Anda di halaman 1dari 11

METODE IJTIHAD DALAM MAJLIS TARJIH

Dosen Pengampu H. Nasrudin, S.Pd., SE., M.Si

Disusun Oleh:
1. Tafhim Nur Falah (202180085)
2. Muhammad Muslih (202180090)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOREJO
2022
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad (Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya
bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk
memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan
syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab ‫ )اجتهاد‬Al-jahd atau al-juhd yang berarti
la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan
kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-
taubah:79)
Artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk
disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan
lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah
Nabi mengungkapkan kata-kata:“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddu’a’”
artinya: ”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit.”Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad”
dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian
ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan
yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka
memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk
mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang
terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang
terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang
terkenal dengan “mashlahat.”
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh
(ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan
rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad
menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli
fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu
hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang
berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum
i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.

Tujuan ijtihad
untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Fungsi Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua
hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist.
Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan
modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan
aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama
sehari-hari.
Jenis-jenis Ijtihad
1. Ijma’

Yaitu kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu


hokum-hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara
yang terjadi. Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara
ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa,
yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat. Bentuk ijtihad ini didasarkan pada hadist Nabi SAW: “Ummatku tidak
akan bersepakat dalam kesesatan.” Ijma yang dihasilkan haruslah didasarkan pada
hadist dan Al-quran yang diterima. Ijma ‟ adapula yang merupakan kesepakatan para
sahabat Nabi yang disebut ijma’ Shahabat yang dianggap sebagai sumber hukum
Islam ketiga setelah Al-qur‟an dan Assunah seperti mendirikan bagi masyarakat islam
dan mengangkat pemimpin (khalifah) bagi ummat.

2. Qiyas

Secara bahasa artinya ialah analogi, secara istilah ialah Ushul Fikih yang berarti
menetapkan suatu hukum “baru” yang belum ada nash - nya dengan hukum “yang
sudah ada” nashnya. Nash menurut bahasa adalah rof‟u assyari‟ atau munculnya
segalasesuatu yang tampak. Sedangkan menurut syara‟adalah: Suatu lafadz yang
maknanya lebih jelas Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash
mempunyai tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil dari
kejelasannya, melainkan timbul dari pembicara sendiri yang diketahui Muhammad
Adib Salih berkesimpulan bhawa yang dimaksud Nash adalah: Lafaz yang
menunjukan hokum dengan jelas yang diambil menurut alur pembicaraan, namun ia
mempunyai kemungkinan. Disini Nash lebih memberi kejelasanmaknanya diambil
dari pembicaraan bukan dari rumusan bahasa. Adapun Kedudukan (hukum) lafadz
nash yaitu wajib diamalkan sepanjang tidak ada dalil yang menakwilkan (menentukan
beberapa maknayang mungkin terkandung di dalam ayat al-Quran yang mempunyai
berbagai makna) Qiyas menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu
hukum suatu perkara yang baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun
memiliki kesamaan dalam sebab, manfaat, bahaya dan berbagai aspek dengan perkara
terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat,
bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa
sebelumnya

Contohnya hukum menempeleng orang tua, itu belum ada nash-nya. Nash yang sudah
ada adalah mengatakan “Ah” seperti yang tercantum pada Q.S Al-Isra/17:23.„ illat
hukum atau yang disebut juga sebab dan tujuan seperti yang disebutkan tadi larangan
mengatakan ahh dan membentak orang tua karena akan menyakiti hati orang
tua.Qiyas pertama kali digunakan secara luas oleh Imam Hanafi. Tetapi berdasarkan
luas danterbatasnya qiyas secara berturut - turut digunakan oleh Imam Syafi‟I, Imam
Maliki dan yang paling terbatas adalah Imam Hambali. Adapun Imam Ja‟fari
menolak penggunaan metodologi ini karena menurut Ia masalah agama tidak dapat
digeneralisasikan.

3. Istihsan

Merupakan perluasan dari qiyas. Jadi istihsan adalah meninggalkan qiyas jalli
(qiyas nyata) untuk menjalankan qiyas khafi (qiyas samar), atau meninggalkan hokum
kulli (hokum umum) untuk menjalankan hokum istisna‟I (pengecualian) karena
adanya dalil logika yang membenarkannya. Istihsan juga menetapkan suatu hokum
dimana yangberlainan dengan hasil qiyas karena pertimbangan kepentingan dan
kemaslahatan umat menghindarkan terjadinya kesulitan dan kezaliman. Contohnya
penggunaan ihtihsan dalam jual beli.Islam hanya membenarkan transaksi jual beli jika
barangnya sudah nyata adanya. Pada prakteknya yang disebut salam, ada diantaranya
praktek jual beli dengan dibayar terlebih dahulu tetapi barangnya dikemudian hari, ini
dilarang oleh Islam. Padahal tentu saja maksudnya agar tidak terjadi kecurangan.
Tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi transaksi bisnis masa kinisemakin
cepat berjalan. Pembayaran ini disebut praktek salam yang merupakan kekecualian
dari yang umum terjadi.

4. Mashalih al-mursalah

Ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara dan tidak adapula
nash-nya, baik yang memerintah maupun yang melarang. Contohnya dalam
menentukan hukuman. Dalam islam menetapkan hokum qisas dimana jika ada
seorang pezina dan penuduh zina tidak dapat menghadirkan saksi empat orang , atau
hokum potong tangan bagi pencuri. Dalam perkembangan hokum yang terjadi adanya
keberagaman tindak pidana namun tidak tercakup secara tegas dalam
syara‟.Kemudian muncullah penjara.Syara‟ itu sendiritidak memerintahkan ataupun
melarang pembuatan penjara.Tapi karena dilihat kembalipada fungsinya bagi
keamanan dan ketertiban masyarakat maka keberadaan penjara pundipandang
maslahat.Sebenarnya mashalih al-mursalah mirip dengan istihsan yakni mencari
kemaslahatan.Bedanya jika istihsan mengambil qiyas khafi dari qiyash jalli, maka
mashalih al-mursalah menetapkan suatu hokum yang tidak diperintahkan
ataupundilarang oleh syara‟.

5. ‘Urf atau adat kebiasaan

‘Urf merupakan adat kebiasaan masyarakat baik berupa perkataan maupun


perbuatan yang baik, yang karenanya dapat dibenarkan oleh syara‟. Contoh dalam
kehidupan sehari harinya ketika kita belanja di supermarket kita memilih barang dan
membayarnya tanpa ijab qabul, tetapi sebenarnya ketika kita membayar ke kasir
sudah terjadi ijab qabu;. Ini dikarenakan hokum kebiasaan (‘urf) lah yang menetapkan
sahnya transaksi demikian.Ada juga ‘urf yang rusak seperti misalnya praktek riba
yang menjadi kebiasaan masyarakat padahal syara‟ nya mengharamkan hal seperti
itu. Adapun syarat-syarat yang memenuhi adat kebiasaan sebagai dasar penetapan
hokum secara islami adalah :

1. Berlaku secara umum di masyarakat atau kelompok tertentu

2. Adat itu sudah ada saat terjadinya suatu perkara hokum

3. Tidak bertentangan dengan dalil syara‟ dan prinsip hokum islam Adapula
tambahan dari jenis ijtihad yaitu Sududz Dzariah adalah tindakan memutuskan suatu
yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat. Di Indonesia,
ijtihad sering dilakukan secara kolektif (ijtihad jam‟iyah), antara lain terjadinya dalam
forum seperti Forum Bahtsul Masail Diniyah (Nahdhatul Ulama) dan berbagai majelis
dan organisasi agama lainnya.

2. Manhaj Tarjih

Pengertian
Manhaj tarjih secara harfiah berarti cara melakukan tarjih. Sebagai sebuah istilah,
manhaj tarjih lebih dari sekedar “cara mentarjih.” Istilah tarjih sendiri sebenarnya
berasal dari disiplin ilmu usul fikih. Dalam ilmu usul fikih tarjih berarti melakukan
penilaian terhadap suatu dalil syar’i yang secara zahir tampak bertentangan untuk
menentukan mana yang lebih kuat. Atau juga diartikan sebagai evaluasi terhadap
berbagai pendapat fikih yang sudah ada mengenai suatu masalah untuk menentukan
mana yang lebih dekat kepada semangat al-Quran dan as-Sunnah dan lebih maslahat
untuk diterima. Sebagai demikian, tarjih merupakan salah satu tingkatan ijtihad dan
merupakan ijtihad paling rendah. Dalam usul fikih, tingkat-tingkat ijtihad meliputi
ijtihad mutlak (dalam usul dan cabang), ijtihad dalam cabang, ijtihad dalam mazhab,
dan ijtihad tarjih.

Dalam lingkungan Muhammadiyah pengertian tarjih telah mengalami pergeseran


makna dari makna asli dalam disiplin usul fikih. Dalam Muhammadiyah dengan tarjih
tidak hanya diartikan kegiatan sekedar kuat-menguatkan suatu pendapat yang sudah
ada, melainkan jauh lebih luas sehingga identik atau paling tidak hampir identik
dengan kata ijtihad itu sendiri. Dalam lingkungan Muhammadiyah tarjih diartikan
sebagai “setiap aktifitas intelektual untuk merespons realitas sosial dan kemanusiaan
dari sudut pandang agama Islam, khususnya dari sudut pandang norma-norma
syariah.” Oleh karena itu bertarjih artinya sama atau hampir sama dengan melakukan
ijtihad mengenai suatu masalah dilihat dari perspektif agama Islam. Hal ini terlihat
dalam berbagai produk tarjih seperti putusan tentang etika politik dan etika bisnis
(Putusan Tarjih 2003), masalah-masalah perempuan seperti dalam Adabul Marah fil-
Islam (Putusan Tarjih 1976), fatwa tentang face book yang sudah dibuat Majelis
Tarijih dan Tajdid dan akan segera dimuat dalam Suara Muhammadiyah. Jadi tarjih
tidak hanya sekedar menguatkan salah satu pendapat yang ada.
Adalah jelas bahwa tarjih itu tidak dilakukan secara serampangan, melainkan
berdasarkan kepada asas-asas dan prinsip tertentu. Kumpulan prinsip-prinsip dan
metode-metode yang melandasi kegiatan tarjih itu dinamakan manhaj tarjih
(metodologi tarjih).

Semangat tarjih : tajdid


Metodologi tarjih memuat unsur-unsur yang meliputi wawasan/semangat, sumber,
pendekatan, dan prosedur-prosedur tehnis (metode). Tarjih sebagai kegiatan
intelektual untuk merespons berbagai persoalan dari sudut pandang syariah tidak
sekedar bertumpu pada sejumlah prosedur tehnis an sich, melainkan juga dilandasi
oleh semangat pemahaman agama yang menjadi karakteristik pemikiran Islam
Muhammadiyah. Semangat yang menjadi karakteristik pemikiran Islam
Muhammadiyah dimaksud diingat dalam memori kolektif orang Muhammadiyah dan
akhir-akhir ini dipatrikan dalam dokumen resmi. Semangat tersebut meliputi tajdid,
toleran, terbuka, dan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Semangat/wawasan tajdid ditegaskan sebagai identitas umum gerakan
Muhammadiyah termasuk pemikirannya di bidang keagamaan. Ini ditegaskan dalam
pasal 4 ayat (1) ADM, “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar
Makruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah”
(italic dari penulis). Tajdid menggambarkan orientasi dari kegiatan tarjih dan corak
produk ketarjihan.
Tajdid mempunyai dua arti:
a. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti
mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi
saw.
b. Dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan
masyarakat dengan semangat kreatif sesuai tuntutan zaman.
Pemurnian ibadah berarti menggali tuntunannya sedemikian rupa dari Sunnah Nabi
saw untuk menemukan bentuk yang paling sesuai atau paling mendekati Sunnah
beliau. Mencari bentuk paling sesuai dengan Sunnah Nabi saw tidak mengurangi arti
adanya tanawwu‘ dalam kaifiat ibadah itu sendiri, sepanjang memang mempunyai
landasannya dalam Sunnah. Misalnya adanya variasi dalam bacaan doa iftitah dalam
salat, yang menunjukkan bahwa Nabi saw sendiri melakukannya bervariasi. Varian
ibadah yang tidak didukung oleh Sunnah menurut Tarjih tidak dapat dipandang
praktik ibadah yang bisa diamalkan.

Berkaitan dengan akidah, pemurnian berarti melakukan pengkajian untuk


membebaskan akidah dari unsur-unsur khurafat dan tahayul.

Tajdid di bidang muamalat duniawiyah (bukan akidah dan ibadah khusus), berarti
mendinamisakikan kehidupan masyarakat sesuai dengan capaian kebudayaan yang
dicapai manusia di bawah semangat dan ruh al-Quran dan Sunnah. Bahkan dalam
aspek ini beberapa norma di masa lalu dapat berubah bila ada keperluaan dan tuntutan
untuk berubah. Misalnya di zaman lampau untuk menentukan masuknya bulan
kamariah baru, khususan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, digunakan rukyat sesuai
dengan hadis-hadis rukyat dalam mana Nabi saw memerintah melakukan rukyat.
Namun pada zaman sekarang tidak lagi digunakan rukyat melainkan hisab,
sebagaimana dipraktikkan dalam Muhammadiyah. Contoh lain, di masa lalu
perempuan tidak dibolehkan menjadi pemimpin karena hadis Abu Bakrah yang
melarangnya, maka di zaman sekarang terjadi perubahan ijtihad hukum di mana
perempuan boleh menjadi pemimpin sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Tarjih
tentang Adabul Mar’ah fil-Islam.

Perubahan itu dapat dilakukan dengan memenuhi beberapa syarat, yaitu (1) ada
tuntutan untuk berubah dalam rangka dinamisasi kehidupan masyarakat, (2)
perubahan baru harus berlandaskan suatu kaidah syariah juga, (3) masalahnya
menyangkut muamalat duniawiah, bukan menyangkut ibadah murni (khusus), dan (4)
ketentuan lama bukan merupakan penegasan yang Qat‘³.
Toleran artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar,
sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” yang
dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan, “Keputusan tarjih mulai dari merundingkan
sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, yakni menentang atau
menjatuhkan segala yang tidak dipilih oleh Tarjih itu” [HPT: 371].
Terbuka artinya segala yang diputuskan oleh tarjih dapat dikritik dalam rangka
melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka
Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai
kurang kuat. Dalam “Penerangan tentang Hal Tarjih” ditegaskan, “Malah kami
berseru kepada sekalian ulama supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan
Majelis Tarjih itu di mana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap
supaya diajukan, syukur kalau dapat mermberikan dalil yang lebih kuat dan terang,
yang nanti akan dipertimbangkan pula, diulang penyelidikannya, kemudian
kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan. Sebab waktu mentarjihkan itu ialah
menurtut sekedar pengertian dan kekuatan kita pada waktu itu” [HPT: 371-372].

Tidak berafiliasi mazhab artinya tidqak mengikuti mazhab tertentu, melainkan dalam
berijtihad bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah dan metode-metode ijtihad yang
ada. Namun juga tidak sama sekali menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada.
Pendapat-pendapat mereka itu dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan
diktum norma/ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidup.

Sumber-sumber ajaran agama

Manhaj (metodologi) tarjih juga mengandung pengertin sumber-sumber pengambilan


norma agama. Sumber agama adalah al-Quran dan as-Sunnah yang ditegaskan dalam
sejumlah dokumen resmi Muhammadiyah,

1. Pasal 4 ayat (1) Anggran Dasar Muhammadiyah yang telah dikutip di atas yang
menyatakan bahwa gerakan Muhammadiyah bersumber kepada dua sumber tersebut.
2. Putusan Tarjih Jakarta 2000 Bab II angka 1 menegaskan, “Sumber ajaran Islam
adalah al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbūlah (‫)السنة المقبولة‬.” Putusan Tarijih ini
merupakan penegasan kembali apa yang sudah ditegaskan dalam putusan-putusan
tedahulu (HPT, h. 278),

..‫ْف‬ ُ ‫ق ه َُو اْلقُ ْرآ ُن اْلك َِر ْي ُم َو ْال َح ِدي‬


َّ ‫ْث ال‬
ُ ‫ش ِري‬ ْ ‫علَى اْ ِإل‬
ِ َ‫طال‬ َ ‫ي‬ ْ َ ‫األ‬
ِِّ ِ‫ص ُل فِي الت َّ ْش ِري ِْع اْ ِإل ْسالَم‬
Artinya :
Dasar mutlak dalam penetapan hukum Islam adalah al-Qur’an dan al-Hadits asy-
Syarif
Mengenai hadis (sunnah) yang dapat menjadi hujah adalah sunnah makbulah seperti
ditegaskan dalam Putusan Tarjih Jakarta tahun 2000. Istilah sunnah makbulah
merupakan perbaikan terhadap rumusan lama dalam HPT tentang definisi agama
Islam yang menggunakan ungkapan “sunnah sahihah”. Istilah sunnah sahihah sering
menimbulkan salah faham dengan mengindektikkannya dengan hadis sahih.
Akibatnya hadis hasan tidak diterima, pada hal sudah menjadi ijmak seluruh umat
Islam bahwa hadis hasan juga menjadi hujah agama. Oleh karena itu untuk
menghindarkan salah faham tersebut rumusan itu diperbaiki sesuai dengan maksud
sebenarnya rumusan bersangkutan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan sunnah
sahihah adalah sunnah yang bisa menjadi hujah, yaitu hadis sahih dan hadis hasan.
Karenanya dalam rumusan baru dikatakan “sunnah makbulah”, yang berarti sunnah
yang dapat diterima sebagai hujah agama, baik berupa hadis sahih dan maupun hadis
hasan.

Hadis daif tidak dapat dijadikan hujah syar’iah. Namun ada suatu perkecualian di
mana hadis daif bisa juga menjadi hujah, yaitu apabila hadis tersebut:

1) banyak jalur periwayatannya sehingga satu sama lain saling menguatkan,


2) ada indikasi berasal dari nabi saw,
3) tidak bertentangan dengan al-Quran,
4) tidak bertentangan dengan hadis lain yang sudah dinyatakan sahih,
5) kedaifannya bukan karena rawi hadis bersangkutan tertuduh dusta dan pemalsu
hadis.

3. Contoh Produk Tarjih


Komponen dan Rincian Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah
No. Komponen Putusan Rincian Putusan
1. Iman 1. Kepada Allah Yang Maha Kuasa
2. Iman Kepada Malaikat
3. Iman Kepada Kitab
4. Iman Kepada Rasul
5. Iman Kepada Hari Kemudian
6. Iman Kepada Qadla dan Qadar
2. Kitab Thaharah 1. Mengusap Kedua khuf (sepatu)
2. Hadast
3. Mandi
4. Tayamum
5. Menghilangkan najis
6. Istinja’
3. Kitab Shalat 1. Cara shalat wajib
2. Arti ucapan, do’a dan bacaan dalam shalat
wajib
4. Kitab Jenazah 1. Cara persediaan
2. Cara memandikan mayat
3. Cara mengafan mayat
4. Cara menshalatkan mayat
5. Cara mengubur mayat
6. Hal melawat
7. Ziarah kubur
8. Membuka alas kaki di kuburan
9. Arti do’a, ucapan dan bacaan dalam kitan
jenazah
5. Kitab Wakaf 1. Kitab Wakaf
6. Kitab Masalah Lima 1. Agama
2. Dunia
3. ‘Ibadah
4. Sabilillah
5. Qiyas
7. Kitab Beberapa 1. Hukum orang yang mengimankan kenabian
Masalah sesudah nabi Muhammad SAW
2. Hukum gambar
3. Hal api unggun kepanduan Hizbul Wathan
Muhammadiyah
4. Hukum alat al lahwi
5. Batas aurat lelaki dan hukum celana h.w tidak
menutupi lutut
6. Hukum mewaqafkan masjid di khususkan
untuk wanita dan hukum mereka menghalang-
halangi kaum lelaki sembahyang di dalamnya
7. Masalah waniya berpergian
8. Arak-arak (pawai) ‘aisyah
9. Guru pria mengajar wanita dan sebaliknya
10. Hukum pria memakai emas dan sebaliknya
11. Masalah hisab dan ru’yah
12. Hukum lotery
13. Masalah suntikan pada mayat
14. Membuka terumpah dalam kuburan
15. Koreksi putusan-putusan yang lalu
16. Berpergian (safar) wanita
17. Mengadakan sandiwara
18. Kedudukan mushalla aisyah
19. Bank muhammadiyah
20. Usul fiqih
DAFTAR PUSTAKA

https://lpsi.uad.ac.id/manhaj-tarjih-dan-metode-penetapan-hukum-dalam- tarjih-
muhammadiyah/

https://www.researchgate.net/publication/343258410_Rilis_Putusan_dan_Produtk_Fa
twa_Majlis_Tarjih_Muhammadiyah

https://suaramuhammadiyah.id/2016/07/02/tajdid-manhaj-tarjih-dan-produk-hukum-
majelis-tarjih/

Anda mungkin juga menyukai