Anda di halaman 1dari 68

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS ASMA BRONKIALE
STASE KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

TUGAS MINGGU KE 1

OLEH
MADE SUARDIANA
NIM : 2022207209350

PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TA. 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN

A.   KONSEP DASAR PENYAKIT


1. PENGERTIAN
Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik
saluran napasa yang menyebabkan hipereaktivitas bronkus terhadap
berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik
berulang berupa mengi,
 batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam hari
atau dini hari yang umumnya bersifat revrsibel baik dengan atau
tanpa pengobatan (Depkes RI, 2009)
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas
yang disebabkan oleh reaksi hiperresponsif sel imun tubuh
seperti sel mast,

eosinofil, dan limfosit-T terhadap stimulus tertentu dan


menimbulkan gejala dyspnea, wheezing, dan batuk akibat
obstruksi jalan napas yang bersifat
reversibel dan terjadi secara episodik berulang (Brunner & Suddarth, 2001).
Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas obstruktif
intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu. Asma bronchial adalah suatu
penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-
ubah
 baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan (The

American Thoracic Society).

2.  ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan
menjadi 3 tipe, yaitu:
a.  Ekstrinsik (alergik)
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-
faktor
 pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu
binatang, obat- obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering

dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.

Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik seperti


yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma
ekstrinsik.
b.  Intrinsik (non alergik)

Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi


terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui,
seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan
dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi
bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa
 pasien akan mengalami asma gabungan.
c.  Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini
mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi


timbulnya serangan asma bronkhial.

1.  Faktor predisposisi


a.  Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya,
meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya
yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat

mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan


foktor
 pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga
bisa diturunkan.
Dimana alergen dapat dibagi menjadi
3 jenis, yaitu : 1)  Inhalan, yang
masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri
dan
 polusi
2)   Ingestan, yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan obat-obatan
3)   Kontaktan, yang masuk melalui
kontak dengan kulit ex: perhiasan,
logam dan jam tangan

 b.  Perubahan cuaca


Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin
sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin
merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Kadang-kadang serangan
 berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah
angin serbuk bunga dan debu.
c.  Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain

itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.


Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang
mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat
untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
d.  Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya
serangan asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia
bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
 polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
e.  Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan
jika melakukan aktifitas jasmani atau aloh raga yang
berat. Lari cepat
 paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.

B.   PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos
bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang
umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga
terjadi dengan cara sebagai berikut : seorang yang alergi
mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah

antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini


menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifikasinya. Pada asma, antibody
ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang
 berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang
tersebut meningkat, alergen
 bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang
merupakan leukotrient), factor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor

ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus


kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen
bronkhioulus dan spasme otot polos
 bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi
sangat meningkat.
Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama
ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan
dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus.
Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan
obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada

 penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik


dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.

Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional


dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan
asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal
ini bisa menyebabkan barrel chest.

C.   MANIFESTASI KLINIK
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala
klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam,
gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu
 pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi
(whezing),

 batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di


dada. Gejala- gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul
makin
 banyak, antara lain : silent chest, sianosis, gangguan kesadaran,
hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal .
Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.

D.   PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1.   Pemeriksaan sputum

Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:


-  Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan
degranulasi dari Kristal eosinopil.
-  Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel
cetakan) dari cabang bronkus.
-  Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
-   Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum,
umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi
dan kadang terdapat mucus
 plug.

2.   Pemeriksaan darah
-  Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula
terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
-  Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
-  Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu
infeksi.
-  Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig
E
 pada waktu serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada
waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-
paru yakni

radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga


intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang
didapat adalah sebagai berikut:
-  Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus
akan
 bertambah.
-  Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka
gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
-  Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate pada paru
-  Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.
-  Bila terjadi pneumonia mediastinum,
pneumotoraks, dan
 pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen
 pada paru-paru.
2.   Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat
menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
3.   Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat
dibagi

menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi


pada empisema paru yaitu :
-  Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi
right axis deviasi dan clock wise rotation.
-  Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
-  Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus
tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negative.
4.   Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa
redistribusi udara selama serangan asma tidak menyeluruh pada
paru-paru.
5. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara


yang
 paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat
respon
 pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator
aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol
 bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja
penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk
menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak
penderita tanpa keluhan tetapi

 pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

F. KOMPLIKASI
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Staus asmatikus
2. Atelektasis
3. Hypoksia
4. Pneumo thorak
5. Empisema
6. Depormitas
7. Gagal nafas
A.   PENATALAKSANAAN
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
1.   Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
2.   Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang dapat
mencetuskan serangan asma
3.   Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya
mengenai

 Penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan

 penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan


penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter
atau perawat yang merawatnnya.
Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2, yaitu:

1.   Pengobatan non farmakologik:


-  Memberikan penyuluhan
-  Menghindari faktor pencetus
-  Pemberian cairan
-  Fisiotherapy
-  Beri O2 bila perlu.
2.   Pengobatan farmakologik :
-  Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas.
Terbagi dalam 2 golongan :

a.  Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)


 Nama obat :
-  Orsiprenalin (Alupent)
-  Fenoterol (berotec)
-  Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam
bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang
berupa semprotan: MDI (Metered dose inhaler).
Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup
(Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler)
atau cairan

 broncodilator (Alupent, Berotec, brivasma serts


Ventolin) yang oleh alat khusus diubah menjadi
aerosol (partikel-partikel yang
sangat halus) untuk selanjutnya dihirup.
b. Santin (teofilin)
 Nama obat :
-  Aminofilin (Amicam supp)
-  Aminofilin (Euphilin Retard)
-  Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan

simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda.

Sehingga bila kedua obat ini

dikombinasikan efeknya saling memperkuat. Cara


pemakaian : Bentuk suntikan teofillin / aminofilin
dipakai pada serangan asma akut, dan disuntikan
perlahan-lahan langsung ke pembuluh darah.

Karena sering merangsang lambung bentuk tablet


atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah
makan. Itulah sebabnya penderita
yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-
hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga
dalam bentuk supositoria yang cara
 pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus.
Supositoria ini digunakan jika penderita karena
sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya
muntah atau lambungnya kering).
-  Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat
pencegah

serangan asma. Manfaatnya adalah untuk penderita


asma alergi terutama anakanak. Kromalin biasanya
diberikan bersama-sama obat
anti asma yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian
satu bulan.
-  Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti
kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali
1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat
diberika secara oral.

A.  
PENGKAJIAN PRIMER

Pengkajian Primer pada askep asma bronkial adalah :


1.  Airway. Yang kita dapatkan pada pengkajian airway ini diantaranya yaitu :

 batuk kering/tidak produktif, wheezing yang nyaring, penggunaan otot-


otot aksesoris pernapasan ( retraksi otot interkosta).
Breathing.
2.  Perpanjangan ekspirasi dan perpendekan periode inspirasi,
dypsnea, takypnea, taktil fremitus menurun pada palpasi, suara tambahan

ronkhi, hiperresonan pada perkusi.

Circulation. Yang kita dapatkan pada pengkajian sirkulasi ini adalah adanya hipotensi,
diaforesis, sianosis, gelisah, fatique, perubahan tingkat
kesadaran, pulsus paradoxus > 10 mm.
B. PENGKAJIAN SEKUNDER
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien asma adalah
sebagai berikut: 1.  Riwayat kesehatan yang lalu:
-  Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.
-  Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor
lingkungan.
-  Kaji riwayat pekerjaan pasien.
2.   Aktivitas

-  Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.


-  Adanya penurunan kemampuan/peningkatan
kebutuhan bantuan melakukan aktivitas sehari-hari.
-  Tidur dalam posisi duduk tinggi.
3.   Pernapasan
-  Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.
-   Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.
-  Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya:
meninggikan bahu, melebarkan hidung.

-  Adanya bunyi napas mengi.


-  Adanya batuk berulang.

4.   Sirkulasi
-  Adanya peningkatan tekanan darah.
-  Adanya peningkatan frekuensi jantung.
-  Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.
-  Kemerahan atau berkeringat.
5.   Integritas ego
-  Ansietas

-  Ketakutan
Peka rangsangan
-  Gelisah
6.   Asupan nutrisi

-  Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.


-  Penurunan berat badan karena anoreksia.

7.   Hubungan sosal
-  Keterbatasan mobilitas fisik.
-  Susah bicara atau bicara terbata-bata.
-  Adanya ketergantungan pada orang lain.
8.   Seksualitas
-  Penurunan libido

C.   DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL


a.  Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
 b.  Pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.
c.  Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen (spasme bronkus)

D.  INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa 1: Tak efektif bersihan jalan nafas b/d bronkospasme.
Tujuan: Dalam asuhan keperawatan 1 x 30 menit, Jalan nafas
kembali efektif Kriteria Hasil:

 Sesak berkurang
 
  Batuk berkurang

  Klien dapat mengeluarkan sputum


  Wheezing berkurang/hilang
  Vital dalam batas normal
  Keadaan umum baik.
Mandiri:
a.  Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas
dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.
 b.  Kaji / pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi.
Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada
 penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut.

c.   Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress


pernafasan, penggunaan obat bantu.
Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada
tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah
sakit.
d.   Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh :
meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara
tempat tidur
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan
dengan menggunakan gravitasi.
e.   Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll

Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.


f.   Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai
toleransi
 jantung memberikan air hangat.
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan
sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme
bronkus.
Kolaborasi:
g.   Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.
Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi,
dan

 produksi mukosa.
Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
ekspansi
 paru.
Tujuan : Dalam asuhan keperawatan 1 x 30 menit, pola nafas
klien kembali efektif
Kriteria Hasil:
  Pola nafas efektif dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi 1 :
2
  Bunyi nafas normal atau bersih

 TTV dalam batas normal


 
Batuk berkurang
  Ekspansi paru mengembang.
Mandiri:
Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas
dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.

.  Kaji / pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi / ekspirasi.


Tachipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan
pada
 penerimaan atau selama stress/ adanya proses infeksi akut.

h.  Catat adanya derajat dispnea, ansietas, distress


pernafasan, penggunaan obat bantu.
Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung pada
tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah
sakit.
i.   Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien, contoh :
meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandara
tempat tidur
Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi pernafasan
dengan menggunakan gravitasi.
j.   Pertahankan polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll
Pencetus tipe alergi pernafasan dapat mentriger episode akut.
k.   Tingkatkan masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai
toleransi
 jantung memberikan air hangat.
Hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret,
penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan
sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme
bronkus.
Kolaborasi:
l.   Berikan obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.
Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi,
dan

 produksi mukosa.

Diagnosa 2: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan


ekspansi
 paru.
Tujuan : Dalam asuhan keperawatan 1 x 30 menit, pola nafas
klien kembali efektif
Kriteria Hasil:
  Pola nafas efektif dengan perbandingan inspirasi dan ekspirasi 1 :
2
  Bunyi nafas normal atau bersih

 TTV dalam batas normal


 
  Batuk berkurang
  Ekspansi paru mengembang.

a.  Kaji frekuensi nafas, kedalaman pernafasan dan ekspansi dada


Kecepatan biasanya meningkat,kedalaman pernafasan
 bervariasitergantung derajat asma

 b.  Auskultasi bunyi nafas dan catat adanya bunyi nafas Ronkhi dan
mengi menyertai obstruksi jalan nafas
  Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi Memungkinkan ekspansi
paru dan memudahkan pernafasan
  Kolaborasi pemberian oksigen tambahan Memaksimalkan bernafas dan
menurunkan kerja nafas
  Kolaborasi pemberian obat
Bronkodilator golongan B2, Nebulizer (via inhalasi) dg golongan
0,75 mg.
Pemberian bronkodilator via inhalasi akan langsung menuju area
bronkus
yg mengalamin spasme shg lebih cepat berdilatasi

Diagnosa 3: Kerusakan pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen


(spasme
 bronkus)

Hasil yang diharapkan ; perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan


edukuat. Mandiri:
a.  Kaji/awasi secara rutin kulit dan membrane mukosa.
Sianosis mungkin perifer atau sentral keabu-abuan dan
sianosis sentral mengindikasi kan beratnya hipoksemia.
 b.  Palpasi fremitus
Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan

cairan/udara.

c.  Awasi tanda vital dan irama jantung


Tachicardi, disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat
menunjukan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.

Kolaborasi:
d.  Berikan oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil
AGDA dan toleransi pasien.

Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.


DAFTAR PUSTAKA

Crockett, A. (1997) “ Penanganan Asma dalam Penyakit


Primer ”, Jakarta :  Hipocrates.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000) “ Rencana
Asuhan
 Keperawatan”, Jakarta : EGC.

Hudak & Gallo (1997) “ Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik ”,


Volume 1,
Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “ Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC. 
Pullen, R. L. (1995) “ Pulmonary Disease”, Philadelpia :
Lea & Febiger.  Rab, T. (1996) “ Ilmu Penyakit Paru”,
Jakarta : Hipokrates. 

Reeves, C. J., Roux, G & Lockhart, R. (1999) “ Keperawatan Medikal


Bedah”,

 Buku Satu, Jakarta  : Salemba Medika. 


Staff Pengajar FK UI (1997) “ Ilmu Kesehatan Anak”  , Jakarta
: Info Medika.  Sundaru, H. (1995) “ Asma ; Apa dan
Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.
   
 

 
 
-
 

.
 ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ASMA
BRONCHIALE

KONSEP TEORI

 A.  Definisi
Asma bronkial merupakan inflamasi kronik jalan nafas yang
melibatkan berbagai sel inflamasi. Dasar penyakit ini adalah
hiperaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat, obstruksi jalan napas,
dan gejala pernafasan (mengi dan sesak). Obstruksi jalan nafas
umumnya bersifat reversibel tergantung berat dan lamanya penyakit.
(Kapita Selekta Kedokteran, 1999)

 
B. Etiologi
Asma selalu dihubungkan dengan bronko spasme yang
reversibel dan sebagai faktor pencetus adalah :  1.  Alergi
2.   Infeksi dan iritasi
3.   Ketidakseimbangan saraf otonom 4. 
Perubahan lingkungan dan suhu

C.    Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul biasanya berhubungan dengan

beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi jalan nafas dapat


reversibel secara spontan maupun dengan
pengobatan.
Gejala-gejala asma antara lain :
1.   Bising mengi (wheezing) yang terdengar dengan atau tanpa
stetoskop.
2.   Batuk produktif, sering pada malam hari. 3. 
Nafas atau dada seperti tertekan.
Gejalanya bersifat paroksismal,yaitu membaik pada siang
hari dan memburuk pada malam hari. Penyebabnya

tidak mengerti dengan jelas, tetapi mungkin berhubungan


dengan variasi sirkadian, yang mempengaruhi ambang reseptor jalan
nafas.
Serangan asma biasanya bermula mendadak dengan batuk dan
rasa sesak dalam dada, disertai dengan pernafasan lambat dan mengi.
Ekspirasi selalu lebih susah dan lebih panjang dari inspirasi membuat
pasien untuk duduk tegak dan menggunakan otot-otot aksesori
pernafasan jalan nafas yang tersumbat menyebabkan dispnea. Batuk
semula ringan makin lama makin berat. Sputum makin kental dan
susah dibatukkan sianosis sekunder bila terjadi hipoxia berat dan
gejala-gejala retensi karbondioksida.
Serangan asma dapat berlangsung dari 30 menit sampai
beberapa jam dan dapat hilang secara spontan, kadang terjadi reaksi
kontinue yang lebih berat yang disebut status asmatekus. Kondisi ini
dapat mengancam kehidupan.
D.  Patofisiologi (Pohon Masalah)

Alergi Infeksi dan


Ketidakseimbangan Perubahan lingkungan
iritas saraf dan
i otonom suhu

Inflamas Demam Kompensasi tubuh


i banyak
mengeluarkan keringat
Hiperekskres Infeksi
` i saluran
Resti defisit vol.
nafas atas
Akumulasi sekret cairan
(hiperskresi)Bersihan jalan nafas tidak efektif

Obstruksi jalan nafas

Bronko spasme Edempada


Sesak
saluran nafas

Kelemahan
Suplai O2 turun

Intoleransi
Ischemic
aktivitas

Kerusakan dinding alveoli

Berkurangnya area permukaan


alveoli yang kontak langsung dengan Gangguan difusi O2  Gangguan perfusi jaringan
kapiler paru secara

Hiperventilasi Tidak

ada pertukaran gas

Gangguan difusi O2 

Hipoksemia

Rusaknya eliminasi O2  Peningkatan tekanan CO2 (hiperkapnea)


E.   Pemeriksaan Penunjang
Melakukan pemeriksaan laboratorium antara lain : 1. 
Pemeriksaan sputum
Pada pemeriksaan sputum ditemukan :

a.   Kristal-kristal charcot legden yang merupakan degranulasi dari


kristal eosinofil.
b.   Terdapatnya spiral curshmann, yakni spiral yang
merupakan silinder sel-sel cabang-cabang bronkus
c.   Terdapatnya creole yang merupakan fragmen dari epithel
bronkus
d.   Terdapatnya neutrofil eosinofil 2. 
Pemeriksaan darah untuk melihat
a.   Gas analisa darah
Terdapat hasil aliran darah yang variabel, akan tetapi bila
terdapat peninggian PaCO2  maupun peningkatan Ph
menunjukkan kondensasi prognosis yang buruk.

b.   Kadang-kadang pada darah terdapat SGOT dan LDH yang


meninggi
c.   Hiponatremia, kadang-kadang PMN meningkat di atas
15.000/mm3 menandakan terdapatnya infeksi
d.   Pada pemeriksaan alergi terdapat IgE yang meningkat

pada waktu serangan dan menurun waktu bebas serangan


3.   Foto rontgen untuk melihat keadaan paru-paru apakah terdapat
komplikasi atau tidak.
4.   Pemeriksaan faal paru, untuk melihat adanya perubahan ventilasi
perfusi, difusi udara selama serangan asma.
5.   Elektrokardiografi untuk melihat perubahan aksis jantung,
melihat tanda-tanda hipertrofi jantung, melihat adanya tanda-tanda
hipoksemia.
6.   Skaning paru untuk melihat ada tidaknya perubahan

rasio ventilasi paru.


 

F.   Penatalaksanaan
Tujuan terapi asma yaitu :
1.   Menyembuhkan dan mengendalikan gejala asma 2. 
Mencegah kekambuhan
3.   Mengupayakan fungsi paru senormal mungkin serta
mempertahankanny
4.   Mengupayakan aktivitas harian pada tingkat normal termasuk
melakukan exercise
5.   Menghindari efek samping obat asma
6.   Mencegah obstruksi jalan nafas yang irreversibel
Penatalaksanaan Therapi :
1.   Oksigen 4 – 6 liter/menit

2.   Agonis B2  (salbutamol 5 mg atau fereterol 2,5 mg atau terbutalin


10 mg) inhalasi nebulasi dan pemberiannya
dapat diulang setiap 20 menit sampai 1 jam. Pemberian agnosis B2 
dapat secara subkutan atau IV dengan dosis salbutamol 0,25 mg
atau terbutalin 0,25 mg dalam larutan dekstrosa 5% dan diberikan
perlahan.
3.   Aminofilin bolus IV 5 –  6 mg/kg BB, jika sudah
menggunakan obat ini dalam 12 jam sebelumnya maka
cukup diberikan ½ dosis.
4.   Kortikosteroid hidrokortison 100 –  200 mg IV jika
tidak ada respon segera atau pasien sedang menggunakan steroid
oral atau dalam serangan sangat berat.

G.    Masalah Keperawatan dan Data Pendukung


1.   Pertukaran gas, kerusakan Data
Dispnea, sianosis

Takikardia

Gelisah/perubahan mental

Hipoksia
2.   Bersihan jalan nafas, tak efektif

Data Perubahan frekuensi, kedalaman pernafasan

Bunyi nafas tidak normal, penggunaan otot


aksesori

Dispnea, sianosis

Batuk efektif atau tak efektif,


dengan/tanpa produksi

Sputum

3.   Kekurangan volume cairan, resiko tinggi terhadap

Data Tidak dapat diterapkan adanya tanda-tanda dan


gejala-gejala membuat diagnosa aktual
4.   Cemas/ansietas/ketakutan (uraikan tingkatan) Data
Gelisah, peka rangsang

Menolak atau perilaku menyerang

Rangsangan simpatis, misal : eksitasi


kardiovaskuler, dilatasi

Repil, berkeringat, muntah, diare

Menangis, suara menggigit


H.   Diagnosa Keperawatan
1.   Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas
oleh sekresi mukus, spasme bronkus.
2.   Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkus
spasme, peningkatan produksi mukus, mukus bertahan tebal dan
kental, penurunan energi/kelemahan untuk batuk.
3.   Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan demam,
diaforesis dan hiperventilasi.
4.   Cemas berhubungan dengan hiperventilasi, ancaman kehidupan
perubahan status kesehatan, hipoksemia.
I.   Rencana Asuhan Keperawatan
1.   Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan obstruksi jalan
nafas oleh sekresi mukus, spasme bronkus.
Tujuan :

Mempertahankan suplai O2  dan ventilasi alveolus yang adekuat.

Kriteria hasil :

Bebas gejala distress pernafasan.

Intervensi dan rasional :

a.   Kaji frekuensi, ke dalam pernafasan, catat


penggunaan otot aksesori, nafas, bibir,
ketidakmampuan berbicara.
R/ : Untuk mengevaluasi derajat distrees
pernafasan

b.   Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih


posisi yang mudah untuk bernafas.
R/ : Distribusi O2 dapat diperbaiki dengan posisi duduk.

c.   Dorong pasien untuk mengeluarkan sputum, bila perlu lakukan


penghisapan.
R/ : Sputum yang tebal dan kental adalah sumber utama
gangguan pertukaran gas, penghisapan dilakukan bila batuk
tidak efektif

d.   Auskultasi bunyi nafas secara periodik.


R/ : Masih adanya mengi mengidentifikasikan masih adanya
spasmebronkus/tertahannya sekret

e.   Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung

R/ : Takikardia, disritmia, dan perubahan tekanan darah


menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung

f.   Kolaborasi berikan O2 sesuai hasil GDA dan toleransi pasien


R/ : Untuk memperbaiki hipoksia

2.   Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkus


spasme, peningkatan produksi mukus, mukus bertahan tebal dan
kental, penurunan energi/kelemahan untuk batuk.
Tujuan :

Mampu mengeluarkan sekret lebih efektif.

Kriteria hasil :

-  Sekresi dapat diluluhkan atau dihisap minimal


-  Bunyi nafas terdengar bersih
Intervensi dan rasional :

a.   Auskultasi bunyi nafas


R/ : Mengetahui derajat spasme

b.   Kaji pantau frekuensi pernafasan R/ :


Takipnea sering terjadi
c.   Catat adanya/derajat distres, misal : keluhan air hungry, gelisah,
ansietas, distres pernafasan, penggunaan otot bantu
R/ : Disfungsi pernafasan adalah indikator kegagalan nafas

d.   Kaji pasien untuk posisi yang nyaman untuk bernafas R/ : Pasien


dengan distress pernafasan akan
mencari posisi yang nyaman dan mudah untuk bernafas,
membantu menurunkan kelemahan otot dan mempermudah
ekspansi dada

3.   Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan demam,


diaforesis dan hiperventilasi
Tujuan :

Mempertahankan keseimbangan volume cairan dan


elektrolit yang adekuat.

