Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

KEWENANGAN FISKUS

MATA KULIAH : HUKUM ACARA PERADILAN PAJAK

DOSEN PEMBIMBING : FATHAN ANSORI, S.H.,M.H,

DISUSUN OLEH :

ELSA ROMORA SINAMBELA 2008010604

MAHPUJA NUR HUMAIRO 2008010110

YEKTI KURNIAWAN 2008010288

UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN MUHAMMAD ARSYAD AL


BANJARI , ILMU HUKUM , BANJARBARU, 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat dan hidayah-Nya
kami masih diberikan kesempatan sehingga dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Kewenangan Fiskus” ini tepat pada waktunya.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami buat masih jauh dari kata
sempurna dan banyak kekurangan didalamnya. Untuk itu kami mohon
kepada pembaca sekiranya dapat memberikan saran supaya kedepannya
penulisan makalah dari kami dapat jauh lebih baik. Apabila banyak terdapat
kesalahan didalam makalah, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak FATHAN


ANSORI, S.H.,M.H, selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Peradilan Pajak
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi


tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Pajak Fakultas Hukum UNISKA.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk memberikan pandangan baru
tentang unsur kewenangan fiskus dalam andilnya dalam keberlangsungan
perpajakan.

Terakhir, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat membawa manfaat.

Banjarbaru, 14 Oktober 2022

Penulis

i
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ................................................................................. i

Daftar Isi ..............................................................................................ii

BAB I ................................................................................................... 1

PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................ 2

1.3 Tujuan Masalah ........................................................................... 3

1.4 Sistematika Penulisan .................................................................. 3

BAB II.................................................................................................. 4

PEMBAHASAN ...................................................................................... 4

2.1. Mengenal Kewenangan Fiskus dalam pajak .................................. 4

2.2. Fungsi dari Kewenangan fiscus dan landasan hukum yang mengatur
........................................................................................................ 6

2.3. Faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas kewenangan fiskus


dalam penerimaan pajak .................................................................. 11

BAB III .............................................................................................. 20

PENUTUP ........................................................................................... 20

3.1. Kesimpulan .............................................................................. 20

3.2. Saran ....................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pergerakan pembangunan negara tidak terlepas dari ketiga unsur
negara yang saling berhubungan. Warga negara memerlukan wilayah yang
akan dijadikan tempat tinggal dan sumber penghidupan. Untuk mencapai
tujuan-tujuan bangsa yang sifatnya dapat disepakati dan diwujudkan oleh
masyarakat, diperlukan otoritas yang mengatur, dalam hal ini
pemerintahan. Melihat dari berbagai aspek kehidupan manusia tentunnya
hampir semua berhubungan dengan bagaimana keberlangsungan aspek
ekonomi. Dengan adanya dukungan dari segi ekonomi, pemerintah dapat
menggerakan kinerja yang tepat dengan 'Bahan bakar' untuk menciptakan
fasilitas dan keberlangsungan bagi kesejahteraan sebuah negara. Upaya
pemerintah dalam memenuhi keuangan negara umum diperoleh dari sektor
pajak, sektor bukan pendapatan pajak dan hibah.

Pendapatan dari pajak merupakan kontribusi yang dilakukan secara


pembiayaan rutin oleh Wajib Pajak maupun pihak yang memungut pajak.
Pajak merupakan retribusi yang sifat prestasinya tidak secara langsung
diberikan atau dapat dirasakan oleh pihak yang membayarnya, tetapi untuk
menciptakan sesuatu bagi kepentingan bersama seperti kelancaran dan
keamanan infrastruktur, pendidikan, budaya, sektor usaha dan sebagainya.
Pajak tidak sama dengan sumbangan karena sifatnya memaksa dan dapat
dikenakan sanksi bagi yang melanggar pemenuhannya.

Pajak yang notabene merupakan uang masyarakat yang dibayarkan


baik dengan sistem pembayaran mandiri, pembayaran pihak ketiga, atau
dengan bantuan perhitungan oleh badan pajak. Untuk memahami tata cara
pembayaran tersebut, pemahaman hukum dan peran badan pajak

1
mengambil andil penting dalam sistem pemungutan pajak dan bagaimana
efektivitasnya dalam mensosialisasikan pajak sebagai bentuk dari
kewenangan fiskus.

Fiskus secara langsung diartikan sebagai Aparatur pajak.


Kewenangan Fiskus secara praktiknya berada pada naungan Direktorat
Jendral Pajak (DJP) dan diatur pengurusannya dalam Pasal 380 Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 234 Tahun 2015, yakni merumuskan dan
melaksanakan kebijakan serta standardisasi teknis di bidang perpajakan.
Idealisme dari diberikannya kewenangan fiskus dalam pajak adalah untuk
membentuk dan melancarkan proses pengumpulan Anggaran Pendapatan
Belanja Negara lewat setoran pajak serta mengatasi kecurangan dalam
pajak seperti penghindaran dan penyalahgunaan pajak.

Otoritas pajak sendiri belum pernah ada yang benar-benar dikatakan


sempurna dalam membentuk dan mengimplementasikan kinerja pajak
terhadap kepercayaan masyarakat. Wajib Pajak tentunya mengharapkan
bentuk apresiasi yang bersifat positif mengenai arus penggunaan anggaran
negara yang telah dikumpulkan maupun saat proses pembayaran pajak.
Semakin efisien, cepat dan biaya pelayanannya ringan, maka akan
mengurangi presentasi tingkat keacuhan masyarakat terhadap pembayaran
pajak. Perhitungan beberapa biaya pajak yang sifatnya self-assessment
juga memerlukan tindakan bimbingan bagi masyarakat umum terlebih
khusus terkait faktor akses informasi pajak. Lewat makalah ini, kita akan
mendalami sejauh mana otoritas pajak lewat kewenangan fiskus mengatur
dan mengembangkan pelayanan pajak beserta efektivitas dari adanya
sanksi yang dikeluarkan dalam menertibkan pembayaran pajak.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa itu kewenangan fiscus dan perannya dalam pajak?
2) Apa fungsi dan tugas kewenangan fiscus dalam menjalankan
prosedur pemungutan pajak?

2
3) Apa saja factor yang memengaruhi evektivitas kewenangan fiscus
terhadap penerimaan dan ketaatan pajak?

1.3 Tujuan Masalah


1) Mengetahui apa itu kewenangan fiscus dan perannya dalam pajak.
2) Mengetahui fungsi dan tugas kewenangan fiscus dalam menjalankan
prosedur pemungutan pajak.
3) Mengetahui faktor yang memengaruhi efektivitas kewenangan fiscus
terhadap penerimaan dan ketaatan pajak.

1.4 Sistematika Penulisan


1.4.1 BAB I. PEMBUKAAN

Pada bab ini dimulai dengan latar belakang masalah dimana


mendeskripsikan gambaran apa itu kewenangan fiscus secara umum
terhadap perannya dalam pajak. Dalam bab ini juga terdapat beberapa
rumusan masalah sebagai kerangka masalah yang akan dibahas beserta
tujuan masalah yang nantinya akan diuraikan dalam pembahasan

1.4.2 BAB 2. PEMBAHASAN

Metode yang dipilih dalam pembentukan bab ini adalah lewat metode
kolektif normatif secara sumber digital non digital. Pada bab ini dibahas
tentang pengertian, tujuan, fungsi, kewenangan fiscus, landasan hukum
dan prosedur kewenangan fiscus, sanksi hukum dan upaya kewenangan
fiscus dalam mengupayakan kelancaran pembayaran pajak

1.4.3 BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini terdapat kesimpulan secara keseluruhan tentang pembahasan


mengenai kewenangan fiscus dalam pajak serta saran penulisan.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Mengenal Kewenangan Fiskus dalam pajak


Pajak merupakan penerimaan Negara yang mempunyai peranan
sangat penting dalam menopang perekonomian Negara dan digunakan
dalam pembiayaan Negara dengan tujuan kesejahteraan masyarakat.
Perwujudan kesejahteraan tersebut dapat diwujudkan dengan
menempatkan perpajakan sebagai kewajiban dalam kenegaraan.
Pertumbuhan pajak sangat memengaruhi tingkat perekonomian baik dalam
percepatan pemulihan perekonomian maupun menyokong bangsa dalam
peningkatan kualitas kehidupan yang berkaitan erat dengan aspek ekonomi.
Pendapatan negara sebagai bentuk objek dari pajak diperoleh dari PPN,
PPH, Pajak Bea masuk dan Bea Keluar, PBB dan beberapa pajak yang secar
presentasi lebih kecil.

Pajak bersifat memaksa sehingga menjadi keharusan untuk dipatuhi.


Kepatuhan harus menciptakan motivasi untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuia aturan yang ditetapkan. Selain itu, pajak juga harus membentuk
kesadaran akan pentingnya peran pemasukan pajak dalam menunjang
pembangunan negara, sehingga Wajib Pajak tidak merasa dirugikan.1

Untuk memenuhi pembayaran pajak, selain diperlukan peraturan


perundang-undangan yang mengatur tentunya juga kerjasama antar obyek

1
Mohammad Choirul Anam, Rita Andini, Hartono, “Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak,
Pelayanan Fiskus Dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi Yang
Melakukan Kegiatan Usaha Dan Pekerjaan Bebas Sebagai Variabel Intervening (Studi Di
Kpp Pratama Salatiga)”, Journal of Accounting Fakultas Ekonomi Universitas Pandanaran
Semarang Vol 4, No 4 (2018) hal 3

4
pajak yaitu oleh wajib pajak itu sendiri beserta badan pajak. Pihak wajib
pajak yang membayarkan pajak tentunya membutuhkan pelayanan yang
tepat sehingga menumbuhkan rasa kepercayaan dan kepuasan dalam
pemenuhan kewajiban pajak. Pelayanan tersebut merupakan peran penting
dari badan pajak.

2.2.1 Badan pajak sebagai bagian dari kewenangan fiskus

Badan pajak atau fiskus berasal dari bahasa latin, yakni fiscus, yang
secara harfiah artinya "keranjang" atau "kantong uang". Istilah tersebut
digunakan dalam konteks administrasi, sebagai dana publik yang dikelola
oleh penguasa. Badan pajak bertumpu pada peraturan Undang-Undang dan
diberikan kewenangan untuk melakukan pemungutan pajak, pembinaan,
pengawasan, penelitian dan penerapan sanksi hukum terhadap
pembayaran pajak di masyarakat. Hal inilah yang disebut sebagai
kewenangan fiscus.

Pelayanan dalam fiskus berarti badan pajak membantu, mengurus,


atau menyiapkan segala keperluan yang dibutuhkan oleh wajib pajak.2
Selain itu kewenangan ini bertugas untuk berinovasi dalam merumuskan
peraturan mengenai pajak atau menciptakan fasilitas yang lebih relevan
karena berkaitan langsung dengan pergerakan kondisi dunia khususnya
dalam sektor ekonomi. Namun penetapannya tetap dalam kewenangan
presiden dan MPR.3 (tambahkan nanti peradilan banding dikit).

Dalam praktiknya, istilah fiskus sering digunakan untuk menyebut


aparat atau petugas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebab, petugas
yang berada di bawah naungan DJP memang merupakan pihak yang
diberikan kewenangan oleh Undang-undang (UU) untuk melaksanakan dan

2
Ibid, hal 3
3
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Ahli: Kewenangan Menetapkan Pajak Hanya
Milik Presiden dan DPR”, 2014 diakses dalam url:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10317 pada tanggal 6 oktober 2022
pukul 23:44

5
menjalankan pemungutan pajak.4 Namun, fiscus juga dapat diartikan
sebagai petugas yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC).

DJP sendiri adalah instansi pemerintah setingkat eselon I di


lingkungan Kementerian Keuangan yang tugasnya berkaitan langsung
dengan administrasi perpajakan. DJP berjalan dengan dibiayai APBN
dengan arahnya untuk mendapatkan penerimaan APBN dari penerimaan
perpajakan. Penerimaan perpajakan itu menjadi factor utama anggaran
negara dengan besar presentase 70%. Karena ditunjang oleh APBN, maka
DJP dituntut untuk bekerja secara optimal dalam penyelenggaraan tugas
dan fungsinya sebagai peanggung jawab dan stakeholder.5

2.2. Fungsi dari Kewenangan fiscus dan landasan hukum yang mengatur

Kewenangan dalam fiscus diatur dalam sejumlah peraturan perundang-


undangan dengan landasan utama ada pada Undang-undang (UU) Nomor
28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
KUP). Kemudian, teknis pelaksanaan tugas berlandaskan aturan turunan UU
KUP, baik berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK), maupun Peraturan
Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen Pajak) dan Peraturan Direktur Jenderal
Bea dan Cukai.6

Tugas dari kewenangan fiscus antara lain:

1. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak

4
Katadata.co.id, Agung Sutjamiko "Mengenal Fiskus, Aparat Penegak Peraturan
Perpajakan", 2022, diakses di
url: https://katadata.co.id/agungjatmiko/ekonopedia/624593007ecf4/mengenal-fiskus-
aparat-penegak-peraturan-perpajakan tanggal 6 oktober 2022 pukul 00:21
5
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak 2016 sumber LAKIN DJP 2016.pdf
(pajak.go.id)
6
Katadata.co.id, “Mengenal Fiskus, Aparat Penegak Peraturan Perpajakan”, Diakses di
url: https://katadata.co.id/agungjatmiko/ekonopedia/624593007ecf4/mengenal-fiskus-
aparat-penegak-peraturan-perpajakan tanggal 7 oktober pukul 04:22

6
Surat Ketetapan Pajak diterbitkan oleh fiscus dalam beberapa kondisi diluar
system perhitungan mandiri oleh wajib pajak. Hal ini dilakukan dengan cara
melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan oleh wajib pajak (pasal 29 UU KUP). Hal tersebut berkaitan
dengan penyetoran atau penagihan pajak, baik itu pajak negara maupun
pajak daerah7. Surat Ketetapan pajak terdiri dari Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
(SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) atau Surat Ketetapan Pajak
Lebih Bayar (SKPLB).8

2. Menerbitkan Surat Tagihan Pajak

Surat Tagihan Pajak dalam pasal 1 UU no 28 tahun 2007 menjelaskan


bahwa STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi
administrasi berupa bunga dan/atau denda. Surat ini digunakan oleh
pejabat pajak untuk dapat melakukan penagihan pajak atau sanksi
administrasi dan denda kepada Wajib Pajak.9

3. Menerbitkan Keputusan

Fiskus atau pejabat pajak memiliki kewenangan untuk menerbitkan


keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan pajak negara (pusat) atau
pajak daerah, khususnya adalah pajak yang berkaitan dengan Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah (PPnBM).

4. Melakukan Pemeriksaan

Pemeriksaan pada pasal 1 no 25 UU KUP terkait dengan serangkaian


kegiatan untuk dapat mencari, mengumpulkan, mengolah data, atau
keterangan lainnya berkaitan dengan pemenuhan kepatuhan Wajib Pajak

7
Pasal 29 UU KUP No. 28 tahun 2007
8
News.Dttc, Awwakiatul Mukkarrohmah, , “Mengenal Surat Ketetapan Pajak”, 2018,
diakses di url: https://news.ddtc.co.id/mengenal-surat-ketetapan-pajak-13925 10 oktober
2022 pukul 16:34

7
dalam menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya, dilaksanakan secara
objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan /atau untuk
tujuan lain sesuai perundang-undangan perpajakan.

Proses pemeriksaan ini meliputi Penugasaan dan instruksi pemeriksaan


kepada petugas dari DJP, Perencanaan pemeriksaan oleh petugas
pemeriksa, penerbitan surat pemeriksaan terhadap wajib pajak,
Peminjaman dokumen terkait, dilanjutkan proses pemeriksaan dan
pengujian untuk selanjutnya dikeluarkan surat pemberitahuan atas hasil
pemeriksaan. Prosedur pemeriksaan ditutup dengan pengembalian
dokumen, melakukan pelaporan, dan penetapan hasil pemeriksaan.10

5. Melakukan Penyegelan

Kegiatan penyegelan dilakukan oleh fiskus dengan tujuan mengamankan


atau mencegah hilangnya catatan, buku, dan dokumen yang berhubungan
dengan ketentuan perpajakan. Penyegelan pada pasal 1 angka 14 PMK
17/2013 jo PMK 18/2021 berarti menempatkan segel pada barang atau
tempat tertentu agar menghindari kesengajaan dengan memindahkan,
menghilangkan, memusnahkan, mengubah, merusak, menukarkan atau
memalsukan dengan sengaja barang yang disita. Penyegelan ini hanya
dapat dilakukan kepada Wajib Pajak terkait dengan Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah (PPnBM).

6. Melakukan Pengangkatan Pejabat untuk Melaksanakan Peraturan


Undang-Undang (UU) Perpajakan

Dengan adanya pengangkatan pejabat ini diharapkan dapat meningkatkan


efisiensi kerja agar pelaksanaan kegiatan perpajakan dapat berjalan dengan

10
Proconsult.id, “Apa Itu Pemeriksaan Pajak? Ini Tujuan, Teknik, Cara dan Contohnya -
Proconsult ProConsult, Apa Itu Pemeriksaan Pajak? Ini Tujuan, Teknik, Cara dan
Contohnya”, 2022, diakses dalam url https://proconsult.id/pemeriksaan-pajak/ pada 10
oktober 2022 pukul 22:08

8
baik. Pengangkatan pejabat ini adalah berkaitan dengan Petugas Pajak dan
juga Jurusita Pajak. Petugas Pajak yang diangkat adalah berasal dari dari
dalam maupun luar Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Dari tugas kewenangan tersebut, dapat kita lihat hak fiskus dalam pajak
diantaranya:

1. Berhak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan


melakukan pengukuhan pada Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara
jabatan.

2. Berhak menerbitkan surat tagihan pajak.

3. Berhak melakukan pemeriksaan dan penyegelan.

4. Berhak melakukan penyidikan.

5. Berhak untuk menerbitkan surat paksa dan juga melaksanakan


penyitaan.

Untuk kewajiban fiskus secara umum, dapat kita lihat bahwa badan
pajak diamanatkan untuk memberikan bimbingan, penyuluhan, dan
penerangan kepada Wajib Pajak agar mereka memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang dapat membantunya dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya. Sedangkan kewajiban yang bersifat khusus
dari kewenangan fiskus diantaranya:

1) Wajib menerbitkan NPWP sementara dan NPWP tetap setelah


adanya formulir pendaftaran.
2) Melakukan penerbitan surat keputusan atas pengukuhan Pengusaha
Kena Pajak (PKP) dalam jangka waktu 7 hari setelah formulir
permohonan pendaftaran diterima.
3) Melakukan penerbitan surat keputusan kelebihan pajak dalam jangka
waktu 1 bulan setelah tanggal diajukannya surat kelebihan
pembayaran pajak dari Wajib Pajak

9
4) Melakukan penerbitan surat perintah membayar kelebihan pajak
dalam jangka waktu 1 bulan setelah diajukannya surat keputusan
kelebihan pembayaran pajak.
5) Melakukan penerbitan surat keputusan angsuran atau penundaan
pembayaran pajak dalam jangka waktu dari 3 bulan yang berkaitan
dengan angsuran atau penundaan surat ketetapan pajak, surat
ketetapan pajak tambahan, dan surat pemberitahuan pajak, serta
berkaitan dengan pengurangan angsuran pajak penghasilan dalam
jangka waktu 10 hari.
6) Melakukan penerbitan surat keputusan atas keberatan yang telah
diajukan Wajib Pajak dalam jangka waktu 3 bulan sejak diterimanya
surat permohonan keberatan.
7) Memberikan keputusan yang berkaitan dengan pengurangan atau
penghapusan bunga, denda, serta kenaikan dan juga pengurangan
atau pembatalan yang terkait dengan ketetapan pajak dalam jangka
waktu 3 bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan.
8) Wajib merahasiakan data atau informasi yang berkaitan dengan
Wajib Pajak.

Pemungutan pajak menurut pasal 23A UUD 1945 menjelaskan


bahwa pungutan yang sifatnya memaksa diatur dalam undang-undang
yang lebih lanjut prosedurnya diatur UU Nomor 28 tahun 2007 tentang
ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Pemungutan pajak harus
memperhatikan asas-asas yang menjadi landasan pemungutan pajak.
Secara Yuridis, fiscus diberi kewenangan dalam pemeriksaan pajak.
Sedangkan untuk wajib pajak, UU memberi perlindungan agar tidak
diperlakukan secara tidak adil atau semena-mena dan terlindungi
rahasianya dari pelayanan pajak. Dari sudut asas ekonomis, pajak harus
diusahakan agar tidak mengganggu kegiatan produksi atau perdagangan
apalagi sampai menghalagi dan merugikan kepentingan umum. Dari segi
asas finansial, biaya pungutan yang semakin kecil akan menghasilkan

10
pungutan dalam jumlah yang besar. Otoritas pajak harus memperhitungkan
efisiensi pengeluaran untuk penetapan pajak, pemungutan pajak,
pelaporan pajak, juru pungut, dan sebagainya.11

2.3. Faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas kewenangan fiskus dalam


penerimaan pajak
2.3.1 Dilihat dari factor kepercayaan dan intensi dari wajib pajak

Didalam kehidupan perpajakan, factor kepercayaan menjadi factor


utama yang memengaruhi pihak wajib pajak sehingga berkenan melakukan
pembayaran pajak. Menurut Theory of Planned Behavior (TPB), Intensi
Pribadi merupakan awal terbentuknya perilaku seseorang dimana Individu
mengambil keputusan dalam berperilaku melalui cara yang dikehendaki
atau stimulus untuk melaksanakan perbuatan, baik secara sadar maupun
tidak. Intensi ini juga memengaruhi terjadinya perilaku yang membutuhkan
perencanaan yang dalam pembahasan kali ini adalah pembayaran pajak.
Sosialisasi perpajakan, pelayanan fiskus, dan sanksi pajak dapat menjadi
faktor penentu wajib pajak untuk patuh. Jika seorang wajib pajak
memahami betul pentingnya pajak, tingkat kepercayaan dan motivasi
pembayaran pajak juga akan meningkat jika didukung dengan pelayanan
yang baik serta proses yang cepat, efisien dan tentunya tidak memberatkan
pihak wajib pajak hingga kehidupannya terhambat.12

Permasalahan yang seringkali dirasakan dalam pemenuhan


pembayaran pajak adalah tindakan ingin meloloskan diri dari pembayaran
pajak. Ini terjadi karena pemikiran yang tertanam bahwa membayar pajak
adalah suatu membayar pajak adalah suatu pengorbanan yang dilakukan
warga negara dengan menyerahkan sebagian hartanya kepada negara

11
Abdul Kadir, “Bab II: Asas dan Dasar Pemungutan Pajak”, diakses di url:
http://abdulkadir.blog.uma.ac.id/wp-content/uploads/sites/362/2018/01/BAB-II-kapita-
selekta-perpajakan.pdf hal 3
12
Linda Rahayu Anggraini, “Pengaruh Sosialisasi Perpajakan, Pelayanan Fiskus Dan Sanksi
Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak”, Jurnal Ilmu Dan Riset Akuntansi Stiesia Surabaya,
Volume 10, Nomor 5, 2021 Hal 2

11
dengan sukarela. Pemikiran yang kurang tepat ini menimbulkan tindakan
yang disebut perlawanan terhadap pajak. Hal ini juga terjadi karena
ketidakcocokan ataupun ketidakpuasan terhadap diberlakukannya pajak.
Beberapa bentuk perlawanan terhadap pajak diantaranya:

1) Perlawanan pasif
Perlawanan pasif merupakan kondisi yang mempersulit pemungutan
pajak yang timbul dari kondisi struktur perekonomian, kondisi sosial
masyarakat, perkembangan intelektual penduduk, moral warga
masyarakat, dan tentunya sistem pemungutan pajak itu sendiri.
Kondisi rendahnya tingkat pendapatan, menyebabkan kemampuan
untuk menabung rendah dan kemampuan membayar pajak menjadi
rendah.13
2) Perlawanan Aktif
Merupakan tindakan dari usaha masyarakat untuk menghindari,
menyelundupkan, memanipulasi, melalaikan, dan meloloskan pajak
yang langsung ditujukan kepada fiskus. Biasanya dilakukan untuk
meringankan pajak baik lewat penghindaran yang tidak melanggar
undang-undang atau dengan melanggar undang-undang. Beberapa
contoh penghindaran pajak yang bersifat aktif diantaranya:
a) Penghindaran Pajak: Hal ini biasa dilakukan dengan menahan
pengeluaran dana, baik dengan mengurangi atau menekan
konsumsi suatu barang. Penghindaran pajak ini menyebabkan
permintaan akan barang yang dikenakan pajak berkurang,
yang berakibat meningkatnya penabungan, atau
bertambahnya permintaan akan barang lain dan sekaligus
terjadi penambahan dalam produksi barang terakhir dan
berkurangnya barang-barang yang dikenakan pajak berat.
b) Penyeludupan Pajak: Merupakan usaha aktif wajib pajak
dalam hal mengurangi, menghapus, manipulasi ilegal

13
Loc.cit, Abdul Kadir hal 154

12
terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk tidak
membayar pajak sebagaimana yang telah terutang menurut
aturan perundang-undangan.14
c) Melalaikan Pajak
Hal ini biasa terjadi karena ketidaktahuan, kesalahan atau
kesalahpahaman dari pihak wajib pajak.15 Usaha
menggagalkan pemungutan pajak dengan menghalang-
halangi penyitaan dengan cara melenyapkan barang-barang
yang sekiranya akan dapat disita oleh fiskus, dengan jalan
mengganti suatu perusahaan perseorangan menjadi
perseroan, atau menjual barang-barang yang dapat disita
ataupun dipindahtangankan. Atau juga dalam bentuk
sanggahan dalam pengadilan terhadap perintah atau cara
penyitaan.

2.3.2. Dilihat dari factor sistem pemungutan pajak.

Pemungutan pajak merupakan cara yang ditempuh oleh fiscus


(pemerintah) dalam memungut pajak sehingga pajak dapat terpungut
sebaik-baiknya untuk memenuhi kas negara dengan memperhatikan
efisiensi, efektifitas, kesederhanaan, keadilan dan kepastian hukum bagi
wajib pajak (UU No. 16 Tahun 2000; Minollah, M., 2017). Hal tersebut tentu
membutuhkan tata cara yang sesuai dengan kondisi perpajakan suatu
negara. Untuk menciptakan keadilan dalam pemungutan pajak, pemerintah
harus melakukan pengenaan pajak berdasarkan objek atau penghasilan
yang sesungguhnya yang diperoleh oleh wajib pajak. Jumlah yang
dibayarkan terpampang jelas dan menghindari penyalahgunaan
pembayaran pajak dari pihak wajib pajak. Hal ini disebut riil steelsel.
Namun proses pembayaran pajak pada system ini bersifat kaku karena
pencatatan yang hanya dapat dipungut setelah tahun pajak yang

14
Ibid, hal 158
15
Ibid hal 158

13
bersinggungan dengan tahun anggaran (Penndanaan pembangunan negara
ikut terhambat).

Selain riil stelsel, ada juga yang disebut fiktif stelsel dan stelsel
campuran. Fiktif stelseel didasarkan lewat asumsi atas atas jumlah pajak
yang dibayar pada tahun sebelumnya oleh wajib pajak, sehingga
diharapkan tidak terjadi kekeliruan yang signifikan antara jumlah pajak yang
dibayar dengan jumlah pajak yang sebenarnya atau senyatanya.16 Namun
system ini sering menimbulkan kekeliruan dan memberi peluang bagi
terjadinya KKN oleh fiskus. Sedangkan untuk Stelsel campuran, dalam
menentukan besarnya jumlah pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak
dengan anggapan terlebih dahulu, kemudian diakhir menggunakan data
yang senyatanya/riil atau sebaliknya. Bentuk yang paling ideal antara
kewenangan fiscus dengan wajib pajak adalah seimbang, dimana wajib
pajak dapat mengoreksi fiscus dan sebaliknya, sehingga terjadi ceks and
balance antara wajib pajak dengan fiscus.

Dalam Penerapannya, system pemungutan pajak yang sudah sering


diterapkan official asessment system, semi self asessment system, full self
asessment system dan with holding system (Wahyuni, A., 2011) Dilihat dari
sisi efektivtasnya, maka dapat dilihat sebagai berikut:

a) Official asessment system: Pembayaran pajak harus


dibayarkan langsung kepada pemungut pajak. Perhitungan
pajak bersifat pasit oleh wajib pajak. Kelemahan dari system
ini adalah adanya kesempatan penyalahgunaan oleh fiskus.
Dalam hal ini pembayaran pajak tidak sampai pemenuhannya
terhadap kewajiban negara, tetapi masuk kedalam anggaran
fiskus. Sistem ini juga menumbuhkan penafsiran bahwa
jumlah pembayaran pajak ditentukan oleh badan pajak.

16
Nengah Suastika, “Tata Cara Pemungutan Pajak dalam Perspektif Hukum Pajak”, Jurnal
Komunikasi Hukum, Volume 7 Nomor 1, 2021 hal 330

14
b) Semi self asessment system: sistem pemungutan pajak
dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak
seseorang berada pada dua pihak. Pihak wajib pajak terlebih
dahulu mengisi formulir dan menghitung besarnya
penghasilan serta pajak yang akan dibayar, kemudian
pemungut pajak melakukan koreksi dan menentukan
besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Namun
hal ini memerlukan membutuhkan banyak waktu untuk
melakukan koreksi ulang yang mengakibatkan pengeluaran
biaya lebih besar dalam pelaksanaannya.
c) Withholding system: yaitu sistem penentuan pajak yang
didasarkan pada campur tangan pihak ketiga sebagai biro jasa
yang mewakili kepentingan wajib pajak dan negara.17 Namun
system ini rentan akan pembayaran keharusan yang
jumlahnya kecil karena telah disiasati oleh perusahaan-
perusahaan untuk kepentingan perusahaan itu sendiri,
misalnya lewat pembukuan fiktif atau pembukuan ganda.
d) Full self asessment system: sistem pemungutan pajak yang
sepenuhnya ada pada wajib pajak. Rasionalnya adalah,
karena hanya wajib pajaklah yang mengetahui besarnya pajak
yang harus dibayar, sedangkan pegawai pajak hanyalah
sebagai konsensusunya. Pada sistem ini telah terjadi
demokratisasi dan kemandirian wajib pajak. Wajib pajak
sudah diberikan keleluasaan dan kepercayaan oleh
pemerintah. Penggunaan sistem ini sudah sangat demokratis
dan memberikan kepercayaan dan kemandirian pada wajib
pajak untuk menghitung pajaknya sendiri. Peran fiskus dalam

17
Ibid, hal 331

15
hal ini adalah memberikan konsultasi dan penjelasan tentang
mengenai consensus dalam pembayaran pajak.18

2.3.3 Upaya yang dilakukan fiskus dalam menopang keberlangsungan


pembayaran pajak.

Penelitian oleh Albari, A. (2009) menjelaskan bahwa terdapat lima


dimensi kualitas pelayanan fiskus tersebut adalah (1) keandalan (reliability),
yaitu kemampuan untuk melaksanakan layanan yang dijanjikan secara
tepat dan terpercaya, (2) jaminan (assurance), yaitu pengetahuan dan
kesopanan santunan karyawan serta kemampuan organisasi dan
karyawannya untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan, (3) responsif
(responsiveness), yaitu kemauan untuk membantu dan memberikan
pelayanan dengan cepat kepada pelanggan, (4) empati (empathy), yaitu
kepedulian atau perhatian pribadi yang diberikan organisasi kepada
pelanggannya, dan (5) berwujud (tangibles), yaitu penampilan fisik,
peralatan, personil dan media komunikasi.19 Jika wajib pajak mendapatkan
pelayanan yang terbaik dan ada rasa percaya kepada otoritas pajak, maka
kepatuhan wajib pajak akan meningkat. Keadilan dalam jumlah
pembayaran pajak juga akan meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak.
Kesadaran wajib pajak diperlukan untuk pemahaman dan kesadaran bahwa
membayar pajak adalah tanggung jawab warga negara Indonesia. Semakin
tinggi kualitas pelayanan perpajakan, skala keadilan dan kesadaran wajib
pajak, maka semakin tinggi pula tingkat kepatuhan terhadap persyaratan
oleh wajib pajak. 20

Pemerintah lewat pelayanan fiskus lewat reformasi perpajakan akan


membuat sistem administrasi perpajakan menjadi lebih efisien karena

18
Farell David Trawocadji, Tundjung H.Sitabuana, “Hukum Pajak dan Permasalahannya dalam
pemungutan pajak”, Seri Seminar Nasional ke-IV Universitas Tarumanegara tahun 2022, 2022 ,
hal 4
19
Pipit Awwalina Farihin Yadinta, Suratno 2, JMV Mulyadi, “ Kualitas Pelayanan Fiskus, Dimensi
Keadilan, Kesadaran Wajib Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi”, Jurnal Riset
Akuntansi dan Perpajakan JRAP Vol. 5, No. 2, 2018 hal 223
20
Ibid, hal 209

16
adanya penggunaan teknologi yang mendukung proses perpajakan
sehingga pemenuhan kewajiban pajak menjadi lebih cepat dan akurat.
Dengan teknologi, pihak wajib pajak juga dapat menentukan resiko yang
akan diambil dalam pemenuhan pajak secara mandiri sehingga tidak berada
dalam bayang-bayang resiko tinggi yang akan menurunkan minta
pembayaran pajak.

Selain peningkatan kualitas pelayanan, fiskus juga harus


menggencarkan sosialisasi terkait pajak lewat penyuluhan. Berdasarkan
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor: SE98/PJ/2011 sosialisasi
perpajakan dapat diartikan sebagai suatu upaya dan proses memberikan
informasi perpajakan untuk menghasilkan perubahan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap masyarakat dunia usaha, aparat, serta lembaga
pemerintah maupun non pemerintah agar terdorong untuk paham, sadar,
peduli dan berkontribusi dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.21
Sosialisasi ini ada yang bersifat langsung dan tidak langsung. Misalnya lewat
seminar, workshop atau lewat openayangan siaran lewat media elektronik.

2.3.4 Sanksi Pajak

Kegiatan perpajakan erat hubungannya dengan hukum. Hal ini


dikarenakan keterkaitannya dengan anggaran pokok negara yang rentan
dari penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu diperlukan peraturan
perundang-undangan yang mengatur. Adam Smith memberikan pedoman
bahwa supaya peraturan pajak itu adil maka empat syarat berikut harus
dipenuhi (Adam Smith dalam Rochmat Soemitro, 1992: 15):

a. Equality and equity,


b. Certainty,
c. Convenience of payment,
d. Economic of collection.

21
Linda Rahayu, Loc.cit hal 3

17
Sanksi notabenenya diberikan kepada orang yang melanggar
peraturan. Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan
dituruti/ditaati/dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat
pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.

Seperti yang kita ketahui, bentuk dari sanksi pajak dapat berupa
hukuman pidana dan hukuman administrasi. Jenis sanksi pajak diatur dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 yang merupakan perubahan dari
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983. Peraturan tersebut berkaitan
dengan pelanggaran terhadap kewajiban administrasi perpajakan,
diantaranya

1) Ketidaklengkapan pelaporan SPT

2) Sanksi telat membayar pajak

3) Sanksi tidak membayar pajak

4) Sanksi Kurang Bayar Pajak

Seperti yang kita ketahui, bentuk dari sanksi pajak terdiri dari sanksi
administrasi dan sanksi pidana. Sanksi administrasi terdiri dari sanksi denda,
sanksi bunga dan sanksi kenaikan. Contoihnya pengenaan bunga, sanksi
kenaikan dan sanksi denda. Namun jenis sanksi administrasi seringkali
dianggap remeh oleh beberapa pihak yang melanggar pembayaran pajak.
Sedangkan oleh beberapa pihak lain, sanksi dendan yang memberatkan
wajib pajak juga menurunkan motivasi wajib pajak dalam pembayaran
pajak. Sanksi lainnya adalah sanksi pidana. Sanksi pidana dikenakan bila
wajib pajak melakukan pelanggaran berat yang menimbulkan kerugian
pada pendapatan negara dan dilakukan lebih dari satu kali. Dalam Undang-
Undang KUP, terdapat pasal 39 ayat i yang memuat sanksi pidana bagi
orang yang tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.
Sanksi tersebut adalah pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling

18
lama 6 tahun, serta denda minimal 2 kali pajak terutang dan maksimal 4
kali pajak terutang yang tidak dibayar atau kurang dibayar.22

Melalui Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 mengenai


Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), Pemerintah dan DPR melakukan
perluasan ultimum remedium terhadap sanksi tindak pidana perpajakan
sampai tahap persidangan, dari yang awalnya hanya dalam tahap
penyidikan serta mengubah presentasi denda administrasi menjadi lebih
rasional penerapannya.

22
OnlinePajak.com, “Mengenal Sanksi Pajak di Indonesia”, 2019 diakses di url:
https://www.online-pajak.com/seputar-pajakpay/sanksi-tidak-melakukan-pembayaran-
pajak, tanggal 14 oktober 2022 pukul 16:08

19
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Fiskus adalah badan pajak yang oleh peraturan Undang-Undang diberikan
kewenangan untuk melakukan berbagai hal mengenai pajak yang menjadi
pemasukan negara. Adapun kewenangan fiskus adalah untuk melakukan
pemungutan pajak, pembinaan, pengawasan, penelitian dan penerapan
sanksi hukum terhadap pembayaran pajak di masyarakat.

Fungsi dan tugas kewenangan fiskus dalam prosedur pemungutan


pajak adalah menerbitkan surat ketetapan pajak, menerbitkan surat tagihan
pajak, menerbitkan keputusan, melakukan pemeriksaan, melakukan
penyegelan, dan melakukan pengangkatan pejabat untuk melaksanakan
peraturan Undang-Undang Perpajakan.

Faktor yang mempengaruhi efektifitas kewenangan fiskus terhadap


penerimaan dan ketaan pajak diantaranya: faktor kepercayaan dan intensif
dari wajib pajak, faktor sistem pemungutan pajak, upaya yang dilakukan
fiskus dalam menopang keberlangsungan pembayaran pajak, dan sanksi
pajak.

3.2. Saran
Pajak merupakan retribusi yang sifat prestasinya tidak secara langsung
diberikan atau dapat dirasakan oleh pihak yang membayarnya, tetapi untuk
menciptakan sesuatu bagi kepentingan bersama seperti kelancaran dan
keamanan infrastruktur, pendidikan, budaya, sektor usaha dan sebagainya.

Untuk kelancaran pemungutan pajak sehingga membawa manfaat yang


besar bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia, kami menyarankan agar
:

1. Fiskus menjalankan kewajibannya secara umum, yaitu untuk


mengedukasi masyarakat, terutama wajib pajak agar lebih

20
memahami apa saja pelaksanaan hak dan kewajibannya terkait
perpajakan;

Masyarakat yang menjadi wajob pajak juga harus menyadari pentingnya


pajak untuk pembangunan negara sehingga bisa meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

21
DAFTAR PUSTAKA

Anam, M. C., Andini, R., & Hartono. (2018). Pengaruh Kesadaran Wajib
Pajak, Pelayanan Fiskus Dan Sanksi Pajak Terhadap Kepatuhan
Wajib Pajak Orang Pribadi Yang Melakukan Kegiatan Usaha Dan
Pekerjaan Bebas Sebagai Variabel Intervening (Studi Di Kpp Pratama
Salatiga). Journal of Accounting Fakultas Ekonomi Universitas
Pandanaran Semarang, 3.

Anggraini, L. R. (2021). Pengaruh Sosialisasi Perpajakan, Pelayanan Fiskus


Dan Sanksi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Jurnal
Ilmu Dan Riset Akuntansi Stiesia Surabaya, Volume 10, Nomor 5.

Mengenal Sanksi Pajak di Indonesia. (2019). Diambil kembali dari


OnlinePajak.com: www.online-pajak.com/seputar-pajakpay/sanksi-
tidak-melakukan-pembayaran-pajak

MKRI. (2014). Diambil kembali dari MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK


INDONESIA:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=10317

Mukkarrohmah, A. (2018). Mengenal Surat Ketetapan Pajak. Diambil


kembali dari News.Dttc: https://news.ddtc.co.id/mengenal-surat-
ketetapan-pajak-13925

Pajak, D. J. (2016). Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pajak 2016 sumber


LAKIN DJP 2016. Jakarta: pajak.go.id.

Proconsult.id. (2022). pa Itu Pemeriksaan Pajak? Ini Tujuan, Teknik, Cara


dan Contohnya - Proconsult ProConsult, Apa Itu Pemeriksaan Pajak?
Ini Tujuan, Teknik, Cara dan Contohnya. Diambil kembali dari
Proconsult.id: https://proconsult.id/pemeriksaan-pajak/

Suastika, N. (2021). Tata Cara Pemungutan Pajak dalam Perspektif Hukum


Pajak. Jurnal Komunikasi Hukum, Volume 7 Nomor 1.

22
Sutjamiko, A. (2022). Mengenal Fiskus, Aparat Penegak Peraturan
Perpajakan. Diambil kembali dari Katadata.co.id:
https://katadata.co.id/agungjatmiko/ekonopedia/624593007ecf4/m
engenal-fiskus-aparat-penegak-peraturan-perpajakan

Trawocadji, F. D., & H.Sitabuana, T. (2022). Hukum Pajak dan


Permasalahannya dalam pemungutan pajak. Seri Seminar Nasional
ke-IV Universitas Tarumanegara tahun 2022.

Yadinta, P. A., 2, S., & Mulyadi, J. (2018). Kualitas Pelayanan Fiskus,


Dimensi Keadilan, Kesadaran Wajib Pajak dan Kepatuhan Wajib
Pajak Orang Pribadi. Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan JRAP Vol.
5, No. 2.

Peraturan Perundang-Undangan:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan
Pajak Dengan Surat Paksa
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2o2i Tentang
Harmoni Sasi Peraturan Perpajai(An
3. Peraturan Menter! Keuangan Republik Indonesia Nomor 234 /Pmk.01/
2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan

23

Anda mungkin juga menyukai