Anda di halaman 1dari 31

KONSEP PENDIDIKAN TAUHID PERSPEKTIF TAFSIR SURAT LUQMAN

AYAT 13 – 19 DAN PENERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN ANAK

Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Tafsir Hadits Pendidikan

Dosen:
Prof. Dr. KH. Didin Hafidhuddin, M.A.
Dr. KH. Akhmad Alim, Lc, M.A.

Oleh: Agung Wahyu Adhy


NPM: 212101011204

Sekolah Pascasarjana Penididkan Agama Islam


Universitas Ibn Khaldun Bogor
Tahun Akademik 2021-2022

1|P age
KONSEP PENDIDIKAN TAUHID PERSPEKTIF TAFSIR SURAT LUQMAN
AYAT 13 – 19 DAN PENERAPANNYA DALAM PENDIDIKAN ANAK

Agung Wahyu Adhy


agungwahyu@gmail.com
Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Agama Islam
Universiats Ibnu Khaldun Bogor

Abstrak
Pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau
kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Pendidikan yang benar merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah Swt. Pendidikan juga mengantarkan manusia untuk menggapai kehidupan
kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Adanya krisis multidimensional di tengah
masyarakat menandakan adanya kegagalan dalam proses pendidikan. Hal ini tentu tidak
boleh dibiarkan berlarut-larut tanpa solusi. Karena kegagalan dalam pendidikan akan
mengakibatkan lahirnya sumber daya manusia yang tidak bermutu. Oleh karena itu, perlu
adanya konsep pendidikan yang tepat dan benar. Pendidikan berbasis tauhid yang
diterapkan oleh Nabi Muhammad Saw kepada para sahabatnya jelas telah menuai sukses.
Pendidikan Nabi telah melahirkan generasi terbaik ummat ini yang disebut khoiru
ummah. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mengajarkan kepada kita konsep-
konsep pendidikan tauhid. Bahkan sejatinya keseluruhan kandungan Al-Qur’an berisi
tentang nilai-nilai ketauhidan. Diantara ayat yang berisi konsep-konsep pendidikan tauhid
adalah surat Luqman ayat 13 – 19. Wasiat-wasiat Lukman dalam ayat tersebut sangat
tepat untuk menjadi bahan kajian bagaimana konsep pendidikan tauhid dilaksanakan.

Kata Kunci: Tauhid, Pendidikan, Surat Lukman

A. Pendahuluan
Rasulullah Saw sebagai murabbi an-naajih (pendidik sukses), dengan taufiq Allah
Swt telah sukses melahirkan generasi terbaik ummat ini selama kurun waktu 23 tahun,
tiga belas tahun di Mekkah dan sepuluh tahun di Madinah. Mereka orang-orang yang

2|P age
Allah Swt sebut sebagai khoiro ummah (ummat terbaik) sebagaimana pujian Allah Swt
kepada mereka dalam surat Ali Imron ayat 110:
َ َ ُ َُْ َ ْ َ َ ْ َََْ
ِ ‫وف وتنهون ع ِن ال ُمنك ِر وتؤ ِمنون ِب‬ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ‫ت ل َّلن‬ْ َ ْ ُ َّ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ ُ
‫اّلل‬ ِ ‫اس تأم ُرون ِبالمع ُر‬
ِ ِ ‫كنتم خ ْي ام ٍة اخ ِرج‬
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kamu
menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada
Allah”1
Keberhasilan Rasul Saw melahirkan generasi terbaik tidak lepas dari proses dan
konsep pendidikan yang benar melalui bimbingan wahyu al-Qur’an. Rasul Saw menitik
beratkan pendidikan beliau di awal-awal Islam pada pengokohan pondasi dan prinsip
keimanan yaitu tauhid. Tiga belas tahun di Mekkah, beliau mengajarkan tauhid kepada
para sahabat-sahabatnya, karena tauhid adalah inti dan segalanya dalam Islam. Tauhid
menjadi maksud dan tujuan diciptakannnya jin dan manusia, “Tidaklah Aku menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”2. Oleh karena itu, kandungan-
kandungan al-Qur’an berkisar tentang tauhid. Segala hukum, aturan, perintah dan manhaj
dalam rangka mewujudkan tauhid.
Mendidik manusia diatas tauhid, bukan hanya dilakukan oleh Nabi Saw, bahkan
tauhid menjadi inti dakwah seluruh nabi dan rasul. Tidak ada seorangpun dari mereka
kecuali menyeru dan mengajak ummatnya kepada tauhid. Allah Swt berfiman:
ُ ْ َ ْ ُ ُّ َ َ َ َّ ً ًۖ َ َّ ً َّ ُ ْ ُ ُ َّ ُ ٖٓ ٰ َّ
‫اع ُبد ْو ِن‬‫ِان ه ِذه امتكم امة و ِاحدة وانا ربكم ف‬
“Sesungguhnya ini (agama tauhid) adalah agamamu, agama yang satu, dan Aku adalah
Tuhanmu. Maka, sembahlah Aku”3.
ْ ُ‫ه‬ َ َ ْ َ َۚ َ ُ َّ َ ْ َ َ‫ه‬ ُ ْ َ ً ْ ُ َّ َّ ُ ِّ ُ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ َ
‫اّلل َو ِمن ُه ْم َّم ْن‬ ‫اجت ِن ُبوا الطاغ ْوت ف ِمن ُه ْم َّم ْن هدى‬ ‫اع ُبدوا اّلل و‬ ‫ولقد بعثنا ِ يف كل ام ٍة رسوًل ا ِن‬
‫ي‬َ ْ ‫ان َعاق َب ُة ْال ُم َك ِّذب‬
َ َ َ َْ ُْ ُ ْ َ
‫ض فانظروا كيف ك‬ ‫ر‬
َْ
ْ ‫اْل‬ ‫ف‬ ‫ا‬‫و‬ْ ‫الض ٰل َل ُة ۗ َفس ْ ُي‬
َّ َ ْ َّ
‫َحقت َعل ْي ِه‬
ِْ ِ ِ ِ ْ ِ
“Sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan),
“Sembahlah Allah dan jauhilah tagut!” Di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh
Allah dan ada pula yang ditetapkan dalam kesesatan. Maka, berjalanlah kamu di bumi
dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul)”4.

1
QS. Ali Imron: 110
2
QS. adz-Dzariyat: 56
3
QS. al-Anbiyaa: 92
4
QS. an-Nahl: 36

3|P age
Pendidikan yang dibangun dengan pondasi yang salah tidak akan mampu
melahirkan generasi yang baik, tidak bisa menjawab dan memberikan solusi bagi
problematika ummat.
Mengacu pada pendapat Fritjof Capra, pedidikan hari ini masih belum dikatakan
baik. Manusia berada dalam krisis global yang serius, krisis kompleks dan
multidimensional yang segi-seginya menyentuh setiap aspek kehidupan, kesehatan dan
mata pencaharian, kualitas lingungan dan hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan
politik5. Pengeroposan nilai-nilai kemanusiaan semakin memburuk, padahal saat ini kita
berada di dunia modern, yang selalu mengidentikkan diri dengan kekuatan ilmu,
rasionalitas, dan efektivitas.
Negara berkewajiban mengusahakan dan menyelenggarakan sistem pendidikan
nasional yang baik sesuai amanat pembukaan UUD 1945 “mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan memiliki ilmu pengetahuan sebagai
modal dalam mengembangkan diri. Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003 telah memberi arah dan tujuan yang jelas. Pendidikan
Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan
rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang bertanggung
jawab.
Dalam satu bagian, pendidikan nasional telah berhasil melahirkan anak-anak
cerdas dalam bidang akademik. Banyak capaian prestasi akademik di tingkat
internasional dalam bidang matematika, fisika, kimia, biologi, komputer dan lainnya. Kita
patut bangga atas hal tersbut. Namun sayang, sistem pendidikan kita belum membawa
hasil yang memuaskan, bahkan bisa dikatakan gagal mencapai tujuannya dalam
membentuk manusia beriman, bertakwa, berkarakter baik serta luhur akhlaknya.
Krisis moral terlihat nyata, para pemangku kepentingan dan jabatan lulusan
sekolah dan perguruan tinggi favorit, saat diberikan kepercayaan mengurus dan mengatur
negara justru mempertontonkan kepada rakyatnya akhlak yang buruk. Korupsi
merajalela, hukum diperjual belikan, jabatan diperdagangkan, pergaulan bebas

5
Imam Nawawi, 2011. Menggagas Konsep Pendidikan Berbasis Tauhid.
https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2011/12/05/2217/menggagas-konsep-
pendidikan-berbasis-tauhid.html

4|P age
dilegalkan, ketidakjujuran menggurita dan bermacam bentuk tindakan tidak manusiawi
lainnya. Pelajar yang belum lulus banyak terlibat tawuran, tindakan kriminal baik
penodongan maupun pencurian, seks bebas, penggunaan narkotika dan obat-obatan
terlarang lainnya.
Disisi yang lain, ternyata krisis akidah dan ideologi lebih mengkhawatirkan.
Kepercayaan kepada hal-hal barbau mistis dan klenik yang jauh dari sebutan rasional
masih banyak dijumpai ditengah masyarakat. Bukan hanya dari kalangan awwamnya saja,
bahkan ada juga kalangan terpelajar dan akademisi yang masih percaya. Mendatangai
dukun, tukang sihir dan santet serta peramal masih dilakukan banyak orang. Pemakaian
susuk, jimat dan penglaris masih membudaya. Terakhir kepercayaan kepada spirit doll
(boneka arwah) yang justru marak terjadi di kalangan para selebriti.
Keadaan ini semakin menambah potret buruk dan citra pendidikan kita, sehingga
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Keadaan
seperti ini tidak boleh dibiarkan dan ditunda, harus segera dibuatkan terobosan-terobosan,
dicarikan solusi dan alternative yang paling efektif dalam membina moralitas masyarakat.
Pendidikan tauhid yang diterapkan Nabi Saw kepada para sahabatnya telah
mampu melahirkan alumnus yang dipersaksikan oleh sejarah sebagai generasi terbaik
karena keimanan mereka dan akhlakul karimahnya. Sehingga muncul para khalifah yang
adil dan bijaksana, saudagar yang dermawan, mujahidin yang pemberani, hakim yang
tidak tebang pilih dan rakyat yang jujur.
Oleh karena itu tauhid sangat layak dijadikan landasan konsep pendidikan
Indonesia, karena menyentuh pada segala aspek kehidupan manusia baik aspek kognisi,
afeksi dan psikomotoriknya. (Zaini, 2011)6.
Menurut Hafiedh Hasan (2014:78) pendidikan berbasis tauhid menjadi salah satu
solusi untuk pendidikan di Indonesia. Pendidikan berbasis tauhid adalah keseluruhan
kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan pengembangan
potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian masing-masing
yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah Swt. Selanjutnya ilmu dan keahlian

6
Agus Setiawan, 2016. Konsep Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga Perspektif Pendidikan Islam, EDUCASIA,
Vol. 1 No. 2, 2016, www.educasia.or.id, e-ISSN: 2527-5011, p-ISSN: 2502-9150

5|P age
yang dimiliki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi pengabdian kepada Allah
Swt7

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan beberapa masalah yaitu:
1. Bagaimana konsep pendidikan tauhid?
2. Bagaimana konsep pendidikan tauhid perspektif tafsir maudlu’i?
3. Bagaimana penerapan konsep pendidikan tauhid pada anak?

C. Pembahasan
1. Konsep Pendidikan Tauhid
a) Pengertian Pendidikan
Pendidikan dalam bahasa Arab sering disebut tarbiyah (‫)تربية‬. Sedangkan nama
tarbiyah itu sendiri diambil dari kata ar-Rabb (‫)الرب‬, dan secara terminology dipakai
untuk menyebut al-Maalik (raja), as-Sayyid (tuan), al-Mudabbir (yang mengatur), al-
Murobbi (yang mendidik), al-Mun’im (yang memberi nikmat). Kata rabbaany adalah
nisbat kepada ar-rabb dengen penambahan huruf alif dan nun dipakai untuk redaksi
mubalaghoh (sangat atau lebih). Dan ada yang mengatakan kata tersebut dari kata ar-
rabb dengan makna tarbiyah (pendidikan). Para ulama sering disebut rabbaaniyun karena
mereka mendidik para pembelajar ilmu-ilmu dasar sebelum ilmu-ilmu besar. Rabbany
adalah seorang alim yang kokoh dalam ilmu dan agama atau orang yang mencari ridha
Allah dengan ilmunya8
Abdurrahman al-Nahlawi menyebutkan, kata tarbiyah secara bahasa merupakan
kata yang berasal tiga (3) akar kata, yakni, pertama raba – yarbu, yang berarti bertambah
atau bertumbuh, sebagiman dalam surat al-Rum ayat 399. Kedua, berasal dari rabiya-
yarba, yang berarti menjadi dasar, dan yang ketiga, rabba-yarubbu, yang berarti

7
Junita Maulidia dkk. Pengembangan Kurikulum Pembelajaran AUD Berbasis Tauhid. Islamic EduKids:
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 02 No. 01, Juni 2020
8
https://www.alukah.net/social/0/94173/#_ftn1
9
“Riba yang kamu berikan agar berkembang pada harta orang lain, tidaklah berkembang dalam
pandangan Allah. Adapun zakat yang kamu berikan dengan maksud memperoleh keridaan Allah, (berarti)
merekalah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. QS. Ar-Rum: 39

6|P age
memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga dan memelihara. Pengertian ini
dapat dilihat pada surat al-Isra ayat 2410.11
Sementara, menurut Naquib Al-Attas, kata tarbiyah mengandung konotasi
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, menumbuhkan
(membentuk) dan juga menjadikannya lebih matang. Bahkan dalam hal ini, Imam
Baidawi memperjelas makna Tarbiyah dengan “Al Rabbu fi al Ashli bima’na al-Tarbiyah,
wahiya al-Tabligh al-Syai’u ila kamalihi syai’an fa syay’an (al-Rabb asal katanya
bermakna tarbiyah, yakni menyampaikan atau mengantarkan sesuatu menuju ke arah
kesempurnaan sedikti demi sedikit)12
Imam Ghozali menuturkan, "pendidikan yang benar merupakan sarana untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pendidikan juga mengantarkan manusia untuk
menggapai kehidupan kebahagiaan di dunia maupun akhirat"13.
Menurut Muhibin Syah, “kata pendidikan berasal dari kata dasar didik atau
mendidik, yang secara harfiah berarti memelihara dan memberi latihan”. Dan di dalam
kamus al-Munawwir, “kata pendidikan juga berasal dari kata rabba-yurabbi-tarbiyatan,
berarti mendidik, mengasuh dan memelihara”14
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan merupakan proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Adapun dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 dinyatakan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengenalan diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

10
“Rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai
Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku ketika) mendidik aku pada
waktu kecil.” QS. Al-Isro: 24
11
Wahdi Sayuti. Ilmu Pendidikan Islam; Memahami Konsep Dasar dan Lingkup Kajian.
https://wahdi.lec.uinjkt.ac.id/articles/ilmupendidikanislam
12
idem
13
Asrorun Niam Soleh, Reorientasi Pendidikan Islam. (Jakarta: Elsas, 2006), h. 57
14
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: PP. a-Munawwir, 1989) hal. 504

7|P age
Menurut ahli pendidikan M. Arifin, ia mendefinisikan pendidikan sebagai usaha
orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadiannya
serta kemampuan dasar anak didik, baik dalam pendidikan formal maupun non formal15.
Semantar itu, Chalidjah Hasan menyebutkan, pendidikan adalah usaha sistematis
membimbing anak manusia yang berlandaskan pada proses individualisasi dan
sosisalisasi.
Dari pemaparan diatas bisa disimpulkan bahwa pendidikan adalah sebuah proses
menumbuh kembangkan, memelihara, mengasuh dan memberikan bimbingan agar
sampai kepadaa kesempurnaan sedikit demi sedikit.

b) Pengertian Tauhid
Tauhid adalah bentuk mashdar (infinitive) dari suku kata ‫ توحيدا‬- ‫وحد – يوحد‬
wahhada yuwahhidu tauhidan. Secara bahasa artinya menjadikan sesuatu sebagai sesuatu
yang satu16. Ibnu Faris berkata, “(Huruf) waw, haa dan daal, adalah satu akar kata yang
menunjukkan kepada makna kesendirian (keesaan, hal yang tunggal).”17 Hanya saja ketika
dikatakan “Mentauhidkan Allah” maknanya adalah menisbatkan dan meyakini keesaan (sifat
tunggal) bagi Allah, bukan menjadikan Allah sebagai sesuatu yang satu. Karena keesaan Allah
adalah sifat yang melekat pada Allah, bukan karena dijadikan oleh orang yang menjadikannya
satu18.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tauhid artinya keesaan Allah, kuatnya
kepercayaan bahwa Allah hanya satu. Menauhidkan artinya mengakui keesaan Allah atau
mengesakan Allah19.
Para ulama menyebutkan pengertian tauhid dengan kalimat yang berbeda-beda
meski inti dan hakikatnya adalah sama.

15
M. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah dan Keluarga; Sebagai Pola
Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), Cet Ke-4, h. 14
16
Alfairuzaabadi. Al-Qomus Al-Muhith. Muassasah ar-Risalah Li Ath-Thiba’ah wan Nasyr wat Tauzi’.
Beirut Cet. 8 1426H-2005
17
Mu’jam Maqayis al-Lughoh 6/90
18
Syaikh Muhammad bin Ahmad as-Safarini. Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ul Asror Al-
Atsariyah Li Syarhi ad-Durroh Al-Mudhiyyah Fii ‘Aqdi Al-Firqoh Al-Mardhiyyah. Muassasah Al-Khofiqin –
Damaskus. Cet. Ke-2, 1402H-1982M https://wikimuslim.or.id/tauhid/
19
https://kbbi.web.id/tauhid

8|P age
Imam as-Safarini berkata, “Tauhid menurut istilah syar’i adalah mengesakan dzat
yang disembah (yaitu Allah) dengan peribadatan, disertai keyakinan akan keesaan-Nya
secara dzat, sifat dan perbuatan”20
Syaikh Sulaiman bin Abdillah bin Muhammad bin Abdul Wahhab berkata,
“Agama Islam disebut tauhid karena agama ini dibangun di atas (keyakinan) bahwa Allah
adalah tunggal (esa) dalam kerajaan-Nya, dalam perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-
Nya. Dan Dia adalah tunggal dalam dzat-Nya dan sifat-Nya, tidak ada yang serupa
dengan-Nya. Dan Dia adalah tunggal dalam ilahiyah-Nya dan dalam peribadahan
(hamba) kepada-Nya, tidak ada tandingan bagi-Nya.21”
Syaikh Shalih Al-Fauzan menjelaskan, “Tauhid adalah keyakinan akan keesaan
Allah dalam mencipta dan mengatur, dan pemurnian ibadah hanya kepada Allah,
meninggalkan peribadahan kepada siapa saja selain Allah, serta menetapkan nama-nama
yang maha indah dan sifat-sifat yang maha tinggi bagi Allah, dan mensucikan Allah dari
berbagai kekurangan dan celaan”22
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Menurut syariat, tauhid
adalah mengesakan Allah Swt, dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya; yaitu dalam
hal Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa Shifat23”

c) Pengertian Pendidikan Tauhid


Hafiedh Hasan (2014:78) mengungkapkan bahwa pendidikan berbasis tauhid
merupakan salah satu solusi untuk pendidikan di Indonesia, pendidikan berbasis tauhid
adalah keseluruhan kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan
pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian
masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah Swt. Selanjutnya
ilmu dan keahlian yang dimiliki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi
pengabdian kepada Allah Swt24

20
idem
21
Sulaiman bin Abdul Wahhab. Taisirul Azizil Hamid Fii Syarhi Kitab At-Tauhid Alladzi Huwa Haqqullah
‘Alal ‘Abiid. Al-Maktab Al-Islami. Beirut-Damaskus. Cet. 1. 1423 H – 2002 M.
22
Shalih Al-Fauzan. Aqidatu at-Tauhid Wa Bayaan Maa Yudhodhuha Minasy Syirkil Akbar Wal Ashghor
Wat Ta’thil Wal Bida’ Wa Ghori Dzalika
23
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitabi At-Tauhid. Daar Ibnul Jauzi. KSA. Cet. 2.
1422 H.
24
Junita Maulidina dkk. Pengembangan Kurikulum Pembelajaran AUD Berbasis Tauhid. Islamic EduKids:
Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol. 02 No. 01, Juni 2020

