Anda di halaman 1dari 4

Khutbah Tahun Baru: Merenungi Hakikat Umur

Khutbah I

ُ‫اآلخرة ْال َح هكيم‬ َ ‫ض َولَهُ ال َح ْمدُ فهي‬ ُ ‫ت َو َما فهي اْأل َ ْر ه‬ ُ‫اوا ه‬َ ‫ال َح ْمدُ للهُ الّذهي لَهُ َما فهي الس َم‬
‫اء َو َما‬ ُ‫س َم ه‬ َّ ‫نزلُ همنَُ ال‬ ‫ض َو َما َي ْخرجُ هم ْن َها َو َما َي ه‬ ُ ‫ْال َخ هبيرُ َي ْعلَمُ َما َي هلجُ هفي ْاأل َ ْر ه‬
ُ‫لَّ للاُ َو ْحدَهُ لَُ ش هَريْكَُ لَه‬ ُْ َ‫أَ ْش َهدُ أ‬. . ‫الر هحيم الغَف ْور‬
ُ ‫ن لَُ هإلَ ُهَ هإ‬ ّ ‫ يَ ْعرجُ فهي َها وهو‬،
‫اَللَّه َُّم‬. ‫الرشَا هُد‬َّ ‫عبْدهُ َو َرس ْولهُ الدَّا هعى بهقَ ْو هل هُه َوفه ْع هل هُه إهلَى‬ َ ‫سيّهدنا م َح َّمدًا‬ َ ‫ن‬ َُّ َ‫َوأَ ْش َهدُ أ‬
‫علَى‬ َ ‫ب َو‬ ُ‫ص َوا ه‬ َّ ‫ص َحاهب هُه ال َها هديْنَُ هلل‬ ْ َ‫علَى آ هل هُه َوأ‬ َ ‫علَى‬
َ ‫س هّي هدنَا م َح َّمدُ َو‬ َ ‫س هلّ ُْم‬َ ‫ل َُو‬ ُّ‫ص ه‬َ َ‫ف‬
ُ‫سانُ هإلَى يَ ْو هُم اْل َمآ ه‬
‫ب‬ َ ‫التَّا هب هعيْنَُ لَه ُْم هبإه ْح‬

ُ‫ن اهلَّ َوأَنـْت ُْم م ْس هلم ْونَُ فَقَدُْ قَا َل‬


َُّ ‫ق تقَاتهه َولَتَم ْوت‬ َُّ ‫ اهتَّق ْوللاَ َح‬، َ‫ فَيَااَيُّ َها ْالم ْس هلم ْون‬،‫اَ َّما بَ ْعد‬
َ ُ‫ ْال َي ْو َُم نَ ْخ هتم‬: ‫الى هفي هكتَا هب هُه ْالك هَري هُْم‬
‫علَى أَ ْف َوا هه هه ُْم َوت َك هّلمنَا أَ ْيدهي هه ُْم َوتَ ْش َهدُ أَ ْرجله ُْم‬ َُ ‫للاُ تَ َع‬
َُ ‫هب َما كَانوا يَ ْكسهب‬
‫ون‬

Ada pemandangan yang hampir selalu kita temui tiap momen pergantian
tahun, yakni banyak orang-orang larut dalam suka cita hingga kadang merasa
perlu untuk merayakannya dengan kegiatan-kegiatan khusus. Tahun baru
seolah menjadi saat-saat yang paling dinanti. Di detik-detik pergantiannya
pun nyaris tiap orang rela berjaga, lalu meluapkan rasa bahagia dengan aneka
petasan, kembang api, atau sejenisnya, ketika saat-saat yang ditunggu itu tiba.
Bahagia terhadap momen-momen tertentu merupakan sesuatu yang sangat
manusiawi. Begitu pula dalam momen pergantian tahun ini. Yang menjadi
pertanyaan, sudah pada tempatnyakah kebahagiaan itu diekspresikan?

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,


Waktu adalah sebuah anugerah. Manusia menerima kesempatan di dunia
untuk mencapai tujuan-tujuan akhirat. Sebagaimana Islam ajarkan bahwa
kehidupan dunia adalah ladang yang mesti digarap serius untuk masa panen
di akhirat kelak. Karena itu sifat waktu dunia adalah sementara, sedangkan
sifat waktu di akhirat adalah kekal abadi.

Islam mengutamakan kehidupan akhirat di atas kehidupan dunia. Dua


kehidupan tersebut dikontraskan sebagai dua jenis waktu yang sejati dan
tidak sejati. Al-Qur’an melukiskan kehidupan dunia dengan istilah “tempat
permainan” belaka.

َُ‫ي ْال َح َي َوانُ لَ ُْو كَانوا َي ْعلَمون‬


َُ ‫َّار ْاآل هخ َرُةَ لَ هه‬ ُ َّ ‫َو َما َٰ َه هذهُه ْال َح َياةُ الدُّ ْن َيا هإ‬
ُ ‫ل لَ ْهوُ َولَ هع‬
َُّ ‫ب َو هإ‬
َُ ‫ن الد‬

Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-
main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau
mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut: 64)
Kalimat “kehidupan dunia ini merupakan senda gurau dan main-main” bukan
berarti kita dianjurkan untuk berbuat seenaknya di dunia ini layaknya sebuah
permainan. Redaksi tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa
kehidupan dunia ini tidak sejati, tidak kekal, dan penuh dengan tipuan. Karena
itu, maknanya justru seseorang harus lebih banyak mencurahkan perhatian
kepada kehidupan akhirat.

Lantas apa yang harus dilakukan agar kesempatan hidup di dunia berkualitas?
Al-Qur’an telah memberikan garis bahwa tujuan diciptakannya manusia
adalah untuk mengabdi secara total kepada Allah.

ُ‫ون‬ ُ َّ ‫س هإ‬
‫ل هل َي ْعبد ه‬ َُ ‫اْل ْن‬ َُّ ‫َو َما َخلَ ْقتُ ْال هج‬
‫ن َو ْ ه‬

Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)

Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali
kepada Allah. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dan ibadah itu
sangat bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Pengertian ibadah itu pun
sangat luas, tak sekadar ritual kepada Allah (seperti shalat, puasa, haji, atau
sejenisnya) melainkan meliputi pula kebaikan-kebaikan yang membawa
kemaslahatan bagi orang lain.

Memanfaatkan umur di dunia ini menjadi sangat penting karena waktu terus
berjalan, dan tak akan bisa terulang kembali. Manusia dituntut untuk
memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-
perbuatan bermutu, sehingga tak menyesal di kehidupan kelak. Orang-orang
yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Al-Qur’an merengek-rengek
minta kembali agar bisa memperbaiki perilakunya
َ ُ‫ لَعَ هلّي أَ ْع َمل‬، ‫ون‬
ُ‫صا هل ًحا فهي َما ت ََر ْكت‬ ُ‫ار هجع ه‬ ْ ‫ب‬ َُ ‫ى إهذَا َجا َُء أَ َحدَهمُ ْال َم ْوتُ قَا‬
ُ‫ل َر ّه‬ َُٰ َّ‫ُ َحت‬
‫ون‬ َُٰ َ‫ن َو َرائه هه ُْم َب ْرزَ خُ هإل‬
َُ ‫ى َي ْو هُم ي ْب َعث‬ ُْ ‫َّل ُ هإنَّ َها َك هل َمةُ ه َُو قَائهل َها ُ َو هم‬ ُ َّ ‫ك‬

Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga


apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya
Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh
terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah
perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding
sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun: 99-100)
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,
Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal
yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia
sedang menghampiri suatu kerugian yang besar. Sebagaimana yang ia
nyatakan—dengan mengutip hadits—dalam kitab Ayyuhal Walad:

ْ ‫ن ا ْم َرُأً ذَ َه َب‬
ُ‫ت‬ َُّ َ‫ َُو ا‬،‫ ا ْشتهغَال ُه هب َما لَُ َي ْعنهي هه‬،‫ن ْال َع ْبده‬ َ ‫للا تَ َعالَى‬
ُ‫ع ه‬ ُ ‫عّلَ َمةُ اهع َْر ه‬
ُ‫اض ه‬ َُ
ُ‫علَ ْي هُه َحس َْرته‬َ ‫ل‬ َُ ‫ن تَطو‬ ُْ َ‫ لَ َجدهيرُ ا‬،‫َير َما خ هلقَُ لَهُ همنَُ ْال هعبَادَةه‬
ُ‫ في غ ه‬،‫ن عم هرهه‬ ُْ ‫عةُ َم‬َ ‫سا‬َ

Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah
disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu
saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas
ia menerima kerugian berkepanjangan.”

Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan
tahun baru. Momen tahunan ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat.
Kebahagiaan terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur
terhadap masih tersisanya usia, bukan uforia kebanggaan atas tahun baru itu
sendiri. Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan,
memperbaiki yang belum sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia. Tahun
baru lebih tepat menjadi momen muhasabah (introspeksi)
dan ishlah (perbaikan).

Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha'illah as-Sakandari dalam al-Hikam ini
patut menjadi renungan:
ُ‫َثيرةُ أ ْمداده‬ ُْ َّ‫ت آمادهُ َوقَل‬
َ ‫ َوربَُّ عمرُ قَليلَةُ آمادهُ ك‬،‫ت أ ْمداده‬ َ َّ‫ربَُّ عمرُ ات‬.
ُْ َ‫سع‬

"Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula


umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah."

Semoga kita menjadi pribadi yang mampu menunaikan sisa usia kita dengan
sebijak-bijaknya, dan terhindar dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia.
Amiin. Wallahu a’lam bisshawâb.

ُ‫ إنّه‬.‫ت وال هذّ ْك هُر ال َح هكي هُْم‬ ُْ ‫ َونَفَ َع هن‬،‫آن ال َع هظي هْم‬
ُ‫ي َو هإيّاك ُْم هباآليا ه‬ ُْ ‫با َ َركَُ للاُ هل‬
ُ‫ي َولك ُْم هفي الق ْر ه‬
ُ‫تَعاَلَى َج ّوادُ ك هَريْمُ َم هلكُ بَرُ َرؤ ْوفُ َر هحيْم‬

Anda mungkin juga menyukai