Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH FILSAFAT ISLAM

PENDAPAT IBNU KHALDUN TENTANG


FILSAFAT

DISUSUN OLEH :

MUHAMMAD MANARUL HIDAYAT

1
Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun telah menjadi bagian penting bagi perkembangan ilmu
sejarah. Melalui karyanya yang fenomenal yakni Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia
telah menyumbangkan cabang keilmuan baru yang disebut filsafat sejarah. Perhatian
Ibnu Khaldun dalam mengkaji sejarah secara benar mendorongnya untuk
mengikhtisarkan hukum-hukum umum dalam pengkajian sejarah.
Sebagaimana telah diketahui, Ibnu Khaldun tidak hanya memandang sejarah sebagai
peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lampau saja, tetapi juga memandangnya
secara filsafat. Cara pandang ini digunakan untuk mengetahui sebab yang
menggerakkan suatu peristiwa sejarah.

Teori yang dibuat oleh Ibnu Khaldun tentu dipengaruhi oleh perjalanan hidupnya dan
pengembaraannya ke berbagai daerah. Sebagai pengasas filsafat sejarah, Ibnu Khaldun
telah banyak menyampaikan teori-teorinya terkait dengan sejarah. Salah satu teori
filsafat sejarah yang dikemukakan Ibnu Khaldun terkait dengan teori perkembangan.

Biografi Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun
Nama lengkapnya adalah Waliyudin Abd al-Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad
Ibn Abi Bakr Muhammad Ibn al Hasan Ibn Khaldun. Dia lahir di Tunisia di awal bulan
Ramadhan 732 (27 Mei 1332 M) dan wafat di Kairo pada tanggal 25 Ramadhan 808 H
(19 Maret 1406 M). Keluarganya berasal dari Hadramaut dan sisilahnya sampai pada
sahabat Nabi Wayl Ibnu Hujar dari kabilah Kinda.

Pada awal ke-3 H salah seorang cucu Wayl, Khalid bin Usman, memasuki daerah
Andalusia Bersama orang-orang Arab. Anak cucu Khalid ini kemudian membentuk
keluarga besar bernama Bani Khaldun, dari Bani inilah nama Ibnu Khaldun berasal.
Secara umum Fase kehidupan Ibnu Khaldun dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :

Pertama fase kelahiran, perkembangan dan studi. Fase ini berlangsung sejak kelahiran
sampai usia 20 tahun, yaitu dari tahun 732 H/ 1332 hingga tahun 751 H/1350 M. Fase
pertama Ibnu Khaldun dihabiskan di Tunisia. Semenjak kecil Ibnu Khaldun telah

2
mempelajari dasar-dasar ilmu agama yang diajarkan oleh Ayahnya yaitu Muhammad
Ibnu Muhammad.
Studinya secara mendalam ia mulai saat berumur 15 tahun (1349 M) ketika Tunisia
menjadi pusat hijrah ulama dari Andalusia. Dengan para ulama tersebut ia mulai
mempelajari ilmu-ilmu syariat: tafsir, hadis, usul fiqh, tauhid dan mazhab maliki, di
bidang keilmuan bahasa ia mempelajari nahwu, sharaf, dan balagah, selain itu ia juga
mempelajari fisika, matematika, metafisika dan lain-lain. Pada tahun 1349 M Ibnu
Khaldun harus menghentikan studinya sementara karena terjangkit penyakit pes.
Kedua, fase bertugas di pemerintahan dan terjun ke dunia politik di Maghribi serta
Andalusia, yaitu sejak yaitu dari tahun 751-776 H/ 1350-1374 M. Pada fase kedua Ibnu
Khaldun berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, seperti di Fez, Granada, Bougie,
Biskara, dan lain-lain.
Karir politiknya dimulai ketika berumur 21 jabatan yang pernah ia pegang antara lain:
sekertaris sultan Daulah Bani Hasfsh (Tunisia, 1350-1352), anggota Majelis Ilmu
Pengetahuan (1354 Baskarah, Aljazair, Maghribi Tengah) setahun kemudian diangkat
menjadi sekretaris sultan, duta negara di Castila (Granada,1362 M), Perdana menteri dan
khatib (Bijayah 1364 M).

