Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

Sistem Pengaturan Suhu

Disusun Oleh :

Kelompok 1

1. Devyanti Natalia S - 2163030


2. Ronauli Valentina S - 2163030014
3. Stepanus Fernando - 21630300

Program Studi Keperawatan

Fakultas Vokasi

Universitas Kristen Indonesia

Jakarta, 2022
1. KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengertian Pengaturan Suhu
 Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang diproduksi oleh proses
tubuh dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan luar. Suhu permukaan
berfluktuasi bergantung pada aliran darah ke kulit daan jumlah panas yang
hilang ke lingkungan luar. Karena fluktuasi suhu permukaan ini, suhu yang
dapat diterima berkisar dari 36℃ atau 37,4℃. Fungsi jaringan dan sel tubuh
paling baik dalam rentang suhu yang relatif sempit (Perry, 2005). Menurut
Sutisna (2010) Suhu tubuh adalah perbedaan antara jumlah panas yang
diproduksi oleh proses tubuh dan jumlah panas yang hilang ke lingkungan
luar. Panas yang diproduksi dikurangi pengeluaran panas sama dengan nilai
suhu tubuh. Dalam tubuh, panas dihasilkan oleh gerakan otot asimilasi
makanan dan oleh semua proses vital yang berperan dalam tingkat
metabolisme basal. Panas dikeluarkan tubuh melalui radiasi, konduksi
(hantaran), dan penguapan air di saluran napas dan kulit. Sejumlah panas juga
dikeluarkan melalui urine dan feses.
 Sistem termoregulasi dikendalikan oleh hipotalamus di otak, yang berfungsi
sebagai termostat tubuh. Hipotalamus mampu berespon terhadap perubahan
suhu darah sekecil0,01℃ (Sloane, 2003). Pusat termoregulasi menerima
masukan dari termoreseptor dihipotalamus itu sendiri yang berfungsi menjaga
temperatur ketika darah melewati otak (temperatur inti) dan reseptor di kulit
yang menjaga temperatur eksternal.

B. Etiologi
 Kecepatan metabolisme basal

Kecepatan metabolisme basal tiap individu berbeda-beda. Hal ini


memberi dampak jumlah panas yang diproduksi tubuh menjadi berbeda
pula. Sebagaimana disebutkan pada uraian sebelumnya, sangat terkait
dengan laju metabolisme.

 Rangsangan saraf simpatis.


Rangsangan saraf simpatis dapat menyebabkan kecepatan metabolisme
menjadi 100% lebih cepat. Umumnya, rangsangan saraf simpatis ini
dipengaruhi stress individu yang menyebabkan peningkatan produksi
epineprin dan norepineprin yang meningkatkan metabolisme.

 Hormone pertumbuhan.

Hormone pertumbuhan (growth hormone) dapat menyebabkan


peningkatan kecepatan metabolisme sebesar 15-20%. Akibatnya,
produksi panas tubuh juga meningkat.

 Hormone tiroid.

Fungsi tiroksin adalah meningkatkan aktivitas hamper semua reaksi kimia


dalam tubuh sehingga peningkatan kadar tiroksin dapat mempengaruhi
laju metabolisme menjadi 50-100% diatas normal

 Demam (peradangan)

Proses peradangan dan demam dapat menyebabkan peningkatan


metabolisme sebesar 120% untuk tiap peningkatan suhu 10°C.

 Status gizi
Malnutrisi yang cukup lama dapat menurunkan kecepatan metabolisme
20 – 30%. Hal ini terjadi karena di dalam sel tidak ada zat makanan yang
dibutuhkan untuk mengadakan metabolisme. Dengan demikian, orang
yang mengalami mal nutrisi mudah mengalami penurunan suhu tubuh
(hipotermia). Selain itu, individu dengan lapisan lemak tebal cenderung
tidak mudah mengalami hipotermia karena lemak merupakan isolator
yang cukup baik, dalam arti lemak menyalurkan panas dengan kecepatan
sepertiga kecepatan jaringan yang lain.
 Lingkungan
Suhu tubuh dapat mengalami pertukaran dengan lingkungan, artinya
panas tubuh dapat hilang atau berkurang akibat lingkungan yang lebih
dingin. Begitu juga sebaliknya, lingkungan dapat mempengaruhi suhu
tubuh manusia. Perpindahan suhu antara manusia dan lingkungan terjadi
sebagian besar melalui kulit.

C. Anatomi

D. Klasifikasi

 Secara umum suhu tubuh manusia berkisar 36,5 – 37,5 °C.