Kriteria hasil :

-  Tekanan darah dan nadi dalam batas normal


-  Turgor kulit dalam batas normal
-  Asupan dan haluaran seimbang

-  BB stabil
-  Berat jenis urine dalam batas normal (1,010 – 
1,025)
Intervensi dan rasional :

a.   Kaji perubahan tanda vital, contoh : suhu


meningkat, takikardia, hipotensi ortostatik
R/ : Indikator kekurangan cairan sistemik

b.   Kaji turgor kulit, membran mukosa R/ :


Indikator kekurangan cairan
c.   Pantau masukan dan hantaran

R/ : Indikator keadekuatan volume cairan tubuh

d.   Timbang BB setiap hari

R/ : Indikator kekurangan cairan bila kehilangan berat BB


secara individu

e.   Tingkatkan asupan oral 2.500 ml/hari atau sesuai kondisi


individu
R/ : Untuk pemenuhan kebutuhan dasar mengurangi resiko
dehidrasi lebih lanjut

f.   Kolaborasi :

-  Berikan cairan perparenteral sesuai indikasi


R/ : Penggunaan cairan parenteral berguna
memperbaiki dehidrasi

-  Pantau BJ urine
R/ : Indikator kekurangan cairan bila BJ urine meningkat

-  Pantau kadar elektrolit


R/ : Indikator adanya asidosis akibat dehidrasi

4.   Cemas berhubungan dengan hiperventilasi, ancaman kehidupan


perubahan status kesehatan, hipoksemia.

Tujuan :

Mengalami penurunan tingkat kecemasan.

Kriteria hasil :

Melaporkan penurunan tingkat kecemasan sampai tingkat yang


dapat ditangani dengan managemen koping.

Intervensi dan rasional :


a.   Kaji tingkat ansietas dan yakinkan bahwa perasaannya adalah
normal dan dorong pasien/orang terdekat untuk
mengungkapkan perasaannya.
R/ : Dapat membantu untuk mengontrol emosinya sendiri.

b.   Berikan lingkungan yang tenang dan nyaman R/ :


Dapat menurunkan tingkat ansietas

c.   Bantu pasien mencari posisi yang nyaman untuk bernafas,


fokus bernafas, relaksasi
R/ : Untuk mengontrol dan menurunkan tingkat ansietas

d.   Dukung pasien/orang terdekat untuk menerima situasi dan


libatkan pasien dalam perencanaan keperawatan R/ :
Merupakan mekanisme koping yang adaptif
Daftar Pustaka

Alsagaff Hood, Abdul Mukty, (2005). Dasar – Dasar Ilmu

Penyakit Paru. Airlangga University Press.


Surabaya.

Amin muhammad, Hood Alsagaff. (2009). Pengantar Ilmu


Penyakit Paru. Airlangga University Press.
Surabaya.

Blac,MJ Jacob. (2003). l.uckman & Sorensen’s Medical


surgical Nursing A Phsycopsicologyc Approach. W.B.
Saunders Company. Philapidelpia.

Barbara Engram. (2009). Rencana Asuhan Keperawatan


Medikal Bedah. Vol. 1. Penerbit EGC. Jakarta.

Marylin E doengoes. (2004). Rencana Asuhan keperawatan Pedoman


untuk Perencnaan /pendokumentasian Perawatan
Pasien. EGC.Jakarta.

Mansjoer, Arif M (dkk). (2009). Kapita Selekta


Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.

Rab. Tabrani. (2006). Prinsip Gawat Paru  –  ed. 2.


Jakarta : EGC.
Soeparman, Sarwono Waspadji. (2004). Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II.  Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Sylvia Anderson Price, Lorraine McCarty Wilson. (2005).


Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. EGC. Jakarta.

Yunus Faisal. (2006). Pulmonologi Klinik. Bagian


Pulmonologi FKUI. Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONCHIALE

1.   Konsep Dasar Penyakit


1.1 Pengertian

Asma adalah suatu penyakit paru dengan tand-tanda khas berupa manifestasi berupa
penyumbatan (obstruksi) saluran pernafasa yang dapat pulih kembali baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, keradangan saluran
 pernafasan, peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai
rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005).
Asma bronchiale adalah suatu penyakit paru dengan tand-tanda khas berupa manifestasi
berupa penyumbatan (obstruksi) saluran pernafasa yang dapat pulih kembali baik secara spontan
maupun dengan pengobatan, keradangan saluran
 pernafasan, peningkatan kepekaan yang berlebihan dari saluran pernafasan terhadap berbagai
rangsangan (Alsagaaf Hood, 2005). 
Asma bronchiale adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri

 bronkospasme, periodik (kontraksi spasme pada saluran nafas). Asma merupakan


 penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik dan
psikologi (Somantri, 2008). 

1.2   Kalsifikasi
Menurut Konthen, P.G, dkk dalam buku pedoman diagnosis dan terapi Konthen, P.G,
dkk (2008; 53) asma dibagi menjadi 4 derajat yaitu:
1)  Derajat I: intermitten
(1)   Gejala muncul kurang dari sekali dalam satu minggu (2) 
Kekambuhan berlangsung singkat
(3)   Serangan atau gejala asma pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
(4)   FEV2 ( Force Expiratory Volume dalam 2 detik) > 80% prediksi atau PEF ( Peak
Expiratory Flow) > 80% nilai terbaik penderita
(5)   Variabilitas PEEF atau FEV1 < 20%
2)  Derajat II: persisten ringan
(1)   Gejala muncul > 1 kali dalam seminggu, tetapi tidak setiap hari
(2)   Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur

(3)   Serangan atau gejala asma pada malam hari > 2 kali dalam sebulan (4) 
FEV1 > 80% prediksi atau PEEF > 80% nilai terbaik penderita
(5)  Variabilitas PEF atau FEV, 20-30%
3) Derajat III: persisten sedang
(1)   Gejala muncul setiap hari
(2)   Kekambuhan mengganggu aktivitas sehari-hari dan mengganggu tidur (3) 
Serangan atau gejala asma pada malam hari > 1 x dalam seminggu (4)  FEV1 60-
80% prediksi atau PEF 60-80% nilai terbaik penderita
(5)  Variabilitas PEEF atau FEV1 >30%

4)  Derajat IV persisten berat


(1)   Gejala muncul setiap hari (2) 
Kekambuhan sering terjadi
(3)  Serangan atau gejala asma pada malam hari sering terjadi (4)  FEV1 <
60% prediksi atau PEF < 60% nilai terbaik penderita
Variabilitas PEF atau FEV1 > 30%.

1.3   Etiologi
Penyebab terjadinya asma menurut Kowalak (2011), Konthen, P.G, dkk

(2008;50), dan Danusantoso (2000) 


1)  Faktor ekstrinsik: reaksi antigen-antibodi; karena inhalasi alergen (debu, serbuk-serbuk,
bulu-bulu binatang, spora jamur, dan tepung sari rerumputan).
 polen (tepung sari bunga), debu rumah atau kapang, bantal kapuk atau bulu, zat aditif
pangan yang mengandung sulfit, zat lain yang menm,bulkan sensitifitas 
2)  Faktor intrinsik: infeksi: para influenza virus,   pneumonia, Mycoplasma, 

Kemudian dari fisik: cuaca dingin, perubahan temperature atau kelembapan, tertawa,
faktor genetik, emosional; takut, cemas, dan tegang, perubahan endokrin. 

3)  Iritan: kimia, polusi udara ( CO, asap rokok, parfum ).


4)  Aktivitas yang berlebihan juga dapat menjadi faktor pencetus.  5) Obat-
obatan: aspirin, NSAID, β-bloker. 

1.4   Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2001:611), patologi dari asma adalah:
Asma terjadi karena adanya penyempitan pada jalan nafas dan hipereaktif
 bronkus terhadap bahan iritasi, alergen, atau stimulus lain. Dengan adanya bahan iritasi atau
allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul ( immunoglobulin
E atau IgE ) dengan adanya alergi. IgE di muculkan
 pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan
 pengeluaran histamine, bradikinin, anafilaktosin. Mediator tersebut akan menyebabkan
kontraksi otot polos yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler, oedema
mukosa,sekresi mukus meningkat sehingga produksi sekret meningkat.
Respon asma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate/ segera  yang
ditandai dengan bronkokonstriksi dalam 1-2 jam (puncaknya dalam 30 menit). Dalam
beberapa menit dari paparan alergen, ditemukan degranulasi sel mast bersamaan dengan
pelepasan mediator inflamasi, termasuk histamin,
 prostaglandin D2, dan leukotrien C4. Zat ini menyebabkan kontraksi otot pada saluran
pernafasan serta peningkatan permeabilitas kapiler, sekresi lendir, dan aktivasi refleks saraf.
Respon asma dini ditandai dengan bronkokonstriksi yang umumnya responsif terhadap
bronkodilator, seperti agen beta2-agonis. Tahap delayed dimana brokokontriksi dapat
berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama dan menghilang dalam 12-24
jam, tahap late yang ditandai dengan peradangan dan hiperresponsif jalan nafas beberapa
minggu atau bulan. Pelepasan mediator inflamasi bilangan molekul adhesi pada epitel saluran
napas dan endotelium kapiler, yang kemudian memungkinkan sel-sel inflamasi, seperti
eosinofil, neutrofil, dan basofil, untuk melampirkan epitel dan endotelium dan kemudian
bermigrasi ke dalam jaringan jalan napas. Eosinofil melepaskan eosinophilic cationic
protein (ECP) dan protein dasar utama (MBP). Kedua ECP dan MBP menginduksi
deskuamasi epitel saluran napas dan mengekspos ujung
saraf. Interaksi ini mempromosikan hyperresponsiveness napas pada asma lebih lanjut. Hal ini
dapat terjadi pada individu dengan eksaserbasi asma ringan. Selama serangan asthmatik,
bronkiolus menjadi meradang dan peningkatan sekresi

mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak dan obstruksi sehingga
ventilasi tidak adekuat terjadi penurunan P02 (hipoxia). Selama serangan
astma , CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan
menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea dan dapat menimbulkan distress nafas
(Constantine, 2012).

1.5   Manifestasi Klinis


Menurut Djojodibroto (2009:69) dan Muttaqin (2008:172) ada beberapa manifestasi
klinis yang dapat muncul pada pasien dengan asma:

1) Pernafasan labored (perpanjangan ekshalasi)


2) Pembesaran vena jugularis
3)  Wheezing, yaitu suara yang terdengar kontinu, nadanya lebih tinggi dibanding suara napas
lainnya. Suara ini disebabkan karena adanya penyempitan saluran napas kecil (bronkus
perifer dan bronkiolus). Karena udara melewati suatu
 peyempitan (Djojodibroto,2009:69).
4)  Dispnea dengan lama ekspirasi, penggunaan otot-otot aksesoris pernafasan, cuping
hidung, retraksi dada dan stridor
Akibat dari bronkospasme, edema mukosa dan dinding bronkholus serta

hipereksresi mucus menyebabkan terjadinya penyempitan pada bronkiolus dan


 percabangannya sehingga akan menimbulkan rasa sesak, napas berbunyi dan
 batuk produktif (Muttaqin, 2008:172).
5)  Gelisah
Lebih sering terjadi pada anak-anak. Anak mengalami gelisah kerana sesak napas
yang dialami.
6)  Tidak toleran terhadap aktivitas, makan, bermain, berjalan, bicara
7)  Meningkatnya ukuran diameter anteroposterior (barrel chest ini timbul akibat terjadinya
overinflasi paru, overinflamasi paru terjadi karena adanya sumbatan

sehingga paru berusaha mengambil udara secara paksa)


8)  Serangan berlangsung lebih dari 24 jam

1.6   Penilaian Derajat Serangan Asma (FK UNAIR, 2008:35)

Parameter Klinis,
Fungsi paru, Ringan Sedang Berat Ancaman henti
Laboratorium nafas
Sesak timbul Berjalan Berbicara Istirahat Bayi:
 pada saat Bayi: Bayi : tidak mau
(breathless) menangis -  Tangis makan/minum
keras  pendek dan
lemah
-  Kesulitan
makan/
minum
Bicara Kalimat Penggal Kata-kata
kalimat
Posisi Bisa berbaring Lebih suka Duduk
duduk  bertopang

Kesadaran Mungkin l en g
iritable Biasanya B i a s Bingung dan
iritable  anya mengantuk
iritable 
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata/jelas
Mengi Sedang, sering  Nyaring, Sangat Sulit/tidak
(whezzing) hanya pada sepanjang nyaring, terdengar
akhir ekspirasi ekspirasi, ± terdengar
inspirasi tanpa
stetoskop
Sesak nafas Minimal Sedang Berat
Obat bantu nafas Biasanya tidak Biasanya ya ya Gerakan
 paradoktorako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal/ hilang
retraksi ditambah ditambah nafas
interkostal retraksi cuping hidung
suprasternal
Laju nafas Meningkat Meningkat Meningkat
Laju nadi Normal Takikardi Takikardi Bradikardi
Pulsus Tidak ada Ada Ada Tidak ada, tanda
 paradoksus < 10 mmHg 10-20 mmHg > 20mmHg kelelahan otot
nafas
PEFR atau > 60% >80% <40%
PEV1  40-60% 60-80% <60%
-  Pra Respons <2
 bronkodilator  jam
-  Pasca
 bronkodilator
SaO2  >95% 91-95% ≤90% 
PaO2  Normal >60 mmHg <60 mmHg

b i ia s a n y a t id a k
  pp e r lu d i p e r ik s a
PaCO2  < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

1.7   Pemeriksaan Penunjang

Menurut Muttaqin (2008:178) ada beberapa pemeriksaan yang dilakukan


 pada penderita asma yaitu:

1)  Pemeriksaan Fungsi Paru (Spirometri)


Pengukuran ini dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator aerosol
golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20 %
menunjukkan diagnosa asma
2)  Tes Provokasi Bronkhus
Tes ini dilakukan pada spirometri internal. Penurunan FEV1 sebesar 20 % atau

lebih setelah tes provokasi dan denyut jantung 80-90 % dari maksimum dianggap
bermakna bila menimbulkan penurunan PEF 10 % atau lebih.
3)  Pemeriksaan Kulit
Untuk menunjukkan adanya antibodi IgE hipersensitif yang spesifik dalam tubuh.
4)  Pemeriksaan Laboratorium
(1)  Analisa Gas Darah
Hanya dilakukan pada serangan asma berat karena terdapat hipoksemia, hiperkapnea,
dan asidosis respiratorik
 
(2) Sputum
Adanya badan kreola adalah karekteristik untuk serangan asma berat, karena
reaksi yang hebat saja yang menyebabkan transudasi dari edema mukosa, sehingga
terlepaslah sekelompok sel-sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting untuk
melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi terhadap
beberapa antibiotik.
(3)   Sel Eosinofil
Sel eosinofil pada status asmatikus dapat mencapai 1000-1500/mm3  baik asma intriksik
maupun ekstrinsik, sedangkan hitung sel eosinofil normal
3
antara 100-200/mm .
(4)   Pemeriksaan darah rutin dan kimia
Jumlah sel leukosit yag lebih dari 15.000/mm3 terjadi karena adanya infeksi. SGOT
dan SGPT meningkat disebabkan kerusakan hati akibat hipoksia atau

hiperkapnea.
5)  Pemeriksaan Radiologi
Hasil pemeriksaan radiologi pada klien dengan asma bronkhial biasanya normal, tetapi
prosedur ini tetap harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses
patologi di paru atau komplikasi asma seperti
 pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis.

1.7   Penatalaksanaan
1)   Edukasi penderita

Penderita dan keluarga harus mendapatkan informasi dna pelatihan agar dapat
mencapai kendali asma semaksimal mungkin. Diharapkan penderita dan keluarga dapat
membina hubungan yang kooperatif dengan tingkat kepatuhan yang tinggi. Pasien
diinstruksikan untuk segera melapor apabila terdapat tanda- tanda dan gejala yang
menyulitkan, seperti bangun saat malam hari dengan serangan akut, tidak mendapatkan
peredaan komplit dari penggunaan inhaler, atau mengalami infeksi pernafasa. Hidrasi adekuat
harus dipertahankan di rumah untuk menjaga sekresi agar tidka mengental (Konthen, P.G,
2008: 55).

2)   Upaya menghindari faktor resiko

Kekambuhan asma seringkali dipicu oleh beberapa macam alergen, polutan, makanan, obat-
obatan, atau infeksi saluran nafas. Menghindari faktor-faktor
 pencetus dapat mengurangi frekuensi kekambuhan, meningkatkan kendali asma, dan
mengurangi kebutuhan obat-obatan (Konthen, P.G, 2008: 55).

3)   Terapi Medikamentosa 
Terapi ditentukan berdasarkan derajat asma. Secara umum terapi medikamentoda untuk
asma dikelompokkan menjadi obat-obat pelega (reliever) dan obat-obat pengendali
(controller). Setelah kendali asma tercapai sekurangnya selama 3 bulan dapat dicoba untuk
mengurangi secara bertahap (step down) agar kendali asma dapat dicapai dengan terapi yang
minimal (Konthen, P.G, 2008: 55).
4)   Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan pada pasien asma sebagai berikut:
Secara umum, terdapat dua jenis obat dalam penatalaksanaan asma, yaitu obat
pengendali (controller) dan pereda (reliever). Obat pengendali merupakan

 profilaksis serangan yang diberikan tiap hari, ada atau tidak ada serangan/gejala, sedangkan
obat pereda adalah yang diberikan saat serangan. Terapi medikamentosa dapat diliat pada
gambar di bawah ini.

Asma episodik jarang Obat pereda beta agonis atau teofilin


(asma ringan) (inhalasi atau oral) bila perlu (serangan)

Dosis >3x<3x

Asma episodik sering Tambahkan obat pengendali:


(asma sedang) kromoglikat/nedokrimil hirupan 6-8

minggu, respons (-) (+)

Asma persisten obat pengendali: ganti dengan steroid


inhalasi dosis rendah
(asma berat) obat pereda: beta agonis teruskan 6-8

minggu, respons (-) (+)

(asma sangat berat) Pertimbangkan penambahan salah satu obat:


>beta agonis kerja panjang
>beta agonis lepas kendali
>teofilinlepas lambat

6-8 minggu, respons (-) (+)

 Naikkan dosis steroid inhalasi

6-8 minggu, respons (-) (+)

Tambahkan steroid oral


 

5) Penatalaksanaan saat serangan asma (GINA, 2006)


 

1.8   Komplikasi

Pada tahap awal asma akut, hiperventilasi dapat menyebabkan alkalosis


 pernapasan. Hal ini karena unit paru-paru yang mengalami obstruksi (kompartement lambat)
lebih banyak daripada unit paru yang tidak obstruksi (kompartement lambat). Hiperventilasi
memungkinkan penghapusan karbon dioksida melalui kompartemen cepat. Peningkatan unit
paru yang mengalami obstruksi mengakibatkan penurunan kemampuan untuk menghilangkan
karbon dioksida dan akhirnya menyebabkan hypercarbia/peningkatan karbondioksida dalam
sirkulasi darah, pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis (Constantine, 2012).
 
 

2.   KONSEP KEPERAWATAN
2.1 Pengkajian
2.1.1 Identitas (Smeltzer, 2001) 1)
Usia dan jenis kelamin
Asma dapat terjadi pada sembarang usia; sekitar setengah dari kasus terjadi

 pada anak-anak dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun.


Asma terutama terjadi pada anak laki-laki di masa kecil, dengan rasio pria-
 perempuan 2:1 sampai pubertas, jika rasio pria-perempuan menjadi 1:1.

Prevalensi asma lebih besar pada wanita setelah pubertas, dan mayoritas onset dewasa
kasus didiagnosis pada orang tua dari 40 tahun terjadi pada wanita.
2) Tempat tinggal
Terjadi pada seseorang, terutama mereka yang tinggal dipemukiman yang
 padat tempat tinggalnya, lembab, polusi udara, berdebu, ada binatang peliharaan di rumah,
dan kurangnya ventilasi dari rumah. (Morris, 2012; Konthen. P. G, dkk, 2008).
3) Pekerjaan
Pegawai pabrik, dan pekerjaan yang berhubungan dengan asap dan polusi yang dapat

menyebabkan pernapasan terganggu (Muttaqin, 2008).


2.1.2  Riwayat kesehatan
1)   Riwayat penyakit sekarang

Serangan asma mendadak secara klinis dapat terjadi menjadi 3 stadium.

Stadium pertama ditandai dengan batuk-batuk berkala dan kering. Stadium kedua ditandai
dengan batuk disertai mukus yang jernih dan berbusa. Klien merasa sesak napas, berusaha
untuk bernapas dalam, ekspirasi memanjang diikuti dengan mengi (wheezing). Stadium
ketiga ditandai dengan hampir tidak terdengarnya suara
napas karena aliran udara kecil, tidak ada batuk, pernapasan menjadi dangkal dan tidak
teratur, irama napas meningkat karena afiksia (Muttaqin 2008).

2)   Riwayat penyakit dahulu

Menurut Mutaqin (2008) Salah satu riwayat penyakit dahulu selain asma yaitu
pernah mengalami infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Ada riwayat

alergi, ada riwayat sakit asma, timbul pada waktu / musim tertentu (Konthen, P.G, 2008;
Smeltzer, 2001).
3)   Riwayat penyakit keluarga

Menurut teori Mutaqim (2008) riwayat penyakit keluarga didapatkan adanya anggota
keluarga yang mempunyai riwayat penyakit asma, pneumonia, TBC, influenza yang berulang.

4)   Riwayat alergi

Menurut Smeltzer (2001: 611) pada pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai
riwayat keluarga yang alergik dan riwayat media masa lalu ekszem

dan rhinitis alergik . pemajanan terhadap alergen mencetuskan serangan asma. 5) 
Riwayat Psikososialspiritual
Pasien sering mengalami kecemasan, takut, mudah tersinggung, interaksi sosial
terbatas, kurang pengetahuan terhadap kondisi penyakitnya, hubungan ketergantungan, kurang
sistem pendukung, kegagalan dukungan dari orang terdekat (Konthen, P.G, 2008; smeltzer,
2001; Doengoes, 2000).

2.1.3  Activity Day Living


1)   Kebutuhan aktivitas/istirahat: keletihan, kelemahan, malaise,
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit
 bernafas, ketidamampuan untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk tinggi, dispnea
pada saat istirahat (Doengoes, 2000).

2)   Kebutuhan nutrisi: mual, muntah, nafsu makan menurun, ketidakmampuan

untuk makan karena distress pernafasan, turgor kulit buruk (Doengoes, 2000).
3)   Kebutuhan higiene perseorangan: penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan
bantuan melakukan aktivitas sehari-hari (Doengoes, 2000).
4)   Kebutuhan eliminasi/urine: cenderung normal (Smeltzer, 2001). 2.1.4
Pemeriksaan Fisik

1)  Sistem pernapasan
Terjadi peningkatan usaha dan frekuensi napas yang cepat dan dangkal serta adanya
penggunaan otot bantu pernapasan. Inpeksi dada untuk melihat postur

 bentuk dan kesimetrisan. Adanya peningkatan diameter anterosposterior, retraksi otot-


otot interkostalis, sifat dan irama pernapasan. Napas cuping hidung, slem kental berbuih,
terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik
atau lebih dari 3 kali inspirasi, adanya
wheezing saat ekspirasi (Konthen, P.G, 2008; Smeltzer, 2001; Muttaqin 2008).
2)  Sistem kardiovaskuler
 Nadi meningkat, tekanan darah meningkat, turgor kulit menurun, suhu tubuh meningkat,
berkeringat, ada pulsus paradoksus atau nadi kuat saat ekspirasi (Konthen, P.G, 2008;
Muttaqin 2008).

3)  Sistem persarafan
Pasien gelisah, bingung, pada asma yang berat pasien akan mengalami

 penurunan kesadaran apakah composmetis, somnolen atau koma (Konthen, P.G, 2008;
Smeltzer, 2001; Muttaqin 2008)

4)  Sistem perkemihan
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake cairan, namun

 biasanya cenderung normal (Muttaqin 2008 dan Smeltzer, 2001).


5)  Sistem pencernaan
Kehilangan nafsu makan, mual, muntah, penurunan berat badan, kulit kering dengan

turgor kulit yang buruk. (Smeltzer, 2001; Muttaqin, 2008)


6)  Sistem muskuloskeletal
Kelemahan dan kelelahan, penurunan toleransi terhadap aktifitas.
(Smeltzer,2001; Muttaqin 2008).

2.2   Diagnosa Keperawatan


Menurut Carpenito (2006:547) dan Wilkinson (2011:696) diagnosa keperawatan
yang muncul:

1)   PK: Hipoksia
2)   Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan

 produksi sputum dan batuk tidak efektif.


3)   Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan penyempitan saluran

 pernafasan akibat bronkospasme

4)   Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah


sekunder akibat asma
5)   Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
6)    Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan
7)   Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen
dengan kebutuhan oksigen
8)   Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan kritis

2.3   Intervensi
1)   Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan

 produksi sputum dan batuk tidak efektif.

Tujuan: pasien menunjukkan bersihan jalan nafas yang paten setelah dilakukan
perawatan dengan kriteria hasil:

-  Pasien menggungkapkan sesak berkurang, secret tidak sulit keluar


-  Pasien dapat mengeluarkan secret saat batuk dan jumlah secret

 berkurang
-  Tidak terdengar suara nafas tambahan

-  RR 20-30 x/menit dalam rentang normal


-  Pasien dapat batuk efektif
Intervensi

(1)   Jelaskan kepada pasien penyebab terjadinya sesak.

R/ Karena adanya alergi menyebabkan peyempitan jalan nafas dan


 penumpukan secret pada jalan nafas sehingga mengganggu aliran udara
sehingga terjadi sesak.

(2)   Beri posisi semi fowler (dilakukan dengan cara memodifikasi tempat

tidur atau memberi bantal pada kepala).

R/ Posisi semifowler akan meningkatkan ekspansi paru. (3) 


Lakukan fisioterapi pernafasan
-  Humidifikasi dengan nebulizer

R/ Kelembapan akan menurunkan kekentalan secret, sehingga

mempermudah pengeluaran dan membantu mencegah


 pembentukkan mucus tebal pada bronkus.
-  Perkusi dan vibrasi dada

R/ Perkusi dan vibrasi dada membantu merontokkan mucus sehingga masuk


ke saluran nafas yang lebih besar.

-  Anjarkan dan motivasi pasien untuk nafas dalam dan batuk

efektif

R/ Nafas dalam akan meningkatkan inspirasi maksimal.inspirasi dalam


meningkatkan volume paru dan membuka jalan nafas untuk

memungkinkan udara mencapai bagian belakang mukus dan mendorongnya


ke depan. Batuk efektif: membersihkan secret dari
 jalan nafas dengan menggunakan dorongan udara dan kontraksi otot.

(4)   Berikan cairan sesuai kebutuhan

R/ cairan membantu untuk mencegah terjadi kekurangan cairan dan mencegah


sekret yang kental sehingga sekret menjadi encer dan mudah dikeluarkan

(5)   Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian.

-   Nebulizer
R/ Dengan nebulizer dapat mengencerkan sekresi kental dan dalam

 pemberian obat-obatan peralatan humidifikasi digunakan untuk memberikan


kelembapan. Nebulizer juga merupakan suatu alat

 pemecah obat untuk menjadi bagian-bagian seperti uap untuk dihirup.

-  Obat-obat mukolitik

R/ Obat mukolitik membantu mengencerkan dahak sehingga secret dapat


dengan mudah dikeluarkan.

(6)   Observasi keluhan anak, karakteristik secret, frekuensi RR, suara

nafas tambahan, ketidakefektifan batuk.

R/ Observasi secret untuk melihat adanya manifestasi tubuh mengatasi


kesulitan bernafas akibat penyempitan saluran nafas. Ronkhi untuk

menilai adanya penumpukkan secret pada jalan nafas.


Ketidakefektifan batuk menandakan terdapat penumpukan secret pada
 jalan nafas.

2)   PK: Hipoksia (Wilkinson, 2011: 696)

Tujuan : pasien tidak kekurangan oksigen setelah dilakukan tindakan


keperawatan dengan kriteria hasil :

-   pasien tidak sesak, tidak sianosis

-  frekwensi nafas normal (12-20x/menit)


-  tidak ada nafas cuping hidung
-  tidak menggunakan otot bantu pernafasan
-  tidak ada wheezing.
-  Rasio I:E=1:2 (tidak ada ekspirasi memanjang)
-  Hasil BGA normal (pH: 7,35- 7,45, PCO2: 35-45mmHg, PO2: 80- 100mmHg,
HCO3: 22-26 mEq/L, BE:+2)
Intervensi:
(1)   Berikan posisi semi fowler dan bed rest.
R/Meningkatkan inspirasi maksimal, dan meningkatkan pengeluaran sekret untuk
memperbaiki ventilasi

(2)   Kolaborasi dalam pemberian

-  O2
R/ O2 membantu pasien untuk pernapasan secara efektif
-  Steroid

R/ bekerja melalui difusi pasif melalui membran sel yang berikatan dengan
protein reseptor di dalam sitoplasma. Kompleks reseptor hormon kemudian
masuk ke dalam nukleus mempengaruhi transkripsi sejumlah gen-gen target yang
menyebabkan penurunan sintesis molekul-molekul proinflamasi termasuk sitokin,
interleukin, molekul adhesi dan protease serta steroid membantu melawa edema
mukosa

 bronchial.
-  Bronchodilator sesuai yg ditentukan (agonis β-2 dan Xantin) R/Bronkhodilator
akan merelaksasi otot polos bronkial.
(3) Observasi RR, nadi, tanda hypoksia: gelisah, takhicardia, SpO2, suara nafas tambahan
R/ Deteksi efektitas jalan nafas dan adequatnya distribusi oksigen dalam tubuh.

3)   Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan penyempitan saluran

 pernafasan akibat bronkospasme

Tujuan : pasien dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat setelah dilakukan


tindakan keperawatan dengan kriteria hasil :

-  Tidak ada pernafasan cuping hidung


-  Tidak ada retraksi dada
-  RR 20-30 x/mnt
Intervensi :

(1)   Jelaskan pada keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan

R/ pengetahuan yang memadai memungkinkan pasien kooperatif terhadap


tindakan keperawatan yang diberikan.

(2)   Berikan posisi semi fowler atau fowler


R/ posisi semi fowler atau fowler membuat diafragma tidak terdorong oleh isi
abdomen sehingga ekspansi paru meningkat

(3)   Kolaborasi dalam pemberian

-  Oksigen
R/ oksigen akan meningkatkan konsentrasi oksigen alveoli dan oksigenasi arteri
untuk memperbaiki hipoksemia

-  Pemeriksaan AGD, oksimetri

R/ hipoksemia dapat menjadi berat. Pemeriksaan dilakukan untuk meminimalisasi


terjadinya hipoksemia berat

(4)   Observasi pernafasan pasien, meliputi :


-  Pernafasan cepat saat beraktivitas
R/ tidak adanya pernafasan cepat saat beraktivitas menandakan suplai O2
kedalam jaringan untuk metabolisme energi tercukupi.

-  Tanda-tanda sianosis

R/ menunjukkan keadekuatan sirkulasi darah ke dalam pembuluh darah perifer

4)   Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah


sekunder akibat asma (Doenges, 2000:180)
Dapat dihubungkan dengan: penghentian aliran darah arteri/vena. Kemungkinan
dibuktikan oleh:

-  Kardiopulmonal: ketidakcocokan ventilasi/perfusi


-  Dispnea
-  Sianosis sentral
Kriteria hasil: menunjukkan peningkatan perfusi sesuai dengan individual misalnya
status mental biasa/normal, irama jantung/frekuensi jantung dan nadi perifer dalam
batas normal, tidak adanya sianosis sentral dan perifer, kulit hangat/kering, haluaran
urine dan berat jenis dalam batas normal Intervensi:

(1)  Auskultasi frekuensi dan irama jantung


R/ takikardia sebagai akibat hipoksemia dan kompensasi upaya

 peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan. (2) Observasi


perubahan status mental
R/ gelisah, bingung, disorientasi, dan/atau perubahan sensori/motor dapat
menunjukkan gangguan aliran darah, hipoksia atau cedera vaskuler serebral

(3)  Observasi warna dan suhu kulit/membrane mukosa


R/ kulit pucat atau sianosis, kuku, membrane bibir/lidah atau dingin menunjukkan
vasokonstriksi perifer (syok) dan atau aliran darah sistemik

(4)  Tinggikan kaki/telapak bila di tempat tidur/kursi. Dorong pasien untuk


latihan kaki dengan fleksi/ekstensi kaki pada pergelangan kaki. Hindari menyilangkan kaki

dan duduk atau berdiri terlalu lana.


R/ tindakan ini dilakukan untuk menurunkan stasis vena di kaki dan

 pengumpulan darah pada vena pelvis untuk menurunkan resiko

 pembentukan thrombus.

5)   Resiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran

Tujuan: Pasien tidak mengalami cedera selama serangan asma dilakukan tidakan
keperawatan dengan criteria hasil :
- Tidak ada luka, memar

- Pasien tidak jatuh


Intervensi:

(1)   Jelaskan kepada orangtua tentang cara menghindari cedera pada

 pasien

R/ pengetahuan tentang cara menghindarkan pasien dari cedera dapat membantu


menghindari aktivitas yang dapat beresiko cedera

(2)   Ciptakan lingkungan aman dan nyaman

R/ lingkungan aman dapat mengurangi resiko terjadinya cedera (3) 


Bantu pasien melakukan aktivitas sehari-hari secara perlahan
R/ ambulasi yang tergesa-gesa dapat menyebabkan pasien mudah

 jatuh
(4)  Batasi aktivitas

R/ menghemat penggunaan oksigen (5) 


Observasi keluhan pasien
R/ meminimalkan terjadinya cedera apabila pasien mengeluh pusing, masih
sesak dan gelisah.

6)    Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan
Tujuan: pasien menunjukkan perbaikan nutrisi setelah dilakukan tindakan keperawatan
dengan kriteria hasil:

-  Pasien menunjukkan peningkatan BB 0, 5 kg/minggu,


-  Hasil laboratorium ( Hb dan Albumin ) dalam batas normal (> 3,5 mMol/L).

-  Pasien menghabiskan ½ porsi makannya


-  Intake caran terpenuhi
Intervensi:
(1)   Jelaskan pentingnya nutrisi yang adekuat dan tipe diet yang dibutuhkan pada
orang tua pasien.
R/ Intake nutrisi yang adekuat memberikan kalori untuk tenaga dan

 protein untuk proses penyembuhan.


(2)   Beri oral hygiene pada pasien sebelum makan

R/ pemberian oral hygiene pada pasien untuk mengurangi bau mulut

 pada pasien
(3)   Berikan makanan dalam jumlah sedikit tapi sering, jika mungkin
kombinasikan dengan makanan yang disukai anak.
R/ Makanan dalam jumlah sedikit namun sering akan menambah energi.
Makanan yang menarik dan disukai dapat meningkatkan selera makan.
(4)   Kolaborasi dalam pemberian obat antiemetic, pemeriksaan Albumin dan Hb
R/ Mengurangi gejala gastrointestinal dan perasaan tidak enak pada

 perut, Albumin dan Hb merupakan indikator intake nutrisi tubuh terpenuhi

(5)   Observasi BB tiap minggu sekali dengan alat ukur yang sama.

R/ Peningkatan BB 0,5 kg/minggu menandakan indikator keberhasilan


tindakan.

7)   Intoleran aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen


dengan kebutuhan oksigen
Tujuan : Klien toleran terhadap aktivitas yang dilakukan setelah dilakukan

tindkan keperawatan dengan kriteria hasil :


-  Pasien tidak sesak
-   Nadi 80-110x/mnt
-  RR 20-30x/mnt
-  Tidak didapatkan tanda- tanda dispnea pada peningkatan aktivitas.
-  Klien mampu melakukan aktivitas dengan bantuan minimal
Intervensi :

(1)   Jelaskan pada pasien penyebab intoleransi aktivitas

R/ transport oksigen yang terganggu akibat asma menyebabkan pasien akan


cepat merasa lelah setelah melakukan suatu aktivitas yang melebihi kemampuan
saat masih terserang asma.

(2)   Bantu dan motivasi klien dalam meningkatkan aktivitasnya secara

 bertahap

R/ Peningkatan aktivitas secara bertahap memberikan kesempatan

 pada tubuh menyeimbangkan persediaan oksigen dengan kebutuhan (3) 


Rencanakan program istirahat diantara aktivitas yg dilakukan
R/ Mencegah kelelahan yg berlebihan, mencegah peningkatan beban kerja
jantung

(4)  Observasi kemampuan aktivitas klien


R/ Deteksi keberhasilan tindakan dan memprogramkan aktivitas

 bertahap

8)   Ansietas berhubungan dengan dampak kondisi dan lingkungan perawatan kritis.

Tujuan: pasien menyatakan peningkatan kenyamanan psikologi dan fisiologi dengan


kriteria hasil:

-  Menggambarkan ansietas dan pola kopingnya


-  Menggunakan mekanisme koping yang efektif
Intervensi
(1)   Jelaskan kepada pasien tentang penyakit
R/ pasien mampu menghindari faktor-faktor yang dapat menyebabkan

 penyakit.
(2)   Jelaskan tentang tanda dan gejala yang perlu dilaporkan dan segera mendapatkan
penanganan
R/ keikutsertaan pasien dalam memonitor kesehatannya dan meningkatkan
tanggung jawab dalam pemeliharaan kondisi serta mencegah penyakit berulang.

(3)   Libatkan keluarga dalam membantu memberikan asuhan keperawatan


yang tepat.

R/ peran keluarga merupakan support system dalam meningkatkan keberhasilan


tindakan keperawatan

(4)   Beri dukungan emosional selama masa perawatan


R/ perawatan medis menimbulkan krisis situasi. Mendengarkan kekhawatiran
serta perasaannya akan membantu pasien untuk

 beradaptasi dengan krisis yang dialaminya.


DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood dan Mukty, abdul (2005). Dasar-dasar ilmu Penyaki Paru.  Surabaya:
Airlangga University Press

Carpenito, Lynda Juall, (2007). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10.
Alih bahasa : Yasmin Asih EGC: Jakarta.

Doenges.E Marilynn. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien, Jakarta: EGC.

Price, Sylvia Anderson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Alih bahasa: Brahm U.Edisi 6. Jakarta: EGC.

Konthen, P.G dkk (2008). Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bag/ SMF Ilmu Penyakit
Dalam Edisi III. Surabaya : RSU dr. Soetomo 

Kowalak, Jenifer P dkk (2001). Buku Ajar Patofisiologi. Alih Bahasa: Andry Hartono:
Editor Bahasa Indonesia Renata Kumalasari dkk. Jakarta: ECG.

Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Ed. 8  Vol. 2.
Alih Bahasa: Agung Waluyo. Jakarta: EGC.
Soemantri, Irman. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai