Anda di halaman 1dari 204

PENERBIT M1ZAN: KHAZANAH 1LMU-ILMU ISLAM adalah salah satu

lini produk (product line) Penerbit Mizan yang menyajikan informasi


mutakhir dan puncak-puncak pemiklran dari pelbagai aliran pemikiran
Islam.
Dr. Abdurrahman Abdullah

KHAZANAH ILMIMLMU ISLAM


KHILAFAH:
KONSEP VS. REALFIAS
Karya Dr. Abdurrahman Abdullah
® Copyright 2019, Dr. Abdurrahman Abdullah
Penyunting: Achmad Fathurrohman Rustandi
Proofreader: Kamus Tamar
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Cetakan I, Muharram 1442 H/September 2020
Diterbitkan oleh Penerbit Mizan
PT Mizan Pustaka
Anggota IKAPI
Jin. Cinambo No. 135, Cisaranten Wetan,
Cinambo, Bandung 40294

Teip. (022) 7834310 Faks. (022) 7834311
e-mail: khazanah@mizan.com
facebook: penerbit mizan; twitter: @penerbit mizan
http: //www.mizan.com
Desainer sampul: Andreas Kusumahadi

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Abdurrahman Abdullah

Khilafah: konsep vs. realitas/ Abdurrahman Abdullah; penyunting: Achmad



Fathurrohman Rustandi. Bandung; PT Mizan Pustaka, 2020.
204 h.; 23,5 cm.

Bibliografi: him. 189


Indeks
ISBN 978-602-441-172-5

1. Islam dan pemerintahan. I. Judul.


II. Achmad Faturrohman Rustandi
297.622

Didistribusikan oleh
Mizan Media Utama (MMU)
Jin. Cinambo No. 146, Cisaranten Wetan,

Teip. (022) 7815500



Cinambo, Bandung 40294
Faks. (022) 7802288
e-mail: mmubdg@mizanmediautama.com
facebook: mizan media utama; twitter: @inizanmediautama
Perwaki lan:
Jakarta: (021) 7874455; Surabaya: (031) 8281857;
Medan: (061) 42905176; Makassar: (0411) 894-8871;
Yogyakarta: (0274) 889249; Banjarmasin: (0511) 3251844
1S1 BUKU

PENDAHULUAN
— 7
1 KHILAFAH PADA MASA AL-KHULAFA’ AL -KH AMS AH

Khalifah Abu Bakar Shiddiq 24
— 23

——
Khalifah Umar bin Khattab 39
Khalifah Utsman bin ‘Affan 46


Khalifah Ali bin Abi Thalib 52

Khalifah Hassan bin Ali bin Abi Thalib 57
2 KHILAFAH PADA MASA BANI UM AYAH 61 —
Kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan 62
Kekhalifahan Yazid bin Muawiyah 67
—— —
Kekhalifahan Muawiyah bin Yazid 71
Kekhalifahan Marwan bin Hakam 72

Kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan 73
Kekhalifahan Walid bin Abdul Malik 73
— —
Kekhalifahan Sulaiman bin Abdul Malik 74

Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz 76


Kekhalifahan Yazid bin Abdul Malik 79
Kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik 81
— —
Kekhalifahan Walid bin Yazid bin Abdul Malik 82
Kekhalifahan Yazid bin Walid bin Abdul Malik (Yazid III)
Kekhalifahan Marwan Al-Ja'di 86— — 85

5
6 KhIlafah

3 KHILAFAH PADA MASA DAULAH ‘ABBASIYAH 89


Pertumpahan Darah di Era Daulah ‘Abbasiyah
— 96
4 KHILAFAH PADA MASA DAULAH FATH IM IYAH — 101
5 KHILAFAH PADA MASA DIN ASTI AYYUBIYAH — 109
6 KHILAFAH PADA MASA DINASTI TURKI UTSMANI 113
7 DEFINISI DAN KONSEP KHILAFAH - 1 17

8 SISTEM PENGANGKATAN KHALIFAH — 127


9 FORMAT PEMERINTAHAN KHILAFAH — 135
10 SYARAT-SYARAT KHALIFAH — 149
11 GE RAKAN KHILAFAH DI INDONESIA — 163
HTI dan Daulah Khilafah —Khilafah
166
Islam Indonesia: Islam Yes,
PENUTUP — 185
No!
— 176

KEPUSTAKAAN — 189
INDEKS — 195
TENTANG PENULIS — 201
PENDAHULUAN

erjalananpanjang sejarah kekhalifahan diwamai berbagai peris-

P tiwa dan banyak pertumpahan darah di dalamnya, baik yang dise-


babkan pertikaian dan peperangan di antara sesama Muslim itu
sendiri maupun yang melibatkan pihak lain. Pertikaian tersebut. jika
ditclusuri lebih mendalam umumnya bermuara pada masalah “kekua-
saan”.
Pertikaian terjadi sejak pertama kali konsep khilafah ini diterapkan.
yaitu pada masa Abu Bakar Shiddiq. Di saat Nabi Saw. wafat dan jena
zahnya beium dikuburkan, umat berduka, sahabat dan keluarga Nabi
Saw. pun larut dalam kesedihan mendalam. Namun, tiga sahabat Muha¬
jirin (Abu Bakar, Umar, dan Abu ‘Ubaidah) berkumpul dengan kalangan
sahabat Anshar di rumah Saqifah Bani Sa'idah untuk memperbincangkan
siapa penerus Nabi Saw. Adu mulut dan saling klaim tentang siapa yang
layak menggantikan Nabi Saw. apakah dan Muhajirin atau Anshar, dan
siapa sosok yang layak dan perwakrlan kedua pihak tersebut tak dapat
dihindari. Umar bin Khattab yang memiliki sifat tegas mendominasi
percakapan di forum tersebut dengan memunculkan sosok Abu Bakar
sebagai tokoh yang menurutnya paling layak sebagai pengganti Nabi
Saw. sebagai pemimpin umat. Kalangan Anshar menawarkan opsi untuk
menunjuk dua orang pemimpin. satu orang dari Muhajirin dan satu
orang dari Anshar namun ditolak keras oleh Umar. Akhimya muncullah
baiat di forum itu kepada Abu Bakar Shiddiq.
Suksesi kepemimpinan Abu Bakar ini tercatat di banyak kitab tarikh.
Bukti catatan sejarah. atas peristiwa di Saqifah ini ada. Tidak ada per
bedaan signifikan antar ahli sejarah. Ibnu Qutaibah misalnya. menulis

7
8 KhIlafah

dalam kitab Al-lmamah wa al-Siyasah, kejadian lengkap tentang suksesi


Abu Bakar tersebut dengan alur cerita sangat terperinci disertai dialog¬
dialog panas yang tetjadi antara pihak Muhajirin dan Anshar.1 Begitu
pula Jalaluddin As-Suyuthi, penulis kitab tarikh terkemuka, Tdrikh al-
Khulafa, juga mencatat peristiwa ini?
Ibnu Atsir, dalam kitab Al-Kamil fi at-Tarikh, pun menuliskan bab
khusus dengan sangat terperinci mengenai peristiwa di Saqifah dengan
judul Hadits as-Saqifah wa Khilafah Abi Bakar Radiyallahu Anhu wa
Ardhahu.3 Begitu pun Ath-Thabari, dalam Tdrikh al-Umam wa al-Muluk
(Tarikh ath-Thabari), menuliskan lengkap tentang peristiwa di Saqifah
dalam bab khusus Al-Khabar Amma Jara Baina al-Muhajirin wa al-Anshar
fi Amr al-Imarah fi Saqifah Bani Sa'idah.4 Kitab tarikh lain seperti Al-
Ya‘qubi, Ibnu Hisyam, dan Ibnu Khaldun sama-sama mencatat hal ter¬
sebut.5 Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya pun mengutip hadis
yang panjang mengenai peristiwa Saqifah ini dengan judul Hadits as-
Saqifah.
Banyak pihak yang tidak setuju dengan terpilihnya Abu Bakar sebagai
pengganti Nabi Saw. Bahkan, putri Nabi Saw. yang paling dicintai,
Fathimah Az-Zahra ra., tidak merestui Abu Bakar dan menolak keras
untuk berbaiat sampai akhir hayatnya. Fathimah juga menolak untuk
berbicara dengan Abu Bakar hingga akhir hayatnya setelah dia dan ‘Abbas
menemui Abu Bakar untuk meminta harta peninggalan Nabi, yaitu tanah

1 Lihat Ibn Quuibah, Al-lmamah wa al-Siyasah, Vol. I, h. 24. Tentang dialog-dialog yang
terjadi di Saqifah ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
2 Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, T&rikh al-Khulafa, hh. 60-62. As-Suyuthi menceritakan
peristiwa Saqifah dalam bab khusus berjudul “Fi Mubayi'atihi Radhiyallahu Anhu". Dia
menjelaskan terperinci proses bagaimana dibaiatnya Abu fiakar dengan urutan dan
kronologis cerita yang sama seperti dengan yang diceritakan oleh Ibn Qutaibah dan
para ahli Tdrikh lain.
3 Ibn Atsir, Al-Kamil fi at-Tdrikh, Vol. 11, hh. 189-195.
4 Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mul&k (T&rikh ath-Thabari), Vol. Ill, hh. 203-206.
S Al-Ya'qubi, Tdrikh al-Ya‘qubi, Vol. II, hh. 136-137; Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah,
Vol. IV, h. 308; Ibn Khaldun, Tdrikh ibn Khaldun, Vol. Il, h. 487.
PENDAHULUAN 9

Fadak6 dan bagian dari Khaibar namun ditolak oleh Abu Bakar dengan
alasan bahwa Nabi Saw. tidak mewariskan apa pun.7
Peristiwa penolakan ini dimuat pula oleh Imam Ahmad bin Hanbal
dalam Musnad-nya dengan sumber yang sama (yang di dalamnya
terdapat Bisyr, Ubaidillah bin Umar, Zaid bin Aslam, dan ayahnya) namun
isi atau matannya sedikit berbeda. Imam Ahmad bin Hanbal men-
cantumkan dialog antara Umar bin Khattab yang menyampaikan menge-
nai kecintaannya kepada Nabi dan kepada Fathimah, namun setelahnya
tidak mencantumkan apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab untuk
membakar rumah Fathimah, hanya dengan ungkapan wakallamaha (dan
Umar bin Khattab menyampaikan sesuatu pada Fathimah).8
Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Tarikh ath-Thabari) mencantumkan
peristiwa tekanan dan ancaman pembakaran rumah yang dilakukan
Umar bin Khattab terhadap orang-orang yang berada di rumah Fathimah
untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Namun, Thabari menyebutnya tidak
secara langsung dengan sebutan rumah Fathimah, tetapi dengan sebutan
rumah Ali bin Abi Thalib (suami Fathimah Az-Zahra). Thabari menulis,
bahwa Umar bin Khattab mendatangi rumah Ali dan di rumah tersebut

6 Pada penode Daulah Umayah, yaitu pada era Umar bin Abdul Aziz, tanah Fadak
dikembalikan kepada keluarga Nabi Saw. Lalu pada periode Daulah Abbasiyah. yaitu
pada era Khalifah Al-Makmun. dikembalikan kepada keturunan Fathimah Az-Zahra t.a.
7 Ath-Thabari, Tdrikh al-Umam wu al-Muluk (Tarikh ath-Thabari), Vol. III. h. 208.
8 Lihat Imam Ahmad bin Hanbal, Kitab Fadhdil alShababah, hadis ke-532, Makkah
Mukarramah: Dar Al llmi li ath Thiba’ah wa an-Nasyr, 1983, Cetakan 1, Vbl. I. h. 364.
Hadis yang dinwayatkan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut: Telah mencentakan
kepada kami Muhammad bin Ibrahim, dari Abu Mas’ud, dari Muawivah bin ‘Amr, telah
menceritakan pada kami Muhammad bin Bisyr, telah mencentakan kepada kami
Ubaidillah bin Umar, dari Zaid bin Aslam dari ayahnya. berkata “Kerika Baiat telah
diberikan kepada Abu Bakar setelah Rasulullah Saw. wafat, Ali dan Zubair mendatangi
rumah Fathimah untuk bermusyawarah mengenai urusan meteka Keuka Umar mene-
rima kabar ini in bergegas ke rumah Fathimah dan berkata: “Wahai Putn Rasulullah
Saw tidak ada yang kucintai selain ayahmu dan tidak ada yang lebih aku cintai setelah
ayahmu dibandingkan dinmu, Wakallamaha (dan Umar bin Khattab menyampaikan
sesuatu pada Fathimah). Lalu Ali dan Zubair menghampiri Fathimah lalu Fathimah
berkata: “Pcrgilah kalian berdua secara baik-baik." Maka meteka bcrdua tidak kembali
ke rumah Fathimah hingga keduanya berbaiat.
10 KhIlafah

terdapat Thalhah, Zubair, dan beberajia orang lain dari kalangan Muha-
jirin. Umar berkata: “Demi Allah akan kubakar kalian atau keluarlah
kalian untuk berbaiat.” Maka keluarlah Zubair dengan pedang terhunus,
namun terpeleset hingga pedangnya terjatuh dari tangan. Maka mereka
(orang-orang yang bersama Umar) mengerumuni Zubair. Umar lalu me-
merintahkan untuk mengambil pedang Zubair dan memukulkan pedang¬
nya ke batu.9
Ali bin Abi Thalib, Zubair, Abbas, Salman al-Farisi, dan para sahabat
besar dari kalangan Muhajirin pun tidak menerima untuk berbaiat ter-
hadap Abu Bakar. Meskipun kemudian mereka berbaiat setelah Ali bin
Abi Thalib berbaiat, yaitu enam bulan setelah baiat Abu Bakar di Saqifah
dan setelah Fathimah Az-Zahra wafat.10 Dari kalangan Anshar, Sa‘ad bin
‘Ubadah selaku pemimpin kaum Khajraz Anshar yang hadir di Saqifah
Bani Sa'idah, sampai akhir hayatnya tidak membaiat Abu Bakar dan
mengasingkan diri ke Syam. Ketika Abu Bakar wafat dan digantikan oleh
Umar bin Khattab, Sa*ad pun tidak mau membaiat Umar.11 Ibnu Khaldun
menceritakan, bahwa Sa‘ad tidak mau berjamaah shalat, tidak mau
terlibat dalam perbincangan dan tidak mau menunaikan haji bersama
mereka setelah peristiwa itu hingga Abu Bakar meninggal dunia. Sa'ad
lalu pergi ke Syam dan kemudian wafat dibunuh oleh jin. Ibnu Khaldun
menyebutkan versi yang lain bahwa Sa'ad meninggal karena dibunuh
dengan cara dipanah oleh dua busur panah.12

9 Ath Thabari, Tdrikh al-Umam wa al-Muiuk (Tdrikh ath-Thabari), Vol. Ill, hh. 202-203.
Bandingkan dengan keterangan lain yang dimuat dalam Baladzuri, Ansab al-Asyraf, Vol.
1, h. 586, yang menyebutkan Abu Bakar mengutus Umar bin Khattab untuk datang ke
Ali untuk meminta baiat.
io Ibn Atsir, AI-Kamil fi al-Tdrikh, Vol. II, h. 194; Ath-Thabari, Tdrikh ath-Thabari, Vol. Ill,
h. 208; Ibn Qutaibah, Al-lmdmah wa Stydsah, Vol. I, h. 32.
11 Ibn Qutaibah. Al-lmdmah wa al-Siydsah, Vol. I, h. 28.
12 Lihat Ibn Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun, Vol. II, hh. 488-489. Tentang kisah ini, tercantum
juga dalam Tdrikh al-Umam wa al-Muliik (Tdrikh ath-Thabari), Vol. Ill, hh. 222-223,
dengan redaksi yang hampir sama, bahwa Sa‘ad menolak untuk shalat, berkumpul, dan
berhaji bersama orang yang terlibat di Saqifah.
Pendahuluan 11

Selain itu, bermunculan para kelompok kaum Muslim yang enggan


membayar zakat. Terhadap golongan ini, Abu Bakar Shiddiq memerin-
tahkan untuk memerangi pembangkang zakat.13 Artinya, peperangan
pertama era pemberlakuan khilafah adalah peperangan yang terjadi di
antara kaum Muslim sendiri karena adanya perbedaan pandangan ten-
tang penerapan khilafah.
Dalam kitab Tarikh ath-Thaban dikatakan bahwa alasan kelompok
yang tidak mau membayar zakat adalah dikarenakan semasa Nabi
Saw^
hidup, mereka menyerahkan zakat kepada Nabi sebagai pengakuan ke-
pemimpinan Nabi. Adapun sepeninggal Nabi, mereka tidak mengakui
kepemimpinan Abu Bakar dan tidak mau menyerahkan zakat kepadanya.14
Bahkan, kaum Anshar atau sebagian dari Anshar, pada saat peristiwa di
Saqifah awalnya bersikukuh untuk tidak berbaiat kepada Abu Bakar.
Mereka mengatakan secara tegas: “Kami tidak akan berbaiat kecuali
kepada Ali bin Abi Thalib.”15
Sejarah terus betjalan, khilafah dari masa ke masa memang memiliki
dampak positif, di antaranya wilayah Islam semakin meluas, perkem-
bangan ilmu dan peradaban, serta munculnya banyak pemikir dari
kalangan Muslim pada era kekhalifahan yang hash karyanya banyak
diadopsi oleh para pemikir modem. Namun, penerapan sistem kekha¬
lifahan juga banyak diwamai pembantaian nyawa manusia, baik yang
berbeda agama atas dasar motif ekspansi wilayah kekuasaan maupun
atas dasar motif penumpasan kelompok-kelompok yang berbeda dengan
kemauan khalifah yang berkuasa. Kelompok-kelompok yang ditumpas
tersebut kebanyakan dari kalangan Muslim sendiri.
Asy-Syahrastani dalam Kitab Al-Mildl wa an-Nihal menyebutkan
mengenai pertumpahan darah dalam perebutan kekuasaan, “Tidak
pernah suatu pedang terhunus dalam Islam atas dasar prinsip agama

13 Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa.hh. 66-67.


H Ath Thabari. Tdnkh ath-Thaban, Vol. Ill, hh. 242-244.
15 Lihat Ath-Thaban, Tdrikh ath-Thaban. Vol. 111. h. 202.
12 KhIlafah

seperti terhunusnya pedang atas dasar kepemimpinan (al-imamah) pada


setiap zaman".16
Khalid bin Walid diceritakan di banyak kitab tarikh pemah membunuh
kaum yang dituduh murtad pimpinan Malik bin An-Nuwairah lalu
mengawini paksa Ummu Tamim, istri Malik, pada hari yang sama.
Perbuatan Khalid bin Walid itu dibenci oleh Umar bin Khattab dan bahkan
mengusulkan kepada Khalifah Abu Bakar agar Khalid dibunuh karena
telah membunuh kaum Muslim serta dirajam karena telah berbuat zina.
Namun, Abu Bakar menolaknya dengan alasan Khalid ber-ta’wil (inisiatif
atau ijtihad) namun salah.17
Pembunuhan juga teijadi terhadap para khalifah. Khalifah Umar bin
Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, ketiganya dibunuh
oleh kaum Muslim sendiri. Begitu pun dengan banyak khalifah lain di
zaman Umayah, Abbasiyah, dan dinasti setelahnya. Ini adalah fakta
sejarah, belum lagi kepedihan para keluarga Nabi Saw. yang mayoritas
selalu diburu dan dibunuh oleh para penguasa pada zamannya. Ketika
masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, Jalaluddin As-Suyuthi men-
ceritakan peristiwa sadis yang menimpa cucu Rasulullah Saw. Husain bin
Ali. As-Suyuthi banyak menyebutkan bahasa kiasan karena ketidaktega-
annya menyebutkan kepedihan pembantaian keluarga Nabi Saw. terse-
but.18

16 Asy-Syahrastani, Al-Mildl wa anNi^al, t.p., t.t., h. 299.

17 Ibn Atsir, Al Kamil ft al-Tdrikh, Vol. II, h. 217. Kisah tentang ini tersebar di banyak kitab
Tarikh. Lihat juga Ath Thabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. Ill, h. 278; Al Ya’qubi, Tarikh
al-Ya'qubi, Vol. 1, h. 157; Ibn Khaldun, Tdrikh ibn Khaldun, Vol. 11, h. 500.
1« As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafa’. h.184. Perincian nama nama keluarga Nabi Saw. yang
terbunuh dipaparkan secara terperinci oleh Ibn Qutaibah, Allmdmah wa al-Siydsah,
Vol. II. h. 12. la menyebutkan di antaranya: Husain bin Ali, ‘Abbas bin Ali, Utsman bin
Ali, Abu Bakar bin Ali, Ja'far bin Ali, Ummul Banin, Ibrahim bin Ali, Abdullah bin Ali,
lima orang dari Bani Aqil, dua orang dari anak Abdullah bin Ja'far, tiga orang dari Bam
Hasyim, dan para istri dan perempuan yang menyertai mereka. Lihat juga nama-nama
iengkap beserta latar belakang keluarga Nabi Saw. yang terbunuh di Karbala dalam
kitab Abu al-Farj Al-lshfahani, Maqatil ath-Thalibiyyin, Qum: Intisyarat al Haidariyyah,
1423 H.
PENDAHULUAN 13

Fakta-fakta ini menjadi satu modal untuk menganalisis: apakah


memang kekhalifahan sebagai satu sistem kepemimpinan dalam Islam
mensyaratkan adanya pertumpahan darah, perebutan kekuasaan dengan
kekerasan, tindakan keji, ataukah memang ada penyimpangan dalam
penerapan konsep khilafah dalam sejarah? Jika melihat konteks pene-
rapan khilafah hingga kemudian sistem khilafah tumbang setelah era
TUrki Utsmani dan tidak ada lagi negara yang menerapkannya, apakah
hal itu berarti sistem khilafah merupakan bukan sebagai kewajiban yang
harus ditegakkan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab
sebagai acuan dan pedoman untuk merumuskan pergerakan Islam di
masa kini dan masa depan.
Menarik pula untuk dikaji mengenai berbagai hal yang berkaitan
dengan konsep khilafah, sistem khilafah seperti apa yang dianjurkan
dalam ajaran Islam, adakah contoh baku bentuk pemerintahan dalam
Islam, bagaimana konteks penerapan sistem khilafah pada era sekarang,
serta berbagai tema lainnya.
Para ulama sepakat bahwa secara fitrah, jika terdapat manusia lebih
dari satu orang di suatu tempat, maka ia membutuhkan pemimpin di
antara mereka untuk menggapai tujuan dari orang-orang tersebut1'* Itu
pula sebabnya mengapa Islam mengatur serius akan hal ini. Islam mewa-
jibkan untuk mengangkat pemimpin. khalifah, imam, amir, atau sebutan
lainnya.
Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda: "Jika ada tiga orang be-
pergian, hendaknya mereka mengangkat salah seorang di antara mereka
menjadi pemimpinnya." (HR Abu Dawud)19 20
Hadis ini memberikan gambaran yang cukup jelas bahwa perkara
mengenai mengangkat pemimpin adalah perkara yang serius. L’ntuk
urusan yang sederhana (bepergian), Nabi Saw. menyuruh untuk meng¬
angkat pemimpin, apalagi untuk urusan yang memiliki kepentingan dan
skala prioritas yang jauh lebih besar.

19 Abdul Wahhab al-Najar. Al Khulafd’ ar Rdsyiddn, Darul Fikn. u.. h. 3.


20 Abi Dawud Sulaiman. Sunan Abi Dawid. Riyadh: Bait al-Afkar adDauliyah, t.L. h. 2609
14 KhIlafah

Namun begitu, mayoritas ulama berpendapat bahwa wajib untuk


mengangkat atau memilih pemimpin ini tidak serta-merta berlaku untuk
memilih sistem pemerintahan atau sistem kepemimpinan. Sebab ada
perbedaan yang mendasar. Al-Qur’an dan hadis hanya memerinci perihal
kewajiban mengangkat pemimpin, sedangkan untuk proses pemilihan
pemimpin dan mekanisme kepemimpinan, Al-Qur’an dan hadis tidak
memerincinya.
Ditambah lagi, fakta sejarah membuktikan bahwa konsep tentang
khilafah ini dinamis, selalu berbeda-beda penerapannya. Sebagai contoh,
Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama dengan sistem musyawarah
antara kelompok Muhajirin dan Anshar.21 Meskipun, secara keterwakilan
kelompok Muhajirin sangat tidak terwakili. Kelompok Muhajirin yang
hadir pada forum yang diadakan di rumah Saqifah Bani Sa’idah hanya
dihadiri oleh tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu
‘Ubaidah.22
Berbeda dengan sistem pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab
yang terpilih dengan sistem penunjukan langsung dari Abu Bakar
Shiddiq.23 Perubahan sistem penunjukan pada era ini, seperti diutarakan
oleh Rasyid Ridha,24 mengilhami terbentuknya sistem pemerintahan
monarki pada era Umayah dan setelahnya, di mana pengangkatan
khalifah dilakukan dengan penunjukan langsung oleh khalifah yang
menjabat kepada orang yang dikehendakinya, yang kebanyakan dari
kalangan keluarga atau kerabat.

21 Ijhat Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Vol. IV hh. 308-309. Lihat juga Ibn Khaldun,
Tarikh Ibn Khaldun, Vol. II, h. 487, yang menulis khusus tentang pcristiwa di Saqifah
Bani Sa'idah dengan judul Khabr as-Saqifah. Isi bab ini hampir sama kronologisnya
dengan Tarikh ath-Thabari, Tarikh Ibn Hisyam, maupun dalam Tdrikh Ibn Atsir.
22 Ibn Atsir, Al Kamil ft al-Tdrikh, Vol. II, h. 218. Lihat juga Ibn Khaldun. Tarikh Ibn
Khaldun, Vol. II. h. 488.
23 Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Tdrikh ath-Thabari), Vol. Ill, h. 428. Lihat
juga Ibn Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun, Vol. II, hh. 517-518.
24 Rasyid Ridha, Al Khilafah wa al lmarah aLUzhma', Kairo: Al-Manar, Lt., h 10.
Pendahuluan 15

Berbeda pula dengan pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan yang


terpilih melalui sistem musyawarah, atau yang sering disebut dengan
sistem ahi al-hal wa al-‘aqd. Khalifah Umar membentuk formatur atau
dewan syura yang terdiri dari enam orang sahabat, yaitu Utsman bin
‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
Sa‘ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar memberikan
tanggung jawab (ketua) atas pemilihan ini kepada Abdurrahman bin Auf
untuk memilih salah satu di antara keenam orang ini.
Berbeda lagi dengan pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib yang
terpilih dengan cara dibaiat secara langsung oleh umat Islam yang me-
mintanya memimpin umat untuk mengakhiri berbagai kemelut dan ke-
rusuhan yang merebak setelah wafatnya Khalifah Utsman bin ‘Affan.
Hassan bin Ali menjadi khalifah setelah ayahnya syahid, hampir sama
yaitu atas permintaan dari umat Islam.
Perbedaan dalam sistem pengangkatan khalifah dari rekam jejak se-
jarah ini, pada gilirannya, melahirkan dualisme konsep. Di kutub yang
satu, pengangkatan khalifah dilakukan melalui sistem musyawarah,
sedangkan di kutub lain, pengangkatan khalifah dilakukan dengan sistem
penunjukan langsung. Yang manakah sebenamya sistem Islam hakiki
yang harus diterapkan? Ataukah, kedua sistem tersebut merupakan hal
fleksibel yang dapat disesuaikan dengan konteks zaman? Ini menjadi
pertanyaan yang harus dicari jawabannya, baik dari aspek naqli maupun
'aqli.
Permasalahan sistem khalifah juga terjadi pada konsep mengenai
syarat atau karakteristik dari khalifah. Tidak ada bukti sejarah yang dapat
menyebutkan bahwa terdapat syarat pemimpin baku yang pemah dijadi-
kan rujukan oleh umat Islam yang secara ketat dipatuhi. Keterpilihan
pemimpin banyak dipengaruhi oleh kultur dominasi suku dan aspek
politis yang teijadi pada masanya. Hal ini lebih menguat dengan ditunjang
oleh hadis mengenai keutamaan suku Quraisy dibandingkan dengan
suku lain. Namun, hadis ini pun ternyata tidak diterapkan secara kon-
sisten di banyak periode daulah-daulah Islam seperti pada era Dinasti
16 KhIlafah

Ayyubiyah dan Dinasti Bani Saljuk, bahkan pada zaman daulah Umayah
dan Daulah ‘Abbasiyah.
Hal itu tergambar jelas dalam kisah yang diceritakan dalam Nahjul
Balaghah, ketika diberitahukan kepada Ali bin Abi Thalib r.a. tentang
peristiwa yang telah teijadi di Saqifah Bani Sa‘idah setelah Rasulullah
Saw. wafat, beliau bertanya: “Apa yang dikatakan kaum Anshar?" “Kami
angkat seseorang dari kami sebagai pemimpin dan kalian (kaum Muha-
jirin) mengangkat seseorang dari kalian sebagai pemimpin!" "Mengapa
kamu tidak berhujah atas mereka bahwa Rasulullah Saw. telah bcrpesan
agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan
memaafkan siapa saja di antara mereka yang berbuat salah,” tanya Ali
bin Abi Thalib lagi. “Hujah apa yang terkandung dalam sabda Nabi Saw.
seperti itu?” Dijawab, “Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan
umat ini, niscaya Rasulullah Saw. tidak perlu berpesan seperti itu tentang
mereka.” Kemudian Ali bin Abi Thalib bertanya, “Lalu, apa yang dikata¬
kan oleh orang-orang Quraisy?" “Mereka berhujah bahwa Quraisy adalah
‘pohon’ Rasulullah Saw.” ‘Jika demikian, mereka telah berhujah dengan
‘pohonnya’ dan menelantarkan ‘buahnya’."25
Muhammad Abduh memberikan catatan kaki mengenai maksud dari
perkataan Ali bin Abi Thalib tersebut. Menurutnya, orang-orang Quraisy
(dari kalangan Muhajirin) menganggap diri mereka lebih berhak menjadi
pemimpin umat sepeninggal Nabi Saw. dengan alasan mereka lebih dekat
kekerabatannya dengan beliau, tetapi mereka melupakan Bani Hasyim,
yakni suku beliau sendiri, yang tentunya lebih dekat lagi kepada Nabi.26
Karena ketiadaan syarat-syarat utama dari seorang khalifah, sejarah
banyak mencatat mengenai sosok pemimpin yang malah tidak sesuai
dengan nilai-nilai Islam. Pernah suatu masa, khilafah Islam dipimpin oleh
Khalifah Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik. As-Suyuthi dalam kitab
Tarikh al-Khulafd’ menyebutnya sebagai khalifah fasik, pemabuk, bahkan
ia minum khamar di atas Ka'bah, pengidap homoseksual dan perbuatan

25 Muhammad Abduh, Syurb Nahjul Baldghah, h 64.


26 Muhammad Abduh. Syarb Nahjul Balaghah, h. 65.
PENDAHULUAN 17

keji lainnya.27 Dari sumber lain disebutkan dia pemah memanah Al-
Qur’an dan menantang kekuasaan Allah. Thabari berkata mengenai
Khalifah Al-Walid, “Ada banyak riwayat mengenai penghinaan Walid
terhadap agama.” Thabari tidak menyebutkan kebanyakan dari perbuatan
Walid agar tidak memubazirkan kata.28
Pernah juga khilafah Islam dipimpin oleh Hisyam bin Abdul Malik
Dia melakukan pembunuhan sadis terhadap kerurunan Nabi Saw., yaitu
pada Zaid bin Ali bin Husain. Dia memerintahkan untuk membunuh Zaid.
Zaid terbunuh dengan dipanah di keningnya. Kepalanya dipancung.
Kuburannya disembunyikan, tetapi kemudian disuruh digali dan mayat
Zaid digantung dan disalib serta tidak diturunkan selama berbulan-
bulan. Setelah Hisyam turun takhta baru diturunkan, tetapi mayatnya
dibakar29 dan abunya dibuang ke Sungai Eufrat.“
Dari sumber lain disebutkan, peristiwa yang sama terjadi pada putra
Zaid, yaitu Yahya bin Zaid. la pun dibunuh dengan cara keji dan sadis
dan diperlakukan mirip dengan ayahnya. Yahya syahid terkena panah di
keningnya oleh pasukan Nashr bin Sayyar yang dipimpin oleh Muslim
bin Ahwaz di sebuah tempat be mama Arguna. Walaupun telah dipancung
dan dikuburkan, jasad Yahya digali lagi dan digantung di atas kubah
salah satu gerbang Jurjan atas perintah Nashr bin Sayyar.31
Jalaluddin As-Suyuthi juga dalam kitab Shahih Muslim dan Tarikh Ibn
Katsir, mengutip perbuatan sadis yang dilakukan oleh beberapa khalifah
Daulah Umayah. Diceritakan, “Ketika ‘Ubaidillah bin Ziyad di istana
Kufah dihadapkan kepala Husain bin Ali yang telah dipenggal. lalu ia
meletakkannya di atas perisai (versi Shahih Muslim di atas bejana). Hal

27 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafd'. h. 223


28 Ath Thabari. Tdrikh ath-Thabari, Vol. V h. 538.
29 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan an, Tdrikh ad Daulah altmayyuh (Khalasha-
tul Tdrikh Ibn Katsir). hh. 711-712. Lihat juga Ibn Qutaibah Ad-Dainury, Ailmdmah wa
as-Siyasah. Juz II, hh. 142 143.
30 Abu al-Fari Al-lshfahany, Maqdril AthThdlibiyyin. Al Maktabah al-Haidariyyah, 1381 H,
h. 139.
31 Al Mas'udi. Murdj ad: Dzahab. Vol. Ill, h. 212.
18 khIlafah

serupa menimpa pada ‘Ubaidillah. Kepala ‘Ubaidillah dipenggal oleh


Mukhtar bin Abi ‘Ubaid. Begitu pun, kepala Mukhtar dipenggal oleh
Mush'ab bin Zubair. Dan, hal sama terjadi, kepala Mush'ab dipenggal
oleh Khalifah Abdul Malik. Ketika ‘Abdul Malik bin Ammar al-Laitsi men-
ceritakan hal tersebut kepada Khalifah Abdul Malik, dia ketakutan ter-
timpa sial yang sama lalu meninggalkan istana Kufah.”3* Dalam versi
Tdrikh Ibn Katsir, Abdul Malik langsung memerintahkan untuk merun-
tuhkan istana Kufah setelah mendengar hal tersebut.13
Pertumpahan darah yang tak kalah hebat juga tetjadi pada era Daulah
Abbasiyah. Khalifah pertama Abbasiyah digelari As-Saffah karena sifat-
nya yang keji, penumpah darah keluarga Bani Umayah. Semua keluarga
Bani Umayah di berbagai wilayah diburu dan dihabisi nyawanya secara
sadis kecuali bayi yang sedang menyusu kepada ibunya dan yang melari-
kan diri ke Andalusia.3234 Makam Muawiyah, Yazid bin Muawiyah, dan
khalifah-khalifah Bani Umayah dirusak, digali lagi, dan jasadnya digan-
tung dan dibakar.
Diceritakan oleh Al-Khudhari, makam Muawiyah bin Abu Sufyan di-
bongkar, akan tetapi mereka tidak menemukan sesuatu pun kecuali se-
buah benang seperti debu, lalu membongkar makam Yazid bin Muawiyah
dan mendapati tulang belulang yang hancur lebur bagaikan abu pemba-
karan, dan membongkar makam Abdul Malik bin Marwan dan mendapati
tengkoraknya. Tiada yang mereka temukan dalam makam tersebut ke¬
cuali organ-organ yang telah tercerai-berai, kecuali jasad Hisyam bin
Abdul Malik yang ditemukan dalam keadaan utuh dan belum mengalami
kerusakan kecuali hidungnya. Lalu, As-Saffah memukulnya dengan cam-

32 As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd’, h. 185.


33 Ibn Katsir, sebagaimana dikutip oleh Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an,
menceritakan hal serupa. Dia menambahkan, "mendengar hal itu, Abdul Malik keta
kutan luar biasa, dia segera bangkit dan memerintahkan prajuritnya untuk merobohkan
istana tersebut saat itu juga." Lihat Tdrikh ad-Daulatul Umayah (Khalashatul Tdrikh Ibn
Katsir), h. 824.
34 Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tdrikh al-Khulafd'. h. 229 menyebutkan: digelari As-Saffah
karena sesuai dengan arti kata as-Saffah, yaitu pengalir darah atau pembantai keluarga
Bani Umayah.
Pendahuluan 19

buk, menyalib, dan membakarnya, lalu menerbangkan abunya bersama


embusan angin.35
Selain terhadap keluarga Bani Umayah, As-Saffah juga penerusnya
Al-Manshur, tak segan-segan membunuh keluarga Nabi Saw., kenirunan
Ali bin Abi Thalib. Dalam Tartkh ath-Thabarf disebutkan, Al-Manshur
banyak membantai keturunan Ali bin Abi Thalib. Ketika Khalifah Al-
Mahdi (pengganti Al-Manshur) mendapat warisan sebuah gudang
penyimpanan harta yang ditinggalkan oleh Al-Manshur, dia merasa
ketakutan saat memasuki gudang tersebut. Karena di dalamnya terdapat
sebuah bangunan besar yang terdapat sejumlah korban pembunuhan
dari keluarga Ali bin Abi Thalib. Di telinga mereka terdapat tulisan ten-
tang nasab mereka. Di dalamnya ada anak-anak, laki-laki, pemuda, dan
orang tua dalam jumlah besar. Ketika Al-Mahdi melihat semua itu, ia
menjadi takut terhadap apa yang dilihatnya. Akhimya, Al-Mahdi meme-
rintahkan pemakaman terhadap mereka. Lalu, digalilah sebuah lubang
untuk memakamkan mereka dan membuat tempat duduk di atasnya.36
Dari banyaknya fakta sejarah mengenai khalifah yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Islam inilah, tidak berlebihan jika Imam Syafi‘i hanya
mengakui kekhalifahan pada lima khalifah, yaitu empat orang dari
Khulafa ar-Rasyidin dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.37
Berbeda dengan penuturan Jalaluddin As-Suyuthi yang menyebut
bahwa jumlah khalifah ada 12 yaitu: empat orang dari Khulafa ar-
Rasyidin, Hassan bin Ali, lalu dari Daulah Umawiyyah mengakui
Muawiyah, Ibnu Zubair, dan Umar bin Abdul Aziz. Itu berarti beijumlah
delapan. Ditambah Al-Muhtadi dari Bani ‘Abbas karena sifatnya seperti
Umar bin Abdul Aziz dan terakhir Adh-Dhahir. Berarti berjumlah sepuluh
orang. Dua orang lagi, menurut As-Suyuthi, adalah dua orang yang
dinantikan (Al-Muntadhar), salah satunya yaitu Al-Mahdi karena dia dari

35 Muhammad Al-Khudhari, Daulah Abbas(Yah, h. 71.


36 Abu Ja far Muhammad ibn Jarir Ath Thabari. Tdnkh athThabari. dikutip dalam Syaikh
Muhammad Al-Khudhari, Daulah Abbasiyah. h. 107.
37 Ibnu Abi Hatim Ar Razi, Adab As SyuR! wa Manaqibuhu. Dar Al-Kutub Al Dmiyah, th.
1424 H. h. 189.

1
20 KHILAFAH

keluarga Nabi Saw.18 Jalaluddin As-Suyuthi, hanya menyebutkan 11


orang dari 12 orang jumlah khalifah. Satu orang lagi tidak disebutkan
olehnya. Pernyataan As-Suyuthi ini menambah deretan panjang bukti
sejarah bahwa tidak ada konsep baku dan tetap yang dipatuhi secara
ketat dalam sejarah panjang kekhalifahan umat Islam.
Dalam sistem pemerintahan, konsep khilafah mengalami perubahan
corak dari masa ke masa. Bentuk pemerintahan di Madinah seperti
dipraktikkan oleh Khulafa ar-Rasyidin dan Hassan bin Ali sangat berbeda
dengan corak pemerintahan Daulah Umayah dan setelahnya yang cende-
rung berbentuk kerajaan atau monarki. Bentuk kerajaan ini diperdebat-
kan apakah termasuk sistem Islami ataukah bukan. Terjadi dualisme
pendapat, yaitu yang mengatakan bahwa kerajaan adalah bagian dari
pemerintahan Islam dan pihak yang menolak sistem kerajaan, karena
bukan bagian dari pemerintahan Islam.
Terdapat hadis mengenai bentuk pemerintahan dalam Islam, Nabi
Saw. bersabda, "Khilafah setelahku berusia 30 tahun dan setelahnya ada¬
lah kerajaan."3839 Hadis ini mengisyaratkan bahwa dalam Islam tidak ter¬
dapat bentuk pemerintahan khilafah yang baku, bisa berbentuk kekhali¬
fahan sebagaimana dipraktikkan oleh Khulafa ar-Rasyidin dan bisa juga
berbentuk kerajaan. Namun, pendapat lain, seperti Al-Baghawi, mem-
bantah hal tersebut. la bahkan secara tegas mengatakan bahwa kerajaan
tidak termasuk dalam sistem pemerintahan Islam, bahkan disebutkan
tidak sesuai dengan sunnah Nabi Saw.40 Lagi-lagi, dengan adanya fakta

38 Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, h. 16.


39 Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh alKhulafa’, h. 19. Hadis.ini sahih menurut Ibn Hiban dan
para ahli hadis lainnya. Tiga puluh tahun yang dimaksud dalam hadis tersebut menurut
para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh As-Suyuthi. adalah masa kekhalifahan
Khalifah ar-Rasyidun dan masa khilafah Hassan bin Ali. Hal berbeda dikatakan oleh
Safinah dalam Musnad Imam Ahmad, bahwa 30 tahun yang dimaksud hanya pada masa
Khilafah al-Arba'ah yaitu: Khilafah Abu Bakar 2 tahun, Umar bin Khattab 10 tahun,
Utsman bin Affan 12 tahun, Ali bin Abi Thalib 6 tahun.
40 Muhyissunnah al-Husain bin Mas ud al-Baghawi, Syarh al Sunnah, Beirut: al-Maktab
al-lslami, 1983, juz 14, h. 75, (edisi Syu'aib al-Arauth).
Pendahuluan 21

ini, sistem khilafah Islam dengan sendirinya sangat dinamis, beragam,


tidak tunggal, dan sangat multitafsir.
Perbedaan konsep khilafah juga berbeda di antara pandangan mazhab
teologi Islam. Ahlus Sunnah jelas berbeda dengan Syi'ah. Perbedaan
sangat lebar, baik dari konsep dasar mengenai siapa sosok khalifah yang
layak menggantikan setelah Nabi Saw. wafat, maupun konsep pengang-


katan khalifah di mana Syi'ah mensyaratkan khalifah harus berdasarkan
penunjukan yang bersifat syar‘i dan qath'i, dan dalam masalah apakah ।
khilafah termasuk furu‘ (cabang dari agama) ataukah ushul (pokok
agama), kedua mazhab teologi ini berbeda pandangan. Al-Ghazali,41 Al-
Amidi,42 Al-Iji,*3 Ibnu Khaldun,44 dan Taftazani45 sebagai ulama terke-
muka Ahlus Sunnah mengatakan bahwa imamah adalah termasuk ke
dalam masalah furu‘, sedangkan Syi'ah meyakini hal tersebut sebagai
bagian dari ushul mazhab, karena merupakan kelanjutan dari risalah
kenabian yang tidak terpisahkan.4^
Perbedaan pendapat mengenai konsep khilafah juga dapat digali dari
banyak pandangan para ulama besar. Pandangan Ibnu Taimiyyah menge¬
nai khilafah berbeda dengan pandangan Al-Mawardi. Al-Mawardi sangat
menekankan sentralitas peran khalifah demi menegakkan kembali legiti-
masi Daulah Abbasiyahyang melemah.4' Ibnu Taimiyyah yang hidup di
era pasca-khilafah Abbasiyah sama sekali tidak menuntut agar khilafah
kembali ditegakkan. Baginya yang paling penting adalah tegaknya wild-
yah (otoritas politik). Esensi lembaga kekhilafahan dalam pandangan
Ibnu Taimiyyah adalah kekuasaan yang efektif. Khalifah yang kekuasaan-
nya hanya simbolik bukanlah penguasa yang sesungguhnya. Sebaliknya,

41 Imam Al-Ghazali. Allqtishad fi all'hqad. h. 234.


42 Saifuddin Al - Amidi, Ghoyat al-Maram fi ‘llm alKalam, h. 363.
43 Al-lji, Syarh al Mawaqif. h. 344
44 Ibn Khaldun. Muqaddimah. h. 465.
45 Al-Taftazani, Syarh al-Maqdshid. h. 232.
4o Ja far Subhani, AlMuhadhardt fi al-lldhiyyat, hh. 505-506.
47 Lihat Al-Mawardi, Al-Ahkdm as-Suhhdniyyah. Kairo: Dar al-Hadis, 2006, h 54.
22 KhIlafah

kekuasaan non- khilafah yang punya kekuasaan efektif adalah penguasa


yang sesungguhnya/"
Fakta sejarah dan berbagai silang pendapat mengenai konsep khila-
fah ini sangat menarik untuk dibahas secara terperinci. Pembahasan
tentang khilafah ini termasuk satu tema yang tidak pemah padam untuk
diperbincangkan. Sejalan dengan penerapannya yang sangat dinamis,
pemikiran tentang hal tersebut pun sangat beragam. Dalam konteks
keindonesiaan, permasalahan ini layak dijadikan pembahasan mengenai
urgensi konsep khilafah dikaitkan dengan konteks keindonesiaan yang
berbeda dengan corak penerapan khilafah Islam pada era sejarah.
Buku ini akan membahas mengenai berbagai permasalahan mengenai
khilafah sebagaimana telah diulas secara singkat beberapa poin yang
terkait dengannya di atas. Penulisan buku ini diharapkan dapat memberi-
kan perspektif yang febih luas mengenai khilafah. yaitu dengan melaku-
kan kajian-kajian dari berbagai sumber primer dan sekunder, terutama
yang berkaitan dengan khilafah Islam dalam sejarah, definisi, dan analisis
khilafah Islam dan relevansinya pada zaman sekarang. serta melihat
secara nyata fenomena munculnya gerakan mengembalikan kejayaan
khilafah Islamiyyah yang terjadi di Indonesia.[]

•18 Ibn Taimiyah, As-Siydsah asy-Syar'iyyah, Arab Saudi: Wizarnh asy Syu'un al Islamiyyah.
1419 H. h. 20.
1
KHILAFAH PADA MASA
AL-KHULAFA' AL-KHAMSAH

asakekhilafahan Islam menjadi salah satu pembahasan utama


M dari para ahli tarikh. Penanyaan yang menjadi sorotan adalah.
berapa lama sesungguhnya masa kekhilafahan Islam. Banyak
pendapat mengenai hal ini. As-Suyuthi, penulis kitab Tarikh al-Khulafa,
sebelum membahas mengenai sejarah khilafah Islam membahas secara
khusus mengenai hal tersebut dengan bab khusus Fi Muddah al Khilafah
ft al-Islam. la menyajikan beberapa hadis yang menyebut mengenai hal
tersebut. Salah satu hadis masyhur adalah bahwa khilafah Islam hanya
selama 30 tahun.
Hal tersebut berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad
dan disebut hadis sahih oleh Ibnu Hibban dan ahli hadis lainnya, bahwa
Nabi Saw. bersabda: “Khilafah berusia 30 tahun dan setelahnya adalah
kerajaan.n4',
Tiga puluh tahun yang dimaksud dalam hadis tersebut menunn para
ulama, sebagaimana dinyatakan oleh As-Suyuthi, adalah masa kekhahfah-
an al-Khulafa ar-Rasyidin dan masa Khalifah Hassan bin Ah. Arm bahasan

Jalaluddin As-Suyuthi. Tdrikh al-Khulafd', h. 13.


50 Jalaluddin As Suyuthi. Ibid. Hal berbeda dikatakan oleh Safinah dalam Musnad Imam
Ahmad, bahwa 30 tahun yang dimaksud hanya pada masa Khulafa ar Rasvidm yartu
Khilafah Abu Bakar 2 tahun. Umar bin Khauab 10 tahun. Utsman bin Adan 12 tahun,
Ah bin Abi Thabb b tahun.

23
24 KHiLAFAH

pada bab ini, akan merujuk pada hadis tersebut, yaitu membahas sejarah
dan peristiwa-peristiwa penting pada masa Khulafa ar-Rasyidin dan pada
masa Khalifah Hassan bin Ali.

Khalifah Abu Bakar Shiddiq


Abu Bakar Shiddiq r.a. memiliki nama lengkap Abdullah bin Utsman.
Memiliki nama panggilan Atiq51 dan digelari Ash-Shiddiq.52 Dari beberapa
sumber disebutkan bahwa Abu Bakar memiliki nama lengkap Abdullah
bin Utsman bin Amru bin Ka‘ab bin Sa'ad bin Tamim bin Murrah bin Ka’ab
bin Luay bin Ghalib.53 Bertemu nasabnya dengan nabi pada kakeknya
Murrah bin Ka'ab bin Luay.54
Ibu dari Abu Bakar adalah Ummu al-Khair Salma binti Shakhr bin
Amir bin Ka‘ab bin Sa'ad bin Tamim yang berarti ayah dan ibunya sama¬
sama dari kabilah Bani Tamim.55 Adapun dalam kitab Mustadrak disebut¬
kan, Abu Bakar berasal dari Bani Taim, salah satu suku bangsa Quraisy,
di mana pada zaman jahiliyah suku ini tidak memiliki kelebihan khusus
di antara suku-suku yang lain. Hal ini diperkuat dari pemyataan Abu
Sufyan ketika Abu Bakar mulai berkuasa.
Abu Sufyan berkata, “Bagaimana bisa pemerintahan jaruh ke tangan
suku Quraisy yang paling sedikit anggotanya dan paling kejam.”5b Dalam
sumber yang lain disebutkan, Abu Sufyan berkata, “Wahai keluarga Abdu
Manaf, bagaimana bisa Abu Bakar mengambil urusan ini dari kalian. Di

51 Abu Bakar digelari Atiq berdasarkan hadis dari Aisyah r.a.: "Abu Bakar mcmasuki rumah
Nabi Saw. dan beliau bersabda, Wahai Abu Bakar, Engkau ‘Atiqullah dari apt neraka'."
(HR TUrmudzi dan al-Hakim). Sejak saat itu, Abu Bakar dipanggil Atiq. Makna panggilan
Atiq sendiri, menurut As-Suyuthi, karena ketampanan wajahnya. Lihat Jalaluddin As
Suyuthi. Tarikh al-Khulafa’. Dar al-Kutub al-lslamiyyah, 2011, h. 28.
52 Digelari Shiddiq karena Abu Bakar memberikan kesaksian mengenai kebenaran peris
tiwa Isra Mi’raj, berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Abi Hurairah. Lihat Jalalud¬
din as-Suyuthi, Ibid., h. 29.
53 Muhammad bin Ali bin Muhammad Amrani, Al Anbafi Tarikh al Khulafa, h. 7.
54 Abdul Wahhab An-Najar, al-Khulafa ar-Rasyidin, h. 34.
55 M Th. Houtsma el al., eds., E.J. Brill's First Encyclopaedia of Islam, 1913 1936, Leiden:
EJ. Brill, 8 vols. with Supplement (vol. 9), 1991.
56 Al Hakim, Mustadrak, Vol. II, h. 78.
KhIlafah pada Masa Al-KhulafA' AlKhamsah 25

mana dua orang yang tertindas dan direndahkan, Ali dan ‘Abbas? Wahai
Abu Hassan (Ali bin Abi Thalib) ulurkan tanganmu dan aku akan berbaiat
untukmu.” Namun, Ali menolaknya.57
Dua tahun lebih muda daripada Nabi Saw., Abu Bakar diyakini sebagai
salah satu pemeluk Islam yang pertama, walaupun dari beberapa sumber
lain diperoleh informasi mengenai apakah ia termasuk Muslim yang
pertama atau lima pul uh Muslim pertama sebagaimana disebutkan dalam
Tdrikh ath-Thabari.56
Abu Bakar menjadi khalifah pertama setelah kepergian Nabi Saw.
melalui serangkaian perdebatan dan pertikaian terkait siapa yang berhak
menggantikan Nabi Saw. di rumah Saqifah Bani Sa'idah di Madinah
antara Muhajirin dan Anshar.” Kepemimpinan pasca-meninggalnya Nabi
Saw. ini menjadi perhatian serius dari para sahabat yang hadir di Saqifah,
hingga seakan melupakan penguburan Nabi Saw. Dikisahkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dalam kitab Al-Mushannif, mereka yang hadir di Saqifah
tidak menghadiri upacara pemakaman Nabi Saw.60
Disebutkan bahwa para pembesar temama dari golongan Anshar yang
hadir di Saqifah di antaranya: Sa'ad bin Ubadah, Qais (anak Sa‘ad bin
Ubadah), Basyir bin Sa'ad (sepupu dan rival politik Sa'ad bin ‘(Jbadah),

57 Ath-Thaban. Tarikh al-Umam wa al-Muluk (Tdrikh athThabari), Vol. Ill, h. 209. Perka-
taan ini dikutip juga dengan redaksi yang sama oleh Ibn Atsir, Al Kamil fl at-Tdrikh. Vol.
II, h. 190.
58 Lihat Thabari. Tdrikh athThabari, Vol. 11, h. 60, dalam sebuah nwayat yang dilemahkan
oleh dinnya sendiri, menyatakan bahwa lima puluh orang telah memeluk Islam sebelum
Abu Bakar.
59 Ibn Atsir. Al-Kdmil fl at Tdrikh. Vol. II, hh. 189- 195; AthThabari. Tdrikh ath Thabari,
Vol. HI. hh. 203-206. Al-Ya’qubi, Tdrikh al Vh’qubt, Vol. 11. hh. 136-137; Ibn Hisyam. As-
Siruh an-Nabawiyyah. Vol. IY h. 308; Ibn Khaldun, Tdrikh ibn Khaldun, Vbl. 11, h. 487,
dan Ibn Qutaibah, Al-lmdmah wa al-Siydsah, Vol. I, h. 24. Lihat juga Abdul Wahhab
An Najar, AlKhulafd Ar-Rasyiddn. h. 29.
bO Hisyam bin 'Unvah mengutip ayahnya, “Abu Bakar dan Umar tengah bersama-sama
dengan kaum Anshar ketika Nabi Saw. hendak dikuburkan, dan sebelum mereka
kembali, Nabi Saw. telah dikuburkan". (Lihat Ibnu Abi Syaibah, al-Mushanntf, Vol. 0, h.
432).
26 KhIlafah

Usaid bin Hudhair, Tsabit bin Qais, Mundzir bin Arqam, Bara' bin *Azib,
dan Hubbab bin Mundzir.61
Sa'ad bin ‘Ubadah yang waktu itu sedang sakit tidak mampu berbicara
banyak dan meminta kepada anaknya untuk menyampaikan apa yang ia
ingin sampaikan kepada para kaum Anshar yang berkumpul di tempat
itu. Sa‘ad menyampaikan mengenai keunggulan kaum Anshar atas
kelompok-kelompok Muslim lainnya, yaitu mereka yang telah melakukan
pelayanan kepada Islam dan Nabi Muhammad Saw. dan ketika Nabi
wafat, beliau merasa puas dengan kelompok Anshar. Dengan alasan¬
alasan ini Sa'ad hendak meyakinkan bahwa kaum Anshar lebih utama
untuk menggantikan kedudukan daiam mengatur seluruh urusan umat
Islam sepeninggal Nabi Saw.62
Kabar mengenai berkumpulnya kaum Anshar di Saqifah ini kemudian
sampai kepada Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Dengan tergesa-gesa
keduanya segera pergi ke Saqifah dan di tengah jalan berjumpa dengan
Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, ketiganya pun lantas bersama-sama
menghampiri kaum Anshar.63
Dari sumber yang lain disebutkan, bahwa perdebatan sengit di Saqifah
dapat disimak dari khutbah Umar bin Khattab r.a. di Madinah, bahwa
setelah Nabi wafat, dirinya diberi tahu mengenai kaum Anshar yang
berkumpul dengan Sa'ad bin 'Ubadah di wilayah Bani Sa'idah. Lalu Abu
Bakar, Abu ‘Ubaidah, dan Umar bin Khattab mendatangi mereka. Di per-
jalanan mereka berjumpa dengan dua orang dari kaum Anshar. Mereka
meyakinkan Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bahwa kaum Anshar

61 Nama-nama para pembesar Anshar yang hadir di Saqifah Bani Sa'idah ini terekam
secara lengkap daiam Tdrikh ath-Thabari, Vol. Ill, hh. 203-206; Tdrfkh Ibn Hisyam, As
Sirah an-Nabawiyyah, Vol. IV, h. 308; Tdrikh ibn Khaldun, Vol. II, hh. 487-489; dan Ibn
Qutaibah, Al-lmdmah wa al-Siyasah, Vol. 1, hh. 21-26.
62 Ath-Thabari, Tdrikh ath-Thabari, Vol. HI, hh. 203-206. Ibn Khaldun, Tdrfkh Ibn Khaldun,
Vol. II, h. 487; Ibn Qutaibah, Al-lmdmah wa al-Siydsah, Vol. I, h. 22.
63 Ibn Atsir, Al-Kdmil fi at-Tarikh, Vol. 11, hh. 189-195; Ibn Qutaibah, Al-lmdmah wa al
Siydsah, Vol. I, h. 23.
KhIlAFAH RADA MASA AL'KHULAFA' AL-KHAMSAH 27

tidak berniat melakukan sesuatu yang menyimpang atau bertentangan,


namun ketiganya tetap ingin melihatnya sendiri.64
Sesampainya di Saqifah, juru bicara kaum Anshar berkata, “Kami,
kaum Anshar, adalah pemersatu pasukan Islam, dan kalian, wahai kaum
Quraisy, adalah sekelompok kecil dari kami dan minoritas dari kami.”65
Umar bin Khattab bermaksud menanggapi, retapi Abu Bakar mencegah
dan berkata, “Apa pun yang kau katakan tentang kaum Anshar memang
benar, tetapi bangsa Arab tidak mengakui khilafah kecuali untuk suku
Quraisy. Mereka adalah yang terbaik dari bangsa Arab dari sisi ketu-
runan.66 Kami dari suku Quraisy dan para Imam haruslah dari kami.67 Di
antara kalian saat ini ada dua orang dari Quraisy, yaitu Abu Ubaidah dan
Umar bin Khattab, pilihlah salah satu dari mereka berdua.” Namun,
kemudian dijawab oleh Umar, bahwa Abu Bakar lebih berhak daripada
dirinya, pengganti Nabi Saw. dalam memimpin shalat, dan sahabat ter¬
baik dari kalangan Muhajirin.68
Salah seorang dari kaum Anshar berkata, “Biarkan ada seorang
pemimpin dari kami dan seorang lagi dari kalian.”69 Disebutkan oleh Ibnu
Qutaibah dan Ath-Thabari bahwa orang yang mengatakan hal tersebut
yaitu Hubbab al-Mundzir, yang dalam pembicaraannya selalu bemada
keras/0 Menanggapi hal itu, dalam pandangan Sa‘ad bin ‘Ubadah selaku
pemimpin kaum Anshar, ketika menghadapi usulan dengan memilih satu

64 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd', hh. 60-61. Lihat juga Ibn Hisyam, As Siruh
an-Nabawiyyah, Vol. IV hh. 308-310.
6S Ibn Khaldun. Tdrikh Ibn Khaldun. Vbl. 11. hh. 487 488, Jalaluddin As-Suyuthi. Tdrikh
al-Khulafd', h. 61
66 Ibnu Abi Syaibah, al Mushannaf Vbl. 11. h. 432.
67 Abdul Wahab AnNajar. Al-Khulafa ar-Rnsyidun, h. 31.
68 Ibn Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun, Vbl. 11, h. 487; Ibn Qutaibah, Al-lmdmah wa al
Siydsah, Vol. 1, h. 26.
69 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd', h. 61.
70 Ibn Qutaibah, Al Imdmah wa al-Sjydsah, Vol. 1, h. 24. Lihat juga Ath-Thabari. Tdrikh
al-Umani wa alMuldk (Tdrikh ath Thabari) , Vol. Ill, hh. 203-206.
28 KhIlafah

orang pemimpin dari Anshar dan satu dari Muhajirin, meyakininya


sebagai sebuah kekalahan dan tindakan mundur.71
Umar bin Khattab r.a. menjawab, “Dua pedang tak bisa ditempatkan
dalam satu sarung.”72 Setelah itu, Umar menggambarkan suasana ber-
ubah menjadi kacau, suara-suara tinggi dari banyak orang saling menim-
pali. Lalu Umar meminta tangan Abu Bakar dan mengangkatnya sena
bersumpah setia kepadanya seraya berkata, “Kaum Muhajirin (yang
waktu itu hanya diwakili oleh tiga orang) dan Anshar bersumpah setia
kepadanya.”73 Basyir bin Sa'ad dan Usaid bin Hudhair (bangsawan Bani
Aus Madinah) bangkit dan bersumpah setia dan banyak yang meng-
ikutinya.74
Sa'ad bin ‘Ubadah sebagai tokoh Anshar dari suku Khazraj menolak
untuk berbaiat pada Abu Bakar dan nyaris terbunuh di saat kebanyakan
kaum Anshar berebut membaiat Abu Bakar. Kaum Anshar menyampaikan
kekhawatirannya jangan sampai Sa'ad bin ‘Ubadah terbunuh, namun
Umar bin Khattab mengatakan, “Semoga Allah membunuhnya”.75 Sa'ad
bin ‘Ubadah sampai akhir hayatnya tidak membaiat Abu Bakar dan meng-
asingkan diri ke Syam. Ketika Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar
bin Khattab, Sa‘ad pun tidak mau membaiat Umar.76 Sa'ad tidak mau
berjamaah shalat, tidak mau terlibat dalam perbincangan dan tidak mau
menunaikan haji bersama mereka setelah peristiwa itu hingga Abu Bakar
meninggal dunia. Sa'ad lalu pergi ke Syam dan kemudian wafat dibunuh

Qutaibah,
71 Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Vol. IV hh. 308-310; Lihat juga Ibn
Al-Imamah wa alSiydsah, Vol. I, h. 22.
72 Adz-Dzahabi, Siyar A'ldm An-Nubald’: Siyar al Khulafa ar-Rasyidun, Beirut: Muassasah
Ar-Risalah, 1417 H, h. 25.
73 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrfkh al-Khulafa', hh. 61-62.
74 Ibn Atsir, Al-Kdmil fi at-Tdrikh, Vol. Il, hh. 189-195. Abdul Wahab An-Najar,
Al-Khulafa
ar-Rasyidun, h. 31. Lihat juga Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, Vol. II, h. 433. Bandingkan
dengan Rasul Ja'fariyan, The History of Chalips, ditcrjemahkan Sejarah para Pemimpin
Islam: Dari Abu Bakar Sampai Utsman, Jakarta: ICC Al-Huda, 2010, h. 10.
ath-Thabarf), Vol. Ill, h. 223. Lihat
75 Ath-Thabari, Tdrfkh al-Umam wa al-Muluk (Tdrfkh
juga Ibn Qutaibah, Al-Imamah wa al-Siydsah, Vol. 1, h. 27.
Tdrfkh
76 Ibn Qutaibah, Al-Imamah wa alSiydsah, Vol. I, h. 28. Lihat juga Ath-Thabari,
al-Umam wa al-Muluk (Tdrfkh ath-Thabarf), Vol. Ill, hh. 203-204.
KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khamsah 29

oleh jin. Ibnu Khaldun menyebutkan versi yang lain bahwa Sa'ad mening-
gal karena dibunuh dengan cara dipanah oleh dua busur panah.77
Selain Sa'ad bin ‘Ubadah, Hubbab bin Mundzir pun menentang baiat
kaum Anshar terhadap Abu Bakar. Hubbab mencabut pedang dari sa-
rungnya ketika ia melihat kaum Anshar bersumpah setia pada Abu Bakar,
namun mereka melucuti pedangnya. Hubbab berkata kepada kaum
Anshar, “Kalian hams menunggu dan menyaksikan anak-anak kalian
mengemis demi semangkuk air dan sepotong roti di depan pintu kaum
Quraisy.”78 Umar lalu menghardik Hubbab, “Semoga Allah membunuh
mu," dan dijawab oleh Hubbab bin Mundzir, “Tidak, melainkan semoga
Allah membunuhmu.”79
Perkataan Abu Bakar mengenai keutamaan Quraisy sebagai pemimpin
mendapatkan keabsahan dari berbagai hadis. As-Suyuthi merangkum
dalam kitabnya Tdrikh al-Khulafa’ pada bab khusus uFi Bayan anna al-
Aimmah min Quraisy wa al-Khilafah fihim". Di antaranya hadis dari Abu
Barzah, Sesungguhnya Nabi Saw. bersabda: “Pemimpin (Aimmah) dari
Quraisy, tidaklah mereka menjadi hakim kecuali mereka berlaku add, dan
tidak berjanji kecuali menepatinya, dan tidak mengasihi kecuali dengan
kasih sayangyang tulus." (HR Ahmad dan Thabrani)80
Dalam hadis lain disebutkan, Rasulullah Saw. bersabda: “Raja ada
pada Quraisy, hakim pada Anshar, azan pada Habasyah.” (HR TYirmudzi)

77 Lihat Ibn Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun. Vol. 11, hh. 488-489. Tentang kisah ini. tercantum
juga dalam Ath-Thabari, Tdrikh al-Umam wa al-Muldk (Tdrikh ath Thabari), Vbl. IU, hh.
222-223, dengan redaksi yang hampir sama, bahwa Sa'ad menolak untuk shalat,
berkumpul, dan berhaji bersama orang yang terlibat di Saqifah.
78 Ibn Atsir, Al Kdmil fi at-Tdrikh. Vol. 11. hh. 189-195; Ibn Qutaibah. Al-Imamah wa al-
Siydsah, Vol. 1. hh. 26-27.
79 Ibn Atsir, Al-Kdmil fi at-Tdrikh, Vol. 11. h. 191.
80 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafa', h. 12. As-Suyuthi memberikan penjelasan
bahwa yang dimaksud Raja berada pada suku Quraisy dikarenakan sebagai kabilah
yang sangat masyhur, hakim berada pada Anshar disebabkan kebanyakan kaum Anshar
menguasai bidang hukum. di antaranya Mu'adz bin Jabal. Ubay bin Ka'ab. Zaid bin
Tsabit, dan lainnya. Adapun azan berada pada kaum Habasyah. misalnya Bilal bin
Rabah.
30 khIlafah

Hadis senada dari ‘Utbah bin Abdan berkata bahwasanya Nabi Saw.
bersabda,“Khilafah berada pada Quraisy, hukum berada pada Anshar, dan
dakwah berada pada Habasyah.” (HR Ahmad)
Dari apa yang disampaikan oleh Abu Bakar di atas serta didukung
oleh hadis Nabi, alasan utama Abu Bakar menjadi khalifah adalah karena
berasal dari keturunan suku Quraisy, sebagai suku yang terpandang dan
layak menerima khilafah di kalangan bangsa Arab. Namun, pertimbang-
an Abu Bakar terpilih karena dari penimbangan suku Quraisy tidak sepe-
nuhnya tepat. Mengingat masih ada yang lebih pantas selain Abu Bakar
jika pertimbangannya dari suku Quraisy, yaitu keluarga Nabi Saw., dalam
hal ini Ali bin Abi Thalib.
Hal tersebut dapat terlihat dari pemyataan Ali bin Abi Thalib yang
terekam dalam Nahjul Balaghah. Beliau bertanya mengenai apa yang
terjadi di Saqifah Bani Sa'idah pada saat terjadi suksesi pembaiatan Abu
Bakar: “Apa yang dikatakan kaum Anshar?” “Kami angkat seseorang dari
kami sebagai pemimpin dan kalian (kaum Muhajirin) mengangkat sese¬
orang dari kalian sebagai pemimpin!" “Mengapa kamu tidak berhujah
atas mereka bahwa Rasulullah Saw. telah berpesan agar berbuat baik
kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa saja
di antara mereka yang berbuat salah?” tanya Ali bin Abi Thalib lagi.
“Hujah apa yang terkandung dalam sabda Nabi Saw. seperti itu?” Di-
jawab, “Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya
Rasulullah Saw. tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka.” Kemu-
dian Ali bin Abi Thalib bertanya, “Lalu apa yang dikatakan oleh orang¬
orang Quraisy?” “Mereka berhujah bahwa Quraisy adalah ‘pohon’
Rasulullah Saw." “Jika demikian, mereka telah berhujah dengan ‘po-
honnya’ dan menelantarkan ‘buahnya’.”81
Muhammad Abduh memberikan catatan kaki mengenai maksud dari
perkataan Ali bin Abi Thalib tersebut. Menurutnya, orang-orang Quraisy
(dari kalangan Muhajirin) menganggap diri mereka lebih berhak menjadi
pemimpin umat sepeninggal Nabi Saw. dengan alasan mereka lebih dekat

KI Lihat Nahjul Balaghah syaiah Muhammad Abduh, h. 64.


KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khamsah 31

kekerabatannya dengan beliau, tetapi mereka melupakan Bani Hasyim,


yakni suku beliau sendiri, yang tentunya lebih dekat lagi kepada Nabi.92
Keterpilihan Abu Bakar di Saqifah Bani Sa'idah diakui oleh Umar bin
Khattab pada suaru khutbah Jumat di Madinah sebagai suaru hal yang
faltah (ketergesa-gesaan), namun menurut Umar. Allah Swt. telah melin-
dungi dari dampak buruknya.93
Di sumber yang lain disebutkan bahwa keterpilihan Abu Bakar disebut।
dengan kalimat faltah kafalatati al-jahiliyyah (ketergesa-gesaan seperti
ketergesaan di masa jahiliyah), di mana dalam prosesnya terjadi kemelut
sengit antara Muhajirin dan Anshar, di antaranya pertengkaran yang
dahsyat antara Umar bin Khattab dengan Khubbab bin Mundzir, serta
peristiwa terinjaknya Sa‘ad bin ‘Ubadah94 hingga hampir tewas namun
diredam oleh Abu Bakar.82 85
Selain karena suku, menurut pendapat lain, karena usia Abu Bakar
yang lebih tua dibanding sahabat-sahabat lain seperti Umar, Utsman, dan
Ali bin Abi Thalib.86 Meskipun untuk hal ini masih terdapat catatan, yaitu
Abu Bakar bukan sahabat tertua pada masa itu. Ayahnya Abu Bakar,
Utsman bin Amru, masih hidup pada masa suksesi Abu Bakar.
Abu Bakar menjadi khalifah karena kepintarannya dalam berbicara
dan memengaruhi orang lain. Hal tersebut dapat dilihat dari pemyataan
Abu Bakar pada saat menyampaikan khutbah dengan gaya bahasa retorts,
“Aku mengambil alih kepemimpinan atas kalian, sedangkan aku tidak
lebih baik dart kalian. Jika aku bersikap baik, bantulah aku. Jika tidak,

82 Catatan Kaki Nahjul Balaghah syarah Muhammad Abduh, h. 65.


81 Ibn Hisyam. As-Siruh an-Nabawiyyah. Vol. IV. h. 309. Pemyataan Umar bin Khattab ini
banyak ditemui juga di kitab Tdrikh yang lain dengan redaksi serupa. seperti di Ath-
Thabari, Tdrikh al-Umam wa al-Muldk (Tdrikh ath-Thabarf). Vai. Ill, h. 205; Ibn Atsir.
Al Kdmil fl at-Tdrikh. Vol. II. h. 188.
84 Lihat Ath-Thabari, Tdrikh al-Umam wa al-Muldk (Tdrikh ath Thabari). Vol. Ill, h. 223.
85 Lihat Ibn Khaldun. Tdrikh Ibn Khaldun. Vol. Ell, h. 488.
86 Abdul Wahhab an-Najar, Khulafa ar-Rasyidun, h. 22.
32 KhIlafah

bimbinglah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, jika tidak
kalian tidak perlu menaatiku”.87
Khutbah tersebut mengisyaratkan beberapa hal. Pertarna, dari segi
pemilihan bahasa yang digunakan, khutbah tersebut menggunakan
bahasa persuasif, yaitu dengan berusaha menarik simpati para sahabat
lain melalui cara merendahkan diri sebagai sosok sahabat yang "tidak
lebih baik dari kalian”. Hal tersebut didukung oleh pemyataan Abu Bakar
di kemudian hari, bahwa “inilah yang membantuku mencapai kedudukan
ini”, sambil menunjuk lidahnya.88
Kedua, Abu Bakar tidak menonjolkan kelebihan dirinya, baik kelebih-
an suku, keilmuan maupun lainnya. Beliau pernah berkata, “Umar lebih
kuat daripada aku, dan Salim itu lebih taat.”89 Abu Bakar seakan percaya
bahwa tidak wajib bagi seorang pemimpin untuk menjadi yang terbaik
di antara umatnya. Hal ini diperkuat dengan munculnya berbagai reaksi
dan banyaknya kaum Muslim yang murtad (kelompok riddah) dan yang
enggan membayar zakat setelah Abu Bakar yang memegang kekhalifah-
an. Salah satu alasan banyak sahabat temama dan para suku lain yang
enggan membayar zakat adalah karena tidak mau mengakui kekhalifah-
an Abu Bakar. 90
Abu Bakar menjabat sebagai khalifah pertarna selama dua tahun le¬
bih.91 la menyebut kekhalifahannya bukan sebagai khalifah Allah, tetapi
sebagai khalifah Rasulullah Saw. yaitu sebagai pengemban amanah atau
penerus Nabi Saw.92

87 Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Vol. IV h. 312; Ath-Thabari, Tdrikh al-Umam wa


al-Muluk (Tdrikh ath-Thabari), Vol. HI, h. 2001 Lihat juga Tdrikh Abdul Wahhab An
Najar, Khulafa ar-Rasyidun, h. 23.
Abu Sa'ad Manshur Ibn al Husain ar-Razi, Natsr ad-Durr, Vol. II, h. 13.
Syiria: Mansyurat
88
Pemimpin Islam, h. 27.
Wizarat ats-Tsaqafah, 1997. Lihat juga Rasul Ja'fariyan, Sejarah para
Syiria: Mansyurat
89 Abu Sa ad Manshur Ibn al-Husain ar-Razi, Natsr ad-Durr, Vol. II, h. 15.
Wizarat ats-Tsaqafah, 1997.
90 Al-Ya’qubi, Tdrikh al-Ya'qubi, Vol. Il, h. 128.
91 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd’, h. 13. Lihat juga Ibn Qutaibah, Al-lmdmah
wa al-Siydsah, h. 9.
92 Ibn Qutaibah, Al-lmdmah wa al-Siydsah, h. 9.

J
KhIlafah pada Masa Al-KhulafA' Al-Khambah 33

Kebijakan Abu Bakar yang pertama di antaranya adalah memberang-


katkan pasukan Usamah yang telah disiapkan oleh Nabi Saw. untuk di-
kirim ke Damaskus di hari-hari akhir hidup beliau. Namun, Abu Bakar
tidak menyenakan Umar bin Khattab dalam pasukan Usamah, padahal
Nabi Saw. memerintahkan Umar untuk ikut serta dalam pasukan tersebur.
Umar bin Khattab diminta Abu Bakar untuk bersama-sama dengannya
di Madinah.93 Di sini terlihat bahwa Khalifah Abu Bakar mengeluarkan
kebijakan yang tidak sesuai dengan apa yang diperintahkan Nabi Saw.
mengenai keikutsertaan Umar bin Khattab dalam pasukan Usamah.
Kebijakan yang lain adalah memerangi kaum riddah (murtad) dan
kaum yang menolak zakat. Disebutkan oleh Adz-Dzahabi, setelah Abu
Bakar menjabat sebagai khalifah pertama, terjadi gelombang kemurtadan
yang sangat besar yang dilakukan oleh suku-suku Arab.94 Diumpamakan
oleh Thabari, Ibnu Khaldun, dan Ibnu Hisyam dengan mengutip perkata-
an Aisyah r.a. bahwa umat Islam pada saat Abu Bakar menjadi khalifah
ibarat domba di malam hari yang hujan dan dingin karena jumlahnya
yang sedikit dan banyaknya suku-suku yang murtad.95 Hal serupa disebut¬
kan oleh Ibnu Qutaibah, bahwa kemunafikan menyeruak di Madinah dan
para suku Arab melakukan kemurtadan. Mereka selain murtad juga eng-
gan membayar zakat.96
Aisyah menggambarkan bahwa: “Setelah Rasulullah wafat, kemunafik¬
an muncul di mana-mana, orang-orang Arab murtad dari Islam, sedangkan
kaum Anshar melarikan diri (tidak memihak). Andaikata hal itu ditimpa-
kan pada gunung-gunung niscaya akan menghancurkannya (karena
beratnya tanggung jawab dan kondisi yang dihadapi Abu Bakar).”07

93 Ibn Khaldun. Tarikh Ibn Khaldun. Vol. Il, h. 489. Lihat juga Ibn Qutaibah. Al-Imdmah
wa al-Siydsah, h. 33.
94 ferkataan Adz Dzahabi yang dikutip oleh Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafii h. 66.
95 Ath Thabari. Tdrikh al-Umam wu al MulUk (Tdrikh ath-Thabari). Vol. Hl, h 225; Ibn
Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun, Vol. II, h. 489; Ibn Hisyam, AvSirah an-Nabawivyah. Vol.
IV h. 317.
96 Ibn Qutaibah. Al lmdmah wa al-Siydsah, h. 34.
97 Jalaluddin As Suyuthi, Tdrikh al Khulafd', h. 65.
I

34 KhIlafah

Ibnu Khayyath memerinci para kaum yang murtad di antaranya:


Thulaihah bin Khuwailid, Bani Salim, Bani Tamim, Bani Yamamah, Banu
Bahrain, Bani Umman, Bani Najir, Hadramaut, Bani Yaman, dan Bani
Riddah.08
Abu Bakar lalu memerintahkan Umar dan sahabat lainnya untuk me-
merangi dan membunuh para kaum murtad dan orang-orang yang eng-
gan membayar zakat." Rencana tersebut sempat diprotes oleh Umar bin
Khattab dengan mengatakan: “Bagaimana engkau mau membunuh
orang-orang itu, sementara aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda
Aku diperintah untuk membunuh manusia hingga mereka berkata tidak
ada TUhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah; barang siapa yang
mengucapkannya maka terjaga harta dan darahnya kecuali dengan hak-
nya dan hisabnya milik Allah Swt." Abu Bakar menjawab, “Demi Allah,
aku akan tetap membunuh mereka, siapa saja yang memisahkan shalat
dengan zakat; sesungguhnya zakat adalah hak harta dan terlebih karena
sabda Nabi ‘kecuali dengan haknya’.”98100
Abu Bakar juga mengutus Khalid bin Walid untuk memerangi nabi
palsu yang dipimpin Musailamah di wilayah Yamamah. Terjadi pepe-
rangan hebat antara kaum Muslim dan pengikut nabi palsu di Yamamah,
hingga jumlah tentara yang syahid mencapai 1.200 orang, 700 di antara¬
nya adalah para penghafal Al-Qur’an. Namun, setelah perang usai, Khalid
menikahi putri Muja’ah bin Marara, putri seorang pemimpin wilayah
Yamamah. Umat Islam mengadukan hal tersebut kepada Abu Bakar dan
berkata, “Apakah engkau ridha dengan darah kami yang kering, sedang-
kan laki-laki ini (Khalid) tetap hidup dengan nyaman di Yamamah.”*01
Berita ini sampai pada Abu Bakar, dan Umar berkata, “Khalid selalu
melakukan sesuatu yang melukai hati kita.” Abu Bakar menulis surat

98 Ibn Khayyath, At-Tdrikh, hh. 102-117.


99 Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh al Kluilafa, hh. 66-67; Lihat juga Ibn Atsir, Al- Kamil fi
at-Tarikh. Vol. II, h. 201.
100 Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafd', h. 67.
101 Baladzuri, Futuh al Bulddn, Vol. I, h. 126.
KhIlafah pada Masa Al-KhulafA' Al-Khamsah 35

dengan perkataan keras kepada Khalid. Ketika Khalid membaca surat itu,
ia tertawa dan berkata bahwa ia yakin itu perbuatan Umar karena ia tahu
bahwa Abu Bakar ridha kepadanya.’02
Khalid bin Walid pemah melakukan hal serupa pada saat membunuh
Malik bin Nuwairah bin Hamzah bin Yarbu’ At-Tamimi. Lalu Khalid
mengawini paksa istrinya pada hari itu juga, Ummu Tamim binti Al-
Minhal (dalam Adz-Dzahabi namanya Juwairiyah bind Asma),’®3 yang
terkenal wanita tercantik. Umar marah besar terhadap Khalid dan meng-
ancam akan merajamnya. Umar mengadukan hal itu kepada Abu Bakar,
“Khalid telah berzina, maka rajamlah dia.” Dijawab, “Tidak, aku tidak
akan merajamnya, karena sesungguhnya Khalid bertakwil namun keliru.
“Tetapi Khalid telah membunuh seorang Muslim, maka bunuhlah dia,”
desak Umar. Dijawab lagi oleh Abu Bakar, “Aku tidak akan membunuh-
nya, karena Khalid bertakwil dan keliru." Lalu Abu Bakar memberikan
tebusan kepada keluarga Malik bin Nuwairah dari perbendaharaan
baitulmal.102104
Sikap Abu Bakar yang bersikukuh memerangi kaum murtad meskipun
diprotes oleh Umar dan pembelaannya terhadap Khalid bin Walid meski
telah diingatkan Umar, menunjukkan bahwa pada masa kekhalifahannya
Abu Bakar melakukan kebijakan-kebijakan baru yang tidak pemah dila-
kukan Nabi Saw.
Mengenai hal itu, Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah. me-
nyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh Abu Bakar becermin dari apa
yang dicontohkan oleh sikap Nabi Saw. terhadap Khalid bin Walid. Nabi
Saw. pemah mengutus Khalid bin Walid ke suatu kaum yang dipimpin
oleh Abi Judzaimah dan Khalid membunuh seluruh orang yang ia temui
pada kaum itu meskipun mereka telah berikrar dengan ucapan Shaba'na

102 Baladzuri, Futuh alBulddn, Vol. I, h. 127.


103 Adz Dzahabi, Siyur al Alam an Nubala. ash-Shahabat Ridhwanullahi Alaihim Khalid
ibn Walid, Juz 1 , h. 378.
104 Ibn Atsir, Al Kamil fi Tankh, Vol. 11, h. 213. Kisah tentang ini tersebar di banyak kitab
tarikh. Lihat juga Ath-Thabari, Tdrikh ath-Thabari. Vol. Ill, h. 278; Al-Ya’qubi, Tdrikh
alYa'qubi, Vol. I. h. 157; Ibn Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun. Vol. n, h. 500.
36 khilafah

Shaba'na yang menunjukkan penyerahan diri pada Islam. Khalid tidak


menghiraukan ikrar mereka karena tidak berikrar dengan ucapan Aslamna.
Nabi Saw. kemudian mengutus sahabat (Ali bin Abi Thalib) untuk
menebus kerusakan yang diakibatkan perbuatan Khalid hingga disebutkan
bejana anjing yang rusak pun diganti dan Nabi Saw. lalu mengangkat
kedua tangannya dan berkata, “Ya Allah, saya berserah diri dari apa yang
diperbuat Khalid.”105
Terhadap Malik bin Nuwairah sendiri, para ahli sejarah seperti Ath-
Thabari, Ibnu Atsir, dan lainnya mengatakan bahwa Malik bin Nuwairah
bukan termasuk orang yang murtad. Hal ini berpijak pada apa yang
disampaikan oleh Umar bahwa Khalid telah membunuh kaum Muslim
(Malik bin Nuwairah dan kaumnya). Ibnu Qatadah bahkan menyaksikan
bahwa kaum yang dipimpin Malik bin Nuwairah mengumandangkan
azan dan bershalat sebagaimana Muslim yang lain. Atas dasar pertim-
bangan itu, Abu Bakar menebusnya dari harta baitulmal, yang menun¬
jukkan bahwa mereka adalah Muslim.10'5
Dengan demikian, di satu sisi Abu Bakar mengakui Malik bin Nuwairah
sebagai bukan termasuk orang murtad, tapi di sisi lain tetap melindungi
Khalid bin Walid karena telah membunuhnya sebagai sesama Muslim
dan langsung mengawini istrinya tanpa melewati masa iddah yang —

dapat disamakan dengan berzina adalah dua hal yang sukar dimengerti.
Kebijakan yang dibuat oleh Abu Bakar meskipun dikiaskan dengan con-
toh Sunnah Nabi Saw. namun dapat dipandang tidak sama kasus dan
nilai kesalahannya. Pada saat membunuh Malik bin Nuwairah, Khalid
juga melakukan perbuatan zina dengan memaksa menikahi istri Malik
sehari setelah kematian sang suami sehingga layak untuk dirajam
sebagaimana yang diminta oleh Umar bin Khattab, tetapi Abu Bakar tidak
melakukannya dengan dalih Khalid berijtihad dan salah. Sedangkan pada
saat melakukan kesalahan di zaman Nabi, Khalid tidak melakukan zina.
Di sini muncul ambiguitas penerapan hukum dari Abu Bakar terhadap
Khalid bin Walid.

.
105 Ibn Katsir, AlBiddyah wa an-Nihdyah, Sannah Ihda 'Asyrai al-Hijrah, Juz 9, h. 461
106 Ibn Atsir, Usud al-Ghabah fi Ma'rifat ash-Shabdbah. Juz 5, h. 48.
KhIlafah pada Masa Al-KhulafA' Al-Khambah 37

Selain itu, banyaknya kemurtadan dan penolakan membayar zakat


dari suku-suku Arab seperti digambarkan oleh Adz-Dzahabi, Ath-Thabari,
Ibnu Khaldun, Ibnu Hisyam, dan Ibnu Qutaibah, perkataan Aisyah di atas
merupakan peristiwa yang menggenapi peristiwa penting pada masa
kekhalifahan Abu Bakar sebagai khalifah pertama di Dunia Islam pasca-
Rasulullah wafat. Dapat dikatakan, pemerintahan Abu Bakar merupakan
prototipe yang menjadi contoh dan merupakan pijakan utama untuk
kekhalifahan-kekhalifahan setelahnya. Gelombang penolakan tersebut
menjadi pertanyaan besar. Apa motif yang melatari sebagian umat Islam
waktu itu?
Ada tiga kelompok umat Islam yang murtad saat itu: kelompok per¬
tama adalah mereka yang mengklaim kenabian; kedua adalah kelompok
yang meninggalkan Islam dan kembaii pada keyakinan mereka di zaman
jahiliyah; kelompok ketiga adalah pihak yang tidak mengakui pemerin¬
tahan Madinah yang dipimpin oleh Abu Bakar, namun masih menerima
Islam. Orang-orang ini tidak percaya pada kekhalifahan Abu Bakar, se-
hingga menolak membayar zakat.’07
Di antara suku-suku yang dianggap murtad, ada beberapa orang yang
tidak percaya pada Khalifah Abu Bakar dan lebih memilih untuk bersum-
pah-setia pada keluarga Nabi Saw. Mereka berkata bahwa Abu Bakar
tidak memiliki “kesetiaan” kepada mereka, sehingga tidak perlu menaati-
nya. Mereka yakin bahwa kaum Muhajirin dan kaum Anshar telah men-
cegah keluarga Nabi untuk memperoleh kekuasaan karena rasa in.106
Menurut riwayat yang dikisahkan Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi,
sebuah klan dari Kindah di Hadramaut semuanya murtad. Ziyad bin
Lubaid bertanggung jawab untuk mengumpulkan zakat di wilayah terse¬
but. Beberapa orang dari suku tersebut sepakat membayar zakat, sedang-
kan yang lain menolak. Ketika Ziyad memilih seekor unta milik Zaid bin
Muawiyah sebagai zakat, Zaid meminta bantuan dari salah seorang Bani

107 Lihat Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi, Kitab ar-Riddah. Beirut: Dai al-Arab al Imla'i.
1990, h.171. Lihat juga Rasul Ja'fariyan. The History ofChabph, Vb|. I, h. 30.
108 Muhammad bin 'Umar Al-Waqidi. Kitab ar-Riddah. h. 176.
38 KhIlafah

Kindah yang berpengaruh bemama Haritsah bin Suraqah. Haritsah me-


minta unta Zaid kepada Ziyad tetapi Ziyad tak mau memberi. Maka,
Haritsah sendiri mendatangi unta-unta yang diperuntukkan sebagai
zakat ini dan membawa kembali unta Zaid sambil berkata, “Kami taat
kepada Rasul Allah selama ia masih hidup. Hari ini, kami akan taat
kepada siapa pun dari keluarga (Ahlulbait) Nabi yang berkuasa. Abu
Bakar tidak berhak atas kepemimpinan dan kesetiaan dari kami.”
Ziyad bin Lubaid melarikan diri dari wilayah itu malam itu juga, dan
membuat beberapa syair yang menyatakan suku Kindah sebagai pelaku
kemurtadan. Dia berkata, “Kami akan memerangi kalian untuk membuat
kalian taat kepada Abu Bakar sampai kalian meninggalkan kekafiran dan
kemurtadan. Dan berkata bahwa kalian tidak akan pemah kembali pada
kekafiran.” Ziyad lalu pergi ke Madinah dan berkata, “Orang-orang
Kindah telah memberontak dan telah murtad.”109
Ada banyak rekam sejarah yang membuktikan bahwa kaum-kaum
yang dicap murtad, bukan hanya karena menolak membayar zakat tetapi
juga karena argumen penolakan terhadap kekhalifahan Abu Bakar
Shiddiq. Misalnya, selain kaum Kindah di atas, sekelompok penduduk
Yamamah percaya pada aturan membayar zakat, tetapi mereka menolak
untuk membayar zakat kepada Abu Bakar.
Mereka berkata, “Kami mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya
di suku kami dan membagikannya kepada orang-orang miskin dan yang
membutuhkan di antara kami sendiri, dan kami tidak akan membayar
apa pun kepada orang yang tidak dianjurkan oleh kitab dan hadis.”
Pernyataan pernyataan dan kejadian ini dicatat dalam Tarikh Ya’qubi. la
menulis, “Beberapa orang hanya menolak membayar zakat kepada Abu
Bakar”.110
Peristiwa penting lainnya adalah mengenai penolakan keluarga Nabi
Saw. untuk berbaiat kepada Abu Bakar hingga Fathimah putri Rasulullah

109 Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi, Kitab arRiddah, hh. 177-179.


1 10 Al-Ya’qubi, Tdrikh al-Ya'qubi. Vol. II, h. 128.
KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khamsah 39

Saw. wafat.1" Penolakan terhadap kekhalifahan Abu Bakar selain oleh


Fathimah juga dilakukan oleh dua figur terkemuka Bani Hasyim, yairu
Imam Ali bin Abi Thalib dan Abbas. Begitu juga oleh beberapa figur
sahabat penting lainnya seperti Zubair bin Awwam, Khalid bin Sa'id,
Miqdad bin Amr, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar, Bara’ bin
Azib, dan Ubay bin Ka'ab.112
Para sahabat pendukung khalifah Abu Bakar, yaitu Umar bin Khattab,
Abu ‘Ubaidah bin Jarrah, Mughirah bin Syu'bah dan Khalid bin Walid
mendatangi rumah Ubay bin Ka‘ab untuk meminta sumpah setia pada
Khalifah Abu Bakar, namun Ubay tidak membukakan pintu bagi mereka.
Lalu mereka mendatangi rumah Ali bin Abi Thalib ketika di rumah ter-
sebut sedang berkumpul beberapa orang sahabat. Mereka mendapat
tekanan dari Umar yang bemiat untuk memaksa baiat pada Abu Bakar.
Fathimah berziarah dan mengadukan hal itu di kuburan Nabi Saw.
dengan mengatakan, “Setelah engkau tiada, muncul berbagai peristiwa
yang jika engkau masih hidup untuk menyaksikannya, maka engkau
tidak akan pemah memberikan begitu banyak khutbah.”113

Khalifah Umar bin Khattab


Bernama lengkap Abu Hafsh Umar bin Khattab bin Naufal bin Abdul
*Uzza bin Rabah bin Abdullah bin Qarth bin Rizah bin Adi bin Ka’ab bin
Luay bin Ghalib. Memiliki panggilan Al-Faruq.114 Garis keturunan Umar
bin Khattab bertemu dengan garis keturunan Rasulullah dari jalur Ka‘ab
bin Luay. la berasal dari suku Bani Adi, salah satu bagian dari suku
Quraisy. Ibunya, Hantamah, adalah putri dari Hasyim bin Mughirah dari
klan Bani Makhzum. Bani Makhzum juga merupakan bagian dari suku

HI Ibn Qutaibah, Al Imdmah wa al-Siydsah. Vol. 1, h. 29 Uhat juga Ath Thabari, Tdrikh
al U mam wa al Miiluk (Tdrikh ath-Thabari). Vol. Ill, hh. 202-203; Lihat juga Baladzuri.
Ansab al-Asyraf. Vol. I. h. 586.
1 12 Al-Ya'qubi, Tdrikh al-Ya'qubi. Vol. Il, h. 124.
1 11 Ibn Qutaibah. Al lmdmah wa al-Siydsah, Vol. 1, h. 31.
1 14 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulqfd', h. 101.
40 KhIlafah

Quraisy dan sekutu dari Bani Umayah di zaman jahiliyah.115 Ketika putri-
nya, Hafsah, menjadi istri Nabi, Umar memiliki tempat tersendiri dan
hubungannya dengan Rasulullah semakin dekat.
Umar bin Khattab r.a. menjadi khalifah kedua setelah Abu Bakar me-
ninggal dunia dikarenakan sakit. Proses suksesi Umar menjadi khalifah
melalui cara penunjukan langsung dari Abu Bakar melalui surat wasiat
yang ditulisnya di saat beliau sakit sebelum wafat. Hal tersebut berbeda
dengan cara Abu Bakar dalam menduduki kursi kekhalifahan yang di-
lakukan dengan cara musyawarah antara Muhajirin dan Anshar.
Abu Bakar sangat memercayai Umar sebagai salah seorang sahabat
Nabi yang banyak disebut dalam hadis mengenai kemuliaannya untuk
melanjutkan kekhalifahan. Alasan Abu Bakar tersebut dapat dilihat dari
pemyataannya, “Aku menunjuk Umar untuk melanjutkan kedudukanku
karena aku takut meledaknya ketegangan dan kemunculan masalah-
masalah setelahku.”11'’
Sebelum penunjukan Umar, Abu Bakar meminta pertimbangan Abdur¬
rahman bin Auf. Abdurrahman bin Auf berkata, “Umar itu orang yang
mudah marah.” Abu Bakar menjawab, “Dia terlihat seperti itu agar kon-
tras dengan kelembutan hatiku. Dia akan tenang ketika ia berkuasa.”117
Abu Bakar juga meminta pertimbangan Utsman bin Affan. Utsman
selalu hadir di sisi tempat tidur Khalifah selama sakitnya. Abu Bakar me-
mintanya untuk menuliskan persetujuan suksesi khalifah kepada Umar.
Pada saat Utsman menuliskan pendahuluan persetujuan, Abu Bakar ping¬
san dan Utsman menyelesaikan surat persetujuan itu dengan menuliskan
nama Umar bin Khattab di dalamnya. Setelah sadar kembali, Abu Bakar
meminta Utsman membacakan apa yang telah ditulisnya. Utsman pun
membacakan dan kemudian Abu Bakar menyetujui.118

115 Al-Mas’udi, Murudz adz-Dzahab, Vol. II, h. 321.


116 Ibn Saad, Ath-Tbahaqat al-Kubra, Vol. Ill, h. 200.
117 Ibn Sa’ad, Ath-Tbahaqat al-Kubra, Vo). Ill, h. 200.
1 18 Ath-Thabari. T&rikh al-Umam wa al-Muluk (Tdrikh ath-Thabari) . Lihat juga Ibu Sa’d,
ath-Thabaqat al-Kubra, Vol. Ill, h. 200.
KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khamsah 41

Setelah kejadian itu, Thalhah datang kepada Abu Bakar dan berkata,
“Engkau menyaksikan bagaimana Umar bersikap di sisimu dan dengan
kehadiranmu. Maka, kami tidak tahu apa yang akan dia lakukan tanpa-
mu.” Abu Bakar begitu marah dengan keberatan ini.”9 Dari sumber lain
menyatakan bahwa penduduk mengadukan keberatannya kepada Abu
Bakar karena telah memilih pemimpin sosok seorang pemarah untuk
memimpin mereka.119 120 Menurut Ibnu Abdil Barr, Abu Bakar bertanya
kepada Mu’aiqab Rusi tentang pendapat masyarakat berkenaan dengan
penunjukan Umar bin Khattab oleh Abu Bakar dan ia menjawab, “Se-
bagian puas dan sebagian tidak.” Abu Bakar bertanya, “Kelompok mana
yang jumlahnya lebih besar?” Mu’aiqab menjawab, “orang-orang yang
tidak puas.” Abu Bakar berkata, “Kebenaran mula-mula selalu menun-
jukkan wajah buruknya, tetapi pada akhimya ia adalah pemenangnya.”121
Keputusan Abu Bakar yang menunjuk Umar bin Khattab sebagai kha¬
lifah merupakan catatan tersendiri, di mana hal ini seperti dikatakan oleh
Rasyid Ridha, memunculkan konsep khilafah secara turun-temurun di
masa Bani Umayah.122 Hal tersebut karena khilafah dilakukan dengan
cara wasiat atau penunjukan langsung dari khalifah sebelumnya kepada
khalifah baru. Pernyataan tertulis Abu Bakar secara praktis menunjuk
Umar sebagai khalifah. Oleh karena itu, kesetiaan penduduk (masyarakat)
tidak berpengaruh dalam pemerintahannya. Pada masa itu, sikap setuju
atau tidak setuju masyarakat tidak lantas sebagai suatu indikator penting
untuk mencegah seseorang menjadi khalifah.
Khalifah Umar bin Khattab r.a. menjalankan roda kekhalifahan Islam
kedua dengan ciri tersendiri, yaitu mengedepankan ketegasan sebagai
konsekuensi dari sifat ketegasan dirinya secara personal. Pada hari per-
tama khilafahnya, Umar berkata, “Ya Allah, aku ini lekas marah. Lurus-

1 19 Ath I habari. Tdrikh al-Umam wa al Muluk (Tdrikh ath-Thabari). 111, h. 433.


120 Abu Bakar al-Khallal, AvSunnuh, h. 275.
121 Ibn Qutaibah. Allmdmah wa al Siyasah. Vbl 11, h. 38
122 Rasul Ja’fanyan, Para Pemimpin Islam, h. 79.
42 KhIlafah

kanlah tingkah lakuku.”123 Tak seorang pun berani mengajukan pertanya-


an kepada Umar dan mereka lebih memilih mengutarakannya melalui
Utsman atau orang lain.124 Umar juga menjadikan kriteria ketegasan
sebagai kriteria dalam memilih pejabat-pejabatnya. Umar tidak menun-
jukkan belas kasihan pada para pembangkang, tidak peduli dari suku
mana mereka berasal. Umar juga adalah khalifah yang selalu membawa
cambuk atau tongkat dirrah di tangannya.125
Masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab adalah masa ekspansi
dan penaklukan besar-besaran. Daerah penaklukan meluas sampai men-
dekati Afghanistan dan Cina di sebelah timur, Ttinis dan sekitamya di
Afrika Utara di bagian barat, Anatolia dan Laut Kaspia di Utara, dan
kawasan Nubia di selatan. Umar juga berhasil menaklukkan Persia, Mesir,
Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, dan
Kufah.
Khalifah Umar bin Khattab r.a. dalam menjalankan kekhalifahannya
juga mempraktikkan musyawarah, atau yang sering disebut dengan sis-
tem demokrasi, bahkan lebih condong ke sistem republik. Dibentuk sis-
tem perwakilan (dewan) dari berbagai suku, semacam parlemen. Untuk
mendapatkan pemecahan dari berbagai masalah keumatan, Umar kerap
melakukan konsultasi atau meminta pendapat dari para sahabat lain.
Misalnya dalam penenruan penanggalan Islam, Umar meminta pendapat
Ali bin Abi Thalib, dan beliau menerapkan pemikiran Ali mengenai pe-
nentuan penanggalan Islam berdasarkan hijrah Nabi Saw. Umar juga
meminta pendapat para sahabat tentang penulisan hadis Nabi Saw.l2b
Umar bin Khattab menjadi khalifah Muslim kedua selama 10 tahun
yang kemudian berpindah kepada Utsman bin ‘Affan dengan pola sistem

123 Ibn Qutaibah, Al hndmah iva Siydsah, Vol. II, h. 40.


I.’ I Rasul Ja'fariyan, Para Pemimpin Islam, h. 82.
1 25 Ibn Atsir, AbKamil fi at-Tirikh. Vol. IV. h. 209. Lihat juga As-Suyuthi, Tarfkh al-Khulafd'.
h. 137
1 26 Ibn Atsir, AbKamil fi at-Tdrikh, Vol. IV h. 227.
KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khamsah 43

suksesi yang diterapkan berbeda dengan yang teiah dilakukan oleh Abu
Bakar kepada Umar.
Periode kekhalifahan Umar bin Khattab merupakan masa-masa pen-
ting yang menenrukan kehidupan dan kebudayaan Islam yang berpenga-
ruh hingga saat ini. Berbagai kebijakannya, yang sama sekali baru, dan
tidak sama dengan apa yang dipraktikkan pada masa Rasulullah Saw.
merupakan ciri khas dari kekhalifahan Umar bin Khattab.
Al-Askary mengatakan, sebagaimana dikutip oleh As-Suyuthi, bahwa
Khalifah Umar adalah khalifah pertama yang disebut dengan panggilan
Amirul Mukminin, orang pertama yang menentukan sistem penanggalan
kalender Islam dengan bermula dari peristiwa Hijrah, orang pertama
yang menggagas Shalat Tarawih pada bulan Ramadhan, orang pertama
yang menjatuhkan hukuman 80 cambuk bagi peminum khamar, orang
penama yang mengharamkan nikah mut‘ah, orang pertama yang mela-
kukan shalat jenazah berjamaah dengan empat takbir, orang pertama
yang membentuk dewan dari berbagai suku, dan orang penama yang
membentuk baitulmal.127
Hal itu dikarenakan Umar menganggap dirinya memiliki otoritas
untuk menentukan hal-hal baru yang tidak ada pada zaman Nabi Saw.
Dalam riwayat Bukhari, Muslim, dan yang lain, Abu Hurairah pemah
menyatakan bahwa Nabi Saw. bersabda, Ada orang-orang di antara Bani
Israil yang menerima wahyu tanpa menjadi seorang nabi. Jika ada orang
seperti itu di antara umatku. maka orang itu pastilah Umar." (HR Bukhari
dan Muslim).
Dikisahkan dalam Tarikh Thabari, Imran bin Sawab be r kata, “Aku
menjalankan Shalat Shubuh dengan Umar dan kemudian mengikutinya.”
Dia bertanya, “Apakah kau punya keperluan?” Aku menjawab, “Ya,
sebuah nasihat." Dia berkata, “Hebat. teruskan!” Aku berkata, “Penduduk
menemukan kesalahan-kesalahan pada dirimu dalam beberapa hal.”
Sambil memegang cambuknya di bawah dagunya, Umar berkata, “Lalu?”
Aku berkata, “Kau telah melarang haji tamattu' selama bulan haji.

127 As-Suyuthi, Tdrikh at-Khula/d', hh. 125-126.


44 KhIlafah

sedangkan Nabi Muhammad berkata hal itu diperbolehkan; Abu Bakar


pun tidak bertindak seperti engkau.” Umar berkata, “Itu untuk menunjuk-
kan pada manusia bahwa mereka tidak terbebas dari haji yang wajib
dengan melakukan umrah.” Aku bertanya, “Kau telah menghapuskan
nikah mut'ah, sedangkan Nabi Saw. mengizinkannya?” Umar berkata,
“And zamil Muhammad, aku sejajar dengan Muhammad.’’128
Kata zamil dalam perkataan Umar di atas bisa dimaknai dengan mak-
sud “sejajar atau sederajat dengan Nabi Muhammad". Zamil secara
umum berarti “teman sekelas”, dan di masa lalu, penggunaannya meru-
juk pada dua orang yang mengendarai unta, masing-masing duduk di
sisi yang berbeda, atau dua orang yang mengendarai dua unta yang
berbeda.129 Dalam Mu jam al-Wasith disebutkan, kata zamil bermakna
seseorang yang bekerja bersama dengannya dan memiliki derajat yang
sama.130 Dengan kata lain, jawaban Umar ini cenderung hendak menga-
takan bahwa posisi dirinya setara dengan Nabi dalam memutuskan hu-
kum.
Ibnu Abbas berkata, “Di masa Nabi dan Abu Bakar dan dalam dua
tahun masa khilafah Umar, jika seseorang menceraikan istrinya tiga kali,
maka akan dianggap satu kali, tetapi Umar menganggapnya tiga per-
ceraian.”131
Salah satu inisiatif Umar yang memiliki peran penting dalam menge-
lola sistem kepemimpinan dan mendirikan pemerintahan adalah pem-
bentukan “Dewan” pada tahun ke-20 H.132 Nabi Muhammad Saw. adalah
pionir dalam pendataan nama-nama umat Islam, khususnya tentara.133
Umar memerintahkan pendataan para sahabat dan mengklasifikasikan

128 Thabari, Tdrikh ath-Thabari, Vol. IV h. 225. Umar bin Khartab berkata:
. UI
129 Rasul Ja’fariyan, Para Pemimpin Islam, h. 105.
130 Mu jam AMVasit/i, Maktabah asy-Syuruq ad-Dauliyyah. 2004, dalam makna kata
zamil.
131 Shahih Muslim, Vol. I, h. 196.
132 AlYa'qubi. Tdrikh al-Ya'qubi, Vol. II, h. 153.
13’ Thabari, Tdrikh al Umam wa al Mttliik (Tdrikh ath-Thabari), Vol. IV h. 209.
KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khambah 45

mereka berdasarkan asal suku dan catatan keagamaan mereka. Lalu, ia


membagi harta rampasan yang diperoleh selama masa penaklukan.
Umar bin Khattab mulai dengan pembagian terhadap keluarga dari
Bani Abdu Manaf: Ali bin Abi Thalib mendapatkan pembagian sebanyak
lima ribu dirham, Hassan dan Husain bin Ali masing-masing mendapat
sebanyak tiga ribu. Lalu terhadap keluarga Bani Abbas sebanyak tiga ribu
dan bagi setiap sahabat yang syahid dari suku Quraisy di Perapg Badar
sebanyak tiga ribu. Keluarga dari sahabat kaum Anshar yang syahid pada
Perang Badar mendapat bagian sebanyak empat ribu, para petinggi
Makkah dari suku Quraisy seperti Abu Sufyan dan Muawiyah mendapat
bagian lima ribu. Istri-istri Nabi pun mendapat bagian: Aisyah, Ummi
Habibah, dan Hafshah masing-masing sebanyak enam ribu, Shaflyah dan
Juwairiyah masing-masing sebanyak lima ribu. Umar bin Khattab sendiri
mendapat bagian sebanyak empat ribu, adapun anaknya, Abdullah bin
Umar, mendapat bagian sebanyak lima ribu.1M
Kebijakan Nabi dan Abu Bakar berbeda dengan kebijakan Umar, yaitu:
mereka berdua membagi orang-orang secara sama rata, sedangkan pem¬
bagian Umar didasarkan pada perbedaan suku dan catatan keislaman
penduduk. Seperti terlihat dari jumlah pembagian yang disebutkan da-
lam Al-Ya’qubi di atas, untuk masing-masing golongan berbeda bagian-
nya. Pertimbangan nilai dan pembedaan pemberian tidak disebutkan
secara jelas kategorinya. Bani Abbas dan suku Quraisy yang syahid di
Perang Badar mendapatkan bagian terkecil dibandingkan dengan para
petinggi Makkah dan para istri Nabi. Ini merupakan hal baru yang dite-
rapkan Umar dan tidak pemah diterapkan sebelumnya, baik pada zaman
Nabi maupun pada zaman Abu Bakar.
Umar keberatan pada Abu Bakar karena menerapkan kesetaraan.
Tindakan khalifah ini, akhirnya, mengarahkan pada menguamya kelas-
kelas kesukuan yang digunakan oleh bangsa Arab, sehingga suku tertentu
mengklaim superioritasnya atas suku-suku yang lain. Disebutkan dalam
Tarikh Al-Ya’qubi, bahwa di akhir hidupnya, Umar meragukan sendiri

1 34 Al-Ya'qubi, Tdrikh al Ya’qubi, Vol. H, hh. 44-45.


46 KhIlafah

keadilan metode ini dan berkata bahwa jika saja ia hidup lebih lama, ia
akan benindak sama (adil) pada semua orang. “s
Umar bin Khattab menjadi khalifah selama 10 tahun lebih dan
meninggal dunia pada tahun ke-23 Hijriah. la dibunuh oleh Abu Luluah
pada saat Shalat Shubuh.1'6

Khalifah Utsman bin ‘Affan


Memiliki nama lengkap Utsman bin ‘Affan bin Abi Al Ash bin Umayah
bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin
Ka ab bin Luay bin Ghalib. Lahir pada tahun keenam setelah peristiwa
al-Fil (penyerangan pasukan gajah ke Masjid al-Haram)?
Utsman bin Affan terpilih melalui Dewan Syura yang dibentuk oleh
Umar bin Khattab. Dewan Syura ini terdiri dari 6 (enam) orang, yaitu
yang diprioritaskan dari kalangan sahabat yang mengikuti Perang Badar.
Keenam orang tersebut adalah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa‘ad bin Abi Waqqash, dan
Abdurrahman bin Auf. Umar memberikan tanggung jawab (ketua) atas
pemilihan ini kepada Abdurrahman bin Auf untuk memilih salah satu di
antara keenam orang ini.1 w
Selain membentuk Dewan Syura. Umar pun menyusun mekanisme
pemilihan khalifah setelahnya di antara keenam orang yang ditunjuk,
sebagai berikut:
a. Jika lima orang memilih seseorang dan ada satu orang yang tidak
setuju, maka dia harus dipenggal.
b. Jika terdapat dua orang tidak setuju, keduanya harus dibunuh.
c. Jika tiga orang setuju dan tiga orang tidak setuju, maka mereka hams
setuju dengan keputusan Abdullah bin Umar, dan jika mereka tidak

1 J3 TArikh al-Ya'qubi, Vol. II. hh. 45-46. Umar berkata:


j- »—!’ • y* J
£ ± y.
) Jo Thabari, Parikh al-Umam wa al Muh'ik (Tdrikh ath-ThabaiT), Vol IV, h. 212.
Ir Jalaluddin As-Suyutht, Tdrikh al Kuhalafa'. h 136.
I 3k Al Baiadzuri. Anxab al -Asyraf, Vol. IV h. 500
Khilafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khambah 47

menerimanya, maka kelompok yang di dalamnya ada Abdurrahman


bin Auf adalah yang disepakati. Dan jika tiga orang lain udak semju
dengan mereka, maka mereka harus dibunuh?”

I ima puluh orang dari kaum Anshar bertugas untuk mengontrol dan
mengawasi pelaksanaan wasiat ini?40 Peran Abdullah bin Umar dalam
Dewan Syura adalah aspek konsultatif. Tetapi, ia sendiri udak bisa mpn
jadi kandidat untuk khalifah, karena dinilai tidak tegas. Seperti diungkap
kan Umar, Abdullah bin Umar bahkan tidak bisa sekadar memutuskan
untuk menceraikan istrinya?41 Di luar semua itu, Umar berkata bahwa
umsan ini adalah untuk “orang-orang Badar"?42
Kemudian setelah pembentukan Dewan Syura. para sahabat tersebut
bermusyawarah. Setelah melewati perdebatan panjang, dalam musyawa-
rah tersebut disepakati 2 orang di antara mereka untuk dipilih sebagat
khalifah pengganti Umar bin Khattab, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib.
Abdurrahman bin Auf berkata kepada Utsman bin ‘Affan dan Ali bin
Abi Thalib, “Siapa pun yang dtangkat sebagai khalifah nanti, ia hams
berlaku adil dan siapa pun yang dipimpin hams mendengar dan taat."
Keduanya menjawab “Ya” sambil Abdurrahman bin Auf menyebutkan
keutamaan kedua sahabat tersebut. Mereka berdua pun akhtmya berpi-
sah dan musyawarah tersebut menghasilkan 2 calon khalifah.
Selanjutnya, Abdurrahman bin Auf meminta pendapat kepada semua
orang. Hal ini ia lakukan selama tiga han. semuanya sepakat untuk
mengangkat Utsman bin ‘Affan sebagai khalifah kecuali dua orang yang
berbeda pendapat, yaitu yang menginginkan pengganti Umar bm Khattab

I w Ibn Atsit. 41 KAmtl ft at Tdrfkh. Vol IV h. 229


I io Jnlaluddm 4' Suvutht, rdnkh al KhulnfH , h 140.
i ll Ibn Sad. 4th IhabuQdt al Kubnt Vol Ill, h. 343. Uhm jug* Ath Thaban. TArfkh ath
Thabari. Vol IV h 2bS. Ibn Qutaibah. Al-hndmoh m> Stydioh. Vol I. h 43
1 12 Ibn Khaldun, Tdrfkh Ibn Khaldun, Vol. III. h 4S4. Ibn Quutbah. 41 Itndmah mi Stvdsoh.
Vol 1. h 43
48 KhIlafah

adalah Ali bin Abi Thalib. Kedua orang sahabat tersebut adalah Ammar
bin Yassir dan Miqdad.143
Setelah semuanya dimintai pendapat oleh Abdurrahman bin Auf,
maka di hari keempat Abdurrahman bin Auf mengadakan pertemuan
dengan menghadirkan Utsman dan Ali di rumah Miswar bin Makhramah
yang tak lain adalah anak dari saudara perempuan Abdurrahman bin
Auf. Kemudian Abdurrahman bin Auf menjelaskan bahwa masyarakat
tidak ada yang menolak mereka berdua. Kemudian Abdurrahman bin Auf
mengumpulkan semua orang di masjid sampai berdesakan. Kemudian
Abdurrahman bin Auf menyampaikan pidatonya dan berdoa di atas mim-
bar Rasulullah Saw. Dalam pidatonya Abdurrahman bin Auf berkata:
“Wahai manusia, sesungguhnya saya telah menanyakan kepada kalian
tentang siapa yang paling dipercaya untuk dapat mengemban amanah
sebagai khalifah (pengganti Umar bin Khattab). Lalu saya melihat semua
menghendaki dari dua sahabatku ini, yaitu Utsman dan Ali."
Abdurrahman bin Auf kemudian memanggil Ali bin Abi Thalib. Ali
berdiri dan mendekatinya, Abdurrahman bin Auf menjabat tangan beliau
seraya bertanya, “Apakah kamu berbaiat kepadaku atas dasar Kitab Allah,
Sunnah Nabi, perbuatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab?” Ali menja-
wab, “Sesuai usaha dan kemampuanku untuk itu.” Lalu Abdurrahman
bin Auf memanggil Utsman bin ‘Affan dan menjabat tangannya seraya
bertanya, “Apakah kamu berbaiat kepadaku atas dasar Kitab Allah,
Sunnah Nabi, perbuatan Abu Bakar dan Umar bin Khattab?” Utsman
menjawab, “Ya.”'44
Dari sumber yang lain disebutkan, Ali menolak syarat baiat yang
diajukan Abdurrahman bin Auf dengan jawaban, “mengenai Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul, saya akan mengikutinya dengan penuh keimanan dan
kerendahan hati; namun, mengenai pcraturan-peraturan dan keputusan-
keputusan Abu Bakar dan Umar apabila sesuai dengan Al-Qur’an dan

143 Ibn Sa'd, ath-Thabaqai al-Kubra. Vol. Ill, h. 344. Lihat juga Ibn Qutaibah, Allmamah
wa Siy&sah, Vol. I, h. 43.
144 Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh al-Khulqfd', h. 141.
KhIlafah pada Masa Al-KhulafA ' al-Khambah 49

Sunnah, maka siapa yang dapat menolaknya. Tetapi, apabila benentang-


an dengan Al-Qur’an dan Sunnah, siapa yang akan menerima dan meng-
ikutinya? Saya menolak peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan
tersebut."145
Setelah mendengarkan jawaban dari keduanya, Abdurrahman bin Auf
kemudian mengangkat kepalanya ke arah atap masjid dan meletakkan
tangannya di tangan Utsman sambil berkata: “Ya Rabb, sesungguhnya
aku telah melepaskan amanat yang terpikulkan di atas pundakku dan
telah kuserahkan ke atas pundak Utsman.”146 Setelah itu, orang-orang
yang hadir pada waktu itu berdesak-desakan dan berebut untuk mem-
baiat Utsman bin Affan sebagai khalifah ke-3 menggantikan Umar bin
Khattab dan menjabat selama 12 tahun.147
Sosok Utsman berbeda jauh dengan sosok Umar. Kepribadian Utsman
lembut (layyin). Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa masyarakat menya-
lahkan kinerja-kineija Utsman, padahal jika hal itu dikerjakan oleh Umar
bin Khattab, maka mereka tidak menyalahkannya. Hal itu karena masya¬
rakat takut terhadap Umar. Namun, Utsman berbeda, banyak menim-
bulkan protes secara terang-terangan terhadapnya.148
Utsman dinilai melakukan hal-hal yang salah, namun tidak salah jika
dilakukan oleh Umar. Utsman sendiri pemah menyampaikan di mimbar
di awal-awal permulaan protes dan mengatakan. “wahai orang-orang
Muhajirin dan Anshar, demi Allah, kalian menyalahkan perbuatan-
perbuatan saya, yang semestinya kalian perlakukan juga kepada putra
Khattab, namun ia telah mengenyahkan dan membasmi kalian semua.
tetapi tidak ada seorang pun dari kalian yang beraru menatapnya dengan
mata kalian.”149

145 A) Ya'qubi, Tdrikh AlYa'qubi. Vol. 1, h. 162; Uhat juga Ath Thaban. Tdrikh ath Thaban.
Vol. III. h. 297; Ibnu al Alsu. Al-Kdnnl fl at-Tdrikh. Vol. UI. h. 37.
146 Ibn Sa d, ath Thabaqat al-Kubra, Vol. 111. h. 344.
14' As Suyuthi, Tdrikh al Khulqfil'. h. 13.
148 Ibn Qutaibah. Allmdmah wa Siydsah. Vol. 1. h. 4«.
149 Ibn Qutaibah. Al lmdmah wu Siydsah. Vol. I. h. 46.
50 KhIlafah

Utsman menjabat sebagai khalifah dengan melewati dua tahapan


penting dalani pemerintahannya. Tahapan pertama ia populer, lalu
tahapan kedua ia meredup. Di sini keadaan politik berbalik mundur.
Timbul gejolak politik, huru-hara silih berganti, petisi dan intrik mera-
jalela yang kemudian membuahkan pembunuhan dirinya pada hari
Jumat, 8 Dzulhijjah tahun 35 H. Pada saat itu, Utsman sedang membaca
Al-Qur’an, sehingga bajunya berlumuran darah.150
Kemsuhan yang berlanjut dengan pembunuhan Utsman, berawal dari
sistem kepemimpinan Khalifah Utsman yang dinilai tidak adil dan tidak
bijaksana. Selama Utsman berkuasa, ia banyak mengangkat kerabatnya,
seperti Marwan bin Hakam yang selanjutnya mengangkat pula orang¬
orang Bani Umayah lainnya sebagai pejabat tinggi dan penguasa negara.
Selain itu, Utsman mengangkat pula Muawiyah sebagai gubemur di
Syam, dan Abdullah bin Sa'ad bin Abi Surrah menjadi Wali Negeri Mesir.
Muawiyah dikenal sebagai musuh Rasulullah yang paling ganas pada
Perang Uhud. Sedangkan Abdullah bin Sa‘ad pemah mengubah kata-kata
wahyu yang didiktekan Rasulullah pada saat ia menjadi sekretaris
Rasulullah.151 Orang yang demikian justru diberi kedudukan oleh Utsman.
Sebab-sebab yang menimbulkan kerusuhan dan membawa petaka
terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan, disebutkan oleh Abu Zuhrah
sebagai berikut:
a. Utsman terlalu berbaik hati kepada pembesar-pembesar Muhajirin
dan para pejuang angkatan pertama dari kalangan kerabatnya.
b. Utsman terlalu memercayai kerabatnya— meskipun hal demikian ti¬
dak berdosa dan tercela sampai-sampai Utsman menyerahkan urusan
pemerintahan kepada mereka, termasuk meminta pendapat tentang

ISO Ath Thabari, Tdrikh al-Umam wa al-Muluk (Tdrikh aih-Thabari), Vol. V hh. 413-414.
Lihat juga Ibn Qutaibah, Allmdmah wa Siydsah. Vol. I, h. 147.
151 Lihat Ibn Atsir,al-Kamil fi at-Tarikh, vol. V, h. 369. Ibn Atsir mengarakan bahwa
Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sunah adalah saudara sesusu Utsman bin Affan. la sahabat
yang sering mencatat wahyu sekehendak hatinya. Misalnya ketika Rasulullah
mendiktekan ‘azizun hakim', maka ia nienuliskannya dengan sebutan ‘alimun hakim'.
Lihat juga Ibn Taimiyyah, Ash-Sharim al-Maslul ‘ala Syatimi ar-Rasul, t.p., 1403
H/198.3 M, h. 115.
KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khamsah 51

permasalahan pemerintah yang tengah dihadapi. Sedangkan mereka


bukan termasuk orang yang dapat dipercaya.
c. Akibat Utsman banyak menyerahkan urusan pemerintahan kepada
kerabatnya, akhirnya yang menangani masalah-masalah penting
pemerintahannya adalah orang-orang yang sama sekali belum kuat
keislamannya.
d. Utsman terlalu lemah kepada para bawahannya, sedangkan bawahan-
nya itu sebagian tidak berlaku adil, yang menyebabkan rakyat merasa
tidak puas.
e. Sebagai sebab yang paling fatal adalah adanya orang-orang yang

dendam atas Islam mereka masuk Islam luarnya saja, sedangkan
dalam hatinya kafir.152

Sebagai akibat dari sistem politik yang dijalankan Utsman (nepotisme)


timbul reaksi yang kurang menguntungkan bagi Khalifah Utsman khu-
susnya dan pelajaran bagi umat Islam pada umumnya. Sahabat-sahabat
Nabi yang pada mulanya menyokong Utsman, akhirnya berpaling men-
jadi melawannya.
Sementara itu, pengaduan-pengaduan dari setiap wilayah kekuasaan
Utsman berdatangan ke Madinah. Namun, pengaduan-pengaduan terse-
but kurang diperhatikan, bahkan banyak yang ditolak. Bersamaan dengan
itu terdapat gerakan massa yang terdiri dari 12.000 orang yang diketuai
oleh Muhammad, putra Khalifah Abu Bakar datang ke ibu kota untuk
menyampaikan keberatan-keberatan kepada Khalifah Utsman. Mengha
dapi huru-hara dan gejolak politik seperti itu, Utsman pemah meminta
nasihat kepada Ali bin Abi Thalib dan Ali mengatakan kepadanya agar
berjanji untuk memperhatikan dan mengindahkan segala usul dan protes
mereka dengan sebaik-baiknya. Namun, usul dan nasihat Ali tidak ia
hiraukan. Pihak Utsman malah mengirim surat kepada kepala daerah di
Mesir, Abdullah bin Sa ad bin Abi Surrah, yang isinya memerintahkan

1 52 l.ihat Allmam Muhammad Abu Zuhrah, Thrikh al-Madtahib allikmiyyah. Beirut. Dar
al Marifah. 1997. hh. 26-29.
mpmhmmh mknh mknh MpMi ihhni ppi|fthnmi moi^lm phImhm HrtH
Iviapi wiumiil dmI mMiphn MH Ml imaplml, kethu
dWH kmnlMh kp Mmllmdi lain iimiiibtunih hh»ilir»ih Iihhimii ' 1

IBM11*11 HlungakhlH IIIrtM kpkllfllltrtlimiUVM kfllPlld Im Immili Mpiijadl


kludifah hlam Mm#* wdama IJmhim Inlanliiikaii nidi All bln Abi llidlb
skmjtcm iviak |Hmnlih«m viiig hribvda

Khulifuh AU bin Abi Tiuillb


Ah hm Ahi I hahb mrimhki nama Irngkap All bin Ahi I hulih bin Abdul
Mmhahh bin I nn bin Abdu Manat Inn Qushay bin Kilab bin Munah
tun Ka ah bin I ua\ tun Ghalib bin Hhi bin Malik bin Nadin bln Kinanah ,M
Ihgrlaii olrh Nabi dengan srbmaii Aim al Hassan dan Abu huab
Ibunya bernama Huhimah binii Asad bin llasvim, scbagai wanna perlama
dan suku Hani Hasyim, yang memrluk Islam dan ikut brthijiah brisama
Nabi sr lama masa hidiipnya. "n
Ah bin Abi Ihalib mriupakan sahih seoiang sahabai yang awnl masuk
Islam (uxMibu/dn). bahkan seperti disebutkan oleh Ibnu 'Abbas, Anas,
Zaid bin Aiqam, dan Salman al I'm ini, bahwasanya Ah bin Abi Ihalib
merupakan orang pertama yang masuk Islam, innahu awwalu man
aslama. frndapat ini merupakan pendapat yang banyak diynkini oleh
ahh sejarah menurut As Suyuthi.,s Adz Dzahabi dalam kiiabSmir A'lam
an Nubala. menyebutkan dengan mengutip hadis dari Ibnu Abbas dan
Al Quiadhiyy, bahwa Ali bin Abi I halib masuk Islam sebelum Abu Bakar
r.a.,M‘

Aih Thahaii, I'dnVi ul Umum hw al Muluk (Tdrikh ath Thabari). Vol. V, h. 40b Uhnt
juga Ibn Quiaibah. Al Imdmah w-a al Stydsah, Vol. I. h. 149

i >4 Thabari, Tdrikh al-Uniatn hxi al Muldk (Tdrfkh ath Thabari), Vol V h. 153.
I Adz Dzahnbi, Siyar A'ldm An Ntihald'. Siyar al Khulafa ar Rasyidun. Beirut: Munssasah
Al RiMlah, 1417 H. Cetakan I. h. 22b.
I >6 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafd’. h 150.
I <’ Jalaluddin As Suyuthi, Tdrikh aTKhutafd', h. 150.
i >K Adz Dznhabi. Siyur A'ldtn An Nubald': Siyar aT Khulafa ar Rasyidun. h. 228.

J
hH Mbt Mao At Amit At A At &MAM6AH W

Iililw^flihn 4wH Mm hli* b*bw* ^a AM bWi AM fMA* t*A* *«*


hm«<4 hl«»m riilrilwh pmfa u^ia a«poMi MlMM, *4* 7*>*Z
bt ihbiho MbMH, min jug* yriitg
4^rAfi uMmx 4mm *4# y*H%
nit ngrilrikMM kblh iiiuda drill MM y^MAAtt Mm WM MM mM4i
Ibiui ‘m ud yniig HivH&HaltrtH bril MUMpM
All bin Abi Ihdlb memilikl ImmUIuhmm k#kidM#flpWM» drngmi HWm
M bd^nl rilidk drill pritllrin NiMH, Al/U IMlb o4/»gril
N.iln, nirnihih dengan pum hubuiulhh, twfnmMh Az MwgMi
iihiiht dikullp oleh Jdlaluddni As buymh) daiam Idrfkh al khuLafd brr

d.uiiikan kruo«niK<ni dan banyak bahabaf Nabi, Mi bin Abi Th«hb


meiupakan sahabut pHihan yang terkenal dengan krtuiggum ilmunya,
priiibt niiH, zuhud, pembuari yang lantang, fauh, dan sahh seofang
prngumpul na^kah Al Qur'an.,M
Kruiumaan Ali bin Abi Thalib r.a. banyak terdapat di dalam hadn.
Salah satunya sepcrtl yang dinwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, ^'idak
udii worann pun yang dupat menandingi keutamaan All bin Abi Ibalib/
I ladis lersebut diriwayatkan juga oleh Al Hakim. w
Balam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibrmudzi, dinukil dan per
kataan Zaid bin Arqam, Nabi Saw. bersabda, "Stapa yang menjadikan aku
st bagai pemimpinnya, maka jadikan Ali sebagai pemimpinnya
juga. " Hadis
ini seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah,
I habrani dari pcrkataan Abdullah bin Umar, menyebutkan bahwa hadis
tcrsebut ditambah dengan redaksi, “Ya Allah, lindungilah siapa sajayang
mcnjadikan Ali sebagai pemimpinnya dan celakakanlah orang yang memu-
suhiiiya,”'^

I S9 Adz. D/ahnbi, Siyar Aldm An NubaW. Siyar al Khulafa ar Rasyidun. h. 227.


Ino Ibn Atsir, Al Kdnul fl a(-TArtkh. Vol. 11, h. 747.
ini Jalaluddin As Suyuthi, Tdrfkh al Khulafd', h. 150.
162 Jalaluddin As-Suyuthi, 7dnkh al Khulafd', h 151.
16» Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, Vol. IV, h. 372; Adz Dzahabi, Siyar A'ldm An
NubaM': Siyar al Khtdafci ar Ratyidun, h. 231, mengatakan hadis ini sahih; Uhat juga
Jalaluddin As Suyuthi. Tdrlkh al Khulafd'. h. 152
52 KhIlafah

agar membunuh tokoh-tokoh Mesir dalam perjalanan mereka pulang dari


Madinah. Tetapi, seorang dari mereka menangkap surat tersebut, kemu-
dian kembali ke Madinah, lalu membunuh Khalifah Utsman?”
Utsman mengakhiri masa kekhalifahannya karena terbunuh. Menjadi
khalifah Islam ketiga selama 12 tahun. Dilanjutkan oleh Ali bin Abi Thalib
dengan corak pemilihan yang berbeda.

Khalifah Ali bin Abi Thalib


Ali bin Abi Thalib memiliki nama lengkap Ali bin Abi Thalib bin Abdul
Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah
bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhr bin Kinanah.1M
Digelari oleh Nabi dengan sebutan Abu ai-Hassan dan Abu TUrab.,ss
Ibunya bemama Fathimah binti Asad bin Hasyim, sebagai wanita penama
dari suku Bani Hasyim, yang memeluk Islam dan ikut berhijrah bersama
Nabi selama masa hidupnya.153 156
Ali bin Abi Thalib merupakan salah seorang sahabat yang awal masuk
Islam (assdbiqun), bahkan seperti disebutkan oleh Ibnu Abbas, Anas,
Zaid bin Arqam, dan Salman al-Farisi, bahwasanya Ali bin Abi Thalib
merupakan orang pertama yang masuk Islam, innahu awwalu man
aslama. Pendapat ini merupakan pendapat yang banyak diyakini oleh
ahli sejarah menurut As-Suyuthi.157 Adz-Dzahabi dalam kitab Siyar A'lam
an-Nubala, menyebutkan dengan mengutip hadis dari Ibnu Abbas dan
Al-Quradhiyy, bahwa Ali bin Abi Thalib masuk Islam sebelum Abu Bakar
r.a.,s“

153 Ath Thabari, Tdrikh al Umam wa al Muluk (Tdrikh athThabari). Vol. V h. 406. Lihat
juga Ibn Qutaibah. Allmamah wa al-Siydsah, Vol. I, h. 149.
154 Thabari, Tdrikh al Umam wa al-Muluk (Tdrikh ath Thabari), Vol V h. 153.
155 Adz-Dzahabi, Siyar Alam An-Nubald': Siyar al Khulafa ar-Rasyidun, Beirut: Muassasah
Ar Risalah, 1417 H, Cetakan I, h. 226.
156 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafd', h. 150
157 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafd', h. 150.
1 58 Adz Dzahabi, Siyar A'ldm An Nubald ’. Siyar al Khulafa ar-Rasyidun, h. 228.
KhIlafah pada Maba Al-Khulafa' Al Khambah S3

Diriwayatkan dari Abu Yu’la bahwa usia Ali bin Abi Thalib pada saat
masuk Islam adalah pada usia sepuluh tahun, ada yang mengatakan
sembilan tahun, ada juga yang mengatakan delapan tahun dan ada yang
mengatakan lebih muda dari itu. Perkataan Abu Yu’la ini diperkuat oleh
Ibnu Sa'ad yang mengatakan hal serupa.159
Ali bin Abi Thalib memiliki kedekatan kekeluargaan dengan Nabi
sebagai anak dari paman Nabi, Abu Thalib sekaligus sebagai menantu
Nabi, menikah dengan putri Rasulullah, Fathimah Az-Zahra.lh0 Sebagai- 1

mana dikutip oleh Jalaluddin As-Suyuthi dalam Tdrikh al-Khulafd' ber-


dasarkan keterangan dari banyak sahabat Nabi, Ali bin Abi Thalib
merupakan sahabat pilihan yang terkenal dengan ketinggian ilmunya,
pemberani, zuhud, pembicara yang lantang, fasih, dan salah seorang
pengumpul naskah Ai-Qur’an.161
Keutamaan Ali bin Abi Thalib r.a. banyak terdapat di dalam hadis.
Salah satunya seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal, “Tidak
ada seorang pun yang dapat menandingi keutamaan Ali bin Abt Thalib ”
Hadis tersebut diriwayatkan juga oleh Al-Hakim.162
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Turmudzi, dinukil dari per¬
kataan Zaid bin Arqam, Nabi Saw. bersabda, “Siapayang menjadikan aku
sebagai pemimpinnya, makajadikan Ali sebagai pemimpinnya juga. ” Hadis
ini seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah,
Thabrani dari perkataan Abdullah bin Umar, menyebutkan bahwa hadis
tersebut ditambah dengan redaksi, “Ya Allah, lindungilah siapa sajayang
menjadikan Ali sebagai pemimpinnya dan celakakanlah orang yang memu-
suhinya.

1 Adz Dzahabi. Siyar A7dm An-Nubald': Siyar al-Khulafa ar Rasvidun. h 227.


I 60 Ibn Atsir, AIKdmil ft at Tdrikh. Vol. Il, h. 747.
I6I Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafd'. h. 150
162 Jalaluddin As-Suyuthi. Tdrikh al-Khulafti'. h. 151.
163 Ahmad bin Hanbal. Musnad Ahmad. Vol. IV h. 372; Adz Dzahabi. Siyar A7dm An-
Nubald': Siyar al-Khulafa ar-Rasyidun. h. 231. mrnyatakan hadis ini sahih; Uhat juga
Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafa, h. 152.
54 KHiLAFAH

Diriwayatkan pula oleh TUrmudzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, dinukil


dari perkataan Habsyi bin Junadah, Nabi Saw. bersabda, “Ali bagian dan
diriku dan aku bagian dari Dalam riwayat dari Ibnu Sa‘ad, Nabi
Saw. bersabda, “Engkau (Ali) di sisiku seperti Harun di sisi Musa, hanya
saja engkau bukan Nabi.”,6S
Ali memegang amanah sebagai khalifah Islam keempat setelah me-
ninggalnya Utsman bin Affan. Beliau adalah khalifah pertama dari Bani
Hasyim.1**
Dalam riwayat panjang dari Sa‘id bin Musayyab tentang pembunuhan
Utsman, disebutkan bahwa setelah peristiwa itu, Ali bin Abi Thalib kern
bali ke rumahnya dan semua orang berbondong-bondong mendatangi
rumahnya dan memintanya menjadi khalifah. Mereka ingin agar beliau
mengulurkan tangannya pada orang-orang untuk menerima baiat, tetapi
Ali berkata, “Baiat adalah hak para sahabat Badar bukan kalian. Dan yang
menjadi khalifah adalah orang yang mereka pilih.” Setelah itu, para
sahabat Badar yang masih hidup mendatangi Ali bin Abi Thalib lain
menyatakan baiat kepadanya.107
Thabari mengutip riwayat Muhammad bin Hunaif bahwa setelah
pembunuhan Utsman, sejumlah sahabat Nabi mendatangi Ali sambil
berkata bahwa kami mengetahui tidak ada orang lain yang pantas men¬
jadi khalifah selain daripada Ali. Ali bin Abi Thalib menjawab, “Sebaiknya
aku menjadi penasihat kalian saja daripada menjadi amir kalian.” Mereka
berkata, “Tidak ada yang kami inginkan selain membaiat Anda.” Ali bin
Abi Thalib menjawab sebaiknya pembaiatan ini dilakukan di masjid bu¬
kan di tempat tertutup.164 168

164 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafa', h. 152.


165 AdzDzahabi, Siyar Alam An-Nubala': Siyar al-Khulafa ar-Rasyidun, h. 229; lihat juga
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Bah Fadhail ‘Ali ibn Abi Thalib. h. 36.
166 Jalaiuddm As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafa, h. 150.
16" Al-Baladzuri, Ansab al-Asyraf, Vol. IV, hh. 559-560.
168 Ath-Thabari, Tdrikh ath-Thabari, Vol. IV h. 429. Lihat juga Al-Baladzuri, Ansab Al-
Asyraf Vol. II, h. 219.
KhIlafah pada Masa Al-KhulafA' al-Khamsah 55

Kalangan sahabat Badar dan Anshar sepenuhnya mendukung Ali bin


Abi Thalib dan memberikan baiat kepadanya di masjid tanpa ada paksaan,
termasukThalhah dan Zubair.109 Semua pejuang Badar yang masih hidup.
seperti diceritakan oleh Diyar Bakri, saat itu memberikan baiat mereka
pada Ali.169 170 Thabari berkata, “Sepanjang pengetahuan kami, ridak ada
satu orang pun dari kalangan Anshar yang menolak pembaiatan Ali."’71
Pada awalnya, Ali bin Abi Thalib menolak pembaiatan sambil berkata,
“Aku melihat akan terjadi suatu perpecahan yang besar di mana-mana,
hati tidak akan kuat menanggungnya dan pikiran tidak mampu mene-
rimanya." Kemudian, dengan diiringi massa, Ali menemui Thalhah dan
memintanya menerima jabatan khalifah, namun Thalhah berkata, “Tidak
ada yang lebih pantas dari Anda.” Hal yang sama terjadi pada Zubair dan
mereka berdua menjamin tidak akan ada orang yang akan menentang
kebijakan Ali.172
Proses pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat
berbeda dengan proses pengangkatan ketiga khalifah sebelumnya. Pemi-
lihan Khalifah Abu Bakar sebelumnya hanya terbatas pada orang-orang
yang ikut dalam pertemuan Saqifah. Adapun Umar terpilih melalui
penunjukan atau wasiat tertulis dari Abu Bakar, sedangkan Utsman
dipilih oleh Dewan Syura yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal yang
berbeda adalah pada pemilihan Ali bin Abi Thalib, di mana Ali terpilih
karena diminta oleh penduduk Madinah, yaitu permintaan mayoritas
umat yang datang langsung memintanya menjadi khalifah. Tidak hanya
penduduk Madinah. bahkan pada pemilihan Ali bin Abi Thalib hadir juga
wakil penduduk Irak dan Mesir di samping kaum Muhajirin dan Anshar.
Ali bin Abi Thalib melakukan banyak reformasi kebijakan peninggalan
para pendahuhinya. Di antaranya, melakukan pembaruan penyamarataan
pemberian tunjangan (dari baitulmal) bagi para sahabat, yang sebelumnya

169 Ath Thabari. Tdrikh athThabari, Vol. IV hh. 427-431.


170 Diyar Bakri, Tdrikh al-Khamis, Vol. II. h. 261.
171 Ath Thabari, Tdrikh ath Thabari. Vol. IV. h. 431.
172 AlBaladzuri, Ansob Al-Asyraf, Vol. II. h. 213.
56 KhIlafah

tunjangan diberikan berbeda antara sahabat yang awal masuk Islam


dengan sahabat yang akhir masuk Islam. Para sahabat terdahulu men-
dapatkan tunjangan lebih besar daripada sahabat lainnya. Ali melakukan
pembaruan, semua tunjangan sahabat adalah sama, hal tersebut sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Ali bin Abi Thalib berkata,
“Semua orang diberi haknya sebesar tiga dinar dan tidak ada orang yang
akan diistimewakan."173
Pada saat Ali bin Abi Thalib menyampaikan khutbah, ia menegaskan
bahwa tunjangan yang diberikan tersebut adalah didasarkan pada Kitab
Allah bukan berdasarkan hawa nafsu. Pada saat turun dari mimbar dan
setelah melakukan dua rakaat shalat, beliau duduk bersama Thalhah dan
Zubair di sudut masjid. Kedua sahabat ini langsung mengatakan bahwa
Ali tidak bermusyawarah dulu dengan keduanya dan berkata, “Kesalahan
besar yang engkau lakukan adalah engkau telah menyalahi Umar bin
Khattab dalam pembagian tunjangan. Engkau memberi tunjangan pada
kami sama dengan yang engkau berikan pada orang lain yang tidak ikut
menderita dalam perjuangan Islam." Ali bin Abi Thalib menjawab,
“Sepanjang ada aturan dalam Al-Qur’an, maka musyawarah tidak diper-
lukan. Jika hal itu tetjadi, aku akan bermusyawarah denganmu. Adapun
pembagian tunjangan yang sama, kita semua telah menyaksikan bahwa
Rasulullah telah melakukan hal itu seperti petunjuk Al-Qur’an."r4
Pada kesempatan lain, Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Kulit hitam
dan kulit putih akan mendapat perlakuan yang sama.”17<1
Selain kebijakan tersebut, Ali bin Abi Thalib pindah dari Madinah ke
Kufah setelah Perang Jamal antara dirinya dengan Siti Aisyah r.a. dan
para pendukungnya. Hal ini merupakan kebijakan strategis dan politis,
karena Madinah sudah tidak mampu untuk menanggung jumlah pendu-
duk yang kian besar karena ada keterbatasan infrastruktur dan sumber

173 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafa, h. 153.


174 Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahj al -BaUghah. Vol. VII, hh. 37 42.
1 "5 Muhammad Baqir Mahmudi, Nahj as-Sa’adah /i Mustadrak Najh al-Balaghah. Teheran:
Wizarat ats-Tsaqafah wa al Irsyad allslarni, 1418 H, Vol. I. h 212. Rujuk juga Al
Baihaqi. A<-Sunan al-Kubra, Vol. VI, h. 349.

J
KhIlafah pada Masa Al-Khulafa' Al-Khamsah 57

daya alam. Selain itu, kepindahannya ke Kufah, karena di Madinah, tidak


lagi banyak pendukungnya seperti di Kufah. Hanya kaum Anshar yang
masih secara penuh mendukung Ali. Selain itu, kepindahan tersebut
untuk menghadapi Muawiyah setelah melumpuhkan pemberontakan di
Perang Jamal.
Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah keempat selama 6 (enam) tahun.
Beliau terbunuh oleh pedang beracun dan Abdurrahman bin Muljam,
seorang Khawarij, saat sedang menunaikan Shalat Shubuh pada 19
Ramadhan 40 H. Ali bin Abi Thalib akhimya syahid pada 21 Ramadhan
40 H.

Khalifah Hassan bin Ali bin Abi Thalib


Hassan bin Ali bin Abi Thalib merupakan cucu Nabi Saw., putra dari Ali
bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra. Lahir di Madinah pada penengah-
an bulan Ramadhan tahun 3 Hijriah.1’*
Hassan bin Ali menjadi khalifah setelah Ali bin Abi Thalib syahid. la
menjadi khalifah berdasarkan wasiat atau penunjukan. Hal tersebut
mengingat keutamaan Hassan bin Ali yang oleh Rasul sendiri disebutkan,
bahwa “Hassan dan Husain adalah dua pemuda penghuni surga." Hadis
ini banyak tersebar di hampir semua kitab hadis, termasuk hadis yang
diriwayatkan oleh Hirmudzi, Bukhari, Muslim, dan lainnya. Nabi Saw.
juga dalam sebuah riwayat pemah menyatakan, “Jika kebijakan diwu-
judkan sebagai manusia, maka dia adalah Hassan bin Aii.’’17’
Dalam hadis lain, disebutkan ketika Abu Bakar mehhat Hassan bin
Ali. berkata, "Demi ayahku. dia terlihat seperti Nabi Saw. lebih daripada
Ali.”’'*
Nabi Saw. dalam banyak sumber, bersabda bahwa “Hassan dan Husain
adalah para imam, baik mereka itu dalam keadaan berdin ataupun du-
duk.” Munzir bin Ya’mur berkata kepada Ali bin Abi Thalib di peperangan

176 Jalaluddin As Suyuthi. Tdrfkh al Khula/H'. h. 168.


.
17' lalaluddin As Suyuthi. rdnkh al-KhulufU h. 169.
1'8 Manaqib Ibnu Syobr Anrub. Vol IV h. 121
58 Khilafah

Shiffin, “Hassan dan Husain akan menjadi imam kami setelah engkau,
jika engkau terbunuh."179
Selain itu, daiam sebuah surat, Hassan bin Ali bin Abi Thalib menulis
kepada Muawiyah, “Di ambang ajalnya, ayahku memercayakan kekuasa-
an padaku.”,H0 Haitsam bin Adi mengutip para gurunya berkata, “Hassan
bin Ali adalah penerus ayahnya.”,H1 Ketika Abu Aswad al-Duwali meng-
amankan proses sumpah setia bagi Hassan bin Ali di Basrah, dia berkata
bahwa pemerintahan dan imamah telah dipercayakan kepadanya oleh
ayahnya. Masyarakat waktu itu berkata kepada Hassan bin Ali, “Kau
adalah khalifah kami, dan penerus ayahmu, dan kami adalah para peng-
ikutmu.”l“
Khutbah Hassan bin Ali yang pertama kalinya diriwayatkan oleh ber-
bagai sumber adalah, “Barang siapa mengenal aku, sudahlah. Tetapi bagi
yang belum mengenal aku, aku ini Hassan, putra Muhammad; putra
pembawa kabar gembira dan peringatan. Aku adalah putra Rasulullah,
dan dengan izin-Nya, aku adalah cahaya pembimbing. Aku ini dari Ahlul-
bait yang dijauhkan dari segala kesalahan dan dosa; yang disucikan, dan
mencintai mereka telah diwajibkan kepada kalian daiam kitab-Nya,
‘Katakanlah untuk tugasku ini aku tak menginginkan apa pun dari kalian
melainkan kecintaan kepada keluargaku’, dan siapa pun yang berbuat
baik, sungguh kami lipat gandakan kebaikannya, maka kebaikan ini
adalah rasa cinta kepada kami, Ahlulbait.”183
Para pengikut Ali bin Abi Thalib telah mengetahui sejak Ali masih
hidup bahwa Hassan dan Husain adalah penerusnya. Karenanya, setelah
kesyahidan Hassan bin Ali al-Mujtaba, kaum Syi‘ah di Kufah mencari
Husain bin Ali.

179 Manaqib Ibnu Syahr Asyub, Vol. IV h. 122.


180 Baladzuri, Futuh al-Buldan, Vol. IV h. 151.
181 AI ‘Iqd al-Farid, Vol. IV h. 474.
182 Bihar al- Anwar, Vol. IV h. 43.
183 Abu al-Farj Al-Ishfahani, Maqatil ath Thalibiyyin, h. 33.
KhIlafah pada Maba Al-Khulafa’ al-Khambah 59

Hassan bin Ali merupakan salah seorang yang turut serta bersama
ayahnya dalam Perang Jamal yang memainkan peran penting dalam
menentang musuh serta membujuk penduduk Kufah agar turut berperan
dalam perang. Hassan mampu membujuk sekitar sepuluh ribu orang
untuk ikut dalam perang melawan Muawiyah dengan khutbahnya di
Masjid Kufah. 184
Di Perang Shiffin, Hassan bin Ali mendorong penduduk untuk mela¬
wan kelompok Qasithin (para penentang). la berbicara pada mereka,
“Bersatulah melawan musuh kalian, yakni Muawiyah dan pasukannya,
dan jangan pemah membungkuk di hadapannya, karena hal itu akan
memutuskan urat-urat jantungmu.”185 Pendirian Hassan bin Ali dalam
menentang Muawiyah setelah berkuasa sama persis dengan pendirian
ayahnya. Sikap keras Hassan bin Ali kepada Bani Umayah sampai sedemi-
kian rupa sehingga Marwan tidak mengizinkan jenazahnya dikuburkan
di sisi makam Nabi Saw.'86
Kaum Muhajirin dan Anshar yang masih hidup di Kufah, bersama-
sama dengan penduduk Irak dan wilayah-wilayah timur Islam telah
mengakui Hassan sebagai khalifah umat Islam. Muawiyah pada saat yang
sama juga mengklaim sebagai khalifah di Damaskus. Namun, mustahil
pada saat bersamaan terdapat dua khalifah. Hassan bin Ali harus berha-
dapan dengan Muawiyah, hingga akhimya tetjadi perundingan yang
dinilai oleh Husain, saudara Hassan bin Ali, sangat merugikan. Husain
menolak keras perundingan atau kompromi yang dilakukan oleh Hassan.
Namun, Hassan berhasil meyakinkan Husain bin Ali. Salah satu tujuan
dari kompromi dengan Muawiyah tersebut adalah agar tidak banyak
pertumpahan darah dari kaum Muslim yang telah melalui banyak pepe
rangan sebelum masa kepemimpinan dirinya?8’

184 Waq'ah ash-Shiffin, h. IS.


185 Waq'ah ash-Shiffin, h. 114.
18t» Abu al-Farj Al-lshfahani. Maqatil ath-Thalibiyyin. h. 35.
187 Abdul Wahhab an-Najar, Al-Khulafa Ar-Rasytdun. hh. 468-469. Bandingkan dengan
Baladzuri, Funih al-Buldan. vol. IV h. 160.
60 KhIlafah

Hassan bin Ali menjadi khalifah hanya selama 6 (enam) bulan. Hassan
bin Ali wafat karena diracun oleh istrinya, Ja’dah binti Al-As/ats bin
Qaisy, yang dipengaruhi oleh Muawiyah.188 Laporan tentang kesyahidan
Hassan bin Ali di tangan Ja’dah maupun persekongkolan Muawiyah
tercatat dalam banyak sumber.189 Berbeda dengan keterangan yang di-
muat oleh As-Suyuthi bahwa Ja’dah dipengaruhi oleh Yazid bin Muawiyah
untuk meracun Hassan bin Ali dengan iming-iming jika meracun Hassan,
ia akan dinikahi oleh Yazid, namun kemudian setelah Ja’dah melakukan
itu Yazid mengingkari janjinya.190
Racun itu membuat Hassan bin Ali berbaring sakit di ranjang selama
empat puluh hari hingga dia mencapai kesyahidan. Beliau wafat pada
Kamis, Rabi’ul Awwal tahun 49 H, ada pula yang mengatakan pada tahun
50 H dan pendapat lain mengatakan beliau wafat pada tahun 51 H.”1[]

188 Ansab al-Asyraf, Vol. Ill, h. 59.


189 Lihat Ibn Sa'ad, Tarjamah al-lmam Hasan, hh. 175-176. Ansab al-Asyraf, Vo. Ill, hh.
55-58. Meskipun dalam Tdrlkh Ibn Khaldun, Vol. Il, Bagian 2, h. 18, disebutkan bahwa
“Tidak akan pernah mungkin Muawiyah melakukannya, karena hadis-hadis tentang
itu berasal dari kaum Syi'ah”.
HO Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafd', h. 171.
191 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrfkh al-Khulafd', h. 171.
2
KHILAFAH PADA MASA
BAN I UMAYAH
I

aulahBani Umayah berlangsung selama 91 tahun, yakni dari

D tahun 41 H sampai tahun 132 H.1” Kekhalifahan Bani Umayah


diperintah secara bergantian oleh 14 khalifah Bani Umayah.192 193
Dimulai oleh Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan bin Shakhr bin Harb
bin Umayah bin Abdusyams bin Abdul Manaf, sedangkan yang terakhir
adalah Marwan bin Muhammad Al-Ja’di yang sering dipanggil dengan
Marwan al-Himar.”4
Daulah Bani Umayah berdiri dimulai sejak adanya perjanjian antara
Muawiyah dan Hassan bin Ali sebagai khalifah terpilih setelah Ali bin Abi
Thalib pada tahun 41 H, di mana Muawiyah mendesak Hassan bin Ali
untuk dilakukan perundingan atau kompromi, yang salah satu isinya
Hassan bin Ali diminta menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah
dan beberapa persyaratan lain. Meskipun kemudian. isi dari perjanjian

192 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an, Tdn'kh ad-Daulah al-Umawtyvah (Kha¬
lashatul Tdn'kh Ibn Katsir), Beirut: Muassasah al-Ma’arif, 1997, sudah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia "Daulah Bani Umayyah" (Fragmen Sejarah Khilafah
Islamiah Sejak Era Muawiyah hingga Marwan bin Muhammad), Sukoharjo Al-
Qowam, 2015, h. 815.
19 3 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an, Tdrikh ad-Daulatul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir), hh. 815-816.
194 As Suyuthi, Tdrikh al Khulafa, hh. 173-228. Lihat juga Qadhi Syaikh Muhammad Ibn
Ahmad Kan an, Tdrikh ad-Daulatul Umqyah (Khalashatul Tdn'kh Ibn Katsir) h. 846.

61
62 KhIlafah

tersebut sebagian tidak ditepati oleh Muawiyah, seperti perjanjian setelah


kekhalifahan Muawiyah diserahkan kepada Hassan bin Ali dan tidak
boleh menunjuk penerus setelahnya. Tentang poin ini, Muawiyah di
kemudian hari tidak menepati dengan menyerahkan kekhalifahan pada
anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah.195 Bahkan Hassan bin Ali kemudian
dibunuh dengan cara diracun oleh istrinya yang dibujuk oleh Muawiyah
untuk melakukannya.196
Peristiwa penyerahan kekhalifahan sebagai hasil kompromi Muawiyah
dengan Hassan bin Ali pada tahun 41 H disebut dengan Tahun Jama'ah
(“Am Jama’ah), yaitu tahun berhimpunnya kaum Muslim menjadi satu di
bawah kepemimpinan satu khalifah yaitu Khalifah Muawiyah sesudah
terjadinya perpecahan sebelumnya.
Dalam kurun waktu 91 tahun tersebut, kekhalifahan Islam pada era
Bani Umayah berubah drastis menjadi sistem monarki, setelah khalifah
meninggal, maka ia menunjuk putra mahkota untuk menggantikan kha¬
lifah tersebut, yang semuanya berasal dari keturunan Bani Umayah.

Kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan


Muawiyah menjadi khalifah Bani Umayah pertama selama 19 tahun 3
bulan dan 5 hari, adapun masa kekuasaannya sebagai gubemur dan
khalifah adalah 40 tahun, termasuk 4 tahun pada masa kekhalifahan
Umar bin Khattab. Kekhalifahan setelahnya diturunkan kepada Yazid
1Q7

bin Muawiyah yang dibaiat pada hari meninggalnya Muawiyah, yaitu


pada tahun 60 H. Muawiyah meninggal di Damaskus pada usia 80 tahun,

195 Lihat Tdrikh Ibn Khaldun, Vol. 11, Bagian 2, h. 20. Lihat pula Abdul Wahhab an Najar,
The History of
Al-Khulafd ArRasyiddn, h. 469. Bandingkan dengan Rasul Ja’fariyan, Islam,
Chalips, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Sejarah para Pemimpin
Bagian Dari Imam Ali Sampai Monarki Umayah, Jakarta: Al-Huda, hh. 779-780.

196 Lihat Ibn Sa'ad, Tarjamah al lmam Hasan, hh. 175-176. Ansab al-Asyraf, Vo. Ill, hh.
55-58.
197 Abdul Wahhab an-Najar, Al-Khulafa Ar-Rasyidun, hh. 468-469. Lihat pula As Suyuthi,
Tdrikh al-Khulafa', h. 175.
KHiLAFAH PADA MASA BANi UMAYAH 63

ada pula yang mengatakan pada usia 88 tahun, dan ada pula yang
mengatakan pada usia 90 tahun.* 198
Suksesi Yazid menjadi khalifah pengganti Muawiyah sudah dipersiap-
kan jauh-jauh hari oleh Muawiyah meskipun sudah ada perjanjian antara
dirinya dan Hassan bin Ali untuk tidak meneruskan takhta pada ketu-
runannya. Ide tersebut pertama kali diembuskan oleh Mughirah bin
Syu'bah sebagai upaya melanggengkan jabatannya karena takut dipecat
oleh Muawiyah sebagai Gubemur Kufah, Mughirah berangkat ke Damas-
kus untuk melakukan lobi pada Muawiyah melalui anaknya, Yazid bin
Muawiyah.
“Lebih baik kau menunjuk seorang penerus dan akan jauh lebih baik
jika dia adalah Yazid, putramu,” papar Mughirah, sambil meyakinkan
bahwa ia takut jika tidak demikian akan terjadi gelombang pemberontakan
dan perpecahan pada umat Islam setelah Muawiyah.199
Setelah menerima saran tersebut, Muawiyah mengutus Mughirah
untuk melakukan persiapan terkait hal tersebut di Kufah. Misi Mughirah
tercapai dan Muawiyah dapat melancarkan rencananya. Hal tersebut
mendapat penentangan, salah satunya dari Ahnaf bin Qais, salah satu
tokoh Irak, yang mengingatkan komitmen atau perjanjian antara
Muawiyah dengan Hassan bin Ali dan menyebutkan kebencian rakyat
Irak terhadap Muawiyah yang bisa menyebabkan pedang terhunus di
Irak.
“Selama Hassan bin Ali masih hidup, penduduk Irak dan Hijaz tidak
akan pemah bersumpah setia," seru Ahnaf bin Qais dalam sebuah perre-
muan antara perwakilan umat Irak dan utusan Muawiyah.200 Setelah itu,
Muawiyah tidak melanjutkan misinya, hingga tahun 50 H, tepatnya sete¬
lah terbunuhnya Hassan bin Ali pada 49 H. Muawiyah kembali melan¬
carkan niatnya dengan menunjuk Dhahhak bin Qais dan Abdurrahman

19« Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan an. Tdrikh ad-Daularul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir). h. 818.
199 Ibn Qutaibah, Al-lmdmah wu a/Siydsah. VoL 1, h. 187.
200 Ath-Thabari, Tdrikh al-Umam al-Muluk (Tdrikh ath-Thabari). Vol. V. h. 187; Ibn
Qutaibah, Al-lmdmah wu al-S(vdsah, Vol. 1, h. 166.
64 Khilafah

bin Utsman yang mendukung Yazid habis-habisan untuk menjadi Guber-


nur Kufah dan Hijaz.201
Yazid digambarkan dalam sejarah sebagai pemabuk, penjudi, dan
meremehkan agama. Hal ini di antaranya dapat dilacak dan pendapat
Abdullah Ibnu Zubair yang menolak untuk berbaiat kepada Yazid ber-
dasarkan alasan itu.202 Begiru pun Husain bin Ali. Husain bin Ali tidak
pemah mau berbaiat pada Yazid.
Dengan demikian, pengangkatan Yazid bin Muawiyah sebagai pemim-
pin, telah keluar dari barometer khilafah Islamiyyah dengan 3 (tiga)
alasan:
1. Pengangkatan Yazid tidak sesuai dengan sistem Islam, baik dalam
pandangan kelompok yang meyakini kepemimpinan dengan nas atau-
pun kelompok yang berpendapat dengan pemilihan atau musyawarah.
2. Tidak adanya kelayakan (kompetensi) pada diri Yazid untuk menjadi
pemimpin.
3. Ketidaksesuaian tindakan-tindakannya dengan ajaran Islam.

Ketiga alasan itu dapat dijabarkan dengan mengacu pada beberapa


referensi berikut.
As-Suyuthi dalam Tarikh al-Khulafa’ menyebutkan bahwa para ahli
sejarah memperkenalkan Muawiyah sebagai raja yang pertama.203 Sa‘id
bin Musayyab menegaskan bahwa Muawiyah adalah orang pertama yang
mengubah khilafah menjadi kerajaan.204 la menunjuk putranya sebagai
penerus dan juga diikuti oleh Yazid dengan hal serupa, sehingga menjadi
sistem monarki atau kerajaan, yang tidak pernah ada sebelumnya.
Hanya sebagian kecil dari Bani Quraisy yang mau bersumpah setia
pada Yazid. Mayoritas ragu untuk bersumpah setia pada Yazid. Hal itu

201 Ibn Qutaibah, Allmdmah wa al-Siydsah, Vol. 1, h.171.


202 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tdrikh ad-Daulatul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Kat sir), h. 819.
203 As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd', hh. 196, 203.
204 Lihat AJ Ya'qubi, Tdrikh Al Ya'qubi, Vol. Il, h. 232.
KhIlafah paoa Masa Ban! Umayah 65

tergambar pada dialog yang terjadi antara Muawiyah dan para anggota
Bani Quraisy di Madinah pada tahun 50 H. Hadir pada penemuan itu
Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, Abdullah bin
Umar, dan Abdullah bin Zubair205 Dalam pertemuan itu, semuanya meno-
lak untuk berbaiat pada Yazid.
Abdullah bin Ja‘far, misalnya, berkata pada Muawiyah, “Jika Anda
bersandar pada Ai-Qur’an, maka ulu al-Arham (kerabat dekat) menikmati
kelebihan atas orang lain; jika Anda melaksanakan Sunnah Nabi Saw.,
maka mereka adalah kerabat Rasulullah Saw.; dan jika Anda melaksana¬
kan sunnah Abu Bakar dan Umar, maka siapakah yang lebih layak dari-
pada keluarga Nabi Saw.? Demi Allah Yang Mahakuasa, jika wil^ah
(kepemimpinan) diletakkan pada mereka setelah Nabi Saw, maka kewe-
nangan secara tepat akan diserahkan kepada yang berhak. Khilafah milik
Quraisy. Wahai Muawiyah, takutlah kepada Allah.”206
Hal senada diungkapkan oleh Abdullah bin Zubair, “Sesungguhnya
khilafah milik Quraisy. Di sini ada Abdullah bin ‘Abbas putra dari paman
Nabi Saw, ada Abdullah bin Ja‘far pemilik dua sayap surga putra dari
paman Nabi Saw. dan aku Abdullah bin Zubair putra bibi Rasulullah Saw.
di sini juga ada Hassan dan Husain, putra-putri Ali, dan engkau tahu
siapa mereka berdua. Bertakwalah wahai Muawiyah.”207
Abdullah bin Umar pun melontarkan protesnya dengan nada sama,
bahwa khilafah bukan milik Heraklius dan Khusru yang bisa diwarisi dari
para ayah kepada anak-anaknya. “Demi Allah, aku menyaksikan sendiri
di saat ditunjuk menjadi salah seorang dari enam orang untuk memilih
Khalifah Utsman dari ahli Syura (Umar bin Khattab), bahwa khilafah
bukan karena kehendak atas syarat tenentu, melainkan ia milik Quraisy
secara khusus.”208

205 Ibn Qutaibah, Allmdmah wa al-Siydsah, h. 194.


206 Ibn Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun, Vol. IV, h. 120: Ibn Qutaibah, Al Imamah wa al-
Siydsah. h. 195.
207 Ibn Qutaibah, Allmdmah wa al-Siydsah, h. 195.
20« Ath-Thabari, Tdrikh ath-Thabari, Vol. IV, h. 277; Ibn Qutaibah, Al lmdmah wa al-
Siydsah. h. 196.
66 KhIlafah

Muawiyah berkata, “Ini merupakan milik keturunan Abdul Manaf


karena berasal dari kerabat Nabi Saw. Penduduk sendiri membantu Abu
Bakar dan Umar untuk mengamankan kekuasaan. Walaupun mereka
tidak diperintah oleh raja maupun khilafah. Monarkisme dialihkan ke
pada Abdul Manaf setelah mereka, dan akan tetap ada di antara mereka
hingga Hari Kiamat. Dan kalian, wahai putra-putra Zubair dan Umar,
Allah telah menjauhkan kalian dari kewenangan ini. Kemudian ia kembali
ke Syam dan untuk sementara tidak lagi meminta masalah baiat.”20*
Lalu setelah Hassan bin Ali wafat, Muawiyah kembali datang ke
Madinah untuk meminta baiat terhadap Yazid, namun tetap ditolak.
Abdullah bin Umar menyatakan, bahwa “para khalifah sebelum engkau
jelas-jelas punya keturunan. Walaupun keturunan mereka jelas lebih baik
daripada putramu (Yazid bin Muawiyah), mereka sama sekali tak pemah
melakukan apa yang engkau lakukan.”2*0
Abdurrahman putra Abu Bakar menyarankan agar tugas ini diserahkan
pada sebuah Dewan.-'11 Namun. Muawiyah berusaha meyakinkan dan
berkata, “Rasulullah Saw. tidak pernah menunjuk seorang penerus pun
bagi dirinya; namun demikian. Abu Bakar melakukannya dan Umar
tidak. Dia menugaskannya kepada enam anggota Dewan. Karena Abu
Bakar tidak bertindak seperti Nabi Saw., tidak pula Umar bertindak se-
perti Abu Bakar, maka aku bisa melakukan apa yang belum pernah me¬
reka berdua lakukan, yaitu bahwa aku menunjuk penerusku.”209212
Karena tak berhasil di Madinah, Muawiyah lalu menuju Makkah. Kini
dia membuat rancangan baru. Muawiyah memanggil orang-orang dari
berbagai tempat untuk berhaji, berkumpul bersama dan kemudian meng-
umumkan bahwa beberapa orang telah bersumpah setia kepadanya un¬
tuk Yazid secara diam-diam. Sejumlah orang dari Damaskus dengan

209 Ibn Quiaibah. Al-lmdmah wa al-Siydsah. h. 196.


210 Ibn Qutaibah. Al-lmdmah wa al-Siydsah, h. 210.
211 Ibn Khayyath. Tdrikh Khalifah. hh. 213-214; lihat juga Ibn Qutaibah. Al Imdmah wa
al-Siydsah. h. 210.
212 Ibn Qutaibah. Al Imdmah wa al-Siydsah, hh. 211-212.
KhIlafah pada Maba BanI ijmavah 67

pedang mereka yang terhunus berteriak bahwa hal itu harus ddakukan
secara terbuka, tetapi Muawiyah membuat mereka diam. Krtika turun
dan mimbar, dia membagi-bagikan hadiah kepada mereka dan bcrangkat
ke Damaskus?"

Kekhalifahan Yazid bin Muawiyah


Muawiyah sangat keras berupaya untuk menurunkan takhtanya pada
Yazid. Scmua upaya Muawiyah akhirnya terpenuhi meskipun diwarnai
dengan berbagai protes dari penduduk Irak dan Hijaz. Meskipun dira-
gukan kapasitas dan buruknya perangai Yazid, Yazid berhasd naik takhta
setelah Muawiyah memakaikan jubah khilafah.2 4
Pada masa kekhalifahan Yazid, ia melancarkan agresi untuk meme
rangi siapa saja yang menolak kepemimpinannya, termasuk menghabisi
Husain bin Ali, cucu Rasulullah Saw. di padang Karbala pada 10 Muhar
ram 61 H.
Peristiwa perginya Husain bin Ali ke Karbala menyisakan beberapa
pertanyaan, salah satunya mengapa beliau memihh unnik pergi ke Kufah
Irak, sementara dari penimbangan politis posisi beliau sangat tidak
menguntungkan. Kepergian Husain bin Ali ke Kufah pertama kali adalah
adanya desakan dari penduduk Kufah yang meminta Husain bin AU un¬
tuk datang ke Kufah melalui surat yang disampaikan kepadanya saat la
berada di Makkah. Surat tersebut berisi dukungan penduduk Kufah ter-
hadap Husain bin Ali dan menentang kepemimpman Gubemur Nu man
bin Basyir di Kufah yang dipilih oleh Yazid bin Muawiyah.- '
Surat lain dari penduduk Kufah banyak dikirimkan kepada Husain
bin Ali yang isinya serupa. yaitu dukungan terhadap Husain bin Ali
Surat-surat tersebut dinilai oleh para sahabat Nabi yang mendukung
I lusain bin Ali, seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan
Abdullah bin Ja'far dengan respons negatif. Mereka melarang Husain

2 1 1 Ibn Qutaibah, Al Imdntuh hm u/Snduih. h212


214 Baladzun. Furuh ulBuidan. Vol. IX h. 25
215 Ibn Qutaibah. Al lmdmah wu alS^vdsah. Mil U, h. 8.
68 KhIlafah

untuk pergi ke Kufah. Abdullah bin ‘Abbas menyarankan kepada Husain


bin Ali untuk membatalkan perjalanan ke Irak dan lebih dianjurkan
untuk pergi ke gunung-gunung Yaman. Alasannya, wilayah itu pegunung-
an dan lebih aman.2’6 Begitu pun dengan kekhawatiran Abdullah bin
Umar atas rencana kepergian Husain bin Ali ke Irak yang menurutnya
berpotensi besar teijadi pertumpahan darah.216 217
Abdullah bin Ja‘far menulis surat kepada Husain bin Ali yang isinya
mengingatkan akan bahaya rencana kepergiannya ke Irak, “Aku mem-
punyai ramalan bahwa cahaya bumi ini akan padam sebagai akibat dari
pembunuhan atas dirimu. Ruh petunjuk dan Amirul Mukminin tak lain
adalah engkau. Jangan bergegas menuju Irak, aku bisa mencarikan tem-
pat bagimu dari kejaran Yazid.”2’8
Merespons surat-surat dari penduduk Kufah, Husain bin Ali lalu
mengutus Muslim bin Aqil ke Kufah untuk melihat secara langsung dan
memastikan kebenaran dari isi surat tersebut. Pada 5 Syawwal 60 H,
Muslim bin ‘Aqil berangkat ke Kufah dan dalam jangka waktu tiga puluh
lima hari telah berhasil mengumpulkan 18.000 dukungan penduduk
Kufah yang bersumpah setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah lalu meng-
ganti Nu'man bin Basyir dari kepemimpinan Gubemur dan mengganti-
kannya dengan Ibnu Ziyad untuk menghadapi segala pemberontakan
yang mungkin teijadi di Kufah Irak. Ibnu Ziyad kemudian melakukan
provokasi terhadap penduduk Kufah dan sedikit demi sedikit penduduk
Kufah berbalik dan meninggalkan dukungan terhadap Muslim bin ‘Aqil,
yang berakhir dengan pembunuhan Muslim bin ‘Aqil oleh tentara Ibnu
Ziyad.2’9
Muslim bin ‘Aqil ditebas kepalanya oleh seorang algojo dari tentara
Ibnu Ziyad bemama Bukair bin Humran di puncak istana Kufah. Kemudian

216 Ath-Thaban, Tarikh ath-Thabari, Vol. IV h. 287.


217 Baladzuri, Futuh al-Buldan, Vol. V h. 139.
2 IM Ibn Atsir, Al-Kdmil p at Tarikh, Vol. Ill, h. 111.
219 Ibn Qutaibah, Al-lmdinah wa al-Siydsah, Vol. II, hh. 8-9. Lihat juga Ath-Thabari, Tarikh
al-Umam wa al-Muluk (Tdrikh ath-Thabari), Vol. V hh. 365-367.
KhIlafah pada Maba BanI Umayah 69

kepalanya dicampakkan ke bagian bawah istana. Selanjutnya jenazah


Muslim bin Aqil dibawa ke pasar kambing dan disalib di al-Kinasah,
sebuah tempat di Kota Kufah.220
Pembunuhan Muslim bin Aqil diketahui oleh Husain bin Ali di saat
beliau tengah menuju Karbala. Terjadi dialog antara Husain bin Ali dan
para sahabat yang menyertainya. Husain bin Ali membebaskan mereka
untuk memilih apakah akan tetap ikut atau memilih untuk kembali. Di
antara mereka ada yang memilih untuk meninggalkan Husain bin Ali.
Husain bin Ali lalu pergi ke Kufah dengan disertai 50 orang pasukan dan
di tengah jalan bertambah 20 orang dari pasukan Hurr sampai di Karbala.
Di Karbala, tepatnya pada 10 Muharram, Husain bin Ali dan 70 pasukan-
nya syahid oleh pasukan Ibnu Ziyad.221
Kepergian Husain bin Ali dan syahidnya di Karbala merupakan bentuk
dari memerangi Yazid dan menyelamatkan kedaulatan kekhilafahan
demi membela dan mendirikan pemerintahan yang adil sebagai hak atas
Ahlulbait Nabi Saw.222 Selain itu, alasan Husain bin Ali tetap pergi ke Irak
karena dipandang Yazid tidak mungkin membiarkannya tetap hidup di
Makkah. Hal itu tergambar dari jawaban Husain bin Ali kepada Abdullah
bin Umar, “Golongan ini tidak akan berhenti mencari cara agar aku ber-
baiat kepada Yazid. Karena aku tak akan pemah melakukannya, sekali-
pun mereka akan membunuhku.”222
Kepergian Husain bin Ali pun dipandang untuk melindungi kemuliaan
Makkah. Hal itu tergambar dari jawaban Husain atas respons terhadap
surat Abdullah bin Abbas kepadanya, di mana beliau menyatakan: “Aku
lebih baik dibunuh dalam jarak dua inci dari Makkah daripada satu
inci.”224

220 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an. Tdrikh ad-Daularul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir). h. 1 14.
221 Ath Thabari. Tdrikh al Umam wa al-Muluk. Vol. IV h. 67. Lihat juga Ibn Qutaibah.
Al lrndmah wa al-S^ydsah. Vol. 11, hh. 11-12.
222 Rasul Ja'fariyan, The History ofChalips. Vol. Ill, h. 51.
223 Ath Thaban, Tdrikh al-Umam wa al-Muluk (Tdrikh ath-Thabari). Vol. IV h. 289.
224 Ath Thabari, Tdrikh al Umam wa al-Muluk (Tdrikh ath-Thabari). Vtol IV h. 138
70 KhIlafah

As-Suyuthi, dalam Tdrikh al-Khulafd'. menyebutkan peristiwa ter-


bunuhnya Husain di Karbala sebagai kisah panjang yang menyayat had
dan tak tega untuk mengungkapkannya. Dalam peristiwa itu, sebanyak
enam belas orang keluarga Husain bin Ali yang merupakan keturunan
Nabi Saw. syahid terbunuh oleh pasukan Yazid."5
la menggambarkan suasana ketika Husain bin Ali pada hari Asyura
syahid dengan penjelasan panjang, bahwa ketika itu dunia berhenti se-
lama tujuh hari, matahari menjadi seolah-olah darah yang menggantung,
bintang-bintang saling bertabrakan, terjadi gerhana matahari pada hari
itu, setiap penjuru langit menjadi merah membara selama enam bulan
setelah kesyahidan Husain, dan merahnya langit saat itu belum pernah
tetjadi sebelumnya.--*
Pada hari itu setiap batu di Baitul Maqdis yang diangkat mengeluar-
kan darah pekat di bawahnya, unta yang mereka rampas dari Husain
ketika direbus, dagingnya menjadi merah seperti buah labu. Atas kejadi-
an itu. ketika seorang laki-laki mengumpat dan mengutuk Husain bin
Ali. maka Allah melempamya dengan batu dari langit yang menyebabkan
pandangannya menjadi buta."7
Ats-Tsa’laby mengungkapkan, banyak diriwayatkan dari Abdul Malik
bin Ammar al-Laitsy berkata: “Aku melihat ke istana ini (ia menunjuk ke
istana kesultanan di Kufah), kepala Husain bin Ali (yang telah dipenggal
di Karbala) dihadapkan kepada Ubaidillah bin Ziyad dan ia meletakkan-
nya di atas perisai. Lalu aku juga melihat kepala Ubaidillah bin Ziyad
diletakkan di tempat ini juga di hadapan Mukhtar bin Abi ‘Ubaid. Kemu-
dian aku pun melihat kepala Mukhtar di hadapan Mush’ab bin Zubair,

225 As-Suyuthi. Tdrikh al-Khulafd’, h. 184; Ibn Qutaibah, Al I nidmah wa al-Siydsah, Vol.
II, h. 12. Yang meninggal di antaranya: Husain bin Ali, ‘Abbas bin Ali, Utsman bin Ali,
Abu Bakar bin Ali, Ja'far bin Ali, Ibrahim bin Ali, Abdullah bin Ali, lima orang dari
Bam Aqil. dua orang dan anak Abdullah bin Ja'far, tiga orang dari Bani Hasyim, para
istri, dan perempuan yang menyerrai mereka. Lihat juga nama-nama lengkap beserta
latar belakang keluarga Nabi Saw. yang terbunuh di Karbala dalam kitab Abu al-Farj
Al-Ishfahani, Maqatil ath-Thalibiyyin, Qum: Intisyarat al-Haidariyyah, 1423 H.
226 As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd’, h. 184.
227 As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd', h. 184.
KhIlafah pada Maba Ban! Umakah 71

begitu pun nku mclihai kepala Mush'ab diletakkan di hadapan Abdul


Malik (khalifah Hani Umayah setelah Marwan bin Hakam). Dan aku
ceritakan tentang hal tersebut ke Abdul Malik, lalu dia meninggalkan
istana Kufah karena takut ditimpa kesialan yang sama.”23*
At-lUrmudzi meriwayatkan hadis dari Salma yang menyampaikan,
"Aku masuk menemui Ummu Salamah dan ia sedang menangis. Aku pun
bertanya, Kenapa engkau menangis? Dijawab, aku melihat Nabi Saw.
dalam mimpiku dan melihai terdapat tanah di atas kepala dan janggut
Nabi Saw. Lalu, aku pun bertanya kepada Nabi Saw. Apa yang terjadi ya
Rasuluilah? Beliau menjawab, Aku baru saja menyaksikan kesyahidan
Husain."228229
Yazid bin Muawiyah menjadi khalifah selama 3 tahun 9 bulan dan
meninggal dunia pada Rabi'ul Awwal tahun 64 H di saat dia berusia 39
tahun. Pemerintahannya dilanjutkan oleh anaknya, yairu Muawiyah bin
Yazid.

Kekhalifahan Muawiyah bin Yazid


Muawiyah bin Yazid digambarkan sebagai sosok yang berbeda dengan
ayahnya. la seorang alim dan cerdas. Namun, ia hanya menjabat selama
5 bulan dan mengundurkan diri. Muawiyah bin Yazid meninggal tak lama
setelah mengundurkan diri. Disebutkan juga rentang waktunya adalah
70 hari. Pada saat meninggal, beliau berusia 23 tahun dan ada juga yang
mengatakan pada usia 21 tahun. Bahkan ada yang mengatakan pada usia
18 tahun. Muawiyah bin Yazid tidak menunjuk penggantinya.-^®

228 As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd'. h. 185. Ibn Katsir, sebagaimana dikutip oleh Qadhi
Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kanan, mcnceritakan hal serupa. Bahkan ia me
nambahkan. “mendengar hal itu, Abdul Malik ketakutan luar biasa. dia segera bangkit
dan memenntahkan prajuritnya untuk merobohkan istana tersebut saat iru juga."
I Jhat Tdrikh ad Daulatul Umayah (Khalashatul Tdrikh Ibn Katsir), h. 824
229 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd’, h. 185.
230 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tdrikh ad-Daulatul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir), h. 821.
72 KhIlafah

Kekhalifahan Marwan bin Hakam


Khalifah berikutnya setelah Muawiyah bin Yazid terdapat perbedaan
pendapat dalam urutan siapa yang menggantikannya. As-Suyuthi mem-
buat daftar khalifah Bani Umayah setelah Muawiyah bin Yazid adalah
Abdullah bin Zubair, putra dari Asma binti Abu Bakar.1’1 Sementara da
lam Ibnu Katsir, khalifah pengganti Muawiyah bin Yazid adalah Marwan
bin Hakam.11* Begiru pun Ibnu Qutaibah. menyebutkan khalifah setelah
Muawiyah bin Yazid adalah Marwan bin Hakam, dengan menyebutkan
kronologis Marwan menjadi khalifah setelah berhasil mendapatkan baiat
dari penduduk Syam, sedangkan Ibnu Zubair menguasai Mesir dan
kemudian dalam peperangan di Rabadah, pasukan Marwan berhasil
membunuh semua pasukan Ibnu Zubair.1”
Marwan bin Hakam adalah sosok yang disebut oleh Khalid bin Yazid
bin Muawiyah sebagai “sosok yang bermulut kotor atau senng berkata
cabur.231234 Kemunculan pertamanya di bidang politik adalah ketika dia
menjadi menantu Utsman bin ‘Affan. Dalam kemelut konflik Utsman bin
’Affan dengan penduduk. Marwan bin Hakam pemah menulis surat ke-
pada penguasa Mesir atas nama Utsman bin Affan tanpa sepengetahuan
Utsman. la pemah menjadi Gubemur Madinah selama enam tahun. Pada
masa itu, di Madinah, Marwan terus-menerus menghina keluarga Nabi
Saw. khususnya Ali bin Abi Thalib. di setiap Jumat di atas mimbar.235
Ketika Yazid bin Muawiyah mendesaknya sewaktu menjadi Gubemur
Madinah untuk mengamankan sumpah setia dari Husain bin Ali, Manvan
menyarankan agar Husain dibunuh saja jika menentang.236
Pada periode kekhalifahan Manvan bin Hakam bin Abu Ash bin
Umayah, banyak yang menyebut periode ini dengan sebutan kekhalifahan

231 Jalaluddin As-Suyuthi. Tarikh al-Khulafd', hh. 187 188.


232 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an, Tarikh ad Daulatul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir), h. 821.
233 Lihat Ibn Qutaibah, Al I tndmah
wa al Siydsah. Vol. II, h. 21.
234 Ibn Qutaibah, Allmdmah wa al- Siydsah, Vol. II. h. 23
235 Ibn Sa d, Tarjamah al Imam al Husain, h 143.
236 Rasul Ja'fariyan. The History of Chalips, Vol. Ill, h. S3
KhIlafah paoa Maba Ban! Umayah 73

Bani Marwan, karena bukan keturunan langsung dari Muawiyah, namun


masih sebagai klan Bani Umayah. Periode ini khalifah adalah keturunan
langsung dari Marwan bin Hakam yang diturunkan secara turun-temurun
kepada anak dan cucu-cicitnya.
Marwan hanya me nja bat sebagai khalifah selama 10 bulan, karena
meninggal dibunuh oleh istrinya sendiri. la meninggal pada 65 H pada
usia 83 tahun."’

Kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan


Pengganti Marwan bin Hakam adalah Abdul Malik bin Marwan, yang
memerintah Bani Umayah, dengan prestasi utamanya adalah sebagai
orang penama yang menetapkan dirham dan dinar sebagai mara uang
Islam. Pada keping uang dinar ada ukiran Romawi, sedangkan pada
keping uang dirham terdapat ukiran Persia.
Abdul Malik bin Marwan dikenal sebagai scorang kikir dan bengis. la
dijuluki dengan Abu al-Walid dan dijuluki juga sebagai “air yang mengalir
di sela-sela bani" karena kekikirannya."* Dia menyukai kemewahan dan
gemerlap duniawi sena gemar menumpahkan darah. la mengajarkan
karakter kebengisannya pada anaknya yang kelak menggantikan dirinya.
Walid bin Abdul Malik. Abdul Malik menjadi khalifah sangat lama, yaitu
selama 21 tahun dan meninggal pada usia 63 tahun.***

Kekhalifahan Walid bin Abdul Malik


Setelah Abdul Malik, kekhalifahan Bani Umayah dipimpin oleh Walid bin
Abdul Malik. Memiliki gelar Abul Abbas. * Diiigurkan sebagai sosok yang
buruk wajahnya, sombong, dan sedikit ilmunya. Bahkan As-Suyuchi
menyebutkan mengenai Walid bin Abdul Malik sebagai sosok keras dan


Qadht Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan an. Rinkh adlkn^arul I mqvuh (Kbalashatul
TAnkh Ibn Katstr). h 822
? Muhammad Ibn Ah ibn Muhammad ibn Amram. Al Anba fi TMkh at Khulafd . h 10
2W Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan an. rdrikh atlDaulatul L’mqyak (KhaJasha
tul Tdrikh Ibn Kaiw). h 823
.Mu .mlaluddin As Suyulhi. Fdnkh al Khulafa'. h 198
74 Khilafah

zaiim.-4' Meskipun demikian, disebutkan bahwa dirinya memiliki andil


besar dalam memperluas Dunia Islam hingga ke India dan Andalusia,
sena membangun masjid di Damaskus dan membangun kubah batu di
Baitul Maqdis. Dia juga membangun Masjid Nabawi dan memperluasnya
sehingga memasukkan kamar Nabi ke dalamnya.
Walid bin Abdul Malik meninggal pada usia 50 tahun dengan me-
ninggalkan 14 orang anak. Masa kekhalifahannya berlangsung selama
sembilan tahun, ada juga yang mengatakan selama 10 tahun.241242

Kekhalifahan Sulaiman bin Abdul Malik


Khalifah berikutnya sepeninggal Walid bin Abdul Malik adalah Sulaiman
bin Abdul Malik, saudara dari Walid bin Abdul Malik. Hal tersebut dika-
renakan ayah mereka berdua mengangkat keduanya sekaligus sebagai
putra mahkota yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya.
Sulaiman bin Abdul Malik bergelar Abu Ayub dan disebutkan sebagai
salah seorang khalifah yang baik dari Bani Umayah.241 Dia juga dikenal
sebagai sosok yang fasih bahasanya, indah gaya bahasanya, sena ahli
sastra, sangat mengutamakan keadilan, menyukai perang, pandai dalam
ilmu bahasa Arab, mengikuti Al-Qur’an dan menjaga diri dari penumpah-
an darah. Dari segi kebiasaan, Sulaiman dikenal dengan sosok yang suka
makan.
Ibnu Khalkan menuturkan dalam biografi Sulaiman, “Sesungguhnya
dia memakan makanan dalam sehari seberat sekitar seratus pon Syam.”244
Bahkan disebutkan, dalam satu pertemuan dia bisa makan enam puluh

241 Ibn Atsir. Al Kamil fi al Tdrikh, Vol. JV h. 266; Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al
Khulafa'. h. 198.
242 Muhammad bin AJi ibn Muhammad ibn 'Amram, Al-Anba fi Tdrikh al-Khulafa’, h. 10.
Qadhi Svaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an, Tdrikh ad-Daulatul Umayah (Khalasha
tul Tarikh Ibn Katsir), h. 824.
243 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafa’, h. 200.
2 11 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tdrikh ad-Daulatul Umayah (Khalasha
tul Tdrikh Ibn Katsir), h. 829.
KHiLAFAH PADA MASA BanI UMAYAH 75

delima, satu kambing, enam ekor ayam, dan anggur yang telah dikering-
kan. Ada pula yang mengatakan dalam sekali makan mampu 40 ayam.245
Sulaiman bin Abdul Malik juga digambarkan sebagai sosok yang tam¬
pan dan perkasa. Yahya Al-Ghassani berkata; “Sulaiman pemah melihat
wajahnya di cermin. Dia sangat terpesona dengan keperkasaan dan
ketampanannya.” Dia berkata, “Muhammad adalah seorang Nabi, Abu
Bakar adalah orang shiddiq, Umar adalah ALFaruq, Utsman sebagai laki-
laki yang sangat pemalu, sedangkan Muawiyah adalah seorang yang
sangat penyantun, Yazid orang yang sabar, Abdul Malik sebagai seorang
politikus, sedangkan Al-Walid adalah orang yang kejam, dan saya adalah
raja yang sangat muda dan perkasa.” Namun, tak sampai sebulan dari
peristiwa itu dia meninggal dunia.24*
Pada masa Sulaiman bin Abdul Malik, para panglima perang yang
telah melakukan ekspansi wilayah kekuasaan Islam di tiga benua semasa
pendahulunya justru dipecat dengan tidak hormat, yaitu: Hajjaj bin
Yusuf, Qutaibah bin Muslim, dan Musa bin Nushair. Disebutkan, hukum-
an bagi Musa bin Nushair hingga akhir hidupnya lebih mengenaskan
daripada kedua sahabatnya. Musa dipanggil ke Damaskus sebelum wafat-
nya Walid bin Abdul Malik. Ketika tiba di sana, temyata Walid sudah
meninggal dunia. Sulaiman berpaling darinya, ia memecatnya, memen-
jarakannya, dan dibuang ke Madinah, dan mendendanya dengan jumlah
harta yang tidak bisa dipenuhinya. Dan Musa wafat dua tahun kemu-
dian.247
Tatkala Sulaiman bin Abdul Malik memegang tampuk kekhaHfahan,
dia mengembalikan shalat pada awal waktu, karena para kekhalifahan
Bani Umayah sebelumnya mengakhirkan waktu shalat hingga akhir

245 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrfkh alKhulafd'. h. 200.


246 Ibn Khaldun, Tdrikh Ibn Khaldun, Vol. IV, h. 77; Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-
Khulafd', h. 200.
247 Tentang perlakuan Sulaiman bin Abdul Malik pada 3 jenderal besar, terutama pada
Musa ibn Nushair. yang telah melakukan pcnaklukan besar bagi Dunia Islam direkam
jelas dan terperinci oleh Ibn Qutaibah Ad-Dainury, Allmdmah wa al-Siydsah, Juz II.
h. 98.
76 KhIlafah

waktu. Oleh karena itulah, Muhammad bin Sirrin berkata, “Sulaiman


telah membuka masa kekhalifahannya dengan kebaikan dan menutup-
nya juga dengan kebaikan. Dia memulai masa kekhalifahannya dengan
menegakkan shalat tepat waktu sebagaimana sediakala dan mengakhiri
kekhalifahannya dengan menunjuk Umar bin Abdul Aziz sebagai peng-
gantinya.”248
Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik meninggal pada usia 45 tahun.
Keinginannya untuk menaklukkan ibu kota Konstantinopel gagal. Dia
meninggal pada Jumat, 10 Shafar 99 H. Masa kekhalifahannya berlang-
sung selama 2 tahun 8 bulan.249

Kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz


Kekhalifahan Bani Umayah setelah Sulaiman bin Abdul Malik berpindah
pada Umar bin Abdul Aziz bin Marwan atau yang dikenal dengan sebutan
Abu Hafsh, lahir pada 61 H di Mesir.250 la tidak sepeni khalifah sebelum-
nya yang diwariskan secara turun-temurun dari garis darah khalifah
sebelumnya. Umar bin Abdul Aziz ditunjuk langsung oleh sepupunya,
Sulaiman. Proses penunjukan Khalifah Sulaiman ke Umar bin Abdul Aziz
diceritakan lengkap oleh Ibnu Qutaibah dalam dialog panjang antara
Sulaiman dan Umar bin Abdul Aziz, yang di antaranya:
Sulaiman bin Abdul Malik berkata pada Umar bin Abdul Aziz: “Ada
seseorang yang berkata dalam mimpiku bahwa sesungguhnya Umar bin
Abdul Aziz baginya surga dan ketakwaan. Maka setelah aku bermimpi
insya Allah aku percayakan pemerintahan setelahku untukmu.” Umar
menjawab, “Sesungguhnya masalah ini adalah urusan Allah Swt. Aku
cukup menjadi umat Nabi Muhammad Saw. dan itu lebih baik bagiku.”
Sulaiman berkata lagi, “Aku tidak mendapati dari keluarga Umayah dan
Abdu Syams yang lebih baik dari engkau.” Umar pun kembali menjawab,

248 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tarikh ad-Daulatul Umayah (Khalashatul
Tarikh Ibn Katstr). h. 829.
249 Jalaluddin As-Suyuthi, Tarikh al-Khulafd', h. 200.
250 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an, Tarikh ad-Daulattd Umayah (Khalashattd
Tarikh Ibn Katstr). h. 830.
KhIlafah pada Masa BanI Umayah 77

“Jika memang menurut engkau tidak ada lagi orang yang lebih baik
dariku, maka masih ada orang yang lebih baik, yaitu dari keluarga Abdu
Manaf dan Bani Hasyim." Sulaiman menyangkal, “Tidak." Umar menam-
bahkan, “Jika demikian, masih ada dari keluarga Tayyim dan Bani Adi
yang lebih baik dariku.” Sulaiman menjawab, “Jika maksud engkau
Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar dan Salim bin Abdullah bin Umar,
ketahuilah mereka berdua tidak berhak untuk menjadi raja."251 Lalu,
Sulaiman meminta secarik kertas dan ia menuliskan wasiatnya dengan
tangan gemetar karena sakit yang dialaminya. Ia pun berkata, “AmbiUah
wasiat yang sudah kutulis ini. Kumpulkan Bani Quraisy dan perintahkan
para tentara, dan umumkanlah apa yang telah kutetapkan. Siapa saja
yang mengabaikannya maka bunuhlah.”252
Pada pemakaman Sulaiman, Umar bin Abdul Aziz membuka surat
wasiat tersebut. Alangkah terkejutnya di saat ia mengetahui telah diwa-
siatkan untuk menjadi khalifah. Sampai muncul pemyataan dari Umar
bin Abdul Aziz untuk khalayak ramai, karena merasa dibebani sebuah
tugas berat tanpa meminta persetujuannya terlebih dahulu. la mengem-
balikan keputusan itu kepada kaum Muslim. Akan tetapi, orang-orang
dengan ramai serentak berkata: “Kami telah memilihmu wahai Amirul
Mukminin dan kami pasrahkan kepemimpinan ini padamu. Maka pim-
pinlah kami dengan baik dan bijak.” Begitu serentaknya suara dari rakyat
membuat Umar tak berdaya untuk menolaknya.253
Umar bin Abdul Aziz dijuluki sebagai Khalifah Kelima Khulafa ar-
Rasyidin dikarenakan kesalehannya, rajin berpuasa, dan sosok yang ge-
mar shalat malam.2M Hal tersebut diabadikan dalam riwayat Abu Dawud

251 Ibn Qutaibah. Al hndmuh hu al-Sivdsah. Juz 11, h. 127 Sulaiman berkata:
ikUl) . JU*
252 Ath Thabari. Tdnkh al Umam wa al Muluk. Vol. V h. 199; Ibn Qutaibah Ad Dammy
Al/mdmah »va al Siydxah. Juz II, hh. 127-128.
253 Qadhi Syaikh Muhammad Inn Ahmad Kan’an. TarfUi ad Daulatul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir), h$31
254 Muhammad bin Ali bin Muhammad ibn Amrani, Al-Anba /i Tdrikh alKhulafd. h. 11
78 KhIlafah

dari Sufyan ats-Tsauri, bahwa “Khalifah ada lima: Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, dan Umar bin Abdul Aziz.”255
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memiliki garis keturunan yang terhu-
bung kepada kakeknya Umar bin Khattab melalui ibunya, yairu Ummu
Ashim binti Ashim bin Umar bin Khattab.256 Dia disebut dengan julukan
Asyaju Bani Umayah (si terluka dari Bani Umayah). Umar adalah seorang
tabi'in yang mulia. Dia meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik, Saib bin
Yazid, serta banyak rawi hadis yang meriwayatkan hadis darinya?s'
Selain itu, dia dikenal juga sebagai orang pertama di antara para kha¬
lifah yang membuat istana untuk tamu. Dia juga menjadi khalifah per¬
tama yang menetapkan zakat untuk orang yang kehabisan bekal di
perjalanan (ibnu sabil). Dia pula yang menghilangkan apa yang biasa
dilakukan oleh orang-orang Bani Umayah selama lebih dari 58 tahun258,
yakni menyebut keburukan Ali bin Abi Thalib di mimbar-mimbar Jumat,
lalu menggantinya dengan kalam Allah Surah Al-Nahl: 90:259

Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ke-


bajikan, memberi bantuan kepada kaum kerabat, dan Dia rnelarang

255 Jalaluddin As-Suyuthi. Tarikh al-Khulafd\ h. 203.


256 Muhammad bin Ali bin Muhammad ibn Amrani. Al-Anba /i Tarikh al Khulafa’, h. 11.
257 Qadhi Syaikh Muhammad bin Ahmad Kan an, Tarikh ad Dauiatul Umayah (Khalasha
tul Tarikh Ibn Katsir), h. 830
258 58 tahun sejak masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan, yaitu pada tahun 41 H
hingga akhir pemerintahan Sulaiman bin Abdul Malik, yaitu pada tahun 99 H. Hal ini
dapat dilihat, misalnya, ketika Marwan bin Hakam menjadi Gubernur Madinah selama
6 tahun pada masa kekhalifahan Muawiyah dan Yazid, la sclalu melaknat kcluatga
Nabi Saw, Lihat Jalaluddin as-Suyuthi, Tdrtkh al Khulafa, h. 215.
259 Qadhi Syaikh Muhammad bin Ahmad Kan'an, Tarikh ad-Daulatul Umayah (Khalasha
tul Tarikh Ibn Katsir). h. 830. Hal senada disampaikan oleh Muhammad bin All bin
Muhammad ibn Amrani. Al Anba fi Tdrikh al-Khulafd’, h. 12. Lihat juga Jalaluddin
As-Suyuthi. Tdrikh al-Khulafa, h. 215.
KhIlafah pada Maba Bani umayah 79

(melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia


member! pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS Al-Nafal: 90)

Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah selama 2 tahun 5


bulan dan wafat pada usia 40 tahun. yaitu pada 5 Rajab 101 H. Disebut-
kan, bahwa lamanya masa kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz sama de-
ngan masa kekhalifahan Abu Bakar.
Sebab meninggalnya Umar bin Abdul Aziz terdapat banyak pendapat,
ada yang berpendapat dikarenakan sakit keras (masa sakitnya selama 20
hari) dan tidak diketahui sebab sakitnya, sedangkan menurut pendapat
lain ia meninggal karena diracun oleh Yazid bin Abdul Malik dengan
bantuan pembantunya, ada pula yang mengatakan ia dibunuh di Ma-
dinah?bl

Kekhalifahan Yazid bin Abdul Malik


Selanjutnya yang menjadi khalifah sepeninggal Umar bin Abdul Aziz
adalah Yazid bin Abdul Malik bin Marwan. Dia dibaiat sebagai khalifah
pada hari meninggalnya saudara sepupunya, Umar bin Abdul Aziz, ber-
dasarkan penunjukan dirinya sebagai putra mahkota oleh Sulaiman.
Pada masa awal pemerintahannya, Yazid bertindak menuruti kebijak-
an Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebelumnya. la berkata. "Kalian ikutilah
jalan hidup Umar bin Abdul Aziz.”-*3 Namun hal itu tidak beriangsung
lama. Menunit Imam As-Suyuthi dalam Tdrikh al-Khulafa, kebijakan itu
berlangsung hanya empat puluh han. Setelah ini, terjadi perubahan.

260 IVndapai ini terdapat dalam Tdrikh ath Thabari, Jilid 8. h. 137 dan dalam Fdrflth Ibn
Atsir, Jilid 5, h. 58.
261 Ath Thabari. Tdrikh al-Umam wu ul Muiuk. \bl. IV h. 288: Ibn Qutaibah Ad Dainury,
Allmdmah wa al Siydsah, Juz II. h. 141 (dalam cat atan kaki)
262 Ibn Qutaibah AdDainury, Al Imdmah wu ul Siyduth, Juz 11. h 141
263 Qadhi Svaikh Muhammad bin Ahmad Kan'an. Tdrikh ad Dauldtul Umayah (Khalasha
rul Tdrikh Ibn Katsir), h. 838.
80 KhIlafah

Terialu banyak penasihat yang tidak setuju dengan kebijakan posit if yang
diterapkan Umar bin Abdul Aziz.-64
Di antara tindakan yang dilakukan Khalifah Yazid bin Abdul Malik
adalah menumpas gerakan Yazid bin Muhallib. Sebelumnya, Yazid bin
Muhallib menjabat sebagai gubemur wilayah Khurasan. la juga pernah
menjabat gubemur Irak di Kufah dan di Bashrah. Jabatan itu dipang-
kunya sejak Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik hingga masa Umar bin
Abdul Aziz. Karena dianggap melakukan gerakan-gerakan mencurigakan,
Khalifah Umar bin Abdul Aziz memintanya datang ke Damaskus dan
menjatuhi tahanan kora.
Ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat, Yazid bin Muhallib segera
melarikan diri. la khawatir khalifah terpilih. Yazid bin Abdul Malik, akan
mengambil tindakan tegas atas dirinya. Sejak awal memang sering tegadi
pertentangan antara dua orang yang senama itu. Yazid bin Muhallib
melarikan diri ke Irak. Karena pernah menjabat gubemur di wilayah itu,
ia pun diterima oleh masyarakat. Nama keluarganya harum di kalangan
rakyat Irak. Hal ini tidak mengherankan karena ayahnya, Muhallib bin
Abi Shafra’, adalah penakluk Lembah Hind
Yazid bin Muhallib juga berhasil mengumpulkan dukungan rakyat
Basrah untuk memecat Khalifah Yazid. Adanya gerakan itu sampai ke
telinga sang Khalifah di Damaskus. Yazid bin Abdul Malik segera meminta
saudaranya, Maslamah bin Abdul Malik, untuk berangkat dengan pasuk-
annya ke lembah Irak guna memadamkan gerakan Yazid bin Muhallib.
Perang saudara kembali tegadi. Pasukan Maslamah terns mengejar
pasukan Yazid bin Muhallib dari benteng ke benteng. Hingga akhirnya
Yazid bin Muhallib tewas di medan pertempuran yang dikenal di daerah
Al-Aqir, tak jauh dari Karbala. Selanjutnya, Panglima Maslamah terns
mengejar sisa-sisa pasukan lawannya. Hal yang tak mungkin dilupakan

264 Jalaluddin As Suyuthi, Tarikh al Khulafa', 11. 219.


1

KhIlafah pada Maba Ban! umayah 81

sejarah adalah tindakannya menghabisi seluruh keturunan dan keiuarga


Muhallib.26*
Khalifah Yazid bin Abdul Malik tidak berusia lama menyaksikan per
luasan wilayah Islam itu. la meninggal dunia pada usia 29 tahun. Dikata-
kan juga bahwa usianya adalah 38 tahun lebih satu bulan. Masa pemerin-
tahannya hanya berkisar 4 tahun 1 bulan.206

Kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik


Berikutnya, sepeninggal Yazid bin Abdul Malik, kekhalifahan digantikan
oleh Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan pada 106 H.265 267 Hisyam memiliki
panggilan Abul Walid.26* Dia dibaiat sebagai khalifah pada hari kemarian
Yazid, karena adanya keputusan pengangkatan dirinya sebagai putra
mahkota oleh Yazid. Hisyam adalah orang yang keras kemauannya dan
cerdas akalnya, memiliki kemampuan menyusun strategi yang jitu, putih
kulitnya, tampan, dan gemuk perawakannya. Dia biasa menyemir ram
butnya dengan wama hitam.*’’
Pada zaman kekhalifahan Hisyam bin Abdul Malik banyak peristiwa
teijadi, termasuk penaklukan wilayah TUrki dan terbunuhnya Zaid bin
Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran sengit oleh
pasukan yang dipimpin oleh Yusuf bin Umar di Kunasah atas penntah
Yazid bin Abdul Malik.-”0 Zaid bin Ali syahid setelah dipanah di keningnya
oleh pasukan pemanah al Qiqaniyah yang terdiri dari 1.300 pemanah

265 Jalaluddm As Suyuthi. Tdrikh al-Khulajd. h. 219. Uhat juga Ibn Qutaibah Ad IXunun
Al Imdmah wu al Siydsah. Juz It. h. 142.
’66 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan an. Tdrikh adDaulatul Umayah tKhalasha-
tul Tdrikh Ibn Katsir). h 839.
267 Ibn Qutaibah Ad Damurv .4/ Imdmah hu a/Snd.sah. Juz 11. h. 142.
268 Jalaluddm As Suvuthi, Tdrikh al Khulafd'. h. 220.
269 Qadhi Svaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an. Tdrikh ad Daulatul Umayah (Khala.dia
tul Tdrikh Ibn Katsir). h. 839
270 Qadhi Svaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan'an. Tdrikh ad-Daulatul Umayah (Khalasha
tul Tdrikh Ibn Katsir), hh. 711-712. Lihat juga Ibn Qutaibah Ad Dainury, Allmdmah
wa al-Stydsah, Juz II. hh. 142 143.
82 KhIlafah

ulung. Pasukan ini pun membunuh sisa pasukan Zaid. Setelah panah
dicabut dari keningnya, Zaid meninggal dunia pada usia 42 tahun.271
Kuburan Zaid yang awalnya disembunyikan oleh para pengikutnya
dibongkar paksa oleh Yusuf bin Umar, kemudian ia memerintahkan agar
jasad Zaid bin Ali bin Husain disalib pada batang kayu di Kunasah dan
kepalanya dipenggal serta dikirimkan ke Hisyam bin Abdul Malik.
Dari sumber lain disebutkan, peristiwa yang sama terjadi pada putra
Zaid, yaitu Yahya bin Zaid. la pun dibunuh dengan cara keji dan sadis
serta diperlakukan mirip dengan ayahnya. Yahya syahid terkena panah
di keningnya oleh pasukan Nashr bin Sayyar di sebuah tempat bernama
Arguna. Walaupun telah dipancung dan dikuburkan, jasad Yahya digali
lagi dan digantung di atas kubah salah satu gerbang Jurjan atas perintah
Nashr bin Sayyar.272
Hisyam meninggal dunia di Rushafah pada 125 H saat berumur 53
tahun. Masa kekhalifahannya berlangsung cukup lama, yaitu selama 19
tahun 9 bulan. Dikatakan juga masa kekhalifahannya selama 20 tahun?73

Kekhalifahan Walid bin Yazid bin Abdul Malik


Kekhalifahan Bani Umayah sepeninggal Hisyam bin Abdul Malik dilanjut-
kan oleh Walid bin Yazid bin Abul Malik bin Manvan bin Hakam. Walid
menjadi khalifah karena ia telah ditunjuk oleh bapaknya, Yazid bin Abdul
Malik, untuk menjadi khalifah setelah Hisyam bin Abdul Malik (adiknya
Yazid).2'4 Hal itu dikarenakan Yazid melihat Walid sebagai anaknya masih
bayi pada saat masa-masa terakhir kekhalifahannya, sehingga menyerah-
kan pemerintahan pada adiknya.27'
Walid bin Yazid lahir pada 90 H. la disebut sebagai khalifah terburuk
dari Bani Umayah. As-Suyuthi menyebutnya dengan ungkapan khalifah

271 Rasul Ja’fariyan, Sejarah para ftmimpin Islam, h. 305.


272 Muruj adz-Dzahab, Vol. Ill, h. 212.
273 Ibn Qutaibah Ad-Dainury, Al-Imdmah wo al-Siydsah, Juz II, h. 143.
274 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tdrikh ad Daulatul Umayah (Khalasha-
ml Tdrikh ibn Katsir), h. 723.
2" Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd', h. 223.
KhIlafah pada Masa Ban! Umayah 83

fasik, karena gemamya meminum khamar dan melanggar apa yang diha-
ramkan Allah Swt. Thabari berkata mengenai Khalifah Walid, “Ada ba¬
nyak riwayat mengenai penghinaan Walid terhadap agama.” Thabari
tidak menyebutkan kebanyakan dari perbuatan Walid agar tidak me-
mubazirkan kata?7h Sebaliknya Mas‘udi mengutip sebagian, “Dia sangat
senang minum anggur dan melewatkan malam-malamnya dengan para
penyanyi yang berbeda-beda.”276277
Hisyam semasa hidupnya pernah murka terhadap Walid bin Yazid
karena perangai dan tingkah laku buruknya, lalu bemiat mencabut status
putra mahkota dari Walid dan digantikan oleh anaknya, Maslamah.
Namun ditentang oleh Walid dan terjadi pertengkaran. Walid lalu me-
larikan diri. Setelah Hisyam meninggal dunia, Walid lalu kembali dan
menjadi khalifah.278
Banyak sumber yang menceritakan mengenai kefasikan Walid bin

Yazid. Dia juga menikahi istri-istri ayahnya perbuatan yang diharamkan
dalam Islam. As-Suyuthi meriwayatkan dari Dzahabi bahwa Al-Walid
juga melakukan liwath (homoseksual). Karenanya, ada yang mengatakan
dia seorang zindiq, meskipun hal itu ditolak oleh Adz-Dzahabi.*^ Dia
disebut pula sebagai Fir‘aun. Hal tersebut tercantum dalam hadis yang
diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, bahwa: “Sungguh akan ada pada
umat ini seorang laki-laki yang diberi nama al-Walid. Sungguh dia lebih
buruk bagi umat ini ketimbang Fifaun kepada kaumnya."380
Di kesempatan lain. Walid memanah Al-Qur'an dengan menantang
Allah untuk mengazab dirinya. Bahkan ia pun berani menyangkal kebe-
naran kenabian dan secara terang-terangan menyebut Nabi Saw. kafir.

276 Aih-Thabari. Tdrikh ath-Thabari. Vol. V, h. 538.


277 Al-Mas’udi, Muruj Ads-Dtahab, Vol. Ill, h. 213.
278 Qadhi Syaikh MuhammadIbn Ahmad Kan an. Tdrikh ad-Daularul Umqyah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir), h. 723.
279 Jalaluddin As-Suyuthi. Tdrikh al-Khulqfli. h. 223.
280 Jalaluddin As-Suyuthi. Tdrikh al-Khulafu. h. 224.
84 KhIlafah

“Seorang laki-laki Bani Hasyim telah bermain-main dengan pergantian


kepemimpinan tanpa sebuah kitab yang diwahyukan."281
Dikisahkan bahwa Walid bin Yazid pernah tergila-gila pada seorang
wanita Nasrani bemama Safra, dan ia menghampiri Safra ke sebuah
kebun di pekarangan gereja dalam keadaan sepeni sakit jiwa. Ia melan-
tunkan syair untuk Safra, di mana isinya menggambarkan penghina-
annya pada ajaran-ajaran Islam dan kekufurannya dengan menyebut
khayalannya menghabiskan hari bersama Safra dalam keadaan mabuk
bersama-sama.282
Qadhi Abul Faraj benutur: “Berita tentang Walid sangatlah banyak.
Sudah dihimpun oleh para penulis sejarah, baik berupa kumpulan mau-
pun berupa bagian-bagian yang terpisah. Saya sudah mengumpulkan
sedikit dari sejarah hidupnya dan jejak peninggalannya, sebagian dari
syaimya yang mengandung kedurhakaannya berupa kemunduran akhlak,
kebodohan, kedunguan, senda gurau, kelakar yang tidak tahu malu,
kerendahan kualitas agamanya, serta apa saja yang dikatakan secara
terang-terangan berupa penyimpangan terhadap Al-Qur’an yang mulia,
kafir terhadap Yang Menurunkannya dan orang yang diturunkan itu ke-
padanya. Saya sudah memaparkan syairnya yang hina dengan syair yang
mengingkari kenabian Nabi yang mulia.”283
Menurut Ya’qubi, Walid adalah orang yang tidak bisa mengawasi
urusan-urusan di berbagai kota karena wataknya yang ceroboh. Dia ba¬
nyak melakukan kesalahan. Misalnya, dia mempunyai ide untuk mem¬
bangun sebuah ruangan di atas atap Ka'bah untuk perbuatan hinanya,
maka dia memerintahkan seseorang untuk melakukannya.284

281 Al-Mas’udi, Muruj adz-Dzahab, Vol. Ill, h. 180. Dalam sebuah syair, Walid bin Yazid
menyampaikan mengenai pengingkarannya pada kenabian Nabi Muhammad Saw.:

282 Ibn Khaldun, Tarikh Ibn Khaldun, Vol. IV h. 188; Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad
Kan an, Tarikh ad-Daulatul Umayah (Khalashatul Tarikh Ibn Kauir). h. 729.
283 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tarikh ad-Daulatul Umayah (Khalashatul
Tarikh Ibn Katsir), h. 730.
284 Al Ya’qubi, Tarikh Ya’qubi, Vol. II, h. 335.
KhIlafah pada Masa Ban! umayah 85

Walid bin Yazid hanya menjadi khalifah selama 14 bulan yang berakhir
dengan pembunuhan atas dirinya oleh Yazid bin Walid bin Abdul Malik,
la dibunuh pada malam Jumat, dua malam terakhir dari bulan Jumadil
Akhir tahun 126 H.285 Dibunuh oleh rakyatnya sendiri karena benci atas
kefasikannya. Ketika ia terbunuh dan kepalanya dipenggal, Yazid an-
Naqish, yang kemudian menggantikan Walid, mendatangi mayamya dan
kedka Sulaiman bin Yazid (saudara Walid) menghampiri mayat itu, Yazid
mencegahnya dan berkata, “jauhi mayat Walid, sesungguhnya aku ber-
saksi dia adalah seorang pemabuk dan fasik, dan aku malu atas perbuat-
annya itu.”286

Kekhalifahan Yazid bin Walid bin Abdul Malik


(Yazid III)
Setelah kemadan Walid bin Yazid, pemerintahan dilanjutkan oleh Yazid
bin Walid bin Abdul Malik atau Yazid III. Yazid bin Walid memiliki gelar
An-Naqish (si pengurang), karena dia mengurangi pemberian untuk rak¬
yat, yang dulu ditambahkan oleh Walid bin Yazid. Ada juga yang menga-
takan, sebab dijuluki An-Naqish karena adanya kekurangan pada jari
jemari kedua kakinya. Orang pertama yang menamai dengan julukan itu
adalah Marwan bin Muhammad.287
Dia adalah khalifah pertama dari ibu seorang budak. Bani Umayah
menjaga rahasia ini rapat-rapat, untuk mengagungkan kekhalifahan me-
reka. Yazid III dikenal memiliki watak sama dengan Umar bin Abdul Aziz
Dia mempakan pengikut Qadariyah, rajin beribadah, membaca Al-Quf an
dan mempraktikkan akhlak Umar bin Abdul Aziz. Yazid III tidak lama

285 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tdrikh adDaulatul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir), h. 741.
286 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd', h. 223.
287 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan’an, Tdrikh adDaulatul Umayah (Khalashatul
Tdrikh Ibn Katsir). h. 843.
86 KhIlafah

menjadi khalifah, hanya 6 bulan, dan lain meningga! pada usia 40 tahun
pada 126 H.-*8
Keadaan negara pada zaman kekhalifahan Yazid III tidak siabil, fitnah
tersebar di mana-mana, persatuan Bani Marwan terancam dan terkoyak
koyak. Sulaiman bin Hisyam yang sebelumnya ditahan di penjara Walid
di Amman, berhasil bangkit dan menguasai harta negeri Amman. Kemu
dian dia berangkat menuju Damaskus. Sulaiman mdaknat Walid, men
cerca aibnya, dan menuduhnya kafir. Yazid III memuliakan Sulaiman bin
Hisyam dan mengembalikan kepadanya harta yang pernah dirampas oleh
Walid bin Yazid. Yazid III juga menikahi saudara perempuan Sulaiman,
yakni Ummu Hisyam binti Hisyam.
Setelah Yazid III meninggal dunia, dilanjutkan oleh Ibrahim bin Walid
bin Abdul Malik, bergelar Abu Ishaq, karena penunjukannya sebagai
putra mahkota oleh Yazid III. Ibrahim tidak lama menjabat, hanya 2
bulan 10 hari karena pemerintah sedang dalam keadaan sulit. la turun
dari takhta khalifah karena mengundurkan diri setelah berperang mela-
wan tentara Marwan bin Muhammad. la lalu menyerahkan kekhalifahan
pada Marwan, sesudah Marwan memberinya jaminan keselamatan.

Kekhalifahan Marwan Al-Ja’di


Pergantian kekhalifahan terus berlanjut dan beralih pada Marwan bin
Muhammad atau dikenal dengan sebutan Marwan al-Himar atau Marwan
al-Ja’di. Marwan adalah khalifah terakhir dari Bani Umayah. Marwan
al-Himar juga berasal dari ibu seorang budak berasal dari Kurdi bemama
Lubabah.-'H'
Ada kepercayaan pada Bani Umayah, bahwa kekhalifahan Bani
Umayah akan lenyap dari mereka apabila yang menjadi khalifah adalah

(Khalasha
288 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan an. Tdrikh ad Daulatul Umayah
tul T&rikh Ibn Katsir). h. 843. Lihat juga Rasul Ja'fariyan. Sejarah para Pcmiinpin Islam.
h 374.
289 Ibid., h 742.
290 Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad Kan an. Tdrikh ad Daulatul Umayah (Khala>ha
nd Tdrikh Ibn Katsir). h. 764
KhIlafah pada Maba Hani umamh 87

orang yang ibunya worang budak. latkala yang menjadi khalifah adalah
Marwan al Himar, ibunya seorang budak, dirampaslah kekhalifahan dan
tangannya pada 132 H.
Marwan terbunuh pada Senin, 3 Dzulhijjah 132 H. Saar itu, Marwan
sudah berusia 60 tahun dan menjabat sebagai khalifah selama 5 tahun.
Kematian Marwan menandai berakhimya kekhalifahan Bam Umayah dan
berpindah ke Bani 'Abbasiyah.il

’91 Ibn Qutdibah Ad Itainurx. 4/ imdmah »xi d So*dMh. Ju2 tl, h 162
1

3
KHILAFAH PA DA MASA
DAULAH ABBASIYAH

rakekhalifahan atau daulah Islam terlama dan banyak mewamai


E pembentukan sosial-budaya umat Islam terjadi pada masa Daulah
‘Abbasiyah. Dengan rentang waktu berkuasa, yaitu selama 524
tahun (132 H-656 H atau tahun 750-1258 M), dengan 37 khalifah yang
secara berganti-ganti memerintah kekhalifahan Islam, Daulah Abbasiyah
berhasil menancapkan pengaruhnya di Jazirah Arab dan juga negara-
negara lain, baik yang sudah dikuasai sebelum masa Daulah Abbasiyah
maupun negara baru hasil ekspansi Daulah Abbasiyah.
Daulah Abbasiyah secara nasab berasal dari Al-Abbas bin Abdul
Muthallib, sebagai salah satu klan besar di Jazirah Arab. Klan besar
lainnya yang berasal dari keturunan Abdul Muthallib, adalah Abu Thalib.
Kedua klan ini memenuhi padang rumput, pegunungan, dan daerah-
daerah di wilayah Islam, mulai dari ujung wilayah Maroko hingga daerah
Transoxiana di Asia Tengah.*-
Daulah Abbasiyah menguasai kekhalifahan Islam sejak 132 H yang
ditandai dengan pengangkatan khalifah pertama mereka. Abu al-Abbas

292 Syaikh Muhammad al Khudhari. Daulah Abbasiyah. Kairo Maktabah at 'huqtfiyah.


diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Banght dan Runtuhnya Daulah Abbasiyah.
Jakarta Pustaka Kautsar, 2016, h. 1.

89
90 KhIl afah

Abdullah bin Muhammad As-Saffah di Kufah.293 Kekhalifahan ‘Abbasiyah


berlangsung sampai 656 H, yang sekaligus menjadi tahun berakhirnya
kekuasaan ‘Abbasiyah dengan terbunuhnya khalifah terakhir Abdullah
al-Musta’shim di tangan Hulagu Khan, yang merupakan salah seorang
keturunan Jenghis Khan.294
Al-Khudhari membuat periodisasi Daulah ‘Abbasiyah ke daiam lima
periode besar, dari mulai abad pertama hingga periode terakhir disertai
karakteristik masing-masing periode tersebut.29*
Abad pertama, para khalifah dapat dikatakan sebagai khalifah daiam
arti sesungguhnya. Mereka benar-benar menjadi khalifah, penguasa dan
pemimpin tertinggi yang memegang kekuasaan dan otoritas tertinggi
serta berdaulat penuh atas seluruh Dunia Islam kecuali negeri Andalusia.
Kata-kata khalifah didengar dan titah mereka dipatuhi. Tidak ada satu
orang pun yang berani menentang dan melawan pasukan mereka, kecuali
rival yang menyaingi mereka daiam hal kedekatan nasab dengan Nabi
Muhammad Saw. dari kalangan keluarga Abu Thalib atau dari kalangan
Ahlulbait Nabi Saw.29b Juga sebagian kelompok Khawarij yang muncul
dan tenggelam.297
Pada masa keemasannya ini, yaitu pada abad pertama kekhalifahan
Daulah ‘Abbasiyah, dipimpin oleh 8 khalifah, yaitu: As-Saffah, Al-
Manshur, Al-Mahdi, Harun Ar-Rasyid, Al-Amin, Al-Makmun, Al-
Mu’tashim, dan Al-Watsiq pada 222 H.
Menginjak abad kedua, yaitu dari 222 H sampai 234 H, Daulah
‘Abbasiyah mulai mengalami penurunan, posisi khalifah mulai kehilangan
wibawanya. Para amir di wilayah-wilayah yang jauh mulai berani me-

293 Ibn Qutaibah Ad Dainury menulis bab singkat berjudul “Dzikr al-Bai'ai li Abi al Abbas
bit Kufah", yang secara khusus membahas tentang peralihan kekhalifahan Bani
Umayah ke Bani Abbasiyah yang pertama kali, yaitu pada Abul Abbas Abdullah As
Saffah. Lihat Ibn Qutaibah ad-Dainury, Allmdmah wa alSiyasah, Juz II, h. 162.
294 Syaikh Muhammad al-Khudhari, Daulah Abbasiyah, h. 787.
295 Syaikh Muhammad al-Khudhari, Daulah ‘Abbasiyah, hh. 787-789.
wa al-Siydsah, Vol. Il, h. 185.
296 Lihat Ibn Qutaibah, Al -Imdmah
297 Syaikh Muhammad al-Khudhari, Daulah ‘Abbasiyah, h. 788.
KHiLAFAH PADA MASA DAULAH 'ABBASlYAH 91

nuntut independensi dan otonomi dalam mengamr pemerintahan. Oto¬


ritas dan kedaulatan khalifah Daulah ‘Abbasiyah mulai menyusut dan
tereduksi hingga hanya menyisakan Irak, Persia, dan Ahwaz. Itu pun
dipenuhi dengan gejolak, konflik, dan friksi. Kemudian berujung pada
Baghdad dikuasai dan dikendalikan oleh seorang Mamluk TUrki atau
Dailami yang disebut Amir al-Umara yang memegang dominasi kekua-
saan, kendali dan otoritas secara penuh dan menyeluruh, sementara
kekhalifahan tidak memiliki kewenangan apa-apa. Khalifah hanya men-
jadi penguasa de jure, sedangkan secara de facto penguasanya adalah
sultan atau Amir al-Umara.
Pada era ini, kekhalifahan Daulah Abbasiyah dipimpin oleh 12 kha¬
lifah, yaitu: Al-Mutawakil, Al-Muntashir, Al-Musta’in, Al-Mu’taz, Al-
Muhtadi, Al-Mu’tamid, Al-Mu’tadhid, Al-Muktafi, Al-Muqtadii; Al-Qahir,
Al-Muttaqi, dan Al-Mustakfi. Pada masa akhir kekhalifahan Al-Mustakfi,
Baghdad dipimpin oleh kesultanan Bani Buwaihi. Jika dibagi, rata-rata
masa kekhalifahan tiap khilafah adalah delapan tahun setengah. Di
antara para khalifah tersebut, hanya empat orang yang meningga] secara
wajar, yaitu Al-Muntashir, Al-Muhtadi, Al-Mu’tadhid, dan Al-Muktafi.2*
Sedangkan sisanya turun dari takhta kekhalifahan antara dibunuh atau
dimakzulkan. Rezim dinasti kesultanan Bani Buwaihi berkuasa di
Baghdad pada 334 H.298 299
Menginjak abad ketiga, tepatnya 334 H sampai dengan 447 H. Pada
era ini, khalifah hanya sebagai penguasa de jure, sedangkan secara de
facto otoritas dan kendali kekuasaan sepenuhnya berada di tangan
bangsa Persia Ad-Dailami yang terwakilkan pada sosok sultan dari Bani
Buwaihi yang menetap di Baghdad. Akibatnya, khalifah tidak ubahnya
hanya seperti seorang pegawai bagi mereka. Khalifah tidak memiliki
kekuasaan dan otoritas apa-apa. la tidak bisa melakukan apa yang ia
inginkan, hanya bisa melakukan apa yang diinginkan oleh orang lain.
Khalifah juga tidak memiliki wewenang dan otoritas keagamaan atas

298 Syaikh Muhammad al Khudhari, Daulah 'Abbasiyah, hh. 417-603.


299 Syaikh Muhammad al-Khudhari, Daulah Abbasiyah, hh. 788-789.
92 KHiLAFAH

mereka, karena perbedaan ideologi antara dirinya dan mereka. Khalifah


Daulah ‘Abbasiyah adalah seorang Sunni, sementara Bani Buwaihi adalah
Syi‘ah.300
Pada periode ini, kekhalifahan Daulah ‘Abbasiyah dipegang oleh Al-
Mustakfi, Al-Muthi, Ath-Tha’i, Al-Qadir, dan Al-Qa’im. Jika dibagi, rata-
rata masa kekhalifahan tiap-tiap khalifah pada periode ini adalah 22
tahun setengah. Khalifah Al-Qa’im menjadi mata rantai penghubung
antara periode ini dan periode berikutnya. Tiga khalifah pertama di atas
terpaksa turun dari takhta kekhalifahan karena dimakzulkan oleh rezim
kesultanan Bani Buwaihi.
Periode keempat, dimulai dari 447 H sampai dengan 590 H. Pada
periode ini, kekuasaan dan otoritas yang ada berpindah ke tangan bangsa
Turki yang terwakili pada sultan dan rezim Bani Saljuk yang menetap di
negeri Al-Jibal, bukan di Baghdad. Pada periode kesultanan Bani Saljuk
ini, keadaan khalifah Daulah Abbasiyah masih lebih baik dibandingkan
periode sebelumnya. Rezim Kesultanan Saljuk masih menaruh hormat
dan penghargaan pada para khalifah karena motivasi dan pertimbangan
agama. Mereka menampilkan berbagai bentuk ekspresi penghormatan
dan pengagungan kepada para khalifah mengingat posisi dan kedudukan
khalifah di mata agama.301
Pada periode ini, kekhalifahan Daulah Abbasiyah dipegang oleh Al-
Muqtadi, Al-Mustazhhir, Al-Mustarsyid, Ar-Rasyid, Al-Muqtafi, Al-
Mustanjid, dan Al-Mustadhi’. Jika dibagi, rata-rata masa kekhalifahan
tiap-tiap khalifah pada periode ini adalah sekitar dua puluh tahunan.
Pada periode ini, secara politik, keadaan para khalifah tidak seragam.
Pada masa Khalifah Al-Muqtafi, Daulah Abbasiyah benar-benar meme¬
gang kekuasaan dan otoritas penuh di Irak. Kesultanan Saljuk berakhir
pada 490 H di tangan Sultan Khawarizm Syah dan pengaruh mereka
benar-benar redup di Irak.

300 Syaikh Muhammad al-Khudhari, Daulah ‘Abbasiyah, h. 790.


301 Syaikh Muhammad al-Khudhari, Daulah ‘Abbasiyah, h. 791; lihat juga Ibn Qutaibah
ad- Da inury, Al Imamah wa al-Siy&sah, Juz II, h. 167.
KhIlafah pada Maba Daulah 'Abbasiyah 93

Pada periode kelima, setelah runtuhnya Kesultanan Saljuk, dinasti


Daulah ‘Abbasiyah menikmati kekuasaan secara penuh dan independen
di Irak selama 66 tahun tanpa berada di bawah otoritas dan bayang-
bayang kesultanan. Hal ini sampai pada masa ketika bangsa Mongol dan
Tartar memulai gerakan ekspansi mereka yang dimulai dari ujung
Tbrkistan. Badai ekspansi mereka bertiup kencang menghantam negeri-
negeri Islam, lalu mengambil napas Daulah ‘Abbasiyah dan melenyap-
kannya dari Baghdad di tangan Hulagu Khan, cucu Jenghis Khan pada
656 H.302
Dinasti ‘Abbasiyah didirikan secara revolusioner dengan mengguna-
kan jasa orang-orang Khurasan dalam hal ini Abu Muslim al-Khurasani
yang berhasil mengumpulkan para pendukungnya dari kaum Muawiyah
yang merasa tertekan dan tersisihkan dari kekuasaan para penguasa
Dinasti Umayah yang telah menjadikan kasta Arab sebagai kasta tertinggi
dalam daulahnya dan kaum Persia menjadi pembantu-pembantu orang
Arab.303
Pada masa pemerintahan khalifah penama ‘Abbasiyah, terdapat tiga
orang pembantu yang memiliki kekuasaan setelah khalifah mereka ada-
lah Abu Muslim Al-Khurasani sang pemimpin revolusi ‘Abbasiyah me-
nguasai seluruh wilayah Timur, Abu Ja‘far al-Manshur (saudara As-Saffah
yang kemudian menjabat sebagai khalifah kedua) menguasai wilayah
Jazirah, Armenia, dan Irak, dan Abdullah bin Ali (paman As-Saffah)
menguasai Syam.
Namun kemudian, di saat Al-Manshur menjadi khalifah, Abu Muslim
al-Khurasani dipenjara seumur hidup dan Abdullah bin Ali dibunuh ka-
rena kelicikan sifat Al-Manshur yang merasa takut tersaingi oleh kedua
orang yang telah berjasa membangun Daulah Abbasiyah tersebut.30*
Berkat kebijakan politik yang dibangun oleh khalifah pada masa
Dinasti Abbasiyah, kehidupan serta gaya hidup masyarakat menjadi lebih

302 Syaikh Muhammad al-Khudhan, Daulah Abbasiyah. h. 790.


303 Lihat Ibn Qutaibah ad-Dainury, Allmdmah wa al-Siydsah. Juz 11. hh 163-166.
304 Syaikh Muhammad al-Khudhan, Daulah Abbasiyah. hh. 78-79.
94 KhIlafah

baik. Salah satu dampak positif dari kebijakan Khalifah adalah kebebasan
wanita berkarya, sehingga banyak wanita yang berprestasi terhadap
negara. Di samping itu kedudukan budak dan mantan budak memiliki
derajat yang lebih baik. Khusus di bidang perdagangan dan industri,
kebijakan Khalifah dalam melibatkan jaringan perdagangan internasio-
nal. Perdagangan paling awal adalah dengan melibatkan orang Kristen
dan Yahudi, sementara pada masa berikutnya lebih melibatkan orang¬
orang Islam Arab yang pandai berdagang. Kebijakan ini ditetapkan meng-
ingat luasnya wilayah kekuasaan Khalifah. Kebijakan lain yang juga dite¬
tapkan oleh Khalifah adalah mengembangkan industri pertanian dan
Islamisasi kerajaan.
Tatanan negeri di bawah pemerintahan Dinasti ‘Abbasiyah membawa
pengaruh besar terhadap peradaban dunia karena sistem politiknya yang
sudah tertata rapi. Mulai dari penataan sumber pemasukan negara, pe-
nyetaraan dan penguatan biro-biro pemerintahan, penguatan sistem
organisasi militer, serta penguatan administrasi wilayah pemerintahan.
Berangkat dari sistem politik itulah Dinasti Abbasiyah berkembang de¬
ngan pesat, bahkan tercatat dalam sejarah Islam sebagai dinasti terlama,
yaitu selama 5 abad lebih.
Adapun pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai
dengan perubahan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Sistem politik
yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah antara lain:
a. Para khalifah tetap dari Arab, sementara para menteri, gubernur,
panglima perang, dan pegawai lainnya banyak dipilih dari keturunan
Persia dan Mawali.
b. Kota Baghdad ditetapkan sebagai ibu kota negara dan menjadi pusat
kegiatan politik, ekonomi, dan kebudayaan.
c. Kebebasan berpikir dan berpendapat mendapat porsi yang tinggi.
d. llmu pengetahuan dianggap sebagai sesuatu yang sangat penting dan
mulia.
KhIlafah pada Masa Daulah 'AbbasIyah 95

e. Para menteri ketumnan Persia diberi kekuasaan penuh untuk men-


jalankan tugasnya dalam pemerintah.1®5

Selain sistem politik yang diterapkan di atas, pemerintahan ‘Abbasiyah


periode I juga mengembangkan kebijakan-kebijakan politik di antaranya
adalah:
a. Memindahkan ibu kota dari Damaskus ke Baghdad
b. Memusnahkan ketumnan Bani Umayah
c. Merangkul orang-orang Persia, dalam rangka politik memperkuat diri,
‘Abbasiyah memberi peluang dan kesempatan yang besar kepada
kaum Mawali
d. Menumpas pemberontakan
e. Menghapus politik kasta.305306

Dalam menjalankan pemerintahan, khalifah Dinasti Bani Abbasiyah


pada waktu itu dibantu oleh wazir (perdana menteri) yang jabatannya
disebut wizarat. Wizarat dibagi menjadi 2 yaitu: wizarat tafwid (memiliki
otoritas penuh dan tak terbatas), wizarat ini memiliki kedaulatan penuh
kecuali menunjuk penggantinya. Lalu, wizarat tanfidz (memiliki kekua¬
saan eksekutif saja) wizarat ini tidak memiliki inisiatif selain melaksana-
kan perintah Khalifah dan mengikuti arahannya.
Model pemerintahan yang diterapkan oleh Bani Abbasiyah bisa di-
katakan asimilasi dari berbagai unsur. Ini terlihat jelas dari adanya
periodisasi atau tahapan pemerintahan Abbasiyah.
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintah Bani
Abbasiyah menjadi jauh dari pengaruh Arab, sedangkan Dinasti Bani
Umayah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan
ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat
kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa TUrki sangat dominan
dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.

305 Jalaluddin As-Suyuthi. T&rikh al-Khulafd’, hh. 230-234.


306 Ibn Qutaibah ad-Dainury. Allmdmah hu al-Siydsah. Juz II. hh. 168-177.
96 KhIlafah

Dalam penyelenggaraan negara, pada Bani Abbasiyah jabatan wazir,


membawahkan kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di da¬
lam pemerintahan Bani Umayah. Pada masa ini, ketentaraan profesional
baru terbentuk.

Pertumpahan Darah di Era Daulah ‘Abbasiyah


Jika dilihat dari aspek lain, pada masa Daulah ‘Abbasiyah pun tak lepas
dari berbagai peperangan dan kekerasan. Sebagai contoh, perebutan
kekuasaan dari Bani Umayah yang dilakukan oleh As-Saffah sangat ba¬
nyak menumpahkan darah. Jalaluddin As-Suyuthi menggambarkan se-
cara terperinci mengenai hal tersebut. la menyebutkan bahwa Khalifah
Abul Abbas As-Saffah membunuh keluarga dan klan dari Bani Umayah.
Digelari As-Saffah karena sesuai dengan arti kata as-Saffah sendiri, yaitu
pengalir darah atau pembantai keluarga Bani Umayah?07
Muhammad Al-Khudhari mengutip kitab-kitab sejarah dari Ibnu
Khaldun, Ath-Thabari, Ibnu Atsir, dan Al-Mada’ini, menceritakan keke-
jaman As-Saffah. la menuliskan bahwa As-Saffah merupakan penguasa
yang sadis dalam menjatuhkan hukuman, suka balas dendam, melacak,
dan mengejar semua pengikut dan pendukung Bani Umayah, lalu mem¬
bantai mereka, hingga tiada seorang pun yang tersisa, kecuali anak-anak
dan yang melarikan diri ke Andalusia. Gelar As-Saffah dia dapatkan
308
karena banyaknya korban jiwa yang tak berdosa di tangannya.307
Perlakuan Bani Abbasiyah terhadap Bani Umayah sangat kejam dan
tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. saat
mengalahkan musuh-musuhnya pada fath al-makkah. Mereka yang ber-
konspirasi untuk membunuh Nabi, mengusir, menghunus pedang untuk
memeranginya, memprovokasi masyarakat dan suku-suku Arab untuk
melawannya, baik di Makkah maupun di Madinah, Rasulullah memaaf-
kan mereka. Ketika berhasil mengalahkan mereka pada tahun kedelapan
Hijriah, Rasulullah Saw. berseru, “Menurut kalian apa yang akan kulaku-

307 Jalaluddin As Suyuthi, Tdrikh al-Khulafa', h. 229.


30H Syaikh Muhammad al-Khudhari, Daulah Abbasiyah, h. 67.
r
KhIlafah pada Masa Daulah ‘Abbasiyah 97

kan terhadap kalian?” Mereka berkata, “Kebaikan, saudara yang mulia,


dan putra saudara yang mulia.”309 Rasulullah Saw. bersabda kepada me¬
reka sebagaimana perkataan Nabi Yusuf a.s., "Dia (Yusuf) berkata pada
hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah meng-
ampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang” (QS
Yusuf: 92).
Adapun Bani Abbasiyah, berlaku sadis terhadap Bani Umayah. Abul
Abbas As-Saffah membantai habis Bani Umayah di Irak, dengan dibantu
oleh Abdullah bin Ali, Sulaiman bin Ali di Bashrah, dan Dawud bin Ali di
Hijaz.
Muhammad Al-Khudhari mengutip kisah dari Abu al-Farj al-lshfahani
dalam Kitab Al-Aghani yang menceritakan peristiwa pembantaian ke-
luarga Bani Umayah oleh As-Saffah dalam suatu jamuan makan. Abu Faij
meriwayatkan dengan sanadnya, “Ketika itu Abul ‘Abbas As-Saffah se-
dang duduk di singgasana di atas tempat tidumya, sedangkan Bani
Hasyim di bawahnya di atas kursi-kursi. Adapun Bani Umayah duduk di
atas bantal-bantal yang dibuat untuk mereka. Lalu penjaga pintu meng-
hadap seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin, di depan pintu terdapat
seorang laki-laki dari keturunan terhormat dari Hijaz berpakaian hitam
dan tertutup meminta izin tanpa menyebutkan namanya dan ia tidak
akan membuka cadamya hingga melihatmu.” As-Saffah berkata, “Ini
adalah maula-ku (mantan budakku), Sudaif. Biarkan ia masuk.” Laki-laki
bercadar itu pun masuk. Ketika melihat As-Saffah dan Bani Umayah
berkumpul, maka ia membuka cadar penutup muka seraya melantunkan
bait syair:
Pemerintahan telah memiliki pilar-pilar yang kuat
Oleh para pribadi-pribadi mulia Bani Abbas
Anda adalah Al-Mahdi dari Bani Hasyim
Dan petunjuknya
Betapa banyak orang yang mengharapkanmu setelah berputus asa.310

509 Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, Vol. V h. 1078.


310 Muhammad al-Khudhari, ad-Daulah al-Abbasiyah, Kairo: Muassasah al-Mukhtar.
2003, hh. 49-50.
98 Kh'ilafah

Mendengar bait-bait syair tersebut, maka berubahlah wajah As-Saffah


seolah tersambar petir. Salah seorang putra Sulaiman bin Abdul Malik
dari Bani Umayah berkata, “Demi Allah, hamba sahaya ini telah mem-
bunuh kita." Kemudian As-Saffah menghadap ke arah orang yang hadir
dari Bani Umayah dan berkata, “Wahai Bani Al-Fawail, aku melihat bah-
wa masa kalian membunuh keluargaku telah berlalu, sedangkan kalian
tetap hidup menikmati kesenangan dunia." Lalu As-Saffah memerintah-
kan untuk menangkap semua yang hadii dari Bam Umayah.
Muhammad Al-Khudhari tidak melanjutkan apa yang terjadi terhadap
orang-orang yang hadir dari Bani Umayah itu. la hanya menyebutkan
bahwa “Ini merupakan tindakan sadis yang seandainya tidak banyak
riwayat yang mengisahkan peristiwa tersebut, maka tenrulah kami kebe-
ratan menuliskannya”.311
Adapun di sumber lain, Ibnu Atsir menuliskan pembantaian As-Saffah
terhadap Bani Umayah pada jamuan tersebut. Dia menyebutkan bahwa
salah satu bentuk kekejaman Abul ‘Abbas adalah dengan mengundang
jamuan makan kepada keluarga Bani Umayah yang tersisa, lalu meng-
habisi mereka dengan kejam saat perjamuan makan.
Abul Abbas membunuh Sulaiman bin Abdul Malik dengan tangannya
sendiri, dengan cara menariknya keluar dari meja makan. Ini juga
dilakukan terhadap 90 orang Bani Umayah lainnya: dijamu makan,
lantas dibantai. Bahkan tubuh mereka yang masih menggelepar ditutup
dengan permadani, dan As-Saffah serta keluarganya melanjutkan makan
malam di atas permadani.112
Keluarga Bani Umayah di Syam harus menjalani masa-masa sulit dan
penuh penderitaan karena putra-putra Khalifah dan pejabat tinggi lain¬
nya dari Bani Umayah dikejar-kejar, lalu mereka ditangkap dan tiada
seorang pun dari mereka yang selamat, kecuaii bayi yang masih menyusu
pada ibunya ataupun yang berhasil melarikan diri ke Andalusia. Sebagian
besar dari mereka dibunuh secara kejam.

3 J I Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Daulah Abbasiyah, h. 71.


312 l.ihat Ibn Atsir, Al-Kamil fi Tdrikh, Vol. Ill, h. 199.
KHiLAFAH PADA MASA DAULAH ‘ABBASlYAH 99

Selain pada kekhalifahan As-Saffah, kekejaman dan pertumpahan


darah pun terjadi pada khalifah setelahnya yaitu pada kekhalifahan Abu
Ja'far Al-Manshur. la menghabisi kedua orang yang telah berjasa pada
berdirinya Daulah 'Abbasiyah di saat perebutan kekuasaan dari Daulah
Umayah. Al-Manshur memburu dan memenjarakan seumur hidup Abu
Muslim Al-Khurasani serta membunuh dengan cara melakukan tipu daya
terhadap Abdullah bin Ali, dua tokoh utama yang membantu As-Saffah
di saat merebut takhta dari Bani Umayah. Al-Manshur merasa terancam
kekuasaannya jika masih ada kedua orang yang memiliki kekuatan dan
pengaruh besar di antara tentara Islam saat itu.
Abdullah bin Ali adalah paman Al-Manshur, tetapi kemudian dipen-
jarakan seumur hidup olehnya dengan cara mengadu domba dengan Abu
Muslim Al-Khurasani. Al-Manshur memerintahkan Abu Muslim untuk
menangkap Abdullah bin Ali. Terjadilah peperangan antara pasukan Abu
Muslim dan pasukan Abdullah bin Ali di Syam. Abdullah bin Ali terdesak,
lalu melarikan diri dari medan peperangan ke Bashrah yang ketika itu
dikuasai oleh saudaranya, Sulaiman bin Ali. Khalifah Al-Manshur mende-
ngar hal tersebut, lalu mengirimkan surat untuk menyerahkan Abdullah
bin Ali. Sulaiman menyerahkannya dan Al-Manshur memerintahkan agar
ia dipenjara seumur hidup sampai wafat pada 147 H. Pasukan Abdullah
bin Ali sebagian dibunuh dan sebagiannya lagi dikirim ke Khurasan lalu
dibunuh di sana?’1
Peristiwa ini merupakan taktik licik dari Al-Manshur terhadap orang
yang dianggap berpotensi merintangi kekuasaannya. Hal yang sama ia
lakukan terhadap Ibnu Hubairah. Setelah ia berhasil menangkap Abdul¬
lah bin Ali melalui tangan Abu Muslim, lalu Abu Muslim dibunuh secara
keji. Al-Manshur melakukan tipu daya. Abu Muslim diundang ke istana
Al-Manshur saat ia datang diserbu oleh empat orang penjaga istana
hingga wafat.’**

313 Syaikh Muhammad AJ-Khudhan. Daulah Abbasiyah, h. 84.


314 Syaikh Muhammad Al-Khudhan, Daulah Abbasiyah, h. 89
100 khIlafah

Al-Manshur juga tak segan menyingkirkan siapa saja yang berpotensi


mengancam kekhalifahannya, termasuk menyingkirkan keturunan ke-
luarga Nabi. Muhammad bin Abdullah bin Al-Hassan bin Zaid bin Hassan
bin Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh Al-Manshur setelah melalui serang-
kaian perang antara keduanya. Setelah membunuh Muhammad bin
Abdullah, Al-Manshur menyampaikan khutbah yang isinya menceritakan
hasutan-hasutan dengan mencaci-maki sifat keturunan Ali bin Abi Thalib
sebagai orang-orang yang haus terhadap dunia, dan lemah pendirian.
Dalam Tarikh Thabari, Al-Manshur banyak membantai keluarga-
keluarga keturunan Ali bin Abi Thalib.315 Perlakuan yang lebih baik
terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib teijadi pada masa Khalifah Al-
Makmun. Bahkan Al-Makmun dicurigai oleh para ulama pada masanya
lebih berpihak pada keutamaan Ali bin Abi Thalib dibandingkan dengan
sahabat lainnya. Al-Makmun membela diri, ia mencintai apa pun yang
dekat dengan Nabi, meskipun itu hanya sebuah tongkat yang pemah
dipegang Nabi, apalagi terhadap sahabat dan keluarga Nabi yang semasa
hidupnya beijuang bersama Nabi Saw. dan rela mengorbankan apa pun
unruk mendukung perjuangan Nabi Saw.316[]

315 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir Ath-Thabari, Tdrikh ath -Thabari, dikurip dalam Syaikh
Muhammad Al Khudhari, Daulah Abbasiyah, h. 107.
316 Syaikh Muhammad Al-Khudhari, Daulah ‘Abbasiyah, hh. 343-347.
KH1LAFAH PADA MASA
DAULAH FATHIMIYAH

R
untuhnyahegemoni Daulah Abbasiyah akibat dari lemahnya
kepemimpinan dan dukungan politik dari berbagai daerah ke-
kuasaan. Di atas puing-puing keruntuhan, banyak dinasti muncul
dalam arti memerdekakan diri, yang berangkat dari akar kepentingan
politik kekuasaan dan perbedaan pemahaman agama, suku, ras, dan
bangsa.
Salah satu dinasti yang muncul adalah Dinasti Fathimiyah yang ber-
asal dari golongan Bani Ubaidi. Bani Ubaidi berasal dari daerah Maghribi
(Tunisia) mereka terns memperkuat diri dan memperluas wilayah kekua¬
saan. Kerajaan yang bemaung di bawah Bani Abbasiyah semuanya me¬
reka kuasai, pertama yang ada di Maghribi kemudian meluas ke Afrika.
Pada saat Dinasti Abbasiyah terus menuju kehancurannya, Dinasti Bani
Ubaidi terus melebarkan kekuasannya hingga Mesir, Suriah, dan Hijaz.
Fathimiyah berasal dari suatu tempat yang kini dikenal sebagai TUnisia
(Ifriqiya) namun setelah penaklukan Mesir sekitar 971 M, ibu kotanya
dipindahkan ke Kairo. Pada masa Fathimiyah, Mesir menjadi pusat ke¬
kuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika,
Palestina, Suriah, Yaman, dan Hijaz. Pada masa Fathimiyah, Mesir ber-
kembang menjadi pusat perdagangan di Laut Tengah dan Samudra

101
102 kmIlafah

Hindia, yang menentukan jalannya ekonomi Mesir selama Abad Perte-


ngahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.317
Dinasti Fathimiyah berdiri pada tahun 909 hingga 1171 Masehi. Saat
itu, kondisi Dinasti Abbasiyah di Baghdad melemah dan tidak mampu
lagi mengatur daerah kekuasaan yang luas. Dalam keadaan seperti itu,
sekeiompok Syi'ah Isma‘iliyah dari Afrika Utara menyusun kekuatan
untuk memerdekakan diri. Gerakan yang mendirikan negara baru ini
merupakan gerakan bawah tanah yang tidak bisa ditelusuri secara jelas.
Gerakan ini merupakan cabang dari Syi‘ah Isma‘iliyah, yang mengakui
enam Imam pertama Syi'ah Imamiyah, namun berselisih mengenai Imam
ketujuh. Bagi kaum Imamiyah, Musa al-Kazim putra Ja’far al-Shadiq
adalah imam yang ketujuh, sedangkan kaum Isma'iliyah mengakui Isma’il
sebagai Imam Ketujuh. Bagi golongan Imamiyah, karena Isma'il wafat
lebih dahulu dari bapaknya, maka yang dinobatkan adalah Musa al-
Kazim. Sementara menurut pengikut Isma'il, hak atas Isma'il sebagai
imam tidak dapat dipindahkan kepada yang lain walaupun sudah me-
ninggal.316
Sejak pemimpin ketujuh mereka, Isma'il meninggal, aktivitas aliran
Isma‘iliyah dimulai, karena khalifah-khalifah ‘Abbasiyah mengadakan
penyelidikan, maka golongan yang setia kepada Isma‘il bin Ja‘far terpaksa
harus meninggalkan Salamiyah, kota kecil di wilayah Hammah, Suriah,
menuju Afrika Utara. Di sini mereka mulai melancarkan propaganda
politik untuk memperoleh dukungan rakyat. Gerakan ini dipimpin oleh
seorang orator andal Isma‘iliyah bemama Abu Abdullah, yang dikenal
dengan sebutan asy-Syi'i. Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki
kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, munculnya al-Mahdi yang
akan membebaskan rakyat dari penindasan dan teror, menyatakan bahwa

317 G. E. Boswon, Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dari The Islamic Dynasties oleh
Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1993), h. 17.
31k G. E. Boswort. Dinasti-Dinasti Islam, h. 18.
KhIlAFAH PAOA Masa DaULAH FATHiMiYAH 103

mereka akan lebih dekat kepada Nabi daripada Dinasti Ummayyah dan
Abbasiyah.31’
Menjelang tahun 909 Masehi gerakan ini sudah memperoleh banyak
dukungan sehingga mampu mengusir Dinasti Aghiabi dari Afrika Utara
dan menjadi penguasa. Abu Abdullah mengundang Ubaidillah Al-Mahdi
yang mereka klaim sebagai al-Mahdi dan pada Januari 910 Masehi men-
jabat sebagai Amirul Mukminin.
Dengan demikian, resmilah berdiri sebuah dinasti baru yang bemama
Dinasti Fathimiyah dengan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama,
pendukung Ubaidillah adalah suku-suku nomaden, yang telah menjadi
pengikut Syi'ah Isma‘iliyah. Mereka melawan kaum Aghlabiyah yang
terdiri dari suku bangsa Arab aliran Sunni yang terikat dengan penguasa
Abbasiyah. Suku ini berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa
di Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani
Ummayyah yang digulingkan Bani Abbasiyah di Baghdad.
Fokus Dinasti Fathimiyah yang pertama adalah mengambil keperca-
yaan umat Islam bahwa mereka adalah keturunan Fathimah putri
Rasulullah dan istri dari Ali bin Abi Thalib. Namun, kalangan Sunni me-
nolak asal usul tersebut dan biasanya mereka menyebut Dinasti Ubaidi,
khalifah pertama Dinasti Fathimiyah, bahkan ada yang menuduh mereka
keturunan Yahudi, sebagaimana tuduhan kepada Ubaidillah secara pri-
badi.*320
Walaupun berambisi untuk mengalahkan kekuasaan Daulah Abbasi¬
yah, Fathimiyah tidak menyerang Baghdad, mereka malah terus mening-
katkan propaganda dan berusaha menduduki Mesir. Ketika itu, Dinasti
Fathimiyah dipimpin oleh Khalifah Al-Mu’iz, Mesir sedang berada dalam
kondisi kacau dan lemah ketika Jauhar panglima pasukan Fathimiyah
sedang menghadapi armada Bizantium di Laut Tengah. Melihat hal

A 19 W Montgomery Wan, KriavaanIslam: Kajian Kritis dan Tbkoh Onen tails, diterjemah
kan oleh Hartonom Hadikusuma, Yogy akarta: Tiara Wacana, 1990, h. 172.
320 Abu Su'ud, Islamologi:Seiarah. A/anun, dan ftranannya dalam Rerudaban Umat Manu
sia, Jakarta: Rincka Cipta, 2003, h. 19. Lihat juga Cvrel Glasse. Ensiklopedia Islam,
Jakarta. PT RajaGrafindo Rersada, 2002, h. 97

I
104 KhIlafah

tersebut, maka pada tahun 969, Jauhar atas perintah Khalifah menyerbu
Fusfat, yang merupakan titik pertahanan paling lemah. Segera setelah
itu, dia menyatakan Mesir sebagai benteng kekuatan Isma'iliyah.
Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fathimiyah
selanjutnya adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di Fusfat ba-
gian utara, yang mereka sebut dengan al-Qahirah, yang berarti sang
penakluk. Sejak itu, penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu
menjadi pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun peme-
rintahan di Timur Tengah. Di samping itu, dinasti ini juga berupaya untuk
menyebarluaskan ideologi Fathimiyah ke Palestina, Suriah, dan Hijaz.
Keberadaan Dinasti Fathimiyah berbeda dengan dinasti-dinasti kecil
lainnya. Dinasti Fathimiyah mengklaim diri sebagai kekhalifahan yang
memegang pimpinan politik dan spiritual tertinggi. Mereka tidak meng-
aku bagian dari ‘Abbasiyah, mereka melepaskan diri dari Baghdad, tidak
hanya dari segi politik, tetapi juga spiritual. Sementara dinasti-dinasti
kecil lainnya walaupun secara politik melepas dari Dinasti ‘Abbasiyah,
secara spiritual mereka tetap terikat. Iniiah yang membedakan Dinasti
Fathimiyah dengan dinasti-dinasti lokal lainnya.
Khalifah-khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang
yaitu:
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi Billah (910-934)
sebagai pendiri.
2. Abu Muhammad al-Qa’im Biamrillah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-
946).
3. Abu Zahir Ismail al-Mansur Billah (946-953).
4. Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz Lidinillah (953-975). Mesir ditaklukkan
semasa pemerintahannya.
5. Abu Mansur Nizar al-’Aziz Billah (975-996).
6. Abu AJi al-Mansur al-Hakim Biamrillah (996-1021).
7. Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Dinillah (1021-1036).
8. Abu Tamim Ma’add al-Mustansir Billah (1036-1094).
9. Al-Musta’li Billah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbul-
kan perpecahan Nizari.
KhIlafah pada Masa Daulah FathImIyah 105

10. Al-Amir BiahkamiUah (1101-1130) Penguasa Fathimiyah di Mesir


seteiah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Isma'iliyah.
1 1. Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149).
12. Al-Zafir (1149-1154).
13. Al-Faiz (1154-1160).
14. Al-Adhid (1160-1171).32‘

Dinasti Fathimiyah mencapai puncaknya pada periode Mesir, terutama


pada masa kepemimpinan Al-Mu’izz, Al-Aziz, dan Al-Hakim. Puncaknya
adalah masa Al-Aziz. Mesir senantiasa berada dalam kedamaian dan
kemakmuran karena keadilan dan kemurahan hati sang khalifah. Nama
sang khalifah selalu disebutkan dalam khutbah-khutbah Jumat di sepan-
jang wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut
Merah. Al-Aziz adalah khalifah kelima yang berkuasa di Dinasti Fathimiyah
dan merupakan khalifah pertama di Mesir. Pada masa ini teijadi perluasan
wilayah dan pembangunan dalam kerajaan, istananya bisa menampung
30.000 tamu, masjidnya sangat megah, perhubungan sangat lancar, dan
keamanan terjamin. Perekonomian dibangun, baik dari sektor pertanian,
perdagangan, maupun industri sesuai dengan perkembangan teknoiogi
pada waktu itu.
Sumbangan Dinasti Fathimiyah terhadap peradaban Islam sangat
besar, baik dalam sistem pemerintahan, kebudayaan, politik, maupun
dalam bidang ilmu pengetahuan. Di bidang pemerintahan. Fathimiyah
berhasil mendirikan sebuah negara yang sangat luas dan peradaban sa¬
ngat maju yang jarang disaksikan di Timur. Hal ini sangat menarik per-
hatian karena sistem administrasi yang sangat baik. aktivitas artistik,
toleransi beragama, efisiensi angkatan perang dan angkatan laut. keju-
juran pengadilan. dan perlindungan terhadap ilmu pengetahuan dan
kebudayaannya.

321 Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Umacnya. Jakarta PT Bulan Bintang. 1979.
h. 109.
106 KhIlafah

Di bidang kebudayaan, dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat,


terutama setelah didirikannya Masjid Al-Azhar yang sekarang dikenal
dengan Universitas Al-Azhar, yang berfungsi sebagai pusat pengkajian
Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan Masjid Al-
Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syi’ah maupun
Sunni?22
Di bidang politik, Khilafah Fathimiyah melakukan serangkaian kebi-
jakan, di antaranya pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan
(Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan langkah strategis. Mesir
akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai negara yang
tunduk padanya, karena lebih dekat dengan Dunia Islam bagian Timur,
sedangkan Qairawan jauh di sebelah utara Benua Afrika.
Pada masa Khalifah Al-Aziz dilakukan juga perluasan wilayah yang
meliputi negeri Arab sebelah timur sampai Laut Atlantik sebelah barat
dan Asia Kecil sebelah utara sampai Naubah sebelah selatan. Pembentuk-
an Wazir Tanfiz yang benanggung jawab mengenai pembagian kekuasa-
an pusat dan daerah. Namun, Dinasti Fathimiyah kurang berhasil di
bidang politik dalam dan luar negeri, terutama ketika menghadapi ke¬
lompok Nasrani dan Sunni yang sudah lebih dahulu mapan di Mesir.
Dari metode pergantian khalifah, dapat dikatakan bahwa bentuk pe¬
merintahan pada masa Dinasti Fathimiyah adalah berbentuk monarki
atau kerajaan, yaitu sistem pergantian kepala negara atau pemerintahan
secara turun-temurun.323 Di dalam perjalanan pemerintahannya, Daulah
Fathimiyah melalui dua fase, yaitu:
a. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar,
keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti
Fathimiyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Dau¬
lah Fathimiyah karena awalnya Barbar lah yang menguasai anggota

»22 Cyrcl Glasse, Ensiklopedia Islam, Jakarata: PT RajaGiafindo Persada, 2002, h. 97.
»23 Abu Su'ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Pcradaban Umat Manu
>ia. h. 23.
KHlLAFAH PADA Masa DAULAH FATHlMiYAH 107

pemerintahan. Banyak bangsa Barbar dalam pemerintahan. Keadaan


ini berlangsung sampai masa pemerintahan Al-Muizz li Dinillah.
Sedangkan pada masa pemerintahan Az-Zahir dan AJ-Munthasir,
Khahfah lebih dekat dengan keturunan Hirki. Sehingga muncullah
dua kekuatan besar, yaitu Tlirki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar
kehilangan kedudukan dalam pemerintahan.
b. Fase Parlementer (1022-1171 M)
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyah
memasuki fase parlementer. Suatu fase di mana banyak sekali muncul
permasalahan-permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan
dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa
ini disebut juga dengan “Ahdu Nufuzil Awzara” atau masa pengaruh
menteri-menteri mulai dari Az-Zahir, sampai dengan Al-Adid.

Pada fase ini terjadi kemunduran tatanan politik, yakni periode pe-
perangan antar-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah
iqta’ yang dikuasai oleh para pejabat militer yang berpengaruh. Perang
Salib terjadi dalam fase ini. Perang yang terjadi di awal kekuasaan Al-
Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyah dari
Mesir sampai ke Palestina dan Suriah.
Fase parlementer ini ciri khasnya adalah adanya peran menteri yang
begitu dominan dalam mengambil kebijakan. Pada fase ini, suksesi ke-
pemimpinan pun sangat ditentukan oleh seorang menterij]
5
KHILAFAH PADA MASA
D1NASTI AYYUBIYAH

eruntuhankekuasaan Bani Fathimiyah membawa pengaruh bagi

K lahimya dinasti baru. Setelah berkuasa kurang lebih 262 tahun


di Mesir, kekuatan dinasti ini melemah. Kehancuran dinasti ini
dipicu oleh adanya konflik internal kerajaan yang tirnbul karena pere-
butan jabatan wazir di antara para suku di dalam kerajaan. Setelah
Dinasti Fathimiyah runtuh, kendali pemerintahan di Mesir dipegang oleh
Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi. Al-Ayyubi memerintah di Mesir setelah
diangkat menjadi perdana menten oleh khalifah Bani Fathimiyah ter-
akhir, Al-Adhid pada 1174 M. Dalam perkembangannya. Salahuddin
Yusuf Al-Ayyubi sebagai pendiri Dinasti Ayyubiyah, menyatakan ke
setiaannya pada kekhalifahan Dinasti ‘Abbasiyah. Berarti secara langsung.
Dinasti Ayyubiyah bertentangan dengan Dinasti Fathimiyah. Renentangan
ini terletak pada perbedaan sikap politik antara Dinasti Fathimiyah dan
Dinasti Ayyubiyah, yaitu pengakuan terhadap posisi Dinasti Abbasiyah
di Baghdad. 144
Dinasti Ayyubiyah merupakan keturunan Ayyub, seorang ketumnan
suku Kurdi dari Azerbaijan. Nama Ayyubiyah dikaitkan dengan nama
ayah Salahuddin, yaitu Ayyub bin Syadzi. Sebenamya, dinasti ini ber-
bentuk persatuan (konfederasi). Beberapa yang tunduk pada satu dinasti

124 Muhammad Ash-Shahbi. Duuhih h- !<»•

109
110 Khilafah

yang dipimpin oleh kepala negara, tiap-tiap dinasti dipimpin oleh seorang
anggota keluarga Ayyubiyah. Pendiri Dinasti Ayyubiyah adalah Salahuddin
Al-Ayyubi putra dari Najmuddin bin Ayyub.
Sejak 1171 M, Dinasti Ayyubiyah mulai berkuasa, hingga 75 tahun
lamanya. Karena dianggap berhasil dalam menjalankan pemerintahan-
nya, Khalifah Al-Muhtadi (Khalifah Bani Abbasiyah) memberikan gelar
Al-Mu'iz li amiru mukmin kepada Salahuddin Al-Ayyubi.
Setelah khalifah Fathimiyah, Al-Adhid, wafat pada 1 171 M, Salahuddin
Al-Ayyubi berkuasa penuh untuk menjalankan peran keagamaan dan
politik. Pada masa pemerintahannya, Salahuddin Al-Ayyubi membagi
wilayah kekuasaan kepada saudara-saudara dan keturunannya. Hal ini
mengakibatkan munculnya beberapa cabang Dinasti Ayyubiyah, di antara-
nya:
1. Kesultanan Ayyubiyah di Mesir dengan rajanya Salahuddin Yusuf Al-
Ayyubi (1171-1193 M).
2. Kesultanan Ayyubiyah di Hamah dengan rajanya Al-Muzaffar I ( 1178-
1191 M).
3. Kesultanan Ayyubiyah di Homs dengan rajanya Al-Qahir (1178-1186 M).
4. Kesultanan Ayyubiyah di Aleppo dengan rajanya Al-Adil I (1183-1193 M).
5. Kesultanan Ayyubiyah di Damaskus dengan rajanya AJ-Afdal (1193-
1196 M).
6. Kesultanan Ayyubiyah di Mayyafariqin dengan rajanya Al-Adhid I
(1193-1200 M).
7. Kesultanan Ayyubiyah di Sinjar dengan rajanya Al-Asraf (1220-1229 M) .
8. Kesultanan Ayyubiyah di Kerak dengan rajanya An-Nasir Dawud
(1229-1239 M).
9. Kesultanan Ayyubiyah di Hisn Kayfa dengan rajanya As-Salih Najmu-
din Ayyub (1232-1249 M).125

'2' Ah Muhammad Ash Shallabi, AlAyyubiyuna ba'da Shalahuddm, diterjcmahkan ke


dalam bahasa Indonesia, Bangkit dan Runtuhnya Daulah Ayyubiyah, Jakarta: Pustaka
Kautsar, 2016, hh. 20 21.
KhIlafah pada Masa DInast! Ayyubiyah 111

Khilafah Ayyubiyah berdiri atas jasa besar Salahuddin Al-Ayyubi. Pada


waktu masih muda, Salahuddin Al-Ayyubi kurang begitu dikenal di ka-
langan masyarakat Suriah. la gemar melakukan diskusi tentang llmu
Fikih, llmu Kalam, Al-Qur’an, dan Hadis. Kemudian oleh ayahnya, ia
dikenalkan dengan Nuruddin Zanki Gubemur Suriah pada waktu itu.
Keberhasilan Salahuddin Al-Ayyubi sebagai tentara terlihat ketika
mendampingi pamannya, Asaduddin Syirkuh, yang mendapat tugas dari
Nuruddin Zanki untuk membantu Dinasti Fathimiyah di Mesir pada 1164
M. Perdana Menteri Syawar yang dikudeta oleh Dirgam menjanjikan
imbalan sepertiga pajak tanah Mesir kepada Salahuddin Al-Ayyubi. jika
ia barhasil mengalahkan Dirgam.
Ternyata Salahuddin mengalahkan tentara Dirgam dan akhimya Per¬
dana Menteri Syawar bisa menduduki kembali jabatannya pada 1164 M.
Tiga tahun kemudian, Salahuddin Al-Ayyubi kembali menyertai paman¬
nya ke Mesir. Ini dipicu oleh Syawar yang bersekutu dengan Amauri,
seorang tentara Perang Salib yang dulu pemah membantu tentara Dir¬
gam, keadaan ini sangat membahayakan posisi Nuruddin Zanki dan umat
Islam pada umumnya.
Terjadi peperangan sengit antara pasukan Salahuddin melawan
pasukan Syawar yang dibantu oleh Amauri. Pada mulanya. pasukan
Salahuddin Al-Ayyubi berhasil menduduki Iskandariah. tetapi ia dike-
pung dari darat dan laut oleh tentara salib yang dipimpin Amauri. Pepe¬
rangan ini berakhir dengan perjanjian damai pada Agustus 1167 M.
Perjanjian tersebut berisi tentang pertukaran tawanan perang. kemudian
Salahuddin Al-Ayyubi kembali ke Suriah, sedangkan Amauri kembah ke
Jerusalem dan Iskandariah diserahkan kembali kepada Syawar.
Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Khalifah Al-Adhid dari Dinasti
Fathimiyah mengangkat Asaduddin Syirkuh sebagai Perdana Menteri
Mesir pada 1 169 M. Ini merupakan pertama kalinya keluarga Al -Ayyubi¬
yah menjadi Perdana Menteri, tetapi dua bulan setelah dilantik, Syirkuh
meninggal. Posisinya digantikan oleh Salahuddin Al-Ayyubi yang dilantik
oleh Khalifah Al-Adhid pada 25 Jumadil Akhir 564 H/26 Maret 1169 M.
112 KhIlafah

Pada saat itu, Salahuddin Al-Ayyubi berusia 32 tahun, sebagai perdana


menteri, dia mendapatkan gelar Al-Malik an-Nasir.
Setelah Khalifah Al-Adhid wafat pada 1171 M, Salahuddin Al-Ayyubi
mengambil alih kekuasaan di Mesir. Salahuddin Al-Ayyubi memprok-
lamasikan dirinya sebagai Sultan Mesir dengan nama Al-Mahk an-Nasir
As-Sultan Salahuddin Yusuf. Sebelum Salahuddin berkuasa, di Mesir telah
berdiri Dinasti Fathimiyah yang bermazhab Syi’ah. Namun, Salahuddin
mendukung Dinasti Abbasiyah karena sama-sama bermazhab Sunni. la
juga berusaha mengembalikan kekuasaan spiritual dalam setiap khutbah
Jumat sebagai pengganti penyebutan penguasa Dinasti Fathimiyah Al-
Adhid dengan Khalifah Abbasiyah. Hal ini ia lakukan pada 1171 M, dan
pada tahun ini pula Salahuddin Al-Ayyubi berkuasa penuh untuk men-
jalankan peran keagamaan dan politik.
Runtuhnya Dinasti Ayyubiyah dimulai pada masa Sultan As-Salih
Najmuddin Ayyub. Pada waktu itu, tentara dari kaum budak di Mesir/
kaum Mamluk memegang kendali pemerintah. Setelah As-Salih wafat
pada 1249 M, Dinasti Ayyubiyah diteruskan oleh putra As-Salih, yaitu
Al-Malik Al-Mu'azhzham TUransyah.
Pada 1250, Mamalik Bahri di bawah pimpinan Baybars dan Izzuddin
Aibak melakukan kudeta Dinasti Ayyubiyah sehingga Turansyah terbu-
nuh. Setelah kejadian tersebut, diangkatlah Syajarat ad-Durr, istri dari
mendiang Sultan As-Salih Najmuddin Ayyub, sebagai sultan mereka. la
adalah ratu pertama dan terakhir dari Mesir. Namun, ketika mereka akan
membaiatnya menjadi sultan, kaum Muslim menolaknya karena berten-
tangan dengan tradisi. Untuk mengatasi masalah itu, Izzuddin Aibak
menikahi Syajarat ad-Durr, setelah mendapat dukungan dari amir-amir,
la kemudian bertindak sebagai sultan (1250-1257 M), tetapi Syajarat
ad-Durr tetap memegang kekuasaan dari belakang layar. Dari sinilah
avval terbentuknya Dinasti Mamalik di Mesir yang dipimpin oleh seorang
budak dan berakhirlah Dinasti Ayyubiyah menguasai Mesir.‘26(J

326 Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Ayyubtyuna ba'da Shalahuddin. hh. 804-812. hhat
juga Philip K. Hitti, History of The Arabs: From the Earlist Times to the Present, diter
jemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT Serambi
llmu Scmcsta, 2005, h. 859.
6
KHILAFAH PADA MASA
DINASTI TURKI UTSMANI

N amaDinasti TUrki Utsmani dialamatkan kepada pendirinya,


yaitu Sultan Utsmani bin Sauji bin Ertugrul bin Sulaiman Syah
bin Kia Alp, kepala Kabilah Kab di Asia Tengah.3*'
Berawal dan kerajaan keal lalu mengalami perkembangan pesat dan
akhimya menjadi dinasti adikuasa pada masanya dengan wilayah kekua
saan meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia, dan Eropa bagian
timur. Masa pemerintahannya betjalan dalam rentang waktu yang cukup
panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600
tahun) dengan jumlah raja sebanyak 40 orang yang menjabat secara silih
berganti, dari mulai sultan penama Utsman 1 hingga yang terakhir Khali-
fah Abdul Madjid II.
Secara garis besar, Dinasti TUrki Utsmani terbagi ke dalam 3 penode:
masa sebelum tanzimat, era tanzimat, dan setelah era tanzimat. Tanzimat
adalah masa pembaruan sistem kesultanan di era Dinasti Turki Utsmani,
di mana sistem kekhalifahan dipisahkan antara sistem pemerintahan
(bidang yang mengurusi urusan duniawi) dan sistem kekhalifahan
(bidang akhirat).

327 Hamka Sciarah L'mat Islam. Singapura: Pusiaka Nastonal Pte Ltd, 2005, h 205.
328 Philip K. Hun, Histon of the Arabs. London The Mac Millan Press. 197), h. 710

113
114 KhIlafah

Pada era sebelum tanzimat, Sultan memiliki peran ganda, yaitu pe-
milik kekuasaan temporal atari dunia dan kekuasaan spiritual atau ru¬
hani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai
kepala ruhani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.32* Dengan demi-
kian, Raja Utsmani mempunyai dua bentuk kekuasaan. kekuasaan meme-
rintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam.
Adapun setelah era tanzimat, Sultan hanya menjabat sebagai pemim-
pin spiritual atau ruhani. Hal tersebut terlihat. misalnya, pada gelar
Sultan terakhir Dinasti TUrki Utsmani, yaitu Khalifah Abdul Madjid II,
yang hanya bergelar khalifah. Artinya, kepemimpinannya hanya di bi-
dang aspek spiritual dan tidak memiliki kekuasaan duniawi.
Era tanzimat sebagai sebuah gerakan pembaruan yang terjadi di TUrki
Utsmani terjadi pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai de¬
ngan munculnya sejumlah tokoh pembaruan TUrki Utsmani yang belajar
dari Barat, yaitu bidang pemerintahan. hukum. administrasi, pendidikan,
keuangan, perdagangan, dan sebagainya.329330
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaruan sebagai kelanjutan
dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566
M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun, pembaruan yang
sebenamya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud
II (1808-1839 M).”1 la memusatkan perhatiannya pada berbagai per-
ubahan internal di antaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum.
Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai sultan yang pertama kali dengan
tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia.
Urusan agama diatur oleh syariat Islam (al-tasyrT al-dini) dan urusan

329 Harun Nasution, F^mbaharuan Dalam Islam. Sejarah ftnukiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang. 1996, h. 92.
330 Kafrawi Ridwan (ed ). Ensiklopedi Islam, jilid HI. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1994. h. 113. Lihal juga Harun Nasution. Prmbaharuan Dalam Islam, h. 97 Arthur
Goldschmidt mcnuliskan bahwa tanzimat terpusat setidak tidaknya pada tiga
persoalan pokok yaitu: terming pemilikan tanah. koditikasi hukum hukum, dan
reorganisasi militer lahar Arthur Goldschmidt, A Concise History of the MidIc East,
USA: Westview Press, 1991. h 124.
331 Arthur Goldschmidt, A Concur History of the MidIc Fast, h 1 56.
KhIlafah pada Masa DInastI TurkI UtsmanI 115

dunia diatur oleh hukum yang bukan syariat (tasyri’ madani). Hukum
syariat terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan hukum
bukan syariat diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk meng-
aturnya. Hukum yang bukan syariat ini diadopsi dari Eropa, Prancis, dan
negeri asing lainnya.332
Pembaruan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya men-
dapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat
kritikan dari para cendekiawan Islam Kerajaan TUrki Ucsmani. Kritikan
ini timbul dari tokoh nasionalis TUrki, Mustafa Kemal At-Taturk (Bapak
Turki),333 yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan na¬
sionalis Barat. Westernism, sekularisme, dan nasionalisme menjadi pola
dan dasar pemikirannya. la berpendapat Turki hanya dapat maju dengan
meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamasikan
Republik TUrki Sekuler tahun 1924 M. Mustafa Kemal selanjutnya meng-
hilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapus-
kan Syaikh al-Islam, Kementerian Syariat dan Mahkamah Syariat serra
hukum syariat dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat.
Dalam soal perkawinan diganti dengan hukum Swiss, yaitu menurut
hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria,
dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal
sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menen-
tang agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama
diadakan Depanemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan
beragama kepada rakyat.
la beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun
dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan de¬
ngan kondisi dan kebutuhan Negara Ibrki. Al Qur an perlu diterjemahkan
ke dalam bahasa TUrki. Azan harus dikumandangkan dalam bahasa Tbrki.

332 Tbsyn’ Madam, pada maw selanjutnya membawa kepada adanya hukum sekuler.
Harun Nasution. lYmbaharuan Dalam I skim, h. 93.
133 Harun Nasution. Rrmbaharuun Dalam Islam, hh. 147152.
116 KhIuafah

Azan dalam bahasa TUrki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931

Pembaruan sistem pemerintahan, terutama pasca-era tanzimat, me-


nandakan berakhimya Kesukanan TUrki Utsmani, di mana TUrki berubah
dari sistem kekhalifahan menjadi negara sekuler dengan nama Repubiik
TUrki yang melakukan modemisasi seluruh aspek kenegaraan. Selain itu,
wilayah yang dulunya dikuasai pun pudar dan memisahkan diri dari
Kesukanan Turk) Utsmani.
Peneliti Amerika, Eugene Rogan, meneliti mengenai tahapan keja-
tuhan Dinasti Turki dalam bukunya The Fall of The Khilafah. Disebutkan,
detik-detik kejatuhan TUrki Utsmani terjadi setelah munculnya Perang
Dunia I tahun 1914 sampai 1918. Perang ini sangat berpengaruh dalam
penciptaan dunia Timur Tengah modern. Dengan jatuhnya Khilafah
Utsmaniyah, imperialisme Eropa menggantikan kekuasaan Hirki. Setelah
berabad-abad bersatu dalam kerajaan multinasional di bawah kekuasaan
Muslim Utsmaniyah, orang-orang Arab menemukan diri mereka terbagi
ke dalam sejumlah negara baru (berbentuk kerajaan/emirat dan lainnya)
di bawah dominasi Inggris dan Prancis.335

IM Harun Nasution. Pembaharuan Dalam Islam, h. 152.


I3S Eugene Rogan. The Fall of The Khilafah, New York: Basic Books. 2015, h. 487
7
DEFINISI DAN KONSEP
KHILAFAH

erdapatragam konsep khilafah dan aspek sejarah di Duma Islam

T sejak Khulafa ar-Rasyidin hingga Dinasti Turki Utsmani yang


telah dibahas pada bab sebelumnya. Pada tataran konsep, khi¬
lafah pun memiliki banyak pengenian. Konsep khilafah, tidaklah tungga!
Ulama besar Al-Mawardi, yang hidup pada abad keempat Hijnah
(wafat tahun 450 H) memberikan pengenian mengenai khilafah dengan
menyamakannya dengan istilah imamah. Khilafah dan imamah dalam
pengenian Al-Mawardi adalah sama. Hal tersebut pun sama dengan
pendapat Ibnu Khaldun. Dalam kitab Muqaddimah, Ibnu Khaldun
memberikan pengenian khilafah dengan sebutan imamah
Menurut Al-Mawardi, “Imamah berkaitan dengan khilafah (penggand
tugas) kenabian dalam menjaga urusan agama dan masalah polirik
dunia. Kewajiban adanya imamah dalam suatu umat adalah wajib secara
iima\"w Namun. terdapat perbedaan pendapat mengenai tingkatan ke-
wajibannya, apakah termasuk wajib secara akal Caqh) atau wajib secara
syara’ (syar’i).

"o lihat Al Mawardi. Al-Ahkam ax &uhhaniyuh ft abWHayah ad-Dimyah. Jakarta AJ-


llaramain, 2001 . h. 7.
H' Ibn Khaldun Mu^uddnnuh. Jihd I. h IQS.
Al Mawardi. Al-Ahkam af Suhhan(vah h al WHiprah ad Dtniyuh. h 7

117
118 KhIlafah

Terdapat dua golongan pendapat berkenaan dengan hal tersebut.


Golongan pertama meyakini bahwa imamah wajib karena pertimbangan
akal. Alasannya manusia adalah makhluk sosiai dan dalam pergaulan
antara mereka mungkin terjadi permusuhan, perselisihan, dan peng-
aniayaan. Karenanya diperlukan pemimpin vang dapat mencegah ter
jadinya kemungkinan-kemungkinan itu. Jadi secara logika, manusia
membutuhkan pemerintahan. Adapun golongan pendapat kedua meya
kini bahvva imamah wajib berdasarkan syariat (syar t) bukan karena
pertimbangan akal, karena kepala negara menjalankan tugas togas
agama yang bisa saja akal tidak mendukungnya dan secara akal tidak
mewajibkan sang pemimpin untuk menjalankannya. Sementara uu. rasio
hanya mewajibkan seuap orang yang berakal agar tidak melakukan ke-
zaliman dan tidak memutuskan hubungan dengan orang lain, serta men-
dorong untuk berbuat adil dan menyambung hubungan dengan orang
lain, sedangkan syariat mengatur secara lebih terperinci, yaitu untuk
menaati pemimpin (ulil amri) sebagaimana yang diperintahkan Allah
Swt. dalam Surah Al-Nisa : 59: “Taatilah Allah, Rasul, dan Ulil Amri di
antara kalian.
Perbedaan pandangan mengenai khilafah terjadi juga dalam men-
jawab permasalahan: apakah khilafah atau imamah merupakan ushul
(pokok dan agama) ataukah Juru' (cabang dari agama). Terdapat dua
pandangan mengenai hal tersebut. Mazhab Syi ah cenderung memiliki
keyakinan bahwa masalah khilafah adalah bagian dari ushul (ushul
inazhab), sedangkan mazhab Ahlus Sunnah beranggapan bahwa hal itu
termasuk furu‘. Syahrastani, misalnya, mengatakan bahwa masalah
imamah merupakan ushul, sebab jika disebutkan hal itu sebagai furu'
bertentangan dengan kondisi objektif yang ada. la mengatakan,
Perselisihan terbesar di antara umat adalah perselisihan imamah. Di
Dunia Islam belum pernah pedang terhunus atas sebuah prinsip
keagamaan seperti atas imamah di setiap zaman. ’**’ Jika itu furu', maka

1 '9 Al-Mawardi. Al Ahkam as-Sulthaniyah fi al Wiluyah ad Ihniyah. h 7.


MO Syahrastani. Al Mdal wa An Nihal. Kawo. 1968. jllid I. h 99
DefInIsI dan Konsep KhIlafam 119

tidak mungkin juga Abu Bakar pada saat Nabi Saw. sedang dikuburkan,
lebih memilih untuk hadir di rumah Saqifah Bani Sa'idah untuk
memperbincangkan penerus Nabi Saw. daripada hadir di pemakaman
Nabi Saw.
Al Ghazali berpendapat berbeda. bahwa masalah imamah adalah
masalah furu’. la bukanlah masalah yang mendasar arau bagian dan
ushuluddin, retapi masalah furu', dan bagian dari perkara-perkara ke-
fikihan. Selain itu akan memmbulkan fanatisme, fimah, dan perseteruan.
Tidak mendalaminya lebih selamat dan lebih diinginkan danpada men-
dalaminya.MI
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa, "Imamah merupakan pcngganti
(rugas) pemegang (otontas) syanat dalam mehndungi agama dan meng-
atur urusan keduniawian.’^
Secara tersirat, pengertian khilafah menurut Al-Mawardi dan Ibnu
Khaldun di atas mensyaratkan bentuk negara atau pemerintahan yang
ideal lebih kepada teokrasi, memadikan agama dan TUhan sebagai pe-
doman dalam bemegara. Bahwa pemenntahan merupakan sarana untuk
menegakkan hukum hukum Allah, sehingga pelaksanaannya pun ber
dasar dan dibarasi oleh kekuasaan-Nya. Khalifa h atau pemimpin dalam
negara Islam tidak hanya memegang kekuasaan sevara duma. tetapi juga
berkaitan dengan masalah akhirat, yaitu untuk menegakkan hukum
hukum Allah Swt.
Konsep khilafah semacam ini dapat ditemukan juga pada pemikiran
tokoh filsuf klasik. yaitu Al-Farabi. meskipun dengan menggunakan isri-
lah yang berbeda. Al Farabi tidak menyebutnya dengan istilah khilafah
atau imamah atau daulah, melainkan dengan istilah madinah dan mulk M‘
Hal ini lebih disebabkan, bahwa Al-Farabi hidup pada zaman kerajaan.

UI Al Gh*ZAh, Al Iqrulwd. h 18«


UJ Ibn Khaldun. Mutfaddimah. Jilid I. h 195.
U» !ah*l al Hr Abi An) Ahl al Madinah al FaJhHah. h 134 Uhat juga Al Hribl FuJiHl
Muntaiaah h. 40
120 KhIlafah

yaitu pada zaman Saif ad-Daulah.}“ Kenyataan inilah yang kemudian


melatarbelakangi tidak munculnya istilah khilafah atau daulah (negara)
dalam karya-karya Al-Farabi karena ia hid up bukan di zaman yang ter-
dapat sistem negara seperti sekarang. Meskipun demikian, konsep khi¬
lafah Al-Farabi dapat ditelusuri dari konsep al-madinah al-fadhilah. yaitu
Kota Utama.MS
Dalam Ard Ahl al-Madinah al-Fadhilah terlihat jelas bahwa Al-Farabi
berbicara tentang upaya manusia sebagai makhluk sosial untuk meng-
gapai kebahagiaan melalui kehidupan politik, sekaligus tampak upaya
intelektualnya untuk mengelaborasi konsep Plato dan ajaran-ajaran
ilahiah Islam dalam hal urusan pemerintahan. Dalam Plato, kebahagiaan
puncak itu hanya dapat diperoleh melalui negara ideal, maka dalam
pandangan filosofis Al-Farabi, kebahagiaan dan kesempumaan puncak
hanya dapat dicapai melalui negara ideal yang pemerintahannya sem-
puma. Kesempumaan pemerintahan itu dapat terjadi dipimpin oleh raja-
filsuf, artinya pemimpin yang mampu menegakkan hukum dan mem-
berikan bimbingan iman.14”
Al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang
mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat lantaran tidak
mungkin memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa melibatkan ban-
tuan dan kerja sama dengan orang lain. Adapun tujuan masyarakat ada¬
lah tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, melain-
kan juga untuk memenuhi kelengkapan hidup yang akan memberikan
kebahagiaan materiel dan spiritual, bukan saja di dunia tetapi juga di
akhirat.34’
Dalam rangka merealisasi kota utamanya, Al-Farabi memfokuskan
perhatian pada pemimpin. Kedudukan pemimpin sama dengan kedu-

344 Hanna al-Fakhuri dan Khalil al-Jarr, Tdrtkh al-Falsafah al'Arabiyyah, h. 92.
345 liha t Muhsin Muhajir Niya, Daulat darAndbyeh Fardhi. Teheran: Muassasah Fnrhangge
Danrsy wa Andisyeh Mu'ashir, 1380 HS (Hijrah Syamsiah), h. 100.
’46 Harun Nasution, Fabafat dan Mbtbbmc dalam Islam, h. 34.
347 Al-FArabi. as-Siyasah al-Madaniyyah, Rasail Ibn Farabi, India: Dairah Ma’arif, 1964, h. 32.
DefInIbI dan Konsep KhIlafah 121

dukan jantung bagi badan yang merupakan sumber koordinasi. Oleh


karena itu, pekerjaan pemimpin tidak hanya bersifat politis, melainkan
juga etika sebagai pengendali way of life.™
Pandangan mengenai kebutuhan manusia terhadap pemimpin ideal
tertuang juga di banyak pemikiran para ulama, baik ulama klasik mau-
pun kontemporer. Hal ini dikarenakan adanya sifat natural manusia yang
selalu membutuhkan pemimpin. Sifat natural manusia sama dengan sifat
natural hewan, di mana ketika terdapat lebih dari satu manusia yang ada
dalam suatu keiompok, maka dibutuhkan seorang pemimpin untuk men-
jadi penunjuk dan peraih tujuan dari keiompok tersebut. Di sinilah per-
lunya sistem khilafah dalam Islam. Dengan demikian, masalah khilafah
adalah kebutuhan yang bersifat natural.348349
Konsep mengenai khilafah juga dikemukakan oleh Ibnu Abi Rabi’. la
berpandangan tentang khilafah, bahwa manusia satu sama lain saling
memerlukan, kemudian berkumpul dan menetap di suatu tempat. Dari
proses ini maka tumbuh kota-kota yang pada akhimya membentuk peme-
rintahan (negara). Sebagai seorang ulama, Ibnu Abi Rabi’ memilih sistem
monarki di bawah pimpinan seorang raja serta penguasa tunggal dari
sekian banyak bentuk pemerintahan yang ada. Untuk urusan agama,
Ibnu Abi Rabi’ mengatakan bahwa Allah telah memberikan keistimewaan
kepada raja dengan segala keutamaan, telah memperkokoh kedudukan
mereka di bumi-Nya, dan memercayakan hamba-hamba-Nya kepada
mereka?50
Senada dengan Al-Mawardi dan Ibnu Khaldun di atas, Al-Ghazali
mengemukakan bahwa bentuk pemerintahan dalam Islam adalah teo-
krasi atau khilafah. Sebab, kekuasaan kepala negara tidak datang dari
rakyat, melainkan dari Allah.’5' Al-Ghazali berdalil dengan Surah Ali
‘Imran: 26 yang menyatakan: “Karakanlah (Muhammad). Wahai Remilik

348 Al FArAbi, Fushul Munuua'ah, Beirut; Dar al Masynq, 1971, h. 41.


349 Abdul Wahab An-N^jar, AlKhulafa' ar-Rasyidun, h. 3.
350 Ibn Abi Rabi', Suluk Al-Malik fi Tadbir al-Mamalik, h. 89.
351 Al-Ghazali. al-Tibr al-Masbuk fi Nasihan al-Muluk, h. 67.
122 Khiuafah

Kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau


kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehen-
daki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala
kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.
Adapun Ibnu Taimiyyah menganggap bahwa mendirikan suatu negara
untuk mengeloia urusan umat merupakan kewajiban agama yang paling
agung, karena agama tidak mungkin tegak tanpa negara. Alasan lain
adalah Allah memerintahkan amar ma'ruf nahi mungkar, serta misi atau
rugas tersebut tidak mungkin dilaksanakan tanpa kekuatan atau kekuasa¬
an pemerintah. Lebih lanjut ia mengatakan, pemerintahan ada yang
berbentuk khilafah dan ada yang berbentuk kerajaan. Meskipun demikian,
Ibnu Taimiyyah tetap membolehkan kerajaan dengan istilah khilafah
(jawaz tasmiyyah al-muluk khulafa). Dengan kata lain, raja-raja yang
berkuasa boleh menggunakan gelar khalifah. Hal ini karena menurut
Ibnu Taimiyyah yang penting ada seorang pemimpin negara ketimbang
tidak ada, meskipun bentuknya kerajaan asalkan para pemimpinnya
menjaga agama dan keadilan.352
Kata imamah, menurut Muthahhari, diambil dari kata imam “pemim-
pin” sehingga imamah secara bahasa adalah kepemimpinan.353 Sedang-
kan secara istilah, Thusi menyebutkan bahwa imamah merupakan luthf
(pancaran kasih Allah Swt.) yang diturunkan untuk menjaga manusia
dari kerusakan dengan tugasnya untuk melakukan amar ma'ruf nahi
mungkar. Dikarenakan imamah adalah luthf Allah Swt., dengan sen-
dirinya mensyaratkan penunjukan (ta’yin) bukan kesepakatan sosial
seperti yang diyakini oleh kaum Sunni.354
Dalam kedudukannya, imamah berbeda dengan nubuwwah, dalam
arti kedudukan seorang imam berbeda dengan nabi, nabi bukanlah imam

352 Ibn Taimiyyah, Styasah Syar'iyah, h. 98.


3S3 Munadha Muthahhari, Khilafah dan Imamah, h. 22.
3M Allamah Hilli, Kasyf al Murad ft Syarh Tajrld all'tiqdd, Qum: Muassasah an-Nasyr al
Islami, 1407 H, hh. 362-363.
DEFINIsI DAN KONSEP KHILAFAH 123

dan begini juga sebaliknya. Namun, terdapat beberapa nabi yang juga
sekaligus imam seperti kedudukan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Muhammad
Saw.3ss Sedangkan tugas nabi secara umum hanya menyampaikan wahyu
Allah Swt.356
Khilafah atau wilayah (kepemimpinan) terdapat dua jenis: kepemim-
pinan takwiniyyah dan kepemimpinan i'tibari. Kepemimpinan takwiniyyah
adalah seperti penunjukan dan pengutusan rasul-rasul Allah kepada
manusia. Sedangkan kepemimpinan i’tibari adalah seperti penunjukan
Ali menjadi khalifah oleh Rasulullah Saw.357 Atau dalam istilah lain hal
itu disebut oleh Khomeini dengan istilah kepemimpinan zhahir dan
bathin.3S* Hal itu berarti kenabian sebagai tugas pembawa berita dan
pengajaran hukum Tuhan ialah sisi zhahir dari khilafah dan wilayah.
Kebutuhan terhadap suatu negara merupakan kesimpulan rasional,
bahwa setiap keberadaan masyarakat membutuhkan suatu sistem yang
tertata, guna mengorganisasikan segenap urusannya, sehingga menjadi-
kan dirinya terlindungi dari anarki dan kehancuran.359 Dengan demikian,
sepanjang sejarah akan senantiasa terdapat berbagai bentuk sistem sosial
dan sejumlah elite penguasa yang bermaksud menegakkan tatanan ter-
tentu serta menghidupkan keadilan. Akibatnya, tak satu pun bukti yang
menunjukkan bahwa manusia pemah hidup dalam apa yang disebut


sebagai negara alamiah (the nature of state) konsep negara yang banyak
diperbincangkan para ahli teori kontrak-sosial Eropa.360 Dari unit sosial
terkecil, keluarga, klan atau suku, sampai ke tatanan yang lebih kompleks
dan paling maju seperti bangsa dan kerajaan, selalu terdapat hierarki
sosial, pembagian ketja, dan langkah-langkah demi melindungi keber-

355 Lihat QS Al Baqarah (2]: 124 yang menutyuk Nabi Muhammad sebagai imam.
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikanmu Imam bagi stluruh manusia."
356 LihatQS Al-Ma idah [5]: 99.
357 Khomeini, Kitab al-Bay, Maktabah Ahlui Bait, Juz 2, h. 623.
358 Khomeini, Mishbdhul Hiddyah da al-Khildfah wa alWildyuh. Mishbah 48, h 38.
359 Kazhim al Hain, Asos al-Hukumah altddmiyyah, Beirut: al-Nail Publication. 1979. h. 13.
360 TM. Aziz, “Ulama dan Rakyat: Konsepsi Kedaulatan dalam Wacana Pblitik Syiah Kon
temporcr”. Jumal al Huda, Vol. 1. Nomor 2. 2000, h. 119.
124 KhIlafah

adaan sistem sosial tertentu. Mekanisme kontrol politik seperti itu mem-
berikan legitimasi pada sang pemegang otoritas dalam memelihara kese-
larasan antara anggota yang ada dalam setiap tatanan sosial.
Berkenaan dengan hal di atas, kebutuhan-kebutuhan masyarakat
dalam masalah keadilan, sistem pendidikan, mengamankan tatanan.
menolak ketidakadilan, melindungi tapal-tapal batas, dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat dari gangguan musuh-musuh asing,
jelas sangat rasional, terlepas dari ruang dan waktu.3'’1
Nilai penting dari negara adalah untuk menjamin kelangsungan hidup
manusia di muka bumi. Yakni suatu pemerintahan yang di dalamnya
terkandung maksud-maksud Ilahi yang memandu manusia ke arah ter-
bentuknya lingkungan politik yang sesuai. Sejarah manusia membuk-
tikan bahwa ketika manusia tidak mampu, atau mengabaikan keharusan
untuk memilih orang-orang yang tepat untuk dipilih sebagai pemimpin,
maka mereka mau tak mau tengah mengupayakan terbentuknya organi-
sasi serta tatanan-sosial ekonomi yang bersifat zalim, yang jelas-jelas
akan mengancam kesejahteraan serta kehidupannya. Ini disebabkan
keterbatasan dalam fakultas manusia guna menarik kesimpulan yang
benar atas isu-isu yang penting bahwa Allah, Yang Mahamulia, niscaya
menyampaikan wahyu khusus untuk memberi petunjuk kepada manusia
mengenai pemimpin-pemimpin sejati mereka.
Terdapat empat kelompok golongan yang menolak adanya negara:
Pertama, adalah orang-orang yang mendasarkan penolakannya me-
lalui dasar-dasar filosofis seperti yang dianut oleh Karl Marx dan para
pengikutnya.
Kedua, adalah orang-orang yang memiliki latar belakang kehidupan
yang gelap. Mereka menolak adanya negara karena kekhawatiran secara
psikis akan kepentingan pribadinya.
Ketiga, adalah orang-orang yang hanya memandang sisi negatif dari
negara yang bagi mereka negara hadir hanya untuk mendukung orang-

36) Khomeini, Bahts Istidldli ‘llmifi Wil&yat al-Faqih, Beirut: al-Falah institution, 1985, h.
11.
I

DefInIsI dan Konsep KhIlafah 125

orang kuat, menindas orang-orang lemah, dan merampas hak-hak me-


reka. Sehingga mereka trauma terhadap adanya negara.
Keempat, adalah orang-orang yang memiliki hasrat kebebasan yang
mutlak, tidak mau dibatasi. Sehingga bagi mereka negara hadir hanya
membatasi ruang gerak kemerdekaan dan kebebasan mereka. Kebebasan
semacam ini adalah seperti kebebasan hidup di hutan (hqydt alghabah).*2
Rakyat memiliki otoritas dalam mewujudkan negara. Dengan kata
lain, negara sebagai perwujudan kehendak rakyat. Rakyatlah yang ber
hak menentukan sebuah rezim politik yang hendak memerintah dalam
sebuah negara; dan rakyatlah yang mengesahkan konstitusi, memilih
pemimpin, presiden, atau perwakilan di legislatif. Partisipasi rakyat da¬
lam penentuan sebuah kepemimpinan. Tanpa dukungan dan partisipasi
rakyat, sangat mustahil negara Elam terwujud.
Konsep tentang khilafah yang berbeda dikemukakan oleh tokoh-tokoh
modemis, seperti Muhammad Abduh sebagai murid utama dari Jamalud-
din al-Afghani. Menurut Abduh, dalam sistem khilafah tidak ada salahnya
umat Islam berkiblat kepada Barat dalam pola pemerintahan, jika pola
tersebut tidak dilarang oleh Al-Qur’an maupun Sunnah. Artinya, peme¬
rintahan Islam tidak harus berbentuk khilafah, tapi boleh republik jika
dipandang lebih baik.3“
Gagasan yang hampir sejalan adalah Husain Haikai. Menurut Haikai,
prinsip-prinsip dasar kehidupan kemasyarakatan yang diberikan oleh
Al-Qur’an dan Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan kekha-
lifahan. Kehidupan bemegara bagi umat Islam itu baru mulai pada waktu
Nabi berhijrah dan menetap di Madinah. Nabi mulai meletakkan ke-
tentuan-ketentuan dasar bagi kehidupan keluarga, pembagian wans,
usaha, dan jual beli. Ayat-ayat yang diwahyukan dalam periode Makkah
terbatas pada ajakan untuk menegaskan Ihhan dan keimanan, serta

362 Syekh Jafar Subhani, Mqfdhim al-Qur un Dtrdsah Muwusw'ah an Shighah al


IJukiimah al Isldmiyvah wa ArkdnihdMu Khashdishihd hv Bardmuthd. Qum Muassasah
Imam Shodiq, 1413 H, hh. 33 34.
363 John J. Donohue dan John L Esposito (fenyunting). Islam dan frmbaharuan; ten
Machnun Husein. Jakarta RajaGraftndo Persada. Jakarta, 1995, h 48.
126 KhIlafah

nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Ketentuan-ketentuan tentang ke-


hidupan bermasyarakat, kehidupan ekonomi, dan budi pekerti belum
diajarkan secara terperinci, demikian juga dasar-dasar bagi kehidupan
bemegara, apalagi sistem pemerintahan.
Pandangan Abduh ini, pada gilirannya, adalah salah satu faktor kuat
yang mendorong sahabat dan muridnya cenderung ke arah paham nasio-
nalisme dan sekularisme, seperti Lutfi Sayyid, Taha Hussein, dan Ali
Abdul Raziq. Bahkan Abdul Raziq mempenanyakan dasar anggapan
bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah merupakan ke-
harusan agama. Apabila ditinjau dari segi agama maupun rasio, pola
pemerintahan khilafah itu tidak relevan. Raziq membedakan antara misi
kenabian dan pemerintahan. Misi kenabian bukanlah pemerintahan dan
agama bukan negara. Harus dibedakan mana yang Islam dan mana yang
Arab, mana yang agama dan mana yang politik. Raziq tidak sependapat
dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa mendirikan khilafah
merupakan suatu kewajiban, dan tidak ada satu pun dasar yang mewa-
jibkan itu, baik Al-Qur’an, hadis, maupun ijma’.3b*
Dari berbagai pendapat di atas, terlihat jelas bahwa definisi dan ruang
lingkup kepemimpinan (imamah) dalam Islam terdapat banyak varian.
Ada yang mengatakan mengenai kewajibannya, ada juga yang mem-
bahasnya dari perspektif lain yang cenderung berlawanan. Hal ini me-
nunjukkan bahwa konsep mengenai imamah tidaklah tunggal, melainkan
terdapat ruang luas untuk menafsirkan cakupannya sesuai dengan waktu
dan zaman. []

364 John J. Donohue dan John L. Esposito (Penyunting), Islam dan Pembahaman, h. 49.
8
SISTEM
PENGANGKATAN KHALIFAH

l-Mawardimenyebutkan bahwa terdapat dua sistem pengang-

A katan khalifah, yaitu dengan sistem musyawarah melalui ahi


al-hal wa al-‘aqd (AHWA) dan sistem penunjukan dan khalifah
sebelumnya.365 Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai rekam jejak seja-
rah dari masa ke masa, sejak Khulafa ar-Rasyidin hingga dinasti berikut-
nya.
Pertama, sistem musyawarah melalui ahi al-hal wa al-'aqd. Sistem
pengangkatan khalifah model ini berlandaskan pada doktrin bahwa
Rasulullah Saw. tidak memberikan tuntunan terperinci mengenai siapa
pengganti dirinya dan bagaimana mekanisme dalam pengangkatan pe-
mimpin. Hal ini dipraktikkan pada saat kekhalifahan Abu Bakar Shiddiq.**
Abu Bakar terpilih menjadi khalifah melalui sistem musyawarah antara
kaum Muhajirin dan Anshar di rumah Saqifah Bani Saidah. Meskipun
sejarah mencatat keterwakilan dari kaum Muhajirin hanya diwakili oleh
3 (tiga) orang, yaitu: Abu Bakar Shiddiq, Umar bin Khattab, dan Abu
Ubaidah bin Jarrah.*7

365 Al-Mawardi, AlAhkam as-Sulthotuvyah. h. 8. Lihat juga Abdul Wahhab an Najag Al


Khulafa Ar-Rasyidun, hh. 15-16 yang juga menyebutkan terdapat dua sistem yang
sama sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Mawardi
^66 Al-Mawardi. Al Ahkdrn aE-Sulthon(¥yuh, h. 8.
367 Ibn Qutaibah. .Al Imdmah hu al-Siydsah. h. 8.

127
128 KhIlafah

Mengenai hal ini, terdapat dua golongan pendapat mengenai jumlah


orang yang bisa memenuhi aspek keterwakilan ahi al-hal wa al-‘aqd. Go¬
longan pertama berpendapat bahwa pengangkatan kepala negara hanya
sah jika diikuti oleh mayoritas anggota ahi al-hal wa al-'aqd dari seluruh
negeri sehingga kepemimpinannya itu mendapat penerimaan secara
tulus dan pengakuan secara umum. Namun, pendapat dari golongan ini
tertolak karena adanya fakta baiat Abu Bakar saat menjadi khalifah ha¬
nya berdasarkan pemilihan orang-orang yang ada bersamanya di rumah
Saqifah Bani Sa'idah dan pelaksanaan baiatnya tidak menunggu orang¬
orang yang tidak berada di situ. Sahabat lain sedang fokus mengurus
jenazah Nabi Saw/68
Adapun kelompok kedua berpendapat bahwa jumlah minimal yang
dapat mengesahkan pengangkatan kepala negara adalah lima orang yang
sepakat untuk mengangkat seseorang sebagai pemangku jabatan, atau
satu orang mencalonkan seseorang kemudian disetujui oleh empat orang
lainnya. Ada dua hal yang menjadi landasan hukum oleh kelompok ini,
yaitu pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah yang dilakukan oleh lima
orang yang sepakat untuk membaiatnya, kemudian dikuti oleh beberapa
orang lainnya, di antaranya Umar bin Khatthab, Abu ‘Ubaidah bin Jarrah,
369
‘Usaid bin Hudhair, Basyar bin Sa‘ad, dan Salim Maulana Abi Huzaifah.368
Sistem musyawarah ahi al-hal wa al-'aqd ini pun terjadi pada saat
peralihan kekhalifahan dari Khalifah Umar bin Khattab kepada Utsman
bin Affan. Umar bin Khattab membentuk panitia kecil dari para kalangan
sahabat yang mengikuti Perang Badar. Panitia kecil tersebut terdiri dari
enam orang: Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah,
Zubair bin Awwam, Sa ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf.
Umar memberikan tanggung jawab (ketua) atas pemilihan ini kepada
Abdurrahman bin Auf untuk memilih salah satu di antara keenam orang
ini.370

368 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sullhoniyyah, h. 8.


369 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthoniyyah, h. 8.
370 Ansab al-Asyraf, Vol. IV, h. 500.
SISTEM PENGANGKATAN KHALIFAH 129

Selain membentuk Dewan Syura, Umar pun menyusun mekanisme


pemilihan khalifah setelahnya di antara keenam orang yang ditunjuk,
sebagai berikut: (1) Jika lima orang memilih seseorang dan satu orang
tidak seruju, maka dia harus dipenggal; (2) jika terdapat dua orang tidak
setuju, keduanya harus dibunuh; (3) jika tiga orang seruju dan tiga orang
tidak setuju, maka mereka harus setuju dengan keputusan Abdullah bin
Umar, dan jika mereka tidak menerimanya, maka kelompok yang di
dalamnya ada Abdurrahman bin Auf adalah yang disepakati. Dan jika
tiga orang lain tidak setuju dengan mereka, maka mereka harus dibu-
nuh?71
Begitu pun proses peralihan khalifah dari Utsman bin Affan kepada
Khalifah Ali bin Abi Thalib dilakukan secara musyawarah dan atas per-
mintaan langsung umat Islam. Umat Islam di Madinah waktu itu meminta
dan berbaiat kepada Ali bin Abi Thalib pasca-terbunuhnya Utsman bin
Affan. Tidak hanya penduduk Madinah, bahkan hadir juga wakil pen-
duduk Irak dan Mesir di samping kaum Muhajirin dan Anshar.
Kedua, sistem penunjukan atau pengangkatan langsung. Khalifah
yang dipilih melalui sistem ini di antaranya adalah Umar bin Khattab,
yang dipilih langsung melalui surat wasiat dari Abu Bakar Shiddiq. Abu
Bakar meminta pendapat Utsman mengenai siapa sosok yang tepat sete¬
lahnya. Maka, Umar terpilih menjadi khalifah karena adanya wasiat
tertulis dari Abu Bakar, dan ia pun menjadi khalifah setelah Abu Bakar
Shiddiq meninggal.
Sistem pengangkatan langsung ini kemudian dipraktikkan secara luas
pada sistem monarki Daulah Umayah, Daulah Abbasiyah, dan dinasti-
dinasti setelahnya, kecuali pada beberapa kasus seperti kasus pada
zaman Khalifah Muawiyah bin Yazid yang tidak menunjuk penggantinya.
Namun, mayoritas Daulah Umayah, Daulah Abbasiyah, dan dinasti sete¬
lahnya menerapkan sistem penunjukan tersebut. Khalifah sebelumya
selalu memilih putra mahkota yang akan menjadi penerus setelah dirinya.

371 Thabari, Tdrikh al-Umam wa/ al-Muluk (Tdrikh ath-Thabarf). Vol. IV h. 229
130 KhIlafah

Sistem pengangkatan khalifah sebagaimana dipraktikkan pada masa


Khulata ar-Rasyidin dan daulah Islamiyyah setelahnya yang berubah-
ubah sebagaimana dianut oleh Mazhab Sunni, berbeda dengan konsep
kepemimpinan yang diyakini Syi'ah.
Mazhab Syi'ah mengatakan, imamah merupakan sendi agama yang
tidak bisa dilepaskan dari aspek nubuwwah sehingga dalam masalah
pengangkatan pemimpin harus berdasarkan nas yang sah dan penun-
jukan dari Allah Swt. melalui Nabi Saw. Syi'ah meyakini bahwa pemimpin
setelah Nabi Saw. adalah Ali bin Abi Thalib yang ditunjuk langsung oleh
Allah Swt. melalui Nabi Saw. yang diumumkan kepada kaum Muslim di
Ghadir Khum?72
Dalam Sunni, sebagaimana ditegaskan oleh Subhi Abduh Said dalam
kitabnya Al-Hdkirn wa Ushul al-Hukm fi al-Nizham al-Islami, imamah di-
batasi pada masalah kekuasaan atau pemerintahan, karena itu ia hanya
dilihat sebagai masalah kemaslahatan umat dan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan masalah “agama”. Masalah agama sudah dianggap
selesai dengan wafatnya Rasulullah Saw. dan kalau toh ada persoalan-
persoalan yang belum jelas, maka menurut Sunni diatasi dengan ijtihad.
Oleh sebab itu, tegasnya, Sunni meyakini bahwa tugas penguasa Islam
sesudah Nabi Muhammad Saw. hanya mengurusi urusan kaum Muslim.372 373
Ahmad Mahmud Subhi, pemikir Islam asal Mesir, menegaskan bahwa
khilafah (imamah) menurut Ahl al-Sunnah hanya masalah furu‘ dan

372 Tenrang pemimpin sebagai imam kaum Muslim sepeninggal Nabi adalah Ali ibn Abi
Thalib lihat keterangan yang dipaparkan secara luas oleh Thusi yang disyarah oleh
Allamah Hilli, Kasyf al-Murdd fi Sayrh Tajrid al-I'tiqad, h. 367. Peristiwa Ghadir Khum
ini banyak diriwayatkan oleh para perawi hadis maupun sejarahwan, baik dari golong-
an Syi'ah maupun Sunni. Polemik masalah imamah ini dapat merujuk kepada kitab
Sayyid Ali al-Husaini al Milani, al Imdinah fi Ahammi al-Kutub al-Kaldmiyyah wa
Aqtdah asy-Syi'ah al-lmamiyyah, Qum: Mathba’ah Sayyid asy-Syuhada, 1413 H. Kitab
ini secara khusus menyoroti masalah imamah dengan melakukan pendekatan kom-
paratif baik dari aspek hadis maupun sejarah dengan menukil kitab-kitab Sunni dan
Syi'ah.
373 Lihat Subhi Abduh Sa'id, al Hakim wa Ushdl al Uukm fi an-Nizhdm al-lsldmf, Kairo:
Mathba’ah Jam'iah al-Qahirah, 1985, h. 41.
SIbtem Penoanokatan KhalIfah 131

urusan fikih serta satu di antara sekian masalah kemaslahatan umat yang
tidak ada hubungannya dengan "agama"?74
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim, rokoh
Ahl al-Sunnah terkemuka, bahwa masalah siy&sah (politik) adalah se-
suatu yang membawa masyarakat kepada kebaikan dan mencegahnya
dari kerusakan, meskipun Rasul sendiri tidak menjelaskannya dan tidak
turun wahyu mengenainya. Menurutnya, barang siapa mengatakan bah¬
wa urusan siydsah hanya dapat dijalankan melalui ketentuan agama,
sungguh telah melakukan kesalahan dan teiah menganggap para sahabat
melakukan kesalahan.374
Mengapa Sunni berpandangan demikian? Ahmad Subhi menjelaskan,
itu karena Ahl al-Sunnah memandang bahwa Rasul Saw. tidak menunjuk
seorang pun untuk menggantikannya. Selain itu, Ai-Qur’an tidak meme-
rinci aturan tentang bentuk pemerintahan atau masalah-masalah kekua-
saan yang terkait dengan khilafah.376
Berbeda dengan Syi'ah yang menganggap bahwa meskipun masalah
agama telah sempuma saat Rasulullah Saw. wafat, dan oleh karena itu
tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad Saw. tapi kebutuhan umat
manusia kepada pembimbing (al-hddi atau al-mursyid), yang menun-
jukkan jalan kebenaran dan mengingatkan mereka dari jalan kesesatan,
tidak pemah berakhir. Umat manusia selamanya memerlukan pembim¬
bing. Karena itu, ketika nubuwwah berakhir, tidak berarti bimbingan ini
berakhir pula. Bedanya, sesudah Nabi Muhammad wafat, bimbingan itu
beralih ke bentuk imamah. Karenanya, segala sesuatu yang berkaitan
dengan masalah nubuwwah (kenabian), kecuali urusan wahyu. terkait
pula dengan masalah imamah, seperti masalah wujub bi’tsah al-rasul
(wajibnya pengutusan rasul), 'ishmah (kesucian), dan sebagainya.377

374 Ahmad Mahmud Subhi, Nazhanyyat al-Jmamah Inda al-Syiah al-ltsna Asyariyyah
TUhltl FaLsafili al-Hqyat, Kairo: Dar al-MaAnf. 1969, h. 55.
375 Ahmad Mahmud Subhi, Ncuhariyyai al-imdmah. h. 55.
376 Ahmad Mahmud Subhi, Nazhanyyat al-hndmah, h. 56.
377 Lihat Ja’far Subhani, Muhddhardt fi allldhiyydt. Qum. Muassasah Imam Shadiq, 1421
H, hh. 340-342.
132 KHiLAFAH

Oleh karena itu, tidak heran jika Syi'ah mendudukkan masalah imamah
ini sebagai bagian dari pokok-pokok agama (ashl min ushul ad-din) atau
bagian dari pokok mazhab, karena menganggap masalah imamah sama
dengan masalah nubuwwah.
Adapun masalah pemerintahan, Syi'ah memandangnya sebagai bagi¬
an dari tugas imamah. Artinya, seorang imam sekaligus kepala negara
dan atau pemerintahan. Namun, tidak selamanya imamah harus mendu-
duki kursi kekuasaan. Seperti dikemukakan oleh Munadha Muthahhari
bahwa dalam persoalan imamah dari sudut pandang Syi'ah, jangan sam-
pai kita membuat suatu kesalahan dengan menyederhanakannya, meng¬
anggap imamah sebagai administrasi pemerintahan, karena penyeder-
hanaan seperti ini menciptakan berbagai kesulitan.
Jika imamah adalah penguasa, maka muncul pertanyaan, apakah
perlu seorang kandidat yang terbaik bagi kepala negara? Tidak cukupkah
apabila seorang negarawan yang baik, administrator yang baik dan jujur,
kendati ia lebih rendah daripada orang lain dalam hal lainnya? Apakah
perlu seorang penguasa harus suci dari dosa? Apa yang dibutuhkan dari
orang seperti ini? Apakah perlu ia harus melaksanakan shalat malam?
Jika demikian halnya kenapa? Perlukah ia menguasai fikih? Apabila
diperlukan, bolehkah ia berkonsultasi dengan orang lain?
Semua pertanyaan ini muncul apabila kita memandang masalah ini
dari sudut yang sempit. Menurut Muthahhari, adalah kesalahan besar
jika berpikir bahwa imamah dan penguasa itu identik. Beberapa ulama
dahulu membuat kekeliruan semacam ini. Bahkan sekarang pun keke-
liruan semacam itu terulang kembali sehingga menjadi hal yang umum.
Apabila orang berbicara tentang imamah, segera masuk dalam pikirannya
tentang penguasa, sedangkan sebenamya persoalan penguasa merupakan
bagian kecil dari imamah. *78
Pendapat Muthahhari di atas senada dengan apa yang disampaikan
oleh Subhani, bahwa imamah merupakan fungsi kepemimpinan yang
lebih umum yang menyangkut urusan agama dan dunia (riasah ‘ammah

37» Lihat Munadha Muthahhari. Khilafah dan Imamah, hh. 46 47.


SIbtem Penqanqkatan KhalIfah 133

fi umur ad-din wa addunya). Sclain itu, menurut Subhani, imamah meru¬


pakan kelanjutan dari misi kepemimpinan Nabi Saw. dalam menegakkan
ajaran-ajaran agama yang wajib ditaati oleh umat.37v
Thusi dalam masalah imamah mengatakan bahwa dalam memba-
has masalah tersebut harus dijawab lima pertanyaan: (1) apa itu imam?
(2) adakah imam dalam setiap waktu? (3) apa alasannya harus ada
imam? (4) bagaimana sifat-sifat imam? Dan (5) siapakah imam itu?3*0
Dalam menjawab pertanyaan pertama, yaitu apa itu imam, Thusi pun
berpendapat bahwa imamah merupakan kepemimpinan umum yang
mencakup urusan agama dan dunia. Sedangkan dalam menjawab per¬
tanyaan kedua dan ketiga, Thusi mengatakan bahwa keberadaan imam
dalam setiap waktu merupakan kesimpulan rasional, dikarenakan hal itu
merupakan wujud keadilan dan luthf Allah Swt. untuk kebaikan umat
manusia. Ketiadaan imam berarti bertentangan dengan keadilan dan
luthf-Nya. Sedangkan dalam menjawab pertanyaan keempat mengenai
sifat-sifat imam yang pertama dibahas adalah keharusan ishmah (kesu-
cian), keluasan ilmu dalam masalah agama dan dunia, memiliki sifat
keberanian dalam menentang kezaliman, memiliki sifat-sifat mulia
seperti tidak serakah dan sebagainya.*381
Dari berbagai sudut pandang mengenai sistem pengangkatan khilafah
di atas, masing-masing pihak baik yang berpendapat sistem pengangkat¬
an khilafah adalah dengan musyawarah maupun melalui penunjukan,
masing-masing memiliki pijakan konsep dan historis. Kedua pandangan
tersebut dipraktikkan pula dalam sejarah penerapan khilafah. Hal ini juga
menunjukkan bahwa konsep khilafah, terutama dari aspek pengangkatan-
nya, tidaklah tunggal dan tidak baku. Setiap zaman memiliki konsep dan
penerapan yang berbedaJJ

Ja'far Subhani, Muhddhanit fi al-Mhiyy&t. hh. 343-344.


380 Khawajah Nashiruddin Thusi. Ihlkhis al-Muhashshal. Beirut: Dar al-Adhwa'. 1405
H/1985 M. hh. 425 426.
381 Khawajah Nashiruddin Thusi, Talkhis al-MuhashshaL hh. 430-432.
9
FORMAT
PEMERINTAHAN KHILAFAH

ecara teoretis, terdapat empat bentuk pemerintahan khilafah,

S yaitu: (1) pemerintahan teokratis, di mana khalifah atau raja me-


miliki otoritas penuh dalam setiap urusan baik dunia maupun
agama; (2) pemerintahan aristokratis , yaitu pemerintahan yang terbagi-
bagi berdasarkan pembagian kekuasaan antara wewenang raja dan
pelaksana pemerintahan: (3) pemerintahan demokratis, yaitu pemerin¬
tahan yang berasaskan kedaulatan rakyat dan adanya pembagian ke¬
kuasaan; dan (4) pemerintahan republik, pada pemerintahan ini antara
khalifah atau pemimpin dan hakim serta lembaga negara Lain terdapat
saling kontrol dengan sistem demokrasi yang disepakati.^
Dari aspek sejarah, format pemerintahan dalam khilafah Islamiyyah
mengalami perubahan secara terus-menerus. Pada masa Khulafa ar-
Rasyidin menerapkan konsep bentuk pemerintahan teokratis dan dengan
figur khalifah sebagai sentral dari pemimpin negara Islam. Adapun pada
masa Daulah Umayah, Daulah 'Abbasiyah, dan dinasti setelahnya, format
khilafah berubah menjadi bentuk kerajaan atau monarki absolut, mes-
kipun dengan corak yang sama, yaitu sosok khilafah sebagai sentral
untuk mengurusi masalah duniawi maupun bidang agama.

.182 Abdul Wahhab An Najar, Al Khulafa ar Rasyidun. h. 27.

135
136 KhIlafah

Adapun bentuk pemerintahan khilafah pada masa Daulah Fathimiyah


dan Ayyubiyah lebih bersifat negara federal, di mana khalifah bukan figur
sentral dalam kekhalifahan, melainkan terpecah ke figur lain, yaitu sosok
sultan yang ada di seriap provinsi di wilayah kekhalifahan Islam.
Selain itu, rerdapat hadis yang masyhur mengenai bentuk pemerin¬
tahan dalam Islam, yaitu bahwa Nabi Saw. bersabda, “Khilafah setelahku
herusia 30 tahun dan setelahnya adalah kerajaan.”*3 Hadis ini mengisya-
ratkan bahwa dalam Islam tidak terdapat bentuk pemerintahan khilafah
yang baku, bisa berbentuk kekhalifahan sebagaimana dipraktikkan oleh
Khulafa ar-Rasyidin dan bisa juga berbentuk kerajaan.
Terdapat beberapa catatan mengenai bentuk pemerintahan kerajaan
dalam konsep khilafah dalam Islam:
Pertama, bentuk kerajaan dan raja sebagai figur sentral dalam negara
Islam tidak sesuai dengan Sunnah Nabi Saw.
Hal tersebut dapat terlihat dari pernyataan yang dikutip oleh Al-
Baghawi bahwasanya Humaid bin Zanjawaih berkata: “Khilafah yang
sebenarnya hanya terjadi bagi orang-orang yang sesuai tindakan dan
perbuatannya dan mereka berpegang teguh dengan Sunnah Rasulullah
Saw. sesudahnya. Apabila mereka telah menyalahi Sunnah dan mengganti
perjalanan hidupnya, maka mereka disebut para raja, meskipun nama
mereka disebut khalifah. Boleh memberi nama orang yang menjadi
penguasa kaum Muslim dengan nama amirul mukminin dan khalifah,
meskipun ia menyalahi perjalanan hidup para pemimpin yang adil, ka-
rena ia menguasai urusan kaum beriman dan mereka pun tunduk ke-
padanya.”’84

383 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al-Khulafd'. h. 19. Hadis ini sahih menurut Ibn Hiban
dan para ahli hadis lainnya. Tiga puluh tahun yang dimaksud dalam hadis tersebut
menurut para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh As-Suyuthi, adalah masa kekha¬
lifahan Khulafa ar-Rasyidun dan masa khilafah Hassan ibn Ali. Hal berbeda dikatakan
oleh Safinah dalam Musnad Imam Ahmad, bahwa 30 tahun yang dimaksud hanya
pada masa Khula/a al-Arha'ah yaitu: Khilafah Abu Bakar 2 tahun, Umar bin Khattab
10 tahun, Utsman bin Affan 12 tahun, Ali ibn Abi Thalib 6 tahun.
384 Muhyissunnah al Husain bin Masud al-Baghawi, Syarh al-Sunnah, Beirut: al Maktab
al lsiami, 1983. juz 14. h. 75, (edisi Syu'aib al Arauth).
Format Pemerintahan KhIlafah 137

Pernyataan Al-Baghawi di atas menunjukkan bahwa penguasa yang


tidak mengikuti Sunnah dalam menjalankan roda pemerintahannya,
pada hakikatnya adalah raja, meskipun ia dipanggil khalifah. Oleh karena
itu, para ulama menganggap Khalifah Muawiyah sebagai raja pertama
dalam Islam. Raja atau kerajaan, dengan demikian, tidak sesuai dengan
Sunnah Nabi Saw."5
Kcdua, raja hakikatnya bukan khalifah meskipun menamakan dirinya
sebagai khalifah. Terdapat hadis Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda pada Abbas, "Kahan
memiliki nubuwwah dan kerajaan.” Hadis ini dikutip oleh As-Suyuthi di
saat membahas mengenai hadis kekhalifahan Bani Abbas. Namun. As-
Suyuthi juga mengatakan dengan mengutip pendapat dan para ahli hadis
bahwa hadis tersebut lemah (dhaif). Dikarenakan termasuk kategori
hadis lemah, maka sistem kerajaan tidak mendapat legitimasi secara
naqli atau tidak sesuai dengan Sunnah Nabi Saw.
Selain itu, hal tersebut dapat dilihat dari pernyataan Al-Hafizh Ibnu
Hajar yang berkata dalam Fath al-Bdri ketika mengomentan hadis ~Khda-
fah sesudahku berjalan tiga puluh tahun.” Menurutnya. yang dimaksud
Nabi Saw. dengan khilafah dalam hadis ini adalah khilafah nubuwwah.
Adapun Muawiyah dan penguasa sesudahnya, mereka mengikuti sistem
kerajaan, meskipun mereka dinamakan khalifah. Para ulama berkata:
“Masa tiga puluh tahun setelah wafatnya Nabi Saw. hanya berlangsung
dalam kekuasaan khalifah yang empat dan hari-hari pemerintahan
Hassan bin Ali (kemudian setelah itu berganti kerajaan). Karena nama
khilafah itu hanya benar bagi orang yang mengamalkan Sunnah. Adapun
para penguasa yang menyalahi Sunnah, mereka adalah para raja meski¬
pun menamakan dirinya khalifah.”**
Dari kedua catatan tentang bentuk kerajaan dalam sistem khilafah di
atas, terdapat ambiguitas. Sistem kerajaan adalah bagian dan sistem

»85 Ibid
186 Abdurraul al Munawi, Faidhul Qadir Syarh al Jami' al Shaghir. Beirut. Dar alMarifah.
1972, jux 3. h. S09.
138 KHILAFAH

khilafah Islam. Hal tersebut sesuai dengan isi hadis yang di dalamnya
kerajaan disebut secara langsung ketika membicarakan masalah khilafah
sepeninggal Nabi Saw. Di pihak lain, para ahli sejarah membuat klasifi
kasi yang lain, bahwa kerajaan tidak sesuai dengan Sunnah Nabi Saw.
Jika tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, pertanyaan mendasarnya adalah:
kenapa Nabi Saw. menyebutnya? Kedua hal ini merupakan hal yang
pelik.
Adanya ambiguitas ini mendorong munculnya berbagai sejumlah
penafsiran dan perspektif lain untuk menyikapi hal tersebut. Sistem
kerajaan, dengan ciri pengangkatan khalifah berdasarkan wasiat dari
khalifah sebelumnya secara turun-temurun. terjadi bukan hanya pada
masa kerajaan Bani Umayah dan setelahnya, namun juga terjadi pada
sistem kekhalifahan yang dipraktikkan oleh salah seorang Khulafa ar-
Rasyidm, yaitu yang dilakukan oleh Abu Bakar Shiddiq ketika mewa-
siatkan khalifah setelahnya pada Umar bin Khanab. Kepurusan Abu
Bakar tersebut, seperti dikatakan oleh Rasyid Ridha. memunculkan kon-
sep khilafah secara turun-temurun di masa Bani Umayah.*87
Ketiga, jumlah khalifah adalah dua belas. Hadis ini diriwayatkan dari
berbagai sumber dan diyakini kesahihannya. As-Suyuthi bahkan mem-
bahasnya secara lebih panjang dengan meriwayatkan serta mengutip
banyak pendapat dari para ulama mengenai jumlah khalifah dua belas
setelah membahas hadis mengenai masa usia khalifah 30 rahun. 188
Jumlah khalifah yang awalnya disebut 30 tahun lalu disebut juga
jumlahnya dua belas khalifah memunculkan berbagai penafsiran. Hal ini,
pada gilirannya, menimbulkan pula ambiguitas lain dari bentuk pemerin
tahan pada sistem kekhalifahan Islam. Seperti apa sesungguhnya sistem
kekhalifahan yang sesuai dengan Sunnah Nabi Saw., sementara dari
aspek jumlah khalifah terdapat banyak versi?
Hadis yang menyatakan akan datangnya dua belas khalifah, yaitu di
antaranya hadis yang diriwayatkan oleh Muslim: “Dari Jabir bin Samurah

387 Rasul Ja'fanyah. Para Pemtrnpin Islam, h 79.


388 Lihat Jalaluddin As-Suyuthi, 1'arikh al-Khulaja'. hh. 13-16
Format PemerIntahan KhIlafah 139

berkata: *Aku pernah rnendengar Nabi Saw. bersabda: Swungguhnya


perkara agama ini tidak akan selesai sehingga berlalu pada mereka (kaum
Muslim/para khalifah) dua betas khalifah yang semuanya dari Quraisy.'”
(HR Muslim)."’
Imam Suyuthi dalam kitab Tarikh al-Khulafa' berkata; “yang dike-
hendaki adalah wujudnya dua belas khalifah pada masa Islam sampai
Hari Kiamat, mereka semua mempraktikkan yang hak, meskipun masa
mereka tidak berturut-turut. Pendapat ini dikokohkan oleh hadis yang
dikeluarkan Musaddad dalam 'Musnad Kabi^-nya, dari Abul Khald. se-
sungguhnya beliau berkata: 'Umat ini tidak akan rusak selama muncul
dari mereka dua belas khalifah yang semuanya mempraktikkan petunjuk
dan agama yang hak, dari mereka terdapat dua laki-laki dari Ahlulbait
(keturunan) Muhammad Saw.' Atas dasar ini, maka yang dikehendaki
dengan perkataan, kemudian akan ada kekacauan', adalah fitnah-fimah
yang memberitahukan akan datangnya kiamat. yaitu keluamya Dayal
dan seterusnya.”^
As-Suyuthi pun mengatakan, bahwa: “Atas dasar pendapat ini, dan
dua belas khalifah telah ada para khalifah yang empat (Abu Bakar. Umar.
Utsman, dan Ali) , Hassan. Muawiyah, Ibnu Zubair. Umar bin Abdul Aziz,
mereka adalah delapan khalifah. Dan dapat dikumpulkan kepada mereka.
Al Muhtadi dari khalifah Bani Abbas (khilafah Abbasiyah), karena ia
sepeni Umar bin Abdul Aziz pada Bani Umayah. Begitu pula Ad-Dhahir.
karena keadilannya. Dan masih tersisa dua khalifah yang dinann-nan
tikan. salah satunya adalah Imam Mahdi, karena beliau termasuk keru
runan Nabi Muhammad Saw.”**1
Jika pendapat As-Suyuthi ini ditenma. maka teidapat ambiguitas
lainnya. Ambiguitas pertama adalah tidak diketahui secara pasti ststem

Hadis ini hanyak dmwavatkan dan betbagai kitab hadis Bukhari dan Muslim meii-
wavatkan hadu tersebut Ibn lUiai al Anqaiani pun tnenyebutkan hadt* UMsebut Pun
Ibn Hibhan. menwayatkan hadis itu Uhai hadis hadi* tersebut dalam Jalaluddtn As
Suvuthi, T Arikh al Khulqfft' hh 14 IS
<9(i Jalahiddin As Suyuthi. TArfkh al KhulafiA'. h 15.
<91 lalaluddui As-Suyuthi. tdnkh . h. lb.
140 KhIlafah

kekhalifahan yang sesuai dengan Sunnah, karena tidak diketahui secara


pasti siapa ke-12 khalifah sebagaimana dimaksud dalam hadis. Dalam
empat kekhalifahan yang disebut ‘ala Minhaji Nubuwwah, yaitu Khulafa
ar-Rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz berbeda-beda sistem pemerintah-
annya. Ditambah lagi dengan konsep 12 khalifah ini.
Ambiguitas kedua adalah, As-Suyuthi hanya menyebut 1 1 khalifah,
termasuk Imam Mahdi dengan ciri Ahlulbait Nabi, sedangkan satu kha¬
lifah lainnya tidak disebutkan.
Ada pula penafsiran lain yang mengatakan bahwa usia khilafah se-
lama 30 tahun dan jumlah 12 tersebut bukan berarti dalam arti sebe-
namya harus 30 tahun dan 12 khalifah. Bisa saja lebih dari iru. Mereka
menggunakan hujah, bahwa “ketika disebutkan saya lulusan SD bukan
berarti saya hanya lulusan SD”. Dengan demikian, khalifah bisa melebihi
jumlah tersebut sampai Hari Kiamat dan akan ada khalifah nubuwwah
yang akan menegakkan keadilan yang disebut dengan Imam Mahdi.
Namun, perlu diingat bahwa pendapat ini adalah argumentasi yang tidak
berdasarkan hujah yang kuat. Perkataan Nabi Saw. adalah nas yang wajib
diikuti. Ketika menyebut suatu bilangan tertentu, tentu ada maksud
pembatasan. Karena jika tidak demikian, maka Nabi Saw. tidak mungkin
menyebutkan suatu bilangan tertentu.
Dalam pandangan yang Iain dari mazhab Syi'ah, pengangkatan kha¬
lifah mutlak harus berdasarkan nas yang jelas. Hal ini dikarenakan masa-
lah imamah adalah sama dengan masalah nubuwwah, hanya berbeda
dikarenakan tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad Saw. Dikarena¬
kan masalah yang fundamental, maka sistem pengangkatan maupun
sistem pemerintahan khilafah harus berdasarkan nas naqli yang tersurat
dan jelas. Dikarenakan hal ini masuk ke dalam masalah hukum, maka
bahasa hukum harus termuat dalam nas, sehingga tidak memunculkan
penafsiran lain.
Atas dasar argumentasi tersebut, khilafah dalam pandangan Syi'ah
lebih terukur, yaitu dua belas imam, yang semuanya berasal dari Quraisy
yaitu Ahlulbait Nabi Saw. Dari mulai Ali bin Abi Thalib sampai dengan
Format PemerIntahan khIlafah 141

imam terakhir, yaitu Muhammad ibn Hasan ibn Ali al-Qaim atau Imam
Mahdi (yang dinantikan).
Selain itu, sistem pemerintahan khilafah menurut mazhab Syi’ah pun
berada pada level hukum berdasarkan nas naqh bukan pada level penaf-
siran, yaitu berdasarkan apa yang dihukumkan dalam Ai-Qur’an dan
Sunnah Nabi. Hal inilah yang kemudian memberikan muatan pada pe-
rumusan konsep wilayatul faqih Imam Khomeini. Hak kepemimpinan
hakiki adalah milik para Imam Suci yang kesemuanya dari Ahlulbait Nabi
Saw., dan pada masa kegaiban Imam Mahdi tetap berada pada koridor
syariah, yaitu diserahkan pada naib imam (wakil imam di muka bumi),
yaitu para ulama yang memenuhi persyaratan, di antaranya syarat ‘ada¬
lah (keadilan) dan faqahah (penguasaan ilmu).
Thusi, menyebut pemimpin dengan istilah imam, yaitu manusia yang
memiliki kepemimpinan mutlak atas urusan dunia dan agama.JM2 Fitnah
dan kerusakan akan terjadi jika tidak terdapat imam di tengah-tengah
masyarakat. Dengan adanya hal tersebut, maka keberadaan imam itu
wajib diangkat oleh Allah Swt.*393
Konsep bentuk pemerintahan tidak bisa dipisahkan dengan konsep
kepemimpinan (imamah atau khilafah).3*' Ulama memegang otoritas
tertinggi dalam bidang politik maupun agama.395 Selama gaibnya Imam
Mahdi, kepemimpinan dalam pemerintahan Islam menjadi hak fuqaha.

592 Khaja Nasi rudd in ThQsi. Akhldk Ndshin. Teheran Khawarzrmr. 1373 HS. h. 41. Lihat
juga Thdsi, Risalah Imamat, Teheran Darusyghah Teheran, 1335, h. 15.

393 Thusi, Risalah Imdmat. h. 15.


<94 Pemerintahan dalam bahasa Parsi HuWmat. Sepem telah disebutkan pada pembahas
an di bagian Negara, terkadang Imam Khomeini mcnggunakan kata (Miimai dalam
menjelaskan makna pemerintahan dan negara sekabgus
395 Konsep kepemimpinan menurut Imam Khomeini tenuang gagasannya tentang
Wildyah al Faqih Istilah Wtlrfvah al Faqih (Wlavar r Faqih atau IVildvur al Faqih I
diterjemahkan dalam bahasa Inggrts menjadi governance by the nmq>rudent atau
guardianship of the juristconsult, atau mandate of the lunst atau the purported authority
of the yunsprudent Lihat Michael MJ Fischer. Iran: From Religious Dispute to
Resolution (Cambridge. Harvard University Press 1980). h. 153. Wt/dyah al Faqih
mengarukulasrkan gagasan esensial Imam Khomeini tentang negara dan juga tujuan
yang ingin dicapainva. Mldyah al Faqih juga merupakan blue print bagi suatu
rcorganisasi masyarakat, dan merupakan sebuah handbook bagi Rrvolusi Islam Iran.
142 KhIlafah

Sekali seorang faqih berhasil membangun sebuah pemerintahan Islam,


maka rakyat dan para faqih lain wajib mengikutinya, karena dia akan
memiliki kekuasaan dan otoritas pemerintahan yang sama sebagaimana
yang dimiliki nabi dan para imam terdahulu. Walau demikian, tidak
semua faqih qualified sebagai pemimpin. Sekurang-kurangnya beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi seorang faqih untuk bisa memimpin
pemerintahan Islam?96
Konsep seperti ini disebut dengan konsep Wilayah al-Faqih. Konsep
ini didasarkan pada prinsip imamah yang menjadi salah satu keimanan
Syi'ah Imamiyah. Bisa juga dikatakan bahwa Wilayah al-Faqih dimaksud-
kan untuk mengisi kekosongan politik selama masa gaibnya Imam kedua

belas (al-Mahdi). Pada masa kegaiban itu, Faqih yang memenuhi sya-

rat berperan selaku wakil imam, guna membimbing umat, baik dalam
masalah-masalah keagamaan maupun sosial politik. Oleh sebab itu, ber-
dasarkan konsep Wilayah al-Faqih, keberadaan sebuah pemerintahan
Islam merupakan suatu keharusan spiritual maupun historis.
Para ulama Syi'ah menjunjung tinggi aspek asasiyah doktrin ima¬
mah?97 Karena imam itu maksum dan menafsir otoritas wahyu Islami,
maka dia adalah satu-satunya otoritas absah yang dapat menegakkan
negara dan pemerintah Islam. Namun, di bawah pengaruh kuat keadaan
historis, imamah menjadi terbagi ke dalam temporal dan spiritual. Oto¬
ritas temporal imam dipandang telah “dijarah” oleh dinasti yang ber-
kuasa, namun otoritas spiritual tetap dimiliki oleh imam yang dipandang
sebagai hujah Tuhan mengenai kemahakua.saan-Nya, yang diberi kuasa

Lihat A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syi'ah dan Politik di Indo¬
nesia: Sebuah Peneltnan, Bandung: Mizan, 2000, h. 61.
396 Syarac-syarat seorang faqih agar bisa memimpin sebuah pemerintahan Islam antara
lain: (1) mempunyai pengetahuan yang luas lentang hukum Islam; (2) harus adil,
dalam arti memiliki iman dan akhlak yang tinggi; (3) dapat dipercaya dan berbudi
luhur, (4; genius; (5) memiliki kemampuan administratif; (6) bebas dan segala
pengaruh asrng; (7) mampu mempertahankan hak hak bangsa, kcmerdekaan, dan
integritas tentorial tanah Islam, sekalipun harus dibayar dengan nyawanya; dan (8)
hidup sederhana. Lihat Khomeini, al-Uukumah al Islainiyyah, hh. 56 58.
397 Hanya imam yang ditunjuk secara eksplisitlah yang berhak membuat keputusan yang
mengikat dalam masalah yang memengaruhi kesejahteraan umat manusia.
Format PemerIntahan Khilafah 143

unruk memandu kehidupan spiritual para pengikutnya sebagai imam


sejati.3’8
Dengan berfungsinya nasionalisme Iran dan Islam Syi‘ah, orang-orang
Iran, termasuk para ulama Syi'ahnya, tidak pemah merasakan adanya
konflik antara Islam dan nasionalisme Iran.398399 Namun, sebagian ulama
Syi‘ah menolak segala bentuk kolaborasi antara raja dan ulama, termasuk
dalam arti raja dalam posisi superior dan ulama inferior.
Pemerintahan Islam, tidak sama dengan bentuk pemerintahan mana
pun. Pemerintahan Islam tidak bersifat tirani dan juga tidak absolut
kekuasaannya, melainkan bersifat konstitusional. Namun, bukan bersifat
konstitusional sebagaimana pengertian yang umum, yaitu yang berda-
sarkan persetujuan yang disahkan oleh hukum dengan berdasarkan suatu
mayoritas. Pengertian konstitusional yang sesungguhnya adalah pemim-
pin sebagai subjek dari kondisi-kondisi tertentu yang berlaku di dalam
kegiatan memerintah dan mengatur negara yang dijalankan oleh pemim-
pin tersebut, yaitu kondisi-kondisi yang telah dinyatakan oleh Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi Saw. Kondisi tersebut merupakan hukum dan aturan
Islam yang juga terdiri dari kondisi yang harus diperhatikan dan diprak-
tikkan.400
Karakteristik pemerintahan monarki adalah pemerintahan yang di¬
pimpin oleh seorang raja (sebagai wakil atas rakyat) berdasarkan undang
undang. Sedangkan karakteristik pemerintahan Islam, kekuasaan legisia-
tif dan wewenang untuk menegakkan hukum secara eksklusif adalah
milik Allah Swt. Pembuat undang-undang suci ini dalam Islam adalah
satu-satunya kekuasaan legislatif. Tidak ada seorang pun yang berhak
untuk membuat undang-undang lain dan tidak ada hukum yang harus
dilaksanakan kecuali hukum dari pembuat undang-undang (Allah Swt.).

398 Abdulaziz A. Sachedina, Kepemimpinan Dalam Islam. Bandung. Mizan. 1986, h 197.
399 A. Rahman Zainuddin dan M Hamdan Basyar (ed.), Syi'ah dan Mink. Bandung:
Mizan. 2000. h. 63.
4M Khomeini, ul Hukdmah al htdmixyah. Ii 70.
144 KhIlafah

Atas dasar ini, dalam sebuah pemerintahan Islam, badan Majelis Pe-
rencanaan mengambil peran sebagai Majelis Legislatif, yang merupakan
salah satu dan tiga cabang dalam pemerintahan yang ada (legislatif,
eksekutit, dan yudikatif) . Majelis ini menyusun program-program bagi
kementerian di dalam kerangka aturan-aturan Islam dan dengan cara
demikian majelis ini akan menentukan bagaimana kuantitas dan kualitas
pelayanan publik yang akan diberikan oleh negara kepada masyarakat-
nya. Hukum-hukum Islam yang ada di dalam Al-Qur'an dan Sunnah
diterima oleh kaum Muslim dan ditaati. Penerimaan mereka ini akan
memudahkan cugas pemerintah dalam menerapkan hukum-hukum terse-
but dan membuatnya agar benar-benar menjadi milik rakyat.401
Sebaliknya. pada pemerintahan republik atau monarki konstitusionai,
sebagian besar para pemimpinnya mengklaim bahwa mereka mewakili
mayontas suara rakyat, yang dengan suara mayoritas ini rakyat pasti
akan mengabulkan apa pun yang mereka kehendaki dan kemudian me-
maksakan hal-hal yang menjadi kehendak mereka kepada seluruh pendu-
duk yang dikuasainya. Dalam pemerintahan Islam, kedaulatan hanyalah
milik Allah dan hukum adalah keputusan dan perintah-Nya. Hukum-
hukum Islam, yang berasal dari perintah-perintah Allah memiliki kewe-
nangan mutlak atas semua individu dalam sebuah pemerintahan Islam.
Semua manusia, termasuk Nabi Saw. dan para imam, adalah subjek
hukum Islam dan akan tetap demikian untuk selamanya, subjek dari
hukum sebagaimana yang telah diwahyukan oleh Allah Swt. melalui Al-
Qur'an dan Sunnah Nabi. Jika Nabi Saw. menanggung tugas nubuwwah,
maka sungguh hal itu adalah perintah Allah untuk dirinya. Allah Swt.
telah menunjuk Nabi Saw. sebagai wakil-Nya di muka bumi. Nabi tidak
menegakkan pemerintahan berdasarkan kehendaknya untuk menjadi
pemimpin kaum Muslim. Sama halnya ketika perselisihan akan sangat
mungkin terjadi di antara umat sepeninggalnya dikarenakan terbatasnya
pengetahuan mereka akan Islam dan iman. Atas dasar ini, maka Allah
Swt. memerintahkan Nabi Saw. untuk segera menyampaikan perma-

401 Khomeini al-Uukurnah al Isldmiyyah. h. 70.


Format Pemerintahan KhIlafah 145

salahan berupa siapa yang akan menjadi penerus kepemimpinannya di


tengah-tengah padang pasir (ghadir khum).^
Hukum Allah berlaku bagi pemimpin maupun yang dipimpin. Dengan
demikian, dalam pandangan Islam, tidak ada hak monopoli kekuasaan.
Satu-satunya hukum yang sah dan berisi perintah yang wajib ditaati
adalah hukum Allah Swt. Ketaatan kepada Nabi Saw. juga merupakan
ketetapan Allah Swt., sebagaimana firman-Nya: "Dan taatilah Rasul "
Menaati Uli! Amri juga merupakan ketetapan Allah, sebagaimana firman-
Nya: "Taatilah Allah, dan taatilah Rasul serta Ulil Amri kalian ” (QS Al-
NisT: 59).
Seluruh manusia wajib mengikuti kehendak Allah. Pemerintahan
Islam tidak dapat berbentuk pemerintahan monarki, terutama sistem
kekaisaran. Pada tipe pemerintahan seperti ini, pemimpin pemerintahan
berkuasa atas harta dan rakyat yang ia pimpin dan rakyat diharuskan
untuk memberikan semua yang ia inginkan. Islam tidak memiliki hu-
bungan sedikit pun dengan bentuk dan metode pemerintahan seperti
ini.*3
Atas dasar inilah, tidak ada sedikit pun istana-istana besar. bangunan-
bangunan mewah, pembantu-pembantu dan pengiring-penginng, ajudan
pribadi, ajudan untuk putra mahkota dan semua yang lazim terdapat
pada pemerintahan monarki dalam pemerintahan Islam, yang semuanya
itu dalam pemerintahan monarki pembiayaannya dapat mencapai se-
paruh anggaran negara.
Pemerintahan adalah washilah untuk mencapai tujuan mulia. Men-
jalankan fungsi pemerintahan, pada substansinya, tidak berkaitan dengan
martabat dan maqdm; namun menyelesaikan tugas dengan meiaksana-
kan hukum dan menegakkan tatanan Islam yang adil.**

402 Khomeini, al tiukumah al lslimiyyah, h. 7 1 .


403 Khomeini. alUukumah al- Islamtyyah, h. 72.
404 Khomeini mengutip salah satu hadis vang termuat dalam Nahjul Maghah
u U4 \ W U .UjO-l J,) qj x
, i/U- UkY, gM> J (Uk , Jyli IX. .< Y J. JU
146 KHiUAFAH

Dengan berdasarkan hadis Ali bin Abi Thalib, jelaslah bahwa memikul
fungsi pemerintahan adalah untuk memperoleh wasilah, bukan maqdm
maknawi. Hal ini dikarenakan jika pemerintahan itu dijalankan untuk
memperoleh maqdm maknawi, maka tak seorang pun yang dapat me-
rampasnya. Pemerintahan dan pemberian perintah kepada rakyat akan
bemilai jika keduanya menjadi wasilah untuk melaksanakan hukum-
hukum Islam dan menegakkan tatanan Islam yang adil sehingga orang¬
orang yang bertanggung jawab atas pemerintahan tersebut memperoleh
nilai tambah dan maqdm yang mulia. Sifat-sifat yang disyaratkan untuk
mencapai tujuan tersebut adalah adanya pengetahuan terhadap hukum
dan keadilan.
Konsep pemerintahan Islam dalam mazhab Syi‘ah berpusat pada ke-
pemimpinan faqih sebagai sentral pemerintahan. Tidak ada perbedaan
dalam masalah penegakan hukum Allah Swt. antara Nabi, Imam, dan
faqih. Dalam menjalankan fungsi tersebut, faqih sama dengan Nabi dan
Imam. Dalam masalah ini, tidak masuk akal apabila ada perbedaan an¬
tara Rasul Saw., para imam a.s. dan faqih. Sebagai contoh, salah satu hal
yang berkaitan dengan wildyat al-faqih, yaitu menjalankan ketetapan-
ketetapan hukum Islam. Dapatkah muncul perbedaan antara Rasul Saw.,
para imam, dan faqih? Apakah seorang faqih harus memberikan cam-
bukan yang lebih sedikit dikarenakan maqdm-nya lebih rendah? Hukum-
an bagi seorang pezina adalah seratus kali cambukan. Apakah jika Nabi
Saw. yang melakukannya, maka cambukan itu menjadi 150 kali dan bagi
Amirul Mukminin 100 kali serta bagi faqih adalah 50 kali?405

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib be r kata kepada Ibnu Abbas, sekaitan dengan
masalah pemerintahan, “Berapa besar nilai sandal ini?" Ibnu Abbas menjawab, "Tidak
ada mlainya." Lalu dia berkata, “Demi Allah, sungguh itu (sandal) lebih bemilai bagi
ku dibandingkan memerintah kalian, kecuali aku tegakkan yang hak (hukum -hukum
dan tatanan Islam) dan aku lenyapkan yang batil (hukum hukum dan tatanan yang
menindas dan terlarang)." Lihat Muhammad Abduh, Nahj al-Baldghah, Khutbah No.
33.
405 Khomeini, al Hukumah allsldmiyyah, h. 82.
Format PemerIntahan KhIlafah 147

Konsep itu bukanlah sesuatu yang baru.406 Dikatakan bukan sesuatu


yang baru, karena dalil-dalil tentang pemerintahan (hukumah) sudah
terdapat secara jelas dalam AJ-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi dan para
imam maksum. Namun, dalil yang secara eksplisit mengatakan bahwa
pemerintahan (sulthdna/i) adalah milik fuqaha, memang tidak terdapat
dalam Ai-Qur’an maupun hadis.407
Meskipun demikian, pemerintahan adalah satu sarana yang dapat
mengantarkan kepada kebaikan umat merupakan hal yang disepakati
oleh semua pihak. Menegakkan hukum-hukum Allah bagi kepentingan
umat manusia merupakan satu hal yang disepakati pula. Sehingga dari
proposisi-proposisi tersebut, kesimpulan (istinbdth) bahwa mendirikan
pemerintahan Islam adalah baik dan menjadi wajib hukumnya. Perbeda-
an pendapat di kalangan ulama adalah bukan pada kesimpulan tersebut,
tetapi pada siapa yang berhak memimpin.408
Dalam ruang lingkup “siapa yang berhak memimpin” itulah diru-
muskan dengan berpedoman pada ayat-ayat dan hadis-hadis Nabi serta
Imam maksum bahwa yang berhak memimpin adalah seorang faqih yang
memenuhi kriteria-kriteria tertentu (faqih jami’ asy-syaraith), yaitu syarat
faqdhah dan ‘adalah. Konsep inilah yang dinamakan sebagai Wildyat al-
Faqih, satu prinsip pemerintahan Islam yang lama (yaitu yang diprak-
tikkan pada zaman Nabi dan para Imam) namun dengan formulas! baru,
dikarenakan seorang faqih tidak dijamin kemaksumannya sehingga di-
butuhkan syarat-syarat.
Satu hal yang menjadi benang merah dari pembahasan ini adalah
bahwa format pemerintahan Islam pun memiliki konsep dan penerapan
dalam sejarah yang berbeda. Ini menggenapi kenyataan tentang sangat
beragamnya konsep khilafah dalam satu tema yang sama, apalagi jika
dilihat dari sejarah panjang penerapan konsep khilafah yang selalu ber-

406 Uhat Khomeini, al tMumuh albldiniyyah. h. 179.


407 Khomeini. al-UukOmah Inda Syfah. Beirut: Markaz Baa h Dirasat, 2003, h. 18.
40N Khomeini, al-Hukuniah ‘inda Syrah, h. 19.
409 Khomeini, a! Hukumah al-HUmiyyah. h. 80.
148 KhIlafah

ubah-ubah, hal ini menunjukkan konsep khilafah sangat dinamis, tidak


stagnan, dan memungkinkan konsep-konsep baru dirumuskan serta di-
praktikkan.il
10
SYARAT' SYARAT KHALI FAH

D
iantara syarat-syarat kh a I if ah yang memegang figur sentral
pemerintahan atau negara Islam, adalah dari aspek keturunan
(nasab). Hal ini termuat misalnya, dalam hadis yang menyatakan
bahwa,‘Aimmah (para imam) dari Quraisy Tidaklah mereka memutuskan
suatu perkara kecuali berlaku add, mereka berjanji dan menepatinya, jika
diminta betas kasihan maka mereka mengasihL” (HR Ahmad dan Abu
Yu’la dan Ath-Thabrani)
Imam Ibnu Hajar meriwayatkan hadis serupa dengan menambah
redaksi lengkap “ Siapa saja di antara mereka yang tidak berbuat demi-
kian, maka dia akan mendapatkan laknat Allah, laknat para malaikat,
dan laknat seluruh manusia. Tidak dapat diterima tobat dari mereka dan
tidak diterima pula tebusan (asab) dari mereka.” 4,0
Hadis tentang syarat keturunan Quraisy sebagai syarat khalifah ter-
cantum dalam banyak hadis dengan matan dan sanad yang berbeda
beda.* 411 Pada hadis yang diriwayatkan oleh Imam TUrmudzi. dengan
redaksi mulk (raja) milik Quraisy41-, hadis Imam Ahmad menggunakan

no Jahluddin As-Suyuthi, Tdnkh al-KhulafA . h. 12.


411 Baik dengan sanad vang disebut sahih maupun yang disebutkan hadunya sahih
412 Dan Ahmad ibn Muni', telah betkata Zaid ibn al Habab dan Muawiyah bin Shalih.
dan Abu Maryam al Anshan dan Abu Huiairah, Nabi Saw benabda: '‘Rata milik
Quraisy. Hakim milik Anshar dan Adnan milik Habasyah ' Dalam redaksi lengkapnya
ditambahkan dengan redaksi “ dan umanuh mil A Anad atau tuku Hrmaa.'' Imam
TXnmudn mcngatakan hadis ini sahih.

149
150 KhIlafah

redaksi khilafah milik Quraisy, dan hadis AJ-Bazzar menggunakan redaksi


amir dari Quraisy.413

413 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrikh al Khulafa. h. 13. Hadis mi diriwayatkan juga oleh Abu
Dawud At Thayalisy dalam Musnadnya Juz 2. h. 163. Imam Ahmad juga meriwayat-
kannya dari Anas bin Malik dan Abi Barzah dengan redaksi yang lebi h pendek: "Bahwa
Rasulullah Saw. berdiri di depan pintu rumah beliau Saw. dan Kami ada (di dalam
rumah beliau), lalu berkata: 'Para Imam itu dan Quraisy."" (A/ Musnad, juz 3. h. 139
dan juz 4, h. 421). Imam Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dalam Kitab AlAnbiyd'
dengan redaksi; Dari Muawiyah bahwasanya dia mendengar Nabi Saw. bersabda:
"Sesungguhnya urusan (pemenntahan. khilafah) int ada di tangan Quraisy. Tidak
seorang pun yang memusuhi mereka melainkan Allah akan membuatnya terjungkaL'
tersungkur ke tanah, selama mereka menegakkan agania (Islam)." (Shahih Bukhari, juz
6, h. 389). Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis itu dan Abdullah bin Umar r.a.
dengan lafaz: "Urusan (pemenntahan khilafah) tm senantiasa berada di tangan Quraisy
selama masih tersisa dan mereka dua orang.” Imam Ibnu Hajar Al-'Asqalani tentang
sanad hadis iru berkata: "Para perawinya (nidi hadis) tergolong dalam para perawi
yang sahih, tetapi dalam sanad int ada keterputusan (mqithd")" (Fath Al-Bdn, juz. 16.
h. 231).
Dan hadis Ibnu Umar ini juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Kitab Al-
Imdrah dengan lafaz:“Urusan (pemerincahan khilafah) mi senantiasa berada di tangan
Quraisy selama masih tersisa dua orang di antaru manusia." (Shaljih. Muslim, juz 12,
h. 201).
Imam Muslim meriwayatkan hadis serupa dari Abu Hurairah r.a. dengan lafaz:
"Manusia mengikuti Quraisy dalam perkara (pemenntahan) ini. Yang Muslim mengikuti
kaum Muslim dari kalangan mereka. Yang kafir mengikuti kaum kafir dan kalangan
mereka." (Shaljih Muslim, juz 12. h. 200). Dalam Sunan At Tirmidzi, juz 4. h. 503,
diriwayatkan hadis dan Amr bin Ash bahwasanya dia mendengar Nabi Saw. bersabda:
"Quraisy adalah pemimpin manusia (wuldtun nas) dalam kebaikan dan keburukan
hingga Han Kiamat"
Dan Imam At Tirmidzi berkata, "Hadis ini adalah hadis hasan ghanb shahth."
Dalam Sunan Al-Baihaqi, juz. 8, h. 144, diriwayatkan hadis dan Atha' bin Yasar
bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda kepada orang-orang Quraisy: "Kalian adalah
manusia vang paling layak memegang urusan (pemenntahan) ini selama kalian berada
dalam kebenaran. Apabila kalian menyimpang dan kebenaran. maka kalian akan
dtkupas habis sebagaimana kulit kayu mi dikupasl— Beliau menunjuk sebuah kayu yang
ada di tangannya.”
Imam Syafi'i meriwayatkannya dengan lafaz yang sama dalam Al Musnad Bagian
Mu'amalat. Beliau mengeluarkan sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Syihab
bahwa telah sampai padanya bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Rersilakan Quraisy
tampil ke depan (untuk memimpin) dan janganlah kalian mendahuluinya ke depan
(untuk memimpin) Belajarlah dan Quraisy dan jangan mengajari mereka." (Imam
Syafi’i).
Tentang hadis “Para Imam dari Quraisy" Al Halabi berkata, "Hadis tersebut
adalah hadis sahih yang diriwayatkan sekitar 40 sahabat. Imam Ibnu Hazm rnemlai
hadis tersebut mutawatir. Dia berkata, “Riwayat hadis ini datang secara tawatur."
Syarat-Syarat KhalIfah 151

Syarat keturunan Quraisy pada khalifah mendapat perhatian besar


dan jumhur ulama dan dalam masalah ini terdapat perbedaan yang besar
di antara ulama yang menganggapnya sebagai syarat in’iqad (keharusan


aiau sahnya) dalam mengakadkan khalifah selain orang Quraisy tidak
boleh menjadi khalifah—dengan kalangan yang memasukkannya sebagai
syarat afdlaliyyah (keutamaan) semata.
Mazhab Ahlu Sunnah, seluruh Syi'ah, sebagian kelompok Mu’tazilah,
dan sebagian besar kelompok Murji’ah berpendapat bahwa keturunan
Quraisy merupakan syarat in’iqad khilafah.*14 Imam Malik berkata:
“Imamah atau kepemimpinan tidak boleh ada kecuali pada Quraisy."4'5
Imam Ahmad berkata, “Tidak ada khalifah dari selain Quraisy."
Para ulama berargumentasi dengan dalil hadis “Para imam dari
Quraisy” dan ijma’ sahabat, sebab Abu Bakar Shiddiq telah berdalil de¬
ngan sabda Rasulullah Saw.: “Para imam dari Quraisy” ketika berad u
argumentasi dengan kaum Anshar dalam perselisihan pendapat tentang
masalah khalifah setelah Nabi Saw. wafat. Argumentasi itu disaksikan
oleh para sahabat dan mereka menerimanya sehingga menjadi dalil yang
pasti yang memberikan pengertian persyaratan Quraisy dalam khali¬
fah.41*’
Sedangkan Al-Khawarij, jumhur kalangan MuTazilah, sebagian Mur¬
ji’ah, Ibnu Khaldun, Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan para ulama kon-
temporer berpendapat bahwa nasab Quraisy tergolong syarat afdlaliyyah
bukan termasuk syarat in’iqad.417
Selain itu, para ahli sejarah pun mencatat pemyataan Umar bin
Khattab bahwasanya dia berkata. “Jika telah sampai ajalku, dan Abu

Imam Ibnu l>nmnyah cvnderung mcnilai hadis itu mutawanr dan sey maknanya saja
dan bukan dan segi sanadnya
414 Imam Ibnu Hazm, AlFashl fil Mtlal Nihal, juz 4.
h. 80; Abul Hasan AlAsy'an.
Maquldt AUdamwin. juz 2. h 134. Muqaddimah Ihnu Khaldun, juz 2. hh. 522 524
415 Ibnu Arabi. Ahkdmul Qur'an, juz 4. h 1709.
416 Lihat Al Mawardi, AlAMum as-Sulthoniyah. hh. 5-6.
417 lihat Al Amidi. Al Kashi fil Milal »vl Ahwd wan Nihal juz 4. h. 89; ibnu Hajar. Fdth
Al Bdri, juz lb. h 237; Muqaddimah Ibnu Khaldun, juz 2. h 524 Syaikh Abdul
Wahhab Khalaf, As Siydsah AsSyar\yyah. h. 27.
152 KhIlafah

‘Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan kekhilafahan ke-


padanya.” Ada pula ungkapan lain: ‘Jika telah sampai ajalku dan Abu
‘Ubadah telah mati, maka aku akan memberikan kekhilafahan kepada
Mu'adz bin Jabal.” (HR Imam Ahmad)418
Umar bin Khattab mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para
sahabat dan tidak ada satu riwayat pun yang menyebut bahwasanya
mereka berbeda pendapat dengan Umar tentang pendapatnya itu dan
berhujah bahwa khilafah mesti dari Quraisy dan tidak boleh di tangan
keturunan yang lain. Oleh karena itu, pemahaman imlah yang dipahami
Umar dan tak seorang pun dari sahabat yang mengingkarinya bahwa
syarat nasab Quraisy bukanlah syarat in'iqad.
Dalam khazanah filsafat Islam, salah seorang filsuf Muslim klasik,
yaitu Al-Farabi menyebutkan beberapa syarat bagi seorang pemimpin.
Sebelumnya, Al-Farabi membagi pemimpin menjadi dua jenis: rais awwal
dan rais tsani. Rais awwal adalah pemimpin sebagai figur yang me-
ngetahui dan mengajarkan kepada manusia. Rais tsani adalah yang
dibimbing oleh rais awwal lalu menguasai, melaksanakan, dan mengajar¬
kan juga kepada orang lain apa-apa yang diajarkan kepadanya, maka dia
adalah rais tsani sekaligus juga mar’us (yang dipimpin oleh rais awwal).4'9
Rais awwal adalah pemimpin mutlak, yaitu yang dalam segala hal
tidak membutuhkan manusia lain kepemimpinannya; demikian itu hanya
terdapat pada jiwa-jiwa agung yang berhubungan langsung dengan akal
fa’al. Sebelum sampai kepada akal fa'al seseorang harus mencapai ting-
katan akal munfa’il dan kemudian mencapai akal mustafad, sehingga
mampu berhubungan langsung dengan akal fa'al.
420

Al-Farabi memerinci 12 ciri-ciri rais awwal:


1. Sempuma secara fisik
2. Memiliki hafalan yang kuat, apa yang ia dengar, lihat, dan ketahui
(tidak mungkin lupa)

41» Ibn Qutaibah. Al-lmamah wa al-Siyasah, h. 42.


419 Al-Farabi. Siydsah Madaniyyah, hh. 46, 48.
420 Akal fa dl (akal aktif) adalah istilah Al Farabi dan konsep “Akal Kesepuluh".
s yarat-Syar at KhauIfah 153

3. Memiliki kecerdasan yang bagus


4. Memiliki kecakapan dalam berbicara
5. Cinta terhadap ilmu dan pengajaran
6. Tidak rakus terhadap urusan-urusan dunia
7. Meninggalkan hal yang sia-sia
8. Cinta terhadap kejujuran dan orang-orang jujur
9. Memiliki jiwa yang besar
10. Jiwanya secara fitri enggan terhadap hal-hal yang hina
11. Cinta pada keadilan dan benci terhadap kezaliman
12. Berani dalam menegakkan kebenaran.42'

Al-Farabi menegaskan bahwa tidak semua manusia memiliki keselu-


ruhan sifat-sifat di atas, kecuali hanya satu dalam setiap generasi. Jika
tidak terdapat seluruh sifat tersebut pada seseorang pada suatu zaman,
maka kepemimpinan itu diwarisi oleh rats tsdnL yang memiliki 6 syarat:
1. Dia adalah seorang hakim.
2. Alim dan menjaga syariat. Sunnah, dan tradisi.
3. Memiliki kemampuan dalam isrinbazh terhadap apa-apa yang tidak
didapatkan dan pendahulu (hal-hal baru).
4. Memiliki kemampuan nalar dan istinbath terhadap hal-hal yang ter-
jadi di masa sekarang dan masa depan untuk shalah hal al-madinah
(kebaikan bagi negara).
5. Memiliki kemampuan dalam membimbing dan menjelaskan dengan
kalimat yang fasih tentang syariah para pendahulu atau hasil istin-
bdzh- nya.
6. Memiliki keteguhan secara fisik (mengetahui strategi peperangan dan
kepemimpinan).421422

Jika tidak terdapat sifat-sifat tersebut pada satu orang, dan terdapat
dua orang yang memiliki sifat hakim serta satunya memiliki sifat-sifat

421 Al-FArAbi. Ard Ahl al Madinah al-Fddhflah. hh. 127-129.


422 Al-FArAbi. Ard Ahl al Madinah al-Fadhilah, hh. 129-130.
154 KhIlafah

lainnya. maka kedua orang tersebut adalah pemimpin di kota yang ber-
sangkutan. Jika sifat-sifat itu terpecah kepada satu kelompok, hakim
pada satu orang, dan lainnya tersebar pada orang lain, dan mereka ber-
satu, maka mereka adalah para pemimpin utama (afadhil). Namun, jika
tidak ada orang yang memiliki sifat hakim (filsuf), maka kota tersebut
tidak memiliki pemimpin (mdlik), dan akan segera mengalami kehan-
curan.423
Mulla Shadra menyebutkan bahwa rats awwal adalah kepemimpinan
Nabi.424 Di samping itu, Shadra pun memerinci sifat-sifat rats awwal yang
berjumlah 12 sifat fitri dan dzdri42S sebagai berikut:
1. Memiliki kemampuan pemahaman yang sempuma
2. Kemampuan daya ingat yang kuat
3. Memiliki watak dan jasmani yang sehat dan stabil
4. Memiliki bahasa yang fasih dan balaghah yang kuat
5. Cinta pada ilmu dan hikmah
6. Tidak rakus kepada hal yang bersifat syahwaniyyah
7. Memiliki keagungan dan kebersihan jiwa
8. Memiliki akhlak yang mulia dan penuh cinta kasih
9. Memiliki hati yang berani
10. Derma wan
11. Kebahagiaan pada saat berkhalwat dan bermunajat dengan TUhan
melebihi makhluk-makhluk lain
12. Bersikap tegas dalam menghadapi kezaliman.426

Jika terdapat syarat-syarat tersebut pada diri seseorang, maka ia wajib


ditaati oleh seluruh kaum Muslim. Sedangkan jika sifat-sifat itu tersebar

423 AlFarabi, Ard Ahl al Madinah al-Fadhilah, h. 31.


424 Mulla Shadra, Syawdhid Rububiyyah. Teheran: Markaz Nasyr Danesyghah Teheran,
t.t., Isyrdq ke-10.

425 Sifat fitri dan dzdti adalah sifat esensial yang tidak boleh berkurang satu pun.
426 Najaf Lakzayi, Andisyeh Siyasi Shadr al-Muta'alihin, Qum: Intisyarat Daftar Tablighat
Islami, 1381 HS. hh. 168-170.
Syarat-Syarat KhalIfah 155

ke beberapa orang, maka harus bersatu dalam sebuah badan yang akan
membentuk kesepakatan-kesepakatan.427
Dari pengalaman empiris sejarah, syarat-syarat khalifah ini ridak me-
miliki perincian atau karakteristik yang baku. Pada masa Khulafa ar-
Rasyidin, syarat khalifah adalah selain dari suku Quraisy juga dari kelom-
pok Muhajirin yang ikut Perang Badar. Hal ini terlihat dari dirunjuknya
panitia kecil yang dibentuk oleh Umar bin Khattab pada saat menjelang
wafatnya untuk menentukan khalifah selanjutnya. Panitia kecil yang
terdiri dari enam orang sahabat yang ikut Perang Badar; yaitu Utsman
bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam,
Sa‘ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Umar memberikan
tanggung jawab (ketua) atas pemilihan ini kepada Abdurrahman bin Auf
untuk memilih salah satu di antara keenam orang ini, lalu terpilihlah
Utsman bin Affan.428
Jika melihat syarat khalifah pada masa Daulah Umayah, Daulah
Abbasiyah, dan dinasti-dinasti setelahnya, syarat khalifah ini cenderung
sangat subjektif, yaitu diserahkan pada khalifah yang menjabat untuk
menunjuk siapa penggantinya. Raja atau khalifah lalu menunjuk putra
mahkota yang kelak akan menduduki kursi kekhalifahan, yang keba-
nyakan berasal dari keturunannya.
Dikarenakan subjektif, tak jarang didapati raja atau khalifah yang
berfungsi sebagai figur sentral kekhalifahan dijabat oleh sosok yang oto-
riter, berbuat zalim, pemabuk, dan juga sangat bengis seperti yang di-
praktikkan oleh Walid bin Yazid (khalifah Bani Umayah). la disebut
sebagai khalifah terburuk dari Bani Umayah. As-Suyuthi menyebutnya
dengan ungkapan khalifah fasik, karena kegemarannya meminum kha-
mar dan melanggar apa yang diharamkan Allah Swt. la bahkan memi¬
num khamar di atas atap Ka'bah.429 Thabari berkata mengenai Khalifah
Walid, “Ada banyak riwayat mengenai penghinaan Walid terhadap agama ”

427 Khomeini, Kitdb al-Bay', hh. 624-625.


42» Al-Baladzuri, Arnab al-Asyraf Vol. IV h. 500
429 Jalaluddin As-Suyuthi, Tdrfkh al Khulafd', h 223.
156 KhIlafah

Thabari tidak menyebutkan kebanyakan dari perbuatan Walid agar tidak


memubazirkan kata.430 Sebaliknya Mas'udi mengutip sebagian, "Dia sa-
ngat senang minum anggur dan melewatkan malam-malamnya dengan
para penyanyi yang berbeda-beda, dan tindakan mesum adalah perbuat-
annya sehari-hari."431
Sejarah juga mencatat, khalifah dari Bani Umayah terdapat khalifah
yang saleh dan adil, sepeni yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin
Abdul Aziz, yang disebut sebagai Khulafa ar-Rasyidin kelima. Pada masa
Daulah Abbasiyah, misalnya ditunjukkan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid.
Dengan demikian, adanya ragam dari karakteristik kepribadian maupun
corak kepemimpinan yang diterapkan pada setiap kekhalifahan Islam,
hal itu menunjukkan syarat-syarat khalifah tidaklah baku. Hal ini menye-
babkan munculnya varian-varian dan praktik yang beraneka ragam da-
lam kekhalifahan Islam.
Selain aspek historis mengenai syarat pemimpin (khalifah atau imam)
di atas, secara konseptual, khususnya jika mengacu pada tafsir ayat Al-
Qur’an yang membahas mengenai pemimpin, akan ditemukan banyak
arti. Fakta ini memperkuat argumentasi bahwa tidak ada konsep pasti
yang diatur dalam agama Islam mengenai pemimpin. Dari sini, nanti
akan dijabarkan mengapa demikian dan apa manfaatnya. Tentu, tidak
mungkin Al-Qur’an memiliki ragam istilah dalam menyebut pemimpin
jika tidak ada tujuannya. Allah Swt. adalah Maha Pengatur dan Maha
Mengetahui, tidak mungkin menurunkan ayat-ayat yang beragam menge¬
nai pemimpin jika tidak ada tujuannya.
Dalam Al-Qur’an, terdapat banyak istilah untuk menunjuk makna
pemimpin:
Pertama, menggunakan istilah Qawwam. Pemimpin dalam Al-Qur’an
di antaranya menggunakan istilah qawwam, yaitu dalam QS Al-Nisa’ ayat
34: “Lakrlaki (suami) itu qawwamuna (pelindung) bagi perempuan
(istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas

430 Ath Fhabari, Tarikh ath-Thabari, Vol. V h. 538.


431 Muruj Adz Dzahab, Vol. III. h. 213.
Syarat-Syarat KHALiFAH 157

sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah


inembenkan nafkah dari hartanya."
Tafsir ibnu Katsir dan Tafsir Al- Baghawi menyebutkan bahwa Qawwa-
tnun adalah jamak dari qawwam, yang semakna dengan kata qayyim,
yang berarti pemimpin, pembesar, hakim, dan pendidik, yang bertang-
gung jawab atas pengaturan sesuatu. Namun, kata “qawwam" itu me-
miliki arti yang lebih dari “qayyim”.412
Aktivitas kepemimpinan dengan istilah qawwam dalam ayat di atas
diidentikkan dengan aktivitas kepemimpinan dalam keluarga sebagai
komponen terkecil dari suatu negara. Jika keluarga -keluarga hidupnya
baik dan sejahtera dapat dipasrikan bahwa kehidupan negara sebagai
kumpulan dari komponen-komponen keluarga akan baik pula.
Kedua, menggunakan istilah imam. Dalam bentuk singular terdapat
di empat tempat, yaitu Surah Al-Baqarah: 124, Surah Hud: 17, Surah
Al-Furqan: 74, dan Surah Al-Ahqaf: 12.
Sedangkan dalam bentuk plural, pemimpin disebut dengan aimmah
terdapat dalam lima tempat, yaitu dalam Surah Al-Taubah: 12, Surah
Al-Anbiya’: 73, Surah Al-Qashash: 5 dan 41, serta Surah Al-Sajdah: 24.
Misalnya dalam Surah Al-Furqan: 74: “Dan orang-orang yang berkata:
Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan kecu-
runan kami sebagai penyenang had (kami), dan jadikanlah kami imam
(pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa.”
Di dalam ayat di atas, pemimpin dalam Al-Qur'an disebut dengan
istilah imam. Imam dalam ayat di atas pun disandingkan dengan aspek
keluarga, yaitu istri dan keturunan. Ayat di atas mengisyaratkan bahwa
pemimpin atau imam ideal untuk orang-orang yang bertakwa adalah
yang berasal dari keluarga yang baik pula, yaitu yang memiliki istri dan
anak yang disebut dalam ayat dengan qurrata ayun (buah mata), yang
mampu menjadi teladan bagi orang lain, bukan yang mencoreng nama
baik si pemimpin itu.

432 Tafsir ibn Katsir, pada tafsir QS Al NisA'• 34. Lihat juga Tlj/sir alBcqihawi pada ayat
yang sama.
158 Khilafah

Pada ayat lain, istilah pemimpin yang disandingkan dengan keluarga


bukan menggunakan istilah imam, tetapi dengan istilah qawwamuna,
sebagai kalimat plural dari qawwam (seperti telah dibahas pada poin
pertama di atas).
Pengertian imam dalam ayat-ayat lain mengisyaratkan aktivitas ke-
pemimpinan dalam makna yang lain, yaitu kepemimpinan yang diemban
oleh para nabi.
Misalnya dalam Surah Al-Baqarah: 124 "Dan (ingatlah), ketika
Ibrahim diuji TUhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakan-
nya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman: Sesungguhnya Aku akan
menjadikan engkau sebagai imam (pemimpin) bagi seluruh manusia.’ Dia
(Ibrahim) berkata: ‘Dan (juga) dari anak cucuku.' Allah berfirman: ‘(Benar,
tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.’"
Imam pada ayat di atas dilekatkan pada kepemimpinan Nabi Ibrahim.
Namun, ada keterkaitan dengan makna imam sebelumnya, yaitu adanya
penyertaan komponen keluarga. Ketika Nabi Ibrahim dijadikan pemim¬
pin (imam) oleh Allah Swt., Nabi Ibrahim tidak lupa menyertakan permo-
honannya agar Allah Swt. menjadikan keluarganya sebagai imam pula.
Dan, Allah Swt. menjawabnya dengan ungkapan "Janji-Ku tidak mengenai
orang yang zalim.”
Makna kalimat ini sangat luas. Bisa bermakna, ketika anak dari pe¬
mimpin adalah zalim maka tidak layak dijadikan pemimpin, atau ber¬
makna pemimpin harus memberikan pendidikan dan tuntunan pada
anak-anaknya agar nanti dapat menjadi pemimpin pula. Ini merupakan
ajaran pentingnya tanggung jawab memberikan pendidikan yang layak
bagi anak. Karakteristik pemimpin ideal menurut tafsiran ayat di atas
adalah yang mampu menjadikan anak-anaknya sebagai anak yang baik
pula. Senada dengan tafsir imam pada ayat sebelumnya.
Pada Surah Hud: 17, makna imam dikaitkan bukan pada sosok manu¬
sia, melainkan pada kitab yang dibawa oleh nabi, dalam hal ini kitab
yang dibawa oleh Nabi Musa a.s.: "Maka apakah (orang-orang kafir iru
sama dengan) orang-orang yang sudah mempunyai bukti yang nyata (Al
Syarat-Syarat KhalIfah 159

Qur'an) dari TUhannya, dan diikuti pula oleh saksi dari-Nya dan sebdum-
nya sudah ada Kitab Musa yang menjadi imam (pedoman) dan rahmat?"
Ayat di atas sama dengan bunyi ayat dalam Surah Al-Afaq&f: 12, yang
menyebut Kitab Musa dengan sebutan imam dan rahmat Dua ayat ini
unik, imam atau pemimpin dinisbatkan dengan pedoman yang berasal
dari kitab suci, dalam hal ini kitab suci Nabi Musa a.s. bukan pada sosok
Nabi Musa.
Ketiga, menggunakan istilah khalifah. Kata khalifah dalam bentuk
singular tercantum di dua tempat, yaitu dalam Surah Al-Baqarah: 30 dan
Surah Shad: 26.
Sedangkan dalam bentuk plural kata khulafa' terdapat dalam tiga
tempat, yaitu dalam Surah Al -Araf: 69 dan 74, serta Surah Al-Naml: 62.
Adapun dalam bentuk plural khala’ifa terdapat di dalam empat tempat,
yaitu dalam Surah Al-An‘am: 165, Surah Yunus: 14 dan 73, serta Surah
Fathir: 39.
Makna khalifah dalam suatu ayat bermakna pengganti. Misalnya da¬
lam Surah Al-A‘raf: 69 disebutkan: “... Ingatlah ketika Dia menjadikan
kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh."
Dalam ayat di atas, khalifah lebih bermakna suatu kaum sebagai
pengganti kaum Nuh yang dilenyapkan oleh Allah Swt.
Makna khalifah sebagai pemimpin terlihat dalam Surah Al-Baqarah:
30: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepadapara malaikat: Aku
hendak menjadikan khalifah di muka bumi." Mereka berkata: Apakah
Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah
di sana, sedangkan kami bertasbih memuji Mu dan menyucikan nama-
Mu?" Dia berfirman: "Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui."
Ayat di atas, khalifah atau pemimpin dinisbatkan pada kepemimpinan
manusia secara umum, yaitu ketika Allah Swt. mengabarkan kepada para
malaikat mengenai penciptaan manusia yang dijadikan sebagai khalifah
atau pemimpin di muka bumi. Namun. khalifah yang dikaitkan dengan
kepemimpinan manusia secara umum ini dipahami oleh malaikat dengan
kriteria yang jelek. yaitu kepemimpinan yang selalu berbuat kerusakan.
160 KhIlafah

Allah Swt. kemudian menegaskan bahwa Dia lebih mengetahui daripada


yang dipahami oleh para malaikat yang belum mereka ketahui.
Makna khalifah sebagai pemimpin bagi manusia juga dinisbatkan
pada kepemimpinan Nabi Daud, yang disebutkan dalam Surah Shad: 26:
“Wahai Daud, sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah (penguasa) di
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan
engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari Jalan Allah
akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan Hari Perhi-
tungan."
Khalifah pada ayat di atas dinisbatkan pada kepemimpinan Nabi Daud
a.s. Ayat ini lebih terperinci menyebut aktivitas kepemimpinan dengan
kata kerja yang harus diterapkan oleh seorang pemimpin, atau lebih te-
patnya kriteria pemimpin ideal. Allah Swt. memerintahkan pada Nabi
Daud a.s. sebagai pemimpin manusia untuk memberi keputusan (perkara)
dengan adil dan tidak mengikuti hawa nafsu.
Ayat tersebut sangat luar biasa, sudah secara eksplisit meskipun masih
bersifat global, mengisyaratkan mengenai tugas dari seorang pemimpin
ideal adalah yang mampu memberi keputusan atau kebijakan yang adil
bagi rakyatnya. Selain itu, tidak mengikuti hawa nafsu. Ayat ini jika di-
kaitkan dengan zaman sekarang, adalah melarang seorang pemimpin
untuk menyalahgunakan wewenangnya (abuse of power), korupsi, atau
mengeluarkan kebijakan yang didasarkan atas kepentingan pribadi atau
golongan.
Tindakan-tindakan tidak terpuji itu bukan saja akan menyebabkan
masuk penjara (azab di dunia), tetapi akan menyesatkannya dari jalan
Allah. Sanksinya adalah pada kalimat berikutnya, "Sungguh, orang-orang
yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka
melupakan Hari Perhitungan.
Dengan demikian, meskipun tidak ada konsep dan istilah tunggal
dalam Al-Qur’an mengenai kepemimpinan atau corak politik tertentu,
apalagi yang mengatur mengenai konsep khilafah dalam arti negara, nilai
universalnya sudah diatur. Nilai universal adalah ciri utama dari agama.
Syarat-Syarat KhalIfah 161

Setiap nilai universal akan berlaku di mana pun, kepada siapa pun, dan
dalam keadaan apa pun.
Keadilan yang disyaratkan dalam ayat Ai-Qur’an adalah nilai universal
yang diajarkan oleh Islam untuk para pemimpin. Nilai universal ini akan
sama dengan nilai universal pada agama apa pun, dan semua orang pasti
setuju pada nilai universal ini. Siapa yang menolak nilai universal ke¬
adilan? Tidak ada. Bahkan nilai dari demokrasi sekalipun yang diterap-
kan di semua negara, menempatkan asas keadilan sebagai salah satu asas
utama dalam sistem demokrasi. Bahkan Revolusi Prancis sebagai salah
satu tonggak kebangkitan sistem demokrasi mencantumkan slogan ke¬
adilan sebagai salah satu unsur utama negara demokrasi: keadilan/ per-
samaan, kebebasan, dan persaudaraan (ega/ite, liberte. fratemite).
Wujud dan teknis dari keadilan memang beragam dan disesuaikan
dengan budaya, geografis, waktu, dan faktor-faktor lain yang dapat ber-
ubah-ubah sesuai dengan konteksnya. Namun, keadilan akan tetap men-
jadi nilai dasar yang layak diperjuangkan dan hams menjadi pedoman
utama kepemimpinan. Keadilan adalah frasa utama dari perjuangan
manusia menuju kesempumaannya. Tanpa adanya keadilan, maka suatu
bangsa atau masyarakat akan musnah. Itu adalah hukum alam dan sun-
natullah yang berlaku sejak zaman dahulu hingga kapan pun.[)
11
GERAKAN KHILAFAH
DI INDONESIA

I
ndonesiadengan penduduk mayontas Muslim terbesar di dunia dan
memiliki cakupan wilayah yang sangat luas merupakan lahan subur
untuk tumbuhnya berbagai macam pemikiran dan gerakan. termasuk
pemikiran Islam yang cenderung mengarah pada jenis ekstremisme dan
gerakan untuk mendirikan negara Islam (al-khildfah al IslamiYyah). Hal
ini, selain karena faktor geografis dan demografis. ditopang pula oleh
sistem negara yang dianut, yaicu sistem demokrasi. yang di dalamnya
demokrasi memberikan ruang yang sangat luas untuk berkembangnya
berbagai macam pemikiran. Kebebasan berpikir. berserikat. dan menge
mukakan gagasan dijamin oleh konstitusi. Meskipun, dalam kondisi ter-
tentu, negara berhak untuk membatasi kebebasan tersebut yang dmilai
dapat mengancam kebebasan orang lain atau karena faktor keamanan
Khilafah sebagai sebuah gerakan, telah lama muncui di Indonesia
sejak negara mi merdeka. Gerakan pemberontakan yang dtpimptn oleh
Kartosoewirjo dengan konsep Danil Islam (Dl/Tll) merupakan salah satu
contoh nyata. Jauh sebeium gerakan mi muncui, ide pembentukan ne
gara Islam, atau sedikitnya menyelipkan napas khilafah, telah lama ber
gema mewarnai gejolak pemikiran dalam perumusan dasai negara. da
lam hal ini Pancasila.
Sila pertama Pancasila sebeium disepakati seperti vang beriaku se
kaiang, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, merupakan konsensus yang

163
164 KhIlafah

ditempuh dengan diwamai pergulatan pemikiran yang alot di antara


para pendiri bangsa. Sila ini sebelumnya mengakomodasi corak pemi¬
kiran khilafah dengan memasukkan terminologi syariat Islam yang ber-
bunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluknya", yang kemudian disebut dengan Piagam Jakarta.
Namun, atas dasar kesepakatan para pendiri bangsa dengan para tokoh
nasional dari berbagai kalangan dalam sidang BPUPK1 (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia diktum “... kewajiban men¬
jalankan syariat Islam bagi pemeluknya" kemudian dihapus.
Alasan dihapuskannya diktum syariat Islam adalah karena negara ini
diperjuangkan bukan hanya oleh masyarakat Muslim, ditambah lagi
adanya kenyataan bahwa Indonesia merupakan sebuah negara dengan
gugusan kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke de¬
ngan agama yang dianut bukan hanya Islam meskipun secara mayoritas
beragama Islam. Hal ini kemudian yang menyebabkan muncul usulan
agar dasar negara tidak berdasarkan agama tenentu.
Oleh karena iru, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indone¬
sia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada
sila pertama dalam Piagam Jakarta.
Hijuh kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi peme¬
luknya” dipandang membawa konsekuensi pemahaman yang tidak sesuai
dengan kondisi objektif bangsa Indonesia. Tlijuh kata ini akan memberi-
kan pemahaman bahwa negara seolah hanya mengakomodasi penduduk
yang beragama Islam jika diktum “syariat Islam” dicantumkan. Menurut
pandangan Mohammad Hatta, pemimpin-pemimpin dari agama lain
merasa keberatan jika tujuh kata itu dibiarkan, sebab tertulis dalam po-
kok dasar negara, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kesan
seolah-olah warga agama lain dibedakan dengan warga negara yang
beragama Islam.413
Keputusan menghapus kata “syariat Islam" belum memuaskan seba
gian umat Islam. Sebagian kelompok masih berjuang untuk mengembali-

433 Hatnka Haq. Pancasila 1 Juni & Syariat Islam, Jakarta: RM Books, 2011.
KhIlafah dI Indonesia 165

kan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu. Terdapat keiompok yang kemu-
dian mengekspresikannya dengan bentuk pemberontakan bersenjata.
Misalnya, pemberontakan yang dilakukan keiompok Dl/TII/NII. Selain
itu, upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga
diperjuangkan melalui jalur politik. Dalam sidang-sidang Konstituante
di Bandung pada periode 1956-1959, misalnya, sejumlah partai yang
berasaskan Islam berupaya memperjuangkan berlakunya syanat Islam
sebagai dasar negara Republik Indonesia.434
Gerakan maupun pemikiran mengenai khilafah Islamiyyah masih te-
rus ada di masyarakat sejak itu. Meskipun sempat berjalan stagnan pada
era Presiden Soeharto yang dalam pemerintahannya menerapkan pende-
katan represif bagi siapa saja yang diduga akan melakukan makar, perm
kiran mengenai hal itu tidak padam sama sekali. Menguat kembali pada
1970 dan 1980-an seiring dengan makin derasnya arus pemikiran Islam
global atau pemikiran Islam transnasional yang berasal dari Timur
Tengah.
Gerakan Islam transnasional merupakan gerakan yang bukan berasal
dari masyarakat lokal Indonesia, tetapi diimpor dari luar Indonesia dan
kemudian berkembang hingga kini. Dari istilah gerakan Islam transna¬
sional tersirat bahwa cakupan gerakan ini tidak hanya terbatas pada
wilayah nasional atau lokal seperti halnya organisasi Islam arus utama
seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, namun bentuk utama or¬
ganisasi dan aktivitasnya melampaui sekat-sekat tentorial negara-bangsa
(nation -state).4" Gerakan ini antara lain meliputi: Hizbut Tahnr (berasal
dari negeri Yordania), Ikhwanul Muslimin (Mesir), Salafi (Arab Saudi),
dan Jamaah Tabligh (India). Meskipun gerakan-gerakan ini dirangkum
dalam satu rumpun gerakan Islam transnasional, masing-masing memiliki
orientasi dan agenda perjuangan yang beragam, dari yang fokus pada
aktivitas dakwah sampai dengan yang fokus dengan perjuangan polirik.

434 Hamka Haq, Amt-usda 1 Juni a Svanat Islam, h. 19.


435 Peter Mandaville, Global Political Islam. London dan New York. 2007. h 279. lahat
juga buku dan Kementenan Agama RI. Arkembangan Miam Keagamaan Thmsnasio-
nal di Indontsia, Jakana: Kementenan Agama. 2016, h. 4.
166 KhIlafah

HTI dan Daulah Khilafah


Di antara kelompok gerakan Islam transnasional yang paling dapat di-
identifikasi memiliki agenda politik dengan mengusung konsep khilafah
adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), merupakan gerakan Islam yang
terinspirasi corak gerakan dan namanya dari jaringan internasional
Hizbut Tahrir yang pertama kali didirikan oleh Taqiyuddin An-Nabhani,
seorang pakar hukum Islam di Universitas Al-Azhar Kairo, di Palestina
pada 1953. Jika dilihat secara historis, Hizbut Tahrir terinspirasi oleh
gerakan Islam Ikhwanul Muslimin di Mesir. Pendiri HT adalah simpatisan,
jika bukan anggota, dari Ikhwanul Muslimin, ketika ia mengenyam pen-
didikan di Kairo.
HTI adalah gerakan Islam radikal berbasis transnasional dengan
orientasi politik yang unik. Berbeda dengan kelompok Islam lainnya, HT
mengumumkan dirinya sebagai kelompok politik, bukan kelompok sosial,
intelektual, maupun spiritual.436 Namun demikian, kelompok ini tidak
terlibat dalam pemilihan umum, sebab ia secara eksplisit menolak demo-
krasi.
Hal ini terlihat jelas dalam buku resmi HT, yaitu Ajhizah Daulah al-
Khilafah. di mana di dalamnya menyebut secara eksplisit bahwa sistem
Pemerintahan Islam (khilafah) berbeda dengan seluruh bentuk pemerin-
tahan yang dikenal di seluruh dunia; baik dari segi asas yang mendasari-
nya; dari segi pemikiran, pemahaman, standar, dan hukum; dari segi
konstitusi dan undang-undangnya yang dilegislasi untuk diimplementa-
sikan dan diterapkan; ataupun dari segi bentuknya yang mencerminkan
Daulah Islam sekaligus yang membedakannya dari semua bentuk peme¬
rintahan yang ada di dunia ini. Sistem khilafah menurut HT bukan sistem
kerajaan, bukan imperium, bukan federasi, bukan republik, dan bukan
pula sistem demokrasi.437

436 Hizbut Tahrir, Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam /deolo^is, Jakarta: Pustaka
Thanqul Izzah, 2000, h. 1 .
437 Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah, Darul Uminah. 2005, h. 20.
erakan KhIlafah dI Indonesia 167

HT melihat demokrasi sebagai sistem kufur, yang benentangan secara


diametris dengan Islam. Bukan karena demokrasi berbicara tentang
pemiiihan penguasa, sehingga hal itu bukan masalah yang mendasar.
Tetapi perkara yang mendasar dalam demokrasi adalah menjadikan
kewenangan membuat hukum berada di tangan manusia, bukan pada
Allah, Tuhan alam semesta.43* Bagi HT, Islam hanya mengenal TUhan
sebagai pembuat hukum, bukan manusia yang memiliki keterbatasan.
Karena itu, HT menganggap haram bagi umat Islam unnik mengadopsi
demokrasi dan menyebarkannya. Sembari melawan ide pemisahan aga-
ma dan negara, HT memaknai politik sebagai segala upaya untuk peduli
dan menjaga urusan masyarakat agar sesuai dengan hukum dan solusi
Islam.438439
Hal ini sejalan dengan tujuan didirikannya HT, yaitu melangsungkan
kehidupan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru
dunia. Bagi HT, tujuan ini berarti mengajak kaum Muslim kembali hidup
secara Islami di Darul Islam serta di dalam masyarakat Islam yang di
dalamnya semua aktivitas kehidupan diatur sesuai dengan hukum-
hukum syara', pandangan hidup yang akan menjadi pusat perhatian
adalah halal dan haram, di bawah naungan Daulah Islamiyyah, yaitu
Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang khalifah.** Dengan demi-
kian, restorasi khilafah menurut HT adalah suatu keharusan untuk me-
raih kembali kejayaan Islam.
Dalil dari gerakan khilafah HT di antaranya adalah Surah Al-MSidah:
49:
“Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menu
rut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti ke
inginan mereka. jangan sampai mereka memperdayakan engkau terha-
dap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.*

438 Hizbut lahnr. Athoah Daulah al- Khilafah, h. 28.


4 W Kementenan Agama RI. ^mkembangan faham Keugamaan IVarunastonal Ji Indonesia,
Jakarta: Kementenan Agama. 2016. h. 10.
440 Kementenan Agama RI, l+rktmbangan Puham Keagamaan Tkansnasional di Indonesia
h. 12.
168 Khilafah

Ayat tersebut dihayati sebagai salah satu ayat yang menjadi dasar
mengenai wajibnya mendirikan suatu negara Islam. Menurut HT, seruan
Allah Swt. kepada Rasul Saw. untuk memutuskan perkara di tengah-
tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan meru-
pakan seruan bagi umatnya juga. Mafhum-nya adalah hendaknya kaum
Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah Saw.
untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan
wahyu yang telah Allah turunkan. Perintah dalam seruan ini bersifat
tegas karena yang menjadi objek seruan adalah wajib.
Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang
menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan
perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah Saw.
adalah khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem khi-
lafah. Apalagi penegakan hukum-hukum hudud dan seluruh ketentuan
hukum syariah adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa
adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna
kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya
menjadi wajib. Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah
hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah
khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.441
Sistem khilafah HT merupakan sistem pemerintahan global dan tidak
boleh ada dua sistem khilafah di dunia ini. Kaum Muslim di seluruh dunia
wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu khalifah
bagi mereka. Secara syari, kaum Muslim di seluruh dunia haram memiliki
lebih dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah. Begitu pula wajib
hukumnya menjadikan sistem pemerintahan di negara khilafah sebagai
sistem kesatuan dan haram menjadikannya sebagai sistem federasi.44-
Imam Muslim telah menuturkan riwayat dari Abdullah bin Amru bin
al-'Ash yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: “Siapa
sajayang telah membaiat seorang imam/khalifah, lalu ia telah membennya

441 Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah, h. 15.


442 Hizbut Tahrir, A/hizah Daulah al-Khilafah, h. 60.
KhIlafah dI Indonesia 169

genggaman tangannya dan buah harinya, hendaklah ia menaatinya sesuai


dengan kemampuannya. Kemudian jika datang orang lain yang hendak
merebut kekuasaannya, maka penggallah orang itu.” (HR Muslim)
Pembentukan khilafah yang sifatnya global ini merupakan penekanan
utama dalam perjuangan Hizbut Tahrir. Karena itu, tidaklah heran jika
peneliti Barat, Peter Mandaville, mengidentifikasi HT sebagai gerakan
khilafist.443
Dalam pandangan HT, kekhalifahan Ottoman yang dihapus tahun
1924 merupakan bentuk autentik pemerintahan Islam yang memiliki
basis historis dan basis doktrinal. Jika daulah Islamiyyah didirikan di
bawah kepemimpinan seorang khalifah, maka akan memungkinkan un-
tuk menyebarkan ide dan ajaran Islam ke seluruh dunia. HTI juga me-
nentang gerakan perjuangan pemerintahan Islam yang bersifat gradual
(tadarruj) atau secara bertahap misalnya dengan mendirikan partai,
seperti yang dipraktikkan oleh PKS. HTI lebih bersifat radikal dengan
melakukan perubahan total atas ideologi negara.444 Penerapan khilafah
Islamiyyah, dalam pandangan HTI, harus kaffah. menyeluruh, sehingga
mengharuskan adanya pemerintahan Islam dalam artian sebenamya.
Perlu disampaikan di sini bahwa terdapat paradoks dalam pemikiran
HTI mengenai khilafah di atas. Disebutkan bahwa dan aspek historis, HT
mengatakan bentuk pemerintahan seperti yang dipraktikkan oleh ke¬
khalifahan Hirki Utsmani sebagai bentuk pemerintahan Islam yang dapat
dicontoh, namun lupa bahwa kekhalifahan TUrki Utsmani pada era tanzi-
mat dan pasca-tanzimat kedudukan khalifah tidak lagi memegang kekua-
saan penuh atas dunia dan urusan agama. Gelar khalifah pada Dinasti
TUrki Utsmani pada masa tanzimat hanya memiliki kekuasaan di bidang
spiritual dan tidak memiliki kekuasaan duniawi. Hal tersebut terlihat,
misalnya, pada gelar khalifah terakhir Dinasti Hirki Utsmani, yaitu
Khalifah Abdul Madjid II, yang hanya bergelar khalifah bukan sultan

443 Peter Mandaville. Global Mitical Islam. London dan New York, 2007, h. 20.
444 Kementerian Agama RI, Ardembangan Paham Keagamaan Thmsnasional di Indonesia.
Jakarta, h. 15.
170 KhIlafah

Berbeda dengan era sebelum tanzimat, ketika Sultan memiliki otoritas


ganda, di bidang kekuasaan duniawi dan juga pemimpin spiritual.
Selain itu, jika dilihat dari konsep masa jabatan kekhalifahan ala HTI,
seperti pada Rancangan Undang-Undang Daulah Khilafah yang disusun
HTI, khalifah masa jabatannya seumur hidup, sepanjang khalifah terse-
but masih hidup dan dinilai masih layak.
Pasal 39 RUU Daulah Khilafah versi HTI menyebutkan, “Tidak ada
batas waktu bagi jabatan Khalifah. Selama mampu mempertahankan dan
melaksanakan hukum syara’, serta mampu menjalankan tugas-tugas
negara, ia tetap menjabat sebagai khalifah, kecuali terdapat perubahan
keadaan yang menyebabkannya tidak layak lagi menjabat sebagai kha¬
lifah sehingga wajib segera diberhentikan."
Lalu, pada Pasal 40 disebutkan mengenai keadaan khalifah wajib
diberhentikan, “Hal-hal yang mengubah keadaan khalifah sehingga
mengeluarkannya dari jabatan khalifah ada tiga perkara:
a. Jika melanggar salah satu syarat dari syara t-syarat in’iqad khilafah,
yang menjadi syarat keberlangsungan jabatan khalifah, misalnya mur¬
tad, fasik secara terang-terangan, gila, dan lain-lain.
b. Tidak mampu memikul tugas-tugas khilafah oleh karena suatu sebab
tertentu.
c. Adanya tekanan yang menyebabkannya tidak mampu lagi menjalan¬
kan urusan kaum Muslim menurut pendapatnya sesuai dengan keten-
tuan hukum syara’. Apabila terdapat tekanan dari pihak tertentu se¬
hingga khalifah tidak mampu memelihara urusan rakyat menurut
pendapatnya sendiri sesuai dengan hukum syara’, maka secara hukum
ia tidak mampu menjalankan tugas-tugas negara, sehingga tidak
layak lagi menjabat sebagai khalifah. Hal ini berlaku dalam dua
keadaan:
Pertama: Apabila salah seorang atau beberapa orang dari para pen-
dampingnya menguasai khalifah sehingga mereka men-
dominasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Apabila
masih ada harapan dapat terbebas dari kekuasaan mereka,
maka ditegur dan diberi waktu untuk membebaskan diri.
GERAKAN KHILAFAH Di INDONESIA 171

Jika ternyata tidak mampu mengatasi dominasi mereka,


maka ia diberhentikan. Apabila tidak ada harapan iagi,
maka khalifah segera diberhentikan.
Kedua: Apabila khalifah menjadi tawanan musuh, baik ditawan
atau ditekan musuh. Pada situasi seperti ini perlu dipertim-
bangkan. Jika masih ada harapan untuk dibebaskan, maka
pemberhentiannya ditangguhkan sampai batas tidak ada
harapan lagi untuk membebaskannya, dan jika ternyata
demikian, barulah dia diberhentikan. Jika tidak ada harap¬
an sama sekali untuk membebaskannya, maka segera
diganti.”445

Hal tersebut senada dengan doktrin yang tertuang dalam kitab Ajhizah
Daulah al-Khilafah (fi al-Hukm wa al-ldarah), bahwa kepemimpinan
(jabatan) khalifah tidak dibatasi dengan patokan waktu tertentu. Selama
khalifah masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya,
serta mampu melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab
kekhilafahan, maka ia tetap sah menjadi khalifah. Sebab, semua teks
baiat yang terdapat di dalam hadis bersifat mutlak dan tidak terikat oleh
jangka waktu tertentu.44*
Disebutkan pula pada Pasal 41 RUU Daulah Khilafah HTI bahwa lem-
baga Mahkamah Madzalim adalah satu-satunya lembaga yang menen-
tukan ada dan tidaknya perubahan keadaan pada diri khalifah yang
menjadikannya tidak layak menjabat sebagai khalifah. Mahkamah ini
merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang memberhen-
tikan atau menegur khalifah.
Dari sistem Daulah Khilafah versi HTI tersebut, sistem kekuasaan
khalifah adalah monarki mengikuti corak kekuasaan dari para pemimpin
Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Corak kekuasaan seperti ini, lebih tepat
disebut sistem kerajaan. Akan berbahaya jika kemudian raja yang me-

445 Pasal 40 RUU Daulah Khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia.


446 Hizbut Thhrir, Ajhisah Daulah al-Khdqfah. h. 83.
172 KhIlafah

miliki kekuasaan absolut dan tanpa batas waktu tersebut memiliki ke-
kuasaan ganda, yaitu berkuasa atas urusan duniawi dan juga bidang
keagamaan. Sangat besar potensi abuse of power.
Di satu sisi, terdapat kontrol dari lembaga Mahkamah Madzalim yang
dapat menegur dan memberhentikan khalifah, sistem kontrol semacam
ini rupanya mengadopsi sistem kontrol dari lembaga yudikatif seperti
Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki wewenang hampir sama, yaitu
memutuskan presiden melanggar atau tidak melanggar terhadap undang-
undang. Namun, di sisi lain, mekanisme kontrolnya yang semi demokratis
masih menyisakan kekacauan dalam ketatanegaraan, kekuasaan khali-
fahnya absolut tetapi masih ada kontrol dari lembaga yudikatif. Satu
konsep khilafah yang sangat abu-abu, tidak sesuai dengan sistem khilafah
mana pun yang pemah diterapkan pada masa Khulafa ar-Rasyidin mau-
pun pada masa khilafah-khilafah setelahnya. Konsep khilafah semi-
demokratis yang sangat bertentangan dengan prinsip mereka sendiri.
Sistem demokrasi dikatakan kufur tetapi dipakai juga dalam rancangan
undang-undangnya.
Jika merunut lebih jauh, HT1 muncul di Indonesia melalui sejarah
panjang dan tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial-politik yang muncul
di Indonesia. Jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998 membuka jalan bagi
iklim politik dan demokrasi yang lebih terbuka di Indonesia. Sebuah
wilayah publik yang baru menyediakan kesempatan bagi Islam politik
untuk berekspresi. Hal ini ditunjukkan dengan menjamumya partai Islam
serta munculnya gerakan Islam radikal.
Menurut Bahtiar Effendy, kemunculan gerakan-gerakan Islam bukan-
lah respons langsung terhadap demokrasi yang baru di Indonesia, melain-
kan sebagai reaksi terhadap situasi sosial-religius dan politik pada masa
transisi, yang bagi gerakan-gerakan ini tidak mencerminkan aspirasi
Muslim.44 Ini mencakup kelemahan negara dalam menyelesaikan konflik
'

447 Bahtiar Effendy, Islam and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), hh. 217-
218 Lihai juga Kementcrian Agama RI, ftrkembangan Paham Keagamaan TYansnasto
nal di Indonesia. Jakarta, h. 21.
GERAKAN KhILAFAN Di INDONESIA 173

sosial-religius, penegakan hukum terhadap perjudian, prostitusi, dan


pengaturan minuman beralkohol. Banyak kelompok gerakan Islam, ter-
masuk salah satunya HTI, tampak menyampaikan aspirasi bagi penerap-
an syariat Islam sebagai altematif.
Ketika banyak gerakan Islam muncul di publik pada 1998, HTI baru
muncul pada Mei 2000, ketika menyelenggarakan konferensi inter-
nasional tentang khilafah di lapangan tenis indoor, Senayan Jakarta. Ini
adalah aktivitas publik pertama HTI yang diadakan dengan memakai
nama Hizbut Tahrir, yang dengan terbuka memperkenalkan ide-ide,
program, dan pimpinan HTI.*”* Setelah deklarasi pertama tersebut, HTI
mengambil peran pada bidang religius-politis secara terang-terangan
menawarkan konsep khilafah dalam arti negara Islam melalui berbagai
kegiatan.
Eksistensi HTI yang paling menonjol di publik adalah gerakan protes-
nya di jalanan, dalam bentuk pawai dan demonstrasi. Sejak awal 2000,
HTI bisa dikatakan sebagai gerakan Islam yang paling rajin menyuarakan
aspirasi dan tuntutannya di jalanan. Dalam banyak kasus, aksi jalanan
HTI diatur secara sistematis dan terorganisasi baik pada level nasional
maupun provinsi dalam merespons isu-isu nasional dan intemasional.
Pada 2002, misalnya, HTI memobilisasi sekitar 12.000 orang me-
lakukan long march dari Monas menuju Stadion Senayan untuk menun-
tut penerapan syariat Islam melalui pengembalian Piagam Jakarta ke
dalam konstitusi **” Ini merupakan respons domestik terhadap sesi tahun
an MPR ketika mengangkat isu amandemen terhadap Undang-Undang
Dasar 1945. Selain isu lokal, HTI aktif merespons isu-isu global yang
terkait dengan kebijakan Amerika terhadap negara-negara Muslim, dan
isu ini tampaknya lebih dominan, misalnya pada 4 Januan 2009, HTI
mengadakan demonstrasi secara serentak di berbagai kora besar di Indo¬
nesia untuk mengutuk agresi militer Israel di Gaza. Dalam kebanyakan

448 Kementenan Agama RI, ftrkerribangan Puham Keagamaan Thinsnasional th Indonesia.


Jakarta, h. 21.
449 Hizbut Tahru Indonesia. Mengenal Hisbut TUhrir Indonesia- Airtai Mink Mam Ideo
logLs. (Jakarta: Hizbut Mint Indonesia. 2004). h. iv
174 KhIlafah

aksinya, HT1 selalu memasukkan pesan untuk melawan sistem kapitalis


dan ide-ide Barat yang diklaim sebagai sumber permasalahan dunia, dan
mengajak umat Islam untuk bersatu dan membangun kembali sistem
pemerintahan khilafah sebagai solusi alternatif?so
Seiring dengan beijalannya waktu dan perkembangan politik di tanah
air, pada 2017, ormas HTI dibubarkan oleh pemerintah Indonesia melalui
instrumen hukum, dikeluarkannya Perppu mengenai Ormas oleh Presiden
RI. Hal ini sebagai upaya pemerintah untuk mengantisipasi meluasnya
paham HTI yang dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut
oleh bangsa pada dasar negara dan mengancam kehidupan bermasyara-
kat. HTI bukan hanya menganggap sistem demokrasi sebagai sistem
kufur, tetapi juga tidak mengakui Pancasila sebagai nilai yang harus
dipatuhi bersama. HTI hanya tunduk (dalam arti formal) terhadap syariat
Islam, meskipun banyak kalangan menilai bahwa Pancasila tidak ber¬
tentangan dengan nilai Islam bahkan sesuai dan sejalan dengan nilai-
nilai Islam.
Perjuangan HTI untuk mendirikan pemerintahan yang berasaskan
syariat Islam muncul bukan saja dari aspek sosioiogis dan politis, tetapi
juga dapat ditelusuri dari aspek religius-ideologis, yang memiliki corak
pemahaman dalam menafsirkan ajaran Islam, khususnya pada aspek
kepemimpinan. HTI memiliki corak pemahaman tekstual dalam menaf¬
sirkan ayat maupun hadis mengenai khilafah, sehingga corak gerakannya
lebih kaku karena memahami teks secara literal. Padahal, teks ajaran
Islam bersifat dinamis, luwes, dan penerapannya dipengaruhi oleh ba¬
nyak faktor. Hal tersebut dapat dibuktikan, misalnya, ketika zaman Nabi
Saw. tidak pernah ada keterangan bahwa Nabi Saw. menyebut atau me-
namakan konsep kepemimpinannya dengan sebutan Daulah Islamiyyah.
Nabi Saw. memusatkan pemerintahan di Madinah, lalu melakukan pe-
naklukkan Makkah, dengan sistem pemimpin yang berpusat pada Nabi
Saw. Belum pernah Nabi Saw. menyebutnya secara eksplisit bahwa

450 Kementerian Agama RI. Perkembangan Paham Keagamuan Transnational di Indonesia.


Jakarta, h. 28.
Gerakan KhIlafah oi Indonesia 175

periode di masa Nabi dengan sebutan ‘Negara Islam" atau “Khilafah


Islam”.
Istilah khilafah muncul setelah Rasulullah Saw. meninggal, di mana
terjadi suksesi kepemimpinan bahkan sebelum jasad Nabi Saw. dikubur-
kan, dengan adanya “pertemuan terbatas" antara kaum Muhajirin dan
Anshar di rumah Saqifah Bani Sa‘idah, yang kemudian menyepakari
kepemimpinan setelah Nabi Saw. diteruskan oleh Abu Bakar Shiddiq.
Teks-teks hadis pun menunjukkan hal yang sama, ketika membahas khila¬
fah. umumnya merujuk pada konsep kepemimpinan setelah Nabi Saw.,
dan bukan pada kepemimpinan Nabi Saw. Padahal, konsep kepemimpin¬
an Nabi Saw. ini menjadi kunci utama dalam memetakan konsep khilafah
setelahnya.
HTI lebih mengedepankan argumentasi ideologisnya pada ayat-ayat
muhkamat dan hadis mengenai penerapan syariat Islam tanpa melihat
maqashid syariah dari teks-teks yang ada yang sangat dipengaruhi oleh
banyak hal. Aspek tempat dan waktu untuk penerapan ajaran Islam
sangat memengaruhi dan menjadi variabel penring dalam merumuskan
implementasi mengenai suatu ajaran Islam. Konsep yang sama, namun
tempatnya berbeda akan berbeda juga penerapannya. Mencuri air di
padang pasir dibandingkan dengan mencuri air di tempat yang banyak
air akan berbeda nilai kejahatannya. Begitu juga, dari aspek waktu, men¬
curi air di musim kemarau dan mencuri air di waktu hujan akan berbeda
derajat kejahatannya, meskipun kedua-duanya tetap dikatakan sebagai
kejahatan. Begitu pun halnya dengan konsep khilafah. berbagai negara
yang merepresentasikan sebagai negara Islam, selalu berbeda dalam
menerapkan konsep kepemimpinan: ada yang menerapkannya dengan
sistem kerajaan, sistem demokrasi, dan ada juga yang menggabungkan
keduanya.
Alasan tempat dan waktu dalam penerapan syariat Islam adalah fak
tor yang penting. Variabel ini dapat diterapkan dalam memahami pene¬
rapan ajaran Islam oleh para penyebar Islam penama di Indonesia. Para
Wali Songo, atau ulama-ulama sebelumnya, berbeda dalam mengajarkan
ajaran Islam. Mereka lebih condong pada dakwah kultural ketimbang
176 KhIlafah

membangun instrumen negara Islam yang belum tenru dapat diterima


secara mudah. Namun melalui akulturasi dengan budaya lokal, ajaran
Islam dapat dengan mudah diterima. Jika demikian adanya, para penye-
bar Islam pertama ke Indonesia, apakah dapat dikatakan para ulama
yang tidak menguasai konsep khilafah? Tidak, mereka para ulama besar,
yang tentu saja menguasai ilmu-ilmu agama, namun lebih memilih me-
nyebarkan ajaran Islam dengan cara berbeda. Karena, sekali lagi, faktor
tempat dan waktu sangat menentukan dalam membumikan ajaran Islam
yang bersifat universal.

Islam Indonesia: Islam Yes, Khilafah No1.


Dalil syafi yang menjadi rujukan utama Hizbut Tahrir dalam memper-
juangkan khilafah adalah hadis berikut:

r jcB ji UJ' $.13 a-Lp aBi

'* •« jfl * A X
Gerakan Khilafah dI Indonesia 177

tlX 61 j' ill' U JvX--

“Periode kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa


lahun, kemudian Allah mengangkatnya. Setclah itu datang periode
khilafah *ala minhaj nubuwwah (kekhilafahan sesuai manhaj kena¬
bian), selama beberapa masa hingga Allah Ta'ala mengangkatnya. Ke¬
mudian datang periode mulkan adhdhan (penguasa-penguasa yang
menggigit) selama beberapa masa. Selanjutnya datang periode mulkan
jabbriyyah (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam
beberapa masa hingga waktuyang ditentukan Allah Ta'ala. Setelah itu
akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemu¬
dian Nabi Muhammad Saw. diam.” (HR Ahmad)

Hadis di atas selalu dikutip di berbagai buku utama Hizbut Tahrir.


Dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah, Hizbut Tahrir setelah mengutip
hadis di atas, mengatakan bahwa:
“Sesungguhnya kami, di Hizbut Tahrir, senantiasa mengimani janji
Allah Swt. dan membenarkan kabar gembira yang disampaikan oleh
Rasulullah Saw. di atas. Kami selalu berjuang bersama-sama umat
Islam untuk wujudkan janji Allah dan kabar gembira dari Rasulullah
Saw. ini, yakni mewujudkan kembali khilafah dalam wujud yang
baru.‘MM

Mengenai hadis di atas, terdapat sejumlah kritik, terutama dari aspek


sanad, yaitu mengenai kredibilitas Habib bin Salim. Habib bin Salim
dipandang oleh Imam Bukhari memiliki kelemahan, atau disebut olehnya
fihi nadhar (dia perlu dipertimbangkan). Bukhari menceritakan biografi
Habib bin Salim dengan mengatakan bahwa. “Habib bin Salim adalah

451 Hizbut Dihnr. Ajhiwh Daulah al-Khilafah, h l 1 .


178 KhIlafah

maula (bekas budak) dari Nu‘man bin Basyir Al-Anshari, meriwayatkan


hadis dari Nu‘man, dan meriwayatkan hadis darinya Abu Basyir, Basyir
bin Tsabit, Muhammad bin Al-Muntasyir, Khalid bin Arfathah, dan
Ibrahim bin Muhajir, serta dia (Habib bin Salim) adalah penulis/sekreta-
ris Nu'man. Dia perlu dipertimbangkan (fihi nadhar) ."*32
Secara umum, ungkapan Bukhari tersebut bermakna jarh (penilaian
tidak kredibel) kepada Habib bin Salim, sehingga akibatnya dapat me-
lemahkan hadis yang diriwayatkan olehnya. Maka, atas dasar pertim-
bangan ini, hadis tentang khilafah ‘ala minhaj nubuwwah tidak bisa di¬
re ri ma.
Selain dari aspek sanad, hadis di atas memiliki kejanggalan dari aspek
matan. Jika berpegang pada hadis tersebut, yang di dalamnya terdapat
kalimat yang diulang-ulang, yaitu kalimat ma sya Allah ‘an takuna, hal
ini membawa kita pada pemahaman bahwa semua perjalanan sejarah
kekhalifahan Islam merupakan kehendak Allah total tanpa adanya ikhtiar
dari manusia. Lebih condong pada konsep akidah jabbariyyah. Berdiri
dan runtuhnya suatu khilafah merupakan kehendak Allah semata, se¬
hingga tidak perlu lagi upaya untuk memperjuangkan sistem khilafah.
Hal tersebut didukung oleh bukti di dalam hadis tersebut pun tidak ada
perintah untuk memperjuangkan khilafah.
Hadis tersebut juga tidak membedakan antara pemimpin adil dan
pemimpin zalim, karena disebutkan semuanya sesuai dengan kehendak
Allah. Dengan demikian, pemimpin yang adil menjadi tidak berarti sama
sekali dibandingkan pemimpin zalim. Dengan demikian. pemahamannya
menjadi sangat rancu.
Konsep khilafah yang dianut HTI adalah konsep yang secara filosofis
tidak memiliki pijakan kuat. Al-Qur’an tidak pernah menyebut konsep
rakyat sebagai salah satu elemen dasar dari suatu negara. Al-Qur’an
menyebutnya dengan istilah umat, yang sangat berbeda dengan konsep
rakyat. Terminologi umat merupakan terminologi unik, sebuah konsep

452 Imam Bukhari, AtTarikh Al-Kabir, Juz 2, h. 318. Bukhari mengatakan:


J JLuG Jc. jl—•iSf* JLmJI JU- ^xx
jiai .-xAS J* f 4 Jt-
Gerakan KhIlafah dI Indonesia 179

masyarakat dan konsep peradaban yang langsung disebut dalam Al-


Qur’an. Kata "umat" dalam bahasa Indonesia diserap dari kata ummat
dalam konsep Islam.
Terminologi umat berbeda ruang lingkupnya dengan terminologi
“rakyat”. Umumnya, “rakyat” merupakan konsep politik. Secara seder-
hana dapat diartikan dengan orang banyak, kepentingan rakyat adalah
kepentingan orang banyak namun bukan dalam arti statistik atau keru-
munan, meskipun yang berkerumun itu bagian dari rakyat.
Kata “rakyat”, seperti diungkapkan budayawan Goenawan Mohamad,
adalah semacam mantra. Ampuh dan terasa sangat sakti ketika orang
melafalkan kata “rakyat”. Namun, ia akan kehilangan esensi kesaktiannya
ketika dibedah dalam analisis bahasa.*53
Terminologi “rakyat” dalam konsep demokrasi lebih bermakna pada
aspek kuantitatif. Penenruan pemenang dari kontestasi politik diukur
melalui suara rakyat. Semakin banyak rakyat teriibat, atau semakin ba
nyak suara rakyat bisa didapat, maka ia menjadi pemenang. Sedangkan
dari aspek kualitas, rakyat yang kaya dengan rakyat yang miskin tetap
disebut rakyat, hanya berbeda kata sifatnya.
Konsep “rakyat" persis dengan konsep “sinar matahari”: ia mudah
dirasakan kehadirannya karena setiap hari kita merasakan panasnya
sinar matahari. Kita setiap hari adalah bagian dari rakyat. Namun, ketika
kita mencoba keluar dan menerawang apa itu matahari, apa arti dari
rakyat, kita seolah kehilangan pijakan. Sama dengan memisahkan sinar
matahari dari matahari itu sendiri, berarti menghilangkan yang sudah
nyata hadir dan menerawang konsep yang abstrak, blur, dan susah di-
jangkau. Di sinilah jebakan ontologisnya.
Dengan demikian, rakyat adalah sebuah subjek namun subjek yang
tak hadir. Yang hadir adalah manusia-manusia sebagai sinar atau sub-
stansi yang nyata dari rakyat. Karena subjek yang tak hadir, maka tak
sepenuhnya bisa diterjemahkan oleh bahasa.

455 Goenawan Mohamad, dalam "Catalan Pmggir" Mnjaiah Tempo, Senin. 13 Juli 2009.
180 KhIlafah

Dari perspektif politik, konsep rakyat bahkan bisa menjadi objek.


Maka fenomena yang banyak terjadi adalah ketika politisi berbicara
tentang rakyat atau para aktivis bersuara membela kepentingan rakyat
di media massa, rakyat di pedesaan, dusun-dusun, bahkan di perkotaan
ridak peduli dengan hiruk pikuk itu. Ini jadi semacam ambiguitas yang
membuat penanyaan: apa dan siapakah rakyat yang sebenarnya, menjadi
sangat penting dan sentral di satu sisi, tapi di sisi lain mengharuskan kita
unruk sadar bahwa jawaban dari penanyaan itu susah untuk menjelaskan
substansi yang dipenanyakan.
Berbeda dengan terminologi umat yang digunakan dalam Al-Qur’an.
Umat ridak bersandar pada aspek kuantitas, melainkan kualitas, juga
lebih memberikan arah yang jelas. Prof. Quraish Shihab, dalam Wawasan
Al-Quran, mengupas secara mendalam mengenai makna umat ini. la
memaparkan berbagai temuannya mengenai cakupan makna umat.454
Umat tidak bersandar pada kuantitas, dilihat dari beberapa aspek:
Pertama, pakar-pakar bahasa berbeda pendapat tentang jumlah ang-
gota satu umat. Ada yang merujuk ke riwayat yang dinisbahkan kepada
Nabi Saw. bahwa disebut umat ketika berkumpul 100 orang. Nabi Saw.
bersabda, “Tidak seorang mayat pun yang dishalati oleh umat dari kaum
Muslim sebanyak seratus orang, dan memohonkan kepada Allah agar di¬
ampuni, kecuali diampuni oleh-Nya.’’ (HR An-Nasa’i)
Ada juga yang mengatakan bahwa angka 40 sudah bisa disebut umat.
Imam An-Nasa’i yang meriwayatkan hadis serupa menyatakan bahwa
Abu Al-Malih ditanyai tentang jumlah orang yang shalat itu, dan men-
jawab, “Empat puluh orang.” Bahkan, cakupan kuantitas yang lebih eks-
trem, satu orang juga dapat disebut umat. Al-Qur’an menyebut Nabi


Ibrahim a.s. sendirian— yang menyatukan sekian banyak sifat terpuji
dalam dirinya, sebagai umat (QS Al-Nahl; 120). Selain itu, kata “umat”
dalam bentuk tunggal terulang 52 kali dalam Al-Qur’an.

454 QuraishShihab. Wcnvasan Al Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai Penoalan Ihnat.
Bandung: Mizan, 2007, h. 97
GERAKAN KHILAFAH Di INDONESIA 181

Kedua, terminologi umat tidak hanya terbatas pada kelompok manu-


sia, tetapi digunakan juga untuk menyebut kelompok hewan:
“Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di burnt, dan burung-burung
yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti
kamu. ” (QS Al-An'^m: 38)
Rasulullah Saw. bersabda: “Semut (juga) merupakan umat dan umat-
umat (Ibhan)." (HR Muslim), “Seandainya anjing-anjing bukan umat dan
umat-umat (TUhan) niscaya soya perintahkan untuk dibunuh.” (HR At-
Hirmudzi dan An-Nasa’i)
Ketiga, umat lebih bermakna suatu kelompok yang berarti kualitatif,
yaitu: kelompok yang bergerak dinamis, memiliki arah, waktu, jalan yang
jelas, serta gaya dan cara hidup tertentu. Untuk menuju pada satu arah,
harus jelas jalannya, sena harus bergerak maju dengan gaya dan cara
tertentu, dan pada saat yang sama membutuhkan waktu untuk menca-
painya. Surah Yusuf: 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu.
Sedangkan Surah Al-Zukhruf: 22 untuk arti jalan, atau gaya dan cara
hidup.
Ali Syari'ati dalam bukunya Al-Ummah wa Al-lmdmah menyebutkan,
bahwa kata umat lebih memiliki makna istimewa dibandingkan kata
semacam nation (rakyat/bangsa) atau qabilah (suku). Syari'ati men-
— —
definisikan kata umat dalam konteks sosiologis sebagai himpunan
manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah,
bahu-membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan
bersama.4V
Dan berbagai aspek di atas, umat yang bermakna aspek kualitas, yaitu
ketika suatu kelompok bergerak. dinamis, dan memiliki tujuan yang jelas,
dengan cara baik, dan gaya hidup tertentu. Karakter umat itulah, yang
kemudian, diberikan label oleh Al-Qur'an sebagai ciri dari ummat(an)

455 All Syari'ati. AM'mmah mi Al /mdmah. telnh ditcriemahkan ke dalam bahasa Indonesia
menjadi Ummah dan Imamah. Bandung: Pustaka Hidayah. 2006. h. 54
182 KhIlafah

wasatha, umat yang berada di tengah, sebagaimana disebutkan dalam


Surah Al-Baqarah: 143/S6
Umat Islam disebut umat poros tengah juga bennakna agar dilihat
oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demi-
— —
kian menurut lanjutan ayat agar mereka menjadi syuhada’ (saksi),
sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang
sama mereka menjadikan Nabi Muhammad Saw. sebagai patron teladan
dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Keberadaan umat Islam dalam posisi tengah menyebabkan mereka
tidak seperti umat yang hanyut oleh materialisme, tidak pula mengan-
tamya membubung ringgi ke alam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak
di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek
ruhani dan jasmani, materiel, dan spiritual dalam segala sikap dan akti-
vitas.
Wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam
untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama,
budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi mau-
pun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan
dan perkembangan global.4"’ Hal ini juga dapat dianikan dengan umat
yang moderat. Bisa mengayomi siapa pun, ke kiri maupun ke kanan, ke
atas maupun ke bawah. sehingga selalu bergerak untuk menebar ke-
baikan.
Dikarenakan terminologi masyarakat dalam suatu peradaban Islam
disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah “umat" bukan “rakyat", maka se-
cara implisit Islam tidak terikat oleh ruang dan sekat sekat negara, dan
tidak juga bermakna untuk membentuk suatu negara, melainkan lebih
dari itu. Rakyat yang bersifat konsep politis mensyaratkan adanya suatu
negara, tetapi umat tidak mensyaratkan adanya negara yang Islami atau-
kah tidak Islami, melainkan menitik beratkan pada nilai universal dan
aspek moral. Aspek moral bersifat universal sehingga akan cocok di mana

456 Quraish Shihab. Wawasan Al Quran. h. 33.


457 Quraish Shihab. Wawasan Al Quran, h. 34.
Gerakan KhIlafah dI Indonesia 183

pun dan berlaku dalam waktu dan kondisi apa pun. Hal ini sesuai dengan
sifat keuniversalan atau ciri utama Islam yairu rahmatan HI ‘alamin.
Nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila, yaitu ketuhanan, kemanu-
siaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan adalah juga nilai-nilai uni¬
versal yang terkandung dalam ajaran Islam, sehingga harus dihayari dan
diimplementasikan, bukan dengan mengganti sistem Pancasila dengan
sistem khilafah, misalnya, karena nilai-nilai universalnya telah sejalan.
Memperjuangkan nilai-nilai dalam ajaran Islam tidak hanya perjuangan
menegakkan syariat Islam melalui pendirian negara Islam, namun yang
lebih penting dari itu adalah bagaimana nilai-nilai universal tersebut
dapat diimplementasikan secara konsisten dalam kehidupan masyarakat.
Berjuang untuk mengganti sistem negara dengan sistem khilafah bukan
cara yang tepat untuk itu. Hal tersebut hanya upaya bongkar pasang yang
akan sia-sia. Tidak menjamin sistem kekhalifahan akan berbanding lurus
dengan pencapaian tujuan dari Islam.[]
PENUTUP

ejarahtelah membuktikan, sebagaimana telah dibahas pada bab-

S bab sebelumnya secara terperinci sejak zaman Khulafa ar-Rasyidin


hingga Dinasti Tlirki Utsmani, Dunia Islam mengalami pasang
surut, pertumpahan darah di antara kaum Muslim sendiri tak terelakkan.
Hal ini menunjukkan sistem khilafah bukan satu-satunya cara dalam
mewujudkan nilai-nilai universal Islam. Perwujudan di setiap wilayah
dapat menyesuaikan dengan corak dan karakterisrik daerahnya, yang
terpenting adalah nilai-nilai itu dapat tegak.
Sejarah dari perjalanan panjang khilafah Islam harus disikapi sebagai
proses untuk mencari formulasi yang ideal mengenai konsep kepemim-
pinan di suatu negara/wilayah, yang boleh jadi pada penerapannya ber-
beda-beda. Satu hal yang patut dicermati adalah sejarah seolah ingin
mengatakan bahwa pelajaran yang terpenting dari sistem khilafah adalah
pentingnya membuat sistem yang dapat saling mengoreksi satu sama
lain. Kekuasaan yang absolut cenderung berpotensi untuk disalahguna-
kan. Pertumpahan darah yang tetjadi dalam sejarah kekhalifahan umum-
nya dikarenakan belum adanya sistem pengaturan mengenai sistem kon-
trol terhadap para khalifah jika umat tidak setuju dengan kebijakan
khalifah. Terlebih lagi, umumnya masa jabatan khalifah adalah seumur
hidup. Belum ada mekanisme dalam sistem khilafah yang mengatur
mengenai berapa lama seorang khalifah menjabat, apakah seumur hidup
ataukah harus ada pengaturan mengenai batasan jabatan. Inilah pekerja-
an rumah yang perlu diselesaikan oleh umat Islam.
Sejarah telah membuktikan karena belum adanya konsep jelas menge¬
nai sistem kontrol, masa jabatan khalifah, sistem pemerintahan, distribusi

185
186 Khilafah

ekonomi, dan berbagai hal lainnya, sehingga dalam keadaan rakyat me-
rasa tidak puas dengan khalifahnya kebanyakan menempuh jalan keke-
rasan, bukan melalui prosedur hukum.
Meskipun pada masa TUrki Utsmani terdapat pembagian kekuasaan
antara kekhalifahan dan kesultanan, tetap saja khalifah menjabat seumur
hidup persis seperti sistem kerajaan. Selain itu, peran khalifah menjadi
absurd, karena khalifah tidak lagi mengurusi masalah duniawi sehingga
wewenangnya untuk membuat kebijakan yang bersifat mengatur sistem
sosial, polirik, ekonomi, dan bidang-bidang penting menjadi hilang.
Di pihak lain, menyerahkan sepenuhnya pada rakyat untuk memilih
pemimpin yang cocok menurut rakyat dengan mengandalkan suara ter¬
banyak seperti dalam sistem demokrasi pun masih terdapat kelemahan.
Meskipun demikian, dalam sistem demokrasi terdapat sistem yang meng¬
atur pembagian kekuasaan. Masih lebih baik daripada tidak ada sistem
sama sekali yang mengatur mengenai hal itu seperti yang terjadi dalam
pengalaman sejarah khilafah Islam.
Demokrasi banyak diterapkan di banyak negara dengan sistem ke-
daulatan berpusat pada rakyat. Namun, bukan berarti sistem demokrasi
adalah yang terbaik. Jika rakyat terpolarisasi dan mayoritas tidak men-
dapat informasi yang layak mengenai syarat-syarat pemimpin yang adil,
tingkat pendidikan rendah, terpinggirkan, pragmatis, maka akan me-
lahirkan pemimpin dengan kapasitas yang sama, yaitu pemimpin yang
tidak kredibel. Jika di suatu wilayah, rakyatnya termasuk dalam kategori
bodoh dan sedikit sekali yang terdidik, maka hasil dari demokrasi tentu-
nya pilihan mayoritas rakyat tidak terdidik akan mcngalahkan pilihan
orang terdidik yang memiliki suara sedikit. Kelompok terdidik harus rela
dipimpin oleh pemimpin hasil pilihan dari rakyat yang tidak terdidik. Hal
ini menjadi kritik utama terhadap sistem demokrasi.
Sistem kepemimpinan dalam Islam masih harus terus digali dengan
mempertimbangkan hal tersebut, yaitu dengan cara membangun sistem
melalui kajian yang komprehensif mengenai sistem kontrol, pembagian
kekuasaan, sistem distribusi ekonomi, sistem pengelolaan sumber daya
Penutup 187

alam, yang diambil dan khazanah kearifan Islam sehingga lebih dapat
diterapkan dan sesuai dengan perkembangan tuntutan zaman.
Sejarah terkini juga membuktikan, negara yang mencoba untuk
mengadopsi secara bulat-bulat sistem khilafah yang pemah diterapkan
dalam sejarah Islam, menimbulkan kekacauan dan terbukti gagal. ISIS
yang secara terang-terangan mencoba untuk menghidupkan kembali
sistem khilafah seperti yang mereka pahami, yaitu diambil dari sistem
khilafah terdahulu melalui peperangan dan cara kekerasan, terbukti me
nimbulkan ketakutan, kekacauan, dan bahkan menjadi sentimen negatif
terhadap citra Islam itu sendiri.
Upaya menggali, mengkaji, dan merefleksikan berbagai kejadian da¬
lam sejarah khilafah dalam upaya menggagas sistem khilafah dalam
format baru tersebut merupakan upaya untuk terus membumikan apa
yang disampaikan dalam Ai-Qur’an bahwa ajaran Islam adalah rahmatan
Hl ‘alamin, bukan ajaran penebar teror seperti yang dituduhkan oleh ba¬
nyak pihak yang merasa takut dengan penerapan sistem Islam. Formulasi
yang perlu dicari adalah bagaimana nilai-nilai utama ajaran Islam dapat
terwakili dalam sebuah sistem politik tanpa harus menimbulkan ke-
cemasan bagi pihak lain dalam penerapannya. Sebaliknya, sistem alter-
natif baru yang dapat diterapkan di semua wilayah tanpa harus disebut
sebagai negara Islam atau sebutan lainnya.f]
KEPUSTAKAAN

Abduh, Muhammad, Nahjul Balaghah.


Ahmad, Zaenal Abidin. Sejarah Islam dan Umatnya, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1979.
Ai-Amidi. Al-Fashl fil Milal wal Ahwd wan Nihal, juz 4.
Al-Amidi, Saifuddin. Ghoyat al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam.
Amrani, Muhammad bin Ali bin Muhammad, Al-Anba fi Tarikh al-
Khulafa’.
Arabi, Ibnu. Ahkamul Qur’an, juz 4.
Al-Asy’ari, Abul Hasan. Maqaldt Al-Islamiyyfn, juz 2.
Atsir, Ibn. Al-Kamil fi Tarikh, Vol. II.
Atsir, Ibn. Usud al-Ghabah fi Ma'rifat ash-Shahabah, Juz 5.
Aziz, T.M. “Ulama dan Rakyat: Konsepsi Kedaulatan dalam Wacana
Politik Syiah Kontemporer”. Jumal al- Huda, Vol. 1, Nomor 2, 2000.
Al Baghawi, Muhyissunnah al-Husain bin Mas ud. Syarh al-Sunnah,
Beirut: al-Maktab al-lslami, 1983, juz 14 (edisi Syu’aib al-Arauth).
Bakri, Diyar. Tarikh al Khamis, Vol. II.
Al-Baladzuri, Ansab al-Asyraf, Vol. IV
Al-Baladzuri, Futuh al-Buldan, Vol. I.
Bihar al-Anwar, Vol. IV
Boswort, G. E. Dinasti-Dinasti Islam, diterjemahkan dan The Islamic
Dynasties oleh Ilyas Hasan, Bandung: Mizan. 1993.

189
190 KhIlafah

Donohue, John J. dan John L. Esposito (Penyunting), Islam dan


Pembaharuan-, terj. Machnun Husein, Jakarta: RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1995.
Adz-Dzahabi, Siyar Alam an-Nubala: Siydr al-Khulafa' ar-Rasyiddn,
Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1417 H.
Effendy, Bahtiar. Islam and the State in Indonesia, Singapore: ISEAS, 2003.
Al-Fakhuri, Hanna dan Khalil al-Jarr, Tdrikh al-Falsafah al-Arabiyyah.
Al-Farabi, Ard Ahl al-Madinah al-Fadhilah.
Al-Farabi, as-Siyasah al-Madaniyyah, Rasail Ibn Farabi, India: Dairah
Ma’arif, 1964.
Al-Farabi, Fushul Muntaza'ah.
Fischer, Michael M.J. Iran: From Religious Dispute to Revolution,
Cambridge: Harvard University Press, 1980.
Al-Ghazali, Imam. Al-Iqtishad fi al-I'tiqad.
Glasse, Cyrel. Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2002.
Goldschmidt, Arthur. A Concise History of the Midle East, USA: Westview
Press, 1991.
Hadid, Ibnu Abil. Syarh Nahj al-Balaghah, Vol. VII.
Al-Hairi, Kazhim. Asas al-Hukumah al-Islamiyyah, Beirut: al-Nail
Publication, 1979.
Al-Hakim, Mustadrak, Vol. II.
Hamka. Sejarah Umat Islam. Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2005.
Haq, Hamka. Pancasila 1 J uni & Syariat Islam, Jakarta: RMBooks, 2011.
Hazm, Imam Ibnu. Al-Fashl fit Milal wan Nihal, juz 4.
Hilli, Allamah. Kasyf al Murad fi Sayrh Tajrid al-l’tiqdd, Qum: Muassasah
an Nasyr al-Islami, 1407 H.
Hisyam, Ibn. As-Sirah an-Nabawiyyah, Vol. IV
Kepustakaan 191

Hitti, Philip IC History of The Arabs: From the Earlist Times to the Present,
diterjemahkan oleh R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Hizbut Tahrir, Ajhizah Daulah al-Khilafah, Darul Ummah, 2005.
Houtsma, M. Th. et al., Brill’s First Encyclopaedia of Islam, 1913-1936,
Leiden: E. J. Brill, 8 vols. with Supplement (vol. 9), 1991.
Al-Iji, Syar al-Mawaqif.
Al-Ishfahani, Abu al-Farj. Maqatil ath-Thalibiyyin, Qum: Intisyarat al-
Haidariyyah, 1423 H.
Ja’fariyan, Rasul. The History of Chalips, diterjemahkan Sejarah para
Pemimpin Islam: Dari Abu Bakar Sampai Usman, Jakarta: ICC Al-
Huda, 2010.
Kan’an, Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad. Tankh ad-Daulah al-
Umawiyyah (Khalashatul Tarikh Ibn Katsir), Beirut: Muassasah al-
Ma’arif, 1997, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
“Daulah Bani Umayyah" (Fragmen Sejarah Khilafah Islamiah Sejak
Era Muawiah hingga Marwan bin Muhammad), Sukoharjo: Al
Qowam, 2015, h. 815.
Kan’an, Qadhi Syaikh Muhammad Ibn Ahmad. Tarikh ad-Daulatul
Umayah (Khalashatul Tarikh Ibn Katsir).
Katsir, Ibn. Al-Bidayah wa-Nihayah. Sannah Ihda Asyrat al-Hiirah. Juz 9.

Kementerian Agama RI. torkembangan Paham Keagamaan Transnational


di Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama. 2016.
Khalaf, Abdul Wahhab. As-Sivdsah As-Syar'iyyah.
Khaldun, Ibn. Muqaddimah.
Khaldun, Ibn. Tankh ibn Khaldun, Vol. 11.

Al Khallal, Abu Bakar. As-Sunnah.


Khomeini. Bahts Istidldli ‘Ilmi fi Wildyat al-Faqfh, Beirut: al Falah
Institution, 1985.
Khomeini, Kitab al-Bay". Maktabah Ahlul Bait. Juz 2.
192 KhIlafah

Khomeini, Mishbahul Hiddyah ila al-Khilafah wa al-Wilayah, Mishbah 48.


Al-Khudhari, Syaikh Muhammad. Daidah Abbasiyah.
Lakzayi, Najaf. Andisyeh Siyasi Shadr al-Muta'alihin, Qum: Intisyarat
Daftar Tablighat Islami, 1381 HS.
Manaqib Ibnu Syahr Asyub, Vol. IV
Mandaville, Peter. Global Political Islam, London dan New York, 2007.
Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah fi al-Wilayah ad-Diniyah, Jakarta:
Al-Haramain, 2001.
Al-Milani, Sayyid ‘Ali al-Husaini. Al-Imdmah fi Ahammi al-Kutub al-
Kalamiyyah wa Aqidah asy-Syi’ah al-Imamiyyah, Qum: Mathba’ah
Sayyid asy-Syuhada, 1413 H.
Mu’jam Al-Wasith, Maktabah asy-Syuruq ad-Dauliyyah, 2004.
Mohamad, Goenawan. dalam “Catalan Pinggir” Majalah Tempo, Senin,
13 Juli 2009.
Al-Munawi, Abdurrauf. Faidhul Qadir Syarh al-Jami' al-Shaghir, Beirut,
Dar al-Ma’rifah, 1972, juz 3.
Muruj adz-Dzahab, Vol. III.
Muthahhari, Murtadha. Khilafah dan Imamah, hh. 46-47.
Nahj as-Sa'adah, Vol. I.
Al-Najar, Abdul Wahhab. Al-Khulafa’ ar-Rasyidun, Darul Fikri, t.t.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan
Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Niya, Muhsin Muhajir. Daulat dar Andisyeh Farabi, Teheran: Muassasah
Farhangge Danisy wa Andisyeh Mu’ashir, 1380 HS.
Qutaibah, Ibn. Al-Imamah wa al-Siyasah, Vol. 1.
Rabi, Ibn Abi. Suluk Al-Malik fi Tadbir al-mamalik.
Razi, Ibnu Abi Hatim. Adab As Syafi'i wa Manaqibuhu, Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, 1424 H.
F'

Kepubtakaan 193

Ar-Ridwan, Kafrawi (ed.), Ensiklopedi Islam, jilid UI, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994.
Rogan, Eugene. The Fall ofKhilafah, New York: Basic Books, 2015.
Sa'ad, Ibn. Ath-Tbahaqat al-Kubra, Vol. III.
Sa’ad, Ibn. Tarjamah al-Imam Hasan.
Sachedina, Abdulaziz A. Kepemimpinan Dalam Islam, Bandung: Mizan,
1986.
Sa’id, Lihat Subhi ‘Abduh. Ai-Hakim wa Ushul al-Hukm fi an-Nizham al-
Islami, Kairo: Mathba'ah Jam'iah al-Qahirah, 1985.
Shadra, Mulla. Syawahid Rububiyyah, Teheran: Markaz Nasyr Danesyghah
Teheran, t.t., Isyraq ke-10.
Shahih Muslim, Vol. I, h. 196.
Ash-Shallabi, Ali Muhammad. Al-Ayyubiyuna ba’da Shalahuddin,
ditetjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bangkit dan Runtuhnya
Daulah Ayyubiyah, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2016.
Shihab, Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik Atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 2007.
Su’ud, Abu. Islamologi: Seiarah, Ajaran. dan Reranannya dalam feradaban
Umat Manusia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.
Subhani, J a 'far. Al-Muhadharat fi al-Ilahiyyat.
Subhani, Ja’far. Mafahim al-Qur’an: Dirdsah Muwassa'ah 'an Shighah al-
Hukumah al-lsldmiyyah wa Arkdnihdwa Khashdishiha wa Bardmyihd.
Qum: Muassasah Imam Shodiq, 1413 H.
Subhi, Ahmad Mahmud. Nazhariyyat al-Imamah 'Inda al-Syiah al-Itsna
Asyariyyah Tahlil Falsafi li al-Hayat, Kairo: Dar al-Ma arif, 1969.
As-Suyuthi, Jalaluddin. Tdrikh al Khulafd', Beirut: Dar Ibn Hazm li ath-
Thaba’at wa an-Nasyr, 1424 H.
Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, jilid 1, Kairo, 1968.
Asy-Syaibah, Ibnu Abi. Al-Mushannaf, Vol. II.
Syari'ati, Ali. Al-Ummah wa Al-Imdmah, Hidayah, 2006.
194 KhIlafah

At-Taftazani, Syarh al-Maqashid.


Tahrir, Hizbut. Mengenal Hizbut Tahrir: Partai Politik Islam Ideologis,
Jakarta: Pustaka Thariqul Izzah, 2000.
Ath-Thabari, Muhammad Ibn Jarir. Tarikh Thabari, Vol. Ill.
Thusi, Khaja Nasiruddin. Akhlak Nashiri, Teheran: Khawarzimi, 1373 HS.
Thusi. Khaja Nasiruddin. Risalah Imamat, Teheran: Danisyghah Teheran,
1335.
Thusi, Khawajah Nashiruddin, Talkhis al-Muhashshal, Beirut: Dar al-
Adhwa’, 1405 H/1985 M.
Al-Waqidi, Lihat Muhammad bin ‘Umar. Kitab ar-Riddah. Beirut: Dar al-
Arab al-Imla’i, 1990.
Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis,
diterjemahkan oleh Hartonom Hadikusuma, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1990.
Al-Ya’qubi, Tarikh al-Ya’qubi, Vol. II.
Zainuddin, A. Rahman dan M. Hamdan Basyar (ed.). Syi'ah dan Politik
di Indonesia: Sebuah Penelitian, Bandung: Mizan, 2000.
INDEKS

Abbasiyah, zaman. 12 abuse of power, 160


‘Abbasiyah, 12 khalifah daulah, 91 Ahmad bin Hanbal. 53
Abdul Madjid II, Khalifah, 113, 169
Abdul Malik bin Marwan

Imam , 8-9
Ahmad Mahmud Subhi, 130


kekhalifahan , 73
prestasi urama, 73
Aisyah r.a., 33, 56
Ajhizah Daulah al-Khilafah, 166
Abdullah bin Al-Musta'shun. 90 Ali Abdul Raziq, 126
Abdullah bin Ja'far, 65 All bin Abi Thalib. 9. 48. 52, 130
Abdullah bin Sa'ad bin Abi Sunah, 51
Abdullah bin Umar. 65
proses pengangkatan
terbunuh. 57
—. 55

Abdullah bin Zubair, 65 Ali Syanati. 181


Abdurrahman bin Auf, 15. 48 Al Manshur. Khalifah, 93
Abdurrahman bin Muljam, 57 Al-Mu’iz. Khalifah. 103
Abdurrahman puira Abu Bakar, 66 ambiguitas, 137-140
Abu 'Ubaidah, 7 Amirul Mukminin, panggilan. 43
Abu ‘Ubaidah bin Jarrah. 26. 127, 128 Anshar, 7
Abu Abdullah, 102 Asaduddin Syirkuh, 1 1 1
Abu Bakai Shiddiq, 7-8, 24. 38. 48. 127 Ayyub bin Syadzi, 109


alasan utama menjadi khalifah,
Badar dan Anshar, sahabai. 55
——
30
baiat di Saqifah. 10 Baitul Maqdis, 70
kebijakan , 45 Bam Quraisy. 65

— — — .
kebijakan yang dibuai
knerpilihan , 31
36 Bam Uma yah
kekhalifahan Islam era
— . &2
sahabai pendukung . 39 Banu Makhzum, 39

suksesi . 8
wafat, 28 Darul Islam (D1/T1D, 163
Abu Zuhrah. 50 Daulah Abbasivah

195
196 KHILAFAH

kekhalifahan
—, 90

penumpahan darah di era , 96
melihat demokrasi sebagai sistem
kufur, 167

— —
runtuhnya hegemoni ,101 muncul di Indonesia, 172
sistem politik , 94 Hulagu Khan, 90
Daulah Fathimiyah, dua fase, 106 Husain bin Ali. 12. 67
dewan syura, pembentukan, 47 Husain Haikai, 125
Dinasti ‘Abbasiyah

kebijakan politik , 93
ratanan negeri di bawah
Ikhwanul Muslimin, 165-166
imam, pengertian. 158
kepemimpinan , 94
Dinasti Ayyubiyah
— imamah
berbeda dengan nubuwwah, 122

berakhimya , 112
——
cabang , 110
berkaitan dengan khilafah, 1 17
Al-hndmah wa al-Siyasah, 8
kehancuran , 109 Imamiyah, kaum, 102

runtuhnya ,112
Dinasti Fathimiyah
ISIS, 187
Islam
khalifah pertama — 103
,
khalifah-khalifah yang memimpin

citra , 187
Indonesia, 176
— —
, 104
puncak , 105 Ja dah binti Asy'ats bin Qaisy, 60

sumbangan
Islam, 105
terhadap peradaban Jalaluddin As Suyuthi, 8. 12, 17
Jamaah Tabligh, 165
Dinasti Turki Utsmani, 3 periode, 113 Jenghis Khan, 90

The Fall of The Khilafah, 116 Al-Kamil fi at-Tarikh, 8


Fathimah Az-Zahra, 8, 53 Karbala, 67, 69
Kartosoewirjo, 162 lihat juga Darul
gerakan Islam transnasional, 165 Islam (DI/TII)
keadilan yang disyaratkan dalam ayat
H adits as Saqifah, 8 Al-Qur’an, 161
Hassan bin Ali bin Abi Thalib, 20, 57 58 kemunduran tatatan politik, 107
wafat, 60 kemurtadan, 37-38
Hisyam bin Abdul Malik, 17 kepemimpinan

kekhalifahan , 81
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), 166,
Nabi Daud, 160
Nabi Ibrahim, 123, 158
169-175 yang selalu berbuat kerusakan. 159
adalah gerakan Islam radikal kerajaan, bentuk pemerintahan
berbasis transnasional, 166 dalam konsep khilafah. 136
dan daulah khilafah, 166 Khalid bin Walid. 12

deklarasi pertama , 173
dibubarkan pemerintah Indonesia,
khalifah
ada dua bolas, 19
174
INDEKS 197

fasik, 155 lihat juga Walid bin Yazid pada masa al-khulafd al-khamsah,
Islam keempat, 54 23
kedua, 40 pada masa Bani Umayah, 61

— —
mekanisme pemilihan , 46
metode pcrgamian , 106
pada masa Daulah Abbasiyah. 89
pada masa Daulah Fathimiyah, 101
— —
peralihan , 129
pennasalahan sistem , 15
pada masa Dinasti Ayyubiyah. 109
pada masa Dinasti TUrki Utsmani,
pertama Abbasiyah, 18 113
pertama dari ibu seorang budak, 85

——
sistem musyawarah , 14 Mawardi, 119

pengertian menurut Al-

sistem pengangkatan , 14, 130 peperangan pertama era


sistem penunjukan langsung, 14
— pada masa Daulah
pemberlakuan , 11
——

syarat perbedaan konsep ,21
Umayah, 155 pertama kali konsep diterap-
syarat
— pada masa Khulafa
ar Rasyidin, 156
kan, 7
sejarah perjalanan panjang
syarat
— pada masa Khulafa
Daulah Abbasiyah, 155
— Islam. 185
setelahku berusia 30 tahun. 20

— — ——
syarat utama seorang ,16 sistem Hizbut Tahnr, 166
syarat -syarat , 149 sistem Islam sangat mulriraf-
terburuk, 82, 155 lihat juga Walid sir, 21
bin Yazid
yang saleh dan adil, 156 lihat juga
sistem — menurut HTl, 166
Khulafa ar-Rasyidin, 20. 117, 136
Umar bin Abdul Aziz
khilafah (wildyah) —
zaman . 185

— —
dalil gerakan Hizbut Tahnr. 167
defmisi dan konsep ,117
Luth Sayyid, 126

— —
dua jenis , 123
format pemerintahan , 135
Al-Mahdi, khalifah. 19
mahkamah madzalim. 171
gerakan
— di Indonesia, 163
Islam hanya selama 30 tahun. 23
Mahmud 11, Sultan. 114
Malik bin An-Nuwairah. 12. 36

istilah muncul setelah
Rasuluilah Saw. meninggal, 175
Al Manshur, taktik iicik, 99
Marwan AlJa'di. kekhalifahan. 86

konsep dikaitkan dengan
konteks keindonesiaan. 22
Marwan bin Hakam. 50


kekhalifahan , 72

konsep menurut Muhammad
Abduh, 125
Marx,
Mesir
Karl. 124

——
konsep yang dianut HT1, 178
konsep , 13, 117
penaklukan —.101
pusat perdagangan. 101

baru, 187

menggagas sistem dalam format Al-Mtlal wa an-Mfca/. 11
Mohammad Hatta. 10-4
198 Khiuafah

Muawiyah bin Abu Sufjan, 18. 61


kekhalifahan
—.
62
karaktetistik
republik, 135
— monarki, 143

Muawiyah bin Yazid, kekhalifahan, 71 teokratis. 135


Muawiyah, 50 pemiinpin. makna, 158
Muawiyah, khalifah, 62 penanggalan Islam, penentuan, 42
Muhajirin, 7 penyerahan kekhalifahan. 62
nga sahabat , 7
Muhammad Abduh, 16
— Rerang
Jamal, 56
Muhammad bin Hunaif. 54 ShiHin, 59
munad Ptagam Jakarta, 164
memerangi kaum , 35

tiga kelompok umat Islam. 37 Quraisy. keutamaan. suku. 15
Musa al Kazim. 102 Ibnu Qutaibah. 7
Miswar bin Makhramah, 48
Muslim bin Aqil, 69 raja hakikatnya bukan khalifah. 137
Mustafa Kemal At Tarurk. 1 15 Rasyid Ridha. 14
Republik JUrki Sekuler. 115
nabi palsu. 34 Rogan. Eugene. 116
Nabi Saw.
——
kebijakan , 45
pengganri . S
Sa ad bin Abi Waqqash. 15
Sa id bin Musayyab, 54
tidak mewariskan apa pun. 9 Sahabat Anshar. 7
wafat. 7 Salafi. 165
Nahjul Balaghah, 16. 30 Salahuddin Al-Ayyubi, 109
Nashr bin Sayyar. 1 7 As Salih Najmuddin Ayyub, Sultan, 1 12
negara Islam, ide pembentukan. 163 Saljuk Kesultanan. 93
negara Saqifah Bani Sa idah. 7, 14. 16
empat kelompok golongan yang Saqifah. peristiwa di. 7 8
menolak adanya
nilai penting —
,
— .
124
124 Shahih Muslim, 17
sistem demokrasi
kelemahan — , 186
Ottoman, kekhalifahan. 169 kritik utama
sistem
— , 186

Panitia Persiapan Kemerdekaan khilafah. 183


Indonesia (PPK1), 164 musyawarah, 127 128
pembantaian As-Saffah, 98 Pancasila, 183
pemerintahan pengangkatan langsung. 129
aristokratis, 135 penunjukan, 129
demokratis, 135 Sulaiman bin Abdul Malik. 75
Islam tidak sama dengan bentuk
pemerintahan mana pun, 143
kekhalifahan
Sunni, 106
—.
74
Asy-Syahrastani, 11
Syajarat ad Dun, 112
syanat Islam —. —
khalifah ketiga, 49
pembunuhan 50
sistem politik yang dijalankan ,
alasan dihapuskanya diktum
164
— , 51

——
terbunuhnya , 50
diktum
— , 164
Syiah Ismai'iliyah, 102
wafatnya Khalifah , IS
Utsmani bin Sauji bin Emigrul bin
Sulaiman Syah bin Kia Alp, Sukan,
Taha Hussein, 126 113
Taqiyuddin An Nabham, 166
TArikh al KhulafA, 8 Walid bin Abdul Malik, kekhalifahan,
I'Arikh al Umam wa al-Muluk, 8, 10 73
Tdrikh Ibn Katsir, 17 Al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik. 16
Transoxiana. 89
TUrki, penaklukan wilayah, 81
— —
kekhalifahan , 82
kefasikan , 83
wilayah al-faqih, 141-142
Ubaidillah al-Mahdi, 103
Umar bin Abdul Aziz. 79
kekhalifahan , 76

Umar bin Khattab. 7, 28. 36. 39-41, 48,
Yahya bin Zaid. 17
Yazid bin Abdul Malik, kekhalifahan. 79
Yazid bin Muawiyah. 12, 64
128, 129


inisiatif . 44 —
kekhalifahan . 67 68

masa kepemimpinan
—.42
menyusun mekanisme pemilihan
khalifah. 129
Yazid bin Walid bin Abdul Malik iYazid
UI). 85

penunjukan . 40

umat poros tengah. 182
Utsman bin Aftan. 15. 46, 54
Zakat
memerangi
penolakan membayar
——
pembangkang .11
37-38
zamft, 44
kepnbadian . 49

199
TENTANG PENULIS

bdurrahmanAbdullah lahir di Bima Nusa


A Tenggara Barat, 17 Agustus 1967. Tinggal di
Depok Jawa Barat. Doktor bidang pemikiran
Islam lulusan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayarullah, Jakarta tahun 2008.
Dosen dem mendapat amanat dari masyarakat
sebagai Anggota DPR RI periode 2009-2014 dari
Daerah Pemilihan kota lahir. NTB. Tetjun ke dunia
politik praktis sebagai jalan untuk mengaplikasikan ilmu politik di ranah
realitas, karena penulis percaya bahwa politik bukan hanya sebagai disip-
lin ilmu yang dapat dipelajari di sekat-sekat ruang kelas, tetapi juga yang
lebih penting harus dilihat penerapannya di dunia nyata dalam pengam-
bilan kebijakan pengelolaan suatu negara.
Pembicara mengenai tema-tema filsafat dan pemikiran Islam di sejum-
lah seminar, kajian, dan diskusi publik. Juga aktif menulis di media cetak
dan online untuk isu-isu kontemporer dari sudut pandang filsafat dan
pemikiran modem.
Minat di bidang pemikiran Islam, filsafat, dan sejarah. Buku tentang
Khilafah ini merupakan hasil riset panjang dari berbagai buku primer
yang menjadi referensi utama di bidang sejarah dan filsafat politik.
Penulis meyakini bahwa kebenaran mengenai fakta sejarah bukan
hanya bersifat “ditemukan", tetapi juga dikonstruksi oleh zaman dan
penulisnya. Untuk itu, ia perlu dikaji dan dikomparasi dengan sumber-
sumber lain secara terus-menerus sehingga kebenaran sejarah dapat
dipahami konteksnya secara lebih valid dan dapat diterapkan dalam
konteks kekinian.il

201
KHILAFAH vs.

Mengapa ide "khilafah", yang dorman selamahampirsatu abad,tiba


tiba menyeruak ke permukaan? Penyebabnya tentu kompleks, tetap<
sekurang-kurangnya bisa dilacak pada dua faktor: faktor internal
umat Islamdan faktor eksternal.

Secara internal ide khikafah berpaut denga n ide tentang Islam kaffah
yang meyakini Islam mesti menjadi panduan hidup di segala bidang,
termasuk politik.Tafsir politik atas Islam kaffah itulah yang, antara lain,
melahirkan konsep tentang khilafah. Namun, konsep khilafah
tersebut ternyata ber wajah majemuk dan sama sekalitidak monolitik.

Adapun secara eksternal, hegemoni politik-ekonomi dan dominasi


epistemologi Barat terhadap Dunia Islam memberi tekanan kuat bagi
umat Islam untuk merumuskan sendtri politik Islam secara genuine
dan powerful.

Persis di sinilah signifikansi buku ini, yang hendak menyoroti pelbagai


argumen seputar khilafah itu dan bagaimana pula ide-ide tersebut
bekerja dalam realitas sejarah umat Islam, sejak era Khulafa ar
Rasyidin hmgga Kekhalifahan Utsmani, serta kemunculan HTI di
Indonesia.

mizan
kha.'MAH *.UU

Anda mungkin juga menyukai