Gangguan suhu tubuh dapat diklasifikasikan menjadi hipotermia
(<35 °C), demam (>37.5–38.3 °C), hipetermia (>37.5–38.3 °C),
dan hiperpireksia (>40 –41,5 °C). Ditilik dari tingginya suhu, pada
demam dan hipertermia memiliki nilai rentang suhu yang sama
yaitu berkisar antara > 37.5-38.3 °C. Yang membedakan antara
keduanya adalah mekanisme terjadinya. Pada demam,
peningkatan suhu tubuh disebabkan oleh peningkatan titik
pengaturan suhu (set point) di hipotalamus. Sementara, pada
hipertermia titik pengaturan suhu dalam batas normal.
 Demam memiliki pola tertentu yang mengindikasikan suatu
penyakit. Demam terus-menerus (Continuous fever) memiliki pola
suhu tetap di atas normal sepanjang hari dan tidak terjadi fluktuasi
lebih dari 1 °C dalam 24 jam. Demam ini sering terjadi pada
penyakit pneumonia lobaris, infeksi saluran kemih,
atau brucellosis. Apabila fluktuasi suhu lebih dari 1 °C dalam 24
jam disebut dengan demam remitten.
Demam intermitten mempunyai pola peningkatan suhu hanya
terjadi pada satu periode tertentu dan siklus berikutnya kembali
normal. Contohnya demam pada malaria atau septikemia.

E. Manifestasi Klinik
Perubahan suhu tubuh di luar rentang normal mempengaruhi set point
hipotalamus. Perubahan ini dapat berhubungan dengan produksi panas yang
berlebihan, pengeluaran panas yang berlebihan, produksi panas minimal.
Pengeluaran panas minimal atau setiap gabungan dari perubahan tersebut. Sifat
perubahan tersebut mempengauhi masalah klinis yang dialami klien :
1. Demam
Demam terjadi karena mekanisme pengeluaran panas tidak mampu untuk
mempertahankan kecepatan pengeluaran kelebihan produksi panas, yang
mengaibatkan peningkatan suhu tubuh abnormal. Demam biasanya tidak
berbahaya jika berada pada suhu dibawah 39oC. demam sebenarnya
merupakan akibat dari perubahan set point hipotalamus.

2. Kelelahan akibat panas


Kelelahan akibat panas terjadi bila diaphoresis yang banyak
mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebih.disebabkan
oleh lingkungan yang terpajan panas. Tanda dan gejala kurang volume
cairan adalah hal yang umum selama kelelahan akibat panas.

3. Hipertermia
Peningkatan suhu tubuh sehubungan dengan ketidakmampuan tubuh untuk
meningkatkan pengeluaran panas atau menurunkan produksi panas adalah
hipertermia. Biasanya suhu tubuh mencapai >40oC.

4. Heatstroke
Pajanan yang lama terhadap sinar matahari atau lingkungan dengan suhu
tinggi dapatmempengaruhi mekanisme pengeluaran panas. Kondisi ini
disebut heatstroke, kedaruratan yang berbahaya panas dengan angka
mortalitas uang tinggi. klien yang berisiko termasuk yang masih muda
maupun sangat tua, yang memiliki penyakit kardiovaskular,
hipotiroidisme, diabetes atau alkoholik, orang yang menjalankan olahraga
berat. Tanda dan gejala heatstroke adalah delirium, sangat haus, mual,
kram otot, gangguan visual dan bahkan inkontinensia urine. Penderita
heatstroke tidak berkeringat karena kehilangan elektrolit sangat berat dan
malfungsi hipotalamus. Heatstroke dengan suhu >40,5ºC mengakibatkan
kerusakan jaringan pada sel dari semua organ tubuh.

5. Hipotermia
Pengeluaran panas akibat paparan terus menerus terhadap dingin
mempengaruhi kemempuan tubuh untuk memproduksi panas,
mengakibatkan hipotermia. Ketika suhu tubuh turun menjadi 35ºC, klien
mengalami gemetar yang tidak terkontrol, hilang ingatan, depresi, dan
tidak mampu menilai. Jika suhu tubuh turun di bawah 34,4ºC frekuensi
jantung, pernapasan, dan tekanan darah turun, kulit menjadi sianosis

F. Patofisiologi

G. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium meliputi :


a. Pemeriksaan darah lengkap
Untuk mengidentifikasi kemungkinan terjadinya resiko infesi
b. Pemeriksaan urin
c. Uji widal
Uji widal aalah suatu reaksi antigen dan antibody / agglutinin.
Agglutininyang spesifik terdapat salmonella terdapat serum demam pasien.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan telah diolah di laboratoriaum. Maksud uji Widal ini
adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum pasien yang
disangka menderita demam thypoid.
d. Pemeriksaan elektrolit : Na, K, Cl
e. Uji tourniquet
f. Pemeriksaan SGOT (Sserum glutamat Oksaloasetat Transaminase) dan
ISGPT (Serum Glutamat Piruvat Transaminase) SGOT SGPT sering
meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya demam, kenaikan
SGOT SGPT tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
-Biopsi pada tempat-tempat yang dicurigai, juga dapat dilakukan
pemeriksaan seperti angiografi, autografi atau limfangi giografi
H. Penatalaksanaan
Mengawasi kondisi klien (monitor suhu berkala 4-6 jam)
 Berikan motivasi untuk minum banyak
 Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang
 Kompres dengan air hangat pada dahi, dada, ketiak, dan lipatan paha
 Pemberian obat Antipiretik seperti paracetamol, asetaminofen untuk
membantu dalam penurunan panas
 Pemberian Antibiotik sesuai indikasi
 Ditempatkan dalam ruangan bersuhu normal, menggunakan pakaian
yang tidak tebal, dan memberikan kompres.
 Terapi keperawatan nonfarmakologis juga dapat digunakan untuk
menurunkan demam dengan cara peningkatan pengeluaran panas
melalui evaporasi, konduksi konveksi atau radiasi. Secara tradisional
perawat telah menggunakan mandi tepid sponge, mandi dengan
menggunakan larutan air alkohol, kompres es pada daerah aksila dan
lipatan paha dan kipas angin.
 Tindakan keperawatan mandiri meningkatkan kenyamanan,
menurunkan kebutuhan metabolik dan memberi nutrisi untuk
memenuhi peningkatan kebutuhan energi (Potter and Perry, 2005)

2. KONSEP DASAR KEPERAWATAN


a. Pengkajian
Dalam melakukan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama
dan hal yang penting di lakukan baik saat pasien pertama kali masuk rumah sakit
maupun selama pasien dirawat di rumah sakit (Widyorini et al. 2017).
1) Kaji Riwayat keperawatan
a. Identitas pasien
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang tua,
pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua.
b. Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang
kerumah sakit adalah panas tinggi dan terdapat petchie
c. Riwayat penyakit sekarang
Data yang didapat dari klien atau keluarga klien tentang perjalanan
penyakit dari keluhan saat sakit hingga dilakukan asuhan keperawatan.
Biasanya klien mengeluh demam yang disertai menggil, mual, muntah,
pusing, lemas, pegal-pegal pada saat dibawa ke rumah sakit. Selain itu
terdapat tanda-tanda perdarahan seperti ptekie, gusi berdarah, diare yang
bercampur darah, epitaksis.
d. Riwayat penyakit dahulu
Pada klien DHF tidak ditemukan hubungan dengan riwayat penyakit
dahulu. Hal ini dikarenakan DHF disebabkan oleh virus dengue dengan
masa inkubasi kurang lebih 15 hari. Serangan ke dua bisa terjadi pada
pasien yang pernah mengalami DHF sebelumnya. Namun hal tersebut
jarang terjadi karena pada pasien yang pernah mengalami serangan sudah
mempunyai sistem imun pada virus tersebut.
e. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit DHF merupakan penyakit yang diakibatkan nyamuk terinfeksi
virus dengue. Jika salah satu dari anggota keluarga ada yang terserang
penyakit DHF kemungkinan keluarga lainnya dapat tetular karena gigitan
nyamuk.

