Anda di halaman 1dari 8
Sebelum kita membahas tentang pengertian hukum syar'i ada baiknya kalau bab ini dimulai dengan mengemukakan pengertian syariat terlebih dahulu. Hal ini penting mengingat pembahasan yang sesungguhnya dibutuhkan dalam masalah ini adalah mengenai syariat itu sendiri. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 37) Dari segi bahasa kata syariat berarti jalan ke tempat pengairan atau jalan yang sesungguhnya harus diturut ( aturan ). Syariat juga berarti tempat akan air di sungai Kata syariat terdapat dalam ayat Al-Qur'an seperti dalam Al-Maidah ayat 48 dan Al- Syura ayat 13 Dan kata Syariah_ pada prinsipnya mengandung arti ‘jalan yang jelas membawa kepada kemenangan”. Dalam hal ini, agama Islam yang ditetapkan untuk manusia disebut syariat, karena umat Islam selalu melaluinya dalam kehidupan mereka di dunia. Adapun dari segi kesamaan antara syariat Islam dengan “jalan air” (seperti dalam pengungkapan lughawy di atas) terletak pada bahwa siapa yang mengikuti syariat jiwanya akan mengalir dan bersih. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan, sebagaimana ia menjadikan syariat bagi penyebab kehidupan diri manusia. Pada asalnya syariat diartikan sebagai hukum atau aturan yang ditetapkan Allah buat hamba-Nya untuk ditaati, baik berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah maupun hubungan antara sesama mereka sendiri. Dengan makna seperti ini, syariat diterjamah sebagai ‘agama’ sebagaimana disinggung dalam surat Al-Syura ayat 13. Namun kemudian, pemakaiannya dikhususkan kepada hukum-hukum amaliyah Pengkhususan ini dilakukan karena ‘agama’ (samawy) pada prinsipnya adalah satu, berlaku secara universal dan ajaran aqidahnya pun tidak berbeda dari rasul yang satu dengan lainnya, yaitu tauhid, sedangkan syariat hanya berlaku untuk masing-masing umat sebelumnya. Dengan demikian, syariat lebih spesifik dari pengertian agama. la adalah hukum amaliyah yang menurut perbedaan rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksi dan atau menasakhkan yang datang lebih dahulu Behubungan dengan perjelasan di atas dan dikaitkan pula dengan pembahasan kita tentang metode hukum Islam, maka dapat dipertegas lagi bahwa yang dimaksud dengan syariat disini adalah segala aturan Allah yang berkaitan dengan amalan manusia yang harus dipatuhi oleh manusia itu sendiri. Sedangkan segala hukum atau aturan- aturan yang berasal dan dibangsakan kepada syariat tersebut disebut hukum syar'i. (H Alaiddin Koto, 2004, hal. 37- 38) Antara Ahli ushul figih (Ushuliyun) dan ahli fiqih ( Fuqoha’) berbeda pendapat dalam memahami hukum syar'i tersebut. Pihak Ahli ushul figih (Ushuliyun), memberi lentang ada atau tidaknya sesuatu hukum). Sedangkan ee arg perbuek Mberi definisi sebagai efek yang dikehendaki oleh titah Alla Bil alan yang wajib, haram, dan mubah Bean la melihat definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa nash dari Pembuat syara’ (Allah dan Rasul-Nya) itulah menurut ali ushul (Ushuliyun), Yang dikatakan hukum syar'i, Sedangkan menurut ahii fiqih (Fuqoha’) bukan nash itu n t ain sendiri. yang dimaksud dengan hukum syar'i melainkan efek dari isi nash itu Umpamanya, firman Allah dalam surat Al-Nisa’: 4 4 hho SLM Sle5 Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, Anli ushul figin mengatakan bahwa firman (perintah memberi maskawin) itulah yang dikatakan hukum syar’ berbeda dengan abil fiqih yang mengatakan bahwa wajib memberi maskawin yang dikatakan hukum syar‘i. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 38- 39) A. HUKUM SYAR'I Pada umumnya ulama ushul Figh membagi hukum syar'i menjadi dua bagian: hukum taklifi dan hukum wadh’i 1. Hukum Taklifi Yang dimaksud dengan hukum taklifi ialah syar'i yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukalaf) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 41) Hukum taklifi ini terbagi kepada lima bagian: ijab, nadb, tahrim, karahah, dan ibahah Ijab (wajib) adalah firman yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan pasti. Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2): 43: v SeS HT Ga 1 AS515 SHN Lsles LANL A315 Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku. Nadb (Sunnah) adalah firman Allah yang menuntut melakukan suatu perbuatan dengan perbuatan yang tidak pasti, tetapi hanya berupa anjuran untuk berbuat. Misalnya, firman Allah surat Al-Bagarah (2): 282: pit tye Eos Jel dl 3h bale c. Mandub Mandub adalah segala perbuatan yang dilakukan akan mendapatkan pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan dikenakan siksa, dosa (‘igab). Biasanya, mandub ini disebut juga sunat atau mustahab dan terbagi kepada: 1. Sunat ‘ain yaitu segala perbuatan yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya sholat sunat rowatib. 2. Sunatkifayah, yaitu segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja dari suatu kelompok, misainya mengucapkan salam, mendo’akan orang bersin, dan lain-lain. Selain itu, sunat juga dibagi kepada: 1, Sunat muakkad, yaitu perbuatan sunat yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, atau lebih banyak dikerjakan Rasul dari pada tidak dikerjakannya. Misalnya, sholat sunat hari raya. 4 2. Sunat ghairu muakkad, yaitu segala macam perbuatan sunat yang tidak selalu dikerjakan Rasul, misalnya bersedekah pada fakir miskin. (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 47) d. Makruh Yang dimaksud dengan makruh adalah perbuatan yang bila ditinggalkan, orang yang meninggalkannya mendapat pahala, tapi orang yang mengerjakannya tidak mendapat dosa (‘igab). Misalnya: merokok, memakan makanan yang menimbulkan bau yang tidak sedap, dan lain sebagainya. Pada umumnya, ulama membagi makruh kepada dua bagian: 1. Makruh tanzih, yaitu segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik dari pada mengerjakan, seperti contoh-contoh tersebut di atas. 2. Makruh tahrim, yaitu segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu zhanny, bukan qath'i. Misalnya bermain catur, memakan kala, dan memakan daging ular (menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah). (H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 46-47) e. Mubah Yang dimaksud dengan mubah adalah segala perbuatan yang tidak diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena meninggalkannya. Secara umum, mubah ini dinamakan juga halal atau jaiz. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 48) % 2. Hukum Wadh’i Yang dimaksud dengan hukum wadhi'i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu yang lain tersebut. Oleh karenanya, ulama membagi hukum wadh’i ini kepada: sebab, syarat, mani’. Namun, sebagian ulama memasukkan sah dan batal, azimah dan rukhshah. ( H. Alaiddin Koto, 2004, hal. 49) a. Sebab Yang dimaksud dengan sebab adalah segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada dan tidak adanya hukum. Adanya sesuatu menyebabkan adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan tidak adanya hukum. menjadi sebab bolehnya memakan bangkai dan tergelincir atau tenggelamnya matahari sebagai sebab wajibnya sholat. 2. Sebab yang berada dalam kesanggupan mukalal, Sebab ini dibag! due (@) Yang termasuk dalam hukum taklii, seperti menyaksikan : 2 : 185). ‘™menjadikan sebab wajib malaksanakan puasa (QS. Al-Baqarab (2) Begitu juga keadaan sedang dalam perjalanan menjadi sebab D ay. Geknya tidaknya berpuasa

Anda mungkin juga menyukai