Ketiga, fase pengarangan , ketika ia berfikir dan berkontemplasi di benteng Ibnu


Salamah milik abu Arif yaitu sejak tahun 766 H/ 1374 M sampai 784 H / 1382 M. Setelah
sekian lama malang melintang dalam dunia politik praktis, pada akhirnya Ibnu Khaldun
merasa jenuh untuk terus terlibat dalam urusan politik. Naluri kesarjanaannya telah
memaksanya untuk menjauhi kehidupan yang penuh gejolak. Pada kondisi jiwa seperti
inilah Ibnu Khaldun memasuki suatu tahapan dari kehidupannya dalam apa yang disebut
dengan istilah khalwat Ibnu Khaldun. Masa khalwat ini dialami Ibnu Khaldun dalam
jangka empat tahun dari tahun 1374 sampai 1278 M. Ibnu Khaldun mengasingkan diri di
suatu tempat terpencil yang dikenal dengan sebutan Qal’at Ibnu Salamah.
Di sinilah ia mengarang kitab monumentalnya Kitab al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa
al-Khabar fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man Siwahum min Dzaw al-
Sulthan al-Akbar ( Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir,
Mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non Arab, dan Bangsa Barbar,
serta Raja-raja Besar yang semasa) atau yang juga disebut al-‘Ibar yang terdiri dari tujuh
jilid besar. Kitab besar ini berisi kajian sejarah, dan didahului oleh sebuah pembahasan
tentang masalah-masalah sosial manusia yang dikenal dengan nama Muqaddimah Ibnu
Khaldun yag sekaligus merupakan jilid pertama dari kitab al –‘Ibar.
Kitab Muqaddimah itu membuka lebar-lebar jalan menuju bahasan ilmu-ilmu sosial. Oleh
karena itu dalam sejarah Islam Ibnu Khaldun diandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu
sosial dalam Islam. Pada tahun 1378 M Ibnu Khaldun kembali ke Tunisia di sini ia
berusaha untuk merevisi kitabnya. Pada tahun 1382 ia pergi ke Iskandaria untuk
menghindari kegalauan dunia politik, setelah sebulan berada di Iskandaria ia pergi ke
Kairo. Di Kairo ia disambut baik oleh para ulama.

3
Keempat, fase mengajar dan bertugas sebagai hakim negeri di Mesir yaitu dari tahun 784
H/ 1382 M sampai wafatnya tahun 808 H/ 1406 M. Pada fase ini hidup Ibnu Khaldun
dihabiskan untuk mengabdikan ilmunya, di al-Azhar membentuk halaqah dan memberi
kuliah.
Pada tahun 1384 ia diangkat oleh raja menjadi dosen dalam ilmu fiqh mazhab Maliki di
Madrasah al-Qamhiyah dan beberapa bulan setelah itu ia diangkat menjadi ketua
pengadilan kerajaan. Selama di mesir ia juga merevisi dan menambah pasal-pasal dalam
kitab Muqaddimah dan al-‘Ibar. Peristiwa – peristiwa baru pada masa itu dimasukanya,
demikian juga temuan-temuan ilmiyahnya, seperti konsep-konsep sosiologi. Ibnu
Khaldun wafat pada tanggal 16 Maret 1406 M (26 Ramadlan 808 H.) dalam usia 74 tahun
di Mesir.

4
Pandangan Ibnu Khaldun
terhadap Filsafat Sejarah
Menurut Ibnu Khaldun, sejarah terdiri dari dua aspek, yakni aspek lahir dan aspek batin.
Aspek lahir diartikan bahwa sejarah tidak lebih dari berita-berita tentang peristiwa-
peristiwa, negara-negara, dan kejadian-kejadian pada abad-abad silam. Sementara
secara batin, sejarah mengandung pengertian observasi dan usaha mencari kebenaran,
keterangan yang mendalam tentang sebab dan asal mula kejadian serta pengertian dan
pengetahuan tentang substansi, esensi, dan sebab-sebab terjadinya peristiwa. Dari aspek
batin inilah muncul salah satu cabang filsafat atau hikmah.

Ibnu Khaldun dalam karyanya yang monumental Kitab Muqaddimah Ibnu


Khaldun, memang tidak secara langsung menggunakan kata filsafat sejarah, tetapi justru
menggunakan kata “al-umran al-basyari”. Secara bahasa, al-umran al-basyari berarti
masyarakat manusia. Sementara itu, menurut Ibnu Khaldun, al-umran diartikan sebagai
kebudayaan.
Dalam Grand Larousse Encyclopedique dikemukakan bahwa kebudayaan adalah
seperangkat karakteristik yang berkenaan dengan kehidupan pikiran, artistik, moral,
material, dan politik suatu negeri atau masyarakat tertentu. Ensiklopedia itu juga
menambahkan bahwa kebudayaan merupakan salah satu objek pembahasan filsafat
sejarah.
Perkembangan sejarah secara totalitas mengkaji kehidupan berbagai masyarakat dan
kekaisaran serta berupaya untuk mengikhtisarkan hukum-hukum perkembangan dan
keruntuhannya. Dengan demikian, kebudayaan atau yang disebut Ibnu Khaldun
sebagai al-umran merupakan ilmu yang mengkaji filsafat sejarah.
Menurut Muhsin Mahdi dalam karyanya Ibnu Khaldun’s Philosophy of History tujuan
kajian yang dilakukan Ibnu Khaldun adalah untuk mengkaji aspek internal dari peristiwa-
peristiwa eksternal sejarah karena sejarah dan ilmu kebudayaan mengkaji dua aspek dari
fakta yang sama. Ketika sejarah mengkaji peristiwa-peristiwa historis dari lahiriahnya,
sementara ilmu kebudayaan membahas watak dan sebab peristiwa-peristiwa tersebut.
Dalam melakukan pengkajian filsafat sejarah, Ibnu Khaldun menggunakan metode
utama berupa pengkajian berita-berita sejarah dengan mempergunakan hukum-hukum
yang mengendalikan alam dan juga mengendalikan masyarakat. Dengan demikian ketika
sebuah berita sejarah dan hukum-hukum tersebut bertentangan, maka berita tersebut
dianggap tidak benar meskipun rangkaian penuturnya dapat diterima sebagaimana yang
dianut para muhaditstsin.
Sebagai seorang pencipta ilmu sejarah memang tidak menggunakan metode ahli hadis
secara mutlak, tetapi juga tidak meninggalkannya secara keseluruhan. Terbukti bahwa
Ibnu Khaldun masih menggunakan metode ta’dil dan tajrib dalam mengkaji peristiwa
sejarah. Kedua metode ini adalah metode untuk mengetahui kejujuran dan kebenaran
penutur hadis.

5
Banyak ilmuwan barat yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun merupakan pengasas
filsafat sejarah, sebab Ia melakukan sesuatu yang baru yang belum pernah dibaca dan
dilihatnya dari karya-karya orang terdahulu, baik dari kalangan umat muslim maupun
sumber-sumber Yunani.

Dalam Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Ia memang melakukan kritik terhadap filsafat


yakni filsafat dalam kedudukannya sebagai metafisika yang bertolak dari kontemplasi
murni, logika formal yang tidak ada kaitannya dengan kenyataan. Sedangkan filsafat
sejarah yang dikembangkan Ibnu Khaldun sangat berpegang teguh kepada kajian yang
didasarkan pada pengamatan indrawi dan analisis perbandingan data-data yang objektif.

Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat merupakan makhluk historis yang hidup dan
berkembang sesuai dengan hukum-hukum khusus, yang berkenaan dengannya hokum
tersebut dapat diamati dan dibatasi lewat pengkajian terhadap fenomena sosial. Ia
berpandangan bahwa ashabiyah merupakan asas berdirinya suatu negara, dan faktor
terpenting yang menyebabkan terjadinya perkembangan masyarakat. Dari pendapat itu
Ibnu Khaldun juga bias disebut tokoh pelopor materialisme jauh sebelum Karl Marx.
Ibnu Khaldun terkenal sebagai perintis dan pelopor The Culture Cycle Theory of History,
yaitu satu teori filsafat sejarah yang telah mendapat pengakuan di dunia Timur dan barat
tentang kematanganya. Ibnu Khaldun dengan teorinya berpendapat bahwa sejarah
dunia itu adalah satu siklus dari setiap kebudayaan dan peradaban ia mengalami masa
lahir, masa puncak, kemudian masa menurun dan akhirnya masa hancur. Khaldun
mengistilahkan siklus itu dengan tiga tangga peradaban.
 

6
Teori Filsafat Sejarah Ibnu
Khaldun
1. Teori Perkembangan
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan setiap jenis makhluk-makhluk satu sama lainnya
saling berjalin pada akhir rangkaian perkembangan. Perkembangan setiap jenis makhluk
hidup menuju jenis yang lebih tinggi dan pada akhir perkembangannya kita
mandapatkan manusia yang merupakan perkembangan dari kera. Teori perkembangan
ini kemudian juga digunakan dalam memandang fenomena sosial.

Konsepsi gerak menurut Ibnu Khaldun terkandung dalam watak segala sesuatu, misalnya
saja umur negara diserupakan dengan kehidupan manusia. Negara terus berkembang,
sebab kehidupan itu sendiri berada dalam gerak dan perkembangan-perkembangan
yang berkesinambungan. Perkembangan menurut Ibnu Khaldun mempunyai corak yang
dialektis, yakni bahwa sejak penciptaannya, dalam diri makhluk hidup telah terkandung
benih-benih kematian dan perkembangan yang tidak dapat dihentikan dan akan menuju
pada kematian yang pasti.

Persoalan dialektis dari kehidupan dan kematian, atau kesatuan dan pertentangan antara
keduanya yakni persoalan yang erat kaitannya dengan perkembangan setiap makhluk
hidup sejak kelahirannya sampai kematiannya, menduduki posisi penting dalam konsepsi
Ibnu Khaldun. Kenyataan sebagai keseluruhan tidaklah timbul dari tumpukan hal-hal
yang berserakan dan bercerai berai, tetapi merupakan kumpulan fenomena-fenomena
sejenis dan satu sama lain saling berjalin serta mempunyai dampak yang timbal balik.

Pemikiran Ibnu Khaldun mengandung dua karakteristik utama dari karakteristik


dialektika[1] Hegelian. Pertama, prinsip saling mempengaruhi dan hubungan kosmis di
antara semua fenomena, baik fenomena sosial maupun fenomena alam. Kedua, prinsip
perubahan kosmis dan perkembangan yang selamanya tidak pernah berhenti.
Menurut Ibnu Khaldun, perkembangan memiliki gerak spiral ke depan. Maksudnya,
perkembangan selalu muncul dari sesuatu yang sudah pernah ada sebelumnya dan
penggantinya seringkali lebih tinggi atau lebih baik dari sebelumnya. Hal ini seiring
dengan pandangan Ibnu Khaldun terhadap sejarah yang menurutnya merupakan kisah
negara-negara yang muncul, tumbuh dan hancur. Kehancuran merupakan hal yang pasti
pada setiap hal kecuali dalam perkembangan.

Teori perkembangan sejarah ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

 Ekonomi

7
Menurut Ibnu Khaldun, kegiatan ekonomi mampu menentukan bentuk kehidupan. Ia
juga membedakan masyarakat primitive dan maju berdasarkan ekonomi. Jika masyarakat
primitive mendasarkan kehidupannya pada pernggarapan tanah atau pemeliharaan
tanah, maka masyarakat maju menggunakan industry dan perdagangan dalam
mendasarkan kehidupan mereka. Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa
begara tidak dapat ditegakkan oleh suatu bangsa kecuali dengan adanya suatu
peringkat tertentu dalam kemajuan ekonomi. Maka dari itu tidak salah jika Ibnu Khaldun
dalam filsafat sejarahnya berafiliasi dengan aliran ekonomi. Aliran ekonomi
menginterpretasikan sejarah secara materialis dan menguraikan fenomena-fenomena
sosial secara ekonomis. Di samping itu setiap perubahan dalam masyarakat, dan
fenomena–fenomenanya, mengembalikan pada faktor ekonomi .Karl Marx adalah tokoh
yang dianggap sebagai tokoh pengembang aliran filsafat sejarah kedua ini.

 Dampak alam terhadap masyarakat-masyarakat manusia


Menurut Ibnu Khaldun, lingkungan fisik memiliki dampak yang besar terhadap
masyarakat manusia, sebab sampai ke batas tertentu watak masyarakat dipengaruhi oleh
bumi, posisinya, peringkat kesuburannya, jenis hasil buminya, dan bahan-bahan mentah
yang dimilikinya. Kebudayaan tidak akan muncul kecuali adanya kawasan-kawasan
tertentu. Ibnu Khaldun juga membagi bumi menjadi tujuh bagian. Bagian pertama dan
ketujuh sangat panas, bagian kedua dan keenam sangat dingin, sementara bagian
ketiga, keempat, dan kelima memiliki hawa sedang. Tiga bagian terakhir adalah tempat
maraknya kebudayaan manusia.

Pengaruh ini tidak dapat dilepaskan dari aliran sejarah geografi yang memandang
manusia sebagai putra alam lingungan, dan kondisi–kondisi alam di sekitarnya. Oleh
karena itu dalam penyejarahan, seseorag, masyarakat-masyarakat dan tradisi– tradisinya
dibentuk oleh lingkungan dan alam dimana ia berada. Alam dan lingkungan memiliki
dampak terhadap kehidupan masyarakat, walaupun manusia sendiri juga dapat
mempengaruhi dan berinteraksi dengan lingkunganya.

 Dampak agama terhadap filsafat sejarah


Menurut Ibnu Khaldun, terdapat pengaruh Ilahi yang mengendalikan hukum-hukum
yang mengendalikan hukum-hukum yang mengarahkan berbagai fenomena. Agama
menurut Ibnu Khaldun kadang-kadang memiliki dampak yang besar atas bangsa-bangsa
dan dampaknya kadang-kadang melebihi ashabiyah.

2. Hukum-Hukum Determinisme Sejarah


Determinisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi karena suatu kausa
atau berbagai kausa dan semuanya itu tidak mungkin terjadi dalam bentuk yang
berbeda kecuali apabila terjadi perbedaan di dalam kausa-kausanya. Hukum
determinisme menurut Ibnu Khaldun ada tiga, yakni hukum kausalitas, peniruan, dan
perbedaan.

8
 Hukum kausalitas
Ibnu Khaldun meyakini adanya kausalitas antara kenyataan-kenyataan dan fenomena-
fenomena. Ibnu Khaldun disebut-sebut terpengaruh dari al-Ghazali dan ada juga yang
menyebutnya terpengaruh oleh Aristotelian. Hukum kausalitas yang dipahami Ibnu
Khaldun bukan berarti manusia diliputi semua sebab. Karena hal tersebut mustahil dan
mengarahkan pada ketidakmampuan akal dalam memahami. Ada beberapa
pengecualian terhadap hukum kausalitas, yakni pada hal-hal yang luar biasa seperti
mukjizat para nabi dan karomah para wali.

 Hukum peniruan
Hukum peniruan terjadi karena menurut Ibnu Khaldun dari sebagian aspek semua
masyarakat manusia adalah sama. Sementara jika terdapat perbedaan merupakan
sebuah keistimewaan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada orang-orang tertentu
seperti nabi dan wali. Peniruan merupakan suatu hukum yang umum dan mendorong
gerak perkembangan ke depan, sebab kadang-kadang peniruan dilakukan terhadap
sesuatu yang baik.

 Hukum perbedaan
Menurut Ibnu Khaldun, masyarakat-masyarakat tidak memiliki kesamaan yang mutlak,
sehingga perbedaan-perbedaan yang ada harus diketahui oleh sejarawan. Perbedaan ini
juga ditimbulkan dari proses peniruan dari satu masyarakat kepada masyarakat lainnya
yang justru akan menimbulkan perbedaan secara total. Perbedaan dalam sebuah
masyarakat tidak dapat dilepaskan dari adanya pengaruh geografis, fisik, ekonomi,
politik, adat istiadat, tradisi, dan agama.

9
Simpulan
Waliyyuddin ‘Abd Rahman Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibnu Abi Bakr Muhammad
Ibn al-Hasan Ibn Khaldun atau yang familiar dengan sebutan Ibnu Khaldun merupakan
pengasas filsafat sejarah. Ia lahir di Tunisia pada tahun 732 H/ 1332 M dan wafat di Kairo
pada 808 H/ 1406 M. Ia merupakan keluarga bani Khaldun yang masih memiliki nasab
sampai ke sahabat Rasulullah saw.

Semasa hidupnya, Ibnu Khaldun menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu dan
berkecimpung dalam ranah politik sebagaimana yang ditempuh kakeknya. Ibnu Khaldun
telah melakukan perjalanan ke berbagai daerah seperti Granada, Maghrib, Mesir, dan
daerah lainnya.

Ibnu Khaldun secara gamblang memang tidak menyebutkan kata filsafat sejarah dalam
Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, namun Ia menggunakan kata al-umran al-basyari yang
memiliki arti kebudayaan. Al-umran merupakan ilmu yang mengkaji filsafat sejarah.
Dalam kitab tersebut, Ibnu Khaldun juga telah mengungkapkan beberapa teori filsafat
sejarah seperti teori perkembangan dan faktor yang mempengaruhi perkembangan
tersebut, dan hukum determinisme yang mencakup hukum kausalitas, peniruan, serta
perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim, Muhd. Yusof dan Mahayudin Haji Yahaya. Sejarawan dan Pensejarahan:
Ketokohan dan Karya. Kuala Lumpur: Dewan Lembaga dan Pustaka, 1988.
al-Khudhairi, Zainab. Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun. Bandung: Pustaka, 1987.
Muchsin, Misri A. Filsafat Sejarah dalam Islam. Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2002.
Yatim, Badri. Historiografi Islam. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu , 1997.

10

Anda mungkin juga menyukai