Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ASWAJA

“ MEMAHAMI DAN MENGAMALKAN


AJARAN ISLAM ”

Dosen Pengampu : Dr. Fahrizal, M.Pd

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2
1. LEONITA AGUSTIN
2. YOGA PRANATA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MA’ARIF SAROLANGUN
TAHUN AKADEMIK 2022 / 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Sarolangun, Oktober 2022

Kelompok 2

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2


A. Sumber-Sumber Ajaran Islam ................................................................... 2
B. Ijtihad, Mazhab dan Taklid ....................................................................... 4
C. Syarat-Syarat dan Tingkatan Mujtahid .................................................... 7
D. Sunnah Dan Bid'ah .................................................................................... 9

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 12


A. Kesimpulan ............................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna dan universal, ia berlaku sepanjang
waktu, kapanpun dan di manapun. Islam berlaku untuk semua orang dan untuk
seluruh dunia. Maka dari itu, tentunya ajaran Islam memiliki dasar sebagai
pondasi yang dijadikan sebagai acuan dan pedoman oleh komunitasnya di seluruh
dunia ini. Dan setiap agama mempunyai tujuan, sumber, ruang lingkup dan
karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang
didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia
yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian.
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan
yang menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama yang sekaligus
menjadi pandangan atau pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran Islam
yang digunakan mulai zaman muncul pertama kalinya Islam pada masa rasulullah
sampai pada zaman modern sekarang ini. Sumber-sumber yang berasal dari agama
Islam merupakan sumber ajaran yang sudah dibuktikan kebenarannya yaitu
bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, sumber-sumber ajaran Islam
merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi berbagai
permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi, sains, teknologi dan
sebagainya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja Sumber-Sumber Ajaran Islam?
2. Apa pengertian Ijtihad, Mazhab dan Taklid?
3. Apa saja Syarat-Syarat dan Tingkatan Mujtahid?
4. Apa Pengertian Sunnah Dan Bid'ah?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sumber-Sumber Ajaran Islam


1. Al-Qur’an
Al-Qur‟an adalah kalamullah yang berisikan firman-firman Allah,
diwahyukan kepada Nabi Muhamad SAW sebagai salah satu mukjizatnya melalui
perantara malaikat Jibril. Al-Qur‟an yang merupakan kitab suci umat Islam yang
berisikan tentang aqidah, ibadah, hukum, peringatan, kisah-kisah dan isyarat
pengembangan iptek yang dijadikan sebagai acuan dan pedoman hidup bagi umat
Nabi Muhamad SAW.

‫اِنَّآ اَ ْن َز ْل ٰنه ُ قُرْ ٰانًا َع َربِيًّا لَّ َعلَّ ُك ْم تَ ْعقِلُ ْو َن‬


Artinya : “Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya“. (QS. Yusuf: 2)

Alqur‟an diturunkan kepada nabi Muhammad kurang lebih selama 23 tahun,


dalam dua fase yaitu 13 tahun pada fase sebelum beliau hijrah ke Madinah
(Makiyah) dan 10 tahun pada fase sesudah hijrah ke Madinah (Madaniyah). Isi
Al-Qur‟an terdiri dari 114 surat, 6236 ayat, 74437 kalimat, dan 325345 huruf.
Proporsi masing-masing fase tersebuut adalah 86 surat untuk ayat-ayat Makiyah
dan 28 surat untuk ayat-ayat Madaniyah.1
Dari keseluruhan isi Al-Qur‟an itu, pada dasarnya mengandung pesan-pesa
sebagai berikut; masalah tauhid, termasuk didalamnya masalah kepercayaaan pada
yang gaib; masalah ibadah, yaitu egiatan-kegiatan dan perbuatan-perbuatan yang
mewujudkan dan menghidupkan didalam hati dan jiwa; masalah janji dan
ancaman yaitu janji dengan balasan baik bagi mereka yang berbuat baik dan
sebaliknya ancaman siksa bagi mereka yang berbuat jahat; jalan menuju
kebahagiaan dunia akhirat, berupa ketentuan-ketentuan yang hendaknya dipenuhi
untuk mencapai keridhaan Allah SWT; riwayat dan cerita, yaitu sejarah orang-
orang terdahulu baik sejarah bangsa-bangsa, tokoh-tokoh maupun Nabi dan Rasul.

1
Syafa‟I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia

2
2. Hadits (Sunnah)
Merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Sunnah merupakan kebiasaan
yang dilakukan oleh Rasulullah baik dari segi perkataan, perbuatan maupun
ketetapan atau persetujuan Rasulullah terhadap apa yang dilakukan oleh para
sahabatnya.
Menurut ulama Salaf, As-Sunnah ialah petunjuk yang dilakukan oleh
Rasulullah dan para sahabatnya, baik tentang ilmu, i‟tiqad (keyakinan), perkataan
maupun perbuatannya.
As-Sunnah berfungsi untuk memperjelas, menafsirkan isi atau kandungan
dari ayat-ayat Al-Qur‟an dan memperkuat pernyataan ayat-ayat Al-Qur‟an serta
mengembangkan segala sesuatu yang samar-samar atau bahkan tidak ada
ketentuannya di dalam Al-Qur‟an.

Macam-macam Hadits atau Sunnah


Hadits atau sunnah dilihat dari segi bentuknya, diantaranya:
 Qauliyah yakni semua perkataan Rasulullah
 Fi’liyah yakni semua perbuatan Rasulullah
 Taqririyah yakni penetapan, persetujuan dan pengakuan Rasulullah
 Hammiyah yakni sesuatu yang telah direncanakan oleh Rasulullah dan
telah disampaikan kepada para sahabatnya untuk dikerjakan namun
belum sempat dikerjakan dikarenakan telah datang ajalnya.

Hadits atau sunnah dilihat dari segi jumlah orang yang menyampaikannya,
diantaranya:
 Mutawatir yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak
 Masyhur yaitu diriwayatkan oleh banyak orang, namun tidak sampai
(jumlahnya) kepada derajat mutawatir
 Ahad yaitu diriwayatkan hanya oleh satu orang saja.

Hadits atau sunnah dilihat dari segi kualitasnya, diantaranya:


 Shahih yakni hadits yang benar dan sehat tanpa ada keraguan atau
kecacatan.
 Hasan yakni hadits yang baik, memenuhi syarat seperti hadits
shahih, letak perbedaannya hanya dari segi kedhobitannya (kuat hafalan)..

3
 Dhaif yakni hadits yang lemah.
 Maudhu yakni hadits yang palsu atau dibuat-buat.

3. Ijtihad
Ijtihad yaitu mengerahkan segala kemampuan berpikir secara maksimal untuk
mengeluarkan hukum syar‟i dari dalil-dalil syara‟ yaitu Qur‟an dan hadits. Ijtihad
dapat dilakukan jika ada suatu masalah yang hukumnya tidak terdapat di dalam
Al-Qur‟an maupun hadits, maka dapat dilakukan ijtihad dengan menggunakan
akal pikiran dengan tetap mengacu dan berdasarkan pada Al-Qur‟an dan hadits.

Jadi jelaslah bahwa sumber ajaran Islam telah di rumuskan oleh Rasulullah
SAW, yakni terdiri dari tiga sumber pokok yang dijadikan acuan, yaitu Al-Qur‟an,
As-Sunnah (Hadits), dan Ijtihad.

B. Ijtihad, Mazhab dan Taklid

1. Ijtihad

Ijtihad adalah berpikir keras untuk menghasilkan pendapat hukum atas suatu
masalah yang tidak secara jelas disebutkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah.

Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan


pikiran. Sedangkan, menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga
dan pikiran secara bersungguh-sungguh untuk menetapkan suatu hukum.
Oleh Secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan
untuk mencari syariat melalui metode tertentu. Ijtihad dipandang sebagai sumber
hukum Islam yang ketiga setelah Al-Quran dan hadis, serta turut memegang
fungsi penting dalam penetapan hukum Islam. Telah banyak contoh hukum yang
dirumuskan dari hasil ijtihad ini. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
ijtihad tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, tetapi hanya orang yang memenuhi
syarat yang boleh berijtihad.

Secara umum, hukum berijtihad itu adalah wajib. Artinya, seseorang mujtahid
wajib melakukan ijtihad untuk menggali dan merumuskan hukum syara‟ dalam
hal-hal yang syara‟. Namun tidak menetapkannya sebagai suatu kepastian hukum

4
yang harus dipegangi oleh orang lain, karena kebenarannya bersifat fiktif, artinya
berkemungkinan hasil ijtihad itu bisa benar dan bisa salah.

Prinsip Berijtihad
Tidak semua masalah dalam ajaran Islam dapat atau boleh ditetapkan
hukumnya melalui ijtihad. Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya
secara pasti (qath‟i) dalam Al-Qur‟an dan Sunnah tidak boleh ditetapkan melalui
ijtihad, seperti waktu sholat, hukum wajib sholat, zakat, puasa, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, para Ulama‟ menetapkan wilayah – wilayah yang
boleh ditetapkan hukumnya melakukan ijtihad (berijtihad). Prinsip – prinsip
tersebut meliputi :
1. Pada dasarnya, masalah yang ditetapkan melalui ijtihad tidak melahirkan
keputusan atau hukum yang bersifat mutlak. Sebab, ijtihad hanya merupakan
aktifitas akal manusia yang relatif dan terbatas, maka keputusan atau hukum
yang diperolehnya pun adalah relatif.
2. Suatu keputusan yang ditetapkan melalui ijtihad, mungkin berlaku bagi
seseorang, dan tidak berlaku bagi orang lain secara umum.
3. Ijtihad tidak berlaku dalam masalah – masalah yang sudah ditetapkan
hukumnya secara pasti (Qath‟i) dalam Al-Qur‟an dan Hadits.
4. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motivasi,
kemaslahatan dan kemanfaatan umum serta nilai – nilai yang menjadi jiwa
atau nafas Islam.
5. Keputusan hukum yang ditentukan melalui ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan Al-Qur‟an dan Sunnah.

2. Mazhab
Kata Mazhab merupakan sighat Islam dari Fi‟il Madhi Zahaba. Zahaba
artinya pergi, oleh karena itu mazhab artinya, tempat pergi atau jalan. Kata-kata
yang semakna ialah: Maslak, thariqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan
atau cara. Sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkrit maupun abstrak.
Sesuatu dikatakan Mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi
ciri khas. Menurut para ulama dan ahli agama islam, yang dnamakan mazhab
adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,

5
kemudian orang yang menjalaninya menjadikan sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, dibangun diatas prinsip-prinsipdan kaidah-kaidah.
Bermazhab itu sangat penting bagi orang beragama agar pemahaman dan
praktik agamanya benar. Karena bermazhab merupakan metode untuk mengetahui
hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya pada fiqih mazhab
tertentu yang dianut atau upaya penyimpulannya dilakukan berdasarkan ushul al-
mazhab yang diyakininya.
Menurut terminology, ada beberapa ulama yang memberikan pengertian
mazhab menurut ada beberapa rumusan pendapat lain: Menurut Said Ramadhany
al-Buthy mazhab adalah jalan pikiran (paham/pendapat) yang ditempuh oleh
seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum islam dari Alquran dan Hadist.
Sedangkan Abdurrahman menyatakan, mazhab dalam istilah islam berati pendapat
, paham aliran seorang alim besar dalam islam yang digelari imam seperti mazhab
imam Abu Hanifah, mazhab Imam Ahmad Ibn Hanbal, mazhab Imam Syafi,i,
mazhab Imam Malik, dan lain sebagainya
Berbeda deangan A.Hasan, mazhab yaitu sejumlah fatwa atau pendapat-
pendapat seorang alim ulama besar dalam urusan agama baik dalam masalah
ibadah maupun masalah lainnya. Jadi, mazhab ialah pokok pikiran atau dasar yang
digunakan oleh imam mujtahid dalam memecahkan masalah, atau
mengistimbatkan hukum islam. Kemudian imam mzhab dan mzhab itu itu
berkembang pengertiannya menjadi kelompok umat islam yang mengikuti cara
istimbath hukum semakin kokoh dan meluas, sesudah masa iyu muncul mazhab-
mazhab dalam bidang hukum islam.

3. Taklid
Kata taklid secara bahasa berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqli dan,
mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru, menyerahkan, dan mengikuti.
Taklid juga dapat didefinisikan sebagai menerima pendapat orang lain dengan
tidak manpu mengemukakan alasannya.2 Seseorang yang bertaklid seolah-olah
menggantungkan hukum yang diikutinya dari seorang mujtahid.

2
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004),
h.132.

6
Sedangkan menurut istilah, taklid Ulama berbeda redaksi dalam mendefinisikan
taqlid Definisi taqlid yang diambil oleh mayoritas ulama ushul fiqh, yaitu:

“Menerima/mengikuti perkataan orang lain dengan tidak bersifat hujjah”.


Seperti orang awam mengikuti perkataan seorang mujtahid dalam beragama.
Sedangkan jika perkataan yang diambil merupakan perkataan Rasulullah Saw.
atau perkataan ulama yang telah menjadi ijma‟, maka ia bukanlah sebuah taqlid.
Sebab perkataan-perkataan tersebut merupakan hujjah.3
Menurut Nazar Bakry, taklid adalah mengikuti pendapat seseorang mujtahid
atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat
tersebut. Taklid menurut istilah dapat juga dimaknai yaitu, menerima suatu
ucapan orang lain serta memegang tentang suatu hukum agama dengan tidak
mengetahui keterangan-keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang bertaklid
disebut Muqallid.4

C. Syarat-Syarat dan Tingkatan Mujtahid


Tidak sembarangan orang dapat menjadi Mujtahid, karena ada ketentuan
syarat-syarat khusus agar layak untuk berijtihad dan menjadi seorang mujtahid.
Imam Ghozali menyebutkan bahwa syarat terhadap seorang mujtahid ada dua,
diantaranya adalah sebagai berikut ;
1. Seorang mujtahid harus mengetahui tentang hukum syara‟, tidak hanya itu,
seorang mujtahid juga dituntut untuk mendahulukam sesuatu yang wajib
didahulukan dan mengakhirkan sesuatu yang wajib diakhirkan.
2. Seorang mujtahid harus adill danjuga harus menjauhi perbuatan maksiat yang
bisa menghilangkan sifat keadilan seorang mujtahid. Syarat ini bisa untuk
menjadi pegangan oleh para mujtahid, tapi kalau seorang mujtahid tidak „adil
maka hasil ijtihadnya tidak sah atau tidak boleh untuk dijadikan sebuah
pegangan oleh orang awam.

3
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasyfa, (Bayrut: Dar al Ihya‟
Turas Arabi, 1993), h. 389
4
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), h. 61.

7
Menurut Imam as-Syatiby seorang yang ingin mencapai derajat mujtahid juga
harus bisa memenuhi dua syarat dibawah ini;
1. Bisa memahami tujuan syari‟at secara sempurna,
2. Bisa menggali suatu hukum atas pemahaman seorang mujtahid.
Sedangkan Imam Zakariya al-Anshari dalam kitab Tashilul Wushul fi Lubb
Ushul, al-Anwar 1, halaman 364-365 menyebutkan beberapa syarat menjadi
mujtahid adalah sebagai berikut:
1. Menguasai perkara-perkara ijma‟
2. Menguasai nasikh-mansukh
3. Mengetahui asbabun nuzul
4. Mengetahui hadist-hadist shahih, hasan, dhaif
5. Menguasai hadist-hadist mutawatir dana had
6. Menguasai dalil aqli.
Dari semua syarat yang disebutkan diatas yang tidak kalah penting pula
adalah seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu,
sharaf serta balaghahnya. Sebab Alquran dan Hadits semua berbahasa arab. Maka
tidak mungkin seseorang dapat memahami AlQuran dan hadits tanpa menguasai
bahasa arab terlebih dahulu.

Tingkatan-Tingkatan bagi Para Mujtahid


Menurut Abu Zahrah, tingkatan-tingkatan mujtahid ialah sebagai berikut:
1. Mujtahid mustaqil atau mujtahid fi al-syar‟I atau disebut juga mujtahid
mutlaq. Meujtahid jenis ini terbebabs dari bertaklid kepada mujtahid yang
lain, baik dalam metode istinbath maupun furu‟. Mujtahid jeniss ini yang
menerapkan metode istinbath itu dalam berjihad untuk membentuk hukum
fikih. Contohnya, para imam mujtahid empat. Yaitu, Abi Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi‟I, dan Imam Ahmad bin Hambal.
2. Mujtahid muntasib atau mujtahid mutlaq ghair al-mustaqil yaitu mujtahid
dalam masalah ushul fiqih. Meskipun dari segi kemampuan ia mampu
merumuskannya, ia memenuhi syarat-syarat ijtihad dari mujtahid mutlaq
mustaqil, namun tetap berpegang kepada ushul fiqh salah seorang imam
mujtahid mustaqil, akan tetapi mereka bebas dalam berijtihad, tanpa terikat

8
salah seorang mujtahid mustaqil, contohnya : al-muzani, Abdurrahman al
Qasim, Qadhi Abu Yusuf.
3. Mujtahid fi al madzhab atau mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij, yaitu
tingkat mejtahid yang dalam ushul fiqh dan furu‟ bertaklid kepada imam
mujtahid tertentu. Mereka disebut mujtahid karena dalam mengistinbathkan
hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan pada Imam
Madzhab. Misalnya, Abu Hamid al-Asfiraini.
4. Mujtahid fi tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatnnya bukan mengistinbathkan
hukum tetapi sebatas membandingkan berbagai madzhab atau pendapat, dan
mempunyai kemampuan untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat
terkuat dari pendapat-pendapat yang ada. (Ushul Fiqh al-islamiy, Wahbah
Zuhaili Juz II)5

D. Sunnah Dan Bid’ah


Sunnah dan Bid‟ah adalah dua buah kata yang selalu diperbincangkan dalam
Islam, bahkan sering terjadi hujjah menghujjah untuk mempertahankan apa yang
dilakukan itu tergolong dalam kategori Sunnah, dan dijauhi dari kategori Bid‟ah.
Sunnah adalah segala yang datang dari Rasulullah SAW, baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapan (taqrir) yang bisa dijadikan dasar penetapan hukum
syara‟, (Ushul Fiqh).
“Sesungguhnya telah saya tinggalkan untuk mu dua perkara, sekali-kali kamu
tidak akan sesat selama kamu berpegang padanya, yakni kitabullah dan sunnah
RasulI”, (Hadits).
Sunnah itu sesuatu yang telah terdapat didalam Al Quran dan Al Hadits
tentang bagaimana cara melakukan suatu ibadah. Karena Rasulullah SAW telah
menegaskan, siapa pun yang berpegang dengan Al Quran dan Hadits, yaitu
memahami isi kandungan, penafsiran, tujuan dan maksud dari Al Quran dan Al
Hadits maka ia tergolong orang-orang yang terpetunjuk.
Namun untuk memahami isi kandungan Al Quran dan Al Hadits secara
langsung tanpa proses pendidikan agama dan perantaraan para Ulama, itu sangat

5
https://pecihitam.org/syarat-menjadi-mujtahid-dan-tingkatan-ijtihadnya/

9
sulit dan hampir dikatakan mustahil, kecuali mereka yang telah Allah
anugerahkan ilham kepadanya.
Dalam penjelasan para Imam Mazhab pun kadang terjadi perbedaan, baik
perbedaan itu terjadi antara satu mazhab dengan mazhab yang lain, atau pun
perbedaan yang terjadi dalam satu mazhab, sehingga adanya pendapat kuat atau
pendapat lemah, pendapat sahih atau muqabil sahih, pendapat adhhar atau
muqabil adhhar, dan lainnya.
Orang-orang yang mengikuti sunnah dikatakan ahlisunnah, pengertian
ahlisunnah secara umum adalah satu kelompok atau golongan yang senantiasa
komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan jalan para sahabatnya dalam hal
aqidah, amaliyah (fiqh), dan hakikat (tasawuf dan akhlaq). Sedangkan definisi
ahlisunnah secara khusus adalah golongan yang mempunyai I‟tiqad/keyakinan
yang searah dengan keyakinan Asy‟ariyah dan Maturidiyah.
Asy‟ariyah dan Maturidiyah adalah golongan yang komitmen berpegang
teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. Namun penamaan
nama ahlisunnah pada golongan Asy‟ariyah dan Maturidiyah merupakan
pemberian nama bagian dengan menggunakan namanya kulli dalam pengertian
secara umum.
“Pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen
terhadap ajaran Nabi dan Sahabat kecuali golongan Ahlisunnah wal Jama‟ah, ….,
(Syaikh Al Baghdadi, Al Farqu bainal Firaq).
Ahlisunnah wal Jama‟ah merupakan golongan yang senantiasa mengikuti
tindakan Rasul, Khulafaurrasyidin, Tabi‟in, Tabi‟ Tabi‟in dan segenap ulama
Salaf As Shalihin.
“Ikutilah tindakan Ku dan tindakan para Khulafaurrasyidin setelah wafat Ku”,
(Hadits).
Bid‟ah adalah sesuatu yang baru dalam agama yang tidak pernah ada pada
masa Rasulullah SAW (not: ini terlepas dari pemahaman baik atau pun buruk
menurut pandangan kita).
“Semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk
ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat
dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya”, (Syaikh Zaruq, Iddah Al Marid).

10
Dari Ummul mukminin ummu Abdillah Aisyah R.a berkata bahwa Rasulullah
bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami
ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”, (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam
riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan
kami, maka dia tertolak”.
Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “barangsiapa melakukan suatu
amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan
keharusan meninggalkan setiap perkara bid‟ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya
mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid‟ah)
menjadikan hadits ini sebagai alasan bila ia melakukan suatu perbuatan bid‟ah, dia
mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut
terbantah oleh hadits diatas.
“Paling bagusnya perkataan adalah kitab Allah dan paling bagusnya petunjuk
adalah petunjuk Rasulullah SAW dan paling jeleknya perkara adalah semua
perkara yang baru dan setiap perkara yang baru adalah bid‟ah, dan semua bid‟ah
itu sesat”, (H. R Muslim). Sedangkan Imam Bayhaqi menambahkan “setiap
perkara sesat dimasukkan dalam neraka”.
Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam menggolongkan perkara bid‟ah menjadi
lima hukum, yaitu: bid‟ah wajib, bid‟ah haram, bid‟ah sunnah, bid‟ah makruh,
dan bid‟ah mubah.
“Perkara baru yang tidak sesuai dengan kitab Al Quran, Sunnah, Ijma‟ dan
Atsar sahabat termasuk bid‟ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak
bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk bid‟ah yang
terpuji”, (Imam Syafi‟i).
Dalam kehidupan ini, banyak amalan yang kita lakukan, yang semuanya
amalan itu adalah untuk mendapat keridhaan Allah, mulai amalan ibadah wajib
sampai dengan amalan ibadah sunat, namun semua amalan-amalan ibadah
tersebut yang kita lakukan tidak terlepas dari petunjuk-petunjuk yang kita dapat
bersumber dari Al quran dan As Sunnah.6

6
https://lintasgayo.co/2015/07/29/antara-sunnah-dan-bidah/

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ‟ain , yakni kewajiban pribadi
setiap muslim dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang
dikembangkan oleh akal pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau
kelompok masyarakat.
Sumber ajaran agama islam terdiri dari sumber ajaran islam primer dan
sekunder. Sumber ajaran agama islam primer terdiri dari al-qur‟an dan as-sunnah
(hadist), sedangkan sumber ajaran agama islam sekunder adalah ijtihad.
Kemudian, mengenai sumber-sumber hukum Islam dapat kita simpulkan bahwa
segala sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan lain sebagainya itu
berlandaskan Al-qur‟an yang merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad secara mutawatir dan diturunkan melalui malaikat Jibril dan
membacanya di nilai sebagai Ibadah, dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum yang
kedua yang mempunyai fungsi untuk memperjelas isi kandungan Al-qur‟an dan
lain sebagainya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-Mustasyfa, (Bayrut: Dar


al Ihya‟ Turas Arabi, 1993)

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2004)

https://pecihitam.org/syarat-menjadi-mujtahid-dan-tingkatan-ijtihadnya/

https://lintasgayo.co/2015/07/29/antara-sunnah-dan-bidah/

Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, cet. 4 (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2003)

Syafa‟i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia

13

Anda mungkin juga menyukai