Anda di halaman 1dari 4

Analisis dan strategi gerakan islam indonesia

Rahmat rizal
Pendahuluan
Sejarah Gerakan Islam Peta Gerakan Islam Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
sejarah masuknya agama Islam di negeri ini. Setelah era Wali Songo, lahirlah ulamaulama
Nusantara yang sangat terkenal yang mewarisi tokoh Islam sebelumnya, seperti Nuruddinar
Raniri, Abdur Rouf al Sinkili, Muhammad Yusuf al Makassari, Kiai Ageng Hasan Besari,
Syaikh Mutamakkin, Sayyid Sulaiman, Kiai Jamsari, Syaikh Muqayyim. Yang kemudian
diteruskan oleh Ulama Haramain (al Jawwi) yang bermukim di Makkah diantaranya, Syaikh
Muhammad Nawawi al Bantani (Banten) dan Syaikh Ahmad Khatib al Minang kabawi
(Minangkabau) yang memberikan pesan-pesan dan dorongan kemerdekaan bangsa Indonesia
untuk lepas dari belenggu penjajah, sebab umat Islam tidak akan bebas beribadah dengan cara
merebut kemerdekaan, yang kemudian generasi Ulama al Jawwi itu mempunyai murid KH
Muhammad Kholil Bangkalan (Madura), KH. Ahmad Dahlan, dan KH Muhammad Hasyim
Asy’ari (Jombang) sebagai generasi abad 19 M. yang kemudian dilanjutkan generasi ulama
pesantren sampai sekarang. Di awal abad ke-20 menurut M. Atho Mudzhar (Karim, 7999:
41), kita menyaksikan Islam menjadi sebab bangkitnya solidaritas nasionalisme Indonesia
ditandai dengan berdirinya Sarekat Islam(SI) pada tahun 1911, sebagai suatu unsur yang
mempersatukan kebangkitan nasional. Namun pada era demokrasi terpimpin di bawah
kepimimpinan rezim Orde Lama, presiden Soekarno, kedudukan kelompok Islam nasionalis
beranjak melemah seiring dengan semakin dominannya pengaruh PKI dan meluasnya proyek
sekularisasi pendidikan di Indonesia. Ketika Orde Lama ini tumbang dan berganti dengan
kekuasaan rezim Orde Baru dibawah pimpinan presiden Soeharto, Islam mengalami
perkembangan yang dinamis dan transformatif. Islam bukanlah kekuatan yang bersifat
monolitik. Keragaman dan pluralitas dalam umat justru menjadi karakteristik utama dari
Islam di Indonesia. Kendati ada keragaman, deskripsi umum terhadap Islam di Indonesia bisa
disederhanakan kepada karakteristik adanya dua aliran besar ( school of thought), yakni Islam
modernis, dengaan representasi utama pada Muhammadiyah (berdiri pada 1912) dan Islam
tradisionalis, dengan representasi utama adalah NU, yang berdiri pada 1926. Penggambaran
Islam di Indonesia ke dalam kategori modernis dan tradisionalis ini telah menjadi kebiasaan
baik di kalangan pengamat maupun umat Islam itu serrdiri. Namun, sejak berakhirnya era
Orde Baru dengan memasuki era Reformasi pada 1998 maka penggambaran ke dalam dua
kategori semacam ini tidak lagi mencerminkan realitas sebenarnya yang semakin kompleks.
Dicabutnya tekanan dan pembatasan politik oleh negara telah membuka ruang bagi proses
manifestasi berbagai ragam gerakan dan pemikiran dalam komunitas Islam di Indonesia.
Pasca rezim Orba tumbang terjadi perkembangan dan perubahan secara dinamis dan ekspresif
di tengah umat Islam, ditandai dengan beberapa hal, seperti:
Pertama, lahirnya sejumlah partai politik yang secara formal mengusung ideologi dan
cita-cita Islam, yang sebelumnya dilarang secara tegas oleh rezim Orba. Fenomena ini
mengindikasikan bangkitnya kernbali kekuatan-kekuatan Islam politik di Indonesia. Kedua,
tampilnya berbagai gerakan-gerakan yang selama masa Orba kurang dikenal oleh
masyarakat, dan ketiga, kelahiran organisasi-organisasi Islam baru. Ciri dan lingkup kegiatan
organisasiorganisasi Islam yang baru ini sangat beragam dan luas.
Akibatnya, wajah Islam di Indonesia menjadi semakin beragam dan kompleks,
sehingga penggambaran yang hanya menekankan pada eksistensi, aktivitas, dan pemikiran
Islam mainstream, modernis dan tradisionalis, tidak lagi memberikan pemahaman yang
menyeluruh dan utuh terhadap kehidupan Islam di Indonesia. Setelah NU berdiri, ketegangan
di kalangan umat Islam Indonesia bukan tidak ada, tetapi berpindah dari ranah cultural
keranah politik. Dijelaskan oleh Djohan Effendi (2010), sejak pembentukannya pada tahun
1926, NU menempati posisi sentral dan memainkan peranan penting di kalangan masyarakat
santri, terutama di pedesaan. Ia menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran kolektif
umat Islam Indonesia, terutama di bidang agama, sosial, kebangsaan, pendidikan dan lain
sebagainya. Islam di Indonesia pada dasarnya memiliki corak dan karakter yang beragam,
baik dari sisi pemikiran maupun gerakan. Keragaman ini tercermin dari jumlah organisasi
keislaman dan kelompok kepentingan atas nama Islam yang dari waktu ke waktu semakin
bervariasi. Bervariasinya berbagai kelompok ini selain karena berbagai kepentingan juga
karena tuntutan kondisi saat itu, baik karena pressure politik maupun sebagai antitesis dari
kelompok yang sudah ada. Terbaginya kelompok-kelompok tersebut dapat disederhanakan
menjadi organisasi massa seperti NU, Muhammadiyah, Persis dan sebagainya. Sementara
Organisasi Kepemudaan diwadahi dalam berbagai bentuknya seperti PMII, HMI, IMM dan
lainnya.1
PERKEMBANGAN GERAKAN ISLAM .
Dalam upaya menjelaskan gradasi pemikiran Islam di setiap zaman, Fazlur Rahman
misalnya dengan metode historisnya membagi perkembangan pemikiran Islam menjadi lima
yaitu; tradisionalis, revivalis, modernisme klasik, neo revivalis, dan neo modernis.
1. Kelompok Tradisionalis Mereka adalah kelompok yang memiliki keterikatan kuat
dengan ulama abad pertengahan. Kelompok tradisionalis menganggap pintu idjtihad sudah
tertutup, hal ini berkaitan dengan pandangan bahwa ulama-ulama mahzab terdahulu telah
merumuskan permasalahan kehidupan secara lengkap. Jadi, kalaupun ada masalah-masalah
baru yang belum diputuskan oleh ulama-ulama terdahulu, tinggal dikiaskan saja dengan
fatwafatwa mereka. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh pandangan mereka yang
menganggap bahwa ulama sekarang tidak mampu melakukan ijtihad karena keterbatasan
pengetahuan yang dimiliki. Jadi, secara singkat mereka begitu mengkultuskan ulama-ulama
mahzab dan selalu merujuk kepada keputusan-keputusan mereka dalam mengatasi
permasalahan yang berkembang dalam konteks kekinian.
2. Kelompok Revivalis Pemikiran ini muncul diakibatkan adanya rasa keprihatinan
yang dalam mengenai keterpurukan kaum muslimin. Sehingga hadirlah suatu gerakan
pembaharuan yang mencoba mengangkat kembali derajat kaum muslimin. Gerakan mereka
terutama berusaha menghindarkan umat Islam dari praktek tahayul dan khurofat dengan cara
kembali kepada ajaran sumber utama Islam; Al-Qur‟an dan Sunnah. Sebagai pembeda
pemikiran kaum revivalis dengan pemikiran selanjutnya (modernis), mereka tidak
mendasarkan pembaharuannya kepada konsep-konsep Barat. Tokoh sentral gerakan ini
menurut Rahman adalah Ibn Abdul Wahab yang pada tahap selanjutnya menjelma menjadi
kekuatan pemikiran besar yang disebut Wahabi.

1
Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h. 66
3. Kelompok Modernisme Klasik Kemunculannya adalah pada awal abad ke-19.
Walaupun bertolak dari semangat yang dikobarkan kaum revivalis, namun kelompok pemikir
ini sudah memiliki relasi dengan para pemikir Barat. Selain itu, kaum modernis juga
memiliki perluasan isi ijtihad. Sehingga mereka mulai berani mengurai masalahmasalah
sosial seperti mengenai demokrasi, kesetaraan priawanita, dan pembaharuan pendidikan yang
diperoleh dari interaksi dengan dunia Barat. Walaupun begitu, mereka tetap menyandarkan
pemikirannya dalam kerangka keIslaman. Tokoh tokoh yang termasuk dalam golongan ini
diantaranya adalah Sayyid Jamaludin Al Afgani dan Muhammad Abduh.
4. Kelompok Neo-Revivalis Pemikiran ini muncul sebagai respon terhadap pemikiran
modernisme klasik (demokrasi dan juga kemajuan pendidikan). Namun relasi antara kaum
neo-revivalis dengan kaum modernisme klasik tidak selamanya antagonis. Ada tiga hal yang
menjadi penolakan kaum neo revivalis terhadap pemikiran kaum modernis yaitu mengenai
bunga bank, aurat wanita dan keluarga berencana. Pemikiran ini muncul pada awal abad ke
20 di daerah Arab Timur Tengah, India-Pakistan, dan juga Indonesia.
5. Kelompok Neo-Modernis Menurut Rahman, kehadiran kelompok ini adalah
mencoba merespon pemikir-pemikir kelompok yang terlebih dahulu hadir. Keterkaitan
mereka dengan pemikiran Barat begitu kuatnya bahkan mereka begitu tercelup dalam arus
westrenisasi. Kelompok ini mencoba merekonstruksi pemikiran Islam secara radikal. Mereka
mencoba menawarkan metode baru dalam memaknai Al-Qur‟an, yaitu melalui
pendekatanpendekatan filsafat hermenetika (tafsir). Hal ini tentunya memunculkan
gelombang kontroversi yang begitu besar dikalangan muslim dari golongan tradisionalis dan
revivalis yang masih memiliki kerigidan metode dalam menafsirkan Al-Qur‟an, terutama
kaum tradisionalis yang masih sangat mengkultuskan ulama abad pertengahan. 2
STRATEGI IDEOLOGI GERAKAN ISLAM
Pertama, Mereka mengadopsi pandangan bahwa beberapa bidang Islam tradisional
membutuhkan perubahan dan reformasi substansial dalam rangka menyesuai kan dengan
kebutuhan masyarakat muslim saat ini. Kedua, Mereka cenderung mendukung akan perlunya
fresh ijtihad (pemikiran yang segar) dan metodologi baru dalam ijtihad untuk menjawab
permasalahan-permasalahan kontemporer. Ketiga, Beberapa di antara mereka juga
mengkombinasikan atau mengintegrasikan secara kreatif warisan kesarjanaan Islam
tradisional dengan pemikiran Barat modern. Keempat, Mereka secara penuh optimis dan
teguh berkeyakinan bahwa dinamika dan perubahan sosial, baik pada ranah intelektual,
moral, hukum, ekonomi atau teknologi, dapat direfleksikan dalam Islam. Kelima, Mereka
tidak merasa terikat pada dogmatisme atau mazhab dan teologi tertentu dalam pendekatan
kajiannya. Keenam, Mereka lebih meletakkan titik tekan pemikirannya pada berbagai isu
keadilan sosial, keadilan gender, HAM dan relasi yang harmonis antara Muslim dan non-
Muslim (Noor, 2006: 150-151).3

2
Fazlur Rahman, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985
3
Noor, Farish A. 2006. Islam Progresif: Peluang, Tantangan, das Masa Depannya di Asia Tenggara. Terj. Moch.
Nur Ichwan dan Imron Rosyadi. Yogyakarta: SAMHA.
DAFTAR PUSTAKA
Masykur Hasyim, Merakit Negeri Berserakan, (Surabaya: Yayasan 95, 2002), h. 66

Fazlur Rahman, Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 1985

Noor, Farish A. 2006. Islam Progresif: Peluang, Tantangan, das Masa Depannya di
Asia Tenggara. Terj. Moch. Nur Ichwan dan Imron Rosyadi. Yogyakarta: SAMHA

Anda mungkin juga menyukai