Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

POST SC INDIKASI PEB

OLEH :
NAMA : CLARIZA SHERLY LEVIANA
NIM : 20121128

POLTEKNIK KESEHATAN BHAKTI MULIA


PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
TAHUN 2022
LAPORAN PENDAHULUAN PADA
POST SC

A. Definisi
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus. (Sarwono, 2005)
Sectio caesarea adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat
sayatan pada dinding uterus melalui depan perut atau vagina. Atau disebut
juga histerotomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim. (Mochtar,
2016)

B. Etiologi
Menurut Mochtar (2016) faktor dari ibu dilakukannya sectio
caesarea adalah plasenta previa , panggul sempit, partus lama, distosia
serviks, pre eklamsi dan hipertensi. Sedangkan faktor dari janin adalah letak
lintang dan letak bokong.
Menurut Manuaba (2019) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea
adalah ruptur uteri iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini.
Sedangkan indikasi dari janin adalah fetal distres dan janin besar melebihi
4.000 gram. Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan
beberapa penyebab sectio caesarea sebagai berikut :
1. CPD (Chepalo Pelvik Disproportion)
2. KPD (Ketuban Pecah Dini)
3. Janin Besar (Makrosomia)
4. Kelainan Letak Janin
5. Bayi kembar
6. Faktor hambatan jalan lahir
7. PEB (Pre-Eklamsi Berat)
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang
langsung disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas.
Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi dan eklamsi merupakan
penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu
kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu
mengenali dan mengobati agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar,
2016).
Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini
umumnya terjadi pada trimester III kehamilan, tetapi dapat terjadi
sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul
lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-
eklamsi, kenaikan tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas
tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih.
Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat dipercaya. Apabila
tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100
mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan
tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada
kedaan istirahat (Wiknjosastro, 2017).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan
dalam jaringan tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat
badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka. Edema pretibial
yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak
seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan berat
badan setengah kilo setiap minggu dalam kehamilan masih dapat
dianggap normal, tetapi bila kenaikan satu kilo seminggu beberapa
kali,hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-
eklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang
melebihi 0,3 gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan kualitatif
menunjukkan satu atau dua + atau satu gram per liter atau lebih dalam air
kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang diambil minimal 2 kali
dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat dari
pada hipertensi dan kenaikan berat badan karena itu harus dianggap
sebagai tanda yang cukup serius (Wiknjosastro, 2017).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal
ialah pemeriksaan antenatal yag teratur dan bermutu serta teliti,
mengenali tanda-tanda sedini mungkin, lalu diberikan pengobatan yang
cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan utama
penanganan adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi,
hendaknya janin lahir hidup dan trauma pada janin seminimal mungkin
(Mochtar, 2016).
Menurut (Manuaba, 2016) gejala pre-eklamsi berat dapat
diketahui dengan pemeriksaan pada tekanan darah mencapai 160/110
mmHg, oliguria urin kurang 400 cc/24 jam, proteinuria lebih dari 3
gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri epigastrium,
gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar
enzim hati meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan
trombosit kurang dari 100.000/mm.
Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang
dapat diikuti oleh koma. Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting
dari mengobatinya, karena sekali ibu mendapat serangan, maka prognosa
akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi bertujuan untuk
menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan
secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar
mengurangi trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 2016).

