A.Ontologi
Oleh : Nailis Sa’adah
PBA-B / Kel. 2 / Nim. 1510210034
a. Hakikat Ontologi
Menurut Christian Wolff pada abad ke- 17 dan 18 orang mulai mengadakan
penelitian terhadap berbagai bagian dari metafisika. Yang paling berpengaruh adalah
pemilahan yang dilakukan oleh Christian Wolff, yaitu antara metaphysica generalis
dan metaphysica specialis. Bagi metaphysica generalis, Christian Wolff menggunakan
istilah ontology. Metaphysica generalis, membahas asas-asas atau prinsip-prinsip
yang seumum-umumnya, sedangkan metaphysica spesialis membahas penerapan
asas-asas atau prinsip-prinsip tersebut terhadap bidang-bidang yang khusus. Maka
dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada mulanya metafisika
dan ontology merupakan satu istilah yaitu metafisika. Kemudian pada abad ke-
17 mulai antara metafisika dan ontology dipisahkan.
Sedangkan Prof. B. Delfgaauw membedakan antara ontology dan metafisika
melihat dari objeknya. Objek yang bisa ditangkap dengan panca indera termasuk
masalah ontology., sedangkan objek yang tidak dapat dilihat dengan panca indera
masuk pada bidang metafisika. Seperti tampak dalam makalahnya Prof. B.
Delfgaauw mengatakan : “Alam semesta yang dibicarakan dalam filsafat alam
merupakan sesuatu yang dapat ditangkap dengan panca indera, dan termasuk pula
sesuatu permasalahan di bidang ontology. Adapun jiwa manusia yang setidak-
tidaknya dalam penjelmaannya dapat ditangkap dengan panca indera merupakan
bagian ontology juga, tetapi dalam keadaannya sebagai suatu yang tidak dapat
disera, termasuk bidang metafisika untuk membicarakannya.” (B. Delfgaauw, 1984,
hlm.46)
Dari sisi lain, Louis O. Kattsoff juga membedakan antara metafisika dan
ontology. Metafisika adalah pengetahuan yang mempersoalkan hakikat terakhir
eksistensi yang erat hubungannya dengan ilmu pengetahuan alam. Ada dua
persoalan dalam metafisika, yaitu sebagai berikut.
1
1. Apakah jiwa kita sebagai gejala sesuatu zat, atau pada hakikatnya berbeda
dengan sesuatu zat.
2. Dari mana asal kosmos, apa hakikat ruang dan waktu?
Adapun ontology adalah ilmu yang mencari esensi dan eksistensi yang
terakhir terjadi. Jadi, persoalan yang pertama menyangkut masalah ontology.
Dengan demikian menurut Luois O. Kattsoff, ontology adalah bagian dari
metafisika.
Secara etimologi ontology berasal dari bahasa Yunani “ethos” dan “logos”.
Ethos adalah kata kerja dari einai artinya yang ada, sedangkan logos berarti ilmu.
Dengan demikian secara bahasa ontology dapat diartikan ilmu yang membicarakan
segala sesuatu yang ada. Atau dengan kata lain ontology adalah bagian cabang filsafat
yang membahas tentang hakikat hidup. Ontology berarti ilmu hakikat yang
menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya : apakah apakah
hakikat di balik alam nyata imi. Ontology menyelidiki dari hakikat segala sesuatu dari
alam nyata yang sangat terbatas bagi pancaindera kita.1) Dalam buku lain dikatakan
bahwa ontology adalah teori hakikat yang mempertanyakan setiap eksistensi.2)
Adapun tokoh yang membuat istilah ontology adalah Christian wolff (1679-
1714). Istilah ontology berasal dari bahasa yunani, yaitu ta onta yang berarti “yang
ada”, dan logi berarti ilmu pengetahuan atau ajaran. Dengan demikian ontology
adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang yang ada. 3) Ontologi mempersoalkan
adanya segala sesuatu yang ada. Hal ini berbeda dengan metafisika khusus yang
mempersoalkan hakikat yang ada. Batasan tentang “ada” tidak dapat diberikan karena
“ada” tidak memiliki genus proximum atau pengertian yang lebih tinggi. Oleh karena
itu diperlukan pemahaman tentang “ada”. Selanjutnya kita akan mengamati masalah
“ada” dari sudut kenyataan yang ada. Sudut kenyataan ada tersebut adalah segala hal
yang ada, termasuk dalam metfisika khusus.4)
b. Aliran-Aliran Pemikiran
Materialisme
1
https://www.academia.edu/4617222/2_ALIRAN_ONTOLOGI
2
Hakim, Atang Abdul dan Saebani, Beni Ahmad,2008. Filsafat Umum dari Mitologi sampai Teofilosofi. Pustaka
Setia, Bandung
3
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.PT Bumi Aksara, Jakarta.
4
Wiramihardja, Sutardjo A. 2006. Pengantar Filsafat (Sistematika Filsafat, Sejarah Filsafat, Logika Filsafat dan
Filsafat Ilmu). PT. Refika Aditama, Bandung.
