Latar Belakang Program imunisasi merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan yang bertujuan untuk
menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian dari penyakit khususnya pada balita
yang mana dapat meningkatkan kekebalan secara aktif terhadap suatu penyakit. Tujuan
jangka pendek diberikannya imunisasi yaitu pencegahan penyakit secara perorangan dan
kelompok sedangkan tujuan jangka panjangnya adalah eliminasi suatu penyakit.
Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) adalah toksin kuman tetanus yang telah
dilemahkan dan dimurnikan yang diberikan pada bayi, anak dan ibu sebagai usaha
memberikan perlindungan terhadap penyakit tetanus (Rinaldi, 2016). Tetanus Neonatal bisa
dicegah dengan mengimunisasi Wanita Usia Subur (WUS), baik saat hamil maupun diluar
kehamilan, yang akan memproteksi ibu dan bayi melalui transfer antibody tetanus ke bayi
(Proverawati, 2010). Berdasarkan laporan Analisis Uji Coba di Indonesia pada tahun 2015
yang disusun oleh WHO (World Health Organization) yang bekerja sama dengan
Deperteman Kesehatan Republik Indonesia, tetanus masih merupakan penyebab utama
kematian dan kesakitan maternal dan neonatal. Kematian akibat tetanus di negara
berkembang lebih tinggi dibandingkan Negara maju (Suryati, 2015).
Sebagai upaya mengendalikan infeksi tetanus yang merupakan salah satu faktor
risiko kematian ibu dan kematian bayi, maka dilaksanakan program imunisasi Tetanus
Toksoid (TT) bagi Wanita Usia Subur (WUS) dan ibu hamil. Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 42 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi mengamanatkan bahwa wanita
usia subur dan ibu hamil merupakan salah satu kelompok populasi yang menjadi sasaran
imunisasi lanjutan. Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan pada waktu
melakukan pelayanan antenatal. Imunisasi TT pada WUS diberikan sebanyak 5 dosis
dengan interval tertentu, dimulai sebelum dan atau saat hamil yang berguna bagi kekebalan
seumur hidup (Depkes RI, 2016). Di Indonesia 9,8% (18.032) dari 184 ribu kelahiran bayi
menghadapi kematian karena cakupan imunisasi Tetanus Toksoid yang rendah (Depkes RI,
2016).
Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk melindungi terhadap
penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi) sampai usia anak sekolah.
Hal ini disebabkan karena sejak anak mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan
terhadap tingkat kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Oleh sebab itu,
Pertanyaan:
Gambaran Pelaksanaan
1. Pada keadaan bagaimana saja anak yang tidak boleh di Imunisasi Tetanus?
2. Jika anak mengalami demam setelah pasca pemberian Imunisasi Tetanus
bagaimana?
Jawaban:
1. Untuk pemberian Imunisasi TT pada anak ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan, diantaranya anak tidak boleh sedang demam tinggi, adanya riwayat
alergi Imunisasi TT sebelumnya, dan anak yang sedang mengalami penyakit tetanus
akut.
2. Jika terjadi deman setelah beberapa saat pemberian Imunisasi TT pada anak, maka
segera bawa ke Fasiltas atau Tenaga Kesehatan terdekat guna dilakukan
pemeriksaan dan penanganan lebih lanjut.
Judul Laporan Kegiatan Cegah Cacingan Pada Anak dengan PHBS yang baik dan benar
Latar Belakang Cacing adalah salah satu hewan yang menyebabkan suatu penyakit, diIndonesia
cukup banyak jumlah penyakit cacingan yang terjadi pada anak-anak sekolah dasar.
Cacing biasanya masuk ketubuh manusia melalui pori-pori kulit.Berbagai jenis
cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakatdan sering dijumpai
baik di kota maupun di desa di Indonesia, seperti cacing gelang(Ascaris
Lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris Trichiura) dan cacing
tambang(Hookworm) yang dapat mengakibatkan anemia, gangguan gizi,
gangguanpertumbuhan dan gangguan kecerdasan (Hairani et al., 2014). Infeksi
cacing yangditularkan melalui tanah/ Soil Transmitted Helminth (STH) adalah salah
satu infeksiyang paling umum di seluruh dunia dan mempengaruhi komunitas
tertinggal dengankondisi sanitasi yang buruk (Prastiono & Hardono, 2016).
Infeksi cacing usus ditularkan melalui tanah yang tercemar telur cacing,tempat
tinggal yang tidak saniter dan cara hidup yang tidak bersih merupakanmasalah
kesehatan masyarakat di pedesaan dan di daerah kumuh perkotaan diIndonesia.
Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan berhubungan dengan kebersihanpribadi dan
sanitasi lingkungan. Kerugian yang disebabkan karena keberadaan cacingusus
cukup relevan untuk diperhatikan berkaitan dengan pengembangan kualitas
sumber daya manusia. Satu ekor cacing Ascaris dapat menyebabkan
kehilangankarbohidrat sebanyak 0,14 gr/hari dan protein 0,035 gr/hari (Fadhila,
2016).
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) merupakan perilaku yangdilakukan atas
kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikanseseorang, keluarga,
kelompok atau masyarakat mampu secara mandirimenolong dirinya sendiri dalam
bidang kesehatan serta mampu berperanaktif untuk mewujudkan kesehatan di
masyarakat (Kemenkes RI, 2011).
Pelaksanaan kegiatan dilakukan di MIN 4 Aceh Tengah dengan jumlah Peserta 15 orang
Penyuluhan dilakukan di dalam ruangan kelas sekolah pada hari Senin, 05 Desember 2022
dengan topik Cegah Cacingan Pada Anak dengan PHBS yang baik dan benar.
Diskusi:
1. Pertanyaan: Apakah penyakit cacingan bisa menular? Dan biasanya lewat mana
saja penularannya?
Gambaran Pelaksanaan Jawaban:Ya penyakit cacingan dapat menular. Adapun penularannya memalui tanah
salah satunya, maka kita harus menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Buang air besar di jamban, memakai alas kaki bila keluar rumah, cuci tangan dengan
menggunakan sabun, dan menjaga kebersihan makanan.
Kesimpulan:
Promosi kesehatan tentang Cegah Cacingan Pada Anak dengan menerapkan PHBS telah
dilakukan, peserta penuh perhatian selama sosialisasi aktif berdiskusi dan setelah sosialisi
peserta memahami pentingnya penerapan PHBS untuk mencegah cacingan.
Pemberian MPASI yang dini diawa 6 bulan juga masih terjadi di beberapa
provinsi di Indonesia. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)
Latar Belakang
tahun 2011 bayi usia 0-6 bulan telah diberikan MPASI sebesar 32,2%, sedangkan bayi
yang berusia 0-5 bulan telah diberikan MPASI sebesar 44,7%. Dari data tersebut bisa
dibuktikan bahwa Indonesia juga masih kurangnya pemberian MPASI pada waktu yang
tepat, sehingga masalah gizi masih perlu diperhatikan.
Pertanyaan:
Jawaban: