Anda di halaman 1dari 7

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

Nama: Johanna Silalahi, Jonathan Almer, dan Yoel Beckham Hasiholan Siahaan
Mata kuliah: Liturgi Baptis, Sidi, dan Perjamuan Kudus
Dosen pengampu: Dr. Rasih Rachman
PRAKTIK LITURGI PERJAMUAN 300 TAHUN PERTAMA KEKRISTENAN
Setelah berusaha membaca ulang praktik ekaristi saat periode Perjanjian Baru atau sekitar
tahun 70 pada presentasi sebelumnya, hari ini kita akan melihat berbagai model praktik ekaristi
yang muncul pada zaman patristik, dari abad ke-2 dan ke-3. Kita akan melihat ragam praktik
ekaristi dengan berangkat dari Didache – salah satu naskah yang memuat pengajaran-pengajaran
seputar etika Kristen, petunjuk untuk liturgi jemaat, petunjuk hidup jemaat, hingga ajaran
eskatologis – dan bersama-sama melihat ekaristi dari pandangan Yustinus Martir, Tertullianus,
hingga Siprianus.
Dimulai dari Didache1, dalam hukum ke-IX mengenai Perjamuan Kudus, perjamuan
kudus dihayati sebagai sebuah ungkapan syukur atas: (1) Cawan, karena pokok anggur yang
kudus dari Daud, hamba-Mu, kepada-Mu lah kiranya kemuliaan sampai selama-lamanya. (2)
Roti yang dipecah-pecahkan, sebuaah ungkapan syukur atas pengetahuan dan kehidupan yang
Allah beritahukan kepada kami dengan perantaraan Yesus. (3) Seperti roti yang dicerai-beraikan
dan dikumpulkan menjadi seketul, demikianlah kiranya Gereja-Mu dikumpulkan daripada segala
ujung bumi ke dalam kerajaan-Mu. (4) Terakhir, janganlah seorangpun makan atau minum dari
perjamuan, terkecuali orang-orang yang telah dibaptis demi nama Tuhan. Singkatnya, Didache
memuat doa-doa, baik dari ekaristi atau perjamuan kasih. Namun, secara khusus Didache
memberi peringatan untuk tidak memberikan komuni kepada orang yang tidak dibaptis.2
Selanjutnya, terdapat masa dalam Kekristenan di mana perayaan makan-makan atau
ekaristi menghilang. Hal tersebut mungkin merupakan akibat dari kesalahan jemaat ketika
mengadakan perjamuan malam, seperti pengamatan Paulus dalam 1 Korintus 11:17, sehingga
terjadi larangan yang dilakukan oleh pemerintah otoritas Romawi untuk mencegah umat Kristen
berkumpul pada malam hari.3 Meskipun demikian, sekitar tahun 112 terdapat surat yang ditulis
oleh Pliny kepada Kaisar Trajanus bahwa Perjamuan Kudus hanya boleh diikuti bagi orang-

1
A. De Kuiper. Didache: Terjemahan dan Pembimbing ke dalam Didache (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1967), 18.
2
James F. White. Pengantar Ibadah Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 235.
3
Paul F. Bradshaw, Early Christian Worship (London: Society for Promoting Christian Knowladge, 2010), 49.

1
2

orang yang tidak melakukan tindakan kriminal/jahat.4 Dengan demikian Perjamuan Kudus lebih
menekankan pada moral seseorang, bukan tentang tubuh dan darah Kristus. Kemudian muncul
pemahaman tentang Perjamuan Kudus oleh Yustinus Martir.

Yustinus Martir (150-160 M)


Yustinus Martir merupakan seseorang santo yang berpengaruh dalam pemahaman
tentang liturgi, baptisan, dan Perjamuan Kudus pada abad ke-2. Yustinus Martir pada awalnya
bukan penganut agama Kristen serta memiliki ayah seorang kafir, tetapi pada tahun 130 bertobat
dan menjadi Kristen. Ia pernah mengajar di Efesus dan membuat karyanya yang berjudul
Apologia I dan Apologia II ketika ia berada di Roma. Karya Apologia I ditujukan kepada kaisar
Romawi, Antoninus Pius, tentang pemahaman akan liturgi, baptisan dan Perjamuan Kudus serta
untuk menghentikan penganiayaan terhadap orang Kristen.5
Yustinus Martir berpendapat bahwa perjamuan yang dilakukan juga bukan lagi tentang
hidangan yang lengkap, tetapi menjadi sebuah ritus.6 Ritus Perjamuan Kudus diadakan setelah
pelayanan sabda dan dilakukan pada hari Minggu pagi.7 Meskipun pembacaan sabda, khotbah,
dan doa sama seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi di sinagoge, tetapi kini terjadi di hari
Minggu dan dinarasikan kembali berdasarkan praktik Perjamuan Kudus yang dilakukan oleh
Kristus.8 Pada abad ke-2 ini mulai terjadi perubahan dalam menjalankan praktik perjamuan.
Meskipun hampir terlihat sama seperti perjamuan yang diadakan oleh orang Yahudi secara
struktural, tetapi ada beberapa hal yang membedakan. Salah satunya adalah diadakannya
perjamuan pada hari Minggu pagi, ia berkata bahwa:9

“And on the day called Sunday an assembly is held in one place of all who live in town or
country, and the records of the apostles or the writings of the prophets are read for as long as time
allows. Then, when the reader has finished, the president in a discourse admonishes and exhorts
(us) to imitate these good things. Then we all stand up together and send up prayers; and as we
said before, when we have finished praying, bread and wine and water are brought up, and the

4
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, The Eucharistic Liturgies: Their Evolution and Interpretation
(Minnesota: Liturgical Press, 2012), 33.
5
F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003),
194.
6
Paul F. Bradshaw, 50.
7
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 34.
8
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 34-5.
9
Paul F. Bradshaw,50-1.
3

president likewise sends up prayers and thanksgivings to the best of his ability, and the people
assent, saying the Amen; and the (elements over which) thanks have been given are distributed,
and everyone partakes; and they are sent through the deacons to those who are not present.”

Yustinus Matir juga menyebutkan bahwa setelah mengadakan doa syukur, jemaat saling
bersalaman dan memberi cium persaudaraan. Hal tersebut menyimbolkan hubungan yang erat
serta melambangkan kekeluargaan antarumat Kristen.10

Tertullianus (160-220 M)
Pada abad ke-3, beberapa komunitas di Afrika Utara menghayati perjamuan seperti yang
Tertullian sampaikan dalam Apologeticum, bahwa perjamuan merupakan peristiwa
mengungkapkan kasih sayang (agape). Berapapun biaya yang dikeluarkan atasnya, mereka
memaknai ini sebagai keuntungan atas nama ketakwaan, karena dalam perayaan itu, mereka
membantu siapa saja yang membutuhkan.11 Penggunaan istilah agape dalam peristiwa ini sempat
membuat para ahli berpendapat bahwa perjamuan yang dimaksud Tertullianus berbeda dengan
ekaristi yang merujuk pada roti yang dikuduskan dalam ritusnya. Tetapi, perjamuan yang
memuat doa di awal dan di akhir, makan dan minum secukupnya, melantunkan nyanyian, dan
menunjukkan kepedulian kepada mereka yang membutuhkan, tetap menjadi sebuah karakteristik
perjamuan bagi Tertullian dan disebutnya sebagai an act of religious duty (officio religionis).12
Selain menekankan fungsi sosial perjamuan, Tertullian juga menyatakan bahwa Ia
menerima sakramen perjamuan pada pertemuan-pertemuan sebelum fajar. Hal ini menunjukkan
pergeseran momentum pelaksanaan perjamuan dari malam ke pagi. Tertullianus hendak
melawan keberatan yang menyebar luas di kalangan jemaat terkait perjamuan yang menabrak
tradisi berpuasa pada hari-hari tertentu.13 Maka, ia menawarkan solusi agar jemaat tetap hadir
dalam perjamuan, tetapi ia juga dapat menyimpan roti dan anggur untuk dikonsumsi kemudian,
sehingga jemaat dapat memenuhi dua aspek hari itu, yaitu ibadah dan puasa.
Jadi, menurut Bradshaw dan Johnson, masa ini adalah tahap transisi, di mana perjamuan
tradisional tetap dipertahankan, tetapi muncul juga kebiasaan baru, yaitu menerima komuni yang

10
Paul F. Bradshaw, 51.
11
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 36.
12
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 36.
13
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 38.
4

dipisahkan dari perjamuan, yang didasarkan pada praktik membagikan sisa makanan dari
perjamuan malam kepada orang-orang yang membutuhkan pada keesokan harinya.14

Siprianus (210-258 M)
Pada tahun 249 atau 250, kaisar Romawi Decius memulai gerakan persekusi secara besar
kepada orang-orang Kristen. Orang-orang Kristen yang mempertahankan imannya diberi sebutan
“Pengaku” atau “confessors,” namun sebagian yang lain “menyeleweng” dan memberikan
persembahan kepada dewa-dewa Romawi.15 Terdapat tiga jenis orang yang “menyeleweng”:
“Apostates” atau orang murtad adalah orang yang meninggalkan Kekristenan selama dan pasca
persekusi, “sacrifati” adalah kelompok yang memberikan persembahan pagan, dan libellatici
adalah kelompok yang tidak memberikan persembahan kepada dewa Romawi namun menerima
sertifikat dari Decius.16 Pertanyaan yang akhirnya muncul adalah apa yang harus dilakukan
terhadap orang Kristen yang telah menyeleweng dan menyembah berhala namun hendak kembali
kepada Kristus? Apakah kelompok orang yang demikian diperkenankan menerima persekutuan
komuni dengan gereja?

Siprianus dengan tegas mempertahankan ajaran serta penggunaan roti dan anggur dalam
Perjamuan Kudus. Suprianus memberikan pendapat akan pernyataan Yesus perihal diri-Nya
sebagai pokok anggur yang sejati:

Ketika Yesus berkata “Aku adalah pokok anggur yang benar,” maka darah Yesus secara pasti
bukanlah air melainkan anggur; darah Yesus tidak akan muncul dalam cawan yang berisi air, dan
hanya melalui anggur sajalah darah Yesus dapat dihadirkan. 17

Bila roti yang digunakan adalah “kudus,” demikianlah pernyataan Suprianus setelahnya,
maka roti itu tidak dapat dilihat sebagai simbol tubuh Kristus secara belaka, melainkan Suprianus
menyatakan kehadiran tubuh Kristus dalam roti dan setiap orang akan terpisah dari Kristus
jikalau tidak bila tidak ikut ambil bagian dalam pemecahan roti.18

14
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 38.
15
Robert J. H Mayes, “The Lord’s Supper in Theology of Cyprian of Carthage,” Concordia Theological Quarterly,
vol. 74 (2010): 307.
16
Robert J.H. Mayes, 307-8
17
Robert J.H. Mayes, 311
18
Robert J.H. Mayes, 312.
5

Dengan tegas, Siprianus menentang serta menolak penggunaan air ketimbang anggur di
Perjamuan Kudus. Pada tahun 253 Siprianus mengirim surat yang ditujukkan kepada Caecilius,
uskup dari Biltha terkait dengan ketidaksetujuannya akan penggunaan air di Perjamuan Kudus.
19
Siprianus turut menegaskan penggunaan elemen yang digunakan oleh Yesus; selayaknya
seorang murid yang harus memperhatikan dan melakukan apa yang dilakukan oleh sang guru.20
Selain itu, perdebatan akan waktu pelaksanaan erjamuan pun turut menjadi pembicaraan pada
masa Siprianus. Para lawan Siprianus mengatakan kalau mereka menggunakan cawan yang
dicampur anggur pada perjamuan sore mereka. Di sisi lain, Siprianus mengatakan hal
berlawanan; penerapan perjamuan pada sore hari tidak akan dapat mengumpulkan keseluruhan
orang Kristen di satu tempat pada waktu yang bersamaan.21 Gereja Siprianus memindahkan
tradisi perjamuan sore menjadi perjamuan pagi karena terkendala dengan waktu distribusi; kota-
kota kecil di tempat yang berbeda justru melakukan hal yang berbeda—menerapkan perjamuan
sore dan distribusi pada pagi hari. Mereka yang tidak menerapkan perjamuan pagi, menurut
Siprianus dalam suatu surat, takut kalau nafas yang bau anggur akan membuat mereka tertangkap
pada saat persekusi orang Kristen pada saat itu; namun dengan tegas, Siprianus mengatakan
demikian, “Bagaimana kita mau menumpahkan darah untuk Kristus, sedangkan kita sendiri
tersipu saat meminum darah-Nya?”22

Terdapat unsur pembaharuan ketika kita menerima perjamuan, yaitu pembaharuan


pikiran terhadap kebijaksanaan spiritual, serta memulihkan rasa yang telah diberikan oleh dunia
kepada pemahahaman akan Allah. Jiwa ditenangkan, kesedihan disampingkan dan penenangan
kepada hati yang gelisah namun tetap setia.23 Unsur pengorbanan yang terkandung dalam
perjamuan bukanlah pengorbanan yang diberikan oleh para imam, melainkan pengorbanan Allah
Bapa dan Kristus yang turut menjadi elemen suci dalam pelaksanaan perjamuan.24

Sebagai sacramentum unitatis, perjamuan memiliki unsur dari persatuan itu sendiri.
Selayaknya roti yang merupakan persatuan dari berbagai biji-bijian, begitu pula dengan kita yang
Dia lahirkan sebagai suatu kesatuan; ketika dia memberkati anggur yang diperas dari berbagai

19
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, The Eucharistic Liturgies: Their Evolution and Interpretation
(Collegeville: Liturgical Press Collegeville, 2012), 38.
20
Robert J.H. Mayes, 312.
21
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 39.
22
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 39.
23
Robert J.H. Mayes, 313.
24
Robert J.H. Mayes, 314.
6

anggur yang dikumpulkan menjadi satu menjadi darah-Nya, begitu pula dengan kawanan kita
yang terhubung bersama dengan banyak persatuan. Persatuan selalu mengarah kepada Kristus
sebagai sumber dan tujuan dari segala persatuan yang sejati.25

Meskipun demikian, menurut Siprianus, perjamuan tidak dapat diterima dan akan
melukai setiap orang yang tidak menyesal dan berada di luar persatuan Roh yang terdapat di
gereja. Setiap orang yang memiliki kekurangan atas buah-buah iman tidak akan diberkati dengan
perjamuan. Tergambar pula ketegasan Siprianus akan persatuan gereja dalam pernyataannya
akan bahaya penerimaan perjamuan, baik kepada setiap orang yang tidak menyesal—salah satu
contoh yang diberikan adalah sacrificati—dan para pemberi perjamuan.26

Kesimpulan
Praktik perjamuan kudus pada zaman patristik semakin menunjukkan upaya semakin
“meliturgikan” atau “meritualkan” perjamuan. Hal ini tampak dari keseriusan bapa gereja dalam
menentukan siapa saja yang diperkenankan menerima Perjamuan Kudus, hingga penggunaan
roti, anggur, dan air yang semakin dibakukan, seperti yang dilakukan oleh Siprianus. Pergeseran
menarik lainnya yang dapat ditemukan dari praktik perjamuan zaman patristic adalah waktu
pelaksanaan perjamuan yang bergeser. Praktik perjamuan tidak lagi mesti mengacu pada waktu
seperti dalam peristiwa perjamuan malam terakhir, tetapi mulai dikontekstualisasikan terhadap
tradisi dan kebutuhan jemaat setempat. Praktik perjamuan juga memiliki pemaknaan yang
semakin luas dalam zaman ini, di mana perjamuan tidak hanya menjadi momentum mengingat
peristiwa-peristiwa Yesus, tetapi juga menjadi momentum berbagi kasih dan mengingat setiap
orang yang membutuhkan pertolongan, yang menunjukkan fungsi sosial liturgi perjamuan perlu
semakin diperkuat. Dengan demikian, setiap penambahan atau pengurangan ordo liturgi dalam
praktik perjamuan yang kita hayati saat ini adalah sebuah konstruksi logis dari deskripsi
perjamuan yang memiliki ragam pola saat itu. Kekayaan model liturgi perjamuan hari ini tentu
tidak lepas dari setiap perkembangan perjamuan yang diupayakan oleh para bapa gereja di masa
lalu.

Daftar Pustaka

25
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 316, 318.
26
Paul F. Bradshaw dan Maxwell E. Johnson, 316.
7

De Kuiper, A. Didache: Terjemahan dan Pembimbing ke dalam Didache. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1967.
White, James F. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.
Brandshaw, Paul F. Early Christian Worship. London: Society for Promoting Christian
Knowladge. 2010.
________________ dan Maxwell E. Johnson. The Eucharistic Liturgies: Their Evolution and
Interpretation. Minnesota: Liturgical Press. 2012
Mayes, Robert J. H. “The Lord’s Supper in Theology of Cyprian of Carthage.” Concordia
Theological Quarterly, vol. 74 (2010): 307-324.
Wellem, F. D. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung
Mulia. 2003.

Anda mungkin juga menyukai