2
Meteri adalah sesuatu yang kelihatan, dapat diraba, berbentuk dan
menempati ruang. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran,
jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah
ungkapan proses kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain:
Demokritos (460-370 SM), berkeyakinan bahwa alam semesta
tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dari
badan.
Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat bahwa segala
sesuatu yang di dunia merupakan gerak dari materi.
Termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka
karena segala sesuatu yang terjadi dari benda-benda kecil. Bagi
Thomas Hobbes, filsafat sama dengan ilmu yang mempelajari
benda-benda.5
Idealisme
Definisi Edialisme para pengatut faham naturialisme dan materialisme
mengatakan bahwa istilah-istilah yang mereka sarankan (meteri, alam, dsb).
Sudah cukup untuk memberikan keterangan mengenai segenap kenyataan.
Namun kiranya ada banyak orang benar-benar dapat merasakan bahwa ada
hal-hal sarat gejala-gejala yang tidak dapat semata-mata diterangkan
berdasarkan penegertian alam lebih-lebih sekedar berdasarkan pengertian
materi. Kiranya ada hal-hal seperti pengelaman nilai, makna dan sebagainya
yang tidak akan mengandung makna, kecuali jika ada usaha untuk
memperkenalkan istilah-istilah yang lain, atau merupakan tambahan terhadap
istilaih-istilah yang bersifat naturalistik.
Alam sebagai sesuatu bersifat rohani. Secara umum dapat dikatakan
ada dua macam kaum idealis; kaum spiritualis dan kaum dualis. Para
pengatut paham spiritualisme (jangan di campur adukkan dengan ilmu
pengetahuan semu yang disebut spiritisme) berpendirian bahwa segenap
tatanan alam dapat dikembalikan kepada atau berasal dari sekumpulan roh
yang beraneka ragam dan berbeda-beda derajatnya.
Memang mereka memandang alam sebagai keseluruhan yang
bertingkat-tingkat dan diri kita masing-masing sebagai pusat-pusat rohani
yang berkesinambungan dengan tingkat-tingkat yang lain. Sebab, kita sendiri
5
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.PT Bumi Aksara, Jakarta.
3
merupakan pusat-pusat dan berkesinambungan dengan tingkat-tingkat yang
lain dan dapat disimpulkan bahwa tingkat-tingkat yang lain pun tentu
merupakan pusat rohani pula. Apa yang kita namakan dunia material juga
merupakan dunia dengan pusat-pusat rohani yang mempengaruhi alat-alat
indrawi kita.6
Dualisme
Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing
berdiri sendiri. Tokoh-tokoh yang termasuk aliran ini adalah
Plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia, yaitu dunia
indera (dunia bayang-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka
bagi rasio manusia)
Rene Descartes (1596-1650 M) yang membedakan substansi
pikiran dan substansi keluasaan.
Leibniz (1646-1716) yang membedakan antara dunia yang
sesungguhnya dan dunia yang mungkin.
Immanuel Kant (1724-1804) yang membedakan antara dunia
gejala (fenomena) dan dunia hakiki (noumena)7
Agnotisisme
Agnotisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai
kebenaran dari suatu klaim tertentu yang umumnya berkaitan
dengan teologi, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa, dan lainnya yang
tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas. Seorang
agnostik mengatakan bahwa adalah tidak mungkin untuk dapat mengetahui
secara definitif pengetahuan tentang “Yang-Mutlak”; atau , dapat
dikatakan juga, bahwa walaupun perasaan secara subyektif dimungkinkan,
namun secara obyektif pada dasarnya mereka tidak memiliki informasi
yang dapat diverifikasi.
Dalam kedua hal ini maka agnostikisme mengandung unsur
skeptisisme. Agnostisisme berasal dari perkataan Yunani gnostein (tahu)
6
https://abraham4544.wordpress.com/umum/ontologi/
7
Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar.PT Bumi Aksara, Jakarta.
4
dan a (tidak). Arti harfiahnya “seseorang yang tidak mengetahui”.
Agnostisisme tidak sinonim dengan ateisme8
B. Epistemologi
Oleh : Ika Feby Fitriyani
1. Pengertian epistemologi
Objek itu hanya menjadi objek dalam hubungannya dengan subjek, yaitu
secepat diketahui subjek. Karena hubungan itu, terjadilah perubahan pada subjek.
Artinya, adanya tanggapan terhadap objek yang mewakili objek pada subjek.
8
https://abraham4544.wordpress.com/umum/ontologi/
9
Dr. Zaprulkhan, 2015, FILSAFAT ILMU Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
DR. J. Sudarminta, 1991, Filsafat Proses Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred
10
3. Problematika epistemologi
6
dalam air? Bagaimana seseorang mengetahui bahwa ketika tongkat tersebut
dimasukkan ke dalam air, tongkat itu akan bengkok?
Sampai disini menjadi jelas, ternyata ada sebuah jaringan kesulitan dalam
persoalan yang tampaknya sederhana. Sebab kita harus berpikir secara mendalam
untuk sampai pada sebuah kesimpulan yang jelas dan dapat dipertahankan mengenai
suatu klaim yang sangat sederhana bahwa tongkat benar-benar lurus. Orang-orang
yang menerima tantangan dalam menyingkap kesulitan-kesulitan tersebut, akan
bertemu dengan problem yang disebut pengetahuan kita secara eksternal.
Kedua, Problrm pemikiran orang lain. Problem kedua ini juga melibatkan
penglihatan namun dalam sebuah cara yang agak tidak lazim. persoalan ini berkaitan
dengan sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara kasat mata, yakni pemikiran orang
lain. Ilustrasinya: seorang wanita dijadwalkan akan menjalankan oprasi pada lutut
kanannya dan seorang dokter ahli bedah kepadanya bahwa ketika ia sadar nanti
setelah oprasi, ia akan merasakan nyeri yang menusuk dilututnya. Ketika ia terbangun
setelah menjalani oprasi ia benar-benar merasakan rasa nyeri yang dikatakan ahli
bedah tersebut. Si ahli bedah dapat mendengar rintihan kesakitannya dan dapat
melihat dengan jelas wajah perempuan tersebut menyeringai kesakitan.
Namun, si ahli bedah tetap tidak merasakan sakit yang sedang dirasakan oleh
wanita tersebut. Dalam konteks ini, ada sebuah pengetahuan yang tidak dapat
diketahui dokter ahli bedah tentang apa yang wanita itu ketahui. Jika ahli bedah
mengklaim mengetahi rasa sakit itu, paling-paling ia hanya mengetahui dari orang-
orang yang telah mengatakan kepadanya setelah menjalani oprasi yang sama. Sebab
jika si ahli bedah itu tidak mengalami langsung oprasi yang sama, Ia tidak dapat
menegetahui baagaimana rasa sakit yang di rasakan wanita tersebut.13
Dr. Zaprulkhan, 2015, FILSAFAT ILMU Sebuah Analisis Kontemporer, Jakarta: PT Raja
13
Grafindo Persada
7
jawaban ini dapt dilihat bila kita memperhatikan pertanyaan seperti “
bagaimanakah orang mengetahui bahwa e situ membeku? “ jawaban itu tentu
akan berbunyi, “ karena saya melihatnya seperti itu”. Sama hal nya dengan
itu, terhadap pertanyaan “bagaiman orang mengetahui bahwa Caesar telah
dibunuh?”, maka jawabannya berbunyi, “karena seseorang ada ditempat itu
dan melihat kejadian tersebut, telah menerangkan demikian”. 14
b) Rasionalisme
Bagaiman kita dapat mengetahui bahwa dua pertanyaan yang
bertentangan tidak mungkin benar semuanya pada waktu yang sama ?
bagaiman kita dapat mengetahui jika ada dua benda yang masing-masing sama
dengan benda kertiga, kita dapat mengatakan bahwakedua benda tersebut
adalah sama? Kita mengatakan soal-soal itu adalah jelas dengan sendirinya,
yakni bahwa hal-hal tersebut adalah sama, yakni bahwa hal-hal tersebut sesuai
dengan akal kita. 15
c) Kritisisme
Kritisime di gulirkan oleh filusuf besar asal Jerman abad ke-18,
Immanuel Kant. Dalam upaya menyingkap pengetahuan, kritisisme
memulainya dengan pertanyaan fundamental: apa yang sesungguhnya dapat
kita ketahui? Dan bagaiman cara kita mengetahui sesuatu? Krisitisisme,
pengetahuan kita tentang semua realitas eksternal hanyalah penampakannya
saja yakni hanya pandangan kita mengenainya. Kita hanya mengetahui
pengalaman kita tentang dunia luar, bukan dunia luar itu secara hakiki. Sebab
baginkritisisme, dalam diri setiap manusia sudah ada kondisi-kondisi tertentu
dalam pikiran yang mengatur cara kerja pikiran dan memengaruhi cara mereka
dalam memandang dunia. 16
14
Ulya, M.Ag, 2011, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kudus: STAIN Press
15
Ulya, M.Ag, 2011, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Kudus: STAIN Press
16
Suparlan Suhartono, 2004, Dasar-Dasar Filsafat, Jogjakarta: Ar-Ruzz
8
C. Aksiologis
Oleh : Muhammad Habib Abdullah
1. Pengertian Aksiologis
Istilah aksiologis berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai, dan
logos yang berarti ilmu atau teori. Jadi, aksiologi adalah teori tentang nilai. Nilai yang
dimaksut adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat
mengacu kepada permasalahn etika dan estetika. 17
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi juga menunjukkan
kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu kedalam
praktis. Aksiologi merupakan cabang filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusia mengguanakan ilmunya. Jujun S.Suriasumantri mengartikan aksiologi
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pegetahuan yang diperoleh.