C. Klasifikasi
1. Abdomen (SC Abdominalis)
a. Sectio Caesarea Transperitonealis
Sectio caesarea klasik atau corporal: dengan insisi memanjang pada
corpus uteri. Sectio caesarea profunda: dengan insisi pada segmen
bawah uterus.
b. Sectio caesarea ekstraperitonealis
Merupakan sectio caesarea tanpa membuka peritoneum parietalis
dan dengan demikian tidak membuka kavum abdominalis.
2. Vagina (sectio caesarea vaginalis)
Menurut arah sayatan pada rahim, sectio caesaria dapat dilakukan
apabila:
a. Sayatan memanjang (longitudinal)
b. Sayatan melintang (tranversal)
c. Sayatan huruf T (T Insisian)
3. Sectio Caesarea Klasik (korporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-
kira 10cm.
Kelebihan:
a. Mengeluarkan janin lebih memanjang
b. Tidak menyebabkan komplikasi kandung kemih tertarik
c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal
Kekurangan:
a. Infeksi mudah menyebar secara intraabdominal karena tidak ada
reperitonial yang baik.
b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan.
c. Ruptura uteri karena luka bekas SC klasik lebih sering terjadi
dibandingkan dengan luka SC profunda. Ruptur uteri karena luka
bekas SC klasik sudah dapat terjadi pada akhir kehamilan,
sedangkan pada luka bekas SC profunda biasanya baru terjadi
dalam persalinan.
d. Untuk mengurangi kemungkinan ruptura uteri, dianjurkan supaya
ibu yang telah mengalami SC jangan terlalu lekas hamil lagi.
Sekurang -kurangnya dapat istirahat selama 2 tahun. Rasionalnya
adalah memberikan kesempatan luka sembuh dengan baik. Untuk
tujuan ini maka dipasang akor sebelum menutup luka rahim.
4. Sectio Caesarea (Ismika Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada segmen
bawah rahim kira-kira 10cm
Kelebihan:
a. Penjahitan luka lebih mudah
b. Penutupan luka dengan reperitonialisasi yang baik
c. Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan isi
uterus ke rongga perineum
d. Perdarahan kurang
e. Dibandingkan dengan cara klasik kemungkinan ruptur uteri
spontan lebih kecil
Kekurangan:
a. Luka dapat melebar ke kiri, ke kanan dan bawah sehingga dapat
menyebabkan arteri uteri putus yang akan menyebabkan perdarahan
yang banyak.
b. Keluhan utama pada kandung kemih post operatif tinggi.

D. Patofisiologi
Adanya beberapa kelainan/hambatan pada proses persalinan yang
menyebabkan bayi tidak dapat lahir secara normal / spontan, misalnya
plasenta previa sentralis dan lateralis, panggul sempit, disproporsi cephalo
pelvic, rupture uteri mengancam, partus lama, partus tidak maju, pre-
eklamsia, distosia serviks, dan malpresentasi janin. Kondisi tersebut
menyebabkan perlu adanya suatu tindakan pembedahan yaitu Sectio Caesarea
(SC).
Dalam proses operasinya dilakukan tindakan anestesi yang akan
menyebabkan pasien mengalami imobilisasi sehingga akan menimbulkan
masalah intoleransi aktivitas. Adanya kelumpuhan sementara dan kelemahan
fisik akan menyebabkan pasien tidak mampu melakukan aktivitas perawatan
diri pasien secara mandiri sehingga timbul masalah defisit perawatan diri.
Kurangnya informasi mengenai proses pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi akan menimbulkan masalah ansietas pada pasien.
Selain itu, dalam proses pembedahan juga akan dilakukan tindakan insisi
pada dinding abdomen sehingga menyebabkan terputusnya inkontinuitas
jaringan, pembuluh darah, dan saraf - saraf di sekitar daerah insisi. Hal ini
akan merangsang pengeluaran histamin dan prostaglandin yang akan
menimbulkan rasa nyeri (nyeri akut). Setelah proses pembedahan berakhir,
daerah insisi akan ditutup dan menimbulkan luka post op, yang bila tidak
dirawat dengan baik akan menimbulkan masalah risiko infeksi.

