman (2016),
substrat pasir sedang dan pasir halus yang dimana butiran substrat kasar lebih dominan
tinggi pada stasiun 2 (Gambar 3). Lokasi ditemukan pada perairan dengan arus yang
penelitian yang berada di wilayah estuari kuat sedangkan butiran substrat halus sangat
menyebabkan turbulensi arus lemah sehingga mendominasi pada kondisi perairan dengan
lebih banyak ditemukan substrat halus arus yang tenang.
(lumpur). Hal ini senada dengan

2.5

2 A. marina

1.5 A. corniculatum
F2 (25.66 %)

3.1
1

B. gymnorrhiza
0.5
2.2
X. R.
S. alba granatum mucronata
0
1.2 2.1 2.3
3.2 1.1
1.3
-0.5 3.3 R. apiculata
R.stylosa
-1
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3
F1 (55.85 %)
Rows Columns

Gambar 4. Analisis CA antara Lokasi Penelitian dengan Mangrove

Hasil Correspondence Analysis (CA) mangrove. Hasil CA berada pada sumbu F1


menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara dan F2 dengan keragaman data sebesar 81,51
karakteristik lokasi penelitian dengan spesies % (Gambar 4). Sumbu 1 (F1) menjelaskan
96
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]

keragaman data sebesar 55,85 % dimana penurunan kualitas lingkungan biofisik dan
spesies R. mucronata dan X. granatum ekosistem mangrove dan perlu adanya
dominan ditemukan di stasiun 2 yang penelitian lanjutan pada lokasi yang sama
dicirikan jenis substrat halus (lumpur) namun pengambilan data dilakukan pada
(Gambar 3). Hal ini sesuai dengan pendapat waktu yang berbeda agar informasi yang
Robertson and Alongi (2016); Warsidi dan dihasilkan menjadi informasi ilimah dalam
Endayani (2017), dimana pertumbuhan R. upaya mendukung keberhasilan perencaanan
mucronata dan X. granatum optimal pada dan pengelolaan mangrove di Tahura Ngurah
kondisi arus yang tenang dan substrat lumpur Rai Bali.
yang kaya bahan organik.
Sumbu 2 (F2) menerangkan keragaman DAFTAR PUSTAKA
data sebesar 25.66 % dimana A. marina dan
Abdulkarim, R., Akintoye, A.E., Oguwuike,
Aegiceras corniculatum dijumpai pada
I.D., Imhansoeleva, T.M., Philips, I.M.,
Stasiun 3 yang dicirikan oleh suhu perairan
Ruth, F.B., Olubukola, S.O., Rasheed,
yang tinggi. Jenis A. marina yang jarang
J.O., and Banji, A.O. 2011.
ditemukan Stasiun 3 diduga karena suhu yang
Sedimentological Variation in Beach
tidak mendukung pertumbuhan kedua jenis
Sediments of the Barrier bar Lagoon
ini. Suhu ideal untuk pertumbuhan jenis A.
Coastal System, South-Western Nigeria.
marina berkisar antara 18-20 ˚C dan apabila
Nature and Science. 9(9):19-26.
suhu lebih tinggi maka akan mengganggu
pertumbuhannya (Aksornkoae, 1993). Selain Adeleke, R., Nwangburuka, C., Oboirien, B.
itu, tingginya suhu perairan karena adanya 2016. Origins, roles and fate of organic
penebangan pohon mangrove sehingga acids in soils: A review. South African
cahaya matahari langsung menembus ke Journal of Botany. 108: 393-406.
perairan. Aksornkoae, S. 1993. Ecology and
Management of Mangrove. Bangkok
4. SIMPULAN DAN SARAN (TH): IUCN.

4.1. Simpulan Akbar, N., Baksir, A., Tahir, I., Arafat, D.


2016. Struktur komunitas mangrove di
Terdapata8 (delapan) spesies mangrove Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan,
di kawasan Tahura Ngurah Rai Bali. Secara Maluku Utara, Indonesia. Jurnal Depik.
berturut - turut, kerapatan mangrove tertinggi 5(3): 133-142.
yaitu S. alba (122 - 822 ind/ha), diikuti oleh
R. mucronata (733 ind/ha), R. apiculata (400 Ashton, E.C., Macintosh, D., Hogarth, P.J.
- 722 ind/ha), R. stylosa (56 - 133 ind/ha), A. 2003. A Baseline Study of the Diversity
corniculatum (122 ind/ha), B. gymnorrhiza and Community Ecology of Crab and
(56 - 111 ind/ha), X. granatum (89 ind/ha), Molluscan Macrofauna in the Sematan
dan A. marina (78 ind/ha). Spesies S. alba, R. Mangrove Forest, Sarawak, Malaysia.
apiculata, dan R. mucronata dominan Journal of Tropical Ecology. 19. 127-
ditemukan pada kondisi substrat halus 142.
(lumpur) sedangkan spesies A. marina jarang Asri, F.E., Zidane, H., Maanan, M., Tamsouri,
dijumpai karena kondisi suhu perairan yang M., Errhif, A. 2015. Taxonomic
tidak mendukung pertumbuhannya. diversity and structure of the molluscan
Berdasarkan hasil penelitian dapat dikatakan fauna in Oualidia Lagoon (Moroccoan
bahwa kondisi ekosistem mangrove tergolong Atlantic Coast). Environmental
jarang (rusak) karena nilai kerapatan Monitoring and Assessment. 187: 1-10.
mangrove < 1000 ind/ha.
Bengen, D.G. 2004. Pedoman Teknis
4.2. Saran Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem
Mangrove. Bogor (ID): PKSPL-IPB.
Adanya penelitian lanjutan tentang
pengaruh limbah logam berat terhadap
97
ECOTROPHIC  VOLUME 14 NOMOR 1 TAHUN 2020 p-ISSN:1907-5626,e-ISSN:2503-3395

Cyio, M.B. 2008. Efektivitas bahan organik 51/MENLH/1/2004 tentang Pedoman


dan tinggi genangan terhadap perubahan Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Eh, pH, dan status Fe, P, Al terlarut Jakarta (ID): Menteri Negara
pada tanah ultisol. Jurnal Agroland. Lingkungan Hidup.
15(4): 257-263. [MENLH] Menteri Negara Lingkungan
Darmadi, A.A.K., Ardhana, I.P.G. 2010. Hidup. 2004. Keputusan Kantor Menteri
Komposisi Jenis – Jenis Tumbuhan Negara Lingkungan Hidup No. Kep
Mangrove di Kawasan Hutan Perapat 201/MENLH/1/2004 tentang Kriteria
Benoa Desa Pemogan, Kecamatan Baku dan Pedoman Penentuan
Denpasar Selatan, Kodya Denpasar, Kerusakan Mangrove. Jakarta (ID):
Propinsi Bali. Jurnal Ilmu Dasar. 11(2): Menteri Negara Lingkungan Hidup.
167 – 171. Nugroho, S.H., Basit, A. 2014. Sebaran
Dubuc, A., Baker, R., Marchand, C., sedimen berdasarkan analisis ukuran
Waltham, N.J., Sheaves, M. 2019. butir di Teluk Weda, Maluku Utara.
Hypoxia in mangroves: occurrence and Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan
impact on valuable tropical fish habitat. Tropis. 6(1): 229-240.
Biogeosciences. 16: 3959-3976. Onrizal., Kusmana, C. 2008. Studi ekologi
Eddy, E.N., Roman, C.T. 2016. Relationship hutan mangrove di Pantai Timur
between epibenthic invertebrate species Sumatera Utara. Jurnal Biodiversitas. 9
assmblaged and environmental (1): 25-29.
variables in Boston Harbor’s Intertidal Poediraharsjoe, E., Djoko, M., Frita, K.W.
Habitat. Northeastern Naturalist. 23(1): 2017. Penggunaan Principal Component
45-6. Analysis dalam distribusi spasial
Gedan, K.R., Altieri, A.H., Feller, I., Burrell, vegetasi mangrove di Pulau Utara
R., Breitburg, D. 2017. Community Pemalang. Journal of Forest
composition in mangrove ponds with Science.29-42.
pulsed hypoxic and acidified conditions. Prabu, E., Gokul, S. 2017. Mangrove: An
Ecosphere. 8(12): 1-18. incredible ecosystem for sustainable
Geng, X., Boufadel, M.C., Jackson, N.L. fisheries. Journal of Aquaculture in the
2016. Evidence of salt accumulation in Tropics. 32(3): 397-411.
beach intertidal zone due to
Prarikeslan W. 2016. Oseanografi. Jakarta:
evaporation. Scientific Reports. 6: 1-6. Penerbit Kencana.
Ghufran, H.M., Kordi, K. 2012. Ekosistem Robertson, A.I., Alongi, D.M. 2016. Massive
Mangrove: Potensi, Fungsi, dan turnover rates of fine root detrital
Pengelolaan. Jakarta (ID): Rineka carbon in tropical Australian
Cipta. mangroves. Oecologia. 180: 841-851.
Kamaruzzaman, B.Y., Shazili, N.A.M., Roswaty, S., Muskananfola, M.R., Purnomo,
Lokman. M. 2002. Particle size P.W. 2014. Tingkat Sedimentasi di
distribution in the bottom sediments of Muara Sungai Wedung Kecamatan
the Kemaman River Estuarine System, Wedung, Demak. Journal of Maquares.
Terengganu, Malaysia. Journal of 3(2): 129 - 137.
Tropical Agriculture Science. 25(2):
149 -155. Setiawan, H. 2013. Status ekologi hutan
mangrove pada berbagai tingkat
Kurniawan, A. 2012. Penyakit Akuatik. ketebalan. Jurnal Penelitian Kehutanan
Pangkal Pinang (ID): UBB Press. Wallacea. 2 (2): 104-120.
[MENLH] Menteri Negara Lingkungan Wang, X.Y., Xie, W.M., Zhang, D., He, Q.
Hidup. 2004. Keputusan Kantor Menteri 2016. Wave and vegetation effects on
Negara Lingkungan Hidup No. Kep
98
Struktur Vegetasi Mangrove Berdasarkan Kualitas Lingkungan Biofisik di Taman Hutan Raya…. [Ajie Imamsyah, dkk.]

flow and suspended sediment


characteristics: A flume study.
Estuarine Coastal and Shelf Science.
182: 1-11.
Warsidi., Endayani, S. 2017. Komposisi
Vegetasi Mangrove Di Teluk
Balikpapan Provinsi Kalimantan Timur.
Jurnal Agrifor. 16(1): 115-124.

99

Anda mungkin juga menyukai