Perubahan merupakan hukum kehidupan. Dan siapa yang hanya melihat masa lalu dan hari
ini, pastilah ia akan kehilangan masa depannya (John F. Kennedy)
Kamis, 19 Januari 2012
OPTIMALISASI KEMAMPUAN GADIK GUNA MENGHASILKAN HASIL
DIDIK YANG SIAP PAKAI DALAM RANGKA TERWUJUDNYA POLRI
YANG PROFESIONAL
BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Harus diakui bahwa saat ini citra Polri tengah terpuruk. Berbagai kasus yang mendapat
perhatian publik seolah silih berganti menerpa Polri, mulai dari indikasi rekening gendut
perwira Polri, kriminalisasi pimpinan KPK, kasus mafia pajak Gayus Tambunan, penegakan
hukum yang tidak pro rakyat (kasus curi kakao nenek Minah, kasus laka lantas Lanjar, kasus
curi semangka Basar dan Kholil, kasus sandal jepit Briptu), amuk massa Cikeusik Banten,
Bima, Mesuji, atau konflik sosial Temanggung, membuat keberhasilan Polri dalam
mengungkap kasus kejahatan besar seakan tergerus.
Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik ini, belum ditambah dengan perilaku oknum
personel Polri yang melakukan penyimpangan di lapangan seperti pungli di jalan, pemerasan
tersangka kasus kejahatan, manipulasi kasus, jual beli jabatan, dan lain-lain. Perilaku aparat
kepolisian yang tidak profesional ini pada akhirnya menambah rusak citra Polri yang tengah
dibangun, sehingga muncul stigma bahwa berurusan dengan polisi justru hanya menambah
masalah, apakah itu perkara yang ujung-ujungnya berurusan dengan uang atau proses yang
sengaja dibelit-belitkan.
Citra positif Polri yang naik 57,1% pada tahun 2009 kemudian menurun pada tahun 2010
sebanyak 49,1%. Masyarakat masih menganggap Polri belum independen dalam setiap proses
penyelesaian hukum, dimana pemilik modal semacam pengusaha atau pemilik kuasa
semacam pejabat negara menjadi pihak yang lebih ditakuti polisi dan acap kali
di-”negosiasi”-kan penyelesaian kasusnya, daripada yang berpihak pada rakyat kecil.
Meskipun diakui bahwa untuk masalah penanganan terorisme, masyarakat menyatakan
kepuasannya, namun untuk penanganan kasus lain seperti korupsi/KKN, pelanggaran HAM
oleh aparat, kriminalitas konvensional, pornografi, dan lain-lain belum memuaskan
masyarakat (Litbang Kompas, 2010).
Ketidakprofesionalan polisi ini membuat penegakan hukum dan pemeliharaan kamtibmas
tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Ini dikarenakan hanya sebagian kecil saja
anggota Polri yang mampu berpikir dan bertindak profesional (Rahardi, 2007: 206). Untuk
menjadi polisi yang profesional, maka Polri harus melakukan reformasi yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat. Perkembangan pada kedua
bidang ini dipakai untuk menentukan standar pekerjaan polisi. Polisi juga harus dilepaskan
dari hal-hal yang berbau politis dan pekerjaan tidak boleh dilaksanakan secara amatir
(Rahardjo, 2002: 125). Wujud profesionalisme tersebut meliputi: pertama, memiliki
keterampilan khusus kepolisian, kedua, memiliki komitmen pada pekerjaannya, dan ketiga,
polisi membutuhkan independensi pekerjaan.
Oleh sebab itu, perubahan perilaku polisi atau reformasi kultural di kepolisian menjadi aspek
terpenting dalam pembenahan diri Polri, karena aparat kepolisian berhadapan langsung
dengan masyarakat. Interaksi sosial antara polisi dan masyarakat apabila tidak diimbangi
dengan profesionalisme tugas, akan membuat citra Polri semakin terbenam. Salah satu faktor
yang menentukan proses pembentukan profesionalisme Polri adalah melalui pendidikan
polisi.
Polri menyadari bahwa pendidikan merupakan sarana strategis untuk menyiapkan SDM yang
berkualitas dan siap pakai guna menghadapi tugas-tugas kepolisian yang sarat muatan
perubahan. Menurut Meliala (2005: 28), terdapat dua hal yang menjadi prioritas perubahan
dalam melaksanakan reformasi Polri yaitu aspek pendidikan dan aspek pelayanan
masyarakat.
Hal ini tentunya sejalan dengan salah satu arah kebijakan Kapolri lewat 10 Program Prioritas
Revitalisasi Polri yaitu untuk sesegera mungkin melakukan percepatan perubahan budaya
melalui perubahan pola pikir (mindset) personel Polri yang nantinya berjalan selaras dengan
meningkatnya budaya etos kerja (culture set) polisi terhadap pemeliharaan kamtibmas dan
penegakan hukum. Perubahan mindset dan culture set ini seyogyanya menjadi bagian integral
dari sistem pendidikan Polri untuk menghasilkan pribadi dan sosok personel Polri yang lebih
berperan sebagai pelayan masyarakat daripada menjadi sosok polisi yang feodal (meminta
untuk dilayani).
Oleh sebab itu, lembaga pendidikan Polri berperan penting untuk menghasilkan polisi yang
berkualitas dan memiliki keunggulan kompetitif, berwawasan ilmiah, bermoral serta mampu
mengembangkan dan menerapkan ilmu dan teknologi kepolisian dalam pelaksanaan tugas di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Dalam konteks inilah terlihat betapa penting dan strategisnya peran lembaga pendidikan
sebagai garda depan Polri untuk menghasilkan lulusan yang mampu memasuki abad ilmu
pengetahuan (knowledge society), dimana ilmu pengetahuan menjadi instrumen penting
dalam dinamika masyarakat. Ilmu pengetahuan harus menjadi landasan dalam melaksanakan
pemolisian sehingga dapat menyesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaan serta
lingkungan yang dihadapinya (Chrysnanda, 2008: 25).
Menghadapi dinamika perubahan masyarakat ini, para peserta didik dituntut untuk
memahami perubahan yang ada, memiliki kapabilitas, kreatif, serta mampu
mentransformasikan konsep dan teori yang didapat di bangku kuliah guna mengantisipasi dan
merespon munculnya berbagai isu perubahan masyarakat tersebut. Untuk memenuhi harapan
masyarakat akan adanya sosok polisi yang transformasional, maka diharapkan hasil didiknya
harus mampu mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu dalam
pembelajarannya untuk merubah pola pikir dan budaya kerjanya. Peserta didik juga harus
mampu mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan skema-
skema berpikir, terutama menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk meraih
kemajuan, dan apabila perlu menciptakan suatu inovasi baru yang berguna bagi kepolisian.
Untuk mengembangkan pola pikir tersebut, dibutuhkan peran Tenaga Pendidik (selanjutnya
disebut Gadik) yang tidak saja bertindak sekedar sebagai guru namun lebih banyak kepada
fasilitator. Gadik didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman siswa
yang telah dimiliki dan dibawa dalam perspektif pembelajaran orang dewasa serta
menghargai munculnya pertanyaan dan ide-ide siswa. Gadik juga didorong untuk
memberikan pengalaman dan bukan sekedar pengetahuan, sehingga siswa diharapkan
memperoleh bekal berharga untuk menghadapi kenyataan di lapangan ketika mereka
mengabdi kelak.
Melalui perspektif tersebut, diharapkan pendidikan bukan merupakan bagian dari pemaksaan,
penanaman doktrin atau sesuatu dan demi kepentingan kelompok tertentu yang mematikan
sikap kritis dan proses pembodohan. Justru pada pendidikan inilah kesadaran dibangkitkan,
kritis dan bertanggungjawab, menemukan solusi yang nantinya dapat bermanfaat bagi
kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup manusia (Chrysnanda, 2008: 27). Dengan
strategi yang didasari oleh kesadaran seperti ini, maka Polri mengharapkan munculnya SDM
berkualitas dan siap pakai yang dihasilkan dari lembaga pendidikan, yang tidak saja berguna
bagi zaman dan masyarakatnya, melainkan juga menjadi fasilitator dan inovator dalam
kehidupan masyarakatnya.
2. Permasalahan
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang dapat ditarik adalah
”Bagaimana meningkatkan profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil didik yang siap
pakai dalam rangka terwujudnya Polri yang profesional?”
3. Pokok-pokok Persoalan
Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka pokok-pokok persoalan yang penulis uraikan
dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana peran Gadik saat ini?
b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme Gadik?
c. Bagaimana peran Gadik yang diharapkan?
d. Bagaimana upaya meningkatkan profesionalisme Gadik untuk menghasilkan hasil didik
yang siap pakai?
4. Ruang Lingkup
Pada tulisan ini, penulis membatasi pembahasan dalam ruang lingkup sebagai berikut:
a. Peran Gadik dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan Polri.
b. Kondisi Gadik di lembaga pendidikan Polri meliputi peluang dan kendala yang dihadapi
Gadik tersebut, serta upaya peningkatan profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil
didik yang siap pakai.
a. Maksud
Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada institusi Polri tentang
pentingnya meningkatkan profesionalisme Gadik dalam lembaga pendidikan Polri guna
mendukung perubahan mindset dan culture set personel Polri agar dapat dihasilkan lulusan
yang siap pakai sebagai langkah menuju revitalisasi Polri, ditengah sorotan tajam masyarakat
terhadap perilaku organisasional Polri pada berbagai issue penegakan hukum dan
pemeliharaan kamtibmas di Indonesia.
b. Tujuan
Sebagai upaya untuk memberikan sumbangsih pemikiran kepada kepada lembaga dan
pimpinan Polri tentang bagaimana pentingnya peningkatan profesionalisme Gadik melalui
metode pembelajaran siswa aktif dan paradigma konstruktivistik guna menghasilkan lulusan
yang siap pakai dalam rangka terwujudnya Polri yang profesional.
a. Metode
Penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan fakta-
fakta yang terjadi dan fenomena yang berkembang terkait dengan permasalahan peningkatan
profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil didik yang siap pakai dalam rangka
terwujudnya Polri yang profesional.
b. Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan adalah studi faktual (empiris) dan kepustakaan serta
ditinjau secara komprehensif yakni meneliti dan menganalisis fakta-fakta yang ditemukan
secara menyeluruh dari aspek pembelajaran dewasa dan pendidikan yang berorientasi pada
peserta didik.
7. Kajian Konseptual
a. Konsep Pendidikan
Pendidikan menurut pasal 1 angka 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas) adalah ”usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.
Untuk menguatkan arti harfiah pendidikan berdasarkan regulasi, seorang ahli pedagogik asal
Belanda, Langeveld mengemukakan pendidikan merupakan proses bimbingan yang diberikan
oleh orang dewasa, kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Disini
jelas bahwa tujuan pendidikan adalah kedewasaan (Kadarmanta, 2008: 43). Beberapa
konsepsi dasar mengenai pendidikan yaitu:
1) Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup (long life education). Pendidikan sudah
dimulai sejak lahir sampai meninggal, sepanjang ia mampu untuk menerima pengaruh dan
dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
2) Tanggungjawab pendidikan adalah tanggungjawab bersama. Bahwa pendidikan
merupakan tanggungjawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Tidak ada yang bisa
memonopoli pendidikan, agar pendidikan tersebut dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
3) Pendidikan itu merupakan suatu keharusan. Karena manusia memiliki kemampuan dan
kepribadian untuk berkembang.
Pendidikan pada hakikatnya mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Kegiatan
tersebut dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk mentransformasi nilai-nilai. Nilai-nilai yang
ditransformasikan tersebut dalam rangka mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau
perlu merubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat atau organisasi.
Dalam upayanya mentransformasi nilai-nilai, seorang pendidik memerlukan ilmu mendidik
yang diselaraskan antara teori dan praktik. Gunning berkata bahwa ”teori tanpa praktik
adalah baik pada kaum cerdik cendikia dan praktik tanpa teori hanya terdapat pada orang-
orang gila dan penjahat-penjahat”. Oleh sebab itu pendidik menggunakan teori dan praktik
secara bersamaan (Salam, 2002: 22).
Pendidikan yang baik dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang handal, mumpuni,
cerdas, bijaksana, dan penuh kepekaan serta peduli terhadap berbagai masalah kemanusiaan.
Seperti yang disampaikan oleh Romo Mangun Wijaya bahwa ”pada pendidikan bergantung
masa depan bangsa”. Tanpa pendidikan yang baik, mustahil suatu bangsa dapat hidup,
tumbuh dan berkembang (Chrysnanda, 2010: 76).
b. Konsep Gadik
Profesi polisi merupakan profesi yang mulia, sebagaimana profesi lain yang memberikan jasa
berupa pelayanan kepada masyarakat terutama pada bidang pemeliharaan kamtibmas dan
penegakan hukum. Profesi disini memiliki pengertian suatu jenis pekerjaan atau rangkaian
kegiatan yang berpola, yang dilakukan dengan tingkat keahlian tinggi, yang menghasilkan
uang, jasa, dan produk tertentu (Sunarno, 2010 : 19).
Sebagai seorang yang memiliki profesi, polisi harus memiliki landasan dalam berpikir
berdasarkan pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan keahlian yang mumpuni serta
mempunyai kode etik profesi yang menjadi pedoman dalam bekerja yang harus dipatuhi
dengan tulis ikhlas. Sikap seperti ini dinamakan sikap yang profesional. Jadi polisi yang
profesional harus mengetahui kewajibannya, jujur dalam bertindak, serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Jadi profesionalisme memiliki definisi yaitu perilaku yang menjadi ciri profesi yang
berkualitas melalui cerminan sikap, pola pikir, tindakan, dan corak pemolisiannya yang
dilandasi pada ilmu kepolisian, yang sepenuhnya diabdikan bagi kepentingan masyarakat
demi terpeliharanya kamtibmas dan tegaknya supremasi hukum (Sunarno, 2010 : 20).
Oleh sebab itu, ukuran profesionalisme yang hendak diraih institusi Polri agar memenuhi
kriteria profesionalisme sebagaimana tersebut dibawah ini:
1) Keterampilan yang diatur berdasarkan atas pengetahuan teoretis.
2) Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuan yang diakui oleh rekan sejawatnya.
3) Adanya organisasi profesi yang menjamin berlangsungnya budaya profesi melalui
persyaratan untuk memasuki organisasi tersebut (ketaatan pada Kode Etik Profesi).
4) Adanya nilai khusus yang harus diabdikan pada kemanusiaan.
Jadi seorang yang profesional hidup dari profesinya dan secara terus menerus berupaya
meningkatkan kemampuan disiplin ilmunya sendiri. Berangkat dari definisi tersebut maka
tampak jelas bahwa para Gadik dapat disebut sebagai profesional (Rahardi, 2007: 219).
8. Kajian Teoretis
a. Teori Konstruktivistik
Paradigma konstruktivistik berakar dari filsafat humanisme dan fenomenologi. Paradigma ini
dikembangkan oleh Chomsky dalam linguistik, Simon dalam computer scientist, dan Bruner
dalam pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke pendekatan sosial budaya (Maliki,
2010: 25).
Dalam konstruktivistik dikembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada ”pemahaman
siswa” (student-oriented). Peran pendidik disini selain sebagai fasilitator dan narasumber,
juga harus memahami faktor-faktor instrinsik dari diri siswa. Oleh sebab itu,
mengembangkan pembelajaran aktif yang menarik dan kondusif menjadi fokus utama dari
peran pendidik dalam menerapkan perspektif konstruktivistik.
Paradigma konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu
dalam proses belajar. Siswa belajar mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks,
mengembangkan skema-skema berfikir (representasi dari proses internalisasi suatu struktur
kategorisasi tertentu; Bootze, dkk, 1986) dengan menggunakan teknologi informasi dan
pengetahuan baru yang up-to date bagi pengembangan keilmuannya untuk mengkonstruk
pemahaman dan pengetahuan baru (the new understanding and knowledge) (Semiawan,
2008: 21).
Paradigma konstruktivistik menekankan pada pemahaman (understanding) dan menghapus
misunderstanding, serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki
siswa. Proses belajarnya dimulai dengan pemikiran deduktif dan digabungkan dengan
pemikiran induktif. Gadik disini didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan
pengalaman siswa yang dimiliki dan dibawa dalam proses pembelajaran, bukan melulu
mencekoki siswa dengan materi serta pengalamannya saja yang belum tentu sesuai dengan
perkembangan teknologi dan jaman saat ini. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan proses
transfer of knowledge sekaligus experiences (Maliki, 2010: 27).
Dalam mengembangkan kerangka pemikiran konstruktivistik ini, penulis menggunakan teori
konstruktivisme sosial Vygotsky (1978). Lokus dan fokus pengetahuan menurut Vygotsky
terletak pada interaksi sosial, dimana interaksi sosial inilah yang nantinya akan membentuk
perkembangan kognisi siswa. Perspektif konstruktivisme Vygotsky menganjurkan
penggunaan secara kreatif strategi pembelajaran kooperatif (cooperative learning) atau
colaborative learning, seperti penggunaan strategy pare and share, peer grouping, dan
berbagai bentuk pembelajaran kelompok lainnya (Krause, 2007: 183; Elfis, 2010).
Dalam menyusun strategi pendidikan, perspektif Vygotsky menganjurkan untuk menghindari
bias dalam interaksi di kelas, sehingga tidak ada privilese bagi siswa yang berasal dari kultur
atau jabatan yang dominan. Semua siswa berhak memperoleh peluang dan perlakuan yang
sama dalam menyusun strategi kebijakan pendidikan (Saha, 2001: 405). Pendekatan ini juga
mengimplikasikan pada strategi pengelolaan kelas yang spesifik, yaitu:
1) Pembelajaran berorientasi pada siswa (student-oriented experiences and activities).
Pengelolaan kelas dilakukan dengan metode discovery learning, dimana siswa belajar untuk
menemukan hubungan antar materi/bahan ajaran dan ide-ide yang dikeluarkan oleh pendidik.
Siswa juga diharuskan belajar untuk memecahkan masalah, pendidik harus mampu
menumbuhkan rasa percaya diri siswa untuk mengeluarkan konsep-konsep dan gagasan,
namun tetap dalam nuansa akademis.
2) Pendekatan pembelajaran melalui cooperative learning, collaborative learning dan peer-
assisted learning.
Dalam pendekatan ini, Gadik dan siswa sama-sama mengorganisir kegiatan pembelajaran.
Siswa secara otonom kemudian melakukan kegiatan pembelajaran tanpa didampingi Gadik
(Gadik hanya mengawasi jalannya proses pembelajaran dengan terlebih dahulu melemparkan
bahan diskusi). Dalam kelompok yang terbentuk, sesama siswa harus saling memberikan
informasi dan gagasan/konsep sesuai bahan diskusi yang dikeluarkan oleh Gadik. Dengan
demikian akan terdapat saling interaksi positif antara Gadik dan siswa dalam satu hubungan
partnership yang baik. Interaksi dilakukan secara dialogis, mendengar dan memberikan
respon kepada siswa secara positif.
Analisis SWOT adalah proses analisis atau penilaian lingkungan organisasi yang meliputi
kondisi situasi, keadaan, peristiwa dan pengaruh-pengaruh di dalam dan di sekeliling
organisasi yang berdampak pada kehidupan organisasi (Salusu, 1996: 356 – 359). Tentang
Analisis SWOT ini dijelaskan sebagai berikut:
1) Lingkungan internal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi struktur organisasi (termasuk susunan dan
penempatan personelnya), sistem organisasi dalam mencapai efektivitas organisasi, SDM,
anggaran serta faktor-faktor lain yang menggambarkan dukungan terhadap proses
kinerja/misi organisasi yang sudah ada, maupun yang secara potensial dapat muncul di
lingkungan internal organisasi, seperti teknologi yang telah digunakan sampai saat ini.
Lingkungan internal meliputi:
a) Faktor Kekuatan (strenghts) adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif
yang memungkinkan organisasi memenuhi keuntungan strategik dalam mencapai visi dan
misi.
b) Faktor Kelemahan (weakness) adalah situasi dan ketidakmampuan internal yang
mengakibatkan organisasi tidak dapat atau gagal mencapai visi dan misi.
2) Lingkungan eksternal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi :
c) Faktor Peluang (opportunities) adalah situasi dan faktor-faktor luar organisasi yang bersifat
positif, yang membantu organisasi mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan
misi.
d) Faktor Ancaman/tantangan (threats) adalah faktor-faktor luar organisasi yang bersifat
negatif, yang dapat mengakibatkan organisasi gagal dalam mencapai visi dan misi.
Untuk mendukung para peserta didik dalam upayanya mencapai tujuan mereka, pemahaman
Gadik mengenai prinsip-prinsip pembelajaran merupakan sesuatu hal yang penting. Tanpa
dasar yang kuat mengenai prinsip pembelajaran dewasa, maka para Gadik sering melakukan
pendekatan yang hanya terfokus pada kebutuhan para peserta didik, bagaimana mereka
belajar, dan apa makna dari materi yang diberikan sebenarnya. Para Gadik yang profesional
dituntut untuk memiliki keterampilan mengelola prinsip pembelajaran tersebut agar materi
tidak sekedar diingat saja namun sudah bisa diaplikasikan bahkan bila perlu menciptakan
suatu inovasi dari konsep/teori yang telah diberikan.
Adapun keterampilan dasar yang dimiliki oleh Gadik dalam mengelola prinsip pembelajaran
pada kondisi saat ini adalah sebagai berikut:
a. Keterampilan dasar bertanya; Gadik terkadang memberikan pertanyaan yang tidak
memunculkan motivasi peserta didik untuk mendalami materi yang dibawa. Misalkan: Gadik
hanya bertanya mengenai kejelasan materi saja, tidak mensinkronkan materi dengan memberi
pertanyaan yang membutuhkan diskusi kelompok.
b. Keterampilan dasar memberikan penguatan; Gadik terkadang tidak menguasai referensi
lain selain yang dikuasainya. Sehingga terkesan memaksakan memberi definisi dari satu
literatur saja.
c. Keterampilan dasar variasi stimulus; Gadik terkadang kurang memberi rangsangan untuk
peserta didik menyukai materi yang dibawa, mungkin akibat materi yang tidak diberikan ice
breaking terlebih dahulu atau materi yang langsung pada intinya saja tidak diberikan
pendahuluan/pengantar.
d. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran; Gadik terkadang tidak menguasai
bagaimana membuka dan menutup pelajaran sehingga materi yang dibawakan terkesan
garing (tidak menarik).
e. Keterampilan dasar mengelola kelas; Gadik terkadang tidak bisa menjalankan perannya
sebagai fasilitator, malah kesan menjadi otoriter karena dianggap menguasai materi tanpa
memberikan kesempatan peserta didik untuk menyampaikan
pendapat/gagasan/ide/pertanyaan.
Paradigma Gadik dalam mendidik para peserta didik juga dapat dilihat dari alat
menyampaikan materi, aktivitas dan metodologi, motivasi dan perumusan tujuan, serta
pemberian evaluasi sebagai penilaian materi yang disampaikan kepada siswanya. Lebih lanjut
kondisi saat ini paradigma mendidik yang digunakan oleh Gadik seperti tercantum dibawah
ini:
d. Evaluasi
1) Gadik jarang membiasakan memberikan evaluasi sebelum pelajaran (pre-test), hanya
beberapa saja yang sudah melakukan itu. Penilaian biasanya dilakukan dalam bentuk ujian
sumatif (digunakan untuk menilai kinerja dan pencapaian siswa), sehingga terkadang apabila
diujikan membuat esai maka yang muncul adalah lomba mengarang bebas tanpa jelas
pemahamannya.
2) Gadik terlalu banyak memberi penugasan daripada memberi pemahaman. Penugasan yang
diberikan sifatnya individual, sehingga sedikit tercipta ruang untuk melakukan diskusi antar
teman atau dengan lingkungan sekitar.
3) Gadik kurang bisa menciptakan interaksi efektif dengan lingkungan sekitar.
4) Gadik kadang memberi evaluasi yang subyektif kepada beberapa siswa yang memiliki
hubungan emosional atau tercipta hubungan patron-klien, sehingga terkadang kualitas
individu dikesampingkan.
5) Gadik belum membuat analisis kebutuhan pendidikan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan perilaku (Knowledge, Understanding,
Skills, Attitude, and Behavior – KUSAB) siswanya serta tugas dan tanggungjawab utama
dalam peran yang dimiliki Gadik.
a. Kekuatan
1) Tersedianya piranti lunak berupa perundang-undangan beserta peraturan Polri yang
mengatur mengenai Polri dan pendidikan Polri, seperti: UU No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian RI, Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/28/XII/2005 tentang Sistem Pendidikan
Polri.
2) Polri telah mengambil langkah reformasi menuju lembaga kepolisian sipil, profesional dan
mandiri melalui pembenahan berkelanjutan pada reformasi struktural, instrumental, dan
kultural.
3) Reformasi struktural di bidang pendidikan adalah menjadikan lembaga pendidikan
semakin kaya fungsi (Perkap No. 21/2010 tentang OTK Mabes Polri), untuk mendukung
personel Polri yang ingin mengabdikan diri di bidang pendidikan dalam memperoleh
kesempatan berkarir.
4) Reformasi Instrumental berupa perubahan sistem dan metode yang meliputi piranti lunak,
fasilitas, anggaran, pelatihan, pembenahan SDM (sistem rekrutmen, seleksi dan pendidikan,
penilaian kinerja, pembinaan karir) yang diharapkan dapat menghasilkan postur Polri yang
profesional, patuh hukum, dan modern.
5) Reformasi kultural meletakkan landasan untuk membentuk SDM yang berorientasi strategi
untuk meletakkan dasar-dasar budaya Polri yang mahir, terpuji dan patuh hukum serta
berwibawa dan berkinerja secara profesional.
6) Lembaga pendidikan dijadikan sebagai centre of excellence, yaitu menjadi pusat unggulan,
pembinaan, dan think tank untuk membangun ataupun mengambil kebijakan yang bersifat
strategis.
b. Kelemahan
1) Masih adanya imej bahwa jabatan Gadik merupakan jabatan yang kurang populer
dibandingkan mereka yang berada di satuan kewilayahan.,
2) Kualifikasi Gadik yang belum memenuhi standar kompetensi mengajar (ikut AKTA, TOT,
atau Diklat).
3) Belum diperhatikannya pemberian reward bagi Gadik, seperti: renumerasi (tidak sama
dengan yang bekerja di fungsi operasional), kesempatan berkarir (mutasi/promosi), atau
kesempatan melanjutkan pendidikan pengembangan Polri (Selabrip/Setukpa, STIK-PTIK,
Selapa, Sespim, Sespati, atau Lemhanas).
4) Struktur Gadik ada yang tidak tercantum dalam organisasi Lemdikpol. Hal ini dapat
menimbulkan tendensi Gadik tidak memiliki sarana kontrol, selain itu pemanfaatan tenaga
mereka yang kurang optimal.
5) Kurang memadainya fasilitas belajar mengajar di lembaga pendidikan seperti: minimnya
laboratorium keilmuan, minimnya kelas, minimnya alat bantu penyampaian (proyektor, OHP,
komputer, dll), padahal lembaga pendidikan mempunyai misi menjadi police science centre
of excellence (pusat keunggulan ilmu kepolisian). Hal ini mempengaruhi kinerja
Dosen/Gadik dalam mengupayakan ”student centered” (partisipasi aktif siswa) pada setiap
proses belajar mengajarnya.
c. Peluang
d. Kendala
Untuk mendukung para peserta didik dalam upayanya mencapai tujuan mereka, pemahaman
Gadik mengenai prinsip-prinsip pembelajaran merupakan sesuatu hal yang penting. Tanpa
dasar yang kuat mengenai prinsip pembelajaran dewasa, maka para Gadik sering melakukan
pendekatan yang hanya terfokus pada kebutuhan para peserta didik, bagaimana mereka
belajar, dan apa makna dari materi yang diberikan sebenarnya. Para Gadik yang profesional
dituntut untuk memiliki keterampilan mengelola prinsip pembelajaran tersebut agar materi
tidak sekedar diingat saja namun sudah bisa diaplikasikan bahkan bila perlu menciptakan
suatu inovasi dari konsep/teori yang telah diberikan.
Adapun keterampilan dasar yang dimiliki oleh Gadik dalam mengelola prinsip pembelajaran
pada kondisi saat ini adalah sebagai berikut:
a. Keterampilan dasar bertanya; Gadik harus mampu memberikan pertanyaan yang
memunculkan motivasi peserta didik untuk mendalami materi yang dibawa.
b. Keterampilan dasar memberikan penguatan; Gadik menguasai beberapa referensi untuk
memberikan penguatan terhadap peserta didik yang masih dalam keraguan terhadap materi
yang dipelajari.
c. Keterampilan dasar variasi stimulus; Gadik harus mampu memberi rangsangan sehingga
peserta didik senang, tertarik untuk terlibat dalam mengembangkan pengetahuan yang
dipelajarinya.
d. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran; Gadik harus menguasai bagaimana
membuka dan menutup pelajaran sehingga materi yang dibawakan tidak terkesan garing
(tidak menarik), sehingga membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar.
e. Keterampilan dasar mengelola kelas; Gadik harus mampu menjalankan perannya sebagai
fasilitator. Memberikan penjelasan, penguatan, mendorong semangat, memuji, menghargai
pendapat, serta memberikan jawaban terhadap pertanyaan, membuat kesepakatan yang
demokratis, serta konsisten dalam mewujudkannya dalam setiap proses pembelajaran.
Untuk mendapatkan kualitas SDM Polri yang mampu menjelaskan secara ilmiah tugas pokok
kepolisian di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta mampu berpikir, bersikap dan bertindak secara
profesional di bidang kepolisian, maka peran Gadik diharapkan membangun pendekatan
pendidikan yang berorientasi pada siswa (student-oriented) antara lain:
a. Membantu mencapai pemahaman. Tidak hanya pada saat memberi materi di dalam kelas,
namun juga memanfaatkan ruang interaksi diluar kelas untuk membahas materi yang telah
disampaikan.
b. Merangsang siswa dengan mengecek pemahaman isi materi. Oleh sebab itu, Gadik
diharapkan menyusun silabus yang relevan antara teori dan kenyataan di lapangan, sehingga
tidak ada kesan bahwa beberapa materi hanya sekedar dimasukkan demi mengejar target
materi.
c. Mendukung siswa untuk pencarian pengetahuan/teori/konsep.
d. Melakukan bimbingan proses pembelajaran.
e. Melakukan persiapan materi dilakukan sebelumnya, lalu merespon kebutuhan pendidikan
dalam prosesnya.
f. Gadik harus membangun komunikasi yang interaktif (komunikasi dua arah) dan
mengandung percakapan. Tidak bosan-bosan untuk mengulangi materi yang sekiranya belum
dipahami oleh siswanya.
g. Gadik diharapkan menghargai siswa, apabila diberikan suatu pertanyaan, seorang Gadik
harus menghargai jawaban dari siswa meski jawaban itu kurang tepat.
h. Melakukan pendekatan konstruktivistik.
i. Berlaku sebagai ”pembimbing di sisi” (bertindak sebagai fasilitator, aktif, kreatif,
perbanyak interaksi).
Sebuah faktor penting dalam mempertimbangkan pendekatan apa yang akan digunakan
adalah pengertian antara para Gadik dalam memahami cara belajar siswanya. Pendekatan
berorientasi siswa dan efektifitasnya sangat dihargai oleh para Gadik yang melihat
pembelajaran tersebut dinilai sangat efektif dengan adanya interaksi, diskusi, pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, otonomi, dan kerjasama kelompok yang dilakukan oleh
para siswa. Pembelajaran yang berhasil merupakan hal-hal yang dilakukan siswa melalui
proses penyerapan informasi, pengetahuan dan prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Gadik.
Untuk melihat bagaimana paradigma dalam mendidik guna menghasilkan hasil didik yang
berkualitas dan siap pakai, McInerney dan McInerney (2002: 153) memandang Gadik dapat
menggunakan paradigma konstruktivistik dilihat dari cara menyampaikan materi, metodologi
yang digunakan, motivasi dan perumusan tujuan, dan cara evaluasi sebagai berikut:
d. Evaluasi
1) Evaluasi dilakukan sebelum dan sesudah memberikan pengajaran (membiasakan memulai
materi dengan pre-test dan mengakhiri dengan post-test untuk mengetahui tingkat
pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan).
2) Memberi penugasan yang mengarah kepada terciptanya diskusi antar teman, siswa dengan
Gadik, siswa dengan lingkungan pendidikan lainnya (masyarakat, senior, siswa perguruan
tinggi lain). Penugasan dalam bentuk mengetahui pemahaman mengenai materi yang telah
diberikan, bukan sekedar open-book examination.
3) Menciptakan interaksi efektif dengan lingkungan sekitar.
4) Memberikan evaluasi yang obyektif kepada mahasiswa yang aktif, dengan
mengesampingkan unsur-unsur subyektifitas tanpa memperhatikan kualitas.
5) Gadik membuat analisis kebutuhan pendidikan untuk mengetahui tingkat pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, sikap, dan perilaku (Knowledge, Understanding, Skills, Attitude,
and Behavior – KUSAB) siswanya serta tugas dan tanggungjawab utama dalam peran yang
dimiliki Gadik.
Untuk membantu siswa agar dapat memahami pelajaran yang disampaikan oleh Gadik, maka
ada baiknya seorang Gadik yang profesional menyiapkan perencanaan pelajaran terlebih
dahulu. Perencanaan pelajaran ini untuk membimbing dan memberikan struktur terhadap
input dari pendidikan itu sendiri, sehingga tidak melenceng jauh dari materi yang disesuaikan
dengan fenomena yang sekarang dan nantinya akan terjadi.
Rencana pelajaran tersebut disusun dalam bentuk matriks yang menguraikan sembilan
kegiatan instruksional. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur hirarki keterampilan
intelektual siswa berdasarkan tingkat kerumitannya: pengenalan materi, respon, prosedur,
penggunaan istilah, informasi, penerapan aturan dan pemecahan masalah (Gagne, 1962: 263
– 276). Kegiatan dalam perencanaan pelajaran meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. menarik perhatian siswa (reception/resepsi).
b. menyampaikan tujuan pelajaran kepada siswa (expectation/harapan).
c. merangsang ingatan pada pelajaran terdahulu/kemarin (retrieval/mendapatkan kembali).
d. menyajikan materi yang menarik (selective perception/persepsi selektif).
e. memberi bimbingan pada siswa (semantic encoding/penyandian semantik).
f. menggali penerapan (responding/merespon).
g. memberikan umpan balik/masukan kepada siswa (reinforcement/penguatan).
h. menilai penerapan materi (retrieval/pemulihan).
i. meningkatkan daya ingat dan transfer (generalization/generalisasi).
Untuk mendukung proses pembelajaran aktif, maka penggunaan alat bantu penyajian yang
mendukung dan mengembangkan pembelajaran juga harus dipertimbangkan, dipilih, dan
dipersiapkan dengan seksama. Semua hal tersebut harus sesuai dengan apa yang dipelajari
oleh siswa dan harus digunakan dengan baik dan sesuai dengan waktu pelajaran. Gadik harus
mengingat bahwa pembelajaran multi sensorik akan menghasilkan pembelajaran yang jauh
lebih baik dengan ketahanan lebih lama yang membawa siswa dalam pertimbangan fakta-
fakta generalisasi berikut ini:
• Indera penglihatan merupakan terpenting dari panca indera: 81%.
• Indera pendengaran adalah indera terpenting berikutnya: 11%.
• Indera yang lain (perasa, sentuhan, penciuman) adalah 8% sisanya.
Jika digunakan sendiri, ceramah/berbicara relatif tidak efektif jika digunakan sebagai metode
pendidikan, tetapi efektifitas pendidikan akan naik secara eksponsial jika dikombinasikan
dengan alat bantu pembelajaran lainnya. Hasilnya, peserta didik tidak hanya akan belajar
lebih banyak hal tetapi minat dan variasi juga akan bertambah. Alat bantu yang umum
digunakan diantaranya: flipchart, slide powerpoint, handout, artikel-artikel, buku, internet,
komputer, video/rekaman, dan mapping.
Setelah perencanaan pelajaran dan alat bantu penyampaian disiapkan, maka tahapan
selanjutnya yang terpenting dalam mengasah keterampilan Gadik adalah keterampilan
presentasi. Presentasi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gaya
pembelajaran dimana siswa adalah pendengar yang memiliki peran pasif dan Gadik yang
memberikan materi kepada mereka. Namun terkadang karena terlena dengan alat bantu
penyampaian, maka hal ini membuat siswa mudah bosan. Bisa dikarenakan penyampaiannya
monoton, datar, tidak humoris, terlalu banyak tulisan, dan lain-lain.
Beberapa hal yang penting dilakukan Gadik dalam melakukan presentasi adalah sebagai
berikut:
a. Penggunaan intonasi untuk menekankan pointer-pointer tertentu.
b. Tatap mata audience. Jangan menatap slide atau bidang diatas kepala audience (mati gaya
dengan powerpoint).
c. Bicara dengan wajar, berikan jeda bicara pada waktu yang tepat, jangan seperti kereta api
yang tidak pernah berhenti (berbicara terus).
d. Bersikap rileks dan jadi diri anda sendiri.
e. Perhatikan isyarat dari siswa jika mereka terlihat teralihkan perhatiannya, kemudian
pertimbangkan untuk membahasnya kembali agar mereka lebih memahami.
f. Tidak hanya diam di tempat, berkeliling merupakan hal yang wajar dilakukan oleh Gadik
dalam melakukan presentasi.
Dan beberapa hal berikut ini agar tidak dilakukan Gadik dalam memberikan presentasi, yaitu:
a. Mengabaikan kebutuhan peserta didik.
b. Bersikap dingin atau acuh tak acuh terhadap perhatian siswa.
c. Bergeser dari satu sisi ke sisi yang lain.
d. Terus menerus berjalan atau kadang cuma diam saja di kursi sambil berbicara.
e. Bersembunyi di balik podium.
f. Slide penuh dengan tulisan, gambar, efek animasi, bulkonah yang terlalu banyak, kata-kata
asing yang banyak, dan lain-lain.
Dari penyampaian Gadik mengenai materi pelajaran yang terstruktur dan menarik,
diharapkan siswa mampu mengaplikasikan penggunaan informasi yang dipelajari dari suatu
materi untuk membantu pemecahan masalah yang muncul dalam suatu fenomena yang
dihadapi. Dengan mengaplikasikan, akhirnya siswa dapat menganalisis bagaimana fenomena
tersebut diidentifikasikan, dipisahkan, dan dibeda-bedakan dalam suatu fakta, konsep,
pendapat, asumsi, hipotesa atau menyimpulkan, serta melihat setiap komponen tersebut
terlihat kontradiktif atau tidak. Dengan begitu siswa dapat melakukan evaluasi berdasarkan
penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda dengan
menggunakan kriteria tertentu. Yang diharapkan tercipta suatu gagasan, ide, konsep, teori,
penerapan yang baru dan tentunya berguna bagi perkembangan ilmu kepolisian.
BAB VII.PENUTUP
19. Kesimpulan
a. Gadik merupakan salah satu komponen penting di sebuah lembaga pendidikan. Oleh sebab
itu, peningkatan profesionalisme Gadik merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting
sebagai upaya Polri untuk menghasilkan hasil didik yang berkualitas dan siap pakai.
b. Profesionalisme Gadik dalam menghasilkan hasil didik yang siap pakai dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Secara internal dan menjadi kekuatan yaitu: adanya piranti lunak berupa
Perundang-undangan yang mengatur sistem pendidikan nasional dan Polri. Adanya komitmen
dari Pimpinan Polri untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai wadah pembentukan
pribadi dan sosok Polri yang lebih mengedepankan sebagai pelayan masyarakat. Reformasi di
bidang struktural, instrumental dan kultural pada lembaga pendidikan menjadi acuan Gadik
untuk terus meningkatkan profesionalismenya agar menghasilkan hasil didik yang
berkualitas.
Adapun kelemahan yang dirasakan antara lain terkait pada kurang populernya jabatan Gadik,
belum adanya kualifikasi Gadik, kurang diperhatikannya reward bagi Gadik, tidak adanya
wadah pembinaan Gadik, dan minimnya fasilitas belajar mengajar.
Faktor eksternal yang menjadi peluang antara lain: dukungan anggaran dari pemerintah
sebesar 20% untuk pendidikan, terbukanya peluang untuk belajar di dalam dan luar negeri,
serta partisipasi masyarakat dan LSM. Adapun kendala yang dirasakan antara lain: kualitas
personel Polri yang bermasalah di lapangan, kultur masyarakat patron-klien, dan lulusan yang
”tidak bunyi” ketika berhadapan dengan masyarakat.
c. Kendala personel Polri yang dirasakan kurang berkualitas dan sering bermasalah,
diakibatkan kurang berkembangnya pola pikir siswa selama duduk di bangku pendidikan.
Fokus pembelajaran yang berorientasi guru (teacher-oriented) dan metodenya yang
menjadikan siswa cenderung pasif, membuat siswa hanya duduk, mencatat, mengingat materi
yang disampaikan oleh Gadik dan bertanya seperlunya tanpa memahami materi yang
disampaikan. Hal seperti ini dapat membuat siswa tidak bisa mengembangkan struktur
kognitifnya yang kompleks, kurang bisa mengembangkan skema-skema berpikir, terutama
dalam menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk meraih kemajuan, dan pada
akhirnya kurang bisa mengkonstruk pemahaman serta mengalami kesulitan untuk
mengaplikasikan teori/konsep dengan fungsi teknis kepolisian.
d. Alternatif paradigma dalam mengajar yang diharapkan dapat merubah pola pikir siswa
menjadi lebih inovatif dan kreatif adalah melalui paradigma konstruktivistik. Dalam
paradigma ini, selain penggunaan alat menyampaikan materi, aktivitas dan metodologi yang
digunakan, motivasi dan perumusan tujuan, serta pemberian evaluasi, Gadik juga dituntut
untuk memahami kecerdasan majemuk siswanya serta mengasah kemampuan mendidiknya,
dimana kesemuanya untuk membuat siswa mengkonstruk makna tentang pemahaman berupa
konsep dan prinsip-prinsip dalam skema mental siswa agar siap di lapangan kelak.
20. Rekomendasi
DAFTAR ACUAN
Buku:
Makalah/Bahan Sarasehan:
Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan
Masyarakat. Makalah Sarasehan, tanpa tahun.
Chrysnanda DL. (Juni 2008). Ilmu Kepolisian dan Penyelenggaraan Tugas Polri. Majalah
Jagratara edisi XXXVII.
Litbang Kompas. (1 Juli 2010). Polri, Becerminlah dari Keberhasilan. Harian Kompas.
Undang-Undang/Peraturan:
Web:
Elfis. (2010, 22 Januari). Teori Konstruktivisme Vygotsky. http://ahmadsyahbio. blogspot.com
DISCLAIMER
Terima kasih anda telah mengunjungi blog ini. Blog ini seluruhnya merupakan opini pribadi,
bukan mewakili institusi. Merupakan suatu anugerah yang luar biasa apabila pemikiran
dalam blog ini dapat bermanfaat bagi perkembangan kepolisian di tanah air.
Bagaimana pendapat anda tentang artikel pada blog ini?
Cari Blog Ini
Memuat...
RSS Feed
Subscribe in a reader
Pengikut