E. Pathway
G. Komplikasi
1. Infeksi Puerperalis
Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa
hari dalam masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis,
sepsis dan lain-lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum
pembedahan sudah ada gejala - gejala infeksi intrapartum atau ada faktor -
faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan itu (partus lama
khususnya setelah ketuban pecah, tindakan vaginal sebelumnya). Bahaya
infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotika, tetapi tidak dapat
dihilangkan sama sekali, terutama SC klasik dalam hal ini lebih berbahaya
daripada SC transperitonealis profunda.
2. Perdarahan
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika cabang
arteria uterina ikut terbuka atau karena atonia uteri
3. Luka kandung kemih
4. Embolisme paru - paru
a. Suatu komplikasi yang baru kemudian tampak ialah kurang kuatnya perut
pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan berikutnya bisa terjadi
ruptura uteri. Kemungkinan hal ini lebih banyak ditemukan sesudah sectio
caesarea klasik.
b.
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
2. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
3. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
4. Urinalisis / kultur urine
5. Pemeriksaan elektrolit
I. Penatalaksanaan
Medis Post SC (Manuaba, 2017)
1. Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka pemberian
cairan perintavena harus cukup banyak dan mengandung elektrolit agar
tidak terjadi hipotermi, dehidrasi, atau komplikasi pada organ tubuh
lainnya. Cairan yang biasa diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi
dan RL secara bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan.
Bila kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
2. Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah penderita flatus
lalu dimulailah pemberian minuman dan makanan peroral. Pemberian
minuman dengan jumlah yang sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 -
10 jam pasca operasi, berupa air putih dan air teh.
3. Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap meliputi:
a. Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam setelah
operasi
b. Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkin setelah sadar
c. Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan selama 5
menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu menghembuskannya.
d. Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi posisi
setengah duduk (semifowler)
e. Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien dianjurkan
belajar duduk selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian
berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari ke5 pasca operasi.
4. Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak enak
pada penderita, menghalangi involusi uterus dan menyebabkan
perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48 jam / lebih lama lagi
tergantung jenis operasi dan keadaan penderita.
5. Pemberian obat-obatan
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran pencernaan
a) Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
b) Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
c) Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila perlu
3) Obat-obatan lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita dapat
diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
4) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila basah
dan berdarah harus dibuka dan diganti
5) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah suhu,
tekanan darah, nadi,dan pernafasan.

J. Fokus Pengkajian
a. Pengkajian data umum
1) Identitas klien dan penanggung
2) Keluhan utama klien saat ini
3) Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien
multipara
4) Riwayat penyakit keluarga
5) Keadaan klien meliputi:
6) Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-
kira 600-800 mL
7) Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai tanda
kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai wanita.
Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan, ketakutan,
menarik diri, atau kecemasan.
8) Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet ditentukan).
9) Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi spinal
epidural.
10) Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena trauma bedah,
distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia, nyeri tekan uterus
mungkin ada.
11) Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
12) Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
13) Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea
sedang.
LAPORAN PENDAHULUAN PADA
PRE-EKLAMSIA BERAT

A. Definisi
Pre-eklamsia adalah suatu kondisi yang spesifik pada kehamilan,
terjadi setelah minggu ke 20 gestasi, ditandai dengan hipertensi dan protein
uria dan dapat juga diserta dengan udema. Hipertensi di sini adalah tekanan
darah 140/90 mmHgatau lebih, atau sutu kenaikan tekanan sistolik sebesar
30mmHg atau lebih (jika diketahui tingkat yang biasa), atau kenaikan
tekanan darah diastolic sebesar 15 mmHg atau lebih (jika diketahui tingkat
yang biasa). Protein uria dalam preeklamsia adalah konsentrasi protein
sebesar 0,3 g/l atau lebih pada sedikitnya 2 spesimen urin yang di ambil
secara acak dan pada selang waktu 6 jam atau lebih. Edema biasa terjadi
pada kehamilan normal, sehingga edema bukanlah tanda pre-eklampsia
yang dapat dipercaya kecuali jika edema juga mulai terjadi pada tangan dan
wajah, serta Kenaikan berat badan yangmendadk sebanyak 1 kg atay kebih
dalam seminggu (atau 3 kg dalam sebulan) adalah indikasi pre-eklampsia
(kenaikan berat badan normal sekitar 0,5 kg per minggu). (Anonim, 2017).
Sedangkan PEB (Pre-eklampsia berat) adalah pre-eklampsia yang
berlebihan yang terjadi secara mendadak. Wanita dapat dengan cepat
mengalami eklampsia. Hal ini merupakan kedaruratan obstertik dan
penatalaksanaannya harus segera dimulai.
Pre-eklamsi berat terjadi apabila :
a. Tekanan darah 160/110 atau lebih.diukur 2x dengan antara sekurang-
kurangnya 6 jam dan pasien istirahat.
b. Proteinuria 5 gr atau lebih/24 jam.
c. Olyguri 400 cc atau lebih/ 24 jam.
d. Gangguan cerebral /penglihatan
e. Oedema paru / cyanosis
f. Sakit kepala hebat
g. Mengantuk
h. Konfensi mental
i. Gangguan penglihatan (seperti pandangan kabur, kilatan cahaya)
j. Nyeri epigastrium
k. Mual dan muntah (Musalli, 2017).

B. Faktor Risiko Preeklampsia


Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab
terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan
sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor
risiko tersebut meliputi :
1. Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat
preeklampsia atau riwayat keluarga dengan preeklampsia maka akan
meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia.
2. Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi
penghambat (blocking antibodies) belum sempurna sehingga
meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia Perkembangan
preklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama
dan kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau
terlalu tua.
3. Kegemukan (Rochimhadi, 2019).

C. Etiologi
Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui dengan
pasti. Banyak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba
menerangkan penyebabnya, oleh karena itu disebut “penyakit teori”,
namun belum ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori
sekarang yang dipakai sebagai penyebab preeklampsia adalah teori “iskemia
plasenta”.
Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang
berkaitan dengan penyakit ini.Adapun teori-teori tersebut adalah ;
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada
endotel vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh
sel-sel endotelial plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan
normal prostasiklin meningkat. Sekresi tromboksan oleh
trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstrikso generalisata dan
sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan
pengurangn perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan
volume plasma.
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan I karena
pada kehamilan I terjadi pembentukan blocking antibodies
terhadap antigen plasenta tidak sempurna. Pada preeklampsia
terjadi komplek imun humoral dan aktivasi komplemen. Hal
ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan proteinuria.
3. Peran Faktor Genetik
Preeklampsia hanya terjadi pada manusia. Preeklampsia
meningkat pada anak dari ibu yang menderita preeklampsia.
4. Iskemik dari uterus.
Terjadi karena penurunan aliran darah di uterus.
5. Defisiensi kalsium.
Diketahui bahwa kalsium berfungsi membantu
mempertahankan vasodilatasi dari pembuluh darah.
6. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan
penting dalam patogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin
diketahui dilepaskan oleh sel endotel yang mengalami kerusakan dan
meningkat secara signifikan dalam darah wanita hamil dengan
preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada
trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat
sesuai dengan kemajuan kehamilan (Anonim, 2017).
Penyebab Lainnya, preeklamsi sampai sekarang belum di ketahui
secara pasti,tapi pada penderita yang meninggal karena preeklamsia terdapat
perubahan yang khas pada berbagai alat.Tapi kelainan yang menyertai
penyakit ini adalah spasmus arteriole, retensi Na dan air dan coogulasi
intravaskulaer.
Walaupun vasospasmus mungkin bukan merupakan sebab primer
penyakit ini, akan tetapi vasospasmus ini yang menimbulkan berbagai
gejala yang menyertai preeklamsi.
Sebab pre eklamasi belum diketahui,
1. Vasospasmus menyebabkan :
a. Hypertensi
b. Pada otak (sakit kepala, kejang)
c. Pada placenta (solution placentae, kematian janin)
d. Pada ginjal (oliguri, insuffisiensi)
e. Pada hati (icterus)
f. Pada retina (amourose)
2. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan tentang penyebab
preeklamsia yaitu :
a. Bertambahnya frekuensi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion, dan molahidatidosa
b. Bertambahnya frekuensi seiring makin tuanya kehamilan
c. Dapat terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian
janin dalam uterus
d. Timbulnya hipertensi, edema, protein uria, kejang dan koma.
3. Factor Perdisposisi Preeklamsi
a. Molahidatidosa
b. Diabetes melitus
c. Kehamilan ganda
d. Hidrocepalus
e. Obesitas
f. Umur yang lebih dari 35 tahun

D. Klasifikasi
Preeklamsi di bagi menjadi 2 golongan yaitu :
1. Preeklamsi Ringan :
a. Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang di ukur pada
posisi berbaring terlentang, atau kenaikan diastolic 15 mmHg
atau lebih, kenaikan sistolik 30 mmHg/lebih. Cara pengukuran
sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, dan sebaiknya 6 jam.
b. Edema umum (kaki, jari tangan dan muka atau BB meningkat)
c. Proteinuri kuwantitatif 0,3 gr atau lebih per liter, sedangkan
kuwalitatif 1+ & 2+ pada urine kateter atau midstream.
2.          Preeklamsi Berat
a. TD 160/110 mmHg atau lebih
b. Proteinuria 5gr atau lebih perliter
c. Oliguria (jumlah urine <500cc/24 jam)
d. Adanya gangguan serebri, gangguan visus, dan rasa nyeri pada
efigastrium
e. Terdapat edema paru dan sianosis

E. Manifestasi Klinis
1. Penambahan berat badan yang berlebihan, terjadi kenaikan 1 kg
seminggu beberapa kali.
2. Edema terjadi peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari
tangan dan muka.
3. Hipertensi (di ukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit)
4. TD > 140/90 mmHg atau Tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg
Diastolik>15 mmHg tekanan diastolic pada trimester ke II yang >85
mmHg patut di curigai sebagai preeklamsi
5. Proteinuria Terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam urin 24 jam atau
pemeriksaan kuwalitatif +1 / +2. Kadar protein > 1 g/l dalam urine
yang di keluarkan dengan kateter atau urine porsi tengah, di ambil 2
kali dalam waktu 6 jam.

F. Komplikasi
Tergantung derajat pre-eklampsianya, yang termasuk komplikasi
antara lain atonia uteri (uterus couvelaire), sindrom HELLP (Haemolysis
Elevated Liver Enzymes, Low Platelet Cown), ablasi retina, KID (Koagulasi
Intra Vaskular Diseminata), gagal ginjal, perdarahan otak, oedem paru,
gagal jantung, syok dan kematian. Komplikasi pada janin berhubungan
dengan akut kronisnya insufisiensi uteroplasental, misalnya pertumbuhan
janin terhambat dan prematuritas.

G. Patofisiologi
Pada preeklampsi terdapat penurunan plasma dalam sirkulasi dan
terjadi peningkatan hematokrit, dimana perubahan pokok pada preeklampsi
yaitu mengalami spasme pembuluh darah perlu adanya kompensasi
hipertensi ( suatu usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifir agar
oksigenasi jaringan tercukupi). Dengan adanya spasme pembuluh darah
menyebabkan perubahan – perubahan ke organ antara lain :
a. Otak .
Mengalami resistensi pembuluh darah ke otak meningkat akan
terjadi oedema yang menyebabkan kelainan cerebal bisa menimbulkan
pusing dan CVA ,serta kelainan visus pada mata.
b. Ginjal.
Terjadi spasme arteriole glomerulus yang menyebabkan aliran
darah ke ginjal berkurang maka terjadi filtrasi glomerolus negatif ,
dimana filtrasi natirum lewat glomelurus mengalami penurunan
sampai dengan 50 % dari normal yang mengakibatkan retensi garam
dan air , sehingga terjadi oliguri dan oedema.
c. URI
Dimana aliran darah plasenta menurun yang menyebabkan
gangguan plasenta maka akan terjadi IUGR, oksigenisasi berkurang
sehingga akan terjadi gangguan pertumbuhan janin, gawat janin , serta
kematian janin dalam kandungan.
d. Rahim
Tonus otot rahim peka rangsang terjadi peningkatan yang akan
menyebabkan partus prematur.
e. Paru
Dekompensi cordis yang akan menyebabkan oedema paru
sehingga oksigenasi terganggu dan cyanosis maka akan terjadi
gangguan pola nafas. Juga mengalami aspirasi paru / abses paru yang
bisa menyebabkan kematian .
f. Hepar
Penurunan perfusi ke hati dapat mengakibatkan oedema hati , dan
perdarahan subskapular sehingga sering menyebabkan nyeri
epigastrium, serta ikterus ( Wahdi, 2019).

H. Penatalaksanaan PEB
1. Prinsip Penatalaksanaan Pre-Eklampsia
a. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
b. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
c. Mengatasi atau menurunkan risiko janin (solusio plasenta,
pertumbuhan janin terhambat, hipoksia sampai kematian janin)
d. Melahirkan janin dengan cara yang paling aman dan cepat
sesegera mungkin setelah matur, atau imatur jika diketahui
bahwa risiko janin atau ibu akan lebih berat jika persalinan
ditunda lebih lama.
2. Penatalaksanaan Pre-Eklampsia Ringan
a. Dapat dikatakan tidak mempunyai risiko bagi ibu maupun janin
b. Tidak perlu segera diberikan obat antihipertensi atau obat
lainnya, tidak perlu dirawat kecuali tekanan darah meningkat
terus (batas aman 140-150/90-100 mmhg).
c. Istirahat yang cukup (berbaring / tiduran minimal 4 jam pada
siang hari dan minimal 8 jam pada malam hari)
d. Pemberian luminal 1-2 x 30 mg/hari bila tidak bisa tidur
e. Pemberian asam asetilsalisilat (aspirin) 1 x 80 mg/hari.
f. Bila tekanan darah tidak turun, dianjurkan dirawat dan diberi
obat antihipertensi : metildopa 3 x 125 mg/hari (max.1500
mg/hari), atau nifedipin 3-8 x 5-10 mg/hari, atau nifedipin retard
2-3 x 20 mg/hari, atau pindolol 1-3 x 5 mg/hari (max.30
mg/hari).
g. Diet rendah garam dan diuretik tidak perlu
h. Jika maturitas janin masih lama, lanjutkan kehamilan, periksa
tiap 1 minggu
i. Indikasi rawat : jika ada perburukan, tekanan darah tidak turun
setelah 2 minggu rawat jalan, peningkatan berat badan melebihi
1 kg/minggu 2 kali berturut-turut, atau pasien menunjukkan
tanda-tanda pre-eklampsia berat. Berikan juga obat
antihipertensi.
j. Jika dalam perawatan tidak ada perbaikan, tatalaksana sebagai
pre-eklampsia berat. Jika perbaikan, lanjutkan rawat jalan
k. Pengakhiran kehamilan : ditunggu sampai usia 40 minggu,
kecuali ditemukan pertumbuhan janin terhambat, gawat janin,
solusio plasenta, eklampsia, atau indikasi terminasi lainnya.
Minimal usia 38 minggu, janin sudah dinyatakan matur.
l. Persalinan pada pre-eklampsia ringan dapat dilakukan spontan,
atau dengan bantuan ekstraksi untuk mempercepat kala ii.
3. Penatalaksanaan Pre-Eklampsia Berat
Dapat ditangani secara aktif atau konservatif.  Aktif berarti :
kehamilan diakhiri / diterminasi bersama dengan pengobatan
medisinal. Konservatif berarti : kehamilan dipertahankan bersama
dengan pengobatan medisinal. Prinsip : Tetap pemantauan janin
dengan klinis, USG, kardiotokografi.
a. Penanganan aktif.
Penderita harus segera dirawat, sebaiknya dirawat di ruang
khusus di daerah kamar bersalin.Tidak harus ruangan
gelap.Penderita ditangani aktif bila ada satu atau lebih kriteria
ini.
1) Ada tanda-tanda impending eklampsia
2) Ada hellp syndrome
3) Ada kegagalan penanganan konservatif
4) Ada tanda-tanda gawat janin atau iugr
5) Usia kehamilan 35 minggu atau lebih
Pengobatan medisinal : diberikan obat anti kejang
MgSO4 dalam infus dextrose 5% sebanyak 500 cc tiap 6 jam.
Cara pemberian MgSO4 : dosis awal 2 gram intravena diberikan
dalam 10 menit, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
sebanyak 2 gram per jam drip infus (80 ml/jam atau 15-20
tetes/menit). Syarat pemberian MgSO4 : – frekuensi napas lebih
dari 16 kali permenit – tidak ada tanda-tanda gawat napas –
diuresis lebih dari 100 ml dalam 4 jam sebelumnya – refleks
patella positif. MgSO4 dihentikan bila : – ada tanda-tanda
intoksikasi – atau setelah 24 jam pasca persalinan – atau bila
baru 6 jam pasca persalinan sudah terdapat perbaikan yang
nyata. Siapkan antidotum MgSO4 yaitu Ca-glukonas 10% (1
gram dalam 10 cc NaCl 0.9%, diberikan intravena dalam 3
menit).Obat anti hipertensi diberikan bila tekanan darah sistolik
lebih dari 160 mmHg atau tekanan darah diastolik lebih dari 110
mmHg.Obat yang dipakai umumnya nifedipin dengan dosis 3-4
kali 10 mg oral. Bila dalam 2 jam belum turun dapat diberi
tambahan 10 mg lagi. Terminasi kehamilan : bila penderita
belum in partu, dilakukan induksi persalinan dengan amniotomi,
oksitosin drip, kateter Folley, atau prostaglandin E2. Sectio
cesarea dilakukan bila syarat induksi tidak terpenuhi atau ada
kontraindikasi partus pervaginam.Pada persalinan pervaginam
kala 2, bila perlu dibantu ekstraksi vakum atau cunam.

b. Penanganan konservatif
Pada kehamilan kurang dari 35 minggu tanpa disertai
tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik,
dilakukan penanganan konservatif.Medisinal : sama dengan
pada penanganan aktif. MgSO4 dihentikan bila ibu sudah
mencapai tanda-tanda pre-eklampsia ringan, selambatnya dalam
waktu 24 jam. Bila sesudah 24 jam tidak ada perbaikan maka
keadaan ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan dan harus
segera dilakukan terminasi. jangan lupa : oksigen dengan nasal
kanul, 4-6 l / menit, obstetrik : pemantauan ketat keadaan ibu
dan janin. bila ada indikasi, langsung terminasi.
Menjelaskan tentang manfaat istirahat dan diet berguna
dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring di
tempat tidur, namun pekerjaan sehari-hari perlu dikurangi, dan
dianjurkan lebih banyak duduk dan berbaring.Diet tinggi
protein, dan rendah lemak, karbohidat, garam dan penambahan
berat badan yang tidak berlebihan perlu dianjurkan.
Mengenal secara dini preeklampsia dan segera merawat
penderita tanpa memberikan diuretika dan obat anthipertensi,
memang merupakan kemajuan yang penting dari pemeriksaan
antenatal yang baik. (Wiknjosastro H,2016).

I. Pemeriksaan Penunjang PEB


1. Laboratorium : protein uri dengan kateter atau midstream ( biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau +1 hingga +2 pada skala kualitatif ),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatini
meningkat, uric acid biasanya > 7 mg/100 ml
2. USG : untuk mengetahui keadaan janin
3. NST : untuk mengetahui kesejahteraan janin

J. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian data umum
a. Identitas klien dan penanggung
b. Keluhan utama klien saat ini
c. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi
klien
Multipara
Riwayat penyakit keluarga
2. Keadaan klien meliputi:
a. Sirkulasi
Hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan
kira-kira 600-800 mL
b. Integritas ego
Dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai
tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan
sebagai wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari
kegembiraan, ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.
c. Makanan dan cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet
ditentukan).
d. Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesi
spinal epidural.
e. Nyeri / ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh nyeri dari berbagai sumber karena
trauma bedah, distensi kandung kemih , efek - efek anesthesia,
nyeri tekan uterus mungkin ada.
f. Pernapasan
Bunyi paru - paru vesikuler dan terdengar jelas.
g. Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan utuh.
h. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhea
sedang.

K. FOKUS INTERVENSI

No. Diagnosa Tujuan / Kriteria Intervensi


Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut Setelah diberikan Manajemen nyeri
berhubungan dengan asuhan keperawatan (l.08238)
Observasi :
agen pencedera fisik selama 3 x 24 jam
1. Identifikasi lokasi,
dibuktikan dengan diharapkan nyeri karakteristik, durasi,
nyeri post sc (section berkurang dengan frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri dan
caesarea) kriteria hasil :
faktor presipitasi.
(D.0077) (L.08066) 2. Identifikasi skala
1. Keluhan nyeri nyeri
menurun 3. Monitor ttv
2. Wajah tidak Terapeutik :
1. Berikan teknik
tampak meringis
nonfarmakologis untuk
3. Klien tampak mengurangi nyeri
rileks, dapat 2. Fasilitas istirahat dan
tidur
berisitirahat, dan
Edukasi :
beraktivitas 1. Jelaskan strategi
sesuai meredakan nyeri
Kolaborasi :
kemampuan
1. Pemberian analgetik
4. Ttv dalam batas
(ketorolac 30 mg / 8 jam)
normal 120/80 -
130/90 mmHg
2. Risiko infeksi Setelah diberikan Pencegahan infeksi
dibuktikan dengan asuhan keperawatan (i.14539)
efek prosedur invasif selama 3 x 24 jam Observasi :
(D.0142) diharapkan klien tidak 1. Kaji adanya tanda
mengalami infeksi infeksi (kalor, rubor,
dengan kriteria hasil : dolor, tumor, fungsio
(L.14137) laesa)
1. Tidak terjadi 2. Lakukan perawatan
tanda - tanda luka dengan teknik
infeksi (kalor, aseptik
rubor, dolor, 3. Inspeksi balutan
tumor, fungsio abdominal terhadap
laesea) eksudat / rembesan.
2. Suhu dan nadi Lepaskan balutan
dalam batas normal sesuai indikasi
( suhu = 36,5 -37,50 Edukasi :
C, frekuensi nadi = 60 1. Edukasi tanda dan
- 100x/ menit) gejala infeksi
Kolaborasi :
1. Pemberian analgetik
(ceftriaxone 1 gr/ 12 jam)
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, I.J. 2017. Diagnosa Keperawatan, Edisi 8. Jakarta : EGC


Doengoes, Marylinn. 2016. Rencana Asuhan Keperawatan Maternal / Bayi.
Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 2019. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan KB. Jakarta : EGC
Manuaba, I.B. 2019. Operasi Kebidanan Kandungan Dan Keluarga Berencana
Untuk Dokter Umum. Jakarta : EGC
Sarwono, Prawiroharjo,. 2017. Ilmu Kandungan, Cetakan ke-4. Jakarta : PT
Gramedi
Wilkinson M. Judith. 2018. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi
NIC dan Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta:EGC
Prawirohardjo, S. 2016. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan
neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai