Anda di halaman 1dari 21

arriwp97-Police Hazard

Perubahan merupakan hukum kehidupan. Dan siapa yang hanya melihat masa lalu dan hari
ini, pastilah ia akan kehilangan masa depannya (John F. Kennedy)
Kamis, 19 Januari 2012
OPTIMALISASI KEMAMPUAN GADIK GUNA MENGHASILKAN HASIL
DIDIK YANG SIAP PAKAI DALAM RANGKA TERWUJUDNYA POLRI
YANG PROFESIONAL

BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Harus diakui bahwa saat ini citra Polri tengah terpuruk. Berbagai kasus yang mendapat
perhatian publik seolah silih berganti menerpa Polri, mulai dari indikasi rekening gendut
perwira Polri, kriminalisasi pimpinan KPK, kasus mafia pajak Gayus Tambunan, penegakan
hukum yang tidak pro rakyat (kasus curi kakao nenek Minah, kasus laka lantas Lanjar, kasus
curi semangka Basar dan Kholil, kasus sandal jepit Briptu), amuk massa Cikeusik Banten,
Bima, Mesuji, atau konflik sosial Temanggung, membuat keberhasilan Polri dalam
mengungkap kasus kejahatan besar seakan tergerus.
Berbagai kasus yang mendapat perhatian publik ini, belum ditambah dengan perilaku oknum
personel Polri yang melakukan penyimpangan di lapangan seperti pungli di jalan, pemerasan
tersangka kasus kejahatan, manipulasi kasus, jual beli jabatan, dan lain-lain. Perilaku aparat
kepolisian yang tidak profesional ini pada akhirnya menambah rusak citra Polri yang tengah
dibangun, sehingga muncul stigma bahwa berurusan dengan polisi justru hanya menambah
masalah, apakah itu perkara yang ujung-ujungnya berurusan dengan uang atau proses yang
sengaja dibelit-belitkan.
Citra positif Polri yang naik 57,1% pada tahun 2009 kemudian menurun pada tahun 2010
sebanyak 49,1%. Masyarakat masih menganggap Polri belum independen dalam setiap proses
penyelesaian hukum, dimana pemilik modal semacam pengusaha atau pemilik kuasa
semacam pejabat negara menjadi pihak yang lebih ditakuti polisi dan acap kali
di-”negosiasi”-kan penyelesaian kasusnya, daripada yang berpihak pada rakyat kecil.
Meskipun diakui bahwa untuk masalah penanganan terorisme, masyarakat menyatakan
kepuasannya, namun untuk penanganan kasus lain seperti korupsi/KKN, pelanggaran HAM
oleh aparat, kriminalitas konvensional, pornografi, dan lain-lain belum memuaskan
masyarakat (Litbang Kompas, 2010).
Ketidakprofesionalan polisi ini membuat penegakan hukum dan pemeliharaan kamtibmas
tidak berjalan sesuai dengan harapan masyarakat. Ini dikarenakan hanya sebagian kecil saja
anggota Polri yang mampu berpikir dan bertindak profesional (Rahardi, 2007: 206). Untuk
menjadi polisi yang profesional, maka Polri harus melakukan reformasi yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat. Perkembangan pada kedua
bidang ini dipakai untuk menentukan standar pekerjaan polisi. Polisi juga harus dilepaskan
dari hal-hal yang berbau politis dan pekerjaan tidak boleh dilaksanakan secara amatir
(Rahardjo, 2002: 125). Wujud profesionalisme tersebut meliputi: pertama, memiliki
keterampilan khusus kepolisian, kedua, memiliki komitmen pada pekerjaannya, dan ketiga,
polisi membutuhkan independensi pekerjaan.
Oleh sebab itu, perubahan perilaku polisi atau reformasi kultural di kepolisian menjadi aspek
terpenting dalam pembenahan diri Polri, karena aparat kepolisian berhadapan langsung
dengan masyarakat. Interaksi sosial antara polisi dan masyarakat apabila tidak diimbangi
dengan profesionalisme tugas, akan membuat citra Polri semakin terbenam. Salah satu faktor
yang menentukan proses pembentukan profesionalisme Polri adalah melalui pendidikan
polisi.
Polri menyadari bahwa pendidikan merupakan sarana strategis untuk menyiapkan SDM yang
berkualitas dan siap pakai guna menghadapi tugas-tugas kepolisian yang sarat muatan
perubahan. Menurut Meliala (2005: 28), terdapat dua hal yang menjadi prioritas perubahan
dalam melaksanakan reformasi Polri yaitu aspek pendidikan dan aspek pelayanan
masyarakat.
Hal ini tentunya sejalan dengan salah satu arah kebijakan Kapolri lewat 10 Program Prioritas
Revitalisasi Polri yaitu untuk sesegera mungkin melakukan percepatan perubahan budaya
melalui perubahan pola pikir (mindset) personel Polri yang nantinya berjalan selaras dengan
meningkatnya budaya etos kerja (culture set) polisi terhadap pemeliharaan kamtibmas dan
penegakan hukum. Perubahan mindset dan culture set ini seyogyanya menjadi bagian integral
dari sistem pendidikan Polri untuk menghasilkan pribadi dan sosok personel Polri yang lebih
berperan sebagai pelayan masyarakat daripada menjadi sosok polisi yang feodal (meminta
untuk dilayani).
Oleh sebab itu, lembaga pendidikan Polri berperan penting untuk menghasilkan polisi yang
berkualitas dan memiliki keunggulan kompetitif, berwawasan ilmiah, bermoral serta mampu
mengembangkan dan menerapkan ilmu dan teknologi kepolisian dalam pelaksanaan tugas di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat.
Dalam konteks inilah terlihat betapa penting dan strategisnya peran lembaga pendidikan
sebagai garda depan Polri untuk menghasilkan lulusan yang mampu memasuki abad ilmu
pengetahuan (knowledge society), dimana ilmu pengetahuan menjadi instrumen penting
dalam dinamika masyarakat. Ilmu pengetahuan harus menjadi landasan dalam melaksanakan
pemolisian sehingga dapat menyesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaan serta
lingkungan yang dihadapinya (Chrysnanda, 2008: 25).
Menghadapi dinamika perubahan masyarakat ini, para peserta didik dituntut untuk
memahami perubahan yang ada, memiliki kapabilitas, kreatif, serta mampu
mentransformasikan konsep dan teori yang didapat di bangku kuliah guna mengantisipasi dan
merespon munculnya berbagai isu perubahan masyarakat tersebut. Untuk memenuhi harapan
masyarakat akan adanya sosok polisi yang transformasional, maka diharapkan hasil didiknya
harus mampu mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu dalam
pembelajarannya untuk merubah pola pikir dan budaya kerjanya. Peserta didik juga harus
mampu mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks, mengembangkan skema-
skema berpikir, terutama menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk meraih
kemajuan, dan apabila perlu menciptakan suatu inovasi baru yang berguna bagi kepolisian.
Untuk mengembangkan pola pikir tersebut, dibutuhkan peran Tenaga Pendidik (selanjutnya
disebut Gadik) yang tidak saja bertindak sekedar sebagai guru namun lebih banyak kepada
fasilitator. Gadik didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman siswa
yang telah dimiliki dan dibawa dalam perspektif pembelajaran orang dewasa serta
menghargai munculnya pertanyaan dan ide-ide siswa. Gadik juga didorong untuk
memberikan pengalaman dan bukan sekedar pengetahuan, sehingga siswa diharapkan
memperoleh bekal berharga untuk menghadapi kenyataan di lapangan ketika mereka
mengabdi kelak.
Melalui perspektif tersebut, diharapkan pendidikan bukan merupakan bagian dari pemaksaan,
penanaman doktrin atau sesuatu dan demi kepentingan kelompok tertentu yang mematikan
sikap kritis dan proses pembodohan. Justru pada pendidikan inilah kesadaran dibangkitkan,
kritis dan bertanggungjawab, menemukan solusi yang nantinya dapat bermanfaat bagi
kesejahteraan dan peningkatan kualitas hidup manusia (Chrysnanda, 2008: 27). Dengan
strategi yang didasari oleh kesadaran seperti ini, maka Polri mengharapkan munculnya SDM
berkualitas dan siap pakai yang dihasilkan dari lembaga pendidikan, yang tidak saja berguna
bagi zaman dan masyarakatnya, melainkan juga menjadi fasilitator dan inovator dalam
kehidupan masyarakatnya.

2. Permasalahan

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka permasalahan yang dapat ditarik adalah
”Bagaimana meningkatkan profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil didik yang siap
pakai dalam rangka terwujudnya Polri yang profesional?”

3. Pokok-pokok Persoalan

Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka pokok-pokok persoalan yang penulis uraikan
dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana peran Gadik saat ini?
b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi profesionalisme Gadik?
c. Bagaimana peran Gadik yang diharapkan?
d. Bagaimana upaya meningkatkan profesionalisme Gadik untuk menghasilkan hasil didik
yang siap pakai?

4. Ruang Lingkup

Pada tulisan ini, penulis membatasi pembahasan dalam ruang lingkup sebagai berikut:
a. Peran Gadik dalam proses pembelajaran di lembaga pendidikan Polri.
b. Kondisi Gadik di lembaga pendidikan Polri meliputi peluang dan kendala yang dihadapi
Gadik tersebut, serta upaya peningkatan profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil
didik yang siap pakai.

5. Maksud dan Tujuan

a. Maksud

Penulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran kepada institusi Polri tentang
pentingnya meningkatkan profesionalisme Gadik dalam lembaga pendidikan Polri guna
mendukung perubahan mindset dan culture set personel Polri agar dapat dihasilkan lulusan
yang siap pakai sebagai langkah menuju revitalisasi Polri, ditengah sorotan tajam masyarakat
terhadap perilaku organisasional Polri pada berbagai issue penegakan hukum dan
pemeliharaan kamtibmas di Indonesia.

b. Tujuan
Sebagai upaya untuk memberikan sumbangsih pemikiran kepada kepada lembaga dan
pimpinan Polri tentang bagaimana pentingnya peningkatan profesionalisme Gadik melalui
metode pembelajaran siswa aktif dan paradigma konstruktivistik guna menghasilkan lulusan
yang siap pakai dalam rangka terwujudnya Polri yang profesional.

6. Metode dan Pendekata

a. Metode

Penulisan ini menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu dengan menggambarkan fakta-
fakta yang terjadi dan fenomena yang berkembang terkait dengan permasalahan peningkatan
profesionalisme Gadik guna menghasilkan hasil didik yang siap pakai dalam rangka
terwujudnya Polri yang profesional.

b. Pendekatan
Adapun pendekatan yang digunakan adalah studi faktual (empiris) dan kepustakaan serta
ditinjau secara komprehensif yakni meneliti dan menganalisis fakta-fakta yang ditemukan
secara menyeluruh dari aspek pembelajaran dewasa dan pendidikan yang berorientasi pada
peserta didik.

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

7. Kajian Konseptual

a. Konsep Pendidikan

Pendidikan menurut pasal 1 angka 1 UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (selanjutnya disebut UU Sisdiknas) adalah ”usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.
Untuk menguatkan arti harfiah pendidikan berdasarkan regulasi, seorang ahli pedagogik asal
Belanda, Langeveld mengemukakan pendidikan merupakan proses bimbingan yang diberikan
oleh orang dewasa, kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Disini
jelas bahwa tujuan pendidikan adalah kedewasaan (Kadarmanta, 2008: 43). Beberapa
konsepsi dasar mengenai pendidikan yaitu:
1) Bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup (long life education). Pendidikan sudah
dimulai sejak lahir sampai meninggal, sepanjang ia mampu untuk menerima pengaruh dan
dapat mengembangkan kemampuan dirinya.
2) Tanggungjawab pendidikan adalah tanggungjawab bersama. Bahwa pendidikan
merupakan tanggungjawab keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Tidak ada yang bisa
memonopoli pendidikan, agar pendidikan tersebut dapat mencapai tujuan yang telah
ditentukan.
3) Pendidikan itu merupakan suatu keharusan. Karena manusia memiliki kemampuan dan
kepribadian untuk berkembang.
Pendidikan pada hakikatnya mencakup kegiatan mendidik, mengajar, dan melatih. Kegiatan
tersebut dilaksanakan sebagai suatu upaya untuk mentransformasi nilai-nilai. Nilai-nilai yang
ditransformasikan tersebut dalam rangka mempertahankan, mengembangkan, bahkan kalau
perlu merubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat atau organisasi.
Dalam upayanya mentransformasi nilai-nilai, seorang pendidik memerlukan ilmu mendidik
yang diselaraskan antara teori dan praktik. Gunning berkata bahwa ”teori tanpa praktik
adalah baik pada kaum cerdik cendikia dan praktik tanpa teori hanya terdapat pada orang-
orang gila dan penjahat-penjahat”. Oleh sebab itu pendidik menggunakan teori dan praktik
secara bersamaan (Salam, 2002: 22).
Pendidikan yang baik dapat menghasilkan sumberdaya manusia yang handal, mumpuni,
cerdas, bijaksana, dan penuh kepekaan serta peduli terhadap berbagai masalah kemanusiaan.
Seperti yang disampaikan oleh Romo Mangun Wijaya bahwa ”pada pendidikan bergantung
masa depan bangsa”. Tanpa pendidikan yang baik, mustahil suatu bangsa dapat hidup,
tumbuh dan berkembang (Chrysnanda, 2010: 76).

b. Konsep Gadik

Gadik dalam komponen UU Sisdiknas pasal 1 angka 6 memiliki pengertian tenaga


profesional yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pengampu belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhasannya
serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar.
Sebagai seorang yang mempunyai profesi sebagai pendidik, maka dibutuhkan personel yang
memiliki suatu keahlian khusus dalam melakukan transfer ilmu kepada anak didik. Gadik
harus mampu mendukung proses pendidikan yang berbasis kompetensi, dimana dalam proses
belajar mengajar memakai teknik serta prosedur yang bertumpu pada landasan intelektual,
yang sebelumnya dipelajari dan kemudian dipraktikkan kepada peserta didik.
Di lingkungan Polri, selain sebagai profesi polisi maupun PNS Polri, maka personel Polri
yang ditugaskan sebagai Gadik memiliki profesi sebagai polisi/PNS Polri dan sekaligus
profesi Gadik/guru atau dosen, dan kepadanya melekat semua hak dan kewajiban yang
berlaku di lingkungan Polri, termasuk kode etik profesi.

c. Konsep Profesionalisme Polisi

Profesi polisi merupakan profesi yang mulia, sebagaimana profesi lain yang memberikan jasa
berupa pelayanan kepada masyarakat terutama pada bidang pemeliharaan kamtibmas dan
penegakan hukum. Profesi disini memiliki pengertian suatu jenis pekerjaan atau rangkaian
kegiatan yang berpola, yang dilakukan dengan tingkat keahlian tinggi, yang menghasilkan
uang, jasa, dan produk tertentu (Sunarno, 2010 : 19).
Sebagai seorang yang memiliki profesi, polisi harus memiliki landasan dalam berpikir
berdasarkan pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan keahlian yang mumpuni serta
mempunyai kode etik profesi yang menjadi pedoman dalam bekerja yang harus dipatuhi
dengan tulis ikhlas. Sikap seperti ini dinamakan sikap yang profesional. Jadi polisi yang
profesional harus mengetahui kewajibannya, jujur dalam bertindak, serta menjunjung tinggi
hak asasi manusia.
Jadi profesionalisme memiliki definisi yaitu perilaku yang menjadi ciri profesi yang
berkualitas melalui cerminan sikap, pola pikir, tindakan, dan corak pemolisiannya yang
dilandasi pada ilmu kepolisian, yang sepenuhnya diabdikan bagi kepentingan masyarakat
demi terpeliharanya kamtibmas dan tegaknya supremasi hukum (Sunarno, 2010 : 20).
Oleh sebab itu, ukuran profesionalisme yang hendak diraih institusi Polri agar memenuhi
kriteria profesionalisme sebagaimana tersebut dibawah ini:
1) Keterampilan yang diatur berdasarkan atas pengetahuan teoretis.
2) Memperoleh pendidikan tinggi dan latihan kemampuan yang diakui oleh rekan sejawatnya.
3) Adanya organisasi profesi yang menjamin berlangsungnya budaya profesi melalui
persyaratan untuk memasuki organisasi tersebut (ketaatan pada Kode Etik Profesi).
4) Adanya nilai khusus yang harus diabdikan pada kemanusiaan.
Jadi seorang yang profesional hidup dari profesinya dan secara terus menerus berupaya
meningkatkan kemampuan disiplin ilmunya sendiri. Berangkat dari definisi tersebut maka
tampak jelas bahwa para Gadik dapat disebut sebagai profesional (Rahardi, 2007: 219).

8. Kajian Teoretis

a. Teori Konstruktivistik

Paradigma konstruktivistik berakar dari filsafat humanisme dan fenomenologi. Paradigma ini
dikembangkan oleh Chomsky dalam linguistik, Simon dalam computer scientist, dan Bruner
dalam pengetahuan kognitif dan belakangan beralih ke pendekatan sosial budaya (Maliki,
2010: 25).
Dalam konstruktivistik dikembangkan pembelajaran dengan berbasis kepada ”pemahaman
siswa” (student-oriented). Peran pendidik disini selain sebagai fasilitator dan narasumber,
juga harus memahami faktor-faktor instrinsik dari diri siswa. Oleh sebab itu,
mengembangkan pembelajaran aktif yang menarik dan kondusif menjadi fokus utama dari
peran pendidik dalam menerapkan perspektif konstruktivistik.
Paradigma konstruktivistik mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu
dalam proses belajar. Siswa belajar mengembangkan struktur kognitifnya yang kompleks,
mengembangkan skema-skema berfikir (representasi dari proses internalisasi suatu struktur
kategorisasi tertentu; Bootze, dkk, 1986) dengan menggunakan teknologi informasi dan
pengetahuan baru yang up-to date bagi pengembangan keilmuannya untuk mengkonstruk
pemahaman dan pengetahuan baru (the new understanding and knowledge) (Semiawan,
2008: 21).
Paradigma konstruktivistik menekankan pada pemahaman (understanding) dan menghapus
misunderstanding, serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki
siswa. Proses belajarnya dimulai dengan pemikiran deduktif dan digabungkan dengan
pemikiran induktif. Gadik disini didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan
pengalaman siswa yang dimiliki dan dibawa dalam proses pembelajaran, bukan melulu
mencekoki siswa dengan materi serta pengalamannya saja yang belum tentu sesuai dengan
perkembangan teknologi dan jaman saat ini. Oleh sebab itu, pendidikan merupakan proses
transfer of knowledge sekaligus experiences (Maliki, 2010: 27).
Dalam mengembangkan kerangka pemikiran konstruktivistik ini, penulis menggunakan teori
konstruktivisme sosial Vygotsky (1978). Lokus dan fokus pengetahuan menurut Vygotsky
terletak pada interaksi sosial, dimana interaksi sosial inilah yang nantinya akan membentuk
perkembangan kognisi siswa. Perspektif konstruktivisme Vygotsky menganjurkan
penggunaan secara kreatif strategi pembelajaran kooperatif (cooperative learning) atau
colaborative learning, seperti penggunaan strategy pare and share, peer grouping, dan
berbagai bentuk pembelajaran kelompok lainnya (Krause, 2007: 183; Elfis, 2010).
Dalam menyusun strategi pendidikan, perspektif Vygotsky menganjurkan untuk menghindari
bias dalam interaksi di kelas, sehingga tidak ada privilese bagi siswa yang berasal dari kultur
atau jabatan yang dominan. Semua siswa berhak memperoleh peluang dan perlakuan yang
sama dalam menyusun strategi kebijakan pendidikan (Saha, 2001: 405). Pendekatan ini juga
mengimplikasikan pada strategi pengelolaan kelas yang spesifik, yaitu:
1) Pembelajaran berorientasi pada siswa (student-oriented experiences and activities).
Pengelolaan kelas dilakukan dengan metode discovery learning, dimana siswa belajar untuk
menemukan hubungan antar materi/bahan ajaran dan ide-ide yang dikeluarkan oleh pendidik.
Siswa juga diharuskan belajar untuk memecahkan masalah, pendidik harus mampu
menumbuhkan rasa percaya diri siswa untuk mengeluarkan konsep-konsep dan gagasan,
namun tetap dalam nuansa akademis.
2) Pendekatan pembelajaran melalui cooperative learning, collaborative learning dan peer-
assisted learning.
Dalam pendekatan ini, Gadik dan siswa sama-sama mengorganisir kegiatan pembelajaran.
Siswa secara otonom kemudian melakukan kegiatan pembelajaran tanpa didampingi Gadik
(Gadik hanya mengawasi jalannya proses pembelajaran dengan terlebih dahulu melemparkan
bahan diskusi). Dalam kelompok yang terbentuk, sesama siswa harus saling memberikan
informasi dan gagasan/konsep sesuai bahan diskusi yang dikeluarkan oleh Gadik. Dengan
demikian akan terdapat saling interaksi positif antara Gadik dan siswa dalam satu hubungan
partnership yang baik. Interaksi dilakukan secara dialogis, mendengar dan memberikan
respon kepada siswa secara positif.

b. Teori Taksonomi Bloom

Dalam proses pembelajaran, setiap individu mengalami perubahan. Perkembangan


pengetahuan merupakan perubahan nyata manusia sebagai hasil pembelajaran. Pada tahun
1956, Benjamin Bloom menciptakan suatu taksonomi. Taksonomi Bloom adalah sebuah
metode dan perangkat kerja yang mengukur nilai-nilai kompleksitas organisasional yang
rendah ke nilai-nilai organisasional yang lebih tinggi (Hidayat, 2007: 265).
Bloom membagi tujuan pembelajaran ke dalam tiga domain (ranah, kawasan) berdasarkan
hirarkinya (Kadarmanta, 2008: 86). Ketiga domain tujuan pembelajaran yaitu:
1) Cognitive Domain (Ranah Kognitif), berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek
intelektual, seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir.
2) Affective Domain (Ranah Afektif), berisi perilaku-perilaku yang menekankan pada aspek
perasaan dan emosi, seperti minat, sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
3) Psychomotor Domain (Ranah Psikomotor), berisi perilaku-perilaku yang menekankan
pada aspek keterampilan motorik, seperti tulisan tangan, mengetik, dan mengoperasikan
mesin.
Menurut Bloom, pada aspek kognitif terdapat enam tingkatan pembelajaran, yaitu:
1) Mengetahui. Berisikan kemampuan untuk mengenali dan mengingat informasi yang
diterima sebelumnya. Misalnya: terminologi, rumus, strategi, gagasan, metodologi, dan lain-
lain.
2) Memahami. Berisi kemampuan untuk membaca dan menjelaskan pengetahuan, informasi
yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Misalnya: mengerti apa yang tergambar dalam
fish bone diagram, pareto chart, dan lain-lain.
3) Menerapkan. Berisi kemampuan untuk menerapkan gagasan, prosedur, rumus, teori yang
telah dipelajari ke dalam situasi yang baru, serta memecahkan berbagai masalah yang muncul
dalam kehidupan sehari-hari.
4) Menganalisis. Berisi kemampuan untuk mengidentifikasi, memisahkan, dan
menstrukturkan informasi ke dalam bagian yang kecil untuk mengenali pola atau
hubungannya, serta melihat setiap komponen tersebut untuk melihat ada tidaknya kontradiksi.
5) Mengevaluasi. Berisi kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap solusi, gagasan,
metodologi, dan sebagainya dengan menggunakan kriteria yang cocok atau standar yang ada
untuk memastikan nilai efektivitas atau manfaatnya.
6) Menciptakan. Berisi kemampuan untuk mengkaitkan dan menyatukan berbagai elemen
dan unsur pengetahuan yang ada sehingga menghasilkan pola, gagasan, atau ide yang baru
yang lebih menyeluruh.
Lalu untuk ranah afektif, Gadik diharuskan mengetahui karakteristik siswanya sebelum
memulai pembelajaran. Proses mengetahui karakter siswa dapat dilakukan pada saat proses
belajar berlangsung, di luar kegiatan belajar mengajar, dan di luar lingkungan lembaga
pendidikan (Chatib, 2009:174).
Dan terakhir, pada ranah psikomotor adalah ranah yang berorientasi pada keterampilan
motorik yang berhubungan dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi
antara syaraf dan otot. Misalnya: keterampilan olah TKP, bongkar pasang senjata,
kecermatan dalam uji balistiik, dan lain-lain (Kadarmanta, 2008: 90).
Kegunaan dari taksonomi diatas adalah: Pertama, sebagai contoh/template untuk
mengevaluasi validitas dan cakupan sebuah pendidikan, kurikulum atau program pelatihan
dan pengembangan untuk sebuah organisasi besar. Taksonomi ini merupakan saran yang baik
untuk mengukur dan memastikan elemen-elemen pendidikan dan keterampilan berpikir yang
diperlukan oleh siswa untuk berkembang telah disesuaikan secara konstruktif. Kedua,
digunakan untuk merancang dan mengembangkan pendidikan dimana persyaratan-
persyaratan tujuan pembelajaran mengindikasikan kompleksitas dan keterampilan berpikir
yang perlu dikembangkan oleh para siswa.

c. Teori Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah proses analisis atau penilaian lingkungan organisasi yang meliputi
kondisi situasi, keadaan, peristiwa dan pengaruh-pengaruh di dalam dan di sekeliling
organisasi yang berdampak pada kehidupan organisasi (Salusu, 1996: 356 – 359). Tentang
Analisis SWOT ini dijelaskan sebagai berikut:
1) Lingkungan internal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi struktur organisasi (termasuk susunan dan
penempatan personelnya), sistem organisasi dalam mencapai efektivitas organisasi, SDM,
anggaran serta faktor-faktor lain yang menggambarkan dukungan terhadap proses
kinerja/misi organisasi yang sudah ada, maupun yang secara potensial dapat muncul di
lingkungan internal organisasi, seperti teknologi yang telah digunakan sampai saat ini.
Lingkungan internal meliputi:
a) Faktor Kekuatan (strenghts) adalah situasi dan kemampuan internal yang bersifat positif
yang memungkinkan organisasi memenuhi keuntungan strategik dalam mencapai visi dan
misi.
b) Faktor Kelemahan (weakness) adalah situasi dan ketidakmampuan internal yang
mengakibatkan organisasi tidak dapat atau gagal mencapai visi dan misi.
2) Lingkungan eksternal
Analisis lingkungan internal organisasi ini meliputi :
c) Faktor Peluang (opportunities) adalah situasi dan faktor-faktor luar organisasi yang bersifat
positif, yang membantu organisasi mencapai atau mampu melampaui pencapaian visi dan
misi.
d) Faktor Ancaman/tantangan (threats) adalah faktor-faktor luar organisasi yang bersifat
negatif, yang dapat mengakibatkan organisasi gagal dalam mencapai visi dan misi.