2) Pengkajian pola dan fungsi Kesehatan


a. Nutrisi: klien mengalami penurunan nafsu makan dikarenakan klien
mengalami mual, muntah setelah makan.
b. Aktifitas: klien biasanya mengalami gangguan aktifitas dikarenakan klien
mengalami kelemahan, nyeri tulang dan sendi, pegal-pegal dan pusing.
c. Istirahat tidur: demam, pusing, nyeri, dan pegal-pegal berakibat
terganggunya istirahat dan tidur.
d. Eliminasi: pada klien DHF didapatkan klien mengalami diare, luaran urin
menurun, BAB keras.
e. Personal hygine: klien biasanya merasakan pegal dan perasaan seperti
tersayat pada kulit karena demam sehingga pasien memerlukan bantuan
orang lain dalam memenuhi perawatan diri.
3) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Pada derajat I II dan III biasanya klien dalam keadaan composmentis
sedangkan pada derajat IV klien mengalami penurunan kesadaran. Pada
pemeriksaan didapatkan hasil demam naik turun serta menggigil,
penurunan tekanan darah, frekuensi nadi cepat dan teraba lemah.
b. Kulit
Kulit tampak kemerahan merupakan respon fisiologis dan demam tinggi,
pada kulit tampak terdapat bintik merah (petekhie), hematom, ekmosis
(memar).
c. Kepala
Pada klien dengan DHF biasanya terdapat tanda pada ubun-ubun cekung.
d. Wajah
Wajah tampak kemerahan, kemungkinan tampak bintik-bintik merah atau
ptekie.
e. Mata
Mata tampak merah
f. Mulut
Terdapat perdarahan pada gusi, mukosa tampak kering, lidah tampak
kotor.
g. Leher
Tidak tampak pembesaran JPV.
h. Dada
Pada pemeriksaan dada biasanya ditemui pernapasan dangkal, pada
perkusi dapat ditemukan bunyi napas cepat dan sering berat, redup karena
efusi pleura. Pada pemeriksaan jantung ditemui suara abnormal, suara
jantung S1 S2 tunggal, dapat terjadi anemia karena kekurangan cairan,
sianosis pada organ tepi.
i. Abdomen
Nyeri tekan pada perut, saat dilakukan pemeriksaan dengan palpasi
terdapat pembesaran hati dan limfe.
j. Anus dan genetalia
Pada pemeriksaan anus dan genetalia terkadang dapat ditemukannya
gangguan karena diare atau konstipasi, misalnya kemerahan, lesi pada
kulit sekiatar anus.
k. Ekstermitas atas dan bawah
Pada umumnya pada pemeriksaan fisik penderita DHF ditemukan
ekstermitas dingin, lembab, terkadang disertai sianosis yang menunjukkan
terjadinya renjatan.

4) Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan darah pada pasien DHF akan didapatkan hasil: a) Uji
turniquet positif. b) Jumlah trombosit mengalami penurunan

b. Diagnosa
 Hipovolemia (D.0023) berhubungan dengan kekurangan intake
cairan
 Hipertermia (D.0130) berhubungan dengan proses penyakit
ditandai dengan suhu tubuh diatas nilai normal
 Nyeri Akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera
fisiologis ditandai dengan pasien mengeluh nyeri
 Defisit nutrisi (D.0019) berhubungan dengan ketidakmampuan
mengabsorbsi nutrient
 Risiko perdarahan (D.0012) ditandai dengan koagulasi
(trombositopenia)

c. Intervensi
 Hipovolemia (D.0023), intervensinya manajemen hypovolemia (I.03116)
Observasi :
1. Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis. Frekuensi nadi
meningkat, nadi teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan
nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran mukosa kering,
volume urine menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
2. Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
1. Hitung kebutuhan cairan
2. Berikan asupan cairan oral
Edukasi
1. Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
2. Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis. Nacl, RL)

 Hipertermia (D.0130), intervensinya manajemen hipertemia (I.15506)


Observasi
1. Identifikasi penyebab Hipertermia (mis, Dehidrasi, terpapar
lingkungan panas, penggunaan inkubator)
2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor kadar elektrolit
4. Monitor haluaran urine

Teraupetik

1. Sediakan lingkungan yang dingin


2. Longgarkan atau lepaskan pakaian
3. Berikan cairan oral
4. Berikan oksigen, jika perlu

Edukasi

1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi

1. Pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

 Nyeri Akut (D.0077), intervensinya Manajemen Nyeri (I.08238)


Observasi
1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respons nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
5. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
6. Monitor efek samping penggunaan analgetik

Teraupetik

1. Berikan Teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri


(mis, kompres hangat/dingin)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis, suhu
ruangan, pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitas istirahat dan tidur

Edukasi

1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri


2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
4. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri

Kolaborasi

1. Pemberian analgetik, jika perlu

 Defisit Nutrisi (D.0019), intervensinya manajemen nutrisi (I.03119)


Observasi
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Identifikasi makanan yang disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5. Monitor asupan makanan
6. Monitor berat badan
7. Monitor hasil pemeriksaan laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
2. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
3. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda
nyeri), jika perlu

 Risiko Perdarahan (D.0012), intervensinya Pencegahan Perdarahan (I.


02067)
Observasi
1. Monitor tanda dan gejala perdarahan
2. Monitor nilai hematokrit atau hemoglobin sebelum dan setelah
kehilangan darah
3. Monitor tanda-tanda vital ortostatistik
Terapeutik
1. Pertahankan bed rest selama perdarahan
2. Batasi tindakan invasif, jika perlu
3. Gunakan kasur pencegahan decubitus
4. Hindari pengukuran suhu rektal
Edukasi
1. Jelaskan tanda dan gejala perdarahan
2. Anjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
3. Anjurkan segera melapor jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika perlu

d. Implementasi
 Hipovolemia (D.0023), intervensinya manajemen hypovolemia (I.03116)
1. Memeriksa tanda dan gejala hipovolemi
2. Memonitor intake dan output cairan
3. Memonitor kebutuhan cairan
4. Memberikan banyak asupan cairan oral
5. Menganjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
6. Melakukan kolaborasi cairan IV isotonic (Nacl, RL)

 Hipertermia (D.0130), intervensinya manajemen hipertermia (I.15506)


1. Mengidentifikasi penyebab Hipertermia
2. Memonitor suhu tubuh
3. Memonitor kadar elektrolit
4. Memonitor haluaran urine
5. Menyediakan lingkungan yang dingin
6. Melepaskan pakaian
7. Memberikan cairan oral
8. Memberikan oksigen, jika perlu
9. Menganjurkan tirah baring
10. Memberikan cairan dan elektrolit intravena, jika perlu

 Nyeri Akut (D.0077), intervensinya manajemen nyeri (I.08238)


1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,
intensitas nyeri
2. Mengindentifikasi skala nyeri
3. Mengindentifikasi respons nyeri non verbal
4. Mengindentifikasi faktor yang memperberat dan memperingan
nyeri
5. Mengidentifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
6. Memonitor efek samping penggunaan analgetik
7. Memberikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
8. Mengkontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
9. Memfasilitasi istirahat dan tidur
10. Menjelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
11. Menjelaskan strategi meredakan nyeri
12. Menganjurkan monitor nyeri secara mandiri
13. Menganjurkan teknik farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
14. Melakukan kolaborasi analgetik, jika perlu

 Defisit Nutrisi (D.0019), intervensinya manajemen nutrisi (I.03119)


1. Mengidentifikasi status nutrisi
2. Mengidentifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Mengidentifikasi makanan yang disukai
4. Mengidentifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
5. Memonitor asupan makanan
6. Memonitor berat badan
7. Memonitor hasil pemeriksaan laboratorium
8. Melakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
9. Menyajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
10. Memberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
11. Menganjurkan posisi duduk, jika perlu
12. Melakukan kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan, jika
perlu

 Risiko Perdarahan (D.0012), intervensinya pencegahan perdarahan


(I.02067)
1. Memonitor tanda dan gejala perdarahan
2. Memonitor nilai hematokrit atau hemoglobin sebelum dan setelah
kehilangan darah
3. Memonitor tanda-tanda vital ortostatistik
4. Mempertahankan bed rest selama perdarahan
5. Membatasi tindakan invasive, jika perlu
6. Menggunakan kasur pencegah decubitus
7. Menghindari pengukuran suhu rektal
8. Menjelaskan tanda dan gejala perdarahan
9. Menganjurkan meningkatkan asupan makanan dan vitamin K
10. Menganjurkan segera melaporkan obat pengontrol perdarahan, jika
perlu
11. Melakukan kolaborasi pemberian obat pengontrol perdarahan, jika
perlu
e. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap untuk melihat hasil atau menilai sejauh mana
tercapainya suatu intervensi yang dilakukan dan respon klien terhadap pemberian
asuhan keperawatan yang diberikan (Perry Potter, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

WHO SEARO, 2011, Comprehensive Guideline for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever.

Kemenkes, 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di Indonesia


Nur Hazanah. Asuhan keperawatan Dengue Hemorrhage Fever (DHF).
http://repository.poltekkes-kaltim.ac.id/1082/1/KTI%20TIARA%20RIZKI
%20FITRIANI.pdf (diakses tanggal 21 Oktober 2022)

https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-sultan-agung/hukum-kepegawaian/
laporan-pendahuluan-demam-berdarah/30260248

Harmawan. 2018. Dengue Hemorrhagic Fever. Jakarta Amin Huda Nurarif & Kusuma,
Hardhi. 2015.

Wijayaningsih, Kartika Sari. 2017. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta: TIM. Murwani.
2018.

Patofisiologi Dengue Hemorrhagic Fever. Jakarta Pangaribuan, Anggy. 2017. <Faktor


Prognosis Kematian Sindrom Syok Dengue.= 15(5).

Rampengan. 2017. Penatalaksanaan Dengue Hemorrhagic Fever. SDKI DPP PPNI. 2017.
Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi
Keperawatan Indonesia. SLKI DPP PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta. WHO. 2016. Prevention and Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.

Anda mungkin juga menyukai