Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Dauri

NPM : 1922011074
MATA KULIAH : Politik Hukum Agraria dan Lingkungan

Pertanyaan:
Bagaimana Pendapat Anda Terkait Pelaksanaan UUPA, Mulai Dari Orde Lama, Orde
Baru, Masa Reformasi Dan Pasca Reformasi?.

Jawaban:
Menurut pendapat saya, pelaksanaan UUPA terkait dengan politik agraria sejak orde
lama, orde barau, masa reformasi dan pasca reformasi. Setiap masa pasti aka nada perubahan dan
pergeseran yang tampak dalam pelaksanaan UUPA. Perubahan-perubahan yang terjadi sangat
dimungkinkan adanya gesekan-gesekan dari kepentingan-kepentingan hingga saat ini. Bahkan
hari ini beberapa persoalan yang dihadapi pasca di sahkannya Omnibus Law tentang Cipta Kerja,
yang tak lain membahas persoalan UUPA dan Pelaksanaanya. saya uraikan sebagai berikut:
a) Era Orde Lama
Berbagai persoalan pertanian sisa-sisa penjajahan menjadi prioritas pemerintahan baru
Republik Indonesia. Misalnya dalam hal kepemilikan tanah, peninggalan perkebunan Belanda
diikuti oleh pendudukan petani yang tentu saja merupakan persoalan baru. Bersamaan dengan
itu, persoalan pelik lainnya terjadi di bidang hukum, antara lain warisan produk hukum kolonial
dan produk hukum lokal yang berkaitan dengan tanah. Persoalan ini mendorong negara untuk
memberlakukan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 yang mengatur tentang
pemanfaatan perkebunan oleh rakyat. Kabar baiknya adalah bahwa berdasarkan undang-undang
darurat, upaya untuk menduduki tanah belum dinyatakan sebagai perampasan ilegal.
Secara politis, status petani setelah kemerdekaan sangat istimewa. Kebebasan berserikat,
seperti pembentukan organisasi petani, semakin memperkuat status mereka. Selain itu, setiap
organisasi adalah milik partai politik, sehingga partisipasi dan perjuangan politiknya semakin
meningkat. Ternyata, pendudukan perkebunan Deli Planters Vereeniging (DPV) pada tahun 1951
mengakibatkan terbunuhnya 5 petani yang mengguncang pusat pemerintahan. Karena Sidik
Kertapati dari Sarekat Tani, Indonesia mengajukan mosi tidak percaya, peristiwa yang dikenal
sebagai peristiwa Tanjung Morawa itu harus diakhiri dengan pembubaran kabinet Wilopo.
Akhirnya, Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Prinsip-Prinsip Dasar Pertanian
(UUPA) diundangkan, dan Komisi Pembaruan Pertanahan segera dibentuk. Salah satu produk
inti dari undang-undang ini adalah membatasi hak guna tanah, agar tidak merugikan kepentingan
umum, atau mencegah segelintir orang mengakumulasi dan memonopoli kepemilikan tanah.
Keberadaan UUPA juga mengakhiri dualisme pertanahan dan memaksa hukum adat setempat
untuk tunduk pada penyatuan hukum nasional.
b) Era Orde Baru
Berbeda dengan orde lama, rezim orde baru memfokuskan pembangunannya pada
pertumbuhan ekonomi, ditandai dengan Undang-Undang Nomor 1 tentang Penanaman Modal
Asing tahun 1967, tentunya untuk menarik investasi asing dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kebijakan pertanahannya lebih menitikberatkan pada upaya pemenuhan kepentingan dan
kebutuhan pembangunan sektoral (pertanian dan industri). Pergeseran fokus kebijakan adalah
untuk mendorong upaya investor mengejar pertumbuhan ekonomi dengan meniadakan kebijakan
pertanahan yang dianggap menghambat kebijakan pembangunan. Pemerintah meyakini bahwa
perbaikan ekonomi lebih penting daripada pelaksanaan land reform yang merupakan sarana
utama untuk mencapai keadilan sosial.
Akibatnya, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970, yang
mencabut Undang-Undang Pengadilan Reformasi Pertanahan dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pada masa ini, ideologi pembangunan Soekarno yang
berkembang dari sosialisme juga beralih ke kapitalisme dan bentuk turunannya, yaitu liberalisme
atau privatisasi penguasaan dan penggunaan lahan. Berbagai kebijakan telah dirumuskan untuk
mendukung penguasaan dan penggunaan tanah secara terpusat oleh perusahaan besar, seperti izin
lokasi yang nyaman, fasilitas perpajakan, termasuk mengabaikan hak tradisional masyarakat
lokal atau hak adat masyarakat adat.
c) Era Reformasi
Semangat land reform muncul setelah jatuhnya Soeharto yang menandai masuknya era
reformasi. Pertama, mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 yang memerintahkan
reformasi pertanahan dan mengacu pada UUPA tahun 1960. Agenda pentingnya adalah
melakukan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan penggunaan penataan kembali tanah (land
reform), dan penataan pertanahan. Pekerjaan pengumpulan data. Pada era ini, posisi Badan
Pertanahan Nasional (BPN) merupakan satu-satunya instansi yang memiliki kewenangan untuk
mengurus departemen pertanahan di dalam negeri, wilayah dan departemen.
Namun, pada era ini masyarakat masih merasakan adanya departemen yang mengelola
sumber daya alam. Dalam hal ini, gaya orde baru masih menjadi tren. Selain itu, kondisi
ekonomi yang masih mengandalkan modal asing membuat sulit untuk melaksanakan land reform
dengan sempurna. Akibatnya, seperti disebutkan di awal artikel ini, jumlah konflik lahan tidak
berkurang. Meski beberapa kasus sudah berakhir, kasus baru terus bermunculan. Sebab, jumlah
kasus setiap tahun terus bertambah.
d) Pasca Reformasi
Pelaksanaan reformasi ini menunjukkan bahwa era reforma agraria dari reformasi agama
telah diperselisihkan sejak era Habibie hingga Megawati, terutama mengenai status Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Prinsip Pertanahan. “Saat itu (pada masa Megawati) ada
yang bersikeras bahwa UPA persatuan itu sebenarnya dirumuskan sesuai dengan UUD 1945,
apakah posisi ini harus dilihat sebagai dasar penyusunan land reform, atau apakah UPA sudah
tidak relevan lagi sehingga perlu direvisi.
Namun dalam penerapannya, UUPA di revisi, akan tetapi menimbulkan polemik baru
terhadap keberlangsungan usaha dan perekonimian serta penguasaan hak guna usaha untuk para
penguasa yang merugikan rakyat. Rakyat yang menjadi saasaran dan terdampak akibat adanya
perkembangan UUPA pada Pasca Reformasi, dan menimbulakn kegaduhan yang dibuat oleh
pemerintah itu sendiri.
Dalam proses pendistribusian dan penggabungan hak guna tanah, land reform merupakan
salah satu alokasi rencana ekonomi yang berkeadilan di bidang pertanahan. Dalam kebijakan ini,
pemerintah akan fokus pada objek pertanahan land reform (TORA) yang diperkirakan seluas 9
juta hektar, sedangkan legalitas perhutanan sosial mencakup 12,7 juta hektar. Selain fokus pada
pengurangan ketimpangan hak guna lahan, land reform juga diharapkan dapat mengembangkan
pertanian melalui metode aglomerasi.
Menerapkan land reform memang tidak mudah, namun perlu dijadikan dasar untuk upaya
peningkatan akses masyarakat terhadap sumber daya produktif. Pada tahap awal sangat
diperlukan komitmen politik dari pemerintah untuk melaksanakan tugas tersebut, karena ini
merupakan tugas utama yang membutuhkan perencanaan komprehensif jangka panjang dan dana
yang besar. Sebelum pekerjaan ini, pengumpulan data arsitektur yang komprehensif dan akurat
diperlukan, yang merupakan dasar untuk perencanaan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai