Anda di halaman 1dari 51

LAPORAN KASUS DOKTER INTERSHIP

FINGERTIP INJURY DIGITI III-IV DISTAL SINISTRA

Oleh :
dr. Lilis Muliawati

Pembimbing :
dr. Fadhli Azimi

RUMAH SAKIT BUMI PANUA


KABUPATEN POHUWATO
GORONTALO
Laporan Kasus

1. Identitas Pasien
Nama Pasien : Tn. FS
Umur : 30 tahun.
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wirausaha
Alamat : Bohusami, Kecamatan Wonggarasi
Agama : Islam

2. Anamnesis
Keluhan utama: Datang dengan keluhan luka pada jari tangan kiri

Riwayat Penyakit Sekarang:


Luka dialami sejak beberapa jam SMRS, nyeri kepala (-) NUH (), mual (+),
muntah (+), batuk (-) sesak napas (-). BAB biasa dan BAK lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat penyakit jantung (-), hipertensi (-), asma (-), DM (-), riwayat operasi
(-), Alergi (-)

3. Pemeriksaan Fisik
Keadaaan umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 130/60 mmHg
Frek. Nadi : 70 x/menit
Frek. Nafas : 24 x/menit
Suhu : 36,5 º C

Status Generalisata

1. Kepala : Normocephali
2. Mata : Pupil : Isokor (+/+) Sklera : Ikterik (-/-)
Konjungtiva : Anemis (+/+) Refleks cahaya : (+/+)
3. Telinga :Bentuk normal, oedem (-)
4. Hidung : Bentuk normal, oedem(-), hiperemis(-), deviasi septum(-)
5. Mulut : Bentuk normal, sianosis(-)
6. Leher : Pembesaran KGB (-)

7. Thorax (Paru) :
Inspeksi : simetris, bentuk normal

Palpasi : stem fremitus kiri>kanan

Perkusi : batas paru relatif, dan absolut normal

Auskultasi : vesikuler

8. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba

Perkusi : batas jantung normal

Auskultasi : Gallop (-)

Murmur (-)

9. Abdomen
Inspeksi : simetris

Auskultasi : peristaltik normal

Palpasi : soepel

Perkusi : tympani

10. Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

11. Ekstremitas
Superior : Vulnus laserasi di regio digiti III&IV manus sinistra, nyeri (+)

Inferior : Pitting oedem (-)


Pemeriksaaan Orthopaedic :

Look

Pada extremitas atas sinistra tampak luka robek jari III&IV distal sinistra, perdarahan
aktif (+)

Feel

nyeri tekan (+), benjolan (-)

Move

Kekakuan (-), kontraktur (-)

4. Pemeriksaan Penunjang
Hasil lab :
 Hemoglobin : 15,6 gr/dl
 Leukosit : 8.500 /uL
 Trombosit : 205.000/uL
 PCV : 42
 Ureum : 17 mg/dL
 Kreatinin : 0,9 mg/dL
 GDS : 171 mg/dL
 Rapid test C-19 : Positif

5. Diagnosis Kerja
Finger Tip Injury Digiti III-IV Distal Sinistra + Rapid Antigen Covid 19 Reaktif

6. Penatalaksanaan
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Ranitidin amp/8 jam//iv
- Ceftriaxone 1 gr/12 jam/iv
- Ketorolac amp/8 jam/iv
- Rencana debridement + amputasi + primary hecting
- konsul spesialis interna
Advice :
- Favipiravir 1600 mg/12 jam/PO (hari 1) lanjut 600 mg/12 jam/PO (hari 2-5)
- Vitamin C non acid 500 mg/8 jam/oral
- Vit B1 100 mg/24 jam/PO

 Debridement + Amputasi + Primary Hecting (11 Maret 2022)


Pre Op

POST OP
PROGNOSIS
Quo ad Vitam : dubia ad bonam
Quo ad Fungtionam : dubia ad bonam
Quo ad Sanationam : dubia ad malam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 VULNUS DAN FINGERTIP INJURY


2.1.1 DEFINISI
Luka adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan Menurut Inetna, luka adalah
sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular normal, luka dapat juga
dijabarkan dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya
disertai dengan kehilangan substansi jaringan1. Vulnus Appertum merupakan luka terbuka
yang terjadi karena kekerasan benda tumpul yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit
atau otot.1
2.1.2 ANATOMI
Gambar 2.1 Anatomi Digiti
2.1.3 ETIOLOGI VULNUS
a. Mekanik
 Benda tajam
Merupakan luka terbuka yang terjadi akibat benda yang memiliki sisi tajam atau
runcing. Misalnya luka iris, luka bacok, dan luka tusuk
 Benda tumpul
 Ledakan atau tembakan
Misalnya luka karena tembakan senjata api
b. Non Mekanik
 Bahan kimia
Terjadi akibat efek korosi dari asam kuat atau basa kuat
 Trauma fisika
 Luka akibat suhu tinggi
Suhu tinggi dapat mengakibatkan terjadinya heat exhaustion primer, heat exhaustion
sekunder, heat stroke, sun stroke, dan heat cramps.
 Luka akibat suhu rendah
Derajat Luka yang terjadi pada kulit karena suhu dingin diantaranya hyperemia, edema dan
vesikel,
 Luka akibat trauma listrik
 Luka akibat petir
 Luka akibat perubahan tekanan udara 1
 Radiasi

2.1.4 KLASIFIKASI VULNUS


1. Berdasarkan derajat kontaminasi1
 Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan
luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka
tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius maupun traktus
genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tersebut tetap dalam keadaan bersih.
Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1%-5%.
 Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses
penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi.
Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
 Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi.
Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka
laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% -
17%.
 Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan
luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat
pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses
dan trauma lama.
2. Berdasarkan penyebab1
a. Luka akibat kekerasan benda tumpul
 Vulnus kontusio/ hematom
Adalah luka memar yaitu suatu pendarahan dalam jaringan bawah kulit akibat
pecahnya kapiler dan vena yang disebabkan oleh kekerasan tumpul
 Vulnus eksoriasi (luka lecet atau abrasi)
adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda
berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian
traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam
ataupun tumpul. Walaupun kerusakannya minimal tetapi luka lecet dapat
memberikan petunjuk kemungkinan adanya kerusakan hebat pada alat-alat dalam
tubuh. Sesuai mekanisme terjadinya luka lecet dibedakan dalam jenis:
- Luka lecet gores
Diakibatkan oleh benda runcing yang menggeser lapisan permukaan kulit
- Luka lecet serut (grzse)/geser (friction abrasion)
Adalah luka lecet yang terjadi akibat persentuhan kulit dengan permukaan
badan yang kasar dengan arah kekerasan sejajar/ miring terhadap kulit
- Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)
Luka lecet yang disebabkan oleh penekanan benda tumpul secara tegak lurus
terhadap permukaan kulit.
 Vulnus laseratum (luka robek) atau appertum
Luka dengan tepi yang tidak beraturan atau compang camping biasanya karena
tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian
kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman
luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
b. Luka akibat kekerasan setengah tajam
 Vulnus Morsum
Adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk
permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman
luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
c. Luka akibat kekerasan tajam/ benda tajam
 Vulnus scisum (luka sayat atau iris)
Luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus dan
beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti
terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka
teratur
 Vulnus punctum (luka tusuk)
Luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya kedalaman
luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan
otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan
efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
d. Vulnus scloperotum (luka tembak)
Adalah luka yang disebabkan karena tembakan senjata api
e. Luka akibat trauma fisika dan kimia
 Vulnus combutio
Adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan arus
listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan
permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga
disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.

Trauma arteri umumnya dapat disebabkan oleh trauma benda tajam ( 50 % ) misalnya karena
tembakan, luka-luka tusuk, trauma kecelakaan kerja atau kecelakaan lalu lintas, trauma arteri
dibedakan berdasarkan beratnya cedera :
- Derajat I adalah robekan adviticia dan media, tanpa menembus dinding.
- Derajat II adalah robekan varsial sehingga dinding arteri juga terluka dan biasanya
menimbulkan pendarahan yang hebat.
- Derajat III adalah pembuluh darah putus total, gambaran klinis menunjukan pendarahan
yang tidak besar, arteri akan mengalami vasokontriksi dan retraksi sehingga masuk ke
jaringan karen elastisitasnya. 1

2.1.5 MANIFESTASI KLINIK VULNUS


a. Vulnus kontusio
Gambar 1.2 Vulnus Kontusio
 Luka Memar
 Pendarahan tepi : pendarahan tidak diumpai pada lokasi yang bertekanan, tetapi
pendarahan akan menepi sehingga bentuk pendarahan akan menepi sesuai dengan
bentuk celah antara kedua kembang yang berdekatan.
 Dilihat dari permukaan kulit tampak darah berwarna hitam kebiruan, setelah
sekitar dua hari terjadi perubahan pigmen darah menjadi warna kuning.
b. Vulnus eksoriasi

Gambar 1.3 Vulnus Eksoriasi


 Luka lecet
 Hilangnya epitel dan lapisan dermis atau subkutan hal ini menyebabkan luka
tampak kuning, putih, merah muda atau berdarah tergantung pada jaringan yang
terekspos / rusak.
c. Vulnus laseratum

Gambar 1.4 Vulnus Laceratum


 Vulnus laceratum adalah terjadinya gangguan kontinuitas suatu jaringan sehingga
terjadi pemisahan jaringan yang semula normal, luka robek terjadi akibat
kekerasan yang hebat sehingga memutuskan jaringan.
 Bentuk luka tidak beraturan
 Tepi tidak rata
 Akar rambut tampak hancur atau tercabut bila kekerasannya di daerah yang
berambut
 Sering tampak luka lecet
 Memar disekitar luka
d. Vulnus morsum

Gambar 1.5 Vulnus Morsum


 Luka mempunyai tepi rata
 Dapat berbentuk luka lecet tekan berbentuk garis terputus-putus ,hematoma
atau luka robek dengan tepi rata
 Luka gigitan masih baik strukturnya sampai 3 jam pasca trauma, setelah itu
dapat berubah bentuk akibat elastisitas kulit
 Vulnus morsum merupakan luka yang tercabik-cabik yang dapat berupa
memar yang disebabkan oleh gigitan binatang atau manusia
e. Vulnus scisum

Gambar 1.6 Vulnus Scissum


 Luka sayat lebar tapi dangkal
 Luka menembus lapisan atas kulit atau lapisan dermis ke struktur yang lebih
dalam
f. Vulnus punctum

Gambar 1.7 Vulnus Punctum


 Kedalaman luka melebihi panjang luka
 Kerusakan pembuluh darah tepi
g. Vulnus sclerotum

Gambar 1.9 Vulnus Sclerotum


 Luka tembak menimbulkan kerusakan jaringan pada organ yang berada
dibawahnya
 Peluru dapat menghancurkan tulang dan menyebabkan cidera lebih lanjut
 Peluru dari senapan menyebabkan kerusakan lebih besar
h. Vulnus combutio
 Luka bakar derajat 1
Kerusakan pada epidermis, kulit kering, kemerahan, nyeri sekali, sembuh, dalam
3-7 dan tidak ada jaringan parut
 Luka bakar derajat 2
Kerusakan pada epidermis dan dermis, terdapat vesikel dan edema, subkutan,
luka merah, basah dan mengkilat, sangat nyeri, sembuh dalam, 28 hari
tergantung komplikasi infeksi.
 Luka bakar derajat 3
Kerusakan pada semua lapisan kulit, tidak ada nyeri, luka merah keputih-
putihan, dan hitam keabu-abuan, tampak kering, lapisan yang rusak tidak
sembuh sendiri maka perlu Skin graff.

2.1.6 PATOFISIOLOGI VULNUS


Proses yang terjadi secara alamiah bila terjadi luka dibagi menjadi 3 fase :2
1) Fase inflamsi atau “lagphase“ berlangsung sampai 5 hari. Akibat luka terjadi
pendarahan, ikut keluar sel-sel trombosit radang. Trombosit mengeluarkan prosig
lalim, trombosam, bahan kimia tertentu dan asam amoini tertentu yang
mempengaruhi pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan
khemotaksis terhadap leukosit. Terjadi Vasekontriksi dan proses penghentian
pendarahan. Sel radang keluar dari pembuluh darah secara diapedisis dan menuju
dareh luka secara khemotaksis. Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamine yang
menunggalkan peruseabilitas kapiler, terjadi eksudasi cairan edema. Dengan
demikian timbul tanda-tanda radang leukosit, limfosit dan monosit menghancurkan
dan menahan kotoran dan kuman.2
2) Fase proferasi atau fase fibriflasi. berlangsung dari hari ke 6-3 minggu. Tersifat oleh
proses preforasi dan pembentukan fibrosa yang berasal dari sel-sel masenkim. Serat-
serat baru dibentuk, diatur, mengkerut yang tidak perlu dihancurkan dengan demikian
luka mengkerut/mengecil. Pada fase ini luka diisi oleh sel radang, fibrolas, serat-serat
kolagen, kapiler-kapiler baru: membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan
tidak rata, disebut jaringan granulasi. Epitel sel basal ditepi luka lepas dari dasarnya
dan pindah menututpi dasar luka. Proses migrasi epitel hanya berjalan kepermukaan
yang rata dan lebih rendah, tak dapat naik, pembentukan jaringan granulasi berhenti
setelah seluruh permukaan tertutup epitel dan mulailah proses pendewasaan
penyembuhan luka.2
3) Fase “remodeling“ fase ini dapat berlangsung berbulan-bulan. Dikatakan berakhir
bila tanda-tanda radang sudah hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis,
lemas, tidak ada rasa sakit maupun gatal.2
2.1.7 Klasifikasi Fingertip Injury
Nail bed & nail injuries
a) Subungual hematoma
Subungual hematoma kondisi yang menyakitkan akibat terkumpulnya darah di
bawah sebuah kuku. Hal ini disebabkan cedera tumpul seperti, terlindas dan
tertimpa. Walaupun hal ini bukan sesuatu penyakit yang serius, tapi kadang kala
pasien mengalami rasa yang sangat sakit. Darah terjebak pada struktur kuku yang
rigid dan os. Distal phalanx. Pasien biasanya mengeluh nyeri berdenyut, tempat
yang terdapat subungual hematoma berwarna ke unguan dan ujung jari bengkak.
Pengobatan hematoma subungual bergantung derajat kompresi. Hematoma
subungual dapat diobati secara konservatif jika lempeng kuku masih melekat ke
nail plate dan tidak keluar dari lipatan kuku. Ini terlepas dari ukuran hematoma.
Untuk kasus hematoma subungual dengan fraktur yang mendasari, kuku harus
dilepaskan dan debridement kuku. Trepanasi kuku dapat dilakukan sebagai
prosedur rawat jalan untuk menghilangkan rasa sakit. Sebuah blok digital
dilakukan, diikuti oleh trepanasi menggunakan jarum yang dipanaskan.
b) Laserasi nail fold
Mekanisme laserasi nail fold biasanya akibat trauma tumpul yang sangat keras.
Laserasi melalui lipatan kuku, matriks germinal atau punggung kuku juga harus
diperbaiki secara akurat. Pemotongan pada dua sudut lipatan kuku proksimal dapat
memungkinkan untuk memvisualisasikan matriks germinal dan punggung kuku. Kuku
diangkat dan biasanya dijahit kembali sebagai bidai, menjaga atap dorsal dan matriks
germinal menempel satu sama lain. Kuku palsu, atau foil perak dari jahitan dipotong
menjadi bentuk yang digunakan sebagai splints ketika kuku asli pasien hilang, terlalu
rusak atau terlalu kotor untuk dimanfaatkan. Splints adalah untuk mencegah atap dorsal
menempel pada kuku sebelum kuku baru tumbuh. Balutan non-adherent digunakan
untuk melindungi perbaikan. Risiko cacat kuku tetap lebih tinggi jika matriks germinal
terlibat dalam cedera. Dalam kasus dengan kehilangan kuku parsial atau lengkap,
rekonstruksi kuku mungkin diperlukan. Anak-anak dengan cedera kuku harus dirujuk
karena mereka biasanya membutuhkan anestesi umum untuk setiap perbaikan atau
debridement untuk dilakukan, karena mereka tidak dapat bekerja sama dengan
perawatan di bawah anestesi lokal.

Fingertip & pulp amputations


Terdapat berbagai macam klasifikasi dari finger tip injury, diantaranya yang lazim digunakan
ialah Klasifikasi ALLEN yang terbagi menjadi 4 (empat) tipe 11 :
 Allen Tipe I : hanya melibatkan hilangnya jaringan lunak (kulit dan pulp) distal dari
phalang distal.
 Allen Tipe II : melibatkan pulp dan nail bed distal dari tip phalang distal
 Allen Tipe III : melibatkan nail plate dan matrik germinal distal dari mid-phalang distal
 Allen Tipe IV : proksimal dari nail plate meliputi keseluruhan phalang distal
Klasifikasi finger tip injury PNB 11

Gambar 3. Klasifikasi Finger tip injury ALLEN 11


Klasifikasi lain yang cukup sering digunakan ialah yang dideskripsikan oleh TAMAI dan
ISHIKAWA et al. Tamai membagi phalang distal menjadi 2 zona1:
 Zona 1 memanjang dari basis kuku hingga ke fingertip, dan
 Zona 2 memanjang dari sendi interphalang distal (DIP) hingga basis kuku. Sementara
Ishikawa et al mengklasifikasikan amputasi fingertip menjadi 4 zona11 :
 Zona 1 untuk amputasi distal hingga midpoint nail
 Zona 2 untuk amputasi antara nail base dan midpoint nail
Amputasi antara sendi DIP dan basis kuku dibagi menjadi Zona 3 dan 4

Gambar 5.
Klasifikasi oleh Tamai dan Ishikawa et al, amputasi jari berdasarkan level trauma1
Walaupun Klasifikasi Allen dan Ishikawa sederhana dan lebih mudah diaplikasikan tetapi tidak
dapat mendeskripsikan detail dari cidera. Klasifikasi PNB dari Evans dan Bernadis, memisahkan
cidera dan efeknya dalam 3 komponen dari finger tip : pulp, kuku dan tulang. Setiap komponen di
subdivisi-kan menjadi 7 atau 8 bagian, sehingga dapat mendeskripsikan cidera lebih akurat. 3

Gambar 6. Klasifikasi PNB untuk finger tip injury11


Diagnosis
1. Anamnesis
Walupun saat pasien datang ke unit gawat darurat trauma yang terjadi sudah dapat telihat,
terdapat banyak hal yang harus ditanyakan pada saat anamnesis. Hal tersebut adalah:
pekerjaan tangan mana yang dominan bagaimana mekanisme traumanya, besarnya
kontaminasi dari lingkungan tempat terjadinya trauma.1
Keluhan-keluhan yang dirasakan, misalkan pasien mengeluhkan nyeri harus digali lebih
dalam lagi seperti apakah nyerinya. Selain itu juga perlu diperhatikan pula kelainan sistemik
yang sudah ada, yaitu Diabetes Melitus, rheumatoid Arthritis, kelainan perdarahan dan alergi
yang dapat mempengaruhi prognosis pasien.11
2. Pemeriksaan Fisik
Setelah kondisi Life-threatening dapat diatasi pada saat primary survey, kita dapat
memfokuskan perhatian kita pada cidera yang terjadi pada tangan. Seperti pemeriksaan fisik
orthopaedi lainnya, pemeriksaan fisik dimulai dengan look (inspeksi), feel (palpasi), dan
move (ROM aktif dan pasif) serta beberapa pemeriksaan khusus seperti pemeriksaan
neurovaskular.11
Kita harus perhatikan posisi tangan dalam keadaan istirahat bagaimana pergerakan tangan
adakah pembengkakan dan bentuk luka. Luka tidak dipaksakan untuk dijahit di ruang
emergensi cukup dibalut tekan. Hati-hati terhadap luka kecil karena dapat menutupi
kerusakan jaringan di bawahnya yang kemungkinan lebih besar. Juga harus diperhatikan ada
tidaknya benda asing yang masuk. Perlu juga kita ketahui kelainan pembuluh darah, adakah
kemungkinan tanda-tanda insufiensi dari pembuluh darah yang kita kenal dengan 5P’s, yaitu:
a. Pain
b. Palor
c. Pulsesness
d. Paresthesia
e. Paralysis
Kemungkinan gangguan vaskularisasi ke distal ditentukan dengan pemeriksaan fisik dengan
menggunakan Allen test, untuk mengetahui patensi dari arteri radialis dan ulnaris.1
Kemungkinan cedera pada tendon juga harus dipikirkan, perhatikan posisi tangan pada saat
istirahat. Dilakukan pemeriksan adakah kemungkinan terputusnya tendo dengan tes fungsi
fleksi dan ekstensi dari jari tangan. Pada cedera syaraf perlu dipikirkan fungsi-funsi sensoris,
motorik, dan otonom. Bila laserasi tendon lebih dari 30% diameter tendon maka perlu
dilakukan eksplorasi atau dan repair.1,5
Pada trauma yang disertai dengan fraktur, deformitas akan terlihat terutama dengan fraktur
yang disertai dislokasi. Pada pemeriksaan akan ditemukan nyeri, bengkak, gerakan abnormal
dan instabilitas.
3. Pemeriksaan Penunjang1,2
Pemeriksaan radiologi Plain x-ray merupakan pemeriksaan penunjang yang paling banyak
dipakai karena dapat mengambarkan jenis fraktur, yang wajib dilakukan pada 2 posisi yaitu
AP dan Lateral. Bila kurang jelas dapat ditambah dengan posisi oblik. Pemeriksaan CT scan
atau MRI jarang diperlukan untuk cedera tangan.
2.1.8 Tatalaksana
Prinsip Umum Terapi
Karakteristik spesifik luka akan menentukan metode terapi yang paling optimal untuk pasien.
Penting untuk diketahui apakah ada bagian kulit atau jaringan pulp yang hilang serta luasnya
bagian tersebut, selain itu penting pula untuk menilai apakah ada bagian tulang yang
terekspos, adanya fraktur phalang distal, atau trauma pada nail bed atau jaringan perionikial.
Pada kasus amputasi, sangat penting untuk mengetahui tingkat dan sudut traumanya. Pada
luka dengan tanpa hilangnya jaringan lunak hanya dipe rlukan simple closure. Skin flaps yang
masih viabel dijahit, dan bila terdapat fraktur maka dilakukan splint.11
Berdasarkan klasifikasinya, tatalaksana fingertip injury adalah sebagai berikut11

a. Trauma dengan hilangnya jaringan lunak tanpa bagian tulang yang terekspos
Terapi yang baik untuk jenis trauma ini adalah dengan skin graft atau penyembuhan luka
secara sekunder. Masih banyak kontroversi mengenai metode mana yang paling baik diantara
keduanya. Luka yang kecil (tidak lebih dari 1 cm2) dapat diterapi secara non-bedah.
Luka lebih besar yang diterapi non-bedah sembuh dengan lapisan epitelisasi yang tipis dan
tidak terlalu sensitif, sehingga penggunaan skin graft perlu dipertimbangkan. Skin grafts yang
digunakan pada permukaan palmar jari sebaiknya berupa full thickness karena kontraksinya
yang kurang, lebih durable, dan sensibilitas yang lebih baik daripada split grafts. Daerah
donor yang dipilih untuk small split skin graft sebaiknya area hipotenar, karena cukup
nyaman dan bagian kulitnya durable serta memiliki kesamaan warna kulit yang baik.
Sementara bila menggunakan full thickness dapat diambil dari daerah fossa cubiti.11
b. Trauma dengan hilangnya jaringan lunak dan tulang yang terekspos
Bila tulang terekspos, perlu dilakukan penutupan jaringan lunak yang cukup baik. Hampir
tidak pernah ada jaringan lunak yang cukup untuk menutup luka secara primer, dan usaha ini
dapat mengakibatkan nekrosis kulit, jari yang terasa nyeri, dan morbiditas memanjang.
Penutupan dengan flap lokal atau regional atau pemendekan tulang dengan penutupan
primer biasanya dibutuhkan untuk trauma jenis ini.
 Flap Lokal
Merupakan flap dengan jaringan yang digunakan menyatu dengan jari yang terluka, dengan
paling tidak satu sisinya melekat pada defek. Keuntungannya adalah flap ini bisa digunakan
oleh pasien usia berapapun, mempertahankan panjang, defek donor tidak membutuhkan skin
graft, dan jaringannya memiliki kualitas, tekstur serta warna yang sama dengan daerah
resipien. Program range-of-motion dapat segera dimulai.

Gambar 6. Sudut dan level amputasi. A. Volar oblique tanpa tulang yang terekspos. B. Volar
oblique dengan tulang terekspos. C. Transverse dengan tulang terekspos. D. Dorsal oblique
dengan tulang
 V-Y Flap
Untuk amputasi transverse atau dorsal oblique, volar triangular atau V-Y advancement flap
(Atasoy-Kleinert) adalah metode terapi yang paling ideal. Flap ini dapat digunakan pada
semua jari, termasuk ibu jari. Ujung distal flap dapat diperpanjang hanya sekitar 1 cm. Flap
ini tidak cocok untuk terapi pada amputasi yang terlalu proksimal dan pada trauma dengan
hilangnya jaringan volar lebih banyak daripada dorsal (volar oblique), dikarenakan tidak
cukupnya jaringan untuk perpanjangan. Flap ini didesain dengan ujung distal luka sebagai
dasar dari flap triangular.1,3

Gambar 7.
Flap triangular volar. A. Tulang dipotong hingga sama dengan kulit dan ujung distal nail bed.
B. Flap didesain dengan dasar pada margin distal luka dan apeks pada midline sudut distal
interphalang. C. Flap dimobilisasi. D. Flap diperluas kea rah distal melewati ujung tulang dan
dijahit ke ujung distal nail bed. E dan F. Kulit bagian volar dijahit.1
Untuk amputasi distal transverse jenis flap yang paling baik digunakan ialah Flap Kutler.
Dimana dilakukan penggunaan dual flap triangular dari sisi fingertip. Flap triangular
didesain pada masing-masing sisi ujung jari, dengan basisnya adalah ujung distal luka dan
apeks lebih proksimal. Setelah dilakukan insisi kulit dan jarigan subkutan, flap diperpanjang
tanpa undermining, melewati ujung tulang dan dijahit ke sisi lainnya. Kerugian teknik ini
adalah flap terlalu kecil dan mungkin sulit diperpanjang, dengan hasil penutupan tidak bisa
dicapai tanpa tension / tegangan.
Gambar 8. Teknik Atasoy V-Y. A, Insisi kulit dan mobilisasi flap triangular. B, Triangular
flap advancement C, Penjahitan dasar flap triangular ke nail bed. D, Penutupan defek, teknik
V-Y.

 Flap Regional
Paling sering digunakan adalah cross-finger flap dan flap thenar. Dapat digunakan untuk
defek yang hampir sama melibatkan ujung jari. Jenis flap ini mempertahankan panjang dan
dapat menutupi amputasi dengan sudut volar oblique dan amputasi yang terlalu proksimal
untuk dilakukan flap lokal, juga dapat menggantikan hilangnya jaringan pulp. Pada pasien
dengan lebih dari satu trauma pada jari, cross-finger flap multipel atau kombinasi cross-
finger flap dan flap thenar mungkin baik untuk dilakukan.
Kerugian utama dari cross-finger flap adalah penggunaannya yang melibatkan dua tahapan
prosedur yang membutuhkan pembagian flap. Beberapa mempertimbangkan pasien yang
usianya lebih dari 40 merupakan kontraindikatif relatif penggunaan jenis flap ini, dikarenakan
imobilisasi yang panjang bisa menyebabkan kekakuan. Flap jenis ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan osteofit atau arthritis pada jari yang terluka dan pasien dengan kondisi
sistemik seperti rheumatoid arthritis, diabetes dan gangguan vasospastik.
Setelah dilakukan prosedur operasi, tangan di-splint. Flap division dilakukan dengan
penggunaan anestesi lokal sekitar 12-14 hari setelah prosedur inisial. Menunda division flap
lebih dari 14 hari meningkatkan risiko kekakuan sendi.
2.2 FRAKTUR
2.2.1 DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah
dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan
patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh
bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.4
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma
tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan
luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi
atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut
fraktur dislokasi.
2.2.3 KLASIFIKASI
Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar dibagi
menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas
tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur
terbuka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat
ringannya luka dan berta ringannya patah tulang.5

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )5


Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976):5
Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal tibia dibagi
menjadi lima tipe 5:
Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih utuh.
Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari
metafisis.
Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi
Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis
Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari
sebagian cakram tersebut.
 Menurut Penyebab terjadinya
 Faktur Traumatik : direct atau indirect
 Fraktur Fatik atau Stress
 Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan
 Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan

 Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya


 Fraktur Simple : fraktur tertutup
 Fraktur Terbuka : bone expose
 Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera

Fraktur diklasifikasikan menjadi :


1. Berdasarkan garis patah tulang
a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.
c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tulang.
2. Berdasarkan bentuk patah tulang5
a. Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen
tulang biasanya tergeser.
b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang
lain.
d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian.
f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
g. Fraktur dengan perubahan posisi (Undisplaced), yaitu ujung tulang yang patah
berjauhan dari tempat yang patah.
h. Fraktur tanpa perubahan posisi (DIs, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang
normal.
i. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat.

Gambar 2.3 Tipe Fraktur


2.2.4 ETIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur5
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan kerusakan
jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang akan
mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih
luas.
Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan jaringan sekitar
fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi
fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang.
Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit Paget
dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal
tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.5
Stress/Repetitive stress bisa dikarenakan adanya tekanan berulang ulang yang membuat
tulang menjadi patah. Hal ini biasa terjadi pada atlet.5
2.2.5 PATOFISIOLOGI FRAKTUR
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang mempunyai keterbatasan
gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang terjadi dapat berupa fraktur tertutup
ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak disekitarnya
sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan lunak seperti otot, tendon,
ligamen, dan pembuluh darah.6
Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapat
menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka terbuka
dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi. Keluarnya
darah dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen tulang
disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur menyebabkan disposisi pada
tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku.6
2.2.6 MANIFESTASI KLINIS
Menurut manifestasi klinik fraktur adalah :7
1. Nyeri
Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen tulang tidak bisa
digerakkan.
2. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung menunjukkan
pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang yang mana tulang tersebut saling berdekatan.
3. Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang diketahui ketika
dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
4. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas yang
disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah lokasi fraktur.
5. Krepitasi
Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur digerakkan.
6. Bengkak dan perubahan warna
Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
2.2.7 DIAGNOSIS
Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur
sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok,
riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi / Look8
Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak
Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo
b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada
daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera,
daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian
cairan kapler (Capillary refill test) sensasi8
c. Gerakan / Moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi
fraktur.
d. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol
ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan
pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan
urinalisa.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari6 :
I. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang tidak
terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :6


1. Alignment/Angulasi : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut
2. Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening)
3. Aposisi /Translasi : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
4. Rotasi : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal
2.2.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa diagnosis dan
penilaian fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi, dan rehabilitation yaitu
mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status
neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah
reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi
awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan
definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan ORIF
maupun OREF6.
Tujuan pengobatan fraktur :
a. Reposisi/Reduksi dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Tehnik reduksi
terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reduksi tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Jenis traksi :
 Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
 Skin traksi Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan
kembali ke posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
 Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

Gambar 2.4 reduksi tertutup dengan traksi


Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada tibia
atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan
traksi yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) ,
sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin. Cara lain yaitu dengan reposisi
terbuka yang dilakukan padapasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen
bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan fraktur patologis.7
b. Retensi/ fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai
Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstabel
serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar.7
PRIMARY REPAIR
Diindikasikan pada cedera yang tidak disertai hilangnya kulit. Bila disertai Nail Bed Injury,
dilakukan re-aproksimasi menggunakan catgut 7-0 dan membuang nail plate yang terlepas.
Fiksasi fraktur yang spesifik tidak dibutuhkan bila terdapat fraktur phalanx distal, yang tidak
menyertakan permukaan sendi dengan jaringan lunak yang utuh. Kulit dijahit dengan non-
absorbable 6-0.
SECONDARY INTENTION (Perawatan terbuka)
Metode ini diterapkan berdasarkan proses epitelisasi dan kontraksi luka hingga
memungkinkan penutupan luka. Pilihan ini baik digunakan pada defek luka yg kecil (6-8
mm) tanpa bone exposure. Penutupan defek biasanya terjadi dengan jaringan parut dan
menghasilkan ujung jari yang keras. Sehingga dalam pemilihan metode ini , perlu
dipertimbangkan riwayat pekerjaan pasien. Teknik ini perlu dihindari pada orang-orang
dengan pekerjaan yang sering menggunakan ujung jari (pengguna komputer, pemain piano).
Dalam kondisi ideal, penutupan defek yang stabil biasanaya terjadi dalam 2-4 minggu. Pada
40 % kasus dengan metode ini, terjadi intoleransi dingin.
SKIN GRAFT
Pada FTI dengan defek kulit yang cukup luas, diindikasikan teknik Skin Graft. Walaupun
secara umum keberhasilan STSG lebih tinggi dibandingkan FTSG, pada kasus FTI, FTSG
lebih disukai karena lebih baik secara kosmetik, sensibilitas dan durabilitas. Lokasi donor
dapat diambil dari berbagai tempat, namun donor lokal atau regional lebih baik dalam
mencegah hiperpigmentasi. Dalam hal ini, donor dari palmar crease, karena dapat dipreparasi
secara bersamaan dan dapat menghasilkan donor hingga 2x6 cm. Sebagian ahli juga
menyarankan pengambilan donor dari area hipothenar, namun menutupan area donor sering
meninggalkan skar yang kurang baik secara kosmetik ataupun tension yang berlebih saat
aproksimasi.
LOCAL FLAP
Untuk kehilangan ujung jari yang cukup luas, seringkali flap diindikasikan. Dibandingkan
dengan skin graft, flap memiliki keuntungan antara lain, dapat digunakan pada defek dengan
bone exposure, dan memiliki sensibilitas dan durabilitas yang lebih baik.
Pilihan flap lokal pada FTI yaitu :
 V-Y advancement flap
Dipopulerkan oleh Atasoy, flap tipe ini sangat berguna pada kasus FTI dengan oblique
dorsal. Teknik ini sulit diterapkan pada angulasi transversal, dan dikontraindikasikan pada
oblique palmar. Keuntungan V-Y flap yaitu dapat diterapkan pada semua umur, warna yang
sesuai dengan jaringan sekitarnya, sensibilitas yang baik dan tidak membutuhkan imobilisasi.
Desain flap sangat menetukan dalam menghasilkan flap yang baik. Apex insisi V dibuat pada
skin crease midpalmar DIP joint. Ujung insisi V harus selebar tepi luka. Setelah insisi, sangat
penting untuk membuka septum fibrosus, sambil melakukan traksi pada flap yang dilepaskan.
Undermining yang berlebihan harus dihindari, karena pedikel flap ini hanya mengandalkan
jaringan subkutan.

Gambar 2.5 V-Y advancement flap


Bilateral V-Y Kutler Flap
Memiliki konsep yang sama dengan Atasoy V-Y Flap, namun memiliki 2 buah flap yang
diambil dari arah lateral, sehingga cocok diaplikasikan pada FTI dengan potongan
transversal. Memiliki kekurangan dalam luas flap dan banyaknya skar yang terjadi. Penelitian
Freiberg dan Manktelow mengatakan bahwa pasien yang dilakukan Bilateral V-Y Kutler flap
merasakan adanya hipersensitivitas (30%), dan baal (30%).
Gambar 2.6 Bilateral Kutler V-Y flap

Palmar advancement Flap (Moberg)


Dipublikasikan oleh moberg 1964, palmar advanvement flap membutuhkan mobilisasi
jaringan lunak subkutan yang ekstensif melalui insisi midaxial. Meskipun palmar
advancement Flap sangat berguna dalam menutup defek FTI hingga 1 cm, menghasilkan flap
yang stabil dan innervasi yang baik, namun komplikasi kontraktur sendi sering terjadi akibat
imobilisasi setelah tindakan. Sebagian besar penulis menyarankan teknik ini hanya digunakan
pada FTI ibu jari, karena jaringan lunak pada ibu jari memiliki mobilitas lebih baik dibanding
jari yang lain. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adanya nekrosis dorsal. Hal ini bila
neurovascular bundle dorsal ikut terpotong saat insisi midaxial.
Gambar 2.7 Palmar advancement Flap (Moberg)
REGIONAL FLAP
 Thenar Flap
Digunakan terutama pada FTI jari ke 2, 3 dan 5.dengan potongan oblique palmar dan
transverse. Dapat memberikan donor hingga seluas 2x4 cm. Fleksi kontraktur dapat terjadi,
akibat imobilisasi jari resipien dalam posisi fleksi selama 6-8 minggu. Teknik ini
dikontraindikasikan pada pasien diatas usia 50 tahun, atau pasien dengan kecenderungan
stiffness pada sendi-sendi kecil. Pemilihan teknik ini didasarkan untuk mempertahankan
fungsi okupasi dan alasan kosmetik. Arah flap dapat dibuat dari proksimal, distal, dan lateral.
Flap dijahit setinggi mungkin dari eminensia thenar.
Hal yang perlu diperhatikan pada flap ini, yaitu saraf digitalis pada ibu jari harus dapat
diidentifikasi untuk mencegah cedera. Untuk meminimalisasi fleksi kontraktur, maka saat
imobilisasi ibu jari diposisikan pada abduksi palmar, sendi MCP & DIP diposisikan fleksi
maksimal, sehingga PIP berada dalam posisi fleksi yang seminimal mungkin. Lokasi donor
dapat ditutup secara primer ataupun dengan Skin graft. Pada hari 10-14, flap dapat dipisahkan
dari donornya dan mobilisasi aktif dapat segera dimulai.Pada jangka panjang, fungsi sensorik
pada flap ini lebih baik dibandingkan dengan skin graft.
Gambar 2.8 Thenar Flap
 Cross-Finger Flap
Diindikasikan pada FTI dengan defek di darah palmar, dan tidak dianjurkan pada pasien
dengan dengan penyakit Buerger, Raynaud, ataupun penyakit vaskular lainnya. Juga
dikontraindikasikan pada pasien dengan kecenderungan joint stiffness. Flap memiliki
ketahanan dan sensibililitas yang baik, bebas nyeri, namun sebagian besar kasus memiliki
komplikasi intoleransi dingin. Vaskularisasi flap yang diambil berasal dari neurovascular
bundle palmar dan cabang dorsalnya. Flap dielevasikan pada bidang diatas paratenon

ekstensor setinggi phalanx media atau proksimal, Lalu dapat diimobilisasi baik dengan
plaster splint ataupun fiksasi eksterna berukuran kecil. Pada hari 10-14, flap dipisahkan dari
donornya, dan mobilisasi aktif dimulai sesegera mungkin.

Gambar 2.9 Cross Finger Flap


 Kite Flap
Dikembangkan oleh Holevitch dan Foucher, pedikel yang digunakan berasal dari arteri MC I
bagian dorsal. Defek pada donor ditutup dengan FTSG.

AMPUTATION REVISION
Dilakukan pada defek matrix yang cukup luas, juga pada usia lanjut atau dengan penyakit
sistemik yang tidak memungkinkan dilakukan tindakan flap. Sisa dari matriks kuku diablasi,
bila insersi tendon fleksor atau ekstensor tidak dapat dipertahankan, maka dapat dilakukan
disartikulasi.

JENIS FIKSASI
Ekternal / EF (External Fixation)

Gambar 2.5 Fiksasi Eksternal


Indikasi OREF :
 Fraktur terbuka derajat III
 Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
 Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
 Fraktur Kominutif
 Fraktur Pelvis
 Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
 Non Union
 Trauma multiple6
Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan cara ini adalah
reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya fraktur talus
dan fraktur collum femur.
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan fraktur dislokasi.
c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur Monteggia,
fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi,
misalnya : fraktur femur.6

Gambar 2.6 Fiksasi Internal


I. PENYEMBUHAN FRAKTUR
Penyembuhan fraktur dapat dilakukan dalam 2 jenis yakni direct dan kalus. Pada
penyembuhan direct, penyembuhan dapat dilakukan langsung dengan remodelling sisa
fragmen/tulang yang ada sehingga tulang dapat menyatu kembali tanpa pembentukan kalus.
Hal ini dapat terjadi ketika fraktur yang terjadi betul-betul tidak dapat bergerak (immobile)
seperti fraktur impaksi dan fraktur dengan pemasangan internal fixation.6
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal dengan kalus terdiri atas lima fase, yaitu :
1. Fase hematoma6
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati
kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan
membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh
periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan
hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan
kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang
yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal (1-7 hari)6
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan.
Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari
periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus
interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat
pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang
tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini
terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat
pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan
seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan
osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radiolusen.
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis) (2-3 minggu)6
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang
berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat
osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh
garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut
sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan
merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik) (3-4 Bulan)6
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah menjadi tulang
yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus
akan diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling6
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai
bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini,
perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada
tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah
menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan
mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.6

Gambar 2.7 Proses penyembuhan dengan kalus


2.2.9 KOMPLIKASI FRAKTUR
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur
yang disebut komplikasi iatrogenik8 a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi
pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma
dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa
peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena
dalam (DVT), tetanus atau gas gangren
b. Komplikasi Lokal
Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan
apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.
 Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur
terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi
dan berakhir dengan degenerasi
 Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema.
Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan elastik
2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu
diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol
 Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini
terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan
tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan
menimbulkan sindroma crush atau trombus 8
 Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada
robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti
spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau
manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada
pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah
tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan
torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair
untuk mencegah kongesti bagian distal lesi Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan
intra kompartemen otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan
neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada
pemasangan gips yang terlalu ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema
dalam otot.8
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara
periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya
adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis6
 Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson).
Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus. 8
Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat
deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.
 Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan
radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20 minggu
dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)9
 Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara
fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.6
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan
sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak
akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.6
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas,
hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai,
implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang
(fraktur patologis)6
 Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur
atau osteotomi koreksi.6
 Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union).
Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi
tulang berupa osteoporosis dan atropi otot6
 Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga
terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan
tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif
dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap.6
BAB IV
KESIMPULAN
Luka/vulnus adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan, luka adalah sebuah
injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular normal, luka dapat juga dijabarkan
dengan adanya kerusakan pada kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai
dengan kehilangan substansi jaringan.
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Pada vulnus appertum seringkali dijumpai
dengan fraktur terbuka, mengingat besarnya force yang dikeluarkan.
Pada kasus ini didapati pasien kecelakaan datang ke IGD. Pertolongan pertama pada pasien
tetap meliputi primary survey airway, breathing, circulation, disability. Selanjutnya baru
dilakukan secondary survey dari anamnesis sampai menemukan diagnosis.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, terdapat trauma dengan vulnus
appertum dan fraktur terbuka grade 3B pada distal phalang digiti III-IV sinistra. Maka,
dilakukanlah tatalaksana yang sesuai dengan pasien ini yakni debridement, amputasi dan
primary hecting. Juga diberikan pengobatan untuk pencegahan infeksi dan pengurang rasa
nyeri untuk kenyamanan pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer A. Kapita Selekta Kedokteran. FKUI : Media Aesculapius.2011
2. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6. Jakarta :
EGC.2000.
3. Drake RL, Vogl AW, Mitchell AWM. Dasar-dasar anatomi. Penerbit: Elsevier Churchill
Livingstone; 2012
4. American Collage of Surgeons, Advance Trauma Life Suport For Doctors, 9th Edition.
United States of America, 2014.
5. Sjamsuhidajat R, Prasetyono TO, Rudiman R, et al. Buku Ajar Ilmu bedah Vol 1-3.Edisi 4.
Jakarta:EGC.2017
6. Solomon L, Warwick D, Nayagam S.Apley’s System of Orthopaedics and Fractures.9th
edition.UK:Hodder Arnold.2010
7. Grace Pierce A., Borley Neil R.; At A Glance Ilmu Bedah; Edisi Ke-3; Hal. 93; Erlangga;
Jakarta; 2007
8. Egol KA, Koval KL, Zuckerman JD. Handbook of Fractures 5th
Edition.Philadelphia:Walters Kluwer.2015
9. Greene WB. Netter Orthopaedics.Elsevier.2006
10. De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.2004.
11. Spyropoulou GA, Shih HS, Jeng SF.Free Pulp Transfer for Fingertip Reconstruction-The
Algorithm for Complicated Allen Fingertip Defect

Anda mungkin juga menyukai