Disusun Oleh:
1. Tafhim Nur Falah (202180085)
2. Muhammad Muslih (202180090)
Tujuan ijtihad
untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua
hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jenis-jenis Ijtihad
1. Ijma’
2. Qiyas
Secara bahasa artinya ialah analogi, secara istilah ialah Ushul Fikih yang berarti
menetapkan suatu hukum “baru” yang belum ada nash - nya dengan hukum “yang
sudah ada” nashnya. Nash menurut bahasa adalah rof‟u assyari‟ atau munculnya
segalasesuatu yang tampak. Sedangkan menurut syara‟adalah: Suatu lafadz yang
maknanya lebih jelas Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash
mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari
kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang diketahui Muhammad
Adib Salih berkesimpulan bhawa yang dimaksud Nash adalah: Lafaz yang
menunjukan hokum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia
mempunyai kemungkinan. Disini Nash lebih memberi kejelasanmaknanya diambil
dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa. Adapun Kedudukan (hukum) lafadz
nash yaitu wajib diamalkan sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan (menentukan
beberapa maknayang mungkin terkandung di dalam ayat al-Quran yang mempunyai
berbagai makna) Qiyas menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu
hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara
terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat,
bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa
sebelumnya
Contohnya hukum menempeleng orang tua, itu belum ada nash-nya. Nash yang sudah
ada adalah mengatakan “Ah” seperti yang tercantum pada Q.S Al-Isra/17:23.„ illat
hukum atau yang disebut juga sebab dan tujuan seperti yang disebutkan tadi larangan
mengatakan ahh dan membentak orang tua karena akan menyakiti hati orang
tua.Qiyas pertama kali digunakan secara luas oleh Imam Hanafi. Tetapi berdasarkan
luas danterbatasnya qiyas secara berturut - turut digunakan oleh Imam Syafi‟I, Imam
Maliki dan yang paling terbatas adalah Imam Hambali. Adapun Imam Ja‟fari
menolak penggunaan metodologi ini karena menurut Ia masalah agama tidak dapat
digeneralisasikan.
3. Istihsan
Merupakan perluasan dari qiyas. Jadi istihsan adalah meninggalkan qiyas jalli
(qiyas nyata) untuk menjalankan qiyas khafi (qiyas samar), atau meninggalkan hokum
kulli (hokum umum) untuk menjalankan hokum istisna‟I (pengecualian) karena
adanya dalil logika yang membenarkannya. Istihsan juga menetapkan suatu hokum
dimana yangberlainan dengan hasil qiyas karena pertimbangan kepentingan dan
kemaslahatan umat menghindarkan terjadinya kesulitan dan kezaliman. Contohnya
penggunaan ihtihsan dalam jual beli.Islam hanya membenarkan transaksi jual beli jika
barangnya sudah nyata adanya. Pada prakteknya yang disebut salam, ada diantaranya
praktek jual beli dengan dibayar terlebih dahulu tetapi barangnya dikemudian hari, ini
dilarang oleh Islam. Padahal tentu saja maksudnya agar tidak terjadi kecurangan.
Tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi transaksi bisnis masa kinisemakin
cepat berjalan. Pembayaran ini disebut praktek salam yang merupakan kekecualian
dari yang umum terjadi.
4. Mashalih al-mursalah
Ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara dan tidak adapula
nash-nya, baik yang memerintah maupun yang melarang. Contohnya dalam
menentukan hukuman. Dalam islam menetapkan hokum qisas dimana jika ada
seorang pezina dan penuduh zina tidak dapat menghadirkan saksi empat orang , atau
hokum potong tangan bagi pencuri. Dalam perkembangan hokum yang terjadi adanya
keberagaman tindak pidana namun tidak tercakup secara tegas dalam
syara‟.Kemudian muncullah penjara.Syara‟ itu sendiritidak memerintahkan ataupun
melarang pembuatan penjara.Tapi karena dilihat kembalipada fungsinya bagi
keamanan dan ketertiban masyarakat maka keberadaan penjara pundipandang
maslahat.Sebenarnya mashalih al-mursalah mirip dengan istihsan yakni mencari
kemaslahatan.Bedanya jika istihsan mengambil qiyas khafi dari qiyash jalli, maka
mashalih al-mursalah menetapkan suatu hokum yang tidak diperintahkan
ataupundilarang oleh syara‟.
3. Tidak bertentangan dengan dalil syara‟ dan prinsip hokum islam Adapula
tambahan dari jenis ijtihad yaitu Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan suatu
yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Di Indonesia,
ijtihad sering dilakukan secara kolektif (ijtihad jam‟iyah), antara lain terjadinya dalam
forum seperti Forum Bahtsul Masail Diniyah (Nahdhatul Ulama) dan berbagai majelis
dan organisasi agama lainnya.
2. Manhaj Tarjih
Pengertian
Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah,
manhaj tarjih lebih dari sekedar “cara mentarjih.” Istilah tarjih sendiri sebenarnya
berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan
penilaian terhadap suatu dalil syar’i yang secara zahir tampak bertentangan untuk
menentukan mana yang lebih kuat. Atau juga diartikan sebagai evaluasi terhadap
berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan
mana yang lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah dan lebih maslahat
untuk diterima. Sebagai demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad dan
merupakan ijtihad paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi
ijtihad mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam mazhab,
dan ijtihad tarjih.
Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti
mendinamisakikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang
dicapai manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan Sunnah. Bahkan dalam
aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluaan dan tuntutan
untuk berubah. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan
kamariah baru, khususan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai
dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintah melakukan rukyat.
Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab,
sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu
perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang
melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana
perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih
tentang Adabul Mar’ah fil-Islam.
Perubahan itu dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) ada
tuntutan untuk berubah dalam rangka dinamisasi kehidupan masyarakat, (2)
perubahan baru harus berlandaskan suatu kaidah syariah juga, (3) masalahnya
menyangkut muamalat duniawiah, bukan menyangkut ibadah murni (khusus), dan (4)
ketentuan lama bukan merupakan penegasan yang Qat‘³.
Toleran artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar,
sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” yang
dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan, “Keputusan tarjih mulai dari merundingkan
sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau
menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu” [HPT: 371].
Terbuka artinya segala yang diputuskan oleh tarjih dapat dikritik dalam rangka
melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka
Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai
kurang kuat. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” ditegaskan, “Malah kami
berseru kepada sekalian ulama supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan
Majelis Tarjih itu di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap
supaya diajukan, syukur kalau dapat mermberikan dalil yang lebih kuat dan terang,
yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulang penyelidikannya, kemudian
kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah
menurtut sekedar pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu” [HPT: 371-372].
Tidak berafiliasi mazhab artinya tidqak mengikuti mazhab tertentu, melainkan dalam
berijtihad bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah dan metode-metode ijtihad yang
ada. Namun juga tidak sama sekali menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada.
Pendapat-pendapat mereka itu dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan
diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidup.
1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang
menyatakan bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada dua sumber tersebut.
2. Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam
adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah ()السنة المقبولة.” Putusan Tarijih ini
merupakan penegasan kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan
tedahulu (HPT, h. 278),
Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syar’iah. Namun ada suatu perkecualian di
mana hadis daif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis tersebut:
https://lpsi.uad.ac.id/manhaj-tarjih-dan-metode-penetapan-hukum-dalam- tarjih-
muhammadiyah/
https://www.researchgate.net/publication/343258410_Rilis_Putusan_dan_Produtk_Fa
twa_Majlis_Tarjih_Muhammadiyah
https://suaramuhammadiyah.id/2016/07/02/tajdid-manhaj-tarjih-dan-produk-hukum-
majelis-tarjih/