V DENGAN GANGGUAN
SISTEM PERSYARAFAN : EPILEPSI DI RUANG ASTER RS PROF.
DR. MARGONO SOEKARJO
DISUSUN OLEH :
Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik
(uremia, gagal hepatik,
dll )Alkoholisme
3. Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari
epilepsi, yaitu :
a. Kejang parsial
Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil
dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi
atau satu bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.
1) Kejang parsial sederhana
Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks.
Pada kejang parsial sederhana, kesadaran penderita masih baik.
2) Kejang parsial kompleks
Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan
kesadaran dan otomatisme.
b. Kejang Umum
Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar
dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh
bagian tubuh dan kesadaran penderita umumnya menurun.
1) Kejang Absans
Hilangnya kesadaran sesaat (beberapa detik) dan mendadak
disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan
seperti aura atau halusinasi, sehingga sering tidak terdeteksi.
2) Kejang Atonik
Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot
anggota badan, leher, dan badan. Durasi kejang bias sangat singkat
atau lebih lama.
3) Kejang Mioklonik
Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.
4) Kejang Tonik-Klonik
Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang
dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di
seluruh otot. Mata mengalami deviasi ke atas. Fase tonik
berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase klonik yang
berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas
fenomena otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran
air liur, dan peningkatan denyut jantung.
5) Kejang Klonik
Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik,
tetapi kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai
2 menit.
6) Kejang Tonik
Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita
sering mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan.
4. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan
sekaligus merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah
rangkaian berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah
menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu
dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-
butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi
dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik
di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik
akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya
dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat
mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian
akan terlihat kejang yang mula- mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai
hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi,
aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada
talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang
umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi
karena adanya influx ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak
di luar membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan
asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan
dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat
suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks
serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di
serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat
membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami
pengaktifan.
b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan
muatan menurun dan apabila terpicu akan melepaskan muatan
menurun secara berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang
waktu dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin
atau defisiensi asam gama- aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan
keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
5. Komplikasi
Menurut Elizabeth (2010) dan Pinzon (2007) komplikasi epilepsi dapat
terjadi:
a. Kerusakan otak akibat hipoksia dan retardasi mental dapat timbul
akibat kejang yang berulang
b. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas
c. Cedera kepala
d. Cedera mulut
e. Fraktur
6. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal menurut
(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014) yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang dapat
diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan
anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10 kg. Jika kejang
masih belum berhenti, dapat diulang setelah selang waktu 5 menit
dengan dosis dan obat yang sama. Jika setelah dua kali pemberian
diazepam per rektal masih belum berhenti, maka penderita
dianjurkan untuk dibawa ke rumah sakit.
b. Pengobatan epilepsy
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan
epilepsi (ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama
terbebas dari serangan kejang sedini mungkin. Setiap kali terjadi
serangan kejang yang berlangsung sampai beberapa menit maka
akan menimbulkan kerusakan sampai kematian sejumlah sel-sel
otak. Apabila hal ini terus-menerus terjadi, maka dapat
mengakibatkan menurunnya kemampuan intelegensi penderita.
Pengobatan epilepsi dinilai berhasil dan ODE dikatakan sembuh
apabila serangan epilepsi dapat dicegah atau penyakit ini menjadi
terkontrol dengan obatobatan. Penatalaksanaan untuk semua jenis
epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian: penggunaan obat
antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas
fisik dan mental. Tapi secara umum, penatalaksanaan epilepsi
dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang
dipilih dalam menangani penderita epilepsi yang baru
terdiagnosa. Ketika memulai pengobatan, pendekatan yang
“mulai dengan rendah, lanjutkan dengan lambat (start low, go
slow)” akan mengurangi risiko intoleransi obat. Penatalaksanaan
epilepsi sering membutuhkan pengobatan jangka panjang.
Monoterapi lebih dipilih ketika mengobati pasien epilepsi,
memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas yang
unggul dibandingkan politerapi (Louis, Rosenfeld, Bramley,
2012). Pemilihan OAE yang dapat diberikan dapat dilihat pada
tabel.
2) Terapi bedah epilepsi
Tujuan terapi bedah epilepsi adalah mengendalikan kejang
dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi yang refrakter.
Pasien epilepsi dikatakan refrakter apabila kejang menetap
meskipun telah diterapi selama 2 tahun dengan sedikitnya 2 OAE
yang paling sesuai untuk jenis kejangnya atau jika terapi
medikamentosa menghasilkan efek samping yang tidak dapat
diterima. Terapi bedah epilepsi dilakukan dengan membuang
atau memisahkan seluruh daerah epileptogenik tanpa
mengakibatkan risiko kerusakan jaringan otak normal didekatnya
(Consensus Guidelines on the Management of Epilepsy, 2014).
7. Pathway
8. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian kegawatdaruratan pada pasien epilespi menurut Soemarmo,
2015) :
a. Pengkajian kondisi/kesan umum
Kondisi umum Klien nampak sakit berat
b. Pengkajian kesadaran
Setelah melakukan pengkajian kesan umum, kaji status mental
pasien dengan berbicara padanya. Kenalkan diri, dan tanya nama
pasien. Perhatikan respon pasien. Bila terjadi penurunan kesadaran,
lakukan pengkajian selanjutnya. Pengkajian kesadaran dengan
metode AVPU meliputi :
1) Alert (A) : Klien tidak berespon terhadap lingkungan
sekelilingnya
2) Velbal (V) : klien tidak berespon terhadap pertanyaan perawat.
3) Nyeri (P) : klien tidak berespon terhadap respon nyeri.
4) Tidak berespon (U) : klien tidak berespon terhadap
stimulus verbal dan nyeri ketika dicubit dan ditepuk wajahnya
c. Pengkajian Primer
1) Airway (jalan nafas) dengan kontrol servikal
Ditujukan untuk mengkaji sumbatan total atau sebagian dan
gangguan servikal :
a) Ada/tidaknya sumbatan jalan nafas
b) Distres pernafasan
c) Adanya kemungkinan fraktur cervical
Pada fase ini, biasanya ditemukan klien mengatupkan giginya
sehingga menghalangi jalan napas, klien menggigit lidah,
mulut berbusa, dan pada fase posiktal, biasanya ditemukan
perlukaan pada lidah dan gusi akibat gigitan tersebut.
2) Breathing
Pada fase ini, pernapasan klien menurun/cepat, peningkatan
sekresi mukus, dan kulit tampak pucat bahkan sianosis. Pada
fase post iktal, klien mengalami apneu.
3) Circulation
Terjadi peningkatan nadi dan sianosis, klien biasanya dalam
keadaan tidak sadar.
4) Disability
Klien bisa sadar atau tidak tergantung pada jenis serangan atau
karakteristik dari epilepsi yang diderita. Biasanya pasien
merasa bingung, dan tidak teringat kejadian saat kejang.
5) Exposure
Pakaian klien di buka untuk melakukan pemeriksaan thoraks,
apakah ada cedera tambahan akibat kejang.
d. Pengkajian Sekunder
1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama,
suku bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor
register, tanggal pengkajian dan diagnosa medis.
2) Keluhan utama: Klien masuk dengan kejang, dan disertai
penurunan kesadaran
3) Riwayat penyakit: Klien yang berhubungan dengan faktor
resiko bio-psiko-spiritual. Kapan klien mulai serangan, pada
usia berapa. Frekuansi serangan, ada faktor presipitasi seperti
suhu tinggi, kurang tidur, dan emosi yang labil. Apakah pernah
menderita sakit berat yang disertai hilangnya kesadaran,
kejang, cedera otak operasi otak. Apakah klien terbiasa
menggunakan obat-obat penenang atau obat terlarang, atau
mengkonsumsi alcohol. Klien mengalami gangguan interaksi
dengan orang lain / keluarga karena malu ,merasa rendah diri,
ketidak berdayaan, tidak mempunyai harapan dan selalu
waspada/berhati-hati dalam hubungan dengan orang lain.
4) Riwayat kejang :
a) Bagaimana frekwensi kejang.
b) Gambaran kejang seperti apa
c) Apakah sebelum kejang ada tanda-tanda awal.
d) Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan
e) Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
f) Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
peningkatan sekresi mucus.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
hipoksia.
c. Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan
tingkat kesadaran dan kejang.
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
peningkatan sekresi mucus.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama ……jam, diharapkan bersihan jalan
nafas klien kembali efektif dengan kriteria hasil:
a. Frekuensi pernapasan dalam batas normal (16-20x/mnt)
b. Irama pernapasn normal
c. Kedalaman pernapasan normal
d. Klien mampu mengeluarkan sputum secara efektif
e. Tidak ada akumulasi sputum
Intervensi :
Airway Management
a. Auskultasi bunyi nafas tambahan; ronchi, wheezing.
b. Berikan posisi yang nyaman untuk mengurangi dispnea.
c. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea; lakukan penghisapan
sesuai keperluan.
d. Anjurkan asupan cairan adekuat.
e. Ajarkan batuk efektif
f. Kolaborasi pemberian oksigen
g. Kolaborasi pemberian broncodilator sesuai indikasi.
b. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
hipoksia.
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan selama……… ketidakefektifan perfusi
jaringan cerebral teratasi dengan kriteria hasil :
a. Tekanan systole dan diastoledalam rentang yang diharapkan
b. Tidak ada ortostatikhipertensi
c. Komunikasi jelas
d. Menunjukkan konsentrasi danorientasi
Intervensi :
a. Monitor TTV
b. Monitor AGD, ukuran pupil, ketajaman, kesimetrisandan
reaksi
c. Monitor adanya diplopia, pandangan kabur, nyerikepala
d. Monitor level kebingungan dan orientasi
e. Monitor tonus otot pergerakan
f. Monitor tekanan intrkranial dan respon nerologis
g. Catat perubahan pasien dalam merespon stimulus
h. Monitor status cairan
c. Resiko trauma pada saat serangan berhubungan dengan penurunan
tingkat kesadaran dan kejang.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ….. jam
diharapkan klien terbebas dari cidera.
Kriteria hasil: Tidak terjadi cedera fisik, pasien dalam kondisi
aman
Intervensi :
a. Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan resiko
terjadinya cedera.
b. Jauhkan benda-benda yang dapat mengakibatkan terjadinya
cedera.
c. . Pasang penghalang tempat tidur pasien.
d. Berikan informasi pada keluarga tentang tindakan yang harus
dilakukan selama pasien kejang.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Sudarth, 2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC
Doenges, marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC
Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC NOC Jilid 2. Jakarta : EGC
PROGRAM PENDIDIKAN NERS
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2 Data Subjektif :
Data Objektif :
3 Data Subjektif :
Data Objektif :
PRIORITAS MASALAH
RENCANA KEPERAWATAN