9|P age
Adapun konsep dasar dalam Hafied Hasan (2014:78) dari kurikulum berbasis
tauhid adalah menerapkan sebuah kurikulum pendidikan yang muatan maupun metode
pembelajarannya mengarah kepada pembentukan karakter islami untuk meningkatkan
ketaqwaan kepada Allah Swt. Dan yang lebih prinsip dari kurikulum berbasis tauhid akan
selalu mengahdirkan Allah Swt pada semua materi pembelajaran yang dipelajari oleh
peserta didik jadi dengan begitu tidak ada pemisahan dan selalu berkaitan antara agama
dan kehidupan25.
Pendidikan tauhid juga bermakna, pemberian bimbingan kepada anak didik agar
ia memiliki jiwa tauhid yang kuat dan mantap dan memiliki tauhid yang baik dan benar
(Asmuni, 1993)26. Pendidikan tauhid mempunyai tujuan agar manusia memiliki
keyakinan yang kuat terhadap Allah serta dapat menjadi muslim yang kaffah.
Menurut (Fandi Akhmad 2017:32) pendidikan tauhid adalah usaha secara sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang
bertujuan untuk mengesakan Allah Swt.
Pendidikan tauhid adalah suatu upaya yang keras dan bersungguh-sungguh dalam
mengembangkan, mengarahkan, membimbing akal, pikiran, jiwa, akal, qalbu dan ruh
kepada pengenalan (ma’rifat) dan cinta (mahabbah) kepada Allah Swt. (Lukluk Sismiati
2012:5).

Menurut Abdullah Nashih Ulwan anak harus diajarkan ketauhidan sejak dini,
sejak anak mulai dapat memahami lingkungannya. Ketauhidan yang dimaksud ialah
meliputi dasar-dasar ketauhidan merupakan segala sesuatu yang ditetapkan dengan jalan
berita (khabar) yang diperoleh secara benar, berupa hakekat ketauhidan, masalah-masalah
gaib, beriman kepada malaikat, kitab-kitab samawi, nabi dan rasul Allah, siksa kubur,
surga, neraka, dan seluruh perkara gaib.

2. Pendidikan Tauhid Perspektif Tafsir Maudhu’i


Merujuk kepada pengertian pendidikan tauhid sebagai usaha sadar dalam
membimbing, mengarahkan dan mewujudkan suasana belajar yang bertujuan

25
idem
26
Hilma Fauzia Ulfa dkk. Metode Pendidikan Tauhid Dalam Kisah Ibarhim As. dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran PAI Di Sekolah. TARBAWY: Indonsesian Journal of Islamic Education – Vol. 4 No. 2 (2017)

10 | P a g e
mengesakan Allah sehingga menjadi muslim yang kaffah. Maka perlu kita melihat
konsep-konsep pendidikan tauhid yang ada dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an secara keseluruhan dari alif sampai ya adalah kitab (berisi) tauhid.
Semua ayat dan suratnya berbicara tentang tauhid. Adanya klasifikasi kandungan al-
Qur’an menjadi tiga macam; tauhid, khabar (berita atau kisah) dan ahkam (hukum-
hukum), maka sebenarnya muaranya menuju kepada tauhid27.
Ibnul Qoyyim dalam Madarij as-Saalikiin mengatakan, “Seluruh ayat-ayat al-
Qur’an mengandung tauhid, mempersaksikannya dan mengajak kepadanya. Dalam al-
Qur’an ada khabar (berita) tentang Allah, nama-namaNya, sifat-sifatNya dan perbuatan-
perbuatanNya. Ini dikenal dengan istilah at-tauhid al-ilmi al-khobari. Atau berisi ajakan
untuk beribadah kepada Allah semata tiada sekutu bagiNya dan melepas seluruh yang
disembah selain Allah, maka ini adalah at-tauhid al-irodi at-thalabi. Bisa juga kandungan
al-Qur’an adalah perintah dan larangan atau keharusan untuk mentaati-Nya dalam
menjalankan perintah dan larangan tersebut. Maka ini adalah bagian dari hak-hak tauhid
dan penyempurnanya. Al-Qur’an juga berisi tentang bagaimana Allah memuliakan ahli
tauhid dan ketaatan, apa perlakuan Allah untuk mereka di dunia dan kemuliaan yang
Allah berikan di akherat, maka ini adalah balasan tauhid. Al-Qur’an berisi khabar tentang
ahli syirik dan apa perlakuan Allah kepada mereka di dunia dan hukuman apa yang akan
menimpa di akherat, maka ini katergorinya khabar tentang orang-orang yang keluar dari
hukum tauhid. Oleh karena itu, al-Qur’an seluruhnya adalah tentang tauhid, hak-hak dan
balasannya serta tentang kesyirikan, pelakunya dan balasannya” 28
Dalam penelitian ini, penulis akan fokus membahas kandungan surat Luqman
ayat 13-19 dan keterkaitannya dengan pendidikan tauhid. Allah Swt berfirman:
َ َ
‫نسان‬
َ
‫) َو َو َّص ْينا ِاإل‬13(‫يم‬ ٌ ‫الش َك َل ُظ ْل ٌم َعظ‬ ْ ِّْ ‫اّلل إ َّن‬ َ ْ ْْ ُ َّ َ ُ َ ُ ُ َ َ ُ َ ْ ُ َ ْ ُ َ َ ْ َ
ِ ِ ِ ‫شك ِب‬ ِ ‫و ِإذ قال لقمان ِِلب ِن ِه وهو ي ِعظه يا ب ين ِل ت‬
ْ َ َ َ ُ ْ َ ُ ُ ْ َ ًْ ُ ُ ُ َْ َ
‫) َو ِإن‬14( ‫ِب َو ِالد ْي ِه َح َملته أ ُّمه َوهنا َعَل َوه ٍن َو ِف َصاله ِ يف َع َام ْْ ِي أ ِن اشك ْر ِ يل َو ِل َو ِالد ْيك ِإ ي َّل ال َم ِص ْ ُي‬
َ ‫وفا َو َّاتب ْع َسب‬
‫يل‬
ً ُ ْ َ َ ْ ُّ
‫ر‬ ‫ع‬‫م‬ ‫ا‬‫ي‬ ‫ن‬‫الد‬ ‫ف‬ ‫ا‬‫م‬ َ ‫س َل َك به ع ْل ٌم َفال ُتط ْع ُه َما َو َصاح ْب ُه‬ َ ْ ‫اك َع ََل َأن ُت ْْش َك ب َما َل‬
‫ي‬
َ َ َ َ
‫جاهد‬
ِ ِ ‫ِي‬ ِ ِ ِ ِِ ‫ِ ِي‬
َ َ َ ‫ن إ َّن َها إن َت ُك م ْث َق‬ َ ُ َ ْ َ ْ ُ ُ َ ُ ُ ِّ َ ُ َ ْ ُ ُ ْ َ َّ َ َّ ُ َّ َ َ َ َ ْ َ
‫ال َح َّب ٍة ِّم ْن خ ْرد ٍل‬ ِ َّ َ ُ َ
ِ ِ ‫) يا ب ي‬15( ‫من أناب ِإ يل ثم ِإ يل مر ِجعكم فأنبئكم ِبما كنتم تعملون‬
َ َُ َ ٌ ‫اّلل َلط‬ ُ َ ‫األ ْرض َي ْأت ب َها‬ َ ْ ‫الس َم َاوات َأ‬ َّ ‫َف َت ُكن ف َص ْخ َرة َأ ْو ف‬
‫ن أ ِق ِم‬َّ ‫) يا ب‬16( ‫يف َخب ْ ٌي‬ ِ
َ َ ‫اّلل إ َّن‬
ِ ‫ف‬ ‫و‬ ِ
‫ي‬ ِ ِ ِ ِ ‫ِي‬ ‫ٍ ِي‬ ‫ِي‬
ُ َْ ْ َ َ َّ َ َ
َ َ َ َ ْ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ ْ ْ
ُ َ َ َّ
‫) َوِل‬17( ‫ور‬ ُ
ِ ‫وف وانه ع ِن المنك ِر واص ِي عَل ما أصابك ِإن ذ ِلك ِمن ع ِزم األم‬
ُ َ ْ َ
ِ ‫الصالة وأم ْر ِبالمع ُر‬

27
Nahir Abdul Ghofur. At-Tauhid fi al-Qur’an al-Karim.
28
idem

11 | P a g e
ْ ْ ُ َ َ ْ ُ َّ ُ ُّ ُ َ َ َّ ً َ َ َ َْ َ َّ َ َّ َ ْ ِّ َ ُ
‫) َواق ِصد ِ يف‬18( ‫ور‬
ٍ ‫خ‬ ‫ف‬ ‫ال‬
ٍ ‫ت‬‫خ‬ ‫م‬ ‫ل‬ ‫ك‬ ‫ب‬ ‫ح‬ ِ ‫ي‬ ‫ِل‬ ‫اّلل‬ ‫ن‬ ‫إ‬ِ ‫ا‬‫ح‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ض‬ ِ ‫ر‬ْ ‫األ‬ ‫ش ِ يف‬
ِ ‫اس وِل تم‬
ِ ‫تصعر خدك ِللن‬
ْ ُ َ
)19( ‫ات ل َص ْوت ال َح ِم ْ ِي‬ َ ْ َ َ َ َّ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ
ِ ‫مش ِيك واغضض ِمن صو ِتك ِإن أنك َر األصو‬
(13) (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai
anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.”
(14) Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan
menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali.
(15) Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau
tidak punya ilmu tentang itu, janganlah patuhi keduanya, (tetapi) pergaulilah
keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.
Kemudian, hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa
yang biasa kamu kerjakan.
(16) (Luqman berkata,) “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan)
seberat biji sawi dan berada dalam batu, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan
menghadirkannya (untuk diberi balasan). Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi
Mahateliti.
(17) Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang
menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus)
diutamakan.
(18) Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap
orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.
(19) Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Lukman al-Hakim, nama beliau adalah Lukman bin ‘Anqo bin Sadun, sementara
putranya bernama Tsaroon menurut pendapat as-Suhaili29. Adapun al-Kalbi mengatakan,

29
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Daar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 2. 1420H – 1999 M.

12 | P a g e
nama putranya adalah Misykam. An-Naqqosh berpendapat namanya An’am30. Beliau
adalah seorang hamba shalih dan bukan nabi menurut pendapat yang banyak dipegang
oleh para ulama sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir 31. Al-Qurhubi dalam tafsirnya
menukil dari al-Qusyairi menjelaskan bahwa putra dan isteri Lukman keduanya kafir,
Lukman senantiasa menasehati mereka hingga keduanya masuk Islam32.
Dalam mendidik putranya Lukman menggunakan metode pendidikan berupa
nasehat, mengingatkan perkara-perkara baik dan teguran disertai ancaman terhadap
keburukan. Itu semua dengan metode kelemah lembutan yang dipenuhi kasih sayang.
Wasiat beliau banyak mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat layak untuk dikaji
dan diimplementasikan dalam dunia pendidikan.
Pertama, ayat ke-13:

“(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai
anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu
benar-benar kezaliman yang besar.”
Konsep pendidikan tauhid pada ayat ini terdapat pada beberapa point berikut:
a) Hendaklah seorang pendidik memulai tarbiyah dengan perkara paling prinsip dan
fundamental yaitu penanaman akidah/tauhid dan menjauhkan dari kesyirikan.
Lukman mengawali nasehatnya kepada putranya dengan perkara paling prinsip
dan fundamental dalam agama yaitu tauhid dan menjauhi syirik. Ibnu Katsir
menyebutkan, Allah Swt telah menganugrahkan hikmah kepada Lukman, ia menasehati
putranya sebagai orang yang sangat disayangi dan dicintainya sehingga berhak untuk
mendapatkan pengetahuan yang paling utama yaitu wasiat agar ia menyembah Allah
semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan siapapun33. Sementar al-Maraghi dalam
tafsirnya mengatakan, “Ingatlah wahai Rasul yang mulia akan nasehat Lukman kepada
putranya, orang yang paling disayang dan dicintainya. Ia memerintahkan putranya agar
beribadah kepada Allah semata, melarangnya dari kesyirikan. Ia memberitahukan
putranya bahwa syirik adalah kezaliman yang besar. Disebut kezaliman karena
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Disebut besar karena di dalamnya ada

30
Ath-Thobari, Jaami’ul Bayan ‘An Ta’wiil Aayil Qur’an. Daar At-Tarbiyah wat Turats. Mekkah Al-
Mukarromah. Kode Pos 7780.
31
Ibnu Katsir, idem
32
Ath-Thobari, idem
33
Ibnu Katsir, idem

13 | P a g e
penyetaraan antara Dzat (Allah) yang mendatangkan nikmat dengan dzat yang tidak
memiliki nikmat yaitu patung dan berhala34.
Dalam kitab Zubdatu at-Tafsir disebutkan, “(Dan (ingatlah) ketika Luqman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, Lukman
menyampaikan kepada anaknya nasehat-nasehat yang mengajak kepada ketauhidan,
adab-adab yang baik, dan melarangnya dari kesyirikan, “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar”35
Penanaman nilai-nilai ketauhidan harus menjadi prioritas setiap pendidik, baik
guru maupun orang tua dalam mentarbiyah. Tauhid yang tertanam, akan memberikan
perubahan yang besar pada kepribadian seseorang. Inilah yang dilakukan Lukman. Ia
memulai wasiatnya dengan penetapan tauhid serta mengajak hanya beribadah kepada
Allah semata. Sebab tauhid akan melahirkan kekuatan ruh yang besar pada jiwa manusia
yang dapat merubah pemahamannya tentang dirinya, orang lain, kehidupan dan alam
secara keseluruhan36.
Hendaklah para orang tua dan para guru bisa mengkhususkan waktu untuk duduk
bersama anak-anaknya memberikan nasehat, arahan dan tarbiyah. Para ulama dahulu
menjadikan hal ini sebagai prioritas. Menanamkan akidah pada jiwa anak-anak akan
menjadi langkah pertama dalam pensucian jiwa dari akidah yang rusak. Apabila
akidahnya selamat, maka hatinya akan terpenuhi dengan kecintaan kepada Allah, kepada
Rasul, kepada orang-orang disekelilingnya. Akidah yang benar juga akan melahirkan
perasaan aman dan tenteram. Seseorang yang kehilangan kekuatan iman, ia akan lemah
dalam menghadapi beratnya hidup. William James seorang filosof Amerika berkata,
“(Tidak diragukan lagi) obat terbesar bagi kegundahan adalah keimanan”37.
Rasulullah Saw sebagai al-murabbai an-naajih (pendidik sukses) mencontohkan
kepada kita, bagaimana beliau menamankan nilai-nilai akidah dan tauhid kepada anak-
anak, diantaranya nasehat beliau kepada Ibnu Abbas:

34
Ahmad bin Musthofa al-Maraghi, 1365. Tafsir al-Maraghi. Syarikah Maktabah wa Mathba’ah
Musthofa al-Baabi al-Halabi wa Auladuhu. Mesir. Cet. Pertama 1365 H/1946 M
35
https://tafsirweb.com/37664-surat-luqman-ayat-13-14.html
36
Abdullah Ramadhani. Ta’ammulat Tarbawiyah Fii Washooyaa Luqman al-Hakim.
https://islamsyria.com/site/show_articles/15569
37
idem

14 | P a g e
َ َ ‫لت فاسأل‬َ َ َ َ ْ َ ََ َ َ َ َ َ ‫احفظ‬ َ َ ُ ِّ ِّ ُ ُ
،‫اّلل‬ ِ ‫ إذا سأ‬،‫اّلل ت ِجد ُه تجاهك‬ ‫ احف ِظ‬،‫اّلل يحفظك‬ ِ ،‫مات‬ ٍ ‫إب أعلمك ِكل‬ ‫يا غالم ي‬
‫َ ا‬ َْ َ َ َ َ َّ َّ َ َ َ َ َ
‫بش ٍء لم َينفعوك إًل‬ ‫ي‬ ‫عوك‬ ‫ينف‬ ‫أن‬ ‫عَل‬ ‫معت‬ ‫اجت‬ ‫لو‬ ‫ة‬ ‫ واعلم أن األم‬،‫باّلل‬ ِ ‫استعنت فاست ِعن‬ ‫وإذا‬
ُ َ ‫كتب ُه‬َ ‫بشء قد‬ ‫َ ُّ َ ا‬ َْ َ ُّ ََ َ َ َُ َُ
‫اّلل‬ ٍ ‫ضوك إًل ْ ي‬ ‫بش ٍء لم ي‬
‫ وإن اجتمعوا عَل أن يضوك ي‬،‫بش ٍء قد كتبه اّلل لك‬ ‫ي‬
ْ
ُ ‫الص‬ ُّ ‫وجفت‬ َّ ُ َ
.‫حف‬ ِ ‫األقالم‬ ‫ ُرِف َع ِت‬،‫عليك‬
“Nak, aku ajarkan kepadamu beberapa untai kalimat: Jagalah Allah, niscaya Dia akan
menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak
meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan,
mohonlah kepada Allah. Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu
suatu manfaat, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah
tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang
membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah
Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah
kering.”38
Beliau Saw juga mengajarkan kepada Mu’adz bin Jabal Ra akan hak-hak Allah
kepada hamba-Nya dan sebaliknya hak hamba kepada Allah:
َ ُ َ ُ ُ ُ ُ ُ
‫ َح ُّق‬:‫ قال‬،‫ورسوله أعل ُم‬ ُّ َ ُّ َ
‫ هللا‬:‫هللا؟ قلت‬
ِ ‫باد عَل‬ِ ‫الع‬ِ ‫ وما حق‬،‫باد‬
ِ ‫الع‬ِ ‫هللا عَل‬
ِ ‫ أتدري ما حق‬،‫يا معاذ‬
ً
‫شك به شيئا‬
ُ ْ ُ َ َ ِّ َ ُ ‫ا‬ ُّ َ ً َ ْ ُ ُ َ
ِ ‫هللا أًل يعذب من ِل ي‬ ِ ‫باد عَل‬
ِ ‫الع‬
ِ ‫ وحق‬،‫شكوا به شيئا‬ ِ ‫باد أن يعبدوه وِل ي‬
ِ ‫الع‬
ِ ‫هللا عَل‬
ِ
“Wahai Mu’adz, tahukan kamu apa hak Allah atas para hamba-Nya dan apa hak hamba
terhadap Allah? Aku menjawab, “Allah dan Rasu-Nya lebih mengetahui”. Beliau
bersabda: “Hak Allah atas para hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya
dan tidak mempersekutukan-Nya dengan siapapun. Adapun hak hamba terhadap Allah
adalah Dia tidak akan mengadzab orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan
siapapun”39

b) Seorang pendidik diperkenankan menggunakan kata “jangan” dalam melarang


sesuatu. Konsep ini berbeda dengan para pakar psikolog dan parenting yang
menghindari penggunaan kata “jangan” dalam mendidik anak.

38
HR. At-Tirmidzi No. 2516
39
HR. Al-Bukhari dan Muslim

15 | P a g e
Dalam mendidik putranya, Lukman memberikan contoh bagaimana melarang
putranya dari perbuatan yang buruk yaitu menyekutukan Allah dengan menggunakan kata
“‫ ”ال‬yang berarti “jangan”, “wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah”.
Penggunaan kata “‫ ”ال‬dengan makna “jangan” di dalam al-Qur’an ada 358 ayat
yang terdapat pada 64 surat. Kata “‫ ”ال‬bermakna “jangan” digunakan lebih dari satu kali
dalam beberapa ayat, sehingga jumlahnya ada 437 kali40.
As-Sa’di berkata, “Lukman menyampaikan nasehat kepada putranya dalam
bentuk perintah dan larangan yang disertai dengan targhib (motivasi) dan tarhib
(acaman). Ia perintahkan putranya agar ikhlash (bertuhid) dan melarangnya dari
kesyirikan seraya ia jelaskan sebab larangan tersebut, yaitu karena syirik adalah
kezaliman yang besar”.

c) Hendaklah seorang pendidik ketika melarang sesuatu mejelaskan alasan larangan


tersebut.
Lukman tidak sekedar melarang putra dari menyekutukan Allah, akan tetapi ia
jelaskan alasan dilarangnya kesyirikan (yaitu) karena menyekutukan Allah adalah
kezaliman yang besar. Disana ada penyetaraan al-Khaliq yang Mahasempurna dengan
makhluk yang serba kurang dan cacat.
Lukman menjelaskan alasan larangannya agar lebih mengena dalam jiwa
putranya. Ia sebutkan menyekutukan Allah sebagai kezaliman yang besar, karena
meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan akan mengakibatkan kerusakan dan
kerugian besar. Beribadah kepada selain Allah maknanya meletakkan ibadah bukan pada
tempat yang semestinya. Karena ibadah adalah hak Allah atas para hamba-Nya sebab
Allah telah menciptakan mereka, memberikan rizki dan mejaga mereka.41
Ash-Shobuuni mengungkapkan dalam Shofwatu at-Tafasir, “Sebutkan kepada
kaummu (Muhammad) nasehat Lukman kepada putranya, ia menasehati dan
membimbingnya dengan perkataannya, “Wahai putraku, jadilah orang yang berakal, dan
janganlah kamu mempersekutukan Allah dengan siapapun, manusia, patung ataupaun
anak. (Karena) “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman

40
Abdulkarim Zulfa Ahmadi dan Mahasri Shobahiya, 2017. Penggunaan Kata “‫ ”ال‬Bermakna “jangan”
Dalam Al-Qur’an (Perspektif Pendidikan Islam). SUHUF, Vol. 29, No. 2, November 2017: 125-138
41
Abu Bakar al-Jazairi. Aisarut Tafasir Likalami Al-‘Aliiyil Kabir. Maktabah Al-Ulum wal Hikam. Madinah
Al-Munawwaroh. Cet. 5. 1424 H – 2003 M.

16 | P a g e
yang besar”, artinya syirik itu jelek/buruk dan kezaliman yang nyata karena meletakkan
sesuatu bukan pada tempatnya. Barangsiapa yang menyamakan antara al-Khaliq (Allah)
dengan makhluk, antara Ilah (Tuhan) dengan patung, tidak diragukan lagi bahwa ia
adalah orang yang paling dungu, paling jauh dari rasional dan hikmah. Layak untuk
diberikan sifat kezaliman dan masuk dalam kelompok binatang ternak”42

Kedua, ayat ke-14-15:


“Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.
Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan
menyapihnya dalam dua tahun. (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada
kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali”.
“Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau
tidak punya ilmu tentang itu, janganlah patuhi keduanya, (tetapi) pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian,
hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang biasa kamu
kerjakan”.
Konsep dan nilai pendidikan tauhid pada dua ayat diatas adalah:
a) Menanamkan karakter bersyukur pada peserta didik terhadap siapa saja yang
memberikan kebaikan.
Pada diri seorang anak harus ditanamkan karakter bersyukur/berterima kasih
kepada siapa saja yang memberikan kebaikan atau menjadi penyebab kebaikan, dan yang
paling berhak mendapatkan itu adalah orang tua. Lukman menanamkan karakter ini pada
putranya. Orang tua dengan segala pengorbanannya, mengandung dalam keadaan lemah
yang terus bertambah, menyusuinya hingga menyapihnya, berhak mendapatkan syukur
dari anaknya. Bentuk syukur tersebut diwujudkan dalam sikap berbuat baik kepada
mereka melalui perkataan halus dan lembut, tawadlu’ (rendah hati), memuliakan dan
menghormati, manjauhi segala yang dapat mennyakiti mereka baik ucapan maupun
perbuatan.43
Al-Aaluusi dalam tafsirnya mengemukakan, “ketika Lukman menjelaskan kepada
putranya bahwa syirik adalah kezaliman dan ia melarangnya dari itu. Maka ini menjadi

42
Ali Ash-Shoobuni, Rawa’iul Bayan Tafsiru Aayatil Ahkam. Maktabah Al-Ghozali Damaskus. Muassasah
Manahil Al-Irfan. Beirut. Cet. 3. 1400 H – 1980 M
43
Abdurrahman As-Sa’di. Taisir Al-Karim Ar-Rahman Fii Tafsiri Kalamil Mannaan. Dar as-Salam Lin-Nasyr
wat Tauzi’

17 | P a g e
motivasi untuk taat kepada Allah. Kemudian ia menjelaskan bahwa ketaatan juga
diberikan kepada kedua orang tua”44. Adapun makna “Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua orang tuamu”, syukur yang diperintahkan dalam ayat ini adalah
menjalankan ketaatan dan mengamalkan perbuatan yang ridhai seperti shalat dan puasa
yang hubungannya dengan Allah dan menyambung silaturahmi serta berbuat baik
kaitannya dengan kedua orangtua45. Dalam ayat ini, disebutkan perintah bersyukur
kepada Allah dalam konteks berbuat baik kepada orang tua, karena keabsahan syukur
kepada kedua orang tua terhenti pada syukur terhadap Allah, begitu pula sebaliknya
“Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur kepada manusia”4647.
Bersyukur kepada Allah dilakukan dengan menegakkan ibadah kepada-Nya, menunaikan
hak-hakNya dan tidak mempergunakan nikmat-Nya untuk mendurhakai-Nya48
Abu Bakar al-Jazairi menyebutkan makna bersyukur kepada Allah dan kepada
kedua orang tua senada dengan yang sudah disebutkan. Bersyukur kepada Allah tercapai
dengan mentaati-Nya pada perintah dan larangan-Nya, dan mengingat-Nya (berdzikir)
dengan hati dan lisan-Nya. Adapun syukur kepada kedua orang tua dengan berbuat baik
kepadanya, menyambung silaturahmi dengannya dan mentaatinya dalam perkara yang
bukan kemaksiatan kepada Allah dan Rasul-Nya49
b) Menanamkan pemahaman bahwa ketaatan mutlak hanyalah milik Allah, adapun
kataatan kepada makhluk terikat hanya pada perkara yang makruf saja.
Nilai pendidikan tauhid lain yang ditananamkan oleh Lukman adalah konsep
ketaatan mutlak hanyalah milik Allah, “Jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu,
janganlah patuhi keduanya”. Adapun ketaatan kepada makhluk maka terikat hanya
dalam perkara yang makruf saja, sekalipun yang memerintahkan adalah orang yang paling
berjasa kepada dirinya, paling dekat dan paling dicintainya yaitu kedua orang tuanya.
Rasul Saw bersabda:
ْ َْ ُ َ َّ َ َّ َ ْ َ ََ َ
ِ ‫ِل طاعة ِ يف مع ِصي ٍة ِإنما الطاعة ِ يف المع ُر‬
‫وف‬

44
Al-Aaluusi, tt. Ruuhul Ma’ani Fii Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim wa Sab’u Al-Matasni. Daar Al-Kutub Al-
Ilmiyah – Beirut. Cet. 1. 1415 H
45
idem
46
HR. Abu Dawud dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahiihah 1/702
47
idem
48
As-Sa’di, idem
49
Abu Bakar Al-Jazairi, idem

18 | P a g e
“Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf” 50
As-Sa’di berkata, “jangan mengira (mentaati perintah orang tua untuk berbuat
syirik) masuk dalam kategori berbuat baik kepada mereka, karena hak Allah harus
didahulukan atas siapapun dan tidak ada ketaatan kepada seorang makhluk dalam rangka
durhaka kepada al-Khaliq (Allah)”51
Ibnu Katsir menyebutkan, “Apabila kedua orang tua berkeinginan keras agar
kamu mengikuti agama keduanya, maka jangan sekali-kali kamu menerima itu dari
mereka. Dan jangan pula hal itu menghalangi kamu untuk mempergauli keduanya secara
ma’ruf di dunia”52.
Ayat ini turun tentang Sa’ad bin Malik, ia menuturkan, “Aku adalah seorang yang
berbakti kepada ibuku. Ketika aku memeluk Islam, ibuku berkata, “Wahai Sa’ad,
perubahan apa ini yang aku lihat pada dirimu? Sungguh kamu harus meniggalkan
agamamu (Islam) ini, atau aku tidak adakan makan dan minum sampai mati, sehingga
kamu akan dicela karena (kematian)ku. Orang-orang akan mengatakan, “Wahai si
pembunuh ibunya”. Aku menjawab, “Jangan lakukan itu wahai ibuku. Sungguh aku tidak
akan pernah meninggalkan agamaku ini dengan alasan apapun. Lalu tinggallah sehari
semalam ibunya tidak makan, sehingga keesokan hanya ia pun lemah, kemudian hari
berikutnya juga tidak makan, sehingga ia pun tambah lemah. Ketika aku melihat hal
tersebut, aku katakana: “Wahai ibu, kamu tahu -demi Allah- seandainya engkau memiliki
100 (seratus) nyawa kemudian setiap hari keluar satu persatu, aku tidak akan pernah
meninggalkan agamaku ini atas alasan apapun. Kalau kamu mau, silakan makan, kalau
tidak mau, silakan tidak makan. Akhirnya ia pun makan” 53. Sementara al-Qurthubi
berpendapa
c) Pendidikan tentang bagaimana berinteraksi dengan pelaku syirik, terlebih apabila
mereka adalah kedua orang tua.
Lukman mengajarkan kepada putranya bagaimana berinteraksi dengan orang tua
yang berbuat syirik. Perintah syirik mereka tidak boleh ditaati, namun bukan berarti kita
durhaka kepada mereka. Bahkan hubungan baik harus terus dijaga dan dilakukan. Allah
tidak berfirman, “Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan

50
HR. Al-Bukhari dan Muslim
51
As-Sa’di, idem
52
Ibnu Katsir, idem
53
idem

19 | P a g e
sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu, maka durhakalah kepada mereka”,
akan tetapi Allah berfirman, “janganlah patuhi keduanya” dalam berbuat syirik. Adapun
berbuat baik kepada mereka tetap dilanjutkan. Dan mempergauli mereka di dunia secara
ma’ruf, adapun mengikuti mereka dalam keadaan kafir dan bermaksiat maka tidak boleh
mengikutinya.54
Perbuatan ma’ruf yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebajikan, menyambung
silaturrahim dan pergaulan yang baik55, mentaati mereka dalam perkara yang bukan
kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya56
Berkata Al-Qurthubi tentang makna “pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik”, ayat ini adalah dalil tentang menyambung silaturahmi kepada kedua orang tua yang
kafir dengan segala hal yang memungkinkan bisa berupa harta apabila keduanya fakir,
ucapan yang lembut atau mengajak mereka kepada Islam dengan kelembutan 57.
d) Mendidik anak agar selalu mengikuti jalan orang-orang yang kembali kepada
Allah
Dalam wasiat ini, Lukman memerintahkan putranya agar mengikuti jalan orang-
orang yang kembali kepada Allah “ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku”. Ada
tiga pendapat tentang siapa yang dimaksud dengan orang yang kembali kepada Allah:
1) Ia adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq, ini pendapat Ibnu Abbas
2) Yang dimaksud adalah Rasulullah Saw sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu
as-Saaib
3) Siapa saja yang menempuh jalan nabi Muhammad dan para sahabatnya,
demikian yang disebutkan oleh Ats-Tsa’labi58.
Mereka yang kembali Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah,
malaikat-Nya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. Mereka orang-orang yang berserah diri
kepada Tuhannya dan kembali kepada-Nya. Mengikuti jalan mereka adalah dengan
menempuh jalan mereka dalam kembali kepada Allah, yaitu menarik dorongan-dorongan
hati dan keinginannya kepada Allah kemudian diikuti dengan usaha anggota badan dalam

54
As-Sa’di, idem
55
Al-Baghowi. Ma’alimu At-Tanzil Fii Tafsir Al-Qur’an. Daar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet. 4. 1417 H –
1997 M
56
Abu Bakar Al-Jazairi, idem
57
Al-Qurthubi. Al-Jaami’ Li Ahkamil Qur’an. Daar Al-Kutub Al-Mishriyah. Kairo. Cet. 2. 1384 H – 1964 M
58
Ibnul Jauzi. Zaadul Masir Fii Ilmi At Tafsir. Darul Kitab Al-Arobi. Beirut. Cet. 1. 1422 H

20 | P a g e
perkara yang diridhai Allah dan mendekatkan kepada-Nya59. Makna lainnya, orang yang
kembali kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, beribadah kepada-Nya dan berdakwah
mengajak orang kepada-Nya, dan tentu beliau adalah Rasulullah Saw60.
e) Penanaman akidah tentang hari akhir, bahwa manusia akan kembali kepada Allah
untuk mendapatkan balasan atas perbutannya. Juga penanaman tauhid al-Asma
was Shifat akan ilmu Allah yang maha luas.
Diantara yang ditanamkan Lukman kepada putranya adalah keyakinan bahwa
manusia akan kembali kepada Allah dan akan diberitahukan kepadanya apa yang telah
diperbuat ketika di dunia. Dikembalikan kepada Allah untuk diberikan ganjaran atas
perbuatannya, kebaikan dibalas dengan kebaikan, keburukan dibalas dengan keburukan.
Sehingga ini menumbuhkan ketakwaan kepada Allah dalam bentuk ketaatan, tauhid dan
inabah kepada-Nya dalam segala perkara61.

Maka, seorang anak hendaklah difahamkan kepadanya bahwa siapapun akan


dikembalikan kepada Allah baik orang yang taat, pelaku maksiat, orang yang inabah
kepada-Nya dan yang lainnya. Kemudian tidak yang tersamar sedikitpun dari amalan-
amalan mereka bagi Allah62

Imam ath-Thabari berkata, “Kepada-Ku tempat kembali kalian setelah kematian,


lalu aku beritahukan seluruh apa yang kalian lakukan di dunia berupa kebaikan dan
keburukan, kemudian Aku akan berikan balasan atas amal kalian. Yang berbuat baik
diberikan balasan baik, yang jahat diberikan balasan buruk”63

Ketiga, ayat ke-16:

“(Luqman berkata,) “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat
biji sawi dan berada dalam batu, di langit, atau di bumi, niscaya Allah akan
menghadirkannya (untuk diberi balasan). Sesungguhnya Allah Mahalembut lagi
Mahateliti”

Nilai pendidikan tauhid pada ayat ini adalah:

59
As-Sa’di, idem
60
Abu Bakar Al-Jazairi, idem.
61
idem
62
As-Sa’di, idem
63
Ath-Thobari, idem

21 | P a g e
1) penanaman muroqobatullah, merasa selalu dalam pengawasan Allah
2) motivasi untuk selalu taat
3) ancaman dari setiap amalan buruk, banyak ataupun sedikit.

Nilai-nilai diatas lahir dari keyakinan akan luasnya ilmu Allah dan kesempurnaan
qudrah-Nya, tidak ada sesuatupun yang tersamar bagi-Nya, karena Allah Mahateliti.
Sekecil apapun kezaliman atau kesalahan sekalipun seberat biji sawi, niscara Allah akan
menghadirkannya pada hari kiamat saat mizan-mizan (timbangan) keadilan diletakkan,
untuk kemudian Allah membalasnya, kebaikan dibalas dengan kebaikan, keburukan
dibalas dengan keburukan64.

Ibnul Jauzi menyebutkan dua pendapat tentang sebab ucapan Lukman kepada
putranya “sesungguhnya jika ada (suatu perbuatan) seberat biji sawi” sebagai berikut:

1) bahwa putra Lukman berkata kepada ayahnya, “apa pendapatmu, seandainya


ada satu biji di dalam samudra, apakah Allah mengetahuinya?”, kemudian ia
menjawab dengan ayat ini. Pendapat ini dikemukakan oleh as-Suddi
2) Putranya berkata, “wahai ayahku, jika aku melakukan suatu kesalahan (dosa),
tidak ada seorangpun yang melihatku, bagaimana Allah mengetahuinya?”
kemudian dijawab dengan ayat ini. Pendapat ini dikatakan oleh Muqotil.65

Muroqobatullah harus ditanamkan sejak dini, karena akan melahirkan sifat jujur,
taat dan takut berbuat dosa. Hal itu lantaran tumbuh dalam jiwanya keyakinan akan ilmu
Allah, bahwa Allah Mahamengetahui dan Mahamampu untuk mendatangkan perbuatan-
perbuatan manusia sekecil apaun itu dan ditempat segelap apapun.

Keempat, ayat ke-17:

“Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan
cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan”.

Nilai pendidikan yang terkandung pada ayat ini adalah pembiasaan ibadah sebagai
konsekuensi dari tauhid, menegakkan amar makruf nahi mungkar dan sabar dalam

64
Ibnu Katsir, idem.
65
Ibnul Jauzi, idem.

22 | P a g e
menghadapi gangguan saat beramar makruf nahi mungkar. Disebutkan perintah shalat
dalam ayat ini karena ia adalah ibadah badan terbesar. Pembiasaan amal shaleh ini
dilakukan oleh Lukman setelah penanaman niai-nilai ketauhidan, puncaknya adalah
perintah shalat. Menegakkan shalat adalah dengan menegakkan batasan-batasannya,
kewajiban-kewajiban dan waktu-waktunya.

Disebutkan ibadah shalat karena ia menjadai barometer bagi amal shalah yang
lain. Sebab apabila shalatnya baik, maka akan baik pula amal yang lain. Sebaliknya
apabila shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalan yang lain. Shalat yang baik
adalah shalat yang bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
َ ْ ْ َ َْ َ ْ َ َ َ َّ َّ
‫الصَلة تنَه َع ِن الف ْحش ِاء َوال ُمنك ِر‬ ‫ِإن‬
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar”66
Disaat seseorang telah mampu mencegah dirinya dari pebuatan keji dan mungkar,
maka hendaklah ia mengajak orang lain untuk juga berbuat baik dan mencegah mereka
dari perbuatan mungkar. Dan tatkala orang yang menyuruh kebaikan dan mencegah
kemungkaran akan mendapatkan gangguan, maka datanglah perintah untuk bersabar.
Kelima, ayat ke-18-19:
“Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang
yang sombong lagi sangat membanggakan diri”.
“Berlakulah wajar dalam berjalan dan lembutkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-
buruk suara ialah suara keledai.”
Pada ayat ke-18 dan 19, Lukman menanamkan nilai-nilai akhlak kepada putranya;
melarangnya dari takabbur, sombong dan angkuh. Dan memerintahkannya untuk
tawadlu’ (rendah hati), tenang dalam bersikap dan berbicara.
Sombong dalam segala bentuknya adalah terlarang, baik sombong terhadap al-
haq maupun sombong terhadap makhluk. Sombong terhadap al-haq artinya menolak
kebenaran, berpaling darinya serta tidak mau menerimanya. Adapun sombong kepada
makhluk adalah meremehkan manusia, merendahkannya, memandang orang lain tidak
ada apa-apanya dan memandang dirinya lebih dibandingkan orang lain. Inilah makna
sombong yang disebutkan Nabi Saw dan diancam pelakunya tidak akan masuk surga.

66
QS. Al-Ankabut: 45

23 | P a g e
ً ُ َ َ ُ ْ َ ُّ ُ َ ُ َّ َّ ٌ ُ َ َ َ ْ ْ َ ُ َْ َْ َ َ َ َّ ْ ُ ْ َ
‫ب أن َيكون ث ْو ُبه َح َسنا‬ ‫ال ذ َّرٍة ِمن ِك ٍي قال رجل ِإن الرجل ي ِح‬‫ًل َيدخ ُل ال َجنة َم ْن كان ِ يف قل ِب ِه ِمثق‬
َّ ُ ْ َ َ ِّ َ ْ ُ َ َ ُ ْ ْ َ َ َ ْ ُّ ُ ٌ َ َ َ َّ َ َ ً َ َ َ ُ ُ ْ َ َ
‫اس‬
ِ ‫الن‬ ‫ونعله حسنة قال ِإن اّلل ج ِميل ي ِحب الجمال ال ِكي بطر الحق وغمط‬
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
sebesar biji sawi.” Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang
suka memakai baju dan sandal yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah
itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan
meremehkan orang lain”67.
Sombong adalah sifat yang tidak boleh dimiliki oleh manusia, karena sejatinya
manusia adalah makhluk lemah yang tidak memiliki apa-apa kalau bukan karena
pemberian Allah. Oleh karena itu, kesombongan hanya dimiliki Allah Dzat Yang
Mahakuasa, Mahaperkasa, Mahakuat dan segalanya. Dalam hadits qudsi Allah berfirman:
ْ
‫بشء منهما عذبته‬
‫نازعن ي‬
‫ي‬ ‫ فمن‬،‫رداب‬
‫ والكيياء ي‬،‫العز إزاري‬
“Keagungan adalah kain-Ku dan kesombongan adalah selendang-Ku. Siapa yang
menandingi Aku pada salah satunya dari keduanya, sungguh Aku akan mengazabnya”68

3. Penerapan Konsep Pendidikan Tauhid Pada Anak


Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan bahwa ketauhidan harus diajarkan
kepada anak sejak dini, saat anak mulai dapat memahami lingkungannya. Ketauhidan
yang dimaksud meliputi dasar-dasar ketauhidan yang merupakan segala sesuatu yang
ditetapkan dengan jalan berita (khabar) yang diperoleh secara benar, berupa hakekat
ketauhidan, masalah-masalah gaib, beriman kepada malaikat, kitab-kitab samawi, nabi
dan rasul Allah, sikasa kubur, surga, neraka, dan seluruh perkara gaib69
Pendidikan tauhid harus dimulai sejak dini, karena ini akan menjadi pondasi dan
asas. Keberhasilan dalam memanamkan nilai-nilai ketauhidan akan membentuk karakter
dan perangai baik pada anak saat mereka tumbuh dewasa. Menumbuhkan anak-anak
diatas akidah yang shahih adalah penjagaan kepada umat dari kesesatan dan
peyimpangan. Disamping akan mejaga anak itu sendiri di masa mendatang dari fitnah dan
penyelewengan. Seorang anak dengan fitrahnya yang bersih akan mudah menerima hal-

67
HR. Muslim
68
HR. Muslim
69
Agus Setiawan, 2016. Konsep Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga Perspektif Pendidikan Islam.
EDUCASIA, Vol. 1 No. 2, 2016, www.educasia.or.id, e-ISSN: 2527, p-ISSN: 2502-9150

24 | P a g e
hal baik. Sehigga disebutkan dalam hadits lemah, “Perumpamaan orang yang belajar
ilmu dimasa kecil, seperti mengukir pada batu. Dan perumpamaan orang yang belajar
ilmu diwaktu besar seperti menulis diatas air”70
Pendidikan tauhid kepada anak tentu memerlukan konsep dan metode, antara
lain:
1) Nasehat
Metode nasehat digunakan oleh Lukman kepada putranya, demikian juga Nabi
Saw menggunakan metode nasehat kepada Ibnu Abbas dan Mu’adz bin Jabal dalam
menanamkan tauhid, bahkan para nabi yang lain. Nasehat dan wasiat tauhid adalah
manhaj para nabi, Allah berfirman:
Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya dan demikian pula Ya‘qub,
“Wahai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu. Janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”71
Metode nasehat adalah paling mudah karena bisa diberikan setiap waktu saat ada
kesempatan. Nasehat kepada anak bisa dikemas dalam bentuk yang menyenangkan dan
tidak membosankan, tidak seperti pembelajaran di dalam kelas dengan metode ceramah.
Nasehat bisa disampaikan dalam bentuk cerita atau dialog. Orang tua menjelaskan
kalimat tauhid, wujud Allah serta bukti kauniyah-Nya, tentu mengunakan kosakata dan
bahasa yang sesuai dengan tingkat pemahaman mereka.

2) Tadabbur alam/ayat kauniyah


Dalam menanamkan tauhid pada anak-anak, orang tua bisa menggunakan metode
tadabbur alam. Dimana anak-anak langsung diajak melihat alam sekitar, dan disanalah
orang tua menanamkan nilai-nilai ketauhidan. Diperkenalkan kepada anak-anak bahwa
bumi, gunung, lautan, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan dan alam lainnya adalah ciptaan
Allah. Kegiatan picnic dan rekreasi juga bisa menjadi media pendidikan tauhid kepada
anak.
Banyak contoh dalam al-Qur’an bagaimana kita diperintahkan untuk melihat alam
sekitar, yang dengan itu tumbuh keyakinan dan keimanan kepada Allah Swt. Dalam surat
al-Ghasyiah ayat 17 – 20, Allah berfirman:

70
HR. Ath-Thabrani, lemah.
71
QS. Al-Baqoroh: 132

25 | P a g e
َ ْ َ َ ۗ ْ َ ُ َ ْ َ َ ْ َ َ ۗ ْ َ ُ َ ْ َ ۤ َ َّ َ َ ْۗ َ ُ َ ْ َ ْ َ َ ُ ْ َََ
‫ض‬
ِ ‫ر‬ْ ‫اْل‬ ‫ل‬ ‫ا‬ِ ‫و‬ ‫ت‬‫ب‬ ‫ص‬ِ ‫ن‬ ‫ف‬ ‫ي‬‫ك‬ ‫ال‬‫ب‬‫ج‬
ِ ِ ‫ال‬ ‫ل‬ ‫ا‬ِ ‫و‬ ‫ت‬‫ع‬‫ف‬ِ ‫ر‬ ‫ف‬ ‫ي‬‫ك‬ ‫ء‬ِ ‫ا‬‫م‬‫الس‬ ‫ل‬ ‫افَل َينظ ُر ْون ِال ِاًل ِب ِل كيف خ ِلقت وِا‬
ْۗ َ ‫َك ْي‬
‫ف ُس ِط َحت‬

“Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? Bagaimana langit


ditinggikan? Bagaimana gunung-gunung ditegakkan? Bagaimana pula bumi
dihamparkan?”72
Dalam sura al-Hajj ayat 5, Allah berfirman:
َ ‫ت من ُك ِّل َز ْوج‬ْ َ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َّ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َ ً َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ
‫يج‬ ‫ه‬‫ب‬
ٍ ِ ٍ ِ ‫وترى األرض ه ِامدة ف ِإذا أنزلنا عليها الماء اهيت وربت وأنبت‬
“Kamu lihat bumi itu kering. Jika Kami turunkan air (hujan) di atasnya, ia pun hidup
dan menjadi subur serta menumbuhkan berbagai jenis (tetumbuhan) yang indah”
Dua ayat diatas menerangkan agar kita melihat keadaan alam sekitar untuk
mengenal adanya sang Khaliq (Allah). Sehingga penanaman nilai-nilai keimanan kepada
anak dengan cara tadabbur ayat kauniyah lebih mengena dan masuk dalam jiwa mereka.

3) Pengawasan/Pendampingan
Metode ini dilandaskan pada nash surat at-Tahrim ayat 6, Allah Swt berfirman:
َّ ٌ َ ٌ َ ٌ َ ٰۤ َ ُ ْ ُ َّ َ ُ ْ ُ َّ ً َ ْ ُ ْ ْ َ َ ْ ُ َ ُ ْ َ ْٖٓ ُ ْ ُ َ ٰ َ ْ َ َ ُّ َ ٰٖٓ
‫اس َوال ِح َج َارة َعل ْي َها َمل ِٕىكة ِغَلظ ِشداد ًل‬‫يايها ال ِذين امنوا قوا انفسكم واه ِليكم نارا وقودها الن‬
َ ْ َ ُ ْ ُ َٓ َ‫َْ ُ ْ َ ه‬
‫اّلل َما ا َم َره ْم َو َيف َعل ْون َما ُيؤ َم ُر ْون‬ ‫يعصون‬
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat
yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia
perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”73.
Fungsu orang tua dalam ayat tersebut adalah mampu melindungi diri, keluarga
dan anak-anaknya dari ancaman api neraka. Dan fungsi tersebut akan dapat terlaksana
dengan baik jika pendidik melakukan tiga hal yakni memerintahkan, mencegah dan
mengawasi. Oleh karena itu menurut Nashih Ulwan bahwa dalam membentuk akidah
anak memerlukan pengawasan, sehingga keadaan anak selalu terpantau. Secara universal

72
QS. Al-Ghasyiyah: 17-20
73
QS. At-Tahrim: 6

26 | P a g e
prinsip-prinsip Ilsam mengajarkan kepada orang tua untuk selalu mengawasi dan
mengontrol anak-anaknya74.
Yang dimaksud dengan pengawasan adalah orang tua memberikan teguran jika
anaknya melakukan kesalahan atau perbuatan yang dapat mengarahkan kepada
pengingkaran ketauhidan. Pengawasan juga bermakna bahwa orang tua siap memberikan
bantuan jika anak memerlukan penjelasan serta bantuan untuk memahami dan melatih
dirinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang diajarkan kepadanya 75.
Anak-anak adalah makhluk yang paling cepat meniru apa yang dilihat dan
didengar. Sekarang ini banyak sekali tanyangan dan acara televisi yang disukai anak-anak
diantaranya adalah film-film kartun. Namun yang disayangkan adalah banyak dari film-
film tersebut yang bersebrangan dengan nilai-nilai akidah, bahkan sebagiannya adalah
import dari keyakian agama diluar Islam. Disinilah peren orang tua memberikan
pendampingan kepada anak-anaknya. Orang tua harus memberikan masukan-masukan
kepada anak apabila ada pada tontonan tersbut hal-hak yang bertentangan dengan
ketauhidan.

4) Pembiasaan
Nashih Ulwan menjelaskan bahwa landasan awal dalam metode pembiasaan
adalah “fitrah” atau potensi yang dimiliki oleh setiap anak yang baru lahir, yang
diistilahkan oleh beliau dengan “keadaan suci dan bertauhid murni”. Sehingga dengan
pembiasaan diharapkan dapat berperan untuk menggiring anak kembali kepada tauhid
yang murni tersebut76.
Imam Ghazali berpendapat sebagaimana dikutip oleh Nashih Ulwan bahwa bayi
memiliki hati yang suci dan bersih, ia adalah amanat bagi orang tuanya. Oleh karena itu,
hati yang suci dan bersih tersebut harus selalu dibiasakan dengan kebiasaan-kebiasaan
baik, sehingga ia tumbuh dengan kebiasaan-kebiasaan baik tersebut. Sehigga diharapakan
kelak akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat”77
Pendidikan tauhid kepada anak bisa dilakukan dengan pembiasaan atau latihan-
latihan agar nilai ketauhidan tertanam dalam dirinya. Pembiasaan ini akan sukses apabila

74
Agus Setiawan, idem.
75
Agus Setiawan, idem.
76
Agus Setiawan, idem
77
Agus Setiawan, idem.

27 | P a g e
dilakukan sejak anak masih bayi, dilakukan secara terus menerus, adanya pengawasan
dan teguran ketika anak melanggar dan terus berproses sehingg akhirnya anak melakukan
semua kebiasaan tanpa adanya dorongan orang tua baik ucapan ataupun pengawasan.
Latihan-latihan dan pembiasaan yang bisa dilakukan orang tua misalnya,
pembiasaan kalimat thayyibah laa ilaaha illallah. Pembiasaan kalimat takbir Allahu
Akbar, Masya Allah, Subhanallah ketika mendapatkan hal-hal yang menakjubkan.
Pembiasaan kalimat tahmid (alhamdulillah) apabila mendapatkan nikmat. Pembiasaan
kalimat istirja’ (innaa lillahi wa innaa ilaihi rajiun) ketika ada musibah yang menimpa.
Termasuk dalam pembiasaan adalah pembiasaan dalam beribadah. Karena ibadah
adalah kebutuhan setiap muslim, sehingga dengan ibadah kita dapat mendidik dan
menanamkan ketauhidan pada anak. Bahkan maksud dan tujuan tauhid adalah agar
manusia beribadah hanya kepada Allah.

D. Kesimpulan dan Rekomendasi


Pendidikan tauhid harus menjadi perhatian setiap muslim, terlebih orang tua
kepada anak-anaknya. Karena tauhid adalah inti dakwah para Rasul. Bahkan Nabi kita
Muhammad Saw menghabiskan waktu 13 (tiga belas) tahun di Mekkah mendidik para
sahabatnya tentang ketauhidan. Ini menunjukkan bahwa pendidikan tauhid harus menjadi
prioritas. Terlebih apabila melihat kondisi bangas ini, kemerosotan dan kemunduran nilai-
nilai luhur sangat tampak kita rasakan. Sehingga konsep pendidikan tauhid sangat tepat
untuk menjadi salah satu solusi pendidikan di Indonesia. Pendidikan berbasis tauhid
adalah keseluruhan kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan
pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian
masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah Swt. Selanjutnya
ilmu dan keahlian yang dimiliki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi
pengabdian kepada Allah Swt.
Surat Lukman ayat 13 – 19 sangat tepat menjadi kajian bagaimana pendidikan
tauhid diaplikasikan. Wasiat-wasiat Lukman pada ayat tersebut menjadi contoh dalam
mengembangkan konsep pendidikan tauhid. Karena hampir semua wasiat Lukman
muaranya kepada penanaman nilai-nilai ketauhidan atau ubudiyah kepada Allah.
Anak-anak harus memperoleh porsi besar dalam pendidikan tauhid. Keberhasilan
dalam menanamkan nilai-nilai ketauhidan sejak dini akan membentuk anak memiliki

28 | P a g e
karakter yang baik. Disamping itu, pendidikan tauhid akan menjaga mereka dari
terjerumus ke dalam fitnah dan penyimpangan di masa mendatang. Orang tua bisa
menanamkan pendidikan tauhid kepada anak-anaknya dengan beragam metode; nasehat
dan dialog, pembiasaan, tadabbur ayat kauniyah serta pengawasan dan pendampingan.
Dari kesimpulan diatas, ada tiga rekomendasi yang bisa dituliskan:
1) Bagi orang tua hendakalah benar-benar memberikan perhatian besar terhadap
pendidikan tauhid anak-anaknya. Tentu ini dimulai dari orang tua itu sendiri,
sebab tidak mungkin ia bisa memberikan pendidikan tauhid kepada anaknya
sementara ia sendiri tidak memiliki ilmunya. Dikatakan dalam pepatah Arab,
“Orang yang tidak punya maka tidak bisa memberi”
2) Bagi lembaga pendidikan, perlu menyusun kurikulum dan program yang
berorientasi pada pendidikan berbasis tauhid. Bukan hanya pada pendidikan
agama saja. Bahkan pendidikan umumpun harus berorientasi pada penanaman
nilai-nilai ketauhidan.
3) Bagi pemerintah, hendaklah memberikan perhatian lebih kepada pendidikan
agama. Memberikan alokasi waktu yang cukup bagi mata pelajaran agama.
Sehingga nilai-nilai ketauhidan bisa benar-benar tersampaikan kepada anak didik.

E. Daftar Pustaka
Abdul Wahhab, S. Taisirul Azizil Hamid Fii Syarhi Kitab At-Tauhid Alladzi Huwa
Haqqullah ‘Alal ‘Abiid. Al-Maktab Al-Islami. Beirut-Damaskus. Cet. 1. 1423 H – 2002
M.
Abu Bakar al-Jazairi. Aisarut Tafasir Likalami Al-‘Aliiyil Kabir. Maktabah Al-
Ulum wal Hikam. Madinah Al-Munawwaroh. Cet. 5. 1424 H – 2003 M
Agus Setiawan, A. 2016. Konsep Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga Perspektif
Pendidikan Islam, EDUCASIA, Vol. 1 No. 2, 2016, www.educasia.or.id, e-ISSN: 2527-
5011, p-ISSN: 2502-9150
Ahmadi, AZ dan Shobahiya, M, 2017. Penggunaan Kata “‫ ”ال‬Bermakna
“jangan” Dalam Al-Qur’an (Perspektif Pendidikan Islam). SUHUF, Vol. 29, No. 2,
November 2017: 125-138
Al-Aaluusi. Ruuhul Ma’ani Fii Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim wa Sab’u Al-Matasni.
Daar Al-Kutub Al-Ilmiyah – Beirut. Cet. 1. 1415 H

29 | P a g e
Al-Baghowi. Ma’alimu At-Tanzil Fii Tafsir Al-Qur’an. Daar Thaibah Lin Nasyr
wat Tauzi’. Cet. 4. 1417 H – 1997 M
Alfairuzaabadi. Al-Qomus Al-Muhith. Muassasah ar-Risalah Li Ath-Thiba’ah wan
Nasyr wat Tauzi’. Beirut Cet. 8 1426H-2005
Al-Fauzan. Aqidatu at-Tauhid Wa Bayaan Maa Yudhodhuha Minasy Syirkil
Akbar Wal Ashghor Wat Ta’thil Wal Bida’ Wa Ghori Dzalika.
Al-Maraghi, AM, 1365. Tafsir al-Maraghi. Syarikah Maktabah wa Mathba’ah
Musthofa al-Baabi al-Halabi wa Auladuhu. Mesir. Cet. Pertama 1365 H/1946 M
Al-Qurthubi. Al-Jaami’ Li Ahkamil Qur’an. Daar Al-Kutub Al-Mishriyah. Kairo.
Cet. 2. 1384 H – 1964 M
Al-Utsaimin. Al-Qaulul Mufid ‘Ala Kitabi At-Tauhid. Daar Ibnul Jauzi. KSA. Cet.
2. 1422 H.
Arifin, M. Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama di Lingkungan Sekolah
dan Keluarga; Sebagai Pola Pengembangan Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
Cet Ke-4, h. 14
Ash-Shoobuni. Rawa’iul Bayan Tafsiru Aayatil Ahkam. Maktabah Al-Ghozali
Damaskus. Muassasah Manahil Al-Irfan. Beirut. Cet. 3. 1400 H – 1980 M
As-Sa’di, 1422. Taisir Al-Karim Ar-Rahman Fii Tafsiri Kalamil Mannaan. Dar
as-Salam Lin-Nasyr wat Tauzi’
As-Safarini, M. Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ul Asror Al-
Atsariyah Li Syarhi ad-Durroh Al-Mudhiyyah Fii ‘Aqdi Al-Firqoh Al-Mardhiyyah.
Muassasah Al-Khofiqin – Damaskus. Cet. Ke-2, 1402H-1982M
https://wikimuslim.or.id/tauhid/ https://kbbi.web.id/tauhid
Ath-Thobari. Jaami’ul Bayan ‘An Ta’wiil Aayil Qur’an. Daar At-Tarbiyah wat
Turats. Mekkah Al-Mukarromah. Kode Pos 7780.
Ghofur, NA. At-Tauhid fi al-Qur’an al-Karim.
https://www.alukah.net/social/0/94173/#_ftn1
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim. Daar Thaibah Lin Nasyr wat Tauzi’. Cet.
2. 1420H – 1999 M.
Ibnul Jauzi. Zaadul Masir Fii Ilmi At Tafsir. Darul Kitab Al-Arobi. Beirut. Cet.
1. 1422 H

30 | P a g e
Maulidia, J dkk. Pengembangan Kurikulum Pembelajaran AUD Berbasis Tauhid.
Islamic EduKids: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 02 No. 01, Juni 2020
Mu’jam Maqayis al-Lughoh 6/90
Munawwir, AW. Kamus al-Munawwir (Yogyakarta: PP. a-Munawwir, 1989) hal.
504
Nawawi, I. 2011. Menggagas Konsep Pendidikan Berbasis Tauhid.
https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2011/12/05/2217/menggagas-
konsep-pendidikan-berbasis-tauhid.html
Ramadhani, A. Ta’ammulat Tarbawiyah Fii Washooyaa Luqman al-Hakim.
https://islamsyria.com/site/show_articles/15569
Sayuti, W. tt. Ilmu Pendidikan Islam; Memahami Konsep Dasar dan Lingkup
Kajian. https://wahdi.lec.uinjkt.ac.id/articles/ilmupendidikanislam
Setiawan, A. 2016. Konsep Pendidikan Tauhid Dalam Keluarga Perspektif
Pendidikan Islam. EDUCASIA, Vol. 1 No. 2, 2016, www.educasia.or.id, e-ISSN: 2527,
p-ISSN: 2502-9150
Soleh, AN. Tt. Reorientasi Pendidikan Islam. (Jakarta: Elsas, 2006), h. 57
Ulfa, HF dkk. Metode Pendidikan Tauhid Dalam Kisah Ibarhim As. dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran PAI Di Sekolah. TARBAWY: Indonsesian Journal
of Islamic Education – Vol. 4 No. 2 (2017)

31 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai