Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN An.

V DENGAN GANGGUAN SISTEM


PERSYARAFAN : EPILEPSI DI RUANG ASTER RS PROF. DR. MARGONO
SOEKARJO

Disusun Oleh:
Pratiwi Ayuningtyas
2211040039

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2022
1. Definisi

Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang


akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat reversibel (Tarwoto,
2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang
datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik
abnormal sel- sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan berbagai etiologi (Arif,
2000).Sedangakan defenisi epilepsi oleh Hugling Jakson masih tetap bertahan sejak abad
ke- 19 Epilepsi merupakan istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak
yang terjadi sewaktu-waktu mendadak dan sangat cepat (ginsberg, 2005). Dari defenisi
diatas dapat disimpulkan bahwa epilepsi merupakan penyakit serebral kronik dimana
terjadinya cetusan listrik atau lepasnya muatan listrik lokal pada substansia grisea otak
dengan karakteristik gejala berupa kejang berulang.
2. Etiologi

Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui (idiopatik),


sering terjadi pada:
a) Trauma lahir, asphyxia neonatorum
b) Cedera Kepala, infeksi sistem syaraf

c) Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol

d) Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)

e) Tumor otak

f) Kelainan pembuluh darah (Tarwoto, 2007).

Faktor etiologi berpengaruh terhadap penentuan prognosis. Penyebab utama ialah


epilepsi idopatik, Remote Simtomatik Epilepsi (RSE), epilepsi simtomatik akut dan
epilepsi pada anak-anak yang didasari oleh kerusakan otak pada saat peri- atau antenatal.
Dalam klasifikasi tersebut ada dua jenis epilepsi menonjol, ialah epilepsi idiopatik dan
RSE dari kedua tersebut terdapat banyak etiologi dan sindrom yang berbeda, masing-
masing dengan prognosis yang baik dan yang buruk.
Dipandang dari kemungkinan terjadinya bangkitan ulang pasca-awitan, definisi
neurologik dalam kaitannya dengan umur saat awitan mempunyai nilai prediksi sebagai
berikut:
Apabila pada saat lahir telah terjadi defisit neurologik maka dalam waktu 12
bulan pertama seluruh kasus akan mengalami bangkitan ulang, apabila defisit
neurologik terjadi pada saat pascalahir maka resiko terjadinya bangkitan ulang adalah
75% pada 12 bulan pertama dan 85% dalam 36 bulan pertama kecuali bangkitan
pertama yang terjadi pada saat terkena gangguan otak akut akan mempunyai resiko 40%
dalam 12 bulan pertama dan 36 bulan pertama untuk terjadinya bangkitan ulang. Secara
keseluruhan resiko untuk terjadinya bangkitan ulang tidak konstan. Sebagian besar
kasus menunjukan bangkitan ulang dalam waktu 6 bulan pertama.
Perubahan bisa terjadi pada awal saat otak janin mulai berkembang, yakni pada
bulan pertama dan kedua kehamilan. Dapat pula diakibatkan adanya gangguan pada ibu
hamil muda seperti infeksi, demam tinggi, kurang gizi (malnutrisi) yang bisa
menimbulkan bekas berupa kerentanan untuk terjadinya kejang. Proses persalinan yang
sulit, persalinan kurang bulan atau telat bulan (serotinus) mengakibatkan otak janin
sempat mengalami kekurangan zat asam dan ini berpotensi menjadi ''embrio'' epilepsi
bahkan bayi yang tidak segera menangis saat lahir atau adanya gangguan pada otak
seperti infeksi/ radang otak dan selaput otak, cedera karena benturan fisik/ trauma serta
adanya tumor otak atau kelainan pembuluh darah otak juga memberikan kontribusi
terjadinya epilepsi.

Tabel 01. Penyebab- penyebab kejang pada epilepsi


Bayi (0- 2 th) Hipoksia dan iskemia paranatalCedera lahir
intrakranial Infeksi akut
Gangguan metabolik (hipoglikemia,hipokalsemia,
hipomagnesmia, defisiensi piridoksin)
Malformasi kongenital
Gangguan genetic
Anak (2- 12 th) Idiopatik Infeksi akutTrauma
Kejang demam
Remaja (13-17 th) Idiopatik
Trauma
Gejala putus obat dan alcohol
Malformasi anteriovena
Dewasa Muda (18- 35 th) Trauma Alkoholisme
Tumor otak

Dewasa lanjut (> 35) Tumor otak

Penyakit serebrovaskular
Gangguan metabolik (uremia, gagal hepatik,
dll )Alkoholisme

3. Klasifikasi
Epilepsi diklasifikasikan menjadi dua pokok umum yaitu klasifikasi epilepsi
dengansindrom epilepsi dan klasifikasi berdasarkan tipe kejang :
a) klasifikasi epilepsi dan sindrom epilepsi

1. Epilepsi idiopatik: bila tidak diketahui penyebabnya, epilepsi pada anak dengan
paroksimal oksipital
2. Simtomatik: bila ada penyebabnya, letak fokus pada pada semua lobus otak

b) klasifikasi tipe kejang epilepsi (browne, 2008)

1. Epilepsi kejang parsial (lokal, fokal)

a. Epilepsi parsial sederhana, yaitu epilepsi parsial dengan kesadaran tetap


normal
Dengan gejala motorik:

 Fokal motorik tidak menjalar: epilepsi terbatas pada satu bagian tubuh
saja
 Fokal motorik menjalar: epilepsi dimulai dari satu bagian tubuh dan
menjalar meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
 Versif: epilepsi disertai gerakan memutar kepala, mata, tuibuh.
 Postural: epilepsi disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap
tertentu
 Disertai gangguan fonasi: epilepsi disertai arus bicara yang terhenti atau
pasien mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
 Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk
jarum.
 Visual: terlihat cahaya

 Auditoris: terdengar sesuatu

 Olfaktoris: terhidu sesuatu

 Gustatoris: terkecap sesuatu


 Disertai vertigo

 Disfagia: gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata


atau bagian kalimat.
 Dimensia: gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah
mengalami, mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak
mengingat suatu peristiwa di masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
 Kognitif: gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.

 Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.

 Ilusi: perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau
lebih besar.
 Halusinasi kompleks (berstruktur): mendengar ada yang bicara, musik,
melihat suatu fenomena tertentu, dll.

b. pilepsi parsial kompleks, yaitu kejang disertai gangguan kesadaran.


 Dengan gejala parsial sederhana A1-A4. Gejala-gejala seperti pada
golongan A1-A4 diikuti dengan menurunnya kesadaran.
 Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul
dengan sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka
berubah seringkali seperti ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing
baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

Kejang miokonik
Pada epilepsi mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar,
dapat kuat atau lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau
berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada semua umur.
Kejang klonik

Pada epilepsi ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam,


lambat, dan tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai
terutama sekali pada anak.
Kejang tonik

Pada epilepsi ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya


menjadi kaku pada wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan
ekstensi tungkai. Epilepsi ini juga terjadi pada anak.
Kejang tonik- klonik

Epilepsi ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang


terkenal dengan nama grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura,
yaitu tanda- tanda yang mendahului suatu epilepsi. Pasien mendadak
jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung
kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.
Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam
beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin
pula pasien kencing ketika mendapat serangan. Setelah kejang berhenti
pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan kesadaran
yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan
pegal-pegal, lelah, nyeri kepala.
Kejang atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas


sehingga pasien terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun
sebentar. Epilepsi initerutama sekali dijumpai pada anak.

4. Pathofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus merupakan
pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron. Pada
hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf yang
berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang
dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif,
sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan oleh suatu
sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen. Dari fokus ini aktivitas
listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke neron-neron di sekitarnya dan
demikian seterusnya sehingga seluruh belahan hemisfer otak dapat mengalami muatan
listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-
mula setempat selanjutnya akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada
satu sisi tanpa disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti pada
talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain
dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan
kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf, sehingga
sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya influx ke
intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar membrane sel itu masuk ke
dalam membran sel sehingga menyebabkan ketidakseimbangan ion yang mengubah
keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron
sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan
peningkatan berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter
inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi
di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Di tingkat
membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk
yang berikut :
a) Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.

b) Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan


apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
c) Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
d) Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang


sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak
meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama karena
pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh berlebihan) selama
aktivitas kejang.
5. Pathway
6. Manifestasi klinik
a. Kehilangan kesadaran
b. Aktivitas motorik
1. Tonik klonik
2. Gerakan sentakan, tepukan atau menggarau
3. Kontraksi singkat dan mendadak disekelompok otot
4. Kedipan kelopak mata
5. Sentakan wajah
6. Bibir mengecap – ecap
7. Kepala dan mata menyimpang ke satu sisi
c. Fungsi pernafasan
1. Takipnea
2. Apnea
3. Kesulitan bernafas
4. Jalan nafas tersumbat
(Tucker, 1998 : 432 )

Sedangkan manifestasi klinik berdasarkan proses terjadinya keadaan epilepsi yang


dialami pada penderitagejala yang timbul berturut-turut meliputi di saat serangan,
penyandang epilepsi tidak dapat bicara secara tiba-tiba. Kesadaran menghilang dan
tidak mampu bereaksi terhadap rangsangan. Tidak ada respon terhadap rangsangan baik
rangsang pendengaran, penglihatan, maupun rangsang nyeri. Badan tertarik ke segala
penjuru. Kedua lengan dan tangannya kejang, sementara tungkainya menendang-
nendang. Gigi geliginya terkancing. Hitam bola mata berputar-putar. Dari liang mulut
keluar busa. Napasnya sesakdan jantung berdebar. Raut mukanya pucat dan badannya
berlumuran keringat. Terkadang diikuti dengan buang air kecil. Manifestasi tersebut
dimungkinkan karena terdapat sekelompok sel-sel otak yang secara spontan, di luar
kehendak, tiba-tiba melepaskan muatan listrik.

7. Pemeriksaan diagnostik
a. CT Scan dan Magnetik resonance imaging (MRI) untuk mendeteksi lesi pada otak,
fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal, gangguan degeneratif serebral. Epilepsi
simtomatik yang didasari oleh kerusakan jaringan otak yang tampak jelas pada CT
scan atau magnetic resonance imaging (MRI) maupun kerusakan otak yang tak jelas
tetapi dilatarbelakangi oleh masalah antenatal atau perinatal dengan defisit
neurologikyang jelas
b. Elektroensefalogram(EEG) untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan
c. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.

 mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah

 menilai fungsi hati dan ginjal

 menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat


menunjukkanadanya infeksi).

 Pungsi lumbal utnuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

8. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:


 Elektrolit (natrim dan kalium), ketidakseimbangan pada Natrium dan Kalium
dapatberpengaruh atau menjadi predisposisi pada aktivitas kejang
 Glukosa, hipolegikemia dapat menjadi presipitasi ( percetus ) kejang

 Ureum atau creatinin, meningkat dapat meningkatkan resiko timbulnya aktivitas


kejang atau mungkin sebagai indikasi nefrofoksik yang berhubungan dengan
pengobatan
 Sel darah merah, anemia aplestin mungkin sebagai akibat dari therapy obat

 Kadar obat pada serum : untuk membuktikan batas obat anti epilepsi yang teurapetik

 Fungsi lumbal, untuk mendeteksi tekanan abnormal, tanda infeksi, perdarahan

 Foto rontgen kepala, untuk mengidentifikasi adanya sel, fraktur

 DET ( Position Emission Hemography ), mendemonstrasikan perubahan metabolik


( Dongoes, 2000 : 202 )
9. Penatalaksanaan

a. Atasi penyebab dari kejang

b. Tersedia obat – obat yang dapat mengurangi frekuensi kejang yang


didalam seseorang

 Anti konvulson

 Sedatif

 Barbirorat

( Elizabeth, 2001 : 174 )

Obat yang dapat mencegah serangan epilepsi

 fenitoin (difenilhidantoin)

 karbamazepin

 fenobarbital dan asam valproik

Dalam memberikan terapi anti epilepsi yang perlu diingat sasaran


pengobatan yangdicapai, yakni:
 Pengobatan harus di berikan sampai penderita bebas serangan.
 Pengobatan hendaknya tidak mengganggu fungsi susunan
syaraf pusat yangnormal.
 Penderita dapat memiliki kualitas hidup yang optimal.
c. Operasi dengan reseksi bagian yang mudah terangsang

d. Menaggulangi kejang epilepsi

1. Selama kejang

a) Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton


yang ingin tahu

b) Mengamankan pasien di lantai jika memungkinkan

c) Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lainnya dari bendar


keras, tajam atau panas. Jauhkan ia dari tempat / benda berbahaya.
d) Longgarkan baju . Bila mungkin, miringkan kepalanya kesamping
untuk mencegah lidahnya menutupi jalan pernapasan.
e) Biarkan kejang berlangsung. Jangan memasukkan benda keras
diantara giginya, karena dapat mengakibatkan gigi patah. Untuk
mencegah gigi klien melukai lidah, dapat diselipkan kain lunak
disela mulut penderita tapi jangan sampai menutupi jalan
pernapasannya.
f) Ajarkan penderita untuk mengenali tanda2 awal munculnya epilepsi
atau yg biasa disebut "aura". Aura ini bisa ditandai dengan sensasi
aneh seperti perasaan bingung, melayang2, tidak fokus pada
aktivitas, mengantuk, dan mendengar bunyi yang melengking di
telinga. Jika Penderita mulai merasakan aura, maka sebaiknya
berhenti melakukan aktivitas apapun pada saat itu dan anjurkan
untuk langsung beristirahat atau tidur.

10. Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi (konvulsi: spasma autau kekejangan kontruksi otot keras dan terlalu banyak
disebabkan oleh proses pada sistem saraf pusat, yang menimbulkan pula kekejangan pada
bagian tubuh) yang digunakan sepanjang kehamilan.
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui
program yang memberi keamanan yang tinggi dan tindakan pencegahan yang aman, yaitu
tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga mengembangkan pencegahan epilepsi akibat
cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar
belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan, diabetes, atau hipertensi) harus di
identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada otak atau cedera akhirnya
menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan dan persalinan.
Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan
secara bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana
pencegahan ini.

11. Prognosis
Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya
prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan
dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat
berhenti minum obat.Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum maupun
serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik. Sebaliknya
epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang disertai kelainan
neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis relatif jelek.
Daftar Pustaka

Asuhan Keperawatan Epilepsi, 2008. www.google.com

Brunner and Sudarth, 2002. Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Jakarta ; EGC
Doenges, marilynn E. 2000. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta, EGC

Anda mungkin juga menyukai