Anda di halaman 1dari 13

EFEKTIFITAS TERAPI MUSIK UNTUK MENGATASI GANGGUAN

POLA TIDUR PADA PASIEN EPILEPSI DI RUANG ASTER RS


MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO

Dosen Pembimbing : Dr. Ns. Umi Solikhah, M. Kep.

“ Disusun Guna Sebagai Syarat Kelulusan Stase Keperawatan Anak Program


Pendidikan Profesi Ners”

DISUSUN OLEH :

1. Pratiwi Ayuningtyas (2211040039)


2. Laeli Izah Rofi’ah Muktar (2211040037)
3. Haning tyas Qotrunada (2211040023)
4. Nurmalita Triska Ayunda (2211040058)
5. Bebi Sauliardo (2211040067)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2022
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Epilepsi sering ditandai dengan kejang berulang, paroksismal, dan
tidak beralasan, yang merupakan perubahan sementara pada keadaan otak.
Perubahan keadaan otak ini diamati secara elektrofisiologis sebagai
perubahan tiba-tiba dalam aktivitas otak menjauh dari aktivitas seperti
kebisingan dengan distribusi daya 1/f (dalam keadaan otak terjaga), hingga
fluktuasi amplitudo besar (osilasi) yang paling sering membatasi diri.
Aktivitas listrik abnormal di otak sering disertai dengan perubahan isi
kesadaran dan/atau gairah. Terlepas dari banyak kemajuan teknis dan
ilmiah, banyak individu terus mengalami kejang meskipun menggunakan
obat anti-kejang, operasi epilepsi modulasi saraf , dan diet ketogenik.
Terjadinya kejang dianggap sebagian besar tidak dapat diprediksi.
Namun, beberapa keadaan otak dan rangsangan meningkatkan
kemungkinan seperti kejang: siklus tidur-bangun, ritme sirkadian, stresor
lingkungan, dan rangsangan sensorik (suara, musik, cahaya, sentuhan.
Jadi, meskipun konsep lama bahwa epilepsi ditandai dengan kejang "tak
terduga", tidak ada keraguan bahwa terjadinya kejang dimodulasi oleh
pola temporal tertentu dari aktivitas listrik otak yang menyertai baik proses
internal maupun rangsangan eksternal .
penurunan frekuensi kejang dan interiktal epileptiform discharges (IEDs)
pada individu anak dan dewasa dengan epilepsi saat mendengarkan Mozart
K.448 telah dilaporkan menggunakan berbagai protokol eksperimental,
dari studi sebelumnya melaporkan peningkatan jumlah kejang pada
individu dengan epilepsi saat mendengarkan Mozart K.448, dalam
penelitian kami sebelumnya kami mengamati satu individu yang
menunjukkan peningkatan kejang mereka saat mendengarkan Mozart
K.448. Peserta yang disebutkan juga memiliki jumlah kejang tertinggi
selama periode awal dibandingkan dengan populasi penelitian lainnya.
2. Rumusan Masalah
Dari analisa tersebut, rumusan masalah yang dapat diambil adalah
“bagaimana efektifitas terapi musik untuk mengatasi gangguan pola tidur
pada pasien epilepsi?”
3. Tujuan Masalah
Tujuan dari analisa jurnal ini adalah untuk mengetahui efektifitas terapi
musik untuk mengatasi gangguan pola tidur pada pasien epilepsi.
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-
gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang
disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel- sel saraf otak, yang bersifat
reversibel dengan berbagai etiologi (Arif, 2000).Sedangakan defenisi
epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap bertahan sejak abad ke- 19
Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia
grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan sangat cepat
(ginsberg, 2005). Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi
merupakan penyakit serebral kronik dimana terjadinya cetusan listrik atau
lepasnya muatan listrik lokal pada substansia grisea otak dengan
karakteristik gejala berupa kejang berulang.
2. Etiologi
Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(idiopatik), sering terjadi pada:
a. Trauma lahir, asphyxia neonatorum
b. Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf
c. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
d. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia,
hiponatremia)
e. Tumor otak
f. Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).
Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab
utama ialah epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi
simtomatik akut dan epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan
otak pada saat peri- atau antenatal. Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis
epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan RSE dari kedua tersebut
terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing- masing
dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-
awitan, definisi neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan
mempunyai nilai prediksi sebagai berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam
waktu 12 bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang,
apabila defisit neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko
terjadinya bangkitan ulang adalah 75% pada 12 bulan pertama dan 85%
dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan pertama yang terjadi pada saat
terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40% dalam 12 bulan
pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan.
Sebagian besar kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan
pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang,
yakni pada bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan
adanya gangguan pada ibu hamil muda seperti infeksi, demam tinggi,
kurang gizi (malnutrisi) yang bisa menimbulkan bekas berupa kerentanan
untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang sulit, persalinan kurang
bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin sempat
mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio''
epilepsi bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya
gangguan pada otak seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera
karena benturan fisik/ trauma serta adanya tumor otak atau kelainan
pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi terjadinya epilepsi.
3. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari
epilepsi, yaitu :
a. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil
dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi
atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
1) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks.
Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
2) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.
b. Kejang Umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar
dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh
bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
1) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan
seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
2) Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bias sangat singkat
atau lebih lama.
3) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
4) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang
dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di
seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran
air liur, dan peningkatan denyut jantung.
5) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai
2 menit.
6) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita
sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal menurut
(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014) yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat
diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan
anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang
masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit
dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian
diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsy
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan
epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama
terbebas dari serangan kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi
serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka
akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel
otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi
terkontrol dengan obatobatan. Penatalaksanaan untuk semua jenis
epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan obat
antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas
fisik dan mental. Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi
dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang
dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan yang
“mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go
slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan
epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi,
memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang
unggul dibandingkan politerapi (Louis, Rosenfeld, Bramley,
2012). Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada
tabel.
2) Terapi bedah epilepsi
Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang
dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter.
Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang menetap
meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE
yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi
medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat
diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang
atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa
mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya
(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014).
RESUME ISI JURNAL

1. EFEKTIFITAS MUSIK LULLABY TERHADAP DURASI TIDUR


SIANG ANAK USIA TODDLER

Judul EFEKTIFITAS MUSIK


LULLABY TERHADAP DURASI
TIDUR SIANG ANAK USIA
TODDLER

Peneliti Bima, dkk. 2020


Hasil dan pembahasan Hasil penelitian menunjukkan
ratarata durasi tidur setelah
diberikan musik lullaby pada
kelompok eksperimen adalah 89,41
menit dan pada kelompok kontrol
yang tidak diberikan musik lullaby
adalah 67,06 menit.
Kesimpulan Penelitian ini merekomendasikan
agar musik lullaby dapat digunakan
sebagai pengantar tidur bagi anak
di masyarakat atau diruang
perawatan anak

2. Music in epilepsy: Predicting the effects of the unpredictable

Judul Music in epilepsy: Predicting the


effects of the unpredictable
Peneliti Marjan, dkk. 2021
Hasil dan pembahasan efek positif dari mendengarkan
Mozart K.448 setiap hari dalam
mengurangi kejang dibandingkan
dengan mendengarkan setiap hari
pada bagian kontrol dengan
spektrum kekuatan yang identik
dengan bagian Mozart namun
tanpa struktur ritme
Kesimpulan Epilepsi sering ditandai dengan
kejang berulang, paroksismal, dan
tidak beralasan, yang merupakan
perubahan sementara pada keadaan
otak. penurunan frekuensi kejang
dan interiktal epileptiform
discharges (IEDs) pada individu
anak dan dewasa dengan epilepsi
saat mendengarkan Mozart.
IMPLIKASI DALAM KEPERAWATAN

Aktivitas tidur merupakan bagian penting bagi pertumbuhan anak. Tidur


memberikan stimulus bagi proses tumbuh kembang otak, karena 75% hormon
pertumbuhan dikeluarkan saat anak tidur. Menurut Abdurrahman, Hiola dan
Mursyidah (2015) hormon pertumbuhan memperbarui semua sel yang ada ditubuh
hingga sel saraf otak, proses ini tetap berjalan ketika anak terlelap.

Potter dan Perry (2010) mengatakan tidur merupakan bagian dari ritme biologis
untuk mengembalikan stamina. Kebanyakan bayi menghabiskan masa 1 bulan
pertama kehidupannya dalam fase tidur. Usia anak yang bertambah membuat
kebutuhan tidur anak semakin berkurang (Potter & Perry, 2010). Usia 1-2 tahun
merupakan peralihan dari masa bayi ke masa kanak kanak. Anak pada usia ini
pada umumnya tidur pada malam hari dan tidur 2-3 jam pada siang hari. Total
tidur rata-rata anak usia toddler adalah 12 jam dalam sehari (Potter & Perry,
2010).

Potter dan Perry (2010) mengatakan, selama tidur pada fase NREM tahap IV
memiliki gelombang rendah yang dapat melepaskan hormon pertumbuhan
manusia untuk memperbaiki dan memperbarui sel epitel khusus seperti otak.
Anak pada saat tidur semua fungsi diperbarui termasuk hormon pertumbuhan
yang diproduksi tiga kali lebih banyak dibandingkan saat terbangun. Pertumbuhan
tersebut meliputi otot, kulit, sistem jantung, pembuluh darah, dan tulang.

Anak pada saat akan memulai tidur butuh berada dalam kondisi relaksasi. Salah
satu cara untuk membuat tubuh rileks adalah dengan memperdengarkan musik
(Hildayani et al, 2014). Karakteristik musik yang bersifat terapi adalah musik
yang nondramatis, dinamikanya bisa diprediksi, memiliki nada yang lembut,
harmonis, dan temponya 60-80 beat permenit. Kekuatan suara berkisar antara 55-
65 decibel atau tidak melebihi dari 65 decibel (Loewy et al, 2013). Suara yang
lembut juga memiliki efek yang menenangkan dan menyegarkan pikiran sehingga
tubuh menjadi rileks (Sillehu & Susanti, 2019).

Musik yang memiliki suara lembut yaitu musik lullaby dan mozart. Kedua
musik ini adalah jenis musik yang terkenal di Amerika serikat untuk dinyanyikan
pada anak. Musik lullaby memiliki karakteristik melodi yang sederhana, pola dan
nyanyian yang berulang, dan struktur yang sederhana (Azmi et al, 2017).
KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari analisa jurnal diatas adalah
bahwa terapi musik efektif untuk mengatasi gangguan pola tidur pada
pasien dengan gangguan epilepsi.
2. Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan alternatif bagi
masyarakat khususnya orang tua dalam meningkatkan durasi tidur siang
pada anak penderita epilepsi. Selain mudah dilakukan terapi musik tidak
berbahaya dan tidak banyak biaya sehingga dapat diterapkan oleh semua
kalangan.
DAFTAR PUSTAKA

Azmi, L., Fatimah, S., & Emaliyawati, E. Pengaruh Terapi Musik Lullaby
terhadap Heart Rate, Respiration Rate, Saturasi Oksigen pada Bayi
Prematur. Padjadjaran Nursing Journal, 5(3).

Hildayani, R., Sugianto, M., Tarigan, R., & Handayani, E. (2014). Psikologi
perkembangan anak. Universitas Terbuka.

Loewy, J., Stewart, K., Dassler, A. M., Telsey, A., & Homel, P. (2013). The
effects of music therapy on vital signs, feeding, and sleep in premature
infants. Pediatrics, 131(5), 902-918.

Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental of nursing. Jakarta: Salemba


Medika.

Sillehu, S., & Susanti, I. (2019). Pemberian Terapi Musik Instrumental untuk
Menurunkan Tekanan Darah Lansia di Negeri Herlauw Pauni Seram Utara
Barat Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Penelitian Kesehatan “SUARA
FORIKES “(jurnal of health research” Forikes Voice”), 10(1), 45-48.

Anda mungkin juga menyukai