Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

KAFALAH, HAWALAH, WAKALAH


Dosen PENGAMPU : Muhammad Yusuf, M.Pd.I

Di Susun Oleh Kelompok 1 :


1. Novi Romadhon 201201860
2. Rusdi Alvin 201201831
3. Emelya Aslize 201201835
4. Linda Wulandari 201201950
5. Okka Novita Tamara 201201859

Kelas : PAI 3H
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKKULTASA TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN
JAMBI
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kita berbagai macam
nikmat, sehingga aktifitas hidup yang kita jalani ini akan selalu membawa keberkahan,
sehingga semua cita-cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan
penuh manfaat.

Terima kasih sebelum dan sesudahnya penulis ucapan kepada teman-teman sekalian yang
telah membantu, baik bantuan berupa moril maupun materil, sehingga makalah ini
terselesaikan dalam waktu yang telah di tentukan.

Penulis menyadari sekali, didalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
serta banyak kekurangan. Untuk itu besar harapan kami jika ada kritik dan saran yang
membangun untuk lebih menyempurnakan lagi penyusunan makalah di masa mendatang.

Harapan dari penyusun makalah ini mudah-mudahan apa yang penulis susun ini penuh
manfaat,baik untuk pribadi,teman-teman, serta orang lain yang ingin menyempurnakan
atau mengambil hikmah dari judul ini “ Hadits Tentang Wakalah, Kafalah, dan Hawalah “
sebagai tambahan untuk melengkapi referensi yang telah ada.

PENYUSUN

KELOMPOK 1

2
DAFTAR ISI

Table of Contents
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................4
Latar Belakang...................................................................................................................................4
Rumusan Masalah.............................................................................................................................4
Tujuan Masalah.................................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................6
Wakalah.............................................................................................................................................6
Kafalah...............................................................................................................................................8
Hawalah/Hiwalah............................................................................................................................12
BAB III..................................................................................................................................................16
PENUTUP.............................................................................................................................................16
KESIMPULAN...................................................................................................................................16
SARAN..............................................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................17

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakalah, Kafalah, Hawalah/Hiwalah sering kita dengar baik dalam ekonomi syariah maupun dalam
lembaga keuangan syariah. Hal tersebut dalam dunia perbankan terdapat dalam produk jasa. Pada
umumnya masyarakat awam tidak begitu memahami apa yang dimaksud dengan hal tersebut. Untuk
Indonesia sebagai Negara muslim sudah seharusnya system keuangan yang digunakan berlandaskan
prinsip syariah. Namun, saat ini prinsip syariah belum begitu terealisasi penggunaannya. Wakalah
berupa penyerahan atau pendelegasian dari satu pihak ke pihak lain dan harus dilakukan dengan
yang telah disepakati oleh si pemberi mandat.

Kafalah menurut bahasa dapat diartikan sebagai dhammu (gabungan), sedangkan secara syara’
kafalah bermakna penggabungan tanggungan seorang kafil dengan tanggungan seorang ashil untuk
memenuhi tuntutan dirinya, atau utang, atau barang, atas suatu pekerjaan. Hawalah/Hiwalah dapat
digunakan untuk pemindahan utang dari seseorang kepada orang lain. Ini sangat sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu pemakalah mengangkat materi tentang, wakalah, kafalah,
dan hawalah/hiwalah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian, rukun dan syarat Wakalah?
2. Apa bunyi Hadits tentang Wakalah?
3. Apa sajakah pembagian Wakalah?
4. Bagaimana implementasi Wakalah dalam Lembaga Keuangan Syariah?
5. Apa pengertian, rukun dan syarat Kafalah?
6. Apa bunyi Hadits tentang Kafalah?
7. Apa sajakah jenis-jenis Kafalah?
8. Bagaimana implementasi Kafalah dalam Lembaga Keuangan Syariah?
9. Apa pengertian, rukun dan syarat Hawalah?
10. Apa bunyi Hadits tentang Hawalah?
11. Bagaimana implementasi Hawalah dalam Lembaga Keuangan Syariah?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian, rukun dan syarat dari Wakalah, Kafalah dan Hawalah
2. Untuk mengetahui Hadits-hadits dari Wakalah, Kafalah, dan Hawalah
3. Untuk mengetahui Implementasi dari Wakalah, Kafalah dan Hawalah

4
4. Untuk mengetahui pembagian Wakalah
5. Untuk mengetahui jenis-jenis Kafalah

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Wakalah
a. Pengertian Wakalah

Wakalah atau wakilah merupakan isim masdhar yang secara etimologi bermakna taukil, yaitu
menyerahkan, mewakilkan dan menjaganya. Wakalah secara bahasa berasal dari kata wakala yang
sinonimnya, selama wadhafa yang artinya menyerah. Wakalah juga berarti al-Hifzu yang berarti
menjaga dan memelihara.

Secara terminologi, al-Sarakhsimendefinisikan wakalah berarti mewakilkan dan menyerahkan


kewenangan untuk melakukan sesuatu kepada orang lain, serta penyerahan sejumlah dana untuk
melaksanakan kewenangan tersebut. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat 19
mendefinisikan wakalah sebagai “Pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu”.
Kuasa dalam konteks ini kuasa untuk menjalankan kewajiban dan juga kuasa untuk menerima hak.
Kuasa untuk menjalankan kewajiban misalnya seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk
membayar utang. Sementara kuasa untuk menerima hak seperti mewakilkan untuk menerima
pembayaran utang.

Seorang wakil sepenuhnya menjalankan dan kewenangan dan tanggung jawab orang yang
diwakilinya. Artinya, perwakilan dalam wakalah mencakup penerimaan hak dan kewajiban.

b. Rukun Wakalah

Menurut kalangan Hanafiah, rukun wakalah adalah ijab dan kabul. Ijab berarti ucapan atau tindakan
dari orang yang akan mewakilkan, seperti ucapan “Aku wakilkan kepadamu untuk melakukan hal
ini”. Sementara kabul berarti ucapan dari orang yang menerima atau wakil, seperti ucapan “Aku
terima”. Ijab ini adakalanya bersyarat atau bergantung pada sesuatu dan adakalanya berlaku mutlak.
Apabila berlaku mutlak, maka wakil bertanggung jawab dan berwenang untuk melakukan sesuatu
terkait dengan hal yang diwakilkan.

Sementara menurut mayoritas ulama selain Hanafiah, rukun wakalah ada empat, orang yang
mewakilkan (muwakkil), orang yang menerima perwakilan (wakil), objek atau pekerjaan yang
diwakilkan (muwakkalbih), dan sighah (ijab dan kabul). Rukun wakalah dalam KHES Pasal 457 ayat (1)
adalah 1) wakil, 2) muwakkil dan 3) akad.

c. Syarat Wakalah

6
Akad dalam wakalah terjadi dan diakui secara hukum bila dilakukan ijab dan kabul. Ijab dan kabul
dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, isyarat atau perbuatan/tindakan. Syarat Sighahyaitu, pertama,
wakalah harus dengan ucapan, tulisan atau perbuatan yang menunjukkan adanya kerelaan untuk
mewakilkan, baik secara eksplisit maupun implisit. Kedua, sighahtidak terikat dan terbatas oleh
syarat. Persyaratan kedua ini adalah persyaratan yang dikemukakan kalangan Syafi’iyah.

Persyaratan yang terkait dengan orang yang mewakilkan adalah ia harus cakap hukum. Muwakkil
harus berakal, balig. Tidak sah hukumnya akad wakalah dari orang gila atau anak kecil yang belum
mumayiz. Anak kecil boleh mewakilkan bila seizin walinya. Selain itu, muwakkilharus pihak yang
berwenang untuk melakukan sesuatu yang akan diwakilkan. Misalkan dalam penerimaan
pembayaran utang, ia memang pihak yang berwenang untuk menerima pembayaran utang tersebut.
Hanya saja menurut al-Zaila’i, muwakkiltidak di syaratkan harus pihak yang mempunyai wewenang
terhadap suatu yang akan diwakilkan.

Syarat yang terkait dengan orang yang menerima perwakilan atau wakil adalah, ia harus berakal dan
balig. Meskipun ada persyaratan balig, dalam wakalah sah apabila wakil adalah anak kecil yang
berakal dan sudah mumayiz. Selain itu, wakil harus mengetahui tentang kewenangan yang
diwakilkan kepadanya. Menurut Ibnu Rusyid, disyaratkan bagi orang yang menerima perwakilan atau
wakil bukanlah orang yang terhalang kewenangannya untuk menjalankan kewenangan yang
diwakilkan tersebut.

Menurut al-Musili pihak yang mewakilkan (muwakkil) dan pihak yang mewakili (wakil) harus cakap
hukum (berakal, balig dan tidak terpaksa). Wakil tidak boleh bertindak kecuali atas izin orang yang
mewakilkan. Namun apabilahsigat bersifat umum atau mutlak maka bagi wakil boleh bertindak
sebagaimana mestinya.

Sementara syarat yang terkait dengan kewenangan yang diwakilkan, kewenangan ini berupa
kewajiban atau hak. Kewenangan juga tidak boleh berkaitan dengan hak seorang hamba, misalnya
wakalah untuk menjalani hukuman qisas.

Menurut kalanganMalikiyah, objek perwakilan atau kewenangan bukanlah ibadah badaniyah.


Kewenangan tersebut bukanlah kewajiban individu yang terkait dengan ibadah mahdah, seperti
Shalat, puasa oleh karena itu, tidak sah dan tidak boleh perwakilan untuk menjalankan kewajiban
semacam ini.

Menurut kalangan Syafi’iyah syarat yang terkait dengan objek wakalah adalah 1) objek memang
merupakan kewenangan orang yang mewakilkan (muwakkil), 2) objek wakalah memang dapat
diwakilkan, 3) objek harus jelas yang tidak menimbulkan kebingungan bagi penerima wakalah atau

7
wakil. Berkaitan dengan syarat ini, pada dasarnya tidak boleh mewakilkan kewajiban ibadah, hanya
saja ada pengecualian dalam ibadah haji, zakat, membayar kifarat, sedekah, kurban dan tawaf.

Hadits tentang Wakalah

‫ث‬ ِ ‫ار فَ َز َّو َجاهُ َم ْي ُمونَةَ بِ ْنتَ ْال َح‬


ِ ‫ار‬ ِ ‫ص‬َ ‫ث َأبَا َرافِ ٍع َو َر ُجاًل ِم ْن اَأْل ْن‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم بَ َع‬ َ ‫َأ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬

Bahwa Rasulullah SAW mengutus Abu Rafi’ dan salah satu laki-laki Anshar untuk menikahkannya
dengan Maimunah binti Haris.

Pembagian Wakalah

Wakalah tidak boleh dibatalkan pada tiga objek karena berhubungan dengan orang lain. Tiga objek
tersebut adalah sebagai berikut:

a. Wakalah untuk menjual barang tergadai karena berhubungan dengan hak orang yang memberi
hutang yang hendak mengambil haknya.

b. Wakalah dalam pertikaian, seperti jika seorang terdakwa mewakilkan kepada seorang untuk
menyelesaikan perkaranya dengan penggugat. Dalam hal ini terdakwa tidak boleh membtalkan
wakalahnya ketika telah memutuskan ssesuatu tanpa kehadiran penggugat.

c. Wakalah untuk menyerahkan barang seseorang tanpa kehadiran orang yang mewakilkan. Dalam
hal ini seseorang wakil harus menerim barang itu dan tidak boleh membatalkan perwakilannya tanpa
kerelaan orang yang mewakilkannya karena dengan membatalkan itu berarti ia telah kehilangan hak
tanpa kerelaannya.

Implementasi Wakalah dalam Lembaga Keuangan Syariah

Wakalah dalam praktik di LKS biasanya terkait dengan akad lain yang dilakukan oleh nasabah.
Misalnya dalam akad pembiayaan murabahah, pihak LKS mewakilkan kepada nasabah untuk mencari
barang yang akan dibeli dengan pembiayaan tersebut. Begitu juga dalam akad salam, istishna’, ijarah
dan akad lainnya yang menuntut adanya perwakilan pihak LKS oleh nasabah.

Selain praktik wakalah di atas, di Lembaga Keuangan Syariah umumnya ada jenis produk yang
menggunakan akad wakalah. Jenis-jenis produk pelayanan jasa yang menggunakan akad wakalah
antara lain L/C (Letter of Credit), transfer, kliring, RTGS, inkaso dan pembayaran gaji.

B. Kafalah
a. Pengertian Kafalah

8
Kafalah mempunyai beberapa padanan kata atau inonim, antara lain hamalah, damanah dan
za’amah. Kafalah secara etimologi menurut Ibnu ‘Abidin adalah sama dengan al-Dammu yang berarti
memelihara atau menanggung.

Kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah mendfinisikan kafalah sebagai jaminan yang diberikan
seseorang kepada orang lain yang mempunyai tanggung jawab menunaikan hak membayar utang.
Dengan demikian maka pembayaran utang menjadi tanggungan pihak penjamin. Sementara dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat (12), kafalah didefinisikan “jaminan atau
garansi yang diberikan oleh penjamin kepada pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua/peminjam”.

Bedasarkan pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa kafalah adalah jaminan atau garansi yang
diberikan oleh satu pihakn kepada pihak lain berupa pemenuhankewajiban yang harus dilaksanakan
oleh pihak lain berupa pemenuhan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak yang seharusnya
bertanggung jawab.

b. Rukun Kafalah

Rukun kafalah ada dua, yaitu ijab dan kabul. Rukun kafalah menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:

Pihak penjamin (al-kafil), yaitu pihak yang mempunyai kecakapan untuk mentasharufkan hartanya.

Objek yang dijamin (al-makful bihi), yaitu berupa hak yang dapat diwakilkan kepada pihak lain,
biasanya berupa utang atau barang harta tertentu yang statusnya tertanggung.

Pihak yang dijamin (al-makful ‘anhu), yaitu pihak yang mempunyai tanggungan harta yang harus
dibayar, baik masih hidup maupun sudah mati.

Akad ijab kabul (sighat), yaitu ungkapan, baik menggunakan lisan, tulisan maupun isyarat yang
menunjukkan adanya kehendak para pihak untuk melaksanakan kafalah.

Menurut kalangan Syafi’iyah, rukun kafalah ada lima, yaitu empat sebagaimana yang disebutkan di
atas, dan satu lagi yaitu adanya pihak yang berpiutang (makful lahu).

c. Syarat Kafalah

Secara umum, syarat kafalah adalah kafalah harus seizin pihak yang dijamin. Penjaminan yang
dilakukan memang atas izin atau permintaan. Selain syarat ini, masing-masin rukun di atas
mempunyai syarat tertentu. Syarat yang terkait dengan pihak penanggung adalah, 1) Pihak
penanggung harus cakap hukum (berakal, balig, dan tidak dalam paksaan). 2) Pihak penjamin (kafil)

9
harus mengetahui objek yang dijaminnya. Selain itu, menurut kalangan Hanafiyah, pihak penjamin
harus ada majelis akad agar mengetahui siapa dan apa yang dijaminnya.

Syarat yang terkait dengan pihak ashil atau pihak yang berutang yang dijamin (makful ‘anhu) adalah
ia atau wakilnya (ahli warisnya) mempunyai kemampuan untuk menyerahkan objek yang dijamin
(makful bihi).

Syarat yang terkait pihak yang diberi jaminan makful lahu antara lain, jelas orangnya atau pihak yang
jelas, harus cakap hukum dan harus ada pada saat akad. Pihak yang diberi jaminan harus berakal,
tidak harus balig tapi seandainya anak kecil, ia harus mumayyiz.

Sementara syarat objek kafalah adalah harus berupa utang yang mengikat. Objek yang dijamin
(makful bihi) harus suatu yang harus dipenuhi, seperti utang yang harus dipenuhi.

Syarat terkait objek yang ditanggung adalah utang yang jelas dan mengikat para pihak. Utang
merupakan utang hakiki yang memang wajib dibayar oleh pihak pengutang. KHES Pasal 294
menyebutkan bahwa syarat terkait objek jaminan makful bihi adalah sebagai berikut:

Merupakan tanggungan peminjam baik berupa uang, benda atau pekerjaan

Dapat dilaksanakan oleh penjamin

Merupakan piutang mengikat/lazim yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau
dibebaskan

Jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya

Tidak diharamkan.

Hadits tentang Kafalah

‫ص ِّل َعلَ ْيهَا فَقَا َل هَلْ َعلَ ْي ِه َدي ٌْن‬ َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ِإ ْذ ُأتِ َي بِ َجنَا َز ٍة فَقَالُوا‬
َ ‫ال ُكنَّا ُجلُوسًا ِع ْن َد النَّبِ ِّي‬ َ َ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬
ِ ‫ع َر‬ ِ ‫ع َْن َسلَ َمةَ ب ِْن اَأْل ْك َو‬
ْ‫ال فَهَل‬َ َ‫ال هَلْ َعلَ ْي ِه َدي ٌْن قِي َل نَ َع ْم ق‬
َ َ‫ص ِّل َعلَ ْيهَا ق‬َ ِ ‫صلَّى َعلَ ْي ِه ثُ َّم ُأتِ َي بِ َجنَازَ ٍة ُأ ْخ َرى فَقَالُوا يَا َرسُو َل هَّللا‬ َ َ‫ك َش ْيًئا قَالُوا اَل ف‬ َ ‫ال فَهَلْ ت ََر‬َ َ‫قَالُوا اَل ق‬
‫ك َش ْيًئا قَالُوا اَل قَا َل فَهَلْ َعلَ ْي ِه َدي ٌْن قَالُوا ثَاَل ثَةُ َدنَانِي َر‬ َ ‫صلِّ َعلَ ْيهَا قَا َل هَلْ تَ َر‬ َ ‫صلَّى َعلَ ْيهَا ثُ َّم ُأتِ َي بِالثَّالِثَ ِة فَقَالُوا‬ َ َ‫تَرَكَ َش ْيًئا قَالُوا ثَاَل ثَةَ َدنَانِي َر ف‬
‫صلَّى َعلَ ْي ِه‬
َ َ‫ي َد ْينُهُ ف‬ َ َ‫ال َأبُو قَتَا َدة‬
َّ َ‫ص ِّل َعلَ ْي ِه يَا َرسُو َل هَّللا ِ َو َعل‬ َ َ‫احبِ ُك ْم ق‬
ِ ‫ص‬َ ‫صلُّوا َعلَى‬
َ ‫قَا َل‬

Dari Salamah bin Al Akwa’ radliallahu ‘anhu berkata:”Kami pernah duduk bermajelis dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam ketika dihadirkan kepada Beliau satu jenazah kemudian orang-orang
berkata: “Shalatilah jenazah ini”. Maka Beliau bertanya: “Apakah orang ini punya hutang?” Mereka
berkata: “Tidak”. Kemudian Beliau bertanya kembali: “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka
menjawab: “Tidak”. Akhirnya Beliau menyolatkan jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi
jenazah lain kepada Beliau, lalu orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,

10
holatilah jenazah ini”. Maka Beliau bertanya: “Apakah orang ini punya hutang?” Dijawab: “Ya”.
Kemudian Beliau bertanya kembali: “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Mereka menjawab: “Ada,
sebanyak tiga dinar”. Maka Beliau bersabda: “Shalatilah saudaramu ini”. Berkata, Abu Qatadah:
“Shalatilah wahai Rasulullah, nanti hutangnya aku yang menanggungnya”. Maka Beliau shallallahu
‘alaihi wasallam menyolatkan jenazah itu.

Jenis-jenis Kafalah

Menurut Imam al-Sarakhsi, kafalah ada dua macam, yaitu kafalah bi al-nafsi (asuransi jiwa) dan
kafalah bi al-mal (asuransi harta). Sementara bentuk kafalah yang umum di dunia perdagangan
antara lain adalah:

Daman al-Darak, yaitu jaminan terhadap harga yang hak pihak penjual dan penjaminan terhadap
barang yang dijual yang menjadi hak pihak pembeli.

Penjaminan pasar, yaitu pihak penjamin menjamin utang utang yang akan menjadi tanggungan pihak
pedagang dan menjamin barabg-barang berstatus barang tanggungan yang akan diserah terimakan
kepadanya.

Jaminan terhadap kekurangan akibat ketidakakuratan timbangan, takaran atau ukuran.

Kafalah dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kafalah dengan harta dan kafalah dengan jiwa.
Sementara itu jenis kafalah ada tiga, yaitu:

Al-kafalah Biyt Taslim, yaitu jaminan pengembalian barang yang disewa

Al-kafalah al-Munjazah, yaitu jaminan mutlak tanpa batas waktu

Al-kafalah al-Mualaqah, yaitu jaminan yang dibatasi jngka waktu tertentu.

Impementasi Kafalah dalam Lembaga Keuangan Syariah

Kafalah diterapkan di Lembag Keuangan Syariah, khususnya Bank Syariah di mana bank bertindak
sebagai penjamin (kafil) dan nasabah sebagai pihk yang dijamin (makful ‘alaih). Dalam hal ini bank
mendapat fee atas jaminan yang diberikan kepada nasabah. Dalam pandangan BMI (BANK
Muamalat Indonesia), ada beberapa penerapan konsep kafalah, pertama kafalah bi al-nafas,
merupakan akad memberikan jaminan atas diri. Kedua, kafalah bi al-taslim. Jenis kafalah ini bisa
dilakukan untuk menjamin pengembalian barang yang disewa ada waktu masa sewa berakhir. Jenis
pemberian jaminan ini dapat dilaksanakan bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja
sama perusahaan penyewaan (leasing company). Ketiga, kafalah al-munjazah, yaitu jaminan mutlak

11
yang tidak dibatasi jangka waktu dan untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Salah satu bentuk
kafalah ini adalah jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan prestasi).

Produk al-kafalah yang diberikan oleh bank syariah dalam bentuk garansi. Garansi bank adalah
sejumlah uang yang disimpan oleh bank sebagai jaminan bagi seseorang atau nasabah yang akan
menjadi persyaratan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Penyimpanan uang yang dimaksud,
maka pihak bank mendapatkan jasa sebagai pertanggungan terhadap nasabah yang melakukan
pekerjaan.

Dalam mekanisme bank garansi terdapat pihak terkait, yaitu bank sebagai penjamin, terjamin
(nasabah peminta jaminan), dan penerima jaminan. Dalam pemberian garansi bank meminta
setoran jaminan besar, mialnya 10-30% dari total nilai objek yang dijamin. Disamping itu, bank
memungut provisi dan mengenakan bunga atas jumlah nilai jaminan.

C. Hawalah/Hiwalah
a. Pengertian Hawalah

Menurut bahasa yang dimaksud hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau
mengalihkan. Kalangan ulama fiqih mendefinisikan hawalah “pengalihan utang dari tanggungan
pihak yang berutang (muhil) kepada pihak lain yang mempunyai tanggungan kepada muhil dengan
adanya saling percaya”.

Kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliyah mendefinisikan sebagai akad akad yang berimplikasi
pada perpindahan utang dari tanggungan pihak tertentu kepada pihak lain. Definisi hawalah dalam
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Pasal 20 ayat (13) adalah “Pengalihan utang dari muhil al-
ashil kepada muhal ‘alaih”.

Berangkat dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa hiwalah atau hawalah adalah
pengalihan untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada pihak lain yang saling
diketahui oleh para pihak dengan sukarela, tanpa ada keterpaksaan. Berdasarkan definisi ini maka
dalam akad hawalah setidaknya ada tiga pihak yang terlibat, pertama adalah pihak yang
mengalihkan utang, kedua adalah pihak yang menjadi penanggung utang pihak pertama atau pihak
yang menerima limpahan utang, dan ketiga adalah pihak yang menerima limpahan piutang.

Berdasarkan pemaparan di atas juga dapat diambil keimpulan bahwa pada dasarnya hawalah ada
dua jenis, pertama, hawalah al-haq (pengalihan hak piutang), yaitu pengalihan hak untuk menuntut
pembayaran utang. Kedua, hawalah al-dain (pengalihan utang), yaitu pengalihan kewajiban untuk
memenuhi kewjiban membayar utang.

12
b. Rukun Hawalah

Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali, rukun hawalah ada enam, yaitu:

Pihak pertama (muhil), yaitu orang yang menghiwalahkan

Pihak kedua (muhal), yaitu orang yang dihiwalahkan (orang yang mempunyai utang kepada muhil)

Pihak ketiga (muhal ‘alaih), yaitu orang yang menerima al-hiwalah.

Ada piutang muhil kepada muhal

Ada piutng muhal ‘alaih kepada muhil

Ada sigah al-hiwalah, yaitu ijab dari muhil.

Sementara menurut kalangan Habafiyah, rukun hawalah adalah ijab dan kabul. Ijab dalam hawalah
adalah ungkapan yang berasal dari pihak yang mengalihkan utang (muhil) kepada pihak penerima
hawalah (muhal ‘alaih) dan pihak yang mempunyai utang kepada muhil (muhal). Kabul harus berasal
dari kedua belah pihak ini. Rukun Hawalah berdasarkan KHES Pasal 318 ayat (1) adalah (a)
muhil/peminjam; (b) muhal/pemberi pinjaman; (c) muhal bihi/utang; dan (e) akad.

c. Syarat Hawalah

Syarat hawalah ada yang berkaita dengan sighat ada yang terkait dengan para pihak, dan ada yang
terkait dengan piutang. Syarat yang terkait dengan para pihak meliputi syarat yang terkait dengan
pihak yang mengalihkan utang (muhil), ada yang terkait dengan pihak ketiga yang menerima
pengalihan piutang (muhal),dan ada yang terkait dengan penerima pengalihan utang (muhal).

Syarat sighah dapat ,menggunakan lisan, tulisan atau syarat. Shigat harus menunjukkan pengalihan
hak penagihan tanggungan. Syarat yang terkait dengan muhil adalah 1) berakal, 2) balig, 3) kerelaan
muhil. Berdasarkan syarat ini maka hiwalah karena adanya keterpaksaan atau ada unsur paksaan
terhadap muhil maka tidak sah. Sementara syarat yang terkait dengan muhal adalah 1) berakal, 2)
balig, 3) adanya unsur kerelaan, tidak terpaksa atau dipaksa, 4) majelis hiwalah. Adapun syarat yang
terkait dengan muhal ‘alaih adalah 1) berakal, 2) balig, 3) adanya unsur kerelaan, tidak terpaksa atau
dipaksa, 4) majelis hiwalah .

Syarat yang terkait dengan muhal bihi ada dua, yaitu muhal bihi adalah piutang. Kedua, piutang
tersebut harus mengikat muhil dan muhal (lazim). Berdasarkan syarat ini, hiwalah terhadap utang
yang tidak mengikat maka tidak sah.

13
Kalangan Malikiyah dan Syafi’iyah mensyaratkan tiga hal terkait dengan utang, pertama, tanggungan
utang yang menjadi objek hawalah telah jatuh tempo. Kedua, jumlah dan jenis utang antara pihak
yang dialihkan dengan yang menerima pengalihan harus sama. Ketiga, kedua tanggungan atau salah
satunya bukanlah berupa makanan yang dipesan dengan akad salam.

Hadits tentang Hawalah

‫ط ُل ْال َغنِ ِّي ظُ ْل ٌم فَِإ َذا ُأ ْتبِ َع َأ َح ُد ُك ْم َعلَى َملِ ٍّي فَ ْليَ ْتبَ ْع‬
ْ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َم‬ َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأ َّن َرس‬
َ ِ ‫ُول هَّللا‬ ِ ‫ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬

Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Menunda membayar hutang bagi orang kaya adalah kezhaliman dan apabila seorang dari kalian
hutangnya dialihkan kepada orang kaya, hendaklah dia ikuti”.

Implementasi Hawalah dalam Lembaga Keuangan Syariah

Hawalah dalam teknis perbankan merupakan akad pengalihan piutang nasabah (muhal) kepada bank
(muhal ‘alaih). Nasabah meminta bantuan bank agar membayar terlebih dahulu piutangnya atas
transaksi yang halal dengan pihak yang berutang (muhil). Selanjutnya bank akan menagih kepada
pihak yang berutang tersebut. Atas bantuan bank membayarkan terlebih dahulu piutang nasabah,
bank dapat membebankan fee jasa penagihan. Penetapannya dilakukan dengan memerhatikan
besar kecilnya risiko tidak tertagihnya piutang.

Beberapa produk jasa bank syariah yang menggunakan akad al-hawalah antara lain:

Factoring atau anjak piutang, di mana para nasabah yaang memiliki piutang kepada pihak ketiga
memindahkan piutang itu kepada bank, bank laalu membayar piutang tersebut dan bank
menagihnya dari pihak ketiga.

Post dted check, di mana bank berrinfak sebaagai juru tagih, tanpa membayarkan daahulu piutang
tersebut.

Bill discounting pada dasarnya sama dengan hawalah namun bill discounting nasabah harus
membayar fee.

Hawalah dalam pandangan Bank Muamalat Indonesia adalah pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dalam istilah fuqaha, hal itu merupakan
pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan (muhal alaih) atau
orang yang berkewajiban membayar utang. Secara sederhana, hal ini dapat dijelaskan bahwa si A
(muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan si B masih mempunyai piutang kepada si C
(muhal alaih). Begitu B tidak mampu membayar utang kepada A, maka B mengalihkan beban utang

14
kepada C. Dengan demikian, C harus membayar utang B kepada A. Sedangkan utang C sebelumnya
pada B dianggap selesai.

15
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
Wakalah atau wakilah merupakan isim masdhar yang secara etimologi bermakna taukil, yaitu
menyerahkan, mewakilkan dan menjaganya. Wakalah secara bahasa berasal dari kata wakala yang
sinonimnya, selama wadhafa yang artinya menyerah. Wakalah juga berarti al-Hifzu yang berarti
menjaga dan memelihara.

Kafalah mempunyai beberapa padanan kata atau inonim, antara lain hamalah, damanah dan
za’amah. Kafalah secara etimologi menurut Ibnu ‘Abidin adalah sama dengan al-Dammu yang berarti
memelihara atau menanggung.

Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh satu pihakn kepada pihak lain berupa
pemenuhankewajiban yang harus dilaksanakan oleh pihak lain berupa pemenuhan kewajiban yang
harus dilaksanakan oleh pihak yang seharusnya bertanggung jawab.

Menurut bahasa yang dimaksud hawalah ialah al-intiqal dan al-tahwil, artinya memindahkan atau
mengalihkan. Kalangan ulama fiqih mendefinisikan hawalah “pengalihan utang dari tanggungan
pihak yang berutang (muhil) kepada pihak lain yang mempunyai tanggungan kepada muhil dengan
adanya saling percaya”.

Hiwalah atau hawalah adalah pengalihan untuk menuntut pembayaran utang dari satu pihak kepada
pihak lain yang saling diketahui oleh para pihak dengan sukarela, tanpa ada keterpaksaan.

B. SARAN
Penulis menyadari masih banyak yang kurang dari penulisan ini, jadi penulis mengaharapkan kritik
yang membangun dari pembaca agar pada penulisan makalah selanjutnya dapat menjadi lebih baik
lagi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Mustofa, Imam. (2016). FIQIH MU’AMALAH Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sabiq, Sayyid. (2006). Fiqh Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.

Wahbah, Zuhaili. (2001). Fiqh Muamalah Perbankan Syariah. Jakarta: Kapita Selekta.

17

Anda mungkin juga menyukai