Anda di halaman 1dari 28

PENATALAKSANAAN TERAPI WICARA PADA KASUS DOWN SYNDROME

DENGAN GANGGUAN BAHASA DAN BICARA DI UNIT PELAKSANA


TEKNIS PUSAT LAYANAN DISABILITAS DAN PENDIDIKAN INKLUSI
SURAKARTA

TUGAS AKHIR

Oleh :

TRI PRASETYANINGSIH

NIM. P27229019053

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA JURUSAN TERAPI WICARA

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA TERAPI WICARA

TAHUN 2022
PENATALAKSANAAN TERAPI WICARA PADA KASUS DOWN SYNDROME
DENGAN GANGGUAN BAHASA DAN BICARA DI UNIT PELAKSANA
TEKNIS PUSAT LAYANAN DISABILITAS DAN PENDIDIKAN INKLUSI
SURAKARTA

TUGAS AKHIR

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Ahli Madya Kesehatan

Pada Program Studi Terapi Wicara Program Diploma Tiga Jurusan Terapi Wicara

Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta

Oleh :

TRI PRASETYANINGSIH

NIM. P27229019053

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA JURUSAN TERAPI WICARA

PROGRAM STUDI TERAPI WICARA PROGRAM DIPLOMA TIGA

TAHUN 2022

i
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Luar................................................................................................


Halaman Sampul Dalam............................................................................................
Daftar Isi.....................................................................................................................
Halaman Persetujuan..................................................................................................
Halaman Pengesahan.................................................................................................
Kata Pengantar...........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................
B. Batasan Masalah.............................................................................................
C. Tujuan Tugas Akhir.......................................................................................
D. Manfaat Tugas Akhir.....................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................


A. Definisi dan Pengertian..................................................................................
B. Etiologi...........................................................................................................
C. Prevalensi.......................................................................................................
D. Karakteristik...................................................................................................

BAB III DATA KASUS...........................................................................................


A. Hasil Pengumpulan Data................................................................................
B. Analisis Data..................................................................................................
C. Perencanaan Terapi........................................................................................
D. Rencana Pelaksanaaan Terapi........................................................................

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN..................................................................


A. Hasil Terapi....................................................................................................
B. Pembahasan....................................................................................................

BAB V PENUTUP....................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................

ii
Daftar Pustaka............................................................................................................
Lampiran....................................................................................................................
- Form Informed Consent
- Form Data Kasus Anak
- Form Hasil Assessment
- Data Ahli Lain (jika ada)
- Form Proses Terapi
- Form Lesson Plan
- Form SOAP
- Data Penulis

iii
LEMBAR PERSETUJUAN

PENATALAKSANAAN TERAPI WICARA PADA KASUS DOWN SYNDROME


DENGAN GANGGUAN BAHASA DAN BICARA DI UNIT PELAKSANA
TEKNIS PUSAT LAYANAN DISABILITAS DAN PENDIDIKAN INKLUSI
SURAKARTA

TUGAS AKHIR

Disusun Oleh :

TRI PRASETYANINGSIH

NIM. P27229019053

Tugas Akhir ini Telah Disetujui Oleh Pembimbing

Pada Tanggal :______________________

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Anggi Resina Putri, S.Tr.TW., MKM Muryanti, SST.TW, MPH


NIP. 919950720201801201 NIP. 19861206 200912 12 002

Disetujui,
Ketua Prodi Terapi Wicara Program Diploma Tiga
Jurusan Terapi Wicara Poltekkes Kemenkes Surakarta

Roy Romey D.M., SST.TW., SKM., MPH


NIP. 19780512 200801 1 012

iv
LEMBAR PENGESAHAN

PENATALAKSANAAN TERAPI WICARA PADA KASUS DOWN SYNDROME


DENGAN GANGGUAN BAHASA DAN BICARA DI UNIT PELAKSANA
TEKNIS PUSAT LAYANAN DISABILITAS DAN PENDIDIKAN INKLUSI
SURAKARTA

TUGAS AKHIR

Disusun Oleh :

TRI PRASETYANINGSIH

NIM. P27229019053

Telah Diujikan dan Dipertahankan di Hadapan Penguji Tugas Akhir


Program Studi Terapi Wicara Program Diploma Tiga Poltekkes Kemenkes Surakarta
Pada Tanggal :________________________
PENGUJI UTAMA

________________________
NIP. Tanda Tangan :______________
PENGUJI ANGGOTA

________________________
NIP. Tanda Tangan :______________

Mengetahui,
Ketua Jurusan Terapi Wicara
Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta

Wiwik Setyaningsih, SKM.,M.Kes

NIP. 19700115 199803 2 001

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan banyak kesempatan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas
Akhir ini dengan baik.
Penyusunan Laporan Tugas Akhir dengan kasus anak Down Syndrome adalah
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi D-III Terapi Wicara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung dalam penulisan laporan ini serta ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Ibu Wiwik Setyaningsih, S.KM.,M.Kes selaku Ketua Jurusan Terapi Wicara
Poltekkes Kemenkes Surakarta.
2. Bapak Roy Romey D.M, SST.TW., S.KM, MPH selaku Ketua Program Studi D-
III Terapi Wicara Poltekkes Kemenkes Surakarta.
3. Ibu Anggi Resina Putri, S.Tr.TW., MKM selaku Dosen Pembimbing Utama
Tugas Akhir.
4. Ibu Muryanti, SST.TW, MPH selaku Dosen Pembimbing Anggota Tugas Akhir
5. Bapak Angga Pradana, A.Md.TW Selaku CI Pembimbing Lahan Praktik Klinik
III.
6. Kedua orang tua saya yang tercinta beserta kakak yang memberikan doa dan
dukungan finansial selama berkuliah hingga penyusunan Laporan Tugas Akhir
ini.
7. Kekasih saya Frederick Aria Respati Taufan Putera yang berjuang dan selalu
memotivasi saya dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
8. Teman-teman seperjuangan satu angkatan terutama untuk Program Studi D-III
Terapi Wicara yang telah berbagi pengetahuan dan memberi support kepada
penulis selama melaksanakan Praktik Klinik III hingga penyusunan Laporan
Tugas Akhir.

vi
Penulis menyadari laporan ini jauh dari sempurna, untuk itu penulis dengan
senang hati menerima kritik dan saran yang sifatnya mendukung demi kemajuan penulis
di masa yang akan datang. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga
laporan ini bermanfaat bagi penulis, pembaca dan semua pihak.

Surakarta, Maret 2022

Penulis

vii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Penulis yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : TRI PRASETYANINGSIH

NIM : P27229019053

Program Studi : DIPLOMA TIGA JURUSAN TERAPI WICARA

Judul Tugas Akhir : PENATALAKSANAAN TERAPI WICARA PADA KASUS


DOWN SYNDROME DENGAN GANGGUAN BAHASA DAN
BICARA DI UPT PLDPI SURAKARTA

Menyatakan bahwa Laporan Tugas Akhir ini penulis susun tanpa ada tindak plagiarisme
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Program Studi Terapi Wicara Program
Diploma Tiga pada Jurusan Terapi Wicara Politeknik Kesehatan Kemenkes Surakarta.

Jika dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa penulis melakukan plagiarisme, penulis
akan bertanggungjawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh
pendidikan kepada penulis.

Surakarta, April 2022

Yang Membuat Pernyataan,


Penulis

Materai 10000

Tri Prasetyaningsih
NIM. P27229019053

viii
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES SURAKARTA JURUSAN TERAPI WICARA

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TERAPI WICARA

PERSETUJUAN KEIKUTSERTAAN DALAM PRAKTIK KLINIK

(INFORMED CONSENT)

Saya telah membaca dan mengerti informasi yang telah disampaikan oleh
penulis, serta telah diberi kesempatan untuk mendiskusikan dan menanyakan
hal tersebut secara jelas oleh penulis. Selanjutnya saya setuju dan mengijinkan
anak saya untuk dijadikan pasien dalam Praktik Klinik. Saya mengerti bahwa
saya dapat menolak untuk tidak ikut dalam proses Praktik Klinik. Saya sadar
bahwa saya dapat mengundurkan diri dari proses Praktik Klinik ini kapan saja
saya mau. Saya mengerti bahwa bila memerlukan penjelasan, saya dapat
menanyakan kepada Tri Prasetyaningsih.

Oleh karena itu, saya sebagai orang tua dari klien An. NJW setuju untuk
berpartisipasi dalam Praktik Kinik ini.

Surakarta, ..... .......................... 2022

Materai 6000

__________________________

ix
PENATALAKSANAAN TERAPI WICARA PADA KASUS DOWN SYNDROME
DENGAN GANGGUAN BAHASA DAN BICARA DI UPT PLDPI SURAKARTA

Tri Prasetyaningsih1, Wiwik Setyaningsih2, Roy Romey D.M.3


1
Mahasiswa Program Studi Terapi Wicara
2
Anggi Resina Putri
3
Muryanti

ABSTRAK

Latar Belakang : Menurut Beirne-Smith, Ittenbach dan Patton dalam


Mangunsong (2014:145), Down Syndrome atau sering disebut dengan Trisomy 21,
merupakan bentuk keterbelakangan mental yang sangat umum pada saat lahir. Menurut
POTADS (2019:5), secara umum syndrome didefinisikan sebagai suatu gejala atau
tanda yang muncul secara bersama-sama dan menandai ketidaknormalan tertentu,
penyandang Down Syndrome sering dijuluki Mongoloid. Hal ini berkaitan dengan ciri-
ciri fisik penyandang Down Syndrome yang sangat mirip dengan ciri fisik orang
Mongolia. Bahasa dibagi menjadi dua yaitu bahasa reseptif dan ekspresif, Indah (2017)
mengungkapkan bahwa gangguan bahasa dapat diidentifikasi menjadi dua kelompok
yaitu gangguan bahasa perkembangan dan perolehan. Gangguan bahasa perkembangan
didefinisikan sebagai kesulitan dalam pemerolehan kata yang diakibatkan oleh kelainan
tumbuh kembang, misalnya anak dengan Down Syndrome. Gangguan bahasa perolehan
didefinisikan sebagai gangguan bahasa yang diakibatkan oleh operasi, stoke, kecelakaan
atau penuaan.

Tujuan : Tugas Akhir ini bertujuan untuk mengetahui penatalaksanaan Terapi


Wicara dalam meningkatkan kemampuan bahasa reseptif, bahasa ekspresif, serta
meningkatkan artikulasi pada anak dengan Down Syndrome di UPT PLDPI Surakarta.

Hasil : Setelah dilakukan terapi selama dua bulan dengan sepuluh kali
pertemuan untuk kemampuan menunjuk kata kategori preposisi mencapai tingkat
keakuratan sebesar 70%. Kemampuan menamai kata kategori preposisi mencapai
tingkat keakuratan sebesar 50%. Klien tidak mengalami peningkatan pada aspek
artikulasi fonem /r/, /j/, dan /v/.

x
Kesimpulan : Setelah dilakukan terapi sebanyak sepuluh kali pertemuan dapat
diketahui bahwa tujuan jangka pendek yang telah ditentukan sudah tercapai.
Keberhasilan terapi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, usia klien,
kekonsistenan klien ketika hadir dalam setiap sesi terapi, serta dukungan keluarga klien
terhadap program terapi yang sudah diberikan.

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Komunikasi adalah suatu proses pengiriman dan penerimaan informasi atau
pesan antara dua orang atau lebih dengan cara efektif, sehingga pesan yang
dimaksud dapat dimengerti (Syamsudin dan Firmansyah, 2016). Sedangkan,
menurut Sinabela (2016) komunikasi adalah suatu proses pembentukan,
penyampaian, penerimaan, dan pengolahan pesan yang terjadi di dalam diri
seseorang antara dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Selain itu, ada
empat jenis komunikasi menurut Nurudin (2017) diantaranya, komunikasi
intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi publik, dan komunikasi
massa.
Bahasa adalah sistem lambang bunyi arbitrer yang digunakan oleh para
anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasi diri (Kridalaksana dan Djoko Kentjono, 2014). Bahasa dibagi
menjadi dua yaitu bahasa reseptif dan bahasa ekspresif, Indah (2017)
mengungkapkan bahwa gangguan bahasa dapat diidentifikasi menjadi dua
kelompok yaitu gangguan bahasa perkembangan dan perolehan. Gangguan
bahasa perkembangan didefinisikan sebagai kesulitan dalam pemerolehan kata
yang diakibatkan oleh kelainan tumbuh kembang, misalnya anak dengan Down
Syndrome. Gangguan bahasa perolehan didefinisikan sebagai gangguan bahasa
yang diakibatkan oleh operasi, stroke, kecelakaan atau penuaan.
Menurut Beirne-Smith, Ittenbach dan Patton dalam Mangunsong (2014),
Down Syndrome atau sering disebut dengan Trisomy 21, merupakan bentuk
keterbelakangan mental yang sangat umum pada saat lahir. Menurut POTADS
(2019), secara umum syndrome didefinisikan sebagai suatu gejala atau tanda
yang muncul secara bersama-sama dan menandai ketidaknormalan tertentu,
penyandang Down Syndrome sering dijuluki Mongoloid. Hal ini berkaitan
dengan ciri-ciri fisik penyandang Down Syndrome yang sangat mirip dengan ciri
fisik orang Mongolia.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) dalam Winurini
(2018), memperkirakan terdapat delapan juta penyandang Down Syndrome di

1
2

seluruh dunia. Dengan estimasi kejadian 1:1000 atau sekitar tiga ribu hingga
lima ribu kelahiran. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2010
sampai 2018 kasus Down Syndrome di Indonesia cenderung meningkat. Riset
terbaru tahun 2018 menunjukkan data kecacatan anak sejak lahir terjadi pada
usia 24 hingga 59 bulan sebanyak 0,41%. Berdasarkan hasil riset tersebut,
penyandang Down Syndrome menyumbang kecacatan terbesar hingga 0,21%.
Sedangkan, jumlah pasien Down Syndrome di Jawa Tengah mencapai angka
prevalensi sebesar 0,35% di setiap 1.000 angka kelahiran pada tahun 2018. Data
tersebut diambil berdasarkan hasil Riset Kesehatan yang dilakukan oleh Badan
Kesehatan Provinsi Semarang. Kasus Down Syndrome di Surakarta juga
mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu sekitar 0,45% pada tahun
2018 berdasarkan data dari Riset Kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah
Kota Surakarta. Jumlah pasien Down Syndrome di Unit Pelaksana Terpadu Pusat
Layanan Disabilitas Dan Pendidikan Inklusi Surakarta sebanyak 15 dari 45
pasien terapi wicara.
Berdasarkan data tersebut, kasus Down Syndrome terbilang meningkat
cukup signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Hal tersebut yang mendorong
penulis untuk mengangkat kasus Down Syndrome sebagai judul Penatalaksanaan
Terapi Wicara pada Kasus Down Syndrome dengan Gangguan Bahasa dan
Bicara di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan Disabilitas Dan Pendidikan
Inklusi Surakarta. Selain itu, alasan penulis mengangkat kasus tersebut, karena
ingin menambah wawasan terkait Down Syndrome dan mengetahui potesi
penderitanya. Dengan demikian, penulis berharap dapat memberikan
penanganan terbaik bagi penderita Down Syndrome agar mampu berkomunikasi
dengan maksimal.

B. Batasan Masalah
Pada penulisan Tugas Akhir ini, penulis membatasi permasalahan pada
Penatalaksanaan Terapi Wicara pada Kasus Down Syndrome dengan Gangguan
Bahasa dan Bicara di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan Disabilitas Dan
Pendidikan Inklusi Surakarta.
3

C. Tujuan Tugas Akhir


1. Tujuan Umum
Penulis menyusun Tugas Akhir ini dengan tujuan umum untuk
mendeskripsikan Penatalaksanaan Terapi Wicara dengan Gangguan Bahasa
pada Kasus Down Syndrome di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan
Disabilitas Dan Pendidikan Inklusi Surakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hasil asessment Terapi Wicara pada kasus Down Syndrome
di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan Disabilitas Dan Pendidikan
Inklusi Surakarta.
b. Mengetahui diagnosa dan prognosis Terapi Wicara pada kasus Down
Syndrome di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan Disabilitas Dan
Pendidikan Inklusi Surakarta.
c. Mengetahui program perencanaan Terapi Wicara pada kasus Down
Syndrome di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan Disabilitas Dan
Pendidikan Inklusi Surakarta.
d. Mengetahui hasil penatalaksanaan Terapi Wicara pada kasus Down
Syndrome di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan Disabilitas Dan
Pendidikan Inklusi Surakarta.
e. Mengetahui faktor keberhasilan dan faktor penghambat yang
mempengaruhi tercapainya program terapi pada kasus Down Syndrome
yang dilakukan di Unit Pelaksana Terpadu Pusat Layanan Disabilitas
Dan Pendidikan Inklusi Surakarta.

D. Manfaat Tugas Akhir


1. Manfaat Teoritis
Hasil dari studi kasus ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengkajian terkait penatalaksanaan
Terapi Wicara pada kasus Down Syndrome.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Keluarga Pasien
4

Penyusunan Tugas Akhir ini, diharapkan dapat menjadi sumber


informasi dan media edukasi bagi keluarga pasien agar mampu
menangani cara penatalaksanaan Terapi Wicara pada kasus Down
Syndrome.
b. Bagi Instusi Pendidikan
Penyusunan Tugas Akhir ini, diharapkan dapat menjadi media referensi
penelitian bagi Instusi Pendidikan, khususnya Mahasiswa Terapi
Wicara di Politeknik Kesehatan Kementrian Kesehatan Surakarta.
c. Bagi Penulis
Penyusunan Tugas Akhir ini, diharapkan dapat meningkatkan wawasan
penulis terkait penatalaksanaan Terapi Wicara dari assessment sampai
intervensi terkait kasus Down Syndrome.
d. Bagi Instusi Lain
Penyusunan Tugas Akhir ini, diharapkan dapat menjadi bahan
pertimbangan dan informasi bagi instusi lain dalam penyusunan studi
kasus terkait Down Syndrome.
e. Bagi Masyarakat
Penyusunan Tugas Akhir ini, diharapkan dapat memperluas informasi
dan menambah rasa simpati terhadap penderita Down Syndrome.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Pengertian


Down Syndrome merupakan suatu kelainan genetik yang dibawa sejak
lahir, terjadi ketika fase embrio yang disebabkan oleh kesalahan dalam
pembelahan sel. Biasanya embrio menghasilkan dua salinan kromosom 21,
tetapi pada Down Syndrome dihasilkan tiga salinan kromosom 21 (tiga trisomi).
Akibatnya, bayi lahir dengan jumlah kromosom sebanyak 47 bukan 46
kromosom seperti pada umumnya. Kromosom merupakan struktur berbentuk
benang-benang halus terdiri dari kode genetik (DNA) dan protein-protein yang
menentukan sifat seseorang. Jumlah kromosom yang berlebihan tersebut
mengakibatkan abnormalitas pada sistem metabolisme sel, sehingga muncul
Down Syndrome (Nadlifah 2019).
Nawawi (2018) menyatakan bahwa Down Syndrome merupakan suatu
kondisi yang terjadi akibat kelainan jumlah kromosom yang ditandai dengan
adanya kromosom tambahan. Individu dengan Down Syndrome cenderung
memiliki gangguan pada mental dan fisik seperti gagguan perdengaran,
keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara, serta pertumbuhan gigi yang
tertunda. Down Syndrome pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr. John
Longdon Down, karena memiliki karaktristik yang khas seperti, tinggi badan
relatif pendek, tempurung kepala berukuran kecil, dan hidung yang datar
meyerupai orang Mongolia.
Down Syndrome atau Trisomi 21 adalah kelainan yang menyebabkan
penderita mengalami keterlambatan dalam pertumbuhannya (terlambat
berbicara, duduk, dan berjalan), kecacatan (bentuk kepala relatif kecil, hidung
pesek, dan jari pendek), kelemahan fisik (mudah lelah dan sakit), serta memiliki
IQ yang relatif rendah dibandingkan dengan orang normal pada umumnya 2570
(NDSS 2012 dalam Mulia, 2012.
Down Syndrome merupakan kondisi keterbelakangan perkembangan
fisik, mental, dan intelgensi anak yang diakibatkan adanya kelainan
perkembangan kromosom yaitu susunan kromosom ke-21 yang berjumlah tiga
(kondisi normal hanya berjumlah dua) atau disebut Trisomi (Rohmadheny,
2016). Menurut Irwanto (2019) dalam bukunya A-Z Sindrom Down, Down
Syndrome merupakan suatu kelainan genetik yang paling sering terjadi dan
mudah diidentifikasi. Down Syndrome atau sering disebut kelainan genetik
Trisomi yaitu terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Kromosom
ekstra tersebut menyebabkan kelebihan jumlah protein tertentu, sehingga
mengganggu pertumbuhan secara normal. Selain itu, kelainan tersebut
menyebabkan keterlambatan perkembangan fisik, terganggunya perkembangan
bahasa dan bicara, kemampuan kognitif yang rendah, penyakit jantung, bahkan
kanker darah atau leukemia.

6
7

Bidang garap Terapi Wicara permasalahan bahasa dan bicara ini disebut
gangguan bahasa dan bicara yang disebabkan oleh Down Syndrome.
Didefiisikan sebagai ketidakmampuan untuk berbicara, karena disfungsi sistem
saraf pusat. Ketidakmampuan berbicara ini tidak parah, sehingga kemampuan
berbicaranya masih dapat dimaksimalkan.
Secara fenotip, penderita Down Syndrome mudah dikenali dengan
struktur wajah yang khas mirip orang Mongol. Selain kelainan fisik, penderita
Down Syndrome juga mengalami keterlambatan perkembangan mental. Hal
tersebut mengakibatkan penderita Down Syndrome kesulitan mengolah kontrol
pada kehidupan sehari-hari seperti, kemandirian, rendahnya kemampuan
kognitif, dan kesulitan mengontrol emosi. Menurut Soetjiningsih (2020),
perkembangan kemampuan berbahasa dan berbicara pada anak rentan terhadap
keterlambatan, karena ketika berbahasa dan berbicara melibatkan kemampuan
kognitif, sensori motor, psikologis, dan adaptasi kemampuan anak dengan
lingkungannya. Oleh karena itu, pada anak dengan Down Syndrome terditeksi
gangguan bahasa dan bicara pengaruh dari keterlambatan perkembangan
kemampuan kognitif.
B. Etiologi Down Syndrome
Menurut Irwanto (2019) dalam bukunya A-Z Sindrom Down, etiologi
dari Down Syndrome yaitu :
1. Trisomi 21 Klasik
Trisomi 21 Klasik merupakan bentuk kelainan yang paling sering terjadi
pada penderita Down Syndrome yang terdapat tambahan kromosom pada
kromosom 21. Angka kejadian Trisomi 21 Klasik ini sekitar 94% dari
semua penderita Down Syndrome. Usia ibu saat kehamilan berperan penting
terhadap terjadinya Trisomi 21 Klasik ini. Risiko frekuensi tertinggi
ditentukan pada ibu berusia di atas 40 tahun.
2. Translokasi
Translokasi merupakan suatu keadaan ketika kromosom 21 melepaskan
diri pada saat terjadi pembelahan sel dan menempel pada kromosom
lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel pada kromosom 13, 14, 15, dan
22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita Down Syndrome. Pada
beberapa kasus, Translokasi Down Syndrome dari orang tua kepada
anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari Translokasi ini hampir sama dengan
gejala yang ditimbulkan dari Trisomi 21. Down Syndrome tipe Translokasi
banyak tejadi pada ibu-ibu muda dan akan meningkat risikonya pada orang
tua yang merupakan pembawa sifat (Familial Down Syndrome).
3. Mosaik
Mosaik merupakan salah satu bentuk kelainan yang jarang terjadi dan
hanya beberapa sel saja yang memiliki kromosom 21 (Trisomi 21). Bayi
yang lahir dengan Down Syndrome mosaik akan memiliki gambaran klinis
dan masalah kesehatan yang lebih ringan dibandingkan dengan bayi yang
lahir dengan Down Syndrome Trisomi 21 Klasik dan Translokasi. Trisomi
21 Mosaik hanya diderita sekitar 2-4% dari penderita Down Syndrome. Pada
tipe Mosaik, embrio memiliki 2 deretan sel dengan kromosom yang berbeda
8

meskipun berasal dari zigot tunggal yang disebabkan oleh non-disjunction


atau lambatnya penyusutan kromosom pada awal embryogenesis (proses
pembelahan sel). Menurut Irwanto (2019) dalam buku “A-Z Sindrom
Down”, non-disjunction disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Infeksi Virus
Rubela merupakan salah satu jenis infeksi virus yang sering
terjadi pada fase prenatal bersifat teratogen lingkungan yang dapat
mempengaruhi embryogenesis dan mutasi gen, sehingga menyebabkan
perubahan jumlah maupun struktur kromosom. Pada individu normal
jumlah kromosom sebanyak 46 kromosom (23 pasang kromosom) yang
terdiri dari 22 pasang kromosom tubuh (autosom) dan satu pasang
kromosom kelamin (gonosom). Sedangkan, pada kasus Down
Syndrome kromosom tetap berjumlah 46, tetapi kromosom ke-21
mengalami penggandaan sebanyak tiga kali (Trisomi) yang pada
individu normal hanya memiliki dua salinan kromosom.
b. Radiasi
Radiasi merupakan salah satu penyebab dari non-disjunctional
pada Down Syndrome. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan
Down Syndrome pernah mengalami radiasi di daerah perut sebelum
terjadinya konsepsi. Kecelakaan reaktor atom Chernobyl pada tahun
1986 dikatakan merupakan penyebab beberapa kejadian Down
Syndrome di Berlin.
c. Penuaan Sel Telur (Ovum)
Peningkatan usia ibu berpengaruh terhadap kualitas sel telur. Sel
telur akan menjadi kurang baik dan pada saat terjadi pembuahan oleh
spermatoza, sel telur akan mengalami kesalahan dalam pembelahan. Sel
telur telah dibentuk pada saat dalam kandungan yang akan dimatangkan
satu per satu setiap bulan pada saat fase menstruasi. Pada saat wanita
memasuki masa tua, kualitas sel telur menjadi rendah, sehingga ketika
dibuahi oleh spermatozoa akan mengalami kesalahan dalam
pembelahan. Proses selanjutnya, disebabkan oleh keterlambatan
pembuahan akibat penurunan frekuensi saat penetrasi pada pasangan
tua. Selain itu, penuaan spermatozoa dan gangguan pematangan sel
sperma pada epididimis yang akan berakibat pada motilitas sel sperma,
sehingga dapat menyebabkan kelainan pada kromosom 21.
d. Usia Ibu
Wanita dengan usia lebih dari 35 tahun berisiko tinggi melahirkan
bayi dengan Down Syndrome dibandingkan dengan ibu berusia muda
(kurang dari 35 tahun). Angka kejadian Down Syndrome dengan usia
ibu 35 tahun ketika hamil sebanyak satu dalam 400 kelahiran.
Sedangkan, ibu dengan usia kurag dari 35 tahun ketika hamil kurang
dari satu dalam 1000 kelahiran yang terdapat kasus Down Syndrome.
Perubahan endokrin, seperti penurunan sekresi androgen, penurunan
kadar hidroepiandrosteron, penurunan konsentrasi ekstradiol sistemik,
perubahan konsentrasi reseptor hormon, peningkatan hormon LH
9

(Lutenizing Hormone) dan FSH (Follicular Stimulating Hormone)


secara mendadak pada saat sebelum dan sesudah menopause dapat
meningkatkan risiko terjadinya Nondisjunction.

C. Karaktristik Down Syndrome


Beberapa karaktristik anak dengan Down Syndrome dapat
diklasifikasikan menjadi, karaktristik fisik, karaktristik kogntif, karaktristik
bahasa, dan karaktristik bahasa dan bicara.
1. Karakteristik Fisik
Menurut Selikowitz dalam Romadheny (2016) karakteristik fisik yang
muncul pada anak Down Syndrome, yaitu :
a. Kepala dan Wajah
Penampilan fisik dari kepala yang terlihat relatif lebih kecil
(microcephaly) dari ukuran kepala normal dengan bagian
anteroposterior kepala mendatar terlihat seperti wajah orang Mongol.
Karakteristik wajah, diataranya hidung pesek, posisi daun telinga lebih
rendah, leher pendek, mata sipit, serta lidah selalu menjulur
(macroglossia). Kesulitan mengontrol gerakan lidah ini menyebabkan
anak dengan Down Syndrome mengalami gangguan makan dan
menelan, serta bicara.
b. Kulit
Anak dengan Down Syndrome memiliki kulit lembut, kering, dan
tipis. Sementara itu, lapisan kulit terlihat keriput (dermatologlyhics).
c. Tangan dan Kaki
Anak dengan Down Syndrome memiliki tangan yang pendek, jarak
antara ruas-ruas jari pendek, jari kelingking terkesan membengkok ke
dalam, telapak tangan hanya memiliki satu garis tangan (siman crease),
serta kaki terlihat sedikit pendek dengan jarak ruas-ruas jari sedikit jauh.
d. Otot dan Tulang
Otot pada anak dengan Down Syndrome lemah, sehingga
perkembangan motorik kasarnya menjadi terganggu. Selain itu, timbul
masalah yang berkaitan dengan kelainan organ, seperti jantung dan usus.
Ruas-ruas tulang leher berukuran pendek, sehingga menyebabkan
pergerakan leher terlihat seperti orang lumpuh (atlantaoxial instability).
2. Karkteristik Kognitif
Menurut Mangungsong (2014) karakteristik kognitif anak Down
Syndrome, mengalami keterlambatan secara keseluruhan sampai dengan
motorik kasar. Keterlambatan pada motorik ini disertai kelemahan
intelektual ringan sampai sedang dengan mayoritas skor IQ antara 40 dan
70. Perkembangan kognitif yang terkesan lambat ini menyebabkan anak
Down Syndrome mengalami gangguan dalam perkembangan bahasa,
memori, permasalahan dalam penerimaan respons (kontrol impuls),
fleksibilitas kognitif, dan perencanaan. Menurut The American
Pyschologycal Association (APA) dalam Rina (2016), pada saat berusia 30
10

tahun penderita Down Syndrome kemungkinan akan mengalami demensia


(hilang ingatan, penurunan kecerdasan, dan perubahan kepribadian).
3. Karakteristik Pendengaran
Dalam Rahmatunnisa (2017), sebanyak 70% hingga 80% anak dengan
Down Syndrome memiliki gangguan pendengaran yang disebabkan oleh
infeksi atau cairan yang ditransmisikan secara efektif dan konsisten.
Penyebab paling umum yaitu memiliki riwayat infeksi dan otitis media.
4. Karakteristik Pengelihatan
Menurut Irwanto (2019) dalam buku “A-Z Sindrom Down”, anak
dengan Down Syndrome memiliki lipatan mata epikantus. Hal ini
disebabkan oleh bagian luar canthus lebih tinggi daripada bagian dalam,
sehingga mata terkesan sipit seperti ras Mongol. Karakteristik pada mata
lainnya adalah ditemukannya bintik putih pada iris yang dinamakan
brushfield spots. Kelainan mata yang lain dapat berupa strambismus,
nistagmus, kelainan refraksi, dan katarak kongenital. Katarak kongenital
adalah kelainan mata pada bayi dengan Down Syndrome yang ditandai tidak
adanya red reflex, terdapat nistagmus dan strambismus.
5. Karakteristik Bahasa
Perkembangan bahasa pada anak dengan Down Syndrome lebih
lambat daripada anak normal. Mereka mengalami kesulitan berbicara
spontan, karena perbedaan anatomi dan gangguan pendengaran yang
disebabkan oleh otitis media. Permasalahan bahasa yang sering terjadi pada
anak dengan Down Syndrome yaitu bahasa ekspresif lebih buruk daripada
bahasa reseptifnya (Laws dan Bishop 2003 dalam Paul 2012). Hal ini
disebabkan oleh kurangnya kemampuan kognitif yang akan diujarkan pada
saat akan berbicara. Kesalahan bunyi yang diucapkan bersifat alami,
misalnya penghilangan kluster dan konsonan akhir.
Berikut ini merupakan beberapa jenis kemampuan perkembangan
bahasa, antara lain :
a. Fonologi
Fonologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang bunyi-bunyi
bahasa yang diucapkan oleh alat ucap manusia. Fonologi mempunyai
dua cabang ilmu yaitu fonetik dan fonemik. Fonetik adalah bagian dari
fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau cara
bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Fonemik adalah bagian
fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya sebagai
pembeda arti (Widi, 2019). Menurut The Understood Team (2014),
pemerolehan fonologi berkaitan dengan proses konstruksi suku kata
yang terdiri dari gabungan vokal dan konsonan. Bahkan, dalam
babbling anak menggunakan urutan konsonan-vokal atau konsonan-
vokal-konsonan.
b. Morfologi
Menurut Ramlan (1985), mendefinisikan morfologi sebagai bagian
dari ilmu bahasa yang mempelajari bentuk kata serta perubahan bentuk
kata terhadap arti dan golongan kata. Morfologi saling berhubungan
11

dengan proses morfologis. Menurut Desiana (2018), proses morfologis


adalah pengulangan satuan gramatikal, secara keseluruhan maupun
sebagian dengan variasi fonem maupun tidak menghasilkan kata baru
yang dilakukan terhadap kata dasar, kata berimbuhan, maupun kata
gabung yang disebut kata ulang. Perkembangan kemampuan morfologi
anak dapat ditandai dengan peningkatan panjang ujaran rata-rata atau
Mean Length of Utterance (MLU) yang diukur dalam morfem.
Penguasaan morfem terjadi saat anak mulai dapat mengucapkan kata
yaitu sekitar usia dua tahun. Umumnya, Mean Length of Utterance
(MLU) berbanding lurus dengan usia anak.
c. Sintaksis
Sintaksis adalah sistem aturan yang mengatur penyusunan kata-kata di
dalam suatu kalimat. Sistem ini mengatur urutan kata, struktur kalimat,
hubungan antar kata, dan jenis serta posisi kata. Sintaksis menentukan
kombinasi kata mana yang dapat diterima dan sesuai dengan tatanan
bahasa dan mana yang tidak. Sintaksis menentukan hubungan antar kata
benda dan kata kerja serta menentukan kata sesuai dengan konteks
kalimat.
Anak yang mengalami gangguan pada aspek sintaksis biasanya akan
mengalami kesulitan dalam pembentukan kata, frasa, atau kalimat.
Menurut The Understood Team (2014), perkembangan sintaksis anak
paling cepat dapat terlihat saat anak berusia 18 bulan. namun, beberapa
anak dapat terlihat perkembangannya pada saat berusia dua tahun.
d. Pragmatik
Pragmatik merupakan ilmu linguistik yang berkaitan dengan
penggunaan bahasa (Levinson, 1983: dalam Santoso dan Yuvita, 2015).
Pragmatik diartikan sebagai korelasi antara kode penutur dan pendengar
(Rahman, 2019). Kemampuan pragmatik dimulai pada awal kehidupan
anak, sejak bayi anak mulai belajar kontak mata terhadap orang lain.
Kemudian, kemampuan ini terus berkembang sampai anak mampu
bergiliran terhadap suatu percakapan dengan lawan bicaranya. Anak-
anak yang mengalami permasalahan pragmatik kemampuan bahasa dan
berbicaranya akan terganggu.
e. Semantik
Semantik adalah aturan yang mengatur hubungan antara bahasa
dengan benda, kejadian, dan hubungan antar kata, serta kombinasi kata-
kata tersebut. Kata-kata tidak mempresentasikan realita, melainkan ide
atau konsep mengenai realita yang dipahami oleh pengguna bahasa. Hal
ini adalah hasil dari proses kategorisasi kognitif.
Menurut The Understood Team (2014), permasalahan perkembangan
bahasa pada anak ditandai dengan ketidakmampuan anak dalam
memahami pembicaraan orang lain. Hal ini menggunakan kata-kata
dengan menggunakan konteks secara verbal dan non verbal, serta
membaca dan mengerti tentang suatu bacaan. Beberapa dari
karakteristik gangguan bahasa meliputi, penggunaan kata yang tidak
12

tepat, ketidakmampuan dalam menyampaikan pendapat, ketidaktepatan


dalam penggunaan pola gramatikal, jumlah kosakata sedikit, serta
ketidakmampuan dalam mengikuti suatu instruksi.
Menurut The Understood Team (2014), permasalahan perkembangan
bahasa ekspresif lebih mudah diidentifikasi sejak dini. Biasanya pada
usia dua tahun anak belum aktif bicara. Beberapa anak mungkin
mengetahui tentang suatu cerita, tetapi mereka kesulitan dalam
menyeritakan kembali dengan menggunakan kata-kata yang lebih
sederhana.
6. Karakteristik Bicara
Pada anak dengan Down Syndrome, kemampuan berbicara mengalami
keterlambatan. Menurut Ratih Dyah Utami (2017), sebagian anak dengan
Down Syndrome tidak melewati fase babbling (mengoceh), kesulitan dalam
mengucapkan variasi bunyi (p, b, m), kesulitan dalam memahami dan
mengontrol ucapan, serta jumlah kosakata yang tidak bertambah. Menurut
Suhartono (2015) tahapan perkembangan kemampuan bicara pada anak
dibedakan menjadi :
a. Tahap Penamaan
Pada tahap penamaan, anak mulai menegosiasikan bunyi-bunyi yang
pernah didengarnya dengan benda, peristiwa, situasi dan sebagainya
yang pernah dikenal melalui lingkungannya. Pada tahap ini anak mampu
menggunakan kalimat yang terdiri dari satu kata atau frase. Kata yang
diucapkannya mengacu pada benda-benda yang ada di sekitarnya.
b. Tahap Telegrafis
Pada tahap telegrafis, anak mampu menyampaikan pesan yang
diinginkannya dalam bentuk urutan bunyi berbentuk dua atau tiga kata.
Anak menggunakan dua atau tiga kata untuk mengganti kalimat yang
bermaksud tertentu dan berhubungan dengan suatu makna. Ujaran
tersebut berbentuk sangat singkat dan padat. Oleh karena itu, ujaran
anak sejenis ini disebut dengan telegrafis yang berkembang ketika anak
berusia sekitar dua tahun.
c. Tahap Transformasional
Pada tahap transformasional, anak sudah mulai memberanikan diri
untuk bertanya, menyuruh, menyanggah, dan menginformasikan
sesuatu. Pada tahap ini anak sudah mulai berani mentransformasikan
idenya kepada orang lain dalam bentuk kalimat yang beragam. Anak
memasuki perkembangan kemampuan berbicara pada tahap
transformasional ketika berusia lima tahun.
13

BAB III
DATA KASUS

A. Hasil Pengumpulan Data


1. Identitas Klien
Berdasarkan hasil asessment yang telah dilakukan, diperoleh data bahwa
klien berinsial An. NJW lahir di Surakarta, 28 Juni 2014. An. NJW berjenis
kelamin perempuan dan tinggal bersama kedua orang tuanya. An. NJW
merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, tetapi kedua saudaranya sudah
meninggal ketika masih di dalam kandungan. An. NJW anak dari Ny. MP
dan Tn. W yang masing-masing berusia 48 tahun dan 65 tahun. Ibu klien
bekerja sebagai ibu rumah tangga dan ayahnya bekerja sebagai Wiraswasta.
Klien bertempat tinggal di Sambeng RT 07/RW 02, Mangkubumen,
Banjarsari, Surakarta. Klien menggunakan Bahasa Indonesia saat
berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari.
2. Data yang Berhubungan dengan Faktor Penyebab
a. Riwayat Kondisi Sekarang
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu klien, diketahui bahwa
klien datang ke Terapi Wicara di PLDPI Surakarta dengan kondisi
bahasa dan bicara klien masih dalam tahap frase. Ketika klien meminta
sesuatu cenderung menggunakan kalimat dengan susunan beberapa kata
yang terbalik dan terkesan kurang jelas. Berdasarkan hasil observasi,
dilihat dari kondisi fisiknya klien memiliki karakteristik berupa hidung
kecil, lidah tebal dan pendek, mata sipit, dan jari kaki serta jari tangan
terkesan pendek.
b. Riwayat Kondisi Dahulu
1) Riwayat Pre-Natal
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, diketahui
bahwa ibu hamil saat berusia 40 tahun. Ibu klien hamil selama
sembilan bulan. Ibu klien tidak pernah sakit, tidak pernah mengalami
kecelakaan, maupun mengonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter
selama masa kehamilan. Akan tetapi, ibu klien merasa lemas selama
masa kehamilan, serta mulai mau makan di usia kehamilan ±6 bulan.
Jadi, ibu kurang asupan gizi selama masa kehamilan.
2) Riwayat Natal
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, diketahui
bahwa klien lahir secara caesar karena air ketuban merembes.
Durasi kontraksi selama ±1 jam. Klien langsung menangis ketika
lahir. Berat badan klien ketika lahir yaitu 3,5 kg.
14

3) Riwayat Post-Natal
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa klien memiliki
riwayat penyakit Hipertiroid sejak lahir. Pada fase perkembangan
motoriknya, klien tidak melewati fase merangkak dan mengalami
keterlambatan dalam mengujarkan kata. Klien pernah dirawat di
Rumah Sakit Ngipang, karena bayi kuning saat berusia 10 hari.
Selain itu, klien juga pernah menjalani rawat inap di Rumah Sakit
Muhammadiyah Surakarta, karena penyakit Hipertiroidnya.
c. Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Keluarga
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan,
diketahui bahwa kemampuan klien dalam bersosialisasi dengan
lingkungannya terkesan cukup baik. Klien sangat kooperatif dan mau
berbagi mainan dengan teman-temannya. Akan tetapi, terkadang klien
cenderung pemalu, sehingga lebih sering bermain sendirian. Klien
tergolong keluarga dengan ekonomi menengah. Ibu klien sebagai ibu
rumah tangga. Sedangkan, ayah klien berprofesi sebagai wiraswasta.
Klien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Tetapi, kedua saudara
kandung klien meninggal ketika masih dalam kandungan.
3. Data yang Berhubungan dengan Sindroma
a. Kemampuan Bahasa
Berdasarkan hasil wawancara dan tes yang sudah dilakukan,
diketahui bahwa klien berkomunikasi dengan menggunakan kata dan
frase. Berdasarkan hasil Tes Ceklis Evaluasi Bahasa, kemampuan bahasa
klien setara dengan anak usia 3 sampai 4 tahun. Berdasarkan hasil Tes
ROWPVT, didapatkan hasil bahwa kemampuan bahasa reseptif klien di
level Low 4% dengan rincian Raw Score 19, Language Age 3-0, Standart
Score 64, Precentile 2, Stanine 1. Sedangkan, berdasarkanhasil Tes
EOWPVT didapatkan hasil kemampuan bahasa ekspresif klien Below
19% dengan hasil Raw Score 29, Language 2-11, Language Standart
Score 73, Precentile 4, dan Stanine 2. Respons klien dalam memahami
intruksi sederhana terkesan masih kurang. Misalnya, ketika Praktikan
memberi instruksi kepada klien untuk melepas dan memasang mainan
yang sudah disediakan terkadang klien tidak konsisten dan masih dibantu
oleh Praktikan.
b. Kemampuan Wicara
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, diketahui
bahwa respirasi klien memiliki kecenderungan bernapas dengan
menggunakan mulut dibandingkan melalui hidung. Fonasi klien terkesan
normal, klien mampu berfonasi selama sepuluh detik. Berdasarkan hasil
Tes Artikulasi yang sudah dilakukan, diketahui bahwa klien memiliki
kesalahan artikulasi dengan konsistensi kesalahan terletak pada fonem
/p/, /b/, /m/, /n/, /h/ dan /r/. Substitusi pada fonem /h/ diganti menjadi
fonem /d/ dan fonem /r/ diganti menjadi fonem /l/. Omisi pada fonem /p/,
/b/, /m/. Pada aspek resonansi terkesan normal, klien tidak hipernasal
maupun hiponasal. Prosodi klien terkesan normal.
15

c. Kemampuan Suara
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, diketahui bahwa
klien terkesan tidak mengalami permasalahan pada aspek suara dan
kelancaran.
d. Kemampuan Irama Kelancaran
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, irama
kelancaran klien belum dapat diketahui. Karena, kemampuan bahasa dan
bicara klien masih dalam tahap kata dan frase. Klien belum mampu untuk
bercerita.
e. Kemampuan Makan dan Menelan
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan dengan ibu
klien, diketahui bahwa klien tidak mengalami permasalahan pada aspek
makan dan menelan. klien mampu makan dan menelan makanan
bertekstur keras maupun lembut dengan baik. Klien juga terkesan normal
dalam aspek menghisap.
f. Kemampuan Oral Motor
Berdasarkan hasil pemeriksaan oral fasial yang telah dilakukan
diketahui bahwa pada aspek evaluasi wajah, bentuk wajah klien
Mongoloid dengan hidung kecil (pesek), mata sipit, lidah selalu
menjulur, leher pendek, dan posisi daun telinga lebih rendah.
Kesimetrisan wajah normal, gerakan abnormal seperti menyeringai dan
kedutan tidak ada, serta pernapasan menggunakan pernapasan mulut.
Pada aspek evaluasi rahang range of motion normal, kesimetrisan
normal, dan movement rahang normal. Kertak gigi tidak bermunculan.
Berdasarkan hasil observasi gigi klien semua ada, tetapi tersusun tidak
beraturan. Hubungan gigi geraham (oklusi) ditemukan permasalahan
berupa neutroclusion class I sebagai akibat dari bernapas melalui mulut.
Hubungan gigi taring termasuk crossbite dengan kondisi rahang atas
(maxilla) terletak lebih ke dalam dibandingkan dengan rahang bawah
(mandibula). Kebersihan gigi kurang, karena ditemukan banyak karang
gigi (kalkulus gigi) berwarna berwarna kuning disela-sela gigi.
Pada aspek evaluasi bibir dan lidah belum dapat diketahui
hasilnya, karena klien tidak mengikuti instruksi Praktikan untuk
memonyongkan bibir dan menjulurkan lidah. Akan tetapi, ketika
Praktikan memeriksa lidah klien dengan menggunakan Tongue Spatel
lidah klien berukuran besar dan berwarna putih (abnormal). Tali lidah
(frenum) berukuran normal.
Pada aspek evaluasi faring, tidak ada tonsil dan warna faring
normal. Selain itu, pada aspek evaluasi langit-langit keras dan langit-
langit lunak klien diketahui dalam kondisi normal. Klien mampu
berfonasi selama sepuluh detik dan tidak timbul nasalitas maupun
hipernasalitas.

B. Analisis Data
16

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan, diketahui bahwa Ny. MP


hamil klien ketika berusia 39 tahun. Pada usia tersebut, organ reproduksi
mengalami penurunan produktivitas. Oleh karena itu, pada beberapa kasus
kehamilan direntang usia tersebut bayi yang dilahirkan sangat berisiko tinggi
mengalami kecacatan fisik dan permasalahan pertumbuhan. Pada kasus Down
Syndrome terbukti bahwa usia ibu ketika masa kehamilan sangat berpengaruh
terhadap munculnya Down Syndrome pada bayi. Hal ini diperkuat oleh pendapat
dari Astuti dan Ertiana (2018), menjelaskan bahwa usia ibu ketika hamil yaitu 20
sampai 35 tahun. Kelompok usia ibu kurang dari 20 tahun berisiko rendah
melahirkan bayi dengan Down Syndrome dan gangguan lainnya. Sedangkan,
kelompok usia ibu di atas 35 tahun sangat berpotensi tinggi melahirkan bayi
Down Syndrome. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rayyman,
dkk (2017) menyimpulkan terdapat hubungan antara usia ibu dan kelahiran anak
dengan Down Syndrome. Usia ibu lebih dari 35 tahun meningkatkan risiko
kelainan pada bayi yang dilahirkan sebesar 12 kali lebih besar dibandingkan usia
ibu kurang dari 35 tahun ketika hamil. Hal ini diakibatkan, karena penurunan
fungsi organ reproduksi perempuan. Pada usia perempuan menjelang fase
menopause, ovum yang dikeluarkan saat ovulasi merupakan hasil dari oosit pada
siklus meiosis yang terhenti cukup lama.

Anda mungkin juga menyukai