Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh:
Liana Safitri
NIM. 2113130090
JURUSAN USHULUDDIN
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................. 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
C. Tujuan dan Kegunaan ...................................................................................2
D. Metode Penulisan .......................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
A. Pengertian, Unsur dan Fungsi Kebudayaan ..................................................3
B. Kelahiran Islam dan Budaya Arab Pra-Islam ...............................................7
C. Islam Sebagai Realitas Sosial dan Budaya ..................................................10
D. Pendekatan Studi Budaya .............................................................................15
BAB III PENUTUP .......................................................................................................17
A. Kesimpulan ..................................................................................................17
B. Saran ............................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia dan kebudayaan tidak terpisahkan, secara bersama-sama menyusun
kehidupan. Manusia menghimpun diri menjadi satuan sosial-budaya, menjadi
masyarakat. Masyarakat manusia melahirkan, menciptakan, menumbuhkan, dan
mengembangkan kebudayaan: tidak ada manusia tanpa kebudayaan, dan sebaliknya
tidak ada kebudayaan tanpa manusia; tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan, tidak ada
kebudayaan tanpa masyarakat. Di antara mahluk-mahluk ciptaan Al-Khaliq, hanya
masyarakat manusia yang meniru-niru Sang Pencipta Agung merekayasa kebudayaan.
Kebudayaan adalah reka-cipta manusia dalam masyarakatnya. Kesadaran manusia
terhadap pengalamannya mendorongnya menyusun rumusan, batasan, definisi, dan teori
tentang kegiatan-kegiatan hidupnya yang kemudian disebut kebudayaan, ke dalam
konsepsi tentang kebudayaan. Kesadaran demikian bermula dari karunia akal, perasaan
dan naluri kemanusiaannya, yang tidak dimiliki oleh mahluk lain, seperti hewan atau
binatang. Dalam sementara pemahaman, secara biologis manusia pun digolongkan
sebagai binatang, namun binatang berakal (reasoning animal).1
Saat ini apresiasi umat islam secara umum terdapat budaya Islam sangat minimum
atau bahkan hampir tidak ada. Seiring dengan perkembangan zaman dan derasnya arus
globalisasi menyebabkan banyaknya budaya-budaya luar yang masuk dan
mempengaruhi. Budaya Baratlah yang merajalela di era globalisasi ini. Meskipun
Indonesia terletak di Asia Tenggara agaknya kini lebih akrab dengan dunia Barat
ketimbang dengan sesama Muslim Asia Tenggara. Kita melihat ada kecenderungan
kultural, ekonomi, politik, dan pendidikan yang mengarah pada ketergantungan dan
pengkiblatan diri pada dunia Barat, khususnya Amerika. Ka’bah tetap menjadi kiblat
Muslimin sedunia, tapi budaya seremonial dan simbolisme dunia Islam yang telah lama
berkembang, kini mampu mereduksi substansi keberagaman hingga menjadikan
Amerika sebagai kiblat lain yang menjanjikan Ketergantungan global dunia ketiga
dewasa adalah satu kenyataan yang merisaukan. Arus informasi global yang ada ternyata
1
Nurdien Harry Kistanto, “Tentang Konsep Kebudayaan”, Sabda: Jurnal Kajian
Kebudayaan, Vol. 10, No. 2, 2017, Hal. 1-2.
1
tidak seimbang dengan dominasi informasi dari budaya Barat. Keadaan ini
menimbulkan dominasi kultural atau imperalisme budaya.2
B. Rumusan Masalah
Untuk menguraikan beberapa hal terkait Islam Sebagai Produk Budaya, maka
rumusan masalah yang digunakan untuk pembahasan makalah adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pengertian, Unsur dan Fungsi Kebudayaan?
2. Bagaimanakah Kelahiran Islam dan Budaya Arab Pra-Islam?
3. Bagaimanakah Islam Sebagai Realitas Sosial dan Budaya?
4. Bagaimanakah Pendekatan Studi Budaya?
C. Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dan kegunaan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami Pengertian, Unsur dan Fungsi Kebudayaan.
2. Mengetahui dan memahami Kelahiran Islam dan Budaya Arab Pra-Islam.
3. Mengetahui dan memahami Islam Sebagai Realitas Sosial dan Budaya
4. Mengetahui dan memahami Pendekatan Studi Budaya.
D. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode literatur kajian pustaka (library
research) terhadap buku-buku yang berhubungan dengan tema makalah yang dibuat,
dan juga bersumber dari beberapa jurmal dan website.
2
Ibid, Hal. 2-3.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Mudji Sutrisno, Filsafat Kebudayaan-Ihtiar Sebuah Teks, (Jakarta: Hujan Kabisat, 2008),
Hal. 1.
Inrevolzon, “Kebudayaan dan Peradaban”, Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra
4
5
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999), Hal. 28.
6
Nurdien Harry Kistanto, Op. Cit., Hal. 5.
4
yang mencangkup manusia, pengaruh lingkungan, perkembangan masyarakat,
serta lintas budaya atau cross-culture.7
2. Unsur-unsur Kebudayaan
Unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai
berikut:
a. Sistem norma yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara para
anggota masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
b. Organisasi ekonomi.
c. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga merupakan
lembaga pendidikan pertama dan yang paling utama).
d. Organisasi kekuatan.
Dengan demikian kebudayaan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat. Berbagai kekuatan yang dihadapi manusia seperti
kekuatan alam dan kekuatan lainnya tidak selalu baik baginya. Hasil karya
masyarakat melahirkan teknologi atau alat kebendaan yang mempunyai kegunaan
utama dalam melindungi masyarakat. Teknologi ini paling sedikit meliputi tujuh
unsur, seperti: alat-alat produksi, senjata, wadah, makanan dan minuman, pakaian
dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan, alat transformasi.8
Kebudayaan bukan lagi semata-mata koleksi karya seni, buku-buku, alat-alat,
atau museum, gedung, ruang, kantor, dan benda-benda lainnya. Kebudayaan
terutama dihubungkan dengan kegiatan manusia yang bekerja, yang merasakan,
memikirkan, memprakarsai dan menciptakan. Dalam pengertian demikian,
kebudayaan dapat dipahami sebagai “hasil dari proses-proses rasa, karsa dan cipta
manusia.” Dengan begitu, “(manusia) berbudaya adalah (manusia yang) bekerja
demi meningkatnya harkat dan martabat manusia. Strategi kebudayaan yang
menyederhanakan praktek operasional kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari
dan kebijakan sosial dilakukan dengan menyusun secara konseptual unsur-unsur
yang sekaligus merupakan isi kebudayaan.9
7
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op. Cit., Hal. 31.
8
Ibid.
9
Nurdien Harry Kistanto, Op. Cit., Hal. 6-7.
5
Unsur-unsur kebudayaan tersebut bersifat universal, yakni terdapat dalam
semua masyarakat di mana pun di dunia. Unsur-unsur tersebut juga menunjukkan
jenis-jenis atau kategori-kategori kegiatan manusia untuk mengisi, mengerjakan,
atau menciptakan kebudayaan sebagai tugas manusia diturunkan ke dunia sebagai
utusan atau khalifah untuk mengelola dunia dan seisinya, tidak hanya
melestarikan isi alam semesta melainkan juga merawat, melestarikan dan
membuatnya indah. Unsur-unsur kebudayaan tersebut dapat dirinci dan dipelajari
dengan kategori-kategori sub unsur dan sub-sub unsur, yang saling berkaitan
dalam suatu sistem budaya dan sistem sosial, yang meliputi:
a. Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
b. Sistem religi dan upacara keagamaan.
c. Sistem mata pencaharian.
d. Sistem (ilmu) pengetahuan.
e. Sistem teknologi dan peralatan.
f. Bahasa.
g. Kesenian10
3. Fungsi Kebudayaan
Kebudayaan sendiri juga memiliki beberapa fungsi di dalam masyarakat.
Fungsi kebudayaan didalam masyarakat adalah sebagai berikut:
a. Kebudayaan sebagai pembentuk norma dan nilai sosial di dalam
masyarakat. Norma dan nilai-nilai sosial ini bertujuan untuk membangun
suatu ketertiban didalam masyarakat.
b. Kebudayaan juga sebagai pembentuk pola perilaku masyarakat.
kebudayaan mampu membentuk pola pikir seseorang atau suatu golongan
dalam berkelakuan dan dianggap sebagai sesuatu yang dapat diterima dan
harus dilakukan oleh seluruh anggota masyarakat.
c. Kebudayaan juga digunakan sebagai pedoman tentang tata cara
berhubungan dengan sesama manusia atau kelompok lainnya.
10
Ibid, Hal. 7.
6
d. Kebudayaan juga dapat digunakan untuk mendorong perubahan di dalam
masyarakat. Dengan sifat kebudayaan yang dinamis maka tidak heran jika
masuk dan meleburnya antar kebudayaan sangatlah mungkin terjadi.11
Fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia agar dapat mengerti
bagaimana seharusnya bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap kalau akan
berbehubungan dengan orang lain didalam menjalankan hidupnya. Kebudayaan
berfungsi sebagai berikut:
a. Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok.
b. Wadah untuk menyakurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya.
c. Pembimbing kehidupan manusia.
d. Pembeda antar manusia dan binatang.12
B. Kelahiran Islam dan Budaya Arab Pra-Islam
Walaupun agama Yahudi dan Kristen sudah masuk ke jazirah Arab, bangsa Arab
kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa
yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah memiliki barhala
sendiri, sehingga sekitar 360 buah patung bertengger di Ka’bah. Berhala-berhala yang
terkenal diantaranya adalah Lata, Uzza, Manat dan Hubal. Di tengah-tengah masyarakat
penyembah berhala itu, masih ada segelintir kecil yang tetap berpegang kepada agam
yang hanif ajaran Ibrahim, misalnya Umayyah ibn Abi Shalt, seorang penyair yang
menunggu kedatangan seorang rasul yang dijanjikan, meskipun ketika rasul itu datang ia
memusuhinya. Ada juga Qas ibn Saidah dan Waraqah ibn Naufal yang banyak paham
tentang isi injil dan meyakininya.13
Selain itu, ada juga golongan shabiah, yaitu penyembah bintang, seperti Bani Himyar
menyembah matahari, Bani Kinanah menyembah Dabaran (lima buah bintang di sekitar
bulan). Terdapat pula masyarakat Arab yang menyembah binatang, mempercayai
malaikat sebagai anak-anak perempuan Tuhan dan menyembah jin. Di bagian timur
jazirah Arab tersebar agama Majusi atau Zoroaster, dinisbatkan kepada penciptanya yang
11
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Op. Cit., Hal. 31.
12
Inrevolzon, Op. Cit., Hal. 2.
13
Ahmad Hanif Fahruddin, “Learning Society Arab Pra Islam (Analisa Historis Dan
Demografis)”, Kuttab: Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, 2017, Hal. 44.
7
asli orang Persia. Agama ini mengajarkan bahwa dunia ini dikuasai oleh dua Tuhan, yaitu
tuhan kebaikan yang disebut Athura Mazda dan tuhan kejahatan yang disebut Ahriman.14
Kehidupan sosial masyarakat Arab berkelas dan bersuku-suku. Di sana terdapat
pemandangan yang sangat kontras, antar kaum bangsawan dengan segala kemewahan
dan kehormatan yang dimiliki, dan kaum budak dengan segala kekurangan dan kehinaan
yang tak terperi. Kehidupan antar suku pun penuh persaingan dan sering berakibat
pertikaian karena fanatisme kesukuan yang sangat tinggi. Setiap anggota suku pasti
membela orang yang satu suku dengannya, tak peduli perbuatannya benar atau salah,
sehingga terkenal ucapan diantara mereka: “bantulah saudaramu, baik dia berbuat zalim
atau dizalimi”.15
Masyarakat Arab, baik yang nomaden atau menetap, hidup dalam budaya kesukuan
Badui. Identitas sosial mereka berakar pada keanggotaan keluarga besar yang terikat oleh
pertalian darah (nasab). Beberapa kelompok keluarga membentuk kabilah (clan), dan
beberapa kelompok kabilah membentuk suku (tribe) dan dipimpin oleh seorang Syekh
yang biasanya dipilih dari salah seorang anggota yang usianya paling tua. Jazirah Arab
yang gersang dan tandus memberi efek terhadap bentuk fisik dan karakter mereka. Pada
bentuk fisik, mereka bertubuh kekar, bertenaga, dan memiliki daya tahan tubuh yang
tangguh. Sedangkan karakternya, mereka orang yang memiliki kedermawanan,
keberanian, dan kepahlawanan. Akan tetapi, mereka suka berperang, angkuh dan
sombong, serta pemabuk dan penjudi. Solidaritas kesukuan dalam kehidupan masyarakat
Arab sebelum Islam dikenal sangat kuat yang menyebabkan perselisihan perorangan
hampir selalu menimbulkan konflik antarkabilah yang berakhir peperangan. Di sisi lain,
walaupun mereka mempunyai seorang syekh (pemimpin), mereka hanya tunduk dan
patuh dengannya dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, seperti pembagian
ghanimah. Selain itu, seorang syekh tidak ada kuasa apapun mengatur anggota
kabilahnya.16
Bangsa Arab menurut ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
14
Ibid, Hal. 44-45.
15
Ah. Zakki Fuad, Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013),
Hal. 15.
16
Ibid.
8
1. Arab Aribah yang terdiri dari kaum ‘Ad, Tsamud, dan Tasm. Arab golongan ini
disebut Arab Qahthaniyah, nenek moyang Qahthan atau Yamaniah.
2. Arab Musta’ribah Qahtaniyah yang mempunyai keturunan Kabilah Jurhum dan
Ya’rib. Dari kabilah Ya’rib menurunkan suku Kahlan dan Himyar. Dari suku
Himyar menurunkan suku Qudla’ah, Tanukh, Kalb, Juhainah, dan Udzrah.
3. Arab Musta’ribah Adnaniyah yang menurunkan dua suku, yaitu Kabi’ah dan
Mudlar. Dari Kabilah menurunkan kabilah As’ad dan Wail. Kabilah Wail
menurunkan suku Bakr dan Taghlab. Suku Mudlar menurunkan kabilah Qais
Ailan. Dan kabilah Qais Ailan menurunkan kabilah Hawazin, Sulaiman, dan
Tamim.
Solidaritas kesukuan dalam kehidupan masyarakat Arab sebelum Islam yang dikenal
sangat kuat terkadang membuat peperangan antar kabilah. Oleh karena itu, kebudayaan
suka berperang yang ada dalam kehidupan masyarakat Arab inilah yang menyebabkan
nilai perempuan menjadi rendah, karena mereka menganggap bahwa perempuan tidak
bisa diandalkan untuk hal peperangan. Pada masa itu, kaum perempuan menempati
kedudukan yang sangat rendah sepanjang sejarah manusia. Masyarakat Arab pra-Islam
memandang perempuan ibarat hewan piaraan bahkan lebih hina lagi. Bahkan terdapat
suku yang mempunyai tradisi sangat buruk, yaitu mengubur anak perempuannya hidup-
hidup. Perbuatan itu mereka lakukan karena mereka merasa malu dan beranggapan anak
perempuannya membawa kemiskinan, kesengsaraan, dan kehinaan.17
Laki-laki dapat melakukan poligami tanpa batas. Sementara itu perzinahan
merupakan masalah biasa. Bahkan ada suami yang memerintahkan istrinya tidur dengan
laki-laki lain semata-mata karena ingin mendapatkan keturunan mulia dari laki-laki
tersebut, yang dikenal dengan istilah nikah istibdha. Akan tetapi dibalik semua itu masih
ada juga kebiasan-kebiasaan mulia yang di miliki bangsa arab ketika itu, penduduk
makkah khususnya seperti:
1. Memuliakan tamu, yaitu menjamu para tamu dengan member makan dan minum
bahkan meberikan mereka tempat tinggal.
17
Gusniarti Nasution dkk., “Situasi Sosial Keagamaan Masyarakat Arab Pra-Islam”, Tsaqifa
Nusantara: Jurnal Pembelajaran dan Isu-isu Sosial, Vol. 1, No. 1, 2022, Hal. 92.
9
2. Sifat jujur, yaitu jujur dalam perkataan, orang-orang arab sebelum islam sangat
menghargai kejujuran dan menyenangi orang yang jujur, seperti penghargaan
mereka terhadap Muhammad denganmengelarnya al-amin (orang yang dapat
dipercaya), dan banyak contoh-contoh lain.
3. Menepati janji.
4. Menghargai dan membela tetangga.18
Dan banyak lagi sifat-sifat mulia yang masih dijunjung tinggi oleh orang Arab
makkah dimasa jahiliyah, walau sedikit yang mempraktekkan dalam kehidupan mereka.
Sebagai contoh atas sifat jujur yaitu ketika Abu Sufyan bin Harb berjumpa dengan
Heraklius pemimpin Romawi di Syam, Heraklius bertanya tentang Nabi Muhammad
saw, lalu Abu Sufyan menjelaskan semuanya dengan jujur tentang pribadi Nabi
Muhammad tanpa menutupi suatu apapun, padahal ketika itu Abu Sufyan masih dalam
keadaan musyrik dan memerangi Islam.19
C. Islam Sebagai Realitas Sosial dan Budaya
Sebagian besar para pemikir Muslim menyetujui pendapat H. A. R. Gibb yang
menyatakan bahwa Islam sesungguhnya bukan hanya satu sistem teologi semata, tetapi
ia merupakan peradaban yang lengkap. Menariknya, dari statemen Gibb tersebut adalah
hampir semua kelompok umat Islam sepakat dan mendukung sebuah perpaduan
(integritas) antara agama dan urusan dunia merupakan satu entitas yang utuh. Sehingga
antara yang profan dan yang sakral tidak ada perbedaan yang mencolok. Meskipun dalam
hal-hal tertentu umat Islam menolak pembatasan agama dalam arti sempit, namun suatu
pembatasan dalam bidang agama, akan memberikan dampak yang positif, asalkan
berangkat dari satu anggapan bahwa unsur agama dalam masyarakat sangat berhubungan
erat dengan unsur-unsur lainnya, bahwa dalam realitas sosial akan dijumpai sebuah
gagasan Islam dengan pendekatan yang bersifat kultural.20
Seperti halnya M. Natsir dan Sidi Gazalba, bahwa Islam meliputi semua aspek
masyarakat dan kebudayaan, serta menolak pengertian Islam sebagai agama dalam arti
sempit, maka sesungguhnya mereka lebih banyak berbicara tentang impian, daripada
18
Ibid.
19
Ibid.
20
H. A. R. Gibb, Aliran-aliran Modern Dalam Islam: Terjemahan L. E. Hakim, (Jakarta:
Tintamas, 1954), Hal 56.
10
bertitik tolak dari kenyataan yang terjadi disebagian besar bumi Indonesia. Pandangan
yang hampir senada juga dilontarkan oleh Ernest Gellner, bahwa dalam tradisi Islam
terdapat jalinan kuat antara spirit dan hukum keagamaan dengan wilayah sosial. Berbeda
dengan agama Kristen, Islam tidak pernah padam dari suatu ideologi. Bahkan Islam akan
tidak pernah terpisah dari persoalan-persoalan sosial-budaya. Karena itu, tidak perlu
heran kalau Islam pernah mengukir sejarah dunia. Islam telah mengalami kejayaan
gemilang dan dirasakan sebagai warisan dan blueprint sosial yang masih sangat mungkin
dapat dihidupkan kembali pada zaman yang berbeda. Bertolak dari ketiga pandangan di
atas, studi Islam (Islamic studies) saat ini yang harus dihadapi adalah perumuskan
metodologis guna melihat makna keagamaannya secara koheren. Sebab jika tidak
dilakukan, maka studi Islam akan mengalami penurunan yang cenderung mengabaikan
makna keagamaannya itu sendiri.21
Amin Abdullah, menyatakan bahwa fenomena beragama bukanlah fenomena
sederhana seperti yang biasa dibayangkan orang lain. Karena sikap beragama
membutuhkan kesadaran dan kemauan untuk menerima suatu keberbebedaan. Di sinilah
letak sesungguhnya pendekatan studi Islam itu sangat diperlukan. Sebab, jika kita mau
membuka sikap beragamaan, setidaknya seperti dalam tulisan Komaruddin Hidayat di
Majalah Ummat menggambarkan bahwa ada lima tipologi sikap keberagamaan. Pertama,
ekslusivisme berpandangan bahwa sikap keberagamaan akan melahirkan pandangan
bahwa ajaran yang palin benar hanyalah agama yang dipeluknya. Agama lain sesat, maka
wajib dikikis atau pemeluknya dikonversikan karena baik agama maupun pemeluknya
terkutuk dalam pandangan Tuhan. Kedua, sikap inklusivisme berpandangan bahwa di
luar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh dan
sesempurnya agama yang dianutnya. Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan
iman. Ketiga, pluralisme, lebih moderat lagi, berpandangan bahwa secara teologis
pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas niscaya yang masing-masing berdiri
sejajar sehingga semangat missionaris atau dakwah dianggap tidak relevan. Keempat,
eklektivisme, yaitu suatu sikap keberagamaan yang berusaha memilih dan
mempertemukan berbagai segi ajaran agama yang dipandang baik dan cocok untuk
dirinya sehingga format akhir dari sebuah agama menjadi semacam mosaik yang bersifat
21
Ibid, Hal. 56-57.
11
eklektik. Kelima, universalisme, beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah
satu dan sama, hanya saja karena faktor historis-antropologis maka agama lalu tampil
dalam format formal. Islam dalam Kajian Sosial-Budaya Salah satu studi penelitian
sosial-budaya yang paling menumental mengenai aspek keberagamaan adalah Geertz
yang sampai sekarang ini seringakali menjadi rujukan utama. Meskipun penelitian itu
pada akhirnya juga akan terjadi sebuah pergeseran dan keotentikan hasil, karena
dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang jauh berbeda.22
Dalam The Religion of Java, Geertz membedakan kebudayaan Jawa dalam 3 tipe;
abangan, santri dan priyayi. Abangan, mewakili suatu kelompok yang lebih menitik
beratkan pada aspek animistik dari sinkretisme Jawa dan secara luas dihubungkan dengan
elemen petani. Santri, mewakili suatu titik berat pada aspek Islam dari sinkretisme itu
dan umumnya dihubungkan dengan elemen dagang dan juga elemen tertentu di kalangan
petani. Priyayi, mewakili suatu kelompok yang lebih menekankan aspek-aspek Hindu
dihubungkan dengan elemen birokratik. Ketika Geertz membukukan hasil penelitiannya
di Mojokuto (nama samaran sebuah kota kecil, Pare di Jawa Timur) pada awal tahun
1950-an, ia mungkin belum membayangkan bahwa akan terjadi perubahan kultural di
kalangan abangan, santri dan priyayi. Terlepas dari kritik yang banyak ditujukan oleh
ilmuwan sosial atas kategorisasi itu, sampai saat ini dalam analisis ilmu-ilmu sosial
trikotomi tersebut masih kerap digunakan, meskipun dengan sikap yang berhati-hati.
Seperti disinyalir oleh banyak pengamat bahwa di Indonesia sekarang terjadi
peningkatan antusiasme dalam berislam yang ditandai dengan semakin meningkatnya
gairah dalam menjalankan Islam baik secara pribadi, yaitu dengan semakin banyaknya
orang yang mengunjungi tempat-tempat ibadah dan juga penampakan identitas
keislaman yang lebih jelas. Gejala-gejala yang bersifat umum, misalnya banyaknya
lembaga-lembaga keagamaan, munculnya banyak penerbitan Islam dan meningkatnya
intelektualitas umat.23
Situasi ini oleh Esposito disebut sebagai “kebangkitan Islam” atau “aktivisme Islam”
dan oleh Azyumardi disebut sebagai intensitas santrinisasi. Secara umum hal ini dapat
diartikan sebagai tampilnya Islam sebagai kekuatan baru yang diperhitungkan oleh
22
Ibid, Hal. 57.
23
Ibid, Hal. 57-58.
12
kawan maupun lawan dalam segala aspek kehidupan. Ada dua kemungkinan dalam hal
ini, mereka yang mengalami peningkatan antusiasme keagamaan adalah mereka yang
semula masih dalam kategori abangan kemudian berubah menjadi santri. Kemungkinan
lain, mereka sebelumnya sudah menjadi santri kemudian secara kualitatif mengalami
peningkatan kembali kualitas kesantriannya. Sejalan dengan kemungkinan yang pertama,
dalam suatu kesempatan wawancara dengan Islamika. Hefner mengatakan bahwa “peta
kaum abangan sekarang ini mulai berkurang, meskipun mulai dari Batu sampai Pare,
boleh dikatakan masih tetap ada orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Kejawen”.
Semakin menyusutnya jumlah abangan ini dijelaskan Hefner banyak penyebabnya, tetapi
mereka yang sedang mengalami proses transformasi kultural ini selain yang terbesar
menjadi santri, ada juga yang masuk aliran kebatinan atau berbagai aliran kepercayaan.
Kategori abangan dan santri juga dapat diletakkan dalam dua pendekatan, yakni dari segi
kualitas keagamaan dan stratifikasi sosial, atau sebagai golongan sosio-religius dan
sebagai kekuatan sosio-politik.24
Kategori ini juga tidak bersifat statis, misalnya antara priyayi dan wong cilik karena
adanya mobilitas sosial maka mengalami pergeseran. Begitu juga dengan perbedaan
antara abangan dan santri tidak selalu bersifat antagonis, tetapi merupakan sekala budaya
dan pemahaman agama. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi transformasi dan
pergeseran baik wong cilik menjadi priyayi maupun abangan menjadi santri. Seperti
dikatakan Hefner, ada priyayi yang abangan dan yang santri, juga ada abangan yang agak
priyayi, santri agak priyayi dan sebaliknya. Permasalahannya, karena modernisasi,
politik, pendidikan dan tidak menutup kemungkinan adalah peran para elit Islam yang
dengan semangat kuat membimbing dan mengajak mereka untuk lebih taat dalam
beragama. Dalam kajian pustaka ini beberapa hal yang diasumsikan sebagai penyebab
berubahnya kaum abangan menjadi santri akan dipaparkan. Sesuai hasil penelusuran
pustaka maka ditemukan beberapa alasan yang menyebabkan abangan berubah menjadi
santri. Menurut Bellah yang dikutip Madjid dari Beyond Belief, bahwa Islam menurut
zaman dan tempatnya, adalah sangat modern, bahkan terlalu modern sehingga gagal. Dan
kegagalan itu disebabkan karena tidak adanya prasarana sosial di Timur Tengah saat itu
guna mendasari penerimaan sepenuhnya ide modernitas Islam dan pelaksanaannya yang
24
Ibid, Hal. 58.
13
tepat. Selanjutnya Madjid menjelaskan, jika Islam sebuah modernitas seperti dikatakan
Bellah, maka zaman modern akan memberi kesempatan kepada orang-orang Islam untuk
dapat melaksanakan ajaran agamanya secara baik, dan menjadi modern dapat dipandang
sebagai penyiapan lebih jauh infrastruktur sosial guna melaksanakan ajaran Islam secara
sepenuhnya. Berarti pula, bahwa di zaman modern ini orang-orang Islam akan dapat
memahami ajaran agamanya dan menangkap makna ajaran agama itu sedemikian rupa
sehingga “api” Islam, atau spirit dan ruh atau subtansi ajaran Islam dapat bersinar dan
memebri kontribusi yang berarti dalam kehidupan Muslim secara pribadi maupun dalam
masyarakat secara luas.25
Sedangkan Gellner mengatakan bahwa para sosiolog yang telah lama akrab dan
sering membenarkan teori sekularisasi mengatakan bahwa dalam masyarakat ilmiah-
industri, iman dan amalan agama akan menurun. Banyak argumen yang dapat
dikedepankan untuk memberi topangan intelektual atas pandangan tersebut, dapat pula
dalam hal ini dikedepankan bukti-bukti empiris. Tetapi, harus ada pengecualian yang
dramatis dan mecolok, yaitu Islam. Menganggap sekularisasi telah melanda Islam
tidaklah berlebihan. Namun anggapan itu salah, sebab saat ini Islam tetap kuat seperti
seabad yang lampau, bahkan mungkin lebih kuat. Kajian ini tidak akan memperdebatkan
mengapa agama tertentu tahan terhadap gelombang sekularisasi, sementara yang lain
tidak. Tetapi untuk menunjukkan bahwa meskipun arus deras modernisasi melanda bumi
Indonesia hal itu tidak serta-merta menyebabkan memudarnya nilai-nilai Islam, tetapi
Islam justru semakin menguat baik sebagai kekuatan kultural, sosial maupun politik.
Munculnya Islam sebagai kekuatan baru ini sudah barang tentu diikuti oleh semakin
menguatnya pengamalan nilai-nilai Islam. Hal Ini memang tidak dapat digeneralisir
sebagai suatu gejala makro di seluruh dunia Islam. Paling tidak gejala tersebut relevan
untuk konteks Indonesia. Sebab, sebagai umat mereka yang paling banyak bersentuhan
dengan modernisasi berarti mereka pula yang akan banyak tersekularkan. Kenyataannya,
umat Islam Indonesia mengalami kebangkitan baik secara intelektual maupun
keagamaannya secara utuh. Sebagai agama, Islam dapat dilihat sebagai gejala sosial-
budaya. Atha Mudzhar menjelaskan bahwa agama dapat diteliti kalau telah menjadi
gejala budaya. Dalam perspektif ilmu sosial kajian budaya merupakan bagian yang tidak
25
Ibid, Hal. 58-59.
14
dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sebab, kajian budaya selalu unik yang hampir
tidak pernah selesai dibahas dan diteliti oleh manusia. Paling tidak, gejala agama dapat
dilihat dari lima sudut. Pertama, berkenaan dengan teks-teks atau sumber ajaran agama.
Kedua, dilihat dari sikap dan prilaku para pemimpin dan penganutnya. Ketiga, dilihat
dari ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadat-ibadatnya. Keempat, alat-alat atau media
peribadatan, dan kelima, organisasi keagamaan sebagai sarana mereka berperan dan
bertindak. Kuntowijoyo menjelaskan bahwa perubahan kebudayaan dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu yang terjadi secara natural, disebut sebagai “transformasi”; dan yang
terjadi secara artifisial, atau dibuat disebut sebagai “rekayasa”. Transformasi bisa
berkenaan dengan nilai, bisa juga berkenaan dengan struktur. Transformasi dalam studi
ini berkenaan dengan nilai, yaitu agama yang dihayati oleh pemeluk-pemeluknya.26
Dalam hal ini golongan abangan menunjukkan kecenderungan peningkatan kualitas
dalam hal keagamaannya dari sekadar Muslim secara formal menjadi Muslim secara
subtansial, atau spiritual. Sampai dengan awal tahun 70-an, organisasi keislaman yang
bersifat formal yang melakukan tugas-tugas penyiaran Islam di wilayah ini belum ada.
Kalau itu ada berarti telah terjadi suatu rekayasa baik secara samar-samar apalagi terang-
terangan yang berarti telah terjadi pemaksaan dalam proses pengislaman penduduk.
Perkembangan beberapa tahun terakhir ini memang agak lain. Sebab, berbagai organisasi
keagamaan telah bermunculan. Bersamaan dengan itu kegiatan keagamaan mulai marak.
Lembaga-lembaga keagamaan juga banyak bermunculan, masjid, langgar, organisasi
dakwah. Pada berbagai kegiatan ini ada usaha-usaha yang lebih intens untuk semakin
mendekatkan Islam kepada penduduk. Sehingga berbeda dengan masa sebelumnya yang
murni karena interaksi antara penduduk pendatang dengan penduduk asli. Maka, yang
terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan adanya gejala rekayasa untuk
semakin mendekatkan Islam kepada masyarakat.27
D. Pendekatan Studi Budaya
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan
dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat;
dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu
26
Ibid, Hal. 60-61.
27
Ibid, Hal. 61.
15
yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan
bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur
yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan
segala kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.28
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan
dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Di dalam kebudayaan tersebut
terdapat pengetahuan, keyakinan, seni, moral, adat istiadat, dan sebagainya. Kesemuanya
itu selanjutnya digunakan sebagai kerangka acuan atau blue print oleh seseorang
dalammenjawab berbagai masalah yang dihadapinya. Dengan demikian, kebudayaan
tampil sebagai pranata yang secara terus-menerus dipelihara oleh para pembentuknya
dan generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut. Kebudayaan yang demikian
selanjutnya dapat pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tatataran
empiris atau agama yang tampil dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.29
Pengamalan agama yang terdapat di masyarakat tersebu diproses oleh penganutnya
dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya saat membaca kitab fiqih,
maka fiqih yang merupakan pelaksanaa dari nasb Alquran maupun hadist sudah
melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian, agama menjadi
membudaya atau membumi di tengah-tengah masyarakat. Agama yang tampil dalam
bentuknya yang demikian itu berkaitan dengan kebudayaan yang berkembang di
masyarakat tempat agama itu berkembang. Dengan melalui pemahaman terhadap
kebudayaan tersebut seseorang akan dapat mengamalkan ajaran agama. Misalnya, saat
kita menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat, dan sebagainya. Dalam
produk tersebut, unsur agama ikut berintegrasi. pakaian model jilbab, kebaya atau
lainnya dapat dijumpai dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa ada unsur budaya,
maka agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas. Di DKI Jakarta misalnya, kita
jumpai kaum prianya ketika menikah mengenakan baju ala Arab. Sedangkan kaum
wanitanya mengenakan baju ala Cina. Di situ terlihat produk budaya yang berbeda yang
dipengaruhi oleh pemahaman keagamaannya.30
28
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Hal. 49.
29
Ibid.
30
Sutan takbir Alisyahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), Hal. 207.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kebudaya adalah suatu akal pikiran manusia yang menjadikan suatu hukum adat
istiadat tertentu yang harus di patuhi. Sedangkan kebudayaan adalah segala sesuatu yang
menjadikan manusia bisa bergaul dengan masyarakat dengan aturan atau cara yang bisa
diterima oleh masyarakat tertentu.
Unsur-unsur kebudayaan dalam pandangan Malinowski adalah sebagai berikut:
a. Sistem norma yang memungkinkan terjadinya kerjasama antara para anggota
masyarakat dalam upaya menguasai alam sekelilingnya.
b. Organisasi ekonomi.
c. Alat-alat dan lembaga atau petugas pendidikan (keluarga merupakan lembaga
pendidikan pertama dan yang paling utama).
d. Organisasi kekuatan.
Fungsi kebudayaan adalah untuk mengatur manusia agar dapat mengerti bagaimana
seharusnya bertindak dan berbuat untuk menentukan sikap kalau akan berbehubungan
dengan orang lain didalam menjalankan hidupnya. Kebudayaan berfungsi sebagai
berikut:
a. Suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompok.
b. Wadah untuk menyakurkan perasaan-perasaan dan kehidupan lainnya.
c. Pembimbing kehidupan manusia.
d. Pembeda antar manusia dan binatang
B. Saran
Makalah ini diharapkan dapat membantu mahasiswa/i dalam memahami Islam
Sebagai Produk Budaya. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan
bagi pembaca. Dalam makalah ini penulis sadar bahwasanya masih banyak kekurangan
didalamnya, penulis sadar bahwasanya masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah-makalah
selanjutnya bisa lebih sempurna lagi.
17
DAFTAR PUSTAKA
18