BAB III.PERAN GADIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN SAAT INI

9. Keterampilan Dasar Gadik

Untuk mendukung para peserta didik dalam upayanya mencapai tujuan mereka, pemahaman
Gadik mengenai prinsip-prinsip pembelajaran merupakan sesuatu hal yang penting. Tanpa
dasar yang kuat mengenai prinsip pembelajaran dewasa, maka para Gadik sering melakukan
pendekatan yang hanya terfokus pada kebutuhan para peserta didik, bagaimana mereka
belajar, dan apa makna dari materi yang diberikan sebenarnya. Para Gadik yang profesional
dituntut untuk memiliki keterampilan mengelola prinsip pembelajaran tersebut agar materi
tidak sekedar diingat saja namun sudah bisa diaplikasikan bahkan bila perlu menciptakan
suatu inovasi dari konsep/teori yang telah diberikan.
Adapun keterampilan dasar yang dimiliki oleh Gadik dalam mengelola prinsip pembelajaran
pada kondisi saat ini adalah sebagai berikut:
a. Keterampilan dasar bertanya; Gadik terkadang memberikan pertanyaan yang tidak
memunculkan motivasi peserta didik untuk mendalami materi yang dibawa. Misalkan: Gadik
hanya bertanya mengenai kejelasan materi saja, tidak mensinkronkan materi dengan memberi
pertanyaan yang membutuhkan diskusi kelompok.
b. Keterampilan dasar memberikan penguatan; Gadik terkadang tidak menguasai referensi
lain selain yang dikuasainya. Sehingga terkesan memaksakan memberi definisi dari satu
literatur saja.
c. Keterampilan dasar variasi stimulus; Gadik terkadang kurang memberi rangsangan untuk
peserta didik menyukai materi yang dibawa, mungkin akibat materi yang tidak diberikan ice
breaking terlebih dahulu atau materi yang langsung pada intinya saja tidak diberikan
pendahuluan/pengantar.
d. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran; Gadik terkadang tidak menguasai
bagaimana membuka dan menutup pelajaran sehingga materi yang dibawakan terkesan
garing (tidak menarik).
e. Keterampilan dasar mengelola kelas; Gadik terkadang tidak bisa menjalankan perannya
sebagai fasilitator, malah kesan menjadi otoriter karena dianggap menguasai materi tanpa
memberikan kesempatan peserta didik untuk menyampaikan
pendapat/gagasan/ide/pertanyaan.

10. Peran Gadik Saat Ini

Pendekatan dalam proses belajar mengajar pada umumnya melibatkan strategi-strategi


pendidikan yang mengharuskan siswa untuk mengikuti jalur yang telah ditentukan dan jalur
linier dalam suatu pendidikan sehingga dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan
tertentu. Disinilah peran Gadik diperlukan guna memberi pemahaman kepada peserta didik
mengenai pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki untuk menghapus misunderstanding,
serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa.
Saat ini, peran Gadik dirasakan masih cenderung sebagai pengajaran yang berorientasi pada
guru (teacher-oriented). Hal ini disebabkan oleh:
a. Menggunakan metode ceramah didepan siswa. Ceramahnya pun terkadang menggunakan
bahasa yang kurang dimengerti mahasiswa (terutama materi yang sifatnya teknologi
informasi).
b. Hanya menyampaikan materi kuliah, tanpa mengecek sejauh mana mahasiswa memahami
isi materi tersebut. Ini disebabkan karena Gadik banyak yang memaksakan materi stripping
(kejar tayang) untuk mencapai target penuntasan materi dalam kurun waktu yang telah
ditentukan.
c. Menyampaikan pengetahuan/teori/konsep saja yang bersifat text book.
d. Cenderung memberi instruksi, arahan dan informasi.
e. Persiapan materi dilakukan sebelumnya.
f. Biasanya komunikasi berlangsung dengan satu arah. Komunikasi dilakukan dengan cepat,
penayangan slide hanya dibaca oleh Gadik saja, selebihnya dibaca oleh mahasiswa tanpa
diberikan penjelasan (karena dianggap sudah mengerti).
g. Menekankan kewibawaan pengajar, mahasiswa dianggap dibawah level pengajar sehingga
tidak memberi kesempatan untuk ruang bertanya.
h. Melakukan pendekatan didaktif/yang mendidik.
i. Berlaku sebagai ”orang bijak di panggung” (pasif, monoton, kurang interaksi).
Pada akhirnya pendekatan yang berorientasi pada pengajar ini membuat sebagian besar
peserta didik waktunya dihabiskan untuk duduk, mendengar, dan mengamati saat materi
tersebut disampaikan, sehingga tidak banyak informasi yang terserap, tersaring, dan dirubah
menjadi sesuatu yang diterapkan dalam praktik untuk selanjutnya menjadi sebuah
pembelajaran yang dapat diterapkan dan pada akhirnya menjadi perubahan mindset yang
diinginkan.

11. Paradigma Gadik Dalam Mendidik

Paradigma Gadik dalam mendidik para peserta didik juga dapat dilihat dari alat
menyampaikan materi, aktivitas dan metodologi, motivasi dan perumusan tujuan, serta
pemberian evaluasi sebagai penilaian materi yang disampaikan kepada siswanya. Lebih lanjut
kondisi saat ini paradigma mendidik yang digunakan oleh Gadik seperti tercantum dibawah
ini:

a. Alat Menyampaikan Materi


1) Penyampaian materi disajikan secara simultan tanpa mengecek sampai sejauh mana siswa
mampu untuk menyerap isi materi tersebut. Sehingga pendekatan akhirnya berorientasi pada
guru (teacher-oriented).
2) Pembelajaran masih menjadi domain dari Gadik, materi dan pengalaman yang tersaji
merupakan pengalaman diri sendiri yang tentunya sudah tidak relevan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan fenomena saat ini.
3) Gadik memberikan materi yang terkesan kejar tayang untuk menuntaskan target kurikulum
dalam periode tertentu. Siswa tidak dilatih untuk merefleksikan materi terdahulu untuk
diketahui apakah materi baru siap untuk dilanjutkan lagi.

b. Aktivitas dan Metodologi


1) Kegiatan pembelajaran dan metodologi yang dipakai dilakukan kurang memperhatikan
kebutuhan siswa. Metode ceramah/berbicara banyak digunakan, adakalanya dikombinasikan
dengan alat bantu penyampaian lain (powerpoint, handout, flipchart, dan lain-lain) namun
akhirnya materi hanya terfokus pada alat bantu, tanpa dijelaskan lebih lanjut isi materi
tersebut.
2) Gadik terkadang tidak memberikan metode yang relevan dengan situasi saat ini, apa yang
diketahui saat dia dulunya bertugas itu yang disampaikan kepada siswanya.
3) Gadik sudah membuat rencana pembelajaran (lesson plan) tapi terkadang terjebak pada
bagaimana target materi selesai sesuai dengan jam pelajaran. Sehingga terkadang pemahaman
tidak penting dilakukan, yang penting adalah nilai akhir dapat mencapai target.
4) Metode penyampaian Gadik disampaikan secara monoton/kurang menarik, menggunakan
bahasa yang hanya dimengerti oleh Gadik itu sendiri, serta kurang aktif untuk menarik
perhatian siswa (apalagi kalau mendidik pada kelas yang jumlah peserta didiknya cukup
banyak).

c. Motivasi dan Tujuan


1) Dalam proses pembelajarannya, siswa diberi kesempatan sedikit saja untuk
mengembangkan inisiatif dan munculnya kreatifitas siswa secara perorangan. Inisiatif dan
kreatifitas siswa dikunci oleh program pembelajaran yang terkontrol secara ketat.
2) Gadik belum mengetahui banyaknya dimensi dari diri siswa (multidimensi) yang dapat
dioptimalkan untuk mendukung pembelajaran dan pencapaian hasil yang lebih baik. Gadik
jarang yang mengerti tingkat kecerdasan majemuk (multiple intelligence) siswanya, sehingga
tidak dapat mengelolanya menjadi lebih baik agar materi tersebut dapat dipahami.
3) Gadik menciptakan lingkungan pembelajaran sendiri, siswa harus mampu mengerjakan
tugas sesuai materi, namun tidak memahami apa yang sesungguhnya siswa terima.
4) Gadik belum bisa menjelaskan secara detail tentang materi yang diberikan, karena
menganggap siswa sudah mengerti fenomena yang dibicarakan. Sehingga kadang siswa
belum bisa menyambungkan teori/konsep yang diterima dengan fenomena yang akan
dibahas.

d. Evaluasi
1) Gadik jarang membiasakan memberikan evaluasi sebelum pelajaran (pre-test), hanya
beberapa saja yang sudah melakukan itu. Penilaian biasanya dilakukan dalam bentuk ujian
sumatif (digunakan untuk menilai kinerja dan pencapaian siswa), sehingga terkadang apabila
diujikan membuat esai maka yang muncul adalah lomba mengarang bebas tanpa jelas
pemahamannya.
2) Gadik terlalu banyak memberi penugasan daripada memberi pemahaman. Penugasan yang
diberikan sifatnya individual, sehingga sedikit tercipta ruang untuk melakukan diskusi antar
teman atau dengan lingkungan sekitar.
3) Gadik kurang bisa menciptakan interaksi efektif dengan lingkungan sekitar.
4) Gadik kadang memberi evaluasi yang subyektif kepada beberapa siswa yang memiliki
hubungan emosional atau tercipta hubungan patron-klien, sehingga terkadang kualitas
individu dikesampingkan.
5) Gadik belum membuat analisis kebutuhan pendidikan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap, dan perilaku (Knowledge, Understanding,
Skills, Attitude, and Behavior – KUSAB) siswanya serta tugas dan tanggungjawab utama
dalam peran yang dimiliki Gadik.

BAB IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

12. Faktor Internal

a. Kekuatan
1) Tersedianya piranti lunak berupa perundang-undangan beserta peraturan Polri yang
mengatur mengenai Polri dan pendidikan Polri, seperti: UU No.2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian RI, Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/28/XII/2005 tentang Sistem Pendidikan
Polri.
2) Polri telah mengambil langkah reformasi menuju lembaga kepolisian sipil, profesional dan
mandiri melalui pembenahan berkelanjutan pada reformasi struktural, instrumental, dan
kultural.
3) Reformasi struktural di bidang pendidikan adalah menjadikan lembaga pendidikan
semakin kaya fungsi (Perkap No. 21/2010 tentang OTK Mabes Polri), untuk mendukung
personel Polri yang ingin mengabdikan diri di bidang pendidikan dalam memperoleh
kesempatan berkarir.
4) Reformasi Instrumental berupa perubahan sistem dan metode yang meliputi piranti lunak,
fasilitas, anggaran, pelatihan, pembenahan SDM (sistem rekrutmen, seleksi dan pendidikan,
penilaian kinerja, pembinaan karir) yang diharapkan dapat menghasilkan postur Polri yang
profesional, patuh hukum, dan modern.
5) Reformasi kultural meletakkan landasan untuk membentuk SDM yang berorientasi strategi
untuk meletakkan dasar-dasar budaya Polri yang mahir, terpuji dan patuh hukum serta
berwibawa dan berkinerja secara profesional.
6) Lembaga pendidikan dijadikan sebagai centre of excellence, yaitu menjadi pusat unggulan,
pembinaan, dan think tank untuk membangun ataupun mengambil kebijakan yang bersifat
strategis.

b. Kelemahan

1) Masih adanya imej bahwa jabatan Gadik merupakan jabatan yang kurang populer
dibandingkan mereka yang berada di satuan kewilayahan.,
2) Kualifikasi Gadik yang belum memenuhi standar kompetensi mengajar (ikut AKTA, TOT,
atau Diklat).
3) Belum diperhatikannya pemberian reward bagi Gadik, seperti: renumerasi (tidak sama
dengan yang bekerja di fungsi operasional), kesempatan berkarir (mutasi/promosi), atau
kesempatan melanjutkan pendidikan pengembangan Polri (Selabrip/Setukpa, STIK-PTIK,
Selapa, Sespim, Sespati, atau Lemhanas).
4) Struktur Gadik ada yang tidak tercantum dalam organisasi Lemdikpol. Hal ini dapat
menimbulkan tendensi Gadik tidak memiliki sarana kontrol, selain itu pemanfaatan tenaga
mereka yang kurang optimal.
5) Kurang memadainya fasilitas belajar mengajar di lembaga pendidikan seperti: minimnya
laboratorium keilmuan, minimnya kelas, minimnya alat bantu penyampaian (proyektor, OHP,
komputer, dll), padahal lembaga pendidikan mempunyai misi menjadi police science centre
of excellence (pusat keunggulan ilmu kepolisian). Hal ini mempengaruhi kinerja
Dosen/Gadik dalam mengupayakan ”student centered” (partisipasi aktif siswa) pada setiap
proses belajar mengajarnya.

13. Faktor Eksternal

c. Peluang

1) Adanya dukungan pemerintah mengenai pendidikan dengan adanya UU No. 20 Tahun


2003 tentang Sisdiknas, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan PP No. 19
Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
2) Alokasi anggaran untuk pendidikan sebesar 20% dari jumlah APBN.
3) Terbukanya kesempatan bagi para Gadik untuk mengikuti pendidikan di perguruan-
perguruan tinggi, dalam maupun luar negeri, baik melalui beasiswa Polri maupun instansi
terkait.
4) Meningkatnya daya kritis masyarakat terhadap perkembangan hukum dan penegakannya,
yang membuat personel Polri dituntut bertindak profesional dalam pelaksanaan tugasnya.
5) Meningkatnya fungsi kontrol masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya masyarakat
yang menginginkan eksistensi fungsi kepolisian dapat terwujud secara utuh dan mandiri.
6) Adanya keinginan masyarakat agar personel Polri benar-benar mampu tampil sebagai
polisi sipil yang modern, serta mampu menjadikan masyarakat sebagai titik pusat
pengabdiannya (point of departure).

d. Kendala

1) Masyarakat masih menuding bahwa kualitas personel Polri yang bermasalah di


kewilayahan merupakan hasil didik dari Gadik yang kurang profesional.
2) Kultur masyarakat yang masih mengembangkan sistem patron-klien dalam membina
hubungannya dengan polisi membuat pemolisian cenderung korup, potensi ini menyebabkan
personel Polri tidak bertindak profesional dan proporsional, dan cenderung melakukan
penyimpangan.
3) Adanya keluhan dari masyarakat akan polisi-polisi yang tidak ”intelektual” dan ”tidak
pandai berargumen” disebabkan karena saat berada di lembaga pendidikan hanya belajar
secara pasif (menerima hanjar saja), tidak mampu berdiskusi secara baik (karena tidak
difasilitasi oleh Gadik/Dosen), dan tidak mampu memberikan informasi yang dibutuhkan
masyarakat karena ketidaktahuan personel Polri pada fenomena yang ada.

BAB V. PERAN GADIK DALAM PROSES PEMBELAJARAN YANG


DIHARAPKAN

14. Keterampilan Dasar Gadik

Untuk mendukung para peserta didik dalam upayanya mencapai tujuan mereka, pemahaman
Gadik mengenai prinsip-prinsip pembelajaran merupakan sesuatu hal yang penting. Tanpa
dasar yang kuat mengenai prinsip pembelajaran dewasa, maka para Gadik sering melakukan
pendekatan yang hanya terfokus pada kebutuhan para peserta didik, bagaimana mereka
belajar, dan apa makna dari materi yang diberikan sebenarnya. Para Gadik yang profesional
dituntut untuk memiliki keterampilan mengelola prinsip pembelajaran tersebut agar materi
tidak sekedar diingat saja namun sudah bisa diaplikasikan bahkan bila perlu menciptakan
suatu inovasi dari konsep/teori yang telah diberikan.
Adapun keterampilan dasar yang dimiliki oleh Gadik dalam mengelola prinsip pembelajaran
pada kondisi saat ini adalah sebagai berikut:
a. Keterampilan dasar bertanya; Gadik harus mampu memberikan pertanyaan yang
memunculkan motivasi peserta didik untuk mendalami materi yang dibawa.
b. Keterampilan dasar memberikan penguatan; Gadik menguasai beberapa referensi untuk
memberikan penguatan terhadap peserta didik yang masih dalam keraguan terhadap materi
yang dipelajari.
c. Keterampilan dasar variasi stimulus; Gadik harus mampu memberi rangsangan sehingga
peserta didik senang, tertarik untuk terlibat dalam mengembangkan pengetahuan yang
dipelajarinya.
d. Keterampilan membuka dan menutup pelajaran; Gadik harus menguasai bagaimana
membuka dan menutup pelajaran sehingga materi yang dibawakan tidak terkesan garing
(tidak menarik), sehingga membangkitkan motivasi peserta didik untuk belajar.
e. Keterampilan dasar mengelola kelas; Gadik harus mampu menjalankan perannya sebagai
fasilitator. Memberikan penjelasan, penguatan, mendorong semangat, memuji, menghargai
pendapat, serta memberikan jawaban terhadap pertanyaan, membuat kesepakatan yang
demokratis, serta konsisten dalam mewujudkannya dalam setiap proses pembelajaran.

15. Peran Gadik Yang Diharapkan

Untuk mendapatkan kualitas SDM Polri yang mampu menjelaskan secara ilmiah tugas pokok
kepolisian di bidang pemeliharaan kamtibmas, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan masyarakat, serta mampu berpikir, bersikap dan bertindak secara
profesional di bidang kepolisian, maka peran Gadik diharapkan membangun pendekatan
pendidikan yang berorientasi pada siswa (student-oriented) antara lain:
a. Membantu mencapai pemahaman. Tidak hanya pada saat memberi materi di dalam kelas,
namun juga memanfaatkan ruang interaksi diluar kelas untuk membahas materi yang telah
disampaikan.
b. Merangsang siswa dengan mengecek pemahaman isi materi. Oleh sebab itu, Gadik
diharapkan menyusun silabus yang relevan antara teori dan kenyataan di lapangan, sehingga
tidak ada kesan bahwa beberapa materi hanya sekedar dimasukkan demi mengejar target
materi.
c. Mendukung siswa untuk pencarian pengetahuan/teori/konsep.
d. Melakukan bimbingan proses pembelajaran.
e. Melakukan persiapan materi dilakukan sebelumnya, lalu merespon kebutuhan pendidikan
dalam prosesnya.
f. Gadik harus membangun komunikasi yang interaktif (komunikasi dua arah) dan
mengandung percakapan. Tidak bosan-bosan untuk mengulangi materi yang sekiranya belum
dipahami oleh siswanya.
g. Gadik diharapkan menghargai siswa, apabila diberikan suatu pertanyaan, seorang Gadik
harus menghargai jawaban dari siswa meski jawaban itu kurang tepat.
h. Melakukan pendekatan konstruktivistik.
i. Berlaku sebagai ”pembimbing di sisi” (bertindak sebagai fasilitator, aktif, kreatif,
perbanyak interaksi).
Sebuah faktor penting dalam mempertimbangkan pendekatan apa yang akan digunakan
adalah pengertian antara para Gadik dalam memahami cara belajar siswanya. Pendekatan
berorientasi siswa dan efektifitasnya sangat dihargai oleh para Gadik yang melihat
pembelajaran tersebut dinilai sangat efektif dengan adanya interaksi, diskusi, pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, otonomi, dan kerjasama kelompok yang dilakukan oleh
para siswa. Pembelajaran yang berhasil merupakan hal-hal yang dilakukan siswa melalui
proses penyerapan informasi, pengetahuan dan prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Gadik.

16. Paradigma Gadik Dalam Mendidik

Untuk melihat bagaimana paradigma dalam mendidik guna menghasilkan hasil didik yang
berkualitas dan siap pakai, McInerney dan McInerney (2002: 153) memandang Gadik dapat
menggunakan paradigma konstruktivistik dilihat dari cara menyampaikan materi, metodologi
yang digunakan, motivasi dan perumusan tujuan, dan cara evaluasi sebagai berikut:

a. Alat Menyampaikan Materi


1) Penyampaian materi merupakan bagian tidak terpisah yang dilakukan oleh siswa itu
sendiri tentang materi, aktivitas atau apapun yang dikerjakan. Dengan demikian pembelajaran
berpusat pada siswa dan bukan pada Gadik.
2) Pembelajaran merupakan proses menghubungkan materi dengan pengalaman yang
memang menjadi minat dari siswa itu sendiri.
3) Untuk mengetahui kemampuan siswa memahami materi, siswa harus dilatih untuk praktik
refleksi. Praktik ini memanfaatkan kekuatan mengamati dengan cara yang bertujuan dan
terstruktur dengan maksud untuk meningkatkan praktik pendidikan siswa.

b. Aktivitas dan Metodologi


1) Kegiatan pembelajaran dan metodologi yang dipakai dilakukan dengan memperhatikan
kebutuhan siswa. Metode ceramah/berbicara relatif tifak efektif jika digunakan sebagai
metode pendidikan, tetapi efektifitas pendidikan akan naik secara eksponesial jika
dikombinasikan dengan alat bantu penyampaian yang terpilih (powerpoint, flipchart, handout,
internet, video, dan lain-lain).
2) Kegiatan pembelajaran dilakukan secara terpadu dengan memberikan contoh yang
aplikatif kepada siswa dan dikombinasikan dengan teori/konsep yang relevan dengan materi.
3) Menekankan kepada proses pembelajaran daripada terlalu dibebani dengan isi/materi
pembelajaran dengan maksud untuk kejar target selesai materi. Untuk itu Gadik harus
membuat perencanaan pembelajaran (lesson plan) terlebih dahulu yang relevan dengan
kondisi saat ini.
4) Metode penyampaian Gadik hanya untuk menfasilitasi dan mengelola situasi pembelajaran
dengan teknik-teknik tertentu untuk memberikan kesempatan seluas mungkin kepada siswa
untuk mencapai hasil yang sudah ditentukan

c. Motivasi dan Tujuan


1) Motivasi, kepuasan, pemenuhan diri dan pemahaman dalam pembelajaran datang dari
dalam diri siswa (instrinsik).
2) Gadik harus mengetahui banyaknya dimensi dari diri siswa (multidimensi) yang dapat
dioptimalkan untuk mendukung pembelajaran dan pencapaian hasil yang lebih baik. Gadik
harus mengetahui tingkat kecerdasan majemuk (multiple intelligence) yang dimiliki
siswanya, sehingga dapat mengelolanya menjadi lebih baik lagi.
3) Mendorong tumbuhnya kemampuan belajar dengan sendirinya (self-learning and self-
regulated) dan tanggungjawab (self-reliance).
4) Gadik harus mampu menumbuhkembangkan sikap kepribadian (affective-attitude)
siswanya untuk memahami suatu fenomena yang ada berdasarkan teori/konsep yang
diberikan.

d. Evaluasi
1) Evaluasi dilakukan sebelum dan sesudah memberikan pengajaran (membiasakan memulai
materi dengan pre-test dan mengakhiri dengan post-test untuk mengetahui tingkat
pemahaman siswa terhadap materi yang diberikan).
2) Memberi penugasan yang mengarah kepada terciptanya diskusi antar teman, siswa dengan
Gadik, siswa dengan lingkungan pendidikan lainnya (masyarakat, senior, siswa perguruan
tinggi lain). Penugasan dalam bentuk mengetahui pemahaman mengenai materi yang telah
diberikan, bukan sekedar open-book examination.
3) Menciptakan interaksi efektif dengan lingkungan sekitar.
4) Memberikan evaluasi yang obyektif kepada mahasiswa yang aktif, dengan
mengesampingkan unsur-unsur subyektifitas tanpa memperhatikan kualitas.
5) Gadik membuat analisis kebutuhan pendidikan untuk mengetahui tingkat pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, sikap, dan perilaku (Knowledge, Understanding, Skills, Attitude,
and Behavior – KUSAB) siswanya serta tugas dan tanggungjawab utama dalam peran yang
dimiliki Gadik.

BAB VI.UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GADIK GUNA


MENGHASILKAN HASIL DIDIK YANG SIAP PAKAI

17. Pemahaman Mengenai Prinsip Pembelajaran Siswa

Upaya untuk meningkatkan profesionalisme Gadik salah satunya dengan menggunakan


paradigma konstruktivistik, dimana pembelajaran dipandang sebagai proses yang
dikendalikan sendiri oleh siswa (self-regulated). Siswa mengembangkan pola pikirnya
ditempat dimana dia memperoleh pelajaran, dengan difasilitasi oleh guru sebagai fasilitator
dan narasumber. Paradigma ini mengembangkan inisiatif dan kreatifitas pemikiran individu
dalam pembelajaran, sehingga pemahaman sangat ditekankan untuk memecahkan suatu
persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki oleh siswa.
Oleh sebab itu, paradigma konstruktivistik ini harus mengenal prinsip-prinsip pembelajaran
dewasa agar bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Seorang Gadik harus mengetahui
tingkat pengetahuan siswanya terlebih dahulu, karena ini menyangkut proses perubahan nyata
manusia sebagai hasil pembelajaran, dari yang belum tahu menjadi tahu, memahami, bahkan
bisa menganalisis sampai menciptakan (Kadarmanta, 2008: 86). Mulai dari tingkat
pengetahuan yang paling rendah yaitu mengingat dan memahami, tingkat pengetahuan
menengah yaitu mengaplikasikan dan menganalisis, serta tingkat pengetahuan yang paling
tinggi yaitu mengevaluasi dan menciptakan.
Keenam taksonomi pembelajaran Bloom ini digunakan juga nantinya untuk merancang dan
mengembangkan materi pelajaran dimana persyaratan-persyaratan tujuan pembelajaran
mengindikasikan kompleksitas dan keterampilan berpikir yang perlu dikembangkan oleh para
siswa. Keenam taksonomi ini merupakan aspek kognitif yang harus dimiliki pertama oleh
siswa yang nantinya menjadi dasar bagi Gadik untuk mengetahui pemahaman peserta didik
terhadap materi pelajaran yang diberikan. Gadik terlebih dahulu harus memahami kecerdasan
majemuk (multiple intellegence) yang dimiliki para siswanya.
Pemahaman mengenai kecerdasan majemuk ini penting diketahui oleh Gadik karena
seringkali metode pengajaran yang diberikan (karena bergaya ortodoks/one way traffic) pada
proses pembelajaran tidak dapat mengakomodir perbedaan-perbedaan pemahaman yang ada.
Kecerdasan majemuk manusia terdiri dari:
a. kecerdasan verbal-linguistik (word smart); siswa yang pandai dalam hal berbicara.
b. kecerdasan olah tubuh (body smart); siswa yang pandai dalam hal olah tubuh/kecerdasan
kinestetik.
c. kecerdasan logika-matematika (reasoning/number-smart); siswa yang memiliki kepandaian
pada angka-angka dan sesuatu yang logis.
d. kecerdasan secara visual-spasial (picture/3D-smart); siswa yang pandai mempelajari
sesuatu melalui indera penglihatan dan menuangkannya dalam gambar/motif.
e. kecerdasan dalam musik (music-smart); siswa yang mudah memahami sesuatu dengan
bantuan suara/bunyi.
f. kecerdasan interpersonal (people-smart); siswa yang bisa berkomunikasi dengan baik
dengan orang lain/bisa berdialog dengan baik, dapat bekerjasama dengan tim, dan dapat
mendengarkan dengan baik.
g. kecerdasan intrapersonal (self-smart); siswa yang pandai mengekspresikan perasaan
dengan berbagai cara, mandiri, dan sangat menyadari kekurangan dan kelemahannya dalam
tim.
Apabila ke-7 kecerdasan ini dikuasai oleh Gadik, maka satu sisi yang lemah dari siswa dapat
ditingkatkan dengan menggunakan teknik pembelajaran aktif yang dipilih oleh Gadik
tersebut, sehingga siswa akan lebih siap tidak hanya untuk belajar dengan baik dalam situasi
pembelajaran apapun tetapi Gadik mungkin akan lebih efektif dalam berbagai situasi untuk
menghadapinya.
Untuk mengecek seberapa jauh pemahaman siswa terhadap materi yang telah disampaikan
oleh Gadik, setelah mengetahui kekuatan dan kelemahan mana yang harus diolah dari
kecerdasan majemuk yang dimiliki siswa, maka selanjutnya adalah melatih siswa untuk
melakukan praktik refleksi. Praktik refleksi bertujuan untuk memanfaatkan kekuatan
pengamatan untuk alasan yang spesifik dengan sengaja dan terstruktur sepanjang waktu yang
berguna untuk meningkatkan kinerja seseorang. Bagi Gadik, praktik refleksi yang sering
dilakukan setelah menerima materi pelajaran akan membawa keuntungan sebagai berikut:
a. Mendukung pendekatan pengajaran berbasis siswa karena memerlukan responsivitas yang
lebih besar terhadap siswa.
b. Siswa lebih mampu untuk mencerna dan menciptakan makna dari pembelajaran karena
mereka diberikan kesempatan untuk melakukan refleksi melalui penilaian mandiri, evaluasi
dan kontribusi terhadap anev pendidikan.
Metode refleksi yang bisa digunakan antara lain:
a. Sebaik apakah kinerja siswa atau kelompok siswa dalam melakukan refleksi?
b. Siswa paling percaya diri di bagian mana pada refleksi tersebut?
c. Pada bagian mana siswa tidak percaya diri dalam melakukan refleksi tersebut?
d. Apakah ada feed-back dari narasumber/Gadik mengenai penampilan siswa hari itu?
e. Bagaimana feed-back dari rekan-rekan siswa sendiri terhadap refleksi yang dilakukan
rekannya?
e. Bagaimana usaha siswa untuk memperbaikinya pada penampilan berikutnya.

18. Peningkatan Keterampilan Gadik

Untuk membantu siswa agar dapat memahami pelajaran yang disampaikan oleh Gadik, maka
ada baiknya seorang Gadik yang profesional menyiapkan perencanaan pelajaran terlebih
dahulu. Perencanaan pelajaran ini untuk membimbing dan memberikan struktur terhadap
input dari pendidikan itu sendiri, sehingga tidak melenceng jauh dari materi yang disesuaikan
dengan fenomena yang sekarang dan nantinya akan terjadi.
Rencana pelajaran tersebut disusun dalam bentuk matriks yang menguraikan sembilan
kegiatan instruksional. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur hirarki keterampilan
intelektual siswa berdasarkan tingkat kerumitannya: pengenalan materi, respon, prosedur,
penggunaan istilah, informasi, penerapan aturan dan pemecahan masalah (Gagne, 1962: 263
– 276). Kegiatan dalam perencanaan pelajaran meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. menarik perhatian siswa (reception/resepsi).
b. menyampaikan tujuan pelajaran kepada siswa (expectation/harapan).
c. merangsang ingatan pada pelajaran terdahulu/kemarin (retrieval/mendapatkan kembali).
d. menyajikan materi yang menarik (selective perception/persepsi selektif).
e. memberi bimbingan pada siswa (semantic encoding/penyandian semantik).
f. menggali penerapan (responding/merespon).
g. memberikan umpan balik/masukan kepada siswa (reinforcement/penguatan).
h. menilai penerapan materi (retrieval/pemulihan).
i. meningkatkan daya ingat dan transfer (generalization/generalisasi).

Untuk mendukung proses pembelajaran aktif, maka penggunaan alat bantu penyajian yang
mendukung dan mengembangkan pembelajaran juga harus dipertimbangkan, dipilih, dan
dipersiapkan dengan seksama. Semua hal tersebut harus sesuai dengan apa yang dipelajari
oleh siswa dan harus digunakan dengan baik dan sesuai dengan waktu pelajaran. Gadik harus
mengingat bahwa pembelajaran multi sensorik akan menghasilkan pembelajaran yang jauh
lebih baik dengan ketahanan lebih lama yang membawa siswa dalam pertimbangan fakta-
fakta generalisasi berikut ini:
• Indera penglihatan merupakan terpenting dari panca indera: 81%.
• Indera pendengaran adalah indera terpenting berikutnya: 11%.
• Indera yang lain (perasa, sentuhan, penciuman) adalah 8% sisanya.
Jika digunakan sendiri, ceramah/berbicara relatif tidak efektif jika digunakan sebagai metode
pendidikan, tetapi efektifitas pendidikan akan naik secara eksponsial jika dikombinasikan
dengan alat bantu pembelajaran lainnya. Hasilnya, peserta didik tidak hanya akan belajar
lebih banyak hal tetapi minat dan variasi juga akan bertambah. Alat bantu yang umum
digunakan diantaranya: flipchart, slide powerpoint, handout, artikel-artikel, buku, internet,
komputer, video/rekaman, dan mapping.
Setelah perencanaan pelajaran dan alat bantu penyampaian disiapkan, maka tahapan
selanjutnya yang terpenting dalam mengasah keterampilan Gadik adalah keterampilan
presentasi. Presentasi adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gaya
pembelajaran dimana siswa adalah pendengar yang memiliki peran pasif dan Gadik yang
memberikan materi kepada mereka. Namun terkadang karena terlena dengan alat bantu
penyampaian, maka hal ini membuat siswa mudah bosan. Bisa dikarenakan penyampaiannya
monoton, datar, tidak humoris, terlalu banyak tulisan, dan lain-lain.
Beberapa hal yang penting dilakukan Gadik dalam melakukan presentasi adalah sebagai
berikut:
a. Penggunaan intonasi untuk menekankan pointer-pointer tertentu.
b. Tatap mata audience. Jangan menatap slide atau bidang diatas kepala audience (mati gaya
dengan powerpoint).
c. Bicara dengan wajar, berikan jeda bicara pada waktu yang tepat, jangan seperti kereta api
yang tidak pernah berhenti (berbicara terus).
d. Bersikap rileks dan jadi diri anda sendiri.
e. Perhatikan isyarat dari siswa jika mereka terlihat teralihkan perhatiannya, kemudian
pertimbangkan untuk membahasnya kembali agar mereka lebih memahami.
f. Tidak hanya diam di tempat, berkeliling merupakan hal yang wajar dilakukan oleh Gadik
dalam melakukan presentasi.
Dan beberapa hal berikut ini agar tidak dilakukan Gadik dalam memberikan presentasi, yaitu:
a. Mengabaikan kebutuhan peserta didik.
b. Bersikap dingin atau acuh tak acuh terhadap perhatian siswa.
c. Bergeser dari satu sisi ke sisi yang lain.
d. Terus menerus berjalan atau kadang cuma diam saja di kursi sambil berbicara.
e. Bersembunyi di balik podium.
f. Slide penuh dengan tulisan, gambar, efek animasi, bulkonah yang terlalu banyak, kata-kata
asing yang banyak, dan lain-lain.

Dari penyampaian Gadik mengenai materi pelajaran yang terstruktur dan menarik,
diharapkan siswa mampu mengaplikasikan penggunaan informasi yang dipelajari dari suatu
materi untuk membantu pemecahan masalah yang muncul dalam suatu fenomena yang
dihadapi. Dengan mengaplikasikan, akhirnya siswa dapat menganalisis bagaimana fenomena
tersebut diidentifikasikan, dipisahkan, dan dibeda-bedakan dalam suatu fakta, konsep,
pendapat, asumsi, hipotesa atau menyimpulkan, serta melihat setiap komponen tersebut
terlihat kontradiktif atau tidak. Dengan begitu siswa dapat melakukan evaluasi berdasarkan
penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk, atau benda dengan
menggunakan kriteria tertentu. Yang diharapkan tercipta suatu gagasan, ide, konsep, teori,
penerapan yang baru dan tentunya berguna bagi perkembangan ilmu kepolisian.

BAB VII.PENUTUP

19. Kesimpulan

a. Gadik merupakan salah satu komponen penting di sebuah lembaga pendidikan. Oleh sebab
itu, peningkatan profesionalisme Gadik merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting
sebagai upaya Polri untuk menghasilkan hasil didik yang berkualitas dan siap pakai.
b. Profesionalisme Gadik dalam menghasilkan hasil didik yang siap pakai dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Secara internal dan menjadi kekuatan yaitu: adanya piranti lunak berupa
Perundang-undangan yang mengatur sistem pendidikan nasional dan Polri. Adanya komitmen
dari Pimpinan Polri untuk menjadikan lembaga pendidikan sebagai wadah pembentukan
pribadi dan sosok Polri yang lebih mengedepankan sebagai pelayan masyarakat. Reformasi di
bidang struktural, instrumental dan kultural pada lembaga pendidikan menjadi acuan Gadik
untuk terus meningkatkan profesionalismenya agar menghasilkan hasil didik yang
berkualitas.
Adapun kelemahan yang dirasakan antara lain terkait pada kurang populernya jabatan Gadik,
belum adanya kualifikasi Gadik, kurang diperhatikannya reward bagi Gadik, tidak adanya
wadah pembinaan Gadik, dan minimnya fasilitas belajar mengajar.
Faktor eksternal yang menjadi peluang antara lain: dukungan anggaran dari pemerintah
sebesar 20% untuk pendidikan, terbukanya peluang untuk belajar di dalam dan luar negeri,
serta partisipasi masyarakat dan LSM. Adapun kendala yang dirasakan antara lain: kualitas
personel Polri yang bermasalah di lapangan, kultur masyarakat patron-klien, dan lulusan yang
”tidak bunyi” ketika berhadapan dengan masyarakat.
c. Kendala personel Polri yang dirasakan kurang berkualitas dan sering bermasalah,
diakibatkan kurang berkembangnya pola pikir siswa selama duduk di bangku pendidikan.
Fokus pembelajaran yang berorientasi guru (teacher-oriented) dan metodenya yang
menjadikan siswa cenderung pasif, membuat siswa hanya duduk, mencatat, mengingat materi
yang disampaikan oleh Gadik dan bertanya seperlunya tanpa memahami materi yang
disampaikan. Hal seperti ini dapat membuat siswa tidak bisa mengembangkan struktur
kognitifnya yang kompleks, kurang bisa mengembangkan skema-skema berpikir, terutama
dalam menggunakan informasi dan pengetahuan baru untuk meraih kemajuan, dan pada
akhirnya kurang bisa mengkonstruk pemahaman serta mengalami kesulitan untuk
mengaplikasikan teori/konsep dengan fungsi teknis kepolisian.
d. Alternatif paradigma dalam mengajar yang diharapkan dapat merubah pola pikir siswa
menjadi lebih inovatif dan kreatif adalah melalui paradigma konstruktivistik. Dalam
paradigma ini, selain penggunaan alat menyampaikan materi, aktivitas dan metodologi yang
digunakan, motivasi dan perumusan tujuan, serta pemberian evaluasi, Gadik juga dituntut
untuk memahami kecerdasan majemuk siswanya serta mengasah kemampuan mendidiknya,
dimana kesemuanya untuk membuat siswa mengkonstruk makna tentang pemahaman berupa
konsep dan prinsip-prinsip dalam skema mental siswa agar siap di lapangan kelak.

20. Rekomendasi

a. Memberikan pelatihan kepada Gadik untuk meningkatkan profesionalismenya melalui


peningkatan kemampuan, keterampilan, agar memenuhi standar kompetensi dalam mendidik
(ikut TOT, AKTA, atau Diklat).
b. Memasukkan Gadik kedalam struktur OTK Lemdikpol (di setiap satuan kerja dibawah
Lemdikpol), agar jelas dalam spesialisasi, departemenlisasi, rantai komando, rentang kendali,
sentralisasi, dan formalisasi dari Gadik tersebut.
c. Melengkapi setiap lembaga pendidikan Polri dengan fasilitas belajar mengajar yang
memadai: ruang kelas yang banyak, mempunyai laboratorium keilmuan, mempunyai cukup
alat bantu penyampaian (OHP, proyektor, komputer, dll).
d. Melakukan studi banding ke lembaga pendidikan yang telah melaksanakan pembelajaran
berorientasi siswa, baik di dalam maupun luar negeri, untuk menyusun program kurikulum
yang berbasis pada siswa.

DAFTAR ACUAN

Buku:

Chatib, Munif. (2009). Sekolahnya Manusia: Sekolah Berbasis Multiple Intellegence di


Indonesia. Jakarta: Kaifa.
Chrysnanda, DL. (2010). Menjadi Polisi Yang Berhati Nurani. Jakarta: YPKIK.
Gagne, R. (1962). Military Training and Principles of Learning. American Psychologist, 17,
263 – 276.
Hidayat, Anang. (2007). Strategi Six Sigma. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Kadarmanta. A. (2008). Pendidikan Polisi Berbasis Kompetensi. Jakarta: Forum Media
Utama.
Krause, Kerri-Lee, et.all. (2007). Educational Psychology for Learning and Teaching.
Australia: Nelson Australia Pty Ltd.
Maliki, Zainuddin. (2010). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
McInerney, Dennis M. dan Valentina McInerney. (2002). Psychological Education. NSW:
Prentice Hall.
Meliala, Adrianus. (2005). Mungkinkah Mewujudkan Polisi yang Bersih?. Jakarta:
Partnership.
PTIK. (1981). Perkembangan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. tanpa penerbit.
Rahardi, Pudi. (2007). Hukum Kepolisian (Profesionalisme dan Reformasi Polri). Surabaya:
Laksbang Mediatama.
Rahardjo, Satjipto. (2002). Membangun Polisi Sipil; Perspektif Hukum, Sosial, dan
Kemasyarakatan. Jakarta: Kompas.
Saha, Lawrence J. (2001). Bringing People Back In: Sociology and Educational Planning.
Dalam Ballantine, The Sociology of Education: A Systematic Analysis. New Jersey: Prantice
Hall.
Salam, Burhanuddin. (2002). Pengantar Pedagogik (Dasar-Dasar Ilmu Mendidik). Jakarta:
Rineka Cipta.
Salusu. (1996). Pengambilan Keputusan Strategi Untuk Organisasi Publik. Jakarta: PT.
Gramedia.
Semiawan, Conny. (2008). Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: Grasindo.
Sunarno, Edy. (2010). Berkualitas, Profesional, Proporsional; Membangun SDM Polri Masa
Depan. Jakarta: Pensil-324.
Triguno. (1997). Budaya Kerja, Menciptakan Lingkungan yang Kondusif untuk
Meningkatkan Produktivitas Kerja. Jakarta: PT. Golden Terayon Press.

Makalah/Bahan Sarasehan:

Mabes Polri. Gerakan Moral Menuju Perubahan Polri Untuk Membangun Kepercayaan
Masyarakat. Makalah Sarasehan, tanpa tahun.

Surat Kabar dan Majalah:

Chrysnanda DL. (Juni 2008). Ilmu Kepolisian dan Penyelenggaraan Tugas Polri. Majalah
Jagratara edisi XXXVII.
Litbang Kompas. (1 Juli 2010). Polri, Becerminlah dari Keberhasilan. Harian Kompas.

Undang-Undang/Peraturan:

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002, Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005, Guru dan Dosen.
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan.
Keputusan Kapolri No.Pol.: Kep/28/XII/2005, Sistem Pendidikan Polri.

Web:
Elfis. (2010, 22 Januari). Teori Konstruktivisme Vygotsky. http://ahmadsyahbio. blogspot.com

Kurnianto. (2009, 30 Desember). Pendidik dan Tenaga Kependidikan. http://atmojo3.


blogspot.com
Diposkan oleh arri vavir di 15.30.00
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Observer Statistic

DISCLAIMER
Terima kasih anda telah mengunjungi blog ini. Blog ini seluruhnya merupakan opini pribadi,
bukan mewakili institusi. Merupakan suatu anugerah yang luar biasa apabila pemikiran
dalam blog ini dapat bermanfaat bagi perkembangan kepolisian di tanah air.
Bagaimana pendapat anda tentang artikel pada blog ini?
Cari Blog Ini
Memuat...
RSS Feed
Subscribe in a reader
Pengikut

Anda mungkin juga menyukai