Menurut Jhon Sinclair, dalam lingkup kajian filsafat ini merujuk kepada pemikiran
atau suatu sistem seperti politik, sosial dan agama. Sedangkan nilai itu sendiri adalah
sesuatu yang berharga, yang diidamkan oleh setiap insan. Aksiologi, selain
pembagiannya berdasarkan etika dan estetika, para ahli membaginya dalam liputaan
tentang hakikat penilaian atas kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesucian. Dalam
hal ini, setiap ahli mempunyai hak untuk mengajukan pendapatya sendiri-sendiri, dan
pembaca tidak harus mengikuti satu di antara beberapa pendapat itu karena yang
terpenting adalah atas alasannya.18 Dengan filsafat orang akan mungkin menjadi orang
bijaksana. Kegunaan filsafat dalam rumusan ituterlalu umum sehingga sulit di
pahami. 19
2. Objek Aksiologi
9
moral? Bagaiamna kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasional
metode ilmiah dengan norma-norma moral atau prefesional?20
Filsafat ilmu menyelidiki dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal berikut.
a. Presepsi manusiaakan kenyataan (reality)
b. Pemahaman berbagai dinamika alam.
c. Saling keterkaitan antara logika dengan matematika, dan antara logika dan
matematika pada satu sisi dengan kenyataan pada sisi lain.
d. Berbagai keadaan (states) dari keberadaan-keberadaan (entities) teoritis.
e. Berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya (liability).
f. Hakikat (the essence) manusia, nilai-nilainya, tempat, dan posisinya di
tengah-tengah semua keberadaan lain, paling sedikit berada di lingkungan
dekatnya.
Filsafat ilmu juga menyibukkan diri dengan berbagai masalah yang dating dari
konsep-konsep khusus dalam statistic, pengukuran, teologi, misalnya penjelasan
peristiwa-peristiwa dipandang dari tujuannya atau kesudahannya, penjelasan sebab-
musabab hubungan antara ilmu-ilmu yang berbeda, keadaan dimana satu ilmu
berkurang untuk ilmu lain, dan konsep-konsep spesifik mengenai ilmu-ilmu satu
persatu. Tentunya dengan penalaran yang mendalam, Rene Descartes mengemukakan
ucapannya yang terkenal seepanjang masa, cogito ergo sum, saya berpikir karna itu
saya ada.
Dilihat dari jenisnya, paling tidak terdapat dua bagian umum dari oksiologi
dalam membangun filsafat ilmu ini, yaitu meliputi etika dan estetika.
a) Etika
Conny R.Semiawan (2005: 158) menjelaskan tentang etika atau sebagai;
the study of the nature of morality and judgement, kajian tentang hakikat
moral dan keputusan (kegiatan menilai). Selanjutnya \Semiawan
menerangkan bahwa etika sebagai prinsip atau standar prilaku manusia, yang
kadang-kadang disebut dengan moral. Kegiatan menilai (act of judgement)
telah dibangun berdasarkan toleransi atau ketidakpastian.bahwa tidak ada
kejadian yang dapat dijelaskan secara pasti dengan zero tolerance. Terdapat
spesifikasi tentang toleransi yang dapat dicapai. Di alam ilmu yang
berkembang langkah demi selangkat, pertukaran inforrmasi antar manusia
selalu merupakan permainan tentang toleransi.ini berlaku dalam ilmu eksakta
atatupun bahasa, ilmu sosial, religi, ataupun politik, bahkan juga bagi setiap
bentuk pikiran yang akan menjadi dogma. Perubahan ilmu dilandasi oleh
prinsip toleransi. Hal ini adalah demikian, karena hasil penelitian dari suatu
pengetahuan ilmiah sering tidak sama dengan sifat objektif penelitian atau
hasil peneliatian pengetahuan ilmiah yang lain, terutam apabila pengetahuan-
pengetahuan itu tergolong dalam kelompok-kelompok disiplin ilmu yang
berberda. 21
20
21
Filsafat ilmu. Drs. A.. susanto, M.Pd.
Penerbit. Bumi aksara. Jakarta. hal. 118
10
Disamping itu, ditinjau secara filosofis, sangat sukar untuk
mengatakan sesuatu itu sebagai hal yang objektif, sebab boleh dikatakan
segala sesuatu mengenai hampir semua keberadaan didalam ini adalah hasil
dari kesepakatan, yang dipelopori oleh individu-individu atau kelompok-
kelompok yang dipandang memiliki otoritas dalam suatu bidang, yang
kemudian diikuti oleh masyarakat luas. Meskipun demikian dapat disimpulkan
bahwa sifat ilmu pengetahuan pada umumnya universal, dapat
dikomunikasikan dan progresif.
Makna etika dipakai dalam dua bentuk arti, pertama, etika merupakan
suatu kumpulan pengetahauan mengenai penilaian terhadap perbuatan-
perbuatan manusia. Kedua, merupakan suatu pedikat yang dipakai untuk
membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan, atau manusia-manusia lain. Objek
formal etika meliputi norma-norma kesusilaan manusia, dan mempelajari
tingkah laku manusia baik buruknya. Sedangkan estetika berkaitan dengan
nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap
lingkungan dan fenomena sekelilingnya.
Nilai itu objektif ataukah subjektif adalah sangat tergantung dari hasil
pandangan yang muncul dari filafat. Nilai akan menjadi subjektif, apabila
subjek sangat berperan dalam segala hal, keesadaran manuusia menjadi tolok
ukur segalnya, atau eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada
reaksi subjek yang melakukan penilaian tanpa mempertimbangkan apakah ini
bersifat fisik atau psikis. Dengan demikian, nilai subjektif akan selalu
memerhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti
perasaan, intelektualitas, dan hasil nilai subjektif selalu akan mengarah kepada
suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Nilai itu objektif, jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran
yang menilai. Nilai objektif muncul karena adanya pandangan dalam filsafat
tentang objektivisme. Objektivisme ini beranggapan pada tolok ukur suatu
gagasan berada pada objeknya, sesuatu yang memiliki kadar secara realitias
benar-benar ada.
b) Estetika
Mengenai estetika, Semiawan, (2005: 159) menjelaskan sebagai the study
of nature of beauty in the fine art, mempelajari tentang hakikat keindahan di
dalam seni. Estetika merupakan cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat
indah dan buruk. Estetika membantu mengarahkan dalam membentuk suatu
persepsi yang baik dari suatu pengetahuan ilmiah agar ia dapat mudah
dipahami oleh khalayak luas. Estetika juga berkaitan dengan kualitas dan
pembentukan mode-mode yang estetis dari suatu pengetahuan ilmiah itu.
Dalam banyak hal, satu atau lebihh sifat-sifat dasar sudah dengan
sendirinya terkandung di dalam suatu pengetahuan apabila pengetahauan itu
sudah lengkap mengandung sifat-sifat dasar pembenaran, sistemik, dan
intersubjektif. 22
22
Filsafat ilmu. Drs. A.. susanto, M.Pd.
11
c) Universal
universal merupakan berlaku umum. Salah satu tuntunan yang harus
dipenuhi oleh ilmu atau pengetahauan ilmiah, yaitu ilmu itu harus berlaku
umum, lintas ruang dan waktu, paling sedikit di bumi ini. Ini juga berarti
hukum-hukum fisika yang berlaku di Indonesia juga berlaku di Amerika
Serikat, baik sekarang maupun seratus tahun yang lalu, dengan beberapa
catatan, misalnya kondisi-kondisi yang relevan di tempat-tempat dan di waktu-
waktu yang dibandingkan itu sama.
Ternyata, sifat universal mempunyai keterbatasan. Keterbatasan ini lebih
nyata lagi pada ilmu-ilmu sosial, misalnya sejarah, antropologi budaya, ilmu
hukum, dan ilmu pendidikan. Tampaknya keterbatasan ini tidak dapat
dilepaskan dari hakikat ilmu sosial sebagai ilmu mengenai manusia (terutama
pelakunya). Jadi, harus lebih banyak lagi catatan yang dipertimbangkan dalam
menerapakan sifat universal ilmu-ilmu sosial. Misalnya yang berkaitan dengan
tempat dan waktu kejadian.
Keterbatasan sifat universal berkaitan erat dengan karakter universelnya. Ada
perbedaan antara karakter universal ilmu-ilmu sosial dengan karakter ilmu-
ilmu ekstra, misalnya ilmu sejarah dengan mekanika.
Fenimena dalam ilmu sejarah sangat terkait dengan ruang dan waktu,
sedang kan fenomena mekanika boleh dikatakan terbatas dari ruang dan
waktu. Karena itu, karakter universal ilmu sejarah berbeda dengan universal
mekanika. Orang dengan mudah akan menilai, seakan-akan tidak ada
universalitas dalam ilmu sejarah, jelas hal ini merupakan tindakan yang
keliru.23
e) Progresif
progresif dapat diartikan adanya kemajuan, perkembangan, atau
peningkatan. Sifat ini merupakan salah satu tuntunan modern untuk ilmu. Sifat
ini sangat si dorong oleh cirri-ciri penalaran filosofis, yaitu skeptis,
menyeluruh (holistic, comprehensive), mendasar (radical), kritis, dan analistis,
yang menyatu dalam semua imajinasi dan penalaran ilmiah. Adanya cirri-ciri
ini, yang mula-mula didominasi oleh sikap skeptic terhadap segala sesuatu
yang di anggap berat, akan mendorong seseorang untuk terus-menerus
12
mempertanykan semua pengetahuan, kemudian ciri-ciri yang lain akan
membawanya ke imajinasi dan penalaran filosofis ilmiah, yang kemudian
berlanjut ke pengembangan pengetahuan, dan berujung pada penemuan
pengetahuan baru. Dengan demikian, berlangsunglah progresivitas
pengetahuan.
Asksiologi merupakan studi tentang nilai. Nilai adalah sesuatu yang
berharga, yang diidamkan oleh setiap insane. Nilai yang dimaksud adalah:
1. Nilai jasmani: Nilai yang terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat, dan nilai
guna.
2. Nilai Rohani: Nilai yang terdiri atas nilai intelek, nilai estetika, nilai etika,
dan nilai relegi.
Nilai-nilai diatas tersusun dalam suatu sistem yang berurutan, yaitu dari
nilai hidup, nilai nikmat, nilai guna, selanjutnya nilai intelek, nilai estetika,
nilai etika, nilai relegi. Nilai hidup adalah nilai dasar, yaitu sesuatu yang
dikejar manusia bagi kelangsungan hidupnya. Sedangkan nilai relegi adalah
nilai utama, yaitu sesuatu yang di dambakan oleh manudia untuk kemuliaan
dirinya.
Berikt ini akan di kemukakan contoh dari hal-hal yang mengandung nilai-
nilai tersebut:
1. Nilai hidup : sehat-sakit, lestari-binasa, awas-buta, menelan-
memuntahkan.
2. Nilai nikmat : suka-duka, harum-busuk, manis-pahit, mengganjar-
menghukum.
3. Nilai guna : manfaat-madharat, perkakas-bekas, mengsmbil-
membuang.
4. Nilai intelek : cermat-ceroboh, cerdas-bebal, mengingat-melupakan.
5. Nilai estetik : mulus-cacat, mekar-kuncup, memikat-menjemukan.
6. Nilai etika : bakti-durhaka, jujur-curang, menghormati-mengejek.
7. Nilai religi : tauhid-syirik, mustahil-mungkin, berharap-berpantang.
Dengan contoh seperti di atas, tidak berarti bahwa setiap hal bernilai
tunggal. Sebagai sistem nilai, ssesuatu hal yang akan berkitan pula dengan
nilai lainnya dengan nilainya dalam sistem itu, tetapi hanya terhadap nilai
yang aling menonjol hal itu disangkutkan. Kenyang-lapar, di samping sebagi
nilai hidup, juga mengandung nilai nikmatdan nilai guna, iman-kufur, di
samping sebagai nilai religi, juga berisi nilai etika, nilai estetika, dan nilai
intelek.24
Dari ketujuh nilai di atas, sering kali terlihat bahwa nilai hidup
berpasangan dengan nilai nikmat, nilai intelek berdampingan dengan nilai
estetika, dan nilai etika bersamaaan dengan nilai religi. Dalam agama,
tampaklah bagaimana nilai etika mengiringi amalnya. Itu tidak berarti bahwa
nilai agama senantiasa menyertai nilai etika.
Dalam hal ini, nilai gunalah terpisah dendiri. Sebenarnya, nilai ini
bertalian dengan nilai nikmmat, tetapi karena bergantung kepada hal lain,
24
Filsafat pendidikan. Drs. Triprasetya. CV. Pustaka Setia. Bandung. Hal 136
13
sering kali orang tidak merasakannya. Niali guna mengandung pengertian
dalam rangka menuju sesuatu, jadi sebagai alat. Perlu ditegaskan. Bahwa apa
yang dimaksud dengan seringkali, berarti bukanlah sesuatu yang tetap atau
pasti.
Nilai hidup bersangkut paut dengan pangan,sandang, dan papan.
Berebut makanan, berlomba dalam berpakaian, mengejar jabatan, adalah
pengejwantahan usaha mendapatkan nilai hidup ini, struggle for life. Jika
orang berhasil memperoleh salah satu dari tiga hal ini, maka akan senanglah
dia, begitu pula jika mendapat duahal lainnya. Di sini dia mendapatkan nilai
nikmat.
Menjawab soal merupakan tindakan yang mempunyai nilai intelek. Di
sini, jika penjawab berusaha melakukannya dengan serapi dan setertib
mungkin, berarti sudah melibatkan diri ke dalam nilai estetika. Begitu pula
dengan menyanyi, yang merupakan tindakan bernilai estetika, akan terasa
hidup kalau diiringi dengan pengertian akan tempo, dinamika dan ekspresi
lagu, yang ketiganya bernilai intelek.
Perbuatan etis tidak jarang disangkutkan dengan nilai religi,
sebagaiman yang dikandug di dalam ungkapan: itu tidak baik, itu adalah
dosa merupakan hal yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari,
sekalipun mungkin tidak berdasar.
Seperti telah dikemukakan di muka, kemampuan bawaan mengandung
nilai. Dengan demikian, nilai intelekpun terdapat di dalamnya. Berkenaan
dengan nilai intelek inilah, kemampuan orang disebut mampu tahu. Mampu
tahu mengandung implikasi bahwa setiap orang memiiki kesanggupan untuk
tahu dan untuk tidak tahu. Terhadap kenyataan ini: Al Ghozali mengutip
pendapat Al Khalil bin Ahmad tentang adanya empat kemungkinan tahu,
yaitu:
a. Tahu bahwa dirinya tahu
b. Tahu bahwa dirinya tidak tahu
c. Tidak tahu bahwa dirinya tahu
d. Tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu
14
Kemampuan tahu bersifat statis. Untuk mengubahnya menjadi
dinamis, diperlukan adanya daya dorong, yaitu keinginan tahu. Mampu tahu
dan ingin tahu berpadu satu saling membutuhkan. Tanpa kemampuan,
keinginan tak akan tewujud. Tanpa keinginan, kemampuan pun tak akan
tumbuh. Di sisni tampaklah kerjasama keduanya.
15
kesendirian, maka naluri ingin tahu berusaha untuk dapat berkumpul dengan
sesuatu. Pada saat hasrat ini terlampiaskan, maka ia bahagia.
16
b. Kebebasan berkehendak, yaitu tidak adanya tekanan untuk
melaksanakan kemauan orang bisa mengarah kemana saja banyak
kemungkinan ia dapat berpikir. Kebebasan berkehendak selalu
berkaitan dengan kebebasan berpikir. Kebebasan berkehendak berpikir
tidak bisa dipaksakan, tetapi bisa dipengaruhi.
c. Kebebasan moral, yaitu tidak adanhya larangan untuk melakukan
perbuatan kesusilaan. Kebebasan moral dalam arti luas adalah tidak
adanya macam desakan atau ancaman, dalam arti sempit ialah tidsk
adanya kewajiban atau larangan. Misalnya, orang bebas naik bis atau
taksi untuk keluar kota, tetapi ia tidak bebas memilih antara mau enggan
membeli karcis.
Kebebasan di artikan dengan tidak adanya desakan atau
ancaman yang datang dari manusia, bukan yang muncul dari alam.
Ancaman dari alam bersifat natural. Ia bebas dari niai, artinya tidak ada
pilihan, tidak ada kewajiban, dan tidak ada tangung jawab. Ajaran etikanya
mencari kesenanagan hidup. Kesenangan hidup menurut Epicorus ialah
barang yang paling tinggi nilainya. Mencari kesenangan hidup itu tidak
berarti memiliki kekayaaan dunia sebanyak-banyaknya dengan tidak
menghiraukan orang lain. Tindakan seperti itu tidak akan membawa
kesenangan hidup. Kesenangan hidup berarti kesenangan badaniah dan
rohaniah.. badan merasa enak dan jiwapun merasa tentram. Yang paling
penting dan paling mulia ialah kesenangan jiwa, karena kesenangan jiwa
meliputi masa sekarang masa lampau, dan masa akan dating. Tujuan etik
Epicuros ini tidak lain dari didikan memperkuat jiwa untuk menghadapi
segala keadaan. Dalan suka dan duka, perasaan manusia hendaklah sama. Ia
tetap berdiri sendiri dengan jiwa yang tenang, pandai memelihara tali
persahabatan.25
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat
dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan
ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia. Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis
25
Filsafat umum dari metodologi sampai teofilosofi. Prof. Dr. H. Hendi suhendi M.SI. pustaka setia bandung.
Hal 114.
17
Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah
kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat
manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak
bisa mengatakan bahwa itu merupakankesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat
bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral,
ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya. Objek pengetahuan mistik ialah objek yang abstrak supra rasional, seperti
alam gaib termasuk Tuhan, Malaikat, Surga, Neraka, Jin dan lain-lain. Termasuk objek yang
hanya dapat diketahui melalui pengetahuan mistik ialah objek-objek yang tidak dapat
dipahami oleh rasio, yaitu objek-objek supra natural (supra rasional), seperti kebal, debus,
pelet, penggunaan Jin, santet dan lain-lain. Pengetahuan mistik itu tidak diperoleh melalui
indera dan tindakan juga dengan menggunakan akal rasional.
Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa, ada yang mengatakan melalui intuisi, Al-Ghozali
mengatakan melalui dhamir atau qalbu. Kebenaran mistik dapat diukur dengan berbagai
macam ukuran. Bila pengetahuan itu berasal dari tuhan, maka ukurannya adalah teks Tuhan
yang menyebutkan demikian. Tatkala tuhan mengatakan dalam Al-Qur’an bahwa Surga dan
Neraka itu ada, maka teks itulah yang menjadi bukti bahwa pernyataan itu benar. Ada
kalanya ukuran kebenaran pengetahuan mistik itu kepercayaan. Jadi, sesuatu dianggap benar
karena kita mempercayainya. Kita percaya bahwa jin dapat disuruh oleh kita untuk
melakukan pekerjaan, kepercayaan itulah yang menjadi kekuatannya. Ada kalanya kebenaran
suatu teori dalam pengetahuan mistik diukur dengan bukti empiris. Dalam hal ini bukti
empiris itulah ukuran kebenarannya.
Subsistem yang ada dihampir semua agama dan sistem religi untuk memenuhi hasrat manusia
mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan, tasawuf, suluk. Hal gaib yang tidak
terjangkau dengan akal manusia biasa Menurut asal katanya, kata mistik berasal dari bahasa
Yunani mystikos yang artinya rahasia (geheim), serba rahasia (geheimzinning), tersembunyi
(verborgen), gelap (donker), atau terselubung dalam kekelaman (in het duister gehuld).
Berdasarkan arti tersebut mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisisme,
merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis (misal ajarannya berbentuk
rahasia atau ajarannya serba rahasia, tersembunyi, gelap atau terselubung dalam kekelaman)
sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja, terutama
sekali bagi penganutnya. Mistik adalah pengetahuan yang tidak rasional, ini pengertian yang
umum. Adapun pengertian mistik bila dikaitkan dengan agama ialah pengetahuan (ajaran atau
keyakinan) tentang Tuhan yang diperoleh dengan cara meditasi atau latihan spiritual, bebas
dari ketergantungan pada indera dan rasio. Pengetahuan Mistik adalah pengetahuan yang
tidak dapat dipahami rasio, pengetahuan ini kadang-kadang memiliki bukti empiris tapi
kebanyakan tidak dapat dibuktikan secara empiris.
Menurut De Kleine W.P kata mistik berasal dari bahasa Yunani myein yang artinya menutup
mata (de ogen sluiten) dan musterion yang artinya suatu rahasia (geheimnis). Beberapa
pendapat tentang paham mistik atau mistisisme. Kepercayaan tentang adanya kontak antara
18
manusia bumi dan tuhan. Kepercayaan tentang persatuan mesra (innige vereneging) ruh
manusia (ziel) dengan Tuhan. Kepercayaan kepada suatu kemungkinan terjadinya persatuan
langsung manusia dengan Dzat Ketuhanan dan perjuangan bergairah kepada persatuan itu.
Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia dan hal-hal yang tersembunyi. Kecenderungan hati
kepada kepercayaan yang menakjubkan atau kepada ilmu yang rahasia. Selain diperolehnya
definisi, pendapat-pendapat tentang paham mistik diatas berdasarkan materi ajarannya juga
memberikan adanya pemilahan antara paham mistik keagamaan (terkait dengan tuhan dan
ketuhanan) dan paham mistik non-keagamaan (tidak terkait dengan tuhan ataupun
ketuhanan).
1. Mistik Biasa, jika dalam Islam, mistik biasa adalah tasawuf, karena tanpa
mengandung kekuatan tertentu.
2. Mistik Magis, adalah sesuatu yang mengandung kekuatan tertentu. Magis ini dibagi
dua, yakni :
a. Magis Putih, selalu dekat hubungannya dengan tuhan, sehingga dukungan tuhan yang
menjadi penentu. Mistik magis putih bila dicontohkan dalam Islam seperti mukjizat,
karamah, ilmu hikmah.
b. Magis Hitam, erat hubungannya dengan kekuatan setan dan roh jahat. Menurut Ibnu
Khaldun penganut magis hitam memiliki kekuatan di atas rata-rata, kekuatan mereka yang
menjadikan mereka mampu melihat hal-hal ghaib dengan dukungan setan dan roh jahat.
Contohnya seperti santet dan sejenisnya yang menginduk ke sihir. Jiwa-jiwa yang memiliki
kemampuan magis ini dapat digolongkan menjadi tiga, diantaranya :
1. mereka yang memiliki kemampuan atau pengaruh melalui kekuatan mental atau
himmah. Itu disebabkan jiwa mereka telah menyatu dengan jiwa setan atau roh jahat. Para
filosof menyebut mereka ini sebagai ahli sihir dan kekuatan mereka luar biasa.
19
3. mereka yang melakukan pengaruh magisnya melalui kekuatan imajinasi sehingga
menimbulkan berbagai fantasi pada orang yang dipengaruhi. Kelompok ini disebut kelompok
pesulap (sya’badzah).
Mustahil pengetahuan mistik mendapat pengikut yang begitu banyak dan berkembang
sedemikian pesat bila tidak ada gunanya. Pengetahuan mistik itu amat subjektif, yang paling
tahu penggunaannya ialah pemiliknya. Di kalangan sufi (pengetahuan mistik biasa) dapat
menentramkan jiwa mereka. Pengetahuan mereka seiring dapat menyelesaikan persoalan
yang tidak dapat diselesaikan oleh sains dan filsafat. Jenis mistik lain seperti kekebalan, pelet,
debus dan lain-lain diperlukan atau berguna bagi seseorang sesuai dengan kondisi tertentu,
terlepas dari benar atau tidak penggunaannya. Kebal misalnya dapat digunakan dalam
pertahanan diri, debus dapat digunakan sebagai pertahanan diri dan juga untuk pertunjukkan
hiburan. Jenis ini dapat meningkatkan harga diri dan juga untuk pertunjukkan hiburan. Jenis
ini dapat meningkatkan harga diri.
Sementara mistik magis hitam, dikatakan hitam, antara penggunaannya untuk kejahatan.
Untuk menilai apakah mistik magis itu hitam atau putih kita melihatnya pada segi
ontologinya, epistemologinya dan aksiologinya. Bila pada hal ontologinya terdapat hal-hal
yang berlawanan dengan kebaikan, maka dari segi ontologi mistik magis itu kita disebut
hitam. Bila cara memperolehnya (epistemologi) ada yang berlawanan dengan nilai kebaikan
maka kita akan mengatakan mistik magis itu hitam. Bila dalam penggunaan (aksiologi) untuk
kejahatan maka kita menyebutnya hitam. Cara pengetahuaan mistik menyelesaikan masalah
tidak melalui proses indrawi dan tidak pula melalui proses rasio. Itu berlaku mistik putih dan
mistik hitam.
DAFTAR PUSTAKA
20
________________________________________
21